! " # $ %
Sonny Ogawa
Populer Post
Home Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat
Pendekar Buta
'
Grow Your MLM Team Today
Get Your Free Copy Of Network Marketing Secrets
And Discover How To Grow Your Sales Team.
Network Marketing Secrets Open
SATU
Tak biasanya, Bukit Tunjang di pagi ini terselimut kabut
tebal. Sehingga tempat itu bagaikan tertindih gumpalan
awan besar yang turun ke bumi. Memang bukit yang mirip
seperti sebuah gunung kecil itu setiap hari senantiasa
terselimut kabut. Namun kabut yang menyelimutinya saat
ini lebih tebal dan pekat. Bahkan hampir menutupi sebagian
desa yang berada di kakinya. Sehingga dalam keadaan
begini, tak seorang penduduk pun yang berani keluar jauh-
jauh dari rumah. Mereka lebih suka berkerudung sarung di
dalam rumah, berkumpul dengan anak istri.
Sebenarnya bukan hanya kabut saja yang membuat Bukit
Tunjang kelihatan angker. Tetapi, ada hal lain yang lebih
mengerikan! Di lereng-lereng bukit yang luas dan lebar,
banyak dihuni binatang-binatang berbisa beraneka ragam.
Apalagi di sekitar kaki bukit juga masih dipenuhi semak
belukar, serta pepohonan tinggi yang menyimpan perangkap
maut berupa rawa terapung, sumur-sumur yang dalamnya
tak terukur, serta kubangan pasir yang bisa menyedot apa
saja bila masuk ke dalamnya.
Brosss...!
Sing! Sing!
Crappp!
"Aaa...!"
Sring...!
Crasss!
"Aaakh...!"
"Tolong...! Tolooong...!"
"Hih?!"
Tras!
Werrr!
Crasss, crasss!
"Hop...! Hop...!"
Swing...!
"Heh?!"
"Hup...!"
"Uts!"
"Yeaaa..!"
Melihat hal itu, salah seorang dari tiga orang yang baru
datang itu membantu dengan memegang kedua kaki
Sukmajaya. Kini, Sukmajaya berhasil menjulurkan ujung
kayu di tangan kanannya. Dan Gumanda langsung
menangkapnya erat-erat. Kemudian perlahan-lahan dua
orang yang memegangi kaki Sukmajaya menariknya, hingga
Gumanda terbebas dari perangkap alam. Laki-laki
bercambang bauk itu segera naik, dan langsung terduduk
lesu, dibersihkan seluruh rubuhnya yang kotor. Sedangkan
napasnya terengah-engah menghirup udara sebanyak-
banyaknya.
"Kalian ikut kami!" ujar salah seorang dari tiga orang yang
baru datang, ketika Gumanda telah membersihkan seluruh
tubuhnya.
"Mari ikut kami!" ajak orang itu lagi sambil berjalan hati-hati.
********************
Orang tua itu berpakaian bersih dan rapi, terbuat dari sutera
halus. Rambut panjangnya yang sebagian telah memutih,
digelung. Di pinggangnya terselip sebuah suling berwarna
keemasan. Sedangkan di tangan kanannya terdapat sebuah
kipas yang terkembang. Dan sesekali kipas itu menyapu
wajahnya seperti ingin menyejukkan diri dari sengatan
matahari. Dengan mamakai alas kaki dari kulit, orang tua itu
tiba di Desa Kedung Legok. Tangan kirinya yang tadi
membawa buntalan di pundak, kini diturunkan ke bawah.
Tak heran kalau orang itu kini telah tiba di Desa Kedung Sari.
Di situ pun, dia bertemu beberapa orang penduduk desa
yang tengah berdagang. Mereka merasa heran, melihat
orang tua yang renta dan kelihatan sangat lemah, malah
ingin menuju Bukit Tunjang. Padahal bukit itu selama ini
amat ditakuti penduduk desa di sekitarnya.
