Anda di halaman 1dari 4

Ilmuwan Gila

Cerpen Hudan Hidayat

Saya membayangkan munculnya ilmuwan gila yang menemukan hukum-hukum


tersembunyi alam semesta, dan berdasarkan hukum-hukum itu, ia dapat mempercepat
jalannya planet, sehingga tata surya menjadi kacau dan planet-planet bertabrakan.
Bayangan saya ini persis seperti kemunculan Hitler atau Musolini dalam panggung
sejarah.Karena pikiran semacam itu, akhirnya saya jadi takut. Sebab bagi saya kehidupan
ini sangat mengasyikkan. Saya bisa membaca dan pergi berjalan-jalan. Atau mengintip
orang berdandan. Kalau ilmuwan gila itu muncul, maka saya tidak dapat meneruskan
kesenangan-kesenangan saya. Masa saya bisa hidup kalau bumi meledak menjadi
serpihan?Sejak pikiran itu muncul, saya jadi waspada. Tapi mula-mula saya memeriksa
diri saya: mengapa gagasan konyol itu seperti ilham yang datang dari langit, menyeruak
tidak bisa saya cegah. Tetapi saya tidak menemukan jawabnya. Dia seakan hadir begitu
saja. Akhirnya saya biarkan gagasan itu pelan-pelan menguasai diri saya.Saya mulai
mengamati sekeliling saya: siapa kiranya ilmuwan yang datang dalam mimpi saya itu.
Tetapi negeri ini masih belum bisa berpikir sendiri. Jadi tidak mungkin di sini.
Bagaimana kalau Amerika atau Eropa? Nah, kalau itu mungkin. Bukankah mereka yang
suka melahirkan pikiran-pikiran canggih? Lagi pula mereka adalah guru. Sedang lainnya
adalah murid.Saya menjual harta saya. Kebetulan saya datang dari keluarga kaya: ayah
saya, karena ketampanannya, kawin sama janda kaya. Ayah saya itu memang gila: dia
hanya menjual ketampanannya, dan hanya itu yang dia jual. Hingga suatu ketika ayah
terpikat dengan wanita lain, yang tentu saja lebih kaya dari istrinya. Tapi bagaimana pun
dia ayah saya. Dan bagaimana pun istrinya itu telah melahirkan seorang anak, ya saya ini.
Jadi ketika ibu saya membunuhnya karena cemburu, saya tidak begitu peduli. Sebagian
karena saya berpendapat, bahwa itu adalah ganjaran yang setimpal untuk ayah. Yang
penting, ibu tidak jahat pada saya. Bahkan telah mewariskan harta yang banyak sekali.
Jadi untuk semua itu, cukuplah.Saya mulai mengembara ke Amerika. Saya harus
menemukan ilmuwan gila itu. Saya akan mengajaknya bicara baik-baik. Agar
mengurungkan maksudnya menghancurkan semesta. Saya mengambil kuliah astronomi.
Saya bisa masuk ke sini karena otak saya cerdas. Lagi pula saya menghubungi seorang
professor yang saya kenal melalui chatting, dan saya memanfaatkan rekomendasinya.
Professor itu mau menolong saya, karena ia teman kencan saya di komputer.Waktu saya
sampai ke Amerika, profesor kekasih saya berangkat ke kutub utara. Ia terinspirasi oleh
Quran yang saya berikan. Ia ingin memikirkan soal tujuh lapis langit dan tujuh lapis
bumi. Apakah alam semesta dengan galaksi-galaksinya adalah tujuh lapis langit dan tujuh
lapis bumi. Apakah tata surya baru di langit lapis pertama. Jadi masih enam lapis langit
lagi. Lalu bagaimana dengan tujuh lapis bumi. Apakah lapis-lapis itu memang lapisan
bumi. Atau ada lapis lain lagi. Atau semua lapis-lapis itu hanyalah metapor. Tata surya
itulah lapisan-lapisan yang dimaksud.Proffesor kekasih saya itu bingung. Dan dia butuh
menyepi ke kutub utara. Jadi dia menitipkan salam hangat penuh penyesalan. Betapapun
takjub saya pada tata surya, demikian bunyi surat e-mailnya, lebih takjub lagi saya pada
perasaan-perasaan kita. Saya tahu, perasaan dan otak yang kita gunakan untuk berkencan
ini, adalah hasil kerja struktur otak dan kelenjar-kelenjar dalam tubuh. Tapi, siapakah
yang telah menciptakan otak dan kelenjar dalam tubuh? Tidak mungkin proses evolusi.
Lebih tidak mungkin lagi ia hanya benda-benda alam. Misal batu atau gas yang
berevolusi dalam waktu tak terhingga, lalu melompat jadi manusia. Sebab dari mana
perasaan hangat yang menguasi diriku ini, sayang? Dari mana datangnya nafsu-nafsu
kita? Ah, saya harus mengejar penjelasannya. Sampai ke tempat paling jauh sekalipun.
Pasti ada sebab pertama di mana semua ini berasal. Di Amerika saya tidak berbahagia.
