(Samurai Pengembara)
Buku Keenam
oleh Salandra
Buku Keenam
Imagawa berderak terbuka, dari dalamnya muncul Saburo Mishima seperti iblis bangkit dari kubur. Samurai
pengawal Imagawa segera siap menyerang.
Saburo berseru, Saya Saburo Mishima, panglima
Ashikaga, bila Yang Mulia Imagawa berkenan, saya
akan memandu untuk menyelamatkan diri.
Engkau Saburo...?
Benar, Yang Mulia.
Tanpa banyak bicara, Imagawa bergegas mengikuti
Saburo. Mereka memasuki lorong bawah tanah yang
menghubungkan Istana Kamakura dengan Bukit Amagi. Lorong itu demikian panjang dan berliku-liku, tetapi
tak seorang pun mengeluh. Dorongan untuk tetap hidup telah membangkitkan semangat mereka. Imagawa
sendiri, dalam seketika, seakan menyerahkan hidupnya pada Saburo Mishima. Ia berjalan bergegas di belakang Saburo, tanpa kebimbangan sedikit pun. Kemunculan panglima Ashikaga di saat kritis telah menghapuskan keragu-raguan Imagawa terhadap kemungkinan adanya maksud jahat lelaki tersebut.
Tanah di dalam terowongan itu licin dan berlumpur,
dindingnya basah akibat air yang merembes dari atas.
Keadaannya gelap gulita. Tetapi mereka tak peduli. Mereka terus berjalan menyusuri lorong itu tanpa bicara.
Satu-satunya hal yang mereka pikirkan hanyalah lolos
dari jebakan maut Nobunaga. Atas perintah Saburo,
samurai yang berjalan paling belakang, disuruh menghancurkan tiang-tiang penyangga lorong itu, sehingga
setiap kali iring-iringan Imagawa telah berada seratus
meter di depan samurai tersebut, lorong tersebut runtuh. Langkah ini dilakukan Saburo untuk menghindari
kejaran pasukan Nobunaga.
Menjelang pagi hari, iring-iringan tersebut keluar
dari lorong bawah tanah di Bukit Amagi. Saburo segera
memerintahkan para samurai Suruga menimbun lo-
rong tersebut. Setelah pekerjaan itu usai, mereka beristirahat. Beberapa orang segera mencari buahbuahan dan berburu binatang. Sebagian yang terluka,
dibaringkan di tanah untuk diobati.
Tempat ini dua belas mil jaraknya dari Kamakura,
kata Saburo memberi penjelasan. Kita sebaiknya memanfaatkan waktu yang ada untuk beristirahat dan
mencari makanan untuk mengisi perut. Cepat atau
lambat, Oda Nobunaga pasti akan melakukan pengejaran. Mereka membutuhkan waktu tiga sampai empat
jam untuk sampai di sini, kita punya waktu untuk memasuki hutan Amagi.
Imagawa yang masih kaget menghadapi kenyataan
yang baru saja dialami, beristirahat di tengah lingkaran para pengawalnya. Perjalanan di bawah tanah sejauh dua belas mil telah membuat shogun tersebut kehabisan tenaga. Ia berbaring di atas hamparan pakaian para samurai yang ditumpuk menjadi bantal tipis bagi junjungan mereka.
Saburo menggunakan waktu untuk berjalan-jalan,
melihat keadaan samurai pengawal Imagawa. Dari dua
ratus orang, kini pengawal Imagawa kira-kira tinggal
seratus tiga puluh orang. Hampir separuhnya menderita luka bakar.
Ketika Saburo berjalan mendaki bukit, tiba-tiba seseorang memanggil namanya.
Saburo!
Saburo menoleh. Dalam keremangan kabut pagi, ia
melihat sesosok tubuh berlari mendekatinya.
Laki-laki tersebut menyapa, Engkau lupa padaku?
Saburo menunggu sampai laki-laki tersebut lebih
dekat. Ketika mereka sudah berhadapan satu sama
lain, senyum Saburo seketika merekah.
Takeshi?!
Namaku sekarang Konishita.
tika matahari mulai merambat ke langit, tiga ribu samurai di bawah pimpinan Konishiwa menderap ke
arah Suruga.
***
Orang-orang di Kamakura masih membicarakan tentang kebakaran yang terjadi di bagian dalam istana.
Desas-desus segera tersebar bahwa kebakaran itu
memang disengaja, suatu tindakan militer Oda Nobunaga untuk melenyapkan Imagawa. Orang-orang membicarakan secara sembunyi-sembunyi.
Saya menganggapnya sangat jahat, kata seorang
pedagang yang sesungguhnya membenci Nobunaga.
Serendah-rendahnya Ashikaga, dia tidak akan pernah
melakukan perbuatan busuk seperti itu.
Saya pun tidak menduganya. Oda Nobunaga ternyata sangat lalim. Dia mau melakukan kekejaman
apa pun demi kemenangan.
Dia memang bukan samurai sejati.
Kehebatannya adalah kejahatannya.
Kalau putra Ashikaga masih hidup, aku akan mengabdi padanya.
Kojiro yang mendengar perbincangan itu seketika
menoleh. Dia melihat empat penduduk bukan samurai.
Mereka masih membicarakan soal pembantaian itu
sambil minum sake.
Saat itu Kojiro melihat kaum samurai yang selama
ini tinggal di luar benteng dan berkeliaran di lorong kota, kini terlihat berjalan bergegas menuju benteng. Tiga
atau empat kurir memacu kudanya untuk menyampaikan perintah Nobunaga. Persiapan-persiapan
tampaknya sedang dilakukan.
Bapa Lao yang sedari tadi memperhatikan kesibukan di jalan di depannya, berkata seakan pada diri
sendiri, tetapi ditujukan pada Kojiro.
Konishiwa membayangkan, sehabis penandatanganan akte penaklukan wilayah Suruga, ia akan meminta disediakan tiga atau empat gadis yang masih perawan untuk ia tiduri. Orang-orang mengatakan, perempuan-perempuan Suruga pandai bercinta. Dan Konishiwa, sudah berminggu-minggu tidak menggauli wanita. Ia membayangkan gadis-gadis yang masih belia,
merayap di kaki ranjangnya tanpa sehelai benang pun
melekat di tubuhnya. Mereka berlutut gemetar, sementara Konishiwa siap merajam mereka dengan leluasa.
Pasti akan menjadi pengalaman tak terlupakan.
Tiga ribu samurai prajurit berderap di belakangnya.
Suara ribuan kaki menderap di tanah, ditingkah gemerincing pedang serta tombak, membuat arak-arakan
pasukan Konishiwa tampak megah dan menggetarkan.
Bendera-bendera warna perak dengan lambang Nobunaga, berkibar-kibar ditiup angin. Semua prajurit Konishiwa tampak berseri-seri, mereka seakan telah menggenggam kemenangan di tangannya.