********************
Orang tua berpakaian putih bersih itu kini telah tiba di kaki
Bukit Tunjang. Dia berhenti sesaat, sambil memandang
bukit yang menjulang bagai gunung itu. Mendadak
kepalanya menoleh ketika melihat dua orang pemburu
hendak pulang ke desa yang tak jauh dari kaki bukit itu.
Yang seorang menenteng dua ekor ayam hutan. Sedangkan
kawannya membawa seekor pelanduk yang cukup besar
dan gemuk. Mereka saling berpapasan. dan kedua pemburu
itu tersenyum.
"Kenapa?"
"Karta, tungguuu...!"
********************
DUA
Ser, ser!
"Hup!"
"Tak usah banyak tanya kalau kau ingin selamat! Heh? Apa
yang kau bawa itu?!" sentak laki-laki berkumis tebal itu,
galak.
"Heh?!"
"Yeaaa!"
Tap!
Krek!
Begkh!
"Aaakh!"
"Heh?!"
"Hup!"
Prak!
"Aaa...!"
"Hiyaaa...!"
Wuk! Wukkk!
Trak!
Desss!
"Aaa...!"
"Ha ha ha.. ! Dasar besar mulut! Kau pikir bisa berbuat apa
terhadapku!" dengus orang tua itu, sinis.
Prakkk!
"Aaakh...!"
"Heh? Tak usah memaki! Ayo, serang terus!" ejek orang tua
itu.
Tak! Tak!
"Aaakh...!"
Trak!
Brettt!
"Aaakh!"
Trak!
Dan belum juga bisa menarik napas lega, orang tua itu
harus melompat ke atas untuk menghindar dari tebasan
golok lain yang mengarah ke punggungnya. Bersamaan
dengan itu, kedua kakinya langsung melepaskan tendangan
secara bersamaan, ke arah dada kiri kedua lawan yang
berada di depan.
Degkh!
Desss!
Crasss!
"Apa hakmu bicara seperti itu?" sahut orang tua itu, balik
bertanya.
Sring!
"Yeaaa...!"
Wut! Wut!
"Uts...!"
Trak!
"Hiyaaa...!"
Jrosss!
"Aaa...!"
Brettt...!
"Wuaaa...! Aaa!"
Tentu saja hal itu membuat para penghadang yang lain jadi
terkejut setengah mati. Mereka tahu betul kalau ketiga
orang itu memiliki kepandaian tak rendah. Namun dalam
waktu singkat, tubuh mereka sudah terkapar hanya sekali
gebrak saja. Tapi Kala Gundil cepat bertindak, segera
diperintahkannya anak buahnya untuk langsung meringkus
orang tua itu. Namun sebelum mereka bergerak menyerang,
tiba-tiba...
"Hentikan...!"
TIGA
"Ta... tapi..."
"Heh?! Tahukah kau, siapa orang ini?!" potong Durganda
dengan mata mendelik garang.
"Ha ha ha...! Kali ini akan kita singkirkan pendekar busuk itu.
Setelah apa yang dilakukannya pada dua kawanku hingga
mereka tewas sia-sia, kini tiba giliran dia untuk mampus!"
desis Ki Sanjaya sambil tertawa terbahak-bahak.
********************
"Gusti Prabu! Kata orang, sinar mata tak bisa bohong dan
mampu menggambarkan sifat dan isi hatinya. Meskipun,
wajahnya dibuat semanis mungkin," sahut Paman Lanang
ber]lsafat.
"Hm, ya. Memang benar apa yang Paman katakan itu. Lalu,
bagaimanakah kita menafsirkan isi hati manusia yang tak
mempunyai biji mata itu?" Rangga balik bertanya sambil
tersenyum kecil.
"Apa tak ada jalan pintas agar bisa tiba secepatnya ke sana?
Aku khawatir, penyakit Pandan Wangi semakin memburuk,"
tanya Rangga agak mendesah.
"Tidak. Aku lebih suka melakukan hal ini sendiri. Ini adalah
persoalan pribadi. Maka, aku harus menyelesaikannya
seorang diri. Kecuali bila menyangkut negara. Maka, sudah
barang tentu kalian akan ku ikutsertakan," tegas Rangga.
