Anda di halaman 1dari 300

Furin Kazan

Furin Kazan

Yasushi Inoue

Satu

Tidak ada yang mengetahui asal-usul Aoki Daizen,

selain dikenal sebagai mantan pengikut keluarga Hojo yang

kehilangan posisi karena melakukan kesalahan besar,

samurai tak bertuan berusia 30 tahunan itu, tiba di kota

benteng Sunpu yang diperintah Imagawa Yoshimoto,

setahun lalu. Tidak ada hal lain yang diketahui orang

tentang dirinya.

Kebanyakan pengikut Imagawa akan menghindar bila

berpapasan di jalan dengan Aoki Daizen. Wajah dan

sosoknya memancarkan sesuatu yang tidak menyenangkan;

pucat dengan bibir tipis dan bekas luka di antara kedua alis.

Bahu kirinya sedikit terangkat saat berjalan. Meski

wajahnya terlihat cukup tampan, penampilannya tampak


dingin dan kejam.

Daizen sangatlah lihai. Entah dari aliran pedang mana,

permainan pedangnya sangat cepat dan selalu berhasil

menumbangkan lawannya dengan hanya sekali sabetan.

Pada musim semi ini, akan diadakan pertandingan di alunalun

kota, yang juga mengizinkan para samurai tak bertuan

untuk ikut ambil bagian. Saat itu, keahlian pedang Daizen

tampak menonjol. Tak seorang pun mampu

menandinginya. Belasan samurai yang membanggakan

kemampuan mereka, hampir semuanya tumbang dalam

sekali sabetan. Dada mereka ditusuk dari bawah oleh

pedang kayu Daizen, yang membuat tubuh mereka

terpental ke belakang. Seorang memuntahkan darah dan

lainnya sedikit banyak terluka. Meski sejak saat itu nama si

samurai tak bertuan, Aoki Daizen, menjadi terkenal,

namun tawaran pekerjaan dari keluarga Imagawa tidak

kunjung tiba. Walaupun ia sangat ahli memainkan pedang,

Daizen memancarkan suatu aura yang mengingatkan orang

agar senantiasa menjauhi. Aura seseorang yang tidak bisa

dipercaya.

Sore hari, sesudah pertandingan, Aoki Daizen

meninggalkan penginapannya di daerah Ogata. Saat keluar

di pintu depan, seorang pelayan mengatakan sesuatu,

namun seperti biasa, ia tak menjawab. Si pelayan

memberitahukan tentang kepulangan sang tuan rumah, tapi

entah mendengar atau tidak, Daizen tetap berjalan pelan,

dalam diam, menuju gerbang belakang. Mungkin ia


memang mendengar kata-kata si pelayan tadi, lalu

menghindar lewat gerbang belakang agar tidak bertemu

dengan tuan rumah. Daizen berjalan menyusuri sepanjang

sisi Sungai Abe, sampai tiba di sebuah kelokan besar, la

melangkah turun sepanjang pinggiran, melewati pintu

belakang dari dua atau tiga rumah petani, lalu memasuki

sebuah kuil tua di samping rerimbunan pohon bambu.

“Ada orang?”

Di pintu gerbang ia memanggil lirih. Karena tak ada

balasan, ia membuka pintu gerbang itu, masuk ke sebuah

taman kecil di belakang kuil. Di sana, tumbuh beberapa

pohon dan batu-batu pijakan teronggok tak beraturan.

“Ada orang?” kembali dia memanggil. Menyadari tandatanda

keberadaan seseorang di dalam ruangan, ia pun lalu

duduk di beranda.

“Siapa?” terdengar suara lirih, sedikit serak.

“Aoki Daizen,” jawabnya angkuh. Tak ada balasan dari

dalam.

“Aoki Daizen,” ulangnya, sambil memandangi pohonpohon

di taman kecil yang sudah dua tiga hari ini disinari

cahaya dingin matahari.

Lalu, terdengar denting logam. Sekeping koin jatuh di

samping tempatnya duduk, la pungut dan lihat koin itu

sekilas; bagian atasnya berpola anyaman, sedangkan bagian

bawah terdapat cap bergambar pohon kiri yang di

tengahnya tercetak huruf Suruga.

“Hah! satu keping!”


Aoki Daizen mendengus, tertawa mengejek.

“Dasar penipu!” katanya penuh kebencian.

“Aku sudah muak mendengar tentang pengembaraan

samuraimu; Berkeliling ke seluruh penjuru negeri,

mempelajari berbagai tradisi mereka, mencari tahu strategi

kekuatannya, memiliki pengetahuan geografis yang

mumpuni. Hah!”

Daizen tertawa pelan dengan suara lebih rendah lagi.

Tawa mengejek yang menunjukkan sikap merendahkan.

Biasanya ia jarang berbicara dan dikenal pendiam. Tapi saat

ini, mulutnya tak berhenti berbicara.

“Dasar penipu! Tahu apa kau tentang strategi perang.

Menguasai rahasia tentang strategi perang, penaklukan

benteng, penaklukan wilayah. Lantas, keahlian pedangmu,

dari aliran Gyoryu, katamu! Ha! Aku ingin melihat

bagaimana kehebatan permainan pedang aliran Gyoryu itu.

Aoki Daizen siap menjadi lawanmu kapan saja!”

Tetap tidak ada balasan dari dalam rumah. Daizen

berteriak marah. “Berikan satu koin lagi! Meski kita samasama

samurai tak bertuan, kau lihai menipu orang lain.

Makanya kau lebih ahli mengumpulkan uang dibandingkan

aku. Berikan satu koin lagi!”

Dari celah pintu, kembali melayang sekeping koin, jatuh

di beranda dengan suara pelan.

“Kuterima ini. Kuberi sepuluh hari lagi sebelum

kubongkar kedok penipuanmu.”

Aoki Daizen bangkit dan berkata, “Hari ini aku terburuburu.


Nanti malam, aku harus bertemu dengan pengikut

Takeda untuk membicarakan pekerjaan. Aku sudah muak

dengan benteng Sunpu.”

Ketika Aoki Daizen sudah berjalan dua-tiga langkah,

terdengar suara serak,

“Tunggu!”

“Ada apa?”

“Tadi kau bicara tentang pengikut Takeda. Siapa dia?”

“Kau penasaran, ya? Namanya Jenderal Itagaki siapalah.

Aku tak tahu nama lengkapnya.”

Jeda sesaat, suara serak itu berkata, “Menurutmu,

segampang itukah mendapatkan pekerjaan?”

“Mana kutahu sebelum mencoba?”

Saat Aoki Daizen kembali berjalan dua-tiga langkah,

pintu bergeser membuka. Seorang lelaki bertubuh sangat

kecil beringsut keluar. Dari wajah hingga perawakan tubuh,

semuanya kelihatan aneh.

“Apa maumu?” Aoki Daizen menoleh.

“Kuberi kau petunjuk. Dengar, Itagaki yang kau sebut itu

pastilah Itagaki Nobukata. Sudah beberapa generasi,

keluarga Itagaki memiliki peran penting di klan Takeda.

Saat ini, Amari Torayasu dan Itagaki Nobukata adalah dua

pengikut utama Takeda. Dia bukan tipe orang yang mau

menerima begitu saja tawaran seorang ronin (samurai tak

bertuan). Hanya ada satu cara. Kita harus menyerang

Itagaki Nobukata!”

“Menyerang?! Menyerang bagaimana?!”


“Sudah jelas. Kau serang dia, lalu aku akan muncul

menyelamatkannya.”

Aoki Daizen tidak paham maksud lawan bicaranya. Pria

kecil si empunya rumah itu berkata lagi,

“Dengan begitu, antara aku dan Itagaki Nobutaka akan

terjalin sebuah ikatan. Tidak ada hutang budi yang lebih

besar daripada menyelamatkan nyawa seseorang. Aku pun

berharap dapat mengabdi pada klan Takeda. Begitu aku

bekerja pada Takeda, aku akan merekomendasikanmu.”

“Lagi-lagi sebuah tipuan, heh?” Aoki Daizen meludah,

lalu memandang tajam lawan bicaranya.

“Tapi tidak ada cara lain yang lebih meyakinkan selain

ini.”

“Dasar penipu!”

“Kalau tidak suka, pergi sajalah.”

Aoki Daizen berpikir sejenak, lalu berbalik ke beranda

dan berkata, “Akhirnya kau tunjukkan karakter aslimu.

Dasar penipu bermata satu!” Mata orang yang duduk di

beranda itu memang hanya satu yang dapat melihat. Entah

melihat ke arah mana, ia tidak tahu pasti.

Saat Daizen berbalik kembali ke beranda, orang itu

menumpukan tangan kanannya di lantai beranda, lalu

mengangkat pinggang. Jari tengah tangan kanan itu sudah

tidak ada. Tak lama kemudian, orang itu berdiri. Meski

begitu, badannya teramat pendek. Pria dengan tinggi tidak

sampai lima kaki itu masuk kembali ke ruang berlantai

tatami.
Aoki Daizen tertawa pongah. Tidak demikian halnya

dengan Kansuke. Berada dalam ruang yang sedikit gelap,

wajahnya terpaku ke arah bunga krisan merah di taman.

“Tidak mudah menyerang orang tanpa melukai. Ini baru

pertama kali bagi Aoki Daizen,” ujarnya. Namun, Kansuke

tetap tidak mengatakan apa pun, seperti sebelumnya.

“Hei! Katakan sesuatu! Kau tidak mau bicara, ya,

Yamamoto Kansuke!” bentak Daizen penuh amarah.

Wajahnya yang pucat seketika menegang kaku.

“Sedikit luka tidak apa-apa, tapi kalau dia sampai mati,

itu akan menimbulkan masalah. Semuanya akan menjadi

sia-sia,” akhirnya suara serak yang tenang itu menyahut

dari dalam ruangan.

Aoki Daizen tidak menyukai Yamamoto Kansuke. la

memang baru bertemu setengah tahun lalu, dan sejak saat

itu pula ia membencinya. Mungkin karena karakter mereka

memang tidak cocok. Setiap kali mendengar suara

Kansuke, selalu muncul dorongan kuat untuk

menghinanya. Alasan Daizen mendatangi rumah Kansuke

memang untuk meminta uang, namun dalam lubuk

hatinya, motivasi untuk membuat jengkel Kansuke jauh

lebih kuat.

Nama samurai tak bertuan Yamamoto Kansuke telah

dikenal di tiga wilayah klan Imagawa yakni Suruga,

Totomi, dan Mikawa. la adalah samurai tak bertuan dari

Ushikubo, Provinsi Mikawa, yang tiba di Sunpu sejak

sembilan tahun lalu. Selama itu, ia telah berkali-kali


memohon kerja pada Imagawa; namun selalu ditolak

dengan alasan yang tidak jelas. Selama sembilan tahun ini

ia dilindungi dan diberi makan oleh pengikut utama klan

Imagawa, yaitu lohara Tadatane. Menurut kabar burung,

alasan lohara menyuplai beras dan garam kepada Kansuke

adalah karena mereka memiliki hubungan kekerabatan.

Kalau tidak, mana mungkin lohara rela mengurusnya,

sementara Kansuke belum diangkat menjadi pengikut klan

Imagawa.

Menurut kabar burung pula, Kansuke menguasai ilmu

pedang aliran Gyoryu dan belum ada pengikut klan

Imagawa yang berhasil mengalahkannya. Namun, belum

ada seorang pun yang pernah melihatnya menghunus

pedang, mendengar tentang kisahnya di medan laga, atau

tentang dia membunuh maupun melukai orang lain. Di

balik desas-desus tentang keahlian pedang Gyoryu-nya,

penampilan aneh Kansuke itulah yang mungkin berperan

lebih besar. Tingginya tidak sampai lima kaki, kulitnya

gelap, salah satu matanya buta, dan kakinya pincang

sebelah, serta tidak ada jari tengah di tangan kanannya.

Usianya pasti telah mendekati 50 tahun.

Kabarnya, sejak berusia 20 tahun Kansuke telah

mengelilingi Jepang, la juga dikabarkan piawai dalam

strategi peperangan, memiliki pengetahuan seni perang

kuno dan modem, serta dikenal sebagai ahli dalam

penaklukan benteng dan perebutan wilayah. Meski

demikian, fakta bahwa ia belum juga dipekerjakan oleh klan


Imagawa dan terus menjadi ronin selama sembilan tahun

ini, justru membantu mengangkat namanya. Kebanyakan

orang menganggap, pasti ada seseorang yang tangguh dekat

tuan Imagawa yang iri atas kecerdasan, pengalaman serta

bakat Kansuke; dan orang itulah yang mencegah

pengangkatan Kansuke. Beberapa waktu kemudian, tersiar

kabar bahwa pejabat yang iri itu tak lain adalah pelindung

Kansuke sendiri, Iohara Tadatane.

Orang jarang mengunjungi Kansuke, bahkan pengikut

Imagawa sekalipun. Pada malam hari rumahnya selalu sepi.

Hanya Aoki Daizen yang tidak percaya pada desas-desus

seputar Yamamoto Kansuke. Penipu! Begitu pikirnya.

Ketidakpercayaannya pada Kansuke didasarkan intuisi

semata, la tidak bisa membayangkan sosok Yamamoto

Kansuke berdiri dengan pedang terhunus di tangan. Jika ia

paksakan bayangan itu dalam benaknya, Kansuke tidak

terlihat sebagai seorang samurai pemberani, melainkan

seorang samurai yang sangat aneh.

Aoki Daizen pertama kali bertemu dengan Yamamoto

Kansuke sekitar enam bulan lalu, dan langsung tidak

memercayainya. Seorang ahli pedang tidak seperti ini

penampilannya, pikir Daizen. la ingin menantang dan

menyingkap sosok aslinya. Beberapa kali ia berusaha

menantang Kansuke melakukan duel pedang, tapi Kansuke

tidak pernah melayani dan selalu berhasil lolos dengan

cerdik dari tantangan Daizen.

Secara berkala, Daizen mengunjungi rumah Yamamoto


Kansuke untuk menghina dengan kata-kata kotor. Meski

begitu, Kansuke senantiasa berdiam diri. Perasaan jijik dan

benci terhadap Kansuke menjadi satu-satunya hiburan

dalam hidup Daizen yang membosankan dan diwarnai

kemiskinan. Daizen sendiri tidak memiliki pengetahuan

apa-apa tentang strategi perang dan keadaan berbagai

negeri, sehingga tidak bisa menilai Kansuke. la berpikir

bahwa hal tersebut sama dengan kemampuannya

menggunakan pedang. Bagaimana mungkin ia bicara

tentang penaklukan benteng atau perebutan wilayah tanpa

memiliki pengikut seorang pun? Daizen juga meragukan

bahwa ia pernah berkeliling ke seluruh penjuru negeri.

Sekali, Daizen sempat menanyakan keadaan geografis

wilayah Odawara, tempat kelahirannya, tetapi Kansuke

tidak menjawab. Tidak salah lagi, Kansuke memang tidak

tahu apa-apa.

Hari ini Daizen merasa puas bahwa Kansuke akhirnya

menampakkan jati dirinya sebagai penipu, la berjalan lebih

cepat dari biasa sepanjang tepi Sungai Abe. Bahkan bila ide

menyerang Itagaki Nobutaka merupakan sebuah tipuan,

paling tidak telah cukup menghalau kebosanan Daizen.

Dasar penipu licik! Meski telah menipu dunia, kau tak akan

bisa menipuku.

Daizen tengah berjalan di tepian Sungai Abe yang

berkerikil, sementara di seberang sungai terhampar lahan

pertanian yang belum ditanami. Tak mungkin menanam

beras tahun ini! Pikiran ini tiba-tiba memberati hati Daizen.


Jika sudah menyangkut soal beras, permasalahan menjadi

serius. Setiap tahun banyak petani meninggalkan lahan

mereka dan menjadi pengelana. Makin sedikit orang yang

mau menggarap lahan. Awal bulan ini, hujan lebat terus

mengguyur selama sepuluh hari berturut-turut. Wilayah

sebelah timur Kyoto mengalami banjir bandang. Bahkan

diwilayah ini pun, tak terhitung lagi banyaknya rumah yang

tersapu banjir sepanjang bantaran sungai Abe. Bukan hanya

sawah, sapi dan kuda pun hanyut terbawa air ke laut.

Tahun lalu, pada tahun Tenbun ke-9, negeri ini juga dilanda

angin topan dahsyat; sekali di musim semi dan sekali di

musim gugur. Bencana terus terjadi setiap tahun.

’Apakah sebaiknya aku melamar pekerjaan di wilayah

Kai? Mungkin di sana lebih baik. Meski aku enggan bekerja

bersama Kansuke, tetapi bekerja bersama keparat itu

mungkin lebih baik ketimbang sendirian di negeri tak

dikenal. Tapi aku benci orang itu!’ Aoki Daizen mendadak

berhenti, la benar-benar tak tahan memikirkan hal itu.

Daizen sadar bahwa ia sendiri juga tidak disukai orang lain.

Tetapi ia betul-betul muak pada Kansuke. Saat kecil, di

sebuah ladang ubi, ia pernah menggerus ulat hijau di tanah

dengan batu. Kebenciannya saat ini tidak akan hilang

sampai mampu melakukan hal serupa terhadap ronin

keparat itu.

0=odwo=0

Saat itu awal Agustus. Tiada angin berhembus, tetapi

udara malam terasa dingin. Musim gugur pun semakin


dekat.

Tidak begitu jauh dari rumah Imagawa, kediaman para

samurai menyebar di sekelilingnya; seolah melindungi

rumah itu. Setelah melewati wilayah pemukiman para

samurai, jalanan tampak menuruni bukit menuju kota. Di

siang hari, jalan ini penuh sesak, namun setelah matahari

terbenam, hampir tidak ada orang yang melewati.

Gerombolan perampok kadang lewat dengan langkahlangkah

cepat.

Toko-toko di kedua sisi jalan menutup pintu rapat-rapat

kala malam tiba.

Aoki Daizen berdiri di dekat pohon enoki besar di tengah

lereng selama lebih dari satu jam. la sedang menunggu

pengikut klan Takeda, Itagaki Nobutaka, lewat. Itagaki

tengah mengunjungi mantan bangsawan pemilik tanah klan

Takeda di Kai, Nobutora, yang dikejar Shingen dan telah

menemukan perlindungan di bawah Imagawa selama

empat atau lima tahun terakhir ini. Menurut

perhitungannya, Itagaki akan kembali ke kediaman

Shinonome Hanjiro, yang telah menemani Nobutora dari

Takeda. Daizen berencana menyerang mereka di tengah

perjalanan.

la belum bertemu Kansuke hari ini, tetapi tak salah lagi,

disinilah tempat mereka akan bertemu; di bawah pohon

enoki di tengah lereng. Begitu melihat Itagaki, ia akan

muncul dari balik pohon dan berusaha membunuhnya. Jika

pengikutnya berusaha melindungi, ia akan menghabisi dua


atau tiga orang dari mereka, dan saat itulah Kansuke akan

muncul. Setelah saling menyerang dengan beberapa sabetan

pedang, Daizen akan melarikan diri ke dalam hutan. Hanya

itu tugas yang harus ia lakukan.

Daizen mengamati kegelapan disekelilingnya. Masih ada

secercah cahaya di dalam kegelapan, la tahu bahwa di suatu

tempat yang tak jauh dari situ, mata aneh lelaki pendek itu

pasti juga sedang mengawasi.

Daizen tidak tahan terus-menerus berdiam diri.

“Hei, keparat! Kansuke!” panggilnya pelan. Setelah itu ia

pasang telinga baik-baik, tapi tentu saja tidak ada jawaban.

Lidahnya berdecak sebal, lalu jongkok di atas tanah.

Sejam berlalu. Kegelapan alam sekitar mulai

menumbuhkan sisi jahat dalam dirinya. Pencuri atau anjing

liar pun jadi! Muncullah! Biar kubunuh semua!

Lalu, ia mendengar derap langkah perlahan mendekat

dari atas bukit. Jelas bukan langkah kaki satu orang. Saat

mereka mendekat, baru tampak bahwa mereka bertiga.

“Saeki Mondo!”

Tanpa menggeser posisi, Daizen berteriak ke arah

rombongan yang hendak melewatinya. Tentu saja nama

yang meluncur dari mulutnya itu adalah karangannya

sendiri.

Suara langkah kaki langsung berhenti.

“Tidak ada yang bernama Saeki di sini. Kau salah

orang,” jawab seorang di antara mereka.

“Omong kosong. Jangan bohong! Aku jauh-jauh datang


ke sini hanya untuk membunuhmu!”

“Buat apa berbohong!” jawab laki-laki itu, tetapi tiba-tiba

Daizen mencabut pedang.

Menyadari gerakan itu, ketiga laki-laki melompat

mundur.

“Tunggu! Kau benar-benar telah salah orang. Aku adalah

pengikut klan Takeda dari Kai. Namaku Itagaki.”

Suara itu terdengar penuh wibawa. Dia betul-betul

Itagaki, pikir Daizen.

“Aku tak peduli kau Itagaki atau siapa, aku tetap akan

membunuhmu!” teriak Daizen.

“Perampok!” Bersamaan dengan teriakan itu, mereka

menghunus pedang.

Di hadapan Aoki Daizen sudah terhunus dua bilah

pedang putih yang saling menyilang. Kemudian dari arah

agak jauh dibelakang kedua pedang itu, kembali terdengar

suara penuh wibawa tadi.

“Jangan dilukai! Usir saja dari sini dengan hati-hati!”

Saat menyadari bahwa dua orang di depannya itu bukan

Itagaki, Daizen melompat melukai bahu salah seorang

samurai. Samurai itu menjerit kesakitan. Daizen

menyingkir sejenak, namun kembali menyerang dan

melukai kaki samurai yang satunya. Suara jerit kesakitan

terdengar kembali.

Semua berlangsung dalam sekejap. Itagaki menyerang

tanpa suara. Saat pedang mereka saling bertemu dua-tiga

kali, Daizen mampu mendengar hembusan berat napas


lawan.

“Kau sa…salah orang. Aku ini pengikut Takeda, Itagaki

Nobutaka,” ujar lawannya. Daizen tak menjawab.

“Atau jangan-jangan… kau perampok?”

Daizen berpikir apa yang harus dilakukan terhadap

lawan yang tidak boleh dibunuh ini, seraya memperpendek

jarak antara mereka.

Saat itulah, Itagaki melangkah maju. Tampak jelas

bahwa ia lebih mahir memainkan pedang dibanding kedua

samurai sebelumnya. Daizen melompat mendekati dada

Itagaki, meraih lengan kanan lawan, lalu mendorong

perlahan ke tepi jalan.

“Siapa itu?”

Tiba-tiba seberkas cahaya lampion menerangi wajah

Daizen dari samping. Untuk pertama kalinya Daizen

tersadar bahwa ia tengah mendorong lawannya ke tembok

tanah liat. la mendengar kata-kata “pengikut utama” dan

mengira lelaki itu sudah tua, namun ternyata berusia lebih

muda. Seorang samurai berusia separuh baya.

Sejam berlalu. Kegelapan alam sekitar mulai

menumbuhkan sisi jahat dalam dirinya. Pencuri atau anjing

liar pun jadi! Muncullah! Biar kubunuh semua!

“Saya diserang perampok dan mengalami kesulitan

menyingkirkan lawan” jawab Itagaki cepat.

“Saya akan membantumu!”

Jelas suara itu milik Kansuke. Daizen melepas tangan

Itagaki, lalu dengan tangkas melompat ke belakang. Kini


saatnya memainkan peran, pikirnya.

Serangan sebilah pedang panjang menghantam. “Ah!”

pekik Daizen, melompat ke belakang, kakinya tersandung

sebongkah batu, lalu terjatuh.

Serangan kedua dan ketiga bertubi-tubi mengenai

Daizen. Ini bukan lagi main-main. la dapat merasakan

hasrat membunuh yang kuat dalam diri lawannya.

Ini tidak seperti yang direncanakan! Sambil menuruni

lereng, Daizen akhirnya mampu melompat bangkit.

Tampaknya ia terluka di dahi, di antara kedua mata; dan

darah mengalir masuk mefilip mata. Tidak ada waktu untuk

menyekanya.

“Kansuke!”

Setelah berteriak, Daizen melompat ke rimbunan semak

di sebelah kanan. Sesuai rencana mereka, pengejaran

Kansuke seharusnya berhenti di sini.

Ketika menengok ke belakang, pedang lawan terus

mengejar. Jelaslah kini, pedang itu akan terus membuntuti

ke mana pun ia menghindar.

“Kau gila?” teriak Aoki Daizen.

“Aku tidak gila!” kata suara rendah itu. Lalu

melanjutkan, “Aku akan membunuhmu!” desis Kansuke.

“Kemarilah!” teriak Aoki Daizen, yang merasakan

bahwa situasi telah berubah sama sekali. Lawan telah

bertekad membunuhnya, maka ia pun harus

membunuhnya! Rasa

benci teramat sangat terhadap ronin cacat itu berlipat


sepuluh kali dalam dada Daizen.

Namun, untuk pertama kali di dalam hidupnya Daizen

merasakan takut. Ujung pedang lawan secara mengejutkan

berada di posisi begitu rendah. Laki-laki kecil itu

menurunkan pedang sampai nyaris menyentuh tanah.

Ketika mata satunya itu menatap Daizen lekat-lekat,

Daizen tak mampu melangkah maju atau bergerak mundur.

Jarak antara keduanya perlahan makin merapat. Aoki

Daizen merasa terpaku di tanah. Pedang lawan berkilat dan

seketika itu pula bahunya tersayat. Disusul pergelangan

tangan kanan, lalu kaki.

“Tunggu! Tunggu dulu!”

Daizen berteriak mengiba, namun serasa berseru pada

dinding tebal. Sekuat apa pun berteriak, pedang lawan terus

menyerang tanpa ampun.

Daizen merasa tubuh Yamamoto Kansuke makin

membesar, sedangkan tubuhnya sendiri menciut dan

menjadi jelek. Bahkan mata Daizen yang tinggal satu itu

semakin tidak berguna. Kakinya pincang.

“Ughh.”

Itulah jeritan terakhir saat ia meregang nyawa.

Tubuhnya terbelah dua dari bahu sampai ke bawah.

-o0=dw=0o-

Dua

Pada pertengahan Februari tahun Tenbun ke-12, utusan

dari klan Takeda di Provinsi Kai mendatangi Yamamoto

Kansuke di Sunpu untuk menawari pekerjaan. Satu


setengah tahun telah berlalu sejak Kansuke membunuh

ronin tak dikenal, Aoki Daizen, dan membantu pengikut

Takeda, Itagaki Nobukata. Menurut utusan tersebut,

keluarga Takeda akan memberi imbalan sebesar 100 kan.

Kansuke mengirim kembali utusan Itu dengan memberi

jawaban bahwa ia meminta waktu dua hari untuk

mempertimbangkannya.

Hari itu, setelah sekian lama, Kansuke keluar

meninggalkan rumah. Bunga sakura yang mekar lebih awal

mulai bermunculan sepanjang tepi Sungai Abe.

“Penaklukan benteng, penaklukan benteng,” Kansuke

mengulang kata-kata yang sama dalam benaknya sejak tadi.

Imbalan 100 kan tidak terlalu dipedulikan. Yang lebih

penting adalah apakah ia dapat ikut serta merencanakan

strategi perang dan berkesempatan mempraktekkan bakat

menaklukkan benteng serta wilayah lawan. Sebelum

menerima tawaran, ia harus menetapkan sebuah syarat.

“Penaklukan benteng, penaklukan benteng.” Yamamoto

Kansuke berjalan melintasi deretan pohon-pohon sakura

tanpa sekali pun menoleh ke pucuk-pucuknya yang

berbunga. Dua perempuan yang tampak seperti istri

samurai, beserta dua anak kecil, berjalan dari arah

berlawanan. Begitu melihat Kansuke, mereka menepi ke

pinggir jalan dengan rasa takut.

“Penaklukan benteng, penaklukan benteng.” Tanpa

sedikitpun melihat kedua perempuan tersebut, Kansuke

mengangkat pandangan, melihat dengan tatapan kosong


dan terus berjalan. Setiap kali menapakkan kaki kanan,

tubuhnya membengkok agak dalam ke sisi tersebut.

la masuki jalan utama Sunpu. Kediaman pelindungnya,

lohara Tadatane yang merupakan kepala pengikut

Imagawa, berada di gerbang masuk dari kediaman para

samurai. Karena ada tiga pohon besar keyaki tumbuh di

sana, orang-orang di kota menyebutnya sebagai “Rumah

Besar Keyaki”.

Kansuke memasuki pintu utama Rumah Besar Keyaki.

Tanpa mengumumkan kedatangannya, ia menapakkan kaki

pada sebuah undakan kecil. Di koridor rumah, ia bertemu

salah seorang pelayan wanita.

“Apakah Tuan lohara ada di rumah?”

“Ya. Mohon tunggu sebentar.”

Kansuke tidak mengindahkan dan terus berjalan

menyusuri koridor. Pelayan wanita itu ingin mendahului

Kansuke dan memberitahukan kedatangannya pada tuan

rumah; namun ragu-ragu untuk melakukannya. Tubuh

Kansuke yang pendek dan caranya berjalan memancarkan

aura yang membuat orang lain tidak berani mendahului.

“Kau ada di dalam?” Kansuke berseru dari depan sebuah

ruangan yang terletak paling sudut.

“Siapa?”

“Yamamoto Kansuke. Saya datang menemuimu.”

Tidak ada jawaban dari dalam. Kansuke seolah bisa

menyaksikan ekspresi di wajah lohara berubah menjadi

kesal karena kedatangannya.


“Permisi,” Kansuke membuka pintu geser dan memasuki

mangan tersebut Paling tidak ia sudah bersikap sopan

dengan duduk di sudut ruangan dan sedikit menundukkan

kepala.

“Saya datang kemari hari ini untuk membicarakan

sesuatu.”

“Apa itu?”

lohara Tadatane duduk di depan mejanya seperti sedang

membaca. Lalu, perlahan mengangkat kepala yang sudah

beruban itu, memandang ke arah Kansuke.

“Seorang utusan dari keluarga Takeda datang, menawari

pekerjaan.”

lohara tetap diam tanpa menjawab, hanya matanya yang

bergerak-gerak. Sejurus kemudian, “Apa kau

menerimanya?”

“Saya tidak bisa menjadi ronin selamanya.”

“Berapa imbalan yang mereka tawarkan?”

“Seratus kan.”

Sunyi sesaat. Lantas lohara berkata, “kalau begitu, kami

akan memberimu 100 kan juga. Selama ini kami tidak

pernah membuatmu merasa tidak nyaman, kan?” lohara

menambahkan.

“Sudah sembilan tahun. Saya tidak mau jadi orang tak

berguna terus-menerus. Saya ingin menaklukkan benteng.”

“Kau pikir bisa menaklukkan benteng dengan strategi

perang yang kau pelajari di atas meja?”

“Bisa saja!” kata Kansuke geram, lohara kembali terdiam


beberapa saat, seperti sedang berpikir.

“Jadi kau tetap akan melayani mereka. Aku akan

membicarakannya dengan Tuanku.”

“Meski dibicarakan berkali-kali pun, hasilnya tetap akan

sama saja. Jelas bahwa kau tak ingin melepas saya, tetapi

kau juga takut mempekerjakan saya di klanmu.”

“Bicaramu kelewatan!” bentak lohara.

Kansuke berkata, “Tapi benar, kan? Kau takut pada

Yamamoto Kansuke? Saking takutnya sampai tak bisa

mempekerjakan saya?”

Mendadak Kansuke mengubah nada bicaranya,

“Bagaimanapun, kau telah memberiku makanan dan

pakaian selama sembilan tahun. Untuk itu saya tetap

merasa berhutang budi, karenanya saya hanya akan

menjual diri pada Takeda, tetapi hati saya tetap tinggal di

Sunpu.”

Bersamaan dengan itu Kansuke tertawa kecil. Tawa yang

aneh.

lohara tiba-tiba membalikkan badan, menghadapkan

wajahnya ke arah Kansuke. Mata lohara yang biasanya

menunjukkan ketidakpedulian, kini berkilat dingin.

“Apa maksudmu?”

lohara mengamati Kansuke, mencoba menyingkap

maksud Kansuke.

“Imbalan dari Takeda akan saya terima, begitu juga

imbalan dari Imagawa.”

lohara terdiam.
“Sejak awal saya sudah meyakini masa depan Imagawa,

sehingga selama sembilan tahun rela tidak meninggalkan

tempat ini.”

lohara tidak menjawab.

“Keluarga Imawaga adalah keluarga terkuat di pantai

timur. Jadi, mengirim salah seorang pengikutnya ke Takeda

bukanlah hal buruk.”

Setelah melontarkan kata-kata tersebut, Kansuke tidak

bicara lagi.

Istri Imagawa Yoshimoto adalah puteri Takeda

Nobutora. Karena itulah kedua klan tersebut memiliki

hubungan kekerabatan, tetapi Nobutora diasingkan oleh

anaknya sendiri, Harunobu (nantinya dikenal sebagai

Shingen) yang berusia 23 tahun. Saat ini, Nobutora berada

di bawah perlindungan menantunya, Imagawa Yoshimoto.

Di permukaan, keluarga Takeda dan Imagawa tetap

bersekutu, namun perseteruan antara Nobutora dan

Harunobu makin memperlebar jurang antara Harunobu dan

Yoshimoto.

