Anda di halaman 1dari 16

Pahitnya Mencapai Perdamaian

“Mimpi itu lagi kah.....”


Aku terbangun dari mimpiku, kenangan itu masih terngiang di kepalaku. Membawaku
nyaris melupakan tempatku saat ini. Seakan tempat ini asing bagiku, atau memang ini tempat
yang asing bagiku? Yang aku yakini, tempat ini terlalu nyaman untukku. Setidaknya untuk
diriku dulu. Aku mencuci mukaku dan berusaha menyadarkan diriku dari lamunanku.
Kubuka pintu ruangan ku, dimana didepan pintunya tertulis Ruangan Komandan. Tak
kusangka aku sudah sampai sejauh ini. Datang dari sebelah kananku seorang wanita cantik
berpakaian seragam militer dengan seluruh atributnya lengkap. Kulitnya putih bersih,
pandangannya fokus, rambutnya ditata rapi.
“Cantik sekali dia.... aku susah mendiskripsikannya. Di lihat dari atributnya dia pasti
memiliki jabatan yang tinggi di satuan militer.” Begitulah pikirku. Wanita itu berjalan
kearahku.
“Ohayougozaimasu~ Komandan.” Ucap wanita itu.
“Oh iya, Pagi Sekretaris.”
“Kenapa Komandan belum siap?”
“Oh iya, tadi aku baru bangun dan merasa ingin menyapa mu dulu untuk mengawali
hari.”
“Komandan bisa saja.” Dia tersenyum diiringi dengan tawa kecilnya. Imutnya.
Aku kembali ke ruangan ku dan mempersiapkan diriku. Sepertinya hari ini adalah hari
yang penting. Seragam militerku kupakai rapi, tak lupa dengan semua atributnya. Merasa
sudah siap aku pergi keluar bersama sekretaris ku tadi. Kami memutuskan untuk mengambil
sarapan terlebih dahulu dan mendiskusikan agenda hari ini disana.
Setibanya aku di kafetaria, banyak anggota militer yang sarapan bersama. Hampir
seluruh Kapten dan Mayor ada di ruangan itu. Ketika aku datang mereka menelan makanan
yang mereka kunyah dan menyapaku.
“Selamat Pagi komandan!” Begitu ucap mereka bersamaan.
“Pagi semuanya, habiskan makanan kalin. Hari ini akan menjadi hari yang berat
juga.” Balasku.
“Siap komandan.”
Kemudian aku dan sekertarisku mengambil makanan di kantin. Aku mengambil
banyak sekali makanan, bahkan aku sendiri tidak yakin bisa menghabiskannya. Setelah
mengambil makanan kami duduk di kursi VIP di kafetaria ini, ruangannya tertutup dengan
kaca transparan tebal. Sehingga kami juga dapat menikmati sensai kafetaria yang ramai ini.
Kami menghabiskan makanan utama kami terlebih dahulu baru membahas agenda hari ini.
“Jadi... apa tugas kita hari ini?” Tanyaku.
“Emm, kemarin sore komandan kan baru tiba di Nippon, jadi hari ini mungkin
komandan akan bertemu sekretaris jendral Indonesia.”
“Ah iya, aku jadi penasaran dengan alasan kenapa atasan kita memanggil kita kesini.”
“Saya juga berpikir seperti itu. Namun menilik rumor yang beredar ada sebuah perang
baru antara Uni Eropa, Blok barat dengan salah satu Blok Timur. Perang itu sendiri terjadi
sejak satu bulan yang lalu di daerah China barat. Mungkin kita sebagai anggota militer
AsiaRaya akan berperan untuk meredakan perang ini. Setidaknya jangan sampai ada perang
nuklir. Itu yang saya pikirkan.”
“Benar juga pemikiranmu. Kalau sampai ada satu saja bom nuklir yang meledak
selesai sudah, banyak warga tak bersalah yang akan menjadi korbannya. Aku tidak akan bisa
memaafkan jika orang tak bersalah menjadi korban, aku bersumpah.” Tanpa sadar kalimat itu
terucap dari mulutku, wajahku menjadi serius tetapi sekretarisku kembali menenangkanku.
“Oleh karena itu bukan kita ada disini untuk mencegah itu terjadi.”
“Iya. Mari kita lanjutkan dengan agenda selanjutnya.”
Jam tangan ku menunjukkan pukul 8.50.
“Gawat sudah saatnya menemui sekjen, dimana tadi ruangannya?” Tanyaku.
“ Sekretaris Jendral mungkin sudah menunggu di ruangan Miyamoto Musashi di
lantai delapan.”
Setibanya aku dan sekretaris di ruang pertemuan sosok Sekretaris Jendral sudah
menunggu di kursinya yang terletak di sisi lain ruangan. Diatas meja itu tertulis sebuah nama
Yamamoto Musashi, tentu saja itu bukan nama asli beliau. Hampir semua orang penting yang
ada di ruangan ini menggunakan nama lain untuk mempermudah kode serta penyamaran.
Begitu pula denganku, Heinz Gunderian adalah nama yang kupakai di ruangan ini.
“Baiklah, karena semua anggota rapat kali ini sudah datang maka dapat saya mulai
rapat kali ini.” Kata Sekjen Mushashi.
“Sebelum itu saya ingin berterima kasih pada perwakilan dari Nippon yang sudah
menyempatkan diri untuk datang di rapat kali ini, terima kasih Dai-Shireikan Genichiro
Yamashita Ashina.” Hadirin berdiri dan memberi tepuk tangan singkat kepada Dai-Shireikan
yang datang ke gedung delegasi Indonesia-Nippon ini.
“Setelah itu, tolong Letnan Kolonel Ludwig Holy Blade untuk menjelaskan
keseluruhan agenda rapat kali ini.”
“Terima kasih atas kehormatannya Sekretaris Jendral, seperti yang kita semua ketahui
telah terjadi perang di perbatasan China dengan British Timur. Dimana Kerajaan British tidak
puas dengan hanya menaklukkan Eropa saja, kini mereka mulai mengincar China. Dengan
mudahnya mereka menghancurkan Kazakhstan dan mengambil kekuasaan mereka. Sekarang
Militer China meminta bantuannya sebagai anggota AsiaRaya. AsiaRaya diminta untuk
membantu perang mereka atau setidaknya menghentikan penyerangan British terhadap
wilayah Asia.”
“Ya setidaknya kita harus berusaha menghentikan perang ini.” Ucap sekjen.
“Saya setuju dengan pendapat anda Sekretaris Jendral. Bagaimana dengan anda Dai-
Shireikan?” Kataku.