Ketika pasukan Owari mendekati perbatasan Suruga, seorang mata-mata berlari menemui Konishiwa.
Apa yang kaulihat di sana? Konishiwa bertanya.
Tidak sesuatu pun, Tuanku.
Nah, benar kataku, bukan? Mereka akan menyerahkan Suruga dengan senang hati. Kelihatannya kita
akan memperoleh sambutan yang menyenangkan.
Tadi pagi ketika hamba lewat Sofu, memang hamba
lihat ada kegiatan. Tetapi hanya kecil-kecilan. Hamba
tidak tahu apakah itu persiapan perang atau hanya sekadar latihan biasa.
Apabila mereka melihat kedatangan tiga ribu tentaraku, aku yakin mereka akan segera meletakkan senjata. Jadi tak perlu takut. Kita akan terus menuju Istana
Suruga.
Meskipun pasukannya sudah lelah, namun karena
Konishiwa menganggap tak akan mendapat perlawanan, ia memerintahkan tentaranya terus memasuki wilayah Suruga. Sebenarnya sesudah berjalan tanpa istirahat selama dua hari, para prajurit merasa letih. Mereka akhirnya berjalan hanya dengan mengandalkan
naluri.
Mereka melangkah terseok-seok tanpa mempertahankan barisan. Beberapa samurai bahkan menumpang gerobak yang kebetulan lewat. Langkah kaki terasa berat, lebih-lebih bagi prajurit yang memakai pakaian jirah. Mereka berjalan seperti kuda yang membawa beban terlampau berat. Terseok-seok.
Konishiwa sendiri duduk di atas punggung kuda dengan letih. Hanya karena pakaiannya yang terbuat dari
besi membuat lelaki tersebut tetap duduk tegak. Namun bila diperhatikan, gerak tubuhnya semata-mata
mengikuti ayunan angin.
Di tengah keletihan itu, tiba-tiba terdengar teriakan,
Seraaang!
Prajurit Konishiwa tak dapat memahami keadaan di
sekitarnya. Tiba-tiba mereka dihadapkan serangan
mendadak dari segala penjuru. Prajurit Suruga rupanya telah menunggu kehadiran mereka dari tempattempat persembunyian. Dengan jerit lengking membahana, ribuan prajurit di bawah komando Mayeda Toyotomi mulai menyerbu. Anak panah menghujani pasukan Konishiwa, terdengar jerit kematian diikuti rintih kesakitan yang tak terperikan. Belum hilang rasa
kagetnya, tiba-tiba dari lubang-lubang persembunyian
di bawah tanah, berloncatan prajurit Suruga. Dalam
sekejap terjadi pertempuran hebat. Udara menjadi anyir darah ketika tangan dan kaki beterbangan tertebas
pedang. Prajurit Nobunaga yang tak menduga bakal
memperoleh serangan tersebut, jadi panik. Mereka tak
dapat menguasai keadaan ketika serbuan seperti air
bah menggelora. Satu per satu mereka tumbang ke tanah dengan tubuh terbelah. Keletihan dalam perjalanan menyebabkan mereka tak mampu menandingi kehebatan orang-orang Suruga.
Konishiwa mencoba memberikan komando, tetapi
suaranya tertelan jerit kematian di sekitarnya. Dengan
sisa tenaganya ia mencabut pedang, tetapi pada saat
itu sebuah tombak menghunjam bahunya.
Bedebah! jerit Konishiwa marah. Dengan sekuat
tenaga ia mencabut tombak yang menancap di bahunya, kemudian sambil mengayun-ayunkan pedangnya ia menyerbu musuh.
Prajurit yang tadi melempar tombak, segera mencabut pedang untuk menyambut serangan Konishiwa.
Terdengar suara gemerincing pedang mereka beradu.
Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, Konishiwa menerjang kembali. Dengan sebuah tebasan menyilang, Konishiwa membabat musuhnya, terdengar lengkingan
pendek ketika urat leher prajurit Suruga itu menyemburkan darah segar. Ia roboh dengan kepala copot dari
tubuhnya.
Darah terus mengucur di bahunya. Pakaiannya
menjadi lengket. Demikian pula genggaman tangannya.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Konishiwa mencoba tetap tegak di atas punggung kuda.
Konishiwa! tiba-tiba terdengar suara nyaring di
antara suara gemerincing pedang. Panglima perang
Nobunaga itu menoleh ke arah suara itu berasal. Di
sana ia melihat Mayeda Toyotomi duduk di atas punggung kuda lengkap dengan pakaian jirahnya. Laki-laki
itu mengacungkan pedang ke arah Konishiwa. Saya
Mayeda Toyotomi, panglima perang Suruga. Saya menantang Anda untuk bertarung sampai mati!
Mayeda menggebrak punggung kudanya, kemudian
seperti badai, ia bergerak menyerbu Konishiwa.
Aku tidak pernah menduga kita akan berhasil meraih kemenangan dengan mudah, kata Mayeda dengan senyum menyungging di bibirnya.
Benar, Tuanku.
Ini adalah kemenangan pertama yang berhasil kita
raih. Mudah-mudahan menjadi pertanda baik untuk
kita.
Menurut kepercayaan memang demikian.
Mayeda melihat dari lubang jendela kemah, air hujan seperti sisir kaca yang gemerlap. Namun demikian
di luar masih tampak para prajuritnya melakukan kesibukan seperti biasa. Ada yang sedang membersihkan
kandang kuda, ada pula yang sedang menyanyi bersama teman-temannya.
Aku ingin kemenangan ini menjadi peringatan pada
Oda Nobunaga, agar dia tidak mencoba-coba menyerang Suruga, kata Mayeda tegas. Karena itu aku ingin meminta dirimu untuk mengirimkan bingkisan pada Nobunaga.
Apa yang harus saya bawa, Tuanku?
Kepala Konishiwa.
Apakah sekarang juga hamba harus berangkat?
Tidak, tetapi paling tidak, besok kau harus sudah
berangkat. Aku tidak mau Oda Nobunaga menerima
kirimanku yang sudah membusuk. Biarkan dia tahu
secepat ia kobarkan peperangan, secepat itu pula kita
akan mengalahkannya.
***
SEBUAH PERSEKUTUAN
Di tengah tanah datar yang berada di lembah Amagi,
persis di tepi sungai Kwasu, Imagawa tengah berbin-
cang-bincang dengan Saburo Mishima. Sejak penyelamatan dari perangkap Nobunaga, Imagawa menaruh
kepercayaan yang sangat besar pada Saburo. Lebihlebih ketika panglima Ashikaga itu menceritakan rencana pengkhianatan Mayeda Toyotomi.
Mereka sengaja berjalan-jalan di tepi sungai, sehingga tak seorang pun dapat mendengar pembicaraan
mereka.
