PSIKOLOGI KONSELING
Di susun oleh :
Dosen Pengampun:
Dr.Hartini,M.Pd.Kons
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Dan juga
tidak lupa saya berterima kasih kepada dosen mata kuliah psikologi konseling. Penulis sangat
berharap tugas makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh
dari apa yang penulis harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
sarana yang membangun. Semoga tugas sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri
maupun bagi orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan dimasa depan.
Pemakalah
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................................................4
C.Tujuan..............................................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................................................5
A.Keterbatasan-keterbatasan Konselor............................................................................................5
B.Kesenjangan dan Tantangan dalam Hubungan Konselor –Klien...............................................7
C. Analisis Kasus Keterbatasan Dan Kesenjangan Dalam Hubungan Konselor Dan Klien........9
PENUTUP.............................................................................................................................................11
A.Kesimpulan...................................................................................................................................11
Daftar Fustaka......................................................................................................................................12
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
4
3.Bagaimana analisis kasus keterbatasan dan kesenjangan dalam hubungan konselor
dan klien?
C.Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana keterbatasan keterbatasan konselor
2. Untuk mengetahui bagaimana kesenjangan dan tantangan dalam hubungan
konselor klien
3. Untuk mengetahui analisis kasus keterbatasan dan kesenjangan dalam hubungan
konselor klien .
BAB II
PEMBAHASAN
A.Keterbatasan-keterbatasan Konselor
2. Usia dan pengalaman Usia dan pengalaman merupakan salah satu hal yang mungkin
saja bisa jadi masalah atau hambatan dalam proses konseling. Klien melihat bahwa usia
dan pengalaman konselor mempengaruhi klien untuk lebih mantap dalam mengambil
keputusan. Hal ini dikarenakan konselor yang memiliki usia dan pengalaman yang
mencukupi dilihat sebagai orang yang bijak. Klien D 52 mungkin merasakan perbedaan
usia yang terlalu besar dan memilih seseorang (konselor) yang kira-kira seusianya
5
dengannya. Bagi konselor pemula, mereka sering menghadapi masalah karena kurang
pengalaman. Dalam hal ini sebaiknya para konselor pemula tidak perlu merasakan
kekhawatiran yang berlebihan karena ia dapat meminta bantuan dari konselor senior
atau supervisornya dan melakukan diskusi dengan sejawat (Surya, 2003:68)
3. Kebudayaan, bahasa dan agama Dengan adanya keragaman ras, budaya, dan bahasa,
maka konselor juga menghadapi kendala dalam praktiknya. Kebudayaan, bahasa,
agama seringkali membuat ”gerakan” konselor terbatas. Hal ini menjadi masalah karena
konselor belum sepenuhnya memahami budaya, bahasa atau agama klien. Pada
kenyataannya setiap klien memiliki budaya, bahasa dan agama yang berbeda-beda, dan
perbedaan itulah yang harus konselor pahami
Selain itu menurut Glading (2009), konselor memiliki ”penyakit” yang dinamakan
dengan burnout. Burnout adalah suatu suasana kepadaman gairah kerja dan
bereprestasi, kadang-kadang diartikan juga sebagai stres kerja (Mappiare, 2006).
Menjalankan peran sebagai seorang konselor memang sangat rentan untuk terjadinya
burnout. Konselor terusmenenus berhadapan dengan emosional tinggi. Penderitaan
kliennya juga ikut ia rasakan. Ia harus tidak kaku, mampu menghayati dan memahami,
tetapi tidak terlibat sampai menjadi lekat. Penyeimbangan-penyeimbangan inilah yag
melelahkan konselor.
Menurut Cavanagh (1982) dalam Lesmana (2006) mengemukakan ada beberapa
masalah umum yang dapat menghambat dalam suatu hubungan konseling, yaitu: 1.
Kebosanan
6
sebaliknya ia menjadi kurang perhatian, kurang konsentrasi dan mungkin malah
memikirkan masalahnya sendiri.
2. Hostilitas Hostilitas dapat mengacu pada fenomena psikis yang memaksakan orang
lain bertindak atau berbuat menurut cara yang diharapkan membenarkan sistem
konstruk orang (Mappiare, 2006). Konselor sering merasa dirinya nice people karena
sudah membantu orang lain dan ia mengharap akan dihargai karena hal ini. Tetapi orang
(klien) dalam konseling punya hostilitas terpendam yang harus diurai dahulu sebelum
bisa melangkah maju. Jadi, mereka sering mengekspresikan hostilitasnya ini kepada
konselor. Konselor sebaiknya memaklumi bahwa hal ini sering terjadi. Justru konselor
yang harus mengurai apa yang melatarbelakangi suatu hostilitas terjadi.