“Semenjak Nippon dan Indonesia bekerjasama membentuk satuan AsiaRaya ini
banyak negara di Asia lain ingin bergabung disaat pemerintahan mereka hancur. Tetapi itu
bukan hal yang buruk kita berhasil memberikan mereka perlindungan dibawah nama
AsiaRaya, dan kini tiba saatnya anggota pasif AsiaRaya, China meminta perlindungan kita.
Keuntungan besar ini tidak boleh disia-siakan.”
“Kalau begitu apa langkah awal kita dalam menanggapi permintaan China ini?”
Tanya Mayor Erika.
“Pertama mari kita amankan rakyatnya. kita pindahkan mereka yang berada di dekat
wilayah perang ke Hongkong. Setidaknya dengan begitu pemerintahan China akan berfokus
di Hongkong, dan kita memiliki kehendak penuh di wilayah perang.” Jawab Sekretaris
Jendral.
“Hebat juga ide itu, dimana dengan kosongnya wilayah perang itu kita dapat membuat
kontak langsung dengan Uni Soviet.” Kataku.
“Tepat sekali, dengan hak AsiaRaya kita bisa meminta Uni Soviet untuk memperkuat
pertahanannya di sekitar daerah perang. Sehingga musuh juga tidak bisa bersembunyi di
Russia.”
“Akan tetapi tugas hanya bisa ku serahkan kepadamu Komandan Heinz.” Lanjut
Sekjen.
“Kenapa begitu Sekjen?” Tanyaku.
“Bisa dibilang pasukanmu lah yang paling hafal daerah itu.”
“Saya terima kehormatan itu.” Dua jam berlalu, rapat dibubarkan. Akan tetapi
Sekretaris Jendral memanggilku ke ruang kerjanya.
“Saya sudah disini Tuan.” Kataku.
“Hentikan, saat ini kedudukan kita sama. Engkau adalah teman ku di ruangan ini.”
“Hahahaha baiklah.”
“Bagaimana pendapatmu dengan operasi yang kuberikan padamu?”
“Jujur saja rencana memindahkan pengungsi merupakan ide yang bagus, serta
menggerakkan komando ku merupakan hal yang benar.” Jawabku.
“Akan tetapi yang lebih ku khawatirkan adalah langkah selanjutnya.”
“Langkah yang kamu batal bilang?”
“Iya, setelah semua pengungsi aman engkaulah yang mengambil komando di perang
itu.” Ucapan Sekjen membuat ku tercengang sesaat.
“Hanya dirimu yang bisa kupercaya untuk memimpin komando, aku yakin dibawah
komandomu pasukan kita akan bisa mengambil Belgrade. Setelah Belgrade jatuh pasukanmu
perlu menahannya untuk tujuh bulan. Dengan begitu pasukan British akan berhenti
menyerang AsiaRaya.”
“Seperti yang saya duga darimu, engkau berani mengambil resiko yang besar untuk
meraih kemenangan.”
“Ingat jangan sampai kamu mati!! Kalau sampai kamu tak selamat dari misi ini aku
berjanji untuk menghentikan perang ini dengan kekuasaan penuh dan sepenuhnya mengadili
siapapun yang bersalah atas perang ini!” Pandangan temanku kali ini menjadi serius, dia
benar-benar tidak ingin kehilangan temannya lagi.
“Baiklah.”
Setelah itu aku pergi ke perpustakaan mengambil berbagai buku tentang seni perang,
geografis China dan Russia serta mencoba kontak dengan kenalanku di pemerntahan Russia.
“Sudah kuduga lajur komunikasi ke sana sudah diputus. Dan lagi jalur kereta
pengungsian nanti terpaksa lewat selatan. Terlalu beresiko jika melewati jalur normal,
penyusup dari musuh dapat menyerang kapan saja. Jika lewat jalur selatan aku bisa
meminimalisir kerusakan satidaknya sampai melewati Himalaya. Jalur itu yang paling aman
dari musuh.” Tanpa sadar berjam-jam aku merenung dan memikirkan strategi hingga malam
tiba. Setelah rencana ku matang aku memanggil beberapa mayor dan kapten untuk membant
melaksanakan rencanaku. Pukul sebelas malam aku kembali ke kamarku.
“Lama banget kembali nya?”
“Haa?!? Ngapain disini?” Entah bagaimana caranya Sekretaris ku berhasil menyusup
kedalam kamarku.
“Bukannya sebentar lagi kita dapat tugas berat?” Tanya wanita itu.
“Iya.... lalu?”
“Aku ingin mengubah suasana, biarkan aku tidur bersama mu disini.” Mendengar
ucapannya detak jantung menjadi sedikit lebih kencang. Bisa dibilang ini pertama kalinya
aku tidur dengan wanita, semasa muda ku aku tidak pernah berpikir untuk bersenang-senang
dengan wanita. Sehingga beginilah keadaanku sekarang.
“Baiklah, tapi jangan melakukan hal yang aneh!”
Kemudian kami berbaring di ranjang, saling menatap. Akan tetapi aku tidak bisa
berkata apa-apa, sedangkan dia terus memandangi wajahku. Membuatku penasaran dengan
apa yang sedang dia pikirkan.
“Sudah malam, ayo tidur. Besok akan jadi hari yang berat juga.” Katanya.
“Iya, kau benar.”
“Selamat malam Heinz, aku mencintaimu.” Dia mencium keningku dan terlelap
dalam tidurnya.
Mana mungkin aku bisa tidur tenang setelah mendengar kalimat itu dari wanita
secantik dia. Mungkin dia itu tipeku. Akan tetapi akan ada saatnya untuk fokus pada hal-hal
yang seperti itu.
Paginya aku terbangun dari salah satu tidur ternyenyak yang pernah aku dapat.
Meskipun tadinya aku tidak mungkin bisa tidur, tetapi keberadaannya membuat tubuhku
nyaman. Kubuka sedikit jendela dikamarku, langit berwarna biru cerah, matahari baru saja
menerikkan cahayanya, burung-burung berkicauan di pepohonan. Sungguh pemandangan
yang menakjubkan. Andai setiap hari seperti ini, damai. Aku pergi mandi terlebih dahulu,
berharap air segar mampu menambah energiku hari ini. Kukenakan seragamku dan siap
menjalani hariku. Di sisi lain Sekretaris ku baru saja bangun dari tidurnya, wajah paginya
benar-benar tak tergambarkan. Keimutannya membungkamku.
“Pagi....” Ucapnya setengah mengantuk. Dia beranjak dari kasur dan pergi ke kamar
mandi. Aku dengan sabar menunggunya bersiap.

