Anda di halaman 1dari 7

BAB XIV

KEBUDAYAAN ISLAM

A. Agama dan Kebudayaan


Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan,
tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Untuk
menjawabnya berikut dijelaskan secara umum arti kebudayaan yang sebenarnya ialah
suatu hasil daya pemikiran dan pemerahan tenaga lahir manusia, ia adalah gabungan
antara tenaga fikiran dengan tenaga lahir manusia ataupun hasil daripada gabungan
tenaga batin dan tenaga lahir manusia. Apa yang dimaksudkan gabungan antara tenaga
batin (daya pemikiran) dengan tenaga lahir ialah apa yang difikirkan oleh manusia itu
terus dibiat dan dilaksanakan. Apa yang difikirkannya itu dilahirkan dalam bentuk sikap.
Maka hasil daripada gabungan inilah yang dikatakan kebudayaan.
Jadi kalau begitu, seluruh kemajuan baik yang lahir ataupun yang batin walau
dibidang apapun, dianggap kebudayaan. Sebab hasil daripada daya pemikiran dan daya
usaha tenaga lahir manusia akan tercetuslah soal-soal politik, pendidikan, ekonomi,
sastera dan seni, pembangunan dan kemajuan-kemajuan lainnya. Dan kalau begitu
pengertian kebudayaan maka agama-agama di luar Islam juga bisa dianggap kebudayaan.
Ini adalah karena agama-agama seperti Budha, Hindu, kristen (yang telah banyak diubah-
ubah) itu lahir hasil dari pemikiran (ide-ide) manusia. Ia adalah ciptaan akal manusia.
Sebaliknya agama Islam tidak bisa dianggap kebudayaan sebab ia bukan hasil daripada
pemikiran dan ciptaan manusia, bukan hasil budi dan daya (tenaga lahir) manusia. Agama
Islam adalah sesuatu yang diwahyukan oleh Allah SWT.
Agama Islam adalah wahyu dari Allah SWT yang disampaikan kepada Rasulullah
SAW yang mengandung peraturan-peraturan untuk jadi panduan hidup manusia agar
selamat di dunia dan akhirat. Tetapi agama-agama di luar Islam memang kebudayaan,
sebab agama-agama tersebut adalah hasil ciptaan manusia daripada daya pemikiran
mereka, daripada khayalan dan angan-angan.
Namun begitu walaupun agama Islam itu bukan kebudayaan tetapi ia sangat
mendorong (bahkan turut mengatur) penganutnya berkebudayaan. Islam bukan
kebudayaan, tapi mendorong manusia berkebudayaan. Islam mendorong berkebudayaan
dalam berfikir, berekonomi, berpolitik, bergaul, bermasyarakat, berpendidikan, menyusun
rumah tangga dan lain-lain. Jadi, sekali lagi dikatakan, agama Islam itu bukan
kebudayaan, tapi mendorong manusia berkebudayaan. Oleh karena itu seluruh kemajuan
lahir dan batin itu adalah kebudayaan maka dengan kata-kata lain, Islam mendorong
umatnya berkemajuan.
Agama Islam mendorong umatnya berkebudayaan dalam semua aspek kehidupan
termasuk dalam bidang ibadah. Contohnya dalam ibadah yang paling pokok yaitu
sembahyang. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah (2): 43 ada perintah:

ِ َّ ‫الزَكاةَ وارَكعوا مع‬ ِ‫وأَق‬


َ ‫الراك ِع‬
‫ي‬ َ َ ُ ْ َ َّ ‫الصالةَ َوآتُوا‬
َّ ‫يموا‬
ُ َ
Artinya: “Dirikanlah sembahyang, dan tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama
orang yang rukuk.”
Perintah itu bukan kebudayaan karena ia adalah wahyu dari Allah SWT. Tetapi
apabila kita hendak melaksanakan perintah "dirikanlah sembahyang" maka timbullah
daya pemikiran kita, bagaimana hendak bersembahyang, dimana tempat untuk
melaksanakannya dan lain-lain. Secara ringkas, kitapun bersembahyanglah setelah
mengkaji Sunnah Rasulullah yang menguraikan kehendak wahyu itu tadi. Firman Allah
dalam surat An Najm (53) ayat 3:

