Anda di halaman 1dari 81

SHUGYOSA

(Samurai Pengembara)

Buku Keenam
oleh Salandra

Cover oleh Tony G.


Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994

Buku Keenam

PENYELAMATAN TAK TERDUGA


API menjilat-jilat. Kobarannya membakar langit. Angin
dari arah utara yang bertiup kencang mempercepat api
membesar. Suara kayu terbakar membuat kemungkinan lolos kian tipis. Asap tebal mulai memasuki ruang
perjamuan, membuat orang-orang yang terjebak dalam
amukan api itu batuk-batuk, bahkan beberapa di antaranya sudah jatuh pingsan.
Para samurai yang sudah mabuk, melangkah terhuyung-huyung tanpa mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Tiga orang mencoba mendobrak pintu,
tetapi tubuh mereka justru terbakar. Kimono yang terbuat dari kain sutera menyebabkan hanya dalam sekejap tubuh ketiganya terbungkus api. Mereka menjeritjerit, sebelum akhirnya ambruk, binasa dengan cara
yang sangat mengerikan.
Orang-orang mulai panik. Mereka menjerit-jerit, saling berteriak, tetapi tak seorang pun berhasil menemukan jalan keluar.
Nobunaga benar-benar jahanam! rutuk salah seorang samurai sambil mencabut pedang. Dia akan membakar kita hidup-hidup!
Pengecut busuk!
Apa yang harus kita lakukan?
Samurai yang telah mencabut pedang itu berkata
tegas, seakan ia telah siap untuk mati, Lindungi Yang
Mulia Imagawa, sekarang beri aku kekuatan dua puluh orang untuk menjebol pintu itu.
Dua puluh orang yang gagah berani segera maju ke
depan, mereka adalah samurai-samurai bertubuh kekar.
Mari kita buktikan pengabdian kita, kata samurai
pemimpin tadi. Saling bergandeng tangan, jangan dilepaskan, apa pun yang terjadi. Kita dobrak pintu bersama-sama!

Dua puluh satu samurai itu saling melingkarkan


tangan pada lengan samurai di sebelahnya. Mereka kini menjadi gabungan kekuatan mirip batu pendobrak.
Lalu dengan pekikan bunuh diri, mereka berlari serempak mendobrak pintu yang masih diselimuti kobaran api. Ketika tubuh mereka menghantam pintu itu,
terdengar suara berderak. Pintu itu bergetar dengan
hebat, namun tidak terbuka, sementara kedua puluh
satu samurai itu dibalut api yang membakar seluruh
tubuh mereka.
Seperti tidak peduli dengan kematian mereka, dua
puluh satu samurai itu kembali mendobrak pintu. Berulang-ulang. Tapi gerbang yang telah dikunci dari luar
itu hanya berderak, tidak terbuka. Akhirnya, satu per
satu samurai itu rubuh ke lantai dengan tubuh hangus terbakar.
Pintu itu sudah bergetar, kata seorang samurai
lain maju ke depan. Siapa yang ingin membuktikan
kesetiaannya pada Yang Mulia Imagawa, mari bergabung denganku.
Dua puluh orang berkumpul lagi. Mereka saling melingkarkan tangan, kemudian menyerbu untuk mendobrak pintu. Diiringi pekik serta jerit kengerian, dua
puluh samurai itu menjadi mirip gumpalan batu terbakar yang bergulung-gulung mendobrak pintu ruang
tersebut. Namun usaha itu sia-sia, justru menampilkan pemandangan mengerikan ketika tubuh mereka
bergelimpangan dilalap api.
Kepanikan mulai menyelimuti semua orang di ruangan itu. Shogun Imagawa berdiri di sudut ruangan
dalam perlindungan para pengawal setianya. Wajahnya
tampak pucat, namun ia tak melihat adanya jalan keluar.
Benar-benar tak masuk akal, kata Imagawa menggeram putus asa. Kunjunganku yang tulus justru me-

reka balas dengan kebiadaban. Sungguh tidak masuk


akal!
Dengan mata mulai pedih, Imagawa melihat orangorang di sekitarnya bergelimpangan di lantai. Sebagian
besar dari mereka jatuh pingsan akibat asap tebal mulai memenuhi ruangan. Dengan suara tercekik, para
samurai yang mabuk ambruk ke lantai menemui ajal.
Mayat bergelimpangan secara mengerikan, sementara
api terus menjilat-jilat seperti neraka.
Di tengah kekalutan itu, tiba-tiba Konishita meloncat
ke tengah ruangan. Ia berdiri kokoh. Kemudian anggota
rombongannya meloncat di atas bahunya. Demikian seterusnya sehingga kedelapan anggota rombongan penari
menjulang tegak lurus ke atap. Salah seorang penari
yang berada paling atas segera meloncat ke atas, ia
mengeluarkan pedang untuk menghancurkan atap bangunan itu. Dalam sekejap tampak lubang menganga di
atap, penari itu melompat keluar, tetapi tubuhnya baru
sebagian yang keluar, terdengar ia menjerit ketika delapan anak panah menghunjam dadanya. Tubuh penari
itu melayang jatuh tanpa nyawa.
Saat orang-orang melihat tubuh wanita tersebut
ambruk di lantai, semua orang terpekik ngeri.
Mereka benar-benar akan membantai kita! rutuk
salah seorang samurai yang mulai putus asa.
Tak ada jalan lolos!
Sebentar lagi kita akan mati terbakar!
Api terus melalap seluruh bangunan. Tubuh-tubuh
yang terbakar maupun yang pingsan akibat asap tebal
semakin bertambah. Para samurai yang ahli menghadapi pedang lawan tetapi tidak terbiasa berhadapan
dengan api tampak kebingungan. Sebagian menggeram
marah, sebagian yang lain menjerit putus asa. Mereka
tiba-tiba berubah menjadi binatang sekarat.
Di puncak kepanikan itu, tiba-tiba lantai di belakang

Imagawa berderak terbuka, dari dalamnya muncul Saburo Mishima seperti iblis bangkit dari kubur. Samurai
pengawal Imagawa segera siap menyerang.
Saburo berseru, Saya Saburo Mishima, panglima
Ashikaga, bila Yang Mulia Imagawa berkenan, saya
akan memandu untuk menyelamatkan diri.
Engkau Saburo...?
Benar, Yang Mulia.
Tanpa banyak bicara, Imagawa bergegas mengikuti
Saburo. Mereka memasuki lorong bawah tanah yang
menghubungkan Istana Kamakura dengan Bukit Amagi. Lorong itu demikian panjang dan berliku-liku, tetapi
tak seorang pun mengeluh. Dorongan untuk tetap hidup telah membangkitkan semangat mereka. Imagawa
sendiri, dalam seketika, seakan menyerahkan hidupnya pada Saburo Mishima. Ia berjalan bergegas di belakang Saburo, tanpa kebimbangan sedikit pun. Kemunculan panglima Ashikaga di saat kritis telah menghapuskan keragu-raguan Imagawa terhadap kemungkinan adanya maksud jahat lelaki tersebut.
Tanah di dalam terowongan itu licin dan berlumpur,
dindingnya basah akibat air yang merembes dari atas.
Keadaannya gelap gulita. Tetapi mereka tak peduli. Mereka terus berjalan menyusuri lorong itu tanpa bicara.
Satu-satunya hal yang mereka pikirkan hanyalah lolos
dari jebakan maut Nobunaga. Atas perintah Saburo,
samurai yang berjalan paling belakang, disuruh menghancurkan tiang-tiang penyangga lorong itu, sehingga
setiap kali iring-iringan Imagawa telah berada seratus
meter di depan samurai tersebut, lorong tersebut runtuh. Langkah ini dilakukan Saburo untuk menghindari
kejaran pasukan Nobunaga.
Menjelang pagi hari, iring-iringan tersebut keluar
dari lorong bawah tanah di Bukit Amagi. Saburo segera
memerintahkan para samurai Suruga menimbun lo-

rong tersebut. Setelah pekerjaan itu usai, mereka beristirahat. Beberapa orang segera mencari buahbuahan dan berburu binatang. Sebagian yang terluka,
dibaringkan di tanah untuk diobati.
Tempat ini dua belas mil jaraknya dari Kamakura,
kata Saburo memberi penjelasan. Kita sebaiknya memanfaatkan waktu yang ada untuk beristirahat dan
mencari makanan untuk mengisi perut. Cepat atau
lambat, Oda Nobunaga pasti akan melakukan pengejaran. Mereka membutuhkan waktu tiga sampai empat
jam untuk sampai di sini, kita punya waktu untuk memasuki hutan Amagi.
Imagawa yang masih kaget menghadapi kenyataan
yang baru saja dialami, beristirahat di tengah lingkaran para pengawalnya. Perjalanan di bawah tanah sejauh dua belas mil telah membuat shogun tersebut kehabisan tenaga. Ia berbaring di atas hamparan pakaian para samurai yang ditumpuk menjadi bantal tipis bagi junjungan mereka.
Saburo menggunakan waktu untuk berjalan-jalan,
melihat keadaan samurai pengawal Imagawa. Dari dua
ratus orang, kini pengawal Imagawa kira-kira tinggal
seratus tiga puluh orang. Hampir separuhnya menderita luka bakar.
Ketika Saburo berjalan mendaki bukit, tiba-tiba seseorang memanggil namanya.
Saburo!
Saburo menoleh. Dalam keremangan kabut pagi, ia
melihat sesosok tubuh berlari mendekatinya.
Laki-laki tersebut menyapa, Engkau lupa padaku?
Saburo menunggu sampai laki-laki tersebut lebih
dekat. Ketika mereka sudah berhadapan satu sama
lain, senyum Saburo seketika merekah.
Takeshi?!
Namaku sekarang Konishita.

Kau masih hidup?


Seperti yang kaulihat.
Apakah kau sudah mengabdi pada Yang Mulia Imagawa?
Tidak.
Bagaimana kau berada di antara mereka?
Aku memimpin rombongan penari dari Izu. Tak
pernah kubayangkan jahanam Oda Nobunaga berniat
menghabisi Imagawa.
Kau menjadi pemimpin penari Izu?
Ya.
Sejak kapan kau menjadi pengamen?
Sejak kekalahan kita tempo hari. Aku diselamatkan
mereka.
Itu alasanmu meninggalkan jalan samurai?
Tidak. Aku tidak meninggalkannya. Menjadi pemimpin rombongan penari hanya salah satu jalanku
untuk mengamati keadaan. Aku terpaksa menyamar
untuk mengetahui seberapa besar kekuatan Nobunaga.
Saburo tersenyum bangga. Ia memeluk Takeshi dengan tulus. Dua orang sahabat itu saling berpelukan.
Setelah itu mereka duduk di bawah pohon sambil berbincang-bincang.
Aku mendengar engkau berhasil menyelamatkan
Tuanku Natane Yoshioka, kata Takeshi antusias.
Ya.
Di mana dia sekarang?
Mengembara.
Mengembara? Apa maksudmu?
Aku tidak bisa mendampinginya terus menerus karena Nobunaga mengeluarkan perintah penangkapan
terhadapku. Mereka tahu aku selalu bersama Yoshioka. Ini sangat berbahaya, karena itu dia kusuruh menjalani hidup sendiri.
Kau membiarkan dia menghadapi ratusan samurai

yang mengejarnya seorang diri?


Ya.
Sama saja kau membunuhnya.
Kurasa tidak. Justru karena sendiri dia akan terlepas dari perhatian para samurai Nobunaga. Kau tahu,
dia tak lebih anak kecil biasa.
Takeshi menghela napas panjang. Ia mengerti jalan
pikiran Saburo.
Aku ingin mendengar perjalananmu dengan Tuanku Yoshioka, kata Takeshi bersemangat. Terus terang, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalian
dapat lolos dalam pengepungan itu.
Ceritanya panjang.
Aku mau mendengarkannya. Biarpun harus seminggu penuh duduk di sini....
Saburo tersenyum. Kemudian dengan panjang lebar
ia menceritakan perjalanannya dengan Yoshioka dan
Kojiro. Takeshi mendengarkan dengan penuh perhatian.
Dengan tulus Saburo menceritakan kesulitan-kesulitan
yang ia hadapi, terutama karena Oda Nobunaga terus
memburunya. Apa yang diceritakan oleh Saburo mengetuk hati Takeshi. Lelaki itu menaruh hormat atas
kesetiaan serta pengabdian Saburo pada junjungannya.
Aku benar-benar tersentuh, kata Takeshi ketika
Saburo mengakhiri ceritanya. Tuanku Ashikaga tidak
keliru mempercayakan putranya ke tanganmu.
Matahari merah di kaki langit, cahayanya menerangi jagat raya. Bukit itu perlahan-lahan menampilkan
panorama yang indah. Kabut pagi yang mulai menghilang, digantikan pemandangan yang mempesona. Unggas dan burung mulai berkicau.
Beberapa samurai telah kembali dari berburu, mereka membawa kelelawar, ayam hutan, tupai, dan babi
hutan. Wajah mereka tampak berseri-seri.
Bagaimana dengan dirimu? Saburo bertanya.

Panjang juga ceritanya.


Aku bersedia mendengarkannya, meskipun harus
seminggu duduk di sini....
Takeshi tersenyum. Ketika ia akan memulai bercerita, tiba-tiba seorang gadis penari memanggil namanya.
Takeshi menoleh, ia melihat Mayumi berdiri di dekat
mereka.
Saburo, Takeshi berkata. Aku ingin memperkenalkan dirimu dengan penariku, Mayumi.
Saburo segera berdiri untuk memperkenalkan diri.
Nama saya Saburo Mishima, teman Takeshi.
Saya Mayumi.
Senang berkenalan dengan Anda.
Saya yang harusnya mengatakan hal itu. Dulu Takeshi sering menceritakan mengenai temannya, panglima perang Ashikaga.
Takeshi selalu berlebih-lebihan.
Malam tadi saya melihat bukti kehebatan Anda.
Saburo membungkukkan badan dengan hormat,
Terima kasih atas pujian Anda.
Mayumi tersenyum.
Takeshi bertanya, Ada apa, Mayumi?
Gadis itu menjawab, Makanan sudah saya sediakan.
***
Di Istana Kamakura, api masih menyala, membakar
seluruh bangunan ruang perjamuan. Asap membubung ke langit ditingkahi suara berderak-derak dari
tiang-tiang kayu yang patah. Kemudian dibarengi suara gemuruh, bangunan tersebut ambruk menghempas
ke bumi. Arang-arang membara bertebaran ke manamana. Gumpalan api menggelegak seperti lava gunung
berapi.
Nobunaga menatap reruntuhan puing bangunan

tersebut dengan puas. Ia tak membayangkan seluruh


rencananya berjalan dengan mulus. Tadinya ia mengira para prajurit Imagawa akan berhasil menjebol
dinding bangunan itu sehingga ia harus mengerahkan
pasukan panah untuk menumpasnya. Ternyata tidak.
Semua pasukan Imagawa tertumpas hanya dengan sekali gebrakan.
Barangkali mereka terlalu banyak minum sake hingga mabuk. Terbukti tak seorang pun berhasil meloloskan diri. Benar-benar bodoh!
Saat Nobunaga menyaksikan lidah api menjilat-jilat
angkasa, Naoko berjalan mendekatinya.
Sekarang saatnya engkau memerintahkan pasukan
untuk melakukan penaklukan di Suruga. Sebelum mereka mendengar berita tentang peristiwa ini, sebaiknya
kita telah mengirimkan paling tidak tiga ribu samurai
ke wilayah Suruga. Jangan terlambat!
Kalau begitu, panggil Konishiwa kemari.
Seorang pengawal segera memanggil Konishiwa. Ketika lelaki tersebut muncul, Nobunaga segera memberikan perintah.
Bawa tiga ribu samurai untuk menaklukkan Suruga. Apabila tidak ada perlawanan, segera duduki Istana Suruga. Tetapi bila Mayeda Toyotomi tak mau menyerahkan istana, kau kuberi kebebasan untuk memenggal kepalanya.
Baik, Tuanku.
Semua harus dilakukan sebelum orang-orang Suruga mendengar berita kebakaran ini hingga mereka
memiliki kesempatan mempersiapkan diri.
Baik, Tuanku.
Berangkatlah sekarang. Jangan sampai terlambat.
Baik, Tuanku.
Konishiwa segera memerintahkan membunyikan terompet untuk mengumpulkan tiga ribu samurai. Ke-

tika matahari mulai merambat ke langit, tiga ribu samurai di bawah pimpinan Konishiwa menderap ke
arah Suruga.
***
Orang-orang di Kamakura masih membicarakan tentang kebakaran yang terjadi di bagian dalam istana.
Desas-desus segera tersebar bahwa kebakaran itu
memang disengaja, suatu tindakan militer Oda Nobunaga untuk melenyapkan Imagawa. Orang-orang membicarakan secara sembunyi-sembunyi.
Saya menganggapnya sangat jahat, kata seorang
pedagang yang sesungguhnya membenci Nobunaga.
Serendah-rendahnya Ashikaga, dia tidak akan pernah
melakukan perbuatan busuk seperti itu.
Saya pun tidak menduganya. Oda Nobunaga ternyata sangat lalim. Dia mau melakukan kekejaman
apa pun demi kemenangan.
Dia memang bukan samurai sejati.
Kehebatannya adalah kejahatannya.
Kalau putra Ashikaga masih hidup, aku akan mengabdi padanya.
Kojiro yang mendengar perbincangan itu seketika
menoleh. Dia melihat empat penduduk bukan samurai.
Mereka masih membicarakan soal pembantaian itu
sambil minum sake.
Saat itu Kojiro melihat kaum samurai yang selama
ini tinggal di luar benteng dan berkeliaran di lorong kota, kini terlihat berjalan bergegas menuju benteng. Tiga
atau empat kurir memacu kudanya untuk menyampaikan perintah Nobunaga. Persiapan-persiapan
tampaknya sedang dilakukan.
Bapa Lao yang sedari tadi memperhatikan kesibukan di jalan di depannya, berkata seakan pada diri
sendiri, tetapi ditujukan pada Kojiro.