Jadi menurut informasi yang berhasil kaukumpulkan, saat ini Mayeda tengah merencanakan menggulingkan kedudukanku?
Demikianlah keyakinan saya.
Kalau benar seperti yang kaukatakan, apa sebenarnya alasannya? Selama ini aku telah memberikan
kepercayaan penuh padanya. Bahkan kuberikan rumah kediaman di lingkungan istana, serta gaji sebesar
sepuluh ribu kan. Apalagi yang mendorong dia ingin
menyingkirkan diriku?
Pikiran orang seperti bentuk awan di langit, sukar
ditebak wujudnya. Hingga kini, tidak seorang pun mengetahui kenapa dia berbuat begitu. Tetapi menurut
berita yang berhasil saya kumpulkan, pengkhianatan
Mayeda didorong oleh bekas istri ayah Anda.
Bekas istri ayahku?
Benar.
Ayahku mempunyai istri dua puluh jumlahnya.
Tazumi.
Tazumi? Bagaimana kau dapat mengatakan hal
itu?
Sudah lama terjalin hubungan asmara antara Tazumi dengan Mayeda....
Aku sukar mempercayainya.
Kebenaran kadang memang sukar dipercaya.
Aku telah memberinya puri di pinggir kota, kehidupan yang serba kecukupan, serta menempatkannya
lamatan ini.
Semua orang diam, mereka merenungkan kata-kata
junjungannya. Semua orang tak ingin kehilangan satu
patah kata pun.
Sekarang sesudah selamat dari pembantaian, seharusnya kita cepat-cepat kembali ke Suruga untuk
menghimpun kekuatan. Tetapi nyatanya, sampai saat
ini saya tak pernah memberikan perintah untuk kembali. Kenapa? Tentu ada sebabnya. Kita sekarang berada di tengah kepungan musuh. Nobunaga di belakang, Tokugawa di samping kanan, dan Mayeda Toyotomi menghadang di depan.
Beberapa orang terperanjat mendengar pidato itu.
Terutama ketika Imagawa menyebut nama Mayeda
Toyotomi.
Menurut informasi yang kudengar, pada waktu kita
berangkat menuju Kamakura, sesungguhnya Mayeda
Toyotomi merencanakan niat jahat untuk menyergapku. Dia telah mengirimkan sejumlah samurai untuk memasuki Kamakura jauh sebelum kedatanganku.
Bahkan menurut kabar, Mayeda telah menyusupkan
pengikutnya ke dalam pasukan pengawalku. Tentu saja aku tidak akan mempercayai begitu saja informasi
ini.
Imagawa berhenti bicara. Ia menatap para samurai
di depannya. Beberapa samurai tampak saling memandang.
Kalian sudah mengetahui watakku, lanjut Imagawa lagi. Aku tidak menyukai pertumpahan darah. Aku
pun tidak menyukai pembalasan dendam. Satusatunya keinginanku hanyalah hidup tentram bersama
keluarga dan di tengah sahabat-sahabat setia. Itu sebabnya, aku selama ini membebaskan Mayeda untuk
mengurus pemerintahan di Suruga. Sejarah negeri kita
yang penuh kekejaman, ingin segera kutinggalkan. Ki-
Koroku kaget melihat reaksi teman-temannya. Semua anggota penyusup ternyata tampak bersujud.
Enam orang yang lainnya telah tewas dalam pembantaian di Kamakura.
Apabila Tuanku memerintahkan kami seppuku,
sebagai penebusan dosa, kami siap untuk membelah
perut kami sebagai bukti penyesalan. Tetapi apabila
Yang Mulia mengizinkan kami kembali mengabdi, maka terimalah sumpah setia kami untuk Yang Mulia Imagawa.
Bukankah sudah kukatakan aku bukan seorang
pendendam? kata Imagawa dengan suara mantap.
Karena itu, sesuai sumpahku, kalian semua kumaafkan dan kuterima sebagai abdiku.
Sambil bersujud serempak, keempat belas samurai
itu berkata, Terima kasih, Yang Mulia.
Namun karena kalian telah melakukan kesalahan,
aku wajib memberi hukuman, bukan?
Benar, Yang Mulia.
Hukuman kalian harus dijalani sampai aku mencabutnya. Mulai hari ini kalian menjadi pasukan terdepan dari tentaraku. Kalian yang akan memimpinku
kembali ke Suruga.
***
Seusai pertemuan siang itu, Imagawa mengundang Saburo Mishima ke gubuk persembunyiannya. Selama ini
sudah terjalin persahabatan yang sangat akrab antara
keduanya. Imagawa masih ingat dengan jelas beberapa
tahun lalu Saburo telah memimpin pasukan Ashikaga
menyelamatkan wilayahnya. Sekarang, secara tak terduga, lelaki itu pun meloloskan dirinya dari maut. Kenyataan ini membuat Imagawa menaruh hormat pada
Saburo. Mereka sering duduk sambil berbincang-bincang tentang keadaan yang mereka hadapi. Imagawa
secara tidak langsung telah mengangkat Saburo sebagai penasihat militernya. Apabila ada sesuatu yang
akan ia lakukan, ia selalu terlebih dulu membicarakannya dengan panglima Ashikaga itu.
Saburo datang ke gubuk Imagawa begitu kurir memanggilnya. Ketika datang, Saburo melihat Imagawa
sedang duduk di dekat perapian sambil minum sake.
Aku ingin minta pendapatmu mengenai rencanaku
mengirim orang ke Suruga, kata Imagawa tanpa tekanan. Sebelum memutuskan untuk kembali ke sana,
aku ingin mengetahui secara pasti keadaan Suruga.
Tetapi karena saat ini, menurut perkiraan kita, Mayeda
Toyotomi telah mengambil alih kekuasaan, tentu saja
dia akan hati-hati menerima kurir yang kukirimkan.
Menurut pendapatmu, siapa orang yang paling tepat
kukirim ke sana?
Saburo diam sejurus, lalu menjawab, Koroku.
Imagawa terperanjat. Koroku?
Benar, Yang Mulia. Dia saat ini telah menjadi pengikut paling setia. Sebagai samurai sejati, Koroku tidak
akan melanggar sumpahnya. Karena pengingkaran
sumpah hanya akan membuat ia tercemar.
Tetapi apakah tidak berbahaya mengirim dia menjumpai Mayeda?
Justru sebaliknya. Koroku akan menjadi matamata terbaik yang kita miliki.
Baiklah kalau begitu, aku akan mengirimnya ke
Suruga.
Saburo membungkukkan badan untuk mohon diri,
tetapi Imagawa berkata, Satu hal lagi, Saburo.
Ya, Yang Mulia.
Di mana sekarang putra Ashikaga?
Dia berada di Kamakura.
