Anda di halaman 1dari 105

About Contact Privacy Disclaimer Daftar isi

! " # $ %
Sonny Ogawa

Cersil Tempat Seputar Artikel &


Online Hiburan Wisata Islam Umum Placement

Sell
Training?Switch to selling
live online courses

Find out how

Populer Post
Home Pendekar Rajawali Sakti Kitab Pelebur Jiwa

Cersil Silat Online Karya Kho


Ping Hoo

Pendekar Buta

Jaka Lola Jilid 01

Iblis Wajah Seribu

Cerita Silat Online Pendekar


Rajawali Sakti

Tentang Sebuah Pertanyaan


Tanda-tandanya wanita jatuh
cinta
Kitab Pelebur Jiwa
Pertarungan Di Bukit Setan

Published by Sonny Ogawa 29 January 2018 Cerita Silat Pendekar Kapak


Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng

Serial Pendekar Naga Putih

KITAB PELEBUR JIWA


SATU

“Gila! Tempat apa ini?!” maki seorang pemuda tampan


berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala
burung di punggung.

Pemuda yang tak lain Rangga yang di kalangan persilatan


dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti ini mengedarkan
pandangan ke sekitarnya. Tempat yang disinggahinya ini
terasa demikian sunyi. Seakan-akan tidak ada kehidupan di
sana. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanya
gumpalan kabut putih yang menghampar, bagaikan
permadani dari kapas. Membentang luas tak terbatas.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian berjalan mengikuti jalan


setapak yang sangat licin. Namun, tiba-tiba saja saat
kakinya menginjak benda bulat memanjang tubuhnya
tergelincir. Dia terguling-guling, dan langsung melayang-
layang masuk ke dalam jurang. Rangga menjerit sekeras-
kerasnya, namun gema suaranya lenyap seakan ditelan
kehampaan.

Buuuk!

“Huuugkh...!” Pemuda berbaju rompi putih ini terhempas di


atas batu-batuan cadas. Belum sempat bangkit berdiri,
ribuan kalajengking mendadak menyerangnya. Mati-matian
Rangga menyelamatkan diri sambil berusaha menghalau
binatang-binatang menjijikkan itu. Kemudian tanpa
menghiraukan rasa sakit di sekujur tubuhnya, pemuda ini
berlari dan terus berlari. Sampai akhirnya terdampar di
sebuah tempat yang tak kalah asing.

Tempat yang sekarang ini menebarkan bau busuk, hingga


membuat perut pemuda ini mual. Rangga segera
memperhatikan suasana sekelilingnya. Sayup-sayup
telinganya mendengar suara mencicit yang menyakitkan
gendang-gendang telinga. Ketika pemuda berbaju rompi
putih ini memandang ke arah cabang-cabang pohon di
atasnya, terlihat ribuan pasang mata berwarna merah
menyorot ke arahnya.

“Cieeet...!”

Kembali terdengar suara mencicit dan suara kepakan sayap.


Tiba-tiba saja dari seluruh penjuru udara, ribuan ekor
kelelawar menyerangnya dengan ganas. Merasa dirinya
terancam, Rangga segera melepaskan beberapa pukulan
dahsyat ke arah kelelawar-kelelawar itu. Tetapi anehnya,
tidak seekor pun yang mati.

“Kelelawar hantu...?!” desis Rangga, bingung sendiri.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti


segera berlari kembali. Herannya, kelelawar-kelelawar itu
tidak mengejarnya. Kini Pendekar Rajawali Sakti sampai di
sebuah tempat lain yang juga tidak kalah asingnya. Tempat
itu juga diwarnai kabut. Hanya suasananya lebih tenang.
“Heh?! Tempat apa lagi ini?” Rangga terkejut. Karena dia
melihat begitu banyak batu 'nisan di sana. Di luar
sepengetahuannya tanah di depannya bergerak-gerak.
Sementara batu-batu nisan pun bergetar. Seakan, ada
sesuatu yang menggerakkan nisan dari dalam. Lalu....

Brooot...!

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat mundur, ketika


dari dalam tanah muncul beberapa pasang tangan berlendir
dan menebarkan bau busuk berusaha menggapai ke
arahnya. Kemunculan tangan itu disusul bagian-bagian
tubuh lainnya. Dan semua ini terasa begitu mengerikan.
Karena, bagian-bagian tubuh itu juga berlendir, berwarna
hijau!

Semakin lama, jumlah mereka semakin banyak. Keadaan


mereka yang berbeda-beda membuat pemandangan makin
menggidikkan. Dan mereka lebih pantas bila disebut mayat
hidup dari dasar neraka!

“Bunuh! Bunuh! Bunuh!” seru salah satu mayat hidup.

“Heaaa...!”

Melihat puluhan mayat hidup itu menyerangnya, Rangga


segera menghadapi. Dihalaunya serangan mereka dengan
jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, salah satu jurus yang
digunakan untuk menghindari serangan.

“Heh?! Rasanya percuma aku menghadapi mereka. Dan


tidak ada salahnya jika aku menghindar saja dulu!” pikir
Rangga.
Tidak ada pilihan lain bagi Rangga. Akhirnya dibuka jalan
kekerasan untuk dapat keluar dari kepungan. Langsung
dikerahkannya jurus-jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali
Sakti’.

“Hiyaaa...!” Rangga segera menerjang beberapa mayat yang


berada paling depan. Kedua tangannya yang terkepal
berkelebatan menghantam. Tetapi, mayat-mayat itu segera
menghindarinya dengan cara melompat ke samping.

Wuuut! Tap!

Bahkan dari dalam tanah, muncul berpasang-pasang tangan


yang langsung menangkap kaki Pendekar Rajawali Sakti.

“Ohhh...!” Rangga mengeluh tertahan, ketika tangan-tangan


berlendir bau busuk ini terus menariknya dengan kekuatan
dahsyat.

“Heaaa...!” Rangga berteriak-teriak sambil meronta.

Pada saat berteriak-teriak seperti itu, tiba-tiba sebuah


tangan yang teramat dingin menyentuh bahunya. “Heh...?!”
Rangga tersentak kaget. Begitu matanya membuka ternyata
dirinya telah berada di bawah sebatang pohon beringin
besar. Yang lebih mengejutkan lagi, tahu-tahu di depannya
berdiri seorang laki-laki tua berbaju putih dan berambut
putih. Tubuhnya kerdil. Sinar matanya lembut, seperti
menyentuh sanubari! Dan sebenarnya, dia memang tidak
pernah lepas dari senyum.

“Siapa kau, Ki?” tanya Rangga.

“He he he...! Aku Ki Renta Alam...!” sahut laki-laki tua


berbadan kerdil sambil tertawa-tawa.

“Mengapa aku berada di sini?” tanya Rangga heran sendiri.

“Lho? Kok malah tanya? Itu urusanmu sendiri...,” jawab


kakek kerdil itu seenaknya.

“Tapi....”

“Tidak perlu kau ceritakan! Aku sudah tahu tentang masalah


mimpimu,” potong Ki Renta Alam.

Rangga terkejut bukan main mendengar ucapan Ki Renta


Alam. Sungguh tidak disangka kalau kakek kerdil ini
mempunyai kemampuan yang sangat jarang dimiliki orang
lain.

“Lalu bagaimana, Ki?” tanya Rangga bingung.

“Menurut mimpimu, kau akan menghadapi seorang musuh


besar yang berkepandaian hebat. Pergilah menuju matahari
terbit. Nanti di sana kau akan menemukan petunjuk. Perlu
ku ingatkan padamu, kau harus berhati-hati!” pesan Ki Renta
Alam.

“Siapa musuh besarku yang kau maksudkan, Ki? Apakah dia


punya dendam padaku?” tanya Rangga tertarik.

“Pertanyaanmu banyak sekali? Begini saja biar kujelaskan


satu persatu!” ujar Ki Renta Alam. “Sebenarnya musuhmu
itu tidak punya dendam denganmu. Hanya saja, dia
mempelajari apa yang kau miliki secara diam-diam. Setelah
bertahun kemudian, diciptakannya jurus-jurus maut yang
dapat menandingi semua kesaktianmu!”
“Dapatkah kau katakan padaku siapa orang itu, Ki?” desak
Rangga sudah tidak sabar.

Yang ditanya langsung tersenyum sambil menggaruk


rambutnya. “Dia seorang iblis! Rajanya manusia sesat.
Bapak moyangnya angkara murka, dan kakek moyangnya
kejahatan! Dia punya dua kepala, empat mata, dan empat
tangan. Kakinya hanya dua. Dan kesaktiannya sulit dijajaki,”
jelas Ki Renta Alam.

“Lalu...?”

“Lalu kau harus mencarinya. Kemudian, kalau perlu basmi


sampai ke akar-akarnya!” lanjut kakek berbadan cebol ini
tegas.

“Menurutmu, dia punya kepandaian tinggi. Mungkinkah aku


dapat menghancurkannya?” tanya Rangga. Entah mengapa,
tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti merasa seperti orang
bodoh dan tidak tahu apa yang harus diperbuat.

“Ha ha ha...! Kalau bukan dia yang hancur, tentu kau yang
mati. Sudah kukatakan, ilmunya sangat tinggi. Tapi jika kau
membiarkannya tentu akan banyak korban yang berjatuhan.
Padahal, kau yang diinginkannya. Kalau orang-orang mati di
tangan musuhmu itu, bukankah kau harus menanggung-
dosa mereka?”

Rangga terdiam. Penjelasan Ki Renta Alam memang dapat


dimengerti. Namun masih banyak hal yang belum
diketahuinya.

“Kalau boleh kutanyakan padamu, apakah iblis itu punya


murid atau mungkin utusan?” Tanya Rangga.

“Tentu saja! Namanya Bara Genta. Dan yang paling


berbahaya lagi, mempunyai Kitab Pelebur Jiwa!” papar Ki
Renta Alam.

“Kitab Pelebur Jiwa?” tanya Rangga.

“Ya.... Kitab itu seperti mempunyai sukma dan raga. Di


dalamnya terkandung kekuatan dahsyat. Sehingga bila
seseorang menginginkan sesuatu, maka akan segera
terkabul.”

“Mengapa bisa begitu? Belum pernah aku mendengar ada


sebuah kitab yang memiliki kekuatan iblis, dan dapat pergi
ke mana-mana!” sergah Rangga tidak percaya.

“Bukan kitabnya yang dapat pergi. Tetapi, kekuatan iblis


yang terkandung di dalamnya yang dapat diperintah...!” jelas
Ki Renta Alam.

“Jadi...!”

“Kau banyak bertanya seperti nenek pikun,” dengus kakek


cebol itu. “Sekarang juga, kau kupersilakan pergi
melaksanakan tugasmu!” Lalu, Ki Renta Alam berjalan
meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti begitu saja. Baru
tiga langkah, tubuhnya sudah menghilang seakan raib
ditelan bumi. Diam-diam Rangga terkejut.

“Hm.... Mungkinkah dia sebangsa makhluk halus...?”


gumam Rangga.

*******************
Sang Maha Tunggal menciptakan di dunia ini serba
berpasang-pasangan. Ada siang, ada pula malam. Ada laki-
laki, dan ada pula perempuan. Begitu pula sifat-sifat yang
diciptakannya. Ada baik, ada jahat. Ada iri, ada pula pasrah
apa adanya. Ada duka, ada pula suka. Demikian pula yang
terjadi pada manusia.

Munculnya seorang pemuda di dunia persilatan yang


berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, kedengkian dan iri hati
telah merasuki jiwa seorang tokoh tua yang selama ini
merasa jumawa dengan kepandaiannya. Tokoh-tokoh pada
masanya tak ada yang tak pernah mendengar seorang
tokoh sesat berjuluk Si Bayang-Bayang.

Entah karena apa, beberapa tahun belakangan ini tokoh itu


telah mengasingkan diri. Dan tak ada yang tahu pula kalau
dalam pengasingan dirinya, Si Bayang-Bayang justru
menciptakan ilmu-ilmu pamungkasnya. Dan itu
dimaksudkan untuk menandingi kesaktian Pendekar
Rajawali Sakti.

Kejumawaan Si Bayang-Bayang ternyata telah menyeretnya


ke lembah kebencian. Merasa paling tinggi ilmunya,
membuatnya ingin melenyapkan saingan satu-satunya
dalam rimba persilatan. Pendekar Rajawali Sakti!

Untuk mengasingkan diri Si Bayang-Bayang mengambil


tempat di Gua Seribu Malam yang letaknya persis di dasar
Laut Utara. Laki-laki berusia sembilan puluh tahun ini
berambut putih, memiliki dua kepala dan tangan. Dia
memang mempunyai penglihatan tajam. Terbukti, tempat
tinggalnya di dalam gua yang senantiasa dalam keadaan
gelap dan tanpa penerangan sama sekali.
Tak heran kalau gua itu dinamakan Gua Seribu Malam.
Dalam kegelapan itu empat pasang mata Si Bayang-Bayang
tampak bersinar seperti cahaya. Untuk sepak terjangnya kali
ini, Si Bayang-Bayang yang bernama asli Rumbai
Mangkulangit tak ingin terjun langsung dalam rimba
persilatan. Oleh sebab itu dia lantas mengambil murid dari
seorang bekas bajak laut yang diceburkan di Laut Utara.
Namanya, Bara Genta.

Bara Genta yang diangkat menjadi murid sekitar enam


tahun yang lalu, sekarang telah memiliki kemajuan sangat
pesat. Baik dalam hal ilmu kanuragan, pukulan-pukulan
sakti, maupun yang menyangkut penggunaan tenaga dalam
dan ilmu meringankan tubuh.

Tampaknya, tokoh yang bergelar Si Bayang-Bayang ini


memang sengaja menciptakan jurus-jurus maupun pukulan
ampuh untuk memunahkan atau paling tidak, mengimbangi
semua kehebatan Pendekar Rajawali Sakti. Jadi tujuan
tokoh itu cukup jelas. Dia sengaja ingin mempunyai seorang
murid yang kepandaiannya melebihi Pendekar Rajawali
Sakti.

Jika muridnya nanti dapat membunuh lawannya, berarti


orang yang merajai rimba persilatan bukan lagi dari
golongan putih, tapi dari golongan hitam. Dan Rumbai
Mangkulangit percaya penuh kalau impiannya bakal
terwujud. Itu karena dia telah menciptakan sebuah kitab
yang diberi nama Pelebur Jiwa. Inilah kitab berisi ajaran-
ajaran kesaktian tinggi yang diciptakan kakek berkepala dua
itu.

Di dalam ruangan gua di bawah dasar Laut Utara yang tidak


pernah mengenal siang dan malam, kini guru dan murid itu
saling berhadapan-hadapan. Empat pasang mata
memandang lurus ke arah pemuda berkulit gelap bernama
Bara Genta yang kini duduk bersimpuh di lantai gua yang
licin, namun menebarkan bau harum.

“Bara Genta! Sekarang sudah waktunya bagiku untuk


menjelaskan kegunaan semua ilmu yang kau miliki.
Pertama yang harus kutekankan padamu adalah kau harus
membuat kekacauan di rimba persilatan! Kau boleh berbuat
apa saja. Termasuk memiliki budak, mempunyai banyak
istri, atau mengumpulkan gadis yang kau sukai. Semua
harus tunduk pada perintahmu! Mereka yang membangkang
adalah musuhmu. Tapi, musuh utamamu hanyalah
Pendekar Rajawali Sakti. Untuk itu, kau harus
membunuhnya dengan menghalalkan segala macam cara!
Ingat! Surgamu hanya di dunia ini saja. Jadi, selama kau
hidup bila kiamat nanti tempatmu yang pasti adalah neraka.
Maka ingat-ingatlah. Selama berada di atas dunia, puaskan
seluruh kemauanmu. Puaskan nafsumu. Dan, puaskan
segala yang kau ingini...!”

“Jadi setelah aku mati nanti, aku tidak punya harapan


masuk surga?” potong Bara Genta, bertanya.

“Seperti perjanjian kita dulu, di rimba persilatan kau


menciptakan neraka dunia bagi orang-orang. Makanya
kutegaskan padamu, kesenanganmu hanya pada saat kau
hidup di dunia ini. Yang terpenting, kau tidak melupakan
tugas yang harus dikerjakan. Bunuh Pendekar Rajawali
Sakti! Bunuh..., bunuh..., bunuh...!” jelas Rumbai
Mangkulangit, memberi perintah.

“Semua yang Guru perintahkan, tidak akan kulupakan. Kalau


boleh aku akan segera berangkat, Guru!” sahut Bara Genta,
mantap.

“Ha ha ha..,! Rupanya kau tidak sabar menunggu


keberangkatanmu. Baiklah! Permintaanmu segera
kukabulkan. Satu hal yang kau harus ingat, bila dalam
keadaan terdesak, ingatlah pada Kitab Pelebur Jiwa. Begitu
kau mengingat dan menyebutkan kemauanmu, maka
pertolongan segera datang. Kitab itu ancaman bagi
keselamatan orang lain! Tapi, penyelamat bagimu. Nah,
sekarang pejamkanlah matamu!” perintah Rumbai
Mangkulangit.

Bara Genta segera memejamkan matanya. Mula-mula yang


didengarnya adalah suara angin ribut. Tanpa disadari
tubuhnya melayang jauh. Kemudian tubuhnya tiba-tiba
tercampak di suatu tempat. Sayup-sayup telinganya
mendengar perintah agar matanya dibuka.

Bara Genta kemudian membuka matanya. Ternyata,


sekarang dia sudah terdampar di pinggir pantai. Untuk
pertama kalinya setelah berada di dalam Gua Seribu Malam,
Bara Genta dapat menghirup udara segar. Dan pemuda
berkulit gelap ini merasa sekaranglah saatnya untuk
memulai petualangannya!

*******************

Ombak saling berkejar-kejaran menuju Pantai Pasir Tambi.


Begitu kembali ke tengah laut, yang tertinggal hanyalah
buih-buih yang langsung hilang diterpa angin. Irama ombak
seperti tak bosan-bosannya menggoyang apa saja yang ada
di sekitar pantai. Termasuk sebuah perahu yang tak terlalu
besar yang baru saja ditambatkan di dermaga yang dibuat
sederhana.

Penduduk Desa Pasir Tambi kenal betul pada laki-laki tua


berpakaian serba hitam yang baru saja menambatkan
perahunya. Bukan saja dikenal sebagai pelaut, namun laki-
laki tua yang sering dipanggil Ki Wanayasa ini juga memiliki
sebuah padepokan yang terletak di tengah desa. Padepokan
Pasir Tambi.

Murid-murid Ki Wanayasa cukup banyak. Di samping itu,


kepandaian laki-laki tua ini cukup tinggi. Maka tak heran bila
para perampok enggan singgah di tempat ini. Mereka akan
berpikir seribu kali bila harus berhadapan dengan Ki
Wanayasa.

“Kakek...! Kek...!”

Sebuah suara merdu, membuat Ki Wanayasa berbalik. Dan


dia melihat seorang gadis cantik berlari-lari
menghampirinya dengan wajah tegang.

“Ada apa, Cucuku Sitoresmi? Mengapa mesti berteriak-


teriak?” tukas Ki Wanayasa ketiga gadis yang ternyata
cucunya tiba satu tombak di depannya.

“Kakek lihat! Orang-orang desa berlarian seperti sedang


terjadi sesuatu di sana!” tunjuk gadis bernama Sitoresmi,
langsung.

Ki Wanayasa cepat menoleh ke arah yang dimaksudkan


gadis berwajah cantik dan berpakaian seperti halnya orang
persilatan. Apa yang dikatakan cucunya memang benar.
Para penduduk tampak berbondong-bondong
menyelamatkan diri bersama anak istrinya.
“Cepat kita ke sana!” ujar laki-laki berbadan tegap ini tanpa
sempat membereskan ikan hasil tangkapannya.

Segera cucu dan kakek ini menghampiri salah satu


penduduk yang tampak pergi dengan tergesa-gesa.

“Kartaran! Apa yang terjadi?” tanya Ki Wanayasa sambil


memegang lengan seorang pemuda yang dalam keadaan
ketakutan.

“Ki...! Sebaiknya kau ikut menyelamatkan diri bersama kami.


Semua murid Padepokan Pasir Tambi telah tewas. Murid
perempuan diperkosa dan dibunuh oleh seorang pemuda
tidak dikenal. Ayo, Ki. Sebelum segala-galanya terlambat!”
seru pemuda bernama Kartaran ketakutan.

Padepokan Pasir Tambi adalah padepokan yang telah


dibangun Ki Wanayasa selama dua puluh tahun. Itu bukan
pekerjaan sembarang. Maka apa yang terjadi di sana
menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, tanpa menghiraukan
ucapan Kartaran, Ki Wanayasa langsung mengajak cucunya
untuk kembali ke padepokan secepat mungkin.

Ki Wanayasa dan Sitoresmi segera mengerahkan ilmu


meringankan tubuh untuk melesat secepatnya. Karena tak
begitu jauh, maka dalam waktu tidak lama mereka telah
sampai di depan padepokan. Di halaman padepokan, Ki
Wanayasa melihat mayat-mayat muridnya bergelimpangan.
Darah menggenang membasahi tempat itu. Beberapa murid
perempuan tergeletak, tanpa selembar pakaian pun.
Sedangkan tepat pada bagian jantung, terdapat sebuah luka
menganga.
Ki Wanayasa menjadi sangat marah. Pipinya
menggembung, pertanda darahnya mendidih seperti
terbakar. Segera diperiksanya murid-muridnya yang lain.
Tetapi, rupanya tidak satu pun dari mereka yang hidup.
Kenyataan ini sungguh mengenaskan! Bertahun-tahun
Padepokan Pasir Tambi dalam keadaan damai, namun kini
telah berubah menjadi ajang pertumpahan darah!

DUA

Ki Wanayasa geram sekali melihat pemandangan di depan


matanya. Entah, iblis biadab mana yang telah melakukan
perbuatan sekeji itu. Dia telah bertekad untuk mencari dan
membuat perhitungan terhadap orang yang membantai
murid-muridnya.

“Auuu... tolooong...!” Tiba-tiba terdengar jeritan seorang


perempuan dari dalam bangunan utama padepokan. Ki
Wanayasa dapat menduga pastilah perempuan itu salah
satu muridnya. Maka tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya
berkelebat ke arah bangunan utama.

Ketika sampai di depan pintu pondok, Ki Wanayasa


langsung mendobrak pintu hingga terbuka lebar. Tapi....

Wuuut...!

“Uts...!”

Bruk! Bruk!

Tiga sosok tubuh melayang ke arah Ki Wanayasa, langsung


menerobos ambang pintu. Ki Wanayasa telah menarik
tubuhnya ke samping. Dan di depannya kini tampak tiga
sosok tubuh wanita dalam keadaan telanjang bulat yang tak
lain murid-murid perempuannya yang telah diperkosa dan
dibunuh secara kejam. Hancur lebur macam bubur hati
orang tua ini. Gerahamnya bergemeletukan pertanda
kemarahannya sudah sampai puncaknya.

Ki Wanayasa baru saja berniat menerjang ke dalam, tapi


tahu-tahu sesosok tubuh yang dalam keadaan telanjang
kembali meluruk ke arahnya.

Buk!

“Hekh...!” Bukan main kuatnya tenaga dorong yang


terkandung dalam luncuran sosok yang telah menjadi mayat
itu. Sehingga membuat Ki Wanayasa hampir terjengkang
tertimpa mayat murid perempuannya sendiri. Untuk
menjaga kemungkinan, Ki Wanayasa melompat ke halaman.
Matanya nyalang, menyorot ke pintu bangunan utama
padepokan.

“Setan Keparat! Iblis dari mana berani menghancurkan


perguruanku?!” teriak laki-laki tua ini menggeledek.

Dari pintu tampak sesosok tubuh melesat keluar, dan


mendarat di halaman padepokan. Kini, tampak jelas satu
sosok bertelanjang dada. Seorang pemuda bercelana hitam
berdiri tegak dengan sikap menantang. Rambutnya tak
terurus seperti rambut orang gila. Tatapan matanya tajam
menusuk, seperti mata harimau dalam gelap.

Sitoresmi yang melihat kemunculan pemuda itu langsung


melompat menghadang. Namun wajahnya cepat
dipalingkan ke arah lain. Rupanya laki-laki berkulit gelap itu
lupa mengancingkan celananya. Sehingga barang
keramatnya yang bergantungan sempat terlihat oleh gadis
ini. Sementara itu, Ki Wanayasa memperhatikan dengan
sorot mata tajam pada pembunuh dan pemerkosa murid-
muridnya. Sekilas saja, namun sudah memuakkan hatinya.

“Bangsat keji! Siapa kau?! Dan, apa salah kami, sehingga


murid-muridku kau bunuh?!” bentak Ki Wanayasa.

“Ha ha ha...! Aku Bara Genta. Membunuh adalah


pekerjaanku! Memperkosa adalah surgaku. Aku hanya ingin
membangun sebuah neraka di dunia ini. Hm.... Apakah
penjelasanku sudah cukup?!” sahut pemuda itu disertai
tawa berkepanjangan.

“Anjing Geladak! Rupanya kau tak lebih dari iblis penghuni


api neraka! Kau harus menebus kematian mereka!
Hiyaaa...!” teriak Ki Wanayasa geram.

Sekejap saja laki-laki tua itu sudah menerjang Bara Genta.


Kakinya meluncur, siap menghantam dada pemuda itu.
Namun rupanya Bara Genta sengaja memasang dadanya.
Dan begitu kaki Ki Wanayasa mendarat pada sasaran,
secepat kilat tangannya terjulur. Tiba-tiba....

Kiah...!

“Huaaakh...!” Kaki laki-laki tua itu berderak retak terkena


pukulan Bara Genta, hingga menjerit tertahan. Dalam
gebrakan pertama saja, Kedua Padepokan Pasir Tambi yang
mempunyai ilmu lumayan ini dapat dijatuhkan. Maka dapat
dibayangkan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki Bara
Genta.

Melihat kakeknya dapat dijatuhkan, Sitoresmi langsung


mencabut pedang pendek yang terselip di pinggangnya.
Gadis itu cepat melompat dua tombak, menghadang Bara
Genta.

“Hei... bagus! Tampaknya kau sengaja menyerahkan diri


padaku. Wajahmu cukup cantik. Hm... nanti kau akan
mendapat pelajaran yang menyenangkan. Dan itu tidak akan
kau lupakan seumur hidup!” sambut Bara Genta disertai
senyum yang lebih mirip seringai. Bola matanya berbinar,
mengandung hasrat menggebu.

“Iblis Keparat! Jangan coba-coba padaku. Menyentuh


kulitku saja, kau mesti mampus!” desis Sitoresmi, ketus.

“Sitoresmi! Sebaiknya selamatkan dirimu! Iblis itu bukan


tandinganmu!” teriak Ki Wanayasa.

Teriakan Ketua Padepokan Pasir Tambi ini tampaknya


memang terlambat, karena cucunya telah menyerang
dengan jurus-jurus pedang yang cukup hebat. Bara Genta
hanya tertawa panjang.

Wut! Wut!

“Haiiit!” Bara Genta tiba-tiba saja melompat ke samping,


kemudian saat pedang di tangan Sitoresmi melesat di
samping rusuk, tubuhnya berputar. Sedangkan tangan
kanan dan kiri meremas dada dan punggung gadis itu.

“Ouuuw...!” Sitoresmi hanya sempat menjerit untuk


kemudian ambruk tak berdaya dalam keadaan tertotok.
Sebuah ilmu totokan yang langka.

Melihat apa yang dilakukan pemuda itu, sadarlah Ki


Wanayasa terhadap apa yang bakal menimpa diri cucunya.
Dia tidak mungkin dapat membebaskan Sitoresmi, sebelum
membunuh Bara Genta.

Karena merasa tidak punya pilihan lain, Ki Wanayasa


bertekad untuk mengerahkan seluruh kemampuannya.
Seketika langsung dicabutnya pedang pendek dari
punggungnya. Pedang kembar itu kemudian diputarnya
sedemikian rupa, menimbulkan suara desir halus. Lalu tiba-
tiba tubuhnya meluruk cepat.

Set! Set!

“Uts...!” Dengan satu gerakan aneh, Bara Genta berkelit ke


samping. Namun pedang lain di tangan Ki Wanayasa
menghadangnya. Sehingga, dia terpaksa melompat mundur
ke belakang.

“Hadapilah jurus ‘Pelumpuh Sang Api’! Heaaa...!”

Disertai teriakan keras, Bara Genta mengerahkan jurus


‘Pelumpuh Sang Api’ yang sangat berbahaya. Dengan jurus
ini, setiap serangan Ki Wanayasa selalu dipatahkan Bara
Genta. Tidak lama setelah dapat menghalau serangan, Bara
Genta menerjang disertai teriakan menggeledek....

“Aji ‘Pedut Segara’! Hiyaaa...!” Seketika segulung angin keras


disertai kabut tebal menghitam terus meluncur keras ke
arah Ki Wanayasa.

Laki-laki tua itu tampaknya merasa kerepotan juga untuk


menghindari serangan. Karena kakinya yang retak memang
sulit digerakkan. Tidak ada pilihan lain terpaksa tubuhnya
dilempar ke samping kiri. Namun pukulan itu dilepaskan
secara beruntun. Padahal, saat itu Ki Wanayasa belum
sempat bangkit berdiri, ketika serangan Bara Genta kembali
melesat. Dan....

Glaaar!

“Aaa...!” Dentuman keras terdengar disertai jerit kematian Ki


Wanayasa. Tubuhnya terlempar, dan langsung berubah
membiru. Dari hidung, mulut, dan telinganya tampak
mengucurkan darah.

“Kakek...!” jerit Sitoresmi, melihat kakeknya terkapar tanpa


daya. Bagaimanapun, dalam keadaan tertotok seperti itu,
Sitoresmi tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan
keselamatan diri sendiri pun terancam.

Bara Genta tertawa melihat Sitoresmi ketakutan.


Dihampirinya gadis itu. Sementara itu, Ki Wanayasa sendiri
tewas beberapa saat setelah terkena pukulan dahsyat tadi.

“Keparat kau! Bebaskan aku. Lebih baik kita bertarung


sampai mati!” teriak gadis itu kalap. Matanya melotot,
menyimpan kebencian.

“Mengapa harus membuang tenaga sia-sia? Bukankah lebih


baik tenagamu dipakai untuk bersenang-senang?” sahut
Bara Genta, menjijikkan.

Tanpa membebaskan totokan, pemuda berkulit gelap itu


kemudian memanggul Sitoresmi di pundaknya. Lalu
tubuhnya berkelebat menuju ke suatu tempat yang sunyi.

Tidak lama setelah kepergian Bara Genta, tampak


berkelebat dua sosok tubuh berpakaian hijau lumut menuju
ke Padepokan Pasir Tambi. Melihat pakaian lusuh yang
dikenakan, tampaknya kedua pemuda ini datang dari
sebuah tempat yang jauh. Sementara tampang mereka
tampak seperti orang gendeng. Kucal dan tak terurus.

Kini setelah sampai di halaman padepokan, mereka jadi


terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat mayat Ki
Wanayasa.

“Gusti Allah.... Apa yang telah terjadi di sini, Subali?!” tanya


salah satu pemuda sambil memeriksa mayat-mayat satu
demi satu. Mereka segera menutupi tubuh-tubuh telanjang
yang tak tentu arah dengan pakaian seadanya.

“Sama seperti kau, Indrajit. Aku juga tidak tahu apa-apa,”


sahut pemuda yang dipanggil Subali tegang.

“Kita sudah terlambat datang. Harusnya, hal ini tidak terjadi


kalau kita tidak saling ngotot di jalanan!” sesal pemuda
bernama Indrajit.

“Sekarang apa kau mau menyalahkan aku, Indrajit?


Firasatku benar tentang bahaya itu. Tapi, kau tetap ngotot
ingin menghubungi padepokan lain dulu. Padahal sesuai
mimpiku, aku melihat api di Pantai Laut Utara ini,” tukas
Subali tidak senang.

“Kau saja yang goblok! Kalau sudah merasa bahwa


]rasatmu benar, mengapa tidak langsung mengajakku
kemari?” sanggah Indrajit tidak puas.

“Sudah! Aku tidak suka mengadu mulut. Ki Wanayasa sudah


tidak bisa kita tolong lagi. Sekarang satu-satunya yang
dapat dilakukan adalah, mengubur mayat ini. Setelah itu,
baru kita hubungi semua orang di dunia persilatan agar
mereka bersikap waspada!”

Sekarang Indrajit tidak bisa menolak perintah saudara


seperguruannya itu. Mereka langsung membuat kubur untuk
Ki Wanayasa dan murid-muridnya.

Setelah selesai menguburkan mayat-mayat, Indrajit dan


Subali langsung beristirahat di pendopo depan. Wajah
mereka berselimut debu dan tampak lesu.

“Kita tidak tahu, siapa sebenarnya yang telah membunuh Ki


Wanayasa dan murid-muridnya. Tindakan pembunuh itu
benar-benar biadab! Belum pernah kulihat pembunuhan
disertai pemerkosaan yang sedemikian keji! Rasanya kalau
aku bisa menangkap pembunuh itu, akan kumakan mulai
dari daging, tulang, sampai kotorannya!” dengus Indrajit.

“Dasar orang jorok! Kotoran orang pun mau kau makan.


Kalau aku sih, tidak begitu. Jika pembunuh keji itu berhasil
kutangkap, maka akan kucopoti tangan dan kakinya.
Kemudian giginya. Baru setelah itu, kubetot pedang tumpul
yang berada di bawah pusarnya!” gemas Subali meluap-
luap.

“Kurasa dia bukan manusia seperti kita. Paling tidak, giginya


bertaring. Matanya juling, karena suka makan beling!”

“Kau ini memang gendeng! Dalam keadaan seperti ini,


masih juga bercanda. Seharusnya kita cari jalan keluar
untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi!” rutuk
Subali sewot.

“Ha ha ha...! Apakah kau harus memungkiri kenyataan,


bahwa sebenarnya kita Sepasang Pendekar Gendeng?”
tukas Indrajit.

Subali hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Ya.... Kita memang Sepasang Pendekar Gendeng. Lalu
menurut otakmu yang gendeng, apa yang harus kita
lakukan?” tanya Subali kemudian.

“Seharusnya kita temui orang desa ini dulu. Barangkali,


mereka melihat pembunuh itu. Siapa tahu?”

“Tapi aku sudah sangat lelah. Sebaiknya kita istirahat dulu.


Baru nanti kita tanyai mereka!” sergah Subali tidak setuju.

“Setuju tidak setuju, suka atau tidak suka, kau harus


mengikuti aku. Kalau tidak...!”

“Kalau tidak kenapa?” potong Subali.

“Kalau tidak akan kuseret kau!” dengus Indrajit.

Dengan terpaksa akhirnya, Subali mengikuti Indrajit. Dalam


perjalanan menuju rumah-rumah yang terdapat di depan,
tidak henti-hentinya dua laki-laki berjuluk Sepasang
Pendekar Gendeng ini berdebat.

“Coba periksa rumah itu. Barangkali kita bisa bertanya pada


orang di dalamnya!” perintah Subali.

“Aku bukan budakmu! Kalau kau mau, sebaiknya kita


periksa bersama-sama,” tolak Indrajit.

“Sontoloyo! Semestinya sudah kutinggalkan kau sejak tadi!”


gerutu Subali.
Tidak lama, mereka mulai memeriksa rumah-rumah yang
ada. Tapi semua rumah yang diperiksa dalam keadaan
kosong, seperti ditinggalkan pemiliknya secara tergesa-
gesa.

“Ke mana mereka?” tanya Indrajit.

“Aku juga tidak tahu, Indrajit. Atau, mungkin mereka


mengungsi?” duga Subali seperti ditujukan pada diri sendiri.

“Kalau begitu, kita tidak akan mendapat petunjuk apa-apa,”


keluh Indrajit, kecewa. “Tapi..., eh! Itu ada orang lari ke
belakang. Kejar dia!”

Sepasang Pendekar Gendeng langsung melakukan


pengejaran dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah
cukup tinggi. Sebentar saja, mereka telah berdiri
menghadang sosok yang lari tadi. Ternyata orang yang
dikejar adalah seorang laki-laki tua. Tampaknya dia sangat
ketakutan melihat kedatangan Sepasang Pendekar
Gendeng.

“Ampun, Tuan! Ampun.... Oh..., jangan bunuh aku. Aku tidak


ikut mengungsi, karena tidak kuat berjalan,” ratap laki-laki
tua itu ketakutan.

Ternyata setelah orang ini diteliti, bagian betisnya terdapat


bisul sebesar dada seorang gadis.

“Hei, ada apa dengan kau ini, Ki?” tanya Subali sambil
tersenyum-senyum.

“Jangan bunuh aku. Anakku banyak dan masih kecil-kecil.


Kalau aku mati, nanti mereka makan apa?”

“Bicaramu ngelantur, Ki. Aku dan kawanku ini hanya ingin


tahu, apakah kau melihat siapa yang telah membunuh Ketua
Padepokan Pasir Tambi?” ujar Subali.

Barulah laki-laki tua itu menarik napas lega. “Oh, aku kira
Tuan-tuan kawan dari iblis itu. Kalau begitu selamatlah aku,”
desah laki-laki tua itu.

“Jawab dulu pertanyaan kami, Ki!” desak Subali tidak sabar.

“Orang-orang di sini mengungsi semuanya. Iblis itu


mencabuti nyawa orang-orang tidak berdosa seenaknya!”
jelas laki-laki tua itu dengan kegeraman yang amat sangat.

“Coba jelaskan ciri-cirinya!” ujar Indrajit.

Dengan tegang laki-laki itu segera menjelaskan ciri-ciri si


pembunuh. Bahkan juga diceritakannya kalau cucu Ki
Wanayasa telah diculik oleh si pembunuh.

Subali dan Indrajit saling pandang. “Cara yang paling baik


adalah dengan mengumpulkan tokoh-tokoh rimba
persilatan. Baru setelah itu, kita cari pemuda iblis terkutuk
itu,” kata Subali.

“Aku hanya menuruti apa yang kau anggap baik saja. Mari
kita pergi!” ajak Indrajit.

********************

Bara Genta meletakkan Sitoresmi di atas tumpukan daun-


daun kering. Di tengah-tengah hutan belantara yang sepi,
jelas membuat gadis berbaju biru semakin ketakutan.
Pemuda berkulit hitam legam ini segera memeriksa
keadaan sekeliling tempat itu. Merasa aman, dihampirinya
calon korbannya kembali. Dan dia segera berbaring di
sebelah gadis itu.

“Jangan macam-macam denganku, Manusia Iblis!” hardik


Sitoresmi.

“Aku tidak pernah berbuat macam-macam. Untuk gadis


sepertimu, aku hanya ingin melakukan satu macam saja. Ha
ha ha...!” sahut Bara Genta sambil tertawa-tawa. Kemudian
tangannya yang kekar itu pun mulai bermain-main di bagian
dada Sitoresmi.

“Bedebah! Enyahkan tanganmu, Keparat...!” desis Sitoresmi.

Dalam keadaan tertotok, tentu saja Sitoresmi tidak dapat


berbuat banyak. Bahkan tidak bisa melakukan apa-apa,
ketika tangan Bara Genta menyelinap di balik pakaian dan
mulai meremas-remas buah dadanya.

“Keparat! Oh, tolong...!”

“Tidak akan ada orang yang dapat menolongmu. Mengapa


kau harus takut? Bukankah aku hanya ingin memberikan
kesenangan padamu!” desah Bara Genta, menjijikkan.

Tampaknya, laki-laki bertelanjang dada ini memang sudah


tidak sabar lagi dengan apa yang akan dilakukannya.
Seketika tangannya cepat bergerak.

Bret! Bret!
“Auuu...!” Sitoresmi menjerit-jerit, manakala pemuda
bertelanjang dada ini merobek-robek pakaian yang melekat
di tubuhnya. Dalam beberapa kejapan saja, gadis itu sudah
dalam keadaan telanjang.

Melihat pemandangan menantang di depannya, gairah


manusia berhati iblis ini semakin berkobar-kobar. Dengan
penuh nafsu diciuminya Sitoresmi. Tangan kanannya terus
bermain di atas dada. Sedangkan tangan kiri meluncur ke
bagian perut dan terus ke bawah. Di sela-sela paha itulah
tangan kiri Bara Genta dengan leluasa bermain. Sampai
kemudian, segala sesuatunya memang tidak dapat ditunda
lagi.

Bara Genta cepat menindih Sitoresmi. Gadis itu berusaha


mati-matian menyelamatkan kehormatannya. Namun dalam
keadaan tertotok seperti itu, apalah dayanya? Laki-laki itu
bagaikan banteng liar yang terus menghempas-hempas di
atas tubuhnya. Entah berapa lama keadaan seperti itu
berlangsung. Sampai akhirnya, Bara Genta terkapar di
samping tubuh Sitoresmi setelah didahului pekik penuh
kenikmatan.

“Hmmm.... Ternyata kau masih suci. Untuk itu, kita dapat


melanjutkan kesenangan ini nanti malam! Sekarang, kuberi
kelonggaran padamu. Kau harus membersihkan diri di
sungai itu!” ujar Bara Genta.

Kemudian pemuda berhati iblis ini membebaskan salah


satu totokan di dada Sitoresmi dengan cara meremasnya
cukup lama. Tetapi di luar dugaan, begitu terbebas gadis
yang telah kehilangan kehormatannya ini langsung
menyambar pedang yang tergeletak tak jauh darinya. Dia
berusaha memasukkan ke dada Bara Genta. Sayang,
rupanya pemuda itu melihat tindakan Sitoresmi.

“Huh! Dikasih susu malah minta racun!” dengus Bara Genta.


Cepat sekali pemuda ini mengibaskan tangannya ke bagian
wajah Sitoresmi. Sehingga....

Praaak!

“Aaa...!” Sitoresmi menjerit tertahan. Kepalanya kontan


hancur. Isi benaknya berhamburan bercampur darah.
Sedangkan sekujur tubuhnya langsung berubah membiru.

“Ha ha ha...! Aku adalah Pembegal Jagad! Tidak seorang


pun yang boleh meremehkan diriku!” teriak Bara Genta
disertai tawa panjang menyeramkan.

********************

TIGA

Indrajit dan Subali akhirnya berhasil mengundang tokoh-


tokoh dunia persilatan yang dikenalnya dengan baik. Pagi
itu, mereka menyatakan persetujuan untuk bertemu di
Gunung Sumbing. Setelah matahari mulai memancarkan
sinarnya di mayapada bagian timur, dari semua penjuru
tampak mulai berdatangan orang-orang persilatan beraliran
putih.

Yang pertama sampai di tempat itu adalah Sepasang


Pendekar Gendeng. Tampaknya, mereka memang tidak
ingin para tokoh persilatan menganggap Sepasang
Pendekar Gendeng sebagai pihak yang mengundang, tidak
dapat menepati waktu.
“Kuharapkan hari ini kita berkumpul semua....”

“Bukankah kita sudah berkumpul?” potong Indrajit.

“Maksudku bukan itu,” sergah Subali tidak senang.

“Lalu?”

“Kau ini bagaimana, sih? Orang-orang yang kita undang itu


yang kuharapkan kedatangannya. Mengerti?!”

“Itu dia!” seru Indrajit.

Subali segera memandang ke arah utara seperti yang


ditunjukkan Indrajit. Saat itu tampak seorang perempuan
tua berkulit hitam menuju ke arah mereka. Rambutnya
panjang, memakai kerudung putih. Sehingga warna kulit dan
kerudungnya sangat bertentangan. Melihat kehadiran
perempuan berkerudung ini, Sepasang Pendekar Gendeng
langsung menjura dalam-dalam.

“Selamat datang dalam pertemuan rahasia ini, Nyai


Jeliteng!” sambut Subali mewakili kawannya.

“Hik hik hik...! Apakah kalian hanya mengundangku saja?


Mana kawan-kawan yang lain?” tanya perempuan bernama
Nyai Jeliteng.

“Dewi Kerudung Perak,” Indrajit langsung menyebut julukan


perempuan tua itu. “Mereka yang lain juga kami undang.
Mungkin sekarang sedang dalam perjalanan.”

“Aku paling tidak sabar menunggu. Tapi, tidak mengapa.


Demi persatuan orang-orang segolongan, kubiarkan
pantatku bisulan karena menunggu orang-orang malas itu!

Ucapan Dewi Kerudung Perak membuat Sepasang Pendekar


Gendeng tersenyum. Dan belum juga mereka memberi
tanggapan, kejap itu juga terdengar suara tawa di kejauhan.
Suara tawa itu semakin lama semakin bertambah jelas.

“Pastilah yang datang itu Si Gila Ketawa! Mestinya hari ini


aku tidak ketemu orang gila itu!” dengus Nyai Jeliteng,
bersungut-sungut.

“Dalam suasana gawat seperti sekarang ini, kami harap


Dewi dapat menahan sabar untuk melupakan persoalan
pribadi!” ujar Indrajit.

“Kurasa Indrajit betul, Dewi. Kita harus bersatu menghadapi


iblis keji. Kalau tidak, maka korban yang berjatuhan akan
semakin banyak lagi!” timpal Subali.

“Sudah! Kalian yang muda tidak usah menggurui yang tua.


Kalian sendiri sama-sama gendengnya!” dengus Nyai
Jeliteng.

Benar saja. Sekejap kemudian, muncul seorang laki-laki


gemuk pendek berbaju dari kulit beruang hitam. Di
punggungnya tergantung dua buah gelang terbang.

“Ha ha ha...! Tidak kusangka di tempat ini telah hadir pula si


perempuan hitam legam. Kalau tidak ada cahaya matahari,
tentu aku tidak dapat melihatmu, Dewi Kerudung Perak?!”
leceh sosok gemuk berjuluk Si Gila Ketawa.

Diejek begitu, tentu Nyai Jeliteng tidak senang. Langsung


diterjangnya Si Gila Ketawa. Baru tubuhnya melayang,
Sepasang Pendekar Gendeng telah menghadang sambil
julurkan tangan.

Duuuk!

“Heh...?!” Dewi Kerudung Perak sangat terkejut. Matanya


melotot dan memandang penuh teguran pada Sepasang
Pendekar Gendeng.

“Huh! Ternyata kalian membelanya?” dengus Dewi Kerudung


Perak tidak senang.

“Tolol dipelihara!” rutuk Subali. “Kami tidak membela siapa-


siapa! Coba kalian pikir baik-baik. Aku mengundang kalian
bukan untuk berkelahi sesama golongan sendiri. Sekarang
kita harus bersatu untuk mencari iblis itu. Jika kalian saling
bunuh di sini, siapa yang rugi?”

“Kau benar, Subali. Mengapa harus membuang tenaga


percuma? Jika kita bertarung sampai menjadi bangkai
sekalipun, tidak ada artinya, Nyai Jeliteng. Paling hanya
menguntungkan cacing tanah saja! Ha ha ha...!” timpal Si
Gila Ketawa sambil terus tertawa.

“Saudara Gila Ketawa! Kuharap Saudara mau menahan tawa


sebentar. Tampaknya, kawan-kawan kita yang lain mulai
datang!” ujar Subali.

Si Gila Ketawa langsung menutup mulutnya. Mereka


terkesiap ketika mendengar suara angin menderu yang
begitu keras disertai suara petir sambung-menyambung.
Lalu....

“Sahabat sekalian. Aku datang memenuhi undangan!”


Sayup-sayup terdengar suara yang ditujukan pada mereka
yang berada di lereng Gunung Sumbing ini.

“Dewa Petir?!” seru Nyai Jeliteng.

Dari arah selatan lereng gunung, tampak melesat sesosok


tubuh berpakaian serba putih. Di lain saat, tampak seorang
laki-laki berbadan kurus berambut putih dan berbaju serba
putih telah berdiri tegak di depan mereka. Sepasang
Pendekar Gendeng, Dewi Kerudung Perak, dan Si Gila
Ketawa langsung menjura dalam-dalam. Memang, Dewa
Petir termasuk sesepuh dari tokoh-tokoh rimba persilatan
golongan putih.

“Selamat datang dalam pertemuan ini, Ki Suta. Kami


mengucapkan terima kasih, karena kau bersedia memenuhi
undangan kami,” sambut Indrajit mewakili yang lainnya.

“Kalian adalah pendekar bebas dalam arti disukai siapa pun.


Kuharap pertemuan ini menghasilkan kesepakatan, agar
kita dapat bersatu menumpas menyebar malapetaka yang
akhir-akhir ini semakin merajalela,” ujar Ki Suta alias Dewa
Petir sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

“Kehadiranmu mempunyai arti besar bagi kami,” timpal Si


Gila Ketawa.

“Sudahlah.... Jangan terlalu berlebihan. Kurasa jika sudah


tidak ada yang ditunggu, kita bisa memulai pembicaraan!”
tegas Ki Suta.

“Masih ada, Ki. Mereka adalah Pendekar Seruling Perak dan


Pendekar Beruang Merah,” lapor Indrajit.
Ki Suta menarik napas panjang. Sebagai orang yang telah
berpengalaman dan sesepuh dalam rimba persilatan, Dewa
Petir tahu benar bagaimana watak kedua pendekar yang
baru disebutkan Indrajit. Mereka paling sulit diajak bicara
baik-baik dan suka melakukan sesuatu sendiri-sendiri.
Walau memang harus diakui, kepandaian mereka cukup
mengagumkan.

“Apakah kau telah menghubungi kedua pendekar itu,


Subali?” tanya Dewa Petir.

“Sudah, Ki!” sahut Subali, pelan.

“Lalu, apa jawaban mereka?” tanya Ki Suta lebih lanjut.

“Mereka berjanji akan membantu hingga persoalan yang


dihadapi benar-benar tuntas,” jelas pemuda itu.

“Kalau itu jawabannya, berarti mereka tidak datang kemari.


Yang jelas mereka langsung mencari iblis itu!” sergah Ki
Suta.

Dewa Petir akhirnya memutuskan untuk segera memulai


memecahkan persoalan yang dihadapi.

“Semua yang hadir di sini,” kata Ki Suta memulai. “Aku perlu


menjelaskan dari mana asal-usul lawan kita. Aku pernah
bermimpi, bertemu lelembut yang bernama Ki Renta Alam.
Menurut dia, orang yang telah melakukan pembunuhan dan
pemerkosaan itu bernama Bara Genta...!”

“Bara Genta?” ulang Si Gila Ketawa, mendesis.

“Ya...! Tentu kau tidak mengenalnya. Karena, aku sendiri


juga tidak kenal. Tapi menurut lelembut yang bernama Ki
Renta Alam, kehadiran Bara Genta yang paling utama
adalah ingin menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti. Ki
Renta Alam mengatakan kalau sudah bertemu pendekar itu
dan membicarakan segala sesuatunya hingga jelas,” papar
Dewa Petir.

Sepasang Pendekar Gendeng, Si Gila Ketawa, dan Nyai


Jeliteng sama terdiam. Mereka mencoba mengingat-ingat,
siapa sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti.

“Ki Suta,” ucap Si Gila Ketawa. “Kalau tidak salah, pendekar


yang dicari Bara Genta adalah pemuda berompi putih
bernama Rangga. Dia pendekar pembela kebenaran.
Namanya saat ini menjadi buah bibir orang. Dia adalah
pendekar golongan lurus. Jika Pendekar Rajawali Sakti
sampai memusuhinya, sekarang sudah jelas bahwa Bara
Gentalah yang telah melakukan pembunuhan dan
pemerkosaan itu. Kita harus mencari untuk
menghentikannya.“

“Memang itu yang akan kita lakukan. Tetapi persoalan yang


paling penting, Bara Genta sebenarnya diutus gurunya agar
dunia persilatan dipimpin oleh orang-orang dari golongan
sesat!”

“Artinya mereka ingin membuat angkara murka di bumi ini?”


tebak Nyai Jeliteng. “Aku pribadi belum pernah bertemu
Pendekar Rajawali Sakti. Namun sepak terjangnya telah
membuatku kagum. Kita harus membantu pemuda itu
dalam mengatasi persoalannya!”

“Yang paling penting, Bara Genta memiliki kepandaian


setara dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kabarnya,
kekuatannya bersumber pada Kitab Pelebur Jiwa. Jika kita
dapat memusnahkan kitab itu, berarti sudah dapat
mengurangi kesaktian Bara Genta,” urai Ki Suta.

“Kitab Pelebur Jiwa? Bagaimana sebuah kitab dapat


menimbulkan kekuatan?” tanya Subali heran.

“Menurut Ki Renta Alam, kitab itu dikendalikan kekuatan


iblis. Karena iblis sejati yang mengendalikannya, maka kitab
itu dapat diperintahkan berbuat apa saja. Termasuk,
membantu Bara Genta dalam mencapai maksudnya.

“Kurasa ada rahasia lain yang terkandung dalam kitab itu,


Ki,” Si Gila Ketawa berpendapat.

“Maksudmu?” tanya Ki Suta.

“Kita tidak tahu asal-usul pemuda itu. Tahu-tahu, dia muncul


melakukan pembunuhan besar-besaran. Apakah ada
hubungannya dengan Genta si bajak laut itu?” duga Si Gila
Ketawa.

“Genta? Maksudmu bekas raja penyamun yang dulu pernah


dikalahkan Ki Wanayasa?” tanya Ki Suta.

“Betul!” jawab Si Gila Ketawa.

Semua orang yang berada di situ terdiam. Mereka kembali


teringat pada kejadian beberapa tahun yang lalu, di mana
seorang pemuda berumur lima belas tahun telah menjadi
kepala bajak laut.

Enam tahun yang silam memang ada seorang bajak laut


yang dipimpin pemuda bernama Genta. Dalam usia semuda
itu, Genta sudah mampu memimpin anak buahnya dalam
melakukan perampokan baik di laut, maupun di desa-desa
pinggir pantai. Tindakan mereka cenderung kejam. Mereka
bukan hanya menjarah harta benda penduduk saja,
melainkan melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak
gadis Desa Pasir Tambi.

Karena ganasnya tindakan mereka, maka Ketua Padepokan


Pasir Tambi yang bernama Ki Wanayasa dan murid-
muridnya melakukan perlawanan. Anggota gerombolan
perampok itu tewas semuanya. Sedangkan pimpinannya
yang bernama Genta disiksa. Ki Wanayasa kemudian
menjatuhkan hukuman berat. Yaitu, dengan membuang
pimpinan perampok ini ke laut, setelah kaki serta tangannya
diikat.

“Ki Wanayasa telah memeriksa Genta ketika itu. Dan dia


dinyatakan mati. Jadi tidak mungkin kalau Genta hidup
kembali!” bantah Subali.

“Lalu, apakah ujung nama pemuda iblis itu hanya kebetulan


saja?” tanya Nyai Jeliteng.

“Yang satu ini lain. Namanya, Bara Genta. Kurasa tidak ada
hubungan apa-apa dengan Genta si bajak laut. Lagipula,
orang yang sudah mati mustahil hidup kembali!” sanggah
Indrajit.

“Menurut Ki Renta Alam,. Bara Genta berasal dari dalam Gua


Seribu Malam. Gua itu terletak di dasar Laut Utara!” jelas
Dewa Petir.

“Sudahlah.... Mungkin semua itu hanya kebetulan saja.


Sekarang apa yang akan kita lakukan?” sela Si Gila Ketawa.
“Sekarang kita saling berbagi tugas,” ujar Dewa Petir.
“Subali, Indrajit, dan Si Gila Ketawa, mencari Pendekar
Rajawali Sakti. Jika sudah bertemu, bantulah dia.
Sedangkan Dewi Kerudung Perak ikut bersamaku untuk
mencari Bara Genta! Mungkin, saat ini Pendekar Seruling
Perak dan Pendekar Beruang Merah sudah melakukan
tugasnya. Pesanku, hati-hatilah kalian. Sebab, yang kita
hadapi memiliki kepandaian sangat hebat.”

“Kami akan selalu mengingat-ingat pesanmu, Ki!” jawab Si


Gila Ketawa mewakili kawan-kawannya.

Dewa Petir dan Dewi Kerudung Perak kemudian


meninggalkan tempat itu. Tinggallah Si Gila Ketawa dan
Sepasang Pendekar Gendeng.

“Kawan-kawan kita sudah berangkat. Apakah kita tetap


menunggu di sini sampai ubanan?” celetuk Indrajit.

“Ha ha ha...! Jangan menyindirku Indrajit. Sekarang kita


berangkat!” sahut Si Gila Ketawa.

Ketiga pendekar yang sama-sama konyol ini akhirnya


menuju ke daerah pinggiran Laut Utara.

********************

Satu sosok bayangan putih berkelebat di antara pohon


besar yang ada di sekelilingnya di Hutan Wonocolo. Dan
tiba-tiba kelebatannya dihentikan ketika melihat seekor
serigala hutan berlari ke semak-semak belukar. Sosok
bayangan putih yang ternyata seorang pemuda berbaju
rompi putih ini langsung melirik ke arah datangnya serigala
tadi.

Pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di


punggung ini mengerutkan keningnya, ketika melihat
ceceran darah. Dengan cepat melakukan pemeriksaan.
Sampai akhirnya ditemukannya mayat seorang gadis tanpa
pakaian tergeletak di semak-semak dengan kepala pecah.
Bagian kepala yang pecah sudah tidak utuh lagi. Rupanya,
serigala tadi telah menggerogoti sebagian kulit dan
dagingnya.

“Pembunuh biadab!” desis pemuda yang tak lain Rangga


alias Pendekar Rajawali Sakti geram. “Aku yakin pelakunya
pastilah orang yang sama.”

Entah mengapa, Rangga sekarang merasa hatinya semakin


terbebani. Bagaimana tidak? Pembunuh itu menghendaki
dirinya. Bukan orang lain. Dia melakukan pembunuhan-
pembunuhan serta pelampiasan nafsunya. Mungkin karena
kebiasaannya, juga karena sengaja ingin memancing
perhatian Pendekar Rajawali Sakti agar terus mencarinya.

“Aku harus menemukan orang itu secepatnya, sebelum


segala-galanya terlambat!” pikir Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga bangkit berdiri. Namun belum sempat
meninggalkan mayat gadis malang itu....

“Pembunuh keji! Dicari-cari, malah membunuh gadis lain di


sini!” Mendadak terdengar bentakan dari belakang Pendekar
Rajawali Sakti yang disusul suara desis angin halus. Sedikit
Rangga melirik.

Wuuut!
Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar begitu melihat
beberapa sinar keperakan meluncur ke arahnya. Seketika
tubuhnya mengegos seraya berputar.

Crep! Crep!

Benda-benda yang ternyata senjata rahasia berupa paku


berwarna perak itu langsung menancap di sebuah pohon
besar.

“Mengapa kau menyerangku, Kisanak? Bahkan menuduhku


yang bukan-bukan?” tanya Rangga heran, ketika di depannya
tahu-tahu telah berdiri seorang laki-laki berumur sekitar
empat puluh tahun. Rambutnya panjang dan memakai ikat
kepala warna putih ini.

“Bukti sudah di depan mata. Kau telah membunuh gadis itu.


Orang pun tidak menyangka kalau kau iblis berhati keji!”
dengus laki-laki ini.

Mendapat tuduhan yang tidak beralasan, Rangga tentu tidak


tinggal diam. “Hati-hatilah bicara, Kisanak! Aku sendiri
sedang mencari si pembunuh yang telah menebar petaka di
mana-mana!” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

Rupanya laki-laki berbaju putih ini tetap tidak mempercayai


ucapan Rangga. “Kau harus mempertanggung jawabkan
perbuatanmu! Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras, laki-laki ini melompat menerjang


Pendekar Rajawali Sakti dengan mengerahkan jurus-jurus
dahsyat. Rangga segera melompat mundur. Namun lawan
terus memburunya. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti
mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang ditunjang
mengandalkan kelincahan tubuhnya, untuk menghindari
serangan. Sedikit pun dia tak ingin membalas serangan.

“Melawan atau tidak melawan, aku tetap akan


membunuhmu!” dengus laki-laki berbaju putih ini.

“Tindakanmu yang gegabah hanya akan membuatmu


menyesal seumur hidup!” gumam Rangga.

“Persetan! Heaaa...!”

“Hmmm...!” gumam Rangga tidak jelas.

Setelah berlangsung lima belas jurus, laki-laki berbaju putih


ini tetap belum dapat mendesak Rangga. Rupanya
kenyataan ini telah membuka matanya. Saat itu juga
dicabutnya seruling perak yang terselip di pinggang. Senjata
itu kemudian diputarnya dengan cepat, menimbulkan suara
menderu-deru. Di lain saat, seruling itu meluncur deras ke
beberapa bagian di tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Karena
cepatnya gerakan senjata itu, hingga sekilas tampak
berubah menjadi banyak.

Melihat kenyataan ini, Rangga harus mengakui kehebatan


lawannya. Apalagi seruling itu mengeluarkan suara
mendengung-dengung menyakitkan telinga.

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras, Rangga merubah


jurusnya menjadi ‘Sayap Rajawali Membela Mega’. Dia
melompat ke depan. Tubuhnya berkelebat mendekati,
sedangkan tangannya yang terjulur berusaha menerobos
pertahanan.

Mendapat serangan dahsyat, laki-laki berbaju putih


mengibaskan tangannya. Rangga segera menarik balik
tangannya, namun kaki kanan cepat meluncur menghantam
pinggang.

Desss!

“Higkh...!” Laki-laki itu kontan terpelanting. Pinggangnya


seperti remuk dan terasa panas sekali. Cepat dia bangkit
berdiri.

“Heaaa...!” Disertai teriakan penuh amarah, laki-laki


bersenjata seruling ini kembali menyerang Pendekar
Rajawali Sakti dengan jurus-jurusnya yang paling hebat!

“Kuperingatkan sekali lagi padamu, kau menyerang orang


yang salah!” teriak Rangga.

Rupanya laki-laki itu tidak meladeninya. Dia malah mulai


melepaskan pukulan mautnya. “Pukulan ‘Cucuran Air Mata
Dewa’!” teriak laki-laki berbaju putih itu dengan suara keras
dengan tangan mengibas ke depan. Dan sederet sinar
merah seperti bara meluncur deras ke arah Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti tentu tidak tinggal diam. Sebelum


sinar merah itu mengenai sasarannya, kedua tangannya
didorong ke depan. “Aji ‘Guntur Geni’! Hiyaaa...!”

Glar! Glaaar!

“Wuaaagkh...!” Teriakan keras laki-laki berbaju putih


terdengar. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Sudut-
sudut bibirnya mengucurkan darah. Sedangkan Rangga
sendiri hanya bergetar saja.
********************

“Hiaaa...!”

Pertarungan kembali terjadi. Rangga sekali lagi


mengegoskan tubuhnya saat sabetan seruling mengancam
kepalanya. Sementara laki-laki berbaju putih sudah
memutar tubuhnya. Senjata di tangannya kembali
menyodok cepat.

“Hup...!” Dengan gerakan cepat luar biasa, Pendekar


Rajawali Sakti melompat ke atas. Sambil berjumpalitan
beberapa kali, kedua tangannya bergerak cepat ke
punggung laki-laki itu. Dan....

Tuk! Tuk!

“Aaa...!” Disertai keluhan tertahan laki-laki itu merasakan


anggota tubuhnya bagai sulit digerakkan. Sadarlah dia kalau
pemuda berbaju rompi putih itu telah menotoknya.

“Kurang ajar! Bebaskan aku...!” teriak laki-laki itu penuh


amarah.

“Kalau aku memang berniat jahat, bukankah kau sudah mati


di tanganku? Aku harus membiarkan keadaanmu seperti itu,
agar niatku untuk mencari Bara Genta tidak terganggu
olehmu!” kata Rangga.

Tanpa berkata-kata lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera


pergi begitu saja. Laki-laki ini tentu saja tidak dapat berbuat
sesuatu, terkecuali mengumpat di hati. Entah sudah berapa
lama dia dalam keadaan seperti itu. Untung saja, tak lama
muncul tiga orang laki-laki yang sangat dikenalnya.
“Hei..., kalian! Bebaskan aku!” seru laki-laki ini, tanpa malu-
malu.

Ketiga laki-laki yang tidak lain Sepasang Pendekar Gendeng


dan Si Gila Ketawa segera datang menghampiri. Namun
baru beberapa langkah, mereka tertegun.

“Hei...? Mengapa Pendekar Seruling Perak seperti patung


begitu?” tanya Subali dengan kening berkerut.

“Tampaknya seseorang telah menotoknya!” dengus Indrajit.

“Ha ha ha...! Kau ini mengapa menjadi patung di tengah


hutan begini, Abiyasa?” tanya Si Gila Ketawa.

“Cepat bebaskan aku! Pemuda berbaju rompi putih itu harus


kukejar!” ujar laki-laki berbaju putih yang ternyata Pendekar
Seruling Perak dan bernama asli Abiyasa.

“Ada apa rupanya?” tanya Si Gila Ketawa. “Jika jadi


pecundang, apa mungkin kau dapat mengalahkannya?”

“Pemuda mana yang kau maksudkan?” tanya Indrajit.

“Pemuda berbaju rompi putih!” jawab Abiyasa, lugas.

Mata mereka bertiga langsung terbelalak. Ciri-ciri yang baru


saja disebutkan Abiyasa sama persis dengan yang
diceritakan Dewa Petir.

“Kau mengejar orang yang salah, Abiyasa! Orang yang


bentrok denganmu pastilah Pendekar Rajawali Sakti yang
harus kita bantu!” tegas Si Gila Ketawa.
“Apa? Tapi dia telah membunuh gadis di semak-semak itu!”
tangkis Pendekar Seruling Perak.

“Gadis...?”

“Ya.... Kalau tidak percaya, lihatlah...!”

Sepasang Pendekar Gendeng segera melakukan


pemeriksaan. Ternyata gadis yang terbunuh tidak lain
Sitoresmi, cucu Ketua Padepokan Pasir Tambi. Tentu kedua
pendekar ini tahu kalau yang melarikan gadis itu tak lain
dari Bara Genta. Jadi, tidak benar Pendekar Rajawali Sakti
yang telah membunuhnya. Apalagi, sempat
memperkosanya.

Mereka kemudian menghampiri Pendekar Seruling Perak


yang baru saja pengaruh totokannya dibebaskan Si Gila
Ketawa.

“Bukan Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya. Kami


pernah ke Desa Pasir Tambi. Tentu kami tahu, apa yang
telah terjadi di sana. Kau telah menyerang orang yang
seharusnya kau bela, Abiyasa!” jelas Indrajit.

“Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu!” sahut Abiyasa, merasa


menyesal.

“Sudahlah! Mumpung belum jauh, sebaiknya kita kejar


Pendekar Rajawali Sakti!” saran Si Gila Ketawa.

“Kita harus menguburkan mayat gadis ini dulu!” bantah


Indrajit.
Yang lain tidak bisa membantah. Mereka lantas membuat
sebuah kubur di bawah sebatang pohon pinus.

“Sungguh mengenaskan keadaannya. Aku bersumpah jika


bertemu Bara Genta, akan kupotong-potong tubuhnya untuk
kuumpankan pada buaya-buaya peliharaanku!” dengus
Pendekar Seruling Perak.

“Itu tolol namanya! Kalau aku, lebih baik dimakan sendiri,”


sergah Si Gila Ketawa.

“Kalian ini memang sama-sama edannya! Sudahlah jangan


ngoceh terus. Sudah saatnya kita menguburkan mayat
gadis ini!” ujar Subali.

Tanpa menghiraukan bau amis yang menebar dari tubuh


Sitoresmi, mereka langsung menggotong ke dalam liang
kubur. Tidak lama, tugas mereka selesai. Kini mereka
melanjutkan perjalanan kembali.

********************

Desa Pasir Molek yang sebelumnya sebuah desa yang


gemah ripah loh jinawi dan aman tenteram, kini telah
berubah menjadi desa mati. Apalagi bila malam telah
datang. Beberapa hari sebelumnya banyak pemuda desa
yang dibunuh secara keji. Gadis-gadis desa yang rata-rata
berparas cantik hilang begitu saja. Bila keesokan harinya
gadis-gadis itu ditemukan, ternyata telah menjadi mayat.
Bagian jantung mereka berlubang. Tubuhnya telanjang,
berwarna biru.

Kejadian demi kejadian itu tentu membuat penduduk


menjadi marah. Dengan dipimpin seorang laki-laki setengah
baya yang menjabat Kepala Desa, para penduduk segera
melakukan pencarian terhadap pelaku pembunuhan dan
pemerkosaan itu. Namun sampai sejauh itu hasilnya tetap
sia-sia belaka.

Kejadian ini tentu sangat mengganggu kehidupan sehari-


hari. Tak heran kalau malam ini Desa Pasir Molek tampak
lengang. Bulan di angkasa sana yang timbul tenggelam
tertutup awan menambah suasana terasa mencekam. Tidak
satu pintu pun yang terbuka. Tampaknya, para penduduk
memang takut pada si pembunuh bila datang lagi.

Terlebih-lebih mereka yang mempunyai anak gadis cantik.


Tak urung kecemasan itu juga melingkupi hati Kepala Desa
Pasir Molek yang juga mempunyai seorang putri yang sudah
menjadi gadis cantik. Kepala desa yang dipanggil penduduk
dengan nama Ki Jatayu bukannya berdiam diri saja
menghadapi masalah ini. Dia pun tiap malam selalu
mengadakan perondaan. Namun tetap saja desanya selalu
kecolongan.

Kini Ki Jatayu duduk termenung di ruangan tengah. Cahaya


lampu minyak yang begitu redup, membuat suasana di
sekitarnya tampak samar-samar.

“Ayah belum lagi tidur?”

Ki Jatayu yang sedang melamun tersentak kaget. Kepalanya


berpaling ke arah datangnya suara. Seorang gadis cantik
berkulit kuning langsat tahu-tahu telah berdiri di
belakangnya.

“Banyak yang Ayah pikirkan beberapa hari ini. Termasuk


juga memikirkan dirimu, Anggraini!” jelas laki-laki setengah
baya itu.

“Mengapa dengan diriku?” tanya gadis bernama Anggraini.

“Kau tahu, bagaimana nasib gadis-gadis seusiamu di desa


ini?” tukas Ki Jatayu, seraya menatap tajam pada anak
gadisnya yang semata wayang.

“Ya...!” jawab Anggraini singkat.

“Ayah khawatir, pemuda iblis itu masih berkeliaran di sekitar


tempat ini. Dalam keadaan begini, seharusnya kau tetap
berada di dalam kamarmu saja!” ujar Ki Jatayu
mengingatkan.

“Ayah! Kurasa semua itu tidak ada gunanya. Jika dia datang,
tentu semua kamar akan digeledahnya. Mungkin lebih baik
jika besok pagi aku mengungsi ke rumah Paman.
Tampaknya, Desa Pacitan tidak diganggu pemuda itu.”

“Sebuah usul yang sangat bagus. Ayah mendukungmu!” ujar


Ki Jatayu langsung setuju.

Kepala desa ini langsung memerintahkan putri tunggalnya


untuk berkemas-kemas. Anggraini segera menuju ke
kamarnya. Dibenahinya seluruh keperluan yang
dibutuhkannya nanti. Dan baru saja Ki Jatayu larut kembali
dalam renungannya...

Tok! Tok! Tok!

Ki Jatayu terkesiap ketika tiba-tiba pintu rumahnya diketuk.


Wajahnya berubah pucat. Firasatnya mengatakan, yang
mengetuk pintu tidak lain dari pemuda iblis yang telah
menculik gadis-gadis desa dan membunuhi pemudanya.
Maka dengan perlahan-lahan dia bangkit dan berjalan ke
dinding rumahnya. Segera diraihnya tombak bermata ganda
yang menjadi penghias ruangan.

Tok! Tok!

Suara ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dari


yang pertama tadi.

“Siapa?” tanya Ki Jatayu, bergetar suaranya.

“Aku...!” sahut suara dari luar.

“Aku siapa?” tanya kepala desa ini tidak sabar.

“Bukalah pintunya. Aku datang dengan maksud baik. Dan


aku sudah mendengar apa yang terjadi di sini!” ujar suara
dari luar.

Keraguan di hati Ki Jatayu mulai berkurang. Sambil


membawa tombak, dihampirinya pintu. Tidak lama, kunci
pintu sudah dibukanya.

Begitu pintu terbuka lebar, Kepala Desa Pasir Molek ini


tertegun.

Di depan pintu tampak berdiri seorang pemuda tampan


berambut panjang sebahu dan memakai baju rompi putih.
Pemuda ini tersenyum ramah pada Ki Jatayu.

“Siapa kau, Anak Muda?” tanya Kepala Desa Pasir Molek,


dengan mata menyelidik penuh kecurigaan.
“Aku Rangga. Aku dalam perjalanan mencari seseorang.
Karena kemalaman, aku terpaksa singgah, sekalian mencari
keterangan di sini,” jelas pemuda yang ternyata Rangga.

“Masuklah!” ujar Ki Jatayu mempersilakan Rangga


memasuki rumahnya. Kendati demikian, sikapnya masih
terlihat kaku.

Setelah Rangga masuk, kepala desa itu segera mengunci


pintu kembali. Ki Jatayu segera mengajak tamunya duduk.
Lalu disuruhnya Anggraini untuk mempersiapkan hidangan.

“Siapa sebenarnya orang yang sedang kau cari-cari itu,


Rangga?” tanya Ki Jatayu.

“Aku mencari pemuda pembunuh dan pemerkosa gadis-


gadis desa. Aku mendapat keterangan, dia sekarang
mengganggu daerah ini,” jelas Pendekar Rajawali Sakti
tenang.

Ki Jatayu menarik napas lega. Pembicaraan mereka


tertunda, karena ketika itu Anggraini datang membawakan
makanan serta kopi panas. Gadis ini sempat melirik Rangga
dengan sudut mata. Ternyata, pemuda ini memiliki wajah
tampan. Anggraini menduga, tentulah dia seorang pendekar.
Setelah meletakkan hidangan di atas meja, Anggraini
kembali ke belakang. Diam-diam dia ikut mendengarkan
pembicaraan ayahnya dengan pemuda itu.

“Silakan dicicipi, Rangga!”

“Terima kasih,” ucap Rangga.

Sambil menikmati hidangan apa adanya, Rangga


menceritakan duduk persoalan yang sebenarnya.
Kebalikannya, Kepala Desa Pasir Molek itu juga
menceritakan apa yang terjadi di desanya.

“Kalau begitu, aku hampir mendapatkan apa yang kucari.


Ketahuilah, Ki. Bara Genta adalah orang yang sangat
berbahaya. Aku ingin tahu, apakah malam ini dia akan
datang ke desa ini?”

“Itu sulit dipastikan! Tapi menurutku, dia mungkin datang.


Sebab sudah hampir sepekan dia menculik gadis-gadis di
daerah ini,” jelas Ki Jatayu.

Ucapan kepala desa tersebut seakan-akan menjadi sebuah


kenyataan. Tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang.
Ketukan itu kemudian semakin keras.

“Kepala Desa! Buka pintunya. Aku Pembegal Jagad ingin


mengambil putrimu yang cantik untuk menemani aku tidur
malam ini. Kepala Desa! Cepat bukaaa...!” teriak suara yang
mengaku berjuluk Pembegal Jagad.

Kepala desa ini menoleh ke arah Rangga, seakan minta


pendapat. Karena Pendekar Rajawali Sakti menggelengkan
kepala, maka Ki Jatayu tetap duduk di tempatnya dengan
perasaan tegang. Sementara itu, Anggraini telah
menghampiri ayahnya. Gadis itu tampak sangat ketakutan!
Keringat dingin telah membasahi tubuhnya yang gemetar.

“Bagaimana ini, Ayah?” tanya gadis itu.

Anggraini memandang ke arah Rangga, seakan


mengharapkan sebuah perlindungan. Sementara Pendekar
Rajawali Sakti bangkit berdiri. Ditepuknya bahu Anggraini.
“Kembalilah ke kamarmu. Jika ada apa-apa di dalam sana,
secepatnya kau keluar!” perintah Rangga dengan suara
pelan.

Anggraini segera mematuhi saran Pendekar Rajawali Sakti.


Sedangkan Rangga menghampiri Ki Jatayu.

“Tetaplah di belakang pintu, Ki. Jika aku tidak sanggup


menahan orang ini, sebaiknya kau dan putrimu cepat
menyingkir!” saran Rangga.

Jika pendekar besar seperti Pendekar Rajawali Sakti


sempat bicara seperti itu, tentu disadari bahwa lawan yang
dihadapinya benar-benar tangguh.

“Kepala Desa! Rupanya kau membangkang perintahku. Aku


jadi ingin tahu, apakah tubuhmu seatos batu karang!”
dengus Pembegal Jagad yang tak lain Bara Genta.

Brak! Brak!

Tiba-tiba terdengar suara berderak. Dengan dua kali dorong,


daun pintu telah hancur berantakan. Di depan pintu yang
hancur kini telah berdiri seorang pemuda berkulit hitam.
Badannya tinggi. Rambutnya lurus seperti bulu landak. Yang
aneh, tatapan matanya tampak menyala seperti api.

“Hemmm.... Rupanya selain Kepala Desa, ada orang lain di


sini. Kau ingin mengandalkan pemuda ini, Kepala Desa?”
gumam Bara Genta.

“Tid... tidak...!” sahut Ki Jatayu ketakutan.


“Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu jika kau
menyerahkan putrimu untuk menemaniku malam ini!” desis
Bara Genta, tanpa memandang mata sama sekali pada
Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti maju selangkah. Tatapan matanya


menyorot tajam pada pemuda bertelanjang dada yang
berdiri di depan pintu.

“Anak Kepala Desa adalah calon istriku!” kata Rangga


berbohong. “Jadi tidak akan kubiarkan walau seekor lalat
pun yang menyentuhnya,” desis Pendekar Rajawali Sakti tak
kalah dingin.

Bara Genta menyeringai. Matanya yang kemerah-merahan


tampak marah sekali.

“Begitu...? Kalau kubunuh calon suaminya, siapa lagi yang


akan menghalanginya?” dengus Pembegal Jagad, dingin.
“Tapi... sebentar dulu...! Melihat ciri-cirimu, kau mirip orang
yang dikatakan guruku. Bukankah kau Pendekar Rajawali
Sakti?”

Rangga merasa kedoknya sudah terbuka. Untuk itu, rasanya


sudah tidak ada gunanya lagi berbohong. “Dugaanmu tidak
salah!” jawab Rangga tenang.

Bara Genta tiba-tiba tergelak-gelak. Kini dia telah


berhadapan dengan orang yang harus dibunuhnya. “Aku
tidak menyangka perjumpaanku denganmu akan
berlangsung secepat ini. Pendekar Rajawali Sakti! Aku
diutus guruku Si Bayang-Bayang untuk mengirimmu ke
neraka. Apakah kau sudah siap mampus...?”
“Kematian adalah sesuatu yang menjadi rahasia Sang
Penguasa Alam. Bukan kau yang menentukan kematianku!”
sahut Rangga, enteng.

“Ha ha ha...! Omong kosong! Aku yang menentukan


kematianmu! Kalau tidak percaya! Hiyaaa...!” teriak Bara
Genta.

Secepat terbang, pemuda bertelanjang dada ini langsung


menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Serangannya sangat
ganas dan mematikan. Dalam gebrakan pertama saja,
Rangga sudah mulai merasakan tekanan berat. Sebagai
pendekar yang sudah berpengalaman, Rangga sadar betul
kalau serangan Pembegal Jagad bertujuan untuk
menghancurkan dirinya. Maka segera tubuhnya
berjumpalitan ke belakang. Karena pertarungan terjadi di
dalam rumah, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat bergerak
leluasa.

“Hiyaaa...!” Rangga tiba-tiba menjulurkan tangannya ke arah


leher Bara Genta. Namun, Pembegal Jagad cepat
menangkisnya.

Plak!

“Heh...?!” Dengan rasa terkejut, kedua orang yang bertarung


terdorong mundur. Rangga merasakan tangannya berubah
dingin akibat benturan tadi. Sebaliknya Bara Genta hanya
bergetar saja. Sekarang sudah jelas kalau tenaga dalam
yang dimiliki masing-masing seimbang.

Kini Bara Genta melakukan serangan balik. Tubuhnya


meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti sambil
melepaskan tendangan berantai.
“Uts...!" Rangga terpaksa bergerak ke samping. Segera
dikerahkannya jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Walaupun
Rangga telah meliukkan tubuhnya dengan sempurna yang
ditunjang gerakan yang lincah, namun tendangan susulan
yang dilakukan Bara Genta sempat menyambar dadanya.
Tidak ampun lagi....

Desss!

“Hugkh...!” Pendekar Rajawali Sakti terpental ke dinding


hingga hancur. Dan tubuh Rangga terus meluncur keluar.
Luncurannya baru terhenti, setelah punggungnya menabrak
pohon belimbing di halaman samping. Dalam suasana
terang benderang bulan purnama, Bara Genta terus
memburunya.

LIMA

Pendekar Rajawali Sakti yang dadanya sempat terasa sesak


segera mengatur pernapasan. Kemudian dia melompat
bangkit pada saat tendangan Pembegal Jagad meluncur
deras ke bagian wajah. Melihat serangan ini Rangga segera
menghadang dengan mempergunakan telapak tangan.

Plak! Tap!

“Auaaa...!” Kini giliran Bara Genta yang terpelanting.


Rupanya dalam upaya menangkis serangan tadi, Rangga
sempat menangkap telapak kaki Pembegal Jagad. Secepat
kilat dan sekuat tenaga didorongnya kaki Bara Genta.

Sambil mendengus-dengus bagaikan banteng mengamuk,


Bara Genta bangkit berdiri. Pada saat yang sama Pendekar
Rajawali Sakti telah melakukan serangan balik. Namun
serangannya yang mengandalkan kaki dan kepalan ini dapat
dihindari Bara Genta, membuat Pendekar Rajawali Sakti tak
habis pikir dengan hati heran. Betapa tidak? Rangga merasa
jurus yang dipergunakan lawannya justru kebalikan dari
jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’.

Keheranan Pendekar Rajawali Sakti rupanya sempat terlihat


oleh Pembegal Jagad. “Kau tidak perlu heran, Pendekar
Rajawali Sakti. Jika kau punya jurus ‘Sembilan Langkah
Ajaib’, maka aku pun punya jurus ‘Liukan Sang Api’. Apakah
kau melihat persamaan dan perbedaannya?” ejek Bara
Genta jumawa.

Sebenarnya, Rangga kembali heran. Dari mana Bara Genta


tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti punya jurus yang
bernama ‘Sembilan Langkah Ajaib’? Namun, dia cepat
memaklumi mengingat Pembegal Jagad adalah murid
tokoh berjuluk Si Bayang-Bayang yang telah lama malang
melintang dalam rimba persilatan.

“Bedanya, kau iblis berkedok manusia! Sedangkan aku


manusia sejati...!” dengus Rangga tidak kalah sengit.

“Keparat sial! Hiyaaa...!” Dengan gusarnya, Bara Genta


kembali membangun serangan gencar. Badan masing-
masing sudah bermandikan keringat. Sampai enam puluh
jurus masih belum ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar
menjadi pemenangnya.

Rangga cepat menghindar dengan melenting ke udara.


Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan beberapa kali di
udara. Saat tubuhnya meluncur deras ke bawah dengan
jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ kaki kanannya
bergerak cepat ke bagian kepala Bara Genta.

“Haiiit!” Secepat kilat Pembegal Jagad yang seakan


mengetahui gerakan Pendekar Rajawali Sakti kaki kirinya
diangkat tinggi-tinggi.

Dhak!

“Uaaakh...!” Masing-masing menjerit keras dan terpental ke


belakang. Baik kaki Rangga maupun kaki Bara Genta sama-
sama memar, membiru. Rangga mengeluh dalam hati.
Sungguh tidak disangka serangannya selalu bisa
dipatahkan lawannya.

Bara Genta bangkit lebih awal dari Rangga. Sambil


terpincang-pincang bibirnya tersenyum dingin. “Jurusmu
memang hebat. Tapi aku mempunyai jurus ‘Mematahkan
Sambaran Sang Api’. Itulah pemunah jurus ‘Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa’!” jelas Bara Genta.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti dibuat kaget lagi. Ternyata


Bara Genta tahu juga nama jurus yang barusan
dipergunakan Rangga.

“Hmmm...,” gumam Rangga tidak jelas.

Tidak disangka-sangka Pembegal Jagad melompat mundur.


Kemudian dikerahkannya tiga perempat dari seluruh tenaga
dalamnya. “Tendangan Badai Topan! Hiyaaa...!” Disertai
teriakan melengking, Bara Genta mengibaskan tangannya
ke depan.

Rangga melihat seleret sinar biru meluncur ke arahnya,


menebarkan hawa dingin menusuk. Tidak menunggu lebih
lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung
mempergunakan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.
Secepat kilat dibuatnya beberapa gerakan. Dan tiba-tiba
tangannya menghentak.

“Heaaa...!” Sinar merah keluar dari tangan Rangga, menebar


hawa panas membakar. Tampaknya, masing-masing jurus
memang hampir mempunyai persamaan. Sekejap
kemudian, kedua sinar itu berbenturan di udara.

Blaaar!

“Aaakh...!” Benturan hawa panas dingin menimbulkan


ledakan keras menggelegar. Karena kuatnya tenaga dalam
yang terkandung, masing-masing terpelanting disertai
jeritan keras.

Baik Rangga maupun Bara Genta sama-sama menderita


luka dalam yang tidak ringan. Sudut-sudut bibir mereka
mengalirkan darah kental. Dengan tertatih-tatih, Rangga
segera duduk bersila. Sementara darah semakin banyak
yang menetes. Kemudian matanya dipejamkan untuk
mengatur napas dan mengerahkan tenaga hawa murni
untuk mengobati luka yang dideritanya.

Pembegal Jagad juga melakukan, hal yang sama.


Keadaannya sedikit lebih lumayan daripada Rangga. Setelah
menelan beberapa buah obat berwarna hitam dan berbau
amis, Bara Genta segera bangkit kembali.

Rangga harus mengakui inilah lawan yang terberat dalam


sejarah petualangannya. Untuk itu dia harus berhati-hati.

“Kuakui, kau memang hebat. Tapi jangan menyangka aku


akan membiarkan segala perbuatan busukmu!” desis
Rangga dingin.

“Jangan kelewat yakin dengan kemampuan diri sendiri,


Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus menyadari dengan
siapa sekarang berhadapan!” balas Bara Genta.

Rupanya diam-diam Pembegal Jagad telah mengerahkan


tenaga dalam kembali ke bagian telapak tangannya.
Saatnya sekarang dia bersiap-siap melepaskan ajian ‘Pedut
Segara’. Ajian itu hampir setara dengan ajian ‘Guntur Geni’.
Dan memang, pada dasarnya ajian itu khusus untuk
menandingi ajian yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.

Bara Genta kemudian berkelebat mengelilingi Rangga. Dari


empat sisi pemuda berkulit legam ini menghentakkan
tangannya ke satu sasaran.

Wuuut! Wueees!

Suasana di sekeliling tempat itu berubah menjadi gelap


berselimut kabut. Angin menderu-deru, menimbulkan suara-
suara mengerikan. Pada saat itu pula, Rangga merasakan
ada sebuah kekuatan yang sangat besar menyeretnya.
Menyentakkannya, menusuk-nusuk pembuluh darahnya.

Dan Rangga tiba-tiba merasakan dirinya terdampar di lautan


es. Sejauh-jauh mata memandang, yang terlihat hanya
gumpalan kabut putih seperti salju. Pendekar Rajawali Sakti
merasa lehernya seperti tercekik ribuan tali. Dan sebelum
segala-galanya terlambat, tiba-tiba kedua tangannya
mendorong ke empat penjuru.

“Aji ‘Guntur Geni’! Heaaa...!” Hawa panas keluar dari tangan


Rangga yang disertai empat sinar melesat ke empat
penjuru, langsung menerjang kabut putih menyerupai salju.

Glar! Glaaar!

Dentuman keras terdengar di sana-sini disertai pijaran


bunga api. Akibatnya tentu tidak ringan bagi masing-masing
yang telah melepaskan tenaga dalam tadi. Pendekar
Rajawali Sakti tercampak ke utara, sedangkan Bara Genta
terpelanting ke selatan.

Luka dalam yang mereka derita begitu parah. Tapi seperti


kesetanan, mereka segera bangkit berdiri kembali tanpa
menghiraukan darah yang terus mengucur dari mulut dan
hidung. Kini Bara Genta kembali melakukan serangan
dengan bergerak ke samping kanan sejauh dua langkah.
Kemudian kembali bergerak ke kiri dua langkah.
Selanjutnya, ke belakang dua langkah pula.

Rangga menyadari mungkin lawannya bermaksud


melakukan serangan yang paling mematikan. Tiba-tiba Bara
Genta melompat ke depan. Tidak langsung menyerang,
melainkan menjejakkan kaki kanannya sebanyak tujuh kali
ke bumi.

“Aji ‘Pamiluto Gaib’!” teriak Bara Genta.

Rangga yang baru saja berdiri segera merasakan


guncangan keras pada bagian dadanya. Kini disadari kalau
Pembegal Jagad bermaksud mengadu jiwa melalui
serangan jarak jauh. Pendekar Rajawali Sakti yang telah
menyalurkan tenaga dalam ke bagian tangannya segera
melompat ke depan.
“Aji ‘Bayu Bajra’! Hiyaaa...!” teriak Rangga sambil
menghentakkan tangannya.

Dua gulung angin topan langsung menghantam Bara Genta


yang diam terpaku bagaikan patung. Tetapi, serangan itu
tidak berakibat apa-apa bagi Pembegal Jagad. Malah angin
topan kembali berbalik dengan kekuatan berlipat ganda.
Pendekar Rajawali Sakti yang telah banyak menguras
tenaga masih berusaha menghindarinya. Namun
gerakannya terlambat. Tubuhnya tersapu pukulannya
sendiri, sehingga terjengkang ke belakang.

Sungguh mengenaskan keadaan pemuda berbaju rompi


putih ini. Ia meringis kesakitan. Sedangkan Bara Genta tetap
terpaku sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Tampaknya, dia bermaksud mengirimkan serangan yang
dapat menghabisi riwayat Pendekar Rajawali Sakti. Namun
pada saat-saat yang sangat menegangkan itu, tampak dua
sosok tubuh berkelebat ke arah Bara Genta.

“Pembunuh keji! Heaaa...!”

Sosok yang satu kebutkan selendangnya. Sedangkan yang


satu lagi merangkapkan kedua tangannya. Dari telapak
tangan itu melesat lidah api, bagaikan serentetan petir ke
arah Bara Genta. Tangan Pembegal Jagad yang sudah
terangkat tadi gagal dihantamkan ke arah Rangga. Kini
tangan itu menangkis kedua serangan yang baru datang.

Blar! Blaaar!

“Aaa...!” Tampak pendatang yang menyerang pakai


selendang terbanting roboh disertai teriakan kesakitan.
Sedangkan yang satunya lagi, kalau tidak cepat menghindar
dipastikan terkena pukulannya sendiri yang membalik.

“Dewi Kerudung Perak!” seru laki-laki tua yang lolos dari


maut ketika melihat perempuan berbaju putih tewas
seketika menemui ajal. Laki-laki tua yang tak lain Ki Suta
alias Dewa Petir tidak sempat memberi pertolongan.

Bahkan masih dalam keadaan berdiri, Bara Genta tanpa


berkata apa-apa langsung mengibaskan tangan kanannya
ke arah Ki Suta. Sementara Dewa Petir segera
merangkapkan kedua tangannya. Saat itu juga seleret sinar
seperti lidah petir secara berturut-turut kembali
menghantam Bara Genta.

Blaaar...!

Disertai suara dahsyat, tubuh Pembegal Jagad terkena


serangan Dewa Petir. Namun, berkat aji ‘Pamiluto Gaib’ yang
telah dirapalnya, serangan itu tidak membawa akibat apa-
apa. Malah sebagian dari serangan Dewa Petir berbalik,
mengenai diri sendiri.

Glaaar!

“Aaakh...!” Dewa Petir menjerit keras. Dia langsung


bergulingan di tanah, berusaha mematikan api yang
membakar pakaiannya yang berwarna putih. Merasa tidak
ada penghalang lagi, Bara Genta dengan langkah kaku
segera mendatangi Rangga yang masih tergeletak.

“Nah, sekaranglah aku menyelesaikan tugasku!” desis Bara


Genta seraya mengangkat tangannya kembali.

Rangga walaupun dalam keadaan payah, masih memiliki


kesadaran. Tiba-tiba sambil melompat menerjang,
pedangnya dicabut. Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang
memancarkan sinar biru langsung menghujam dada Bara
Genta yang tak sempat mengelak.

Jleees!

“Aaa...!” Bara Genta menjerit keras. Suaranya seakan


merobek langit dini hari. Pemuda itu roboh dengan sebuah
luka menganga. Tubuhnya berkelojotan, lalu terdiam.

Dengan terhuyung-huyung Rangga berusaha menghampiri


Dewa Petir yang telah berusaha menolongnya. Namun
pandangannya tiba-tiba mengabur. Kemudian tubuhnya
terjengkang dan tidak ingat apa-apa lagi.

“Rangga...!” seru Dewa Petir. Walaupun dalam keadaan


terluka, Ki Suta merayap menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti.

Sementara itu Ki Jatayu dan Anggraini yang menyaksikan


pertempuran menegangkan dari dalam rumah, dengan
tergopoh-gopoh membantu Ki Suta dan Rangga. Kedua
orang itu dibopong untuk dibawa masuk ke dalam rumah.

Sedangkan di halaman samping, mayat Bara Genta


tergeletak membeku. Beberapa saat, memang mayat itu
seperti benar-benar mati. Tetapi tiba-tiba saja, angin
berhembus hebat, disertai hujan dan suara petir yang tiada
henti-hentinya. Lalu, terdengar suara bergemuruh. Suasana
berubah gelap. Dalam kegelapan, tampak sebuah bayangan
besar dan tinggi, seakan menggapai ke langit.

“Aku iblis penghuni Kitab Pelebur Jiwa! Si Bayang-Bayang


memerintahkan aku untuk menghidupkanmu!” desis sosok
tinggi besar ini.

Benar saja. Tidak lama kemudian, sosok yang mengaku Iblis


penghuni Kitab Pelebur Jiwa mengangkat Bara Genta hanya
dengan sebelah tangan. Setelah itu dibawanya mayat
Pembegal Jagad menuju ke Hutan Wonocolo yang tidak
begitu jauh dari Desa Pasir Molek.

Jenazah Bara Genta sampai di tengah-tengah Hutan


Wonocolo segera dibaringkan di atas rumput. Perlahan-
lahan iblis itu menggerak-gerakkan tangannya di atas
sekujur tubuh Bara Genta. Angin kencang terus berhembus
tiada henti. Sampai kemudian....

“Kitab Pelebur Jiwa adalah diriku. Diriku adalah sumber


kekuatan dan kesaktian. Juga sumber kehidupan bagi
orang-orang yang mengabdi pada kekuatan iblis. Kau tidak
mati. Tetapi, tidur. Kau tidak terluka, terkecuali tergores.
Bangkit..., bangkitlah seperti asalmu. Hidup... hiduuup...!”

Terdengar suara yang sayup-sayup seperti datang dari


kejauhan. Dan yang terjadi kemudian sungguh
menggetarkan. Bara Genta yang jasadnya telah dingin
membeku, sekarang tampak bergerak-gerak. Luka di
perutnya secara perlahan menghilang. Matanya pun
berkedip-kedip, hingga kemudian terdengar keluhannya
panjang.

“Oh, di mana aku...!”

Iblis Hitam yang berdiri tegak di hadapannya tersenyum.


“Kau berada dalam kehidupanmu yang baru. Kau berada
dalam bimbingan iblis. Kau adalah pengikut Kitab Pelebur
Jiwa. Kitab Pelebur Jiwa adalah diriku. Iblis Hitam! Ha ha
ha...!” jelas sosok tinggi besar disertai tawa menyeramkan.

Tanpa diketahui empat pasang mata menyaksikan kejadian


itu. Dan karena begitu takutnya mereka akhirnya menyingkir.
Sementara Bara Genta yang telah hidup kembali berkat
kekuatan Kitab Pelebur Jiwa, tampak masih tetap terduduk
di tempatnya.

“Pesan gurumu, kau harus bertarung dengan Pendekar


Rajawali Sakti sampai titik darah yang terakhir!” Iblis Hitam
penghuni Kitab Pelebur Jiwa tiba-tiba raib, setelah memberi
peringatan.

Pembegal Jagad hanya menganggukkan kepala.

********************

Pagi harinya Ki Jatayu mengumpulkan warganya untuk


menguburkan jenazah Nyai Jeliteng. Dan kepala desa ini
menjadi heran, karena tidak menemukan mayat Bara Genta
yang tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Kejadian ini
segera dilaporkan pada Dewa Petir yang telah pulih
kesehatannya setelah bersemadi. Tentu saja laki-laki tua itu
jadi sangat heran.

“Bagaimana orang yang sudah mati bisa hilang, Ki?” tanya


Ki Suta.

“Aku sendiri merasa heran. Jika mayat Bara Genta lenyap,


mengapa mayat kawanmu tidak?”

“Pasti ada sesuatu yang tidak beres!” keluh Dewa Petir


cemas.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Kepala


Desa minta petunjuk.

“Aku sendiri belum tahu,” jawab Ki Suta.

“Tampaknya Bara Genta benar-benar iblis. Bukan tidak


mungkin gurunya telah mengambil mayat Bara Genta.”

“Bagaimana keadaan Rangga sekarang?” tanya Ki Suta,


mengalihkan pembicaraan.

“Dia masih belum sadarkan diri,” jawab Ki Jatayu bimbang.

“Apakah di daerah ini tidak ada tabib?” tanya Ki Suta.

“Sulit mencari tabib di Pasir Molek ini. Tapi, nanti aku dapat
memerintahkan orang-orang di sini untuk
mengusahakannya.”

“Aku khawatir jiwa Pendekar Rajawali Sakti tidak akan


tertolong...!” desah Dewa Petir cemas.

“Mudah-mudahan saja dia tidak mengalami apa-apa yang


tidak diharapkan. Lagipula putriku sedikit-sedikit dapat
melakukan pengobatan. Dia tentu tahu. apa yang harus
dilakukan.”

“Mengapa kau tidak bilang sejak tadi, Ki?” tegur Ki Suta.

“Aku tidak ingin terlalu menonjolkan kemampuan Anggraini


yang tidak seberapa itu. Lagipula, dia bukan tabib yang
sangat ahli. Hanya sekadar bisa saja,” jelas Ki Jatayu
merendahkan diri.

Dewa Petir merasa lega. Bagaimanapun, hanya pada


Rangga dia dapat menggantungkan harapannya. Bara Genta
tidak dapat dianggap main-main. Belum lagi, bila gurunya
yang muncul.

ENAM

Ramu-ramuan dari tetumbuhan memang cukup manjur.


Apalagi yang membuatnya Anggraini. Dulu, gadis cantik ini
pernah belajar dari kakeknya yang memang seorang tabib.
Dengan telaten, Anggraini merawat Rangga. Dia bahkan
tidak pernah meninggalkan pemuda itu walau barang
sekejap pun. Anggraini memang telah berusaha segenap
kemampuannya. Tampaknya hatinya tidak rela jika
pendekar seperti Rangga harus tewas.

Karena perawatan yang telaten ini, kesehatan Rangga mulai


membaik. Dan ketika Dewa Petir bersama Ki Jatayu sedang
menyusun rencana di ruangan depan, Rangga mulai
sadarkan diri. Matanya yang tertutup tampak mulai terbuka.
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Pertama yang
dilihatnya adalah putri Kepala Desa Pasir Molek.

“Mengapa aku di sini?” tanya Pendekar Rajawali Sakti


dengan suara lemah.

“Kakang tadi tidak sadarkan diri. Sebaiknya, jangan bergerak


dulu. Kakang perlu istirahat cukup!” saran Anggraini. Gadis
itu menundukkan kepala. Dia tidak berani menatap mata
Pendekar Rajawali Sakti secara terang-terangan.

Rangga mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi


sebelumnya. Kini, segala-galanya menjadi jelas. Bukankah
dia bertarung habis-habisan melawan Bara Genta? Lalu,
musuh besarnya itu tewas di ujung pedangnya.

“Aku ingin melihat mayat Bara Genta!” kata Rangga.

Anggraini menggeleng. “Bara Genta hilang begitu saja.


Entah, siapa yang telah melarikannya!” jelas gadis itu.

“Apa? Bagaimana mungkin?! Bukankah dia sudah mati?!”


sentak Rangga seakan tidak percaya.

“Memang! Bahkan aku sendiri melihatnya. Menurut Dewa


Petir, Bara Genta mungkin diselamatkan Kitab Pelebur
Jiwa.”

“Siapa Dewa Petir?” tanya Rangga.

“Dewa Petir adalah orang yang membantu Kakang.


Kawannya yang bernama Nyai Jeliteng tewas.”

“Mengenai Kitab Pelebur Jiwa, aku telah mendengarnya.


Hanya aku tidak melihat kitab itu, ketika berhadapan dengan
Bara Genta!” kata Rangga perlahan.

“Kitab itu memang tidak pernah ada. Dia hanya berupa


kekuatan gaib yang datang dalam wujud Iblis Hitam.”

“Heh?! Sungguh tidak masuk akal. Menurut Ki Renta Alam,


kitab itu ada di dalam Gua Seribu Malam di dasar Laut
Utara. Kurasa yang benar adalah, di dalam Kitab Pelebur
Jiwa berkuasa sebuah kekuatan iblis, yang dapat diperintah
melakukan apa saja sesuai kehendak pemiliknya. Jadi yang
datang menyelamatkan Bara Genta yang sudah mati itu
adalah kekuatan gaib yang berada dalam Kitab Pelebur
Jiwa,” jelas Rangga.

“Maafkan aku, Kakang. Aku hanya samar-samar saja


mendengar pembicaraan antara Ayah dan Dewa Petir,” ucap
Anggraini meralat kata-katanya. “Sebaiknya Kakang pikirkan
dulu masalah kesehatan Kakang. Nanti setelah Kakang
pulih benar, baru pikirkan yang lain-lainnya.”

Pendekar Rajawali Sakti jadi tak enak hati. Dia merasa yakin
pastilah sejak tidak sadarkan diri, gadis ini yang telah
mengurusnya.

“Kau baik sekali kepadaku. Aku berhutang nyawa padamu,


Anggraini,” kata Rangga tulus.

“Pertolongan yang Kakang berikan untuk penduduk di sini,


jauh lebih besar daripada semua apa yang telah kuperbuat.
Terus terang, aku memang mengkhawatirkan
keselamatanmu!” sahut Anggraini, dengan suara bergetar
sambil menundukkan kepala.

“Aku merasa berterima kasih atas perhatianmu!” ucap


Pendekar Rajawali Sakti.

Pembicaraan antara kedua anak muda itu terhenti ketika Ki


Jatayu dan Dewa Petir masuk ke dalam ruangan.

“Puji syukur pada Yang Maha Tunggal. Ternyata kau sudah


sadar, Rangga,” desah Ki Suta. “Perkenalkan aku Dewa Petir.
Dan aku tahu namamu dari Ki Jatayu. Sungguh pertemuan
yang tidak disangka-sangka....”

“Salam hormatku untukmu, Dewa Petir. Sayang, kita tak bisa


berbincang-bincang lama, karena nanti sore aku sudah
harus melakukan perjalanan kembali untuk mencari mayat
Bara Genta yang hilang,” kata Rangga, sambil memberi
hormat dengan merapatkan telapak tangan di depan dada.

“Tapi kau memerlukan istirahat lebih lama, Pendekar


Rajawali Sakti. Aku takut, Bara Genta hidup kembali!” sergah
Dewa Petir cemas.

“Bagaimana mungkin?” tanya Rangga.

“Tentu saja berkat Kitab Pelebur Jiwa. Tentu kau tidak tahu
kekuatan Iblis Hitam yang menguasai kitab itu,” jelas Ki
Suta.

“Lalu...?”

“Untuk sementara, biarkan kami yang mencari mayat Bara


Genta. Itu pun kalau memang dia benar-benar mati. Tetapi
jika hidup kembali, aku dan kawan-kawan segolongan tentu
harus menghadapinya!”

“Dewa Petir! Kau sendiri sudah merasakan kehebatan Bara


Genta. Kita harus menemukan cara lain untuk
menghadapinya!” kata Rangga.

“Waktu kita sangat terbatas....”

Ucapan Ki Suta ini langsung terhenti ketika melihat salah


seorang penduduk memberi isyarat pada kepala desanya
agar keluar sebentar. Ki Jatayu langsung menjumpai
warganya. Namun tidak lama dia telah datang kembali
menjumpai Ki Suta dan Rangga.
“Menurut wargaku, ada tiga orang gila ingin menjumpaimu,
Ki,” lapor Ki Jatayu.

Dewa Petir tersenyum-senyum. Sudah dapat ditebak siapa


kiranya yang datang.

“Suruh mereka masuk!” pinta Ki Suta pada Kepala Desa.

Tanpa berkata apa-apa, Ki Jatayu segera keluar lagi. Dan


ketika kembali, dia sudah bersama tiga orang laki-laki.

“Ha ha ha...! Akhirnya kita bertemu kembali, Ki! Di tengah


jalan, kami bertemu Pendekar Seruling Perak. Tapi
Kemudian dia memilih berpisah dan bergabung bersama
Pendekar Beruang Merah. Ha ha ha...! Sungguh tolol dia!”
kata laki-laki gemuk berbaju dari kulit beruang hitam itu
disertai tawa.

“Betul, Ki,” timpal laki-laki lain. “Katanya mereka takut jadi


gendeng, karena ikut kami!”

“Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng! Pendekar


yang terbaring ini adalah Pendekar Rajawali Sakti! Silakan
kalian saling berkenalan,” ujar Dewa Petir, tak menghiraukan
gurauan kawan-kawannya yang baru datang.

Baik Si Gila Ketawa maupun Subali dan Indrajit memandang


ke arah Rangga. Kemudian, mereka saling bersalaman.
Namun mendadak, Si Gila Ketawa terpingkal-pingkal.

“Ha ha ha...! Pendekar Rajawali Sakti! Kulihat kau berhasil


membuat Pendekar Seruling Perak yang berangasan kaku
seperti patung. Setelah sampai di sini, kulihat pula wajahmu
babak belur. Bagaimana ini?!”
“Bukan babak belur, tapi hampir mati,” sahut Rangga kalem.

“Gila Ketawa! Kuharap dalam suasana seperti ini kalian


dapat bersikap lebih bersungguh-sungguh. Sekarang aku
ingin bertanya. Selama dalam perjalanan, apa yang kalian
dapatkan?” sela Dewa Petir.

Indrajit maju ke depan mewakili dua orang kawannya.

“Tidak banyak, Ki. Terakhir, kami melihat kejadian yang


sangat sulit diterima akal,” jelas Indrajit.

Kemudian Indrajit secara terperinci menceritakan tentang


mayat Bara Genta yang dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam.

“Apakah Iblis Hitam membawa Kitab Pelebur Jiwa? Atau


mungkin dia menyinggung-nyinggung tentang kitab itu?”
tanya Dewa Petir, setelah Indrajit selesai bercerita.

“Sebenarnya Kitab Pelebur Jiwa adalah sumber kebangkitan


Iblis Hitam itu sendiri. Kita tidak mungkin dapat
menemukannya, karena tidak akan ada yang sanggup
menyelam di dasar Laut Utara. Satu-satunya cara yang
terbaik menurutku adalah, dengan cara memancing Rumbai
Mangkulangit alias Si Bayang-Bayang keluar dari Gua Seribu
Malam,” kata Si Gila Ketawa mengemukakan pendapatnya.

“Kurasa pendapat Gila Ketawa benar, Ki Suta,” timpal


Rangga. “Untuk itu, kita harus menemukan Bara Genta yang
telah berhasil dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam. Satu
kelemahan kita, tidak seorang pun di antara kita yang tahu,
dengan cara bagaimana dapat melakukannya!” keluh
Rangga.
“Maaf.... Kudengar kau seorang pendekar besar. Kurasa kau
mampu mengatasinya!” kata Subali.

Rangga tersenyum saja. Sejenak suasana jadi hening.


“Ingat! Si Bayang-Bayang sengaja menciptakan jurus-jurus
serta ajian yang gunanya untuk mematahkan seranganku.
Kau dapat bertanya langsung pada Dewa Petir, betapa
hebatnya dia, Subali!” kata Pendekar Rajawali Sakti,
memecah keheningan.

“Hmmm.... Kalau begitu, semakin sulitlah bagi kita untuk


menyelesaikan persoalan satu ini,” keluh Indrajit.

“Rangga.... Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Nanti sore kita


bahas lagi persoalan ini,” ujar Dewa Petir.

“Baiklah.... Kalau itu maumu, untuk sementara ini aku hanya


dapat menurut saja,” sahut Rangga.

Dewa Petir dan yang lainnya, termasuk juga Kepala Desa


Pasir Molek meninggalkan ruangan kamar yang ditempati
Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga di dalam ruangan itu
sekarang hanya tinggal Rangga dan Anggraini saja.

“Anggraini.... Sebaiknya kau tinggalkan aku sebentar saja!”


pinta Rangga.

Anggraini tersenyum. Dengan perasaan tulus


ditinggalkannya ruangan kamar ini. Setelah putri kepala
desa itu meninggalkannya, Rangga berusaha menggerakkan
tubuhnya. Tapi, niatnya urung. Karena entah dari mana
datangnya, tahu-tahu seorang lelaki tua berbadan pendek
berambut putih telah berada di depannya!
“Ki Renta Alam!” seru pemuda berbaju rompi putih itu.

“Syukur otakmu masih waras, sehingga masih mengenali


siapa aku ini,” kata laki-laki tua itu sambil mengelus-elus
jenggotnya yang cuma beberapa lembar.

“Ya! Tetapi aku hampir mati di tangannya!” sahut Rangga


lesu.

“Kau tidak boleh putus asa! Dia adalah musuhmu. Dan kau
harus bisa mengatasi persoalan yang dihadapi,” ujar Ki
Renta Alam, tegas.

“Seperti ceritamu beberapa waktu yang lalu, Ki. Dia dapat


mengatasi setiap jurus maupun pukulan yang kukerahkan
untuk menyerangnya. Aku baru bisa membunuhnya, setelah
mempergunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Kini
setelah dibawa Iblis Hitam, dia dapat hidup kembali.
Pernahkan kau berpikir bahwa saat ini aku benar-benar
mengalami kesulitan?” tanya Rangga.

Ki Renta Alam tersenyum. “Semua manusia di muka bumi


ini punya kesulitan sendiri-sendiri. Aku bisa sedikit
membantu persoalanmu."

“Hanya sedikit saja?” ujar Rangga, tak puas.

“Dengar dulu,” sela Ki Renta Alam. “Hanya padamu, sebagai


lelembut aku mau menampakkan diri. Kau bisa
mengalahkan dia, hanya pada siang hari saja. Satu hal yang
perlu kau ingat, Bara Genta dulunya hanya bernama Genta
saja. Dialah kepala bajak laut yang ditenggelamkan Ki
Wanayasa di Laut Utara. Dia sebenarnya sudah mati, tetapi
berhasil dihidupkan kembali berkat Kitab Pelebur Jiwa. Si
Bayang-Bayang menambahkan nama Bara di depan
namanya. Dengan arti, bara tidak akan pernah padam.
Sekarang Bara Genta sudah dua kali mengalami kehidupan.
Sekali lagi binasa, dia sudah tidak punya kehidupan lagi...!”
papar Ki Renta Alam.

“Lalu...?”

“Jika kau berhasil membunuhnya, usahakan mayatnya


jangan sampai menyentuh tanah. Mayat itu boleh
disangkutkan di mana saja. Untuk melakukan semua itu,
kau bisa bekerja sama dengan Dewa Petir. Dan kabarkan
kepada semua kawan-kawannya, tentang kelemahan Bara
Genta ini. Yang perlu kutekankan, kalian harus bertarung
dengannya hanya pada siang hari saja. Karena pada saat
itu, kekuatannya tidak sehebat pada malam hari. Itulah
kekuatan semua iblis. Nah, sekarang apa kau sudah
mengerti?”

“Sudah, Ki,” sahut Rangga.

Ki Renta Alam menggelengkan kepalanya. Entah, apa


maksud gelengan kepalanya. Rangga sendiri tidak mengerti.
Ki Renta Alam lantas duduk di pinggir tempat tidur yang
ditempati Rangga. Kemudian matanya melirik ke arah pintu,
seakan apa yang ingin diucapkannya takut didengar orang
lain.

“Rangga! Ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui,” bisik Ki
Renta Alam.

“Apa itu, Ki?” tanya Rangga.


“Secara tidak langsung, putri kepala desa itu telah
menyelamatkan dirimu.”

“Ya, aku tahu. Dan aku telah berterima kasih kepadanya,”


jawab Rangga.

Ki Renta Alam tertawa perlahan. “Yang kau tidak tahu,


sebenarnya Anggraini menyukaimu. Dia mencintaimu.
Belum pernah ada cinta anak manusia sebesar cintanya.
Aku tidak mengajarimu bersikap macam-macam. Karena
menurut mata gaibku, kau sudah punya kekasih bernama
Pandan Wangi. Ha ha ha...!”

Rangga tersipu. Dia sama sekali heran, bagaimana manusia


lelembut ini bisa tahu nama kekasihnya. Padahal, pemuda
ini tidak pernah bercerita tentang masalah pribadinya pada
siapa pun.

“Kau bisa saja, Ki!” kata Pendekar Rajawali Sakti salah


tingkah.

“Sudahlah.... Tidak usah dipersoalkan lagi. Sekarang aku


mau pergi. Tapi, kuharap kau mau memejamkan matamu
sebentar!” pinta Ki Renta Alam.

“Kenapa?”

“Supaya kau tidak mengintipku. Ha ha ha...!”

Rangga langsung memejamkan matanya. Ketika matanya


membuka kembali, Ki Renta Alam sudah lenyap dari
ruangan.

Setelah semalam Rangga memaparkan pertemuannya


dengan Ki Renta Alam yang menjelaskan kelemahan-
kelemahan Bara Genta, paginya Si Gila Ketawa dan
Sepasang Pendekar Gendeng berangkat lebih awal untuk
mencari Pembegal Jagad. Tindakan mereka yang secara
diam-diam membuat Ki Suta marah besar. Dia khawatir
terjadi sesuatu terhadap tiga orang sahabatnya.

“Apakah kita harus menyusulnya, Rangga?” tanya Dewa


Petir.

“Aku memerlukan waktu sehari lagi untuk menyembuhkan


luka-luka yang masih tersisa, Ki!” pinta Rangga, terus terang.

Memang Pendekar Rajawali Sakti harus memulihkan


kesehatannya secara menyeluruh. Sebab dia sendiri sudah
merasakan, betapa dahsyatnya perlawanan yang dilakukan
Pembegal Jagad.

“Sebaiknya aku berangkat duluan!” usul Dewa Petir.

“Tidak jelaskah perkataanku ini, Ki?”

“Aku memahami sepenuhnya. Tetapi, mereka tidak mungkin


mampu menghadapi Bara Genta!” sergah Dewa Petir,
cemas.

“Baiklah, Ki. Aku hanya dapat mendoakan keselamatan


kalian saja...!” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

Saat itu juga berangkatlah Dewa Petir menyusul kawan-


kawannya. Rangga memang tidak dapat menyertainya,
karena harus mengembalikan kesehatan tubuhnya yang
sempat terluka parah.
********************

Di tengah-tengah teriknya matahari siang ini, dua laki-laki


berusia kurang lebih empat puluh tahun terus berjalan
sambil mengedarkan pandangan ke sekitar Hutan
Wonocolo. Mereka kemudian menemukan ceceran darah
yang telah mengering.

“Kurasa dia masih di sekitar sini, Beruang Merah! Subuh


tadi, aku sempat melihat Bara Genta dihidupkan kembali
oleh Iblis Hitam. Lagi pula, dia pasti mencari korban baru,”
kata laki-laki berbaju putih yang tak lain Pendekar Seruling
Perak.

“Kau bersama orang-orang gendeng! Mana mungkin orang


gendeng bisa mengambil tindakan tepat!” gerutu laki-laki
satunya yang ternyata Pendekar Beruang Merah.

“Memang benar, Sahabatku. Aku bisa jadi gendeng, bila ikut


mereka terus. Itu sebabnya aku mencarimu,” jelas Pendekar
Seruling Perak.

Rupanya, mereka sama sekali tidak menyadari ada


sepasang mata yang terus mengawasi dari atas sebuah
pohon besar. Sosok pemilik sepasang mata itu menyeringai.
Sehingga wajahnya yang angker semakin bertambah
menyeramkan. Dan tiba-tiba, sosok itu melompat dari atas
pohon. Gerakannya ringan, tidak menimbulkan suara. Jelas
ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna.

“Kalian mencari aku?"

“Heh...?!” Serentak kedua pendekar itu menoleh ke belakang


ketika mendengar suara menggetarkan. Mereka terkejut,
karena orang menegurnya tadi tidak lain dari Bara Genta.

Pendekar Seruling Perak langsung meneliti keadaan Bara


Genta. Ternyata, pemuda bertelanjang dada ini dalam
keadaan sehat tidak kurang sesuatu apa pun. Luka di
perutnya juga sudah tidak meninggalkan bekas sama sekali.

“Ya! Memang kami mencarimu!” jawab Pendekar Seruling


Perak.

“Ha ha ha...! Kalian hanya mengantar nyawa sia-sia.


Pulanglah ke pangkuan ibumu!” ejek Bara Genta, disertai
senyum mengejek. Ucapan Bara Genta yang sangat
meremehkan membuat kedua pendekar ini menjadi marah.

“Kau terlalu memandang remeh pada kami, Manusia Iblis!”


teriak Pendekar Beruang Merah gusar.

“Ha ha ha...! Aku bicara apa adanya! Jika Pendekar Rajawali


Sakti saja tidak sanggup mengalahkan aku, apalagi kalian!”
dengus Bara Genta.

“Kurang ajar! Kesalahanmu sudah selangit. Jangan coba-


coba menakut-nakuti kami!” desis Pendekar Beruang Merah.

“Sekarang yang bicara adalah kenyataan. Kalau kalian tidak


percaya, cobalah maju. Tidak usah satu-satu, tapi sekalian
secara berbarengan!” tantang Bara Genta.

Disertai amarah meluap, Pendekar Beruang Merah memberi


isyarat pada Pendekar Seruling Perak untuk melakukan
penyerangan.

TUJUH
Wajah Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang
Merah seperti tomat matang. Tiba-tiba Abiyasa menerjang
ke depan, melakukan serangan cepat dengan
mengandalkan jurus-jurus andalan. Bara Genta tertawa
menghadapi serangan Pendekar Seruling Perak. Ketika
tangan kanan lawannya meluncur deras ke arah dada, dia
sama sekali tidak menghindar. Sehingga....

Buuuk!

“Heeep!” Bara Genta hanya tergetar saja. Sedangkan


Pendekar Seruling Perak merasa tangannya seperti
membentur batu karang yang amat keras. Ketika Pembegal
Jagad menggerakkan tangannya, Pendekar Seruling Perak
yang bernama asli Abiyasa merasa seperti ada sebuah batu
besar menghimpit tubuhnya.

“Huaaakh...!” Pendekar Seruling Perak terpelanting roboh


dengan mulut mengucurkan darah. Sementara Pendekar
Beruang Merah tidak tinggal diam. Disertai teriakan keras
diterjangnya Bara Genta dengan jurus-jurus ‘Beruang’ yang
dimilikinya. Tangannya dengan ganas menyambar ke
bagian-bagian yang mematikan.

Bara Genta segera mengeluarkan jurus ‘Liukan Sang Api’.


Seperti diketahui, jurus ini hampir sama hebatnya dengan
jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!” Melihat serangannya berhasil dipatahkan,


disertai teriakan keras Pendekar Beruang Merah langsung
mengerahkan jurus ‘Beruang Membalik Bukit’. Kemudian
dilepaskannya tendangan telak ke arah sasaran.
Sedemikian cepat tendangan itu, namun Bara Genta masih
saja bisa menghindar dengan melompat ke samping.
Bahkan tangan kanannya meluncur ke arah kaki Pendekar
Beruang Merah. Maka....

Duuuk!

“Auuukh...!” Benturan keras terjadi. Pendekar Beruang


Merah terhuyung-huyung ke belakang sambil terpincang-
pincang. Kakinya yang membentur tangan Bara Genta
langsung membengkak. Kenyataan ini sungguh
mengejutkan. Karena, tadi dia telah mengerahkan tenaga
dalamnya ke bagian kaki.

“Ha ha ha...! Sebentar lagi kau akan kukirim ke neraka


bersama kawanmu yang tolol ini!” dengus Bara Genta

“Dasar keparat! Hiyaaa...!” teriak Pendekar Beruang Merah.

Tiba-tiba laki-laki ini meluruk dengan kecepatan dahsyat.


Kedua tangannya bergerak cepat, mementang jurus-jurus
yang diandalkannya. Dan tiba-tiba tangannya dikibaskan.

“Pukulan ‘Angkara Murka’! Heaaa...!”

Bara Genta hanya tersenyum ketika melihat seleret sinar


merah meluncur deras ke arahnya. Begitu sinar itu sejengkal
lagi menghantam, kedua tangannya disilangkan ke depan
dada. Sekejap kemudian tubuhnya pun bergetar. Bersamaan
dengan itu pukulan yang dilepaskan Pendekar Beruang
Merah menghantam.

Blaaar!
“He he he...!” Sungguh sial bagi Pendekar Beruang Merah.
Karena hawa panas yang menghantam, hanya membuat
pemuda berkulit gelap itu terjengkang sambil tertawa-tawa.
Secepatnya Pembegal Jagad berdiri. Secepat itu pula
tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian tangan.

“Aji ‘Pedut Segara’! Hiyaaa...!” Dengan teriakan membahana,


Pembegal Jagad melompat ke depan. Tangannya seketika
dikibaskan. Suasana terang mendadak berubah redup.

Saat itu juga bertiup angin menderu disertai udara dingin


yang sedemikian menusuk. Sementara Pendekar Beruang
Merah sudah tidak sempat menghindar lagi. Maka...

Glaaar!

“Aaa...!" Jeritan keras terdengar, ditingkahi ledakan dahsyat.


Pendekar Beruang Merah terpelanting roboh. Tubuhnya
berkelojotan sebentar. Sementara, darah terus menetes dari
hidung dan mulutnya. Laki-laki itu tewas detik itu juga.

Pendekar Seruling Perak tampak terkejut sekali melihat


kematian kawannya. Seketika langsung dikeluarkannya
seruling berwarna perak mengkilat. Tatapan matanya
memandang geram pada Bara Genta.

Sebaliknya, Pembegal Jagad memandang dengan sinar


mata dingin. “Satu telah kubunuh. Dan kau giliran
selanjutnya!” desis Bara Genta.

Pendekar Seruling Perak tidak menanggapi ucapan


lawannya. Segera serulingnya ditiup. Suara seruling
mengalun tinggi, mendayu-dayu. Bara Genta yang tidak
menyangka dengan kehebatan seruling itu langsung
terkesiap. Tampaknya, dia terpengaruh irama seruling. Maka
ketika suara seruling itu berubah sedih, Pembegal Jagad
menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Dia terus
menangis seirama suara seruling. Langkah Bara Genta pun
terhuyung-huyung, sampai kemudian kakinya terpeleset.
Bara Genta tersungkur jatuh. Namun justru hal ini
mengembalikan kesadarannya dari pengaruh seruling.

“Keparat! Kau menipuku dengan segala permainan yang


tidak ada artinya!” teriak Bara Genta marah bukan main.

“Jangan banyak mulut. Majulah...!” tantang Pendekar


Seruling Perak.

Mendapat tantangan seperti itu, Pembegal Jagad tidak


tinggal diam. “Heaaa...!” Mendadak, Bara Genta melakukan
beberapa gerakan, lalu melompat ke depan. Kakinya
melakukan sapuan ke kaki Pendekar Seruling Perak.

Abiyasa cepat melompat ke udara, membuat serangan Bara


Genta hanya menebas angin. Namun cepat sekali Pembegal
Jagad menghantamkan tinjunya ke wajah itu. Bersamaan
waktunya, Pendekar Seruling Perak juga mengibaskan
serulingnya.

Trak!

“Heh...?!” Dengan wajah terkejut Abiyasa melompat mundur.


Tangannya yang memegang seruling terasa dingin bagaikan
ditusuk-tusuk jarum.

Sementara, Bara Genta sendiri hanya terhuyung-huyung saja


sambil memegangi tangannya yang agak membengkak.
“Boleh juga permainanmu! Tapi kurasa kau tidak dapat
bertahan lama dalam menghadapi aku! Hiyaaa...!”

Disertai teriakan keras Pembegal Jagad melompat tinggi ke


udara, dan langsung berjumpalitan beberapa kali. Ketika
tubuhnya meluncur deras ke bawah, dengan
mempergunakan jurus ‘Mematahkan Sambaran Sang Api’
tangannya bergerak ke bagian bahu Pendekar Seruling
Perak.

Duk! Duk!

Krak! Krak!

“Aaaugkh...!” Hantaman kedua tangan Bara Genta yang


sedemikian keras, membuat bahu Pendekar Seruling Perak
patah menimbulkan suara berderak. Laki-laki berbaju putih
ini menjerit dan jatuh terduduk.

Bara Genta tersenyum dingin melihat penderitaan pendekar


ini. “Sekarang aku telah membuktikan sebagian di
antaranya! Ha ha ha...!” leceh Bara Genta dingin. Perlahan-
lahan Pembegal Jagad menghampiri Abiyasa yang tulang
bahunya telah hancur. Sambil mendengus, Bara Genta
menendang.

Sementara Pendekar Seruling Perak jelas tidak dapat


bergerak leluasa. Sehingga....

Buuuk!

“Hekh...!” Pendekar Seruling Perak terpelanting. Dua buah


tulang iganya remuk. Darah mengucur dari hidung dan
mulutnya. Tampaknya dia begitu sulit bernapas.
“Kau hanya bermulut besar, Manusia Tolol! Mana
kehebatanmu? Kau tidak lebih dari seorang banci!” ejek
Bara Genta.

“Iblis Jahanam! Kau menang! Sekarang, tunggu apa lagi?!”


sentak Pendekar Seruling Perak.

Pembegal Jagad tertawa-tawa. Wajahnya yang hitam


berubah makin kelam. Kemudian dia melompat mundur
sejauh dua batang tombak. Setelah itu...

“Aji ‘Pedut Segara’! Hiyaaa...!” Bara Genta tiba-tiba


mengibaskan tangannya ke depan. Saat itu juga segulung
angin dingin menebar kabut putih meluncur deras ke arah
Abiyasa. Tidak dapat dihindari lagi....

Blar!

“Aaa...!” Dengan telak pukulan yang dilepaskan Bara Genta


menghantam Pendekar Seruling Perak. Ledakan disertai
suara jerit kesakitan terdengar, mengiringi kematian
Pendekar Seruling Perak.

Bara Genta tersenyum penuh kejumawaan. Matanya hanya


sekejap saja memperhatikan lawannya yang sudah tidak
bernyawa. Dan sambil mendengus, tubuhnya berkelebat
pergi.

********************

Malam ini bulan tersenyum cantik. Cahayanya yang kuning


keemasan menerangi alam mayapada. Desa Pasir Molek
tetap dalam keadaan sunyi. Ada sepotong hati milik
Anggraini yang semakin gelisah, saat-saat perpisahan itu
semakin bertambah dekat. Sehingga, membuatnya tidak
enak makan, tidak bisa tidur, oleh perasaan was-was yang
menghantui.

Anggraini yang sejak tadi tidak dapat tidur keluar dari


kamarnya. Ketika melihat ke kamar yang ditempati Rangga,
ternyata kamar itu dalam keadaan kosong. Anggraini
dengan hati berdebar-debar segera melihat ke halaman
samping. Ternyata, Pendekar Rajawali Sakti sedang duduk
termenung di situ.

Anggraini menghampiri. Dan Rangga menoleh ketika


merasa ada tangan menyentuh bahunya. Bibirnya
tersenyum pada gadis itu. “Kakang belum juga tidur?” sapa
Anggraini bergetar suaranya.

“Belum. Aku belum mengantuk,” sahut Rangga masih tetap


tersenyum.

“Apa yang Kakang pikirkan?” usik gadis ini.

“Hmm,” Rangga menggumam tidak jelas. “Begitu banyak


persoalan yang kuhadapi.”

“Aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu, Kakang!”


desah Anggraini.

Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mengetahui


tentang perasaan gadis ini dari Ki Renta Alam. Maka dia
segera dapat memakluminya.

“Aku selalu dalam keadaan baik-baik saja. Jangan


khawatir!” kilah Rangga, tenang.
Anggraini kemudian duduk di samping Rangga. Sehingga,
harum tubuhnya tercium pemuda itu.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu...!” desah gadis


cantik itu, agak gugup.

“Apa? Coba katakan!” ujar Rangga.

“Eee..., tidak.... Aku tidak bisa...!” Anggraini jadi gugup.

Pendekar Rajawali Sakti menepuk bahu gadis di


sebelahnya. Sehingga, membuat tubuh Anggraini jadi panas
dingin.

“Aku tahu,” kata Rangga.

“Tahu apa?”

“Tahu kalau kau cantik,” goda Rangga.

“liih..., Kakang...!” Anggraini semakin tersipu-sipu. Serasa


tak sadar, tiba-tiba ia memeluk Rangga.

Rangga sebenarnya tak ingin memberi harapan pada gadis


itu. Dia tak ingin membuat Anggraini kecewa nantinya.
Namun entah karena dorongan apa, tiba-tiba dibalasnya
pelukan gadis ini yang telah menelusupkan kepalanya di
dada bidang Pendekar Rajawali Sakti.

“Kakang...!”

“Hmmm...”
Sepasang mata Anggraini yang bening memandang penuh
rasa kagum pada pemuda di samping. Dalam jarak yang
demikian dekat, bau harum gadis ini semakin bertambah
tajam.

Rangga tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya ke wajah


Anggraini. Perlahan Anggraini memejamkan matanya.
Betapa wajahnya tampak semakin cantik dalam keadaan
begitu. Lalu entah siapa yang memulainya, bibir mereka
telah berpagutan dengan lembut. Hingga kemudian
terdengar erangan lirih dari bibir gadis ini yang setengah
terbuka.

Mendadak di benak Pendekar Rajawali Sakti terlintas


bayangan Pandan Wangi. Cepat-cepat wajahnya dijauhkan
dari Anggraini. Ada perasaan berdosa di hati Rangga
terhadap Pandan Wangi, satu-satunya gadis yang paling
dicintainya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sadar bahwa
dirinya adalah laki-laki biasa yang mempunyai nafsu.
Sekarang, tinggal bagaimana dia menguasai nafsunya.

“Kakang! Kenapa?” tanya gadis itu keheranan.

“Eeeh..., tidak apa-apa ... Sebaiknya kita masuk sekarang.


Nanti kalau dilihat orang lain tidak enak jadinya!” kilah
Pendekar Rajawali Sakti.

“Tapi...!”

“Aku tak ingin bertemu denganmu lagi, kalau kau suka


membantah.”

Anggraini tidak sempat melanjutkan ucapannya, karena


Pendekar Rajawali Sakti sudah memotongnya.
********************

Di pagi yang cerah, Sepasang Pendekar Gendeng dan Si Gila


Ketawa menemukan mayat Pendekar Seruling Perak dan
Pendekar Beruang Merah yang dalam keadaan
mengenaskan sekali. Sehingga ketiga laki-laki itu merasa
yakin bahwa yang membunuh tidak lain adalah Bara Genta!

“Kurasa iblis itu yang harus kita cari!” desis Si Gila Ketawa.

“Apakah kau tidak tahu bahwa kita ini sedang mencarinya?”


tukas Indrajit.

“Mari kita pergi ke arah sana!” ajak Subali.

Mereka segera menuju ke arah selatan. Tidak lama,


sampailah mereka di sebuah lembah yang sangat curam.

“Coba kita lihat ke situ!”

“Lembah ini sangat curam. Mustahil ia tinggal di situ!”


bantah Si Gila Ketawa.

“Belum tentu. Aku mengendus tanda-tanda kehadirannya!”


sahut Indrajit.

Tanpa menunggu lebih lagi lagi, mereka segera menuruni


lembah. Namun tiba-tiba....

Set! Set!

Crap!
“Aaa...!” Terdengar teriakan kesakitan dari Si Gila Ketawa.
Sepasang Pendekar Gendeng segera berbalik. Ternyata,
punggung sahabat mereka telah tertembus kayu runcing
yang tampaknya dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi.
Begitu cepatnya, membuat Si Gila Ketawa tak mendengar
desir angin serangan dari belakangnya.

“Hah? Astaga...!” desis Indrajit.

Sepasang Pendekar Gendeng segera memberi pertolongan


pada Si Gila Ketawa. Tapi, tusukan kayu runcing yang
menembus jantung laki-laki ini begitu parah. Setelah
kelojotan sejenak, nyawa Si Gila Ketawa tidak tertolong lagi.

“Waspadalah! Kurasa pemuda iblis itu bersembunyi di


sekitar sini!” desis Subali.

Laki-laki ini segera memberi isyarat pada Indrajit agar


meningkatkan kewaspadaannya. Mereka segera mencari-
cari. Setiap tempat yang dianggap mencurigakan didatangi.
Sampai kemudian....

Set! Set!

Kali ini desiran halus itu terdengar. Serentak Sepasang


Pendekar Gendeng berpaling ke arah datangnya suara.
Ternyata, dua batang kayu berujung runcing kembali
meluncur deras. Serentak mereka menghindarinya sambil
berjumpalitan beberapa kali.

Cap! Cap!

Dua batang kayu menancap di batang pohon di belakang


mereka. Kemudian suasana berubah sunyi kembali.
Sebentar saja, karena sekejap kemudian terlihat sosok
tubuh meluncur dari balik pohon.

“Ha ha ha...! Ada saja orang yang minta mati dengan datang
kemari. Siapa kalian?” tanya sosok yang ternyata seorang
pemuda berkulit legam.

“Kami Sepasang Pendekar Gendeng. Tujuan kami kemari


jelas ingin menangkapmu!” tegas Indrajit, mengenali
pemuda yang tak lain Bara Genta.

“Jika kalian hanya punya selembar nyawa, sebaiknya


menyingkirlah sebelum terlambat!” seru pemuda
bertelanjang dada ini.

“Kepada orang lain, kau boleh bicara begitu. Tapi kepada


kami jangan coba-coba menggertak!” desis Subali.

“Aku bukan bicara omong kosong. Kalau kalian memang


sudah bosan hidup, memang sebaiknya harus kukirim ke
neraka! Hiyaaa...!”

Secepat kilat, Bara Genta hantamkan tinjunya ke dua arah


sekaligus. Sepasang Pendekar Gendeng cepat menghindar
dengan merunduk, membuat pukulan itu hanya setengah
jengkal menyambar di atas kepala mereka. Setelah itu,
Subali dan Indrajit mengirimkan pukulan balasan ke arah
dada.

Bukkk!

“Hegkh...!” Serangan mereka tepat menghantam


sasarannya. Sambil mengeluh tertahan, Bara Genta
terhuyung-huyung.
Pemuda berkulit gelap itu menggeram penuh amarah.
Namun Sepasang Pendekar Gendeng tampak sudah tidak
memberi kesempatan lagi. Maka terpaksa Bara Genta
mempergunakan jurus ‘Liukan Sang Api’ untuk
menghindarinya.

Jurus aneh ini membuat setiap serangan yang dilancarkan


Sepasang Pendekar Gendeng tidak mengenai sasaran.
Subali dan Indrajit tiba-tiba melompat mundur sejauh satu
batang tombak. Segera mereka mengambil tongkat
sepanjang dua jengkal yang terselip di balik baju.

Trek! Treeek!

Ketika mereka menekan tonjolan kecil berwarna merah di


tengah-tengah tongkat, pada kedua ujung tongkat keluar
mata pisau yang sangat tajam berwarna putih mengkilat.

“Kalian akan mati dengan senjata kalian sendiri!” desis Bara


Genta.

Sepasang Pendekar Gendeng hanya tersenyum kecut tanpa


mempedulikan gertakan Pembegal Jagad.

DELAPAN

Secara serentak, Sepasang Pendekar Gendeng memutar


tongkat pendek berujung dua mata pisau dengan cepat,
menimbulkan desir angin halus yang menderu-deru. Begitu
Subali dan Indrajit menerjang, Bara Genta tidak tinggal
diam. Saat mata-mata pisau itu menerjang ke beberapa
bagian tubuhnya, secepat kilat tubuhnya melenting ke
udara. Namun gerakannya kalah cepat dibandingkan
luncuran senjata di tangan Subali. Sehingga....

Cres!

“Auuukh...!” Bara Genta memekik keras ketika ujung mata


pisau menghujam tumitnya. Dia jatuh terguling-guling.
Sambil meringis menahan sakit, dia bangkit berdiri.

“Huh! Kalian boleh juga. Tapi kesempatan itu hanya sekali


saja dalam hidup kalian! Heaaa...!”

Bara Genta pun tiba-tiba merangkapkan kedua tangannya ke


depan dada.

“Aji ‘Sirep Hampa’!” Disertai teriakan menggelegar,


Pembegal Jagad cepat mengibaskan kedua tangannya ke
dua arah. Sekejap kemudian, suasana berubah redup. Dan
tiba-tiba ada sebuah kekuatan yang tidak terlihat menyedot
tubuh Sepasang Pendekar Gendeng. Kekuatan itu membuat
mereka terseret-seret mendekati Bara Genta.

Walaupun Subali dan Indrajit telah berusaha


mempertahankan diri dengan pengerahan tenaga dalam,
namun tetap saja terseret mendekati lawannya. Keadaan ini
tentu sangat berbahaya. Terlebih-lebih setelah terlihat kedua
tangan Pembegal Jagad telah berubah menjadi hitam
pekat.

“Selamatkan dirimu, Subali!” seru Indrajit tegang.

Peringatan Indrajit hanya sia-sia saja. Karena baik Subali


maupun Indrajit sama-sama tidak dapat melepaskan diri
dari pengaruh sedotan. Ketika jarak mereka semakin
bertambah dekat, secepat kilat tangan Bara Genta bergerak
ke bagian kepala Subali.

Praaak!

“Aaa...!” Subali langsung tersungkur roboh. Kepalanya


pecah. Darah bercampur otak kontan berhamburan keluar.
Sedangkan Indrajit sendiri yang sedang berusaha
membebaskan diri dari pengaruh kekuatan Bara Genta
hanya mampu membelalakkan matanya. Tubuhnya sendiri
terus terseret oleh satu kekuatan tidak terlihat.

“Iblis...!” desis Indrajit. Setelah sekian kalinya berusaha


membebaskan diri dari pengaruh kekuatan lawan, Indrajit
mencoba melompat ke samping. Usahanya ini tetap sia-sia
saja.

Dan ketika Bara Genta menjulurkan tangan ke arahnya,


pemuda ini hanya dapat mengibaskan senjatanya. Namun
tangan Pembegal Jagad yang satunya cepat menghalau.
Kemudian....

Braaak!

“Aaa...!” Tangan Bara Genta mendadak menghantam telak


dada Indrajit. Saat itu juga, pemuda ini terjengkang dan
ambruk di tanah. Tubuhnya langsung menghitam. Dari
mulut dan hidungnya mengucur darah kental berwarna
kehitam-hitaman.

Bara Genta tersenyum puas Dan baru saja dia hendak


melanjutkan langkah....

“Sungguh keji sekali perbuatanmu itu, Pemuda Iblis!”


Terdengar bentakan keras dari belakang. Namun dengan
tenang, Bara Genta menoleh. Tidak jauh di depannya,
tampak seorang laki-laki tua berambut panjang berdiri tegak
sambil memandangi penuh amarah.

“Rasanya aku pernah melihatmu, Kisanak? Coba katakan,


apa tujuanmu!” tegur Bara Genta, langsung.

“Tujuanku sudah jelas. Kau telah membunuh kawan-


kawanku. Di samping itu, aku muak melihat tindakanmu
yang sewenang-wenang!” desis laki-laki tua yang tak lain
Dewa Petir tegas.

“Hem, begitu? Rupanya masih belum jelas bagimu, bahwa


aku sengaja datang ke sini untuk menciptakan neraka
dunia? Jadi, kuperingatkan padamu jika tidak punya nyawa
rangkap, sebaiknya jangan campuri urusanku!” gertak Bara
Genta.

“Kau memang iblis sombong yang pantas dikirim ke


neraka!” desis Dewa Petir.

“Tidak usah banyak omong! Buktikanlah semua ucapanmu


itu jika kau benar-benar punya kemampuan!” tantang Bara
Genta, sesumbar.

Dewa Petir yang memang sudah mengetahui kehebatan


lawannya ini tidak mau bersikap gegabah. Segera dia
bersikap waspada untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dan tiba-tiba kedua tangannya dihentakkan ke arah Bara
Genta. Seketika sinar keperakan bagai petir meluncur.

“Huh! Hanya pukulan picisan. Rasanya tidak ada gunanya


kau pamerkan di depanku!” ejek pemuda berkulit hitam ini.
Satu tombak sinar bagai petir itu menghantam, Bara Genta
mengibaskan tangannya.

Wuuut! Blaaar!

Terjadi guncangan yang cukup keras bagai gempa disertai


ledakan. Dewa Petir yang sempat terhuyung-huyung mundur
dapat menguasai keadaannya. Sedangkan Bara Genta yang
menganggap enteng serangan lawannya, sempat jatuh
terduduk.

Secepatnya Bara Genta bangkit. Malah kini segera


menerjang Dewa Petir dengan mempergunakan jurus
‘Tendangan Badai Topan’. Tentu saja serangan itu tidak
dapat dianggap main-main. Melihat gerakan tangan dan
kaki Bara Genta yang cukup cepat, Dewa Petir segera
melenting ke udara. Namun pada saat yang bersamaan,
Pembegal Jagad juga melompat ke udara. Ketika tubuh
mereka sama-sama mengambang di atas, serangkaian
tendangan dilancarkan.

Duk!

“Heh...?!” Dewa Petir sempat tergetar juga saat terjadi


benturan kaki di udara. Dengan sebisanya, kedua kakinya
mendarat di atas tanah, namun sempat jatuh terjengkang.
Ketika matanya melirik, ternyata kakinya sudah membiru.
Jelas, tadi Bara Genta telah mengerahkan tenaga dalam.

“Boleh juga kau punya kepandaian! Heaaa...!” Bara Genta


mengakhiri ucapannya dengan serangkaian serangan
ganas.

Ki Suta yang memang telah merasakan kehebatan lawan,


sekarang tidak mau bersikap setengah-setengah lagi.
Dengan segera dikerahkannya jurus ‘Amarah Sang Dewa’.
Bahkan jurus-jurus ini dirangkai jurus-jurus lainnya.
Sehingga, serangan yang dilancarkannya semakin
bertambah cepat dan sangat berbahaya.

“Hiyaaa...!”

“Ciaaat...!”

Bara Genta dan Dewa Petir sudah kembali terlibat


pertarungan. Rupanya sekarang mereka memang sedang
berusaha membunuh satu sama lain dalam waktu
secepatnya. Niat yang terkandung dalam hati masing-
masing tentu sangat sulit diwujudkan, mengingat mereka
sama-sama sengaja mengerahkan jurus-jurus simpanannya.

Lama-kelamaan Dewa Petir jadi tidak sabar juga. Tiba-tiba


kedua tangannya dirangkapkan, seraya mengerahkan
tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Dan sekejap
kemudian....

“Aji ‘Dewa Pamungkas’! Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras Ki


Suta menghentakkan tangannya ke depan. Seketika seleret
sinar berwarna biru meluncur deras ke arah Bara Genta.

Tampaknya, Bara Genta juga tidak tinggal diam. Secara


cepat tangannya dikibaskan menyongsong pukulan Dewa
Petir. “Aji ‘Sirep Hampa’! Heaaa...!”

Bum! Buuum!

Dua luncuran sinar yang datang dari dua arah bertubrukan


di udara. Ledakan-ledakan dahsyat terdengar. Dewa Petir
sempat terpelanting hingga sejauh tiga batang tombak. Dari
mulutnya tampak meneteskan darah kental.

Bara Genta sendiri sempat merasa dadanya sesak bukan


main. Peredaran darahnya kacau dan jantungnya berdetak
lebih cepat lagi. Akan tetapi setelah mengatur pernapasan,
keadaannya telah berangsur-angsur membaik. Perlahan-
lahan Bara Genta berdiri kembali. Tatapan matanya
sedemikian tajam menusuk, memandang dingin pada Ki
Suta.

Dewa Petir segera mencoba bangkit berdiri. Namun pada


saat itu, seluruh tenaganya seperti hilang begitu saja.
Padahal, Bara Genta telah bersiap-siap melepaskan pukulan
dahsyat untuk mengakhiri perlawanannya. Dalam keadaan
sulit berjalan itu, Ki Suta tidak mau mati pasrah begitu.
Segala macam usaha dilakukannya.

“Kau segera mati, Orang Tua!” geram Bara Genta.

“Pemuda iblis! Jangan terlalu takabur dengan kemampuan


diri sendiri!” dengus Ki Suta.

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan menggelegak, Bara Genta


menerjang ke depan. Kedua tangannya segera didorong ke
depan. Seketika segulung angin kencang yang tidak terlihat
meluruk deras ke arah Dewa Petir.

Ki Suta tiba-tiba saja merasakan ada suatu kekuatan yang


sangat besar menyedotnya. Dan tiba-tiba pula, tubuhnya
seperti tertarik, terseret-seret mendekati Bara Genta. Dewa
Petir kaget bukan main melihat daya tarik yang sedemikian
hebat ini. Sementara itu, tangan Bara Genta sendiri telah
menghitam.
Rupanya, Pembegal Jagad sedang mengerahkan ajian
‘Pamiluto Gaib’. Walaupun Ki Suta telah berusaha keras
untuk mempertahankan diri dari pengaruh daya tarik itu,
namun usahanya sia-sia. Kini keselamatan Ki Suta benar-
benar bagaikan telur di ujung tanduk. Apalagi melihat jarak
satu sama lain semakin lama semakin dekat saja.

Dalam keadaan yang sangat gawat, tiba-tiba melesat


sesosok bayangan putih dari sebelah kanan. Pembegal
Jagad terkesiap. Segera tangan kirinya dipergunakan untuk
memapak.

Wuuut! Plak!

“Auaaakh...!” Bara Genta terjengkang disertai teriakan


melengking tinggi.

Sedangkan Dewa Petir selamat dari jarum maut. Di lain


waktu tidak jauh dari mereka telah berdiri seorang pemuda
berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

“Huh! Kau rupanya!” dengus Bara Genta sinis.

“Kau memang hebat. Sudah mati, dapat hidup kembali.


Tetapi jangan terlalu banyak berharap dengan kehidupanmu
yang ketiga. Karena sekali ini, Iblis Hitam yang menguasai
Kitab Pelebur Jiwa tidak akan sanggup lagi menolongmu!”
desis Rangga.

“Kurang ajar! Jangan terlalu yakin dengan kemampuanmu,


Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah ditakdirkan mati di
tanganku hari ini!” teriak Bara Genta. “Aji ‘Pamiluto Gaib’!
Hiyaaa...!"
Melihat lawannya mempergunakan jurus yang paling
berbahaya, seketika Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak
ingin membuang waktu lagi. Segera dicabutnya Pedang
Pusaka Rajawali Sakti di punggungnya.

Sring!

Rangga mengerahkan setengah dari tenaga dalamnya dan


menyalurkannya ke bagian hulu pedang, maka saat itu pula
senjata itu kemudian diputar. Pada saat itu juga, Bara Genta
merasakan adanya suatu kelainan. Ajian ‘Pamiluto Gaib’
seakan macet, tidak berguna sebagaimana mestinya.
Padahal, pedang di tangan Rangga terus meluncur
menghantam ke arah dada.

Pemuda berhati iblis ini cepat berusaha menghindarinya


dengan cara meliukkan badannya berulang-ulang. Serangan
pertama ini gagal mengenai sasarannya. Tetapi pedang itu
seakan memiliki mata saja. Kelebatannya seperti mengejar
Bara Genta ke mana saja.

“Hiyaaa...!” Pendekar Rajawali Sakti berteriak sekeras-


kerasnya. Pedangnya dikibaskan, kemudian langsung
menyodok ke bagian perut Bara Genta.

Pemuda bertelanjang dada ini memang sudah tidak punya


waktu lagi menghindar. Apalagi, pedang bersinar biru
berkilau itu sangat cepat datangnya. Tidak ampun lagi....

Cres!

“Aaa...!” Bara Genta melolong keras begitu perutnya


tertembus pedang. Tubuhnya jatuh terduduk. Sedangkan
darah menyembur dari luka di perutnya.
Rangga yang mengetahui kelemahan Pembegal Jagad
langsung mencabut pedangnya. Kemudian dengan dibantu
Dewa Petir, diangkatnya tubuh Bara Genta ke udara.

“Aaa...!” Suara lolongan semakin bertambah panjang. Tubuh


yang berlumuran darah itu cepat langsung membusuk,
menebarkan bau yang sangat menusuk.

“Sangkutkan mayat ini ke atas pohon, Ki!” perintah Rangga


setelah memasukkan pedangnya ke warangka.

Ki Suta segera melompat ke atas pohon. Sedangkan


Rangga melemparkan mayat Bara Genta ke arah Ki Suta.

Tap!

Dewa Petir menangkapnya. Kemudian mayat Bara Genta


yang mengalami pembusukan secara cepat ini
disangkutkan di atas pohon.

Wusss...!

Pada saat itu, tiba-tiba berhembus angin kencang yang


disertai hujan dan suara petir sambung-menyambung. Lalu
di tengah-tengah hujan, tampak sesosok tubuh bergerak
cepat ke arah Rangga. Sosok tubuh ini memiliki empat
tangan dan dua kepala.

Pendekar Rajawali Sakti segera menyadari kalau laki-laki


berwujud aneh dan mengerikan itu tidak lain dari gurunya
Bara Genta. Sebelum laki-laki berkepala dua ini berkata apa-
apa, tiba-tiba....
“Hanya pedangmu yang dapat mengatasinya! Penggal
lehernya! Baru dia mati!” Sebuah bisikan terdengar di telinga
Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kenal betul kalau orang
yang berbisik itu tidak lain dari Ki Renta Alam.

“Kitab Pelebur Jiwa! Iblis Hitam yang selalu bersemayam di


dalamnya. Bunuh kedua manusia yang telah membunuh
muridku!” perintah laki-laki berkepala dua dan bertangan
empat. Dia tidak lain dari Rumbai Mangkulangit yang
berjuluk Si Bayang-Bayang!

Sekejap kemudian, Si Bayang-Bayang mengambil sebuah


kitab dari balik pakaiannya. Kitab berwarna hitam dan
sangat kumal itu diacungkan ke udara, dan digoyang-
goyangkan, Saat itu juga terlihat asap putih membubung
tinggi ke udara.

Asap yang menyerupai kabut itu kemudian bergerak. Dan


dari balik asap tampak sosok serba hitam. Tubuhnya sangat
tinggi. Dialah Iblis Hitam, penghuni Kitab Pelebur Jiwa!

“Bunuh!” perintah Si Bayang-Bayang lantang.

“Perintah dijalankan!” sahut Iblis Hitam.

Secepat kilat kedua tangan Iblis Hitam yang dapat terjulur


memanjang tanpa batas itu bergerak ke dua arah. Tangan
kirinya berusaha menggapai leher Dewa Petir yang sedang
di atas pohon, sedangkan tangan kanannya hendak
mencengkeram punggung Rangga.

Dewa Petir terkesiap. Namun sebelum cengkeraman itu


sampai pada sasaran, dilepaskannya pukulan ‘Dewa
Menolak Bala’.
Blasshh! Blammm!

Pukulan yang dilepaskan Ki Suta ini tepat mengenai


sasarannya. Tetapi begitu ledakan terjadi Iblis Hitam tidak
mengalami luka apa-apa. Dewa Petir jadi geram setengah
mati. Sementara, tangan Iblis Hitam yang hitam dan besar
sudah mencengkeram punggungnya. Tubuh Ki Suta
diangkat tinggi-tinggi, lalu dibanting sekeras-kerasnya.

Bruk!

“Argkh...!” Dewa Petir menggeliat kesakitan ketika tubuhnya


menghantam tanah.

Kiranya perlakuan yang sama juga dialami Pendekar


Rajawali Sakti. Pemuda ini pun terhempas. Untung
sebelumnya tenaga dalamnya sudah dikerahkan untuk
melindungi diri.

Sekarang, Iblis Hitam terus mengejar Dewa Petir. Kakinya


yang besar berusaha menginjak tubuh laki-laki tua itu.
Namun pada saat itulah Rangga kembali mencabut Pedang
Pusaka Rajawali Sakti.

Sring!

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan menggelegar, Rangga


melompat ke udara. Ujung pedang di tangannya meluncur
deras ke punggung Iblis Hitam. Dengan mempergunakan
kesempatan saat Iblis Hitam lagi lengah, Pendekar Rajawali
Sakti menusukkan pedangnya.

Jrooos!
“Haaargkh...!” Iblis Hitam penghuni Kitab Pelebur Jiwa
menjerit keras saat wujudnya tertusuk senjata Rangga.
Tubuhnya kontan terbakar. Pada saat yang sama, kitab di
tangan Si Bayang-Bayang terbakar.

Rumbai Mangkulangit terpaksa melepaskan kitabnya.


Lolongan panjang Iblis Hitam terdengar menjauh. Semakin
lama semakin jauh, hingga akhirnya lenyap begitu saja.
Rumbai Mangkulangit jelas terkejut melihat kehebatan
senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Pedang itulah
yang tidak pernah berhasil dilihat melalui kekuatan gaibnya!
Sehingga dia tidak menciptakan senjata yang dapat
mengimbangi pedang milik Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa
senjata tandingan, mustahil pemuda itu dapat dikalahkan.

Sementara Rangga sendiri segera melompat menghadapi Si


Bayang-Bayang. “Setelah kehancuran Iblis Hitam, sekarang
giliranmu yang harus kukembalikan ke neraka!” dengus
Rangga.

Si Bayang-Bayang melompat mundur, ketika Pendekar


Rajawali Sakti menebaskan senjatanya. Saat itu juga terasa
adanya hawa panas yang menerjang. Rumbai Mangkulangit
terkesiap, lalu melompat lagi. Melihat kenyataan ini,
Pendekar Rajawali Sakti hilang kesabarannya. Dengan
mempergunakan jurus dari rangkaian jurus-jurus ‘Rajawali
Sakti’, diserangnya laki-laki tua itu dengan gencar.

Mendapat serangan begini rupa, Rumbai Mangkulangit jadi


pontang-panting. Agaknya dia begitu takut menghadapi
Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Saking takutnya, dia lupa
mempergunakan pukulan-pukulan saktinya!
Tiba-tiba Si Bayang-Bayang mengambil sebuah benda dari
balik saku celananya. Kemudian benda bulat itu
dilemparkannya ke tanah di depan Rangga.

Buuum!

Terjadi letupan keras, disertai menebarnya asap tebal.


Suasana di sekitarnya jadi gelap gulita.

“Dasar licik!” teriak Rangga. Pendekar Rajawali Sakti


berusaha keluar dari kepungan asap tebal. Begitu terbebas,
ternyata Si Bayang-Bayang telah lenyap.

“Hari ini adalah kekalahanku, Pendekar Rajawali Sakti! Suatu


saat jika aku telah menemukan senjata ampuh, aku akan
mencarimu!” Terdengar suara Si Bayang-Bayang yang
dikirimkan lewat ilmu mengirimkan suara.

“Tantanganmu kuterima, Pengecut!” teriak Rangga, lantang.

“Rangga! Kita telah terkecoh. Sayang, aku sendiri juga tidak


dapat menghentikannya,” keluh Dewa Petir, seakan
menyalahkan diri sendiri.

“Sudahlah, Ki. Kita telah membunuh muridnya, dan juga


memusnahkan Kitab Pelebur Jiwa. Lain kali, kita pasti dapat
menghancurkan Si Bayang-Bayang!” tandas Pendekar
Rajawali Sakti.

“Sekarang kita ke mana?” tanya Ki Suta.

“Ke Desa Pasir Molek, bagaimana?” tanya Pendekar


Rajawali Sakti disertai senyum.
Dewa Petir mengangguk setuju. Ketika mereka
meninggalkan Hutan Wonocolo, hari sudah mulai gelap.
Hati mereka lega, karena telah berhasil membunuh Bara
Genta.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: TITAH SANG RATU

Pendekar Rajawali Sakti

2 1 0 0 0

) Previous Next (
Gerombolan Samurai Hitam Titah Sang Ratu

COPYRIGHT © 2020 · SONNY OGAWA ALL RIGHT RESERVED

Anda mungkin juga menyukai