Engkau melihat kesibukan para samurai itu?


Ya, Bapa.
Oda Nobunaga sedang melanjutkan rencananya.
Kurasa setelah melakukan pembantaian itu, dia akan
mengerahkan pasukannya menuju ke Suruga. Dia
akan menaklukkannya. Jadi benar seperti sangkaan
banyak orang, sesungguhnya Nobunaga memang telah
merencanakan pembantaian itu. Sungguh tidak terhormat. Kalau seorang shogun dapat melakukan kekejaman tanpa rasa hormat pada musuhnya, ia tidak akan
bertahan lama. Rakyat pasti akan memusuhinya. Dia
hanya ditakuti, tetapi tidak dihormati.
Apa bedanya?
Jelas sangat berbeda. Pemimpin yang ditakuti tidak
pernah memperoleh kesetiaan pasukannya. Para prajuritnya berperang untuknya semata-mata karena rasa
takut, tetapi bukan karena kesetiaannya. Nobunaga
seorang pemimpin yang bodoh.
Tetapi buat dia apa bedanya?
Buat dia memang tidak ada bedanya. Tapi ketika
suatu saat pasukannya lemah, dia akan memahami
perbedaannya.
Kojiro menatap Bapa Lao, ia mencoba memahami
ucapan pendeta itu. Tapi sulit.
Menurut Bapa, Oda Nobunaga akan mengerahkan
tentara untuk menyerang Suruga?
Ya. Secepatnya.
Kapan?
Kalau bisa hari ini mereka berangkat.
Lantas apa yang harus kita lakukan?
Tidak ada.
Kita tetap di sini sebagai penonton?
Tidak bisa lain. Kecuali itu aku belum melihat saat
yang tepat untuk melakukan sesuatu.
Kenapa kita tidak mendahului mereka ke Suruga

untuk memberitahukan rencana penyerangan ini?


Untuk apa? Kita toh belum tahu berapa besar kekuatan yang dikerahkan Konishiwa, dan kita juga tidak tahu berapa kekuatan prajurit Suruga. Lebih baik
kita duduk di sini sambil menyaksikan mereka saling
bunuh.
Kalau aku bisa lebih cepat sampai di Suruga, paling tidak mereka akan mempersiapkan pasukan untuk menyambut serbuan Konishiwa.
Tidak ada orang yang akan mempercayai bualan
anak kecil bernama Koyama.
Kojiro membanting topinya ke tanah. Sial! Koyama
sial!
Bapa Lao hanya tersenyum menyeringai.
Koyama, kata Bapa Lao. Kau harus lebih sabar.
Jangan mudah terpancing atau terburu nafsu. Tidak
ada sesuatu yang akan berhasil baik bila dilakukan
secara terburu nafsu. Seorang jenderal harus menganalisis keadaan secara tepat, lalu membuat rencanarencana. Tanpa itu dia akan kalah di setiap peperangan. Tak ada gunanya bertindak cepat, tetapi keliru.
Setelah pembakaran itu, kita akan tetap diam saja
melihat pasukan Nobunaga membantai orang-orang
Suruga? kata Kojiro uring-uringan. Aku benar-benar
tidak mengerti.
Itu sebabnya kau harus banyak belajar. Kali ini
tampaknya Oda Nobunaga salah perhitungan.
Maksud Bapa?
Kita buktikan saja kata-kataku. Nanti kau akan
tahu sendiri.
***

PENGKHIANAT DAN PENYERBU


REMBULAN berlayar di langit. Malam seperti selimut
hitam. Di ruang tengah Puri Tazumi, Mayeda Toyotomi
duduk membisu di depan mata-mata yang baru kembali dari Owari. Seluruh rencananya berantakan. Apa
yang semula dipikirkan sederhana, ternyata tidak demikian jadinya. Rencana penyergapan terhadap Imagawa tak dapat dilaksanakan karena ia telah didahului Oda Nobunaga.
Mata-mata yang menyusup ke Kamakura melapor.
Shogun Nobunaga membuat perangkap Tuanku Imagawa. Lalu kini dia memerintahkan Konishiwa memimpin tiga ribu prajurit untuk menaklukkan Suruga.
Mereka berangkat menjelang fajar untuk memaklumatkan kekuasaan Nobunaga atas wilayah Suruga.
Nobunaga adalah seekor serigala lapar yang melupakan perangkap pemburu, kata Mayeda dalam nada
marah.
Bagaimana sekarang kehendak Tuanku?
Kita akan sambut kedatangan mereka dengan perang habis-habisan.
Di mana kita akan menghadapi mereka?
Kita akan menunggu kedatangan mereka di perbatasan Sofu. Aku tahu bagaimana menghadapi mereka.
Sekarang juga kalian kutugaskan untuk memberitahu
penguasa benteng Sofu, Natsuko, dan Kiyoe Yamasuki,
untuk menghimpun kekuatan sebanyak-banyaknya
untuk mengepung pasukan Konishiwa. Kita akan beri
mereka pelajaran berharga agar tidak sombong dan
tamak.
Baiklah kalau begitu, biar sekarang juga hamba
bergerak.
Pesanku, katakan pada Natsuko dan Yamasuki untuk bergerak secara diam-diam. Jangan sampai mena-

rik perhatian musuh.


Baik.
Kedua mata-mata itu segera meninggalkan puri. Tazumi yang sedari tadi mendengarkan perbincangan itu
segera mendekati Mayeda.
Tazumi tersenyum puas. Dengan lembut ia mengulurkan tangan untuk meremas pangkal paha Mayeda
Toyotomi. Tetapi lelaki itu menangkap pergelangan tangannya.
Jangan sekarang, kata Mayeda. Jangan mengotori niat suciku untuk berperang.
***
Konishiwa duduk di atas pelana kuda dengan semangat berkobar-kobar. Selama ini ia merasa selalu gagal
menjalankan tugas dengan baik. Semenjak ia mengabdi pada Oda Nobunaga, selalu mengalami kegagalan
dalam melaksanakan tugas. Kegagalan memenggal kepala Saburo, membuat Nobunaga menjaga jarak. Demikian pula ketika mengepung kuil untuk menangkap
Yoshioka. Sejak itu Nobunaga lebih banyak memberikan perintah pada Hosokawa. Sesungguhnya, semua
itu menyakiti hati Konishiwa. Diam-diam ia menunggu
kesempatan untuk membuktikan kesetiaannya. Dengan menahan perasaan, ia seperti seekor macan,
mengendap untuk menerkam kesempatan.
Maka ketika Nobunaga memerintahkan dirinya berangkat ke Suruga dalam misi penaklukan, Konishiwa
bersorak dalam hati. Ia merasa memperoleh kesempatan untuk membuktikan kehebatannya. Padahal ia tersenyum dalam hati, penaklukan yang akan ia laksanakan, tak lebih penandatanganan akte penaklukan belaka. Tidak akan ada perang. Kematian Imagawa akan
membuat orang Suruga kehilangan pegangan, sehingga mudah ditekan.

Konishiwa membayangkan, sehabis penandatanganan akte penaklukan wilayah Suruga, ia akan meminta disediakan tiga atau empat gadis yang masih perawan untuk ia tiduri. Orang-orang mengatakan, perempuan-perempuan Suruga pandai bercinta. Dan Konishiwa, sudah berminggu-minggu tidak menggauli wanita. Ia membayangkan gadis-gadis yang masih belia,
merayap di kaki ranjangnya tanpa sehelai benang pun
melekat di tubuhnya. Mereka berlutut gemetar, sementara Konishiwa siap merajam mereka dengan leluasa.
Pasti akan menjadi pengalaman tak terlupakan.
Tiga ribu samurai prajurit berderap di belakangnya.
Suara ribuan kaki menderap di tanah, ditingkah gemerincing pedang serta tombak, membuat arak-arakan
pasukan Konishiwa tampak megah dan menggetarkan.
Bendera-bendera warna perak dengan lambang Nobunaga, berkibar-kibar ditiup angin. Semua prajurit Konishiwa tampak berseri-seri, mereka seakan telah menggenggam kemenangan di tangannya.
Ketika pasukan Owari mendekati perbatasan Suruga, seorang mata-mata berlari menemui Konishiwa.
Apa yang kaulihat di sana? Konishiwa bertanya.
Tidak sesuatu pun, Tuanku.
Nah, benar kataku, bukan? Mereka akan menyerahkan Suruga dengan senang hati. Kelihatannya kita
akan memperoleh sambutan yang menyenangkan.
Tadi pagi ketika hamba lewat Sofu, memang hamba
lihat ada kegiatan. Tetapi hanya kecil-kecilan. Hamba
tidak tahu apakah itu persiapan perang atau hanya sekadar latihan biasa.
Apabila mereka melihat kedatangan tiga ribu tentaraku, aku yakin mereka akan segera meletakkan senjata. Jadi tak perlu takut. Kita akan terus menuju Istana
Suruga.
Meskipun pasukannya sudah lelah, namun karena

Konishiwa menganggap tak akan mendapat perlawanan, ia memerintahkan tentaranya terus memasuki wilayah Suruga. Sebenarnya sesudah berjalan tanpa istirahat selama dua hari, para prajurit merasa letih. Mereka akhirnya berjalan hanya dengan mengandalkan
naluri.
Mereka melangkah terseok-seok tanpa mempertahankan barisan. Beberapa samurai bahkan menumpang gerobak yang kebetulan lewat. Langkah kaki terasa berat, lebih-lebih bagi prajurit yang memakai pakaian jirah. Mereka berjalan seperti kuda yang membawa beban terlampau berat. Terseok-seok.
Konishiwa sendiri duduk di atas punggung kuda dengan letih. Hanya karena pakaiannya yang terbuat dari
besi membuat lelaki tersebut tetap duduk tegak. Namun bila diperhatikan, gerak tubuhnya semata-mata
mengikuti ayunan angin.
Di tengah keletihan itu, tiba-tiba terdengar teriakan,
Seraaang!
Prajurit Konishiwa tak dapat memahami keadaan di
sekitarnya. Tiba-tiba mereka dihadapkan serangan
mendadak dari segala penjuru. Prajurit Suruga rupanya telah menunggu kehadiran mereka dari tempattempat persembunyian. Dengan jerit lengking membahana, ribuan prajurit di bawah komando Mayeda Toyotomi mulai menyerbu. Anak panah menghujani pasukan Konishiwa, terdengar jerit kematian diikuti rintih kesakitan yang tak terperikan. Belum hilang rasa
kagetnya, tiba-tiba dari lubang-lubang persembunyian
di bawah tanah, berloncatan prajurit Suruga. Dalam
sekejap terjadi pertempuran hebat. Udara menjadi anyir darah ketika tangan dan kaki beterbangan tertebas
pedang. Prajurit Nobunaga yang tak menduga bakal
memperoleh serangan tersebut, jadi panik. Mereka tak
dapat menguasai keadaan ketika serbuan seperti air

bah menggelora. Satu per satu mereka tumbang ke tanah dengan tubuh terbelah. Keletihan dalam perjalanan menyebabkan mereka tak mampu menandingi kehebatan orang-orang Suruga.
Konishiwa mencoba memberikan komando, tetapi
suaranya tertelan jerit kematian di sekitarnya. Dengan
sisa tenaganya ia mencabut pedang, tetapi pada saat
itu sebuah tombak menghunjam bahunya.
Bedebah! jerit Konishiwa marah. Dengan sekuat
tenaga ia mencabut tombak yang menancap di bahunya, kemudian sambil mengayun-ayunkan pedangnya ia menyerbu musuh.
Prajurit yang tadi melempar tombak, segera mencabut pedang untuk menyambut serangan Konishiwa.
Terdengar suara gemerincing pedang mereka beradu.
Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, Konishiwa menerjang kembali. Dengan sebuah tebasan menyilang, Konishiwa membabat musuhnya, terdengar lengkingan
pendek ketika urat leher prajurit Suruga itu menyemburkan darah segar. Ia roboh dengan kepala copot dari
tubuhnya.
Darah terus mengucur di bahunya. Pakaiannya
menjadi lengket. Demikian pula genggaman tangannya.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Konishiwa mencoba tetap tegak di atas punggung kuda.
Konishiwa! tiba-tiba terdengar suara nyaring di
antara suara gemerincing pedang. Panglima perang
Nobunaga itu menoleh ke arah suara itu berasal. Di
sana ia melihat Mayeda Toyotomi duduk di atas punggung kuda lengkap dengan pakaian jirahnya. Laki-laki
itu mengacungkan pedang ke arah Konishiwa. Saya
Mayeda Toyotomi, panglima perang Suruga. Saya menantang Anda untuk bertarung sampai mati!
Mayeda menggebrak punggung kudanya, kemudian
seperti badai, ia bergerak menyerbu Konishiwa.

Saya panglima perang Yang Mulia Nobunaga akan


memenggal kepalamu!
Dalam hitungan detik pertarungan antara dua panglima perang itu pun terjadi. Tebasan demi tebasan, ayunan demi ayunan, suara pedang gemerincing hingga
menimbulkan pijar api. Meskipun telah terluka, tetapi
Konishiwa adalah ahli pedang yang hebat. Ia dapat
mengimbangi permainan pedang Mayeda dengan baik.
Mayeda memegang hulu pedang dengan kedua tangannya, kemudian sambil menggeram ia menyerbu.
Sabetan pedangnya demikian kuat hingga membuat tangan Konishiwa bergetar. Tetapi dengan cepat, Konishiwa menebas dada musuhnya. Mayeda terperanjat
mendapat serangan itu, ia meloncat ke belakang. Tapi
terlambat. Dadanya terlanjur kena sabetan pedang Konishiwa. Luka menganga sepanjang sejengkal dan mengucurkan darah. Mereka kembali bertarung. Suara
pedang gemerincing, ditingkah desis serta hardikan ketika kedua musuh itu beradu kekuatan. Namun lamakelamaan, tampak keletihan mengganggu konsentrasi
Konishiwa. Laki-laki itu kadang-kadang terlihat goyah
sambil menebaskan pedang dengan membabi buta.
Melihat musuhnya mulai goyah, Mayeda meningkatkan serangannya. Ia memaksakan serangan jarak dekat. Mereka saling menebas, menikam, dan mengayun
pedang. Suara pedang beradu dengan hebat. Angin tebasan mendesis berbau maut. Mereka terus bertempur, sementara di sekitarnya ribuan samurai menyabung nyawa. Tetapi dengan selintas memandang, terlihat siapa yang lebih unggul. Pasukan Nobunaga tampak kocar-kacir. Mereka bergelimpangan dengan luka
mengucurkan darah.
Karena terdesak, Konishiwa mencoba menyelamatkan tentaranya. Ia memacu kudanya ke tempat
yang tinggi.

Munduurr! teriaknya lantang sambil menebaskan


pedangnya ke kanan ke kiri. Munduuurr!
Pada saat itu, Mayeda menerjang dengan kudanya.
Konishiwa yang tidak menduga serangan itu, terjungkal dari kudanya. Tubuhnya berguling-guling di tanah.
Mayeda segera melompat menerjang. Pada saat Konishiwa masih belum pulih kesadarannya, Mayeda telah
sampai di dekatnya. Lelaki itu menjambak rambut Konishiwa kemudian menebaskan pedang tepat di lehernya.
Mayeda segera berdiri tegak di atas ketinggian. Tangan kanannya masih menggenggam pedang yang berlumur darah, sementara tangan kirinya memegang kepala Konishiwa yang masih mengucur kan darah.
Kita menang! teriak Mayeda Toyotomi lantang.
Aku telah memenggal kepala Konishiwa!
Seruan itu disambut pasukannya, Kita menang!
Konishiwa terbunuh!
Kepala Konishiwa telah dipenggal!
Seruan itu saling bersambut. Dan pengaruhnya demikian luar biasa. Hanya dalam beberapa menit, seluruh pasukan Nobunaga meletakkan senjata. Prajurit
yang masih hidup memilih menyerah karena tak lagi
memiliki pemimpin. Beberapa di antaranya memilih
melakukan seppuku (membelah perutnya sendiri).
Mayeda Toyotomi naik kembali ke punggung kudanya. Ia mengangkat tinggi-tinggi kepala Konishiwa
sambil meminta seluruh pasukan Nobunaga meletakkan senjata.
***
Malam hari. Di perkemahan Mayeda Toyotomi. Di tengah hujan deras yang mengguyur sejak sore hari,
Mayeda memanggil Mariko Watanabe, orang kepercayaannya.