Pukul sepuluh pagi, seluruh pasukanku sudah bersiap di sebelah kereta yang akan
kami naiki. Satu brigade tentara darat akan berangkat bersamaku dengan berbagai kereta
yang nantinya akan berangkat terpisah. Seluruh tentara ini nantinya akan membantu perang
merebut Belgrade. Dan seluruh kereta akan kembali ke Hongkong dengan seluruh pengungsi.
Semua rencana tersusun rapi, baik perbekalan maupun amunisi sudah berhasil dimasukkan ke
kereta. Sudah saatnya kami berangkat. Dua kereta yang dipimpin oleh Mayor Erika dan
Kapten udin akan melewati jalur tengah yang akan tiba alam dua hari di medan perang,
sedangkan keretaku berangkat melalui jalur selatan untuk memastikan kondis alam sekitar
saat pulang nanti.
Dua hari berlalu, aku mendapat laporan dari komando di medan perang bahwa bala
bantuan berhasil tiba dengan selamat. Setidaknya butuh satu hari lagi untukku tiba di medan
perang. Untung saja sejauh ini belum ada tanda-tanda musuh yang menyerang dari jalur
selatan. Dengan begini para pengungsi dapat sampai ke Hongkong dengan selamat. Sehari
kemudian keretaku tiba di medan perang. Dengan segera aku menghubungi pihak Russia
untuk mengamankan perbatasan negaranya. Mereka memberikan respon positif.
“Dengan senang hati akan saya lakukan, melihat tingkah laku British yang semakin
diluar kendali ini kami sudah menaiikkan tingkat pertahanan kami ke level maksimal.
Kehilangan mantan teman kami, Kazakhstan sudah membuat kami bersiap menghadapi
perang.” Begitulah respon dari salah satu komandan tentara Russia yang aku kenal. Dengan
begini sebagian rencanaku sudah terlaksana dengan baik.
Tanpa menunggu lama sekretaris ku sudah mengatur tatanan pengungsi di kereta,
sehingga semua pengungsi memiliki tempat yang cukup di dua kereta. Dimana nantinya
kereta pertama yang dipimpin Mayor Tandhira akan berangkat lebih awal dengan membawa
mayoritas pengungsi. Selagi aku fokus dengan bagianku Shikikan Sekiro-lah yang
mengambil komando perang. Dalam catatan AsiaRaya Shikikan Sekiro adalah sosok
komandan dengan jiwa samurai yang kuat, selama beberapa minggu dia akan memimpin
jalannya perang sampai aku tiba lagi di medan perang ini.
“Bagaimana persiapan keberangkatannya?” Tanya ku pada sekretarisku.
“Semua sudah siap berangkat besok, benar-benar tugas yang padat.” Balasnya.
“Iya, selama beberapa bulan ini kita akan mendapat sedikit istirahat. Kemampuan kita
diuji disini.”
“Iya aku tahu, selama ada komandan disisiku semua akan berjalan dengan baik.”
“Hentikan, kita sedang bekerja.” Jujur saja aku senang dengan perkataannya.

Keesokan harinya sesuai jadwal kereta pertama berangkat terlebih dahulu. Cuaca
yang mulai memasuki musim gugur memberikan suhu yang ideal untuk melewati
pegunungan Himalaya. Selama beberapa jam pertama seluruh rencanaku berjalan sesuai
jalnnya. Tiba-tiba salah satu ajudan Sekiro memanggilku untuk datang ke ruang strategi.
Dengan segera aku berlari menuju kesana.
“Komandan Heinz, hari ini kita mendapat sedikit tekanan dari musuh.” Ucap Sekiro.
“Apa? Kemana menghilangnya mereka?”
“Itu dia yang ingin saya bahas. Sepertinya mereka mengetahui pergerakan kita.”
“Kereta nya!! Mereka berniat menjebak kita disini!!” Sentakku terkejut.
“Tak kusangka mereka selicik itu, mereka sudah tahu kalau mereka idak bisa kabur
melalui Rusia, sehingga mereka ikut menjebak kita disini.” Setelah aku berkata begitu mata
Sekiro melotot menyadari seluruhnya.
“Dengan hanya satu jalur, kita tidak bisa bergerak leluasa. Komandan Heinz, saya
mohon selamatkan jalur selatan. Saya akan memberikan mereka serangan balasan.”
“Terima kasih Shikikan Sekiro.”
Dengan cepat seluruh kereta ke dua denvan sedikit pengungsi dan sejumlah tentara
berangkat menyusul kereta satu. Aku masih ragu dengan dimana letak mereka akan
menyerang kereta pertama, setidaknya jalur selatan bukanlah jalur yang bisa dilewati dengan
banyak pasukan. Selang beberapa jam dari keberangkatanku terlihat dari kejauhan kereta satu
yang berhenti di tengah-tengah rel tepat di tepi pengunungan Himalaya, diantara bukit-
bukitnya yang menjulang tinggi. Masinis kuminta untuk berhenti satu kilometer sebelum
kereta satu, seluruh pasukan yang kubawa kusiagakan mengitari kerta satu. Terlihat di langit
terdapat bekas jalur pesawat, setidaknya hanya ada tiga puluh personil yang terjun dari langit
menyabotase kereta. Seharusnya aku dapat memenangkan pertarungan dengan seratus
personilku akan tetapi, mereka menyandera para pengungsi.
“Dua puluh tentara ikut aku dan Sekretaris ku maju ke garis depan!! Kita akan
menyelamatkan para sandera! Sepertinya Mayor Tandhira sudah berhasil disandera juga.”
Aku dan personilku maju ke garis depan. Terlihat sosok pria berbadan besar berdiri di tengah
tengah para sandera, sepertinya dia kapten dari penyabotasean ini.
“Selamat atas berhasilnya rencanamu Heinz Gunderian, engkau memaksa kami
membagi kekuatan udara kami hanya untuk mengurung mu disini!! Dengan kata lain, kau
berhasil memojokkan kami Asia sialan!!” Ujar Pria berbadan besar itu.
“kalau begitu bisa tolong bebaskan para sandera untuk ucapan selamat itu? Aku tidak
butuh ucapan selamat dari bajingan sepertimu!”
“Teruskan hinaanmu, maka sepuluh dari mereka akan mati!” Teriak pria itu.
“Sekretaris, tolong selamatkan para sandera dari belakang, aku akan menahan mereka
disini.” Sekretarisku menganggu dan mempercayakan semuanya padaku.
