Anda di halaman 1dari 13

Letnan Hiroo Onoda, Berperang 30 Tahun

Oleh Yusuf Wibisono. ilmuiman.net (c) 2013.

***

Pengantar

Bismilahhirohmannirohiim. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan
Salam untuk rasul Allah, Muhammad saw. E-book ini, bagian dari serangkaian tulisan
untuk mempromosikan kebajikan dan kemuliaan akhlak.

Mengapa meninjau akhlak malah membahas seorang tentara Jepang aneh? Ini
namanya pendekatan 'dari sisi lain'. Kalau kita membahas akhlak dengan
mencontohkan Rasulullah atau sahabat sholeh. Itu sisi kanan. Ya, tentu saja,..
Rasulullah akhlaknya mulia. Dia itu uswatun hasanah. Kalau kita kalah olehnya, ya
emang kalah. Nyerah dari awal. Tapi,.. masak sih akhlak kita sampai kalah oleh
seorang tentara Jepang jaman perang Pasifik yang terkenal bengis? Cerita seperti ini
mungkin bisa menaikkan batas bawah dari target hidup kita. Setidaknya,.. kita jangan
sampai kalahlah oleh tentara yang kita ulas ini. Bukankah kita ini mestinya umat
terbaik?

Karya ini jauh dari sempurna tentu saja. Dan given the fact bahwa misinya adalah untuk
mempromosikan kebajikan dan kesempurnaan akhlak, mohon dimaklumi bila akurasi
fakta sejarahnya kemungkinan bukanlah yang terbaik di dunia. Kurang lebihnya mohon
maaf. Kritik dan saran silakan saja disampaikan.

***

Letda Hiroo Oonoda, Tiada Kata Menyerah

....
Hari itu tidak seperti hari biasa. Hari itu saya punya misi.
Saya sembunyi di semak-semak, menunggu waktu. Saat itu, menjelang tengah hari, 9
Maret 1974, saya sedang di lereng sejauh kurang lebih dua jam dari Wakayama point,
tempat pertemuan yang disepakati.

Rencana saya, saya menunggu di situ sampai menjelang gelap, yaitu sampai waktu
dimana wajah orang masih bisa terlihat, tapi benar-benar hampir gelap. Saat itulah saya
akan berada di sana. Keadaan terlalu terang itu bahaya. Tapi kalau terlalu gelap, saya
tidak bisa memastikan bahwa orang yang saya temui itu benar-benar Mayor Taniguchi.
Dan, cahaya remang seperti itu, adalah waktu yang tepat juga untuk kabur, yaitu
sekiranya saya memang terpaksa harus kabur lagi.
Selepas jam dua sore, saya bergerak keluar dari persembunyian, menyeberangi sungai
yang terletak di atas titik pertemuan. Lalu menembus pohon-pohon kelapa yang tumbuh
di sepanjang tepi sungai. Setelah itu, sampailah saya ke area dimana orang-orang
kampung biasa memotong pepohonan untuk bangunan rumah mereka.

Pada suatu tepi tempat terbuka, saya berhenti dan meneliti sekeliling. Saya tidak bisa
melihat siapapun. Saya pikir, para pekerja sedang liburan. Tapi, demi amannya, saya
mengkamuflasekan diri saya dengan ranting-ranting dan daun kering, sebelum bergeser
menyeberangi tempat terbuka itu.

Saya kemudian menyeberangi Sungai Ageawayan, tiba di suatu posisi yang jaraknya
tinggal sekitar 250-300 meter saja dari tempat yang dijanjikan. Baru sekitar jam empat
sore, jadi masih banyak waktu. Lalu saya ganti samaran kamuflase ke daun segar.
Dulunya, di situ sawah, tapi sekarang jadi dataran berumput tinggi yang di sana sini
ditumbuhi pohon kelapa. Di sepanjang tepi sungainya tumbuh bambu-bambu dan
ilalang.

Lalu saya ke ketinggian, yang memungkinkan saya mengawasi ke bawah, ke arah


tempat pertemuan, dan sekaligus bisa untuk mengawasi sekeliling. Di tempat itu, saya
dua minggu sebelumnya bertemu dan bicara dengan Norio Suzuki. Dua hari sebelum
itu, ada pesan dari Suzuki, meminta saya bertemu di sini lagi, dan pesan itu
ditinggalkan di kotak yang telah kami sepakati bersama, dan maka datanglah saya ke
situ. Saya masih takut juga, jangan-jangan ini jebakan. Kalau benar jebakan, mestinya
musuh sudah menunggu saya di atas bukit.

