Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata
kuliah “Konseling Individual”
Dosen Pengampu:
Siska Mardes, S.Pd., M.Pd., Kons.
Disusun Oleh:
Kelompok 5
Nabila 2205112232
Nur Najhiha Izzaty 2205112664
Yona Triwulandari 2205111322
Puji dan syukur telah terucap kepada Allah SWT. Karena atas limpahan
berkat dan rahmat-Nya lah pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah
kelompok yang berjudul “Kualitas dan Pendidikan Konselor”. Penulisan makalah
ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah “Konseling
Individual” di Program Studi Bimbingan Konseling FKIP Universitas Riau.
Kelompok 5
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Konselor sebagai sebuah profesi harus memiliki kualitas yaitu kriteria yang
termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan nilai nilai yang
baik. Sehingga akan memudahkan dalam menjalankan proses layangan dalam
bimbingan dan konseling untuk dapat mencapai tujuan yang efektif dan efisien
serta dapat melaksanakan tugas dengan maksimal dan optimal.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Semua indevidu yang diberi bantuan profesional oleh seorang konselor atas
permintaan dia sendiri atau atas permintaan orang lain dinamakan klien. Karena la
membutuhkan bantuan, tetapi ada juga yang datangnya bukan kemauan dari
dirinya. Dia sadar bahwa dalam dirinya ada suatu kekurangan atau masalah yang
memerlukan bantuan seorang ahli yang dapat membantu dirinya dalam mengatasi
permasalahannya. Shertzer and Stone (1987) mengemukakan bahwa keberhasilan
dan kegagalan proses Konseling ditentukan oleh 3 hal yaitu :
1. Kepribadian Klien
Kepribadian klien cukup menentukan keberhasilan peoses konseling.
Aspek-aspek kepribadian klien adalah sikap, emosi, intelektual, motivasi dan
sebagainya. Seorang klien yang cemas akan Nampak prilakunya pada saat
berhadapan dengan konselor, seorang konselor yang efektif akan mengungkap
perasaan-perasaan cemas klien semaksimal mungkin dengan cara menggali atau
eksplorasi sehingga keluar dengan leluasa bahkan mungkin diiringi dengan air mata
klien.
2. Harapan Klien
Mengandung makna adanya kebutuhan yang ingin terpenuhi melalui proses
konseling. Pada umumnya harapan klien terhadap proses konseling adalah untuk
memperoleh informasi, menurunkan kecemasan, memperoleh jawaban atau jalan
5
keluar dari persoalan yang dialami dan mencari upaya bagaimana dirinya supaya
lebih baik dan lebih berkembang.
Sering terjadi bahwa klien menaruh harapan terlalu tinggi terhadap proses
konseling, sedangkan kenyataannya konseling tidak dapat memenuhi harapan
tersebut titik terjadinya diskrepansi antara harapan dan kenyataan, mungkin dapat
membuat klien kecewa sehingga bisa membuat dia putus hubungan konseling
selanjutnya (drop out -DO) di mana klien tidak datang lagi pada proses konseling
berikutnya. Seorang control sebaiknya mengetahui dengan pasti apa yang menjadi
latar belakang harapan seorang klien. Mungkin belum tentu harapan tersebut
muncul dari dirinya sendiri titik sebab lain itu muncul dari lingkungan sosial budaya
dan sosial psikologis tertentu. Harapan untuk melanjutkan studi ke fakultas
kedokteran, mungkin berasal dari obsesi orang tua yang menginginkan anaknya
menjadi dokter. Sebab ia sendiri dulu pernah bercita-cita menjadi dokter namun
tidak kesampaian.
6
antara harapan konselor dan harapan dirinya bertentangan, konflik harapan juga
bisa terjadi antara klien dengan orang tuanya, klien dengan atasan, dan sebagainya.
7
Faktor sekolah dapat pula menunjang perkembangan atau kemampuan anak
untuk berkomunikasi titik biasanya guru yang baik akan menciptakan kelasnya
begitu kondusif untuk kebebasan berpendapat dan berpikir kreatif.
Setelah kita memahami klien dengan latar belakangnya, Maka selanjutnya kita
akan memahami pula aneka ragam atau jenis klien. Jika seorang klien datang
kepada konselor tentu ada maksud yang terkandung di dalam hatinya. Namun
banyak pula kelainan datang tanpa maksud yang jelas atau mungkin pula
kehadirannya karena terpaksa oleh ajakan atau suruhan orang lain.