‫َوَما يَ ْن ِط ُق َع ِن ا ْْلََوى‬
Artinya: “Tiadalah Rasul itu berkata-kata melainkan wahyu yang diwahyukan
padanya.”
Umpamanya kalau sembahyang berjemaah, kita berbaris, dalam saf-saf yang lurus
dan rapat. Jadi dalam kita melaksanakan barisan saf yang lurus dan rapat itu adalah
budaya, karena ia hasil usaha tenaga lahir kita yang terdorong dari perintah wahyu.
Dan kalau dilihat dalam ajaran Islam, kita dikehendaki bersembahyang di tempat
yang bersih. Jadi perlu tempat atau bangunan yang bersih bukan saja bersih dari najis
tetapi bersih daripada segala pemandangan yang bisa menganggu kekhusyukan kita pada
saat kita bersembahyang. Maka terpaksalah kita umat Islam menggunakan pikiran,
memikirkan perlunya tempat-tempat sembahyang yaitu mushalla, surau ataupun masjid.
Apabila kita membangun surau atau masjid hasil dari dorongan wahyu "Dirikanlah
sembahyang" itu maka lahirlah kemajuan, lahirlah kebudayaan.
Jadi agama Islam mendorong manusia berkebudayaan dalam beribadah padahal ia
didorong oleh perintah wahyu "Dirikanlah sembahyang" yang bukan kebudayaan. Tapi
karena hendak mengamalkan tuntutan perintah wahyu ini, maka muncullah bangunan-
bangunan masjid dan surau-surau yang beraneka bentuk dan di dalamnya umat Islam
sembahyang berbaris dalam saf-saf yang lurus dan rapat. Ini semua merupakan
kebudayaan hasil tuntutan wahyu.
Kesimpulannya, jelaslah Islam bukan kebudayaan sebab ia bukan hasil ciptaan
manusia. Walau bagaimanapun agama Islam itu mendorong orang berkebudayaan.
Adapun agama-agama di luar Islam memang kebudayaan sebab ia hasil kerja akal,
khayalan dan angan-angan manusia itu sendiri.
Justru itu, jika ajaran agama Islam ini diamalkan seungguh-sungguh, umat Islam
akan jadi maju. Dan dengan kemajuan yang dihasilkan itu, lahirlah kebudayaan atau
tamadun. Makin banyak umat Islam mengamalkan hukum, semakin banyaklah kemajuan
dihasilkan dan seterusnya makin banyak lahirlah kebudayaan atau tamadun Islam.