Saya naik ke ketinggian dengan kewaspadaan penuh, tapi tidak ada tanda-tanda yang
mencurigakan. Di puncak bukit, saya menerobos pepohonan dan semak, dan di
ujungnya, yaitu dimana Suzuki dulu mengatur kelambu nyamuknya, saya melihat tenda
kuning. Saya sempat melihat bendera Jepang berkibar di atasnya, tapi tidak ada orang
yang terlihat.

Apakah mereka sedang istirahat di tenda? Atau mereka bersembunyi di suatu tempat
lain, menunggu saya muncul?

Setelah tiga puluh menit yang menegangkan, tidak ada apa-apa, saya menuruni lereng
dan menuju ke suatu titik, sekitar 90-100 meter dari tenda itu. Celingak-celinguk saya
memeriksa, tapi tetap tidak ada siapapun. Saya simpulkan, mereka pasti berada di
dalam tenda, santai menunggu matahari tenggelam.

Lalu matahari mulai tenggelam, saya periksa senapan saya, saya siagakan dan saya
kencangkan tali sepatu. Saya pede. Saya bisa mengarah ke tenda itu dengan mata
tertutup. Badan rasanya kuat, karena selama ini tadi saya sudah cukup istirahat. Saya
lompati kawat berdurinya dan berlindung di pohon bosa di dekat itu. Berhenti sebentar,
ambil napas, lalu melihat ke tenda lagi. Tetap sepi.
Setelah saya rasa saatnya tepat, saya genggam senapan saya, saya hunuskan, dan
berjalan maju di tempat terbuka. Rupanya Suzuki di situ, saya melihatnya berdiri
membelakangi saya, antara tenda dan perapian yang mereka buat dekat tepi sungai.
Pelan-pelan dia berbalik, dan begitu melihat saya, dia mendekat dengan tangan
terbuka.

"Itu Onoda!" teriaknya. "Mayor Taniguchi, itu Onoda!"

Dari dalam tenda, terlihat bayangan bergerak, tapi saya tetap maju.

Mata Suzuki berbinar, menyambut saya dan merangkul tangan kiri saya dengan kedua
tangannya. Saya berhenti sekitar 9-10 meter dari tenda itu, dari dalamnya terdengar
suara. "Benarkah itu kamu, Onoda? Sebentar ya..."

Suara orang tua. Dari suaranya, saya mengenali, itu Mayor Taniguchi. Saya diam tidak
bergerak, menunggu dia muncul.

Suzuki menelusupkan kepalanya ke tenda, mengambil kamera. Dari dalam, mayor itu,
telanjang dada, melihat keluar sekilas dan berkata, "Saya salin pakaian. Tunggu
sebentar."

Kepala itu menghilang, lalu sebentar kemudian, Mayor Taniguchi muncul dari dalam
tenda berpakaian lengkap, dan mengenakan topi angkatan darat Jepang di kepalanya.
Saya langsung berdiri siap, melapor dengan berteriak keras, "Letnan Onoda, Tuan, siap
menerima perintah!"
"Bagus kamu", katanya berjalan mendekat dan menepuk pelan pundak kiri saya. "Saya
membawa ini untukmu dari kementrian kesehatan dan kesejahteraan."

Dia menyodorkan rokok sebungkus dengan lencana bunga krisan kekaisaran di


atasnya. Saya menerimanya dan memegangnya dengan penuh hormat, sebagai tanda
bakti saya pada sang kaisar, mundur dua-tiga langkah. Agak jauh, Suzuki berdiri siap
dengan kameranya.

Mayor Taniguchi berkata lagi, "Saya mesti membacakan perintah untukmu."


Saya menahan napas saat dia mulai membaca sebuah dokumen yang dia pegang
secara amat formal dengan kedua tangannya. Dengan pelan, dia membaca, "Markas
Besar, Komando Angkatan Darat keempat belas", kemudian dia lanjutkan dengan suara
lebih tegas dan keras, "Perintah dari Skuadron Khusus, Markas Kepala Staf, Bekabak,
19 September, jam 19:00."

Saya mendengarkan.

"Satu, sesuai dengan perintah komando dari kekaisaran, tentara keempat belas telah
menghentikan semua aktivitas pertempuran."
"Kedua, sesuai dengan perintah markas besar militer nomor A-2003, skuadron khusus
pada markas kepala staf dibebaskan dari seluruh tugas militer."

"Ketiga, unit-unit dan tentara-tentara di bawah komando skuadron khusus diperintahkan


menghentikan segala aktivitas dan operasi militer secepatnya dan menempatkan diri di
bawah komandan terdekat. Dalam hal tidak bisa ditemukan komandan, mereka
diperintahkan untuk berkomunikasi dengan kekuatan angkatan bersenjata Amerika dan
Filipina, dan mengikuti arahan mereka."