Paman Lanang tak berkata apa-apa lagi. Memang jawaban
Pendekar Rajawali Sakti barusan sulit untuk dibantah.
Namun mendadak pemuda berbaju rompi putih itu
memandang ke satu arah dengan penuh perhatian.
Air mata wanita itu sudah bergulir satu demi satu di pipinya.
Namun begitu harga dirinya sebagai seorang wanita akan
terjamah, mendadak...
"Heh?!"
Tap!
"Hih!"
Brakkk!
"Aaakh!"
Diegkh!
"Aaakh...!"
Trang!
"Hup!"
Desss!
"Aaakh!"
Perampok yang terhantam perutnya langsung menjerit
kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke tanah beberapa
langkah, dan terus bergulingan. Begitu bangkit berdiri
perutnya yang terasa akan meledak terkena hantaman keras
tadi langsung didekap dengan tangannya.
Trang!
Dug!
"Ukh...!"
Plakkk!
"Ukh!"
Crasss!
"Aaakh...!"
Tak!
Pak!
Prakkk!
"Aaakh...!"
EMPAT
"Desa kami tak begitu jauh dari sini!" kata Bharata sambil
menaikkan istrinya ke dalam gerobak yang ditarik seekor
kuda. Dia sendiri pun kemudian melompat naik, dan mulai
menghela kudanya perlahan-lahan.
"Kalian sudah mempunyai putra atau putri?" tanya Rangga,
seraya naik ke atas kudanya di samping gerobak itu.
Sebentar kemudian, kuda hitamnya digebah perlahan-lahan.
********************
"Oaaa.... Oaaa...!"
"Oaaa...! Oaaa...!"
"Uts...!"
Duk!
"Aaa...!"
"Kakang...!"
Set!
Werrr...!
"He, kurang ajar!"
"Hup!"
Tas! Tas!
LIMA
Bet! Bet!
"Uts...!"
Sring!
Dengan gerakan laksana kilat, Nini Anting, mencabut sebilah
pedangnya. Dan seketika di sambarnya perut laki-laki kurus
itu tanpa dapat dihindari lagi.
Brettt!
"Aaa...!"
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
"Aaakh...!"
Trang! Trang!
Cras! Cras!
Trang! Trang!
Trang!
"Heh?!"
"Dan kau, tua bangka bau tanah?!" ledek Nini Anting pada
laki-laki tua yang memang Ki Sanjaya.
"Seperti yang kau lihat, Nenek Genit! Aku baik-baik saja dan
tak kurang sesuatu apa pun," sahut Ki Sanjaya sambil
mengipas-ngipas wajahnya.
Wukkk...!
"Uts!"
"Yeaaa...!"
********************
Tiga Setan Bukit Tunjang serta kedua orang tua itu duduk
bersila di ruangan besar yang berada dalam bangunan
mewah itu. Di atas meja mereka, telah tersedia hidangan
lezat beraneka ragam, serta arak yang harum baunya.
"Heh?!"
ENAM
"Zzzsss...!"
Mendadak saja ratusan ekor ular itu kini berbalik arah dan
terlihat semakin galak. Lidah mereka menjulur berkali-kali
dengan sorot mata memancar tajam berkilat. Dan yang
lebih mengejutkan lagi, ular-ular itu kini menyerang Ki
Sanjaya, Nini Anting, serta Tiga Setan Bukit Tunjang. Karuan
saja kelima orang itu tersentak. Dan tentu saja mereka
segera bertindak.
"Hiiih!"
Tes! Tes!
"Rangga…”
"Benar."
"Dan kau mengatakan pernah ke istana kerajaan?"
"Ya...."
"Pernah bertemu Gusti Prabu?"
"Pernah..."
"Terima kasih...."
"Bisa atau tidak, kau harus datang ke sana!" sahut orang itu
lagi menegaskan.
"Apa maksudmu?!"
"Tapi, Gusti..."
********************
TUJUH
********************
"Paman, kita tak bisa mendaki bukit ini dengan berkuda ..."
kata Rangga pelan.
"Lalu...?" tanya Paman Lanang.
