TUGAS
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Konseling Humanistik
yang dibina oleh Dr. H. M. Ramli, M. A
OLEH:
Naya Sintiawan (170111600024)
1. Memiliki worth dan dignity dalam diri sehingga layak diberikan penghargaan
(respect)
2. Memiliki kapasitas dan hal untuk mengatur dirinya sendiri dan mendapat
kesempatan membuat penilaian yang bijaksana
3. Dapat memilih nilainya sendiri
4. Dapat belajar untuk bertanggungjawab secara konstruktif
5. Memiliki kapasitas untuk mengatasi perasaan, pikiran dan tingkah lakunya
6. Memiliki potensi untuk berubah secara konstruktif dan dapat berkembang ke
arah hidup yang penuh dan memuaskan (full and satisfying life) atau aktualisasi
diri.
D. Perkembangan Perilaku Menurut Teori Konseling Berpusat Pribadi
1. Struktur Kepribadian
Rogers memandang kepribadian sebagai suatu kesatuan yang mencakup tigas
unsur pokok, yaitu organisme, medan fendomena, dan self.
a. Organisme (Organism).
Organisme merupakan salah satu aspek kepribadian yang merupakan suatu
keseluruhan individu. Sebagai suatu kebulatan diri, organisme memiliki ciri-
ciri sebagai berikut:
1) Organisme terdiri atas pikiran, perasaan, tingkah laku, dan wadah fisik
baik disadari maupun tidak.
2) Organisme mereaksi sebagai suatu kebulatan terhadap medan fenomena
dalam upaya memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.
3) Organisme memiliki satu kebutuhan dasar untuk beraktualisasi yaitu
dorongan untuk membina, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
4) Dalam menghadapi pengalaman, organisme mungkin melambangkannya
dalam kesadaran, atau menolak dan atau mengabaikannya.
b. Medan Fenomena (Phenomenal Field).
Medan fenomena merupakan dunia pribadi setiap individu dan menjadi
sumber kerangka acuan internal dalam memandang kehidupan. Medan
fenomena terdiri dari semua hal yang dialami individu. Beberapa peristiwa ada
yang diamati secara sadar dan ada pula yang diamati secara tidak sadar.
Phenomenal Field merupakan pengalaman-pengalaman hidup yang bermakna
secara psikologis bagi individu, dapat berupa pengetahuan, pengasuhan
orangtua, dan hubungan pertemanan.
c. Self (Diri).
Self merupakan suatu konsep kepribadian yang paling pokok dalam teori
Rogers. Dalam kaitan ini, Rogers mengartikan self sebagai bagian yang
terdiferensiasi atau terpisah dari medan fenomena yang berupa serangkaian
persepsi dan nilai-nilai yang bersangkutan dengan “aku” dan “ku” (I dan me).
Dalam struktur kepribadian self, merupakan pusat berkembangnya
kepribadian. Self berkembang karena interaksi organisme dengan
lingkungannya, terutama dari introyeksi nilai-nilai orang lain. Kesadaran
tentang self akan membantu seseorang membedakan dirinya dari orang lain.
Dalam hal ini, untuk menemukan self yang sehat (the real self), maka individu
memerlukan penghargaan, kehangatan, perhatian, dan penerimaan tanpa
syarat. Akan tetapi, jika seseorang akan merasa berharga hanya bila bertingkah
laku sesuai dengan yang dikehendaki orang lain, maka yang akan terbentuk
adalah ideal self. Dalam pandangan ini, masalah muncul karena adanya
ketidaksesuaian antara ideal self dengan real self.
2. Pribadi Sehat dan Bermasalah
a. Pribadi Sehat
Rogers menyebut pribadi sehat dengan istilah “fully functioning
person” yaitu pribadi yang berfungsi secara sempurna atau penuh, untuk
menunjukkan bahwa pribadi sehat itu tidak statis melainkan berada dalam
proses yang terus menerus berkembang. Jadi pribadi yang berfungsi penuh itu
merupakan pribadi yang sedang dalam proses, yaitu pribadi yang terus
menerus bertumbuh dan berkembang.
Pribadi sehat yang diistilahkan “pribadi yang berfungsi secara penuh:
merupakan pribadi yang ideal. Pribadi ideal ini dapat dikenali dari
karakteristiknya, yaitu:
1) Keserasian (Congruence).
Keserasian antara diri dan pengalaman. Pengalaman diri dilambangkan
secara tepat dan dimasukkan ke dalam konsep diri dalam bentuk lambang
yang tepat, maka akan terjadi keserasian antara diri dan pengalaman. Jika
hal ini benar terjadi terhadap semua pengalaman diri, maka individu akan
menjadi pribadi yang berfungsi secara penuh.