Aku tidak pernah menduga kita akan berhasil meraih kemenangan dengan mudah, kata Mayeda dengan senyum menyungging di bibirnya.
Benar, Tuanku.
Ini adalah kemenangan pertama yang berhasil kita
raih. Mudah-mudahan menjadi pertanda baik untuk
kita.
Menurut kepercayaan memang demikian.
Mayeda melihat dari lubang jendela kemah, air hujan seperti sisir kaca yang gemerlap. Namun demikian
di luar masih tampak para prajuritnya melakukan kesibukan seperti biasa. Ada yang sedang membersihkan
kandang kuda, ada pula yang sedang menyanyi bersama teman-temannya.
Aku ingin kemenangan ini menjadi peringatan pada
Oda Nobunaga, agar dia tidak mencoba-coba menyerang Suruga, kata Mayeda tegas. Karena itu aku ingin meminta dirimu untuk mengirimkan bingkisan pada Nobunaga.
Apa yang harus saya bawa, Tuanku?
Kepala Konishiwa.
Apakah sekarang juga hamba harus berangkat?
Tidak, tetapi paling tidak, besok kau harus sudah
berangkat. Aku tidak mau Oda Nobunaga menerima
kirimanku yang sudah membusuk. Biarkan dia tahu
secepat ia kobarkan peperangan, secepat itu pula kita
akan mengalahkannya.
***

SEBUAH PERSEKUTUAN
Di tengah tanah datar yang berada di lembah Amagi,
persis di tepi sungai Kwasu, Imagawa tengah berbin-

cang-bincang dengan Saburo Mishima. Sejak penyelamatan dari perangkap Nobunaga, Imagawa menaruh
kepercayaan yang sangat besar pada Saburo. Lebihlebih ketika panglima Ashikaga itu menceritakan rencana pengkhianatan Mayeda Toyotomi.
Mereka sengaja berjalan-jalan di tepi sungai, sehingga tak seorang pun dapat mendengar pembicaraan
mereka.
Jadi menurut informasi yang berhasil kaukumpulkan, saat ini Mayeda tengah merencanakan menggulingkan kedudukanku?
Demikianlah keyakinan saya.
Kalau benar seperti yang kaukatakan, apa sebenarnya alasannya? Selama ini aku telah memberikan
kepercayaan penuh padanya. Bahkan kuberikan rumah kediaman di lingkungan istana, serta gaji sebesar
sepuluh ribu kan. Apalagi yang mendorong dia ingin
menyingkirkan diriku?
Pikiran orang seperti bentuk awan di langit, sukar
ditebak wujudnya. Hingga kini, tidak seorang pun mengetahui kenapa dia berbuat begitu. Tetapi menurut
berita yang berhasil saya kumpulkan, pengkhianatan
Mayeda didorong oleh bekas istri ayah Anda.
Bekas istri ayahku?
Benar.
Ayahku mempunyai istri dua puluh jumlahnya.
Tazumi.
Tazumi? Bagaimana kau dapat mengatakan hal
itu?
Sudah lama terjalin hubungan asmara antara Tazumi dengan Mayeda....
Aku sukar mempercayainya.
Kebenaran kadang memang sukar dipercaya.
Aku telah memberinya puri di pinggir kota, kehidupan yang serba kecukupan, serta menempatkannya

sebagai wanita yang harus kuhormati. Bagaimana dia


menginginkan kepalaku?
Dia tidak merasa puas dengan perlakuan Anda padanya. Kecuali itu dia ingin berkuasa.
Benar-benar tidak bisa dimengerti. Bagaimana dia
dapat berpikir sepicik itu?
Itulah salah satu watak manusia.
Kalau begitu apa yang harus kulakukan?
Bersabarlah. Pada saat ini kita belum sepenuhnya
mengetahui siapa lawan dan siapa kawan. Tuanku berada di tengah orang yang tidak diketahui isi hatinya.
Kalau benar Mayeda telah menyusupkan pengikutnya
dalam pasukan pengawal Anda, tak seorang pun dapat
menduga siapa dia kecuali kita membuktikannya.
Caranya?
Anda harus bicara secara terbuka pada mereka.
Hanya ketulusan hati Anda yang akan mampu membuka mata hati mereka.
Kukira usulmu sangat baik dan sesuai dengan pemikiranku. Terus terang, aku tidak menyukai darah,
jadi kalau mereka bisa kululuhkan hatinya, aku lebih
suka melakukannya.
Siang hari ini, seusai makan, kita adakan pertemuan itu.
Seratus lima belas orang duduk di tanah datar itu
pada siang hari seusai makan. Mereka berkumpul untuk mendengarkan pidato Imagawa. Semua duduk
sambil memegang pedang masing-masing.
Hari ini kita berkumpul di sini untuk membicarakan langkah selanjutnya, Imagawa memulai. Tidak
seorang pun dapat membayangkan, bahwa kita masih
hidup setelah jebakan maut itu. Keberhasilan meloloskan diri ini tentu karena pertolongan Dewa. Kemunculan Saburo menjadi bagian rencana para Dewa. Karena itu kita harus mengucapkan syukur atas penye-

lamatan ini.
Semua orang diam, mereka merenungkan kata-kata
junjungannya. Semua orang tak ingin kehilangan satu
patah kata pun.
Sekarang sesudah selamat dari pembantaian, seharusnya kita cepat-cepat kembali ke Suruga untuk
menghimpun kekuatan. Tetapi nyatanya, sampai saat
ini saya tak pernah memberikan perintah untuk kembali. Kenapa? Tentu ada sebabnya. Kita sekarang berada di tengah kepungan musuh. Nobunaga di belakang, Tokugawa di samping kanan, dan Mayeda Toyotomi menghadang di depan.
Beberapa orang terperanjat mendengar pidato itu.
Terutama ketika Imagawa menyebut nama Mayeda
Toyotomi.
Menurut informasi yang kudengar, pada waktu kita
berangkat menuju Kamakura, sesungguhnya Mayeda
Toyotomi merencanakan niat jahat untuk menyergapku. Dia telah mengirimkan sejumlah samurai untuk memasuki Kamakura jauh sebelum kedatanganku.
Bahkan menurut kabar, Mayeda telah menyusupkan
pengikutnya ke dalam pasukan pengawalku. Tentu saja aku tidak akan mempercayai begitu saja informasi
ini.
Imagawa berhenti bicara. Ia menatap para samurai
di depannya. Beberapa samurai tampak saling memandang.
Kalian sudah mengetahui watakku, lanjut Imagawa lagi. Aku tidak menyukai pertumpahan darah. Aku
pun tidak menyukai pembalasan dendam. Satusatunya keinginanku hanyalah hidup tentram bersama
keluarga dan di tengah sahabat-sahabat setia. Itu sebabnya, aku selama ini membebaskan Mayeda untuk
mengurus pemerintahan di Suruga. Sejarah negeri kita
yang penuh kekejaman, ingin segera kutinggalkan. Ki-

ta kemudian masuk ke zaman kedamaian, di mana


anak dan cucu kita bisa hidup bahagia tanpa dihantui
perasaan takut terhadap serangan musuh. Apa artinya
kehidupan apabila setiap saat kita harus merasa waswas, cemas, atau ketakutan akibat memiliki banyak
musuh? Apa artinya kehidupan tanpa kedamaian?
Apabila kita hanya menurutkan hawa nafsu, perang
akan terjadi, dan bukan hanya kita yang mempertaruhkan nyawa, tetapi anak cucu kita, istri kita, anak
perempuan kita, bahkan orang-orang tua kita yang
sudah tua. Tegakah kita membiarkan mereka meratap
ketakutan atau mengalami perkosaan oleh musuh?
Semua samurai di tempat itu tercekam oleh pidato
Imagawa. Meskipun ia bicara dengan nada halus, tetapi terasa menyentuh perasaan yang paling dalam.
Sekarang aku ingin mengatakan pada kalian. Saat
ini, kita hanya berjumlah seratus tujuh belas orang.
Betapa tidak berartinya kekuatan ini bila harus menghadapi pasukan Nobunaga, Tokugawa, atau bahkan
Mayeda. Mereka dapat menghimpun ribuan prajurit
untuk menghadang kita. Namun sebagai pemimpin,
apabila aku mendapatkan kesetiaan kalian, aku bersumpah akan berusaha keluar dari kemelut ini. Aku
akan berupaya mempertemukan kalian dengan keluarga kalian di Suruga. Karena meskipun aku yakin,
kalian telah dilepas oleh keluarga dengan ikhlas ketika
harus berangkat mengawalku, tetapi mereka akan lebih bahagia jika melihat kalian pulang.
Beberapa orang tersentuh oleh ucapan Imagawa,
dan mereka mulai menitikkan air mata. Secara tibatiba mereka disergap kerinduan terhadap keluarga dan
merasakan keluhuran budi junjungannya.
Saya tahu di antara kalian ada yang menjadi pengikut Mayeda, lanjut Imagawa dengan suara lunak.
Saya tak ingin menyeret kalian ke depanku untuk me-

nerima hukuman. Tetapi apabila kalian dapat melihat


niat baikku untuk mendirikan pemerintahan yang bersih dan damai, berilah aku kesempatan memimpin kalian kembali ke Suruga. Kita akan hadapi bersama kesulitan atau pun prahara dalam upaya untuk kembali,
karena dengan cara itu kita saling membuktikan kesetiaan satu dengan yang lain. Percayalah, dengan hati
yang tulus, aku akan setia pada rakyatku dibanding
pada diriku sendiri....
Tiba-tiba seorang samurai yang berusia sekitar empat puluh tahun melangkah ke depan dan bersujud di
depan Imagawa. Ia bicara sambil menangis.
Ampunilah hamba, Yang Mulia, kata samurai tersebut sambil terisak-isak. Hamba telah buta sehingga
tak dapat membedakan ketulusan hati dengan muslihat. Hamba telah terhasut oleh bujukan Mayeda Toyotomi sehingga bersedia menjalankan perintahnya.
Bukankah engkau Koroku?
Benar, Yang Mulia.
Apa perintah Mayeda?
Membunuh Yang Mulia.
Oh, jadi benar informasi yang kuterima.
Memang benar, Yang Mulia. Saya telah memimpin
dua puluh orang di dalam pasukan pengawal Yang
Mulia.
Siapakah mereka?
Sebagai seorang samurai, hamba tidak akan melanggar sumpah dengan mengatakan siapa mereka.
Apabila Yang Mulia tidak berkenan, izinkanlah hamba
melakukan seppuku....
Tiba-tiba sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dari
tengah kerumunan pasukan pengawal itu, tiga belas
samurai maju ke depan, mereka menggabungkan diri
dengan Koroku. Mereka bersujud sambil menyebutkan
nama masing-masing.

Koroku kaget melihat reaksi teman-temannya. Semua anggota penyusup ternyata tampak bersujud.
Enam orang yang lainnya telah tewas dalam pembantaian di Kamakura.
Apabila Tuanku memerintahkan kami seppuku,
sebagai penebusan dosa, kami siap untuk membelah
perut kami sebagai bukti penyesalan. Tetapi apabila
Yang Mulia mengizinkan kami kembali mengabdi, maka terimalah sumpah setia kami untuk Yang Mulia Imagawa.
Bukankah sudah kukatakan aku bukan seorang
pendendam? kata Imagawa dengan suara mantap.
Karena itu, sesuai sumpahku, kalian semua kumaafkan dan kuterima sebagai abdiku.
Sambil bersujud serempak, keempat belas samurai
itu berkata, Terima kasih, Yang Mulia.
Namun karena kalian telah melakukan kesalahan,
aku wajib memberi hukuman, bukan?
Benar, Yang Mulia.
Hukuman kalian harus dijalani sampai aku mencabutnya. Mulai hari ini kalian menjadi pasukan terdepan dari tentaraku. Kalian yang akan memimpinku
kembali ke Suruga.
***
Seusai pertemuan siang itu, Imagawa mengundang Saburo Mishima ke gubuk persembunyiannya. Selama ini
sudah terjalin persahabatan yang sangat akrab antara
keduanya. Imagawa masih ingat dengan jelas beberapa
tahun lalu Saburo telah memimpin pasukan Ashikaga
menyelamatkan wilayahnya. Sekarang, secara tak terduga, lelaki itu pun meloloskan dirinya dari maut. Kenyataan ini membuat Imagawa menaruh hormat pada
Saburo. Mereka sering duduk sambil berbincang-bincang tentang keadaan yang mereka hadapi. Imagawa

secara tidak langsung telah mengangkat Saburo sebagai penasihat militernya. Apabila ada sesuatu yang
akan ia lakukan, ia selalu terlebih dulu membicarakannya dengan panglima Ashikaga itu.
Saburo datang ke gubuk Imagawa begitu kurir memanggilnya. Ketika datang, Saburo melihat Imagawa
sedang duduk di dekat perapian sambil minum sake.
Aku ingin minta pendapatmu mengenai rencanaku
mengirim orang ke Suruga, kata Imagawa tanpa tekanan. Sebelum memutuskan untuk kembali ke sana,
aku ingin mengetahui secara pasti keadaan Suruga.
Tetapi karena saat ini, menurut perkiraan kita, Mayeda
Toyotomi telah mengambil alih kekuasaan, tentu saja
dia akan hati-hati menerima kurir yang kukirimkan.
Menurut pendapatmu, siapa orang yang paling tepat
kukirim ke sana?
Saburo diam sejurus, lalu menjawab, Koroku.
Imagawa terperanjat. Koroku?
Benar, Yang Mulia. Dia saat ini telah menjadi pengikut paling setia. Sebagai samurai sejati, Koroku tidak
akan melanggar sumpahnya. Karena pengingkaran
sumpah hanya akan membuat ia tercemar.
Tetapi apakah tidak berbahaya mengirim dia menjumpai Mayeda?
Justru sebaliknya. Koroku akan menjadi matamata terbaik yang kita miliki.
Baiklah kalau begitu, aku akan mengirimnya ke
Suruga.
Saburo membungkukkan badan untuk mohon diri,
tetapi Imagawa berkata, Satu hal lagi, Saburo.
Ya, Yang Mulia.
Di mana sekarang putra Ashikaga?
Dia berada di Kamakura.
Di Kamakura?
Benar, Yang Mulia.

Kau tidak sedang berolok-olok?


Tidak, Yang Mulia.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Bukankah pemburu tidak akan menangkap binatang di kandangnya sendiri?
Imagawa menahan napas, lalu tersenyum. Menurut
pikirannya, Saburo Mishima memang seorang pengatur taktik yang jempolan.
***

BINGKISAN BERHARGA
NOBUNAGA berdiri merapat di dinding, sementara Naoko terus menciumi tubuhnya. Lelaki itu mendesah
nikmat. Ia menyukai permainan baru kekasihnya. Kini
Naoko selalu menggumulinya sambil berdiri. Caranya
mencumbu memberikan sensasi baru. Ketika Naoko
mempermainkan lidahnya, Nobunaga merasakan seluruh tubuhnya mengejang, seakan ada sesuatu yang
akan meledak di dalam dirinya.
Dengan penuh perasaan, Naoko menciumi dada Nobunaga. Menggigit dada lelaki itu hingga lelaki tersebut
mendesis. Lalu pelan-pelan ia bergerak ke bawah, dengan gaya menakjubkan wanita tersebut terus merangsang kekasihnya.
Oh, nikmat sekali, desis Nobunaga sambil memegang kepala Naoko, lalu menekannya rapat ke tubuhnya.
Naoko justru menarik kepalanya. Seketika Nobunaga mendesis.
Oh, Naoko, jangan membuatku tersiksa.
Engkau diam. Nikmati saja.
Kemudian dengan agresif Naoko mulai mencumbu
lagi. Kian lama kian cepat. Seperti botol yang tersum-

bat, Nobunaga merasakan seluruh jaringan tubuhnya


akan membunuh. Rasa nikmat yang luar biasa akhirnya meledak juga dari dalam dirinya. Tangannya masih
mencengkeram kepala Naoko, menekannya rapat ke
tubuhnya, ia membiarkan rasa nikmat itu mengalir
kemudian luruh dalam keletihan yang melumpuhkan
kekuatan dirinya.
Pada saat itu terdengar suara pengawal dari luar
kamarnya, Yang Mulia Nobunaga, hamba mohon ampun terpaksa mengganggu.
Bangsat! desis Nobunaga geram. Ia belum puas
merasakan kenikmatan yang baru saja terjadi.
Yang Mulia....
Apa tidak bisa ditunda?
Ampun, Yang Mulia, ini berita dari Suruga....
Nobunaga langsung mendorong Naoko, kemudian
seperti seekor kadal raksasa, ia berjalan untuk mengambil kimononya. Masih dengan marah, ia menuju
pintu. Dengan kasar pintu zoji itu digeser hingga terbuka.
Ada apa? suaranya mengguntur.
Pengawal itu bersujud, tak berani mengangkat kepalanya.
Hamba mohon ampun, Yang Mulia, kata pengawal
tersebut masih dengan bersujud. Ada bingkisan dari
Suruga.
Mana?
Dengan gemetar pengawal itu mengangkat kotak.
Apa isinya?
Hamba tidak tahu, Yang Mulia. Hamba tidak berani membukanya.
Nobunaga masih dengan rasa kesal membuka kotak
itu, seketika wajahnya pucat ketika melihat biji mata
Konishiwa melotot menatapnya. Dengan tangan kanannya ia melempar kotak itu sehingga kepala Konishiwa

terlempar keluar. Seketika dayang-dayang di sekitar


tempat itu menjerit dengan suara tercekik.
Di mana Hosokawa?
Beliau sedang melatih ilmu pedang di dojo.
Suruh dia kemari. Cepat!
Pengawal itu bergegas pergi.
Nobunaga berbalik ke kamarnya. Saat itu Naoko
yang baru selesai berpakaian muncul setelah mendengar jeritan para dayang-dayangnya.
Naoko bertanya, Apa yang terjadi?
Mayeda Toyotomi mengirimkan kepala Konishiwa.
Oh!
Dia telah menantangku.
Lalu apa yang akan engkau lakukan?
Akan kuperintahkan sepuluh ribu prajurit untuk
menaklukkannya.
Hosokawa muncul di depan pintu. Lelaki tersebut
bersujud.
Yang Mulia.
Nobunaga berpaling pada Hosokawa, lalu bergegas
menemuinya.
Mayeda telah menghancurkan pasukan Konishiwa, kata Nobunaga menggeram. Kuminta kau sekarang menghimpun sepuluh ribu prajurit untuk menghukum jahanam itu.
Baik, Yang Mulia.
Sebelum fajar tujuh hari semenjak saat ini, aku ingin pasukanmu sudah bisa diberangkatkan.
Baik, Yang Mulia.
Hosokawa bersujud, lalu pergi.
Nobunaga berbalik menuju ke kamarnya. Kemudian
berkata dengan penuh kemarahan, Sejak dulu Konishiwa memang bodoh. Tetapi Mayeda telah menantangku dengan mengirimkan kepala orang bodoh itu
padaku. Aku bersumpah akan memenggal kepalanya

dan mempertontonkannya di jalanan agar semua orang


tahu resiko bagi orang yang menentang Nobunaga.
Hari-hari selanjutnya tampak kesibukan di Kamakura meningkat. Hosokawa melakukan penghimpunan
kekuatan. Kecuali diadakan pertemuan setiap pagi di
dataran Sekigahara, sepuluh ribu prajurit itu diharuskan melakukan latihan perang. Hampir setiap sore,
Nobunaga melakukan pemeriksaan sendiri. Ia tampak
merasa puas.
Hosokawa sendiri tidak mau setengah-setengah.
Dari pengalaman pahit yang dialami Konishiwa, ia menyadari Mayeda Toyotomi tidak dapat dianggap remeh.
Kemenangannya membuktikan bahwa dia bukan hanya seorang ahli pedang, tetapi komandan pasukan
yang baik. Tiga ribu prajurit musuh telah berhasil dicerai-beraikan tanpa perlawanan yang berarti. Hanya
seorang jenderal yang hebat dapat melakukannya. Karena itu kini Hosokawa menekankan disiplin latihan
bagi prajuritnya. Meskipun kekuatannya tiga kali lipat
tentara Konishiwa, namun tanpa dibekali disiplin yang
kuat, kekuatan itu tak berarti banyak.
Bila pada pagi dan siang harinya mereka menjalani
latihan perang, pada malam harinya Hosokawa mengumpulkan semua komandan prajurit untuk mendiskusikan strategi penyerbuannya. Dengan cermat mereka mempelajari peta-peta wilayah musuh, pola pemetaan tanah yang menguntungkan dan merugikannya,
serta sejauh apa kesetiaan rakyat Suruga pada Mayeda
Toyotomi.
Kesetiaan rakyat sangat menentukan dalam sebuah peperangan, kata Hosokawa menegaskan. Apabila
sebuah kekuatan tidak didukung rakyat, maka kekuatannya tak akan bertambah, tetapi justru berkurang.
Kematian serta keletihan anggota pasukan secara terus-menerus akan mengurangi kekuatan pasukan itu.