Bagi Imagawa, bukan ide buruk untuk tetap memberi

imbalan Kansuke secara diam-diam sekaligus mengirimnya

ke Takeda.

Kansuke berdiri. Caranya berdiri memberi kesan

mendadak, lohara memanggilnya kembali saat Kansuke

melangkah ke koridor.

Pada awal Maret, Kansuke dikawal oleh tiga orang

samurai dari Kai menu{u Kofu dengan menyusuri tepi


timur sungai Fuji. Lereng pegunungan yang mengapit dua

sisi sungai dipenuhi dedaunan hijau segar.

Mereka menginap selama dua malam di tengah

perjalanan. Kansuke benci melakukan perjalanan. Menurut

kabar burung, ia telah berkeliling Jepang mempelajari

keahlian berpedang, dan tidak ada satu tempat pun yang

belum dijejaki. Namun pada kenyataannya, tempat yang ia

ketahui hanya kampung halaman sendiri, yaitu Provinsi

Mikawa, dan sebagian Suruga. Kisah dirinya yang

berkeliling Jepang tak lebih dari desas-desus belaka. Tapi ia

tidak menyangkal kabar burung tersebut. Tidak perlu.

Dengan pengetahuannya yang hanya secuil, Kansuke tetap

mampu membayangkan seluruh kota benteng dari provinsi

barat hingga timur dengan sangat jelas, la memperoleh

pengetahuan ini dari bahan-bahan bacaan tentang gunung,

sungai, dataran, dan iklim setiap wilayah, la mampu

membayangkan setiap benteng, kota, dan kondisi geografis

di sekitarnya dengan sangat akurat, meski belum pernah ke

sana.

Setiap kali bertemu musafir dari daerah yang jauh, ia tak

pernah melewatkan kesempatan untuk menyerap segala

jenis pengetahuan dengan rinci, dan pengetahun ini tidak

akan pernah dilupakan. Daya ingatan dan imajinasinya

begitu kuat, sampai-sampai ia sendiri terpukau. Apa yang

pernah didengar tidak akan terlupakan. Dari secuil

informasi tersebut ia mampu mengembangkan menjadi

berbagai pengetahuan tak terbatas. Itagaki Nobukata


menjemput di tengah perjalanan, la membawakan

perlengkapan seperti pakaian, kuda, panah, dan tombak,

bahkan pelayan muda pun ia sediakan.

Kansuke merasa amat puas. Bukan hanya karena mereka

melayani dengan sangat baik, namun juga karena kondisi

alam dan geografis Provinsi Kai yang hampir sama dengan

apa yang dibayangkannya. Saat mereka memasuki kota

benteng Kofu, Kansuke melihat bahkan warna awan di

wilayah itu persis dengan yang ia bayangkan.

“Sudah berapa kali kau ke Kofu?” tanya Itagaki.

“Tiga kali,” jawab Kansuke. Dan tiga kali itu bukan

karangan, pikirnya.

Malam itu Kansuke menginap di rumah seorang samurai

kaya di sebelah utara kediaman Takeda. Keesokan harinya,

ia ditemani Itagaki bertemu dengan Harunobu di ruang

pertemuan kediamannya. Kediaman Takeda tidak

berbentuk benteng, tetapi seperti rumah pada umumnya.

Yang sedikit membedakan adalah keberadaan parit di

sekelilingnya.

Di dalam ruang pertemuan tersebut, Takeda Harunobu

yang berusia 23 tahun duduk di depan, di kanan kirinya

duduk berjajar beberapa pengikut utama Takeda. Kansuke

memberi hormat dengan canggung dari jauh. Saat diminta

mendekat oleh Harunobu, ia bangkit berjalan ke arah

Harunobu dengan membungkukkan badan.

Di sebelah Itagaki Nobukata duduk Obu Toramasa, dan

di sebelah Obu duduk Amari Torayasu. Kansuke maju ke


depan, melirik ketiga orang dekat Takeda itu. Saat

menundukkan wajah, tatapan dingin Amari tidak lekang

dari benaknya. Aku tak suka orang itu, pikir Kansuke.

Harunobu tidak berkata sepatah puri, tapi matanya terpaku

pada penampilan Kansuke yang aneh. Tiba-tiba Harunobu

berkata, “Kau tampak lebih tangguh dari yang kudengar.

Tidak mungkin kau puas dengan imbalan 100 kan. Aku

akan memberimu 200 kan”

Suaranya tidak keras, tetapi terdengar berat. Kansuke

mengangkat wajahnya sedikit, terperanjat.

Lalu Harunobu menambahkan, “Aku akan memberimu

satu huruf dari ‘Harunobu’. Mulai sekarang, kau dipanggil

dengan sebutan ‘Kansuke HaruyukT.”

Seorang jenderal muda yang sangat dermawan. Kansuke

membungkuk dalam diam.

Itagaki Nobukata mendekat dan berbisik, “Ucapkanl

terima kasih.”

“Terima kasih banyak. Untuk membalas penghormatan

ini, saya ingin berpartisipasi dalam pertempuran

menaklukkan benteng sesegera mungkin,” ujar Kansuke

tanpa intonasi.

“Kau berkata ‘menaklukkan benteng* begitu mudah,

akan tetapi…,” Harunobu mulai bicara, namun langsung

dipotong oleh Kansuke.

“Ya, ada prinsip-prinsip rahasia dalam menaklukkan

benteng.”

“Apakah kau telah menguasai prinsip-prinsip rahasia


itu?”

“Ya.”

Jawaban pendek Kansuke terdengar angkuh bagi siapa

pun. Lalu terdengar tawa lepas Amari.

“Berapa jumlah pertempuran yang telah kauikuti?” tanya

Amari.

“Belum satu pun.” Ledakan tawa muncul dari tempat

duduk yang lebih rendah.

Kansuke tidak merasa terganggu sama sekali. Mendadak

ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya, membuat ia sulit

duduk diam. Sesuatu itu adalah kepercayaan diri dan

keberanian bahwa ia akan mampu menaklukkan berapa

pun banyaknya benteng dengan mudah.

Itagaki berkata, “Kau boleh pergi dan istirahat.”

Kansuke berlalu dari hadapan Harunobu.

Sepeninggal Kansuke, Amari maju ke hadapan

Harunobu dan berkata, “Tidak sekali pun pernah terlibat

dalam pertempuran, tetapi menyombongkan kemampuan

soal strategi militer. Ini memaksa kami yakin bahwa dia tak

lebih dari penipu yang hanya pintar bicara dan

menginginkan imbalan belaka.”

Obu Toramasa menambahkan, “Bagaimana jika kita

pekerjakan dia selama setahun untuk melihat

kemampuannya. Namun, karena Tuan memiliki

kemampuan setara dewa untuk menilai seseorang, apakah

ada pemikiran tersendiri mengenainya?”

Harunobu hanya menjawab demikian, “Sepuluh tahun


lalu, ketika aku masih berusia 13 tahun, aku pergi ke

Ushikubo di Provinsi Mikawa dan bertemu Kansuke.

Waktu itu kami sepakat menjadi majikan dan pengikut.

Sejak itu pula kubiarkan dia bertualang ke seluruh negeri.”

Tak ada ekspresi di wajah Harunobu.

Semua orang tahu bahwa pernyataan itu tidak benar,

tetapi karena yang mengatakan adalah Harunobu sendiri,

tak seorang pun berani menentang. Hanya Itagaki

Nobukata yang mengetahui alasan Harunobu melindungi

Kansuke.

Harunobu telah disia-siakan oleh ayahnya, Nobutora, dan

melalui masa kedi yang tidak bahagia. Itu sebabnya

Harunobu punya kecenderungan memihak samurai

berpenampilan aneh atau samurai yang tidak mendapatkan

kepercayaan dari orang lain.

0=odwo=0

Atas pengaturan Itagaki, Kansuke melewati malam

kedua di sebuah rumah samurai di depan kediaman

Takeda. Sore hari berikutnya, Kansuke menaiki sebuah

bukit kecil di belakang kediaman Takeda. Tepat di

belakangnya, ada kaki bukit yang landai. Sebelum sampai

di tengah lereng, Kansuke tidak hanya dapat melihat kota

benteng Kofu, melainkan juga sebagian wilayah Kai.

Tampaknya sangat mudah untuk menyerang dan

menghancurkan kediaman Takeda; Jika diamati dari atas

bukit, kediaman Takeda sama sekali tidak memiliki

pertahanan. Dengan kondisi seperti ini, yang menyebabkan


mereka bisa terus bertahan sampai sekarang tentulah karena

keluarga Takeda selalu berperang keluar dan tidak pernah

membiarkan musuh masuk ke wilayah mereka. Di pantai

timur, benteng seperti ini tidak akan bisa bertahan sehari

pun dalam situasi tanpa penjagaan.

Angin berhembus dari kaki bukit, membuat kulit

Kansuke yang berkeringat merasa nyaman. Kansuke duduk

di pematang sawah di lereng bukit dan terus memandangi

dataran luas di bawahnya. Kai disebut-sebut sebagai daerah

bergunung-gunung. Memang, di sekeliling lembah terlihat

jelas deretan pegunungan.

Tiba-tiba Kansuke melihat seorang penunggang kuda

menaiki bukit tempat ia duduk. Caranya menunggang kuda

tampak terampil. Ketika penunggang kuda berada dekat

Kansuke, ia turun dari kuda dan berjalan menghampiri

Kansuke. la bertanya, “Apakah Anda Tuan Yamamoto?

Tuan dipanggil ke benteng.”

“Bagaimana kau tahu aku berada di sini?”

“Ada yang melihat Tuan menaiki bukit ini.”

Kansuke berdiri dan berkata, “Aku akan segera ke sana.”

Samurai itu menaiki kudanya dan menghilang dengan

cepat.

Kansuke berpikir, pasti Harunobu yang memanggil.

Namun saat memasuki gerbang benteng, dilihatnya tiraitirai

bercorak merah putih dipasang mengelilingi lapangan

dan terdengar suara tetabuhan genderang. Beberapa

samurai berlari ke arahnya dan berkata, “Silahkan kemari.”


Kansuke dituntun masuk ke balik tirai.

Amari duduk di atas bangku kecil. Di sisi kanan kirinya

puluhan samurai duduk berderet. Kansuke dibawa

menghadap.

Amari berkata, “Yamamoto Kansuke, tunjukkan padaku

aliran pedang Gyoryu.”

“Permintaan yang tidak masuk akal. Saya datang ke sini

karena mengira Tuan kita yang memanggil.”

“Kudengar kau menguasai aliran pedang Gyoryu,

sayangnya tak seorang pun di Kai yang mempelajari aliran

tersebut. Tapi kami punya beberapa ahli pedang dari aliran

Shintoryu. Aku Kansuke tidak tertarik sama sekali pada

pertandingan. Kisah mengenai dirinya sebagai ahli pedang

Gyoryu dan perjalanannya ke seluruh penjuru negeri tak

lebih dari gosip belaka, la bahkan belum pernah memegang

pedang kayu. Satu-satunya pengalaman berpedang adalah

ketika ia membunuh Aoki Daizen di Suruga. la bahkan

tidak ingat lagi bagaimana menggunakan pedang ketika itu.

la hanya berpikir untuk membunuh. Jadilah ia melompat,

menyerang dahi, kaki, lalu bahu, dahi lagi, dan akhirnya

membelah bahu Daizen. la mampu membunuh Aoki

Daizen semata-mata karena berpikir untuk melakukanya;

tapi itu tidak bisa disebut keahlian pedang, la tidak tahu

apa-apa soal Gyoryu atau Shintoryu. la bahkan tidak tahu

tatacara memegang pedang.

Tiga orang samurai berlari ke arahnya dan menyerahkan

sebilah pedang kayu. Lalu mereka menggulung lengan


bajunya ke atas dan mengikatnya.

“Sungguh menjengkelkan!”

Baru saja Kansuke mengucapkan kata-kata itu, lima atau

enam orang menggiringnya ke tengah lapangan.

“Menjengkelkan!”

Kansuke berupaya melarikan diri ke sudut, tapi selalu

digiring kembali ke tengah. Lalu ia melihat seorang samurai

separuh baya pelan-pelan mendekati dengan pedang kayu

terhunus. Karena Kansuke tidak punya niat bertarung,

pertandingan hanya dimulai sepihak.

“Menjengkelkan!” teriaknya, lalu bahunya terkena

pukulan.

“Ini curang!” ulang Kansuke, lalu bahu yang sebelah lagi

terasa kebas. Pukulan-pukulan lawan membuat kedua

bahunya kebas beberapa saat. Sesaat kemudian kakinya

ditarik. Kedua kakinya tersungkur ke samping dan Kansuke

terjatuh di tanah dalam posisi aneh.

Sorak dan tawa terdengar riuh di sekeliling lapangan.

Kansuke terduduk di rerumputan di tengah lapangan.

Tiba-tiba hiruk-pikuk itu mereda. Sebagian tirai tersibak

dan Harunobu muncul diiringi pelayan. Kansuke dipanggil

menghadap Harunobu.

“Tampaknya kau sudah bertarung,” ujar Harunobu

dengan suara pelan namun berat.

“Saya menang,” jawab Kansuke. Sambil memegangi

bahu kiri yang terasa sakit, ia melanjutkan, “Lawan saya

tadi tidak akan berguna dalam pertarungan sungguhan. Dia


akan tersungkur dengan sekali sabetan.”

“Kenapa begitu?”

“Matanya mati. Mirip mata ikan yang mati. Dia dapat

dijatuhkan dengan mudah oleh prajurit rendahan tak

dikenal,” kata Kansuke.

Harunobu mengangguk dalam, entah percaya atau tidak.

Di lapangan, pertandingan baru telah dimulai. Kansuke

membungkuk lalu mundur dari hadapan Harunobu. Bahu

dan punggungnya dijalari rasa sakit luar biasa. Ini

malapetaka, pikirnya.

Amari mengejar dan mendekati Kansuke.

“Jangan mengatakan kebohongan tanpa malu setelah

kau ditumbangkan seperti tadi.”

“Apakah dia anak buahmu, Tuan Amari?”

“Aku baru saja mempekerjakannya. Seorang ronin dari

timur, tapi dia memiliki keahlian yang handal.”

“Tapi justru orang seperti itu tidak akan berguna dalam

pertarungan sesungguhnya. Dia akan memalukan Tuan.”

Kansuke tertawa pelan, menyibakkan tirai, lalu tubuh

kecilnya menyelinap di balik tirai.

Malam itu Kansuke diundang Harunobu untuk

berkunjung ke benteng. Selain Harunobu, hadir pula

Itagaki, Amari, dan empat atau lima panglima lain.

“Apakah samurai dan orang biasa berbeda di setiap

wilayah?” tanya Harunobu kepada Kansuke.

“Saya berkelana ke seluruh penjuru negeri dan

mempelajari tradisi-tradisi keluarga di berbagai provinsi.


Selain itu, saya juga mengamati rumah Tuan Yoshimoto

dan mengenal ronin dari berbagai tempat saat masih tinggal

di Suruga selama sembilan tahun. Menurut saya,

keseluruhan negeri dapat dibagi menjadi tiga kategori.

Kategori pertama adalah jiwa yang dimiliki orang-orang

wilayah timur. Dari wilayah Bishu hingga Izumi masuk ke

kategori kedua. Kategori ketiga meliputi Shikoku, Chugoku,

sementara Kyushu memiliki jiwa yang kurang lebih sama.”

“Apa perbedaannya?”

“Di atas Bishu, yakni wilayah timur, jarang ada orang

yang ramah. Mereka menunjukkan sikap arogan. Jika

hubungan terjalin baik, mereka akan memuji-muji orang

yang tidak layak mendapat pujian. Akan tetapi saat

hubungan tidak berlangsung baik, mereka akan menjelekjelekkan

orang yang lebih menonjol.”

Sekali Kansuke mulai bicara, ia amat fasih bercerita.

Apapun pertanyaan yang dilontarkan, ia jawab dengan

lancar. Entah dari mana ia memperoleh pengetahuan itu.

Itagaki, sebagai pelindung Kansuke, merasa puas dengan

kecakapan Kansuke, namun Amari tetap diam dengan

wajah masam. Baginya, kefasihan Kansuke terdengar

seperti kebohongan semata.

Kansuke menjawab dengan gamblang semua pertanyaan

tentang berbagai topik, mulai dari geografi, sifat manusia,

tradisi, hingga struktur militer berbagai provinsi.

“Apakah ada cara membuat musuh menghormatimu

hanya dalam satu atau dua tahun setelah menaklukkan


wilayahnya?” tanya Harunobu.

“Rekrutlah samurai-samurai terkenal atau terpandang

dari pihak musuh, beri mereka separuh atau semua

informasi— tergantung situasinya, dan aturlah pernikahan

mereka dengan pengikut-pengikut Tuan. Selain itu, panggil

para pemuka agama, warga kota dan pemimpin petani; ajak

mereka bicara dan tanyakan tentang kondisi negeri. Ide

untuk menjamu mereka masih perlu dipertanyakan. Mori

Motonari, penguasa Aki yang mulai belajar memanah sejak

muda, berhasil menaklukkan Chugoku dan memperluas

kekuasaan sampai Shikoku dan Kyushu. Untuk membawa

negeri-negeri itu ke bawah kekuasaannya, dia selalu

menggunakan cara ini.”

Kansuke terus bicara dari jam tujuh sampai jam sepuluh.

Ketika mendengar suara angin kencang di luar, mereka

keluar dari benteng. Kansuke meninggalkan benteng

mendahului Itagaki dan Amari, la keluar dari gerbang timur

benteng, dan menyeberangi jembatan di atas parit.

Sekelilingnya gelap gulita. Saat berjalan sepanjang parit dan

berbelok ke arah pondok para samurai, sekonyong-konyong

dari kegelapan, sebilah pedang putih dihunuskan ke ujung

hidung Kansuke. Sungguh kejadian tak terduga.

Kansuke dengan cepat melompat mundur. Pedang itu

terus mengikutinya. Kansuke mundur selangkah demi

selangkah, dan terus mundur sampai mendekati tembok

benteng, namun pedang itu masih tetap mengikuti. “Siapa

kau?” untuk pertama kalinya Kansuke membuka mulut


“Karena kau menginginkan pertandingan dengan pedang

sungguhan, maka aku datang kemari.”

“Menjengkelkan!” kata Kansuke. la menyadari bahwa

orang di hadapannya itu adalah lawan pertandingan sore

tadi. Lalu berkata, “Hasil pertandingan siang tadi sudah

jelas; Kau lebih kuat.”

“Apa! Aku tak ingin dengar ocehanmu!”

Dalam sekejap Kansuke melompat satu meter ke

belakang dan berkata, “Menjengkelkan!”

Lalu ia melanjutkan, “Jangan bertindak gila. Aku hanya

memenuhi undangan Tuan….”

Kansuke mendengar tawa lawannya.

“Aku akan membunuhmu lalu melarikan diri. Apakah

nyawa berharga bagimu? Sayang sekali, aku tak peduli

seberapa penting itu bagimu, aku tetap akan

membunuhmu.”

“Lalu melarikan diri?”

“Ya, tentu.”

“Kau begitu ingin membunuhku?”

“Ya, ingin sekali.”

Mendengar ini, Kansuke memantapkan niat.

“Kalau begitu, aku juga akan membunuhmu.”

Kansuke menghunus pedang dan berkata, “Kemarilah!”

Kansuke terus merapat. Begitu ia menapak maju satu

langkah, ujung pedangnya merobek bagian di antara kedua

mata musuhnya itu.

“Ugh!” Kali ini lawannya mundur selangkah. Kansuke


terus memperpendek jarak, la maju lagi selangkah. Karena

kaki kanannya yang lebih pendek berada di depan,

tubuhnya bergerak dengan kuat.

Tiba-tiba lawannya memekik.

“Aaah!” Suara itu terdengar seperti teriakan burung

malam. Bahu kanannya terkena sabetan pedang.

Kansuke terus melangkah maju.

“Tunggu! Tunggu dulu.”

Kansuke tidak menunggu, la terus mendesak.

“Tunggu!”

Tiba-tiba suara lain muncul dari kegelapan. Ada

bayangan dua atau tiga orang bergerak. Lalu obor

menerangi tempat itu. Tahu-tahu, mereka yang sedang

bertarung sudah berada di depan gerbang benteng. Tampak

wajah Itagaki, Amari, dan beberapa orang lain.

“Tunggu! Tunggu sebentar!” seseorang berseru. Kansuke

tak mengindahkan sedikit pun, terus merangsek maju.

Teriakan burung malam kembali keluar dari mulut

lawan. Kansuke dengan tenang menarik pedang,

menempatkan diri dalam kegelapan, dan terus berdiri.

Dalam lingkaran obor, lawannya yang lebih besar itu berdiri

selama beberapa saat, lalu jatuh tersungkur ke belakang.

Tengkorak ahli pedang aliran Shintoryu itu terbelah dua.

Amari melirik tubuh kaku itu, lalu mengalihkan

pandangan ke arah Kansuke. Matanya menunjukkan

ekspresi seolah melihat sesuatu yang mengerikan dan tidak

ia mengerti.
“Kau Yamamoto Kansuke?”

“Ya.”

“Kau yang membunuhnya.”

“Ya.”

“Kau benar-benar yang membunuhnya?”

“Ya.”

Amari tiba-tiba menghilang dari temaram cahaya obor,

berjalan sendirian. Lalu berbalik dan berteriak, “Yamamoto

Kansuke!”. Karena tidak mendapat balasan, ia berjalan

kembali dengan langkah cepat. Di mata Amari, kini

Kansuke tak beda dengan monster.

Kansuke berjalan menuju kediaman para samurai

bersama Itagaki Nobukata. “Selain dalam pertempuran,

tidak baik menghilangkan nyawa seseorang,” ujarnya.

“Ya,” angguk Kansuke, sambil mendengarkan suara

angin yang menderu mengerikan. Seperti saat usai

membunuh Aoki Daizen, kali ini pun ia merasakan sedikit

lelah di sekujur tubuh. Kansuke tidak heran dengan

kenyataan bahwa sekali ia mencabut pedang dan berniat

membunuh, pasti berhasil membunuh lawan tanpa gagal.

Kansuke merasa memiliki kekuatan itu dan termasuk dalam

golongan manusia semacam itu.

“Mulai bulan depan, kita akan terus menghadapi

pertempuran. Karena kau akan mendapat 25 orang pasukan

infanteri, maka tunjukkanlah kesetiaanmu.”

Hanya itu kata-kata Itagaki yang masuk ke telinga

Kansuke. La tidak mendengar apa-apa sebelum dan


sesudahnya.

“Pemimpin pasukan infanteri adalah…,” suara Itagaki

terdengar lagi.

Kansuke tidak tertarik mendengar jabatan barunya.

“Penaklukan benteng, penaklukan benteng,” gumamnya

berulang-ulang di dalam hati. La yakin bahwa dalam setiap

pertempuran akan mampu menaklukkan benteng. Betapa

menyenangkan rasanya berangkat ke pertempuran bersama

seorang jenderal muda seperti Takeda Harunobu dan

menaklukkan benteng satu persatu, pikirnya. Barangkali

karena belum pernah mengalami pertempuran yang

sesungguhnya, Kansuke merasa pertempuran sebagai

sesuatu yang sangat hening. Suara senjata apa pun tidak

terdengar. Bayangan benteng dan gerakan prajurit yang

mengelilingi seperti gambar sunyi baginya.

Setelah meninggalkan Itagaki, Kansuke berjalan sendiri

menuju kediamannya. Pasir bertiup dari bawah lereng, la

melindungi matanya yang normal dengan tangan kanan

yang tidak berjari tengah. Wajahnya diangkat sedikit untuk

melihat bintang-bintang dingin kebiruan yang belum pernah

ia saksikan di pantai timur. Bintang-bintang itu tampak

begitu dekat, seolah berada dalam jangkauannya. Kansuke

terus menuruni lereng selangkah demi selangkah.

0-odwo-0

Tiga

Pada Februari tahun Tenbun ke- 13, Takeda Harunobu

mendirikan perkemahan dengan dua puluh ribu pasukan di


gunung Misa di dataran Shinano. la berniat menyerang klan

Suwa Yorishige yang berpengaruh kuat di wilayah Suwa.

Bagi klan Takeda, rencana penyerangan Suwa sudah

dipikirkan sejak pemerintahan Nobutora, dan sebagai

langkah pertama adalah menguasai provinsi Shinano.

Namun karena disibukkan oleh pengiriman pasukan ke

provinsi Suruga dan Sagami, Nobutora sengaja menunda

menyatakan perang terhadap Suwa. Bahkan ia

mengirimkan anak perempuan keenamnya kepada

Yorishige untuk dipersunting, menjadikan Suwa berada di

bawah pengaruhnya. Puteri Nobutora yang dikirim kepada

Yorishige tersebut bernama Nene dan terkenal akan

kecantikannya. Akan tetapi dua tahun lalu, ia meninggal

dunia di usia enam belas tahun.

Harunobu berbeda dengan ayahnya, Nobutora. la

bertekad menguasai Suwa sepenuhnya dan sedang mencari

alasan pembenaran untuk menyerang Yorishige dalam satudua

tahun ini. Secara kebetulan ia mendapat informasi dari

penguasa benteng Takato, Takato Yoritsugu, bahwa

Yorishige berniat memberontak. Memanfaatkan hal ini

sebagai alasan, Harunobu memutuskan untuk menyerang

Suwa.

Namun entah mengapa, sejak mendirikan kemah perang

di gunung Misa, hati Harunobu terasa berat, la merasakan

hal yang sama ketika mengejar ayahnya ke Sunpu. Firasat

mengatakan bahwa pertempuran ini akan meninggalkan

bekas yang tidak mengenakkan. Walaupun Nene telah


meninggal, Yorishige tetaplah adik ipar bagi Harunobu. la

berusaha menyingkirkan seorang anggota keluarga dengan

alasan yang belum terbukti. Tidak mungkin hatinya tetap

merasa tenang soal ini.

Perkemahan mereka dikelilingi banyak pohon plum.

Bunga-bunganya yang berwarna putih bermekaran di udara

bersih dataran tinggi. Warna putih bunga plum itu merasuk

ke jiwa Harunobu yang berusia 24 tahun, menimbulkan

perasaan gelisah. Sungguh aneh, batinnya tidak menyimpan

keinginan untuk berperang saat ini.

Malam itu, ketika mereka berkemah di gunung Misa,

seorang utusan Takato Yoritsugu datang dan melaporkan

bahwa tentaranya akan menyerang benteng Uehara,

kediaman Suwa, melalui puncak Tsuetsuki dalam dua atau

tiga hari mendatang. Oleh karena itu, Takato meminta

Harunobu mendukung penyerangan tersebut dengan

mengirimkan pasukan utamanya dari sisi timur.

Setelah utusan Takato pergi, Harunobu memanggil para

panglima perang dan pasukannya untuk mematangkan

strategi. Harunobu menunjuk kakaknya, Samanosuke

Nobushige, sebagai panglima perang, la sendiri

memutuskan tetap berada di perkemahan gunung Misa

bersama pasukan cadangan.

“Untuk menaklukkan satu atau dua benteng kecil di tepi

danau, tidak perlu mengirim 20 ribu pasukan,” ujar

Harunobu. Pernyataan seperti ini tak lazim dikemukakan

oleh seorang Harunobu yang menyukai pertempuran.


“Tetapi, saya rasa Tuan tetap perlu pergi ke desa

Miyakawa atau dekat Kuil Yasukuni,” saran Itagaki. Para

jenderal lain sepakat dengannya.

Dari arah kursi yang lebih rendah, terdengar pendapat

yang sama sekali berbeda. “Menurut saya, karena keluarga

Takeda dan Suwa masih memiliki hubungan kekerabatan,

mungkin apa yang saya katakan akan terdengar aneh, tapi

saya merasa bahwa kita tidak perlu melanjutkan

pertempuran. Membangun kemah perang di wilayah ini

sudah cukup menjadi ancaman terhadap Suwa. Jika kita

bisa melakukan perjanjian damai tanpa menumpahkan

darah, saya pikir tidak ada cara lain yang lebih baik,” ujar

Yamamoto Kansuke.

Keheningan tiba-tiba menyelimuti seluruh ruangan.

Pertempuran yang sudah di depan mata baru saja ditentang

oleh seseorang. Bahkan Itagaki Nobukata, yang biasanya

mendukung ide Kansuke, berubah pucat.

“Apa katamu! Yamamoto Kansuke!” gertak Nobushige.

Kemarahan yang ditunjukkan sang jenderal muda

mengisyaratkan ketidaksudian untuk memaafkan perkataan

Kansuke.

“Tidak apa-apa,” kata Harunobu menengahi. Hanya ia

seorang yang merasa lega mendengar kata-kata Kansuke.

Sama seperti yang dikatakan Kansuke, ia pun merasa tidak

perlu lagi untuk melanjutkan pertempuran ini. la sudah

diselamatkan oleh Kansuke yang telah mengatakan apa

yang ia pikirkan di dalam benaknya.


“Apa kau punya ide?” tanya Harunobu kepada Kansuke.

“Ya. Apakah Tuan bisa mengirim saya ke Suwa sebagai

utusan? Saya akan menjelaskan situasinya kepada mereka

secara baik-baik dan bernegosiasi agar mereka mau

bersumpah setia kepada Tuan.”

Jika Yorishige memiliki perasaan kurang simpatik

terhadap Harunobu, itu disebabkan oleh peristiwa

pengusiran Nobutora, ayah Harunobu, ke Sunpu. Namun

jika dijelaskan bagaimana situasi yang sebenarnya,

Yorishige tentu akan paham. Inilah pendapat Kansuke.

Semua jenderal yang ada di ruangan itu pasti tidak

sependapat dengan ide Kansuke, namun Harunobu berkata,

“Penaklukan Benteng Suwa adalah pekerjaan sepele.

Bahkan bila kita tidak melakukannya sekarang, kita masih

dapat melakukan kapan pun kita mau. Meski aku telah

datang jauh-jauh kemari, aku tidak begitu antusias

melakukan penyerangan terhadap pasukan Suwa.

Bagaimana jika kita kirim Kansuke sebagai utusan untuk

bertemu dengan Yorishige? Jika dia mampu mencapai

kesepakatan dengan syarat yang juga memuaskan pihak

kita, bukankah itu hal yang bagus?”

Karena Harunobu yang bertitah, tak seorang pun berani

membantah. Semua yang hadir tahu bahwa begitu

memutuskan sesuatu, Harunobu akan selalu melaksanakan

sesuai keinginannya. Keputusan mengirim Kansuke sebagai

utusan sudah final.

“Kansuke, kapan kau berangkat?” tanya Harunobu.


Kansuke menyimak kata-kata Harunobu dengan tetap

duduk menghormat di tempatnya.

“Saya akan segera berangkat,” jawab Kansuke. Kansuke

menyukai jenderal muda yang diabdinya itu. Harunobu

adalah satu-satunya manusia yang disukai Kansuke di

dunia ini. la benci semua manusia yang ada di muka bumi,

kecuali Harunobu. la rela berkorban nyawa demi

Harunobu. Kansuke tidak tahu di mana letak pesona

jenderal muda itu, namun yang jelas, hanya terhadap

Harunobulah ia merasakan sesuatu yang berbeda sama

sekali.

Ada kalanya Harunobu mengolok-olok Kansuke secara

langsung di hadapannya dengan sebutan ‘si pincang

Kansuke’. Tetapi hal itu tidak membuat Kansuke marah.

Tidak pernah sedikit pun terdengar nada penghinaan dalam

suara Harunobu. Kansuke, yang sejak kecil dibesarkan

dalam penolakan dari lingkungan sekitar karena keanehan

fisik, bertemu dengan Harunobu dan untuk pertama kalinya

mengetahui ada orang yang mau melihatnya seperti

manusia normal.

Kansuke tidak mengemukakan pendapat yang

bertentangan itu dengan sengaja tanpa dasar, apalagi

pertempuran sudah di depan mata. Saat berlangsung

pertemuan membahas strategi perang, Kansuke merasakan

sikap pasif Harunobu atas pertempuran tersebut. Sebuah

sikap yang tidak biasa. Mencerminkan adanya keraguan

serta kecemasan dalam diri Harunobu. Apa yang


membuatnya demikian? Duduk di kursinya yang lebih

rendah, Kansuke terus memikirkan hal tersebut. Lalu,

ketika ia mengangkat wajah, matanya bertemu pandang

dengan mata Harunobu. Saat itulah, dari mulut Kansuke

meluncur kata-kata tersebut bagai digerakkan oleh sesuatu.

Usulan Kansuke bukanlah saran yang tepat pada saat ini

karena bisa membahayakan diri sendiri, la sendiri tidak

yakin apakah usulan itu berasal dari idenya sendiri atau

karena Harunobu yang merasuki pikirannya dan membuat

Kansuke menyuarakan keinginan tersebut, la hanya tahu

bahwa ia harus mengatakannya.

Saat Harunobu menyepakati ide tersebut, alih-alih

bangga, Kansuke merasa lebih puas karena menganggap

dapat membaca pikiran Harunobu yang terdalam.