“Daripada aku hanya bisa menyebutmu sialan sebutkan namamu dengan lantang!”
Teriakku.
“Kristoff!! Ingat namaku di akhiratmu! Serahkan kepalamu padaku!”
Dengan mengikuti alur aku berjalan kesana sambil menjatuhkan senjataku. Semua ini
untuk menyelamtkan para sandera! Aku yakin dia pasti berhasil. Tentara musuh
memasangkan borgolnya ketanagnku. Mereka memaksaku berlutut didepan mereka. Kristoff
menjulurkan pistolnya ke kepalaku.
“Dengan begini hanya Sekiro masalah kita!”
“Sampai jumpa Kristoff, senang mengenalmu.”
“Ha?!” Di saat yang bersamaan seluruh tentara Kristoff yang menjaga sandera
berhasilkan dilumpuhkan.
“Sialan.” Kristoff menoleh kearah para sandera yang bebas. Di saat yang bersamaan
aku menendang pistolnya dan berhasil menjauhkan pistolnya dari Kristoff. Kristoff tersentak
mundur, dengan cepat aku berdiri dan mencoba mengambil pistol Kristoff.
“JATUHKAN BANTUAN!!” Teriak Kristoff. Puluhan tentara musuh melompat dari
balik pegunungan dan bukit, dengan cepat perang kecil dimulai. Seluruh tentaraku yang
bersembunyi ikut andil dalam pertempuran. Sekretarisku berusaha mengamankan para
pengungsi dengan memasukkan mereka kedalam kereta. Lebih cepat kereta berangkat lebih
sedikit beban yang ada.
Disisi lain Kristoff berhasil menjatuhkan tendangan saat aku berusaha meraih
pistolnya. Kaki besarnya ia angkat kembali dengan maksud menginjakku yang kedua kalinya
dengan lebih keras. Dengan cepat aku berguling menghindari serangannya. Aku berdiri dan
membalas kembali tendangannya dengan tendanganku. Serangan ku berhasil mengenai tubuh
besarnya, tapi belum cukup untuk menjatuhkannya. Kristoff mengepalkan tinjunya lalu
melesatkannya kearahku. Aku menendang gumpalan salju ke mata Kristoff sehingga
serangannya meleset. Aku berlari kebelakangnya dan memberikan tendangan dipunggungnya
selagi dia membersihkan salju dari mukanya. Kristoff terjatuh, tanpa menyianyiakan
kesempatan aku mengambil pistolnya. Tiba-tiba tangan besar Kristoff menarik kaki ku
hingga aku terjungkal ke tanah. Kuraihkan tanganku menggapai pistol itu, dapat! Tetapi
Kristoff berdiri dan melempar tubuh ku kearah pepohonan.
Kereta satu melaju, berusaha meninggalkan medan pertempuran. Akan tetapi salju
dengan jumlah luar biasa longsor dari atas kereta. Salju itu menahan gerbong terakhir kereta.
Sekretarisku berlari menuju gerbong terakhir dengan maksud melepaskannya. Segera saja
terdengar suara ledakan besar dari atas pegunungan.
“Dengan begini kemenangan ada di pihakku!” Teriak Kristoff bangga.
Setelah sadarku kembali ku tembakkan peluru kearah kepala Kristoff. Tanpa sadar dia
membiarkanku hidup, dan kecerobohannya membunuhnya. Setelah Kristoff tumbang, seluruh
pasukannya kocar-kacir sehingga mudah dihabisi oleh tentaraku. Tetapi, salju yang longsor
melaju dengan cepat. Aku melepas rantai borgolku dengan tembakan pistol Kristoff.
“Semuanya masuk ke kereta!! Segera berangkatkan keretanya!!” Teriakku. Dengan
cepat seluruh pasukan membantu sekretarisku melepas gerbong terakhir kereta satu dan
memberangkatkan keretanya. Aku segera berlari mengejar laju keretanya, kereta itu melaju
semakin cepat dan cepat. Sekretarisku datang mengulurkan tangannya dari balkon gerbong.
Dengan cepat aku meraih tangannya dan berhasil menghindari longsornya salju Himalaya.
Setelah beberapa hari kereta kami tiba di Hongkong dengan selamat. Misi ku
memindahkan pengungsi dinilai berhasil dengan kekurangan. Kereta dua tertimbun longsor,
akan tetapi seluruh orang di dalamnya berhasil selamat dari longsor luar biasa itu. Longsor itu
juga berhasil memutus jalur selatan setidaknya sampai musim semi. Setelah longsor itu
musim gugur memberikan hujan salju pertama bagi Himalaya. Hal itu membuat kami
kesusahan membersihkan salju longsor sampai musim semi.
“Sial, kenapa mereka bisa tahu rencanaku??” Keluhku di ruangan ku.
“Menurut saya, kita sudah disabotase dari awal.” Kata Sekretarisku di belakang ku
selagi dia membaca laporan dari perang di perbatasan China kemarin.
“Menurutmu ada mata-mata di pasukan kita? Hmmm, tolong panggilkan Mayor
Tandhira, Kapten Udin, dan Kapten Tenzen.” Segera sekretarisku mengangkat telepon dan
memanggil personil yang kuinginkan.
“Sudah saya panggil mereka komandan, kenapa anda memutuskan memanggil
mereka?”
“Sederhana saja, hanya mereka sejumlah personil yang dekat denganku dan mereka
juga tahu dengan rencanaku.”Beberapa saat setelah percakapanku dengan sekretarisku
seluruh personil yang kupanggil sudah tiba di depanku.
“Maaf sudah memanggil kalian di waktu laung kalian.”
“Tidak masalah komandan, kami siap kapanpun ada panggilan.” Ucap Kapten
Tenzen.
“Terima Kasih Kapten, nanti saya akan menghadap Menteri Pertahanan Indonesia dan
Perdana Menteri Nippon. Saya harap kalian bersiap akan segala hal yang mungkin datang
nantinya.”
“Siap komandan!” Dengan sigap mereka bubar. Dan tibalah saatku menghadap para
petinggi.
Ruangan kali ini berada dilantai tertinggi kantor pemerintahan Hongkong. Seluruh
anggota rapat datang sepuluh menit sebelum rapat dimulai. Tingkat ketegangan di ruangan
begitu pekat. Sepertinya akan ada masalah baru yang lebih besar dari perang yang sedang
berlangsung di perbatasan China. Begitu rapat dimulai moderator berdiri dan membacakan
topik utama.
“Kerajaan British sudah menginjakkan kaki militernya di tanah India, merka ingin
mengklaim kembali India dari tangan AsiaRaya. Jika tidak perang Nuklir menjadi tak
terelakkan.” Baca moderator rapat.