Tetapi dukungan rakyat yang kuat akan terus menambah kekuatannya. Bila saja Mayeda berhasil memobilisasi rakyat, maka bukan mustahil kita akan
menghadapi seratus ribu tentara Suruga.
Persiapan terus dijalankan dengan penuh semangat. Suasana di Kamakura menjadi menegangkan.
Kesibukan terasa meningkat.
Bapa Lao dan Kojiro terus mengamati perkembangan itu. Mereka hanya bisa menduga-duga apa yang
bakal dilakukan Nobunaga.
Sebuah serangan besar-besaran, kata Kojiro menduga. Ia senang setiap hari dapat menyaksikan ribuan
prajurit berbaris menuju dataran Sekigahara.
Kemungkinan Nobunaga akan kalah, kata Bapa
Lao datar.
Kalah? Kojiro heran dengan jalan pikiran pendeta
itu. Bagaimana mungkin mereka akan kalah dengan
kekuatan yang demikian besar?
Satu hal yang tidak diketahui Nobunaga, berapa
kekuatan lawan. Suatu pasukan yang akan menyerang
ke kedudukan lawan, ia harus terlebih dulu mengetahui kekuatan musuh. Tanpa pengetahuan itu, dia hanya akan mengorbankan prajuritnya, dan mati konyol
seperti Konishiwa.
Bapa seperti seorang jenderal saja lagaknya.
Aku memang seorang jenderal.
Ha?
Bapa Lao tersenyum, lalu melanjutkan, Jenderal
bagi diriku sendiri....
Huh! Kojiro mendecih.
Tetapi sebaiknya nanti kita buktikan saja teoriku,
Koyama.
Aku memang ingin membuktikannya.
Kalau begitu, mari sekarang kita mencari sake untuk menghangatkan perut.

Itu pikiran yang kusenangi.


Bapa Lao tersenyum hangat. Mereka masuk ke sebuah warung kemudian memesan secawan sake. Kojiro
memesan sukiyaki, kemudian dengan lahap ia menikmati makanan itu. Ketika sedang asyik menikmati makanannya, tiba-tiba mata Kojiro tertumbuk pada seorang pengemis yang duduk di depan warung itu.
Yoshi..., katanya mendesis. Ia bergegas turun dari
kursi, pada saat itu pengemis tersebut telah bergegas
pergi. Kojiro segera mengejar, tetapi semakin cepat Kojiro melangkah, pengemis itu pun semakin bergegas.
Akhirnya Kojiro berlari, tetapi seperti tahu kalau diikuti, pengemis tersebut juga berlari.
Kojiro ingin berseru memanggil namanya, tetapi karena di sekitar tempat itu tampak beberapa prajurit
Nobunaga, ia tak jadi melakukannya. Akhirnya ia mengejar dengan susah payah. Di sebuah tikungan, tibatiba pengemis itu menghilang. Kojiro menoleh ke kanan ke kiri.
Yoshi.... Kojiro mencoba memanggil. Yoshi....
Tetap tidak ada jawaban. Akhirnya dengan kesal ia
kembali ke warung. Bapa Lao tampak menunggunya.
Kau seperti mengenalnya, kata Bapa Lao. Siapa,
Koyama?
Kojiro merenung sejenak, lalu menjawab acuh tak
acuh, Teman di waktu kecil.
Rupanya kau masih saja bodoh, sahut pendeta itu
berbisik. Di sini Koyama tidak mempunyai teman.
Kojiro menoleh, ia mengerutkan kening. Heran.
Di salah satu sudut kota, Yoshioka terduduk berdebar-debar. Ia merasakan jantungnya berdetak lebih
kencang. Napasnya terengah-engah. Pikirannya agak
kalut. Ia tak pernah membayangkan ada orang yang
mengenalinya. Padahal dulu ia tak pernah keluar dari
istana.

Bagaimana mungkin ada yang mengenaliku?


Yoshioka mencoba berpikir keras, mencari kemungkinan siapa kira-kira yang mengenali dirinya. Tetapi
sampai lama ia tak menemukan satu nama pun yang
ia kenal. Ia duduk sambil bersandar memikirkan segala kemungkinan. Tiba-tiba ia seperti mengenali suara itu. Yoshioka mencoba mengumpulkan seluruh daya
ingatnya, kemudian ketika berhasil mengingatnya, seketika ia meloncat.
Kojiro!
Yoshioka segera berlari ke arah warung itu. Ini merupakan pertemuan tak terduga, tetapi sangat berarti.
Sudah lama ia dan Saburo memikirkan Kojiro, ternyata
tanpa diduga ia muncul di sini.
Yoshioka sampai di warung di mana ia bertemu Kojiro, tetapi yang dicarinya sudah tidak ada.
Di mana anak yang tadi makan di sini? Yoshioka
bertanya pada pemilik warung.
Sudah pergi.
Ke arah mana?
Luar kota.
Yoshioka mengucapkan terima kasih, kemudian
berlari mengejar ke arah luar kota.
***

PENGIRIMAN UTUSAN
DENGAN didampingi Saburo Mishima, Imagawa memanggil Koroku. Lelaki tersebut datang bergegas, lalu
bersujud.
Koroku, kata Imagawa tanpa tekanan.
Ya, Yang Mulia.
Hari ini aku akan meminta engkau melaksanakan
perintah yang agak sulit.

Hamba bersedia melakukannya meskipun harus


menebus dengan nyawa hamba.
Berangkatlah hari ini juga ke Suruga untuk menemui Mayeda Toyotomi. Katakan kepadanya, bahwa aku
masih hidup, dan kini terpaksa bertahan di hutan karena mendengar tentang rencana pengkhianatannya.
Setelah itu, katakan padanya, dalam waktu yang tidak
lama, aku akan kembali ke Suruga. Apabila dia masih
memiliki kesetiaan kepadaku, katakan bahwa aku telah mengampuninya. Dia akan tetap menjadi panglima
Suruga dan gajinya akan kunaikkan. Tetapi apabila
dia tetap melawanku, katakan, aku siap menghadapinya. Tetapi jelaskan, bahwa peperangan hanya akan
merugikan kita semua, karena yang menjadi korban
adalah rakyat Suruga. Selain itu, peperangan hanya
akan memperlemah posisi kita untuk menghadapi musuh dari luar. Pada saat ini, Oda Nobunaga pasti tengah menghimpun kekuatan untuk menaklukkan Suruga, bukankah akan lebih baik apabila kita menyatukan kekuatan untuk menghadapinya?
Apakah hanya itu, tugas yang harus hamba laksanakan?
Katakan dengan sejujurnya pula, bahwa aku dapat
memahami perasaannya, tetapi aku tidak dapat memaafkan Tazumi, karena dia akan terus menjadi ulat
yang merongrong kewibawaanku. Mayeda harus membunuhnya untuk membuktikan kesetiaannya padaku.
Itukah yang harus hamba sampaikan?
Ya. Engkau tentu tahu apa artinya melaksanakan
tugas itu, Koroku. Apabila cara bicaramu menyulut kemarahan Mayeda, engkau dapat kehilangan kepala.
Hamba mengerti, dan hamba akan menjalankan
sebaik-baiknya.
Kalau begitu, bawalah bekal secukupnya, kemudian berangkatlah.

Koroku bersujud, kemudian berbalik pergi. Imagawa


menoleh pada Saburo Mishima, lalu mereka tersenyum.
Baru sedetik mereka bertukar senyum, seorang mata-mata datang.
Apa yang akan kaulaporkan, Satomi?
Mata-mata itu bersujud, ia gembira junjungannya
mengetahui namanya. Dan ini memang bakat luar biasa Imagawa, ia selalu hafal pada nama anak buahnya.
Bakat ini sesungguhnya yang membuat prajuritnya
bersedia mati untuknya.
Hamba ingin melaporkan mengenai keadaan di
Owari, kata Satomi. Dalam beberapa hari terakhir ini,
Hosokawa telah mengerahkan sepuluh ribu prajurit
untuk melakukan latihan secara keras. Hamba mendengar mereka dipersiapkan untuk menyerang Suruga.
Setelah kekalahan Konishiwa, rupanya Nobunaga ingin
menghukum panglima Mayeda.
Apakah engkau tahu kapan mereka akan berangkat ke Suruga?
Hamba dengar, tiga hari lagi. Karena itu hamba segera kemari untuk melaporkannya.
Terima kasih, Satomi. Kuminta kau kembali lagi ke
Kamakura untuk mencatat seluruh perkembangan
atau perubahan yang terjadi di sana. Kecuali itu sebarkan desas-desus di sana, bahwa aku masih hidup.
Katakan terus terang, bahwa aku berhasil lolos dari
perangkap Nobunaga melewati lorong rahasia yang ditunjukkan oleh panglima Ashikaga, Saburo Mishima.
Tetapi sebelumnya, panggilkan aku perwira Mitsuko.
Baik, Yang Mulia.
Ketika Satomi meninggalkan perkemahan itu, Saburo bertanya, Kenapa dia harus mengatakan bahwa
Anda masih hidup?
Tidak apa-apa. Itu hanya sebuah taktik.
Taktik apa, Yang Mulia?

Mitsuko datang.
Hamba menunggu perintah, Yang Mulia.
Mitsuko, aku ingin meminta engkau kembali ke
Suruga.
Apa yang harus hamba lakukan di sana?
Kembalilah ke Suruga, dan sebarkan berita bahwa
saat ini Oda Nobunaga tengah menghimpun tiga puluh
ribu prajurit untuk menggempur Suruga. Tambahkan
pula dalam berita yang kausebarkan, betapa hebat peralatan perang mereka.
Selama Imagawa memberikan penjelasan atas perintah yang diberikan pada Mitsuko, Saburo Mishima hanya diam saja. Tetapi benaknya terus berputar mencoba
menelaah jalan pikiran Imagawa. Dari semua uraian
penguasa Suruga itu, Saburo diam-diam mengaguminya. Dengan cara menyebar mata-mata, Imagawa
terbukti tengah merancang suatu peperangan yang hebat, meski tanpa pasukan. Di dalam benak Saburo, terbayang suatu peperangan yang tengah dikendalikan dari jarak jauh oleh Imagawa. Ini sesuatu yang hebat, dan
Saburo ingin membuktikannya di kemudian hari.
***
Pada malam hari, langit seperti kain terpal hitam digantungkan di atas jagat raya. Bulan yang berwarna kuning
telur, merangkak di antara awan. Ribuan bintang bertaburan di langit. Sementara unggas dan binatang malam
berbunyi bersahutan. Kunang-kunang beterbangan,
menjadi garis-garis cahaya yang menakjubkan.
Saburo Mishima berjalan mendekati gubuk Konishita. Ia melihat Mayumi sedang menjerang air. Gadis
itu melihat padanya, lalu tersenyum. Meskipun senyum itu hanya tampak sekilas, namun perasaan Saburo tiba-tiba bergetar hebat. Belum pernah ia rasakan
getaran seperti itu. Bahkan tidak juga ketika pertama

kali ia bertemu istrinya. Dulu Saburo menikah dengan


istrinya ketika mereka masih sangat muda. Bahkan
sewaktu ayah mereka menyuruh menikah, tidak ada
perasaan apa-apa selain menjalankan perintah orang
tua. Dan sejak perkawinan itu, Saburo kemudian sibuk mengabdi pada keluarga Ashikaga. Waktu untuk
bertemu istrinya semakin langka. Perasaan cinta yang
tumbuh kemudian, adalah perasaan tanggung jawab
seorang suami terhadap keluarganya.
Tapi kini, tatapan mata Mayumi membuat Saburo
merasakan sesuatu yang berbeda. Senyum gadis itu
mampu membuat Saburo tak bisa tidur. Selama tinggal di persembunyian, beberapa kali Saburo bertemu
dengan Mayumi, namun itu dalam kesempatan-kesempatan terbatas, terutama di saat mereka makan.
Mayumi dan penari-penari lainnya memang bertugas
menyediakan makanan bagi para samurai. Di saat itulah, Saburo merasakan dadanya berdebar lebih keras.
Jantungnya memukul-mukul lebih kencang. Ada suatu
perasaan yang tak terkatakan mengusik hatinya.
Pada awalnya Saburo menganggap hal itu dikarenakan ia telah lama tak bergaul dengan wanita. Semenjak ditinggal mati istrinya, ia tak pernah berdekatan
dengan wanita. Hidupnya tercurah untuk menyelamatkan Yoshioka, sehingga mungkin saja, begitu melihat Mayumi ia memperoleh pelepasan kerinduan yang
selama ini ia tekan. Tetapi kenyataannya sangat berbeda dengan perasaan Saburo ketika masuk ke rumah
bordil beberapa waktu lalu. Pada waktu itu tak ada getaran sama sekali.
Sangat berbeda apabila ia berdekatan dengan
Mayumi. Wanita itu mampu menggetarkan dawaidawai perasaannya yang paling dalam.
Ketika hal itu disampaikan pada Konishita, lelaki
itu tersenyum gembira.

Kau menaruh hati padanya, kata Konishita sungguh-sungguh.