Di Kamakura?
Benar, Yang Mulia.
BINGKISAN BERHARGA
NOBUNAGA berdiri merapat di dinding, sementara Naoko terus menciumi tubuhnya. Lelaki itu mendesah
nikmat. Ia menyukai permainan baru kekasihnya. Kini
Naoko selalu menggumulinya sambil berdiri. Caranya
mencumbu memberikan sensasi baru. Ketika Naoko
mempermainkan lidahnya, Nobunaga merasakan seluruh tubuhnya mengejang, seakan ada sesuatu yang
akan meledak di dalam dirinya.
Dengan penuh perasaan, Naoko menciumi dada Nobunaga. Menggigit dada lelaki itu hingga lelaki tersebut
mendesis. Lalu pelan-pelan ia bergerak ke bawah, dengan gaya menakjubkan wanita tersebut terus merangsang kekasihnya.
Oh, nikmat sekali, desis Nobunaga sambil memegang kepala Naoko, lalu menekannya rapat ke tubuhnya.
Naoko justru menarik kepalanya. Seketika Nobunaga mendesis.
Oh, Naoko, jangan membuatku tersiksa.
Engkau diam. Nikmati saja.
Kemudian dengan agresif Naoko mulai mencumbu
lagi. Kian lama kian cepat. Seperti botol yang tersum-
Tetapi dukungan rakyat yang kuat akan terus menambah kekuatannya. Bila saja Mayeda berhasil memobilisasi rakyat, maka bukan mustahil kita akan
menghadapi seratus ribu tentara Suruga.
Persiapan terus dijalankan dengan penuh semangat. Suasana di Kamakura menjadi menegangkan.
Kesibukan terasa meningkat.
Bapa Lao dan Kojiro terus mengamati perkembangan itu. Mereka hanya bisa menduga-duga apa yang
bakal dilakukan Nobunaga.
Sebuah serangan besar-besaran, kata Kojiro menduga. Ia senang setiap hari dapat menyaksikan ribuan
prajurit berbaris menuju dataran Sekigahara.
Kemungkinan Nobunaga akan kalah, kata Bapa
Lao datar.
Kalah? Kojiro heran dengan jalan pikiran pendeta
itu. Bagaimana mungkin mereka akan kalah dengan
kekuatan yang demikian besar?
Satu hal yang tidak diketahui Nobunaga, berapa
kekuatan lawan. Suatu pasukan yang akan menyerang
ke kedudukan lawan, ia harus terlebih dulu mengetahui kekuatan musuh. Tanpa pengetahuan itu, dia hanya akan mengorbankan prajuritnya, dan mati konyol
seperti Konishiwa.
Bapa seperti seorang jenderal saja lagaknya.
Aku memang seorang jenderal.
Ha?
Bapa Lao tersenyum, lalu melanjutkan, Jenderal
bagi diriku sendiri....
Huh! Kojiro mendecih.
Tetapi sebaiknya nanti kita buktikan saja teoriku,
Koyama.
Aku memang ingin membuktikannya.
Kalau begitu, mari sekarang kita mencari sake untuk menghangatkan perut.
PENGIRIMAN UTUSAN
DENGAN didampingi Saburo Mishima, Imagawa memanggil Koroku. Lelaki tersebut datang bergegas, lalu
bersujud.
Koroku, kata Imagawa tanpa tekanan.
Ya, Yang Mulia.
Hari ini aku akan meminta engkau melaksanakan
perintah yang agak sulit.
Mitsuko datang.
Hamba menunggu perintah, Yang Mulia.
Mitsuko, aku ingin meminta engkau kembali ke
Suruga.
Apa yang harus hamba lakukan di sana?
Kembalilah ke Suruga, dan sebarkan berita bahwa
saat ini Oda Nobunaga tengah menghimpun tiga puluh
ribu prajurit untuk menggempur Suruga. Tambahkan
pula dalam berita yang kausebarkan, betapa hebat peralatan perang mereka.
Selama Imagawa memberikan penjelasan atas perintah yang diberikan pada Mitsuko, Saburo Mishima hanya diam saja. Tetapi benaknya terus berputar mencoba
menelaah jalan pikiran Imagawa. Dari semua uraian
penguasa Suruga itu, Saburo diam-diam mengaguminya. Dengan cara menyebar mata-mata, Imagawa
terbukti tengah merancang suatu peperangan yang hebat, meski tanpa pasukan. Di dalam benak Saburo, terbayang suatu peperangan yang tengah dikendalikan dari jarak jauh oleh Imagawa. Ini sesuatu yang hebat, dan
Saburo ingin membuktikannya di kemudian hari.
***
Pada malam hari, langit seperti kain terpal hitam digantungkan di atas jagat raya. Bulan yang berwarna kuning
telur, merangkak di antara awan. Ribuan bintang bertaburan di langit. Sementara unggas dan binatang malam
berbunyi bersahutan. Kunang-kunang beterbangan,
menjadi garis-garis cahaya yang menakjubkan.
Saburo Mishima berjalan mendekati gubuk Konishita. Ia melihat Mayumi sedang menjerang air. Gadis
itu melihat padanya, lalu tersenyum. Meskipun senyum itu hanya tampak sekilas, namun perasaan Saburo tiba-tiba bergetar hebat. Belum pernah ia rasakan
getaran seperti itu. Bahkan tidak juga ketika pertama
daan di sekitarnya. Matanya berkerjap-kerjap, mencoba melawan udara dingin. Pakaian lelaki tersebut serba hitam, hanya terbuka pada bagian matanya. Kedua
kakinya dibungkus pakaian panjang ketat, lalu sandal
jerami berwarna hitam. Sepintas orang dengan mudah
menebak bahwa lelaki tersebut seorang ninja.
Ketika sampai di depan pintu bangunan paling besar, lelaki itu mengeluarkan naginata (pedang panjang)
dari sarungnya. Bilah pedang tersebut berkilauan tertimpa sinar lampu. Dengan bergegas lelaki itu menaiki
anak tangga, lalu menyelinap ke balik dinding di samping rumah itu. Dengan hati-hati ia mencongkel daun
jendela, lalu melompat ke dalam.
Ruangan utama rumah itu luas membentang. Keadaannya gelap. Lampu yang tergantung di atas ruangan tersebut, tampak memantulkan cahaya lampu
dari luar. Ruangan itu sunyi. Tak tampak seorang pun
berada di sana. Murid-murid Perguruan Nagakute sedang berada di perkemahan Sekigahara. Nobunaga telah memerintahkan semua samurai perguruan berlatih
perang di Sekigahara untuk menghadapi rencana serbuan dari Saito Dozan, penguasa propinsi Mino. Dengan pelan, lelaki tersebut menaiki anak tangga menuju ke lantai dua. Tangannya yang dibungkus sarung
kulit digerak-gerakkan agar terasa lebih enak menggenggam hulu pedangnya.