Berikut ini kami uraikan berbagai jenis atau ragam klien yang akan dihadapi
konselor sebagai berikut:
1. Klien Sukarela
Klien sukarela artinya klien yang hadir di ruangan konseling atas kesadaran
sendiri, berhubung ada maksud dan tujuannya. Mungkin ia ingin memperoleh
informasi, menginginkan penjelasan tentang persoalan yang dihadapinya, tentang
karir dan lanjutan studi, dan sebagainya.
Secara umum dapat kita kenali ciri-ciri kelahiran sukarela sebagai berikut:
a) Hadir atas kehendak sendiri.
b) Segera dapat menyesuaikan diri dengan konselor.
c) Mudah terbuka, seperti segera mengatakan persoalannya.
d) Bersungguh-sungguh mengikuti proses konseling.
e) Berusaha mengemukakan sesuatu dengan jelas.
f) Sikap bersahabat, mengharapkan bantuan.
g) Bersedia mengungkapkan rahasia walaupun menyakitkan.
Bagi para konselor terutama konser pemula, amat diinginkan mendapat
klien sukarela. Namun walaupun klien sudah datang dengan sukarela jika
konselor kurang terampil, kurang bersahabat, maka klien tersebut akan kecewa
8
dan mungkin drop out (DO). Karena itu konselor perlu mempelajari kliennya
dengan memperhatikan sikap, emosi, dan bahasa nonverbal.
Konselor pemula sering merasa bahwa banyak bicara adalah yang
terbaik. Padahal jika hal itu terjadi pada klien yang memerlukan pemikiran
rasional dan pragmatis, kontrol pemula seperti itu amat membosankan klien,
yang akan berakibat DO.
2. Klien Terpaksa
Klien terpaksa adalah klien yang kehadirannya di ruang konseling bukan
atas keinginannya sendiri. Dia datang atas dorongan orang tua, wali kelas, teman,
dan sebagainya. Mungkin ke lain tadi diantar atau disuruh menghadap konselor
karena dianggap perilakunya kurang sesuai dengan aturan lingkungan keluarga atau
sekolah.
Klien terpaksa memiliki karakteristik yang perlu diketahui: (1) bersifat
tertutup, (2) enggan berbicara, (3) curiga terhadap konselor, (4) kurang bersahabat,
dan (5) menolak secara halus bantuan konselor.
Untuk menghadapi klien terpaksa, konselor tidak boleh memaksa untuk
memberi bantuan titik Hal ini akan lebih menjauhkan klien dari proses konseling.
Salah satu strategi adalah menjelaskan secara bijak apa yang dimaksud konseling
sebab kebanyakan klien enggan atau tidak mau mendatangi konseling karena nama
baik bimbingan dan konseling telah tercemar akibat ulah “konselor” di lapangan
yang tidak profesional.
Mereka memandang bahwa konseling adalah: (1) proses nasehat supaya
klien menjadi baik, (2) konseling hanya bagi kasus-kasus orang yang mengalami
masalah atau kesulitan penyesuaian diri semisal orang gila. Misalnya jika nyata
seorang siswa nakal, mencuri, memukul teman, maka anak itu harus diberi
bimbingan titik namun jika ada anak yang berprestasi dalam seni, belajar, olahraga,
dan sebagainya, mereka itu tidak perlu dibimbing. Demikian juga anak-anak yang
baik kelakuannya, dianggap tidak perlu dibimbing. Padahal bimbingan dan
konseling harus diberikan kepada semua orang untuk perkembangan potensinya.
Jadi bukan hanya bagi yang bermasalah.
9
3. Klien Enggan (Reluctant Client)
Salah satu bentuk kelainan enggan adalah yang banyak bicara titik pada
prinsipnya klien seperti ini enggan untuk dibantu. Ia hanya senang untuk
berbincang-bincang dengan konselor, tanpa ingin menyelesaikan masalahnya.
Di samping itu ada lagi yang diam saja kelainan ini diam karena tidak suka
diberi bantuan oleh konselor. Akan tetapi dihadirkan oleh orang tua atau wali kelas
ke ruang konseling. Ketidaksukaan klien ini disebabkan dia malu datang kepada
konselor. Sebab menurut klien ini tidak pantas dia diperlakukan oleh konselor
karena dia tidak termasuk orang yang nakal atau gila.