"Demikianlah, dari skuadron khusus, kepala staf, markas besar, tentara keempat belas,
Mayor Yoshimi Taniguchi." Habis membaca itu, Mayor Taniguchi berhenti sebentar, lalu
menambahkan. "Cukup sekian."

Saya berdiri diam, menunggu apa selanjutnya. Saya yakin, Mayor Taniguchi akan
mendekati saya lalu berbisik, "Itu tadi asal ngomong aja, saya akan beritahu kamu
perintahmu yang sesungguhnya nanti..." Kan Suzuki ada di situ. Dan tentunya Mayor itu
tidak bisa berbicara rahasia di depannya.

Saya menatapnya lekat-lekat. Dia balas menatap dengan agak tajam. Beberapa saat
berlalu, dan dia tetap diam saja. Tiba-tiba saja ransel di punggung saya terasa amat
berat.

Pelan-pelan Mayor Taniguchi melipat kertas perintah itu, dan saat itulah saya
menyadari bahwa tidak ada akal-akalan di situ. Yang saya dengar memang nyata. Tidak
ada pesan rahasia. Makin beratlah ransel saya. Kami benar-benar telah kalah perang!
Oh. Bagaimana mereka bisa seceroboh itu? Tiba-tiba segalanya gelap. Di dalam diri
saya badai menyerang. Saya merasa amat bodoh telah begitu tegang dan waspada
saat menuju ke sini. Lebih buruknya dari itu, kalau begini situasinya, lantas apa artinya
segala hal yang saya lakukan bertahun-tahun ini?

Sesaat kemudian, badai itu menyingsing, dan untuk pertama kalinya saya menyadari,
bahwa tugas saya sebagai pejuang gerilya untuk angkatan darat Jepang telah selesai
dengan mendadak. Ini ujungnya. Senapan yang sudah saya kokang siap tembak, saya
kokang balik.

"Tentunya selama ini merupakan perjuangan yang berat", kata Mayor Taniguchi,
"Santailah. Tenang-tenang saja."

Saya lepaskan ransel saya, yaitu ransel yang selalu saya bawa bersama saya kemana-
mana. Lalu saya letakkan senapan saya, senapan Arisaka, menyilang di atasnya.
Serasa masih belum bisa saya nalar. Apakah memang setelah ini, seterusnya senapan
ini tidak akan ada gunanya lagi? Padahal senapan itu sudah saya gosok dan poles,
saya pelihara seperti anak bayi saya sendiri selama bertahun-tahun. Atau senapan milik
anggota saya almarhum Kozuka juga? Yaitu yang selama ini saya sembunyikan di gua
kecil di bebatuan. Apakah memang benar, perang telah berakhir tiga puluh tahun yang
lalu? Lantas untuk apa anggota saya Shimada dan Kosuka mati? Andai semua ini
benar, tidakkah lebih baik kalau saya mati saja bersama mereka?

Saya berjalan pelan mengikuti Mayor Taniguchi ke dalam tenda. Malam itu saya sama
sekali tidak bisa tidur. Di dalam tenda, saya memberikan laporan pengintaian dan
aktivitas militer saya selama tiga puluh tahun di Pulau Lubang, Filipina. Itu sebuah
laporan yang mendetil.

Mayor Taniguchi mendengarkan penuh perhatian, sesekali saja dia nyeletuk. Dia
mengangguk-angguk dan menggeleng penuh simpati.

Setenang mungkin saya laporkan even demi even yang saya alami, tapi makin saya
bicara, makin saya diliputi emosi yang meluap-luap. Dan ketika tiba di bagian saat saya
mesti menceritakan kematian anggota saya, yaitu Shimada dan Kozuka, saya menangis
habis-habisan beberapa kali.

Mayor Taniguchi berkedip-kedip, seakan menahan air mata. Yang membuat saya tidak
benar-benar larut hanyalah suara ngoroknya Suzuki, yang rupanya tertidur pulas
setelah nenggak sake lumayan banyak.

Tadinya, sebelum saya memulai laporan, Suzuki telah bertanya pada sang mayor,
apakah dia mesti memberitahu para pencari lain bahwa Onoda sudah muncul atau
tidak. Sang mayor melarangnya, sebab kalau dia beritahu, maka kami akan segera
dikepung begitu banyak orang.

Jadi begitulah, saya bercerita pada sang mayor sampai pagi. Beberapa kali, dia
memerintahkan saya untuk tidur, dan menceritakan lanjutan ceritanya besok, tapi walau
saya mencoba dua tiga kali, saya langsung terbangun lagi setelah lelap tidak sampai
sepuluh menitan.

Dan bagaimana saya bisa tidur pada saat yang seperti ini? Saya mesti menceritakan
padanya semuanya segalanya yang saya alami.