Pastilah juga di Eropa. Atau belahan dunia lain. Sebab saya tidak menemukan apa yang
saya cari. Semua orang yang saya temui sehat-sehat. Mereka berbicara tentang hal-hal
yang baik, ngomong tentang kebenaran. Lebih tepat berpendapat apa yang seharusnya
terjadi, sambil menyalahkan apa yang dibuat orang. Karena semua orang berpendapat
demikian, akhirnya saya jadi bingung: siapa yang melakukan kejahatan yang dikeluhkan?
Apakah tidak seorang pun? Bukankah mesti ada yang berbuat, sehingga orang
berpendapat, segalanya tidak mesti seperti sekarang, tapi terjadi dengan cara lain. Saya
menuliskan semua kebingungan saya kepada kekasih saya. Saya ceritakan kegundahan
saya. Termasuk ketakutan saya akan munculnya ilmuwan gila yang sedang saya cari-cari
itu. Tetapi entah mengapa dia tidak pernah membalas email saya. Saya mencoba
menelpon ke kutub utara, tempat dia bekerja. Tapi seseorang yang tidak jelas identitasnya
mengatakan sesuatu yang samar. Tuan Smith pergi dengan segala perbekalannya. Sampai
hari ini belum pulang. Saya tahu, tapi pergi ke mana? Mana saya tahu. Dia tidak
mengatakan ke mana perginya. Apakah ada seseorang yang mungkin tahu? Mungkin.
Tetapi saya harus mendapatkan informasinya dulu. Kapan? Sesegera mungkin saya akan
menemukannya. Pada kesempatan pertama saya akan mengontak Anda.Pada
kenyataannya, sudah satu tahun berlalu, dan orang itu tidak pernah mengontak saya.
Kekasih saya tidak juga ada kabar beritanya. Setahun. Dua tahun. Tiga tahun. Lima
tahun. Saya menunggu. Saya setia menantinya. Tapi dia seperti lenyap ditelan bumi.
Seakan misteri sebab pertama yang dicarinya, begitulah kekasih saya hilang dari
pandangan saya. Apakah dia ditelan gunung es. Atau kecantol cowok lain? Tidak
mungkin. Saya setia. Dia setia. Atau pekerjaannya benar-benar menyerap dirinya, sampai
lupa segala sesuatu. Rasanya tidak pula. Masa dia sampai begitu. Kekasih saya memang
proffesor. Tapi penuh kehangatan. Kehangatan adalah hiburannya, ketika tegang tidak
juga menemukan Sebab Pertama yang dicarinya.Akhirnya saya melupakan kekasih saya.
Seperti sejarah melupakan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Dan saya mulai mencari
ilmuwan gila itu sungguh-sungguh. Pasti dia ada dan pasti saya bisa menemukannya.
Tidak mungkin tidak. Yang saya perlukan adalah mengamati orang-orang secara cermat.
Siapa tahu ilmuwan gila itu sebenarnya sudah berbicara dengan saya, tapi saya tidak tahu
karena kurang perhatian.Saya mulai membuntuti seseorang yang mencurigakan. Dia
proffesor fisika yang selalu tepat waktu. Jam tujuh pagi dia berjalan seperti orang dikejar
setan, melalui kamar apartemen kami. Suara sepatunya jatuh di atas karpet merah yang
terbentang sepanjang kamar-kamar apartemen. Tengah malam baru suara sepatu itu
terdengar lagi. Begitulah selama enam bulan ini. Sehari pun tidak pernah meleset.
Proffesor itu menata waktunya seperti jam yang berputar. Apa yang dikerjakannya dalam
kamarnya?Saya sudah melihat pekerjaan di laboratoriumnya, dengan menyamar sebagai
pembersih ruangan. Tidak ada yang aneh. Dia melakukan percobaan-percobaan layaknya
semua fisikawan. Tapi siapa tahu di dalam kamar. Dari lubang pintu apartemen saya
melihat matanya yang bundar. Berputar cepat sekali seperti orang gila. Mungkin dialah
orangnya. Mata yang berputar seperti itu bagi saya terasa menakutkan. Siapa tahu dalam
kamarnya penuh alat-alat yang tak terbayangkan. Siapa tahu dia sedang menyiapkan
rumus-rumus yang membuatnya menemukan hukum-hukum yang tersembunyi itu. Dan
dengan kegilaannya mulai mengacak-ngacak irama alam semesta.Karena pertimbangan
itu, saya menyelinap ke kamarnya. Hal ini saya lakukan dengan mudah. Karena sudah
tiga tahun saya mulai belajar membuka kunci pintu, tanpa harus merusaknya. Saya
masuk, lama saya mengamati isi kamar. Rasanya tidak ada yang aneh. Yang mencolok
adalah boneka seks seukuran manusia. Boneka itu terbaring di ranjang dalam posisi
telentang, seperti perempuan yang baru dipakai. Agaknya ahli fisika ini suka bermain
seks dengan boneka. Pantas saya tidak pernah melihat perempuan dalam
kehidupannya.Saya mencari petunjuk kalau-kalau si ahli fisika ini adalah ilmuwan gila
yang selalu menguasai pikiran saya, seperti Descartes yang merindukan kebenaran sejati.
Semua kamar ini nampak wajar. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Tapi, tunggu
dulu? Apa itu? Nah, inilah buku catatan harian si ahli fisika. Jangan-jangan di sinilah dia
menyembunyikan hasil penelitiannya. Tak ada yang menarik dari catatan ahli fisika itu.
Isinya berselang-seling antara kegelisahan intelektual dan kekenesan sehari-hari. Seraya
ngotot mencari tabir alam semesta, ia mengeluhkan dirinya sendiri. Saya merasa kesepian
di tengah keramaian, katanya. Sebab saya tidak pernah mengakui keberadaan orang. Bagi
saya, orang lain tak ada. Dalam arti yang sebenar-benarnya. Bukan dalam arti filosofi
tertentu. Maka jadilah saya orang yang kesepian. Saya merasa sendirian di alam raya.
Sedangkan alam raya membisu sepanjang masa. Ah, betapa ngerinya! Ahli fisika itu juga
mengeluhkan dirinya yang selalu merasa tidak pernah fit. Apa yang kurang dalam diri
saya? Saya merasa cepat lelah. Padahal saya sehat sekali. Saya juga bosan dengan boneka
seks saya. Tapi mau bagaimana lagi? Saya tidak mempunyai seorang pun. Saya bosan
dengan catatan harian itu. Ternyata ahli fisika sama juga dengan manusia biasa, pikir
saya. Punya segudang masalah seperti orang kebanyakan. Saya menyimpulkan pastilah
bukan dia ilmuwan gila yang selalu muncul dalam mimpi-mimpi saya. Tak ada yang
mencurigakan sama sekali.Saya pergi meninggalkan kamarnya dengan putus asa.
Kemana lagi saya harus mencari ilmuwan gila itu. Rasanya ke Eropa atau tempat-tempat
lain sama saja. Saya pasti akan mengalami nasib seperti yang baru saja saya alami. Jadi
kemana lagi? Sementara saya yakin betul bahwa ilmuwan gila itu benar-benar ada.
Bahkan sedang bekerja menyiapkan senjata mautnya. Jawabnya segera saya dapatkan.
Ketika masuk dan menghempaskan diri dalam kamar apartemen, saya membuka internet
dan masuk dalam box email. Saya hampir bersorak gembira, ketika membaca tulisan
Smith kekasih saya. Honey, maafkan saya menghilang sekian tahun. Saya sungguh-
sungguh tak mengira begini jadinya. Saya kira tadi cuma penelitian biasa. Artinya saya
dapat terus berkomunikasi denganmu. Nyatanya penelitian ini benar-benar menyerap
diriku. Sampai saya tidak bisa tidur. Kamu tahu penelitian apa ini? Puji syukur pada otak
manusia! Saya telah berhasil memecahkan misteri alam semesta! Dalam pengertian yang
paling jauh. Saya mengerti mengapa alam tercipta dan bergerak seperti ini. Sejak awal
maupun akhir. Saya juga mengerti alam manusia, tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Pokoknya, segala hal yang dipertaruhkan ilmuwan di segala punjuru, sudah dalam
genggaman saya. Bagi saya apa yang ada dalam alam raya ini sudah terang benderang.
Tak ada lagi yang tersembunyi di mata pengelihatan saya. Juga roh dan Tuhan, saya tahu
semua. Sekali saya sudah bisa menguakkan misteri, maka segala gerak dalam kehidupan
ini: planet, bakteri, manusia atau binatang, sudah dalam genggaman saya. Saya bisa
mempercepatnya, menjadikannya jalan di tempat, atau bahkan memutar mundur
sekalipun. Benar, sayalah si tukang jam yang dapat mempercepat waktu,
menghentikannya atau malah membalikkan jarumnya. Karena pengetahuan ini, sekarang
saya akan mengultimatum dunia. Saya akan membuat matahari, bulan dan bintang-
bintang yang maha jauh itu mendekat, sampai mereka bersinggungan, lalu hancur seperti
bulu-bulu beterbangan. Saya akan melakukannya, agar alam semesta tahu, sayalah yang
berkuasa, bukan Tuhan seperti yang orang kira. Sebab, sayalah Tuhan itu.Saya terpaku.
Tubuh saya serasa hilang. Saya mengklik sight out, mematikan komputer. Sesaat saya
nanar, dan mengira ilmuwan gila itu adalah saya sendiri.***Jakarta, 10 November 2002

Anda mungkin juga menyukai