“Begitulah pesan yang dibawakan oleh pembawa pesan British.” Sambung sang
moderator.
“Apa pendapat anda Perdana Menteri?” Tanya Sekretaris Jendral Musashi.
“Sepertinya kita perlu memberikan tekanan kepada British dari kedua sisi. Selagi
Pasukan Khusus Nippon akan menyusup ke British dan menyabotase nuklir mereka,
mencegah perang nuklir adalah prioritas kita!”
“Saya setuju, kita fokuskan sebagian tentara kita mempertahankan India dan yang
sedang ada di China akan terus bergerak maju mengambil Belgrade. Bagaimana dengan ide
ini Sekjen?”Kata Menteri Pertahanan Indonesia.
“Ide yang cemerlang Tuan, selagi British sibuk dengan gempuran dua arah pasukan
khusus akan memiliki waktu untuk menghentikan nuklir.” Balas Sekjen Musashi.
“Kalau begitu kita butuh Shikikan Sekiro dan Dai-Shireikan Genichiro di medan
tempur India, dan yang akan memberikan tekanan di Belgrade adalah Komandan Heinz.”
“Saya siap dengan tugas itu Tuan Perdana Menteri.” Jawabku siap. Rapat kemudian
berlangsung dengan sejumlah pembahasan strategi untuk menghentiksn perang. Tetapi
misiku tetap seperti yang diperkirakan Sekretaris Jendral Mushashi. Aku yang paling paham
daerah itu, dan untuk membalas kehilangan jalur selatan aku harus bisa mengambil Belgrade!

Satu minggu setelah rapat, lima kereta tempur siap untuk berangkat menuju
perbatasan China barat. Dengan total hampir 30.000 prajuruit bersiap menggempur Belgrade.
Letnan Kolonel Ludwig akan menemaniku mengatur strategi selama perjalanan. Menurut
berbagai sumber sejumlah pengintai sudah digerakkan di sekitar lajur kereta. Para pimpinan
tidak ingin kecelakaan seperti sebelumnya terulang kembali. AsiaRaya tidak akan
menganggap remeh setiap perang, kami benar-benar ingin menekan British demi
mengembalikan kedamaian kepada Asia.
Dua minggu perjalanan panjang kami tempuh tanpa ada kendala yang serius. Akan
tetapi kondisi di medan perang hanya mengalami sedikit kemajuan. Semenjak
terperangkapnya pasukan Shikikan Sekiro, persediaan amunisi dan bantuan menjadi mudah
menipis. Tetap sebuah kemajuan yang luar biasa di raih oleh Sekiro di kondisi yang tidak
menguntungkan ini. Tetapi sekarang bala bantuan sudah datang, komando dari perang ini
akan ada dipundakku. Pagi harinya, Shikikan Sekiro memanggilku ke ruangannya.
“Maaf atas kegagalan saya mempertahankan jalur selatan.” Ucap ku.
“Tidak apa-apa, sepertinya ada kebocoran informasi didalam rencanamu.”
“Iya, salah satu dari bawahanku adalah penyusup. Kedok mereka akan terbuka tak
lama lagi.” Balasku.
“Baiklah kalau begitu, dengan kepemimpinanmu di perang ini aku yakin Belgrade
akan jatuh ke tangan AsiaRaya sebelum musim dingin mulai.”
“Iya.”
“Satu lagi, aku akan memberikan kusabimaru ku kepadamu.”
“Kusabimaru? Katana anda Shikikan Sekiro?” Tanya ku.
“Entah ini firasat saya atau mungkin sesuatu yang lain, tapi nantinya engkau akan
memerlukan katana ini. Anggap saja sebagai simbol pertemanan kita.”
“Terimakasih teman. Untung saja anda mengajari saya memakai katan.”
“Hahahaha iya, dengan begini saya bisa menaklukkan British di tanah India dengan
tenang.” Sambung Sekiro.
Setelah pertemuanku dengan Sekiro aku kembali ke kamarku. Kubaringkan tubuhku
sejenak di ranjang. Seluruh spons kasur seakan menyerap seluruh bagian tubuhku, sudah
lama aku tidak merasakan sensasi ini. Salah satu momen yang kuingat dengan kenikmatan
yang setara dengan ini adalah saat aku masih remaja. Lelah dari SMP setibanya dirumah
kubaringkan tubuhku di kasurku, meskipun kasur ku tidak seempuk ini. Tetapi momen-
momen disaat aku masih miskin teringat oleh kepalaku. Benar-benar perjuangan yang berat.
“Hanya dengan ijazah SMP seorang bocah mencoba mendaftar ke akademi militer.”
Gumamku dalam ruanganku.
“Dan sekarang bocah itu menjadi sosok Komandan yang disegani oleh seisi militer
Asia.” Suara sekretaris ku membangunkan ku, dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.
“Ceritakan lagi tentang kisah bocah itu.” Sambungnya.
“Dia hanya sosok bocah yang ditinggalkan oleh ayahnya, hidup dalam kemiskinan.
Akan tetapi mimpinya untuk mengabdi kepada negara membuatnya bangun dari keterpurukan
itu. Di akademi militer ia berusaha keras, berjuang, berjuang dan berjuang tanpa kenal
menyerah. Benar-benar sosok yang naif.” Sambung ceritaku.
“Sosok itulah yang membuatku ada disini, Komandan Heinz. Aku berjuang lebih
keras lagi hanya untuk mengejarmu, sekarang aku adalah tangan kananmu. Engkau selalu ada
disisi ku, dan aku selalu ada di sisimu.” Sambung sekretarisku dengan senyum cantiknya
mengakhiri kalimatnya.
“Iya, kau benar. Selama kita berdua, kita mampu mengambil kedamaian kita.”
Dia mengangguk lembut, kemudian menarik lenganku. Aku berdiri dan pergi
mengikutinya. Dia terus menuntunku keluar, mengajakku pergi ke balkon yang luar biasa
lebar. Di bawah balkoni itu, ribuan prajurit berbaris rapi. Sebuah podium disediakan di
tengah-tengah balkoni, disiapkan bersama dengan mic yang tersambung dengan pengeras
suara.
“Yang terhormat, Komandan Heinz Gunderian. Silahkan memberikan sepatah
duapatah kata untuk memberi semangat para pejuang kita yang akan pergi merebut Belgrade
hari ini.” Ucap Sekretaris ku dengan mic digenggamannya.