Sampai kemudian,... selesai juga cerita saya. Dan sang mayor bilang, "Sekarang,
marilah kita tidur. Tinggal satu jam lagi, matahari akan terbit. Setelah itu, jalan berliku di
depan kita,... dan satu jam pun berguna."

Dia tentu lega pencarian ini berakhir.


Sesaat setelah rebah, dia langsung ngorok.
Saya tidak.

Setelah bertahun-tahun selalu tidur di udara terbuka, saya tidak bisa tidur dalam
sleeping bag. Saya menutupkan mata, tapi saya bangun sebangun-bangunnya. Suka
atau tidak suka, saya mesti terima di pikiran saya segala hal yang pernah saya alami
sampai dengan tiba di tenda itu.
...

Jadi begitulah saat-saat dramatis kemunculan kembali Onoda itu, pada pertengahan
tahun 1974, yaitu hampir 30 tahun setelah perang Pasifik berakhir. Letnan dua Hiroo
Onoda, perwira intelijen, dari angkatan darat Jepang, tentara kekaisaran keempat belas
yang bertugas di Pulau Lubang, Filipina, lantas masuk ke headlines surat-surat kabar
seluruh dunia.

Astagfiruallah. Perjuangannya amat luar biasa.

Selama hampir tiga puluh tahun dia bergiliran diuber-uber oleh tentara Amerika, polisi
Filipina, penduduk yang bersenjata, dan tim pencari dari Jepang. Terus saja dia berhasil
lolos, dan tetap meyakini bahwa perang dunia kedua masih terus berlangsung sampai
tahun 1974 itu, dan dia yakin suatu saat pasukannya pasti akan menang. Sampai
kemudian saat dramatis itu tiba, dan dia menyadari bahwa perang telah berakhir pada
tahun 1945!

Itulah detik-detik penyerahannya....

Disarikan dari buku "No Surrender: My Thirty-Year War", sebuah buku terjemahan yang
aslinya ditulis dalam bahasa Jepang oleh Hiroo Onoda sendiri. Diterbitkan oleh
Bluejacket Books, Naval Institute Press, yang spesialis menerbitkan buku-buku
kemiliteran. Saya menterjemahkan dan menyarikan dari situs Amazon.com. Hal ikhwal
tentang Onoda, bisa dilihat di situs Wikipedia atau di situs lain terkait. Di Youtube, juga
ada klip singkat, rekaman saat kedatangannye kembali di Jepang. Bagi yang tahu
bagaimana kisah hidupnya, melihat klip itu tentu akan terasa betapa dramatisnya
peristiwa sederhana saat banyak orang melambai-lambaikan bendera Jepang di airport
saat itu. (YW)

***

Letnan Dua Hiroo Onoda, Bagaimana Bisa Begitu?

Ada artikel tentang tentara-tentara Jepang yang bertahan di hutan-hutan dari jaman
perang, sampai tahun 70-an. Tidak bisa dipungkiri lagi, 'pejuang' yang paling top dari
kalangan tentara Jepang ini adalah tiga orang: Onoda (letnan dua), Yokoi (sersan), dan
Nakamura (prajurit rendahan, turunan Taiwan).

Kisah 'perjuangan' mereka dramatis. Setelah sebelumnya dicuplik sedikit dari buku
Onoda, berikut ini saya ringkaskan serangkai lainnya. Ups, satu catatan: sekali lagi,
tulisan ini dan rangkaiannya sama sekali bukan dimaksudkan untuk mengagung-
agungkan tentara Jepang jaman perang. Kita sama-sama tahu, kebrutalan mereka di
Indonesia dan dimana-mana luar biasa. Ini sekedar cerita saja, siapa tahu di balik cerita
ada hikmahnya.
Bagaimana sebenarnya bisa muncul seorang seperti Letnan Onoda itu? Cari punya
cari, disarikan dari berbagai sumber, saya dapatlah gambarannya, dan berikut ini
ringkasannya, melengkapi dari cuplikan bukunya di tulisan sebelumna.

Alkisah, 17 Desember 1944, saat keadaan Perang Pasifik sudah tidak menguntungkan
bagi sisi Jepang,.. tentara Jepang mengirim seorang tentara muda, berumur 23 tahun,
bernama Hiroo Onoda ke Filipina, bergabung dengan Brigade Sugi. Dia lalu
ditempatkan di pulau kecil, Pulau Lubang. Kira-kira 40km jarak udaranya dari Manila ke
arah barat daya.

Di kirim ke pulau terpencil, di saat peperangan sudah seperti itu, tentu bikin jeri
siapapun juga yang berpikir waras, tapi.. pemuda 23 tahun yang barusan diberi
pendidikan khusus militer itu, mungkin masih terlalu naif untuk melihat segala
sesuatunya dengan jernih, dan dia datang bertugas dengan semangat membara.