Upaya yang bisa dilakukan menghadapi klien seperti ini adalah: (1)
menyadarkan akan kekeliruannya; (2) memberi kesempatan agar dia dibimbing
oleh orang lain saja, atau mencari lawan bicara yang lain.
4. Klien Bermusuhan/menentang
Klien terpaksa yang bermasalah cukup serius, bisa menjelma menjadi klien
bermusuhan. Sifat-sifatnya adalah: (1) tertutup; (2) menentang; (3) bermusuhan
dan; (4) menolak secara terbuka.
Sifat tertutup lazim terjadi pada klien enggan dan menentang. Karena itu
kita sebagai konselor yang efektif harus menggunakan strategi yang ramah
menyapa, dan memperlakukan sebaik mungkin tapi tegas, dan yang penting adalah
negosiasi dengan dia. Intinegosiasi adalah mengizinkan dia keluar atau tidak
mengikuti konseling namun memberikan waktu kira-kira 10-15 menit untuk
menjelaskan apa yang dimaksud konseling.
Masalah yang besar adalah kemampuan konselor menghadapi klien
bermusuhan itu. Sebab adakalanya sebagai manusia sering sekali konselor terutama
pemula, kurang stabil emosionalnya, cepat bergejolak dan mungkin akan hilang
kesabaran menghadapi klien yang menentang.
Cara yang efektif menghadapi klien tersebut adalah:
a) Ramah, bersahabat, dan empati.
b) Toleransi terhadap perilaku klien yang nampak.
10
c) Tingkatkan kesabaran, menanti saat yang tepat untuk berbicara sesuai
bahasa tubuh klien.
d) Memahami keinginan klien yaitu tidak sudi dibimbing.
e) Mengajak suatu negosiasi atau kontrak waktu dan penjelasan tentang
konseling
5. Klien Krisis
Yang dimaksud klien krisis adalah jika seseorang menghadapi musibah
seperti kematian (orang tua,pacar/istri,anak yang dicintai), kebakaran rumah,
diperkosa, dan sebagainya yang dihadapkan pada konselor untuk diberi bantuan
agar dia menjadi stabil dan mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang baru
(musibah tersebut).
Beberapa gejala perilaku klien krisis adalah: (1) tertutup, atau menutup diri
dari dunia luar; (2) amat emosional, tak berdaya, ada yang histeri; (3) kurang
mampu berpikir rasional; (4) tidak mampu mengurus diri dan keluarga; (5)
membutuhkan orang yang amat dipercayai.
Lindeman (1944) mengatakan karakteristik individu yang mengalami duka
cita yang mendalam sebagai berikut:
1) Keadaan fisik yang menderita, sesak, tak bisa tidur, kehilangan nafsu
makan, pencernaan terganggu, lemah sesak nafas.
2) Perasaan hampa, tegang, kelelahan (exhausion), hilang rasa kehangatan, dan
menjauh dari orang banyak.
3) Kadang-kadang keasyikan dengan khayal kematian.
4) Kadang-kadang timbul perasaan bersalah terhadap kejadian atau kegagalan
yang dialami, atau menyalahkan diri secara berlebihan.
5) Berubah pola-pola kegiatan, gelisah, tanpa arah, mencari aktivitas tapi tanpa
motivasi untuk meneruskannya.
Tujuan utama membantu klien yang mengalami kesedihan mendalam (grief)
adalah:
1) Agar klien dapat menerima kesedihannya secara wajar.
11
2) Agar klien dapat mengekspresikan (mengungkapkan dengan bebas) segala
rasa kesedihannya.
3) Menghilangkan ingatan terhadap almarhum.
4) Membentuk lagi lingkungan yang baru yang dapat melupakannya terhadap
almarhum.
5) Membentuk relasi (kawan/sahabat) yang baru.
Adapun menurut Brammer (1979) ada 3 langkah penting untuk membantu
pelayanan krisis, yaitu: (1) tentukan terlebih dahulu kondisi krisis itu, seberapa para
keadaan itu titik konselor harus menentukan tipe bantuan yang amat dibutuhkan
klien saat itu, berdasarkan penilaian awal tentang kondisi krisis klien; (2) tentukan
sumber-sumber apa yang bisa membantu klien secepatnya, misalnya saudara,
teman, kelompok. Dan bantuan apa yang dapat mereka berikan pada klien; (3)
bantuan dalam bentuk pertolongan langsung titik yaitu konselor memberikan
peluang agar klien bisa menyalurkan perasaannya seperti perasaan takut, rasa
bersalah, rasa marah. Konselor bisa memberikan bantuan psikologis dengan
penyaluran dan penyadaran akan emosionalnya. Kemudian membawa klien ke alam
nyata kepada kondisi dan relasi yang baru.