Bagaimana kau bisa mengatakan begitu?
Kaupikir aku belum pernah mengalaminya?
Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu apakah aku mencintainya.
Aku tidak keberatan kau mencintainya, kata Konishita kemudian. Tetapi ada satu hal yang ingin kukatakan padamu mengenai Mayumi.
Katakanlah.
Aku perlu waktu cukup panjang untuk menceritakannya. Selain itu, aku tak yakin engkau akan meneruskan niatmu kalau sudah mengetahui semuanya.
Engkau tidak bermaksud menakut-nakutiku?
Sejujurnya aku ingin mengatakan, suatu kebenaran kadang memang menakutkan.
Kini Saburo menjumpai Konishita untuk mendengarkan cerita tentang Mayumi.
Sambil menatap sinar bulan purnama Konishita
berkata, Sekarang aku dapat memulai ceritaku....
***

AWAL KISAH MAYUMI


NAGAKUTE, menjelang tengah malam, tahun 1596.
Langit beku. Udara membawa kristal-kristal es. Angin diam membisu. Awan di langit tak bergerak. Binatang malam hanya sesekali terdengar bunyinya. Rumah perguruan di Nagakute terasa sepi. Orang-orang
lebih senang menyimpan diri di kamar daripada berada
di luar. Udara dingin terasa benar-benar membekukan
pori-pori kulit.
Seorang laki-laki berlari mengendap-endap. Sesekali
ia bersembunyi di balik pohon, untuk mengamati kea-

daan di sekitarnya. Matanya berkerjap-kerjap, mencoba melawan udara dingin. Pakaian lelaki tersebut serba hitam, hanya terbuka pada bagian matanya. Kedua
kakinya dibungkus pakaian panjang ketat, lalu sandal
jerami berwarna hitam. Sepintas orang dengan mudah
menebak bahwa lelaki tersebut seorang ninja.
Ketika sampai di depan pintu bangunan paling besar, lelaki itu mengeluarkan naginata (pedang panjang)
dari sarungnya. Bilah pedang tersebut berkilauan tertimpa sinar lampu. Dengan bergegas lelaki itu menaiki
anak tangga, lalu menyelinap ke balik dinding di samping rumah itu. Dengan hati-hati ia mencongkel daun
jendela, lalu melompat ke dalam.
Ruangan utama rumah itu luas membentang. Keadaannya gelap. Lampu yang tergantung di atas ruangan tersebut, tampak memantulkan cahaya lampu
dari luar. Ruangan itu sunyi. Tak tampak seorang pun
berada di sana. Murid-murid Perguruan Nagakute sedang berada di perkemahan Sekigahara. Nobunaga telah memerintahkan semua samurai perguruan berlatih
perang di Sekigahara untuk menghadapi rencana serbuan dari Saito Dozan, penguasa propinsi Mino. Dengan pelan, lelaki tersebut menaiki anak tangga menuju ke lantai dua. Tangannya yang dibungkus sarung
kulit digerak-gerakkan agar terasa lebih enak menggenggam hulu pedangnya.
Tanpa menimbulkan suara, laki-laki tersebut membuka pintu kamar di lantai dua. Di kamar itu, ia melihat dua orang tidur sambil berdekapan. Cahaya lampu
berwarna kuning membuat kedua orang itu tampak
damai.
Laki-laki itu dengan dingin mulai menebas kedua
orang yang tengah tertidur lelap itu. Suara jeritan terdengar ketika pedang lelaki tersebut menembus punggung laki-laki yang sedang pulas itu. Suara jeritannya

membangunkan perempuan di sampingnya. Ketika perempuan tersebut terbangun, pedang di tangan lelaki
itu menebas tenggorokannya. Darah menyembur ke
ranjang, kepala wanita tersebut hampir terpenggal. Seperti membawa dendam kesumat lelaki itu melanjutkan pembantaian dengan kejam. Ia menikam dan
memenggal-menggal tubuh kedua korbannya dengan
darah dingin. Darah mengalir seperti anak sungai
membasahi seluruh lantai.
Sesudah puas menghabisi korbannya, lelaki itu melemparkan pedangnya ke lantai, kemudian berlari keluar.
***

BENIH-BENIH CINTA
KIYOSU, tahun 1606.
Banteng itu berputar, kemudian dengan posisi siap
menanduk, ia berlari menyongsong lawannya. Terdengar suara berderak ketika kedua kepala banteng tersebut beradu. Darah mengucur di tanah. Debu berkepul, sementara kaki-kaki banteng tersebut mencengkeram tanah. Arena adu banteng seluas dua puluh
hektar itu gegap gempita oleh tepuk tangan yang membahana. Puluhan orang mengibar-ngibarkan bendera
warna kuning dan merah untuk membakar gairah kedua binatang untuk saling membunuh.
Tiga orang yang menjadi pemandu adu banteng itu
mulai menggiring kedua binatang agar kembali bertarung.
Adu banteng merupakan tradisi yang sudah berusia
ratusan tahun di Jepang. Dahulu hanya kaisar yang
menyelenggarakan pertarungan banteng, tetapi sekarang, beberapa shogun turut mengadakannya. Perta-

rungan memang menjadi lebih keras, sadis, dan berdarah.


Sorak-sorai semakin gegap gempita. Orang menjeritjerit histeris ketika menyaksikan kedua banteng kembali berlaga. Darah mengucur semakin deras, dari telinga, mulut, dan tulang kepala yang retak. Kedua binatang itu mulai limbung, namun matanya tetap berapi-api, sementara hidungnya menghembuskan udara
yang anyir darah.
Para pemandu pertandingan menggunakan cambuk
untuk menggiring banteng-banteng tersebut kembali
bertarung.
Nobunaga merasa bosan setelah melihat kedua banteng terhuyung-huyung. Ia bergegas keluar bersama
anaknya, Akechi Nobunaga. Mayumi bersama ayahnya
terpaksa setengah berlari menyusul. Mereka meninggalkan arena adu banteng dengan perasaan kecewa.
Nobunaga telah kalah bertaruh, sehingga ia kehilangan
banyak uang dari arena aduan itu.
Ketika kereta meninggalkan Kiyosu, Oda Nobunaga
memerintahkan kusir melarikan keretanya menuju
tempat kediaman mereka di Okehazama.
Banteng Mino memang luar biasa, kata Matsuhide, ayah Mayumi, tanpa tekanan. Tubuh serta gerakannya sangat gesit. Tak mengherankan kalau dia menang.
Tahukah kau punya siapa binatang itu, Matsuhide?
Tahu, Tuan. Mino punya Rumi Sasaki.
Orang Osaki itu?
Benar, Tuan.
Temui dia. Aku ingin membelinya.
Saya tidak tahu apa dia mau menjualnya. Soalnya
saya tahu, binatang itu sudah membuatnya kaya raya.
Kau kusuruh memberinya tawaran tinggi, tidak un-

tuk memberiku nasihat.


Ba-baik, Tuan.
Oda Nobunaga mendengus. Perutnya yang gendut
bergoyang-goyang. Lelaki itu sekarang lebih tertarik
dengan sake di cawannya.
Mendengar pembicaraan ayahnya dengan Nobunaga, tiba-tiba Mayumi ingat Yukio Kogasaki. Lamatlamat ia teringat olehnya, ayahnya pernah berbicara
dengan Yamashita, pamannya, untuk menjodohkan dirinya dengan anaknya. Yukio Kogasaki. Ya, nama itu
takkan ia lupakan. Sebagai gadis Jepang, Mayumi tak
melihat lelaki lain bakal jadi suaminya kecuali Yukio
Kogasaki. Ucapan ayahnya (seperti ucapan orang tua
pada umumnya) jadi hukum yang harus dipatuhi.
Ingatan itu mengganggunya. Untuk mengenyahkan
pikiran buruk, Mayumi membuka foudral agar bisa
melihat pemandangan di luar. Sinar bulan purnama
menampakkan hamparan kebun tebu. Bunganya yang
putih samar-samar mencuat dari sisi daun. Ada juga
gelagah yang sudah gugur di tanah. Semua jadi pertanda bakal datangnya musim tebang.
Mayumi masih termangu-mangu ketika Akechi mengejutkan dengan ucapan bernada jengkel:
Biadab!
Oda Nobunaga tergeragap dari rasa kantuk. Lelaki
itu mengerjapkan mata.
Apa yang kaukatakan, Akechi? tanya ayahnya.
Mengomentari pertarungan banteng itu, jawab
Akechi Nobunaga pendek.
Tentang apa? Adu banteng itu?
Ya.
Kau tidak berhak berkomentar tentang negeri ini,
potong ayahnya singkat.
Yoshiaki ternyata tidak mampu memecahkan tembok feodalisme yang mengungkungnya, sambung Ake-

chi tak peduli. Dia membiarkan saja penyelenggaraan


adu banteng dengan penuh kebiadaban. Sangat menjengkelkan.
Jepang bukan Cina.
Bukan itu soalnya. Selama kekejian semacam itu
belum dienyahkan, Jepang tidak akan mampu berdikari. Percuma dewan kekaisaran berusaha membangun
negeri ini.
Oda Nobunaga menghela napas panjang. Kereta
sampai Okasuki, terus meluncur menuju Okehazama.
Bagaimana pendapatmu, Matsuhide? sambung
Akechi beralih pada ayah Mayumi. Apa pendapatmu
menyaksikan kebiadaban tadi. Apa pendapatmu?
Sudah menjadi tradisi, Tuan Muda.
Tradisi? Siapa yang membuat tradisi?
Dengan sendirinya nenek-moyang bangsa Jepang.
Kapan tradisi dibikin?
Beribu-ribu tahun yang lalu sejak zaman Minamoto. Zaman Taira atau bahkan zaman sebelum itu.
Untuk apa tradisi dibikin?
Untuk mengatur agar tidak terjadi kekacauan,
Tuan Muda. Supaya kehidupan menjadi harmonis.
Omong kosong! potong Akechi ketus. Kekacauan
memang tidak terjadi, tetapi kaum lelaki bangsa Jepang sudah bertindak biadab. Mereka hidup dalam kekejaman. Tidak berperikemanusiaan.
Tetapi, Tuan Muda, selama ini bangsa Jepang bisa
mengatur hidup menjadi tenang....
Siapa nama anakmu, Matsuhide? sambung Akechi
sambil menatap Mayumi.
Mayumi, Tuan Muda.
Hei, Mayumi, setujukah kau dengan kekejaman
tradisi Jepang?
Mayumi menunduk. Mengawasi ayahnya untuk
mendapatkan pegangan moral. Tetapi sama saja,

ayahnya kelihatan sedang kebingungan. Untung Oda


Nobunaga menengahi pembicaraan.
Jepang berbeda dengan Cina. Di sini punya tradisi
sendiri, itu yang membedakan mereka dengan kita.
Kau tidak boleh mencelanya. Engkau kukirim ke Cina
untuk mempelajari seni perang serta kebudayaan
orang Cina, tetapi tidak untuk mengecam bangsamu
setelah kembali kemari.
Bukan soal tradisi, tapi soal manusianya. Itu yang
diajarkan kebijaksanaan hidup orang Cina.
Akh, kau terlalu muluk, potong Oda Nobunaga tak
suka. Otakmu terlalu banyak dijejali teori. Kau bisa
gila seperti Shizuko.
Sambil membuka foudral dan melihat ke luar, Akechi berkata acuh tak acuh, Ya, saya memang mau gila
rasanya memikirkan semua ini.
Setelah itu tak ada yang bicara lagi, sampai kereta
berhenti di depan rumah Mayumi. Ayahnya mengajak
Mayumi turun. Setelah mengucapkan terima kasih dengan membungkuk setengah badan ayah Mayumi
membuka pintu pagar rumahnya.
Anak edan! rutuk Matsuhide sengit. Negeri ini bisa berantakan kalau dihuni laki-laki macam itu!
Laki-laki macam apa, Ayah?
Macam Akechi. Tuanku Oda Nobunaga telah melakukan kesalahan dengan mengirimnya belajar ke Cina.
***
Sepanjang malam Mayumi tak bisa memejamkan mata,
kata-kata Akechi selalu mengusik. Mayumi sependapat, tapi tak mampu mengatakannya.
Wajah Akechi tak pernah hilang dari ingatan. Dan
sesuatu yang ajaib terjadi, mata Mayumi terbuka, ia
melihat dengan jelas Akechi memacu kuda di tengah

perkebunan. Akechi mengenakan baju putih, celana


putih. Beberapa kali Akechi turun dari kuda untuk
berbicara dengan kuli perkebunan. Lelaki-itu mengeluarkan buku, mencatat semua hasil tanya-jawab itu,
kemudian pulang.
Saat Mayumi terpejam, Akechi hilang. Mayumi tidak
tidur, tapi Mayumi melihatnya. Ya, ia melihatnya!
Musim giling tiba. Bunga tebu rontok dari pucuk gelagah. Upacara awal penggilingan dilangsungkan secara meriah. Jalan-jalan di sekitar pabrik dihias dengan
daun nyiur, bendera warna-warni. Ada berbagai pertunjukan; tari-tarian dan pesta topeng. Seperti biasa
acara tari-tarian paling mendapat sambutan. Para
mandor kebun dan para kuli memenuhi lingkaran di
tengah perkebunan. Para penari yang berjumlah sepuluh orang memancing mereka turun ke arena. Mereka
menari dengan penuh gairah.
Inilah Jepang! Negeri penuh upacara. Barangkali
hanya Jepang yang memiliki hari-hari upacara hampir
setiap bulan. Upacara perayaan sering dilakukan dalam ritus-ritus yang mirip ritus kaum primitif. Para
daimyo (samurai yang diberi hak mengelola tanah para
shogun) mengungkapkan kegembiraan mereka dengan
upacara-upacara suci.
Ketika ayahnya turun ke tengah arena untuk ikut
berdansa, Mayumi memutuskan untuk pulang. Di tengah jalan Tuan Muda Akechi menghampirinya.
Kenapa pulang, Mayumi?
Ya, Tuan Muda.
Kenapa pulang?
Tidak apa-apa.
Engkau tidak jujur, kata Akechi menyindir. Aku
tahu apa sebabnya. Tentu soal para penari itu, bukan?
Bukan, Tuan Muda.

Lantas kenapa engkau pulang?


Saya tidak bisa melihat ayah saya menari dengan
penari, jawabnya jujur. Tidak rela.
Engkau tidak rela kalau ayahmu menari itu sebuah
permulaan yang baik. Tetapi kenapa tidak disempurnakan?
Maksud Tuan Muda?
Perkataanmu harusnya dibalik, bahwa engkau tidak rela melihat para penari dengan ayahmu. Kenapa
kau hanya memikirkan ayahmu? Kenapa bukan penari
itu? Padahal merekalah kaummu, yang sekarang menjadi permainan laki-laki.
Mayumi terdiam. Akechi tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Mereka berhenti di seberang
jalan ketika gerobak lewat. Gerobak itu didandani pakai janur dan kertas warna, gerobak tersebut khusus
dipakai menjemput tebu pertama yang baru ditebang
Oda Nobunaga. Ini juga merupakan rangkaian acara
dalam perayaan buka giling tebu.
Hal-hal semacam ini yang harus kaulawan, kata
Akechi pula. Adat yang merendahkan derajat kaummu pada hakikatnya adalah penjajahan. Engkau tahu,
Mayumi, lanjut Akechi bersungguh-sungguh. Pemerintah Jepang sudah mensyahkan rancangan pengembalian tanah pada para petani. Tetapi semuanya tidak
bisa datang dengan sendirinya, kalian harus memperbaiki nasib sendiri. Menjadi pandai, dan menuntut
perbaikan nasib. Jangan diam saja, Mayumi, nanti keburu Jepang tenggelam di dasar laut.
Apakah Tuan Muda pengikut Hirohito?
Ya, kami sering mendiskusikan keadaan Jepang.
Banyak keadaan yang menyedihkan dan harus segera
diobati.
Hirohito juga berkata begitu.
Bagi semua orang yang memahami buat apa dila-

hirkan harus berkata begitu. Tak boleh membisu,


Mayumi.
Mayumi mendesah. Karena sudah sampai Mayumi
membelok ke rumah. Tuan muda berdiri sejenak di depan pintu pagar kemudian berlalu.
Sesudah membuat minuman, Mayumi duduk di
kursi. Tiba-tiba tangannya bergetar, kemudian bahunya, dan seperti kemarin Mayumi melihat Akechi.
Bukan mimpi. Benar-benar Mayumi melihatnya. Di
ruang tamu yang penuh perabotan antik, Akechi tengah berkacak pinggang di depan ayahnya. Mereka bertengkar. Istri Nobunaga menangis, namun matanya
bernyala menahan marah.
Mayumi tak tahu apa yang mereka katakan, namun
dengan jelas ia lihat Oda Nobunaga. Dengan sangat
marah ia masuk kamar, ketika keluar membawa pedang yang langsung diarahkan pada Akechi.
Mayumi! terdengar suara ayahnya. Mayumi berkedip sehingga gambar Akechi lenyap. Kudengar kau tadi pulang bersama Tuan Muda, kata ayahnya datar.
Mayumi mengangguk.
Apa saja yang dikatakan?
Hanya soal perkebunan, jawab Mayumi berbohong.
Hati-hati dengan mereka. Bapak dan anak sama
edannya.
Bapak berpikir begitu?
Ya. Semua daimyo di Jepang adalah orang-orang
edan yang menganggap wilayahnya sebagai kerajaan
kecil. Dan mereka sebagai rajanya, ayahnya hilir mudik di ruangan. Dari hawa mulutnya terhirup bau
sake. Seperti orang bingung ia kembali duduk dan meneguk minuman beberapa kali. Mereka sudah dirajakan oleh undang-undang agragria, gerutu ayahnya.
Meskipun tanam paksa dan kerja paksa dilarang, te-

tapi undang-undang sudah menyelamatkan mereka


dari kebangkrutan. Benar-benar edan!
Tuan Muda tadi juga membicarakan rencana kaisar Yoshiaki tentang pengembalian tanah pada rakyat
dan petani. Juga perjuangan Hirohito untuk mengurangi kekuasaan para daimyo.
Yoshiaki dan Hirohito? tanya ayahnya, disambung
ketawa bergelak. Usaha mereka justru bikin tambah
gendut orang-orang macam Oda Nobunaga. Dengan
adanya jalan yang bagus, irigasi yang baik, serta sekolah untuk petani, kaum modal bisa memanfaatkan untuk memperbaiki perusahaan perkebunan. Selamanya
kita hanya mendapat ampasnya. Coba kaupikir, aku
dulu disekolahkan oleh Tuan Nobunaga, untuk apa
aku sekolah, Mayumi? Untuk dijadikan budaknya.
Menjadi juru tulis, Ayah anggap sebagai budak?
Ya, budak. Tak lebih, jawab ayah Mayumi tiba-tiba
murung. Wajahnya sekarang lusuh. Ia melanjutkan
tanpa tenaga. Seharusnya aku melawan, tetapi tidak
berdaya.
Kemudian dengan langkah gontai ia ke kamar tidur.
Tubuhnya dilempar ke ranjang. Tak lama sudah pulas.
Mayumi menarik napas lega.
***
Berita yang pagi tersebar di Okehazama sungguh mengejutkan; Istri Nobunaga terpaksa diangkut ke Osaki
karena ditebas pedang suaminya! Menurut desasdesus, kemarin terjadi pertengkaran antara Nobunaga
dengan Akechi. Karena marah Oda Nobunaga mengambil pedang. Sewaktu pedang mengayun, istrinya
menubruk mencoba melindungi Akechi. Karuan dia
yang terkena tebasan itu.
Ayah Mayumi bergegas ke rumah Oda Nobunaga.
Tergopoh-gopoh ingin tahu kabar sebenarnya.