Begitu tiba di tempat, dia diberi tahu tugasnya secara lebih detil. Pendeknya, tugasnya
adalah memimpin gerilya, sekiranya diperlukan di sana.

Pas berangkat ke pulau itu, komandan divisinya berpesan, "Kamu sama sekali dilarang
bunuh diri. Mungkin akan perlu tiga tahun, atau lima, tapi apapun yang terjadi, kami
akan menjemputmu. Sampai saat itu tiba, sepanjang kamu masih punya anggota
barang satu orang, kamu mesti terus memimpinnya. Kamu mungkin akan terpaksa
hidup makan kelapa. Ya udah, kalau mesti begitu, makanlah kelapa. Dalam keadaan
apapun, kamu dilarang menyerahkan hidupmu secara sukarela."

“Siap, Komandan!” Dan tidak boleh ada jawaban lain kecuali itu bukan?

Konon, sebelum bertugas, Onoda sempat dilatih jadi anggota unit khusus intelijen, dan
dilatih taktik baru untuk tinggal di garis belakang musuh. Silakan dipikir sendiri
latihannya seperti apa. Yang jelas, bagi Jepang pun, itu taktik tak lazim. Biasanya,
mereka bertempur sampai mati.

Wuih, dasar tentara. Ternyata perintah itu dipegang habis-habisan oleh Onoda. Dan
nyatanya, perlu 29 tahun sampai akhirnya dia meletakkan senjata dan menyerah. Amit-
amit jabang bayik. Tabahnya kayak apa itu orang?

Februari 1945, baru dua bulan Onoda di Lubang, pasukan Amerika-Filipina menyerang
pulau itu dan dengan mudah memporakporandakan pertahanan Jepang. Seiring
masuknya tentara sekutu ke pedalaman, Onoda dan kelompok-kelompok gerilya lain
berpencar dalam kelompok-kelompok kecil mundur ke pedalaman, hutan lebat.

Kelompok Onoda, terdiri dari dia dan tiga anggota, yaitu Kopral Shoichi Shimada,
Prajurit Kinshichi Kozuka, dan Prajurit Yuichi Akatsu. Mereka hidup dari cadongan
beras yang pas-pasan, makan kelapa, dan pisang hijau dari hutan. Sesekali, mereka
membunuh sapi penduduk untuk makan daging.

Lama mereka gerilya terus. Yang lain, kelompok demi kelompok, satu demi satu punah,
atau menyerahkan diri, atau tertangkap. Atau menghilang, membaur dengan
masyarakat setempat atau apa.

Suatu saat, waktu membunuh sapi, salah seorang menemukan leaflet dari beberapa
bulan sebelumnya. Itulah leaflet pertama yang mereka lihat, ditinggalkan di situ oleh
penduduk kampung. Di situ tertulis: "Perang sudah berakhir, 15 Agustus '05. Turunlah
dari gunung-gunung!" Tertulis dalam bahasa Jepang.

Langsunglah empat gerilyawan itu meneliti, dan menyimpulkan: itu tipuan sekutu,
propaganda. Jadi diabaikan! Dan itu bukan satu-satunya pesan yang mereka temui.

Sesekali, mereka ke kampung, mengadakan serangan dan sabotase sesuai tugas


gerilyawan. Mereka tersiksa oleh panasnya hutan tropis, hujan yang kadang menggila,
tikus, serangga, dan sesekali oleh kesatuan pencari bersenjata. Semua penduduk desa
yang mereka lihat, dianggap mata-mata.

September 1949, empat tahunan setelah mereka bergerilya, satu anggota Onoda
merasa segalanya sudah kelewatan. Lalu dia nekat.

Tanpa bilang apa-apa pada ketiga temannya, Prajurit Akatsu pun kabur. Anggota
Onoda jadi tinggal dua. Lalu, tahun 1950, mereka bertiga menemukan nota dari Akatsu,
isinya memberitahu bahwa dia telah disambut dengan baik oleh tentara-tentara saat
turun gunung. Oleh ketiga temannya, nota itupun tidak dipercaya. Akatsu dianggap
diperalat oleh musuh! Malah meningkatkan kewaspadaan. Mereka sadar, sekarang
musuh sudah tahu keberadaan dan nama-nama mereka.

Tak terhitung berapa kali pulau itu ditaburi leaflet dari pesawat. Kalau ditaburi garam
kayaknya enggak, sebab Onoda dan kawan-kawan itu tentara Jepang, dan bukannya
uler.

Foto keluarga Onoda ikut disebar-sebar juga.