Menurut Jackman teknik negosiasi adalah sebuah proses yang terjadi antara
dua pihak atau lebih yang pada mulanya memiliki pemikiran berbeda, hingga
akhirnya mencapai kesepakatan. Oliver menambahkan bahwa teknik negosiasi
adalah sebuah transaksi dimana kedua belah pihak mempunyai hak atas hasil akhir.
Untuk itu diperlukan persetujuan dari kedua belah pihak sehingga terjadi proses
yang saling memberi dan menerima sesuatu untuk mencapai suatu kesepakatan
bersama.
12
masalahnya. Salah satu bentuk hambatan psikologisnya adalah klien yang terhindar
dari sikap terpaksa untuk melakukan kegiatan konseling. Untuk menghadapi klien
terpaksa perlu diadakan teknik negosiasi sebelum konseling yang sebenarnya.
Beberapa faktor yang menyebabkan klien itu terpaksa adalah sebagai akibat sistem
organisasi seperti sekolah yang amat disiplin dan tidak demokratis.
13
c. Berbekal isu-isu tentang diri klien yang telah ditangkap maka konselor
bekerja dengan isu tersebut, artinya melakukan proses konseling yang
sebenarnya yaitu membantu agar klien menurunkan stress, mampu
memahami diri dan masalahnya, mampu menyusun rencana atau ide-ide
yang baik agar klien tersebut dapat mengatasinya masalahnya.
d. Klien menarik beberapa kesimpulan dengan bantuan konselor, kemudian
agar klien memberikan evaluasi mengenai jalannya serta sikap dan
kemampuan konselor dalam upaya memberikan bantuan.
3. Praktek Negosiasi
Untuk mempraktekkan upaya negosiasi dengan calon klien khususnya para
siswa/i, dapat ditempuh dengan kegiatan-kegiatan berikut: pertama; “tandai” calon
klien berdasarkan informasi yang ada titik kalau bisa dikaji data yang berkaitan
dengan potensinya seperti keahlian, keterampilan, bakat khusus, hobi, dan
sebagainya. Guna data seperti ini adalah untuk memudahkan pembicaraan tahap
awal sehingga membuat klien gembira dan senang untuk berbicara mengenai
dirinya.
Kedua; amati calon klien saat dia santai di luar pelajaran titik misalnya dia
sedang “ngobrol” dengan seorang teman atau sekelompok teman. Jika momen
sudah dianggap tepat, mulailah mendekat dengan ramah dan baik serta lakukanlah
dialog seperti ini:
14
1. Calon Konselor (CK): “maaf, boleh saya mengganggu sebentar?”
2. Para Siswa (PS): “O, silahkan.”
3. CK: “saya perkenalkan diri saya sebagai mahasiswa sedang praktek
bimbingan dan konseling di sekolah ini.”
4. PS: “oh, jadi apa yang bapak inginkan dari kami?”
5. CK: “maaf, panggil saja saya kakak, dan jangan sungkan-sungkan
terhadap saya. Sebenarnya saya ingin berbincang-bincang dengan sdr. D
di tempat terpisah. Bagaimana D, apakah anda bersedia?”
6. D: “Ada apa ya?” (agak ragu dan curiga)
7. CK: “tidak, hanya sekedar "ngobrol" ringan. Bolehkan?”
8. D: “baiklah, kalau begitu permisi teman-teman.”
9. CK: “Saya permisi juga.”
Jika negosiasi berhasil di awal seperti contoh dialog di atas, maka negosiasi
selanjutnya adalah dengan D, kapan dia bersedia untuk berbincang-bincang lebih
jauh dengan dirinya, dalam arti proses konseling. Pada nego kedua ini mungkin bisa
dibuat appointment (perjanjian) hari, waktu, dan tempat sesuai dengan kesediaan
dan kebutuhan siswa tersebut.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Klien Sukarela
b. Klien Terpaksa
c. Klien Enggan (Reluctant Client)
d. Klien Bermusuhan/menentang
e. Klien Krisis
16
krusial dalam memandu proses konseling menuju pencapaian tujuan yang
diinginkan oleh klien.
3.2 Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
18