Sambil memandang kagum pada jenderal muda berdahi

lebar dengan sinar mata tajam, Kansuke berkata, “Tidak

perlu bagi seorang jenderal bergegas mengirimkan

tentaranya untuk hal yang sia-sia. Biarkan saya, Yamamoto

Kansuke, berangkat sekarang sebagai utusan dan berupaya

sekuat tenaga untuk merebut Suwa tanpa kehilangan

seorang prajurit pun.”

Kata-katanya terdengar seperti menyombongkan diri dan

merendahkan semua jenderal di ruangan itu, kecuali

Harunobu.

Kansuke meminta Harunobu mengirim utusan ke Takato

Yoritsugu yang merupakan sekutu Harunobu dalam perang,

untuk menyampaikan pesan tentang pembatalan


penyerangan, la sendiri meninggalkan perkemahan di

Gunung Misa malam itu juga, bersama tiga orang

penunggang kuda.

Keesokan harinya, setelah menuruni dataran tinggi»

rombongan Kansuke tiba di Lembah Suwa. Mereka

melewati jalan yang tidak dijaga tentara musuh untuk

menghindari serangan, dan tiba dekat Benteng Uehara,

kediaman Penguasa Suwa, pada petang hari.

Setiba di dekat kubu lapis pertama pasukan Suwa,

mereka memacu kuda saling berdampingan secepat

mungkin.

“Kami membawa pesan yang sangat mendesak. Kami

ingin bertemu dengan Tuan Suwa,” teriak Kansuke ke

segala penjuru arah sambil memutar-mutarkan kuda

tunggangan di depan benteng. Tiga samurai yang

menyertainya meneriakkan pesan serupa. Mereka langsung

dipaksa turun dari kuda dan dikepung banyak samurai.

Kansuke digiring masuk ke dalam benteng dan ditahan

sekitar satu jam sebelum akhirnya dibawa menghadap Suwa

Yorishige yang tengah duduk di sebuah kursi kecil. Api

obor menyala terang. Yorishige adalah seorang jenderal

yang usianya sedikit lebih tua dibandingkan Harunobu.

Sekilas tidak tampak ada yang menonjol pada dirinya,

selain bahwa ia memiliki kecantikan fisik seperti seorang

wanita.

Ketika Kansuke menyampaikan pesan Harunobu, tibatiba

Yorishige tertawa keras. Tawanya terdengar histeris.


Lalu berhenti.

“Beritahukan kepada tuanmu bahwa aku akan mematuhi

semua kehendaknya,” kata Yorishige. Rasanya seolah-olah

hukuman mati yang akan dijatuhkan kepadanya hari ini

atau besok dicabut dengan tiba-tiba. Lalu Yorishige tertawa

histeris lagi.

“Kami ingin menetapkan batas wilayah sekarang juga,

agar tidak ada kesulitan di kemudian hari.”

“Kami akan menjadikan tanaman rambat sebagai batas.

Kami tidak akan mengambil sebulir padi pun yang tumbuh

di sebelah timur batas tersebut,” kata-kata bernada resmi

meluncur dari wajah pucat Yorishige.

“Kami ingin Tuan berdamai kembali dengan ipar Tuan.”

“Aku sependapat. Sebagai adik, aku harus segera

menemuinya ke Kofu.”

Jelas bahwa Yorishige pun tidak menyukai pertempuran

ini. Semua persyaratan yang diajukan diterima dengan baik.

Setelah menikmati jamuan makan dan sake, Kansuke

undur diri dari hadapan Yorishige.

Berbeda dengan saat Kansuke tiba, kali ini

rombongannya dikawal dengan sopan. Yorishige sendiri

mengantar mereka ke gerbang utama benteng. Yorishige

juga didampingi anak perempuannya yang berusia 14

tahun, dikelilingi dayang-dayang. Paras gadis itu amat

rupawan, mewarisi wajah ayahnya.

“Apakah dia puteri Tuan?” tanya Kansuke kepada

Yorishige, yang mengiyakan pertanyaan tersebut. Tentu


saja bukan puteri dari Nene yang meninggal dunia dua

tahun lalu, melainkan puteri dari selirnya, Omiji.

Hanya Sang Puteri yang memandangi Kansuke dengan

sorot tak bersahabat tergambar jelas. Bahkan samuraisamurai

lain pun merasa senang atas negosiasi damai

tersebut, tetapi Kansuke mendapat kesan bahwa hanya

gadis ini yang menunjukkan ketidaksetujuan. Ini justru

membuat Kansuke merasakan suatu sensasi yang

menyegarkan.

Pada siang hari berikutnya, Kansuke kembali ke

perkemahan di Gunung Misa dan menyampaikan jawaban

Yorishige kepada Harunobu.

Harunobu merasa puas atas upaya Kansuke dan segera

menemui utusan Suwa yang datang bersama Kansuke.

Malam itu sake dihidangkan kepada semua prajurit. Tiga

hari kemudian Harunobu kembali bersama pasukannya ke

Kofu.

0=odwo=0

Pada akhir Maret, Yorishige tiba di Kofu dan bertemu

dengan Harunobu untuk memperbaiki hubungan mereka.

Harunobu menyambut dan menjamu Yorishige dengan

hangat. Dan pada bulan April, Yorishige mengunjungi

Harunobu untuk kedua kali. Seperti sebelumnya, Harunobu

menyelenggarakan jamuan besar-besaran untuk

menyambutnya, la mengadakan pertunjukan Noh dan

mengundang para samurai penting untuk ikut menyaksikan.

Setelah kepergian Yorishige, Harunobu menanyai


pendapat para jenderalnya tentang Yorishige. Para jenderal

klan Takeda memiliki kesan baik terhadapnya. Mengatakan

bahwa Yorishige bermartabat, ramah, dan bijaksana.

“Saya pikir ia sangat berani datang ke Kofu dengan

hanya membawa beberapa pengikut. Meskipun Tuan masih

sekerabat dengannya, namun saat ini kita berada dalam

masa perang,” ujar Nobushige, adik Harunobu, dengan

kagum.

“Pastilah dia seorang jenderal muda yang langka,”

Amari turut memuji.

“Apa pendapatmu, Nobukata?”

“Saya percaya kelak ia bisa menjadi sekutu Tuan,” ujar

Nobukata.

“Bagaimana denganmu, Kansuke?”

Kansuke ditanyai paling akhir.

“Saya tidak dapat mengemukakan pendapat sebelum

Tuan meminta yang lain meninggalkan ruangan ini” jawab

Kansuke.

Alih-alih melakukannya, Harunobu berkata, “Kansuke,

mari kita keluar ke taman.” la bangkit dari tempat

duduknya lalu berjalan menuju taman.

Pohon pasania ditanam di sekelilingnya. Setelah tiba di

bawah pepohonan tersebut, Harunobu berkata, “Tonggerettonggeret

sedang mengerik.” Walaupun udara hari itu

panas dan lengket, namun hawa di bawah bayangan

pepohonan cukup sejuk. Setelah pengiriman pasukan ke

Gunung Misa, musim semi berlalu tanpa ada pertempuran


baru dan musim panas hampir tiba.

“Apakah Tuan akan membunuhnya?” tanya Kansuke

tiba-tiba.

Terguncang oleh kata-kata itu, Harunobu berbalik arah

memandang Kansuke.

“Siapa?”

“Tuan Suwa.”

“Apakah kau mau membunuhnya?”

“Lebih baik begitu…,” sahut Kansuke.

“Bukankah kau yang mengusulkan negosiasi damai

dengannya? Jika kita membunuhnya sekarang….”

“Kita tidak bisa menghindari apa yang akan dikatakan

orang-orang. Akibatnya pun juga akan buruk. Tapi bila kita

tidak membunuhnya sekarang….”

“Kurasa tidak ada jalan lain. Bunuh dia!”

“Serahkan padaku,” jawab Kansuke tanpa mengubah

ekspresi wajah.

Harunobu tidak mengerti bagaimana Kansuke memiliki

pikiran yang persis sama dengan dirinya. Sejak pertama kali

Yorishige berkunjung, Harunobu sudah sangat berambisi

membunuhnya. Harunobu punya firasat, jika Yorishige

dibiarkan hidup, kelak akan terjadi malapetaka.

Adapun Kansuke, sama ketika menyarankan negosiasi

damai di Gunung Misa, kali ini pun ia menangkap

kegelisahan pada ekspresi Harunobu saat Tuannya itu

meminta orang-orang di sekelilingnya untuk menganalisa

watak Yorishige. Kansuke menyadari ada sesuatu yang


janggal dalam hatinya, sama seperti waktu itu.

Kansuke bertanya-tanya tentang ‘sesuatu’ tersebut. Dan

ketika Harunobu mengucapkan, “Kansuke, apa

pendapatmu?” Kansuke mendongak ke arah Tuannya dan

tanpa sadar kata-kata, “meminta yang lain meninggalkan

ruangan” meluncur begitu saja. Lalu ide untuk membunuh

Yorishige, yang diam-diam tersembunyi dalam pikiran, saat

itu pula muncul ke permukaan.

Pada pertengahan Juni, Yorishige mengunjungi Kofu

untuk ketiga kalinya. Kali ini pertunjukan Noh kembali

digelar di benteng sebagai hiburan. Di tengah pertunjukan

Noh, seorang samurai berpangkat menengah bernama

Ogiwara Yaemonnojo berjalan mendekati tempat duduk

Yorishige dan berkata, “Atas perintah Tuan kami, saya

akan mencabut nyawamu.”

Kata-katanya terdengar santun, namun ia langsung

menikamnya. Yorishige berusaha mencabut pedang

pendeknya, tetapi kemudian tersungkur oleh tusukan kedua

dari pedang Ogiwara.

Semua yang menonton pertunjukan Noh serempak

berdiri begitu melihat kejadian tak terduga ini. Tidak ada

yang bisa langsung menilai apakah tindakan Ogiwara

Yaemonnojo tersebut atas perintah Harunobu atau tidak.

Kansuke yang berada di pojok ruangan perlahan

menyibak kerumunan orang dan berjalan mendekati mayat

Yorishige. la memandanginya selama beberapa saat, lalu

memberi perintah pada Ogiwara, “Tusuk dia di leher.”


Ogiwara yang tidak menyadari bahwa pandangan mata

Kansuke tertuju padanya, diam tak bergeming beberapa

saat Kansuke membentak, “Ogiwara! Tusuk dia di leher!”

Maka Ogiwara pun membungkukkan tubuh dan

melaksanakan perintah Kansuke.

Satu jam kemudian Kansuke muncul di hadapan

Harunobu.

“Mengapa kau ingin membunuhnya?” Harunobu

kembali menanyai Kansuke.

“Meskipun negosiasi damai telah selesai, dia pasti sudah

memikirkan dengan matang mengenai dua kali

kunjungannya kepada Tuan, yaitu pada bulan Maret dan

April. Saya percaya dia punya rencana untuk membuat kita

lengah. Sebagai tanda penghormatan, Tuan pun sesekali

harus mengunjungi Suwa. Saya merasa bahaya menunggu

Tuan di sana.”

Harunobu tergelak. “Menyelamatkan nyawanya,

kemudian membunuhnya, benar-benar menyusahkan, ya.”

“Mulai saat ini kita akan disibukkan oleh banyak hal.

Karena situasinya sudah terlanjur seperti ini, kita perlu

mengambil alih Suwa dengan kekuatan militer.”

“Perlukah kita mendirikan kemah di Gunung Misa

malam ini?”

“Saya rasa itu terlalu cepat. Lebih baik kita melihat

situasi dulu. Jika kita segera mengirim tentara ke Suwa

setelah membunuh Yorishige, akan memberi kesan bahwa

kita bermain curang. Bagaimana kalau menunggu sampai


mereka datang menyerang kita? Kita diamkan saja mereka

untuk sementara ini.”

Harunobu berpikir sejenak lalu berkata, “Baiklah.

Panggil Itagaki. Mungkin ia sedang bersiap diri untuk

berperang.”

Tepat seperti perkiraan Harunobu, Itagaki menghadap

dengan bersenjata lengkap, siap bertempur.

“Kenapa berpakaian seperti itu?”

“Karena kita telah membunuh Penguasa Suwa, maka

tidak ada pilihan lain.”

“Kenapa tidak kita tunggu mereka menyerang kita?”

Itagaki merenungkan ide Harunobu, lalu melirik

Kansuke dan berkata dingin, “Seharusnya kita menyerang

Suwa di Gunung Misa pada waktu itu. Kita sudah

menunda-nunda hal ini tanpa alasan.”

Itagaki berbicara dengan nada menuduh Kansuke yang

dianggap telah turut campur sehingga membuat penaklukan

Suwa memakan waktu lebih lama. Biasanya Nobukata

selalu membela Kansuke, tetapi kali ini ia melihat ke arah

Kansuke dengan pandangan dingin.

Kansuke duduk menegakkan tubuhnya yang kecil.

Seperti biasa, tidak ada yang tahu arah pandangnya. Saat

itu Kansuke tengah membayangkan Benteng Uehara yang

pernah dikunjungi sekali, berikut kondisi geografisnya, la

tidak mengindahkan tuduhan itagaki sama sekali. Kansuke

asyik memikirkan strategi penaklukan Benteng Uehara.

Pikirnya, benteng itu pasti bisa dikuasai dalam tiga hari.


Begitu Benteng Uehara jatuh, Benteng Takashima yang

berjarak dua mil dari sana akan bisa direbut dalam waktu

satu hari. Rencana itu harus dilaksanakan pada musim

dingin, ketika Danau Suwa beku.

“Pertempuran harus dilaksanakan pada musim dingin,”

Kansuke berbicara sendiri, tidak ditujukan kepada

Harunobu maupun Itagaki. Suaranya begitu keras.

0=odwo=0

Pada 19 Januari tahun Tenbun ke-14, Harunobu

mengirim pasukan untuk menaklukkan Suwa.

Nobushige memimpin seluruh pasukan sebagai panglima

perang, Itagaki Nobukata memimpin garis depan,

sementara Hyuga Masaharu bertanggung jawab di garis

belakang. Pasukan itu terdiri dari 3700 orang prajurit.

Pasukan Suwa mendirikan perkemahan di Kuil Fumonji di

luar Benteng Uehara.

Pasukan Takeda begitu dominan sehingga dalam waktu

sehari mereka mampu meninggalkan Kuil Fumonji

sekaligus menaklukkan Benteng Uehara, dan segera

mengepung kediaman Penguasa Suwa, yaitu Benteng

Takashima, yang berada di tepi Danau Suwa. Pasukan

Itagaki membunuh lebih dari 300 orang prajurit Suwa.

Dengan ini keluarga Suwa yang besar pun akhirnya takluk.

Pada pertempuran tersebut, Kansuke melaksanakan

strategi perang di bawah komando Itagaki.

Mereka memasuki benteng pada malam hari. Kansuke

masuk ke sana dengan membawa tombak besar yang


tampak tidak sesuai untuk ukuran tubuhnya. Semua

penjaga benteng telah melarikan diri, tidak ada seorang pun

musuh di dalam benteng. Begitu Kansuke menaiki menara

benteng, ia melihat puluhan api unggun di sekeliling danau

dengan cahaya memantul di permukaan air. Sebuah

pemandangan yang tidak biasa. Bahkan tampak seperti

mimpi. Gelora pertempuran siang hari tadi masih membara

dan para prajurit terus bersorak gembira di tengah udara

malam yang menusuk.

Kansuke turun dari puncak menara benteng, melewati

sebuah ruangan besar di menara tersebut, melangkahkan

kaki ke ruangan sebelah. Langkah Kansuke tiba-tiba

terhenti dan ia terperangah. Di salah satu sudut ruangan itu,

seorang perempuan muda berpakaian mewah duduk

bersama dua orang pelayan. Pelayan yang satu masih

muda, yang seorang lagi sudah berumur.

Ketika Kansuke beranjak mendekat, dayang yang lebih

muda berkata, “Jangan mendekat.”

Anehnya, Kansuke terhenyak mendengar suara

perempuan itu sampai tidak bisa bergerak mendekat.

Pelayan muda itu berteriak lagi, “Mohon tinggalkan tempat

ini.”

Kansuke merasa bahwa keberadaannya mengganggu

mereka.

“Apakah dia puteri Penguasa Suwa?” tanya Kansuke

dengan suara parau.

“Ya. Jangan mendekat.”


“Jika kau melarangku mendekat, aku tidak akan

mendekat. Tapi apa alasannya?”

“Jangan biarkan orang lain masuk sampai kami

melakukan seppuku.” Kali ini pelayan yang lebih tua

berbicara.

Kansuke mengarahkan pandangan ke anak perempuan

Yorishige yang pernah dilihatnya tahun lalu. Waktu itu,

saat mengantar kepergian Kansuke dari Benteng Uehara,

api kebencian menyala di mata perempuan itu, namun kali

ini ia seperti orang yang sama sekali berbeda, raut wajahnya

begitu tenang.

“Jika Tuan Puteri hendak melakukan seppuku, kenapa

tidak dari tadi? Waktunya pasti cukup banyak.”

Salah seorang pelayan menjawab, “Kami berusaha

menghentikan beliau. Sungguh kasihan, kami bahkan tidak

sanggup meyaksikan. Tapi sekarang….”

Anak perempuan Yorishige bangkit terhuyung-huyung

dan tertawa dingin. Kansuke tercengang mendengarnya.

“Aku terus melarikan diri karena tidak ingin mengakhiri

hidup. Aku tidak ingin melakukan seppukuI”

“Tuan Puteri bicara apa?”

Kedua pelayan mengikuti sang puteri yang beranjak dari

ruangan.

“Tidak, tidak, aku tidak ingin melakukan seppuku!”

Sang puteri berjalan terhuyung mengitari ruangan.

Lalu, mereka mendengar suara keras. Banyak samurai

menerobos masuk ke ruangan besar itu. Kansuke yang sejak


tadi memandangi puteri dengan kagum, tiba-tiba bangkit,

memegang lengan sang puteri dan berkata, “kenapa Tuan

Puteri tidak mau melakukan seppuku?”

Anak perempuan Yorishige berusaha memberontak dan

mendongakkan wajah ke arah wajah Kansuke. Tatapannya

sarat rasa permusuhan. Tatapan yang pernah dilihatnya

sebelum ini.

“Semua orang sekarat. Hanya aku yang masih ingin

hidup,” katanya. Kata-kata jujur ini menyimpan keindahan

yang belum pernah didengar Kansuke sebelumnya. Anak

perempuan samurai manapun akan ragu mengucapkan

kata-kata itu, tetapi kejujurannya menyentuh hati Kansuke.

“Apa yang akan terjadi bila aku mati? Aku ingin hidup

dan melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang akan

terjadi dengan benteng ini dan Danau Suwa. Aku tidak mau

mati. Bagaimanapun susahnya, aku memilih hidup. Aku

tidak mau membunuh diriku sendiri!” Kata-kata itu

terlontar dari mulut Sang Puteri seperti orang kesurupan.

“Lepaskan aku!” teriaknya, la memberontak dari

dekapan Kansuke. Kansuke melepaskannya dan sang puteri

pun terjerembab, la nampak seperti rantai manik-manik

yang jatuh berhamburan. Perempuan cantik itupun

kehilangan kesadarannya.

“Bawa dia!” Kansuke menyuruh kedua pelayan. Kedua

perempuan yang tampaknya telah kehilangan semangat

untuk melakukan seppuku itu membawa Sang Puteri

keluar, menuruti perintah Kansuke.


Kansuke berjalan lebih dulu di ruangan besar yang

dipenuhi para samurai yang sedang berkeliaran mencari

barang-barang berharga untuk dijarah. Mereka berjalan

melawan arus para samurai. Sosok Kansuke—dengan tubuh

kecil pincang membawa tombak besar—memancarkan aura

yang menunjukkan bahwa ia tidak akan memaafkan siapa

pun yang berani menyentuh kulit para wanita yang

diiringinya. Samurai paling kejam pun beringsut

menghindari rombongan Kansuke.

0=odwo=0

Putri Yuu, anak perempuan Yorishige, langsung dibawa

ke Kofu, tapi tak lama kemudian kembali ke Suwa dan

dititipkan untuk sementara di Kuil Suwa.

Sebulan setelah pertempuran Suwa, Kansuke diundang

Itagaki Nobukata untuk datang ke kediamannya.

Pembicaraan mereka berkisar pada sesuatu yang tidak ia

duga sebelumnya.

“Tuan kita ingin menjadikan Puteri Yuu sebagai selir.

Bisakah kau menghentikannya?” kata Itagaki.

Pernyataan itu tidak mengherankan. Puteri Yuu adalah

anak perempuan Yorishige. Semua jenderal utama dan

senior menentang keinginannya, tetapi Harunobu tidak

mau mendengar. Para jenderal berpikir, jika dibujuk oleh

Kansuke yang amat dipercaya, mungkin ia mau mengerti.

Karena itulah Kansuke dipanggil menghadap.

“Jika Tuan kita memang suka, kenapa tidak bisa

mengambil Puteri Yuu sebagai selir?” jawab Kansuke cepat.


Di dalam dada Kansuke, membuncah keinginan aneh

untuk menyatukan kedua orang tersebut, la teringat kembali

kata-kata Putri Yuu, tentang keinginannya untuk tetap

hidup, walaupun orang-orang lainnya sekarat.

Jika Putri Yuu dan Harunobu kelak memiliki anak lakilaki,

garis darah Suwa akan terus berlanjut. Jika anak

berdarah Suwa ini menjadi ahli waris Klan Takeda, rakyat

Suwa akan melupakan dendam mereka terhadap Takeda

dan mungkin kelak akan menunjukkan kesetiaan pada

Takeda. Boleh jadi Harunobu memikirkan hal yang sama.

Kansuke mengutarakan pendapatnya kepada Nobukata.

“Jika mereka tidak punya anak, orang-orang akan

mengatakan bahwa Takeda sengaja membunuh Yorishige,

merebut wilayahnya dan memaksa anak perempuannya

menjadi selir. Ini tidak akan bagus terdengar di telinga

penguasa provinsi lain, dan kebencian rakyat Suwa tidak

akan lenyap selamanya,” kata Nobukata.

“Ya, tapi jika kita tidak melakukan apa-apa, rakyat Suwa

pun tidak akan melupakan dendam mereka. Jika Harunobu

mengambil Putri Yuu sebagai selir, setidaknya ada secercah

harapan.”

“Perlukah kita berdoa khusus mengharapkan kelahiran

anak laki-laki?” kata Nobukata, yang tampaknya sudah bisa

menerima Puteri Yuu.

“Masalahnya sekarang, apakah Puteri Yuu mau

menerima lamaran itu atau tidak.”

“Takdir telah membuat saya menyelamatkan Puteri Yuu.


Jadi, biar Kansuke juga yang mencoba meyakinkannya.”

Sebulan kemudian Kansuke bertolak ke Suwa. Puteri

Yuu telah dipindahkan ke Kuil Kan-non-in yang terletak di

selatan danau, dan Kansuke memacu kuda ke selatan

sepanjang danau tersebut dari Benteng Takashima.

Dari puncak bukit tempat Kuil Kan-non-in berada, ia

bisa melihat Benteng Takashima di kejauhan di sisi danau.

Es di danau telah mencair dan musim semi telah tiba.

Kansuke bertemu dengan Puteri Yuu untuk ketiga

kalinya.

“Saya datang hendak menjemput Tuan Puteri,” ujar

Kansuke. Puteri Yuu hanya diam dan mengangguk dengan

ekspresi tenang.

Keesokan hari, Itagaki yang berada di Benteng

Takashima mengirim tiga usungan untuk Puteri Yuu dan

dua orang pelayannya. Kansuke dan 10 penunggang kuda

lain mengawal mereka menuju Kofu.

Desa-desa yang mereka lewati penuh dengan bunga

sakura yang bermekaran.

“Aku lelah, tolong berhenti dulu.” Kira-kira sejam sekali

mereka berhenti atas permintaan sang puteri. Saat mencapai

puncak bukit mereka berhenti; tiba di dasar bukit pun

mereka berhenti. Puteri Yuu bersikap begitu manja dan

keras kepala.

Ketika turun dari tandu di puncak bukit, Puteri Yuu

bertanya, “Kapan aku bisa kembali ke Suwa?”

“Setelah anak laki-laki Tuan Puteri lahir, maka Kansuke


akan mengantarkan Tuan Puteri pulang,” ujar Kansuke.

Mendengar itu, rona wajah Puteri Yuu berubah, la

memasuki usungan dan tak pernah membuka tirai lagi.

Setelah itu arak-arakan terus bergerak tanpa henti melalui

padang rumput luas dengan deretan bukit-bukit kecil.

Kansuke terus memimpikan kelahiran bayi keturunan

Harunobu dan Puteri Yuu. Bagi Kansuke yang belum

pemah dicintai atau mencintai sepanjang hidupnya, telah

menemukan pasangan yang dapat ia layani dengan sepenuh

hati.

Ini semua akan baik-baik saja. Kini Kansuke

menyingkirkan semua pikiran tentang Puteri Yuu dan

memutuskan untuk menyarankan Harunobu agar ia

merebut seluruh wilayah Shinano dengan Suwa sebagai titik

tolak.

0o-=dw=-o0

Empat

Puteri Yuu yang telah dipindahkan ke Kofu, dibawa ke

kediaman Itagaki Nobukata.Meskipun sudah menjadi tugas

Kansuke untuk meyakinkan Puteri Yuu agar bersedia

menjadi selir Harunobu, namun ternyata hal tersebut sangat

sulit untuk dilakukan. Sudah satu bulan sejak sang puteri

tiba di Kofu. Kendati sudah beberapa kali mengunjunginya,

namun Kansuke belum mampu mengubah pikiran Sang

Puteri.

Puteri Yuu yang sedang duduk di beranda dan

memandangi taman yang dikelilingi pohon-pohon besar


dengan tatapan menerawang, segera menyisir rambut

hitamnya yang panjang ketika melihat Kansuke. Belum

sempat Kansuke berkata apa-apa, Sang Puteri mendahului,

“Jika keberadaanmu di sini untuk meyakinkanku mengenai

hal yang kau katakan terakhir kali dulu, pikiranku masih

belum berubah. Tidak ada hal baru yang akan kukatakan

padamu.”

“Saya tidak ingin memaksa, jika Tuan Puteri memang

tidak tertarik.” jawab Kansuke sambil berlutut di depan

Sang Puteri. Puteri Yuu melanjutkan, “Tuan Harunobu

telah membunuh ayahku, karena itu dia adalah musuhku.

Seperti yang kau katakan, benar bahwa kita hidup di masa

di mana kalau bukan kita yang membunuh maka kita yang

akan terbunuh. Jika dia tidak membunuh ayahku, pasti

ayahku yang membunuhnya. Ini hanya ketidakberuntungan

ayahku saja, dan aku tidak membenci Tuan Harunobu

karena itu. Namun untuk menjadi selirnya, aku tidak bisa

menyerahkan diriku ke dalam siksaan seperti itu.”

Mendengar ucapan Sang Puteri, Kansuke merasa bahwa

anak ini cukup dewasa untuk ukuran gadis berusia 15

tahun.

“Tapi karena Tuan Puteri selamat tanpa melakukan

seppuku…”

“Maka aku harus terima penghinaan itu. Aku tahu itu.”

Mata indahnya berkilat penuh kemarahan, dan dia

melanjutkan, “Karena aku selamat tanpa membunuh diriku

sendiri sebagaimana adat yang berlaku, aku malah semakin


ingin menjalani hidupku sebagaimana yang kuinginkan.

Kalau saja aku tahu akan menjadi selir dari musuh ayahku,

niscaya aku lebih memilih untuk mati.”

“Saya mengerti,” Kansuke begitu senang dapat

berbincang dengan gadis cerdas ini.

“Maafkan saya mengatakan ini, namun bagaimanapun

juga, Tuan puteri hanya seorang perempuan; tidak peduli

seberapa menantangnya perjalanan hidup, tetap ada batasbatas

yang harus dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat.

Tetapi jika Tuan Puteri kelak mengandung anak laki-laki,

maka dia akan memiliki darah Takeda dan darah Suwa

dalam tubuhnya. Jika demikian, saya yakin anak tersebut

akan menjadi anak yang cerdas. Jiwa seperti apa yang

ditumbuhkan dalam dirinya akan bergantung kepada Tuan

Puteri. Mohon pikirkan hal ini baik-baik.”

Kansuke menatap Sang Puteri. Mata Puteri Yuu tiba-tiba

berkilat, namun tidak melihat ke arah Kansuke.

“Saya akan mengunjungimu lagi, beberapa hari dari

sekarang.” Hanya itu yang dikatakan Kansuke hari itu, lalu

meninggalkan kediaman Sang Puteri.

Hari berikutnya Harunobu menanyai Kansuke,

“Bagaimana dengan urusan persetujuan Puteri Yuu?”

“Dia terlihat begitu antusias untuk menjadi selir Tuan,”

jawab Kansuke, namun kemudian menambahkan, “tapi

serahkan dulu urusan ini kepada saya untuk sementara,

karena Tuan harus menjaga perasaan istri.”

Harunobu memiliki seorang istri berusia 26 tahun. 10


tahun lebih tua dibanding Puteri Yuu. Istri utama ini

bernama Sanjo-no-Uji. Harunobu mempunyai dua anak

darinya; Yoshinobu, berusia 9 tahun, dan Ryuho, berusia

enam tahun. Karenanya Harunobu tidak bisa leluasa

bercerita tentang Puteri Yuu.

Kansuke tidak menyukai istri dan anak-anak Harunobu.

Anak laki-laki Harunobu yang resmi, Yoshinobu, memiliki

paras pucat dan gugup,serta tidak berpotensi untuk menjadi

pemimpin masa depan yang hebat seperti ayahnya. Sekali

waktu, ketika Yoshinobu melihat Kansuke di koridor

istana, Yoshinobu mengikutinya kemana pun sambil

menirukan cara berjalan Kansuke. Wajar jika Kansuke

membenci anak itu karena perangainya yang sombong.

Adik laki-lakinya, Ryuho, memiliki kepribadian yang lebih

baik, namun sayangnya terlahir buta.

Kansuke menganggap hubungan antara Harunobu dan

Puteri Yuu dalam sebuah perkawinan, penting untuk

dilaksanakan. Seorang anak yang lahir dari puteri yang

cerdas akan menjadi pewaris ideal bagi keluarga Takeda.

Masalahnya kini adalah apakah ia bisa meyakinkan Sang

Puteri atau tidak. Namun Kansuke yakin bahwa pada

akhirnya nanti ia mampu merubah pikiran Sang Puteri.

0=odwo=0

Beberapa hari kemudian, Kansuke kembali mengunjungi

Puteri Yuu.

“Apakah Tuan Puteri sudah mengambil keputusan?”

tanya Kansuke.
Sang Puteri menjawab tegas dengan sebuah pertanyaan,

“Kau berada di pihak Takeda atau Suwa? Di pihak mana

kau berada?” Sang Puteri melihat ke arahnya dengan sinis,

lalu menambahkan dengan dingin, “Karena aku merasa

tidak enak badan hari ini, maka aku minta kau pergi dari

sini,” Sang Puteri kemudian masuk ke ruangannya,

meninggalkan Kansuke di luar. Kansuke mulai merasa

bahwa meyakinkan Puteri Yuu bukanlah perkara mudah.

Ketika Kansuke keluar dari gerbang kediaman Itagaki, ia

melihat istri Harunobu, Sanjo-no-Uji. Kansuke segera

berwaspada, karena tampak jelas alasan mengapa istri

Harunobu berada di sana. Kansuke berhenti di gerbang,

membungkuk hormat.

“Kansuke, aku bertemu denganmu di tempat yang tepat

Aku dengar kau membawa seorang perempuan berdarah

Suwa ke kota ini dan menyembunyikannya di sini. Benar

begitu?”

“Ya, itu benar,” jawab Kansuke pelan.

“Jika dia seorang tawanan, maka kau harus

memperlakukannya sebagai seorang tawanan. Aku tidak

akan membiarkanmu memperlakukannya lebih dari itu.”

Kansuke melihat kilatan cemburu di mata istri

Harunobu, lalu berkata, “Jika yang Tuan Puteri maksud

adalah apakah dia seorang tawanan dari Suwa, ya, dia

memang seorang tawanan. Saya yang menjaganya.”

“Apa aku boleh menemuinya?”

Kansuke merasa tidak boleh membiarkan hal tersebut


terjadi, dan dengan cepat berkata, “Karena halaman belum

dibersihkan pagi ini, maukah Tuan Puteri menunggu

sebentar?”

Kansuke membungkuk dan kembali ke kediaman di

mana Puteri Yuu berada, lalu bertanya terburu-buru.

“Puteri Yuu, bersediakah bersembunyi untuk

sementara?”

“Mengapa aku harus sembunyi?” jawab Puteri Yuu

pelan.

“Istri Tuan Harunobu ada di sini. Sekarang.”

“Kalau begitu aku akan menemuinya.”

“Akan lebih baik jika tidak, Tuan Puteri.”

“Mengapa tidak? Bukankah dia yang seharusnya merasa

bersalah bertemu denganku? Karena ayahkulah yang telah

dibunuh oleh suaminya.”

Kansuke sadar tidak akan dapat mengubah pikiran Sang

Puteri. Meski keluarganya sudah dihancurkan, warisan

karakter yang kuat masih mengalir dalam diri gadis itu.

Matanya bersinar dan pipinya dipenuhi keceriaan. Kansuke

mengamatinya dengan kagum. Mendadak sadar apa yang

memunculkan kekuatannya itu; persaingan dengan istri

Harunobu.