Nggak sampai di situ, didatangkan juga handai taulan, jauh-jauh dari Jepang. Keliling
pulau, pakai megafon teriak-teriak. Tetap saja, Onoda dan kedua kawan yang
mendengarnya, yakin bahwa handai taulan itu telah diperalat musuh.

“Woii,.. Onoda, pulang. Emak ame encing udah nungguin noh, di Condet!”

“Kami rindu padamu. Keadaan sekarang sudah aman. Perang sudah berhenti! Gue
tahu, elu sukanya makan apem ama bapao, kan? Ayolah, tukang bapao udah pade
nungguin noh!” Dan seterusnya. Tidak jelas juga kira-kira apa yang diserukan oleh para
handai taulan itu. Dalam catatan-catatan sejarah tidak disebutkan, tapi kemungkinannya
memang tidak menyinggung soal bapao kali ya? Tapi gagal maning, dan gagal maning.

Suatu saat, yang datang saudara kandung Onoda sendiri. Onoda mendengarkan, dan
bahkan sempat jaraknya tinggal 100-150 meter saja. Tapi Onoda yang ketakutan
ngumpet di semak belukar. Dan tetap tidak mau menyerah walau dia lihat betul yang
bicara itu memang saudara laki-lakinya.

Lalu saudara perempuannya juga datang. Melakukan hal yang sama. Hal yang sama di
sini maksudnya sama-sama menyerukan supaya Onoda menyerah, dan bukannya
sama-sama ngumpet di semak-semak. Ngapain juga kan ibu-ibu Jepang jauh-jauh ke
pedalaman Filipina malah ngumpet di semak-semak? Entar dirubung semut malah
berabe.

Toh hasilnya idem. Koran dari Jepang, dari mana-mana didrop di hutan. Dibaca juga
sama Onoda, dibaca total sampai iklan lowongan kerja dan iklan mobil bekas, tetap
belum yakin juga. Onoda juga sempat pegang radio transistor, dan mendengar berita
radio BBC, radio lokal, dan radio Jepang gelombang pendek. Tetap saja mereka
berpikir bahwa itu akal-akalan Amerika.

Masak sih? Amerika sampai merekayasa segitunya sekedar untuk menangkap dua
orang yang sudah terkucil di hutan? Agak kurang masuk akal, tapi nyatanya, diapa-
apain, Onoda kepala batu, tetap tidak mau menyerah.

Tahun 1953, Kopral Shimada kena sial. Dia tertembak di kaki saat kontak tembak
dengan sekumpulan nelayan. Onoda dan Kozuka membantunya balik ke hutan, dan
tanpa suplai obat-obatan, mereka merawat Shimada sampai sang kopral sembuh
kembali berbulan-bulan kemudian.

Walau sembuh, Shimada kemudian menjadi lamban. Setahun kemudian, ketiga orang
kepergok unit pencari di pantai di Gontin, dan Shimada terluka parah saat terjadi
tembak-menembak. Matilah dia pada usia 40 tahun. Innalillahi.

Sembilan belas tahun berlalu….

Berikutnya, Onoda dan Kozuka melanjutkan gerilya berdua, tinggal di shelter-shelter


seadanya. Sesekali mereka masih membunuh sapi, dan itu membuat orang-orang
kampung melapor lagi ke tentara Filipina yang terus mengirimkan tim pencari lagi, tapi
tidak berhasil.

Terus saja dua orang itu beroperasi, dengan keyakinan bahwa suatu saat, Jepang akan
merebut kembali pulau itu dari tangan sekutu. Entah bagaimana caranya.

Lalu, Oktober 1972, Onoda dan Kozuka turun gunung. Mereka membakar beras milik
petani. Sabotase stok pangan musuh, ceritanya. Tapi terus kepergok patroli polisi
Filipina. Ditembak. Jelaslah ditembak. Tidak mungkin sekedar diselepet, kan? Sejak
kapan pulak polisi Filipina suka main slepetan?

Dasar garisnya mesti begitu, Kozuka kena. Matilah dia dalam usia 51 tahun, tapi Onoda
berhasil kabur. Nah, sekarang.. dia tinggal seorang diri.

Aha, ini suatu titik balik! Bukankah dulu komandannya bilang, dia mesti berjuang as long
as dia punya satu anggota? Nah, sekarang? Anggotanya habis. Sikap kepala batunya
mulai lumer. Kalau sebelumnya, menyerahkan diri, terus disiksa, dihukum,... kasihan
anggota. Tapi sekarang? Tidak ada yang perlu dikasihani lagi.

