Anda di halaman 1dari 18

Menerapkan Keterampilan dan Kualitas sebagai

Konselor

Disusun Oleh :

Siti Rahma Harahap (211804033)

Lijma Uliana Ritonga (211804044)

Elpis Brahmana (211804037)

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MEDAN AREA

MEDAN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Menerapkan Keterampilan dan
Kualitas sebagai Konselor” ini dengan baik.

Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak,

kami telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan sesuai dengan harapan, walaupun

di dalam pembuatannya kami menghadapi kesulitan, karena keterbatasan ilmu pengetahun dan

keterampilan yang kami miliki.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu

Dr. Suaidah Lubis, S.Psi,MA,Psikolog selaku dosen Bimbingan dan Konseling dalam

Pendidikan dan juga kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan dan dorongan

kepada kami. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat

menyempurnakan dimasa yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat

bermanfaat bagi  teman-teman dan pihak yang berkepentingan.

Medan, 23 Mei 2022

Kelompok I

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………………………. i


Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………………….. ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ………………………………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………………………… 1
C. Tujuan Makalah ………………………………………………………………………………………. 1
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Konselor ……………………………………………………………………………….. 2
B. Kompetensi Konselor ……………………………………………………………………………… 2
C. Sikap dan Keterampilan Konselor …………………………………………………………… 7
Bab III Penutup
A. Kesimpulan …………………………………………………………………………………………….. 14
B. Saran ………………………………………………………………………………………………………. 14
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………………………….. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi seorang konselor menguasai teknik konseling adalah mutlak. Sebab dalam proses
kornseling, teknik yang baik adalah kunci keberhasilan menuju tercapainya tujuan konseling.
Seorang Konselor yang efektif harus mampu merespon klien dengan keterampilan yang benar,
sesuai keadaan klien saat itu. Respon yang benar adalah respon yang mampu mendorong,
merangsang, dan menyentuh klien sehingga klien dapat terbuka untuk menyatakan dengan bebas
perasaan, pikiran dan pengalamannya. Selanjutnya klien harus terlibat dalam diskusi mengenai
dirinya.
Respon konselor terhadap klien mencakup dua sasaran yaitu perilaku verbal dan perilaku
nonverbal. Seorang konselor bukanlah robot melainkan seseorang yang sarat akan latar belakang
sosial-budaya-agama, persoalan-persoalan hidup, keinginan dan cita-cita, dan sebagainya.
Apabila seorang konselor sedang dalam kondisi tidak nyaman, maka besar kemungkinan kondisi
tersebut akan terbawa tanpa sengaja kedalam hubungan konseling. Untuk mengatasi hal tersebut
konselor harus berusaha mengusir segala masalah diri semaksimal mungkin, dan paling harus
ada kepekaan terhadap diri. Kemudian Konselor harus peka terhadap bahasa tubuh klien.
Teknik umum merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan
konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Untuk itu,
penulis berinisiatif untuk menulis beberapa keterampilan atau teknik konseling yang harus
dimiliki oleh seorang konselor.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu keterampilan dan kualitas apa saja yang
harus dimiliki oleh seorang konselor?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk memahami beberapa keterampilan yang harus dimiliki seorang konselor dalam
menangani masalah pada klien.
2. Untuk mengetahui keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang konselor.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konselor
Konselor menurut Hartono dan Boy Soedarmadji memberikan pengertian yakni konselor
merupakan tenaga profesional yang memberikan pelayanan dalam bidang konseling. Sementara,
menurut Jones konselor diartikan sebagai kegiatan yang mengumpulkan fakta dan pengalaman
para siswa. Konselor akan memfokuskan terhadap masalah tertentu yang dialami bersangkutan.
Akhirnya konselor akan memberi masukan untuk memecahkan masalah tersebut.
Konselor adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam konseling. Konselor bergerak
terutama dalam konseling di bidang pendidikan, tapi juga merambah pada bidang industri dan
organisasi, penanganan korban bencana, dan konseling secara umum di masyarakat. Khusus bagi
konselor pendidikan yang bertugas dan bertanggung jawab memberikan layanan bimbingan
konseling kepada peserta didik (disatuan pendidikan sering disebut Guru BP/BK atau Guru
Pembimbing.
B. Kompetensi Konselor
1. Keterampilan Interpersonal
Mampu membentuk hubungan produktif dengan klien, menyusun laporan atau kontak,
merupakan hal ditekankan oleh semua pendekatan konseling. Analisis awal terhadap area
kompetensi dalam rangka keterampilan ini, yang mendorong pendidik konseling seperti Ivey
untuk merekomendasikan konselor agar mempraktikkan keterampilan mendengar dan merenung.
Dari perspektif analisis kompetensi yang lebih luas, model “aliansi terapeutik” (Bordin 1979)
menekankan tiga elemen inti pembentukan hubungan kerja yang baik dengan klien: penciptaan
ikatan emosional antara klien dan konselor, pencapaian kesepakatan berkenaan dengan tujuan
konseling dan pemahaman bersama terhadap tugas untuk mencapai tujuan ini. Model aliansi
terapeutik menyajikan kerangka umum untuk memahami kompetensi interpersonal yang dituntut
dalam konseling yang efektif. Hobson (1985) menyatakan bahwa ikatan antara konselor dan
klien tumbuh dari penciptaan “bahasa perasaan” bersama, yaitu cara berbicara bersama yang
mengizinkan ekspresi perasaan klien. Hubungan antarmanusia sangat dipengaruhi oleh faktor
umum, seperti kelas sosial, usia, etnisitas, dan gender. Salah satu hubungan kompetensi penting

2
bagi konselor adalah keharusannya untuk sadar akan nilai karakteristik demografis ini, dan
mampu meningkatkan gaya atau pendekatannya secara tepat.
2.Keyakinan dan Sikap Personal
Usaha yang paling koheren untuk mengidentifikasi keyakinan dan sikap yang terkait dengan
efektivitas dalam konseling dilakukan oleh Combs (1986). Combs dan Soper (1963) dan Combs
(1986) menemukan bahwa penolong yang lebih efektif dalam profesi ini cenderung untuk
melihat dunia dari perspektif person-centred. Penelitian yang dilakukan oleh Combs (1986)
memiliki akar yang kuat pada aliran person-centred dan client-centred, dan salah satu batasan
dari kerjanya adanya pembatasan pada dirinya sendiri untuk hanya menguji nilai penting sikap
“person-centred”. Kompetensi di bidang keyakinan dan sikap pribadi tidak hanya memiliki cara-
cara tertentu untuk melihat dunia, tetapi juga memiliki kesadaran diri yang akurat tentang
mereka. Klien mungkin memiliki rangkaian keyakinan dan sikap yang agak berbeda, dan
terkadang menolak legitimasi bahwa apa yang mereka terima merupakan cara konselor
memandang seauatu. Untuk dapat menangani situasi ini, konselor dituntut untuk mampu
melepaskan diri dari posisi filosofisnya sendiri sebagai cara agar para klien mengetahui bahwa ia
dapat menerima perspektif yang berbeda.
3. Kemampuan Konseptual
Masalah besar berkenaan dengan apa yang terjadi dalam konseling adalah tentang
pemahaman. klien mendatangi konselor karena mereka putus asa dengan kemampuan mereka
untuk memahami apa yang terjadi atau untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Mereka
akan kecewa ketika konselor menyatakan bahwa akan lebih baik bagi klien untuk mendapatkan
pemahaman dan keputusan tersebut seorang diri. Namun demikian, konselor harus mampu
menghadapi klien dalam daerah yang sulit ini, dank arena itu harus kompeten dalam memikirkan
apa yang terjadi. Dalam ulasan literatur, Beutler, et al. (1986) menemukan tidak ada hubungan
antara kompetensi akademik konselor, yang diukur dengan kinerja mereka pada gelar sarjana,
dan keberhasilan mereka pada kursus pelatihan. Hal ini bukan merupakan hasil yang
mengejutkan, karena dengan menyelesaikan program strata satu, konselor telah
mendemonstrasikan kompetensi intelektual yang cukup untuk menjadi seorang konselor. Akan
tetapi, hal tersebut mengkonfirmasi pandangan yang diterima umum bahwa prestasi akademik
tidak berkaitan dengan efektivitas konseling yang tinggi. Martin, et al. (1989) menemukan
bahwa konselor yang lebih berpengalaman akan memandang klien berdasarkan sistem konstruksi

3
yang kompleks secara kognitif. Dengan tidak adanya studi penelitian terhadap kemampuan
konselor yang efektif, maka akan sangat berguna dan informatif untuk melihat hasil penelitian
terhadap manajer yang sukses, sebuah bidang yang kerap menjadi bahan riset. Klemp dan
McClelland (1986) melaksanakan penelitian tentang kompetensi yang ditunjukkan oleh manajer
yang efektif dalam sejumlah organisasi yang berbeda, dan menemukan kompetensi “inti” yang
cenderung teridentifikasi dalam semua manajer yang sukses. Salah satu hasil utama dari studi ini
adalah adanya bukti yang jelas bahwa manajer yang lebih efektif memiliki kapasitas yang lebih
baik untuk mengkonseptualisasikan masalah.
4.Kompetensi Personal
Berbeda dengan riset terhadap kompetensi kognitif atau konseptual, terdapat sejumlah besar
riset substansial yang menjadi dasar pembahasan nilai penting faktor kepribadian dan kesehatan
mental umum sebagai variabel yang terkait dengan efektivitas konseling. Studi ini berkonsentrasi
pada dua isu utama: mengidentifikasi karakteristik kepribadian terapis yang efektif, dan
memberikan penilaian terhadap nilai terapi personal bagi praktisi. Semangat yang mendasari
studi ini digambarkan oleh McConnaughy (1987:304) dalam pernyataannya bahwa: teknik aktual
yang digunakan oleh terapis kurang penting dibandingkan dengan karakter dan kepribadian unik
terapis itu sendiri. Terapis memilih teknik dan teori berdasarkan “siapa mereka” sebagai seorang
individu. Dengan kata lain, strategi terapi tersebut merupakan manifestasi kepribadian terapis.
Dengan demikian, sebagai individu, terapis merupakan instrumen pengaruh utama dalam bidang
terapi. Sebuah konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa semakin banyak terapis menerima dan
menilai dirinya sendiri, semakin efektif ia dalam membantu klien untuk mengenal dan
menghargai diri mereka sendiri. terdapat bukti yang cukup bahwa konselor yang baik adalah
orang-orang yang menunjukkan tingkat penyesuaian emosional umum yang lebih tinggi dan
kemampuan membuka diri yang besar. Harus dicatat bahwa variabel kepribadian yang
tampaknya tidak diasosiasikan dengan kesuksesan konseling adalah variable tertutup-terbuka dan
submisivitas-dominan. Studi lain telah mengeksplorasi kemungkinan diasosiasikannya hasil
dengan kemiripan atau perbedaan ciri kepribadian antara konselor dan klien. Banyak pelatihan
konselor yang menganjurkan terapi personal bagi para peserta pendidikan sebagai cara
memastikan pertumbuhan kepribadian dalam bidang penyesuaian diri dan keterbukaan. Terdapat
pula bukti bahwa terapi personal bermuara pada peningkatan efektivitas profesional konselor dan
psikoterapis dengan memberikan basis yang kuat bagi kepercayaan diri dan penggunaan diri

4
(Baldwin 1987) yang tepat dalam hubungan dengan klien. Terapi pribadi merupakan sarana yang
unik untuk belajar tentang terapi proses, yang memberikan wawasan tentang peran klien dan,
akhirnya, terapi tersebut memberikan kontribusi terhadap peningkatan umum kesadaran diri
dalam diri peserta pendidian. Namun demikian, terdapat beberapa kesulitan mendasar yang
ditimbulkan oleh praktik terapi pribadi bagi para peserta pendidikan. Pertama, klien diwajibkan
untuk hadir, bukan tergantung pada partisipasi sukarela. Kedua, apabila peserta terlalu jauh
terbenam dalam kerja terapeutik, maka hal tersebut dapat menghancurkan kemampuan
emosionalnya terhadap klienya sendiri. Ketiga, dalam sebagian institut penyelenggara
pendidikan, terapis personal merupakan anggota staff pelatihan, dan karena itu bukan hanya
melaporkan perkembangan para peserta dalam terapi personal tersebut, tapi juga apabila peserta
merampungkan program tersebut pada gilirannya menjadi kolega dari seseorang yang merupakan
mantan kliennya. ada alasan untuk berasumsi bahwa terapi pribadi dapat dihubungkan dengan
kompetensi konselor yang lebih besar, sebagaimana juga terdapat asumsi sebaliknya. Studi
barkaitan dengan terapi pribadi mencerminkan pandangan yang seimbang ini. Misalnya,
walaupun Buckley, et al. (1981) menemukan bahwa 90 persen terapis yang menjadi sampel
mereka melaporkan bahwa terapi pribadi telah memberikan kontribusi positif terhadap
perkembangan kepribadian dan profesional mereka. Norcross, et al. (1988b) menemukan bahwa
21 persen merasa, bagi mereka, terapi pribadi menyakitkan. Peebles (1980) melaporkan bahwa
terapi pribadi dikaitkan dengan tingkat empati, keselarasan dan penerimaan yang lebih tinggi
dalam diri terapis, sementara Garfield dan Bergin (1971) menyimpulkan dari penelitian skala
kecil bahwa terapis yang tidak menerima terapi pribadi lebih efektif daripada yang menerimanya.
Sandell, et al. (2000) menafsirkan hasil ini dengan adanya kemungkinan terapis yang merasa
tidak terlalu baik dalam menangani klien untuk memasuki terapi pribadi sebagai sarana untuk
meningkatkan sensitivitas dan kinerja mereka. Saat ini, terapi pribadi yang ditetapkan oleh
asosiasi profesional dan badan perizinan didasarkan pada adat, praktek dan pemahaman klinis
ketimbang bukti penelitian. Memberikan terapi pribadi merupakan suatu elemen yang berpotensi
penting dari pelatihan dan melanjutkan pengembangan profesional dalam diri konselor, dan
karena terapi begitu mahal, maka tidak adanya pembuatan kebijakan riset terinformasi menjadi
sesuatu yang patut disayangkan.
5. Menguasai Teknik

5
Terdapat gerakan substansial dalam beberapa tahun terakhir ini untuk mengidentifikasi
kompetensi konselor sebagai hal utama dalam penguasaan teknik. Kompetensi konselor dinilai
dalam kerangka seberapa dekat dia dapat mengikuti manual. salah satu karakteristik konselor
yang sangat kompeten atau berbakat adalah kemahiran mereka dalam memodifikasi secara
kreatif teknik atau latihan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing klien. Namun harus
dicatat bahwa dalam studi yang menggunakan manual instruksi, hasil buruk amat berkaitan
dengan kesalahan atau kekeliruan dalam teknik. Oleh karena itu, menguasai teknik mungkin
merupakan hal yang penting. Harus diakui bahwa memiliki serangkaian teknik, atau apa yang
terkadang disebut teknik cadangan, akan menguntungkan. Lazarus (1989a,b) penemu
eklektisisme sistematis, dengan jelas merekomendasikan bahwa konselor yang kompeten harus
akrab dengan berbagai strategi intervensi. Mahrer mengklasifikasikan teknik ke dalam kategori
luas dan menggunakan rangkaian kategori operasi terapis untuk menganalisis perilaku beberapa
“pakar terapis” terkenal seperti Carl Rogers dan Irving Polster. Ia menemukan bahwa masing-
masing orang dari mereka secara regular menggunakan cakupan strategi yang sangat terbatas.
Walaupun pendekatan yang lebih jauh jelas diperlukan, hasil yang dicapai oleh Mahrer
tampaknya menyiratkan bahwa pemahaman yang menyeluruh tentang kisaran sempit teknik
mungkin lebih berharga daripada kapasitas yang lebih dangkal untuk menggunakan jangkauan
yang lebih luas. Mahrer tidak setuju dengan kesimpulan ini, dan melihat salah satu tujuan dari
program risetnya adalah mendorong konselor dan terapis untuk memperoleh cadangan operasi
lebih luas.
6. Kemampuan untuk Paham dan Bekerja dalam Sistem Sosial
Dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan dari pendekatan konseling kontemporer adalah
pandangan yang mereka anut terlalu individualistik terhadap proses konseling. Mereka fokus
pada skenario di mana klien duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan konselor yang
duduk di kursi lainnya. Walaupun demikian, dalam realitasnya terdapat audien bagi pertunjukkan
ini, termasuk keluarga dan teman klien, dan pengawas serta rekan konselor. Konselor dan klien
selalu bertindak dalam sistem sosial, dan tindakan mereka memengaruhi sistem tersebut. Karena
itu, nilai penting kompentensi adalah kemampuan untuk menyadari pengoperasian dalam sistem
sosial. Konselor yang bekerja dalam agensi akan menyadari tuntutan dan tekanan yang dibuat
organisasi. Tekanan tersebut, yang yang dijelaskan pada Bab 16, dapat berupa tekanan untuk
membocorkan rahasia klien, harapan untuk mempengaruhi perilaku klien dan pembatasan

6
terhadap pekerjaan yang dapat dilakukan oleh klien. Konselor yang efektif dalam system social
seperti ini harus sangat kompeten dalam menghadapi sistem sosial yang menjadi tempat kerja
mereka.
7. Terbuka untuk Belajar dan Bertanya
Kompetensi ini mendasari semua kompetensi yang disebutkan atas. Sebab, merupakan hal
yang penting bagi seorang konselor untuk terus berusaha belajar dari klien mereka, dan berusaha
secara aktif mencari pengetahuan dan pemahaman dalam situasi di mana proses atau hubungan
konseling membawa mereka melampaui basis pengetahuan yang mereka kuasai sekarang ini. Inti
dari kompetensi ini adalah kemampuan untuk melaksanakan temuan riset, dan untuk
menggunakan bukti riset untuk menginformasikan praktek tersebut.
C. Sikap dan Keterampilan Konselor
Sikap dan keterampilan merupakan dua aspek penting kepribadian konselor. Sikap sebagai
suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat bentuknya secara langsung. Berbeda
dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya dalam perbuatan.
1. Sikap Dasar Konselor
a. Penerimaan
Penerimaan sebagai salah satu sikap dasar konselor mengacu pada kesediaan konselor
memiliki penghargaan tanpa menggunakan standar ukuran atau persyaratan tertententu
terhadap individu sebagai manusia atau pribadi secara utuh. Ini berarti konselor menerima
setiap individu klien yang datang kepadanya, dalam konseling, tanpa menilai aspek-aspek
pribadinya yang “lemah” ataupun yang “kuat”. Jadi, penerimaan merupakan komponen
penting dari penghargaan konselor terhadap klien, dan merupakan dasar proses konseling
secara keseluruhan.
b. Pemahaman
Konselor diharapkan memiliki pemahaman terhadap klien, bukan berarti bahwa konselor
mengerti batin klien sebagaimana mengerti isi suatu bacaan. Konselor tidak dituntut berlayan
sebagai ahli kebatinan yang dengan tenaga “paranormalnya” mungkin dapat “melihat” batin
orang. Konselor, menurut Jones, Stafflre dan Stewart (1979), hendaknya memahami siswa
atas dua tingkat. Hasil observasi, catatan konferensi, dan hasil-hasil tes tersedia sebagai bahan
pemahaman (tingkat pertama: tingkah laku). Akan tetapi menurut mereka siswa baru merasa
bahwa ia dipahami jika komunikasi dengan konselor bergerak dalam tingkat perasaan; dan

7
konselor menunjukkan bahwa dia paham dunia siswa dan menerima rasa takut dan harapan-
harapan siswa sebagaimana siswa melihatnya. Karena itu, menurut ketiga penulis tadi,
konselor hendaknya lebih condong berfikir dengan (bersama-sama) daripada tentang atau
mengenai siswa (klien).
c. Kesejatian dan Keterbukaan
Kesejatian pada dasarnya menunjuk pada keselarasan (harmoni) yang mesti ada dalam fikiran
dan perasaan konselor dengan apa yang terungkap melalui perbuatan ataupun ucapan
verbalnya. Keterbukaan pada konselor merupakan kualitas pribadi yang dapat disebut sebagai
cara konselor mengungkapkan kesejatiannya. Keterbukaan yang sepantasnya itu, berarti
konselor mesti terbuka dan jujur dalam semua hal.
2. Keterampilan Dasar Konselor
a. Kompetensi Intelektual
Keterampilan konselor dilandasi oleh pengetahuan siap pakai mengenai tingkah laku manusia,
pemikiran yang cerdas, dan kemampuan mengintegrasikan peristiwa yang dihadapi dengan
pendidikan dan pengalamannya.
b. Kelincahan Karsa-cipta
Kelincahan karsa-cipta konselor dalam memilih dengan cepat dan tepat respon yang bijak.
Kelincahan ini terutama sekali terasa pentingnya pada saat interview konseling dimana klien
mengemukakan pernyataan-pernyataan verbal ataupun nonverbal.
c. Pengembangan Keakraban
Keakraban mengacu pada suasana hubungan konseling yang bercirikan suasana santai,
keselarasan, kehangatan, kewajaran, saling memudahkan dalam percakapan, dan saling
menerima antara klien dengan konselor. Meskipun suasana akrab yang baik itu berada pada
kedua pihak (konselor dan klien), namun tanggung jawab penciptaan dan pemantapan
sepenuhnya berada di tangan konselor.
Gibson dan Mitchell (1995:150) menyebutkan ada empat keterampilan konseling yakni
keterampilan komunikasi, keterampilan diagnostik, keterampilan memotivasi dan
keterampilan manajemen.
a.Keterampilan Komunikasi
Keterampilan komunikasi terdiri atas dua yakni keterampilan komunikasi nonverbal dan
keterampilan komunikasi verbal. Gazda, Asbury, Balzer, Childers and Walters (dalam Gibson

8
dan Mitchell (1995:150) membagi keterampilan komunikasi nonverbal atas empat
keterampilan yakni perilaku komunikasi nonverbal mengggunakan waktu terdiri atas
mengenali waktu dan prioritas waktu; perilaku komunikasi nonverbal menggunakan tubuh
terdiri atas kontak mata, mata, kulit, postur tubuh, ekspresi wajah, tangan dan pergerakan
lengan, perilaku diri, pengulangan perilaku, sinyal atau aba-aba, menarik perhatian; perilaku
komunikasi nonverbal menggunakan media suara terdiri atas nada suara, kecepatan berbicara,
kerasnya suara, gaya berbicara; dan perilaku komunikasi nonverbal menggunakan lingkungan
terdiri atas pengaturan jarak, pengaturan seting fisik, terkesan mahal berlawanan dengan
kesan jorok terdiri atas pakaian yang digunakan dan posisi dalam ruangan konseling.
Keterampilan komunikasi verbal yang penting adalah mendengar, memberi respon
balikan dan mengajukan pertanyaan (Gibson & Mitchell, 1995:154). Mendengar adalah
persyaratan komunikasi verbal yang efektif. Cavaugh (Gibson & Mitchell, 1995:154)
menyatakan bahwa “listening is the basis of a counselor’s effectiveness”. Selanjutnya, dengan
keefektifan mendengar maka akan dapat dilakukan respon balikan terhadap perilaku,
perasaan, perhatian, aksi, ekspresi klien. Dalam mengajukan pertanyaan pun harus digunakan
bentuk pertanyaan terbuka yang akan memberikan kesempatan klien untuk mengekspresikan
perasaan, merinci pembicaraan dan memperoleh pemahaman baru.
b. Keterampilan Diagnostik
Keterampilan ini mensyaratkan konselor terampil dalam mendiagnosa dan memahami klien,
memperhatikan klien, dan pengaruh lingkungan yang relefan. Konselor harus terampil dalam
menggunakan pengukuran psikologi terstandar dan teknik non standar untuk mendiagnosa
klien.
c. Keterampilan Memotivasi
Tujuan konseling biasanya untuk membantu perubahan perilaku dan sikap klien. Untuk
memenuhi tujuan ini, seorang konselor harus mempunyai keterampilan memotivasi klien.
d. Keterampilan Manajemen
Yang termasuk keterampilan manajemen adalah perhatian terhadap lingkungan dan
pengaturan fisik, pengaturan waktu, mengatur proses membantu klien bahagia, mengatur
kontribusi konselor dalam proses konseling, mengenali dan bekerja dalam keprofesionalan
seorang konselor. Menentukan poin dan metode mengakhiri konseling, tindak lanjut dan
mengevaluasi merupakan tanggung jawab konselor.

9
e.Karakteristik Konselor yang Efektif
Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang menentukan jalannya konseling. Tidak
hanya ilmu dan teknik-teknik yang harus dimiliki oleh seorang konselor. Fakta dilapangan
menunjukkan, bahwa konseli (klien) tidak mau ke ruangan konselor untuk memanfaatkan
konseling karena kepribadian konselor yang mereka anggap judes, keras, dan menakutkan.
Oleh karena itu selain ilmu seorang konselor juga harus mempunyai kepribadian yang baik,
berkualitas dan dapat dipertanggung jawabkan.
3. Kualitas Dasar Konselor
Menurut Cavanagh (1982) mengemukakan kualitas pribadi konselor dapat dibedakan
menjadi 11, yaitu:
1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (Self-knowledge)
Disini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara nyata
apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan.
Pemahaman ini sangat penting bagi konselor, karena beberapa alasan sebagai berikut.
a) Konselor yang memilki persepsi yang akurat akan dirinya maka dia juga akan memilki
persepsi yang kuat terhadap orang lain.
b) Konselor yang terampil memahami dirinya maka ia juga akan memahami orang lain.
2. Kompetensi (Competence)
Kompetensi dalam karakteristik ini memiliki makna sebagai kualitas fisik, intelektual,
emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien. kompetensi
sangatlah penting, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan
kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia.
Adapun kompetensi dasar yang seyogianya dimilki oleh seorang konselor, yang antara lain :
a) Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan
b) Penguasaan konsep bimbingan dan konseling
c) Penguasaan kemampuan assesmen
d) Penguasaan kemampuan mengembangkan progaram bimbingan dan konseling
e) Penguasaan kemampuan melaksanakan berbagai strategi layanan bimbingan dan
konseling
f) Penguasaan kemampuan mengembangkan proses kelompok
g) Penguasaan kesadaran etik profesional dan pengembangan profesi

10
h) Penguasaan pemahaman konteks budaya, agama dan setting kebutuhan khusus
3. Kesehatan Psikologis yang Baik
Seorang konselor dituntut untuk dapat menjadi model dari suatu kondisi kesehatan psikologis
yang baik bagi kliennya, yang mana hal ini memiliki pengertian akan ketentuan dari konselor
dimana konselor harus lebih sehat kondisi psikisnya daripada klien. Kesehatan psikolpgis
konselor yang baik sangat penting dan berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila
konselor kurang sahat psikisnya, maka ia akan teracuni oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri,
persepsi yang subjektif, nilai-nilai keliru, dan kebingungan.
4. Dapat Dipercaya (trustworthness)
Konselor yang dipercaya dalam menjalankan tugasnya memiliki kecenderungan memilki
kualitas sikap dan prilaku sebagai berikut:
a) Memilki pribadi yang konsisten
b) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.
c) Tidak pernah membuat orang lain kesal atau kecewa.
d) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji dan mau
membantu secara penuh.
5. Kejujuran (honest)
Yang dimaksud dengan Kejujuran disini memiliki pengertian bahwa seorang konselor itu
diharuskan memiliki sifat yang terbuka, otentik, dan sejati dalam pembarian layanannya
kepada konseli. Jujur disini dalam pengertian memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam
kualitas diri actual (real-self) dengan penilain orang lain terhadap dirinya (public self). Sikap
jujur ini penting dikarnakan:
a) Sikap keterbukaan konselor dan klien memungkinkan hubungan psikologis yang dekat satu
sama lain dalam kegiatan konseling.
b) Kejujuaran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif
terhadap klien.
6. Kekuatan atau Daya (strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu
klien merasa aman. Klien memandang seorang konselor sebagi orang yang, tabaha dalam
menghadapi masalah, dapat mendorong klien dalam mengatasi masalahnya, dan dapat
menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.

11
Konselor yang memilki kekuatan venderung menampilkan kualitas sikap dan prilaku berikut.
1) Dapat membuat batas waktu yang pantas dalam konseling
2) Bersifat fleksibel
3) Memilki identitas diri yang jelas
7. Kehangatan (Warmth)
Yang dimaksud dengan bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan memberikan
kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang
memilki kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk bersikap
ramah, memberikanperhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan
rasa hangat tersebut dan melakukan Sharing dengan konseling. Bila hal itu diperoleh maka
klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.
8. Pendengar yang Aktif (Active responsiveness)
Konselor secara dinamis telibat dengan seluruh proses konseling. Konselor yang memiliki
kualitas ini akan: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya
sendiri saja, dan mampu berbagi ide-ide, perasaan, (b) membantu klien dalam konseling
dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan klien dengan cara-cara yang
dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab
secara seimbang dengan klien dalam konseling.

9. Kesabaran
Melaui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk
mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukan lebih
memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan
sikap dan prilaku yang tidak tergesa-gesa.
10. Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul
dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling
karena hal ini akan memberikan rasa aman bagi klien dan klien akan lebih percaya diri apabila
berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.
11. Kesadaran Holistik

12
Holistik dalam bidang konseling berarti bahwa konselor memahami secara utuh dan tidak
mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor seorang yang ahli
dalam berbagai hal, disini menunjukan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai
dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu
memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi aspek, fisik,
intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesdaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai
berikut.
1) Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
2) Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan perlunya
referal.
3) Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
Menurut Shertzer dan Stone, konselor yang efektif dan yang kurang efektif dapat
dibedakan atas dasar tiga dimensi yaitu pengalaman, corak hubungan antar pribadi dan faktor-
faktor non kognitif.
1). Pengalaman, ternyata menjadi variabel penting dalam efektifitas pekerjaan konselor
sejauh mereka yang telah lama berkecimpung dalam profesi ini menunjukkan banyak
kesamaan dalam cara menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang khas untuk
suatu helping relationship, biarpun mereka berpegang pada pandangan teoritis tentang proses
konseling yang berbeda-beda, lebih banyak menunjukkan ketulusan, empati, dan penerimaan
terhadap konseli.
2). Corak hubungan antar pribadi, yang menekankan empati dan pemahaman terhadap pikiran
dan perasaan yang terungkap oleh konseli, serta terhadap situasi konseli, ternyata sangat
esensial dan dapat ditemukan pada berbagai tipe kepribadian konselor yang efektif.
3). Faktor-faktor non kognitif. Meliputi hal-hal seperti motivasi, nilai-nilai kehidupan,
perasaan terhadap orang lain, ketenangan dalam menghadapi situasi wawancara konseling
yang arahnya tidak diketahui sebelumnya, kedewasaan, kemampuan untuk menjaga jarak dan
tidak menjadi terlibat secara emosional dan kelincahan dalam pergaulan sosial pada umumnya
Menurut Belkin, sejumlah kualitas kepribadian dapat ditampung dalam tiga judul yaitu :

13
1) Mengenal diri sendiri, konselor harus menyadari kelebihan dan kelemahannya sendiri,
harus tahu dalam usaha-usaha apa dia kiranya akan lebih berhasil, merasa aman dengan diri
sendiri, percaya pada orang lain dan memiliki keteguhan hati.
2) Memahami orang lain, ini menurut keterbukaan hati dan kebebasan dari cara berpikir yang
kaku menurut pandangan-pandangan pribadi saja.
3) Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, bertumpu pada kemampuan untuk
memahami orang lain, bertindak sejati serta tulen, bebas dari kecenderungan menguasai orang
lain, kejujuran, kesungguhan, dapat diandalkan, keterusterangan dan kemampuan
mengungkapkan pikiran serta perasaan dalam kata-kata dan isyarat-isyarat.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Konselor adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam konseling. Konselor bergerak terutama dalam
konseling di bidang pendidikan, tapi juga merambah pada bidang industri dan organisasi, penanganan
korban bencana, dan konseling secara umum di masyarakat. Khusus bagi konselor pendidikan yang
bertugas dan bertanggung jawab memberikan layanan bimbingan konseling kepada peserta didik (di
satuan pendidikan sering disebut Guru BP/BK atau Guru Pembimbing.
Seorang konselor harus memiliki berbagai keterampilan yang digunakan dalam proses Kompetensi
konselor, Model Pengembangan Kompetensi Konselor, Sikap dan Keterampilan Konselor, dan
Karakteristik Konselor yang Efektif
B. Saran
Penulis berharap bahwa dengan adanya pemaparan tentang keterampilan dalam konseling, masyarakat
dapat menggunakan jasa para konselor dan memberikan kepercayaan bahwa konselor dapat membantu
masyarakat dalam pemecahan masalah melalui keterampilan dan kualitas konselor yang efektif.

14
DAFTAR PUSTAKA

McLeod, John. 2006. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana

Mappire AT, Andi. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT Raja Grafindo

Syamsu, Yusuf, Juntika. 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja
Rosdakarya

www.wikipedia.com

Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.

15

Anda mungkin juga menyukai