2) Keterbukaan terhadap pengalaman.
Bila individu berada dalam keadaan bebas ancaman, maka ia akan terbuka
terhadap pengalamannya. Dalam pribadi hipotesis yang terbuka
sepenuhnya terhadap pengalamannya, konsep dirinya akan
disimbolisasikan dalam kesadaran yang akan serasi sepenuhnya dengan
pengalamannya.
3) Penyesuaian diri secara psikologis.
Penyesuaian diri secara psikologis yang optimal akan terjadi bilamana
konsep diri sedemikian rupa sehingga semua pengalaman dapat
diasimilasikan pada tingkat simbolik ke dalam keseluruhan struktur diri.
Jadi penyesuaian diri secara psikologis yang optimal itu sinonim dengan
keserasian diri dan pengalaman secara sempurna, atau keterbukaan
terhadap pengalaman secara sempurna.
4) Ekstensionalitas.
Seseorang yang mereaksi atau mempersepsi dengan pola atau corak
ekstensionalitas cenderung melihat pengalaman dalam istilah yang
didiferensiasi (dipilah-pilah), menyadari adanya perbedaan ruang dan
waktu, mendasarkan diri pada fakta bukan pada konsep-konsep, menilai
dengan berbagai cara, menyadari tingkat-tingkat abstraksi yang berbeda-
beda, menguji kesimpulan-kesimpulan dan abstraksi-abstraksi realita.
5) Matang, kematangan (mature, maturity).
Individu dikatakan menunjukkan tingkah laku yang matang bilamana ia
mempersepsi diri secara realistis dengan cara yang eksternal, tidak
defensif, menerima tanggung jawab sebagai seorang individu yang
berbeda dari orang-orang lain, bertanggung jawab atas tingkah lakunya
sendiri, mengevaluasi pengalaman berdasarkan bukti dari penginderaannya
sendiri, mengubah penilainnya terhadap pengalaman semata-mata
berdasarkan bukti baru, menerima orang-orang lain sebagai individu unik
yang berbeda dari dirinya sendiri, dan menghargai dirinya dan orang lain.
F. Kondisi Pengubahan
1. Tujuan
Konseling person centered bertujuan membantu konseli menemukan konsep
dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling, dimana konselor
mendudukkan konseli sebagai orang yang berharga , orang yang penting, dan
orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat
(unconditional positive regard), yaitu menerima konseli apa adanya. Tujuan utama
pendekatan person centered adalah pencapaian kemandirian dan integrasi diri.
Dalam pandangan Rogers (1997) tujuan konseling bukan semata-semata
menyelesaikan masalah tetapi membantu konseli dalam proses pertumbuhannya
sehingga konseli dapat mengatasi masalah yang dialaminya sekarang dengan lebih
baik dapat mengatasi masalahnya sendiri dimasa yang akan datang (Corey, 1986,
p. 103).
Tujuan dasar pendekatan person-centered dapat terlihat dari pendapat Rogers
(1961) tentang individu yang dapat mengaktualisasi diri. Individu yang dapat
mengaktualisasi diri dapat terlihat dari karakteristik yaitu:
a. Memiliki keterbukaan terhadap pengalaman (openness to experience).
Keterbukaan terhadap pengalaman meliputi kemampuan untuk melihat
realitas tanpa terganggu untuk menyesuaikan pada self-structure yangtelah
terbentu sebelumnya. Individu menjadi lebih terbuka, yang berarti bahwa ia
menjadi lebih menyadari realitas yang ada di luar dirinya. Hal ini berarti pula
bahwa individu keyakinan yang tidak kaku, dapat terbuka terhadap
pengetahuan baru, dapat berkembang dan toleran terhadap ambiguitas.
Kemudian, individu memiliki kesadaran tentang dirinya pada saat ini dan
kapasitas untuk mengalami diri dengan cara yang lebih baik (Corey, 1986, p.
1084).
b. Kepercayaan pada diri sendiri (self-trust)
Salah satu tujuan konseling adalah membantu konseli mengembangkan
rasa percaya pada diri sendiri. Pada awal proses konseling kepercayaan diri
konseli biasanya sangat rendah sehingga tidak dapat mengambil keputusan
secara mandiri. Dengan menjadi lebih terbuka, konseli mengembangkan
kepercayaan kepada diri secara perlahan-lahan (Corey, 1986, p. 104).
c. Sumber internal evaluasi (internal source of evaluation)
Internal source of evaluation berarti individu mencari pada diri sendiri
tentang jawaban atas masalah-masalah eksistensi diri. Individu dibantu untuk
memahami diri dan mengambil keputusn secara mandiri tentang hidupnya
(Corey, 1986, p.104).
d. Keinginan yang berkelanjutan untuk berkembang (willingness to continue
growing).
Pembentukan self dalam process of becoming merupakan inti dari
tujuan pendekatan person-centered. Self bukan dipandang sebagai produk dari
proses konseling. Walaupun tujuan dari konseling adalah self yang berhasil,
yang paling penting adalah proses berkelanjutan dimasa konseli mendapatkan
pengalaman baru dan mendapatkan kesadaran diri (Corey, 1986, p.104).
4. Situasi hubungan
a. Kontak psikologis.
Pada pernyataan teoritisnya yang lebih awal, Rogers menggunakan kata
relationship/hubungan untuk mengemukakan pengertian kontak psikologis
antara dua pribadi. Berada dalam suatu kontak psikologis berate bahwa
konselor dan konseli memandang pengalaman mereka bersama sebagai suatu
hubungan. Agar konseling berhasil maka konselor dan konseli harus berada
dalam kontak psikologis.
b. Konseli berada pada tahap yang inkongruen (ketidakserasian.
Ia mengalami ketidakserasian antara gambaran diri dan pengalaman akutual
yang akibatnya ia mengalami kecemasan.
c. Konselor adalah orang yang kongruen dalam hubungan, sebagai fasilitator
perubahan konseli.
Konselor mengalami keharmonisan atara gambaran diri dan pengalaman
aktualnya dan dia terbuka terhadap semua pengalaman, sehingga ada
keselarasan antara tindakan dan perkatan, dan perkataan dengan perasaan. Dia
bertindak sebagaimana adanya sebagai pribadi yang unik dalam hubungan
konseling
d. Konselor memberikan penghargaan positif tidak bersyarat pada konseli.
Konselor menerima dan menghargai konseli secara positif sebagai individu
tanpa persyaratan atau pengharapan atas penghargaan dan penerimannya.
e. Empati.
Konselor memahami dunia internal konseli seolah oleh dunia internal tersebut
milik konselor dan mengkomunikasikan pemahamannya itu kepada konseli
yang bersangkutan
f. Konseli menyadari atau mengalami keserasian, penerimaan dan empati yang
dikomunikasikan konselor, meskipun pada tingkat minimal.
G. Mekanisme Pengubahan
1. Tahap-tahap Konseling Berpusat Pribadi
Menurut Rogers (Fall, Holden, & Marquis, 2004: 181) Mengemukakan 12
tahap dalam proses konseling, yaitu sebagai berikut.
a. Konseli datang sendiri untuk meminta bantuan konseling.
b. Situasi yang membantu dibangun agar memberi kesempatan kepada konseli
untuk mengembangkan selfnya.
c. Konselor mendorong konseli untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya
secara proses.
d. Konselor menerima, mengakui, dan mengklarifikasikan perasaan-perasaan
negatifnya.
e. Apabila perasaan-perasaan negatifnya telah diekspresikan, kemudian diikuti
dengan ekspresi perasaannya yang positif, berarti dia telah mampu
mengembangkan self nya.
f. Konselor menerima dan mengakui perasaan positif konseli, sama caranya
dengan penerimaan dan pengakuannya terhadap perasaan-perasaan negative
konseli.
g. Pemahaman terhadap diri (self), merupakan dasar bagi konseli untuk mencapai
tingkat integrasi yang baru.
h. Pemahaman konseli terhadap dirinya memungkinkannya untuk dapat
mengambil keputusan dan tindakan.
i. Konseli dapat mengambil keputusan atau tindakan yang positif.
j. Konseli memiliki pemahaman diri yang lebih mendalam.
k. Berkembangnya kegiatan positif konseli, dan dia lebih percaya diri dalam
mengarahkan kegiaitan dirinya.
l. Apabila konseli merasa tidak perlu lagi terhadap bantuan konselor, berarti
proses konseling dapat diakhiri.
4. Situasi Hubungan
Pada intinya, konseling Person Centered Therapy adalah terapi hubungan.
Konsep hubungan antara konselor dan konseli dalam pendekatan ini ditegaskan
oleh pernyataan Rogers “Jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka
orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan
hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan
peribadipun akan terjadi. Agar perubahan kepribadian konstruktif dapat terjadi,
harus ada beberapa faktor dibawah ini dan harus terus ada selama beberapa waktu,
yaitu:
a. Konselor dan konseli berada dalam kontak psikologis
b. Konseli berada pada kondisi incongruence yaitu ketidakcocokan antara self
yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan
batin. Sedangkan congruence berarti situasi di mana pengalaman diri
diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral,
dan sejati.
c. Konselor memahami dunia internal konseli dan mengkomunikasikannya
kepada konseli.
a. Mula-mula konseli dari latar belakang yang berbeda, dengan masalah yang
berbeda-beda pula (heterogen), dikumpulkan dalam satu kelompok yang
nantinya akan terbawa dalam suasana konseling.
b. Konselor memberikan instruksi pada konseli untuk mengungkapkan apa yang
menjadi masalah, apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan pada saat itu.
c. Secara bergantian konseli mengunkapkan masalahnya masing-masing.