“Para prajurit sekalian!! Tidak, SAUDARA-SAUDARAKU SEKALIAN!! Pada
awalnya kita hanya ditugaskan membantu militer China dalam perang mereka. Tetapi seperti
yang kita tahu, kita semua adalah saudara!! Kita salang bantu membantu kala dalam
kesusahan. Tidak hanya disini, kita juga akan membantu India dari serangan musuh yang
sama. Lawan kita sudah melupakan persaudaraan kita!! Mereka meremehkan kita!
Berjuanglah bersamaku! Kita kembalikan hari-hari kita yang damai!!! MERDEKA!”
“JIYUU!!!” Teriak para tentara dari Nippon.
“Merdeka!!!!” Teriak seluruh tentara dari Indonesia.
Seluruh tentara bergerak kembali ke posisi mereka. Jalan mereka tertata rapi, hati
mereka teguh untuk saling bantu. Jiwa mereka berhasil menjadi satu kesatuan. Mereka
berangkat ke medan pertempuran. Sedangkan aku dan sekretarisku berpindah tempat menuju
ruang strategi di pos di seberang medan perang. Komando peperangan dikendalikan dari sini.
“Bagaimana rencana anda kali ini Komandan?” Tanya Mayor Tandhira.
“Jujur saja, saya sudah mulai lelah berpikir keras seperti ini. menurutmu strategi apa
yang cocok untuk menjatuh kan Belgrade?” Balasku.
“Bagaimana dengan mengerahkan pasukan tank utama ke wilayah utara Belgrade?
Saya dengar wilayah disana minim pertahanan.”
“Saya dengar, siapa yang menjadi sumbermu?” Tanyaku. Mayor Tandhira gagal
menyembunyikan wajah terkejutnya. Matanya melotot lebar, sesuai perkiraan. Dia
mengarahkan pistolnya ke kepalaku. Di saat yang sama Sekretarisku mengeluarkan pistolnya
disusul dengan para tentara di sekitar yang mengarahkan senapan mereka ke arah Tandhira.
“Hentikan!!! Atau kepala Heinz akan berlubang!!” mendengar gertakan dari Tandhira
sebagian tentara menjadi ragu, tetapi tidak dengan sekretarisku. Dia tetap mengarahkan
pistolnya lurus ke arah Tandhira.
“Hoo, turunkan pistol itu atau kepala Komandan kesayanganmu akan berlubang!”
“Sebelum menggertak lihat dulu apa yang ada di tangan mu itu!” Balas sekretarisku.
Sebelum Tandhira menoleh aku menguatkan siku lenganku dan menyerang siku Tandhira
dengan siku ku. Sentakan syaraf yang dirasakan Tandhira membuatnya reflek menjatuhkan
pistolnya. Tanpa menunggu lagi Sekretarisku melontarkan peluru menembus kaki Tandhira.
“Aarrghhh.” Teriaknya kesakitan. Dengan cepat aku melumpuhkan Tandhira. Aku
memukul tengkuknya sehingga dia pingsan. Dengan begini satu masalahku selesai.
“Terima kasih Sekretaris..... atau... hmmm.”
“Ada apa komandan?”
“Sudah saatnya mempromosikanmu mungkin.”
“Hahaha anda benar juga, sudah berbulan-bulan saya bekerja untuk anda.”
“Terima kasih sudah mengingatkanku Ajudan.” Aku memutuskan untuk
mempromosikannya menjadi Ajudan ku, karena gelar Sekretaris berlaku tidak menentu.
Sedangkan Ajudan akan terus ada disisi Komandannya.
Satu minggu perang berlangsung, perlahan demi perlahan pertahanan musuh
melemah. Sepertinya tekanan yang diberikan di India jauh lebih besar dari yang
kubayangkan. Ajudanku melakukan tugasnya dengan luar bias baik. Sarannya untuk
menggunakan sebagian besar tank untuk menggempur bagian tenggara kota benar-benar
memberi dampak yang besar. Kemudian hari ini, pasukan British menyerah mempertahankan
Belgrade. Seluruh pasukannya mundur. Dengan begini hanya menunggu Shikikan Sekiro
menyelesaikan tugasnya.
“Bukankah British menyerah terlalu cepat kali ini?” Tanya ku kepada Ajudanku.
“Anda benar komandan, setidaknya kita hanyaperlu bertahan hingga musim dingin.”
“Tanggal berapa sekarang?” Tanya ku lagi.
“Sekarang tanggal 20 November 2049.”
“Siapkan semua mayor, letnan, dan kaptain untuk meberikan perlindungan maksimal
kepada kota. Semua ini belum berakhir.” Menurut perkiraan cuaca dari pusat, badai salju
akan datang untuk mengawali musim dingin tahun ini. Setidaknya British akan menyerang
satu kali lagi sebelum musim dingin.
Satu minggu lebih tanpa ada tanda-tanda serangan balasan dari British, membuat
diriku semakin was-was. Disisi lain banyak peleton yang mulai kehilangan fokus mereka,
banyak yang mulai bersantai di dalam kota. Salju perlahan-lahan turun untuk mengawali
musim dingin. Tanggal 28 November, bala bantuan sudah disediakan di kota Beitun sekitar
50km dari Belgrade Mayor Erika yang memegang komando disana. Banyak prajurit yang
dipindahkan dari Belgrade menuju medan perang di India. Sepertinya perang gila sudah
terjadi disana. Pukul 8 pagi aku mendapat telepon dari pusat, sekretaris jendral yang
menghubungiku.
“Aku membawa berita baik komandan, pasukan khusus sudah berhasil menyabotase
nuklir milik British.”
“Syukurlah kalau begitu, terima kasih atas bantuannya.”
“Tidak, aku yang seharusnya berterima kasih, karena pasukanmu berhasil memukul
mundur British dari Belgrade.” Dengan begini aku bisa sedikit tenang. Setidaknya itu yang
aku pikirkan sampai sore harinya salah satu mayor berlari ke ruanganku. Ia membuka pintu
dengan keras, nafasnya terengah-engah.
“Armada British dan Ame..... Mereka menuju kesini dengan.... kecepatan tinggi.....”
Ujarnya.
“Berapa banyak perkiraan prajurit mereka?” Tanya ku.
“Satu pesawat utama, seratus tank..... puluhan pesawat tempur..... perkiraan ada lebih
dari 500.000 personil musuh.....”
Mata ku melotot, ekspresi kaget ku tak bisa kusembunyikan. “Mereka gila!!!”
Teriakku. Tak lama kemudian, pengeras suara di seluruh kota tersambung dengan jalur
komunikasi internasional.