Iri terhadap hubungan dekat klien dengan orang lain dan secara halus meremehkan
atau tidak mendorong hubungan ini Mencemaskan klien di antara sesi yang tidak
dirasakan terhadap klien lain. Bila telah terjadi kelekatan emosional antar konselor
dengan klien maka terdapat beberapa prinsip-prinsip hubungan konseling yang
terabaikan yaitu:
Konselor umumnya mempersepsi realitas secara lebih tepat daripada klien, tetapi bila
terjadi kelekatan emosional ini akan mempengaruhi persepsi konselor tentang klien.
Konselor seharusnya membantu klien untuk membuat keputusan yang
”menguntungkan” klien. Bila terjadi kelekatan emosional, maka mungkin konslor akan
”menahan” klien karena memenuhi kebutuhan emosionalnya.
7
Konselor mampu untuk stabil meskipun ada perubahan mood dalam diri klien.
Konselor yang emosinya lekat pada klien akan ikut dengan perubahan mood ini dan
merasakan kepedihan dan penderitaan yang luar biasa dari kliennya, sehingga
menghapuskan fungsi konselor sebagai pembawa pengaruh stabil dan pemikiran-
pemikiran yang objektif.
Dalam sejumlah situasi, konselor dapat saja mengalami kesulitan kesulitan karena
adanya kesenjangan antara bagaimana seharusnya ia menjadi konselor dengan apa yang
senyatanya ia alami. Menurut Yeo (2003, 104:107) Beberapa kesenjangan berkaitan
relasi dengan klien yang dialami konselor, yaitu:
1. Membuka diri Sebagian klien mengharapkan para konselor mau menceritakan
informasiinformasi pribadi tentang diri konselor sendiri dan berusaha mendapatkan
kesejajaran dalam relasi. Tentu saja tidak ada salahnya konselor menceritakan
sejumlah informasi tentang dirinya kepada klien, misalnya apa kualifikasi gelar
konselor, riwayat pendidikan, keluarga, dsb. Namun
meskipun demikian, tidak wajar dan juga tidak perlu bahwa konselor terlalu
membuka kehidupan pribadinya, masalah-masalahnya, pengalaman masa lampau
atau keluarganya. Dengan arti ini, konseling tidak lagi menjadi relasi sejajar. Hal ini
dikarenakan relasi konseling bukan masalah ”bukabukaan” antara konselor-klien,
tetapi lebih dimaksdukan untuk menolong klien menghadapi masalah-masalahnya
8
situasi tatap muka dengan satu orang. Tidak dapat dihindari bahwa para konselor
mengalami daya tarik seksual kliennya. Hal penting adalah konselor dapat membuat
batasan-batasan yang jelas pada awal sesi konseling (misalnya dengan
menggunakan teknik strukturing). Selain itu konselor dapat mengusahakan
tindakan-tindakan pencegahan dengan tidak menutup-nutupi kenyataan ini dari
rekan-rekan sejawat atau konselor yang lebih senior. Konselor perlu mengambil
sikap tegas dan tidak kompromi dengan situasisituasi semacam ini.
Setiap profeional dalam bidang menolong orang lain (helping profesion) akan
berhadapan dengan siatuasi-situasi dimana klien ”menantang” kehandalan,
pengalaman dan kepakaran konselor. Kadang-kadang perilaku klien ini dianggap
sebagai sikap
menutup diri terhadap konseling atu pada umumya klien melakukan resistensi.
Perilaku seperti ini sebenarnya wajar, setidaknya klien menginginkan jaminan dan
mendapatkan sosok konselor yang berkompeten dalam rangka membantu
pemecahan masalahnya. Yeo (2003, 110:113) mengemukakan beberapa sikap yang
bisa konselor lakukan berkaitan dengan sikap atau perilaku ”menantang” klien.
1. Konselor tidak bersikap defensif Konselor mencoba untuk memahami bahwa klien
sedang cemas dan tidak pasti. Kemungkinan sikap ”menantang” klien akan muncul.
Terkadang klien mengatakan sesuatu yang mungkin konselor merasakan bahwa itu
merendahkan diri konselor. Misalnya dengan mengatakan ” bagaimana saya tahu
apakah Anda (konselor) mampu menolong saya ?”.
3. Siap menghadapi berbagai pertanyaan dari klien Apapun pertanyaan dari klien,
konselor mencoba untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut. Konselor
tidak boleh menghindar atau menyensornya. Apabila konselor tidak bersedia menjawab
pertanyaanpertanyaan yang sangat intim, konslor bisa menjawab secara ringkas dan
mengarahkan klien untuk terpusat pada dirinya sendiri.
9
4. Memberi kesempatan klien untuk mencoba Jika klien ragu-ragu terhadap konseling,
baik apabila memberikan kesempatan untuk mencoba. Konselor dapat mengatakan pada
klien bahwa wajar apabila mereka ragu-ragu dan mungkin menganggap hasil konseling
tidak sesuai dengan keinginan mereka. Namun tidak ada salahnya bila konselor
memahamkan klien untuk mencoba hasil dari konseling. Hal ini penting karena
mengingat konseling merupakan suatu proses yang membutuhkan tahap tertentu dalam
penyelesaian suatu masalah, dan tentunya dalam proses konseling telah dibicarakan
kelemahan kelebihan dari masing-masing alternatif pemecahan masalah.