Tentunya disini tidak hanya konselor saja yang bisa mendengarkan,
memperhatikan, menyimak, tetapi antara konseli yang satu dengan konseli
yang lainpun dapat saling mendengarkan apa saja yang disampaikan daripada
konseli yang bersangkutan. Disitulah konselor memberikan kebebesan pada
konseli untuk mengungkapkan masalahnya tanpa suatu batasan.
d. Proses interaksi antara konseli satu dengan konseli lain tentunya dengan arahan
konselor. Melalui dinamika interaksi sosial yang terjadi diantara anggota
kelompok, masalah yang dialami oleh masing-masing individu anggota
kelompok dicoba untuk dientaskan. Hal tersebut memberikan kesempatan bagi
konseli untuk berani menanggapi, membantu, menyampaikan pendapat, saran,
dari masalah yang dihadapi konseli lain.
e. Setelah itu giliran konselorlah yang memegang peranan dan mengatur proses
konseling yaitu memberikan bantuan terhadap masalah-masalah yang
disampaikan konseli dengan memilih dan memilah masalah mana yang
mendapat penyelesaian sama dan masalah mana yang perlu mendapat
penanganan secara khusus yaitu melalui konseling perseorangan.
I. HASIL-HASIL PENELITIAN
K. Sumber Rujukan
Aulia, U. 2016. Teknik Pendekatan Client-Centered. Online,
(http://fayabelajarkonseling.blogspot.com/p/pendekatan-client-centred.html),
diakses pada 01 Maret 2019 pukul 19:43.
Corey, Gerald. 2012. Student Manual for Theory and Practice of Counseling and
Psychotherapy. Edisi 9. USA: Brooks/Cole,Cengage Learning.
Corey, G. 2012. Theory & Practice of Group Counseling. Edisi 8th. Canada: Nelson
Education.
Corey, Gerald. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy
(9th ed.).USA: Brooks/Cole Cengange Learning.
Fadillah, R. 2014. Client Centered Counseling. (online).
http://www.academia.edu/12235356/Client_centered_konseling. Diakses pada
tanggal 10 februari pukul 20.00.
Fauzan,Lutfi., Nur, H.,& M.Ramli.2008.Teknik-teknik Komunikasi Untuk Konselor.
Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Negeri Malang, UPT Bimbingan
dan Konseling.
Fantashi, B. 2014. Person Centered Therapy. Online,
(http://bimbingandankonseling07.blogspot.com/2012/11/peson-centered-
therapy.html), diakses pada 28 Februari 2019 pukul 21:08.
Hidayat, Dede Rahmat, 2011. Teori dan Aplikasi Psikologi Kepribadian Dalam
Konseling. Bogor:Ghalia Indonesia.
Komalasari, G. , Wahyuni, E. , Karsih.2014.Teori dan Teknik KONSELING.Jakarta
Barat.Indeks.
Ramli.M.,Nurhidayah.1991/1992.Pendekatan Konseling Berpusat Pada Pribadi.IKIP
Malang.
Ramli,M. 1992. Pendekatan Konseling Berpusat pada Pribadi. Malang: Jurusan PPB
FIP IKIP Malang.
Ramli, M. 2013. Konseling Kelompok. Malang: Universitas Negeri Malang.
Samuel T. Gadding. 2015. Konseling Profesi yang Menyeluruh. Kelebihan dan
Kelemahan Konseling PCT. Jakarta. PT Indeks Jakarta.
Sharf, Richard S. 2012. Theories of Psychotherapy and Counseling (5thed.). USA:
Brooks/Cole Cengange Learning.
Sofyan. 2011. Konseling Individual, Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.
Surya, Muhamad. 1988. Dasar-dasar Penyuluhan Konseling, Kelemahandan
Kelebihan PCT. Jakarta. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan.
Susanti, Ayu. 2016/2017. Efektivitas Konseling Individual Dengan Pengekatan
Client-Centered Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas VIII H
SMP NEGERI 3 BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2016 / 2017,(Online),
(http;//repository.radenintan.ac.id/305/1/skripsi_AYU_SUSANTI.pdf).
Yusuf, Syamsu. 2016. Konseling Individual Konsep Dasar dan Pendekatan. Bandung:
Refika Aditama.