Tanpa menimbulkan suara, laki-laki tersebut membuka pintu kamar di lantai dua. Di kamar itu, ia melihat dua orang tidur sambil berdekapan. Cahaya lampu
berwarna kuning membuat kedua orang itu tampak
damai.
Laki-laki itu dengan dingin mulai menebas kedua
orang yang tengah tertidur lelap itu. Suara jeritan terdengar ketika pedang lelaki tersebut menembus punggung laki-laki yang sedang pulas itu. Suara jeritannya
membangunkan perempuan di sampingnya. Ketika perempuan tersebut terbangun, pedang di tangan lelaki
itu menebas tenggorokannya. Darah menyembur ke
ranjang, kepala wanita tersebut hampir terpenggal. Seperti membawa dendam kesumat lelaki itu melanjutkan pembantaian dengan kejam. Ia menikam dan
memenggal-menggal tubuh kedua korbannya dengan
darah dingin. Darah mengalir seperti anak sungai
membasahi seluruh lantai.
Sesudah puas menghabisi korbannya, lelaki itu melemparkan pedangnya ke lantai, kemudian berlari keluar.
***
BENIH-BENIH CINTA
KIYOSU, tahun 1606.
Banteng itu berputar, kemudian dengan posisi siap
menanduk, ia berlari menyongsong lawannya. Terdengar suara berderak ketika kedua kepala banteng tersebut beradu. Darah mengucur di tanah. Debu berkepul, sementara kaki-kaki banteng tersebut mencengkeram tanah. Arena adu banteng seluas dua puluh
hektar itu gegap gempita oleh tepuk tangan yang membahana. Puluhan orang mengibar-ngibarkan bendera
warna kuning dan merah untuk membakar gairah kedua binatang untuk saling membunuh.
Tiga orang yang menjadi pemandu adu banteng itu
mulai menggiring kedua binatang agar kembali bertarung.
Adu banteng merupakan tradisi yang sudah berusia
ratusan tahun di Jepang. Dahulu hanya kaisar yang
menyelenggarakan pertarungan banteng, tetapi sekarang, beberapa shogun turut mengadakannya. Perta-
dan bahagia?
Kau keliru, Mayumi, jawab Akechi murung. Lelaki
itu seperti menyesali diri sendiri. Kekayaan, harta, kekuasaan, tak pernah membuatku bahagia. Justru di
sini aku merasakan tekanan batin yang sangat berat.
Karena setiap saat, setiap detik, kulihat dengan mata
kepalaku sendiri rakyat Jepang sengsara karena tindakan ayahku. Kau bisa bayangkan orang memikul
dosa ayahnya? Aku ini orangnya.
Soal itu juga yang membuat Tuan Muda kemarin
bertengkar dengan Tuan Nobunaga?
Akechi menatap Mayumi kaget. Oh, kau sudah
mengetahui peristiwa terkutuk itu? tanyanya murung.
Ya, memang soal ini juga, ditambah soal lainnya.
Bolehkah saya mengetahui?
Bagus, puji Akechi gembira. Kau mempunyai bakat seperti Akemi, istri Hirohito, dia juga wanita yang
berani dan berpikiran maju, sambung Akechi. Soal
pribadi, aku tak ingin mengatakan padamu. Belum
saatnya. Yang terang ayahku tidak menyukai tindakanku saat ini, sama seperti aku tidak menyukai tindakannya. Ia mengatakan para pejuang Owari sebagai
orang-orang kelaparan. Kukatakan terus terang bahwa
dialah sesungguhnya yang kelaparan, karena setiap
hari menghisap darah rakyat Jepang. Dia sangat marah, sehingga bermaksud membunuhku. Akechi berhenti sejenak. Matanya berkaca-kaca. Sebenarnya
aku sudah siap dibunuh, ujarnya lirih. Suaranya bergetar. Tetapi tak kusangka ibuku mencoba melindungiku. Ia tertebas di bahunya.
Mayumi terharu. Istri Nobunaga benar-benar seorang ibu sejati. Ini ia katakan terus terang, Ibu Anda
sudah menjalankan kehormatan sebagai seorang wanita.
Ya, jawab Akechi lirih. Dia memang ibuku, lan-
jutnya datar. Kemudian, Aku tidak tahu apakah Nobunaga itu bapakku atau bukan. Orang tua itu benarbenar laknat!
Sesudah berkata begitu, Akechi bangkit. Ia memerangi perasaannya. Kemudian pergi.
Mayumi termangu. Kali ini ia sudah memasuki kisah baru yang tak ia ketahui bakal membawa dirinya
ke mana. Seperti arus sungai yang coklat, ia terbenam
di dalamnya. Tak bisa ia lihat ujung alirannya, namun
ia terseret tanpa mengetahui apa bakal nasibnya.
***
Okehazama, 26 Agustus 1596.
Rumah yang biasa dipakai melaksanakan persidangan penuh sesak. Udara gerah membuat orang-orang
mendengus karena panas. Jaksa berjalan ke tengah
ruangan. Wajahnya yang bulat seperti jambu bol tampak berkeringat. Di kursi terdakwa duduk seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya yang tampan tak mampu menyembunyikan kegelisahan dalam jiwanya. Nama lelaki itu Yukio Hasegawa.
Hasegawa, benarkah ini pedang Anda?
Benar.
Benarkah pada malam terbunuhnya keluarga Hirata Anda datang ke rumahnya?
Benar. Tetapi saya datang pukul tujuh malam untuk menemui tunangan saya.
Siapakah yang bisa membuktikan Anda datang pada waktu itu?
Misako. Tunangan saya.
Jam berapa Anda pulang?
Pukul delapan.
Ke mana Anda saat itu?
Saya pulang.
Siapakah yang dapat membuktikan bahwa saat itu
Anda pulang?
Hasegawa terdiam. Ia tahu tak mungkin menjawab
pertanyaan itu. Tidak seorang pun dapat menjadi saksi
atas jawabannya.
Saya seorang pria bujangan, Tuan Jaksa. Saya
tinggal sendirian di rumah itu, akhirnya ia mencoba
menjelaskan.
Apakah tidak ada pembantu di rumah Anda?
Tidak. Tiga orang pembantu saya pulang ke rumah
setiap hari. Tidak ada yang menginap.
Jaksa penuntut itu berdiri berkacak pinggang. Wajahnya memancarkan kegembiraan karena yakin akan
memenangkan persidangan itu.
Di mana Anda menyimpan pedang Anda, Tuan Hasegawa?
Di laci di dekat tempat tidur.
Siapa saja yang mengetahui Anda menyimpan pedang di sana?
Hasegawa terdiam. Hanya saya, akhirnya dia menjawab lemah.