“Kami Amerika Serikat dengan ini memutuskan untuk membantu British dalam
menaklukkan China. Pihak AsiaRaya dianggap sebagai penghalang bagi kami. Dengan
armada kami, kami akan membumi hanguskan semuanya.” Suara pimpinan armada Amerika
terdengar di seluruh penjuru kota.
Seluruh artileri didalam kota disiapkan, meskipun hanya tersisa 20.000 pasukan
dengan adanya kota sebagai benteng seharusnya pasukanku bisa menahan mereka. Dengan
cepat aku menghubungi komando pusat, meminta bala bantuan. Namun percuma jalur
komunikasi berhasil di putus oleh armada Amerika. Teknologi mereka jauh lebih canggih
rupanya.
“Kita terpaksa berjuang sendiri kali ini!” Teriakku kepada pasukanku. Ajudan ku
mengambil senapan anti-tank dari gudang senjata. Dari atas gedung ia membidik tank yang
menuju ke kota. Suara meriam menggelegar di seluruh penjuru kota. Parit-parit kembali
digali di pinggiran kota. Tetapi dari langit pesawat tempur Amerika membunyikan sirine nya,
bom-bom datang menghujani tentara yang berusaha menggali parit. Ratusan tentara mati
begitu saja. Kapten Tenzen memimpin pasukan udara, mereka berniat memberikan serangan
balasan melalui udara. Di lain tempat aku memerintahkan Kapten Udin untuk memimpin
pasukan tank untuk bergerak memutar dan memberikan serangan dari samping tank musuh.
Seluruh cara kugunakan untuk mempertahankan kota ini.
18 Jam bertahan, hampir seluruh pasukanku tewas. Hanya tersisa 2000 orang. Aku
mengikuti langkah ajudanku. Senapan anti-tank aku gunakan dengan berpindah-pindah
gedung. Sehingga musuh tidak tahu keberadaanku. Sebagian besar tank musuh meledak
namun sebagiannya lagi berhasil menghancurkan seluruh meriam pertahanan di kota.
Pasukanku hanya bisa mengandalkan bom dan granat untuk menghancurkan tank lawan. Di
udara pesawat lawan tetap berkeliaran menyerang kami yang ada di darat. Kapten Tenzen
sudah kehilangan sebagian besar pasukan udaranya. Entah berapa jam lagi kami akan
bertahan.
“Komandan Heinz... Lapor!!..!!” Sisitem komunikasi mulai bekerja. Radio ku mulai
nyala kembali.
“Roger, Komandan Heinz Gunderian disini. Saya memohon untuk mengirim bala
bantuan segera!!”
“Baik, kami segera mengirimkan bantuan penuh. Mohon tahan musuh beberapa jam
lagi.” Radio kemudian mati kembali.
“Sial!!” Gumamku.
Pukul 7 malam, tank musuh berhasil masuk kedalam kota. Bantuanpun belum terlihat
kedatangannya. Lantas aku mencoba menghubungi mereka lagi.
“Lapor, Komandan Heinz disini. Saya mohon bala bantuan dikirim segera!!”
“Mohon maaf, tetapi badai salju lebat melanda tempat kami.” Jawab Mayor Erika
melalui radio.
“Dimana posisimu??” tanya ku.
“Pasukan ku sudah sampai 20km dari Belgrade. Semua tentara tak tahan dengan
dinginnya badai ini.”
“Tolong kali ini saja, paksa mereka! Jika kita kehilangan kota ini maka satu satunya
jalur militer ke China akan hilang!!” Jalur selatan sudah hancur, dan kini jalur tengah akan
diambil. Sialan!
“Meski begitu kami disini juga kehilangan banyak personil karena badai ini.” Balas
Mayor Erika.
Perlahan namun pasti, tank pasukan Amerika mengambil alih kota. Aku dan
pasukanku mundur ke bagian paling timur kota. Seluruh pasukan udara kami hancur, Kapten
Tenzen berhasil menghancurkan 80% armada udara musuh. Kali ini struktur kota yang
membantu kami, bagian timur kota ini cukup padat. Sulit bagi tank musuh untuk bergerak
bebas di wilayah ini. setelah satu setengah jam kami bertahan hanya tersisa 200 orang tentara
yang bersamaku. Kami benar-benar terpojokkan. Jika bukan karena struktur wilayah ini maka
kami sudah habis sejak tadi.
Menyadari bahwa tank tidak mampu menembus wilayah ini, armada Amerika
mengerahkan pasukan jarak dekat mereka. Sekitar 800 orang menggempur pertahanan kami.
Dari gedung aku dan ajudan ku meletakkan senapan anti-tank kami dan mengambil senapan
kami. Aku dan ajudanku berdiri saling membelakangi, kami saling melindungi punggung satu
sama lain. Perlahan lahan kami mundur ke tempat rekan kami berada. Musuh menyerang dari
segala arah sampai kami tiba di tempat sisa pasukan kami berjuang. Reruntuhan gedung
menjadi tempat kami berlindung dan menyerang. Anehnya seluruh tank musuh bergerak
mundur. Seakan sesuatu yang lebih besar akan terjadi.
“Kalian semua tahan tempat ini, aku dan ajudanku akan mencoba menyelinap maju!”
Perintahku. Aku dan ajudan ku mengendap-endap dari sela-sela gedung ke bagian belakang
formasi musuh.
“Lindungi aku.” Aku berlari menuju musuh. Ku keluarkan Kusabimari dari
sarungnya. Katana ini dengan mudahnya menebas kepala musuh. Dari belakang ajudan ku
menggunakan pistolnya menembaki kepala musuh dari belakang. Setelah beberapa kepala
kupenggal musuh mengerahkan pasukan mereka mengepung kami. Banyak prajurit mereka
maju menggunakan senapan berujung pisau mereka. Dengan lincahnya aku menangkis setiap
serangan jarak dekat mereka. Tangkis, tusuk, tangkis, potong irama itu kumainkan dalam
tarianku. Ditengah kerumunan musuh aku dan ajudan ku berdansa dan bermandikan darah
musuh kami. Tanpa sadar kami sudah menghabisi sebagian besar musuh yang mengepung
kami. Banyak juga dari mereka yang mundur dari pertarungan.
“Haa... Haa... Intens juga...” Nafasku terengah-engah.
“Iya.... Haa....” Balas Ajudanku.