B. Sejarah Kebudayaan dan Intelektual Umat Islam


Dalam catatan sejarah, pernah dituliskan dengan tinta emas adanya puncak
kemajuan kebudayaan Islam, terutama pada pemerintahan “khalifah al-Ma’mun” dari
dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan sistem pemerintahan yang adil, menjamin
kebebasan berpikir sehingga pada zaman itu, berdiri pusat-pusat kajian dan
penterjemahan buku-buku filsafat Yunani dan berkumpul berbagai ilmuwan dari berbagai
kalangan keagamaan, dengan “sistem ekonomi perdagangan yang terbuka”, di mana saat
itu, kota Baghdad menjadi kota perdagangan. Akan tetapi setelah pemerintahan al-
Ma’mun, tanda-tanda kejatuhan dan kemunduran kebudayaan Islam mulai merebak, yang
ditandai oleh “ketidakmampuannya dalam menyelenggarakan pemerintahan yang adil,
sikap hidup para pemimpin dan orang-orang kaya di sekitarnya yang suka berfoya-foya,
serta terjadinya frustrasi akademik di kalangan kaum terpelajar.
Puncak kebudayaan Islam itu tidak dicapai dengan seketika, demikian pula halnya
kejatuhannya, proses itu berjalan dalam rentang waktu lama, ratus tahun, sejak abad ke
tujuh sampai abad ke dua belas masehi. Dalam periode itu, “umat Islam terpukau oleh
pemikiran Yunani”, mereka melakukan penterjemahan buku-buku Yunani secara besar-
besaran, akan “tetapi mereka mengabaikan fundamental bangunan intelektual” dari akar
tradisinya sendiri, yang diwariskan oleh tradisi kenabian. Sir Muhammad Iqbal,
melukiskan keadaan itu dengan pernyataannya bahwa mereka membaca Al-Qur’an
dengan cahaya pemikiran Yunani, padahal jiwa intelektual yang dibangun oleh al-Qur’an
itu bersifat aktual, dalam amal ke salehan sebagai jalan spritual, berbeda dengan jiwa
intelektual Yunani yang bercorak spekulatif, dan rasional semata-mata.
Di lihat dari konteks metode berpikir kefilsafatan, barangkali pernyataan adanya
“kemajuan kebudayaan” yang disebut dengan kebudayaan Islam itu, sesungguhnya masih
bersifat semu saja,” karena sesungguhnya yang ada bukan “kebangkitan kebudayaan
Islam”, tetapi kebangkitan kebudayaan Yunani dalam pemerintahan dan masyarakat
Islam. Persoalan ini, telah muncul perdebatan akademik dalam pemikiran filsafat dengan
sangat serius, apakah filsafat Islam itu pernah ada, karena yang ada adalah bukan filsafat
Islam tetapi filsafat Yunani yang diberi baju Islam.
Dalam konsep filsafat Islam, kebudayaan Islam baik pada dataran konsep maupun
produk, pada dasarnya harus ditegakkan dan dibangun oleh berfungsinya akal kudus
secara seimbang, baik dalam dimensi pikir maupun zikir, berdasarkan wawasan hikmah
dan kitab, sehingga kebudayaan Islam tidak dibangun dan ditegakkan berdasarkan rasio
semata-mata, yang akan mengakibatkan kebudayaan kehilangan dimensi spritualitasnya,
dan mempunyai kecenderungan terlepas dari wawasan moralitas kemanusiaan universal
dan spritual agama.
Oleh karena itu, ketahanan suatu kebudayaan sepenuhnya ditentukan oleh
keseimbangan “dealektik antara kreaktifitas” dan wawasan moralitas, yang secara
seimbang menjadi manifestasi aktual dan dinamis dari keseimbangan “iman” dan “ilmu”
dalam tindakan amal kesalehan. Pada dataran ini, kebudayaan menjadi sasaran
komunikasi dan dialog kreatif dengan Tuhannya, dalam suatu pertemuan penciptaan yang
bermakna ibadah. Di sinilah kebudayaan Islam sebagai penyerahan, ketunduhan dan
kepatuhan diri kepada Tuhan dijabarkan secara kreatif dalam penciptaan kebudayaan,
yang basisnya adalah “dealektika hukum-hukum Tuhan” yang ada dalam ciptaan-Nya.
Dengan demikian, kebudayaan yang demikian akan menghantarkan manusia kepada
“salam”, mencapai keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan, di dunia dan akhirat.
Lebih jauh, terkait sejarah intelektual Islam, berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh Harun Nasution, maka perkembangannya dikelompokkan kedalam tiga masa yaitu:
1) Masa Klasik, yaitu antara 650-1250 M,
Di era klasik ini, lahir beberapa tokoh penting di beberapa bidang, antaranya
bidang ilmu filsafat, tokohnya antara lain Al-Kindi (194-260 H/809-873 M), Al-
Farabi (w 390 H/961 M), Ibnu Bajah (w 523 H), Ibnu Thufail (w 581 H), dan Ibnu
Sina (370-428 H/980-1037 M). Ibnu Sina, selain dikenal ahli filsafat, ia juga dikenal
sebagai bapak kedokteran Islam. Ia banyak menulis karya, seperti Qanun fi Thib, Asy-
Syifa, dan lainnya. Selain nama di atas, tokoh lainnya adalah Al-Ghazali (450-505
H/1058-1101 M). Beberapa karyanya adalah Ihya Ulum Al-Din, Tahafut al-Falasifah,
dan al-Munqizh Minadl Dhalal. Kemudian, ada Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198
M). Karangannya adalah Mabdiul Falasifah, Kasyful Afillah, dan Al-Hawi dalam
bidang kedokteran.
Adapun di bidang ilmu kedokteran, selain Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tokoh
lainnya adalah Jabir bin Hayyan (w 161 H/778 M), Hunain bin Ishaq (194-264 H/810-
878 M), Thabib bin Qurra (w 901 M), dan Ar-Razi (251-313 H/809-873 M). Di
bidang, ilmu matematika, dua orang tokohnya antara lain adalah Umar Al-Farukhan
(arsitek pembangunan Kota Baghdad) dan Al-Khawarizmi (pengarang kitab Al-Jabar
yang juga menemukan angka nol (0)). Sedangkan, angka 1-9 berasal dari India yang
dikembangkan oleh Islam. Karena itu, angka 1-9 disebut pula dengan angka Arab.
Namun, setelah ditemukan orang Latin, namanya pun disebut dengan angka Latin.
Terakhir di bidang seni ukir, dalam bidang ini, umat Islam cukup terkenal dengan
hasil seni pada botol tinta, papan catur, payung, pas bunga, burung-burungan dan
pohon-pohonan. Tokohnya antara lain Al-Badr dan Al-Tariff sekitar tahun 961-976
M. Seni ukir yang dikembangkan tidak hanya pada kayu tapi juga pada logam, emas,
perak, marmer, mata uang, dan porselin.
2) Masa Pertengahan, yaitu tahun 1250- 1800 M,
Di zaman atau era pertengahan ini, dalam catatan sejarah pemikiran dan
peradaban Islam merupakan masa kemunduran. Sebab utama karena umat Islam
mulai menjauhkan filsafat, sehingga muncul kecendrungan akal dipertentangkan
dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih terasa
sampai sekarang.
3) Masa Moderen, yaitu tahun 1800- sekarang.