C. Analisis Kasus Keterbatasan Dan Kesenjangan Dalam Hubungan Konselor Dan Klien
Dalam praktik konseling, hubungan antara konselor dan klien sangat penting dan harus
dibangun dengan baik. Hubungan ini sangat mempengaruhi kemampuan konselor untuk
membantu klien mencapai tujuan dalam konseling.
Kasus:
Seorang konselor sedang memberikan konseling pada seorang klien yang mengalami
depresi. Konseling telah berlangsung selama beberapa bulan, namun klien terlihat kesulitan
untuk membuka diri dan berbicara lebih lanjut tentang perasaannya. Klien merasa terhambat
oleh keyakinannya bahwa masalahnya tidak sebesar yang dipikirkan orang lain.
Analisis:
Dalam kasus ini, terdapat keterbatasan dalam hubungan konselor dan klien. Klien mengalami
kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya secara lebih detail dan konselor mungkin sulit
memahami kondisi klien sepenuhnya. Mungkin ada kesenjangan karena klien merasa tidak
nyaman atau ragu untuk berbicara lebih banyak tentang masalahnya.
Seseorang yang mengalami depresi seringkali merasa tidak berharga dan meremehkan masalah
mereka. Hal ini mungkin menghambat mereka untuk membuka diri dan berbicara tentang
perasaan mereka. Konselor harus mempertimbangkan tingkat kepribadian dan keyakinan klien
saat menyusun strategi untuk membantu klien mengatasi masalahnya.
10
Konselor dapat mempertimbangkan teknik terapeutik berbasis perilaku yang dapat membantu
klien untuk merasa lebih nyaman untuk berbicara tentang masalahnya. Dalam kasus ini,
konselor dapat menggunakan peningkatan frekuensi pengulangan atau mencoba menanyakan
pertanyaan yang lebih spesifik dan mendalam untuk membawa klien menjadi lebih nyaman dan
dapat mengungkapkan lebih banyak tentang perasaannya.
Konselor juga harus terus membangun hubungan konselor dan klien yang saling percaya.
Konselor harus bersabar dan tetap mendukung klien, menunjukkan bahwa mereka berharga dan
masalah mereka nyata. Konselor harus mengidentifikasi saat-saat di mana klien merasa enggan
dan membantu mereka merasa lebih nyaman saat berbicara tentang perasaan mereka.
Dalam praktik konseling, hubungan konselor dan klien sangat penting dan harus dibangun
dengan baik. Terkadang keterbatasan dan kesenjangan muncul dalam hubungan konseling,
yang dapat memengaruhi hasil dari konseling itu sendiri. Untuk meminimalkan keterbatasan
dan kesenjangan ini, konselor harus mempertimbangkan kepercayaan dan tingkat kepribadian
klien, serta menggunakan teknik terapeutik untuk membantu klien merasa nyaman dalam
membuka diri dan berbicara tentang perasaannya. Konselor juga harus terus membangun
hubungan konseling yang saling percaya dan mendukung klien di setiap tahap proses
konseling.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
11
konselor dapat terlihat ? atau dengan kata lain ”Apa yang menjadi ukuran kefektifan
konselor?”. Menurut Shertzer dan Stone (1974) dalam Mappiare (2002), menyebutkan tiga
faktor untuk melihat kefektifan konselor yaitu pengalaman, tipe hubungan konselor, dan faktor-
faktor nonintelektif. Dengan demikian perlu kita gali lebih jauh beberapa hal mengenai diri
konselor itu sendiri, hal ini dikarenakan konselor memiliki peran dan fungsi penting dalam
terciptanya proses konseling yang efektif. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam bab ini akan
dibahas karakteristik atau kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh konselor, sikap dasar dan
keterampilan dasar konselor. Khusus untuk keterampilan dasar konselor, penulis hanya
menjelaskan secara garis besar karena sub bab tersebut akan lebih detail dijelaskan pada bab
berikutnya. Selain itu menurut Glading (2009), konselor memiliki ”penyakit” yang dinamakan
dengan burnout. Burnout adalah suatu suasana kepadaman gairah kerja dan bereprestasi,
kadang-kadang diartikan juga sebagai stres kerja (Mappiare, 2006). Menjalankan peran sebagai
seorang konselor memang sangat rentan untuk terjadinya burnout. Konselor terusmenenus
berhadapan dengan emosional tinggi. Penderitaan kliennya juga ikut ia rasakan. Ia harus tidak
kaku, mampu menghayati dan memahami, tetapi tidak terlibat sampai menjadi lekat.
Daftar Fustaka
Mappiare, Andi. 2006. Kamus Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada.
12