Hanya Anda?
Ya.
Jadi Anda mengakui pada malam itu Anda pulang
untuk mengambil pedang kemudian....
Keberatan! kata pembela Hasegawa sambil berdiri.
Jaksa tidak sedang bertanya, tetapi langsung menjatuhkan vonis, Yang Mulia.
Hakim berkata, Keberatan diterima. Jaksa penuntut sebaiknya tidak menggunakan pertanyaan itu.
Baiklah, Yang Mulia. Kalau begitu saya ingin mengubah pertanyaan pada terdakwa, kata jaksa tersebut
sambil melangkah mendekati Yukio Hasegawa. Hasegawa, kapan terakhir Anda memakai pedang itu?
Dua hari sebelum terjadinya pembunuhan.
Di mana Anda memakainya?
RENCANA PERKAWINAN
ODA NOBUNAGA waktu itu adalah seorang lelaki yang
menguasai dataran di wilayah Osaki dan Okehazama.
Ia membawahi perkebunan tebu sangat luas berikut
pabrik gulanya. Hampir tujuh tahun ia berkuasa sebagai penguasa wilayah itu, sehingga kekuasaannya demikian menakutkan, dan telah membuatnya jadi kaya
raya. Kekuasaan Nobunaga di Osaki dan Okehazama,
dapat disamakan dengan kekuasaan para gubernur di
Jepang.
Pada akhir tahun 1607 Jenderal Eiko Okada datang
ke Okehazama. Terjadi kesibukan. Atas perintah gubernur, jalan sepanjang Osaki ke Okehazama dibersihkan. Dan semua pembesar daerah menyambut di jalan. Eiko Okada pernah bekerja selama enam belas tahun di Okehazama sebelum pulang ke Kiyoto.
Eiko Okada orangnya besar dan tegap. Memiliki kepribadian yang mengesankan. Senyumnya tak pernah
tertinggal apabila sedang berbicara. Ia mengendarai
kereta warna hitam. Seorang pencatat sejarah ikut
bersamanya. Pembesar itu berhenti sebentar di Okehazama, menyaksikan kerajinan tenun dan keramik.
Mayumi sedang membuat keramik, bersama puluhan orang yang khusus didatangkan dari Sofu. Salah
seorang dari rombongan itu menegurnya, Mayumi,
Mayumi menoleh terkejut. Aku teman Akechi, sam-
pala.
Ada apa? tanya ayahnya sambil menggoncang bahunya. Kau melihat apa? Katakan, Mayumi.
Ayah tidak akan percaya, kata Mayumi.
Katakan dulu persoalannya.
Saya melihat Tuan Muda Akechi.
Ha?
Dia dipukul memakai pacul.
Di mana?
Saya tidak tahu, kata Mayumi. Kemudian ia ceritakan penglihatannya tentang pembakaran kebun tebu.
Dia pasti terluka, Mayumi mengakhiri cerita.
Ayahnya membelai-belai rambutnya. Diam, merenung, kemudian bangkit, Kau terlalu lelah, Mayumi.
Dan terlalu membayangkan Tuan Muda. Makanya jangan terlalu erat bergaul dengannya. Berbahaya! Kita
tidak tahu cara mereka memikat wanita.
Tetapi benar aku melihat dia. Saya tidak tidur.
Saya tidak bermimpi.
Sudahlah, lupakan saja, kata ayahnya kalem.
Semua akibat kau terlalu memikirkannya.
Mayumi diam. Menggigit bibir, diterangkan pun percuma. Siapa yang bakal mempercayai keajaiban yang
ia alami. Tak ada.
Seminggu sejak peristiwa itu, laki-laki yang mengaku sahabat Akechi datang. Ia meminta Mayumi mengeluarkan buku-buku dari bawah ranjang, kemudian
mencari catatan perjalanan Akechi. Ia terlalu serius
sehingga tak sempat memperkenalkan namanya.
Bagaimana kabar Tuan Muda? Mayumi bertanya
di sela pekerjaan.
Masih dirawat.
Akibat kerusuhan di perkebunan itu?
Ya, jawabnya pendek. Tapi kemudian ia terkejut.
He, kau tahu dari mana ada kerusuhan di perkebu-
Kenapa tidak? Minggu yang lalu Eiko Okada membicarakan rencana pendidikan bagi kaum tani. Menurut rencana sejumlah anak petani akan dikirim ke Cina. Eiko Okada akan memperjuangkan rencana itu lewat Yang Mulia Yoshiaki.
Anak-anak petani akan mendapat sekolah?
Ya.
Sekolah apa?
Apa saja; hukum, politik, kesenian atau pendidikan
khusus untuk wanita.
Kedengarannya sangat menyenangkan.
Tak ada bedanya, Mayumi. Anak petani pun harus
mendapatkan pendidikan yang baik. Kau pernah bersekolah?
Ya, sebentar.
Di mana?
Sekolah rendah
Baru sekolah rendah kau sudah secerdas ini, bagaimana kalau kau bisa melanjutkan ke sekolah tinggi,
apa Jepang tak akan goncang?
Mayumi tersipu. Lelaki itu bangkit, ia memberi
Mayumi uang satu kan. Kemudian dengan langkah lebar ia pergi.
Di dekat jendela Mayumi termenung. Anak petani
akan berlayar ke Cina. Sungguh membanggakan. Kalau semua kaum wanita mendapatkan kesempatan seperti itu, Mayumi orang pertama yang bakal tunjuk jari. Tapi nanti dulu, kalau benar semua kaum wanita
diberi pendidikan, apa bakal jadinya dengan Jepang?
***
Angin sore berhembus agak kencang. Membawa gerimis tipis. Mendung di langit pun tidak setebal kain
terpal. Bahkan warna biru di langit masih kelihatan
transparan.
guasa setempat. Masih ditambah pekerjaan mendayagunakan hutan jati. Sesudah semua pekerjaan selesai,
mereka masih harus menyetorkan hasil penebangan itu.
Tanpa bayar! Hanya memperoleh pembagian tanah,
yang sukar digarap karena waktunya habis untuk kepentingan penguasa. Sistem perekonomian itu juga diterapkan oleh perkebunan tebu. Tanah disewa dari rakyat dengan cara memaksa, melalui kepala desa atau
para daimyo.
Kalau zaman tanam paksa pemerintah mengganti penarikan pajak dengan kerja paksa, sekarang sebaliknya. Ishikawa telah menghapus tanah milik petani, tetapi membayar sewa dan membayar tenaga kerjanya,
meskipun sangat murah. Padahal Anda tahu, pabrik gula membutuhkan tanah sangat luas, dan buruh sangat
banyak. Akibatnya petani tak berdaya melawan kekuasaan pabrik gula. Mereka diperas tanpa ampun.
Perkebunan dan pabrik gula berakibat majunya produksi gula, tetapi juga keterbelakangan petani kecil.
Unsur terakhir ini merupakan penindasan, dan saya kira bisa mengakibatkan perlawanan kuli tebu. Ingat bukan? Tahun 1573 di Osaki berlangsung pemogokan kuli
tebu karena rendahnya upah. Saya kira protes itu dapat
berkembang menjadi pemberontakan! Kita lihat saja.
Semboyan ketentraman dan ketaatan sebenarnya telah ditipukan, karena petani taat lantaran banyaknya
tukang pukul. Mereka selalu membuat teror sehingga
petani takut melawan. Tetapi hal ini tinggal menunggu
saat dan pimpinan.
Oh ya, Tuan-tuan, di tempat yang saya singgahi banyak sekali terjadi peristiwa kejahatan. Perampokan
merajalela. Saya rasa ini gelagat yang pantas disimak,
sudah ada benih keresahan sosial. Menurut firasat
saya, awal abad ke-16 nanti bakal terjadi revolusi. Ini
tak akan terbendung. Apakah Tuan-tuan tidak melihat
rasa kalian sudah saling mengenal, dan masing-masing bukan orang lain.
Engkau tahu, Mayumi, sambung ayahnya datar.
Calon suamimu sudah tamat dari sekolah tinggi. Dan
sebentar lagi akan bekerja di sini. Kukira engkau tak
bakal kelaparan mempunyai seorang suami sebagai
pegawai pemerintah, ia berhenti sebentar. Engkau
tahu kenapa ayah buru-buru menemui pamanmu sesudah mendengar kabar Yukio Kogasaki lulus? Ayah
kuatir dia diserobot gadis lain. Tentu banyak yang
menghendaki menantu seorang yang punya jabatan di
pemerintah.
Paman dan ayah Mayumi tertawa bersama. Terbersit rasa bangga berlebihan pada keberhasilan Yukio
Kogasaki. Mayumi tetap menekuri lantai, tak berani
mengangkat muka.
Bagaimana pendapatmu, Yukio Kogasaki? pamannya menambah. Kau tidak menolak jika kunikahkan
dengan Mayumi, bukan?
Saya hanya menurut, katanya. Semua saya serahkan ayah dan paman bagaimana baiknya.
Lalu engkau, Mayumi?
Saya... saya, Mayumi gagap. Saya belum siap.
Belum siap bagaimana? ayahnya tersentak.
Saya... saya masih belum ingin menikah.
Ayahnya tertawa. Sementara napas Mayumi terengah mengendalikan keberanian. Anak perempuan
berumur enam belas tahun belum siap menikah, itu
baru kau yang mengatakan, kata ayahnya masih dengan sisa ketawa. Setahun lagi kau sudah perawan
tua, sambungnya. Sedang putra kaisar saja menikah
dalam umur enam belas, bagaimana kau bisa mengatakan belum siap? Apalagi yang kautunggu? Ingat, Mayumi, engkau anak perempuan.
Ayah tidak marah kalau saya mengatakan?
Tuan Hasegawa, kata Jaksa penuntut dengan suara lantang. Lelaki itu berjalan mendekati kursi terdakwa. Anda mengatakan sesudah pulang pukul tujuh
malam itu, tidak pergi kemana-mana lagi. Benarkah
begitu?
Ya.
Jaksa itu menuju ke mejanya, lalu membuka-buka
berkas perkara di tangannya.
Di dalam berkas kesaksian ini tercantum bahwa
pada pukul menjelang tengah malam, Anda datang
kembali ke kamar Nona Misako. Apakah Anda menyangkal kesaksian ini?
Yukio Hasegawa terdiam seketika. Ia menghela napas panjang. Tak pernah ia bayangkan, Misako bakal
memberikan kesaksian yang menyudutkannya.
Benarkah Anda datang menemui tunangan Anda
pada tengah malam itu?
Hasegawa menghela napas, lalu menjawab, Benar.
Seketika terdengar sorak-sorai pengunjung, sehingga hakim terpaksa memukul meja beberapa kali untuk
menghentikannya. Beberapa orang mengumpat dan
memaki Yukio Hasegawa atas jawaban itu.
Pembunuh!
Biadab!
Jaksa penuntut tersenyum tipis. Wajahnya semakin
bersinar-sinar karena merasa kian yakin bakal memenangkan perkara itu.
Jaksa itu kembali mengajukan pertanyaan, Menjelang tengah malam Anda datang ke rumah tunangan
Anda, untuk apa?
Sekadar menemuinya.
Sekadar menemuinya?
Ya.
Pada tengah malam?
Ya.
Bohong! Anda telah berbohong! sergap jaksa penuntut umum itu menggeram. Di dalam berkas ini
tercantum kesaksian Nona Misako bahwa malam itu
Anda datang pada tengah malam bukan sekadar untuk
menemuinya, tetapi Anda telah mengajaknya bercinta.
Apakah Anda akan menyangkal kesaksiannya?
Yukio Hasegawa terdiam. Lalu menjawab lemah, sangat lemah, Tidak.
Sekali lagi pengunjung berteriak-teriak dan mengumpat Yukio Hasegawa. Orang-orang memaki dengan
penuh kebencian.
Jadi Anda malam itu menemui tunangan Anda dengan penuh kemesraan membisikkan rencana perkawinan. Sesudah itu pulang bergegas, mengambil pedang, lalu dengan darah dingin membunuh sampai
mati kedua orang tua tunangan Anda. Beberapa jam
setelah itu, dengan napsu menggelora, Anda pindah ke
kamar tunangan Anda untuk bercinta. Benar-benar
rangkaian cerita yang luar biasa. Hanya pembunuh
berdarah dingin yang dapat melakukan perbuatan terkutuk itu. Karena itu dengan segala hormat pada hukum serta keadilan, saya menuntut agar hakim menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa. Terima kasih.
Orang-orang bersorak-sorai. Yukio Hasegawa secara
samar-samar mendengar umpatan-umpatan yang ditujukan padanya. Dengan hati hancur ia mencoba menoleh, mencari tunangannya, ternyata bangku itu telah
kosong. Misako telah pergi.
***
matkan diri.
Tetapi bagaimana kalau Ayah justru dituduh sebagai pencurinya?
Kita akan terangkan sejujur-jujurnya.
Ayah ingat, Tuan Nobunaga dalam keadaan kalut.
Bisa saja dia mengambil keputusan keliru. Lagi pula
dia sedang membenci Tuan Muda, salah-salah Ayah dituduh bersekongkol dengan Tuan Muda....
Ayah Mayumi terpaku. Resah. Gelisah. Seribu haru
biru melintas di matanya. Ia membisu sesaat lamanya.