C. Nilai-Nilai Islam sebagai Sumber Kekuatan Kebudayaan Islam


Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan
(W.JS. Purwadarminta, 1999: 677). Zakiyah Darajat (1984: 260) mendefinisikan nilai
adalah suatu perangkat keyakinan atau perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas
yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran dan perasaan, keterikatan
maupun perilaku. Sedang menurut Chabib Thoha (1996:18) nilai merupakan sifat yang
melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang
memberi arti (manusia yang meyakini).
Lebih lanjut, setidaknya dimensi kehidupan yang mengandung nilai-nilai ideal
Islam dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yaitu :
1. Dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di
dunia.
2. Dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia untuk meraih kehidupan di
akhirat yang membahagiakan.
3. Dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan hidup
duniawi dan ukhrawi. (M. Arifin, 1993: 120).
Dari nilai-nilai Islam tersebut jika dikaitkan dengan kebudayaan jelas dan nyatalah
bahwa nilai-nilai Islam merupakan sumber kekuatan kebudayaan Islam. Sebagai contoh
budaya tolong menolong yang merupakan salah satu nilai Islam yang mampu
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di bumi. Setiap orang membutuhkan
pertolongan orang lain. Memberi bantuan menurut kemampuan bila ada anggota masyarakat
yang memerlukan bantuan. Rasulullah SAW melarang orang Islam menolak permintaan
bantuan orang lain yang meminta kepadanya seandainya ia mampu membantunya.
Agama Islam memang telah mewajibkan kepada umatnya untuk saling menolong satu
sama lainnya. Namun demikian, Islampun memberikan batasan terhadap apa yang telah
diajarkannya tersebut. Agama Islam merupakan sebuah ajaran yang berisikan hukum-hukum
dan aturan-aturan. Maka apa yang telah diajarkan di dalam Islam tidak dapat dilakukan
dengan semaunya sendiri, melainkan ada petunjuk. Menjalankan ajaran untuk saling tolong-
menolong ini tentu saja terdapat di dalam Al Quran dan Hadis, karena Islam adalah agama
yang sumber utama ajarannya adalah Al Quran dan Hadis. Dalam kehidupan di dunia ini
sangat diperlukan adanya peraturan, sekalipun tidak dinyatakan secara tegas, yang
mendorong kepada umat manusia agar saling bantu membantu, tolong menolong serta
bergotong royong. Kestabilan keamanan dan keterjaminan kebahagiaan suatu masyarakat
atau bangsa adalah terletak pada sikap kekasih sayangan orang-orang yang kuat terhadap
orang-orang yang lemah, dan terletak pula di tangan belas kasihan orang-orang yang berada
terhadap orang-orang yang tidak berada. Membantu memudahkan urusan sesama manusia,
bagi orang yang
Lebih spesifik dalam sejarah Islam di Indonesia maka Islam masuk ke Indonesia
lengkap dengan budayanya. Karena Islam besar dari negara Arab, maka Islam yang
masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya. Pada awal-awal masuknya
dakwah Islam ke Indonesia dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran Islam dan
mana budaya Arab. Masyarakat awam menyamakan antara perilaku yang tampil oleh
orang Arab dengan perilaku ajaran Islam. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh orang
Arab itu semuanya mencerminkan ajaran Islam, bahkan hingga kini budaya Arab masih
melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran
Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh para wali di tanah Jawa.
Karena kehebatan para Wali Allah dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya
setempat, sehingga masyarakat setempat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam sudah
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti dalam
upacara-upara adat dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa Al-Qur’an/Arab
sudah banyak masuk ke dalam bahasa daerah bahkan ke dalam bahasa Indonesia yang
baku. Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari
internalisasi nilai-nilai Islam dalam kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai