Anda di halaman 1dari 114

About Contact Privacy Disclaimer Daftar isi

! " # $ %
Sonny Ogawa

Cersil Tempat Seputar Artikel &


Online Hiburan Wisata Islam Umum Placement

Populer Post
Home Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat

Cersil Silat Online Karya Kho


Ping Hoo

Pendekar Buta

Jaka Lola Jilid 01

Iblis Wajah Seribu

Cerita Silat Online Pendekar


Rajawali Sakti

Tentang Sebuah Pertanyaan

Pembalasan Iblis Sesat Tanda-tandanya wanita jatuh


cinta

Published by Sonny Ogawa 24 October 2017 Pertarungan Di Bukit Setan

Cerita Silat Pendekar Kapak


Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng

Serial Pendekar Naga Putih

'
Grow Your MLM Team Today
Get Your Free Copy Of Network Marketing Secrets
And Discover How To Grow Your Sales Team.
Network Marketing Secrets Open

Pendekar Rajawali Sakti


PEMBALASAN IBLIS SESAT

SATU
Tak biasanya, Bukit Tunjang di pagi ini terselimut kabut
tebal. Sehingga tempat itu bagaikan tertindih gumpalan
awan besar yang turun ke bumi. Memang bukit yang mirip
seperti sebuah gunung kecil itu setiap hari senantiasa
terselimut kabut. Namun kabut yang menyelimutinya saat
ini lebih tebal dan pekat. Bahkan hampir menutupi sebagian
desa yang berada di kakinya. Sehingga dalam keadaan
begini, tak seorang penduduk pun yang berani keluar jauh-
jauh dari rumah. Mereka lebih suka berkerudung sarung di
dalam rumah, berkumpul dengan anak istri.
Sebenarnya bukan hanya kabut saja yang membuat Bukit
Tunjang kelihatan angker. Tetapi, ada hal lain yang lebih
mengerikan! Di lereng-lereng bukit yang luas dan lebar,
banyak dihuni binatang-binatang berbisa beraneka ragam.
Apalagi di sekitar kaki bukit juga masih dipenuhi semak
belukar, serta pepohonan tinggi yang menyimpan perangkap
ma​ut berupa rawa terapung, sumur-sumur yang dalamnya
tak terukur, serta kubangan pasir yang bisa menyedot apa
saja bila masuk ke dalamnya.

Di tengah keangkeran itu, tampak lima orang bertubuh besar


dan bertampang seram seperti tak mempedulikan keadaan
sekitarnya. Mereka terus berlari ke arah Bukit Tunjang
sambil sesekali menoleh ke belakang.

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita telah berada cukup


jauh dari mereka!" kata salah seorang yang memiliki
cambang bauk cukup tebal. Dia sering dipanggil dengan
nama Gumanda. Sebuah senjata golok, tampak terselip di
pinggang kirinya.

"Ya! Kurasa demikian," sahut kawannya yang berikat kepala


merah. Laki-laki yang mata kirinya picak ini bernama
Rumaksa.

"Huh! Suatu saat, kita harus balas perlakuan mereka! Akan


kupecahkan batok kepalanya!" geram yang bertubuh agak
pendek dan berperut sedikit gendut. Namanya, Kalingka.

"Benar! Aku pun ingin sekali menghancurkan perguruan


yang sok pahlawan kesiangan itu. Tunggu saja pembalasan
kita Lima Rampok Hutan Gundul akan kembali untuk
menghancurkan dan membumihanguskan Perguruan Watu
Digul keparat itu!" timpal laki-laki yang bersenjatakan
pedang di punggung. Dia bertubuh lebih besar dari keempat
ka​wannya, dan sering dipanggil dengan nama Danang.

Sedangkan seorang lagi yang oleh kawan-kawannya


dipanggil Sukmajaya, hanya diam membisu. Sepertinya, ada
sesuatu yang tengah dipikirkan. Mendadak Sukmajaya
berhenti, ketika mereka telah berada di kaki bukit itu.

"Kawan-kawan! Sebaiknya kita berhenti dulu!" ujar


Sukmajaya, sambil memandang ke sekeliling dengan
tatapan curiga.

"Kenapa, Sukmajaya? Apakah kau mencurigai sesuatu?"


tanya Danang, dengan wajah dalam.

"Entahlah! Suasana di sini sangat sepi. Aku tak yakin kalau


tempat ini aman bagi kita. Sepertinya, ada bahaya yang
mengintai dari tempat tersembunyi!" desis Sukmajaya,
masih tetap memandang ke sekeliling tempat itu dengan
wajah curiga.

"Alaaah! Kau penakut sekali!" sentak Kalingka. Laki-laki


bertubuh paling pendek itu lalu melompat ke depan, dan
mengajak kawan-kawannya untuk terus maju.

"Betul! Apa yang mesti dikhawatirkan? Di atas sana banyak


berkumpul kawan kita yang lain. Mana mungkin mereka
mau mencelakakan kita!" teriak Gumanda, menyokong usul
kawannya.

"Jangan...!" teriak Sukmajaya memperingatkan, namun


terlambat. Ternyata dua dari Lima Rampok Hutan Gundul itu
sudah menerobos semak belukar tinggi di depan. Maka
mendadak...

Brosss...!

"Hei, apa ini?! Tolooong...! Tolooong, aku tak bisa keluar!"


teriak Kalingka, kalap ketika kedua kakinya menginjak rawa
terapung. Dan kakinya terus melesak hingga ke betis.

Hal yang sama juga menimpa Gumanda. Mere​ka berteriak-


teriak ketakutan, seraya menggerak-gerakkan tubuh untuk
bisa keluar dari rawa tera​pung yang dipijak. Namun semakin
cepat bergerak, tubuh mereka semakin melesak ke dalam.

"Kalingka...! Gumanda...! Jangan bergerak! Aku akan


menolong kalian! ' teriak Danang mulai ikut-ikutan kalap.

Laki-laki bertubuh paling besar itu menoleh ke kanan dan


kiri. Dan ketika melihat seutas tali kayu yang tergantung di
bawah cabang sebuah pohon, tanpa pikir panjang lagi
ditariknya. Namun...

Sing! Sing!

"Awaaas...!" teriak Sukmajaya memperingatkan.

Memang, tiba-tiba saja beberapa buah bambu runcing


sebesar jari tangan melesat kencang ke arah mereka bagai
lesatan anak panah begitu Danang menarik tali yang
menjuntai di pohon.

Sukmajaya terus melompat menghindar dari serangan gelap


dan terus bergulingan ke kiri. Namun, malang bagi Danang
yang terlambat menyelamatkan diri. Ternyata salah satu
bambu run​cing itu lebih cepat menembus dada kirinya
hingga kepunggung.

Crappp!
"Aaa...!"

Danang kontan menjerit setinggi langit dan tubuhnya


langsung ambruk ke tanah dengan kulit mulai membiru.
Agaknya, bambu runcing itu telah dibubuhi racun ganas di
seluruh batangnya.

"Danaaang...!" Sukmajaya terkejut bukan main dan


bermaksud menghampiri kawannya. Namun....

"Sukma! Aku... aku...," rintih Rumaksa rintih, sambil


menutupi lengan kiri yang ternyata juga terserempet salah
satu bambu beracun itu.

Rumaksa...!" kembali Sukmajaya tersentak, dan buru-buru


mengalihkan perhatian ke arah Ru​maksa.

Sring...!

Sukmajaya langsung mencabut goloknya. Seketika,


ditebasnya lengan kawannya pada pangkalnya.

Crasss!
"Aaakh...!"

Rumaksa menjerit kesakitan sambil menggigit bibirnya.

"Maaf, Kawan. Aku tak punya pilihan lagi un​tuk


menyelamatkanmu. Bambu itu mengandung racun ganas...,"
keluh Sukmajaya sambil merobek bajunya untuk mengikat
luka di lengan Rumaksa. Dan baru saja Sukmajaya selesai
mengikat lengan Rumaksa, mendadak...

"Tolong...! Tolooong...!"
"Hih?!"

Sukmajaya mulai gelagapan ketika Kalingka dan Gumanda


telah terbenam sampai sebatas leher. Mereka semakin kalut
dan terus bergerak-gerak melepaskan diri dari sedotan rawa
terapung itu.

"Tunggu sebentar!" teriak Sukmajaya, seraya meninggalkan


Rumaksa. Dan matanya langsung mencari-cari sesuatu
untuk menolong kedua kawannya.

Ketika melihat sebuah cabang pohon yang panjang tak jauh


dari tempatnya berdiri, Sukmajaya mendekatinya. Dan
dengan hati-hati sekali diperhatikan cabang pohon itu. Dia
khawatir disitu terdapat jebakan. Tak lama kemudian...

Tras!

Dengan cepat Sukmajaya menebas cabang itu dengan


goloknya. Tapi bersamaan dengan itu...

Werrr!

Tiba-tiba melesat dua ekor ular pohon berwarna hijau


sebesar jempol kaki ke arahnya. Sukma​jaya yang sejak tadi
telah bersiaga langsung mengayunkan goloknya.

Crasss, crasss!

Sekali tebas saja putuslah tubuh ular-ular itu. Namun baru


saja bermaksud akan menolong kawannya...
"Wuaaa…!" Tiba-tiba Rumaksa menjerit keras.

"Celaka! Kalajengking beracun!" desis Sukma​jaya, geram.

Memang di tubuh Rumaksa telah dipenuhi ka​lajengking


berwarna hitam berkilat, yang memiliki racun amat dahsyat.

Tubuh Rumaksa berguling-gulingan ke sana kemari, sambil


mengibas-ngibaskan sebelah tangannya ke seluruh tubuh
untuk mengusir kalajengking-kalajengking beracun itu.
Sukmajaya bermaksud menolong. Namun belum lagi berlari
lima langkah, tubuh Rumaksa terjerumus ke dalam semak
belukar dan terus terperosok ke sebuah sumur yang dalam.
Sumur itu sendiri semula tak terlihat, karena permukaannya
dipenuhi gerumbulan semak.

"Rumaksaaa...!" pekik Sukmajaya.

Laki-laki itu berusaha menangkap lengan Ru​maksa yang


terjulur ke atas, namun terlambat. Nyatanya, tubuh Rumaksa
telah meluncur deras ke bawah.

"To.... Blep! Hop..., hop!"

Kembali Sukmajaya dibuat terkejut mendengar jeritan


tertahan kedua kawannya yang masih terpe​rosok ke dalam
rawa terapung. Bahkan tubuh Ka​lingka telah lenyap tanpa
bekas. Memang sejak tadi dialah yang paling kalap dan
terus bergerak-gerak. Sehingga, lumpur di bawahnya terus
menyedot kencang tubuhnya. Sedangkan tubuh Gumanda
sudah terbenam sebatas hidung. Dicobanya mendongakkan
wajah ke atas, sambil bergerak-gerak pelan memberi tanda
pada Sukmajaya.
"Gumanda! Jangan banyak bergerak! Tangkap ujung kayu
ini!" teriak Sukmajaya sambil menjulurkan kayu yang sudah
ada di tangannya.

"Hop...! Hop...!"

Gumdanda berusaha meraih sekuat tenaga ujung kayu itu


yang dijulurkan Sukmajaya. Me​mang, ujung kayu itu kurang
setengah jengkal lagi dari jangkauan tangannya. Namun,
mendadak pada saat itu melesat tiga sosok tubuh ke
tempat itu. Bahkan salah seorang langsung melemparkan
senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil ke arah Sukmajaya.

Swing...!
"Heh?!"

Bukan main terkejutnya Sukmajaya melihatnya. Buru-buru


dia melompat, sambil mengibaskan kayu yang dipegangnya
ke arah pisau pisau itu.

"Hup...!"
"Uts!"

Beberapa buah berhasil dihantam dan rontok seketika,


sementara sisanya dapat dihindari dengan lompatannya.
Namun dalam keadaan begitu, salah seorang langsung
melompat menyerang.

"Yeaaa..!"

"Tunggu! Tunggu dulu! Kami ingin bertemu Ti​ga Setan Bukit


Tunjang untuk bergabung dengannya!" teriak Sukmajaya,
mencoba menjelaskan. Dan dia terus berkelit, menghindari
serangan berikut.

Tiga orang itu langsung menghentikan serang​an, dan


memandang ke arah Sukmajaya dengan seksama. Dan
kesempatan itu digunakan Sukmaja​ya untuk kembali
menjelaskan maksud kedatangan​nya ke sini.

"Kami berlima dijuluki sebagai Lima Rampok Hutan Gundul.


Kedatangan kami ke sini, untuk bergabung dengan Tiga
Setan Bukit Tunjang. Namun kami telah mendapat kesulitan,
seperti yang kau saksikan tiga orang temanku telah tewas.
Hanya dia dan aku yang masih hidup," Sukmajaya lalu
menunjuk ke arah Gumanda." Tolonglah kawanku. Dia
hampir tenggelam dan kehabisan napas...."

Wajah Sukmajaya semakin memelas ketika melihat tubuh


Gumanda hampir terbenam sebatas dahi. Namun, kedua
tangannya masih bergerak-gerak.

Ketiga orang itu tak menjawab, dan hanya menganggukkan


kepala. Hal itu sudah cukup bagi Sukmajaya untuk bertindak
menyelamatkan Gu​manda. Namun seperti tadi, ujung kayu
itu hanya tinggal sedikit lagi menyentuh tangan Gumanda.
Kalau tadi kawannya bisa melihat dan berusaha menggapai,
tapi kini tak tahu dan tak bisa mendengar teriakan
Sukmajaya yang memerintahkan agar meraih ujung kayu
yang dijulurkannya.

Melihat hal itu, salah seorang dari tiga orang yang baru
datang itu membantu dengan memegang kedua kaki
Sukmajaya. Kini, Sukmajaya berhasil menjulurkan ujung
kayu di tangan kanannya. Dan Gumanda langsung
menangkapnya erat-erat. Kemudian perlahan-lahan dua
orang yang memegangi kaki Sukmajaya menariknya, hingga
Gumanda terbebas dari perangkap alam. Laki-laki
bercambang bauk itu segera naik, dan langsung terduduk
lesu, dibersihkan seluruh rubuhnya yang kotor. Sedangkan
napasnya terengah-engah menghirup udara sebanyak-
banyaknya.

"Kalian ikut kami!" ujar salah seorang dari tiga orang yang
baru datang, ketika Gumanda telah membersihkan seluruh
tubuhnya.

"Ke mana?" tanya Sukmajaya.

"Bukankah kalian ingin bergabung dengan Tiga Setan Bukit


Tunjang?"

"Ah, iya! lya...!" sahut Sukmajaya dan Guman​da


bersemangat.

"Mari ikut kami!" ajak orang itu lagi sambil berjalan hati-hati.

Sukmajaya dan Gumanda langsung bangkit. Sukmajaya


memapah tubuh kawannya yang masih lemah. Dan
bersama ketiga orang itu mereka kini aman dari perangkap
alam maupun yang sengaja dibuat para penghuni Bukit
Tunjang!

********************

Siang hari kabut di Bukit Tunjang mulai berkurang. Tapi,


tetap saja penduduk di sekitar bukit itu enggan keluar
rumah. Kalaupun ada, barangkali hanya untuk memeriksa
sawah ladang ini. Dan siang makin tergelincir, matahari
perlahan-lahan bergerak ke barat, mengiringi langkah seo​-
rang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun ke arah Bukit
Tunjang.

Orang tua itu berpakaian bersih dan rapi, terbuat dari sutera
halus. Rambut panjangnya yang sebagian telah memutih,
digelung. Di pinggangnya terselip sebuah suling berwarna
keemasan. Sedangkan di tangan kanannya terdapat sebuah
kipas yang terkembang. Dan sesekali kipas itu menyapu
wajahnya seperti ingin menyejukkan diri dari sengatan
matahari. Dengan mamakai alas kaki dari kulit, orang tua itu
tiba di Desa Kedung Legok. Tangan kirinya yang tadi
membawa buntalan di pundak, kini diturunkan ke bawah.

Beberapa orang desa yang melihat orang tua itu, merasa


heran. Masalahnya daerah mereka me​mang jarang dilalui
orang tua seperti laki-laki itu.

"Kisanak! Akan ke manakah tujuanmu?" sapa seorang


penduduk Desa Kedung Legok ramah.

Orang tua itu seketika menghentikan langkahnya, lalu


tersenyum.

"Aku hendak ke Bukit Tunjang..." jawab orang tua itu, tenang.

Bukan main kagetnya penduduk Desa Kedung Legok ini


ketika mendengar jawaban orang tua itu.

"Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu ke sana!" lanjut


orang itu kemudian.

"Hm .... Memangnya kenapa?"

"Tempat itu sangat berbahaya. Kau akan celaka nantinya!'


jelas penduduk desa itu cemas.
Tapi orang tua itu hanya tersenyum kecil, lalu melanjutkan
perjalanannya.

"Hm.... Orang tua itu barangkali sudah sinting! Berani-


beraninya dia mendaki Bukit Tunjang. Hm... Pasti dia akan
menemui ajal di sana...," lanjut penduduk desa itu sambil
menggeleng-geleng.

Penduduk desa itu membalikkan tubuhnya sesaat, untuk


kembali ke dalam rumahnya. Namun, hatinya masih ada
rasa kasihan terhadap orang tua tadi, sehingga
membuatnya kembali berpaling. Ta​pi...

"Hei?! Ke mana orang tua tadi? Kok tiba-tiba menghilang?


Mustahil dia mampu berlari secepat itu! Wah, jangan-jangan
dia hantu Bukit Tunjang yang sedang berkeliaran!" seru
orang itu dengan tubuh menggigil. Maka, buru-buru dia
masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya erat-erat.

Orang tua itu sendiri kelihatannya berjalan santai saja. Tapi


siapa sangka kalau ternyata dia mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang telah begitu tinggi. Tubuhnya
telah melesat jauh meninggalkan Desa Kedung Legok tanpa
seorang pun yang tahu.

Tak heran kalau orang itu kini telah tiba di Desa Kedung Sari.
Di situ pun, dia bertemu beberapa orang penduduk desa
yang tengah berdagang. Me​reka merasa heran, melihat
orang tua yang renta dan kelihatan sangat lemah, malah
ingin menuju Bukit Tunjang. Padahal bukit itu selama ini
amat ditakuti penduduk desa di sekitarnya.

"Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu untuk mendaki


bukit itu. Kau hanya akan mengantarkan nyawa percuma
saja?!" cegah salah seorang penduduk desa Kedung Sari,
karena merasa kasi​han.

"Hm.... Begitukah?" tanya orang tua itu tenang, disertai


senyum kecil. Sedangkan kipasnya terus bergerak-gerak
menyapu wajahnya.

"Di sana banyak berkumpul perampok ganas dan orang


buronan kerajaan. Dan bukan hanya itu saja. Di sana juga
banyak perangkap maut yang mengincar jiwa kita setiap
saat!" jelas orang itu.

Orang tua itu tak menyahut, tapi malah mengangguk-angguk


kecil. Setelah mengucapkan terima kasih, dia langsung
melenggang kembali tanpa mempedulikan kekhawatiran
orang itu. Mulanya, orang desa itu hanya menggelengkan
kepala. Dia menduga, orang tua itu pasti sudah bosan
hidup. Barangkali hatinya tertekan, lalu ingin bunuh diri di
Bukit Tunjang.

"Heh?! Sungguh gila! Tidak salahkan penglihatanku?!" desis


orang itu terkejut. Betapa tidak? Ternyata orang tua itu telah
melesat jauh bagai anak panah dalam sekejap. Pen​duduk
desa itu mengucek-ngucek matanya, seperti ingin
meyakinkan penglihatannya.

********************

Orang tua berpakaian putih bersih itu kini telah tiba di kaki
Bukit Tunjang. Dia berhenti sesaat, sam​bil memandang
bukit yang menjulang bagai gunung itu. Mendadak
kepalanya menoleh ketika melihat dua orang pemburu
hendak pulang ke desa yang tak jauh dari kaki bukit itu.
Yang seorang menenteng dua ekor ayam hutan. Sedangkan
kawannya membawa seekor pelanduk yang cukup besar
dan gemuk. Mereka saling berpapasan. dan kedua pemburu
itu tersenyum.

"Orang tua, hendak ke manakah tujuanmu?" tanya salah


seorang pemburu, ramah.

"Ke Bukit Tunjang..." sahut orang tua itu enteng.

"Apa? Ke Bukit Tunjang? Maksudmu, menda​ki bukitnya


hingga ke atas sana?" tanya pemburu itu, seperti tak
percaya.

Orang tua itu mengangguk mantap sambil ter​senyum kecil.


Sedangkan wajah kedua pemburu itu tampak kaget
bercampur heran. "Orang tua! Sebaiknya urungkan saja
niatmu! Kau hanya mencari mati saja Di sana banyak
perangkap alam yang dibuat para perampok dan buronan
yang kejam itu. Kau bisa celaka!" lanjut pem​buru itu,
melarang.

"Sungguhkah apa yang kau katakan itu?"

"Untuk apa berdusta?! Di atas sana memang tempat


berkumpul para bajingan kejam dan ganas. Mereka tak
pernah kenal ampun. Sebaiknya, urungkan saja niatmu itu.
Dan, kembali saja,” sahut pemburu itu.

Hm. Kalau begitu, perjalananmu ini tak sia-sia...." gumam


orang tua itu enteng.

"Apa maksudmu?" tanya kedua pemburu itu, nyaris


bersamaan dengan wajah kaget.
"Aku memang hendak bertemu para perampok itu," sahut
orang tua itu, tanpa terlihat takut sedikit pun. Lalu dia
segera berlalu, meninggalkan dua pemburu itu.

"Hm... Orang tua itu mungkin sudah sinting!" sesal pemburu


yang membawa ayam hutan sambil menggelengkan kepala.
Dihelanya napas panjang, ketika orang tua itu telah mulai
mendaki bukit.

"Barangkali dia memang ingin cepat-cepat mati...," sahut


kawannya yang membawa pelanduk besar.

"Ah! Sudahlah yang penting kita telah menje​laskan


bahayanya. Kalau dia nekat juga, barangkali memang sudah
nasibnya harus mati di sana. Mari kita cepat pulang."

"Iya..., eh?!" Tiba-tiba laki-laki yang membawa pelanduk


besar itu terkejut, ketika berpaling mencari orang tua itu
dengan ekor matanya.

"Kenapa?"

"Orang tua itu? Dia..., dia menghilang!" desis kawannya


dengan wajah heran.

"Ah! Jangan bergurau. Mana mungkin dia bisa menghilang


begitu saja. Pasti hanya terhalang semak-semak atau
kabut."

"Tidak! Aku melihat sendiri. Tadi dia berjalan tenang, tapi


tahu-tahu melesat kencang bagai anak panah, dan hilang
dari pandanganku."
"Paling-paling matamu saja yang sudah rusak, Karta."

"Tidak Jagur. Aku sungguh-sungguh! Mataku ini belum


lamur. Hiiih...! Barangkali dia hantu penunggu bukit ini.
Sebaiknya, kita cepat-cepat pu​lang saja, Gur!" ajak laki-laki
bernama Karta sambil berlari-lari kecil mendahului
kawannya.

Agaknya laki-laki yang dipanggil Jagur terpengaruh cerita


kawannya. Matanya langsung berpaling ke atas bukit. Dan
dengan memberanikan diri, dia mencbba berjalan tenang.
Tapi melihat Karta telah jauh di depannya, maka
ketakutannya mulai menggumpal di dadanya. Maka tanpa
berpikir panjang lagi, dia mengambil langkah seribu. Jagur
lari terbirit-birit dari tempat itu, sambil berteriak-teriak.

"Karta, tungguuu...!"

Kedua orang itu akhirnya saling kejar-mengejar, untuk


secepatnya tiba di rumah masing-masing!

********************

DUA

Sementara, orang tua berbaju putih bersih itu berhenti


sejenak, ketika kedua pemburu itu telah jauh. Tapi,
sebenarnya bukan karena itu langkahnya terhenti.
Masalahnya di depan dia melihat se​mak belukar
membentang. Memang terlihat ada jalan setapak yang
ditutupi daun-daunan kering bagai permadani coklat
menghampar. Tapi orang tua itu tak percaya. Maka
diambilnya sebuah batu yang cukup besar dan
dilemparkannya ke depan.
Brosss!

Batu itu langsung terperosok ke dalam rawa terapung dan


terus tenggelam.

"He he he...! Kalian pikir aku bisa diperdayai oleh mainan


anak kecil seperti ini?!" gumam orang tua itu.

Kemudian, orang tua itu berjalan tenang sambil memungut


kerikil-kerikil kecil yang berserakan di tanah. Beberapa kali
kerikil itu digunakan untuk mengungkap perangkap-
perangkap alam yang tersembunyi di balik semak-semak
maupun kumpulan dedaunan kering. Dalam keadaan
demikian, men​dadak bahu kanan orang tua itu menyenggol
seutas oyot pohon yang menggantung rendah. Maka saat
itu juga melesat beberapa bambu runcing beracun ke
arahnya.

Ser, ser!
"Hup!"

Orang tua berbaju putih itu cepat menundukkan tubuhnya


untuk menghindari serangan gelap itu. Kemudian ringan
sekali tubuhnya melesat ke atas salah satu cabang pohon.
Begitu mendarat, dia cepat melompat ke cabang pohon lain
hingga be​berapa kali. Tiba di suatu lereng datar dan
ditumbuhi rerumputan hijau serta pepohonan yang tak
terlalu besar, orang tua itu melompat turun. Lalu kakinya
melangkah tenang mendaki bukit. Sesekali, kipasnya
dikebut-kebutkan.

Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak


saja orang tua itu telah dihadang bebe​rapa orang berwajah
seram dengan golok terselip di pinggang. Rata-rata mereka
mengenakan baju merah. Sepintas saja, bisa dinilai kalau
orang-orang itu pasti bermaksud tak baik pada orang tua
itu.

"Orang tua! Berhenti kau!" bentak salah seo​rang yang


bertubuh besar, sambil memilin-milin kumis tebalnya.

"Hm... Siapakah kalian ini?" tanya orang tua itu, pura-pura


terkejut. Seketika langkahnya ber​henti dan memandang
mereka satu persatu. Setelah dihitung, ternyata jumlah
mereka tak kurang dari sepuluh orang.

"Tak usah banyak tanya kalau kau ingin selamat! Heh? Apa
yang kau bawa itu?!" sentak laki​-laki berkumis tebal itu,
galak.

"Buntalan ini?" tanya orang tua itu sambil menjulurkan


buntalan yang dipegang tangan kirinya.

"Tentu saja, Goblok! Apa kau pikir aku menanyakan buntalan


kepalamu?!"

"Oh... Ini isinya uang emas dan perak, serta beberapa


potong pakaian sutera halus yang nilainya amat tinggi,"
sahut orang tua itu, jujur.

Orang-orang yang tampaknya kawanan begal itu saling


berpandangan satu sama lain, Kemudian terlihat tersenyum-
senyum.

"Hm... Sulingmu bagus juga, Orang Tua. Apakah itu dari


emas juga?" tanya orang yang kepalanya gundul. Matanya
mendelik dengan wajah penuh nafsu untuk memiliki benda-
benda orang tua itu.

"Ya! Suling ini pun dari emas..."

"Orang tua, ketahuilah! Tak seorang pun yang kami biarkan


hidup bila lewat di tempat ini! Tapi karena kau jujur, maka
jiwamu ku ampuni. Hanya saja, kau harus meninggalkan
buntalan serta suling milikmu itu. Ayo, cepat!" ujar laki-laki
gundul itu bernada mengancam.

"Kenapa tidak? Tentu saja aku rela menyerahkan ini semua


jika kalian mau menjawab pertanyaan dariku," sahut orang
tua itu.

"Apa pertanyaanmu, Orang Tua?!" timpal laki-laki yang pada


telinga kirinya memakai anting-anting.

"Apakah kalian anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang?"

"Untuk apa kau bertanya seperti itu?!" dengus, yang


bercambang bauk.

"Jawab saja pertanyaanku. Kalau tidak, bukan saja tak akan


mendapatkan barang-barang berharga ini. Tapi, kepala
kalian pun akan kupecahkan semuanya!"

"Heh?!"

"Setan! Phuih! Tua bangka keparat! Tahukah kau apa artinya


kata-katamu itu tadi?!" bentak laki-laki yang memakai
anting-anting.

Dia langsung melompat ke hadapan orang tua itu, kepalan


tangannya cepat diayunkan keras ke wajah. Memang
jawaban orang tua itu amat mengejutkan mereka, sekaligus
menimbulkan kemarahan. Betapa tidak? Mereka kira, orang
tua itu sudah gila. Buktinya, dia ingin mampus berani bicara
seperti itu.

"Yeaaa!"

Begitu laki-laki yang memakai anting-anting mengayunkan


kepalan tangannya, tenang sekali orang tua itu
memindahkan kipas ke tangan kiri. Lalu telapak tangan
kanannya cepat menangkap kepalan tangan laki-laki
beranting-anting itu.

Tap!
Krek!

Terjadi peristiwa yang membuat kaget semua orang yang


berada di situ. Ternyata kepalan tangan teman mereka
kontan remuk dicengkeram orang tua itu. Dan belum lagi
habis rasa kaget mereka, tangan orang tua itu cepat
menghantam ke dada kiri.

Begkh!
"Aaakh!"

Karuan saja, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang


memakai anting-anting menjerit setinggi langit. Tubuhnya
kontan terjungkal ke tanah sejauh dua tombak dalam
keadaan tak bernyawa lagi, be​gitu tulang rusuknya di dada
dirinya remuk, hingga menusuk jantungnya.

"Heh?!"

"Orang tua keparat! Apa yang kau lakukan terhadap kawan


kami ini, heh?!" geram yang berkepala gundul dengan
amarah meluap-luap.

"Dasar tolol! Kalian pikir apa yang kulakukan tadi, heh?!"


sahut orang tua itu, tak kalah geramnya.

"Bangsat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya saja di tempat


ini. Mampuslah! Ini bagianmu! Yeaaa...!"

Dengan kalap, laki-laki gundul itu mengayunkan goloknya.


menebas leher orang tua berbaju putih itu.

"Hup!"

Sekali memiringkan tubuh golok laki-laki gundul itu lewat


beberapa rambut di depan leher orang tua ini. Seketika.
tangan kirinya langsung menangkap pergelangan tangan
yang memegang golok. Lalu, ditariknya tangan itu dengan
kekuatan tenaga dalamnya. Dan dengan kecepatan yang
sulit diikuti mata, tangan kanan orang tua itu cepat
menghantam ke arah batok kepala laki-laki gundul itu.

Prak!
"Aaa...!"

Kepala laki-laki gundul itu langsung remuk disertai jeritan


menyayat. Tubuhnya ambruk ke tanah bersimbah darah.
Seketaka dia meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi.
Hal itu tentu saja membuat yang lain menjadi geram bukan
main. Dua orang telah tewas dalam sekejap. Orang tua yang
semula dianggap lemah itu, ternyata tidak bisa dianggap
sembarangan. Dan hal itu semakin membuat kemarahan
mereka makin menyala-nyala saja.
"Kawan-kawan! Mari kita rencah orang tua ke​parat itu
bersama-sama!" teriak laki-laki bercambang bauk memberi
semangat.

"Huh! Akan kutebas batang lehernya!" timpal temannya,


geram.

Yang lainnya tak menimpali, tapi langsung menerjang orang


tua itu dengan senjata terhunus.

"Hiyaaa...!"
Wuk! Wukkk!

Golok-golok di tangan kawanan itu mendesing berkali-kali


menyambar. Namun gesit dan lincah se​kali orang tua itu
seenaknya saja menghindari tanpa kesulitan sedikit pun
Bahkan masih bisa tertawa-tawa mengejek.

"He he he...! Hanya seginikah kemampuan anak buah Tiga


Setan Bukit Tunjang itu? Hm... Benar-benar memalukan!"

"Orang tua busuk! Tutup mulutmu, sebelum kurobek mulut


besar itu!" bentak salah seorang sambil mengayunkan golok
di tangan ke wajah tua di depannya. Namun sambil
tersenyum kecil, orang tua itu cepat mengebutkan kipasnya
yang terbentang.

Trak!

Lalu dengan tiba-tiba sekali tubuh tua itu berbalik. Langsung


diayunkannya satu tendangan menggeledek, ke arah dada
kiri penyerangnya.

Desss!
"Aaa...!"

Kembali salah seorang menjerit kesakitan de​ngan tubuh


terlontar beberapa langkah. Dari mulutnya tampak
menyemburkan darah segar. Begitu tiba di tanah, orang itu
menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian diam tak
bergerak!

"Ha ha ha.. ! Dasar besar mulut! Kau pikir bisa berbuat apa
terhadapku!" dengus orang tua itu, sinis.

Tanpa menggubris perkataan orang tua itu, pa​ra penyerang


lain kembali menyerang tanpa mengenal takut. Tapi orang
tua itu agaknya mulai gemas. Dia mulai tak sabar. Kalau tadi
menunggu serangan kini dia langsung melompat memapak
serangan. Ketika seseorang membabatkan golok ke kepala
tu​buhnya cepat melenting tinggi. Gerakannya cepat bukan
main. Dan begitu berada di udara, orang tua itu cepat
menukik turun, dengan kaki tetap mengarah ke bumi.
Seketika, langsung dilepaskannya satu tendangan keras tak
terduga. Begitu cepatnya se​hingga...

Prakkk!
"Aaakh...!"

Nyawa orang yang membabatkan golok lang​sung melayang,


begitu tubuhnya ambruk di tanah.

"Bangsaaat...!" maki salah seorang lagi, geram.

"Heh? Tak usah memaki! Ayo, serang terus!" ejek orang tua
itu.

Laki-laki tua yang terus memainkan kipasnya itu tetap


terkekeh mengejek. Dan seketika, kepalanya ditundukkan,
begitu datang serangan dari belakang. Bersamaan dengan
itu ujung kipasnya juga dikebutkan ke depan untuk
menghalau lawannya yang ada di depan. Buru-buru laki laki
bertampang seram yang ada di depan melenting ke
belakang, begitu merasakan angin kibasan kipas yang kuat
bukan main.

Sementara orang tua berpakaian putih ini tak melanjutkan


serangan, karena harus menghindari sambaran golok dan
kanan dan kiri dengan membungkuk. Kemudian tubuhnya
cepat berbalik, seraya mengayunkan satu tendangan ke
belakang. Orang yang ada di belakang terkejut bukan ma​in
dan untungnya tubuhnya cepat dimiringkan, se​hingga
tendangan itu luput.

Namun, agaknya se​rangan laki-laki tua itu hanya tipuan


belaka. Karena tanpa diduga sama sekali justru yang
menjadi sasaran adalah dua orang yang berada di samping
kanan dan kiri. Dengan gerakan sangat menakjubkan, laki-
laki tua itu berputar dengan kedua kaki terbentang.
Langsung dihantamnya kedua rahang lawan sekaligus.

Tak! Tak!
"Aaakh...!"

Dua orang kembali memekik kesakitan, begitu merasakan


kalau tulang rahang mereka patah akibat tendangan tadi.
Sementara begitu habis menendang, orang tua itu sendiri
segera melompat ke atas untuk menghindari dua tebasan
golok sekaligus. Bagai seekor burung walet, tubuhnya
mengapung di udara untuk beberapa saat. Bersamaan
dengan itu salah seorang lawan melompat ke atas disertai
ayunan golok ke arah kaki.
"Hiyaaa...!"

Sebuah benturan dari dua jenis senjata tak terelakkan lagi,


begitu dengan gesit sekali orang tua itu menukik turun dan
langsung mengebutkan ki​pasnya.

Trak!

Dan belum juga orang yang mengayunkan go​lok itu


menyadari apa yang terjadi, senjata kipas orang tua ini
sudah bergerak cepat. Langsung disambamya tenggorokan
itu.

Brettt!
"Aaakh!"

Kembali satu jeritan tertahan terdengar ketika ujung kipas


orang tua itu merobek leher lawan. Bagai seekor ayam yang
disembelih, tubuh orang itu ambruk ke tanah. Dan dia tewas
beberapa saat, setelah meregang nyawa.

"Orang tua keparat! Hari ini kami akan mengadu jiwa


denganmu!" dengus salah seorang dari tiga yang tersisa.

Sedangkan orang tua berbaju putih bersih itu tenang-tenang


saja. Dia berdiri sambil mengebut-ngebutkan kipasnya ke
wajah disertai senyum kecil.

"Hm... Siapa yang sudi mengadu dengan jiwa busuk kalian?


Sebaiknya, kalian saja yang mampus. Sebab, itulah yang
pantas," sahut orang tua itu te​nang.

"Keparat sombong! Mampuslah kau! Hiyaaa...!" bentak


orang itu sambil kembali melom​pat menyerang, diikuti dua
orang kawannya.

Orang tua itu hanya menundukkan kepala, menghindari


sabetan golok ke lehernya. Sementara kipas di tangan
kanannya memapak sebuah golok lagi yang mengarah ke
pinggang.

Trak!

Orang yang goloknya terpapak kontan terjajar beberapa


tindak ke belakang dengan mulut meringis menahan sakit.
Dari benturan senjata itu, ta​ngannya terasa ngilu dan
kesemutan.

Dan belum juga bisa menarik napas lega, orang tua itu
harus melompat ke atas untuk menghindar dari tebasan
golok lain yang mengarah ke punggungnya. Bersamaan
dengan itu, kedua kakinya langsung melepaskan tendangan
secara bersamaan, ke arah dada kiri kedua lawan yang
berada di depan.

Degkh!
Desss!

Tanpa mempedulikan dua orang lawannya yang terjengkang


akibat tendangan yang dilepaskan demikian cepat, orang
tua itu cepat berbalik seraya mengayunkan ujung kipas
menyambar tenggorokan lawan di belakangnya.

Crasss!

Seketika tiga jeritan kesakitan terdengar saling susul. Kini


ketiga orang itu sudah ambruk di tanah. Sebentar mereka
kelojotan lalu mati. Memang dahsyat serangan balik orang
tua itu. Dua tendangan yang dilepaskan tadi, memang
dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Akibatnya dada
kedua orang itu kontan remuk. Sementara kibasan kipasnya
juga demikian cepat. Bahkan lawan di belakangnya tak
mampu berbuat apa-apa. Setelah merayapi sekitarnya yang
telah banjir darah, orang tua itu melangkah tenang untuk
melanjutkan perjalanannya. Seolah-olah, dia tidak pernah
berhadapan dengan kejadian yang berarti. Lantas, siapakah
orang yang kepandaiannya demi​kian tinggi ini?

Belum lagi berjalan jauh, kembali orang tua berbaju itu


dihadang sekelompok orang-orang bertampang seram.
Wajah mereka tampak beringas, bahkan lebih buas dari
orang-orang sebelumnya. Dan melihat dari gerak-geriknya,
bisa diduga kalau kepandaian mereka lebih tinggi setingkat,
dari kesepuluh lawan-lawan yang telah dikirimnya ke
akherat. Orang tua itu memandang ke sekeliling dan mulai
menghitung jumlah mereka dalam hati. Dan agaknya, para
penghadangnya juga berjumlah sepuluh!

"Orang tua! Sungguh hebat kepandaianmu itu. Siapakah kau


ini?! Dan, apa yang kau inginkan, hingga berani mendaki
Bukit Tunjang?!' bentak salah seorang yang memakai ikat
kepala merah. Tampak sekilas pedang bertengger di
punggungnya.

Orang yang membentak itu kelihatannya baru berusia


sekitar dua puluh lima tahun. Rambutnya panjang hingga ke
punggung. Kulitnya kasar ber​warna hitam kecoklatan.
Tubuhnya tegap dan berisi, dengan otot-ototnya yang
bersembulan. Bisa diperkirakan kalau tenaga dalam
pemuda itu cukup kuat. Sorot matanya tajam, dengan
sepasang alis tebal. Sikapnya kelihatan tenang ketika
melipatkan tangannya di depan dada.

"Apa hakmu bicara seperti itu?" sahut orang tua itu, balik
bertanya.

"Aku pimpinan mereka. Sebaiknya, jawab saja pertanyaanku


sebelum kesabaranku hilang!" sahut pemuda itu,
mengancam.

"He he he...! Pemuda gagah yang bersemangat. Aku suka


melihat sikapmu. Tapi ingin kutahu, sampai di mana
kemampuanmu hingga berani-beraninya memimpin mereka.
Jangan-jangan, isi perutmu hanya kotoran belaka!" lanjut
orang tua itu sambil tertawa mengejek.

"Orang tua! Jaga mulutmu! Aku sudah terlalu baik dengan


menyapamu!" dengus pemuda itu geram.

"Hm.... Ternyata kau penaik darah juga. Nah! Kalau


urusanmu ingin cepat selesai, jawablah per​tanyaanku ini.
Apakah kalian kaki tangan Tiga Setan Bukit Tunjang?"

"Keparat! Kau pikir berada di mana saat ini?! Berani benar


kau bicara seperti itu! Akulah yang seharusnya bertanya!"
bentak pemuda itu semakin geram.

"Kala Gundil! Buat apa berlama-lama dengan orang tua


sinting ini? Sebaiknya, perintahkan saja kami untuk
memenggal kepalanya saat ini juga!" timpal salah seorang
anak buah pemuda yang ternyata bernama Kala Gundil.
Amarahnya tampak sudah menggelegak dalam dada.

"He he he...! Sungguh hebat bicaramu. Tapi aku ragu,


apakah kau mampu melakukannya," sa​hut orang tua itu,
enteng.

"Huh! Apa sulitnya memotes kepalamu!" dengus orang itu


sambil melompat dan mencabut pedangnya.

Sring!
"Yeaaa...!"

Pemuda yang dipanggil Kala Gundil itu mendiamkan saja


anak buahnya berbuat demikian. Dan hal itu ternyata
dianggap sebagai persetujuan bagi mereka untuk merencah
orang tua yang dianggap tak tahu diri itu. Maka dalam
waktu singkat saja dua orang lagi segera menyusul
menyerang. Agak​nya, tangan mereka memang sudah sejak
tadi terasa gatal ingin memberi hajaran pada orang tua
sombong itu.

Wut! Wut!
"Uts...!"

Orang tua berbaju putih itu memiringkan sedikit tubuhnya,


untuk menghindari sabetan pedang dari depan. Dan belum
juga sempat berbuat apa-apa, datang lagi serangan pedang
dari samping kiri. Terpaksa orang tua itu menundukkan
badannya kedepan. Namun pada saat yang sama datang
serang​an pedang yang mengarah ke jantung. Maka seke​tika
kipasnya yang masih menguncup cepat dikebutkan dari
atas ke bawah.

Trak!

Dua benturan senjata mulai terjadi. Orang yang senjatanya


tertangkis tadi kontan terjajar tiga langkah ke belakang.
Sungguh tak diduga kalau orang tua itu demikian gesit,
sehingga serangan dahsyat tadi mampu dipapaknya. Begitu
habis memapak serangan pedang lawan, kipas orang tua itu
cepat terkembang kembali. Bahkan langsung bergerak
menyambar tenggorokan lawan yang berada paling dekat.
Orang itu terkejut setengah mati, namun buru-buru
melompat ke belakang. Maka, selamatlah selembar
nyawanya dari kibasan orang tua itu.

"Hiyaaa...!"

Begitu mendapat kesempatan, orang tua itu cepat melesat


ke udara disertai bentakan nyaring. Tubuhnya langsung
berputaran menyamping ke arah seorang lawan yang
terdekat. Dan kipasnya yang sudah kembali menguncup,
langsung digunakan untuk menyerang jantung! Sementara
meli​hat serangan cepat ini, orang yang jadi sasaran me​rasa
gugup bukan main. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke
bawah. Dan untung saja orang tua itu tak melanjutkan
serangannya, merasakan ada angin serangan dari belakang.
Maka buru-buru orang tua itu menunduk. Dan begitu
tubuhnya berbalik cepat, langsung dihantamnya
tenggorokan pembokongnya dari arah bawah.

Jrosss!
"Aaa...!"

Pembokong itu kontan memekik kesakitan, be​gitu


tenggorokannya tertembus kipas yang telah menguncup.
Darah langsung mengucur dari teng​gorokannya yang
berlubang. Sesaat tubuhnya limbung, sebelum ambruk ke
bumi dalam keadaan meregang nyawa.

Tentu saja hal itu membuat kaget kedua ka​wannya. Tapi


orang tua itu agaknya tak mau memberi kesempatan lagi.
Maka dengan gerakan cepat bagai kilat dimanfaatkannya
kelengahan mereka. Seketika kipasnya yang telah
mengembang kembali menyambar dua korban lagi!

Brettt...!
"Wuaaa...! Aaa!"

Terdengar dua jeritan memilukan yang saling susul.


Seketika dua orang yang terkena sambaran kipas orang tua
itu jadi limbung. Yang seorang tersambar pada dada kirinya,
hingga tulang rusuknya patah. Sedangkan yang seorang lagi
tersambar pada perutnya, hingga isinya terburai. Jelas ini
suatu bukti kalau orang tua itu tidak bisa diajak bermain-
main. Serangannya sungguh cepat dan dahsyat,
membuktikan kalau kepandaiannya sangat tinggi.

Tentu saja hal itu membuat para penghadang yang lain jadi
terkejut setengah mati. Mereka tahu betul kalau ketiga
orang itu memiliki kepandaian tak rendah. Namun dalam
waktu singkat, tubuh mereka sudah terkapar hanya sekali
gebrak saja. Tapi Kala Gundil cepat bertindak, segera
diperintahkannya anak buahnya untuk langsung meringkus
orang tua itu. Namun sebelum mereka ber​gerak menyerang,
tiba-tiba...

"Hentikan...!"

TIGA

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang menyebar ke


segala arah. Jelas suara itu dikerahkan dengan tenaga
dalam tinggi. Maka serentak mereka yang berada di situ
mencari-cari sumber suara, kecuali orang tua itu. Begitu
sudah bisa memastikan arahnya, mereka kini melihat tiga
sosok tubuh tinggi besar telah hadir tak jauh dari situ. Yang
seorang berbaju ketat warna hijau. Wajahnya dihiasi
cambang bauk. Tampak pada tangan kanannya tergenggam
sebuah gada berduri sebesar paha orang dewasa. Dan dia
kenal dengan nama Sugriwa.

Sementara orang yang berdiri di tengah memakai baju


merah sering dipanggil dengan nama Durganda. Rambutnya
yang panjang dibiarkan terurai ke bawah. Tampak di
dadanya menggantung kalung dari tulang-tulang manusia.
Dipinggangnya tampak terselip sebuah golok panjang yang
ujungnya bercagak dua.

Sedangkan orang yang berdiri di kiri memakai baju kuning.


Wajahnya yang sudah seram, makin seram lagi oleh codet
yang menyilang pada mata kirinya. Sebuah pedang besar
tampak tersandang di punggungnya. Dia bernama Pegi
Salira.

Me​mang, ketiga orang itulah yang disebut-sebut sebagai


Tiga Setan Bukit Tunjang. Dan mereka yang ada di situ
langsung menjura hormat kecuali orang tua itu. Sementara
Kala Gundil kemudian menghampiri.

"Lapor, Ketua! Orang tua ini telah mengacau di tempat kita


dengan membunuh kawan-kawan yang lain. Untuk itulah
kami harus membunuhnya!" lapor Kala Gundil.

"Setan! Pergi kalian dari hadapanku!" hardik Sugriwa garang.

Mendapat bentakan itu, Kala Gundil dan anak buahnya jadi


tersentak kaget bercampur heran.

"Ta... tapi..."
"Heh?! Tahukah kau, siapa orang ini?!" potong Durganda
dengan mata mendelik garang.

"Mana kutahu? Yang jelas, dia telah membu​nuh banyak


anak buah kita..."

"Keparat! Dia itu paman guruku, tahu?!" ben​tak Durganda,


garang.

Mendengar penjelasan Durganda tentu saja Kala Gundil dan


yang lain tersentak kaget. Sungguh tidak mereka sangka
kalau orang tua itu ternyata paman guru si Tiga Setan Bukit
Tunjang yang nyata-nyata penguasa bukit ini.

"Paman Guru Sanjaya, maafkanlah anak buahku yang buta


dan tak mengenali orang sendiri ini. Terimalah salam
hormatku!" ujar Durganda diikuti kedua kawannya sambil
menjura hormat.

"He he he...! Durganda, lama kita tak bertemu.

Kudengar kau kini bercokol di Bukit Tunjang, dan memiliki


anak buah yang hebat-hebat. Tapi nyatanya, mereka hanya
kecoa-kecoa tak berguna!" sahut orang tua yang dipanggil
Sanjaya itu sambil terkekeh-kekeh.

"Paman Guru! Kami memang orang-orang bodoh. Dan


dengan kehadiran Paman Guru di tempat ini, tentu Bukit
Tunjang akan semakin bersinar. Mohon petunjuk darimu,
Paman Guru," ujar Dur​ganda dengan sikap merendah.

"He he he...! Sudahlah, aku hanya bergurau," kata Ki Sanjaya


sambil menepuk-nepuk pundak murid keponakannya.
Durganda tersenyum kecil. Dan matanya melirik sekilas
pada Kala Gundil dan anak buahnya yang masih berada di
tempat itu dengan sikap mematung dan salah tingkah.

"Heh?! Kenapa kalian diam saja?! Ayo, cepat minta maaf!"


bentak Durganda garang.

Dengan segera mereka menghampiri Ki San​jaya sambil


menjura hormat. "Ki Sanjaya, maafkanlah kesalahan kami
yang bodoh dan tak bisa mengenali orang," ucap Kala Gundil
mewakili anak buahnya.

"Hm.... Sudahlah," gumam Ki Sanjaya.

"Nah! Kalian boleh pergi sekarang juga!" ben​tak Durganda


memberi perintah.

Setelah menjura, Kala Gundil segera berbalik dan berlalu


dari tempat itu, diikuti ketiga kawannya.

"Paman Guru, silakan ke tempat kami," ajak Durganda,


mempersilakan orang tua itu menuju kediaman mereka,
setelah Kala Gundil dan anak bu​ahnya tidak kelihatan lagi.

"Sebentar, Durganda!" kata Ki Sanjaya, tiba-tiba.

"Ada apa, Paman Guru…?" tanya Durganda, dengan kening


berkerut.

"Berapa jumlah anak buahmu di tempat ini?" tanya orang tua


itu dengan wajah sungguh-sungguh.

"Entahlah. Tapi seratus orang itu tak kurang. Bahkan bisa


lebih banyak lagi. Memangnya ada apa, Paman Guru?"

"He he he...! Bagus! Bagus...!" sahut Ki San​jaya, diiringi


kekehan kecil dan anggukan kepala beberapa kali.

Melihat kelakuan paman gurunya, tentu saja Durganda dan


kedua kawannya semakin heran.

"Kau bersedia membantuku, Durganda?"

"Tentu saja. Tapi apa yang dapat kami bantu?" Durganda


balik bertanya.

"Melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Ki Sanjaya


cepat.

Durganda, Peging Salira, dan Sugriwa seketika saling


berpandangan sesaat.

"Kenapa? Apa kalian tak mau membantuku?!" sentak Ki


Sanjaya dengan wajah garang, melihat murid-murid
keponakannya bersikap demikian.

"Bukan begitu, Paman. Kalau memang Paman berniat


demikian, tentu saja kami setuju sekali. Dan kesempatan itu
memang telah lama kami nanti-nantikan. Aku banyak
mendengar cerita tentang sepak-terjang Pendekar Rajawali
Sakti yang membuat muak perasaanku. Anak buahku tentu
saja akan suka sekali mendengarnya. Karena banyak dari
mereka yang pernah berurusan dengan pendekar tengik itu.
Mereka tentu sakit hati dan dendam sekali," jelas Durganda,
singkat.

"Ha ha ha...! Kali ini akan kita singkirkan pendekar busuk itu.
Setelah apa yang dilakukannya pada dua kawanku hingga
mereka tewas sia-sia, kini tiba giliran dia untuk mampus!"
desis Ki San​jaya sambil tertawa terbahak-bahak.

Suara tawa laki-laki tua itu terdengar keras dan menggema


sampai ke lereng-lereng bukit.

********************

Siang hari ini, tidak jauh dari Bukit Tunjang, matahari


bersinar tak terlalu garang. Apalagi angin bertiup sepoi-
sepoi. Pepohonan juga berdaun rimbun, sehingga membuat
dua sosok yang menunggang kuda di bawahnya merasa
nyaman dan terlindung.

Kedua sosok itu memacu kudanya perlahan-lahan seperti


ingin menikmati keindahan alam disekitarnya. Yang seorang
adalah pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang
terurai, diikat sehelai ikat kepala putih seperti warna
rompinya. Di punggungnya tersandang sebilah pedang yang
bergagang kepala burung. Kudanya yang hitam berkilat,
terlihat gagah dan kuat.

Sementara yang berada di sebelahnya, seorang laki-laki


berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuh​nya sedang,
terbungkus baju hitam sebagaimana layaknya tokoh-tokoh
persilatan. Dia pun memba​wa pedang yang tersampir di
punggungnya. Ram​butnya yang tak terlalu panjang, diikat
sehelai kain hijau. Sementara itu, kuda yang ditungganginya
berbulu coklat, dan terlihat seperti kuda biasa saja.

"Gusti Prabu Rangga...," sapa laki-laki berbaju hitam pada


pemuda berbaju rompi putih di sebelah​nya.
Seketika pemuda yang tak lain Rangga, alias Pendekar
Rajawali Sakti itu menoleh.

"Ada apa, Paman Lanang?" sahut Rangga.

"Gusti masih bersedih...?" laki-laki berbaju hitam itu malah


balik bertanya.

Rangga hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan tadi.

"Sejak Gusti Ayu Pandan Wangi sakit, Gusti Prabu


sepertinya tak pernah bergembira...," desah orang yang
dipanggil Paman Lanang.

"Apalah artinya kegembiraan bila aku melalaikan


kewajibanku sebagai raja dari rakyatku, Paman Lanang,"
sahut pemuda itu tenang.

"Ya, hamba pun tahu. Gusti Prabu sangat memperhatikan


rakyat. Gusti juga rela terjun sendiri ke desa-desa dan
kadipaten, untuk melihat dari dekat kehidupan rakyat di
Karang Setra. Mereka menyayangi Gusti Prabu. Sehingga,
ketika mereka tahu Gusti Prabu sedang berduka, maka
seluruh rakyat ikut berduka pula," kata Paman Lanang.

"Paman Lanang, apakah aku kelihatan bersedih?" tanya


Rangga sambil tersenyum kecil.

"Gusti Prabu! Kata orang, sinar mata tak bisa bohong dan
mampu menggambarkan sifat dan isi hatinya. Meskipun,
wajahnya dibuat semanis mung​kin," sahut Paman Lanang
ber]lsafat.

"Hm, ya. Memang benar apa yang Paman katakan itu. Lalu,
bagaimanakah kita menafsirkan isi hati manusia yang tak
mempunyai biji mata itu?" Rangga balik bertanya sambil
tersenyum kecil.

Paman Lanang terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan


itu.

"Sudahlah, Paman. Tak perlu berkecil hati. Aku hanya ingin


mengatakan, banyak cara menilai manusia itu. Kalau kita
berdasar pada satu sikap dan penglihatan, maka itu bisa
salah. Tapi kalau kita melihatnya dari berbagai sudut, boleh
jadi akan mendekati kebenaran," sahut pemuda itu, men​-
jawab sendiri pertanyaannya.

"Gusti Prabu pasti lebih mengetahuinya daripada hamba...,"


desah Paman Lanang.

"Tapi ada juga yang perlu kau ketahui, Pa​man!"

"Apa itu, Gusti Prabu?"

Rangga tersenyum sebelum menjawab. "Kau kuminta


berpakaian seperti tokoh persilatan agar orang-orang
menyangka kau adalah rakyat biasa dan bukan seorang
prajurit Karang Se​tra. Untuk itu, kau pun harus tutup mulut
tentang diriku jika berhadapan dengan orang lain. Katakan
saja kalau aku adalah saudara seperguruan. Kau ingat itu,
Paman?"

"Tentu akan hamba ingat selalu. Gusti Prabu!" sahut Paman


Lanang cepat.

"Syukurlah. Nah! Coba kau perkirakan, kira-kira berapa lama


lagi perjalanan kita ke tempat tabib itu?" kata Rangga seraya
menatap ke depan.

"Tak sampai dua hari perjalanan lagi, Gusti Prabu," sahut


Paman Lanang.

"Apa tak ada jalan pintas agar bisa tiba secepatnya ke sana?
Aku khawatir, penyakit Pandan Wangi semakin memburuk,"
tanya Rangga agak mendesah.

"Jalan yang kita lalui inilah jalan pintasnya, Gusti Prabu.


Setahu hamba, tak ada jalan lain yang lebih singkat lagi,"
sahut Paman Lanang.

Rangga hanya mengeluh pendek mendengar jawaban itu.


Rasa kekhawatiran kembali menyergap benaknya.
Pikirannya terus bertuju pada Pandan Wangi di Karang Setra
yang tengah menderita penyakit.

"Gusti Prabu, tenangkanlah. Ketika kita tinggalkan, Gusti Ayu


Pandan Wangi mulai membaik. Dia pasti akan sembuh. Lagi
pula, penyakitnya tak begitu parah, bukan?" kata Paman
Lanang beru​saha menghibur.

"Kau tak tahu, Paman Lanang. Penyakitnya itu bila dibiarkan


begitu saja akan semakin sulit diobatinya!" ujar Rangga.

''Kenapa Gusti Prabu tak memerintahkan kami saja untuk


menemui tabib itu?"

"Tidak. Aku lebih suka melakukan hal ini sen​diri. Ini adalah
persoalan pribadi. Maka, aku harus menyelesaikannya
seorang diri. Kecuali bila menyangkut negara. Maka, sudah
barang tentu kalian akan ku ikutsertakan," tegas Rangga.
Paman Lanang tak berkata apa-apa lagi. Memang jawaban
Pendekar Rajawali Sakti barusan sulit untuk dibantah.
Namun mendadak pemuda berbaju rompi putih itu
memandang ke satu arah dengan penuh perhatian.

"Gusti Prabu, ada apa?" tanya Paman Lanang, cemas.

"Tidakkah kau mendengar suara?" tanya Rangga ingin


memastikan.

"Suara apa? Hamba tak mendengar suara apa-apa!" sahut


Paman Lanang semakin bingung.

Rangga memandangnya sekilas, kemudian tersadar.


Rupanya memang Paman Lanang tak men​dengarnya,
karena telinganya tak terlatih.

"Mari kita cepat ke sana!" ajak pemuda berbaju rompi putih


itu.

"Tapi ada suara apa, Gusti Prabu?" tanya Pa​man Lanang


penasaran.

"Suara perkelahian dan seorang wanita berteriak meminta


tolong. Kita harus menolong orang itu. Dia tentu sedang
dalam kesulitan!" sahut Rangga, seraya memacu lebih cepat
kudanya.

"Gusti Prabu, apakah ini tak akan menghambat perjalanan


kita?!" teriak Paman Lanang, karena kudanya mulai
tertinggal jauh oleh Dewa Bayu tunggangan Pendekar
Rajawali Sakti.

"Menolong orang lain sama pentingnya dengan menolong


Pandan Wangi, Paman Lanang!" sahut pemuda itu enteng.

Paman Lanang terdiam mendengar jawaban itu. Kemudian


kudanya dihela supaya berlari lebih kencang berusaha
menyusul pemuda itu. Namun tetap saja kudanya tertinggal
jauh dari Dewa Bayu yang sudah melesat bagai angin.

Apa yang didengar Rangga memang tak salah. Tak berapa


lama, Pendekar Rajawali Sakti tiba di suatu tempat di tepi
hutan. Dan dia langsung me​lihat beberapa orang perampok
tengah menghajar seorang laki-laki muda yang agaknya
hanya mengerti sedikit ilmu olah kanuragan. Beberapa kali
dia menjerit kesakitan, ketika tubuhnya mendapat hajaran
secara bergilir. Sementara tak jauh dari situ, dua orang
perampok lain sedang mempermainkan seorang wanita
cantik. Salah seorang tampak menarik lengannya, hingga
tubuh wanita itu terjerembab di tanah berumput. Begitu
jatuh, perampok yang lain cepat menyergap dan langsung
menindih tu​buhnya.

"Lepaskan aku! Lepaaaskan...! Tolooong...! Kakang Bhatara,


tolooong. .! Aouw, lepaskan! Lepaskaaan...!" teriak wanita
itu sekuat tenaga, ketika kedua perampok itu mencoba
menggerayangi tu​buhnya yang kenyal.

Dengan mata berbinar dan jakun turun naik, kemudian salah


seorang melucuti pakaian wanita itu, sementara yang
seorang lagi memegang kedua tangan dan kakinya. Wanita
itu terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun
apalah daya. Sedangkan rontaan-rontaan itu bagai
hentakan-hentakan penuh nafsu bagai kedua perampok itu.

Air mata wanita itu sudah bergulir satu demi satu di pipinya.
Namun begitu harga dirinya sebagai seorang wanita akan
terjamah, mendadak...

"Hanya binatang berjiwa iblis yang bisa melakukan


perbuatan terkutuk itu!" bentak Rangga garang.

Tiba-tiba sebuah suara, menghentikan per​buatan kotor


kedua perampok itu. Sebuah suara dari Pendekar Rajawali
Sakti yang telah melompat dari kudanya dan langsung
berdiri di dekat pergumulan seru itu.

"Heh?!"

Kedua perampok bertampang seram itu kontan membenahi


pakaiannya. Sementara itu, Paman La​nang yang baru saja
tiba, segera menolong wanita yang hampir naas itu. Segera
dibawanya wanita itu ke tempat aman, dengan terlebih
dahulu memberikan kain wanita itu untuk menutupi
tubuhnya. Begitu selesai berpakaian. kedua perampok itu
segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Bocah keparat! Kau pikir siapa dirimu, hingga berani


mengganggu kesenangan orang lain?! Enyahlah kau dari
hadapanku!" bentak salah se​orang seraya mengayunkan
tangannya, hendak menampar Pendekar Rajawali Sakti.

Begitu tamparan perampok itu hampir mendarat di wajah,


dengan gerakan cepat bagai kilat Rangga menangkapnya.

Tap!
"Hih!"

Dan dengan sekuat tenaga, langsung ditariknya, hingga


tubuh orang itu kontan melesat tinggi melewati kepalanya.
Tubuh itu terus melayang dan langsung membentur keras
batang pohon di bela​kang Pendekar Rajawali Sakti.

Brakkk!
"Aaakh!"

Melihat temannya dicundangi, perampok satu lagi menjadi


geram. Seketika dilepaskannya sa​tu tendangan keras ke
bagian pinggang Rangga. Namun dengan gesit sekali
Rangga cepat melompat ke atas. Dan tanpa diduga sama
sekali, langsung dilepaskannya satu tendangan dahsyat ke
dada orang itu.

Diegkh!
"Aaakh...!"

Kembali satu jeritan kesakitan terdengar menyayat.


Tendangan Pendekar Rajawali Sakti me​mang cepat bagai
kilat, sehingga orang itu tak mampu menghindar. Akibatnya,
tubuhnya kontan terjengkang ke tanah, dan tak bergerak-
gerak lagi. Demikian pula temannya yang menabrak pohon
tadi.

Sementara itu Paman Lanang kini segera menyelamatkan


kawan wanita tadi yang dikeroyok. Namun akibatnya, laki-
laki setengah baya itu harus menghadapi keroyokan enam
orang perampok yang tadi mengeroyok pemuda teman
wanita itu.

"Paman Lanang! Biarkan aku membantumu, agar lebih


cepat membereskan perampok-perampok busuk ini!" teriak
Rangga, melesat ke arah pertarungan.

Kini pertarungan berjalan agak lebih seimbang, meskipun


Rangga dan Paman Lanang masing-masing harus
menghadapi tiga orang lawan. Dan di sini terbukti kelihaian
Paman Lanang dalam pertarungan. Tubuhnya mampu
bergerak lincah dan gesit. Tangannya pun cukup gesit ketika
mencabut pedang dan memapaki golok-golok lawan yang
berseliweran mengancam keselamatan.

"Keparat busuk! Kalian harus mampus, karena berani ikut


campur urusan Bajingan Dari Sungai Gerong!" dengus salah
seorang perampok disertai ayunan goloknya yang menebas
kepala Paman La​nang.

Namun, prajurit kerajaan yang gagah perkasa itu cepat


menangkis dengan pedangnya yang sudah tercabut dari
warangkanya di pinggang.

Trang!

Perampok yang menyerang Paman Lanang kontan meringis


kesakitan ketika senjatanya tertangkis. Melihat lawannya
terjajar begitu, Paman Lanang tak melanjutkan serangan.
Masalahnya, dua orang lawan telah menerjang ke arahnya
dari kanan dan kiri. Cepat tubuhnya ditundukkan, diser​tai
sambaran ujung pedangnya ke arah kedua ka​ki lawan
sekaligus. Kedua perampok itu tersentak kaget, namun
cepat melompat ke atas.

"Hup!"

Melihat kedua orang itu melompat ke atas, Paman Lanang


segera mengejar salah seorang sam​bil mengayunkan kaki
kanannya. Langsung dihantamnya perut lawan.

Desss!
"Aaakh!"
Perampok yang terhantam perutnya langsung menjerit
kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke tanah beberapa
langkah, dan terus bergulingan. Begitu bangkit berdiri
perutnya yang terasa akan meledak terkena hantaman keras
tadi langsung didekap dengan tangannya.

"Keparat! Kubunuh kau...!" geram salah seo​rang perampok


lain dengan amarah meluap. Lang​sung goloknya ditebaskan
ke arah laki-laki setengah baya itu. Namun dengan tenang
Paman Lanang menangkis serangan itu dengan pedangnya.

Trang!

Dan begitu habis menangkis, Paman Lanang cepat bergerak


ke kanan untuk menghindari tebasan golok lawan yang
seorang lagi. Seketika tubuh​nya berputar cepat, melepaskan
tendangan sete​ngah melingkar ke arah punggung lawan
yang ber​ada di belakangnya.

Dug!
"Ukh...!"

Kembali terdengar jeritan kesakitan, diiringi tubuhnya yang


tersungkur ke depan. Wajah orang itu langsung membentur
sebongkah batu begitu jatuh di tanah. Tampak darah
mengucur deras dan hidungnya yang patah. Bibirnya pun
jontor dan dua buah giginya tanggal!

"Hm… Sekarang tinggal kau sendiri, Bajingan Busuk!


Tahanlah pedangku ini!" kata Paman La​nang, seraya
mengayunkan pedangnya.

Cepat sekali gerakan Paman Lanang, namun perampok itu


juga cepat menangkis dengan golok​nya. Hanya saja wajah
perampok itu kontan meri​ngis menahan rasa nyeri, begitu
senjatanya beradu dengan pedang Paman Lanang. Dari sini
saja bisa terbukti kalau tenaga dalam Paman Lanang lebih
kuat daripada lawannya.

Dan sebelum perampok itu berbuat banyak, Paman Lanang


cepat memutar ujung pedangnya, mengejar seluruh bagian
yang mematikan. Sehing​ga perampok itu pontang-panting
menyelamatkan diri. Kini sasaran pedang Paman Lanang ke
arah leher. Dan dengan cepat perampok itu menjatuhkan diri
ke tanah. Tapi Paman Lanang yang memang telah
menunggunya, cepat memberi satu tendangan keras.
Dengan sebisa-bisanya, orang itu mencoba menangkis
dengan tangannya sambil terus bergulingan.

Plakkk!
"Ukh!"

Perampok itu mengeluh menahan sakit, karena tangannya


terasa linu begitu menangkis tendangan. Tapi belum lagi
hilang rasa sakitnya, ujung pe​dang Paman Lanang telah
berkelebat cepat. Dan...

Crasss!
"Aaakh...!"

Perampok itu kontan menjerit-jerit kesakitan sambil


berguling-gulingan begitu ujung pedang Pa​man Lanang
menyambar pahanya, sehingga mem​buat luka yang panjang
dan dalam. Darah seketika mengucur deras dari luka itu.

Sementara itu pada pertarungan lain Pendekar Rajawali


Sakti seperti tak mengalami kesulitan. Padahal ketiga
lawannya menyerang sekaligus! Na​mun pemuda yang selalu
mengenakan rompi putih itu tenang-tenang saja berdiri.
Ketiga perampok itu begitu bernafsu menyabetkan goloknya
yang terhunus.

Namun beberapa jengkal lagi ujung-ujung golok itu akan


menyambar, Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali melompat
ke atas. Sebentar dia berputaran di udara, dan tiba-tiba
tubuhnya menukik. Seketika dikerahkannya jurus Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa, yang lang​sung menyambar
rahang ke tiga orang itu dengan kakinya. Begitu cepat
gerakannya, sehingga tak seorang pun yang dapat
menghindar. Dan...

Tak!
Pak!
Prakkk!
"Aaakh...!"

Ketiga orang itu kontan menjerit kesakitan me​rasakan sakit


pada rahang. Mereka langsung am​bruk dan berguling-
gulingan di tanah. Dua orang rahangnya patah dan beberapa
buah giginya tanggal dengan mengucurkan darah segar.
Sementara yang seorang lagi langsung pingsan, setelah
bergu​ling-gulingan.

"Kalau kalian masih ingin hidup, cepat pergi dari sini!"


bentak Pendekar Rajawali Sakti sambil merayapi satu
persatu lawannya.

Rupanya, kini nyali para perampok itu sudah ciut. Maka


dengan bergegas mereka membantu teman-temannya yang
masih pingsan. Dan sebentar kemudian dengan tertatih-
tatih mereka pergi dan tempat itu diiringi mata Pendekar
Rajawali Sakti dan Paman Lanang. Dengan satu isyarat
mereka kabur terbirit-birit dari tempat itu.

"Huh! Hanya perampok-perampok picisan sa​ja, lagaknya


selangit!" dengus Paman Lanang sinis.

Sementara itu dua orang yang diselamatkan Pendekar


Rajawali Sakti dan Paman Lanang segera menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang, setelah para
perampok itu tidak kelihatan lagi.

"Kisanak berdua! Aku Bhatara dan ini istriku Suminten


menghaturkan terima kasih atas pertolongannya pada
kami...!" ucap laki-laki muda itu.

EMPAT

"Rangga, Paman Lanang, sekali lagi kami menghaturkan


banyak terima kasih atas pertolongan kalian. Kalau tidak
ada kalian, entah apa jadinya kami ini," sahut Bhatara,
setelah mereka saling memperkenalkan diri.

Mereka kini saling berbincang-bincang tentang kejadian


tadi, di bawah sebuah pohon rindang. Bhatara duduk bersila,
berdampingan dengan istrinya. Sedangkan Rangga dan
Paman Lanang di se​buah akar pohon besar yang
menyembul keluar di permukaan tanah, menghadap suami-
istri itu.

"Apa yang menyebabkan kalian bentrok de​ngan mereka?"


tanya Rangga.

"Mereka hendak merampok barang-barang ka​mi. Padahal


kami hanya petani miskin. Dan yang kami bawa pun hanya
sekadar keperluan sehari-hari yang diperoleh dari menukar
hasil ladang kami di kotaraja," jelas Bhatara.

"Hm… Dasar perampok serakah!" umpat Paman Lanang


geram.

"Orang-orang seperti itu memang sudah sepatutnya


mendapat hukuman berat. Kalau saja Gusti Prabu Rangga
tahu mereka tentu tak akan lolos begitu saja!" desis Bharata
ikut-ikutan geram.

Rangga hanya tersenyum mendengar kata-kata Bharata.


Namun dalam hatinya terselip rasa sedih, karena di wilayah
yang termasuk wilayah Karang Setra ini ternyata masih
dihuni perampok. Dan sebagai pendekar digdaya, tentu saja
hal ini menjadi beban pikirannya.

"Rangga... Namamu begitu mirip dengan Gus​ti Prabu


Rangga?" tanya Bharata curiga. Dan dia mencoba
mengingat-ingat sesuatu.

"Apakah kau pernah bertemu dengannya?" sa​hut Rangga


balik bertanya.

"Belum. Tapi banyak kudengar, beliau sering turun ke desa-


desa seorang diri untuk memperhatikan rakyatnya.
Orangnya masih muda dan konon berwajah tampan," sahut
Bharata masih tetap me​mandang pemuda di hadapannya
dengan sorot ma​ta curiga.

"Bagaimana pandangan tentang dia?" tanya Rangga,


mencoba memancing.

"Semua rakyat mencintainya. Demikian pula aku. Tapi..., ah!


Rangga, jangan-jangan adalah..."

"Bharata, jangan mengada-ada! Mana berani aku mengaku


sebagai Raja Karang Setra. Kalaupun namaku sama, itu
karena dulu ibuku sedang bingung mencarikan nama
untukku. Lalu, dia teringat Gusti Prabu Rangga yang kala itu
berusia hampir sebaya denganku," jelas Rangga berdusta.

Bharata dan istrinya mengangguk pelan. Na​mun wajah


mereka masih menunjukkan rasa ketidakpercayaannya.

"Rangga! Aku pun berharap, mudah-mudahan kau memiliki


sifat yang mulia seperti Gusti Prabu Rangga..." desah
Bharata pelan.

"Terima kasih, Bharata. Kalau demikian, kami akan


melanjutkan perjalanan kembali," lanjut Rang​ga.

"Rangga, ke manakah tujuan kalian?"

"Ke arah timur. Ada apa Bharata?" tanya Rangga, ketika


melihat laki-laki itu akan mengatakan sesuatu.

"Ah, kebetulan sekali!" desis Bharata, berseri.

"Kebetulan kenapa, Bharata?" tanya Rangga bingung.

"Rangga, kebetulan tempat tinggal kami juga di timur. Kalau


tak keberatan kami berharap sekali kalau kalian berdua sudi
mampir. Yah... Sekadar untuk menjamu kalian ala kadarnya.
Kulihat kalian telah melakukan perjalanan yang cukup jauh.
Lagi pula, langit kelihatan mendung dan hari mulai sore.
Berjalan di malam hari dalam keadaan hujan, tentu akan
sangat mengganggu," bujuk Bharata.
"Tapi, Bharata..."

"Rangga, mohon jangan menolak permintaan kami!" pinta


Bharata setengah memaksa.

Rangga berpikir sesaat, lalu tersenyum. Apa yang dikatakan


laki-laki itu memang tak salah. Hari memang mulai sore dan
gelap. Apalagi, mendung juga tampak kelam menyelimuti
langit. Sebentar la​gi, tentu hujan akan turun. Dan melihat
langit yang gelap begitu, sudah barang tentu hujan akan
lama sekali. Bisa sampai tengah malam! Maka ketika
Paman Lanang memberi isyarat kalau juga menyetujui
ajakan suami-istri itu, Rangga tak punya pilihan lagi.

"Baiklah...," desah Rangga pelan, seraya bangkit diikuti


Paman Lanang.

"Ahhh! Terima kasih, kau akhirnya sudi mam​pir ke gubuk


kami, Rangga!" kata Bharata, juga bangkit dan langsung
menuju gerobak bersama istrinya.

Mau tak mau Rangga merasa terharu juga me​lihat


kegembiraan di wajah suami-istri itu. Mereka benar-benar
tulus ingin mengundangnya. Dan rasanya, tak enak bila
ditolak. Rangga dan Paman La​nang kemudian juga
menghampiri kuda masing-masing. Dan sambil menuntun
kuda, mereka kem​bali menghampiri suami-istri itu.

"Desa kami tak begitu jauh dari sini!" kata Bharata sambil
menaikkan istrinya ke dalam gero​bak yang ditarik seekor
kuda. Dia sendiri pun ke​mudian melompat naik, dan mulai
menghela kuda​nya perlahan-lahan.
"Kalian sudah mempunyai putra atau putri?" tanya Rangga,
seraya naik ke atas kudanya di samping gerobak itu.
Sebentar kemudian, kuda hitamnya digebah perlahan-lahan.

"Belum. Kami baru menikah tiga bulan yang lalu," sahut


Bharata dari belakang.

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk-anggukkan kepala


sambil terus menggebah kudanya di samping Paman
Lanang. Rangga menggangguk-anggukkan kepala, sam​bil
terus menggebah kudanya di samping Paman Lanang.
Mereka pun kemudian tak banyak bercakap-cakap lagi
ketika kilat mulai terlihat membelah angkasa.

********************

"Oaaa.... Oaaa...!"

Terdengar tangisan bayi, dari sebuah jalan utama di sebuah


desa yang terlihat sepi. Tampak seo​rang perempuan
berusia sekitar lima puluh tahun tengah menimang-nimang
bayi yang terus menangis itu. Wanita itu memakai anting-
anting bulat dan besar. Walaupun sudah berumur, tapi
rambutnya masih terlihat hitam dan lebat. Gelungnya juga
dihiasi beberapa buah tusuk konde dari emas. Wa​jahnya
kelihatan masih cantik kendati sudah sedikit keriput.

Pakaiannya mewah, terbuat dari sutera halus berwarna biru


langit. Di pinggang kirinya terlihat sepasang pedang yang
menandakan kalau perempuan tua itu bukanlah orang
sembarangan. Dengan memakai kerudung merah jambu
yang juga dari su​tera, serta dandanannya yang kelihatan
semarak, sepintas terlihat kalau perempuan tua itu agaknya
suka bersolek.

Perempuan tua yang sebenarnya bernama Nini Anting itu


berusaha mendiamkan bayi yang terus menangis. Namun,
bocah itu terus menangis seperti tak mau menghentikan
tangisnya.

"Cup..., cup! Diam, Bocah. Diamlah...!" bujuk Nini Anting.

"Oaaa...! Oaaa...!"

Nini Anting mengayun-ayunkan bayi dalam gendongannya


perlahan-lahan, sambil terus melangkah tenang. Namun
bukannya berhenti, bayi itu malah menambah keras
tangisnya. Berkali-kali wanita itu seperti orang kebingungan
sambil menoleh ke sana kemari. Dan tak berapa lama dia
ber​henti di depan sebuah rumah untuk berteduh, dan terus
menenangkan bayi yang tak kunjung berhenti tangisnya.

"Diamlah, Anak Manis! Diamlah...! Cep... cep...!"

Mendengar ada suara bayi menangis di luar rumahnya,


orang yang memiliki rumah itu keluar. Kebetulan sekali, dia
seorang ibu muda yang juga mempunyai bayi dan tengah
menyusui. Dipandangnya wanita tua itu dengan wajah
kasihan.

"Nisanak, bayi siapakah itu? Dan, kenapa terus menangis?"


tanya wanita muda itu.

Nini Anting tak menyahut malah wajahnya dipalingkan,


seraya mencium bayi yang digendongnya. Dan tiba-tiba bayi
itu berhenti menangis. Maka Nini Anting terus menciumnya
erat-erat tanpa mempedulikan wanita muda itu.
"Nisanak, mungkin bayi itu belum menyusu. Kenapa tak
diberikan saja pada ibunya agar bisa menyusu?" tanya
wanita muda itu kembali.

Nini Anting masih diam membisu Tak lama kemudian


ciumannya pada bayi yang kini tak menangis lagi
dilepaskan.

"Kasihan bayi ini. Masih kecil begini sudah ditinggal mati


kedua orangtuanya...," gumam Nini Anting dengan suara
serak, memalingkan wajahnya yang tertutup kerudung.

"Ditinggal mati orangtuanya?!" wanita itu agak terkejut.

"Benar. Mungkin beberapa orang perampok te​lah


membunuh orangtuanya. Dia kutemukan di te​ngah jalan,
sedang tergeletak dan menangis. Dan mana mungkin aku
menyusuinya, karena aku su​dah tua. Ah! Malang betul nasib
anak ini...," sahut Nini Anting, pilu.

"Nisanak, biarlah mari kususui sejenak. Kasihan dia, sejak


tadi pasti terus menangis." kata wanita muda itu, iba.

"Oh! Benarkah itu?" tanya Nini Anting, gembira. Dan


wajahnya yang tertutup selendang hanya sedikit
dipalingkan.

"Ya! Kemarikanlah bayi itu!"

"Baiklah. Kalau begitu, mari kugendong dulu bayimu," ujar


wanita tua itu.

Wanita muda itu pun menyerahkan bayinya untuk digendong


Nini Anting, kemudian menerima bayi yang tadi digendong
Nini Anting. Dia sedikit heran ketika bayi yang kini berada
dalam gendongannya tiba-tiba menangis kencang. Padahal,
semula bayi itu tenang-tenang saja dan sama sekali tak
rewel. Lebih-lebih ketika melihat wajah bayi itu pucat pasi
bagai mayat. Bahkan denyut jantungnya tak terasa! Tampak
pada lehernya terlihat dua buah lubang sebesar pangkal lidi.
Dan yang makin membuatnya kaget, perempuan tua yang
menggendong bayinya kini telah melangkah tenang
meninggalkan rumahnya.

"Nisanak! Bayi ini telah mati. Hei. Kembalikan anakku.


Kembalikan anakku. Hei! Kau bawa ke mana dia?!" teriak
wanita muda itu sambil mengejar Nini Anting.

"Hi hi hi...! Kenapa malah berteriak-teriak begitu? Bukankah


kau tadi telah menukar bayimu dengan bayiku?!" kata Nini
Anting sambil berbalik dan menyeringai buas.

Wanita muda itu tersentak kaget. Bayi dalam gendongannya


yang telah tak bernyawa itu terlepas dari tangannya.
Langsung dia berlari ke arah Nini Anting dan memegangi
tangannya. Sementara, Nini Anting kini wajahnya telah
berubah menakutkan dengan sepasang taring runcing di
mulut. Tetesan-tetesan darah tampak masih terlihat jelas
dari sudut bibirnya.

"Kau..., kau pembunuh! Pembunuh...! Kem​balikan anakku!


Kembalikan anakkuuu...!" teriak wanita muda itu. Dia
berusaha merebut bayinya yang berada dalam gendongan
wanita tua itu.

"Wanita tolol! Enyahlah kau dari hadapanku! Hih!" sentak


Nini Anting.
Dengan geram, Nini Anting menyentakkan ta​ngannya yang
dicengkeram wanita muda itu. Maka seketika wanita muda
itu terjungkal ke tanah sambil mengeluh kesakitan. Namun
begitu dia terus berte​riak-teriak sekuat tenaga. Maka,
sebentar saja bebe​rapa penduduk desa yang mendengar
teriakan se​gera keluar. Demikian pula suami wanita muda
itu yang berada di belakang rumah. Dan mereka semua
langsung mencegat Nini Anting. Dengan kemarahan
meluap, suami wanita muda itu menghadang Nini Anting
dengan kapak di tangan bekas membelah kayu tadi.

"Perempuan tua, serahkanlah anakku. Atau, kubunuh kau!"


bentak laki-laki itu berang.

"Hi hi hi...! Kau hendak mengambil anak dalam


gendonganku ini? Cobalah kalau memang ingin mampus!"
sahut Nini Anting sambil balas mengancam.

"Keparat!" geram laki-laki itu sambil melompat


mengayunkan kapaknya.

"Uts...!"

Sedikit saja Nini Anting memiringkan tubuhnya, maka kapak


itu luput menghajar sasaran. Bersa​maan dengan itu, kaki
kanannya langsung mengha​jar keras dada laki-laki itu.

Duk!
"Aaa...!"

Laki-laki itu kontan menjerit menyayat begitu tubuhnya


terjungkal ke tanah disertai muntahan da​rah segar.
Tubuhnya langsung menggelepar-gelepar sesaat, sebelum
akhirnya diam tak bergerak lagi. Melihat hal ini, orang-orang
yang berada di tempat itu jadi tersentak kaget. Begitu juga
wanita muda tadi.

"Kakang...!"

Sambil berteriak memilukan waruta muda itu memburu


tubuh suaminya yang telah tak bernyawa lagi. Para
penduduk desa itu yang sudah geram, bermaksud
menghajar perempuan tua tadi. Tapi, Nini Anting telah
lenyap dari tempat itu tanpa se​orang pun mengetahui ke
mana arahnya pergi.

Sementara, Nini Anting sudah begitu jauh meninggalkan


desa itu. Dia terus terkekeh sambil berlari kencang yang
disertai ilmu meringankan tubuhnya.

"Hi hi hi...! Dasar orang-orang totol! Mau saja kena tipu!


Sudah begitu, malah berlagak jago ingin menantangku. Hi hi
hi...! Mampuslah bagiannya!"

Melihat caranya berlari, bisa diduga kalau kepandaian Nini


Anting sangat tinggi. Sebenarnya, memang Nini Anting
bukanlah orang sembarangan. Dalam dunia persilatan, dia
dikenal sebagai Peri lblis Racun Merah. Bahkan dia juga
salah satu dari datuk rimba persilatan. Namun wanita tua
itu mempunyai kebiasaan yang menggiriskan, yakni
menghisap darah orok! Setelah darah orok dihisap sampai
habis lalu mayatnya dibuang begitu saja. Wanita tua yang
pesolek itu terus berlari mendekati Bukit Tunjang yang
terkenal keangkerannya.

Hari menjelang agak sore ketika Nini Anting tiba di kaki


Bukit Tunjang. Dia berhenti sesaat sambil memandang ke
arah bukit yang menjulang tinggi itu. Sebentar kemudian
tubuhnya melesat cepat mendaki bukit itu. Dan begitu tiba
di sebuah tempat, Nini Anting memandang ke sekeliling.
Diperhatikannya keadaan sekitar dengan seksama.
Sebentar kemudian bibirnya tersenyum.

"Hi hi hi...! Dasar orang-orang tolol. Mereka pikir perangkap-


perangkap ini mampu membawa maut bagiku. Huh!"
gumam Nini Anting, setelah menyadari keadaan berbahaya
di sekitarnya.

Kata-kata Nini Anting beralasan, pada umumnya orang-


orang yang mendaki bukit ini selalu lewat jalan darat. Tapi
Nini Anting lebih memilih jalan atas, yaitu melalui atas
pohon yang lebih aman. Perem​puan itu segera melompat ke
atas pohon, kemudian dengan gerakan gesit sekali dia
berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain. Tapi, itu
bukan berarti luput dari jebakan! Karena tiba-tiba...

Set!
Werrr...!
"He, kurang ajar!"

Ternyata salah satu tangan Nini Anting sempat mengait


salah satu oyot pohon yang banyak bergantungan di dahan.
Maka ketika oyot itu ditarik, saat itu juga mendesing
beberapa pucuk bambu beracun ke arahnya. Maka dengan
gesit, perempuan tua itu melompat sambil menekuk kedua
kakinya, menghindari serangan gelap ini.

"Hup!"

Namun, tak semua bambu beracun itu mampu dihindari.


Dalam keadaan melayang begitu, memang sulit bagi Nini
Anting untuk menghindarkan diri secara sempurna. Maka
terpaksa Nini Anting mencabut pedangnya. Dan seketika
pedang itu dibabatkan ke arah beberapa bambu beracun
yang masih mengincar tubuhnya.

Tas! Tas!

Seketika, bambu-bambu beracun itu berjatuhan di tanah.


Sementara Nini Anting langsung berputaran beberapa kali.
Dan ketika kakinya telah menjejak tanah, pedangnya telah
kembali terselip di pinggang. Tapi, bahaya lain ternyata telah
menghadangnya di depan mata. Tampak sekawanan orang
berwajah seram telah menunggu dengan sikap tak
bersahabat. Dalam hati Nini Anting menghitung. Ternyata
jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang.

Hi hi hi...! Kukira ternpat ini penghuninya perampok-


perampok berwajah garang. Eh, tidak tahunya hanya kecoa-
kecoa bermuka kunyuk!" ejek Nini Anting sambil terkekeh.

Mendengar kata-kata itu, tentu saja kemarahan orang-orang


itu bangkit. Salah seorang yang bertubuh kurus dan
berwajah lonjong, langsung melangkah mendekatinya
dengan sinar mata kebencian.

"Perempuan tua busuk! Berani benar kau berkata begitu!


Apa kau sadar dengan tubuhmu yang peyot itu?!" balas laki-
laki itu.

"Biar peyot, tapi masih mampu memberi pelajaran pada


tikus-tikus comberan macam kalian!" sahut Nini Anting.

"Keparat! Kau pikir setelah lolos dari perangkap-perangkap


itu, sudah merasa hebat, heh?!" geram orang itu dengan
geraham bergemeletukkan.

"Hei?! Kenapa kau marah-marah sendiri, Bocah? Apa kau


pikir perangkap-perangkap itu hebat? Hm.... Kalau
perangkap itu saja tak kupandang sebelah mata, apalagi
kalian!" sahut Nini Anting, jumawa.

"Setan! Kau memang harus merasakan sabetan tongkatku!"


dengus orang itu tak mampu mengendalikan amarahnya.
Maka dengan gesit, dia melompat menyerang Nini Anting
sambil mengayunkan tongkat bajanya.

"Yeaaa...! Mampuslah kau!"

LIMA

Bet! Bet!
"Uts...!"

Beberapa sabetan tongkat yang runcing me​nyambar batok


kepala Nini Anting. Namun perem​puan tua itu cepat mundur
ke belakang sambil terkekeh-kekeh. Melihat hal itu laki-laki
bertubuh kurus itu menyambarkan tongkatnya ke perut Nini
Anting dari bawah ke atas. Namun, wanita tua pesolek itu
cepat mendoyongkan tubuh ke samping. Sehingga, tongkat
itu hanya menyambar angin belaka. Dan cepat bagai kilat,
Nini Anting melesat sambil melepaskan tendangan
menggeledek. Untung saja laki-laki kurus itu cepat
mengelak. Dan sungguh tak diduga! Belum juga laki-laki
kurus itu berbalik, Nini Anting sudah menjejakkan kakinya di
tanah. Lalu dengan cepat sekali, perempuan tua itu kembali
melesat kembali ke arah laki-laki kurus itu.

Sring!
Dengan gerakan laksana kilat, Nini Anting, mencabut sebilah
pedangnya. Dan seketika di sambarnya perut laki-laki kurus
itu tanpa dapat dihindari lagi.

Brettt!
"Aaa...!"

Pedang di tangan Nini Anting yang disertai pengerahan


tenaga dalam, langsung membabat perut laki-laki kurus itu
hingga robek lebar disertai darah yang mengucur deras.
Laki-laki itu kontan terhuyung-huyung, dan ambruk di tanah.

"Astaga! Wanujaya, tewas?!" seru seorang ka​wannya sambil


memburu orang yang memang su​dah tak bernyawa itu.

"Pedang wanita tua itu mengandung racun mematikan!"


desis yang lain ketika melihat sekujur kulit orang yang
dipanggil Wanujaya itu telah merah ba​gai bara.

"Wanita keparat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya di sini?!


Huh! Kau akan mampus sesaat la​gi!" geram salah seorang.

Seketika laki-laki bertubuh pendek itu menca​but senjatanya


yang berupa arit besar. Langsung kawan-kawannya yang
lain diberi isyarat untuk ikut mengeroyok.

"Hi hi hi...! Kenapa banyak mulut segala? Ayo, majulah


semua kalau mau kukirim ke akherat!" bentak Nini Anting
sambil tertawa cekikikan.

"Jahanam! Mampuslah kau, yeaaa!"

Mereka serentak maju berbarengan sambil menghunus


senjata masing-masing. Namun, Nini Anting masih terkekeh,
tanpa memandang sebelah mata pun. Dan
kesombongannya itu ternyata ingin dibuktikannya langsung.
Maka ketika ujung-ujung senjata lawan hendak membabat
tubuhnya, Nini Anting cepat melopat ke atas disertai
kelebatan pedangnya.

Trang! Trang! Trang...!

Beberapa buah golok dan pedang kontan berpentalan begitu


beradu dengan pedang Nini Anting. Dan sebelum ada yang
menyadari ujung pedang di tangannya tak tanggung-
tanggung menyambar ke arah leher dan dada beberapa
orang. Begitu cepat gerakannya sehingga tak seorang pun
yang dapat menduga.

"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
"Aaakh...!"

Tiga jeritan setinggi langit, terdengar saling susul. Seketika


tiga sosok tubuh ambruk ke tanah bermandikan darah. Dan
sesaat kemudian, tubuh mereka berubah memerah bagai
bara akibat racun yang berada di batang pedang Nini
Anting.

"Hik hik hik...! Orang-orang tolol! Kalian kira bisa berbuat


seenaknya padaku. Terimalah kematian kalian!" dengus Nini
Anting, begitu kakinya mendarat di tanah. Dan sebelum
orang-orang itu menyerangnya, tubuhnya cepat melompat
menyerang.

Melihat perempuan tua itu bergerak mendahului mereka,


kawanan laki-laki bertampang kasar itu bukannya merasa
gemetar. Bahkan dengan amarah yang meluap-luap mereka
menyambut se​rangan itu dengan geram. Beberapa buah
senjata kembali memapak senjata Nini Anting.

Trang! Trang!

Dan belum juga bunyi benturan senjata itu lenyap, beberapa


buah senjata rahasia langsung melesat menyerang
perempuan tua itu. Namun ke​tika Nini Anting memutar
pedang dengan tangkas, senjata-senjata rahasia lawan
langsung rontok tak berbentuk. Dan pedangnya terus
berputar kembali merontokkan senjata-senjata lawan. Lalu
dengan gerakan mengagumkan, Nini Anting melenting ke
udara. Dan secara tiba-tiba saja, tubuhnya menukik seraya
membabatkan pedangnya ke arah beberapa orang yang
masih terkesiap.

Cras! Cras!

Kembali terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya


beberapa sosok tubuh berlumuran da​rah. Dan mereka
langsung mati, dengan tubuh merah bagai bara!

"Hik hik hik...! Ayo, ke sini! Mari kuantar kalian ke akherat!


Kenapa? Apa kalian mulai takut?! Hi hi hi...! Ayo,
tunjukkanlah kegarangan kalian tadi!" ejek Nini Anting
setelah mendarat kembali di tanah. Dan dia melihat
beberapa pengeroyok yang masih selamat mulai ragu.

Memang tak mengherankan. Masalahnya, hanya sekali


gebrakan saja, pedang perempuan tua itu telah meminta
banyak korban. Bahkan setengah jumlah mereka kini telah
tewas!
Tapi di pihak lain, Nini Anting sama sekali tak berniat
menghentikan sepak terjangnya. Malah, dia berniat
mempermainkan mereka, untuk kemudian menjadi tumbal
pedangnya. Dan seketika tubuhnya melesat menyambar
mangsa.

"Kalau demikian, lebih baik kalian mampus saja! Yeaaa...!"

Pedang Nini Anting berkelebat begitu cepat, mengincar


bagian-bagian tubuh yang mematikan. Dan dua orang yang
berada di dekatnya mencoba menangkis, sementara
seorang lagi mengayunkan goloknya ke arah punggung.

Trang! Trang!

Begitu pedangnya tertangkis, Nini Anting sege​ra memapak


serangan yang terarah ke punggungnya, setelah dengan
cepat sedikit menyorongkan dan mendoyongkan tubuhnya.

Trang!

Tiga senjata para pengeroyoknya berturut-turut terlepas dari


tangan, begitu berbenturan dengan pe​dang Nini Anting. Dan
kaki kanannya berputar menghantam rahang laki-laki di
belakang, sebelum ada yang sempat menyadari. Dan
dengan gerakan dahsyat, ujung pedangnya kembali berbalik
menyambar leher dua orang di depannya.

Diiringi pekikan menyayat, dua orang langsung tewas


dengan leher nyaris putus. Sementara yang seorang lagi
menggelepar-gelepar meregang nyawa akibat tendangan
yang luar biasa kerasnya. Dan baru saja Nini Anting akan
kembali me​nyerang lawan-lawannya yang tersisa,
mendadak...
"Nini Anting, sudahlah! Hentikan permainanmu dengan coro-
coro itu...!"

"Heh?!"

Wanita tua itu segera menoleh, tanpa mempedulikan sisa


lawannya yang langsung lari terbirit-birit begitu mendapat
kesempatan. Tampak tiga orang laki-laki berwajah seram
tengah melangkah mendekati, bersama seorang laki-laki tua
berpakaian putih. Kekek itu memegang kipas yang
terkembang. Dan di pinggangnya tampak terselip sebuah
suling emas. Begitu mengenali, Nini Anting segera
melangkah mendekati mereka.

"Hik hik hik...! Tiga Setan Bukit Tunjang dan si Tua


Bangkotan Sanjaya. Hei?! Apa kabar kalian semua?!"
sambut Nini Anting terkekeh gembira.

"Kami baik-baik saja, Bibi Guru...," sahut ketiga orang yang


tak lain Tiga Setan Bukit Tunjang sambil menjura hormat.

"Dan kau, tua bangka bau tanah?!" ledek Nini Anting pada
laki-laki tua yang memang Ki Sanjaya.

"Seperti yang kau lihat, Nenek Genit! Aku ba​ik-baik saja dan
tak kurang sesuatu apa pun," sahut Ki Sanjaya sambil
mengipas-ngipas wajahnya.

"Hm.... Bagaimana mungkin. Kudengar dadamu luka. Coba


kulihat!" lanjut Nini Anting sambil cepat mengayunkan
pedangnya. Ki Sanjaya tak kurang lincah. Tubuhnya segera
bergeser ke kiri, seraya mengayunkan kipasnya ke arah
senjata itu.
Trak!

Dua benturan senjata langsung terjadi. Dan rupanya, Ki


Sanjaya melanjutkan dengan sebuah serangan ke leher.

Wukkk...!

"Uts!"

Untung saja Nini Anting cepat melenting ke belakang, untuk


menghindarinya. Sehingga, serangan itu hanya menyambar
angin saja.

"Kau lihat, Nenek Genit? Aku tak apa-apa, bukan?!" kata


Sanjaya tenang, setelah serangannya tidak dilanjutkan.
Ditatapnya perempuan tua itu dengan sinar mata meledek.

"Hm... Aku masih kurang percaya. Yang terlihat di depan


mata kadang suka menipu. Barangkali kau terluka dalam.
Mari kuperiksa!" gumam Nini Anting.

Kembali perempuan tua itu mengayunkan ce​pat pedangnya


bergulung-gulung, sehingga menimbulkan angin kencang
bercampur hawa racun dari batang pedangnya.

Sementara tidak jauh dari kancah pertarungan, Tiga Setan


Bukit Tunjang hanya bisa mengamati pertarungan kedua
tokoh kosen itu. Sedikit demi sedikit mereka bergerak
menjauh, takut-takut kalau ada serangan nyasar.

"Edan! Bukannya berbaikan, malah berta​rung...!" umpat


Sugriwa kesal.
"Kau seperti tak tahu adat mereka kalau bertemu," sahut
Durganda mengingatkan. Wajahnya pun terlihat tak senang.

"Iya... Tapi, gurauan mereka berbau maut dan menyusahkan


saja!" sambung Peging Salira bersungut-sungut.

Apa yang dikatakan Tiga Setan Bukit Tunjang memang tak


salah. Tapi apakah mereka sedang bergurau saat ini? Tak
seorang pun yang tahu. Ke​dua tokoh itu memiliki
kepandaian tinggi, tapi juga mempunyai kelakuan aneh.
Mereka bertarung seperti layaknya dua musuh bebuyutan
yang tengah melampiaskan dendam.

"Yeaaa...!"

Tiba-tiba saja kedua orang yang bertarung itu kembali


melompat ke belakang dengan arah berlawanan. Dan
suasana menjadi hening beberapa saat, begitu kaki mereka
menjejak tanah. Kipas di tangan Ki Sanjaya menutup,
sedangkan pedang di tangan Nini Anting telah kembali
terselip di pinggang.

"Hik hik hik...! Kepandaianmu masih tetap menakjubkan,


Sanjaya!" puji Nini Anting sambil berbalik tubuh dan
melangkah mendekati laki-laki tua itu.

"Kau pun hebat. Anting! Apakah segalanya sudah


dipersiapkan untuk menghadapi si keparat Pendekar
Rajawali Sakti itu?" tanya Ki Sanjaya seraya mendekati
wanita tua itu.

"Huh! Setelah apa yang dilakukannya terhadap dua rekan


kita, dia patut mampus di tanganku!" geram Nini Anting
dengan wajah kelam.
"Kita patut berhati-hati, Anting...," desak Ki Sanjaya.

"Kenapa?! Apakah kau takut menghadapinya seorang diri?!"


sentak perempuan tua itu garang.

"Anting! Kepandaian pemuda itu sangat tinggi. Kita tak bisa


menghadapinya seorang diri!" Ki Sanjaya mencoba
menjelaskan.

Nini Anting tak menyahut. Malah wajahnya dipalingkan


disertai dengusan dendam.

"Cobalah ingat! Si Burisrawa dan Balung Geni tewas di


tangannya dengan mudah. Pada hal, kepandain keduanya
tak terpaut jauh dengan kita!" urai Ki Sanjaya, kembali
mengingatkan Nini Anting.

"Huh! Kalau bertemu, akan kucincang-cincang tubuh


Pendekar Rajawali Sakti. Dan, dagingnya kuberikan pada
anjing-anjing kurap!" geram Nini Anting dengan mata
berkilat tajam dan mulut menyeringai lebar.

"Untuk itulah kita berkumpul di sini dan mem​buat rencana


untuk menghancurkannya!" sambung Ki Sanjaya.

"Tapi aku sudah tak sabar, Sanjaya! Rasanya tanganku


sudah gatal ingin memecahkan batok kepalanya!" dengus
perempuan tua itu.

"Tak bisakah kau bersabar sesaat lagi saja? Kau lihat di


sekelilingmu? Bila si keparat itu datang kesini, maka
tamatlah riwayatnya!"
"Ya! Tapi, bagaimana caranya dia datang ke sini? Dan lagi,
dia ada di mana sekarang?" keluh Nini Anting.

"Nah! Itulah yang akan kita bahas. Yakinlah, semuanya pasti


akan beres. Dan dendam kita pasti terbalas. Ayo, kau harus
kuajak ke markas murid-murid keponakanku yang tak jauh
lagi dari sini. Kita akan menunggu seorang lagi, yaitu Ki
Sanca Manuk. Mudah-mudahan dia tak tersesat untuk tiba
di sini!" ujar Ki Sanjaya untuk bersama-sama ketem​pat
kediaman Tiga Setan Bukit Tunjang.

********************

Tiga Setan Bukit Tunjang serta kedua orang tua itu duduk
bersila di ruangan besar yang berada dalam bangunan
mewah itu. Di atas meja mereka, telah tersedia hidangan
lezat beraneka ragam, serta arak yang harum baunya.

"Hm. Apa kau pikir rencanamu itu berhasil, Sanjaya?" tanya


Nini Anting.

"Kenapa? Apa kau ragu?"

"Itu siasat pengecut!" dengus Nini Anting, tak senang.

Ki Sanjaya hanya terkekeh pelan. "Nini Anting! Kuhargai


kejujuranmu dalam bertarung. Tapi kau pun harus ingat, kita
bukanlah orang baik-baik. Musuh harus dikalahkan dengan
segala cara!" kilah Ki Sanjaya.

"Tapi tidak dengan cara yang sama sekali akan


merendahkan derajat kita! Apa kau pikir aku sebangsa
cecurut yang mesti mengajak ratusan ekor kecoa, untuk
mengerubuti seekor kadal busuk tak berguna?" sindir Nini
Anting.

"Nini Anting! Kau belum tahu kehebatan Pendekar Rajawali


Sakti...." Ki Sanjaya terus membujuk.

"Jangan sebut-sebut nama keparat itu di hadapanku!"


sentak Nini Anting memotong pembicaraan Ki Sanjaya.

"Kau belum tahu kehebatannya. Tapi, aku te​lah melihatnya


sendiri!" lanjut Ki Sanjaya.

"Hm.... Kau katakan telah melihat kehebatan​nya. Lalu, apa


kerjamu saat itu? Menonton si kepa​rat itu membinasakan
kedua kawan baikmu?!" dengus Nini Anting kesal.

"Tentu saja tidak. Waktu itu, Burisrawa dan Balung Geni


belum tewas di tangannya. Kusaksikan, dia membinasakan
seorang tokoh kosen dari utara. Dan aku sendiri belum tentu
yakin bisa mengalahkan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
mampu mengalahkannya," jelas Ki Sanjaya.

"Lalu setelah kematian Burisrawa dan Balung Geni, kau


terbirit-birit memberi kabar pada kami untuk berkumpul di
sini?"

"Nini Anting! Jangan memojokkanku begitu rupa. Kalian


kuundang ke sini, untuk merencanakan sematang mungkin
agar dendam kita terbalaskan,” desah laki-laki tua itu.

"Benar, Nini. Kami pun bukan semata-mata ingin membantu.


Tapi, sebagian besar anak buahku juga punya dendam
kesumat pada Pendekar Rajawali Sakti...." ujar Durgana.

"Diam kau. Bocah! Sudah kukatakan, jangan sebut-sebut


nama keparat itu di hadapanku. Lagi pula, apa urusannya
dengan kalian? Kalau ingin balas dendam, itu urusan kalian.
Tapi, keparat Pen​dekar Rajawali Sakti itu pun sedang
berurusan denganku!" sentak Nini Anting galak.

"Nini! Kau kelihatannya sewot sekali, dan tak mau berpikir


tenang. Aku tahu betul watakmu..," kata Ki Sanjaya sambil
tersenyum kecil.

"Apa maksudmu, Kakek Peot?!"

"Meski kelakuanmu terkadang aneh, kau bisa diajak


bersungguh-sungguh dan berpikir tenang. Tapi dalam
persoalan ini, kelihatan sekali kemarahanmu. Apakah
karena pemuda itu telah mem​binasakan kekasihmu?"
pancing Ki Sanjaya.

"Dasar tua bangka bau tanah! Bicaramu semakin ngawur


saja…!" dengus Nini Anting.

"He he he… ! Kenapa musti pura-pura kalau kau amat


mencintai si Balung Geni... "

"Tutup mulutmu, Sanjaya! Atau lebih baik kurobek biar tak


bisa berkoar lagi?!"

Nyaris keributan kecil itu akan semakin memuncak. Untung


saja tiba-tiba seorang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang
tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan berukuran besar
ini.

"Ampun, Tuan. Tadi ada kekacauan di sebelah sana...! Kami


sudah berusaha menahan sekuat mungkin. Namun, dia
berilmu tinggi dan bukan tandingan kami...!" lapor orang
yang baru masuk itu.

"Siapa orang itu?" tanya Durganda.

"Dia tak menyebutkan namanya...

"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki Sanjaya.

"Dia membawa tongkat berhulu seperti kepala ular.


Mulutnya monyong seperti buaya. Bahkan dia ditemani ular-
ular berbisa yang menyerang kawan kawan yang lain," jelas
orang itu.

"Hi hi hi...! Panjang umurnya si Sanca Manuk. Baru saja


akan dibicarakan dia sudah nongol. Hei, Nini.... Mari kita
sambut dia!" ajak Ki Sanjaya sambil bangkit.

Dengan malas-malasan Nini Anting mengikuti langkah Ki


Sanjaya. Demikian juga Tiga Setan Bukit Tunjang. Malah,
merekalah yang lebih dulu beranjak karena
mengkhawatirkan anak buahnya. Mereka semua terus
keluar dari rumah besar lagi mewah di puncak Bukit Tunjang
ini. Beberapa orang yang menjaga rumah ini segera
membungkukkan tubuhnya begitu para tokoh hitam dunia
persilatan itu lewat. Tiga Setan Bukit Tunjang, Nini Anting
dan Ki Sanjaya terus menyusuri jalan setapak, untuk me​nuju
suatu tempat di lereng bukit. Dengan pengerahan ilmu
meringankan tubuh, mereka terus berlompatan.

Begitu tiba di tempat yang agak luas, tampak seorang laki-


laki berusia sekitar enam puluh tahun tengah terkekeh
menyaksikan keadian di depannya. Kakek itu tak ditumbuhi
rambut secuil pun pa​da bagian ubun-ubunnya. Namun pada
bagian be​lakang, rambutnya justru panjang sampai ke
punggung dan telah memutih semuanya. Orang tua itu
mengenakan baju agak kedodoran, berwarna gelap.
Tangannya tampak memegang tongkat aneh yang pada
ujung atasnya berbentuk kepala ular.

Kekek yang memang bernama Sanca Manuk itu berdiri


tegak, sementara di bawahnya menjalar ratusan ekor ular
besar dan kecil. Sementara tak jauh di depannya, terlihat
beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang
menjerit-jerit kesa​kitan sambil berguling-gulingan dibelit dan
dipatuk ular-ular yang mengandung bisa dahsyat. Beberapa
orang tampak telah menjadi mayat dengan tubuh kaku dan
warna kulit hitam kebiru-biruan.

"Ha ha ha...! Ayo, Anak-anak! Mari kita berpesta sepuas-


puasnya hari ini. Ayo, serang mereka! Serang mereka...!"
teriak Ki Sanca Manuk sambil mengeluarkan suara
mendesis.

Desisan itu bagaikan perintah saja. Puluhan ekor ular


lainnya terus merayap. Bahkan sebagian melompat
menerkam beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit
Tunjang yang berada di dekatnya. Dan tiba....

"Tut..., tulat... tuliiit... tit... tit...!"

Mendadak terdengar irama suling yang berirama dan


mendayu-dayu.

"Heh?!"

ENAM

"Dasar kunyuk Sanjaya! Kau pikir punya kemampuan


melawanku!" desis Ki Sanca Manuk geram.

Betapa tidak? Akibat irama seruling yang dimainkan Ki


Sanjaya, ratusan ekor ular itu kelihatan bingung. Dan
perlahan lahan binatang-binatang melata itu melepaskan
mangsanya. Lalu dengan perlahan-lahan pula, mereka
bergerak menuju tuannya sambil mendesis-desis garang.

Sementara Ki Sanca Manuk segera mengangkat tongkatnya


dan menempelkannya di bibir seperti orang meniup suling.
Dan benar saja! Kini ter​dengar irama yang mengalun dan
tongkatnya, yang mulai menindih irama suling Ki Sanjaya.
Bahkan dari mulut tongkat itu pun mengepul asap hitam
tipis yang menerpa ular-ular di dekatnya.

"Zzzsss...!"

Mendadak saja ratusan ekor ular itu kini berbalik arah dan
terlihat semakin galak. Lidah mereka menjulur berkali-kali
dengan sorot mata memancar tajam berkilat. Dan yang
lebih mengejutkan lagi, ular-ular itu kini menyerang Ki
Sanjaya, Nini Anting, serta Tiga Setan Bukit Tunjang. Karuan
saja kelima orang itu tersentak. Dan tentu saja mereka
segera bertindak.

"Cacing-cacing keparat! Kau pikir bisa mencelakakanku,


heh?!" geram Nini Anting sambil mencabut sepasang
pedangnya.

"Hiiih!"
Tes! Tes!

Sekali pedangnya berkelebat, maka beberapa ekor ular


langsung terputus tubuhnya. Begitu juga halnya Ki Sanjaya.
Kipasnya yang sudah terkembang, seketika menyambar
ular-ular yang menyerang tubuhnya. Beberapa ekor ular
langsung hancur dikepruk sulingnya. Sementara yang lain
tercabik-cabik ujung kipasnya yang tajam. Sedangkan Tiga
Setan Bukit Tunjang pun tak kalah ganasnya. Mere​ka
serentak bergerak menghajar ular-ular itu dengan gemas.
Sehingga dalam waktu singkat saja, terlihat puluhan ekor
ular telah tergeletak menjadi bangkai.

"Ha ha ha...! Ayo! Panggillah semua ularmu, Sanca Kunyuk.


Biar kami lahap semuanya!" ejek Ki Sanjaya sambil
terkekeh-kekeh.

"Huh, sial! Sudah! Sudah...! Lama-lama bisa habis anak


buahku!" sentak Ki Sanca Manuk kesal.

Sebentar kemudian, lelaki tua yang ubun-ubunnya botak itu


meniupkan satu irama dari tongkat​nya. Sehingga ular-ular
yang menjadi anak buahnya kembali berkumpul di dekatnya
seperti tadi.

"Nah, Kunyuk Sanjaya. Ada apa kau mengundangku ke bukit


ini?" tanya Ki Sanca Manuk tanpa basa-basi lagi.

"Sobatku, Ki Sanca Manuk. Apakah kau tak ingin


membicarakannya di kediaman murid-murid keponakanku.
Di sana, kau bisa sekalian beristirahat.

"Tidak usah banyak peradatan segala. Katakan saja, apa


urusannya kau mengundangku ke sini?!"

"Masih ingatkah kau akan kematian kedua kawan kita si


Burisrawa dan Balung Geni?"
"Hm.... Memangnya kenapa?" gumam Ki San​ca Manuk.

"Apakah kau hanya akan berpangku tangan saja melihat


kematian mereka yang sia-sia?"

"Tentu saja tidak! Aku memang tengah mencari pembunuh


keparat itu. Kalau saja kau tak mengganggu dengan
mengundangku kemari, tentu aku telah berhasil
menemuinya. Dan saat ini, bocah itu tentu lehernya telah
kupatahkan!"

"Apa kau tahu siapa yang membunuh mere​ka?"

"Hm.... Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Rajawali Sakti.


Huh! Bocah sial itu belum merasakan tongkatku. Dia akan
mampus di tanganku!" desis Ki Sanca Manuk geram.

"Nah! Bersabarlah sejenak, Sobat. Kuundang kalian berdua


ke sini untuk membicarakan hal itu...."

"Membicarakan katamu, heh?!" potong Ki Sanca Manuk


sambil melotot.

"Ki Sanca Manuk! Kita tak bisa berbuat gegabah terhadap


bocah itu. Kepandaiannya hebat luar biasa. Bisa jadi, salah
seorang dari kita mampu mengimbanginya. Tapi untuk
meyakinkan kematiannya, maka kita harus mencari akal.
Nah, tadi kami telah merembuk soal itu. Dan barangkali, kau
mau mendengarnya," bujuk Ki Sanjaya.

"He! Jangan kau katakan aku setuju, Tua Bangka Peot!"


sentak Nini Anting merasa belum puas.

"Nini Anting, kita bicarakan hal itu nanti..., bujuk Ki sanjaya.


"Heh! Kenapa rupanya nenek bau tanah itu?!" tanya Ki Sanca
Manuk, keras.

"Sanca kunyuk! Jangan sembarangan membuka bacot! Kau


pikir tubuhmu tidak bau tanah, heh?! Kalau mau, biar
sekalian kumasukkan ke dalam ta​nah!" sentak Nini Anting
galak.

"He he he...! Hebat, sungguh hebat! Puluhan tahun telah


berlalu, tapi kelakuan nenek peot ini tak berubah. Hei,
Sanjaya! Untunglah dulu dia tak mau padamu. Kalau kalian
jadi suami-istri, pasti akan gawat keadaanmu...!" teriak Ki
Sanca Manuk.

"Tua bangka kurang ajar! Jangan sembarangan bicara!"

Nini Anting akan melompat menyerang Ki Sanca Manuk.


Namun pada saat itu Ki Sanjaya bu​ru-buru mencekal
tangannya.

"Sudahlah, sudah...! Kita tak akan pernah selesai kalau ribut


terus. Lebih baik mari kita menuju kediaman Tiga Setan
Bukit Tunjang!" cegah Ki Sanjaya.

"Oaaah. Kebetulan perutku memang sedang lapar! Heh,


Sanjaya! Ada makanan apa saja di Sa​na?!"

"Yang jelas, kau tak akan kelaparan," sahut Ki Sanjaya


tenang.

Ki Sanca Manuk terkekeh-kekeh mendengar jawaban itu. Dia


melirik ke arah Nini Anting, namun wanita tua itu melotot
garang sambil menyeringai geram.
********************

Pagi masih terselimut kegelapan. Namun di kejauhan sudah


terdengar kokok ayam jantan saling bersahutan. Dan di pagi
yang bersih dingin menusuk tulang, Pendekar Rajawali Sakti
dan Paman Lanang segera berpamitan pada suami-istri
Bharata dan Melani. Mereka membekali makanan
secukupnya pada Rangga dan Paman Lanang. Padahal
Rangga telah berkali-kali menolak, namun terus dipaksa.

"Rangga... Aku tahu kalian memang mempunyai uang yang


cukup banyak. Tapi, terimalah ini sebagai tanda
persahabatan kami. Karena tak ada barang berharga yang
bisa kami berikan pada kalian berdua.. ," ujar Bharata.

Dan akhirnya Rangga memang tak kuasa menolak


pemberian mereka. "Ki Bharata, terima kasih...."

Laki-laki itu menganggukkan kepala sambil memeluk


pinggang istrinya di depan pintu pondoknya.

"Rangga…”

Pemuda berbaju rompi putih itu melirik ke arah istri Bharata.


"Ada apa, Ni...?"

"Rangga, bukankah kau mengatakan kalau kalian tinggal di


kotaraja?" tanya wanita itu.

"Benar."
"Dan kau mengatakan pernah ke istana kerajaan?"
"Ya...."
"Pernah bertemu Gusti Prabu?"
"Pernah..."

"Kau katakan kalau Gusti Prabu ramah, dan sudi bertemu


rakyat jelata seperti kami?"

"Tentu saja. Beliau akan senang sekali jika rakyatnya mau


bertemu dengannya!" sahut Rangga cepat.

"Menurutmu, apakah jika kami pergi ke kota​raja dan ingin


bertemu, beliau akan mengizinkannya?"

"Ni, aku yakin sekali beliau pasti akan suka menerima


kedatangan kalian," tegas Rangga.

"Terima kasih...."

"Hm... Kalau demikian, kami mohon pamit dulu," lanjut


Rangga sambil memberi salam hormat.

"Selamat jalan, Rangga, Paman Lanang. Mudah-mudahan


kalian selamat..!" sahut suami-istri itu. Mereka kemudian
melambaikan tangan ketika kedua tamunya mulai beranjak
pergi meninggalkan halaman rumah.

Sementara, Rangga dan Paman Lanang kem​bali


melanjutkan perjalanan menuju arah selatan. Sepanjang
perjalanan, mereka membicarakan sua​mi-istri itu. Terutama
sekali, Paman Lanang yang kini jadi banyak cerita.

"Gusti Prabu, bagaimana jika wanita itu benar-benar datang


ke istana dan melihat kenyataan kalau sebenarnya Gusti
Prabu-lah orang yang pernah ditemuinya?"

"Memangnya kenapa?" sahut Rangga balik bertanya.


"Seorang raja yang berdusta pada rakyatnya pasti tidak bisa
jadi panutan yang baik...," sahut Paman Lanang.

"Apakah paman menganggapku telah ber​dusta padanya?"

"Apakah yang Gusti Prabu katakan padanya bukan suatu


dusta?" sahut Paman Lanang dengan wajah terbodoh.

"Ada hal yang membuat penilaian orang secara umum


benar. Tapi jika diteliti secara seksama, ternyata tidak.
Kenapa? Apakah Paman bisa menjelaskannya?" tanya
Rangga.

"Ampun, Gusti Prabu! Mana mungkin hamba yang bodoh ini


mengetahuinya...," sahut Paman Lanang hormat dan
meredah.

"Paman Lanang, bukankah seorang raja itu secara resmi


berada dalam istana kerajaan? Dan urusan yang
dilakukannya pastilah berkenan dengan tugas-tugas
negara...."

"Benar. Gusti Prabu!"

"Lalu, apakah Paman menganggap kalau perjalanan kita


dalam menemui tabib itu adalah tugas negara?"

"Tentu saja tidak, Gusti Prabu!"

"Syukurlah. Kini Paman telah mengerti...." sahut Rangga


tenang.

"Tapi hamba masih bingung. Gusti Prabu...." sahut Paman


Lanang dengan wajah bingung.

"Artinya, jika tugas negara yang kulakukan, maka aku Raja


Karang Setra. Tapi jika tugas pribadi, maka aku adalah
Rangga," jelas pemuda itu singkat.

Ki Lanang mengangguk-anggukkan kepala mendengar


jawaban yang dikemukan Rangga. Namun mendadak saja
keduanya menghentikan laju kuda-kudanya, ketika beberapa
sosok tu​buh melesat turun dari cabang-cabang pohon di
depan.

"Pendekar Rajawali Sakti, berhenti kau...!

"Hm...," gumam Rangga dan Paman Lanang perlahan. Dan


mereka menunggu tindakan orang-orang itu selanjutnya,
sambil memandang seksama.

Mereka rata-rata memiliki wajah seram dan bersenjatakan


golok tajam mengkilat. Melihat dari sikapnya, jelas orang-
orang itu tidak bersahabat. Rangga menghitung dalam hati.
Dan jumlah mere​ka ternyata sekitar lima belas orang. Salah
seorang yang bertubuh besar dan berikat kepala merah
maju tiga langkah sambil menunjuk pemuda berbaju rompi
putih itu.

"Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sak​ti?!" tanya laki-


laki berikat kepala merah itu.

"Hm... Begitulah orang-orang menyebutku. Sebaliknya,


siapakah kalian? Dan apa yang kalian kehendaki dari kami?"
sahut Rangga tenang.

"Bagus! Kami anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang


membawa pesan dari ketua kami. Beliau mengundangmu
ke sana secepatnya!" ujar orang itu, jumawa.

"Ada urusan apa, sehingga Tiga Setan Bukit Tunjang


mengundangku ke tempatnya? Seingatku, aku tidak
mempunyai kawan yang bernama Tiga Setan Bukit Tunjang.
Lagi pula, nama itu amat asing bagiku!" kata Rangga,
tenang.

"Sudahlah. jangan banyak bicara ikut sajalah dengan kami!"


sentak orang itu.

"Hm... Kalau demikian, katakan pada ketuamu aku tak bisa


memenuhi undangannya," sahut Rangga enteng.

"Jangan gegabah, Kisanak. Kau harus datang ke sana!"


sahut orang itu tegas.

"Hm.... Apakah ketuamu bisa memerintahku seenaknya?"


sahut Rangga mulai tak senang.

"Bisa atau tidak, kau harus datang ke sana!" sahut orang itu
lagi menegaskan.

"Bagaimana kalau aku tidak datang...?!" tanya Rangga


memancing.

"Kau akan menyesal!"


"Kenapa mesti menyesal?"

"Karena kedua kawanmu akan mati percuma akibat


penolakanmu itu!"

"Heh! Apa maksudmu!" sahut Rangga kaget.


"Kenalkan kau pada Bharata dan Melani?"

"Hm.... Apa yang terjadi dengan mereka?!" bentak Rangga


garang.

"Kau kenal baju ini, bukan? Ini milik Bharata. Mereka


sekarang dalam perjalanan ke Bukit Tun​jang!"

"Apa maksudmu?!"

"Dari semalam kami mengikuti kalian. Dan ketika kalian


berdua telah pergi dari rumahnya, kami menangkap suami-
istri itu. Dan beberapa orang kawan kami sekarang tengah
membawanya ke Bukit Tunjang....."

"Keparat licik!" geram Rangga kesal.

"He he he...! Kau tak perlu memaki, Pendekar Rajawali Sakti.


Mereka akan baik-baik saja selama kau berjanji akan
memenuhi undangan Tiga Setan Bukit Tunjang," sahut orang
itu sambil terkekeh ke​cil.

"Apa maksud Tiga Setan Bukit Tunjang mengundangku ke


sana?"

"Jika kau tak memenuhi undangannya, bukan hanya suami-


istri itu saja yang binasa. Tapi, seluruh penduduk desa yang
berada di kaki bukit itu akan dibumihanguskan. Dan seluruh
orang tak berdosa akan kami bantai. Begitu pesan Tiga
Bukit Tun​jang," lanjut orang itu.

"Setaaan...," Paman Lanang memaki dan lang​sung


melompat turun dari kudanya.
"Paman tidak perlu...!" larang Rangga.

"Tapi mereka keterlaluan! Orang-orang ini ha​rus diberi


pelajaran agar mereka tak bisa berbuat sesuka hati...!"
geram Paman Lanang.

"Tenanglah. Biarkan mereka menyelesaikan bicaranya...,"


sahut Rangga berusaha bersikap setenang mungkin.

"He he he...! Ternyata kau lebih bijaksana, Pendekar Rajawali


Sakti. Nah! Tiga Setan Bukit Tunjang memberi waktu
padamu, paling lambat esok hari menjelang sore. Jika kau
tak datang, maka nasib suami-istri itu akan mati sia-sia.
Lalu, berikutnya penduduk desa di kaki bukit itu akan
menyusul! Selamat tinggal...!" kata orang itu sambil
mengajak anak buahnya untuk berlalu dari tempat itu.

Ki Lanang akan mengejar dan melabrak me​reka karena


amarah yang tak tertahan. Namun...

"Tidak perlu, Paman Lanang...," cegah Rangga kembali.

"Kenapa kita harus membiarkan mereka seenaknya


mengatur kita...? Apa Gusti Prabu tak merasa terhina
melihat sikap mereka itu?!"

"Paman! Hal itu sudah biasa dalam dunia persilatan. Dan,


ingat! Saat itu aku hanya orang biasa, bukan Raja Karang
Setra."

Paman Lanang terdiam beberapa saat lamanya mendengar


kata-kata junjungannya. Perlahan-lahan dia kembali menaiki
punggung kudanya. Sesaat kemudian, dipandangnya
pemuda itu dengan wajah khawatir.

"Apakah Gusti Prabu akan memenuhi undangan mereka...?"

Rangga mengangguk pelan.

"Gusti Prabu, hamba merasakan kalau ada sesuatu yang


mereka rencanakan terhadap Gusti Prabu. Yaitu, semacam
jebakan. Sebaiknya Gusti Prabu tak perlu datang ke Sana!"
jelas Paman La​nang mengemukakan kekhawatirannya.

"Aku tahu, Paman Lanang. Tapi aku harus ke sana, untuk


membebasakan suami-istri dan penduduk desa di kaki Bukit
Tunjang yang berada dalam ancaman mereka" sahut
Rangga.

"Tapi, Gusti..."

"Tidak ada hal yang harus dikhawatirkan. Paman," potong


Rangga cepat.

"Mereka orang-orang yang licik, Gusti Prabu."

Rangga kembali tersenyum. "Mari kita ke sana. Lebih cepat


kita sampai, akan lebih baik...," desah Rangga tanpa
mempedulikan kecemasan Paman Lanang.

"Bagaimana dengan tujuan kita untuk menemui tabib itu.


Gusti...?" kata Paman Lanang, mencoba menggugah niat
Rangga.

"Aku harus mendahulukan kepentingan orang banyak


daripada kepentingan pribadi, Paman..." tekad Rangga
tenang.
"Tapi, apakah Gusti Prabu tak mencemaskan Gusti Ayu
Pandan Wangi?"

"Tentu saja aku mencemaskan. Tapi seperti yang Paman


katakan, bukankah keadaan Pandan Wangi tak begitu
membahayakan? Nah, sebaiknya kita tak boleh membuang-
buang waktu"

Ki Lanang tak mampu berkata apa-apa lagi. Perlahan-lahan,


diikutinya Rangga yang sudah menjalankan kudanya. Laki-
laki setengah baya itu mengikuti dari belakang dengan hati
cemas dan was-was.

********************

TUJUH

Bukit Tunjung memang tempat yang mengerikan. Kalaupun


ada desa-desa yang berada di bawah kaki bukit itu, tapi para
penduduknya tak ada yang berani menuju ke puncaknya
Bukit Tunjang sendiri, sebenarnya termasuk daerah tak
bertuan. Letaknya, diapit oleh Kerajaan Karang Setra de​ngan
kerajaan tetangganya. Dan setelah hampir seharian
Pendekar Rajawali Sakti dan Paman La​nang menunggang
kuda, barulah dari kejauhan terlihat Bukit Tunjang yang
gagah perkasa berdiri tegak dengan angkuhnya!

"Paman, di depan sanalah Bukit Tunjang...," kata Rangga


pelan sambil memandang bukit yang jauh di depan sana.

"Gusti Prabu, masih ada kesempatan untuk mengurungkan


niat ke sana...," ujar Ki Lanang pelan seperti mengingatkan
pemuda itu.
"Paman, keputusanku telah bulat..."

"Tapi menurut orang-orang yang kita temui di sepanjang


perjalanan, tempat itu adalah sarang para perampok dan
bajingan-bajingan. Jumlah mereka lebih dari seratus orang,
Gusti!"

"Hal itulah yang kukhawatirkan, Paman."

"Syukurlah kalau memang Gusti Prabu bisa


menyadarinya...," sahut Ki Lanang lega.

"Maksudku jika mereka turun semua dan mem​buat


kekacauan di mana-mana, tentu rakyat yang akan
menderita. Bukankah menjadi kewajibanku untuk memberi
peringatan pada mereka...?" kata Rangga, enteng.

Jawaban tak diduga dari Pendekar Rajawali Sakti membuat


wajah Paman Lanang kembali lesu. "Gusti Prabu! Bukankah
hal ini bisa diselesaikan oleh prajurit kerajaan? Gusti Prabu
tak perlu turun tangan sendiri...," usul Paman Lanang.

"Benar! Hal ini memang bisa dikerjakan prajurit-prajurit


kerajaan. Tapi, apakah aku harus berpangku tangan saja bila
ternyata kejadian buruk itu berada di depan mataku
sendiri...?" sergah Pen​dekar Rajawali Sakti.

"Maaf, Gusti Prabu. Hamba tak bermaksud menggurui...,"


ucap Paman Lanang dengan wajah bersalah.

"Tidak perlu minta maaf, Paman. Aku mengerti


kekhawatiranmu padaku. Tapi percayalah, mudah-mudahan
aku mampu mengatasi persoalan ini," ujar Rangga.
"Dengan seorang diri, Gusti Prabu?"

Rangga tersenyum dan memandang punggawanya itu


dalam-dalam. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk
mantap. "Ya, kurasa memang sebaiknya begitu!"

Pada saat itu, mereka berpapasan dengan beberapa orang


penduduk yang baru kembali dari sawah lading. Mereka
memandang Rangga dan Paman Lanang dengan wajah
cemas. Terbayang cerita-cerita mengerikan dan kecemasan
dalam pandangan mereka. Tentu saja hal itu membuat
Rangga dan Paman Lanang jadi tidak enak hati.

"Kisanak! Kenapa kalian memandang kami demikian?


Apakah ada sesuatu yang aneh pada ka​mi?" tanya Paman
Lanang pada salah seorang yang berada di depannya.

"Kisanak berdua, ke manakah tujuan kalian?" laki-laki tua


berkulit gelap itu balik bertanya.

"Kami bermaksud menuju Bukit Tunjang...."

"Astaga! Sebaiknya urungkan saja niat kalian!" sentak laki-


laki itu, semakin cemas.

"Kenapa, Kisanak?" tanya Rangga.

"Tempat itu memiliki banyak perangkap maut!" jelas laki-laki


itu.

"Perangkap maut bagaimana?" tanya Rangga kembali.

"Banyak terdapat rawa terapung, sumur yang dalam, dan


jebakan maut yang dibuat perampok serta bajingan yang
banyak berkumpul di sana!"

Rangga mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau memang


banyak perangkap maut di tempat itu, bagaimana mereka
dapat mencapai bu​kit dan lereng-lereng di atasnya?" tanya
Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak! Apakah kau bersungguh-sungguh akan ke bukit


itu?" tanya laki-laki itu, semakin cemas.

"Ya! Ada yang harus kukerjakan di Sana."

"Apakah kau ingin bergabung dengan mereka?"

"Tidak, justru sebaliknya..."

"Oh! Kau ingin memerangi mereka?!" lanjut penduduk desa


itu dengan wajah tak percaya.

Rangga mengangguk pelan sambil tersenyum tipis.

"Bagaimana mungkin? Jumlah mereka banyak, sedangkan


kalian hanya berdua?"

"Aku akan memikirkan caranya, Kisanak..."

"Kisanak! Usahamu akan sia-sia saja. Mereka terlalu


tangguh dan berjumlah banyak!"

Rangga hanya tersenyum mendengarnya. "Yah, mudah-


mudahan saja Yang Maha Kuasa selalu melindungiku. Kami
permisi dulu, Kisanak semua," pamit Rangga.
Dan tak lama kemudian Pendekar Rajawali Sakti dan Paman
Lanang menggebah kudanya per​lahan-lahan untuk
melanjutkan perjalanan. Sementara penduduk desa
memandang mereka sambil menggeleng-geleng kepala.

"Ya, Jagat Dewa Batara. Mudah-mudahan Kau melindungi


mereka yang mempunyai niat mulia!" desah salah seorang
penduduk desa.

"Mereka pasti tak akan selamat...," gumam se​orang


kawannya

"Paling tidak, mereka selamat dari perangkap-perangkap


maut itu. Aku telah memberitahukan jalan yang benar agar
tiba di lereng bukit itu dengan aman...," jelas laki-laki yang
tadi berbicara dengan Rangga.

Sampai Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang lenyap


dari pandangan, penduduk desa itu belum juga beranjak!

********************

Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang terdiam


beberapa saat ketika telah berada di Bukit Tunjang. Paman
Lanang masih mencoba membujuk, tapi keputusan Rangga
telah bulat dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Malah
perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti menghela kudanya
mendaki bukit itu. Namun ketika medan yang dilalui mulai
sulit didaki oleh kuda, Rangga kemudian berhenti dan
memandang Paman Lanang.

"Paman, kita tak bisa mendaki bukit ini dengan berkuda ..."
kata Rangga pelan.
"Lalu...?" tanya Paman Lanang.

"Sebaiknya aku berjalan kaki saja...," kata Rangga sambil


melompat turun dari punggung ku​danya. "Paman...

"Ada apa, Gusti Prabu…?"

"Sebaiknya, Paman tidak usah ikut...?"

"Apa maksud Gusti Prabu...?"

"Ada hal lain yang bisa Paman kerjakan. Sebaiknya, Paman


meneruskan perjalanan menemui tabib itu. Atau, kau bisa
pulang ke Karang Setra!"

"Tapi mana bisa hamba meninggalkan Gusti Prabu sendirian


menghadapi bahaya...?!"

"Paman, percayalah Aku bisa mengatasi masalah ini...,"


sahut Rangga berusaha meyakinkan.

"Tapi, jumlah mereka cukup banyak, Gusti Prabu! Hamba


khawatir terjadi apa-apa terhadap Gusti Prabu. Izinkanlah
hamba mendampingi Gusti Prabu...," desak Paman Lanang,
kemudian berlutut di kaki Pendekar Rajawali Sakti.

"Paman, berdirilah..." ujar Rangga.

"Hamba tak akan berdiri, sebelum Gusti Prabu mengizinkan


hamba turut!" sahut Paman Lanang keras kepala.

Rangga mendesah pelan. Kepalanya mendongak ke atas


sesaat, kemudian menghela napas pendek. "Ini untuk
kebaikan kita bersama, Paman. Kerjakanlah tugasmu, dan
jangan khawatirkan keadaanku...." Rangga kembali
rnembujuk.

"Tidak! Hamba tidak akan membiarkan Gusti Prabu


sendirian menghadapi bahaya!" sahut Pa​man Lanang, tetap
keras kepala.

Mendengar jawaban itu, Rangga menyadari kalau Paman


Lanang tak akan menurut kalau tidak berkata dengan nada
keras. "Paman! Ini perintah dariku! Kerjakan tugasmu dan
jangan khawatirkan keadaanku!" kata Rangga tegas.

Setelah itu, Rangga berbalik dan segera menepuk bokong


kudanya. Maka Dewa Bayu kontan berlari kencang, seperti
mengerti isyarat itu. Lalu seketika Pendekar Rajawali Sakti
melesat cepat tanpa mempedulikan Paman Lanang yang
masih berlutut. Dan laki-laki hampir setengah baya itu hanya
terpana, begitu menyadari junjungannya telah lenyap dari
pandangan. Dengan wajah sedih, dia bangkit dan menatap
ke arah melesatnya tubuh Rangga tadi. Cukup lama dia
mematung. Kemudian dengan tergesa-gesa, tiba-tiba
kudanya dipacu cepat.

"Heaaa...!"

"Maafkan aku, Paman Lanang. Aku tidak bermaksud


menyakiti hatimu. Tapi, ini masalah yang amat berbahaya.
Aku tidak ingin melibatkanmu...," lirih suara Rangga, ketika
punggawanya telah pergi dari situ.

Memang, Rangga tak pergi jauh dari situ. Tapi hanya


bersembunyi di balik cabang pohon yang agak jauh dan
tersembunyi. Sebentar kemudian, Rangga melanjutkan
perjalanan perlahan-lahan sambil memperhatikan petunjuk
yang diberikan penduduk desa yang tadi ditemuinya.
Namun, mendadak ketika Pendekar Rajawali Sakti
menerobos sebuah semak belukar. Set! Set! "Heh!" Tiba-tiba
melesat beberapa bambu beracun yang langsung menuju ke
arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga cepat melenting
sambil berputaran menghindarinya. Dan begitu mendarat di
tanah, dia melompat ke salah satu cabang pohon.

Rangga menyadari kalau lebih aman bila melewati jalan


atas. Maka seketika tubuhnya berlompatan ringan dari satu
cabang pohon ke cabang po​hon lainnya. Dan tak berapa
lama kemudian, Pen​dekar Rajawali Sakti tiba di lereng bukit
yang agak luas dan datar dipenuhi rumput menghijau.
Pemuda berbaju rompi putih itu memandang ke sekeliling
yang tampak sunyi seperti tak berpenghuni. Ka​kinya lalu
melangkah pelan-pelan sambil menajamkan pendengaran
dan penglihatan. Dan betul saja, karena...

Set! Set!

Mendadak saat itu berdesingan puluhan anak panah


mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
segera menyadari bahaya yang mengintai dirinya. Maka...

"Hup...!"

Pendekar Rajawali Sakti langsung menjatuhkan diri, seraya


berguling-gulingan untuk menyelamatkan diri. Namun anak
panah itu seperti tiada henti menghujani dirinya.

"Yeaaa...!"

Disertai bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti cepat


bagai kilat melenting kebelakang mendekati rerimbunan
pepohonan. Disadari betul, sekali saja melompat ke atas
untuk menghindari hujan anak panah, maka akan sulit untuk
menghindari serangan berikut di tempat terbuka begini.
Makanya dia bertindak cepat dengan melompat ke
rimbunan pepohonan. Dan sebentar kemudian...

"Hup...!"
Tes...!

Sambil melompat manis sekali ke salah satu cabang pohon,


Rangga cepat memotes sebatang ranting yang cukup kuat.
Dengan ranting di tangan, ditangkisnya hujan anak panah
yang masih menerpa dirinya. Lalu perlahan-lahan dia
bergerak mendekati arah hujan panah itu berasal sambil
memutar ranting di tangannya ke sana kemari.

"Hentikan...!"

Mendadak terdengar bentakan nyaring. Pen​dekar Rajawali


Sakti seketika berhenti dan bediri tegak. Namun, matanya
terus mengawasi dengan sorotan tajam. Tak berapa lama,
terlihat lebih dari tiga puluh orang dengan busur siap
dilepaskan telah mengurung tempat itu. Kemudian tiga
orang yang bertubuh besar sudah berdiri tegak di depan
dengan sinar mata penuh kebencian.

"Ha ha ha ..! Akhirnya Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor


itu mau juga datang mengunjungi tempatku yang buruk ini.
Selamat datang, Pendekar Rajawali Sakti!" kata salah satu
di antara mereka yang memakai baju merah sambil tertawa
keras.

"Kaliankah yang berjuluk Tiga Setan Bukit Tunjang...?!" tanya


Rangga lantang dengan nada dingin.
"Hm... Agaknya kau cepat tanggap, Kisanak. Benar! Kamilah
Tiga Setan Bukit Tunjang. Namaku, Durganda. Dan di
sebelah kiriku, Sugriwa. Sedangkan di kananku Peging
Salira," kata orang yang bernama Durganda
memperkenalkan dua la​ki-laki bertubuh besar yang
menghimpirnya.

"Beginikah cara menyambut seorang tamu yang diundang?"


sindir Rangga, tenang.

"Ha ha ha...! Ini memang penyambutan paling ramah yang


pernah kami lakukan Pendekar Raja​wali Sakti. Apalagi, tamu
terhomat sepertimu," sa​hut Durganda sambil terkekeh-kekeh
kecil.

"Durganda! Tak usah banyak basa-basi segala. Katakan, apa


keinginanmu mengundangku ke sini. Lalu, lepaskan suami-
istri yang kau tawan itu!" sahut Rangga.

"Ha ha ha...! Agaknya kau tidak sabar betul, Pendekar


Rajawali Sakti. Sebenarnya, yang jelas-jelas berkepentingan
denganmu bukan hanya kami. Nanti kau akan tahu sendiri.
Dan mengenai suami-istri itu, jangan khawatir. Selama kau
bersikap baik, maka mereka akan tetap aman."

"Hm.... Apakah kau pikir aku akan percaya begitu saja?"

"Ha ha ha...! Ternyata kau bukan sekadar he​bat, Kisanak.


Tapi juga pintar!" puji Durganda.

Durganda kemudian memberi satu isyarat pada salah


seorang anak buahnya. Dan tak berapa lama kemudian,
muncul Bharata serta istrinya dalam keadaan terbelenggu.
Di samping mereka, terlihat dua orang anak buah Tiga Setan
Bukit Tunjang yang memegangi keduanya. Rangga jadi
memelas melihat suami-istri tak berdosa itu.

"Rangga, pergilah dari tempat ini! Jangan pedulikan kami!"


teriak Bharata memperingatkan.

Tapi teriakan Bharata segera terhenti, ketika anak buah Tiga


Setan Bukit Tunjang yang berada di sebelahnya langsung
mencekal dan membawa mereka berlalu dari tempat itu.

"Nah! Kau lihat, bukan? Mereka baik-baik saja...!" lanjut


Durganda tersenyum mengejek.

"Kisanak! Apa maksudmu sebenarnya meng​undangku ke


sini?" tanya Rangga sambil menahan geram.

"Maksudku? Hm... Kematianmu!" dengus Durganda garang.

Rangga menatap Durganda dengan sorot mata tajam. Dia


tak terlalu heran dengan jawaban itu. Apalagi dengan
penyambutan yang tak bersahabat tadi.

"Kisanak! Antara kau dan aku tak pernah ada urusan


dendam. Kenapa kau menginginkan kematianku?" tanya
pemuda berompi putih itu ingin ta​hu.

"Hm... Siapa bilang demikian? Dosamu telah kelewat


banyak, Pendekar Rajawali Sakti. Dan semua yang berada di
sini pernah berurusan denganmu. Mereka berkumpul di
Bukit Tunjang ini untuk membalas sakit hati padamu!
Apakah hal itu tidak cukup sebagai alasan untuk
menginginkan kematianmu?!" dengus Durganda.
"Hm... Kini kutahu orang-orang macam apa kalian ini
sebenarnya. Ternyata kalian tak lebih dari pengecut-
pengecut yang memancing kedatanganku ke sini, dengan
menggunakan suami-istri itu sebagai umpannya!" dengus
Rangga sambil tersenyum sinis.

"Bicaralah apa saja yang kau suka. Tapi yang jelas, kau telah
masuk perangkap kami. Kau boleh berbangga diri dengan
mengatakan kalau datang ke bukit ini secara mudah. Tapi,
kini kau tak mempunyai jalan keluarnya!" sahut Durganda
dingin.

"Hm, begitukah...?" sahut Rangga, kalem.

"Apakah kau ingin bukti?" sahut Durganda menantang.

Bersamaan dengan selesai kata-katanya, Durganda


langsung memberi isyarat pada anak buahnya. Maka,
sejumlah anak panah kembali melesat ke arah pemuda itu.
Dan Rangga cepat memutar ranting yang sejak tadi masih
dipegangnya untuk menghalau serangan.

"Hiyaaa...!"
Trak! Trak...!"

Sambil membentak nyaring Pendekar Rajawali Sakti


melompat mendekati para pemanah. Namun sebelum
mendekat, mendadak kawan yang lainnya melompat
menyerang dengan pedang dan golok dari arah belakang.
Sementara yang berada di depan, masih terus menghujani
anak panah kepadanya.

"Yeaaa...!"
Beberapa buah golok dan mata pedang menderu
menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Kendati sedikit
terkesiap, namun Pendekar Rajawali Sakti masih sempat
menyelamatkan diri dengan menjatuhkan diri ke tanah.
Tubuhnya terus bergulingan sesaat, kemudian melenting
ringan ke arah mereka sambil mengayunkan ranting di
tangan.

"Hiiih!"
Wuk! Wuk

Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram. Ujung


rantingnya terus bergerak menyambar ke arah
pengeroyoknya. Beberapa orang memang berhasil
menghindarinya. Sedangkan pengeroyok yang ada di
belakang, terpaksa membuat Pendekar Ra​jawali Sakti
menundukkan kepala untuk menghin​darinya. Tapi dalam
keadaan begitu, justru Rangga mampu menyambar
beberapa orang dengan ran​tingnya.

Cras! Cras!

Tiga orang dari kawanan itu kontan memekik kesakitan


sambil memegangi perut yang robek akibat serangan ujung
ranting yang tajam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti mengamuk dengan pengerahan
jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Kawanan itu
kontan dihajarnya tanpa kenal ampun. Sehingga ketika
ranting di tangannya kem​bali berkelebat, maka terdengar
lagi beberapa orang memekik kesakitan dan langsung
ambruk tak berdaya.

"Yeaaa...!"
Mendadak di antara hiruk-pikuk para pengeroyoknya,
Rangga merasakan angin serangan dahsyat ke arahnya.
Maka buru-buru rantingnya diayunkan untuk memapak,
tapi...

Tes! Tes!

"Heh...?!" pemuda itu terkejut ketika melihat rantingnya


putus menjadi beberapa bagian, tersambar serangan gelap
ke arahnya. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan
diri ke tanah, dan langsung bergulingan untuk menghindari
sambaran senjata tajam yang berhawa racun ke arahnya!

DELAPAN

"Hik hik hik...! Inikah Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor


itu? Kau akan mampus di tanganku, Bocah!" terdengar tawa
nyaring yang diikuti berkelebatnya sesosok tubuh
menyerang gencar Pen​dekar Rajawali Sakti.

Rangga tersetak kaget, melihat serangan sosok wanita tua


yang kelihatan bukan main-main. Nyatanya, sosok yang tak
lain Nini Anting itu benar-benar ingin membunuhnya. Maka
dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Pendekar
Rajawali Sakti berusaha menghindari dengan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', yang mampu membawa tubuhnya
berlompatan ke sana kemari!

Dalam keadaan diserang begitu, Rangga bah​kan harus


menghadapi serangan-serangan lain yang tak kalah
gencarnya dari para anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang.
Geraham pemuda itu jadi bergemeletuk, menahan geram
melihat sambaran pedang yang dipegang salah seorang
lawan. Seketika tu​buhnya direndahkan, seraya menangkis
serangan yang mengancam lehernya.

Plakkk!

Dan belum lagi orang itu menyadari, siku Pendekar Rajawali


Sakti telah lebih dulu mampir diulu hatinya.

Bugkh!

Orang itu kontan terjengkang disertai lenguhan kecil.


Sementara Pendekar Rajawali Sakti kembali berkelebatan
dengan mengganti jurusnya menjadi Sayap Rajawali
Membelah Mega' dan 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa', yang dikerahkan secara padu dan bergantian.
Kedua tangannya tak henti-hentinya mengepak seperti
sayap, dan tiba-tiba tubuhnya menukik mencari mangsa.
Korban-korban kembali berjatuhan di tangan pemuda itu.
Namun belum lama berselang.

"Berhenti...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan dahsyat yang membahana di


tempat itu. Dan seketika semua pengeroyok Pendekar
Rajawali Sakti bergerak mundur dan mengelilingi pemuda
itu pada jarak sepuluh langkah. Rangga juga menghentikan
serangannya seraya mendengus geram. Sorot matanya
terlihat tajam, ke arah seorang perempuan tua berpakaian
rapi dan berpenampilan genit. Di tangannya terlihat
sepasang pedang pendek. Rupanya dialah yang
mengeluarkan bertakan tadi.

"Bocah busuk! Hari ini kau tak akan lolos dari kematian!"
geram perempuan tua yang memang Nini Anting dengan
sinar mata penuh kebencian.
"Siapa kau. Dan, kenapa kau begitu mendendam padaku?"
tanya Rangga berusaha bersikap tenang.

"Phuih! Tidak ingatlah kau dengan si Burisrawa dan Balung


Geni yang kau bunuh?! Aku akan menuntut balas atas
kematian mereka!" dengus Nini Anting, setelah
menyemburkan ludahnya.

"Hm... Kini aku mengerti...," Rangga mengangguk-


anggukkan kepala mendengar kata-kata perempuan tua di
depannya.

"Bagus, kalau memang kau sudah mengerti. Mudah-


mudahan kau juga bisa mengerti kalau hari ini kematianmu
telah di ambang pintu!" sahut Nini Anting, garang. Sebentar
kemudian tangannya memberi isyarat. Dan tiba-tiba,
berkelebatlah dua sosok tubuh yang langsung mendarat di
samping Nini Anting.

"Heh?!" Rangga agak tersentak melihat dua orang laki-laki


tua telah berdiri di depanya. Yang seorang berpakaian putih
bersih dan rapi. Tangannya memegang sebuah kipas,
dengan suling berwarna keemasan terselip di pinggang.
Semen​tara yang seorang lagi kelihatan kepalanya botak.
Namun sebenarnya, bagian belakang kepalanya ditumbuhi
rambut panjang yang sudah memutih, bajunya lusuh.
Sementara tangannya memegang tongkat hitam berkepala
ular. Bahkan didekatnya terlihat ratusan ekor ular melata
mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga memang sama sekali tak berpikir adanya jebakan


yang dilakukan Tiga Setan Bukit Tun​jang ini. Namun dia
berusaha setenang mungkin. Kendati tiga orang tua itu jelas
memiliki tingkat kepandaian tinggi, tapi apa boleh buat?

"Hm... Kalau tak salah, kalian adalah tiga dari Lima Datuk
Sesat, bukan?" tanya Rangga, tenang.

"Ha ha ha...! Ternyata otakmu encer juga, Bocah. Sayang


yang dua telah mampus di tanganmu. Kalau tidak, tentu
pertempuran ini akan sema​kin seru. Dan kehadiranmu di
tempat ini juga untuk menyusul mereka ke akherat!" sahut
orang tua yang berkepala botak, dan tak lain dari Ki Sanca
Manuk.

"Sanca kunyuk sial! Diam kau! Kau pikir aku suka basa basi
segala. He, Bocah! Lihat serang​an...!" Nini Anting yang sejak
tadi sudah gemas, tiba tiba langsung saja menyerang
Pendekar Rajawali Sakti.

"He, Nenek Peot! Aku pun tak mau ketinggalan untuk


mendapat bagian...!" teriak orang tua yang tadi memegang
kipas. Dia tak lain dari Ki San​jaya. Dan laki-laki tua itu sudah
melompat menyerang pemuda berbaju rompi putih itu pula.

"Huh! Enak saja kalian berdua! Aku pun ingin ikut mencicipi
sekerat dagingnya untuk anak buahku!" sahut Ki Sanca
Manuk seraya menempelkan tongkatnya ke bibir. Dan itu
dilakukan sambil menerjang ke arah Rangga.

"Yeaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti betul-betul kewalahan mendapat


tiga serangan sekaligus dari tiga datuk rimba persilatan
yang memiliki kepandaian tinggi.

Bet! Bet..!
Ketiga datuk sesat itu agaknya tak mau kepalang tanggung
lagi. Dan mereka sudah lang​sung mengerahkan tingkat
kepandaian yang tertinggi untuk menghajar Pendekar
Rajawali Sakti. Sehingga, dalam waktu singkat saja Rangga
sudah terdesak hebat. Pertarungan berjalan tak seimbang.
Namun dengan pengerahan lima dari rangkaian jurus
'Rajawali Sakti" yang dipadukan, sampai saat ini Pen​dekar
Rajawali Sakti masih mampu bertahan.

Tam​pak Nini Anting menyambar senjatanya. Pendekar


Rajawali Sakti terkejut dan cepat melompat ke belakang.
Namun pada saat itu tongkat Ki Sanca Manuk menyabet
pinggang dan ujung kipas Ki Sanjaya menyambar ke arah
leher. Pendekar Ra​jawali Sakti cepat melenting menghindari
serangan. Namun tak urung, ujung kipas Ki Sanjaya sempat
menyambar dadanya.

Brettt...!
"Akh...!"

Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan ketika kulit


dadanya terluka, lalu mendarat agak jauh dari ketiga
lawannya. "Hm... Mereka tidak bisa didiamkan terus,"
gumam Rangga lalu mengangkat tangannya keatas,
memegang gagang Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dan tak
lama kemudian....

Cring! Seketika sinar biru memancar dari mata pe​dangnya.


Dan bersamaan dengan itu...

Seraaang...!"

Tiga Setan Bukit Tunjang langsung memberi perintah pada


anak buahnya untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti
yang sudah menggenggam pedangnya. Maka saat itu juga
mendesing puluhan anak panah melesat ke arahnya.
Pendekar Rajawali Sakti cepat berusaha rnengelak sambil
memutar-mutar pedangnya yang bersinar biru menyilaukan.
Maka sekali pedangnya berkelebat, beberapa anak panah
rontok di tengah jalan.

Wajah Pendekar Rajawali Sakti tampak sudah berubah


kelam. Dengus napasnya juga makin sering terdengar. Dan
kini sorot matanya tajam bagai elang ketika melihat Tiga
Datuk Sesat itu secara ber​samaan melesat ke arahnya.

Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat menyambut


serangan ketiga lawannya. Dan bersa​maan dengan itu pula
Tiga Setan Bukit Tunjang memberi perintah pada seluruh
anak buahnya un​tuk menyerang. Maka bagai bendungan
jebol, lebih dari seratus anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang
menyerbu bagai air bah tumpah.

Cras!

Dengan geram Pendekar Rajawali Sakti meng​ayunkan


pedangnya ke sana kemari menyambar orang-orang yang
mencoba mendekat.

Cras!
Bret!
"Aaa...!"

Pekik kematian mulai membahana ketika bebe​rapa orang


langsung terjungkal dengan tubuh berlumur darah
tersambar Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Namun
bukannya menjadi takut, justru anak buah Tiga Setan Bukit
Tunjang malah semakin nekat saja menyerang.

Bersamaan dengan itu, Tiga Datuk Sesat itu pun seperti tak
mau kehilangan kesempatan untuk menyerang secara
bergantian, mencari bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali
Sakti yang mematikan.

Pada suatu kesempatan, Nini Anting bergerak cepat dari


arah belakang, saat Rangga tengah sibuk menghadapi
keroyokan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Namun
sebelum serangan wanita tua itu mendekat, tiba-tiba
Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan mengayunkan
pedangnya sekuat tenaga. Begitu cepat gerakannya,
sehingga...

Trang!
Cras!
"Aaa...!"

Sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti memang tak


dapat dicegah. Maka begitu sepasang pedang Nini Anting
remuk tak berbentuk ditebas pedang Pendekar Rajawali
Sakti, Rangga terus menyambar perut perempuan tua itu.

"Nini Anting...!" Ki Sanjaya dan Ki Sanca Ma​nuk terkejut


setengah mati melihat Nini Anting ambruk ke tanah dengan
perut robek mengeluarkan darah.

Nini Anting kini tak bernyawa, terbujur di antara kaki- kaki


mayat orang yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Wanita tua itu memang ceroboh akibat dendam yang
memuncak terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga
tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mampu mengetahui
serangannya meskipun dalam suasana hiruk-pikuk seperti
ini.

"Bocah keparat, mampuslah kau! Yeaaa...!" Ki Sanjaya


menggeram.

Orang tua itu makin bangkit kemarahannya melihat Nini


Anting tewas. Maka tanpa mempedulikan akibatnya,
dihantamnya pemuda itu dengan pukulan jarak jauh yang
bertenaga dalam. Maka seketika selarik sinar kuning tua
menderu ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Melihat hal itu,
Rangga buru-buru melenting tinggi ke udara. Dan tak lama
kemudian...

Blarrr...!
"Aaa...!"

Akibatnya menggenaskan, justru yang dialami anak buah


Tiga Setan Bukit Tunjang, yang berada di dekat Pendekar
Rajawali Sakti. Beberapa orang langsung hancur berantakan
diiringi jerit kematian, dihantam pukulan Ki Sanjaya. Karuan
saja orang-orang itu jadi tercerai-berai.

"Berkumpul! Serang pemuda itu dengan panah selagi


lengah...!" teriak Tiga Setan Bukit Tunjang memberi
perintah.

Maka tanpa diperintah dua kali, mereka menunggu


kesempatan untuk mengincar kelengahan lawan.
Sementara itu dengan amarah yang meluap-luap, Ki Sanjaya
terus mengumbar pukulan mautnya untuk menghajar
Pendekar Rajawali Sakti.

Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti terpaksa jatuh


bangun menghindari pukulan-pukulan maut lawan yang
begitu hebat luar biasa. Dan berkali-kali pula tubuhnya
terhuyung-huyung akibat angin serangan Ki Sanjaya. Dan
ketika satu kali pukulan Ki Sanjaya nyaris menyerempet
bahu kirinya, tubuh Pendekar Rajawali Sakti terjungkal
beberapa langkah. Maka saat itulah puluhan anak panah
kembali mendesing ke arahnya.

"Yeaaa...!"
Twang! Twang!

Cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara sambil


memutar pedangnya untuk menghalau anak panah yang
meluncur ke arahnya.

Trak! Tras!

Semua anak panah berhasil dipukul rontok sebelum


menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sak​ti. Dan begitu tubuh
Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah, saat itu juga Ki
Sanjaya serta Ki Sanca Manuk kembali bergerak
bersamaan, mengirimkan pukulan maut mereka. Dan
sebelum pukulan jarak jauh itu mendekat, Pendekar
Rajawali Sakti mengusap batang pedang pusakanya dengan
telapak kiri. Dan bersamaan dengan itu, pedangnya cepat
dimasukkan kembali dalam warangkanya. Lalu...

'"Aji Cakra Buana Sukma'! Yeaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua


tangannya yang sudah terselimut cahaya biru sebesar
kepala bayi. Maka seketika, melesat cahaya biru ke arah dua
cahaya yang hampir menjamahnya. Sebentar kemudian...

Glarrr...!
"Aaa..! Aaakh...!"

Terdengar ledakan dahsyat yang disusul jeritan menyayat


begitu tiga jenis cahaya berada pada satu titik. Semua orang
yang ada di situ kontan tersentak kaget. Mereka kini hanya
bisa melihat asap hitam mengepul perlahan ke udara. Dan
sebenarnya, ketiga orang yang tengah bertarung itu
terpental jauh.

Tiga Setan Bukit Tunjang melihat kedua orang datuk sesat


itu terselimut cahaya biru waktu terpental tadi. Dan ketika
tubuh mereka jatuh ke tanah, langsung hancur berkeping-
keping seperti daging cincang yang hangus terbakar!

Sementara itu keadaan Pendekar Rajawali Sak​ti sedikit


beruntung. Berkat tenaga dalamnya yang sudah sangat
sempurna, dia terhindar dari kematian. Begitu tubuhnya
terjungkal ke tanah, dari mulutnya berkali-kali memuntahkan
darah kental. Kini tubuhnya tergeletak tak berdaya, dengan
tenaga terkuras habis. Bahkan untuk berdiri saja terasa
sulit. Beberapa kali dicobanya untuk bangkit, na​mun saat itu
juga kembali terjerembab. Pemuda itu merayap untuk
menjauhi lawan-lawannya.

Sementara, melihat kesempatan itu Tiga Setan Bukit


Tunjang mendengus sinis. "Huh! Sekaranglah kematianmu,
Pendekar Ra​jawali Sakti...!" dengus Durganda.

"Seraaang...!" teriak Peging Salira memberi perintah.

Maka saat itu juga seluruh anak buah Tiga Setan Bukit
Tunjang bersiap memanah pemuda itu. Namun belum juga
mereka melepaskan anak pa​nah, tiba-tiba...
"Aaa...! Aaa...!"

Mendadak terdengar raungan kematian dari anak buah Tiga


Setan Bukit Tunjang. Mereka kon​tan buyar, tertembus anak-
anak panah yang entah dari mana datangnya.

"Heh?!"

Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget, begitu melihat


lebih dari dua ratus orang-orang berseragam prajurit
kerajaan telah mengepung tempat itu.

"Terus seraaang..."

Rangga seperti bermimpi melihatnya. Dari mana datangnya


prajurit-prajuti kerajaan sebanyak itu?

"Gusti Prabu, maafkan hamba tidak mematuhi


perintahmu...!" tiba-tiba terdengar suara seseorang sambil
berlutut di hadapannya.

"Paman Lanang...?!" desis Rangga pelan.

"Ampun, Gusti. Hamba tidak bisa membiarkanmu sendiri


menghadapi bahaya. Jadi, hamba mendatangi tiga
kadipaten di wilayah Karang Setra untuk meminta bantuan
prajurit-prajuritnya. Ampunkan perbuatan hamba, Gusti
Prabu...!" jelas Pa​man Lanang.

Rangga tersenyum mendengar penjelasan itu. "Paman,


justru aku berterima kasih atas pertolongan kalian...." sahut
Rangga lirih.

"Terima kasih, Gusti. Oh! Apakah Gusti Prabu baik-baik


saja?!" tanya Paman Lanang cemas.

"Aku tidak apa-apa, Paman...."

"Tapi..., tapi Gusti Prabu terluka dalam...?!" desis Paman


Lanang kembali.

Rangga tersenyum. "Paman, tolong bawa dan sandarkan


tubuhku ini di bawah pohon itu...," pinta Rangga.

Dengan sigap Paman Lanang mengerjakan apa yang


diperintahkan pemuda itu. Kemudian, Rangga duduk bersila
dengan tenang sambil mengatur pernapasannya. Bola
matanya sekilas melirik kepada pasukan kerajaan yang
mampu mencerai-beraikan anak buah Tiga Setan Bukit
Tunjang. Banyak di antara mereka yang tewas, dan sisanya
melarikan diri. Dia yakin, ketiga adipati yang memimpin
serangan ini mampu mengatasi Tiga Setan Bukit Tun​jang.
Dan ternyata, hal itu terbukti karena sebentar kemudian
terdengar sorak sorai prajurit-prajurit yang menyatakan
kalau Tiga Setan Bukit Tunjang telah tewas!

"Gusti Prabu... Hamba Adipati Narasoma, menghaturkan


sembah. Maafkan kedatangan hamba yang terlambat..!"
ucap seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun.
Tubuhnya yang tegap, berlutut di hadapan Rangga.

"Adipati.... Aku menghargai kerjamu. Kau da​tang tepat


waktu dengan prajurit-prajuritmu. Terima kasih...," sahut
Rangga.

Kedua adipati lain segera ikut berlutut di samping Adipati


Narasoma. Demikian juga prajurit-prajurit kadipaten lain.
"Paman... Bolehkah seorang raja sedikit berbuat tidak
bijaksana...!" tanya Rangga lirih, pada Paman Lanang yang
berada di sampingnya.

"Gusti Prabu.... Menurut hamba, seorang raja adalah


manusia biasa juga. Bukankah kodrat manusia itu tidak
sempurna?"

"Terima kasih, Paman. Kalau demikian, tolong perintahkan


seorang prajurit untuk menemui tabib itu."

"Dengan senang hati, Gusti...," sahut Paman Lanang.

Kemudian laki-laki setengah baya itu memberitahukan


Adipati Narasoma yang langsung memerintahkan seorang
prajuritnya untuk melaksanakan pe​rintah Gusti Prabu
Rangga.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: GERHANA DARAH BIRU

Network Marketing Secrets Book


Discover The Network Marketing Secrets That Have
Built 99% Of Successful MLM Companies
Network Marketing Secrets Open

Pendekar Rajawali Sakti


Is Hemsworth's Career Over? -
Why He Is Leaving Film World
Iklan mydeskcollective.com

Memburu
Pengkhianat
sonnyogawa.com

Cerita Silat Online


Pendekar…
sonnyogawa.com

Srigala Bukit Maut


sonnyogawa.com

Pusaka Pantai
Selatan
sonnyogawa.com

Dendam Membara
sonnyogawa.com

Serial Pendekar
Naga Putih
sonnyogawa.com

Istana Ratu Sihir


sonnyogawa.com
Datuk Muka Hitam
sonnyogawa.com

Wanita Iblis
sonnyogawa.com

Gerhana Darah
Biru
sonnyogawa.com

Iklan 1. Doa mengusir jin dan setan mp3


2. Garam bukit halagel
3. Harga hotel bukit merah

COPYRIGHT © 2020 · SONNY OGAWA ALL RIGHT RESERVED

Anda mungkin juga menyukai