Di pihak lain, jenazah Kozuka lalu ditemukan aparat setempat. Berita kematian Kozuka
mengalir ke Jepang. Gegerlah jadinya. Apalagi, tahun itu juga, bulan januarinya, di
Guam ditemukan Sersan Yokoi dalam keadaan hidup dan masih berjuang. Orang jadi
menduga, kalau Prajurit Kozuka berhasil hidup sampai begitu lama, kemungkinannya,
Letnan Onoda masih hidup juga! Walaupun begitu, secara hukumnya, dia telah
dinyatakan mati 13 tahun sebelumnya.

Dicari lagilah dia, tapi nggak ketemu. Gimana lagi? Walau kecil, Pulau Lubang itu
192km persegi, lebih luas dari kotamadya Bandung yang 168km persegi.

Lalu muncullah mahasiswa nekat, Suzuki namanya. Dia, masuk hutan sendiri, blusak-
blusuk satu tahun setengah sejak Februari 1974. Akhirnya, mahasiswa itu berhasil
menemukan jejak Onoda.

Ketemu Jepang sama Jepang, satu ketemu satu, cepat mereka berteman. Suzuki
susah payah mencoba meyakinkan Onoda. Tapi Onoda ngotot, mengatakan bahwa dia
hanya akan menyerah kalau diperintahkan oleh komandannya. Suzuki tidak menyerah.
Lalu didatangkanlah komandan itu, sebagaimana yang diceritakan pada artikel
sebelumnya. Atasannya jaman perang, dicari-cari kebetulan masih ada, yaitu Mayor
Taniguchi. Lalu didatangkanlah sang mayor veteran sepuh ke Pulau Lubang.

Saat bertemu atasannya itu, Onoda mengenakan seragamnya, masih menyandang


pedang perwiranya, dan masih membawa senapan Arisaka jaman perang, lengkap
dengan peluru sejumlah 500 butir. Beberapa granat dia juga masih punya. Dengan
logistik yang terbatas, dia masih dalam keadaan siap tempur!

Mayor Taniguchi sudah lama pensiun dari ketentaraan, dan telah ganti profesi jadi
penjual buku, dalam kesempatan bertemu yang detilnya digambarkan di artikel
sebelumnya.. dia membacakan perintahnya, mengabarkan bahwa Jepang telah kalah
perang, dan semua penempur harus segera menghentikan pertempuran.

Setelah pertemuan dramatis itu, Onoda delek-delek. Ketika realitanya dia sadari, nangis
abislah dia di situ, selesailah petualangannya.
Beritanya membuat seluruh dunia tercengang. Ketahanan fisik dan mental yang luar
biasa. Disiplin yang gila. Dia lakukan yang terbaik dari apa yang pernah dilatihkan
kepadanya.

Sampai sekarang mungkin ada, banyak, orang yang tidak percaya omongan Onoda.
Sebetulnya kenapa sih penyerahannya diulur segitu lamanya sampai 1974? Apakah
karena saking berani? Saking tangguh? Atau saking takutnya?

Menurut catatan sejarah, di Pulau Lubang itu memang banyak insiden pasca perang.
Februari-Maret 1946, masih ada kontak senjata selama tujuh minggu, antara satu
batalyon Filipina dan unit-unit Amerika dari divisi ke-86, dengan 30 orang Jepang. Enam
orang Amerika dan dua Filipino tewas. Lalu mereka mendrop berpeti-peti amunisi ke
sana. Tapi tidak ada pertempuran besar lagi.

April, lalu ada lagi 41 orang Jepang keluar hutan tanpa sadar bahwa perang selesai.
Nah, bagi yang tetap di hutan, mana mereka tahu bagaimana nasib kawan-kawan yang
turun gunung itu? Iya kalau diperlakukan dengan baik? Kalau disiksa dan dibantai
gimana? Atau dihukum gantung. Atau seumur hidup. Siapa yang jamin bakal
diperlakukan dengan terhormat?

Mana dia sudah membunuh banyak orang lagi! Tentu dia dihantui ngerinya
kemungkinan pembalasan bukan? Biar perang beneran sudah selesai, hukuman untuk
penjahat perang kan masih bisa terus dilaksanakan....

Saat Onoda akhirnya menyerah secara resmi pada presiden Filipina Ferdinand Marcos
tahun 1974, umurnya 52 tahun, dan 29 tahun dari umurnya itu dihabiskan di hutan.

Mestinya, konon dia divonis hukuman seumur hidup. Tidak kurang dari 30 orang
terbunuh oleh aktivitas gerilyanya; 100 lebih cedera. Kerugian harta benda, juga tidak
sedikit. Tapi, lobi punya lobi, entah Jepang memberi janji-janji apa, oleh Marcos (i.e.
Ferdinand Marcos, Presiden Filipina saat itu, dan bukannya Marcos Sitepu yang tukang
cukur!) kemudian Onoda diberikan pengampunan, sehingga kemudian bisa pulang ke
Jepang.