"Heaaa...!"
Set! Set!
"Hup...!"
"Yeaaa...!"
"Hup...!"
Tes...!
"Hentikan...!"
"Bicaralah apa saja yang kau suka. Tapi yang jelas, kau telah
masuk perangkap kami. Kau boleh berbangga diri dengan
mengatakan kalau datang ke bukit ini secara mudah. Tapi,
kini kau tak mempunyai jalan keluarnya!" sahut Durganda
dingin.
"Hiyaaa...!"
Trak! Trak...!"
"Yeaaa...!"
Beberapa buah golok dan mata pedang menderu
menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Kendati sedikit
terkesiap, namun Pendekar Rajawali Sakti masih sempat
menyelamatkan diri dengan menjatuhkan diri ke tanah.
Tubuhnya terus bergulingan sesaat, kemudian melenting
ringan ke arah mereka sambil mengayunkan ranting di
tangan.
"Hiiih!"
Wuk! Wuk
Cras! Cras!
"Yeaaa...!"
Mendadak di antara hiruk-pikuk para pengeroyoknya,
Rangga merasakan angin serangan dahsyat ke arahnya.
Maka buru-buru rantingnya diayunkan untuk memapak,
tapi...
Tes! Tes!
DELAPAN
Plakkk!
Bugkh!
"Berhenti...!"
"Bocah busuk! Hari ini kau tak akan lolos dari kematian!"
geram perempuan tua yang memang Nini Anting dengan
sinar mata penuh kebencian.
"Siapa kau. Dan, kenapa kau begitu mendendam padaku?"
tanya Rangga berusaha bersikap tenang.
"Hm... Kalau tak salah, kalian adalah tiga dari Lima Datuk
Sesat, bukan?" tanya Rangga, tenang.
"Sanca kunyuk sial! Diam kau! Kau pikir aku suka basa basi
segala. He, Bocah! Lihat serangan...!" Nini Anting yang sejak
tadi sudah gemas, tiba tiba langsung saja menyerang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Enak saja kalian berdua! Aku pun ingin ikut mencicipi
sekerat dagingnya untuk anak buahku!" sahut Ki Sanca
Manuk seraya menempelkan tongkatnya ke bibir. Dan itu
dilakukan sambil menerjang ke arah Rangga.
"Yeaaa...!"
Bet! Bet..!
Ketiga datuk sesat itu agaknya tak mau kepalang tanggung
lagi. Dan mereka sudah langsung mengerahkan tingkat
kepandaian yang tertinggi untuk menghajar Pendekar
Rajawali Sakti. Sehingga, dalam waktu singkat saja Rangga
sudah terdesak hebat. Pertarungan berjalan tak seimbang.
Namun dengan pengerahan lima dari rangkaian jurus
'Rajawali Sakti" yang dipadukan, sampai saat ini Pendekar
Rajawali Sakti masih mampu bertahan.
Brettt...!
"Akh...!"
Seraaang...!"
Cras!
Cras!
Bret!
"Aaa...!"
Bersamaan dengan itu, Tiga Datuk Sesat itu pun seperti tak
mau kehilangan kesempatan untuk menyerang secara
bergantian, mencari bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali
Sakti yang mematikan.
Trang!
Cras!
"Aaa...!"
Blarrr...!
"Aaa...!"
"Yeaaa...!"
Twang! Twang!
Trak! Tras!
Glarrr...!
"Aaa..! Aaakh...!"
Maka saat itu juga seluruh anak buah Tiga Setan Bukit
Tunjang bersiap memanah pemuda itu. Namun belum juga
mereka melepaskan anak panah, tiba-tiba...
"Aaa...! Aaa...!"
"Heh?!"
"Terus seraaang..."
SELESAI
Memburu
Pengkhianat
sonnyogawa.com
Pusaka Pantai
Selatan
sonnyogawa.com
Dendam Membara
sonnyogawa.com
Serial Pendekar
Naga Putih
sonnyogawa.com
Wanita Iblis
sonnyogawa.com
Gerhana Darah
Biru
sonnyogawa.com