Di rumah Mayumi termangu-mangu. Mencoba menghubung-hubungkan peristiwa itu dengan gambaran di


matanya, kemarin.
Mayumi, ia mendengar suara lunak bergegas. Gadis itu sangat terkejut. Rupanya Tuan Muda Akechi
sudah berdiri di ambang pintu. Pemuda itu mengambil
kursi. Aku mau menitipkan barang-barangku di sini,
katanya sambil meletakkan bungkusan. Aku khawatir
kalau di rumah bakal dibakar ayahku.
Tuan Muda hendak pergi ke mana?
Ke Osaki, ke Mino, ke Kai, dan entah ke mana lagi.
Aku ingin menyaksikan sendiri kehidupan rakyat Jepang.
Bolehkah saya mengetahui isi bungkusan ini?
Buku-buku dan catatan-catatan yang kubikin selama ini.
Tentang Jepang?
Ya, tentang kuli perkebunan, petani, kuli pabrik
gula, tukang giling, aku mencatat semuanya.
Apakah Tuan Muda sering pergi ke desa-desa untuk mewawancarai kuli-kuli perkebunan?
Ya, itu kulakukan. Tetapi selama ini masih amat
terbatas dengan rakyat sekitar Okehazama dan Osaki.
Aku ingin tahu lebih banyak lagi. Kalau perlu petani di
seluruh negeri ini.
Kuletakkan di mana, Mayumi? tanya Akechi gelisah. Di mana kamarmu?
Tetapi kenapa Tuan Muda memilih rumah kami
untuk menyimpan buku-buku berharga ini?
Karena aku mempercayaimu, jawab Akechi tersenyum. Kau satu-satunya orang yang kukenal baik.
Entah kenapa aku merasa dapat mempercayaimu. Di
mana kamarmu? Oh, ya, kuminta kau jangan memberitahukan pada siapa pun tentang buku-buku ini.
Termasuk pada ayahmu. Banyak orang tak menyukai

jerih payahku ini.


Mayumi menunjukkan kamarnya. Ruangan itu sangat gelap, karena itu Mayumi membuka jendela. Sinar
matahari menerobos masuk lewat celah terali. Akechi
memasukkan buku-bukunya di bawah ranjang. Setelah itu ia berdiri.
Kau boleh membaca buku-buku ini, kata Akechi
tulus. Aku mempercayaimu. Engkau sahabatku satusatunya di sini.
Terima kasih, Tuan Muda.
Oh ya, bagaimana kalau engkau tidak memanggilku dengan... Tuan Muda?
Maksud, Tuan Muda?
Rasanya kurang enak dan kurang bersahabat. Kau
bisa memanggilku dengan namaku... Akechi.
Mayumi menunduk malu. Ia merasakan janggal memanggil nama putra seorang daimyo dengan sebutan
namanya. Tiba-tiba Mayumi merasakan jemari Akechi
menyentuh dagunya. Pemuda itu mengangkat wajah
Mayumi.
Jangan bersikap feodalis, kata Akechi lembut.
Hanya orang-orang muda seperti kita yang bisa mengubah adat di Jepang ini.
Mayumi keluar dari kamar. Akechi mengikuti. Dengan terburu-buru Mayumi membuatkan minuman
untuk pemuda itu. Sewaktu Akechi meneguk minumannya, Mayumi berkata, Saya tidak tahu kenapa
Tuan Muda....
Masih ber-Tuan Muda, potong Akechi cepat.
Biarkan saya menggunakan sebutan Tuan Muda,
lebih pantas kedengarannya. Maafkanlah saya....
Terserah padamu kalau begitu, akhirnya Akechi
tidak keberatan. Kau tadi ingin menanyakan apa?
Saya.... Saya tidak mengerti kenapa Tuan Muda
harus pergi jauh. Bukankah di sini bisa hidup senang

dan bahagia?
Kau keliru, Mayumi, jawab Akechi murung. Lelaki
itu seperti menyesali diri sendiri. Kekayaan, harta, kekuasaan, tak pernah membuatku bahagia. Justru di
sini aku merasakan tekanan batin yang sangat berat.
Karena setiap saat, setiap detik, kulihat dengan mata
kepalaku sendiri rakyat Jepang sengsara karena tindakan ayahku. Kau bisa bayangkan orang memikul
dosa ayahnya? Aku ini orangnya.
Soal itu juga yang membuat Tuan Muda kemarin
bertengkar dengan Tuan Nobunaga?
Akechi menatap Mayumi kaget. Oh, kau sudah
mengetahui peristiwa terkutuk itu? tanyanya murung.
Ya, memang soal ini juga, ditambah soal lainnya.
Bolehkah saya mengetahui?
Bagus, puji Akechi gembira. Kau mempunyai bakat seperti Akemi, istri Hirohito, dia juga wanita yang
berani dan berpikiran maju, sambung Akechi. Soal
pribadi, aku tak ingin mengatakan padamu. Belum
saatnya. Yang terang ayahku tidak menyukai tindakanku saat ini, sama seperti aku tidak menyukai tindakannya. Ia mengatakan para pejuang Owari sebagai
orang-orang kelaparan. Kukatakan terus terang bahwa
dialah sesungguhnya yang kelaparan, karena setiap
hari menghisap darah rakyat Jepang. Dia sangat marah, sehingga bermaksud membunuhku. Akechi berhenti sejenak. Matanya berkaca-kaca. Sebenarnya
aku sudah siap dibunuh, ujarnya lirih. Suaranya bergetar. Tetapi tak kusangka ibuku mencoba melindungiku. Ia tertebas di bahunya.
Mayumi terharu. Istri Nobunaga benar-benar seorang ibu sejati. Ini ia katakan terus terang, Ibu Anda
sudah menjalankan kehormatan sebagai seorang wanita.
Ya, jawab Akechi lirih. Dia memang ibuku, lan-

jutnya datar. Kemudian, Aku tidak tahu apakah Nobunaga itu bapakku atau bukan. Orang tua itu benarbenar laknat!
Sesudah berkata begitu, Akechi bangkit. Ia memerangi perasaannya. Kemudian pergi.
Mayumi termangu. Kali ini ia sudah memasuki kisah baru yang tak ia ketahui bakal membawa dirinya
ke mana. Seperti arus sungai yang coklat, ia terbenam
di dalamnya. Tak bisa ia lihat ujung alirannya, namun
ia terseret tanpa mengetahui apa bakal nasibnya.
***
Okehazama, 26 Agustus 1596.
Rumah yang biasa dipakai melaksanakan persidangan penuh sesak. Udara gerah membuat orang-orang
mendengus karena panas. Jaksa berjalan ke tengah
ruangan. Wajahnya yang bulat seperti jambu bol tampak berkeringat. Di kursi terdakwa duduk seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya yang tampan tak mampu menyembunyikan kegelisahan dalam jiwanya. Nama lelaki itu Yukio Hasegawa.
Hasegawa, benarkah ini pedang Anda?
Benar.
Benarkah pada malam terbunuhnya keluarga Hirata Anda datang ke rumahnya?
Benar. Tetapi saya datang pukul tujuh malam untuk menemui tunangan saya.
Siapakah yang bisa membuktikan Anda datang pada waktu itu?
Misako. Tunangan saya.
Jam berapa Anda pulang?
Pukul delapan.
Ke mana Anda saat itu?
Saya pulang.
Siapakah yang dapat membuktikan bahwa saat itu

Anda pulang?
Hasegawa terdiam. Ia tahu tak mungkin menjawab
pertanyaan itu. Tidak seorang pun dapat menjadi saksi
atas jawabannya.
Saya seorang pria bujangan, Tuan Jaksa. Saya
tinggal sendirian di rumah itu, akhirnya ia mencoba
menjelaskan.
Apakah tidak ada pembantu di rumah Anda?
Tidak. Tiga orang pembantu saya pulang ke rumah
setiap hari. Tidak ada yang menginap.
Jaksa penuntut itu berdiri berkacak pinggang. Wajahnya memancarkan kegembiraan karena yakin akan
memenangkan persidangan itu.
Di mana Anda menyimpan pedang Anda, Tuan Hasegawa?
Di laci di dekat tempat tidur.
Siapa saja yang mengetahui Anda menyimpan pedang di sana?
Hasegawa terdiam. Hanya saya, akhirnya dia menjawab lemah.
Hanya Anda?
Ya.
Jadi Anda mengakui pada malam itu Anda pulang
untuk mengambil pedang kemudian....
Keberatan! kata pembela Hasegawa sambil berdiri.
Jaksa tidak sedang bertanya, tetapi langsung menjatuhkan vonis, Yang Mulia.
Hakim berkata, Keberatan diterima. Jaksa penuntut sebaiknya tidak menggunakan pertanyaan itu.
Baiklah, Yang Mulia. Kalau begitu saya ingin mengubah pertanyaan pada terdakwa, kata jaksa tersebut
sambil melangkah mendekati Yukio Hasegawa. Hasegawa, kapan terakhir Anda memakai pedang itu?
Dua hari sebelum terjadinya pembunuhan.
Di mana Anda memakainya?

Di perkebunan di belakang rumah.


Untuk apa Anda menggunakan pedang itu?
Seperti orang lain membawa pedang, sebagai perlengkapan pakaian. Saya seorang samurai.
Apakah Anda menggunakan pedang tersebut waktu
itu?
Tidak.
Kemudian Anda menyimpan kembali?
Benar.
Jaksa itu membuka-buka berkas perkara. Kemudian berjalan sambil membaca berkas itu.
Di sini diungkapkan oleh seorang saksi bahwa pada pagi hari sebelum terjadi pembunuhan, Anda dilihat
bertengkar dengan ayah tunangan Anda. Benarkah
itu?
Ya.
Soal apa?
Mengenai rencana pernikahan kami. Ayah tunangan saya mendesak agar pernikahan dilangsungkan
lebih awal dari waktu yang saya rencanakan.
Kenapa?
Dia menginginkan pernikahan itu dilangsungkan
secepatnya. Saya tidak tahu alasannya.
Apakah Anda mengungkapkan alasan kenapa merencanakannya lebih lambat?
Saya menunggu kedatangan kedua orang tua saya
dari Kiyoto.
Karena merasa didesak itukah Anda kemudian
membunuh mereka?
Saya keberatan, Yang Mulia! teriak pembela Hasegawa emosional. Itu pertanyaan tidak masuk akal!
Hakim itu berkata, Keberatan diterima.
Baiklah, kata jaksa. Saya ingin tahu, apa yang
Anda bicarakan dengan Tuan Hirata?
Seperti sudah saya katakan, saya ingin meminta

waktu menangguhkan perkawinan.


Itu soalnya?
Ya.
Kenapa?
Saya tidak bisa mengatakannya.
***

RENCANA PERKAWINAN
ODA NOBUNAGA waktu itu adalah seorang lelaki yang
menguasai dataran di wilayah Osaki dan Okehazama.
Ia membawahi perkebunan tebu sangat luas berikut
pabrik gulanya. Hampir tujuh tahun ia berkuasa sebagai penguasa wilayah itu, sehingga kekuasaannya demikian menakutkan, dan telah membuatnya jadi kaya
raya. Kekuasaan Nobunaga di Osaki dan Okehazama,
dapat disamakan dengan kekuasaan para gubernur di
Jepang.
Pada akhir tahun 1607 Jenderal Eiko Okada datang
ke Okehazama. Terjadi kesibukan. Atas perintah gubernur, jalan sepanjang Osaki ke Okehazama dibersihkan. Dan semua pembesar daerah menyambut di jalan. Eiko Okada pernah bekerja selama enam belas tahun di Okehazama sebelum pulang ke Kiyoto.
Eiko Okada orangnya besar dan tegap. Memiliki kepribadian yang mengesankan. Senyumnya tak pernah
tertinggal apabila sedang berbicara. Ia mengendarai
kereta warna hitam. Seorang pencatat sejarah ikut
bersamanya. Pembesar itu berhenti sebentar di Okehazama, menyaksikan kerajinan tenun dan keramik.
Mayumi sedang membuat keramik, bersama puluhan orang yang khusus didatangkan dari Sofu. Salah
seorang dari rombongan itu menegurnya, Mayumi,
Mayumi menoleh terkejut. Aku teman Akechi, sam-

bungnya. Apakah buku-buku yang dititipkan di rumahmu cukup aman?


Mayumi mengangguk.
Syukurlah. Nanti seminggu lagi aku ke rumahmu,
ada sebuah catatan yang kubutuhkan.
Di mana Tuan Muda Akechi?
Di Osaki.
Tanpa memperkenalkan namanya, orang itu pergi.
Seusai kunjungan Eiko Okada, Mayumi langsung pulang. Di rumah ia benahi bungkusan buku Akechi. Ia
masukkan beberapa buku yang belum sempat ia baca.
Sepanjang waktu ini buku-buku Akechi berhasil
mengurangi kesepiannya. Entah kenapa, ia amat terpikat membaca bukunya. Pertama kali dalam hidup
Mayumi, ia mengenal Eiko Okada lebih akrab. Okada,
selain seorang jenderal yang hebat, juga penulis buku.
Bukunya tak sampai tiga hari ia baca habis. Sudah
lama Mayumi ingin membaca buku yang pernah menggoncangkan dewan pemerintahan para daimyo itu, sekarang terpenuhi. Karangan Eiko Okada, Pembebasan,
sangat menyentuh hatinya. Kemudian setumpuk buku
yang lain. Seperti sengaja dikumpulkan banyak karangan tentang rakyat Jepang. Mayumi membaca satu per
satu, peristiwa demi peristiwa, semua membuat jiwanya menggeletar seakan kena cambuk ekor sapi. Betapa kesewenang-wenangan para daimyo telah menghancurleburkan rakyat Jepang.
Kisah Eiko Okada benar membuatnya terharu. Lelaki itu memperjuangkan hak serta perbaikan nasib
petani, yang terlunta-lunta akibat berhadapan dengan
kekuasaan. Sesudah belajar di Cina, Eiko Okada akhirnya kembali ke Jepang dan hidup dalam kemelaratan.
Ia menuliskan gugatan sosial pertama di Jepang sehubungan dengan nasib kaum Jepang. Akhirnya dengan
perjuangan gigih, Okada berhasil menjadi jenderal di

Kiyoto. Ini benar-benar luar biasa!


Buku cerita Eiko Okada berjudul Nagatori membuat
Mayumi terpaku. Buku ini mengisahkan penderitaan
seorang wanita yang melawan adat feodal. Kekolotan.
Nagatori memberontak pada masyarakat yang menindas kaum wanita. Rupanya orang lebih kasihan kepada lapar kaum lelaki daripada lapar kaum wanita!
ujar Nagatori berang. Ia melihat lelaki selalu mendapatkan pekerjaan lebih tinggi dari wanita.
Tak beda di Okehazama, tak beda di Osaki, kaum
wanita hanya menjadi buruh, kuli perkebunan, gundik, sedang laki-laki bisa menjadi pejabat pemerintah
dan penguasa. Tak ada tempat untuk wanita. Gundik,
penari....
Tangan Mayumi gemetar. Bahunya gemetar. Matanya terbuka lebar. Kemudian seperti gambar hidup,
Mayumi melihat Tuan Muda Akechi. Ya, seperti kemarin, kemarin dulu, ia melihat Akechi di depan matanya.
Ia berada di tengah-tengah perkebunan tebu yang terbakar hebat. Rupanya terjadi pemberontakan kuli di
perkebunan. Api menjilat-jilat langit. Suaranya berderak seakan kobaran itu mampu membakar jagat. Asap
hitam berkepul, membubung ke angkasa. Puluhan kuli
berusaha memadamkan api dengan ember. Dan di sisi
lain terlihat puluhan samurai mengejar kuli yang melakukan pembakaran. Tiba-tiba tanpa ada yang bisa
menduga, seorang kuli melompat dan menghantam
Akechi dengan pacul!
Tanpa sadar Mayumi menjerit. Mata terpejam, dan
gambar hidup itu hilang. Ayahnya menerobos masuk
kamar.
Ada apa, Mayumi? kata ayahnya cemas. Kenapa
menjerit?
Mayumi masih menutup mata dengan kedua telapak tangan. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan ke-

pala.
Ada apa? tanya ayahnya sambil menggoncang bahunya. Kau melihat apa? Katakan, Mayumi.
Ayah tidak akan percaya, kata Mayumi.
Katakan dulu persoalannya.
Saya melihat Tuan Muda Akechi.
Ha?
Dia dipukul memakai pacul.
Di mana?
Saya tidak tahu, kata Mayumi. Kemudian ia ceritakan penglihatannya tentang pembakaran kebun tebu.
Dia pasti terluka, Mayumi mengakhiri cerita.
Ayahnya membelai-belai rambutnya. Diam, merenung, kemudian bangkit, Kau terlalu lelah, Mayumi.
Dan terlalu membayangkan Tuan Muda. Makanya jangan terlalu erat bergaul dengannya. Berbahaya! Kita
tidak tahu cara mereka memikat wanita.
Tetapi benar aku melihat dia. Saya tidak tidur.
Saya tidak bermimpi.
Sudahlah, lupakan saja, kata ayahnya kalem.
Semua akibat kau terlalu memikirkannya.
Mayumi diam. Menggigit bibir, diterangkan pun percuma. Siapa yang bakal mempercayai keajaiban yang
ia alami. Tak ada.
Seminggu sejak peristiwa itu, laki-laki yang mengaku sahabat Akechi datang. Ia meminta Mayumi mengeluarkan buku-buku dari bawah ranjang, kemudian
mencari catatan perjalanan Akechi. Ia terlalu serius
sehingga tak sempat memperkenalkan namanya.
Bagaimana kabar Tuan Muda? Mayumi bertanya
di sela pekerjaan.
Masih dirawat.
Akibat kerusuhan di perkebunan itu?
Ya, jawabnya pendek. Tapi kemudian ia terkejut.
He, kau tahu dari mana ada kerusuhan di perkebu-

nan? Kurasa belum ada yang memberitakan peristiwa


itu.
Apakah dia benar dihantam pakai pacul?
Ya, kabarnya begitu. Saya belum sempat mencek,
hanya kebetulan ada kurir dari sana mengatakan bahwa terjadi pembakaran perkebunan. Tetapi dari siapa
kau mengetahui?
Saya melihat sendiri, jawab Mayumi bimbang.
Laki-laki itu menghentikan kerjanya. Ia mengerutkan dahi mencoba menjajagi kebenaran ucapan
Mayumi.
Kau melihat di sana? tanya lelaki itu berkerut kening.
Mayumi menggeleng. Kulihat dari sini.
Kau mimpi?
Sekali lagi Mayumi menggeleng. Aku menyaksikan
peristiwa sebenarnya, juga sewaktu Tuan Muda dipukul. Benar-benar peristiwa mengerikan....
Hasil pertama dari perjuangan kami, sambung lelaki tersebut bangga. Dan ia kelihatan tak menganggap
penting keajaiban yang dialami Mayumi. Petani tebu
sudah menyadari hak-haknya, lanjut lelaki itu kembali sibuk memilih berkas catatan Akechi. Penindasan
para daimyo dan Taiko Ishikawa benar-benar sudah dilawan. Kau pernah mendengar tentang Taiko Ishikawa?
Pernah dengar namanya, tapi tak tahu maksudnya.
Taiko Ishikawa adalah seorang ahli hukum Jepang.
Dia yang menciptakan Undang-Undang Pertanahan.
Lembaran Negara tahun 1584. Undang-undang ini
menentukan semua tanah di luar tiga kilometer dari
batas desa sebagai milik pemerintah yang diberikan
sebagai konsesi pertanian jangka panjang selama 75
tahun, dengan sewa amat rendah, hanya 4 kan per

hektar per tahun. Cara ini telah mengakibatkan rakyat


kehabisan tanah, dan tempat pemukiman. Tak bisa
disangkal lagi Ishikawa telah menggantikan zaman tanam paksa dengan zaman perampasan tanah. Ini yang
tengah diperjuangkan orang-orang seperti Akechi agar
diperbaiki.
Tetapi Tuan Muda juga membela kaum petani?
Ya, tentu.
Kenapa dia dicelakai?
Kekacauan di mana-mana sama saja. Sangat berbahaya, karena sering orang tak menggunakan akal
sehat. Dan kawan serta lawan tak lagi dibedakan.
Kasihan Tuan Muda.
Nah ini dia! kata lelaki itu menemukan yang dicari. Kau benahi lagi, Mayumi, simpan yang baik. Jangan sampai ada orang tahu. Aku cukup membawa catatan Akechi yang baru untuk melengkapi data tulisan
yang sedang kususun.
Ya.
Sambil memasukkan catatan Akechi dalam tas, ia
duduk di kursi, minum dan makan roti yang dihidangkan Mayumi. Ia berpaling ke kanan ke kiri. Lalu,
Ayahmu sedang ke mana?
Setiap musim tebang ayah pulang hingga larut malam.
Akechi pandai mencari teman, katanya. Engkau
tahu, Mayumi, lanjutnya datar. Jepang mempunyai
hutang yang sangat besar pada para petani. Sejak tahun 1567 hingga 1600 saja sudah 187 juta kan. Belum
lagi jumlah hutang ketika Yoshiaki menjalankan politik
tanam paksa, ada 823 juta kan. Sekarang kau bayangkan, berapa sekolah yang bisa dibangun dengan jumlah hutang sebesar itu. Orang-orang macam kau berhak memperoleh pendidikan atas biaya pemerintah.
Apakah itu mungkin?

Kenapa tidak? Minggu yang lalu Eiko Okada membicarakan rencana pendidikan bagi kaum tani. Menurut rencana sejumlah anak petani akan dikirim ke Cina. Eiko Okada akan memperjuangkan rencana itu lewat Yang Mulia Yoshiaki.
Anak-anak petani akan mendapat sekolah?
Ya.
Sekolah apa?
Apa saja; hukum, politik, kesenian atau pendidikan
khusus untuk wanita.
Kedengarannya sangat menyenangkan.
Tak ada bedanya, Mayumi. Anak petani pun harus
mendapatkan pendidikan yang baik. Kau pernah bersekolah?
Ya, sebentar.
Di mana?
Sekolah rendah
Baru sekolah rendah kau sudah secerdas ini, bagaimana kalau kau bisa melanjutkan ke sekolah tinggi,
apa Jepang tak akan goncang?
Mayumi tersipu. Lelaki itu bangkit, ia memberi
Mayumi uang satu kan. Kemudian dengan langkah lebar ia pergi.
Di dekat jendela Mayumi termenung. Anak petani
akan berlayar ke Cina. Sungguh membanggakan. Kalau semua kaum wanita mendapatkan kesempatan seperti itu, Mayumi orang pertama yang bakal tunjuk jari. Tapi nanti dulu, kalau benar semua kaum wanita
diberi pendidikan, apa bakal jadinya dengan Jepang?
***
Angin sore berhembus agak kencang. Membawa gerimis tipis. Mendung di langit pun tidak setebal kain
terpal. Bahkan warna biru di langit masih kelihatan
transparan.

Gerimis ternyata tak membuat diam anjing yang


menggonggong. Membuat malam semakin terasa sepi.
Gerobak tebu sudah sejak sore nangkring di pinggir
pabrik, tetapi ayah Mayumi tak tampak batang hidungnya. Lampu minyak sudah dinyalakan, kemudian
Mayumi duduk sambil membaca catatan Akechi. Ah,
bukan catatan sembarang catatan yang ia baca, tetapi
pengaduan Tuan Muda pada kaisar dan Eiko Okada
tentang penyelidikannya di perkebunan tebu Osaki,
Okehazama dan Payama. Begini isinya:
20 JUNI 1599
Tuanku Eiko Okada dan Yang Mulia Yoshiaki,
Kalau ada perkataan gabus tempat negeri ini terapung di atas laut untuk mengatakan tentang gula, sekarang saya setuju. Sesudah mengadakan perjalanan dari
Osaki, Okehazama dan Mino, kenyataan memang membuktikan demikian.
Perkebunan, terutama gula, pengaruhnya besar sekali pada kehidupan rakyat Jepang. Dan saya berani
menyimpulkan; pabrik gula merupakan penyebab utama kemiskinan para petani di Jepang.
Kebun tebu seperti juga sawah, perlu tanah subur,
perlu air melimpah, dan butuh tenaga buruh yang banyak. Hal ini merupakan sedotan terbesar pada kekayaan petani. Lebih-lebih sistem perekonomian tradisional menjadikan para petani kuda tunggang para
daimyo. Untuk kepentingan pemilik perkebunan, para
petani telah dijadikan korban. Misalnya, seorang
daimyo membayar sangat murah para petani, karena
dia memiliki hak mengusir para petani itu dari tanah
mereka. Selain itu para petani masih diperas tenaganya
di tambang salpeter, guna membiayai hidup para pen-

guasa setempat. Masih ditambah pekerjaan mendayagunakan hutan jati. Sesudah semua pekerjaan selesai,
mereka masih harus menyetorkan hasil penebangan itu.
Tanpa bayar! Hanya memperoleh pembagian tanah,
yang sukar digarap karena waktunya habis untuk kepentingan penguasa. Sistem perekonomian itu juga diterapkan oleh perkebunan tebu. Tanah disewa dari rakyat dengan cara memaksa, melalui kepala desa atau
para daimyo.
Kalau zaman tanam paksa pemerintah mengganti penarikan pajak dengan kerja paksa, sekarang sebaliknya. Ishikawa telah menghapus tanah milik petani, tetapi membayar sewa dan membayar tenaga kerjanya,
meskipun sangat murah. Padahal Anda tahu, pabrik gula membutuhkan tanah sangat luas, dan buruh sangat
banyak. Akibatnya petani tak berdaya melawan kekuasaan pabrik gula. Mereka diperas tanpa ampun.
Perkebunan dan pabrik gula berakibat majunya produksi gula, tetapi juga keterbelakangan petani kecil.
Unsur terakhir ini merupakan penindasan, dan saya kira bisa mengakibatkan perlawanan kuli tebu. Ingat bukan? Tahun 1573 di Osaki berlangsung pemogokan kuli
tebu karena rendahnya upah. Saya kira protes itu dapat
berkembang menjadi pemberontakan! Kita lihat saja.
Semboyan ketentraman dan ketaatan sebenarnya telah ditipukan, karena petani taat lantaran banyaknya
tukang pukul. Mereka selalu membuat teror sehingga
petani takut melawan. Tetapi hal ini tinggal menunggu
saat dan pimpinan.
Oh ya, Tuan-tuan, di tempat yang saya singgahi banyak sekali terjadi peristiwa kejahatan. Perampokan
merajalela. Saya rasa ini gelagat yang pantas disimak,
sudah ada benih keresahan sosial. Menurut firasat
saya, awal abad ke-16 nanti bakal terjadi revolusi. Ini
tak akan terbendung. Apakah Tuan-tuan tidak melihat

kemungkinan bakal terjadinya hal itu? Pemberontakan


di Cina terjadi tahun 1588 tersebut telah memaksa raja
Ching turun tahta. Kalau hal ini terjadi di sini, apa yang
bisa Tuan-tuan bayangkan? Tak bisa tidak, kita harus
kerja keras untuk mencegah terjadinya revolusi berdarah!
Tuan-tuan tentu lebih tahu tentang teori revolusi, tetapi para petani lebih tahu tentang nasib mereka.
***
Terdengar seruling pabrik mendengung ketika Mayumi
mendengar suara kereta kuda berhenti di pekarangan.
Pintu dibuka. Di bawah sinar bulan terlihat ayah
Mayumi datang bersama pamannya dan Yukio Kogasaki.
Sesudah menyediakan minum dan makan, Mayumi
masuk kamar, tetapi ayahnya memanggil keluar, dan
menyuruh duduk. Sambil mengunyah makanan, pembicaraan ini dimulai:
Umurmu berapa, Mayumi?
Enam belas,
Sama dengan Michiko, putri Yoshiaki.
Ya.
Engkau sudah cukup dewasa, sudah tiba waktunya untuk berumah tangga. Ini pamanmu datang dengan maksud mengambilmu sebagai menantu.
Mayumi tak menjawab. Menunduk seperti kebiasaan gadis bangsa Jepang.
Begini, Mayumi, sambung ayah Yukio Kogasaki
sambil mengelap mulut dengan serbet makan. Kedatanganku yang pertama adalah menengok dirimu.
Syukur engkau dalam keadaan baik. Dan kedua adalah untuk menjelaskan padamu mengenai pembicaraanku dengan ayahmu. Kami berdua sudah sepakat untuk menjodohkan engkau dengan Yukio Kogasaki. Ku-

rasa kalian sudah saling mengenal, dan masing-masing bukan orang lain.
Engkau tahu, Mayumi, sambung ayahnya datar.
Calon suamimu sudah tamat dari sekolah tinggi. Dan
sebentar lagi akan bekerja di sini. Kukira engkau tak
bakal kelaparan mempunyai seorang suami sebagai
pegawai pemerintah, ia berhenti sebentar. Engkau
tahu kenapa ayah buru-buru menemui pamanmu sesudah mendengar kabar Yukio Kogasaki lulus? Ayah
kuatir dia diserobot gadis lain. Tentu banyak yang
menghendaki menantu seorang yang punya jabatan di
pemerintah.
Paman dan ayah Mayumi tertawa bersama. Terbersit rasa bangga berlebihan pada keberhasilan Yukio
Kogasaki. Mayumi tetap menekuri lantai, tak berani
mengangkat muka.
Bagaimana pendapatmu, Yukio Kogasaki? pamannya menambah. Kau tidak menolak jika kunikahkan
dengan Mayumi, bukan?
Saya hanya menurut, katanya. Semua saya serahkan ayah dan paman bagaimana baiknya.
Lalu engkau, Mayumi?
Saya... saya, Mayumi gagap. Saya belum siap.
Belum siap bagaimana? ayahnya tersentak.
Saya... saya masih belum ingin menikah.
Ayahnya tertawa. Sementara napas Mayumi terengah mengendalikan keberanian. Anak perempuan
berumur enam belas tahun belum siap menikah, itu
baru kau yang mengatakan, kata ayahnya masih dengan sisa ketawa. Setahun lagi kau sudah perawan
tua, sambungnya. Sedang putra kaisar saja menikah
dalam umur enam belas, bagaimana kau bisa mengatakan belum siap? Apalagi yang kautunggu? Ingat, Mayumi, engkau anak perempuan.
Ayah tidak marah kalau saya mengatakan?

Coba katakan, biar pamanmu turut mendengar.


Saya... saya, saya ingin sekolah....
Apa? Kau ingin sekolah?
Mayumi mengangguk. Sekali lagi pamannya tergelak
bersama ayahnya. Mereka seperti melihat sesuatu yang
ganjil. Tak bisa ditahan, Mayumi menitikkan airmata.
Sedih. Teramat sedih.
Di mana di Jepang ada anak perempuan bersekolah? tanya ayahnya sambil geleng kepala. Kau dapat
menyelesaikan sekolah rendah pun sudah membuat
penduduk Okehazama geleng kepala. Tingkatmu sama
dengan anak senator. Juanita juga hanya menamatkan
sekolah rendah. Kau ingin melanjutkan ke mana? Tidak jamak gadis bangsa Jepang sekolah tinggi.
Selain itu engkau melawan kodrat, sambung pamannya bersungguh-sungguh. Kodrat perempuan itu
berada di belakang suami. Bukan di depannya. Kalau
kodrat ini engkau langgar, keharmonisan bakal hilang
sirna. Karena sifat manusia tak pernah puas. Nanti sesudah sekolah tinggi kau tentu ingin yang lebih tinggi,
begitu seterusnya, sehingga engkau kehilangan fitrah
sebagai gadis Jepang.
Mayumi menunduk dalam. Sangat dalam.
Kecuali itu siapa yang akan menanak nasi di dapur? Sambung ayahnya kering. Kalau wanita bersekolah tinggi, adat serta tatacara pasti terjungkirbalik.
Mayumi kemudian menangis terisak. Seperti ada
duri salak mendekam di ulu hati. Nyerinya sampai ke
otak. Betapa kunonya buah pikiran ayah dan pamannya, namun untuk melawannya saat sekarang terasa
kurang bijaksana. Akhirnya Mayumi hanya diam, sementara ayah dan pamannya memberi mata pelajaran
tentang adat, tatacara serta nilai kehidupan.
Jangan memperkosa fitrah, Mayumi. Tak baik aki-

batnya, kata pamannya arif.


Kemudian mereka pulang. Kereta menerobos kegelapan. Lampu minyak yang ada di kanan-kiri kusir seperti kunang-kunang yang berlari ke tengah malam.
Ayahnya memeluk bahu Mayumi, dan mengajak gadis itu masuk.
Jangan kau lewatkan kesempatan emas ini, ujar
ayahnya membujuk. Mencari calon suami sungguh
sukar di zaman ini. Lebih-lebih dia masih saudaramu.
Tanpa bereaksi Mayumi duduk. Ayahnya menjejeri.
Menjadi istri yang baik lebih utama daripada wanita bangsa Jepang yang berpendidikan tinggi, kata
ayahnya lunak. Ayah tak ingin engkau menjadi pemberontak di dalam jiwamu. Sudah banyak dibicarakan
gadis Jepang kini banyak yang tak tahu adat. Tak ada
harganya lagi kehidupan semacam itu.
***
Osaki, 22 September 1596.
Ruang pengadilan di tengah kota Osaki semakin
penuh. Orang-orang mengalir seperti air bah. Tua muda, anak-anak, dan orang tua memenuhi ruang sidang.
Jaksa penuntut berdiri di tengah ruangan dengan
wajah bersinar-sinar. Matanya yang berwarna coklat
menyapu ruangan, seakan ia telah memenangkan pertarungan.
Yukio Hasegawa duduk di kursi terdakwa dengan
wajah tertekuk. Ia tampak sepuluh tahun lebih tua dari umur sebenarnya. Penjara yang selama beberapa bulan ia huni, telah mengubah lelaki itu seperti daun
layu. Kulitnya kering dan sinar matanya telah redup.
Misako, tunangannya, duduk di deretan depan dengan wajah membeku. Antara percaya dan tidak, ia tak
mampu menjawab misteri pembunuhan kedua orang
tuanya.

Tuan Hasegawa, kata Jaksa penuntut dengan suara lantang. Lelaki itu berjalan mendekati kursi terdakwa. Anda mengatakan sesudah pulang pukul tujuh
malam itu, tidak pergi kemana-mana lagi. Benarkah
begitu?
Ya.
Jaksa itu menuju ke mejanya, lalu membuka-buka
berkas perkara di tangannya.
Di dalam berkas kesaksian ini tercantum bahwa
pada pukul menjelang tengah malam, Anda datang
kembali ke kamar Nona Misako. Apakah Anda menyangkal kesaksian ini?
Yukio Hasegawa terdiam seketika. Ia menghela napas panjang. Tak pernah ia bayangkan, Misako bakal
memberikan kesaksian yang menyudutkannya.
Benarkah Anda datang menemui tunangan Anda
pada tengah malam itu?
Hasegawa menghela napas, lalu menjawab, Benar.
Seketika terdengar sorak-sorai pengunjung, sehingga hakim terpaksa memukul meja beberapa kali untuk
menghentikannya. Beberapa orang mengumpat dan
memaki Yukio Hasegawa atas jawaban itu.
Pembunuh!
Biadab!
Jaksa penuntut tersenyum tipis. Wajahnya semakin
bersinar-sinar karena merasa kian yakin bakal memenangkan perkara itu.
Jaksa itu kembali mengajukan pertanyaan, Menjelang tengah malam Anda datang ke rumah tunangan
Anda, untuk apa?
Sekadar menemuinya.
Sekadar menemuinya?
Ya.
Pada tengah malam?
Ya.