Kita bisa membakarnya, ujar Matsuhide lirih. Tetapi itu pun sangat mencurigakan. Abu dan asapnya
bisa menarik perhatian. Jangan. Jangan dibakar! Kita
bisa mudah ditangkap.
Lagi pula bagaimana kalau Tuan Muda menanyakan barang-barangnya?
Ya, karena itu jangan kita bakar. Bagaimana kalau
kita kubur saja di kebun?
Buku itu akan membusuk, kata Mayumi mencegah. Tiba-tiba Mayumi menyadari ayahnya sudah
demikian panik. Saya mempunyai usul kalau Ayah setuju, lanjutnya perlahan. Kita titipkan di rumah Yukio Kogasaki.
Ya, itu bagus! ujar ayahnya girang. Di sana pasti
aman. Tetapi bagaimana caranya membawa ke sana?
Itu yang harus kita pikirkan.
Karena tak ada pilihan lain, ayahnya setuju membawa buku-buku Akechi ke rumah Yukio Kogasaki.
Caranya: kereta kuda yang akan dipergunakan membawa barang-barang itu dipenuhi daun tebu kering.
Mereka berjalan pada malam hari. Di beberapa pos
penjagaan, ayah Mayumi berkeringat dingin. Samurai
yang berjaga di batas desa menusuk-nusuk tumpukan
daun tebu itu dengan pedang. Untung selamat. Mereka
diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Di luar desa,
belum pindah ke Okehazama kita tinggal di sini. Apakah engkau menyukai rumah ini?
Mayumi tersenyum. Kemudian mengangguk terpaksa.
Baru seminggu yang lalu aku membeli kereta dan
kuda itu, kata Yukio Kogasaki sambil menunjuk keretanya di istal. Rencanaku akan kuperbaiki agar dapat
kita pakai merayakan perkawinan kita. Kuharap tidak
terlalu mengecewakan dirimu.
Mayumi menggelengkan kepala.
Ketika pulang, kegelisahan menerkam jiwa Mayumi.
Betapa jauh pikiran Yukio Kogasaki tentang perkawinan dengannya. Padahal sedikit pun Mayumi belum
memikirkannya.
Mayumi sendiri justru merasa risau. Orang-orang
itu dianggapnya tak mengetahui isi hatinya. Betapa luka perasaannya memikirkan kenyataan getir itu. Citacitanya yang melambung ke langit seakan terpangkas
beliung, terpenggal, patah di tanah. Perkawinan dengan Yukio Kogasaki pasti akan menjadi penjara dalam kehidupannya.
Sepanjang jalan Mayumi hanya diam. Tak terasa
matanya berkaca-kaca. Pohon tebu, gelagah, kuli-kuli,
dan suara gerobak pengangkut tebu tampak di pinggir
jalan. Mereka semua seakan tengah menjalani nasib
dengan membisu.
Tiba-tiba tangannya gemetar, bahunya bergetar,
matanya terbuka, dan di bola matanya sesuatu sedang
terjadi:
Tuan Muda Akechi sedang duduk di samping pembaringan ibunya. Di sisi lain terlihat sahabatnya, lelaki
yang pernah datang ke rumah Mayumi. Mereka terlibat
pembicaraan serius. Meskipun bahu Akechi masih dibalut, dan tangan kirinya digendong, ia tampak berpikir serius. Matanya yang cerdas tampak bersungguh-
sungguh. Sahabatnya seperti tengah menerangkan sesuatu, sementara ibu Akechi menghapus air mata.
Mayumi tak tahu air mata kesedihan atau kegembiraan.
Sekonyong-konyong mereka bangkit karena pintu
terbuka dari luar. Tiga orang samurai menerobos masuk. Topinya yang lebar tidak dibuka. Di belakangnya
muncul samurai pemimpin lengkap dengan apaulet
dan pedang di pinggang. Ia berkata-kata sebentar dengan Akechi, setelah itu memberikan surat. Akechi
membaca, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi murung, sementara sahabatnya berusaha mencegah dengan memberi alasan pada lelaki berapaulet itu. Tetapi
semua sia-sia, Mayumi melihat penangkapan itu tetap
dilaksanakan. Istri Nobunaga menangis, dan sahabat
yang baik itu memeluk perempuan tersebut sambil
membelai rambutnya.
Akechi digelandang keluar, sementara samurai itu
bergegas meninggalkan ruangan itu.
Mayumi masih dapat melihat Akechi berjalan sambil
menunduk.
Sudah sampai, kata Sato tiba-tiba mengejutkan
Mayumi.
Mayumi terhenyak. Matanya berkedip. Gambar Akechi seketika hilang. Segera ia turun.
***
Paginya, sekitar pukul sembilan, ayah Mayumi datang
bersama laki-laki yang tak dikenal oleh Mayumi. Tanpa
meminta persetujuannya, laki-laki tersebut masuk ke
kamar Mayumi. Di depan pintu ia komat-kamit membaca mantra, kemudian memanggil Matsuhide dan Mayumi.
Siapa namanya? suara lelaki itu terdengar parau.
Akechi, jawab ayah Mayumi.
kata laki-laki itu. Anak muda itu akan celaka. Aku tadi sudah menikam rohnya dengan lidi. Dia dapat meninggal.
Oh! Mayumi memekik terkejut.
Sudahlah. Semua sudah berlalu, kata ayahnya
sambil memeluk Mayumi. Engkau sudah kembali kemari.
Tetapi aku tak ingin Tuan Muda celaka.
Engkau tak akan mengatakan hal itu besok pagi.
Kamarmu telah kuisi dengan penolak guna-guna.
Tiga hari Mayumi tak dapat melupakan peristiwa
buruk itu. Sebagai perempuan petani, mau tak mau ia
was-was dengan tindakan tersebut. Lelaki itu meminta
agar dia melupakan Akechi. Kalau benar ia berhasil
mencelakakan Akechi, dua kali Mayumi merasa bersalah pada pemuda tersebut.
Kejadian silih berganti: lamaran Yukio Kogasaki,
penangkapan Akechi, dan dukun ayahnya, semua seakan membuat syaraf Mayumi terentang kencang. Rasanya mau putus.
***
Okehazama, 23 Desember 1598.
Ruang pengadilan terasa membeku ketika hakim
memasuki ruang sidang. Wajahnya yang membeku tak
menggambarkan ekspresi apa pun. Sinar matanya tetap dingin, mirip pemain kabuki yang harus menampilkan peran penuh kewibawaan.
Semenit berikutnya, iring-iringan dewan hakim memasuki ruang sidang. Kedua belas dewan hakim itu
pun melangkah seperti pemeran drama yang tengah
menuju panggung. Semua membisu, seakan menyembunyikan gejolak dalam dirinya.
Ketika semua dewan hakim telah duduk, hakim itu
mengetukkan palu sebagai pertanda sidang dibuka.
***
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel