Anda di halaman 1dari 3

Bab 3

Meja Makan

Aku terbangun dari atas kasur empuk. Sinar matahari menembus jendela membuat kamar terang
dan terasa hangat. Kicauan burung terdengar jelas dari arah luar. Berapa lama aku tertidur?

Aku beranjak dari atas Kasur. Mengamati pemandangan dari balik jendela. Hanya ada lapangan
rumput dan hutan yang lebat. Dimana aku? Seingatku di kota tidak hutan lebat seperti ini?

Aku mendekat kea rah cermin. Tak ada perubahan apapun selain pakaian yang kupakai. Leherku
terasa sakit, mungkin akibat pukulan yang kuterima kemarin.

Aku berusaha mencerna kejadian kemarin. Rumahku yang terbakar, Paman yang hendak
membunuhku, 3 orang misterius dengan setelan yang sama, jubah hitam dengan logo sarang emas
dan topeng yang berbeda-beda yang datang menyelamatkanku.

Derap Langkah terdengar dari arah pintu.

Tuk,tuk,tuk.

“Kau sudah bangun rupanya, hampir saja aku mengguyurmu dengan air. Ikuti aku, waktunya
perkenalan.”

Siapa anak kecil ini? Berani sekali Ia menyuruhku. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Anak kecil
itu diam di depan pintu. Ia berkacak pinggang dan menatap sebal ke arahku.

“Hei, ayolah! Semuanya sudah menunggumu!” Ia pergi meninggalkanku.

Aneh sekali Ia. Selain tingkahnya, setelan pakaiannya pun sama anehnya. Kaus ketiak putih, celana
bahan yang besar, dan sepatu boot. Perpaduan yang aneh menurutku.

“Ayolah!!! Kau ini pemalas atau apasih?!” Teriak Ia.

Aku beranjak dari Kasur. Meski menyebalkan, aku menuruti saja apa yang Ia inginkan lagipula aku
tidak tahu apa yang telah terjadi. Mungkin saja ada jawaban jika aku mengikutinya.

Sepanjang mengikutinya, aku melihat sekeliling tempat ini. Dengan dinding yang terbuat dari kayu
dan ornamen-ornamen yang dipajang sepertinya tempat ini merupakan vila dengan gaya lama.

Tanpa sadar aku sudah sampai di ruangan makan. Di sana ada 3 orang yang sedang duduk menunggu
di atas meja makan. Dua orang laki-laki, yang satu bertubuh besar dan kekar sedangkan yang
satunya bertubuh sedang dengan postur tinggi, dan satu perempuan rambut pendek yang tampak
seumuran denganku.

“Selamat datang Hiko, Silakan duduk.”

Aku duduk kebingungan. Bagaimana bisa Ia mengetahui namaku?

“Hahaha, sepertinya kamu kebingungan. Kalau begitu akan ku jelaskan semuanya dan sebelumnya
aku mohon maaf karena telah memukulmu kemarin.”

“Hei Oliver, lebih baik kita perkenalan dulu, untuk masalah lain baru disampaikan setelah ini.” Ucap
perempuan yang duduk di hadapanku.

“Oh ya maaf, sudah lama tidak ada anggota baru. Perkenalkan namaku Oliver, ketua Golden Nest.”
Ucap laki-laki tinggi.
“Namaku Buck, ketua juru masak dan regu depan.” Lanjut laki-laki besar.

“Jack, ahli serangan jarak jauh. Aku harap kau bisa menjadi teman yang baik.” Ucap anak laki-laki
yang membangunkanku tadi.

“Namaku Arin, ahli medis dan penyusupan. Semoga bisa bekerja sama dengan baik.” Ucap gadis di
hadapanku.”

“Namaku Hiko, terima kasih atas bantuannya kemarin.”

“Bantuan? Seharusnya kamu mengatakannya penyelamatan terkeren dan terhebat oleh Jack si
penembak.” Jack memperagakan gaya seperti menembak.

Sebuah sendok melesat mengenai dahinya, Arin yang melemparnya. Jack mengaduh kesakitan,
matanya melotot ke Arin. Yang ditatap hanya tersenyum licik dan memainkan garpu. Jack langsung
memalingkan muka, enggan untuk dilempar kedua kalinya apalagi dengan garpu.

“Sudah, sudah. Kalau begitu akan aku jelaskan apa yang sudah terjadi,” Oliver menenggak segelas
air,” kami berempat adalah Golden Nest.”

“Dan kau tahu Hiko, Ayahmu lah pencetusnya. Ia mendatangi kami satu per satu. Di panti asuhan, di
gang sempit, di manapun itu. Ia mengumpulkan kami dan menjadikan kami bagian dari Golden
Nest.”

“Awalnya kami hanya mengangguk mengiyakan apa yang ia perintahkan, lagi pula hanya mengurus
dan membantu orang-orang. Itupun tidak berat. Hingga suatu hari, Ayahmu mengajari bagaimana
memakai pedang, pistol, bela diri.”

“Dan yap, kamu lihat sendiri hasilnya kemarin. Kemampuan kami terasah, apa yang sudah kami
pelajari menjadi keahlian kami sekarang. Menembak, mengayunkan pedang, memukul itu semua
sudah kami kuasai.”

“Hingga kami ditugaskan untuk berpatroli tiap pagi dan sore di sekitar kota. Ayahmu meminta kami
menjagamu semenjak kejadian 1 tahun lalu. Saat kejadian yang tidak diinginkan itu terjadi dalam
keluargamu.”

“Awalnya kami ingin menghabisi pamanmu. Namun apa yang Ayahmu katakan. Tentunya kau tahu
jawabannya. Jawaban yang amat kusesali. Yang membuatnya harus meregang nyawanya dan anak
istrinya.”

“Dan yah, sisanya kamu rasakan sendiri. Kamu tahu, Ayahmu sudah seperti Ayah kami sendiri.
Menjaga, mendidik, menyayangi kami dengan kehidupan yang nyaman dan aman. Aku sungguh
menyesal dengan apa yang terjadi. Maaf karena terlambat menolongmu Hiko.” Oliver menundukkan
kepalanya.

Aku tertegun, tak pernah kudengar cerita ini dari Ayah. Aku memang tahu bahwa Ayah memang
memiliki kemampuan bela diri dan persenjataan yang hebat. Karena, saat Ayah menjadi asisten, ia
juga menjadi bodyguard manager. Ditambah lagi dengan penghargaan-penghargaannya saat ia
masih muda yang terlantar di gudang, semakin menjelaskan kehebatannya

Namun menciptakan Golden Nest yang seperti ini. Golden Nest, tim yang mampu menhabisi
lawannya dalam sekejap mata. Dan umur mereka yang sepertinya tidak terlalu jauh dariku.
Darimana Ayah mendapatkan mereka dan apa tujuan aslinya.
Kepalaku terasa sakit. Marah, sedih, benci, dan bingung menyelimuti pikiranku. Air mataku tiba-tiba
mengalir. Tubuhku bergetar. Dinding pertahananku sempurna hancur. Suara isak tangis terdengar.
Arin yang duduk di seberang, menghampiriku. Memeluk hangat tubuhku dari belakang. Disusul Jack,
Buck, dan Oliver.

“Tak apa. Khusus hari ini kau boleh menangis, khusus hari ini.” Ucap Arin.

Anda mungkin juga menyukai