Daass. Sebuah peluru sniper yang cukup besar mengenai punggung ajudanku. Dalam
kejutku aku reflek berlari dan menggendong ajudanku yang hampir saja terjatuh. Pasukanku
dari jauh menembaki sniper yang menembak ajudanku. Aku menggendong ajudan ku,
membawanya ke tempat aman. Di salah satu gedung terdapat ruang bawah tanah. Aku
meletakkan ajudanku di sebuah matras dan berusaha mengobati luka tembaknya, namun
percuma luka pelurunya sungguh dalam. Peluru itu mungkin ada diparu-parunya, beberapa
sel saraf tulang belakangnya terputus. Aku menutupi tubuhnya yang mulai pucat dengan jas
ku. Aku membuat api unggun kecil dari barang-barang disekitarku, berharap dapat
mencegahnya kedinginan.
“Kamu yang kuat ya.... Kamu pasti bakal selamat, bertahanlah....” kataku sambil
mengeluarkan air mata. Setelahnya ajudanku batuk dan mengeluarkan darah. Aku
menggenggam erat tangannya. Tubuhnya mulai lemas, wajahnya memucat.
“Tidak apa-apa kok..... ini hanya ... luka tembak..... biasa” Ajudan ku berkata begitu
sambil tersenyum. Membuatku semakin tak kuat menahan tangisku. Perasaanku menjadi
campur aduk, sedih, kesal dan marah namun air mataku memperjelas semuanya.
“Kumohon bertahanlah, jika kamu pergi.... aku akan sangat kesepian... komohon
bertahanlah!”
“Ingatlah, aku akan selalu.... menemanimu.... walau aku sudah... tidak ada.... aku akan
selalu disisimu komandan.... kau adalah orang yang paling baik hati.... yang pernah
kutemui...” Dia menjulurkan tangannya mengusap air mataku.
“Walau tidak ada lagi orang.... yang sepemikiran denganmu... sehati... dan mengerti
dirimu... maka ingatlah diriku lah yang ada... disamping yang selalu menemani.... Kumohon
komandan teruslah... hidup dan ingatlah.... Aku selalu mencintaimu.” Aku menggenggam
tangan ajudanku yang mengusap air mataku.
“Aku berjanji akan terus hidup, dan tidak akan kesepian. Karena aku akan selalu
mencintaimu.” Setelah aku menyelesaikan kalimatku. Dia menghembuskan nafas
terakhirnya. Air mataku semakin deras mengalir.
Dari langit turun bombardir. Guncangannya begitu hebat membuat bangunan tempat
ku berlindung runtuh. Aku berusaha melindungi tubuh ajudanku dari reruntuhan itu. Salah
satu batunya membentur keras kepalaku dan membuatku pingsan.

Aku terbangun, yang kulihat pertama kali adalah langit-langit yang tak ku kenal. Di
sebelah kananku terdapat jendela yang luas dengan pemandangan Kota Tokyo. Kepalaku
masih sakit. Aku merasa seperti habis bermimpi panjang, atau apa semua itu hanya mimpi?
Pemikiranku membingungkanku. Seorang suster yang baru saja masuk keluar lagi memanggil
dokter yang memeriksaku.
Setengah jam kemudian, wajah orang yang kukenal masuk ke ruangan ini. Mereka
adalah teman-temanku, atasanku dan bawahanku.
“Maafkan aku. Aku gagal mencegahnya.” Ucap sekretaris jendral.
“Kalian.... kenapa?” Ingatanku tercampur aduk, kata-kata acak keluar begitu saja.
“Maafkan aku juga. Aku terlambat datang, aku....aku tak bisa menyelamatkanmu dan
ajudanmu.... maafkan aku!!” Wanita yang kukenal dengan nama Erika itu menyela dan
mencakupkan tangannya meminta maaf. Aku pun terdiam. Perlahan-lahan aku meneteskan
air mata. Aku sudah ingat semuanya.
“Dia tidak salamat ya...” ucapku.
“Berapa lama aku pingsan?” Tanyaku.
“Sekitar sepuluh hari sejak hari itu.” Balas Sekretaris Jendral.
“Bisa tinggalkan aku sebentar....” Kataku kepada mereka. Kemudian mereka
meninggalkanku sendirian. Ku coba menyalakan televisi rumah sakit di ruanganku.
“Perang di blok barat semakin panas, setelah mendapat serangan telak di India dan
China barat, kini Russia memutuskan untuk ikut andil memerangi British. Sejumlah bom
nuklir yang dijatuhkan oleh Russia membuat Negara adidaya British dan temannya Amerika
menjadi diam tak berkutik. Hal ini membuat beberapa negara jajahan British memberontak
dan berusaha merebut kebebasan mereka kembali.” Ujar pembawa berita di televisi.
Dua hari setelahnya aku diperbolehkan keluar rumah sakit. Tepat saat hari
penghormatan terakhir seluruh prajurit dan ajudanku. Aku pergi mengikuti upacara
pemakamannya. Kali ini aku memutuskan untuk tegar dan tidak menangis dihadapannya.
“Bagaimana keadaan perang setelah itu?” Tanyaku pada sekretaris jendral.
“Setelah bombardir dari amerika, Mayor Erika dan bala bantuan berhasil tiba di
lokasi. Mereka sukses memukul mundur Amerika. Russia bangun dari tidurnya. Hal itu
menjadi pemicu utama bangsa barat lain untuk memberontak dari British, banyak dari mereka
berhasil keluar dari blok barat. Mereka memaksa mundur pasukan British dan Amerika dari
peperangan. Di India Shikikan Sekiro berhasil mendapatkan kemenangan. Sehingga British
benar benar terpojok dan membatalkan rencananya menginvasi Asia. Kita berhasil
mendapatkan kedamaian kita kembali.”
“Semuanya menjadi lebih rumit ya....”Sambungku.
“Iya, Blok barat berada diambang kehancuran dan perubahan. Setidaknya kita masih
bertahan dengan kerjasama AsiaRaya.” Balas Sekretaris Jendral Musashi.
“Setidaknya, ya.... setidaknya kita mendapatkan kedamaian kita.”
“Iya.... kalau begitu aku kembali dulu.” Dia membuka payungnya dan berjalan
meninggalkan pemakaman disusul dengan anggota militer yang lain.
Hujan salju turun saat upacara pemakaman. Semua terkesan lewat begitu saja, hingga
seluruh tamu yang hadir hanya tersisa aku seorang. Berdiri menghadap kuburan orang yang
kucintai.
“Selamat tinggal.... semoga kamu bahagia diatas sana.” Aku membuka payungku dan
berjalan keluar dari makam penghormatan. Untuk terus mempertahankan negeriku, untuk
terus hidup dan untuk terus mencintainya.

TAMAT.

Anda mungkin juga menyukai