Bohong! Anda telah berbohong! sergap jaksa penuntut umum itu menggeram. Di dalam berkas ini
tercantum kesaksian Nona Misako bahwa malam itu
Anda datang pada tengah malam bukan sekadar untuk
menemuinya, tetapi Anda telah mengajaknya bercinta.
Apakah Anda akan menyangkal kesaksiannya?
Yukio Hasegawa terdiam. Lalu menjawab lemah, sangat lemah, Tidak.
Sekali lagi pengunjung berteriak-teriak dan mengumpat Yukio Hasegawa. Orang-orang memaki dengan
penuh kebencian.
Jadi Anda malam itu menemui tunangan Anda dengan penuh kemesraan membisikkan rencana perkawinan. Sesudah itu pulang bergegas, mengambil pedang, lalu dengan darah dingin membunuh sampai
mati kedua orang tua tunangan Anda. Beberapa jam
setelah itu, dengan napsu menggelora, Anda pindah ke
kamar tunangan Anda untuk bercinta. Benar-benar
rangkaian cerita yang luar biasa. Hanya pembunuh
berdarah dingin yang dapat melakukan perbuatan terkutuk itu. Karena itu dengan segala hormat pada hukum serta keadilan, saya menuntut agar hakim menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa. Terima kasih.
Orang-orang bersorak-sorai. Yukio Hasegawa secara
samar-samar mendengar umpatan-umpatan yang ditujukan padanya. Dengan hati hancur ia mencoba menoleh, mencari tunangannya, ternyata bangku itu telah
kosong. Misako telah pergi.
***

MISTERI DAN KEHILANGAN


SELAMANYA orang tak bisa menebak hari yang akan
datang. Juga Mayumi. Daerah Okehazama yang semula tenang, pada bulan Juni menjadi gempar. Garagaranya sepele: Oda Nobunaga kehilangan buku-buku
dan pedang.
Segera diadakan penggeledahan. Tiga orang pelayan
yang tak mengaku mengambil barang-barang itu dihukum cambuk sampai pingsan. Tugizi, seorang pelayan
petani berusia tujuh puluh tahun, meninggal sehari
sesudah pelaksanaan hukuman cambuk itu. Kecuali
itu samurai yang ada di Okehazama sampai Osaki dikerahkan untuk mengadakan penggeledahan. Semula
hanya rumah-rumah di sekitar pabrik gula, tetapi kemudian menjalar ke seluruh desa. Orang yang dicurigai ditangkap. Seluruh penduduk menjadi gelisah.
Kecemasan itu juga menyerang Mayumi. Gadis itu
tahu betul bahaya yang mengancam. Buku-buku Akechi bisa menyebabkan ia mengalami kesukaran. Maka
sebelum penggeledahan sampai ke rumahnya, ia menjumpai ayahnya untuk menceritakan perihal buku di
bawah ranjangnya.
Matsuhide diam. Jadi patung selama beberapa menit. Wajahnya pucat. Segala kesegarannya lenyap seketika.
Ini sangat berbahaya, katanya cemas. Kita bisa
dipenjara. Oh, Mayumi, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Kau sudah memasukkan ayahmu ke neraka.
Mayumi menangis. Ada beberapa soal penyebabnya.
Pertama, ia merasa berdosa pada Akechi. Ia sudah
mengingkari janjinya. Kedua, ia juga merasa bersalah
telah mengakibatkan ayahnya mengalami kesukaran.
Ketiga, ia tak ingin buku-buku itu dilenyapkan apabila
ayahnya menginginkannya.

Padahal menurut jadwal, besok pagi rumah kita


bakal digeledah, kata ayahnya kehilangan akal. Apa
yang bisa kita lakukan? Kalau diketahui ada barangbarang Tuan Muda di rumah ini, apa bakal nasibku?
Aku pasti dipecat. Dan rumah kita.... Oh, Mayumi, engkau sudah membenamkan ayahmu ke neraka.
Masih terisak Mayumi mencoba memberikan usul.
Kita masih punya waktu semalam untuk menyembunyikannya.
Menyembunyikan? Menyembunyikan di mana?
Itulah yang ingin saya tanyakan pada Ayah.
Membawa keluar dari sini tidak mungkin, kata
ayahnya mengeluh. Di setiap batas desa ada penjagaan. Semua orang yang keluar dari desa diperiksa dengan teliti. Oh, Mayumi, kenapa kaulakukan perbuatan tolol ini? Ini akibatnya kalau perempuan ingin sama dengan laki-laki. Runyam! Semua runyam!
Kita harus mencari akal untuk menyembunyikan,
kata Mayumi meyakinkan. Hanya dengan memarahi
saya, Ayah tidak berarti menyelamatkan kita dari penjara.
Tetapi bagaimana? Bagaimana coba?
Mayumi diam. Rasanya sia-sia menunggu ayahnya
mendapatkan cara penyelamatan. Orang tua itu seakan telah kehilangan akal sehat. Namun karena
Mayumi sendiri tak mengerti harus berbuat apa, terpaksa ia diam membisu.
Aku tahu, tiba-tiba ayahnya berkata gembira. Semua harus diserahkan kembali ke rumah Tuan Nobunaga.
Apa? Mayumi kaget bukan main.
Kita antar barang-barang terkutuk itu ke rumahnya.
Jangan!
Kurasa itu satu-satunya jalan untuk menyela-

matkan diri.
Tetapi bagaimana kalau Ayah justru dituduh sebagai pencurinya?
Kita akan terangkan sejujur-jujurnya.
Ayah ingat, Tuan Nobunaga dalam keadaan kalut.
Bisa saja dia mengambil keputusan keliru. Lagi pula
dia sedang membenci Tuan Muda, salah-salah Ayah dituduh bersekongkol dengan Tuan Muda....
Ayah Mayumi terpaku. Resah. Gelisah. Seribu haru
biru melintas di matanya. Ia membisu sesaat lamanya.
Kita bisa membakarnya, ujar Matsuhide lirih. Tetapi itu pun sangat mencurigakan. Abu dan asapnya
bisa menarik perhatian. Jangan. Jangan dibakar! Kita
bisa mudah ditangkap.
Lagi pula bagaimana kalau Tuan Muda menanyakan barang-barangnya?
Ya, karena itu jangan kita bakar. Bagaimana kalau
kita kubur saja di kebun?
Buku itu akan membusuk, kata Mayumi mencegah. Tiba-tiba Mayumi menyadari ayahnya sudah
demikian panik. Saya mempunyai usul kalau Ayah setuju, lanjutnya perlahan. Kita titipkan di rumah Yukio Kogasaki.
Ya, itu bagus! ujar ayahnya girang. Di sana pasti
aman. Tetapi bagaimana caranya membawa ke sana?
Itu yang harus kita pikirkan.
Karena tak ada pilihan lain, ayahnya setuju membawa buku-buku Akechi ke rumah Yukio Kogasaki.
Caranya: kereta kuda yang akan dipergunakan membawa barang-barang itu dipenuhi daun tebu kering.
Mereka berjalan pada malam hari. Di beberapa pos
penjagaan, ayah Mayumi berkeringat dingin. Samurai
yang berjaga di batas desa menusuk-nusuk tumpukan
daun tebu itu dengan pedang. Untung selamat. Mereka
diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Di luar desa,

kereta itu dipacu cepat.


Ayah Yukio Kogasaki terkejut melihat kedatangan
mereka. Setelah minum air putih, Mayumi menceritakan semua kejadian di Okehazama. Juga sebab-sebab
kedatangannya. Pamannya geleng-geleng kepala.
Kalau begitu bawa semua buku-buku itu ke rumah
Yukio Kogasaki. Di sana pasti aman. Jangan lupa timbuni dengan padi dan jagung.
Rumah Yukio Kogasaki terletak di belakang rumah
ayahnya. Bentuknya sederhana. Halamannya luas berpagar bambu. Di depan rumah terdapat kandang kuda. Sambil menyembunyikan buku-buku itu di istal
(dan menimbuninya dengan jerami) Yukio Kogasaki memulai pembicaraan.
Bagaimana, Mayumi, apa kau sudah memikirkan
perkawinan kita?
Perkawinan? Mayumi kaget.
Ya.
Maaf. Aku masih bingung menghadapi peristiwa
ini, jadi belum sempat memikirkan persoalan itu.
Aku mengetahui perasaanmu. Tetapi bagaimana
asal mulanya buku-buku ini berada di rumahmu?
Tuan Muda bertengkar dengan ayahnya. Karena
merasa tidak aman meninggalkan bukunya di rumah,
ia menitipkan di rumahku.
Kenapa tiba-tiba dia memilih rumahmu?
Aku sendiri tidak tahu.
Hati-hati dengan putra daimyo itu. Mulut dan hatinya sering tidak sama.
Mayumi tak berkomentar. Diam-diam ia dapat menangkap api cemburu di mata Yukio Kogasaki.
Sesudah selesai menyimpan barang-barang itu, Yukio Kogasaki mengajak Mayumi duduk di kursi.
Ayah sudah mewariskan rumah ini untuk kita, ujar
Yukio Kogasaki bangga. Kalau nanti kita menikah, se-

belum pindah ke Okehazama kita tinggal di sini. Apakah engkau menyukai rumah ini?
Mayumi tersenyum. Kemudian mengangguk terpaksa.
Baru seminggu yang lalu aku membeli kereta dan
kuda itu, kata Yukio Kogasaki sambil menunjuk keretanya di istal. Rencanaku akan kuperbaiki agar dapat
kita pakai merayakan perkawinan kita. Kuharap tidak
terlalu mengecewakan dirimu.
Mayumi menggelengkan kepala.
Ketika pulang, kegelisahan menerkam jiwa Mayumi.
Betapa jauh pikiran Yukio Kogasaki tentang perkawinan dengannya. Padahal sedikit pun Mayumi belum
memikirkannya.
Mayumi sendiri justru merasa risau. Orang-orang
itu dianggapnya tak mengetahui isi hatinya. Betapa luka perasaannya memikirkan kenyataan getir itu. Citacitanya yang melambung ke langit seakan terpangkas
beliung, terpenggal, patah di tanah. Perkawinan dengan Yukio Kogasaki pasti akan menjadi penjara dalam kehidupannya.
Sepanjang jalan Mayumi hanya diam. Tak terasa
matanya berkaca-kaca. Pohon tebu, gelagah, kuli-kuli,
dan suara gerobak pengangkut tebu tampak di pinggir
jalan. Mereka semua seakan tengah menjalani nasib
dengan membisu.
Tiba-tiba tangannya gemetar, bahunya bergetar,
matanya terbuka, dan di bola matanya sesuatu sedang
terjadi:
Tuan Muda Akechi sedang duduk di samping pembaringan ibunya. Di sisi lain terlihat sahabatnya, lelaki
yang pernah datang ke rumah Mayumi. Mereka terlibat
pembicaraan serius. Meskipun bahu Akechi masih dibalut, dan tangan kirinya digendong, ia tampak berpikir serius. Matanya yang cerdas tampak bersungguh-

sungguh. Sahabatnya seperti tengah menerangkan sesuatu, sementara ibu Akechi menghapus air mata.
Mayumi tak tahu air mata kesedihan atau kegembiraan.
Sekonyong-konyong mereka bangkit karena pintu
terbuka dari luar. Tiga orang samurai menerobos masuk. Topinya yang lebar tidak dibuka. Di belakangnya
muncul samurai pemimpin lengkap dengan apaulet
dan pedang di pinggang. Ia berkata-kata sebentar dengan Akechi, setelah itu memberikan surat. Akechi
membaca, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi murung, sementara sahabatnya berusaha mencegah dengan memberi alasan pada lelaki berapaulet itu. Tetapi
semua sia-sia, Mayumi melihat penangkapan itu tetap
dilaksanakan. Istri Nobunaga menangis, dan sahabat
yang baik itu memeluk perempuan tersebut sambil
membelai rambutnya.
Akechi digelandang keluar, sementara samurai itu
bergegas meninggalkan ruangan itu.
Mayumi masih dapat melihat Akechi berjalan sambil
menunduk.
Sudah sampai, kata Sato tiba-tiba mengejutkan
Mayumi.
Mayumi terhenyak. Matanya berkedip. Gambar Akechi seketika hilang. Segera ia turun.
***
Paginya, sekitar pukul sembilan, ayah Mayumi datang
bersama laki-laki yang tak dikenal oleh Mayumi. Tanpa
meminta persetujuannya, laki-laki tersebut masuk ke
kamar Mayumi. Di depan pintu ia komat-kamit membaca mantra, kemudian memanggil Matsuhide dan Mayumi.
Siapa namanya? suara lelaki itu terdengar parau.
Akechi, jawab ayah Mayumi.

Bukan. Bukan itu. Nama sesungguhnya?


Siapa nama Tuan Muda Akechi? ganti ayah
Mayumi bertanya pada anaknya.
Ada apa sebenarnya?
Nanti kuberitahu.
Untuk apa namanya?
Siapa namanya?
Akechi Nobunaga.
Akechi Nobunaga, ulang ayah Mayumi pada lelaki
di hadapannya.
Kembali mulut laki-laki itu komat-kamit. Ia mengeluarkan sebotol sake, dan menyemprotkan air bunga
ke seputar ranjang Mayumi. Mulutnya bergumam. Dadanya terengah-engah. Sesudah selesai, Mayumi diajak
duduk di ruang tengah.
Engkau harus minum ini, perintah lelaki itu sambil menyodorkan segelas air kembang pada Mayumi.
Untuk menolak niat jahat seseorang.
Ada apa sebenarnya....
Minumlah.
Mayumi meminumnya seteguk.
Kau sudah diguna-gunai, kata Matsuhide mantap.
Menurut pengamatannya engkau sudah diguna-gunai
oleh Tuan Muda Akechi. Dia telah menggunakan dukun untuk memikatmu.
Ah, Mayumi mengeluh.
Dia menggunakan ilmu hitam, kata laki-laki itu
datar. Dia menghendaki dirimu menjadi istrinya. Karena merasa tak mampu mendapatkan secara wajar,
dia menggunakan mistik. Tetapi sekarang sudah berlalu, aku tadi sudah melihat rohmu kembali dalam badanmu. Tidak dikuasai oleh orang itu lagi.
Mayumi hanya mendengus. Ia tak percaya pada tetek-bengek yang baru ia alami.
Kalau aku berhasil menaklukkan dukun Akechi,

kata laki-laki itu. Anak muda itu akan celaka. Aku tadi sudah menikam rohnya dengan lidi. Dia dapat meninggal.
Oh! Mayumi memekik terkejut.
Sudahlah. Semua sudah berlalu, kata ayahnya
sambil memeluk Mayumi. Engkau sudah kembali kemari.
Tetapi aku tak ingin Tuan Muda celaka.
Engkau tak akan mengatakan hal itu besok pagi.
Kamarmu telah kuisi dengan penolak guna-guna.
Tiga hari Mayumi tak dapat melupakan peristiwa
buruk itu. Sebagai perempuan petani, mau tak mau ia
was-was dengan tindakan tersebut. Lelaki itu meminta
agar dia melupakan Akechi. Kalau benar ia berhasil
mencelakakan Akechi, dua kali Mayumi merasa bersalah pada pemuda tersebut.
Kejadian silih berganti: lamaran Yukio Kogasaki,
penangkapan Akechi, dan dukun ayahnya, semua seakan membuat syaraf Mayumi terentang kencang. Rasanya mau putus.
***
Okehazama, 23 Desember 1598.
Ruang pengadilan terasa membeku ketika hakim
memasuki ruang sidang. Wajahnya yang membeku tak
menggambarkan ekspresi apa pun. Sinar matanya tetap dingin, mirip pemain kabuki yang harus menampilkan peran penuh kewibawaan.
Semenit berikutnya, iring-iringan dewan hakim memasuki ruang sidang. Kedua belas dewan hakim itu
pun melangkah seperti pemeran drama yang tengah
menuju panggung. Semua membisu, seakan menyembunyikan gejolak dalam dirinya.
Ketika semua dewan hakim telah duduk, hakim itu
mengetukkan palu sebagai pertanda sidang dibuka.

Apakah dewan hakim telah mengambil keputusan? hakim tersebut bertanya.


Salah seorang dewan hakim berdiri, Sudah, Yang
Mulia.
Hakim memberi perintah pada petugas pengadilan
untuk mengambil kertas yang berisi keputusan dewan
hakim. Hakim itu membaca sepintas, lalu memberikan
pada petugas pengadilan untuk dibacakan.
Petugas tersebut berdiri tegak, lalu membaca vonis
itu. Atas dakwaan melakukan pembunuhan terencana, terdakwa dinyatakan bersalah....
Teriakan-teriakan terdengar bersahutan. Tepuk tangan membuat ruangan riuh rendah. Orang-orang bersorak-sorai. Di tengah suasana gegap-gempita itu, Yukio Hasegawa berdiri letih. Ia menoleh ke arah kerumunan orang-orang. Dan di sana, ia melihat Misako jatuh pingsan.
(Bersambung ke buku ketujuh.)

***

Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel

Anda mungkin juga menyukai