Dia serahkan pedangnya pada Marcos, tapi oleh Marcos kemudian dikembalikan.
Keluarga para korban banyak yang protes menuntut kompensasi tentu saja.

Sebagaimana Yokoi yang pulang dari hutan Guam tahun 1972, Onoda dielu-elukan
sebagai pahlawan di Jepang. Cewek-cewek, gadis dan janda, berebutan menawarkan
diri minta dinikahi oleh Onoda itu. Onoda pun tercengang melihat Jepang. Yaitu negeri
Jepangnya, bukan cewek-ceweknya. Kalo cewek-ceweknya, jangankan Onoda, kita-kita
juga tercengang! ;-)
Dia terima rapelan gaji juga, dan pensiun, tapi jumlahnya amat sedikit. Lalu dia tuliskan
suatu memoar, yang dalam terjemahan Inggrisnya jadi “No Surrender: My Thirty-Year
War”, yaitu sebagaimana yang dicuplik pada artikel terdahulu.

Di buku itu, Onoda tidak cari-cari alasan, dan tidak menutup-nutupi. Dia ceritakan apa
adanya. Dan itu memunculkan banyak simpati. Dia bilang, yang paling berat baginya
selama menggelandang, adalah kehilangan teman, anggota. Dan dia bilang lagi,
selama hampir 30 tahun itu, tidak ada satu hari pun yang menyenangkan. Pekerjaan
mencari makan,.. adalah pekerjaan terus menerus yang amat melelahkan dan sampai
keimpi-impi. Dia bilang, di hutan-hutan itu, makanan yang paling lezat adalah rebusan
nanas!

Di internet, fotonya yang terkenal adalah saat dia cukur rambut. Itu adalah
kunjungannya ke tukang cukur yang pertama kali selama 30 tahun terakhir, dan
ekspresinya saat mengenakan topi pet tentara Jepang yang lusuh rombeng juga ada
dimana-mana. Umurnya sudah 55 tahunan saat dia kembali ke peradaban normal.

Dia bilang juga, "Tujuan perang saya telah tercapai. Negara Jepang sekarang besar
dan kaya. Menang atau kalah perang yang dulu itu, jadinya tidak penting lagi untuk
diomongin."

Lalu dia pindah ke Amerika Latin, di tempat dimana tinggal beberapa imigran Jepang.
Ada yang bilang di Peru, ada yang bilang di Brazil. Di sana dia berternak di suatu ranch.
Dapat duit darimana? Kelihatannya adalah berkat hadiah-hadiah dari orang-orang
Jepang yang ramai-ramai memujanya.

Bulan Mei 1996, Hiroo Onoda kembali menengok pulau Lubang. Dan mendonasikan 10
ribu dolar untuk sekolah di sana. Dia juga menikah, lalu bersama istrinya kembali ke
Jepang, membuat sekolah alam untuk anak-anak. Dia bilang, pemuda-pemudi Jepang
jaman sekarang lembek. Di sekolah itu, Onoda berbagi pengalamannya. Per saat
artikel-artikel di internet dibuat, yaitu akhir 2005, Onoda masih hidup. Nggak tahu
sekarang.

Dari pengalamannya itu, tercermin betapa kalau secara spiritual kuat, manusia itu luar
biasa. Dan di sisi lain, tergambar betapa manusia itu bisa amat nekat dan ndablek.
Entahlah, andaikan dia pulang tahun 1945 atau 1946, dari tahun itu sampai 1974 itu
bakalan ngapain?

Lantas, bagaimana dengan tentara-tentara Jepang yang lain? Mestinya, di sepanjang


lingkar Pasifik, banyak yang akhirnya tidak pulang. Mungkin mati merana dan
terlupakan di seberang lautan, atau membaur dengan penduduk dan melepaskan
segala identitas ketentaraannya. Selain Onoda, dua lain yang terkenal adalah Yokoi dan
Nakamura. Kapan-kapan bisa kita baca juga ceritanya.
Semangat Jepang itu gila. Yang kita tahu, di puncak perang, Amerika bisa
memproduksi material perang sebulan, lebih banyak daripada yang bisa diproduksi
Jepang untuk satu tahun. Wuih. Dengan tentara-tentara yang seperti Onoda, andaikan
saja Jepang punya cukup sumber daya untuk mengimbangi Amerika dalam perang
Pasifik, entah jadi seperti apa akhirnya Perang itu.

Akhir kata,... kalau kita beneran mengidentifikasikan diri kita sebagai kaum dan umat
yang terbaik, dalam sisi-sisi positifnya, mestinya kita jangan sampai kalah oleh Onoda.
Bener nggak? (YW)

Anda mungkin juga menyukai