“Baiklah, saya akan membawa istri Tuan Harunobu

kesini,” kata Kansuke tanpa mengubah ekspresi.

Kansuke pergi dan tidak lama kemudian kembali

bersama Sanjo-no-Uji beserta para pelayannya. Sanjo-no-

Uji mendekat ke beranda.


“Apakah dia puteri penguasa Suwa?” kata Sanjo-o-Uji

mencemooh dan memandang rendah Puteri Yuu yang

duduk sambil sedikit membungkuk hormat. “Jadi dia jauhjauh

datang dari Suwa berharap untuk menjadi selir dari

laki-laki yang membunuh ayahnya! Hmm, aku senang

bahwa bukan keluarga kita yang dihancurkan!” Sambil

berkata demikian, Sanjo-no-Uji berbalik dan langsung pergi.

Puteri Yuu tetap berada di posisi yang sama beberapa

saat, bahkan setelah Sanjo dan para pengikutnya pergi; lalu

mengangkat wajah dan berkata kepada Kansuke, “Ya, dia

beruntung karena bukan keluarganya yang dihancurkan.”

Setelah beberapa saat, ia melanjutkan dengan penuh tekad,

“Kansuke, seperti saranmu, aku akan mencampurkan darah

Suwa ke dalam keluarga Takeda. Aku sama sekali tidak

tahu apa akibatnya kelak, namun mungkin justru itu yang

menjadi alasan mengapa aku bertahan.” Tiba-tiba, airmata

mengalir di pipinya. Kansuke diam mengamati dalam

keterkejutan.

0=odwo=0

Setelah sukses menghancurkan keluarga Suwa,

Harunobu mulai menyerang wilayah-wilayah di sekitarnya

dengan menjadikan Suwa sebagai basis. Pada bulan Maret

tahun Tenbun ke-I5, Harunobu mulai melakukan operasi

militer untuk menyerang Benteng Toishi di Provinsi

Shinano sekaligus menghadapi pasukan Murakami

Yoshikiyo. Murakami adalah pemimpin dari keluarga yang

sangat berkuasa di Shinano bagian utara dan tinggal di


Benteng Katsurao, yang juga memiliki Benteng Toishi.

Harunobu meninggalkan kota benteng Kofu pada hari

ke-8 di bulan Maret, sekitar jam 8 pagi. Bunga-bunga sakura

sudah berguguran dan sinar matahari musim semi yang

sejuk, perlahan mulai terasa gerah; menandakan datangnya

awal musim panas.

Sudah menjadi tradisi Takeda untuk mengusung dua

panji saat memasuki pertempuran besar. Keduanya

merupakan harta berharga keluarga tersebut; yang satu

disebut Suwa Hossho dan yang lain Sonshi Niryu.

Kedua panji tersebut berkibaran ditiup angin musim

semi. Panji Suwa Hossho berwarna merah dan terdapat

tulisan berwarna emas: “Suwa, keturunan dewa yang

agung.” Adapun panji Sonshi Niryu juga memiliki tulisan

emas, namun dilatari warna biru gelap: “Menjadi secepat

angin, sebijak hutan, menyerang sekuat api, dan menjadi

setenang gunung” (Fu-Rin-Ka-Zan). Keduanya memiliki

lebar sekitar empat meter, dan para prajurit membawa

replika kedua panji tersebut di belakang mereka. Pasukan

berjalan siang malam, melintasi Danau Suwa, lalu menuju

utara. Dua hari kemudian, mereka tiba di Komuro.

Dalam persiapan penyerangan ke Benteng Toishi,

Harunobu membagi pasukan menjadi empat kelompok dan

menempatkan mereka di tempat-tempat strategis untuk

menghindari serangan mendadak dari empat musuh di

sekeliling mereka. Harunobu sendiri, bersama 4.000

orang samurai yang tersisa, bergerak menyerang benteng


tersebut.

Benteng Toishi berukuran kecil, terletak di wilayah

pegunungan, dan cukup mudah untuk dihancurkan, namun

pasukan Murakami segera tiba untuk membantu

mempertahankan benteng tersebut Karena itulah,

Harunobu membagi pasukannya ke dalam empat

kelompok, satu pasukan akan menyerang benteng, dan yang

lainnya akan menghentikan pasukan tambahan.

Tepat sebelum penyerangan ke benteng Toishi

dilakukan, pasukan Harunobu mendengar berita tentang

kedatangan 76.000 samurai di bawah pimpinan Murakami.

Setiap kelompok yang dipimpin oleh para jenderal Takeda;

Amari, Oyamada, dan Yokota, berjuang menghentikan

pasukan Murakami di sisi utara benteng tersebut. Tanpa

banyak waktu mempertimbangkan tindakan, Harunobu

memulai serangan dengan memimpin pasukan utama ke

bagian barat benteng.

Yamamoto Kansuke ditempatkan di pasukan utama

Harunobu dengan 25 orang samurai untuk menguasai

tempat itu.

Begitu pertarungan dimulai, Kansuke merasakan bahwa

keadaan tidak berada di pihak mereka. Sungguh perang

yang sulit. Apalagi mengingat bahwa pasukan kecil mereka

terbagi dua.

Jika Jenderal itagaki, ada di sana, Kansuke pasti akan

memintanya untuk menyarankan kepada Harunobu agar

mundur; sebagai jalan terbaik bagi mereka. Namun Itagaki


sibuk memimpin pasukan melindungi Suwa. Jika saja

Harunobu meminta pendapat Kansuke, niscaya ia akan

menyarankan untuk mundur. Namun karena Harunobu

tidak meminta pendapat, pertempuran terus berlanjut.

0=odwo=0

Pasukan Amari, Yokota dan Oyamada yang semuanya

berada di posisi bertahan sejak awal, kalah jumlah dengan

perbandingan dua banding satu.

Salah seorang samurai di antara pasukan musuh adalah

Kojima Gorozaemon yang sangat terkenal, bahkan di

wilayah Kai—Provinsi Takeda—sebagai seorang prajurit

tangguh dan pemberani, la mengendarai seekor kuda besar

dan dengan enteng membawa sebilah tombak besar.

Meskipun berstatus musuh, pasukan Takeda mengakui

kehebatannya. Seorang samurai muda dari pasukan Takeda

memacu kuda menuju samurai pemberani itu.

Dibandingkan Kojima, ia tampak sangat kecil. Samurai

muda itu adalah anak angkat Yokota Bichu-no-kami,

bernama Hikojiro yang berusia 23 tahun. Mereka saling

menyerang beberapa kali dan saling beradu sampai

keduanya terjatuh dari kuda masing-masing. Setelah duel

yang singkat namun sengit, salah seorang samurai yang

berlumuran darah tampak bangkit. Dari jarak yang dekat,

jelaslah bahwa samurai itu adalah sang pemuda Hikojiro.

Sungguh duel luar biasa. Tidak seorang pun menyangka

bahwa Hikojiro akan menang.

Prestasi luar biasa itu segera dilaporkan ke markas


utama.

“Dia membunuh Kojima Gorozaemon!”

Berita ini tampaknya sangat memikat hati Harunobu,

dan ia menganggap itu sebagai pertanda baik.

“Apa manfaatnya bagi kita dengan hanya membunuh

Kojima Gorozaemon?” tanya Kansuke kepadanya. Bagi

Kansuke, merupakan tindakan bodoh memuji duel satu

lawan satu itu. Bahkan seorang samurai yang terkenal

reputasinya bisa mati dengan begitu cepat dalam

pertempuran seperti ini. Bagaimana mungkin seseorang bisa

mengandalkan kemampuan bertarung individual? Kansuke

merasa bahwa semua orang tidak menyadari satu hal

terpenting dalam pertempuran.

Perkataan Kansuke terdengar sombong bagi Harunobu.

“Membunuh Kojima Gorozaemon layaknya membunuh

seratus orang prajurit,” kata Harunobu.

“Ini justru berbahaya,” jawab Kansuke. Tidak ada yang

paham makna kata-kata tersebut.

“Apanya yang berbahaya?” tanya Harunobu.

“Baik Jenderal Amari dan Yokota sedang menghadapi

bahaya.”

“Bagaimana mungkin kau bisa melihat formasi mereka

dari sini?”

“Saya bisa melihat kedua formasi pasukan mereka dari

sini.”

Saat Kansuke berkata demikian kepada Tuannya, sikap

sinisnya lenyap dan Harunobu melihat kecerdasan dan aura


keagungan yang melingkupi sosoknya.

Satu jam kemudian, mereka mendengar berita kematian

Amari dan Yokota. Hampir pada saat yang bersamaan,

formasi kedua pasukan mereka juga ikut jatuh. Kelompok

penyerang di Benteng Koseki sangat terpengaruh dengan

berita tersebut dan mulai terpecah. Harunobu mencoba

menyatukan kembali pasukan tersebut, namun sia-sia.

Kekalahan tak terelakkan sudah di depan mata. Harunobu

mengajukan usul bahwa ia akan mengirim pesan kepada

pasukan Oyamada dan Morozumi, dan membuat semua

pasukan menyerang pasukan Murakami bersama-sama

dengan taktik frontal langsung. Pada titik ini Harunobu

sudah putus asa dan ingin memimpin seluruh pasukannya

sendiri.

“Apakah Tuan pikir sudah tepat jika komandan perang

sendiri yang memimpin pasukan kita?” Kansuke bertanya

kepadanya.

“Apakah ada jalan lain?”

“Apakah Tuan sudah siap mati di medan tempur?”

Harunobu tidak menjawab. Bagi Kansuke, Harunobu

terlihat begitu muda setiap kali tidak mampu memutuskan

sikap. Kansuke berkata dengan tenang, “Ya, memang kita

perlu mendapatkan kemenangan dengan mengorbankan

hidup. Namun saat ini Tuan sedang kecewa karena

sebagian besar pasukan tewas. Kalau sedang marah, orang

cenderung bertindak gegabah.”

Harunobu melihat ke bawah, pada sosok kecil Kansuke


di posisi duduknya di atas kuda. Sulit mengatakan apakah

Kansuke bodoh atau cerdas, dan ia tampak begitu buruk

rupa, namun begitu tenang. Meski begitu, ia merasa dapat

memercayai Kansuke lebih dari siapa pun juga.

“Apakah kau punya ide lain untuk sebuah serangan

balasan?”

“Ya, saya punya.’”

“Apakah mungkin bagi kita melewati semua kekacauan

ini?”

“Hanya ada satu strategi yang mampu membawa kita

pada kemenangan. Mohon beri saya 50 orang pasukan

berkuda,” ujar Kansuke.

0=odwo=0

Begitu Kansuke mengumpulkan mereka, ia membuat

putaran balik, memacu kudanya dengan kecepatan penuh

sejauh dua mil dan tiba di belakang pasukan Murakami.

Kemudian ia meneriakkan perintah pada pasukan berkuda

tersebut, “Aku ingin kalian memacu kuda dengan

kecepatan penuh menerobos pasukan Murakami dengan

taruhan nyawa. Yang harus kalian lakukan hanya memacu

kuda dengan kecepatan penuh. Tidak perlu membunuh

siapa pun. Aku akan memimpin di depan.”

Pasukan berkuda Kansuke berlari dengan kecepatan

penuh menerobos pasukan Murakami dari belakang,

berusaha memecah musuh menjadi dua. Mereka memacu

kuda dengan kecepatan tinggi tanpa sedikitpun keluar dari

garis lurus yang membelah formasi tersebut.


Kansuke yakin bahwa yang perlu dilakukan hanya

menghancurkan formasi pasukan musuh. Jika itu berhasil,

Harunobu muda yang cerdas akan punya peluang

menyatukan kembali formasi pasukannya yang terpecahbelah

dan menyerang.

Sambil memimpin pasukannya, Kansuke memacu kuda

dengan kecepatan penuh. Tubuh setengah membungkuk

mengayun pedang maju mundur, la menengok ke belakang

begitu berhasil menyerang titik tengah formasi pasukan

musuh. 50 orang pasukan berkuda mengikuti di belakang

laksana gelombang hitam.

Tiba-tiba, Kansuke mendengar teriakan perang, dan

menyadari bahwa formasi pasukan yang diterobosnya

berada dalam kekacauan; seperti sarang lebah yang diserang

tepat di pusat. Bendera besar berwarna biru di atas markas

Takeda berkibar ditiup angin di puncak bukit, la tidak tahu

jam berapa saat itu, namun huruf-huruf emas yang

menghiasi bendera itu berkilauan di bawah sinar matahari.

Teriakan perang tersebut berasal dari pasukan Takeda.

Kansuke lalu memacu kuda menembus seluruh formasi

pasukan musuh dan membuat putaran balik kembali ke

kancah pertempuran dengan kecepatan penuh. Tidak perlu

menyerang satu pun dari musuh; yang perlu dilakukan

hanya menebas siapa pun yang menghalangi. Kembali

teriakan-teriakan perang, tiupan terompet dan tabuhan

genderang terdengar dari segala penjuru. Dentuman senjata

terdengar jelas dibanding suara-suara lainnya.


Dengan memanfaatkan strategi yang dilakukan oleh

Kansuke, pasukan Takeda beralih dari posisi bertahan

menjadi menyerang. Pasukan berkuda Takeda menyerang

dan menghancurkan kekuatan pasukan Murakami yang

tercerai-berai, dan membuat mereka mundur. Selama

pertempuran tersebut, pasukan Takeda kehilangan 720

orang, dan pasukan musuh kehilangan 193 orang. Kendati

pihak Takeda memiliki jumlah prajurit gugur yang lebih

besar, namun teriakan kemenangan kini menggema dari

markas Takeda.

Kansuke dihadiahi 800 kan dan diberi kenaikan pangkat

dengan memimpin 75 orang prajurit infanteri.

Satu setengah bulan setelah pertempuran di Benteng Toishi,

Puteri Yuu melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat itu, Sang

Puteri tinggal di rumah pribadi di kaki bukit di belakang

benteng. Tidak seorangpun, kecuali Kansuke, yang

mengunjungi.

Kansuke dibawa masuk ke kamar Sang Puteri yang

sedang berbaring. Tanpa memberi kesempatan pada

Kansuke untuk memberi ucapan selamat, Puteri Yuu

berkata, “Sesuai perintahmu, seorang bayi laki-laki yang

memiliki darah Takeda dan Suwa telah lahir. Siapa yang

tahu takdir macam apa yang dimilikinya kelak, namun saat

ini dia sedang tidur dalam damai.”

Kansuke tertawa sekilas dan berkata, “Sekarang

Penguasa Suwa telah lahir. Ini sebuah peristiwa bahagia.

Selamat.”
Sang Puteri malah balik menyalahkan, “Kau yang

merencanakan penyerangan tiba-tiba terhadap ayahku.

Sekarang merasa berbahagia dengan kelahiran ini?”

“Ya,” Kansuke merasa kesulitan melanjutkan katakatanya.

Sang Puteri memang benar. Sampai detik ini ia

tidak tahu bahwa Puteri Yuu sudah mengetahui perihal

dirinya yang merencanakan pembunuhan terhadap ayah

Sang Puteri. Kansuke tidak siap menerima kejutan ini.

Sang Puteri melanjutkan, “Aku hanya menyebutkan saja.

Tidak menyimpan rasa dendam kepadamu. Kau tidak perlu

khawatir. Yang ingin kutanyakan adalah, bersediakah kau

menjaga anak ini?” Puteri Yuu menghadapkan wajahnya

pada Kansuke.

“Ya,” jawab Kansuke.

“Kau mengerti maksudku?”

“Maaf, apa maksud Tuan Puteri?” beratnya tanggung

jawab yang dipikul membuat tubuh Kansuke gemetar.

Lututnya bergetar dan ia bisa melihat kedua tangan yang

berada di atas lututnya juga ikut bergetar.

“Suatu hari nanti aku ingin anak ini menjadi pewaris

klan Takeda,” Puteri Yuu menyatakan keinginan tanpa

sedikitpun rasa takut. Kansuke takjub dengan

keterbukaannya, dan melihat ke sekeliling dengan waspada.

“Kubiarkan hidupku berada di bawah kendalimu. Kau

suruh aku tetap hidup; karena itulah aku masih hidup. Kau

suruh aku datang ke Kai; aku lakukan juga. Kau suruh aku

menjadi selirnya; aku menurut. Kau suruh aku


mengandung anaknya; sekarang sudah kulaksanakan.”

Sang Puteri berhenti bicara sejenak. Lalu melanjutkan,

“Aku mohon, jagalah anak ini.”

0=odwo=0

Setelah meninggalkan kediaman Puteri Yuu, Kansuke

berjalan menuruni lereng bukit dan tiba di sisi timur

benteng. Pada sisi yang berlawanan dengan hamparan

persawahan, terdapat ladang yang ditumbuhi oleh bunga

azalea; seluruh pegunungan terlihat seperti ditutupi oleh

bunga yang bermekaran. Semilir angin yang hangat

berhembus dari barat ke timur. Bulan tanpa perang yang

langka ini tampaknya akan segera berakhir.

Hari itu, Kansuke mengunjungi Harunobu untuk

memberi ucapan selamat atas kelahiran puteranya. la

berkata kepadanya, “Kelahiran putera Tuan akan

menghilangkan kemarahan rakyat Suwa. Akan sangat baik

bila Tuan membuat anak ini menjadi penguasa wilaya Ina

dan Provinsi Suwa.”

Kansuke merasa, sangat penting kiranya menempatkan

anak laki-laki Puteri Yuu di wilayah Ina dan Suwa demi

keselamatan anak itu sendiri, sekaligus demi

menghilangkan kegelisahan dan sikap kurang bersahabat

rakyat di wilayah tersebut.

Anak laki-laki Puteri Yuu bernama Shiro. Harunobu

memiliki dua orang putera dari istrinya. Karena anak Puteri

Yuu merupakan anak ketiga Harunobu, maka seharusnya ia

dipanggil dengan sebutan Saburo; namun entah kenapa ia


justru dinamakan Shiro.

Ketika Itagaki Nobukata datang dari Suwa, ia

menanyakan Harunobu alasan mengenai hal tersebut.

Harunobu tertawa penuh arti, namun tidak menjelaskan;

setelah beberapa saat ia berkata, “Kansuke merupakan

orang yang paling tepat menjawab pertanyaanmu jika kau

memang ingin tahu jawabannya.”

Itagaki mengundang Kansuke ke kediamannya di Kofu

dan bertanya, “Mengapa kau menyarankan nama Shiro

kepada tuan kita?”

“Karena saya pikir penting bagi Tuan kita untuk

memiliki anak laki-lak i yang ketiga,” jawab Kansuke.

“Anak-laki-laki ketiga?”

“Ya, cepat atau lambat, Takeda akan dipaksa

mengadopsi seorang putera.”

“Mengadopsi seorang putera? Dari mana?”

“Saya juga tidak tahu. Mungkin dari klan Uesugi atau

Hojo. Ini akan membuat perbedaan besar menempatkan

seorang anak laki-laki adopsi di atas putera selirnya, tanpa

terkait masalah umur. Kita harus senantiasa berpikir ke

depan di masa perang ini.”

Kansuke jelas ingin mengadopsi seorang anak tersebut

demi kepentingan politis.

“Mungkinkah anak itu dari klan Hojo?” tanya Itagaki.

“Hmm…”

“Kalau begitu dari klan Uesugi?”

“Hmm…”
“Hmm, dari mana Takeda Saburo berasal?”

“Saya pikir, dari salah satu klan tersebut juga baik,”

Kansuke menjawab tanpa mengubah posisi duduk. Kali ini

giliran Itagaki yang merasakan sensasi dingin dan

mengganggu di belakangnya, karena strategi berani dari

Kansuke.

Sebulan kemudian, Kansuke pergi mengunjungi lohara

di kota benteng Imagawa di mana dulu ia pernah tinggal.

Di tengah serangan gelombang cuaca panas, Kansuke

sudah meminta untuk libur, mengatakan alasan bahwa ia

akan mengunjungi gurunya di masa lampau. Kansuke pergi

menuju Provinsi Suruga. Tak ada yang tahu bahwa ia

menyimpan maksud rahasia tersendiri ke sana.

0o-d.w-o0

Lima

Sudah tiga tahun berlalu sejak Yamamoto Kansuke

terakhir kali memasuki kota benteng Sunpu. Kansuke

mengunjungi kediaman lohara Tadatane. Cara lohara

memperlakukan Kansuke sedikit lebih sopan dibandingkan

dulu.

“Berita tentang keberhasilanmu di Kai sudah terdengar

hingga ke provinsi kami. Kau beruntung bekerja untuk

seorang tuan yang baik,” kata lohara dan menambahkan,

“Bagaimana menurutmu tentang kemampuan Harunobu?”

lohara masih memperlakukan Kansuke seperti salah

seorang pengikutnya yang dikirim ke Kai; namun

bagaimanapun juga, Kansuke sudah berubah sama sekali, ia


bahkan tidak percaya bahwa dirinya pernah berpikir untuk

mengambil keuntungan dari kedua pihak, baik Takeda

maupun Imagawa.

“Tuan Harunobu adalah seorang jenderal yang cerdas

dan jujur. Jenderal yang hebat tidak membutuhkan pujian,

ataupun peduli pada bagaimana penampilan fisik

pengikutnya. Dia menilai para samurainya dari keberanian

dan kemampuan mereka. Aku diangkat ke sebuah posisi

dengan bayaran 800 kan dalam waktu tiga tahun. Bukankah

ini membuktikan apa yang baru saja aku jelaskan

tentangnya?”

Terlihat jelas bahwa Kansuke tidak menghargai klan

Imagawa yang tidak juga mempekerjakannya, meskipun ia

telah mengabdi kepada mereka selama sembilan tahun.

Suatu hari nanti, Kansuke akan menaklukkan Imagawa

dengan kekuatan Takeda. Namun hingga saat itu tiba,

Takeda harus memiliki hubungan baik dengan Imagawa.

“Alasan aku kemari bukanlah untuk membanggakan

tuanku. Tuan Harunobu memiliki dua orang putera,

Yoshinobu dan Ryuho. Sejujurnya, Yoshinobu tidak

memiliki kualitas kepemimpinan dan Ryuho buta. Tuan

Harunobu perlu untuk mengadopsi seorang anak untuk

menjadi pewaris yang sebenarnya.”

“Kau ingin mengatakan bahwa dia menginginkan

seorang anak dari klan Imagawa?”

‘Tidak peduli berapa pun usianya. Kami ingin

membesarkan anak tersebut sebagai putera ketiga.”


“Sayangnya, klan Imagawa tidak memiliki anak,” kata

lohara.

“Bahkan tidak dari selir-selirnya?”

“Tidak, tidak satupun.”

Kansuke tahu pasti bahwa tidak ada seorang anak pun

yang cocok untuk diadopsi dari keluarga Imagawa, bahkan

bila anak tersebut berasal dari seorang selir. Kansuke

berpikir, mungkin sebenarnya ada calon yang cocok dan

lohara bisa menunjukkan.

“Apakah itu satu-satunya alasan kau datang kemari?”

tanya lohara dan tertawa.

Kansuke tidak menjawab pancingan tersebut.

0=odwo=0

Kansuke meninggalkan kediaman lohara dan menginap

di kuil dekat sungai Abe yang dulu pernah dia tinggali

selama sembilan tahun.

Seorang samurai muda, yang dulu juga ingin menjadi

pengikut Imagawa ketika Kansuke masih di sana, diamdiam

mendatanginya. Saat memasuki kamar, ia terperanjat

mendapati Kansuke sedang duduk di tengah ruangan

sambil bermeditasi.

“Tuan, apa yang sedang Tuan pikirkan saat ini?” tanya

samurai muda itu tanpa basa-basi.

Kansuke berkata tanpa ragu, “Dalam waktu sepuluh

tahun mendatang, klan Hojo, Imagawa, dan Takeda harus

menjadi sekutu. Bagaimana kiranya hal tersebut bisa

diwujudkan?”
“Hmm…” Samurai muda merenungkan pertanyaan

tersebut beberapa waktu, lalu bertanya, “Mengapa harus

sepuluh tahun?”

“Tidakkah kau mengerti? Takeda harus berperang

melawan Uesugi. Imagawa akan segera menyerang provinsi

bagian barat, sementara Hojo sedang bertarung di wilayah

Kanto.”

“Dan sepuluh tahun dari sekarang?”

“Kemudian, kami bertiga harus bertarung satu sama lain.

Hingga saat itu tiba, bagaimana caranya kami bisa menjaga

perdamaian di antara ketiga pihak tersebut dalam jangka

waktu sepuluh tahun?”

“Saya tidak tahu.”

“Sebenarnya mudah. Klan Takeda, Imagawa, dan Hojo

semuanya memiliki anak laki-laki dan perempuan. Ketiga

keluarga tersebut harus terhubung dalam ikatan

perkawinan.”

“Apakah itu mungkin?”

“Yoshinobu dari Takeda, Ujimasa dari Hojo, dan

Ujizane dari Imagawa semuanya berusia sembilan atau

sepuluh tahun. Untuk Yoshinobu adalah puteri Imagawa,

untuk Ujimasa adalah puteri Takeda, dan untuk Ujizane

adalah puteri Hojo…” ujar Kansuke dengan ekspresi datar,

lalu mendadak teringat kemungkinan putera ketiga diadopsi

dari klan Hojo. Jika Takeda mengirimkan puterinya kepada

Hojo, maka seorang putera harus diadopsi dari Hojo

sebagai seorang tawanan.


“Dalam beberapa tahun, hal ini bisa diatur,” kata

Kansuke. Semakin cepat, semakin baik. Keluarga Takeda

harus bersekutu dengan keluarga Imagawa dan Hojo, dan

sementara itu Takeda harus mengalahkan Uesugi. Perang

dengan keluarga Imagawa dan Hojo akan tiba setelahnya.

Anak dari Puteri Yuu yang akan melaksanakan itu.

Samurai muda meninggalkan Kansuke beberapa saat

kemudian. Tidak ada gunanya untuk tetap tinggal di sana.

Di mata samurai muda, Kansuke terlihat begitu beda dari

sosok yang dikenal tiga tahun lalu. Pada usia 54 tahun,

Kansuke menjadi lebih pendiam dan tidak banyak bicara.

Namun Kansuke merasa bahwa sekarang ia punya lebih

banyak kebebasan, la tidak menyesal jika kelak harus mati

dalam pertempuran. Rasa takut terhadap kematian tidak

ada dalam benaknya, la mencintai Tuan Harunobu, selir

tuan Harunobu yaitu Puteri Yuu, dan puteranya yang baru

lahir, Katsuyori. Impiannya adalah untuk dapat berkuda

melintasi hamparan padang dan pegunungan di seluruh

penjuru wilayah Kai dan Shinano. Sebuah impian yang

hanya Kansuke—seseorang yang terlahir cacat—yang

mengetahuinya.

Malam itu, Kansuke tidur lelap dan bermimpi. Mimpi

tentang sosok seorang anak kecil, Katsuyori, yang melekat

dengan kuat di gendongan tangannya.

Sejak pertempuran benteng Koseki di bulan Maret, dan

Takeda mengalahkan pasukan Murakami Yoshikiyo,

mereka menikmati hari-hari tenang yang langka di kota


benteng Kofu. Siang dan malam berlalu dalam hening,

berganti dari musim semi ke musim panas, dari musim

panas ke musim gugur tanpa ada perang. Kedamaian tidak

hanya terasa di kota benteng, namun juga di desa-desa,

pegunungan, dan lembah-lembah di sekitarnya.

Meski pertempuran tidak terjadi, namun ada begitu

banyak bencana alam yang muncul. Hujan lebat, mulai di

awal pagi tanggal 5 Juli, tidak berhenti selama tiga hari dan

menyebabkan banjir besar di seluruh wilayah Provinsi Kai.

Banyak sawah yang rusak. Di Kofu, di bukit di belakang

kediaman Harunobu, terjadi tanah longsor. Sepuluh hari

kemudian, angin hebat bertiup pada malam hari,

menyebabkan tanaman padi di wilayah itu mengalami

kerusakan hebat. Pagi hari berikutnya, begitu banyak petani

yang kaget saat mengunjungi sawah mereka.

Akibat dua bencana alam besar tersebut mulai tampak

pada musim gugur. Banyak orang meninggal dunia karena

kelaparan dan kekurangan gizi. Harga barang-barang

meningkat drastis. Meski tidak ada perang, rakyat di

Provinsi Kai sangat menderita.

Pada 9 September, pada Festival Bunga Krisan, pasukan

Takeda berkumpul di kediaman Kofu. Di lantai ruang aula

utama, bunga krisan diatur sedemikian rupa. Para samurai,

yang duduk di baris di kedua sisi dari bunga-bunga tersebut

menikmati sajian minuman sake dan semangkuk nasi

dengan kastanye. Seperti halnya pada Hari Tahun Baru,

para jenderal Takeda duduk di ujung meja menghadap para


prajurit. Namun kali ini, setelah pertempuran benteng

Koseki, dua orang jenderal, Amari Toyayasu dan Yokota

Takatoshi, yang gugur dalam pertempuran tersebut, tidak

hadir. Hanya ada tiga orang jenderal di sana; yaitu Obu

Toramasa, Oyamada i Masatatsu, dan Itagaki Nobukata.

Ini membuat semua orang merasa sedih.

Sejak pertempuran di benteng Koseki, dua orang

jenderal, Obu dan Oyamada, ditempatkan di Shinano utara

untuk menghadapi pasukan Murakami. Namun keduanya

datang ke Kofu menghadiri acara tersebut. Itagaki juga

datang jauh-jauh dari posnya di Suwa. Anggota lain dari

klan Takeda yang menghadiri acara tersebut adalah

Samanosuke Nobushige, Sonroku Nobutsura, Emontayu

Nobutatsu, dan Anayama Nobuyoshi. Beberapa wajah baru

adalah Baba Nobuharu, Yamagata Masagake, Naito Shuri,

dan Akiyama Nobutomo yang dipromosikan menjadi

jenderal kelas menengah. Masing-masing merupakan

pewaris muda dari keluarga-keluarga terkenal yang sudah

bekerja untuk Takeda selama beberapa generasi.

Jenderal Obu dan Oyamada memberi informasi kepada

Harunobu mengenai pergerakan musuh utama mereka saat

ini, yaitu Murakami Yoshikiyo.

Murakami masih tetap berdiam diri sejak kekalahan di

pertempuran Benteng Toishi, namun sudah menjadi ciri

khasnya bahwa ia bukan tipe orang yang mudah menyerah;

tampak jelas bahwa Murakami akan menggerakkan

pasukannya dalam waktu dekat, kemungkinan besar di


musim semi berikutnya ketika salju mulai mencair. Baik

Obu maupun Oyamada punya pendapat yang sama

mengenai hal tersebut.

“Saya kira tidak akan ada pertempuran hingga musim

semi berikutnya. Hingga saat itu tiba, kita sudah harus

bersiap, dan kali ini kita harus berhasil memenggal

kepalanya untuk menghindari masalah di masa depan,” ujar

Obu. Semua setuju, dan mereka terus mendiskusikan

tentang bagaimana mempersiapkan pasukan masingmasing.

Kansuke duduk di tengah barisan di sebelah kanan,

menghadap ke Harunobu. Tiba-tiba ia membungkukkan

badan dan berkata, “Saya ingin mengatakan sesuatu. Saya

yakin pertempuran akan terjadi tahun ini, atau bahkan esok

hari.”

Perhatian semua orang tertuju pada tubuh kecilnya.

“Jika menyangkut pergerakan pasukan Murakami, tidak

seorang pun yang mengetahui lebih baik daripada Obu dan

saya sendiri,” ujar Oyamada kepada Kansuke dengan nada

mencemooh.

“Saya tidak bicara tentang pasukan Murakami.”

“Saya tidak bisa membayangkan orang lain di keempat

provinsi tetangga kita yang lebih pantas untuk

dikhawatirkan selain Murakami.”

“Saya, Kansuke, juga tidak mengenal seorang pun yang

mampu melakukan gerakan seperti itu. Namun saya tahu

bahwa pasti ada seseorang yang percaya bahwa inilah

kesempatan paling baik untuk menyerang Takeda. Benar


bahwa kita telah mengalahkan Murakami musim semi ini,

namun kedua jenderal Amari dan Yokota telah gugur

dalam pertempuran dan semua orang di seluruh penjuru

negeri pasti sudah mendengar bahwa kita kehilangan lebih

dari 3.000 prajurit. Kita semua mengetahui perihal

keberanian Jenderal Obu dan Oyamada yang sudah begitu

melegenda, tetapi mereka tidak bisa pindah dari ujung utara

Provinsi Shinano untuk berjuang melawan pasukan

Murakami. Jaraknya sangat jauh. Selain itu, maafkan Saya

karena mengatakan hal ini: Samurai-Samurai lain yang

tersisa tingkatannya jauh lebih rendah dan tidak memiliki

lebih dari seratus orang pasukan berkuda. Dan yang paling

parah dari semuanya, kita menderita akibat dari bencana

alam akhir-akhir ini. Jika ada yang nekad menyerang kita,

Provinsi Kai, dengan kekuatan militer mereka yang

besar…” Kansuke mengangkat wajah menatap Harunobu

tanpa menyelesaikan kalimat. Maksudnya sudah jelas.

Kansuke sedang bicara kepada Harunobu. Tidak tertarik

mendengar pendapat samurai lainnya.

Harunobu tertawa, menyelesaikan kalimat Kansuke

dengan berkata, “Jadi kita sama sekali tidak punya

harapan?”

“Tidak, Tuanku.”

“Apakah Takeda akan hancur?”

“Ada musuh-musuh yang ingin berpikir demikian;

makanya mereka mati-matian menyerang kita.”

“Siapa yang akan menyerang kita kalau begitu?”


“Saya tidak tahu. Saya bahkan tidak tahu ada atau

tidaknya pihak yang mungkin mempertimbangkan semua

fakta-fakta ini. Jika ternyata ada beberapa dan mereka

berharap untuk menghancurkan Takeda…”

Tiba-tiba seseorang berteriak, “Siapa yang akan berpikir

seperti itu!” Itu adalah suara Anayama. “Baik Imagawa

maupun Hojo berbagi batas wilayah dengan kita, namun

tidak mungkin bagi mereka untuk berpikir mampu

menyerang kita.”

Tiba-tiba Harunobu berdiri dan mulai berkata, “Jika ini

mungkin terpikirkan…” Kemudian ia berhenti dan berjalan

masuk ke ruang sebelah dalam. Wajahnya tidak tampak

kecewa. Kansuke yakin bahwa Harunobu pasti sedang

berusaha memikirkan siapa yang ingin menyerangnya?

Sepeninggal Harunobu, tidak seorang pun angkat bicara.

Pada pertempuran Benteng Toishi, Kansuke telah sukes

membalikkan perang yang berujung buntu menjadi

kemenangan dengan strateginya. Semua mengakui

keberhasilan tersebut, namun tidak seorang pun menghargai

gagasannya yang tidak biasa. Bagi telinga mereka, gagasan

Kasuke terdengar seperti ungkapan kesombongan.

Seperti biasa, Itagaki mencoba menengahi.

“Mungkin kau minum terlalu banyak sehingga membuat

analisa seperti itu, Kansuke. Jangan tersinggung, itu adalah

analisa yang menarik. Jika benar terjadi perang tahun ini,

aku akan memberimu salah satu pengikut terbaikku, yang

boleh kau pilih sendiri. Tapi jika kau kalah, apa yang akan
kau berikan padaku?”

Itagaki mencoba mengubah kata-kata Kansuke menjadi

sesuatu yang tidak terlalu serius. Namun, Kansuke memberi

jawaban yang langsung tanpa keraguan sedikit pun. “Akan

kuberi nyawa saya!” Ini bukanlah lelucon; tidak ada

senyuman di wajahnya. Tidak hanya kepada Itagaki saja

Kansuke berkata begini, namun dengan maksud agar semua

samurai mendengarnya.

“Dasar orang bodoh, pikiranmu sudah dipengaruhi

sake!” Itagaki memaksakan senyuman.

Kansuke tidak menganggap ini sebagai lelucon, la bisa

mendengar dentingan pedang saling beradu, bunyi terompet

perang, tabuhan genderang dan ratusan prajurit berkuda

berlari melintasi bukit.

Kansuke berpikir bahwa seseorang yang berniat

menjatuhkan Takeda tidak akan melewatkan kesempatan

yang sangat baik ini. Tidak ada kesempatan lain yang lebih

bagus. Pasti ada seseorang yang berpikiran sama

dengannya, pada perang sipil yang sedang berlangsung saat

ini, di masa antara hidup dan mati, saat ketika wilayah

berulang kali dimenangkan dan dikalahkan ini.

Pasti akan ada perang lain dalam waktu dekat. Namun

Kansuke sendiri sulit menemukan siapa yang akan menjadi

musuh mereka, la tidak akan terlalu terkejut jika salah satu

dari Imagawa, Hojo, Nagao Kagetora, atau Murakami

Yoshikiyo menyerang mereka.

Belum Satu bulan sejak Kansuke meramalkan akan


terjadi perang, sudah terlihat 23.000 pasukan di bawah

pimpinan Uesugi Norimasa bergerak dari Puncak Fuefuki.

Berita pertama tentang penyerangan itu datang dari

Sanada Yukitaka di Provinsi Shinano. Pembawa pesan

membawa berita bahwa salah satu pasukan Uesugi telah

meninggalkan Provinsi Joshu saat hujan musim gugur. Si

pembawa pesan segera dikawal masuk oleh beberapa orang

samurai Takeda begitu turun dari kudanya. Tidak lama

kemudian, kuda kedua tiba tanpa penunggang, dengan anak

panah menembus bagian belakang kuda itu dan berlari

tunggang langgang menuju kediaman Takeda. Gawatnya

situasi langsung terasa.

Dalam waktu kurang dari satu jam, tabuhan genderang

terdengar di setiap pos penjagaan di kota tersebut,

memanggil semua pengikut untuk angkat senjata.

Api unggun dinyalakan di setiap sudut jalan, para

penunggang kuda mulai berdatangan di benteng satu

persatu. Penunggangnya berasal dari benteng-benteng di

berbagai wilayah seperti Aiki, Shibata, dan Unno.

Sungguh situasi yang sangat genting. Tidak sedikit pun

waktu terbuang. Serangan Uesugi sungguh tidak diduga

oleh Harunobu maupun Kansuke. Keluarga Uesugi telah

lama berperang melawan keluarga Hojo di wilayah Kanto

pusat, bahkan sering mengalami kekalahan. Mereka pasti

mengubah tujuan secara mendadak dengan menyerang

keluarga Takeda agar bisa kembali berkuasa.

Sayangnya, saat itu Harunobu terserang demam tinggi.


Pertemuan dengan para jenderal terpakasa diadakan di

samping tempat tidur Harunobu.

“Siapa yang akan memimpin perang melawan Uesugi?”

tanya Harunobu. Baik Nobushige dan Anayama bersedia

menerima tanggung jawab tersebut dengan segera. Hal itu

tampaknya sudah menjadi keputusan yang pasti di benak

semua orang karena tiga orang jenderal tertinggi, Obu,

Oyamada, dan Itagaki tidak bisa pindah dari posisi mereka

dan tidak ada orang lain selain kedua orang tersebut yang

bisa memimpin pasukan. Harunobu mengarahkan

pandangan kepada Kansuke.

Kansuke menjawab tanpa ragu, “Bagaimana jika

menempatkan Jenderal Itagaki untuk bertanggung jawab

dalam perang ini dan menggunakan Anayama serta

Samanosuke untuk mempertahankan Provinsi Suwa?”

“Apakah ada alasan mengapa aku harus melakukan itu?”

“Jenderal Itagaki telah ditempatkan di Suwa selama tiga

tahun terakhir, maka dari itu dia lebih mengetahui pikiran

dan perilaku orang-orang di Shinano. Selain itu, dia pasti

punya banyak pengikut yang memiliki pengetahuan yang

baik tentang keadaan alam di wilayah tersebut.”

“Baiklah, aku akan memerintahkan Itagaki untuk

memimpin.”, Harunobu menetapkan keputusan dengan –

segera. Pada saat-saat genting seperti ini, Harunobu

senantiasa membuat keputusan cepat.

Itagaki Nobukata ditugaskan menjadi komandan perang

melawan serangan pasukan Uesugi, dan untuk mengisi


posisinya di Suwa, Anayama dan Nobushige dikirim

bersama empat kelompok pasukan infanteri.

Kansuke berpikir bahwa dalam keadaan krisis,

seharusnya prajurit terbaik seperti Jenderal Itagaki yang

ditugaskan. Tentu saja, Harunobu akan menjadi pilihan

yang lebih baik sebagai pemimpin, namun karena sedang

sakit, tidak ada orang selain Itagaki yang pantas

menggantikan posisinya. Anayama dan Nobushige punya

kelemahan yang bisa membahayakan mereka dalam perang.

Kansuke meminta izin Harunobu untuk bergabung

dengan kelompok Itagaki. Izin ini diberikan. Kansuke

meramalkan bahwa pertempuran ini akan menjadi

pertempuran yang amat penting, dan ia menyadari

kelemahan-kelemahan Itagaki saat berada dalam

pertempuran. Sebelum turun ke lapangan, Kansuke ingin

menemui Itagaki untuk memberi beberapa nasehat.

0=odwo=0

Malam itu, Kansuke meninggalkan kota benteng Kofu

bersama beberapa prajurit berkuda menuju Provinsi Suwa.

Para samurai yang ikut bersamanya adalah penunggangpenunggang

kuda yang masih berusia muda dan mahir,

namun Kansuke yang berusia 54 tahun sama sekali tidak

merasa rendah diri. Cara Kansuke menunggang kuda agak

aneh: tubuh kecilnya duduk di punggung seekor kuda besar,

membungkuk begitu dekat dengan leher kuda sampai nyaris

tampak seolah sedang mengunyah rambut di leher kuda

tersebut.
Kelompok penunggang kuda tersebut berlari kencang

seperti angin dan keesokan paginya memasuki kota benteng

Suwa. Saat turun dari kuda masing-masing di dalam

benteng, Kansuke terduduk di atas tanah dan tidak mampu

berdiri. Semua penunggang kuda muda yang lain sulit

memercayai bahwa Kansuke bisa mengikuti mereka

sepanjang perjalanan menuju Suwa, apalagi dengan cara

menunggang yang tidak terlatih seperti itu.

Kansuke berkata, “Aku ingin kalian membawaku masuk

ke dalam benteng.” Lalu ia masuk ke dalam benteng

dengan sebuah tandu dan langsung di bawa menghadap

Itagaki.

Itagaki sudah berpakaian dan bersenjata, siap terjun ke

medan tempur.

“Sebelum mereka mendaki Puncak Fuefuki…” Kansuke

menggumamkan kata-kata ini, lalu tersenyum dan berkata,

“Saya lelah.”

“Itukah yang ingin kau katakan padaku?” tanya Itagaki.

“Ya, ini yang ingin saya sampaikan.”

“Apakah ini caramu dalam membalas bantuanku yang

telah rekomendasikanmu kepada Takeda?”

“Benar, Tuan.”

“Kau tidak perlu datang jauh-jauh kemari hanya untuk

itu. Aku sendiri sudah tahu.”

“Saya sadar itu, namun Tuan tidak tahu sebanyak yang

saya ketahui. Tuan kurang sabar dan gigih saat menghadapi

[pertempuran yang penting.”


“Jangan bercanda!”

“Tuan selalu begitu di beberapa pertempuran

sebelumnya.”

“Jangan bercanda,” ulang Itagaki, tersinggung.

Meskipun Itagaki senantiasa memperlihatkan pengertian

terhadap Kansuke yang bertampang menyeramkan itu,

melebihi orang lain, sebagian disebabkan oleh karena dialah

yang merekomendasikan Kansuke bekerja kepada Takeda.

Bukan karena benar-benar peduli pada Kansuke;

sebaliknya, ia sering merasa benci padanya.

Tetapi, bagaimanapun juga, ia mendapatkan keyakinan

atas kejujuran, kepercayaan diri dan cara berpikir positif

Kansuke.

“Maukah kau menemaniku ke medan pertempuran?”

“Jika Tuan menyerang sebelum mereka mencapai

puncak, tidak perlu sama sekali bagi saya menemani Tuan.”

“Jangan khawatir, aku tahu itu! Kalau begitu tinggallah di

sini dan beristirahat sejenak,” kata Itagaki dengan wajah

yang pucat.

Malam itu, sebagian pasukan Itagaki meninggalkan

Suwa sebagai pasukan pendahuluan. Kansuke kembali

secepatnya ke Kofu.

Itagaki sendiri berangkat Pada empat Oktober dengan

pasukan pribadi untuk bergabung dengan pasukan utama

dari Kofu.

Pada lima Oktober, Harunobu sudah merasa sedikit lebih

sehat dan meninggalkan Kofu sekitar jam sebelas bersama


4.500 orang pasukan cadangan untuk bergabung dengan

pasukan utama.

Pertukaran informasi terus berlangsung antara Itagaki

dan Harunobu melalui pembawa pesan berkuda. Pada

tanggal 6, jam sebelas, ia menerima berita bahwa mereka

telah melewati Oiwake di Komoro. Setelah itu, hubungan

terputus untuk sementara. Pembawa pesan selanjutnya

mengatakan bahwa pasukan Itagaki telah bertempur

melawan pasukan Uesugi di Puncak Fuefuki dan

memperoleh kemenangan besar. Mereka berhasil

menangkap 1.219 orang prajurit utama dan meneriakkan

kemenangan pada jam dua siang. Keesokan paginya, begitu

Harunobu tiba di medan tempur, ia memerintahkan

pasukan Itagaki untuk mundur ke garis belakang, lalu

menempatkan pasukan cadangan ke garis depan dan

bertarung melawan 16.000 pasukan musuh yang

membentuk formasi kedua di Puncak Fuefuki. Kemenangan

hari sebelumnya oleh pasukan Itagaki membawa

momentum dan semangat buat pasukan cadangan

Harunobu; mereka menangkap 4.306 prajurit dan Takeda

memperoleh kemenangan untuk kedua kali.

Malam itu di markas utama, mereka mencatat namanama

para samurai yang gugur dan mengadakan ritual

perayaan untuk kemenangan mereka. Saat itu adalah

malam yang berangin. Api unggun dinyalakan dan

kobarannya tertiup ke arah para samurai yang duduk dalam

satu barisan.
Harunobu memimpin upacara, duduk di sebuah kursi.

Obu membawakan pedang Harunobu. Di sisi kanan

Harunobu adalah Itagaki, yang bertugas membawa kipas.

Di sisi sebelah kiri adalah Hara Mino-no-kami yang duduk

membawa sebuah busur dan anak panah terbuat dari bulu

burung gagak. kKansuke bertugas membawa terompet

perang besar. Di tmata Kansuke, tuannya, Harunobu, yang

duduk dengan punggung kaku dan tegak, tampak begitu

tampan, maskulin, dan berani.

Suara tabuhan genderang yang dimainkan oleh Obata

Oribenosho bergema sepanjang udara malam di medan

tempur tersebut. Seruan “Oh” keluar dari mulut semua

samurai; sebuah seruan kuat penuh kemenangan.

Semuanya masih berusia muda; hanya Kansuke yang

sudah berumur. Kansuke menarik napas, berpikir bahwa

tuan mudanya yang tercinta itu akan mengalahkan

Murakami Yoshikiyo dan kemudian Nagao Kagetora

(nantinya dikenal sebagai Uesugi Kenshin) di wilayah

seberang Murakami. Namun sebelum itu, mereka akan

menghadapi banyak pertempuran-pertempuran kecil seperti

yang baru saja terjadi, pikir Kansuke sambil memegang

terompet perang. Di pandangan semua orang, wajah

Kansuke tampak seperti bola api. Kemarahan memancar

keluar, bagaikan dewa penjaga gerbang kuil dalam kobaran

api unggun.

0=odwo=0

Puteri Yuu kembali ke Suwa di penghujung bulan


November di tahun Tenbun ke-15. Hampir dua tahun

berlalu sejak mekarnya bunga sakura (bulan Maret) di tahun

Tenbun ke-14 ketika ia harus berangkat ke Kai. Selama itu,

Puteri Yuu sudah melahirkan seorang anak, bernama

Katsuyori, yang di tubuhnya mengalir darah Takeda

maupun Suwa.

Orang-orang sering membicarakan perjalanan pulang

Puteri Yuu. Sebagian mengatakan bahwa itu skenario yang

disusun oleh istri Harunobu, Sanjo-no-Uji, dan lainnya

mengatakan bahwa itu adalah skenario politik untuk

mengurangi kebencian rakyat Suwa terhadap Takeda.

Apapun kebenarannya, Puteri Yuu tidak mengetahui

sama sekali alasan kepulangannya. la hanya mengikuti

saran Kansuke saat lelaki itu berkunjung dan mengatakan

bahwa sudah tiba saatnya untuk menunjukkan Danau Suwa

kepada puteranya, sebelum cuaca menjadi sangat dingin.

Tidak lama setelah Kansuke menerima pesan dari Itagaki

Nobutaka bahwa semua persiapan sudah dilakukan untuk

menyambut kepulangan Puteri Yuu, maka Sang Puteri dan

Katsuyori pun meninggalkan Kofu. Semenjak takluknya

keluarga Suwa, Itagaki lah yang memimpin wilayah

tersebut.

Iring-iringan panjang bersama beberapa ratus pelayan

dan delapan usungan yang membawa Puteri Yuu,

Katsuyori dan pelayan-pelayan mereka, berjalan menuju

Provinsi Shinano dari Kai melewati pegunungan dan

ladang yang mulai menunjukkan tanda-tanda datangnya


musim dingin.

Puteri Yuu berada di usungan kedua, usungan ketiga

berisi pengasuh Katsuyori yang menggendong bayi.

Serjumlah samurai tangguh membentuk lingkaran di

sekeliling kedua usungan tersebut untuk melindunginya.

Seorang penunggang kuda yang tampak berbeda sedang

mengendarai kudanya di dekat usungan Katsuyori. la

adalah Yamamoto Kansuke.

Terakhir kali Puteri Yuu datang dari Shinano ke Kai,

perasaannya selalu berubah-ubah dan sering menghentikan

jalannya iring-iringan, namun kali ini berbeda. Tidak sekali

pun Sang Puteri mengangkat tirai penutup usungan. Duduk

dalam diam di atas usungan. Dalam waktu kurang dari dua

tahun, tSang Puteri sudah kehilangan sifat gadis muda

dalam dirinya idan kini tumbuh menjadi perempuan

dewasa. Kecantikan alaminya semakin bercahaya seiring

dengan bertambahnya usia, dan memiliki ketenangan diri

yang baru dan istimewa. Wajah putih mulus, pipi bersemu

merah muda, mata hitam nan indah dan hidung mancung

terpahat apik, merupakan warisan turun-temurun keluarga

Suwa yang istimewa, yang kini telah berakhir.

Pada hari kedua, iring-iringan berjalan di sisi Sungai

Kamuna yang mengalir deras. Sekitar siang hari, mereka

beristirahat sejenak di pinggiran sungai dekat Nirasaki. Saat

itulah Kansuke, sambil berlutut di samping usungan Sang

Puteri, bertanya, “Maukah Tuan Puteri keluar sebentar?”

“Tidak, aku ingin istirahat di dalam usungan,” jawab


Sang Puteri dengan suara jernih. “Apakah Tuan Puteri

lelah?” “Tidak, tidak juga, aku baik-baik saja.”

“Sudikah kiranya Tuan Puteri membuka tirai usungan

itu sedikit? Ini mungkin pemandangan paling indah di

seluruh penjuru wilayah Kai, sekaligus merupakan daerah

yang strategis. Suatu hari kelak, ketika putera Tuan Puteri

membangun bentengnya, ini akan menjadi tempat yang

paling ideal.”

Puteri Yuu pasti sangat tersentuh mendengar penuturan

Kansuke, karena kemudian ia menyingkap tirai dalam

diam. Kansuke menatap pergelangan tangannya yang pucat

dengan takjub.

“Di mana kau akan membangun benteng itu?”

“Di dataran tinggi itu.”

Wilayah yang ditunjuk Kansuke adalah dataran tinggi

yang tampak seperti sebuah pulau di hamparan hijau yang

luas, yang oleh penduduk setempat disebut sebagai Batu

Tujuh Mil.

“Dataran tinggi itu dikelilingi oleh Sungai Kamuna dan

Sungai Shio, serta tiga puncak pegunungan; Yakushi,

Kannon, dan Jizo. Satu sisi menghadap ke pegunungan dan

ketiga sisi lainnya menghadap ke dataran luas itu. Saat

putera Tuan Puteri kelak mencapai usia dewasa, para

samurai akan bertempur menggunakan senjata. Jadi tidak

perlu memiliki benteng di sebuah tempat yang tidak dapat

ditembus. Ini lokasi yang ideal untuk membangun

bentengnya. Lagipula, dataran tinggi seperti itu, dibatasi


empat tebing di keempat sisinya yang akan mempersulit

siapa pun untuk mencapainya.”

Kansuke merasa bahwa tempat ini memang tepat untuk

membangun sebuah benteng, la sering melewati tempat ini

dengan kuda, dan selalu terlintas gagasan untuk

membangun sebuah benteng di sini. Sepuluh hingga dua

puluh tahun yang akan datang, tempat ini akan menjadi

pusat negeri Kai. Tidak peduli mereka suka atau tidak,

Takeda akan memindahkan markas utamanya ke sini.

Orang yang akan membangun benteng tersebut

kemungkinan besar adalah Katsuyori. Ya, harus dia

orangnya.

Puteri Yuu melihat ke sekeliling pemandangan yang

seolah tak berujung.

“Indah sekali warna dedaunan di sini,” katanya.

Memang, dataran tinggi yang ditunjuk oleh Kansuke

ditutupi oleh daun-daun musim gugur yang akan berakhir

berwarna merah menyala.

“Apakah pohon-pohon berwarna itu pohon haze?”

“Ah…”

Kansuke tidak tahu apa-apa soal pepohonan dan bungabunga.

Bagi Kansuke, adalah hal yang aneh dan

menakjubkan bahwa perempuan tertarik dengan nama

pepohonan.

“Tidak ada pohon haze di Kofu, namun ada banyak

yang tumbuh di Suwa,” ujar Puteri Yuu pelan.

“Tuan Puteri suka pohon haze?”


“Sejak kecil aku suka memandangi pohon-pohon itu. Di

musim gugur, aku selalu ingin melihat daun-daun pohon

haze yang berwarna merah.”

“Tuan Puteri akan bisa melihat pohon haze mulai saat

ini.” kata Kansuke.

“Apa?” Puteri Yuu tersentak kaget; kemudian menyibak

tirai dan keluar dari usungannya, lalu berdiri tegak.

“Kansuke, apa yang kau katakan? Apa kau mengatakan

bahwa mulai saat ini aku akan tinggal di Suwa?” dia

bertanya dengan tajam. “Apa kau mengatakan bahwa aku

akan tinggal di Suwa dan jauh dari tuanku? Apakah ini

semacam siasat?”

Ekspresi wajahnya tenang, namun kata-katanya tajam

menusuk hati Kansuke seperti sebilah pedang.

“Ah…mmm…” Kansuke tidak menjawab. Tidak

sanggup menjawab.

“Kansuke!”

“Ya, Tuan Puteri.”

“Kau tidak akan meninggalkanku bersama Itagaki di

Suwa, kan?”

“Tidak, tidak akan!”

“Kalau begitu, baiklah.”

Kansuke berlutut, tangan kanan menyentuh tanah dan

tidak mengangkat kepala. Kaget mendengar betapa

cepatnya ia menyetujui rencana itu.

Perjalanan Puteri Yuu ke Suwa sudah diputuskan di

antara Harunobu, Itagaki dan Kansuke. Itagaki akan


menjadi penjaga Puteri Yuu dan Katsuyori di Suwa.

Tujuan utamanya adalah untuk membiasakan Katsuyori

dengan rakyat Suwa dan mencoba menghilangkan

kebencian mereka kepada Takeda. Kansuke juga merasa

bahwa dengan melakukan hal ini, nyawa Katsuyori akan

terlindungi, la sangat menyadari kenyataan bahwa karena

bayi tersebut memiliki darah Suwa, orang-orang Takeda

akan sangat mengawasi. Selama Katsuyori tinggal di Kofu,

hidup bayi yang baru lahir itu tidak akan pernah aman.

0=odwo=0

Ketika iring-iringan Puteri Yuu memasuki perbatasan

Suwa entah tahu dari mana, para petani Suwa menyambut

iring-iringan dengan berlutut di pinggir jalan sepanjang

lahan persawahan yang kosong di awal musim dingin.

Kepala mereka menyentuh tanah.

Puteri Yuu mengangkat tirai saat mendengar suara

Kansuke berkata, “Tuan Puteri, kita bisa melihat danau.”

Permukaan danau berwarna biru kelam, dengan riak-riak

kecil dan tajam, memasuki pandangan Puteri Yuu.

“Bukankah ini indah, Tuan Puteri?”

“Benar, indah sekali!”

Puteri Yuu duduk sambil memandang ke arah danau

beberapa saat, lalu gemetar sambil berkata, “Oh, dingin

sekali!” seraya menutup tirai.

Iringan-iringan kembali melanjutkan perjalanan, tanpa

istirahat sepanjang pinggiran danau, ditingkahi burungburung

air yang terbang sesekali, menuju Benteng


Takashima.

Itagaki sudah memutuskan bahwa Puteri Yuu akan

menjadikan Kuil Kan-non-in sebagai tempat tinggal, bukan

di Benteng Takashima di mana dulu Sang Puteri pernah

menetap. Itagaki pikir, dengan demikian Sang Puteri tidak

akan menderita terkenang kehidupan lampau di Benteng

Takashima, saat masih menjadi Puteri Suwa.

Kuil Kan-non-in berada di desa Kosaka sekitar satu mil

dari Benteng Takashima. Wilayah kediaman di kuil tersebut

baru saja direnovasi sehingga mereka tidak mengenali. Di

desa kecil Kosaka, di mana penduduknya hidup dari

perikanan dan pertanian, banyak rumah dan bangunan baru

yang dibangun khusus buat para samurai yang akan tinggal

di sana untuk menjaga dan melindungi Sang Puteri serta

anaknya. Puteri Yuu akan tinggal di benteng selama tiga

malam kemudian pindah ke kuil.

Keesokan pagi, salju pertama turun di wilayah Suwa.

Pegunungan Yatsugatake berubah menjadi warna putih,

dan daerah pinggiran danau serta persawahan di sekitarnya

juga dihiasi serpihan-serpihan salju. Sekitar siang hari,

usungan yang membawa Puteri Yuu dan bayinya Katsuyori

meninggalkan Benteng Takashima, bergerak sepanjang sisi

timur danau. Kansuke, yang sudah berada di desa Kosaka

sejak malam sebelumnya, sedang menunggu kedua usungan

bersama beberapa samurai di bawah Kuil Kan-non-in.

Usungan sudah tampak dari kejauhan, namun butuh

waktu lama bagi mereka untuk tiba di sana; karena jalanan


berlumpur, sehingga sulit untuk dipakai berjalan. Akhirnya,

usungan memasuki desa dan berhenti tepat di depan

Kansuke dan kelompoknya.

“Aku harap kamar Tuan Puteri sudah dihangatkan,”

Kansuke memastikan beberapa kali, lalu berkata kepada

Sang Puteri, “ini pasti perjalanan yang berat di tengah

cuaca dingin seperti ini.”

Tidak ada jawaban dari dalam usungan.

“Tuan Puteri, kita sudah tiba. Silahkan keluar.”

Kansuke mengulangi permintaan, namun tetap tidak ada

jawaban. Dari usungan yang kedua, keluarlah sang bayi

Katsuyori, digendong pengasuh yang berdiri di atas salju.

Kansuke langsung merasa khawatir, la mengangkat tirai

usungan pertama itu sedikit, dan mendadak pucat pasi.

Kansuke tidak melihat Puteri Yuu, melainkan salah seorang

pelayan yang dulu bersama Puteri Yuu ketika diselamatkan

dari Benteng Takashima di malam kejatuhan Suwa.

Pelayan muda itu tergeletak dengan wajah berlumuran

darah. Kedua tangan menggenggam sebilah pisau yang

ditusukkan ke tenggorokan.

Kansuke menutup tirai dalam diam, menyelipkan tangan

ke dalam usungan, memegang dahi perempuan itu. Masih

terasa hangat. Kansuke memerintahkan para samurai

membawa usungan ke dalam kuil Kan-non-in. Kansuke

membawa Katsuyori ke dalam, lalu memerintahkan semua

orang meninggalkan mereka. Setelah yakin tidak ada lagi

orang lain di sana, Kansuke kembali menyibak tirai


usungan.

“Apa yang terjadi dengan Tuan Puteri?”

Kansuke memasukkan setengah tubuh bagian atas ke

dalam usungan, mengangkat dan mengguncang tubuh

perempuan itu sekuat tenaga sambil berkata, “Di mana

Tuan Puteri, di mana dia?”

Perempuan malang itu tidak membuka mata. Tidak ada

tanda-tanda kehidupan. Kansuke menyerah, berdiri di pintu

masuk. Salju yang sangat indah kembali turun.

0=odwo=0

Kansuke tidak ingin ada yang tahu tentang lenyapnya

Puteri Yuu, maka ia memutuskan untuk membawa usungan

keluar dari kuil Kan-non-in, dengan alasan ada hal darurat

telah terjadi malam itu dan Puteri Yuu harus kembali ke

Benteng Takashima. Salju masih terus turun. Kali ini hanya

dua pelayan yang membawa usungan, dikawal oleh

Kansuke sendiri dengan menunggang kuda. Kansuke

menuruni lereng dari Kuil Kan-non-in memasuki jalan

sepanjang sisi danau. Untuk menuju Benteng Takashima,

Kansuke mengambil jalan berlawanan dari yang mereka

lalui siang tadi. Salah seorang pembawa usungan

berkomentar bahwa jalan itu lebih jauh; namun Kansuke

tidak mengindahkan. Malah berseru memerintah,

“Teruskan!”

Sekitar setengah mil kemudian, Kansuke menghentikan

usungan dan berkata, “Puteri Yuu sedang kedinginan, jadi

pergilah kalian kembali ke Kuil Kan-non-in dan bawakan


penghangat kaki.”

Kansuke memandang ke arah mereka beberapa saat.

Setelah mereka hilang dari pandangan dan merasa yakin

tidak ada seorang pun di dekat mereka, ia turun dari kuda

dan bekerja secepatnya.

la berada di jalan keluar dari danau Sungai Tenryu.

Sungai Tenryu yang besar itu berawal dari Danau Suwa dan

mengalir melalui Lembah Ina sampai ke Totomi.

Kansuke mengangkat tirai usungan, menarik keluar

mayat perempuan yang sudah terasa dingin, lalu dibawa ke

pinggiran danau melalui salju tebal setinggi lutut. Kansuke

berdiri di sana, sambil memandangi aliran air yang

menderu di bagian mulut sungai dengan seonggok mayat di

lengannya, lalu ia lemparkan mayat tersebut ke dalam air.

Bersamaan dengan terlepasnya tubuh tersebut dan

kemudian hanyut ditelan air, Kansuke pun ambruk ke

belakang. Salju yang lembut mengubur tubuhnya sampai ke

pinggang, la meraih daun-daun bambu yang mencuat dari

tumpukan salju, lalu mengangkat badan. Beberapa meter

dari tempat Kansuke berada, beberapa ekor angsa terbang

menjauh. Suara kepakan sayap mereka berbaur dengan deru

air. Tiba-tiba, Kansuke merasa begitu kesepian.

ia harus menyingkikan mayat pelayan itu. Tidak seorang

pun kecuali dirinya yang tahu bahwa sang pelayan sudah

melakukan ritual bunuh diri. “Tapi di mana Puteri Yuu?” la

harus menemukannya sebelum orang lain menyadari Sang

Puteri telah menghilang, la tidak ingin Harunobu atau


Itagaki Nobukata mengetahui hal ini. Kansuke tidak

bermaksud untuk menutupi kecerobohannya, bahkan tidak

memikirkan soal itu sama sekali. Tidak ada hubungannya

dengan Harunobu ataupun Itagaki. Memangnya mereka

bisa apa kalau pun tahu? Kansuke merasa, hanya ia yang

bisa memahami dan membicarakan kesedihan Sang Puteri I

seperti masalahnya sendiri, la harus mencari sendiri Puteri r

Yuu. Kansuke memikirkan gadis itu layaknya seperti

seorang ayah mencemaskan puterinya yang melarikan diri.

Ketika dua orang pembawa usungan itu kembali,

Kansuke memasukkan penghangat kaki yang mereka

bawakan ke dalam usungan, yang sebelumnya sudah ia isi

dengan beberapa batu berat. Usungan kembali berjalan.

Dari sini, Kansuke kembali mengambil jalan yang biasa

dilalui menuju Benteng Takashima.

Kansuke berpikir, jika para pembawa usungan sampai

tahu bahwa usungan tersebut kosong, ia sudah siap

membunuh mereka. Saat mereka berjalan, salju menumpuk

di kepala dan bahu Kansuke.

Puteri Yuu pasti berusaha kembali ke Kai, merasa takut

dijauhkan dari Harunobu. Meskipun pelayan itu sudah

mengikuti perintah Sang Puteri, ia pasti sudah menyadari

konsekuensi berat yang akan ditanggungnya, lalu

memutuskan untuk bunuh diri. Hanya ini yang dapat

disimpulkan Kansuke.

Saat itu sekitar jam sepuluh malam ketika usungan

memasuki Benteng Takashima. Begitu mereka memasuki


gerbang, Kansuke memerintahkan para pembawa usungan

untuk kembali ke Kuil Kan-non-in, mengeluarkan batu-batu

berat itu sendiri, dan memerintahkan para samurai di

benteng untuk membawa pergi usungan itu.

Bagian pertama dari pekerjaan sudah selesai. Dalam

ruangan kerja di pintu masuk, Kansuke menulis sehelai

surat pada Itagaki, berisi pesan pendek yang mengabarkan

bahwa Puteri Yuu sedang menderita flu dan saat ini sedang

beristirahat. Dan karena Kansuke berniat menjaga, tidak

seorang pun diizinkan menjenguk.

“Tolong bawa surat ini kepada Jenderal Itagaki besok

pagi tanpa ditunda sedikit pun dan pastikan surat ini sampai

ke tangannya.” Setelah perintahnya diikuti, Kansuke naik

ke atas kuda, meninggalkan Benteng Takashima.

Salju masih turun saat itu. “Di manakah Tuan Puteri

dalam cuaca bersalju seperti ini dan apa yang dia lakukan?”

Kansuke tidak tahu kapan dan di mana Sang Puteri

melarikan diri. Ketika keluar dari pintu gerbang benteng, ia

berhenti sebentar. Tidak pasti arah mana yang harus

diambil. Biasanya Kansuke bisa memikirkan segala sesuatu.

Namun kali ini, pikirannya seperti terperangkap kabut tebal.

Sama sekali tidak punya ide di mana Puteri Yuu berada.

Kansuke memacu kuda sepanjang jalan menuju Kai. Inilah

jalan yang tadi dilalui bersama Puteri Yuu empat hari yang

lalu. Sekarang semuanya terlihat beda. Dengan turunnya

hujan salju pertama ini, pemandangan di sekitar sudah tidak

dapat dikenali lagi. Dengan meninggalkan Benteng


Takashima di belakang sana, Kansuke tiba di desa pertama

yang disebut Miyakawa. la mengetuk setiap pintu rumah

yang ditemui.

“Apakah kau melihat Tuan Puteri? Apakah dia datang

mencari tempat untuk menginap? Jika kau tidak

mengatakan yang sebenarnya padaku, seluruh anggota

keluargamu akan dihukum mati.” Kansuke berseru

demikian di setiap pintu.

Di setiap rumah tersebut, siapapun yang membuka pintu

akan menciut ketakutan. Di hadapan mereka, berdiri

monster yang menunggangi seekor kuda dengan pedang

terhunus di tangan. Bahkan meski sudah berusaha bersikap

seramah mungkin, wajah Kansuke tetap saja menakutkan.

Namun malam ini, wajahnya menunjukkan ekspresi yang

tidak dapat dijelaskan. Seperti kerasukan roh jahat.

Saat melakukan pencarian di desa itu, fajar terbit. Salju |

sudah berhenti sejak subuh. Sambil menunggang kuda di

tengah hamparan salju sedalam dua kaki, Kansuke bergerak

ke tenggara melintasi dataran luas. Setiap kali tiba di sebuah

desa, Kansuke mengetuk pintu setiap rumah di sana.

Seiring waktu, ia mulai putus asa.

“Tuan Puteri, Tuan Puteri!” Kansuke mengulang-ulangi

namanya dalam hati, ia mengarahkan kudanya tanpa

harapan. Sekitar siang hari, Kansuke berhenti untuk

pertama kali. Begitu kudanya berhenti, Kansuke ambruk

dengan kepala lebih dulu ke rimbunan bambu yang tertutup

salju, saking lelah dan putus asa.


Menaklukkan benteng ataupun wilayah perang sudah

tidak berarti apa-apa lagi baginya saat ini. Tiada lagi mimpi

untuk menghabisi wilayah sekitar seperti ulat sutera

menghabisi daun-daun murbei. Karena puteri yang cantik

sudah hilang dari dunia ini, Kansuke sudah tidak memiliki

lagi keinginan untuk hidup. Untuk pertama kalinya

Kansuke menyadari betapa kuat ikatan batinnya dengan

Sang Puteri.

“Tuan Puteri, Tuan Puteri!”

Bagi Kansuke, Sang Puteri adalah mimpinya, sama

seperti Harunobu yang juga menjadi mimpinya. Kedua

orang itu adalah mimpi terbesar dan satu-satunya yang

dimiliki di dunia ini. Harunobu adalah alasan hidupnya,

dan Puteri Yuu juga penting baginya. Mimpi besar Kansuke

tidak akan menjadi nyata jika sampai kehilangan salah satu

dari kedua orang tersebut.

0=odwo=0

Saat itu hampir jam tujuh pagi. Kansuke sudah melewati

beberapa desa di pegunungan dan kini kembali ke desa

Miyakawa, di mana ia berada malam sebelumnya. Lebih

dari satu hari semenjak menghilangnya Sang Puteri.

Di malam hari, salju yang menumpuk di jalan akan

membeku menjadi es. Karena kudanya sulit berjalan dalam

keadaan seperti itu, Kansuke memutuskan kembali ke

benteng dan menceritakan semuanya kepada Itagaki.

Tampaknya tidak ada jalan selain mengeledah setiap rumah

penduduk menggunakan prajurit Itagaki.


Ketika tiba di sebuah tempat antara desa Miyakawa dan

benteng Takashima, Kansuke menatap ke rimbun

pepohonan dan merasa melihat seberkas cahaya. Kansuke

menghentikan kudanya, memandang melalui pepohonan.

Cahaya itu menghilang, la kembali mengendarai kuda,

melintasi hutan, namun insting mencegahnya meneruskan

perjalanan. Kansuke membalikkan kuda dan kembali ke

tempat pertama kali ia merasa melihat seberkas cahaya tadi.

Kali ini ia bisa melihat cahaya berpendar dalam

rimbunan pepohonan tersebut dan kembali mengarahkan

kuda ke dalam hutan. Tidak lama kemudian, ia tiba di

sebuah jalan setapak yang sempit, terus mengikuti jalan itu

sampai ke sebuah kuil kecil; dimana Cahaya tersebut

berasal.

Kuil itu sudah tua, lapuk dan begitu kecil sampai hanya

mampu menampung dua atau tiga orang saja. Jika dilihat

pada siang hari, bangunan itu seperti reruntuhan, namun

tertutup salju, dan setidaknya masih berbentuk seperti kuil.

Kansuke berteriak dari punggung kuda, “Ada orang di

sana?”

Tiba-tiba cahaya di dalam kuil padam.

“Ada orang di sana?” kembali ia berteriak. Tidak ada

jawaban dari dalam. Dari atas kudanya, Kansuke mengetuk

pintu kuil dengan gagang pedang. Lalu, sebuah suara jernih

dan indah menjawab, “Siapa itu?”

“Tuan Puteri?” Kansuke berteriak; beberapa saat

kemudian ia mendengar suara yang begitu tenang.


Suara jernih Puteri Yuu menjawab, “Kansuke!?”

Kansuke turun dari kuda, berlari menaiki tangga batu

kuil, berlutut di depan pintu dan bertanya, “apakah Tuan

Puteri baik-baik saja?”

Tanpa menjawab pertanyaan tersebut, ia malah balik

bertanya dengan suara sedikit menuduh, “Mengapa kau

kemari? Bukankah sudah kubilang padamu, Kansuke, tidak

peduli apapun yang kau katakan: aku hendak kembali

kepada Tuan Harunobu. Aku tidak mau tinggal di Suwa.”

“Baik, Tuan Puteri.”

“Kau paham maksudku, Kansuke?”

“Paham, Tuan Puteri,” kansuke begitu ingin masuk ke

dalam kuil dan melihat Sang Puteri dengan mata kepalanya

sendiri. ‘Saya berjanji melakukan apapun keinginan Tuan

Puteri.”

“Kalau begitu, kau boleh membuka pintu.”

Kansuke membuka pintu, menciut dalam kegelapan, lalu

mengambil pemantik api, kemudian menyalakan piring di

lantai yang berisi minyak. Puteri Yuu duduk di atas lantai

basah. Rambut panjangnya tergerai di punggung dan baju

panjangnya terhampar di lantai. Bahkan dalam kuil tua

tertutup salju ini, kecantikan dan keanggunannya tetap

terpancar.

“Tuan Puteri, demi Tuhan, saya ingin Tuan Puteri

kembali ke Suwa. Di sana saya akan mendengarkan semua

permintaan Tuan Puteri,” kata Kansuke.

“Aku sudah tidak bisa berjalan lagi,” jawab Puteri Yuu.


“Apa Tuan Puteri yakin?”

“Kakiku kedinginan, aku bahkan tidak bisa bergerak

barang satu langkah.”

“Saya mengerti, tapi apakah itu berarti Tuan Puteri tidak

dapat berjalan sampai ke Kai di mana Tuanku berada?”

Puteri Yuu tidak menjawab.

“Tuan Puteri sudah makan?”

“Aku belum makan apa-apa sejak kemarin pagi.”

Kansuke menyadari bahwa terakhir kali ia makan adalah

saat bersama Sang Puteri. ia tidak merasa lapar; namun bisa

merasakan betapa lapar Sang Puteri. Kansuke tidak bisa

tahan membayangkan Sang Puteri kelaparan.

“Ayo kita kembali Ke Suwa secepat mungkin dan makan

sesuatu yang hangat, Tuan Puteri.”

Kemudian, Puteri Yuu berkata dalam suara tenang luar

biasa, “Kaki yang dingin atau kelaparan tidak ada

hubungannya dengan penderitaan manusia. Kansuke, kau

tidak mengerti sama sekali.”

“Tentu saja saya mengerti. Saya mengerti semua

penderitaan yang Tuan Puteri alami.”

“Tidak, kau tidak mengerti,” Puteri Yuu menghela napas

dengan keras.

“Tuan Puteri bicara tentang kesedihan berada jauh dari

Tuan Harunobu, bukan?”

“Itu salah satunya, tapi bukan hanya itu,” tambah !

Puteri Yuu, lalu berkata, “Apakah kau mengerti mengapa

aku melarikan diri dan pergi ke tempat seperti ini? Apakah


kau benar-benar mengerti mengapa aku begitu ingin

kembali?”

Kansuke merasa sedikit cemas mendengar nada suara

Puteri Yuu dan segan menjawab.

Sang Puteri melanjutkan, “Itu karena aku ingin

membunuhnya.”

“Apa?” Kansuke tidak dapat memercayai apa yang baru

saja ia dengar. Belum pernah ia terkejut seperti ini

sepanjang hidupnya.

“Tuan Puteri bicara apa?”

“Akan kuulangi sebanyak yang kau inginkan. Aku ingin

membunuhnya!”

Kansuke langsung membayangkan puteri cantik ini

memenggal kepala Harunobu, dan rasa dingin menjalari

punggungnya.

“Jangan khawatir, Kansuke. Kalau sekarang aku hanya

ingin menemuinya, itu saja.”

Kansuke menarik napas lega. Namun tidak bertahan

lama.

“Tapi besok, aku mungkin ingin membunuhnya.”

“Tuan Puteri!”

‘Tapi esok lusa, aku mungkin hanya ingin menemuinya.”

“Tuan Puteri!”

Kansuke tidak mampu berkata apa-apa saking

terperangah dengan kata-kata Sang Puteri. Kansuke tidak

mampu menahan situasi kacau ini lebih lama lagi. Dia

merasa bahwa jika dia tidak mengulangi satu kata itu, Tuan
Puteri, maka Kansuke akan hancur.

“Aku akan senantiasa berada di antara perasaanperasaan

ini selama aku hidup. Aku membenci tuanku

karena dia telah membunuh ayahku dan membuatku

menjadi miliknya, lalu mencoba melepaskanku lagi.

Bagaimanapun, dia tetap ayah Katsuyori dari diriku, dan

berkali-kali mengatakan kepadaku bahwa dia mencintaiku.”

Sang Puteri terisak dalam diam, bahunya bergetar.

Kansuke merasa sangat berduka menyaksikan sosok kecil

Puteri Yuu bergetar sambil terbaring di atas lantai basah

dan dingin.

Kansuke belajar untuk pertama kalinya bahwa cinta dan

kebencian bisa muncul pada saat bersamaan tanpa logika

sama sekali. Pengetahuan ini berada di luar

pemahamannya, dan ia tidak tahu bagaimana

menyikapinya.

Jika Kansuke menahan Puteri Yuu di Suwa, maka

kebenciannya pada Harunobu bisa meningkat. Itu yang

harus ia hindari. Sedangkan, jika ia membawanya kembali

ke Kai dan meninggalkan di sisi Harunobu, tidak ada

seorang pun yang bisa menebak pengkhianatan seperti apa

yang akan muncul darinya. Belum lagi sikap iri dari istri

resmi Harunobu dan kerabat dekat Takeda. Ini dapat

mengancam keselamatannya. Mungkin hal terbaik yang

bisa dilakukan adalah menahan Sang Puteri di Suwa

dengan alasan keamaan, sekaligus berusaha menjaga cinta

Harunobu kepada Sang Puteri.


Satu hari setelah membawa Sang Puteri ke kuil Kan-nonin,

Kansuke pergi menemuinya. Sang Puteri terbaring di

tempat tidur, mengatakan bahwa ia sedang menderita sakit

kepala.

“Bagaimana dengan kaki Tuan Puteri, sudah tidak sakit

lagi?”

“Ya, masih terasa sakit.”

“Sayang sekali. Tuan Puteri tidak seharusnya berbuat

nakal seperti kemarin. Bagaimana dengan badan Tuan

Puteri?”

“Aku hanya lapar.”

“Tuan Puteri bilang lapar, tapi saya dengar malah tidak

mau makan apa pun.”

“Tidak.”

“Itu tidak baik, Tuan Puteri,” ujar Kansuke

mengingatkan.

“Apakah kau tidak ingat janjiku padamu bahwa aku

tidak akan makan hingga aku berada di dalam usungan

yang akan membawaku kembali ke Kai?”

“Ya, Tuan Puteri sudah berjanji, tapi…”

“Aku selalu menepati janji.”

Tampaknya tidak ada yang mampu menggoyahkannya.

“Tuan Puteri, bolehkah saya bertanya? Begitu Tuan

Puteri kembali ke Kai nanti, Tuan Puteri akan menyadari

harus hidup terpisah dari Katsuyori. Tuan Puteri mengerti

hal ini, bukan?”

“Ya, aku mengerti.”


“Apakah Tuan Puteri tidak akan merindukannya?”

“Tidak ada ibu yang tidak mencintai dan merindukan

anaknya.”

“Itulah sebabnya. Tuan Puteri harus tinggal di sini

bersama Tuan Katsuyori. Biar Tuan Harunobu yang

berkunjung kapan saja.”

“Aku tidak bisa mengandalkannya. Dia tidak akan

meninggalkan Kofu kecuali terjadi perang.”

“Tapi jika Tua Puteri kembali ke Kai, berarti harus

meninggalkan Tuan Katsuyori di sini.”

“Aku akan membawa Katsuyori bersamaku.”

“Tidak, Tuan Puteri. Itu tidak mungkin!” kata Kansuke.

Inilah saatnya Kansuke harus memberitahu Sang Puteri

segalanya secara terbuka dan jujur. “Tuan Katsuyori tidak

akan hidup lama di Kofu. Tuan Puteri tidak akan pernah

tahu bahaya seperti apa yang akan dihadapinya.

Mengertikah, Tuan Puteri? Tuan Katsuyori memiliki darah

Suwa. Beberapa keluarga Takeda yakin bahwa darah Suwa

merupakan kutukan bagi Takeda. Oleh karena itu, sesuatu

mungkin saja terjadi dengan bayi Tuan Puteri…”

“Apakah ada rencana seperti itu?”

“Oh, tidak, mungkin tidak sekarang. Kami belum

melihat ada rencana ke arah itu. Tapi sekali lagi, Tuan

Puteri tidak akan pernah tahu siapa yang akan berpikir

begitu. Inilah alasan mengapa kita harus meninggalkan

Tuan Katsuyori di Suwa. Selama berada di Suwa, beliau

akan aman.”
Puteri Yuu menerawang dengan wajah pucat, lalu

berkata “Aku mengerti itu… Meski aku ingin membunuh…

tuanku.”

“Tuan Puteri!” Kansuke segera memotong.

“Kita tidak lagi berada di dalam hutan, di mana kita

benar-benar sendirian. Ada hal-hal yang bisa dikatakan dan

ada yang tidak.”

Mendengar kata-kata Kansuke, Puteri Yuu menutup

rapat mulutnya dengan patuh. Kemudian berpikir sejenak

dan berkata dengan suara rendah, “Kalau begitu, aku akan

meninggalkan Katsuyori di sini.”

“Itu gagasan bagus. Saya jamin, bahwa semua penduduk

Suwa akan menjaganya dengan tulus.”

“Tapi, aku masih ingin pergi ke Kai.”

“Bukankah akan sama artinya jika Tuanku sering

berkunjung kemari, walaupun Tuan Puteri tidak pergi ke

Kai?”

“Apakah dia pasti datang? Apakah kau bisa memastikan

dia akan datang?”

“Jika kita berperang di Wilayah Shinano, maka Tuanku

akan berada di Suwa sepanjang waktu. Akan ada perang

terus menerus selama bertahun-tahun. Kita harus berperang

melawan Murakami Yoshikiyo. Setelah kita

mengalahkannya, kita harus bertarung dengan Nagao dari

Echigo. Untuk itu, markas utama Tuan Harunobu akan

ditempatkan di Suwa.”

Kansuke benar-benar memercayai hal itu. Selama


bertahun-tahun Takeda akan mengalami perang yang sulit

di Shinano bagian utara. Dan demi Puteri Yuu, Kansuke

berpikir untuk terus mengarahkan strategi Takeda menuju

utara sepanjang waktu. Tidak peduli apakah mereka akan

menyukainya atau tidak.

0-o=d.w=-0

Enam

Sebagaimana telah diramalkan Kansuke, Harunobu

harus berperang melawan musuh-musuhnya di wilayah

utara setelah kejadian Puteri Yuu. Melawan Murakami

Yoshikiyo yang pemberani dan selalu berambisi menyerang

wilayah selatan, Harunobu harus terlibat dalam perang

antara hidup dan mati yang terus berulang.

Murakami, yang mengalami peperangan yang keras

melawan Takeda selama perebutan Benteng Toishi, secara

teratur menyusun ulang dan menyiapkan pasukannya, dan

pada tahun Tenbun ke-I6, para prajuritnya mulai

menunjukkan kesiapan mereka di seluruh wilayah Shinano

bagian utara. Menanggapi pergerakan ini, Harunobu juga

memposisikan kembali pasukannya, dan membuatnya

sering berdiam di Provinsi Suwa.

Dalam keadaan seperti itu, Tuan Harunobu dan Puteri

Yuu melanjutkan kehidupan mereka tanpa hambatan.

Kansuke mengunjungi Puteri Yuu sesekali di Kuil Kan-nonin.

“Saya senang mendengar Tuan Puteri baik-baik saja.”

Di saat yang sama Kansuke memandang wajah Puteri

Yuu lekat-lekat. Ketika melihat wajah cantiknya tampak


bahagia dan tenang, Kansuke merasa lega.

“Mohon Beri tahu saya jika ada sesuatu yang tidak

memuaskan,” ujar Kansuke.

“Aku tidak punya keluhan apapun, kecuali memikirkan

Katsuyori yang tidak begitu sehat dan agak sensitif akhirakhir

ini. Aku heran, apakah cuaca Suwa tidak cocok

dengannya.”

Memang benar. Jika diamati, Katsuyori tampak jelas

seorang anak yang lemah. Sering menangis untuk alasan

yang tidak penting. Anehnya lagi, tidak peduli seberapa

keras ia meraung, Katsuyori tidak pernah mengeluarkan

airmata. leski menangis, bergetar dan meliukkan tubuh

sampai ?ajah pucat; ia tidak pernah benar-benar terisak.

Kansuke agak menyukainya karena hal itu. la merasa

bahwa itu menunjukkan kepribadiannya yang kuat, yang

berbeda dengan anak lain.

“Janganlah cemaskan dia, Tuan Puteri. Saat dewasa

nanti, dia akan menjadi seperti Dewa Perang atau Dewa

Api karena memiliki sesuatu yang berbeda dari anak-anak

lain,” Kansuke memberitahu Sang Puteri. la benar-benar

meyakini ucapannya sendiri.

Namun, hanya kepada Puteri Yuu ia berkata demikian.

Di hadapan orang lain, ia berkata bahwa Tuan Katsuyori

benar-benar sakit dan tidak memiliki kepribadian sebagai

samurai yang kuat. Cara ini jauh lebih aman demi

Katsuyori. Hanya Itagaki Nobukata yang melihat topeng

Kansuke. Mungkin karena ia yang menjaga Puteri Yuu dan


Katsuyori, Itagaki perlahan mulai menyukai mereka

berdua. Saat itu bulan Agustus tahun Tenbun ke-I 7.

Harunobu menghancurkan Benteng Shiga di wilayah

Shinano kemudian memasuki dan tinggal di Benteng

Komuro bersama 10.000 prajurit.

Murakami mendapati hal ini sebagai peluang langka, di

mana Harunobu tinggal di Shinano bagian utara, lalu

mengambil keuntungan untuk menentukan pemenang dari

konflik mereka. Bersama 7.000 pasukan ia meninggalkan

Benteng Katsurao menyeberangi Sungai Chikuma. Saat

angin lembut musim gugur terasa, Dataran Uedahara

menjadi lokasi dari perang yang menentukan.

Harunobu keluar dengan sebuah strategi unik yang

diinspirasi dari gagasan Kansuke. Sebuah formasi tidak

biasa yang disebut Shimarino sonae. Itagaki Nobukata

memimpin pasukan pertama. Obu Toramasa, Oyamada

Masatatsu, dan Takeda Nobushige memimpin formasi

kedua. Formasi ketiga dipimpin pengikut Itagaki, Baba

Nobuharu dan Naito Shuri. Satu mil di belakang mereka,

Hara Toratane memimpin formasi terakhir dengan 300

pasukan berkuda.

Perang dimulai pada jam delapan pagi pada tanggal 24

Agustus. Pasukan Itagaki yang terdiri dari 3.500 orang

membentuk enam barisan, maju menuju garis depan, berdiri

menghadapi musuh. Dengan segera mereka mulai

menembakkan anak panah dan senjata api melawan

pasukan Murakami.
Kansuke merasa tenang dengan Itagaki yang memiliki

kepemimpinan yang baik. Ketika tiba saatnya perang yang

tidak teratur, Itagaki akan menunjukkan kelemahannya,

namun di masa awal perang, ia memiliki kekuatan yang

tidak tertandingi, la selalu mendapatkan keuntungan di

awal pertempuran dan membuat serangan luar biasa

terhadap musuh. Hal serupa juga terjadi di perang ini.

Dalam waktu beberapa jam, Itagaki menghancurkan

formasi Murakami dan memimpin pasukannya menyerang

musuh. Sebuah pemandangan yang sangat mengesankan

melihat bagaimana Itagaki menangani pertempuran itu.

Pada akhirnya, medan pertempuran menjadi hening.

Jauh di dataran luas itu, mereka bisa melihat kelompokkelompok

prajurit bergerak terpisah di bagian bukit yang

iterbuka, pasukan Murakami yang dikalahkan dan prajuritjurit

Itagaki yang mengejar mereka. Saat itu agak hening,

‘lak seperti perang yang biasa. Kurang dari satu jam,

Kansuke yang duduk di sebelah Harunobu di puncak bukit

di mana markas utama mereka berada, tiba-tiba berdiri.

“Jenderal itagaki gugur!” Kansuke yakin seseorang

meneriakkan hal itu. Tidak, tidak mungkin! Namun suara

itu semakin mendekat.

“Jenderal Itagaki gugur!”

Kansuke melihat seorang penunggang kuda berlari

menaiki lereng bukit menuju mereka. Kansuke seketika

merasakan angin kencang dingin berhembus tepat ke

jantung. Merasa seolah-olah Puteri Yuu, anaknya


Katsuyori, dan dirinya sendiri terasing dari dunia dan

sendirian di tengah padang yang luas.

“Jenderal Itagaki gugur!”

Penunggang kuda itu mendekat, meneriakkan kata

terakhir itu, lalu jatuh dari kudanya dengan suara

berdebum.

0=odwo=0

Kansuke berdiri tegak di bukit dengan kaki terbuka,

pedang tergenggam di tangan kanan, sembari memandangi

Dataran Uedahara yang membentang di hadapannya.

Prajurit Itagaki, yang sudah kehilangan pemimpin

mereka, mundur ke arah berbeda-beda, mendaki bukit atau

menuruni lembah, tampak seperti gelombang naik-turun.

Kansuke juga melihat kekuatan utama pasukan Murakami

yang memotong formasi pasukan Itagaki menjadi dua dan

sedang menyerbu ke arah posisi Kansuke laksana awan

badai. Seratus atau dua ratus pasukan berkuda membentuk

masing-masing kelompok, dan banyak kelompok seperti ini

sedang menuju arah Kansuke, membentuk gelombang yang

tampak seperti garis hitam. Mereka sudah tidak lagi

memperhatikan pasukan Itagaki yang tercerai berai. Jelas

sekali bahwa tujuan mereka adalah menyerang markas

utama Takeda.

“Dapatkah kita menghentikan mereka dengan formasi

kedua?”

Harunobu, yang mengawasi dataran itu sambil duduk di

sebuah kursi, menanyakan pertanyaan yang sama, yang


juga ditanyakan Kansuke pada diri sendiri. Karena pasukan

Itagaki sudah terpatahkan, maka formasi kedua yang

dipimpin oleh Obu, Oyamada, dan Nobushige, harus

menghadapi musuh.

“Hmm…” Kansuke tidak mampu menjawab.

“Mereka tampaknya tidak bergerak, ya?” kata Harunobu

akhirnya. Prajurit Takeda, yang membentuk konfigurasi

kedua di kaki bukit, di mana markas utama berada, tetap

diam seperti orang menahan napas. Tidak seorang pun

samurai yang bergerak. Harunobu tampak cemas melihat

mereka tidak segera bertindak.

“Aku cukup yakin Jenderal Obu memiliki beberapa

gagasan,” kata Kansuke. Ketika saatnya tiba untuk

menghentikan musuh yang menyerang dengan agresif, Obu

Toramasa bertempur dengan sangat baik. la menunjukkan

kekuatan yang hebat dalam situasi seperti ini. Itulah

sebabnya Kansuke menempatkannya di formasi kedua.

Tiba-tiba, mereka mendengar teriakan perang di kaki

bukit Baik pasukan Oyamada maupun Nobushige

menggerakkan formasi tepat di depan musuh. Di saat

bersamaan, kelompok pasukan berkuda Obu melakukan

serangan di kedua sisi pasukan musuh. Panji-panji Takeda

bersinar seperti pucuk-pucuk rumput ilalang. Teriakan

perang, suara genderang an deru terompet perang bergema

dengan jelas dalam pertempuran yang tengah berlangsung

di bawah sana.

Dalam waktu singkat, dataran tersebut berubah menjadi


ladang pembantaian. Ribuan prajurit dan kuda saling

bertubrukan satu sama lain. Sambil melihat dari atas bukit

di mana markas utama berada, sulit membedakan mana

kawan dan lawan. Sesekali, beberapa pasukan berkuda Obu

bergabung ke dalam perang berdarah itu.

“Tampaknya kita memiliki peluang 50-50 untuk menang.

Namun pasukan kita pasti menang. Mereka akan menang

tapi…” Kansuke mulai berkomentar, dan tiba-tiba dia

berdiri, wajahnya pucat seketika.

“Yoshikiyo akan menyerang ke sini!”

Ya, pasukan Yoshikiyo sedang menuju tempat mereka.

Pasukannya memang kalah dalam pertempuran, namun

ada kelompok terpisah yang datang dari arah berbeda.

Sekitar 300 pasukan berkuda sedang mencoba untuk

membagi formasi pasukan Oyamada menjadi dua. Mereka

terus mendesak, dengan harapan dapat membuka jalan.

Jelas sekali tujuannya adalah markas utama di atas bukit.

“Bagaimana kalau Tuan pindahkan pasukan Tuan tiga

perempat mil?” saran Kansuke, namun Harunobu tidak

menjawab. Harunobu jelas lebih ingin menyerang

ketimbang mundur.

“Tuan harus memindahkan pasukanmu sedikit!” kata

Kansuke lebih keras. Sambil mempertimbangkan situasi,

mereka masih punya formasi ketiga yang dipersiapkan oleh

Baba Minbu dengan Naito Shuri di bagian belakang.

Harunobu tetap diam. la mungkin sedang berpikir bahwa

betapa memalukannya sebagai seorang pemimpin perang,


sampai dikejar-kejar oleh musuh yang hanya terdiri dari 300

pasukan berkuda.

“Jika Tuanku mundur sekarang, kelompok Murakami

Yoshikiyo bisa diserang.”

“Oleh siapa?”

“Pasukan berkuda kita, atau pasukan Naito. Pasukan itu

ada di sana untuk tujuan ini. Tuanku, ini kesempatan yang

bagus untuk mereka menyerang Yoshikiyo.”

Kansuke merasa putus asa. 300 pasukan berkuda sedang

berpacu mendaki bukit dengan sangat cepat. Jika mereka

mundur, kelompok pasukan berkuda mereka, yang terkenal

memiliki keahlian paling baik di antara prajurit Takeda,

akan menyerang musuh dari sisi kanan sementara prajurit

Naito akan menyerang dari sisi kiri, sehingga mereka dapat

mengalahkan semua pasukan musuh.

“Tidak bisakah kita menyerang mereka di sini, di markas

utama?” kata Harunobu.

“Tentu saja bisa, namun apa untungnya? Kemudian, apa

gunanya strategi yang sudah dijalankan? Kita membentuk

formasi ketiga justru untuk tujuan ini. Pasukan berkuda dan

prajurit Naito lah yang seharusnya menyerang mereka.

Tuanku tidak akan mendapatkan kehormatan apapun jika

menyerang mereka.”

“Baiklah, kita akan mundur!” Akhirnya Harunobu

menyetujui dengan setengah hati.

Genderang ditabuh untuk mengumumkan gerak maju

pasukan Naito. Di saat bersamaan, panji Furin Kazan


berkibar dan panji-panji di belakang para prajurit di markas

utama, mulai bergerak perlahan ke lereng bagian timur

bukit tersebut, kansuke ingin bergerak secepat mungkin.

Harunobu malah bergerak lambat dan enggan.

Kansuke, yang sempat melihat ke dataran rendah di

bawah sana, terkejut, la melihat sekelompok pasukan

berkuda berlari di kaki bukit. Itu kelompok pasukan musuh.

Pasukan cadangan sekutu mulai berpindah ke posisi

mereka.

“Tuanku!” Kansuke memacu kudanya tepat di sebelah

kuda Harunobu. “Kita terlambat untuk mundur. Musuh

sudah mematahkan formasi di kaki bukit. Yoshikiyo jelas

sekali sudah menetapkan keputusan untuk bertarung

langsung dengan pasukan Tuanku. Dalam situasi seperti ini,

Tuanku harus melakukan apa pun yang saya sarankan, atau

kita akan berada dalam masalah.”

Setelah mengatakan hal itu, Kansuke memerintahkan

pasukan Hatunobu untuk bersiap menyerang kembali

pasukan musuh, la tidak dapat lagi memberi perhatian

kepada Harunobu. Kansuke tetap berada di sebelah

Harunobu, berdiam diri sejenak.

Di puncak sebuah bukit kecil, sekitar dua setengah mil

jauhnya, pasukan berkuda musuh muncul berlari menuruni

lembah. Mereka akan segera mendaki ke tempat Harunobu

berada. Hanya ada sedikit waktu sebelum pasukan berkuda

cadangan dan pasukan Naito tiba dari formasi ketiga.

Segera, teriakan perang dan suara derap kuda muncul.


Tempat itu berubah menjadi ladang pembantaian dan

pertempuran mematikan.

Kansuke mencoba menuruni bukit dengan 100 orang

pasukan berkuda yang mengelilingi Harunobu. 60 orang

pasukan berkuda musuh mengelilingi Harunobu; di saat

yang sama, 100 orang pasukan berkuda di sekitar mereka

tercerai berai. Setelah itu, pertempuran berkembang

menjadi kekacauan sepenuhnya.

Kansuke tetap tinggal di samping Harunobu dan

bertarung dengan dua orang penyerang, menjatuhkan

mereka dari kudanya, la berkeliling mencari-cari Harunobu

yang pada saat itu, sudah bergerak menjauh. Kemudian ia

melihat Harunobu tengah bertarung pedang dengan seorang

pasukan berkuda musuh. Harunobu berada sekitar 150 kaki

jauhnya, menunggang seekor kuda hitam dan baju perang

putih bergaris biru—wama dari bunga unohana—dan helm

perang Suwahosho. Kedua prajurit bertarung dengan

anggun seperti sedang menari Noh, sambil mengendarai

kuda dengan tenang. Ketika mereka mendekat satu sama

lain, mereka terlibat dalam pertarungan kuat. Keduanya

mendapat kemenangan dan kekalahan yang sama.

Kansuke berpikir, penunggang kuda musuh itu pastilah

pemimpinnya, Murakami Yoshikiyo. Gaya bertarung yang

berani dan khas itu jelas sekali milik Murakami. Mereka

bukan lagi pemimpin dari masing-masing pasukan. Sematamata

dua petarung yang mengincar nyawa musuh. Tampak

seolah terasing dari pertempuran yang sedang berlangsung,


jauh dari ladang pembantaian, hanya mereka berdua

bertarung mempertaruhkan nyawa tanpa gangguan.

Di antara Kansuke dan kedua petarung itu, ratusan

prajurit musuh dan samurai sekutu terlibat dalam

pertempuran. Kansuke menunduk rendah di punggung

kudanya lalu ^mengarahkan kepala kuda menuju kedua

pemimpin perang ?tersebut. Rasa sakit menjalar di bahunya,

la pasti kena Hbrang dari samping.

Sementara Kansuke menenangkan diri, banyak prajurit

mereka dan musuh yang mengelilingi Harunobu dan

Yoshikiyo kembali. Pasukan berkuda cadangan baru saja

tiba di tempat tersebut. Kuda Yoshikiyo melompat tinggi,

dan Kansuke melihat Yoshikiyo terjatuh ke tanah. 60 orang

pasukan berkuda musuh berlari dan berusaha

mengangkatnya kembali. Dengan cepat mereka

membopong ke atas kuda mereka dan berlari menuruni

bukit dalam satu kelompok. Begitu cepatnya mereka

menyerang, sedemikian cepat pula mereka mundur.

“Tuanku,” Kansuke mendekat ke Harunobu.

“Sial! Aku kehilangan dia!” kata Harunobu.

“Dia juga pasti berpikir hal yang sama, Tuanku.”

Kansuke mengumpulkan pasukan Harunobu di

sekelilingnya, lalu berlari menuruni bukit. Teriakan perang

yang sama terdengar. Pasukan berkuda cadangan dan

prajurit Naito pasti sudah mulai melakukan pengejaran.

Ketika pertempuran berakhir, hujan mulai turun. Di

tengah rinai hujan, penghitungan kepala-kepala yang gugur


dicatat. Pihak musuh tercatat 2919 orang, dan dari pihak

mereka 700 orang.

Tidak lama setelah pertempuran, seluruh pasukan

berkumpul bersama meneriakkan jeritan kemenangan;

Kansuke maju ke depan Harunobu dan berkata, “Tuanku!”

“Jangan bicara dulu,” Harunobu memotong. Mengira

bahwa Kansuke akan menasehati, walaupun Kansuke tidak

bermaksud berbuat demikian.

“Yoshikiyo tidak akan pernah kembali lagi. Aku

berharap perang Tuanku berikutnya adalah melawan

pemimpin besar di sisi lain wilayah Murakami.”

“Siapa itu?”

“Nagao Kagetora,” kata Kansuke.

“Kenapa begitu?”

“Saya yakin Murakami melakukan serangan finalnya

hari ini. Jelas bukan serangan biasa. Namun kini, setelah

kalah strategi, dia tidak akan menyerang kita sendirian lagi.

Dia akan datang dengan pasukan Nagao Kagetora, dan

sasarannya adalah Tuanku.”

Hanya itu yang ingin disampaikan, lalu Kansuke mohon

diri dari hadapan Harunobu, membawa kepala Itagaki di

lengannya, menaiki kuda dan meninggalkan medan

pertempuran tersebut untuk kembali ke Suwa, sambil

memimpin sisa pasukan Itagaki. Kesedihan atas kehilangan

Itagaki, yang terlupakan selama berlangsungnya perang

dahsyat itu, telah kembali dan merasuk ke dalam jiwa

Kansuke bersama angin yang membawa bau darah


kematian.

Pertempuran Uedahara menciptakan jurang perbedaan

yang begitu besar antara Takeda Harunobu dan Murakami

Yoshikiyo. Baik wilayah Nishina dan Sarashina menjadi

wilayah Harunobu, sehingga semua benteng di wilayah

terebut seperti Kosaka, Inoue, Men-nai, Suda, Takanashi,

dan Seba jatuh ke tangan Harunobu. Takeda juga

menguasai Benteng Kotani, dan kekuatan Takeda

meningkat secara signifikan.

Di pihak lain, kekuatan Murakami menurun tajam

setelah pertempuran Uedahara dengan gugurnya para

samurai tingkat tinggi yang dimilikinya, dan membuatnya

tidak bisa lagi mengumpulkan kekuatan atau berdiri di atas

kaki sendiri.

Harunobu mendapat dua luka dari perang ini tapi

kemudian sembuh dengan cepat. Kansuke menambahkan

beberapa sayatan pada sosoknya yang sudah unik itu,

namun sayatan tersebut juga sembuh dengan cepat.

Di akhir September, satu bulan setelah pertempuran

Uedahara, upacara kematian besar-besaran untuk Itagaki

diadakan di Suwa. Putera resmi Itagaki, Itagaki Yajiro

Nobusato, mewarisi posisi ayahnya dan mulai memerintah

wilayah Suwa. Angin musim gugur di tahun Tenbun ke-17

terasa begitu dingin bagi jiwa Kansuke. la tinggal di

Benteng Takashima setelah pertempuran tersebut tanpa

kembali ke Suwa untuk persiapan pemakaman Itagaki dan

upacara-upacara keagamaan yang mengikutinya.


Kematian Itagaki merupakan pukulan besar bagi Kansuke.

Itagaki tidak hanya selalu berada di sisi Kansuke, dialah

yang membantu Kansuke untuk bekerja pada Harunobu,

maka ia bukan musuh bagi Kansuke. Itagaki adalah satusatunya

orang yang memahami kepribadian Kansuke

sebagai seorang perencana maupun penyendiri yang tidak

mau berkompromi. Puteri Yuu adalah orang yang juga

mendapat pukulan terberat atas kematian Itagaki. Hanya

Itagaki, Harunobu dan Kansuke yang mengetahui alasan

sebenarnya ia mau menjadi selir Harunobu dan pindah ke

Kuil Kan-non-in di Suwa. Jadi, wajar jika Kansuke merasa

benar-benar terasing dan kesepian tanpa itagaki.

0=odwo=0

Pada 11 Oktober, tiga orang pembawa pesan tiba satu

persatu dalam jangka waktu yang berdekatan. Mereka

dikirim dari kediaman Harunobu di Kofu dan membawa

perintah sebagai berikut: “Nagao Kagetora dari Echigo

sedang merencanakan untuk pergi ke wilayah Shinshu

bersama satu pasukan besar, setelah menerima permintaan

dari Murakami Yoshikiyo. Besok, pada tanggal 12, jam 4

sore, aku akan meninggalkan Kofu dengan pasukan

utamaku. Pada tanggal 15 atau 16, kami akan tiba di

Komuro di mana kami akan mendirikan kemah dan

menyambut pasukan Kagetora di Un-no-Daira. Pasukan

Itagaki Yajiro di Suwa harus berangkat menuju Komuro

bersama dengan Kansuke.”

Apa yang telah dikatakan Kansuke kepada Harunobu


tepat setelah kemenangan mereka di Dataran Uedahara

menjadi kenyataan dalam waktu dua bulan.

Kagetora baru berusia 18 tahun, namun sudah terkenal

dengan keberaniannya sebagai Penguasa Echigo. Hingga

saat itu, karena Murakami berada di antara mereka,

Harunobu dan Kagetora belum punya kesempatan bertemu.

Sekarang Murakami telah ditaklukkan, dan dua pasukan

besar Kagetora dan Harunobu harus bertarung dalam

pertempuran yang menentukan, tidak peduli apakah ia

menyukainya atau tidak. Kansuke sudah lama tahu bahwa

mereka akan menghadapi situasi ini suatu hari nanti,

namun tidak pernah menyangka hari itu akan datang

secepat ini.

Benteng Takashima, setelah kedatangan pembawa l

pesan tersebut, berubah menjadi kota persiapan. Kansuke

Imemimpin keseluruhan prosesnya, menyemangati Jenderal

muda baru Yajiro Nobusato. Mereka putuskan untuk

berangkat keesokan paginya, tanggal 12, saat fajar.

Malam itu, sekitar jam 8, Kansuke merasa ingin

mengunjungi Puteri Yuu. la sendiri tidak tahu mengapa, di

tengah kesibukan ini, di malam persiapan menuju medan

tempur, Kansuke memiliki firasat harus menemui Puteri

Yuu, namun khawatir untuk membawa kudanya menuju

Kuil Kan-non-in.

Begitu gagasan tersebut terbersin di pikirannya, Kansuke

tidak dapat menunggu lebih lama lagi. la membawa

kudanya keluar dan memacunya seorang diri sepanjang


tepian danau Suwa. Sama halnya ketika Kansuke datang ke

Benteng Takamatsu sebagai pembawa pesan, api unggun

dipasang di sekitar danau dan nyala api terpantul di airnya.

Angin musim gugur terasa dingin di pipinya.

Kansuke tetap memacu kencang kudanya tanpa istirahat

dan tiba dengan cepat di Kuil Kan-non-in Kosaka.

Kediaman di antara pepohonan yang lebat itu tampak

hening, dan sepertinya semua orang sudah tidur. Kansuke

mengendap-endap ke pos jaga di sebelah rumah pendeta.

Dua orang samurai, yang bertugas jaga malam tampak

terkejut.

“Tidak ada perkembangan baru?” tanya Kansuke.

“Tidak, Tuan.”

“Pastikan kalian berkeliling di sekitar rumah.”

“Ya, akan kami lakukan, Tuan.”

“Bagaimana dengan Tuan Puteri?”

“Dia sudah beristirahat di dalam kamarnya, Tuan.”

“Baiklah kalau begitu.”

Kansuke bersiap untuk kembali, la sangat ingin

menengok ke dalam ruangan Sang Puteri, hanya untuk

melihat, namun karena mendengar Sang Puteri sudah

masuk ke kamar tidurnya, maka Kansuke memutuskan

untuk pulang tanpa bicara dengan Sang Puteri. Tidak ada

hal khusus yang harus disampaikan, la juga tidak memiliki

alasan untuk datang, la hanya ingin bertemu saja. Para

samurai mengantar sampai ke kaki bukit, di mana Kansuke

kemudian menaiki kudanya.


“Pastikan kalian menjaga Tuan Puteri,” kata Kansuke

dan kembali melalui jalan yang sama ketika datang.

Saat memasuki sebuah desa kecil sekitar dua mil dari

kuil, ia melihat sebuah iring-iringan sekitar 20 orang

melewatinya. Mereka terlihat seperti para samurai tangguh

membawa sebuah usungan bersama sejumlah pelayan

perempuan di antara mereka.

Karena para samurai mengelilingi usungan itu, biasanya

orang yang berada di dalam usungan itu pasti berstatus

tinggi. Melihat pelayan perempuan menandakan bahwa ada

perempuan di dalam usungan. Kansuke merasa aneh. Jika

seseorang dengan status seperti itu lewat, Kansuke yang

tinggal di Benteng Takashima harusnya diberitahu.

Lagipyi^ saat itu sudah tengah malam. Sepertinya ini

merupakan perjalanan yang dirahasiakan.

Siapa dia? Kansuke mengikuti mereka di atas kudanya

dari jarak yang aman untuk bisa mengawasi, sekitar seratus

meter di belakang, menjaga agar tidak terlalu dekat atau

tertinggal jauh.

Iring-iringan tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah

pertanian. Usungan tersebut dibawa masuk ke dalam

halaman depan rumah pertanian yang letaknya sedikit jauh

dari jalan.

Kansuke turun dari kuda, mengikatnya ke sebuah pohon

pdi sisi jalan, lalu memasuki bangunan tersebut dari pintu

samping. Ketika mendekati rumah utama, di mana cahaya

bersinar dari dalam, pintu masuk bergeser membuka.


Seorang perempuan muda sedang duduk di atas lantai kayu

yang lebih tinggi. Beberapa langkah di belakang, tiga orang

samurai dan seorang perempuan tua berlutut di lantai

tanah. Orang-orang di dalam rumah itu semuanya

berkumpul di sudut ruangan berlantai kayu, dan seorang

perempuan yang tampak seperti istri dari pemilik pertanian

sibuk menghidangkan teh kepada perempuan muda yang

duduk di lantai kayu yang lebih tinggi.

Kansuke mengamati perempuan muda itu. Tampak lebih

tua dua atau tiga tahun dari Puteri Yuu. Mungkin berusia

kurang-lebih 20 tahun. Kansuke merasa bahwa perempuan

itu tenang dan lembut. Setiap kali menghirup teh, matanya

melihat ke sekeliling rumah dengan rasa ingin tahu.

Perempuan itu tidak memiliki kecantikan atau keanggunan

seperti Puteri Yuu, namun tetap saja Kansuke terpesona

oleh kecantikannya. Pipinya yang bersemu merah tampak

penuh, dan mata besarnya yang polos membuatnya seperti

sedang bermimpi. Kecantikan yang berlawanan dengan

Puteri Yuu. Kecantikan Puteri Yuu menggairahkan,

sementara kecantikan perempuan itu penuh keceriaan.

“Tuan Puteri, sudah siap untuk berangkat?”

“Ya.”

“Atau Tuan Puteri ingin tinggal sedikit lebih lama?”

kembali ia ditanyai oleh si perempuan tua.

“Ya,” ia mengulangi tanpa mengubah ekspresi. Sambil

memandangi dengan penuh kekaguman, Istri pemilik

rumah telah beberapa kali menawari teh segar. Puteri muda


tersebut mengangkat cangkir teh segarnya, ia memegang

beberapa saat dengan kedua tangan, seperti hendak

menghangatkan, namun tidak diminum. Kemudian, Sang

Puteri kembali menaruh cangkir di lantai dan berkata,

“Sudah cukup, terima kasih.”

la tersenyum penuh terima kasih kepada istri si pemilik

rumah pertanian itu.

Siapakah dia? Dia pasti berasal dari keluarga yang cukup

berkuasa, tapi ke mana dia hendak pergi?

Tidak lama kemudian, ketika tiga orang samurai dan

perempuan tua itu berdiri, perempuan muda itu pun berdiri

perlahan. Hanya si perempuan tua yang tertinggal di

belakang.

“Saya mohon maaf sudah mengganggu tanpa

memberitahu, namun karena Tuan Puteri ingin minum teh

hangat, kami tidak punya pilihan lain. Ini sekedar

mengungkapkan rasa terima kasih kami,” kata si

perempuan tua sambil meletakkan uang yang dibungkus

lembaran kertas kecil di atas lantai. Si perempuan pemilik

pertanian itu menolak menerima, namun si perempuan tua

tidak mengindahkan dan malah bertanya, “Apakah ada

jalan lain menuju Nirasaki tanpa melalui Benteng

Takashima?”

Saat si istri petani menjelaskan bagaimana menuju ke

sana, Kansuke tidak menyimak, namun pertanyaan

perempuan tua itu “tanpa melalui Benteng Takashima”

menarik perhatiannya. Kansuke beranjak pergi dengan


segera melalui pintu tersembunyi di sebelah ruang

penyimpanan dan keluar kembali ke jalan. Iring-iringan

sudah mulai berjalan kembali, dan si perempuan tua yang

keluar terakhir harus berlari-lari untuk menyusul sekitar

seratus meter di depan. Kansuke meninggalkan kuda,

berlari menyusul perempuan tua itu.

“Tunggu sebentar,” panggil Kansuke. Perempuan itu

menoleh terkejut. Tiba-tiba Tangan Kansuke meraihnya,

lalu ia terjatuh ke dalam rengkuhannya. Kansuke membawa

perempuan tidak berdaya itu ke tempat berumput, lalu

memaksanya duduk di tanah yang basah oleh embun

malam. Kemudian Kansuke mengguncang tubuh

perempuan itu dengan keras.

“Aku tidak bermaksud menyakitimu, namun aku ingin

menanyaimu beberapa pertanyaan,” kata Kansuke.

“Siapa kau?” Walaupun perempuan itu tampak

ketakutan, namun nada suaranya terdengar tegas.

Tanpa menjawab pertanyaan itu, Kansuke bertanya,

“Kemana kau akan pergi?”

“Kami menuju Kai.”

“Di mana di Kai?”

“Aku tidak bisa memberitahu, karena kami disuruh oleh

majikan kami.”

“Siapa yang ada dalam usungan itu?”

“Aku tidak bisa memberitahu.”

“Pasti perempuan, kan?”

“Tidak, kau salah.”


“Tidak ada gunanya berbohong padaku. Aku sudah

melihat dengan mata kepalaku sendiri.”

Kansuke merasa tidak mudah berurusan dengan

perempuan ini, sehingga ia berkata, “Jika kau tidak

mengatakan yang sebenarnya, dengan sangat menyesal aku

akan membunuhmu.”

“Demi Tuhan, siapa kau?” si perempuan tua kembali

bertanya. “Apa kau ingin uang?”

Sungguh pertanyaan yang tidak terduga bagi Kansuke,

namun gagasan itu tampaknya terdengar baik baginya.

“Ya, kau benar.”

“Berapa yang kau inginkan?”

“Setelah aku tahu siapa yang berada di dalam usungan

itu, aku akan menentukan berapa.”

Begitu menyadari bahwa Kansuke adalah seorang

pemeras, tiba-tiba perempuan tua itu berubah sikap

memperlihatkan kekuasaan.

“Dia adalah puteri dari Aburagawa Gyobu-no-kami.”

Nada suaranya akan membuat siapa pun menjadi enggan

untuk menyakiti keluarga besar ini. Kemudian ia

memerintahkan Kansuke, “Pergi_ lalu berdiri untuk

menegaskan betapa serius dirinya.

Puteri dari Aburagawa Cyobu! Aburagawa dulunya

merupakan keluarga ternama dan berkuasa di wilayah

Shinano. Namun klan tersebut pasti sudah hancur sekarang.

Kansuke duduk beberapa saat. Puteri Aburagawa sedang

dalam perjalanan menuju Kai, pada malam hari dengan


membawa 20 orang samurai. Dan mereka menghindari

jalan yang akan melalui Benteng Takashima.

Kansuke berlutut dengan tegang. Apa maksudnya ini?

“Tunggu!” Kansuke berteriak kepada perempuan tua itu,

yang bersiap untuk pergi. “Tidak peduli apakah dia seorang

Aburagawa atau bukan. Tidak seorang pun diizinkan

melewati wilayah Suwa tanpa izin, meski jelas sekali kau

memanfaatkan malam yang gelap.”

Perempuan tua itu menjawab dengan keheningan.

“Ketauilah, ini wilayah yang kujaga atas perintah

Tuanku.”

“Kalau begitu, apakah kau berasal dari Benteng

Takashima?” ia mengubah nada bicaranya yang arogan dan

berkata, “Aku sarankan kau agar berhati-hati. Karena kami

juga berada di sini atas perintah dari Tuanmu.”

“Apa?”

“Kami hendak menuju Kofu, atas perintah dari Penguasa

Kofu. Pergilah!”

Kali ini perempuan tua itu mulai berjalan pergi, la

hendak menuju Kai atas perintah Harunobu! Kansuke juga

berdiri, namun tidak memanggil perempuan itu kembali,

ataupun mengejarnya.

Kansuke kembali ke tempat ia mengikat kuda, lalu

menunggangi, menghela dan memacu kudanya, la terus

menambah kecepatannya sampai akhirnya tiba di Benteng

Takashima.

Jumlah api unggun di sekitar Benteng Takashima sudah


bertambah. Ketika ia bisa melihat mereka, Kansuke merasa

harus menenangkan diri. la kemudian berbalik kembali dan

memacu kudanya sekitar satu mil dari benteng, lalu balik

kembali dan berjalan pelan menuju Benteng Takashima.

Ini tidak mungkin! Kansuke dikuasai oleh satu gagasan.

Tubuhnya bersimbah keringat. Tidak, tidak mungkin

Harunobu mengambil puteri Aburagawa sebagai selir

barunya, dan mengabaikan Puteri Yuu yang cantik!

Namun, hanya itu alasan yang bisa dipikirkan. Kalau tidak,

kenapa puteri Aburagawa pergi ke Kai di kegelapan malam?

Jika itu yang sebenarnya, maka Kansuke akan

membunuh perempuan cantik itu. Aku harus

membunuhnya demi Puteri Yuu, Katsuyori dan Takeda!

Tanpa sadar, Kansuke sudah berada di gerbang Benteng

Takashima. Halaman benteng dipenuhi para samurai

berperisai yang berdiri bersisian hingga mereka sulit

bergerak. Api unggun yang tak terhitung jumlahnya

menyala-nyala dan genderang ditabuh terus menerus.

Ketika melewati itu, Kansuke terkenang wajah dan tubuh

Harunobu saat berusia 28 tahun yang muda dan enerjik,

lalu merasa kagum. Apakah ada yang bisa ia lakukan untuk

mencegah perempuan lain selain Puteri Yuu mendekatinya?

Mungkinkan Harunobu memasuki kehidupan rahib? Itu

tidak akan cukup. Apakah ada cara membuatnya

bersumpah menjalani kehidupan sederhana? Kansuke

memikirkan hal tersebut dengan serius. Hingga saat itu,

kilatan mata Harunobu dan tubuh kuatnya, yang seolah


tidak pernah mengalami kelelahan, menjadi sesuatu yang

dikagumi Kansuke. Itu adalah kualitas dalam diri

Harunobu yang senantiasa dirasakan Kansuke. Begitu

menjanjikan dan dapat diandalkan. Namun kini sebaliknya,

kualitas tersebut menjadi masalah yang mengganggu.

Ketika Kansuke berkuda melewati kerumunan yang sesak

itu dan tiba di halaman dalam benteng, dua atau tiga

samurai tiba-tiba memegang tali leher kudanya; salah satu

dari mereka berkata, “Sekarang waktunya ke medan

tempur, Tuan. Pergi dan bersiaplah!”

“Aku tahu!” kata Kansuke sambil meluncurkan tubuh

kecilnya ke atas tanah.

“Ya, aku harus menyingkirkan kehidupan itu, aku harus

mengakhirinya dengan kedua tanganku,” Kansuke berkata

begitu keras hingga orang-orang di sekitarnya terkejut.

Dalam pandangan Kansuke, Penguasa muda Echigo,

Nagao Kagetora, yang wajahnya belum pernah ia lihat, dan

wajah puteri Aburagawa, saling bercampur. Membuatnya

bingung; siapakah di antara mereka yang akan segera

menjadi musuhnya?

0o-d^w-o0

Tujuh

Saat itu waktu sore di hari ke-16 ketika prajurit Itagaki di

Suwa tiba di perkemahan di Komuro. Pasukan utama dari

Kofu sudah menempatkan panji pertama di kaki bukit

sebelah utara pada hari sebelumnya, menunggu pasukan

sekutu dari kota benteng lainnya.


Begitu Kansuke tiba di Komuro, ia langsung mendatangi

Harunobu.

“Terima kasih sudah datang. Apa yang kau katakan pada

pertempuran di Uedahara benar adanya.”

Cara Harunobu berkata tampak beda dari biasanya.

Tidak ada intensitas normal dalam suaranya. Terdengar

sungkan dan lembut.

Ketika Kansuke melihatnya, begitu banyak yang ingin ia

sampaikan pada Harunobu. la ingin menanyakan

perbuatannya menyangkut Puteri Aburagawa, melupakan

tanggung jawabnya dari Puteri Yuu dan Katsuyori.

“Tuanku, saya harus menginagtkan bahwa sangat

penting untuk hanya memikirkan perang ini saja sementara

waktu.”

“Memang Cuma itu yang aku pikirkan” jawab Harunobu

tanpa berkedip.

”Tidakkah Tuanku memikirkan hal lain”

”Tidak sama sekali”

”Tuan Aburagawa ..” Kanasuke memulai. dan pada saat

yang sama mengangkat wajah menatap Harunobu lekat

lekat.

”Ada apa dengan Aburagawa.?”

“Puteri dari Aburagawa Gyobu-no-kami…”

“Apa!?”

Dari ekspresinya, tampak jelas bahwa Harunobu belum

pernah mendengar tentang puteri itu sebelumnya.

“Jadi, ada apa dengannya?”


“Tuanku tidak mengenalnya?”

“Tidak sama sekali.”

“Tidak pernah bertemu dengannya?”

“Tidak.” Kemudian menambahkan dengan tenang, “Ada

apa denganmu hari ini, Kansuke?” lalu tertawa.

Keraguan yang menyelimuti Kansuke sejak malam itu

hilang seperti kabut yang lenyap saat matahari terbit.

Kansuke tiba-tiba merasa gembira.

“Apa istimewanya Puteri Aburagawa?” tanya Harunobu

lembut.

“Oh, tidak, tidak ada sama sekali, saya hanya mendengar

sesuatu tentangnya, itu saja.”

“Aku sering berpikir bahwa aku harusnya bertemu

dengan keluarga Aburagawa. Aku kadang memikirkan hal

itu namun mikir tempat melakukannya, Jika dia punya «om

«mg putni. aku tidak keberatan bertemu dengannya”

Tidak, tentu Saja tidak pikir Kansuke yang mengetahui

dengan pasti apa yang akan terjadi jika Haronobu

berkesempatan bertemu perempuan muda yang begitu

cantik.

“Hmm. kita akan sibuk berperang selama beberapa lama.

Tuanku,” Kansuke mencoba mengubah arah pembitaraan

saat memandangi jenderal muda yang dipenuhi oleh

kekuatan itu.

“Jadi, akhirnya, kita akan berperang melawan Nagao

Kagetora. Dari mana kita mulai?” Kansuke bertanya

kepada Harunobu.
“Bagaimana kalau Un-no-Daira?”

“Itu tempat yang bagus.”

Kansuke merasa bangga dengannya. Bahagia mendengar

Harunobu mengatakan Un-no-Daira tanpa sedikit pun

keraguan.

Karena ini merupakan pertempuran di wilayah Shinano,

wajar baginya menginginkan untuk pertama kali menyerang

musuh, namun sebaliknya, Harunobu jelas sekali ingin

membiarkan musuh memulai gerakan pertama dan

kemudian menghentikan mereka di Un-no-Daira. Ini

membuktikan bahwa Harunobu punya keyakinan pada

kemampuan tempurnya.

Dalam pandangan orang lain, Kawanakajima adalah

lokasi yang paling tepat untuk perang tersebut. Pertempuran

di Kawanakajima bisa menjadi hal yang menentukan bagi

kedua belah pihak karena kondisi geografisnya. Bagi

Harunobu, menghindari pertempuran di Kawanakajima

membuktikan bahwa ia bersikap hati-hati. Mengatur

pertempuran di Un-no-Daira adalah pilihan yang bagus,

karena akan menguntungkan kedua belah pihak untuk

mundur, jika terpaksa.

Meski persiapan sudah ttlesai dilakukan untuk

menyongsong perang yang akan segera meletus, Harunobu

tidak menggerakkan pasukan Mereka habiskan hari ke 16,

17, 18 dan 19 di Komuto tanpa melakukan apa apa

Pada malam ke 18, mereka mendengar terompet perang,

Rervana mereka adalah untuk segera memulai pertempuran


begitu tiba di Un-no Daira. Pada saat yang bersamaan

dengan tibanya pasukan Kai. pasukan musuh dan Echigo

seharusnya juga muncul di tempat yang sama.

0=odwo=0

Menjelang fajar, tiga orang samurai; Kansuke, Obata

Toramori dan Hara Toratane meninggalkan perkemahan

dan memacu kuda ke garis depan untuk mengumpulkan

informasi mengenai musuh. Inilah pertama kalinya

Harunobu memerintahkan tiga samurai tingkat tinggi untuk

bergabung bersama dalam satu misi Mereka berkuda dalam

keheningan, saling menjaga jarak sekitar dua meter di

antara kuda masing-masing. Kansuke berada di depan, la

tahu pasti apa yang dipikirkan samurai lainnya. Kansuke

berpikir bahwa mereka pasti bertanya-tanya mengapa

Harunobu mengutus mereka bertiga untuk berpatroli,

padahal satu orang saja sudah cukup. Dua samurai selain

Kansuke memang tipe orang yang tidak merasa puas jika

tidak ditunjuk melakukan patroli seorang diri.

Namun Kansuke merasa sangat puas dengan tindakan

Harunobu yang berhati-hati.

“Tuan kita sudah memiliki pengalaman dalam

menghadapi siapapun musuhnya, bukan?” Kansuke

menghentikan kudanya, dan berbalik menghadap Hara

Toratane

“Kau benar. Jika menyangkut matalah strategi, tidak

seorang pun mampu menandingi kemampuan beliau,”

Jawab Toranate yakin. Kansuke, bagaimanapun juga,


berpikir bahwa dirinya jauh lebih unggul soal strategi,

Namun, melihat kewaspadaan Harunobu yang belum

pernah tampak sebelumnya, Kanseke merasa puas dengan

perkembangan Ini.

Saat fajar merekah, mereka berpencar. Kansuke memacu

kudanya kencang-kencang mengikuti Sungai Chikuma yang

tidak memiliki tempat berlindung. Jauh di depan sana, la

bisa melihat samar samar beberapa pasukan berkuda dalam

kabut. Mereka adalah patroli pasukan musuh. Kansuke

kadang memasuki kabut, seiring suara derap kaki kudanya

menggema di bebatuan. Ketika kabut menghilang, tidak

terlihat seorang pun. Mereka pasti sudah mundur kembali.

Kansuke mendaki bukit dari pinggir sungai. Dan sana ia

bisa melihat sebaris hitam orang-orang dengan kudanya

sedang menuju posisinya sekarang.

Kansuke menghentikan kuda dan mengawasi dengan

penuh minat. Mereka adalah pasukan Nagao Kagetora

yang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh Kansuke. Inilah

musuh yang suatu hari nanti harus mereka kalahkan, pikir

Kansuke. Cara mereka menggerakkan pasukan begitu

hening jika dibandingkan dengan pasukan Kai. Teknik

mereka tidak umum dilakukan, di mana bagian utama

sebuah pasukan dibuat tidak terlihat. Kagetora membuat

bagian utama pasukannya bergerak dengan cara yang hebat

dan anggun dalam pandangan mata orang lain yang

melihatnya.

Komandan perang mereka, Tuan Kagetora, baru berusia


18 tahun. Satu dekade lebih muda dibanding Harunobu.

Kansuke mengawasi pasukan yang dipimpin jenderal muda

itu; melihat musuh berbaris dalam kegembiraan begitu

mereka bergerak maju, mengikuti kelokan yang sama

dengan sungai yang berliku. Karena aliran Sungai Chikuma

begitu alami, pasukan Echigo juga berbaris dalam garis

yang alami, dengan fleksibilitas dan kelembutan seperti air

sungai.

Sudah jam sepuluh pagi ketika Kansuke kembali ke

Harunobu. la berada di hutan cedar, sekitar 300 meter dari

dataran sungai Chikuma. Harunobu sudah turun dari

kudanya dan duduk di sebuah kursi. Baik Hara Toratane

dan Obata Toramori sudah tiba lebih dulu, duduk di depan

Harunobu, menunggu kedatangan Kansuke.

“Katakan padaku apa yang telah kau lihat, Kansuke,”

Harunobu bertanya sebelum Kansuke sempat mengatakan

apa-apa.

“Apakah engkau sudah mendengar dari Tuan Hara dan

Obata?”

“Ya, sudah.”

“Saya yakin itu sudah cukup. Mereka tidak akan

membuat kekeliruan. Jumlah pasukan musuh sekitar

6.000.”

“6.000. Tepat seperti yang mereka katakan,” jawab

Harunobu.

“Saya tidak kaget. Musuh kita makin dekat. Mereka

belum membentuk formasi apapun, namun sepertinya


berniat untuk berperang, karena mereka sudah mulai

bergerak. Mereka akan berperang dalam cara yang sangat

alami. Berbeda dari musuh kita sebelumnya. Struktur

pasukan mereka cukup ketat.”

“Toratane dan Toramori juga berpendapat bahwa

mereka akan memulai pertempuran dalam formasi yang

sama dengan barisan mereka sekarang,” komentar

Harunobu puas.

“Saya yakin akan berbeda dari mereka dalam satu hal—

mengenai bagaimana kita harus berperang melawan musuh

seperti ini. Keduanya akan berpendapat babvw® kita akan

menyerang lebih dulu karena kita memiliki pasukan lebih

besar; 15.000 orang. Namun aku yakin akan

menguntungkan bagi kita untuk menerapkan strategi

bertahan ketimbang menyerang. Jika kita bertahan lebih

lama, musuh dengan jumlah yang lebih sedikit itu akan

melemah dan kemenangan menjadi milik kita. Jika kita

serang mereka dengan memanfaatkan jumlah yang lebih

besar, pertempuran akan berubah menjadi pertarungan yang

kacau, dan kita akan kalah. Keberanian Kagetora sangat

terkenal. Jika pertempuran berubah menjadi huru-hara, dia

dan pengikutnya akan mencoba bertarung dengan Tuanku

dan pengikut Tuanku. Di mana Tuanku terpaksa beradu

pedang dengan komandan perang Echigo yang berusia 18

tahun, seperti terhadap Murakami Yoshikiyo dulu.” kata

Kansuke.

Ekspresi kemarahan menjalari wajah Harunobu saat


Kansuke menyebut pertarungan sebelumnya itu, namun ia

berkata, “Aku akan mengikuti saran Kansuke.” Setiap kali

pertempuran terakhir dengan Murakami disebut-sebut,

Harunobu tidak bisa berkutik dan inilah alasan mengapa dia

menyetujui gagasan tersebut.

“Menarik, bukan?” tanya Kansuke, yang begitu

terpesona melihat perang ini. la belum pernah ia melihat

pertempuran menarik seperti itu. Pasukan Oyamada

Masatatsu, yang baru saja menang akan segera dipukul

mundur oleh barisan pasukan musuh yang baru, dan

barisan depan pasukan musuh di sebelah kiri akan

mengalahkan pasukan Oyamada Nobuhige, namun juga

akan segera dipukul mundur oleh barisan baru dari pasukan

sekutu.

Teriakan perang menggemuruh terus-menerus

mengguncang udara di seluruh penjuru dataran itu. Suara

ringkikan kuda begitu liar menggema.

Matahari mulai merangkak terbenam. Ketika matahari

lenyap dari pandangan, dataran Un-no-Daira terasa begitu

menekan. Bukit-bukit bergelombang rendah ditutupi

belukar tinggi, angin musin gugur bertiup di antara mereka.

Kansuke menghela napas keras. “Tuanku,” panggil

Kansuke. Harunobu yang sedang mengawasi perang itu,

tidak menjawab.

la berbalik menghadap Kansuke dan berkata,

“Pertempuran ini belum menghasilkan apa-apa, ya?”

“Tepat sekali, Tuanku.”


“Bagaimana kiranya pertempuran ini akan berakhir?”

“Pasukan dengan jumlah yang lebih besar akan menang.

Jelas sekali lebih banyak pasukan kita yang tetap hidup.”

“Hmm!”

“Ini akan menjadi perang dengan jumlah kematian yang

besar. Musuh memiliki 6.000 prajurit dan kita 15.000. Jadi,

jika tiap pasukan kehilangan 6.000, mereka akan musnah,

sementara pasukan kita masih sisa 9.000 orang.”

Harunobu membuat ekspresi jijik. Jelas tidak menyukai

perang seperti ini.

“Bagaimanapun juga, aku tidak percaya bahwa akan

melakukan pertempuran tanpa pertimbangan seperti itu.

Semakin cepat dia menarik pasukan, baginya. Saksikanlah,

Tuanku. Tidak diragukan lagi dia pasti; akan mundur.”

Kansuke bahkan belum menyelesaikan kalimatnya,

ketika panggilan menakutkan terompet perang memenuhi

padang kelam Un-no-Daira. Pasukan Kai belum pernah

mendengar bunyi panggilan seperti itu. Ketika Kansuke

mendengar, ia berkata cepat, “Permisi, Tuanku,” setelah

membungkuk sedikit kepada Harunobu, ia menaiki dan

memacu kuda menuruni bukit. Bergegas menuju medan

pertempuran.

Bunyi terompet perang masih bergema naik-turun. Itu

pasti tanda untuk menarik mundur pasukan mereka.

Kansuke ingin melihat dengan mata kepala sendiri

bagaimana pasukan Echigo akan mundur. Bukan hal

mudah bagi setiap prajurit untuk mundur dengan cepat di


tengah pertempuran, sementara mereka masih memegang

tombak dan pedang. Inilah yang ingin dilihat oleh Kansuke.

Ketika kuda Kansuke mendaki dataran tinggi kecil, bunyi

terompet berhenti tiba-tiba. Kendati masih berada dalam

jarak sekitar 100 meter dari medan pertempuran ia hentikan

kudanya di sana. Dari dataran tinggi itu, akan lebih , efektif

melihat ke medan pertempuran.

Pada saat itu, Kansuke bisa melihat dua batalion

pasukan berkuda mulai berlari dari perkemahan musuh.

Pergerakan mereka yang penuh keahlian itu sangat

memesona. Setiap pasukan memegang sebatang tongkat.

Sambil memainkan tongkat dengan mahir, mereka memacu

kuda di sekitar medan pertempuran dengan membentuk

setengah lingkaran besar, lalu berlari seperti anak panah

menuju markas mereka dengan kekuatan penuh. Dalam

sekejap, sosok mereka menjadi semakin kecil, hingga

akhirnya lenyap dari pandangan.

Salah seorang penunggang kuda yang memimpin

manuver tersebut pasti komandan perang, Nagao Kagetora,

pikir Kansuke. Dan yang mengikutinya pastilah sang

jenderal yang terkenal berani itu, Usami Suruga-no-kami.

Kansuke tidak dapat memikirkan orang lain lagi yang

mampu memimpin dengan keahlian seperti itu.

Kansuke menyadari bunyi terompet perang yang

menandakan penarikan pasukan juga menggema dari

perkemahan Takeda. Harunobu pasti telah memberi

perintah itu. Menilai dari kepribadiannya, Harunobu pasti


sangat ingin menyerang pasukan musuh yang menarik diri

namun menahan diri dan memerintahkan peniupan

terompet perang. Karena mengenal Harunobu dengan

sangat baik, Kansuke cukup terkejut, namun memang

begitu cara terbaik menanggapi situasi saat ini. Kita harus

menunggu kesempatan lain untuk menyerang Kagetora,

pikir Kansuke. Jika terburu nafsu menyerang musuh yang

mundur, bisa-bisa kehilangan 100 atau 200 orang prajurit.

Itu sama saja menyia-nyiakan nyawa prajurit.

Kemudian dari markas utama Harunobu, di mana

Kansuke baru saja pergi, ia dapat melihat beberapa prajurit

berkuda berlari menuruni bukit. Setiap orang menunduk

rendah di balik leher kuda, berpegang dengan sangat kuat

dan mengangkat belakangnya sehingga tidak terjatuh dari

kuda. Kuda-kuda itu berlari kencang menuruni bukit

bagaikan hembusan angin yang keras. Di kaki bukit, mereka

berpencar ke arah berlainan. Dua penunggang di antara

mereka berlari melewati. Kansuke dengan kecepatan luar

biasa. Karena rendah sejajar dengan leher kuda, panji yang

punggung mereka berkibar oleh angin. Semua penunggang

kuda tersebut dinamai mukade no sashimono, Mereka dari

kelompok khusus samurai yang disebut mukade atau

kelabang. Satu kalimat yang dapat menggambarkan dia

adalah “satu prajurit sama dengan seribu prajurit.” Mereka

dipilih dari kelompok prajurit muda yang sangat terampil

untuk memberikan perintah kepada setiap batalion agar

tidak menyerang musuh yang menarik diri.


Kansuke tetap di sana selama beberapa saat, mengawasiproses

penarikan mundur tersebut. Teriakan perang masih

bergema, namun perlahan menghilang. Sekarang, perang

berakhir dengan cara yang aneh. Matahari masih berada

dibalik awan. Tidak peduli ke mana mata memandang,

dataran itu masih berada dalam keremangan.

Mulai saat ini, Harunobu akan mengalami perang yang

sangat menyakitkan melawan Kagetora, yang mungkin

agak berbeda dari perang-perang sebelumnya. Perang bisa

berlangsung lima atau bahkan sepuluh tahun. Tidak peduli

berapa lama perang ini berlangsung, yang jelas akan

menjadi pertempuran yang sangat bagus. Harunobu 28

tahun, melawan Kagetora yang berusia 18 tahun. terdapat

perbedaan usia yang besar, keduanya sekuat harima; tidak

seorang pun yang lebih kuat yang lain. Selama aku

mendampinginya, Harunobu pasti akan menang, pikir

Kansuke. Beberapa tahun dari sekarang klan Takeda akan

membunuh sang jenderal muda itu. Kansuke membalikkan

kuda, membiarkan berjalan perlahan kembali ke

perkemahan.

0=odwo=0

Pertemuan dua kekuatan dimulai pada pukul dua malam

dan berakhir pada pukul dua siang. Sebuah pertempuran

yang singkat Dalam peristiwa ini, pasukan Echigo

kehilangan 236 prajurit; sementara pihak mereka hanya

kehilangan 132 prajurit. Setelah jumlah kematian dicatat,

pada jam empat sore teriakan kemenangan berkumandang.


Harunobu tetap berdiam diri sampai semua pasukan

berkumpul di medan pertempuran itu; seolah-olah

pertempuran pertama dengan Kagetora telah membuatnya

menjadi seorang pemimpin yang sangat bijaksana.

Pasukan Takeda tetap berada di dataran Un-no-Daira

hingga tanggal 23. Alasannya adalah karena pasukan

Echigo belum mundur dari wilayah itu dan tidak

menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Keesokan harinya,

Harunobu menerima beberapa pesan yang dikirim oleh

kurir para jenderal yang melindungi benteng-benteng

mereka. Masing-masing memberitahukan kemenangan

mereka terhadap musuh dalam pertempuran-pertempuran

kecil. Mereka memanfaatkan perang besar Un-no-Daira,

dan para prajurit yang melindungi benteng yang tuannya

sedang bertempur dengan Takeda Harunobu juga terlibat

dalam pertempuran di wilayah sekitar. Tentu saja, ini

dilakukan atas perintah Harunobu.

Akiyama Nobutomo, misalnya, bertugas

melindunginbenteng dari Ina dan mengalami pertempuran

kecil dengan pasukan Ina. la berhasil menangkap 17 prajurit

berkuda, 25 prajurit lain dan mendapatkan wilayah senilai

3.000 kan. Dua orang jenderal, Amari dan Tada, yang

ditempatkan di Shimo Suwa dan Shiojiri Guchi, dilaporkan

telah menyerang klan Ogasawara di tengah malam dan

menangkap 93 pasukan Ogasawara. Jenderal Komiyama

dan Jenderal Asari, yang ditempatkan di Puncak Fuefuki,

terlibat pertempuran melawan pasukan Uesugi dan


menangkap 33 orang prajurit.

Setelah semua berita itu diterima, seorang pembawa

pesan tiba dari Kofu pada tanggal tanggal 23, di pagi hari.

Pesan tersebut berasal dari orang yang menjadi penanggung

jawab kediaman Takeda, Yamashita Ise-no-kami.

Dikatakan bahwa pada siang hari tanggal 19, terjadi

kebakaran dt . bangunan utama kediaman Takeda, namun

semua orang . bekerja keras mencegah api menyebar, dan

hanya terjadi kerusakan di sebagian kecil bangunan

tersebut. Sebagai tambahan laporan, Yamashita juga

menyebutkan bahwa ketika terjadi kebakaran, dua ekor

burung elang putih besar muncul secara tiba-tiba, dan

hinggap di atap rumah. Burung itu tetap berada di sana

selama tiga hari tiga malam, meskipun api sudah

dipadamkan.

Harunobu menyakini bahwa itu sebagai perlindungan

dewa dari Kuil Iwashimizu di Suwa, bahwa rumahnya

mengalami kebakaran saat ia sedang tidak ada, dan tidak

sampai mengalami kerusakan parah. Dua ekor elang putih

tersebut mungkin jelmaan para dewa. Harunobu

memerintahkan semua orang menghadap ke arah Suwa dan

memanjatkan doa.

Setelah melakukan upacara itu, Harunobu memanggil

dua samurai muda yang sangat mahir berkuda dan

menyuruh mereka untuk menengok kediamannya di Kofu,

dengan membawa surat dari Harunobu. Mereka segera

meninggalkan Un-no-Daira menuju Kai.


Tiba-tiba Kansuke merasa gelisah. Tidak tahu apa

penyebabnya. Beberapa saat setelah kedua samurai muda

Itu pergi, Kansuke melihat sepintas wajah Harunobu.

Tidak ada yang salah dengan mengirim sebuah surat ke

Kofu, tapi kenapa sampai butuh dua orang untuk membawa

dua buah surat? Kansuke merasa ada yang ganjil.

Begitu Kansuke pamit dari hadapan Harunobu, dengan

tenang ia naik kuda dan mengejar kedua samurai yang telah

berangkat ke Kofu. Setelah memacu kudanya selama sekitar

satu jam, dua sosok kecil yang menunggang kuda tampak di

kejauhan.

“Hei,” Kansuke berteriak sekeras mungkin dan mencoba

menyusul mereka. Kedua kuda tersebut tiba-tiba berhenti.

Begitu Kansuke mendekat, kedua penunggang kuda turun

dari kuda, menunggu Kansuke.

“Perlihatkan padaku surat yang diberikan Tuan

Harunobu kepada kalian,” kata Kansuke.

“Baik, Tuan.”

Tanpa ragu mereka menyerahkan surat yang mereka

sampirkan di pinggang.

“Kalian akan memberikan ini pada Yamashita Ise-nokami,

benar begitu?”

“Benar Tuan.”

“Pastikan kalian tidak melakukan kesalahan,” kata

Kansuke sambil melirik kedua amplop tersebut. Satu surat

ditujukan untuk istri resminya, namun satu lagi untuk orang

lain. Ditujukan “kepada Tuan Aburagawa.” Ternyata tepat


seperti yang ia duga’ Harunobu telah berpura-pura

mengatakan tidak pernah bertemu dengari’ Puteri

Aburagawa, bahkan mengaku tidak mengenalinya. Wajah

Kansuke mulai pucat, namun dengan tenang ia

mengembalikan surat itu kepada mereka dan berkata

“Tuanku tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, sekarang

kalian boleh pergi dengan hati-hati.”

Kedua samurai membungkuk hormat dan kembali naik

kuda. Ketika bunyi derap kaki kuda menghilang, Kansuke

baru sadar tengah berdiri di tengah padang ilalang setinggi

pinggang. Di sisi sebelah kanan ada gunung, dan lerengnya

menurun ke arah Kansuke yang sedang berdiri di lembah

itu. Angin bertiup dari lembah, dengan lembut membelai

pucuk-pucuk ilalang. Gadis yang malang, namun Kansuke

berpikir harus segera membunuhnya tanpa diketahui oleh

siapa pun. Tapi di mana Puteri Aburagawa berada?

Mulai sekarang aku harus mengawasi Tuanku siang dan

malam agar tidak lagi mendekati perempuan lain. Aku tidak

akan melepaskan mataku darinya sekejap pun. Dia terlibat

dalam perang yang begitu cerdas, dan sepertinya bukan

hanya dalam perang saja dia bermain dengan cerdasi.

Kansuke mengingat kembali wajah Harunobu pada hari

ketika mereka mendirikan perkemahan di Komuro. Hari

itu, harunobu mengkhianati Kansuke dengan wajah tak

berdosa seolah bahkan tidak akan mampu membunuh

seekor serangga. Akan tetapi, pikir Kansuke, bagaiman aku

dapat menyingkirkan gadis itu?


Kansuke mulai berjalan menyusuri padang ilalang sambil

menarik tali leher kuda. Ini jauh lebih sulit dibandingkan

perang. Ini kesalahanku menyebut nama Puteri Aburagawa

hari itu. Jika aku membunuhnya, Harunobu pasti akan

segera tahu kalau akulah pembunuhnya. Tidak peduli

seberapa mahir aku melakukannya, kecurigaan akan

ditimpakan kepadaku. Kansuke harus lebih serius

menyusun strategi dalam intrik romantis kecil ini

dibandingkan pertempuran yang pernah dihadapi

sebelumnya.

Keesokan paginya, mereka menerima berita bahwa

pasukan Uesugi sudah menarik diri kembali ke Echigo dan

meninggalkan perkemahan mereka di Kawanakajima. Oleh

karena itu, Harunobu memutuskan kembali bersama

pasukannya ke Kofu. Meskipun pertempuran Un-no-Daira

tidak lebih dari sekedar pertempuran kecil yang pertama,

tetapi akibatnya masih terasa dahsyat. Sebelum

pertempuran ini, para penguasa di Shinano bagian utara

seperti Nishina, Un-no, Urano dan lainnya, belum merasa

yakin dengan siapa mereka harus bersekutu, namun kini

setiap penguasa mengirim seorang tawanan kepada

Harunobu dan tunduk kepadanya.

Harunobu mengeluarkan perintah mundur dan berangkat

menuju Kofu pada tanggal 25. Kansuke memposisikan diri

di sebelah Harunobu dalam pasukan utama, bergabung

dengan iring-iringan yang penuh kemenangan. 16.000

pasukan membentuk iring-iringan panjang menuju utara,


melintasi ladang dan pegunungan Shinano di awal musim

dingin.

Karena Kansuke menuju Suwa bersama pasukan Itagaki,

maka ia harus meninggalkan Harunobu di tengah

perjalanan. Saat itu tiga hari setelah mereka meninggalkan

Un-no-Daira.

“Saya akan segera mengunjungi Tuanku di Kofu,” kata

Kansuke kepada Harunobu.

“Aku akan menunggumu. Lain kali jika kita bertemu,

aku ingin mendengar pendapatmu yang lebih mendalam

mengenai strategi terhadap Nagao Kagetora,” ujar

Harunobu dengan riang.

Kansuke, bersama pasukan Itagaki, berpisah dari

pasukan yang sedang menuju Kai di wilayah pegunungan.

Sekitar satu jam setelah Kansuke meninggalkan pasukan

utama, ia berkata kepada pasukan Itagaki bahwa ia lupa

mengatakan suatu hal penting pada Harunobu; karena itu

harus menyusul pasukan utama.

“Apakah Tuan butuh beberapa prajurit untuk

menyertai?” tanya Itagaki. Kansuke menolak dengan sopan.

“Oh, tidak perlu. Aku kira lebih baik berangkat sendiri»

Tapi tolong pastikan untuk menjaga Puteri Yuu.”

Begitu selesai mengatakan hal ini, Kansuke

meninggalkan iring-iringan pasukan Suwa. Saat itu mereka

berada di pinggir sebuah hutan oak kecil di mana daundaun

cokelatnya berdesir dalam tiupan angin.

Begitu sendirian, Kansuke menyembunyikan semua


peralatan berat yang dipakai atau dibawa ke semak belukan

la harus memacu kuda ke Kofu dan memasuki kota benteng

itu paling tidak satu hari sebelum pasukan utama Harunobu

tiba. Tujuannya adalah untuk membunuh Puteri

Aburagawa Gyobu-no-kami.

Kansuke sengaja menghindari jalan utama begitu

memacu kuda dengan kencang, la berada di jalan sempit di

kaki pegunungan kecil. Kansuke tidak bertemu seorang pun

sampai matahari terbenam, la terus memacu kuda,

menginjak dedaunan gugur. Saat hampir mencapai dataran

tinggi yang sepertinya ke selatan, kegelapan musim dingin

telah bersiap menelannya. Sementara Kansuke memacu

kuda, ia mendengar derap kaki kuda di kejauhan, yang

berbeda dari bunyi kudanya. Kansuke turun dari kuda dan

bersembunyi dengan menggunakan kuda sebagai perisai.

Tidak lama kemudian ia melihat tiga penunggang kuda

berlari seperti angin kencang dengan jarak tidak sampai tiga

meter dari kudanya. Agak jelas siapa salah satu pengendara

kuda tersebut, la memiliki gaya menunggang kuda yang

khas; membungkuk ke depan dan menyentuhkan wajah ke

sisi kanan leher kuda. Tidak ada yang mengendarai kuda

seperti itu selain Harunobu. Itu pasti Harunobu. Namun

sulit dipercaya bahwa komandan perang 16.000 pasukan

mengambil tindakan bebas seperti itu. Sungguh tidak

mungkin!

Tetapi Kansuke yakin bahwa penunggang kuda tersebut

pasti Harunobu. Kiranya Harunobu juga berusaha tiba di


kota benteng Kofu lebih dulu dari pasukannya sendiri.

Jenderal muda ini mungkin sudah mencium rencana

Kansuke. La berpikir sejenak dan memutuskan mengambil

jalan lain. Tidak peduli bagaimanapun caranya, Kansuke

harus mencapai Kofu sebelum ketiga orang tersebut. Kalau

tidak, Harunobu akan menyembunyikan Puteri Aburagawa

di mana Kansuke tidak akan menemukannya.

Karena mengenal Harunobu, maka Kansuke khawatir ia

akan melakukan apapun untuk dapat mewujudkannya.

Kansuke selalu merasa tidak sia-sia mengorbankan hidup

demi Tuannya, namun terkadang Tuannya ini juga

menyusahkan. Kansuke kembali berkuda, dan untuk

pertama kalinya menyadari suara jangkrik begitu riuh

memenuhi seluruh penjuru padang luas tersebut.

0o-d.w-o0

Delapan

Hari sudah menjelang pagi ketika Kansuke memasuki

kota benteng Kofu, setelah sehari-semalam memacu kuda

melintasi padang. Seluruh wilayah tersebut masih ielapr

dalam tidur.

la menuju bagian yang lebih rendah di daerah itu, di

mana para pengrajin dan pedagang tinggal, memasuki

kawasan tempat tinggal para samurai. Di tengah kawasan

tersebut, ada jalan lebar mendaki dengan lereng yang tidak

teriaki tajam. Di ujung jalan utama itu terdapat kediaman

Takeda yang sudah berdiri selama beberapa generasi.

Kansuke mengambil jalan kecil sepanjang parit yang


mengelilingi rumah dan tetap mengendarai kudanya pelanpelan

sampai bagian belakang yang letaknya agak tinggi di

atas bukit. Dari puncak bukit, angin dingin langsung

menghempas tepat di wajahnya. Saat lereng semakin terjal,

ia merasakan kudanya melambat. Binatang itu mencoba

berjalan susah-payah dan napasnya berat. Tidak heran, pikir

Kansuke, ia sudah memaksa kudanya untuk berlari

sepanjang jalan dari Shinano ke Kai tanpa memberi makan

atau pun istirahat.

Kansuke tiba di kaki bukit Yogai yang puncaknya

dikelilingi benteng pertahanan, dan terus mendaki

sepanjang lereng bukit. Di tengah perjalanan menuju bukit,

ada sebuah kuil kecil bernama Sekisui, yang seolah sengaja

dibangun tersembunyi di tengah hutan. Kansuke menduga,

pasti di dekat sinilah puteri dari Yukawa Gyobu-no-kami

disembunyikan. Harunobu sering berkuda di kaki bukit ini

sejak kecil. Tidak ada alasan buat siapa pun untuk

mencurigainya, setiap kali ia berkuda di sini; apalagi

wilayah ini berada di arah berlawanan dengan kota benteng,

maka meskipun diam-diam meninggalkan rumah di malam

hari, tidak akan ada yang memperhatikannya. Kansuke

menduga, pasti ada bangunan baru di kawasan kuil

tersebut, dan baru saja selesai dikerjakan, sehingga

Harunobu bisa menempatkan seorang puteri cantik di sana.

Tebakan Kansuke terbukti benar. Bukan di pintu masuk

kuil Sekisui, tapi di arah yang berlawanan, lebih jauh di atas

pegunungan, terdapat sebuah gerbang baru yang tampaknya


seperti pintu belakang menuju kuil. Kansuke pernah

berkuda beberapa kali di sekitar kawasan itu sebelumnya

namun tidak pernah melihat sebuah gerbang pun. Tidak ada

alasan membangun gerbang di sini.

Kansuke turun dari kuda. Suara aliran sungai terdengar

di sekeliling. Kansuke menuntun kuda ke dalam hutan di

arah yang berlawanan dengan kuil Sekisui, berjalan menuju

sumber suara. Sungai itu cukup dangkal, namun air yang

mengalir melalui lereng curam jatuh menghempas ke

bebatuan. Ini bagian hulu dari sungai Ai. Kansuke

membiarkan kudanya memuaskan dahaga, sementara

mengikat tali kekang kuat-kuat ke sebuah pohon di pinggir

sungai, la berpaling ke timur, melihat matahari mulai

merekah dan memecah kegelapan di awal pagi.

Kemudian, Kansuke kembali ke gerbang belakang kuil

Sekisui, mencoba mendorong gerbangnya. Pintu gerbang

dikunci rapat dari dalam. Sambil meraih ke puncak tembok

tanah liat, Kansuke cepat-cepat memanjat. Setelah

melompat kembali ke tanah, ia menyelinap diam-diam di

antara bangunan kuil sampai tiba di bangunan kecil yang

terhubung dengan kediaman utama para rahib melalui

sebuah koridor kecil.

Kansuke mengelilingi bangunan kecil itu satu kali.

Sambil menghindari pintu masuk kecil ke arah bangunan, ia

berdiri di depan beranda yang terbuka.

Kansuke mengetuk pintu dua kali pelan-pelan,

memanggil dengan suara rendah, “Tuan Puteri.”


Tidak ada jawaban dari dalam. Kembali ia mengetuk

pintu dua kali.

“Tuan Puteri.”

Lalu ia merasakan seseorang berdiri bangkit, disusul

suara gesekan kimono sutera. Setelah beberapa saat, sebuah

suara jernih yang berkata, “Jiiya?”

Kansuke tidak menjawab.

“Jiiya?” Bersamaan dengan suara tersebut, pintu bergeser

membuka dari dalam.

“Ini saya, Tuan Puteri.” ujar Kansuke sambil berlutut di

lantai.

“Ah?!” perempuan itu menjerit kaget dan. berkata,

“betapa cerobohnya aku, kupikir kau Jiiya!”

Kansuke mengangkat wajah menatap Sang Puteri. Tidak

salah lagi inilah puteri dari Yukawa Gyobu-no-kami. la

pasti sedang merasakan dinginnya udara pagi karena

merapatkan kimononya dan memegangnya kuat-kuat

dengan kedua tangannya yang lembut.

“Ini saya,” ulang Kansuke.

“Rasanya aku tidak mengenalmu sama sekali. Apakah

kau pembawa pesan dari Tuanku?”

“Benar, Tuan Puteri. Pesan yang sangat penting.”

“Oh, maafkan sudah menyusahkanmu. Biar aku

bangunkan seseorang. Silahkan masuk dari pintu sebelah

sana karena di luar sangat dingin.”

Kansuke bermaksud menebas batang leher Sang Puteri

saat itu juga. la memiliki banyak kesempatan, namun tidak


bisa; karena Sang Puteri tidak memiliki sedikit pun rasa

tidak percaya padanya. Benar-benar sangat lugu.

“Tidak, lebih baik saya bicara di sini saja. Tolong jangan

bangunkan siapa pun,” ujar Kansuke dengan suara serak

yang terkontrol.

“Baiklah, kalau begitu aku tidak akan membangunkan

orang,” kata Sang Puteri. Tangan Kansuke perlahan

berpindah ke gagang pedang. Mendadak ia mendengar

suara tangis anak kecil.

“Sepertinya puteriku terbangun. Dia agak sakit akhirakhir

ini dan terus menangis.”

“Apa?”

Kansuke terhenyak. Tidak terbayang sebelumnya sudah

ada anak dari hasil hubungan Sang Puteri dengan

Harunobu.

“Kapan dia lahir?” tanya Kansuke.

“Anak yang sedang menangis sekarang adalah yang

paling tua.”

“Apa katamu!” Kansuke hampir tidak bisa memercayai

apa yang baru saja didengar. “Yang lebih tua? Berarti…”

“Ya, anak yang lebih tua lahir musim semi lalu, dan

yang lebih muda lahir pada musim panas ini, jadi kami

menamai mereka Puteri Haru dan Puteri Natsu.”

Kansuke sulit percaya bahwa Sang Puteri yang sedang

berdiri di hadapannya saat ini adalah ibu dari dua orang

anak.

“Apakah mereka benar-benar anak Tuan Puteri?” tanya


Kansuke dalam keterkejutannya.

Sang Puteri tertawa dan berkata, “Kau ini ada-ada saja,

Jiiya.”

Sesaat kemudian, Kansuke seperti pelayan tua Sang

Puteri. Karena hari masih gelap, ia tidak dapat melihat

wajah Kansuke dengan jelas; namun dapat merasakan dari

cara Kansuke bicara dan bergerak, bahwa Kansuke seorang

yang berumur.

“Aku kedinginan, ingin menutup pintu. Jiiya, pergilah ke

pintu sebelah sana. Udara dingin tidak bagus untuk bayi

dalam kandunganku ini.”

Mendengar itu, Kansuke tersentak untuk ketiga kalinya.

“Bayi dalam kandungan?”

“Kali ini aku harus melahirkan anak laki-laki, kau tahu.

Karena itu, aku harus baik-baik menjaga diri.”

“Baiklah, kalau begitu saya akan masuk melalui pintu

sebelah sana.”

Kansuke benar-benar kehilangan keinginan untuk

membunuh puteri itu, dan ia sendiri merasa bingung. Tidak

mungkin memaksa dirinya untuk membunuh perempuan

muda yang cantik ini.

Kansuke tidak tahu harus berpikir bagaimana tentang

Harunobu. la sudah membuat puteri Yukawa menghasilkan

dua anak perempuan, dan sekarang sedang mengandung

anak lagi. Harunobu sungguh menyimpan rahasia besar

dari Kansuke dan Puteri Yuu.

Kansuke terpaksa menunggu di depan pintu sebentar,


lalu seorang pelayan membawanya masuk. Kansuke duduk

di lantai kayu di pintu masuk ruangan tersebut. Sang Puteri

muncul dan duduk menghadap Kansuke.

“Oh, demi Tuhan, apa yang telah terjadi dengan

wajahmu?” Sang Puteri bertanya dalam keterkejutan, ketika

melihat wajah Kansuke untuk pertama kalinya. “Apakah

terasa sakit?”

“Tidak, ini tidak sakit. Ya, saya terluka beberapa kali,

namun semua luka ini sudah sembuh. Saya memang

terlahir dalam keadaan, sebagian besarnya, sudah seperti

ini.”

“Kau terlahir seperti itu? Oh, menyedihkan sekali!”

katanya terhenyak, lalu menambahkan, “Oh, aku turut

bersedih karena kau dilahirkan dalam keadaan seperti itu.”

“Tuan Puteri dilahirkan dalam keadaan cantik,

sementara aku dilahirkan dalam keadaan jelek,” kata

Kansuke lembut dan tenang. Anehnya, tidak peduli apa

kata Sang Puteri, Kansuke tidak tersinggung. Rasanya

seperti dihukum cambuk dengan kelopak bunga tanpa rasa

sakit sama sekali. “Puteri!” Kansuke mengangkat wajah dan

berkata dengan tegas, “Mohon suruh semua orang

meninggalkan ruangan ini.”

Sang Puteri berteriak ke ruangan di sebelahnya. “Aku

perintahkan kalian semua meninggalkan rumah ini untuk

sementara.” Kembali, Sang Puteri memperlihatkan

kepercayaan totalnya pada Kansuke.

Ketika dua orang pelayan hendak meninggalkan


ruangan, Kansuke berkata, “Biarkan gerbang dan pintu

gesernya terbuka.”

Dari beranda di mana pintu-pintu terbuka lebar, cahaya

putih pagi hari memasuki ruangan. Dinding kertas juga

terlihat putih. Kansuke memastikan tidak ada seorang pun

bersembunyi di ruangan lain. Setelah cukup yakin mereka

tinggal berdua, ia berbisik, “Tuan Puteri mengaku hamil.

Apakah kali ini, Tuan Puteri mengharapkan seorang

putera?”

“Karena dua anak yang lebih tua adalah puteri, aku

berharap kali ini seorang putera.”

“Tuan Puteri akan sangat menderita jika memiliki

seorang putera.”

“Mengapa begitu?”

“Istri Harunobu yang resmi, Sanjo, memiliki dua orang

putera. Pangeran Yoshinobu dan Ryuho.”

“Ya, aku sadari itu, tapi…” Sang Puteri mengangkat

kepalanya sedikit. Sekilas tampak ragu, lalu berkata, ‘Tapi

aku ingin mempunyai seorang putera yang kuat. Seorang

putera yang akan mampu membawa nama keluarga

Takeda.”

“Saya mengerti.”

“Tuanku juga mengatakan bahwa ia setidaknya

menginginkan satu orang putera yang kuat.”

“Tapi beliau sudah memiliki satu orang putera yang

kuat,” kata Kansuke dengan tajam. “Tuan Puteri tahu

tentang Puteri Yuu?”


“Tidak.” Sang Puteri terkejut mendengar pertanyaan

Kansuke.

“Puteri Yuu sudah memberi seorang putera, bernama

Pangeran Katsuyori kelak ia akan menjadi ksatria terkuat di

seluruh Jepang.”

“Tidak, itu tidak mungkin!” kata Sang Puteri marah.

“Siapa Puteri Yuu itu?”

“Dia adalah puteri mendiang Penguasa Suwa.” Kansuke

ingin menceritakan semuanya kepada Sang Puteri,

mengambil kesempatan itu, meskipun merasa bahwa ini

tindakan kejam. “Saat ini, dia menetap di kuil Kan-non-in

di Suwa. Tuan Puteri mungkin satu-satunya yang tidak

mengetahui mengenai dia.”

“Oh, tidak.” Sang Puteri menanyai Kansuke, wajahnya

pucat pasi, “Apakah dia lebih cantik dibanding aku?”

Kansuke tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan

itu.

“Sulit mengatakan mana yang lebih cantik. Kalian

berdua sangat cantik.”

“Secantik itukah dia? Tapi Tuanku bilang, akulah

perempuan tercantik di dunia.”

“Ya, Tuan Puteri memang cantik. Tapi Puteri Yuu juga

sama cantik.”

Sang Puteri tiba-tiba membungkukkan badan meringkuk

di lantai. Tubuhnya berguncang sedih.

“Apakah Tuan Puteri akan membenci Tuanku?”

Sang Puteri menggeleng. Isakannya tidak terdengar.


“Kenapa Tuan Puteri tidak membencinya?”

Sang Puteri mengangkat kepala. Dengan ekspresi kosong

ia menjawab, “Karena aku mencintainya.”

“Meskipun kau mencintainya…”

“Ya, aku mencintainya melebihi siapa pun. Aku sudah

tahu tentang keberadaan istrinya, Sanjo. Meskipun tahu

bahwa dengan mengandung anaknya bisa menimbulkan

masalah dalam keluarga Takeda, aku tetap

menginginkannya. Sekarang aku baru tahu bahwa Tuanku

memiliki perempuan lain yang tidak kukenal. Namun tetap

tidak akan mengubah cintaku padanya. Aku sadar bahwa

aku akan sangat menderita mulai saat ini. Namun semua itu

sepenuhnya salahku; aku tidak bisa melakukan apa pun

selain bersedih.”

Wajah putihnya yang cantik tidak menunjukkan

ekspresi, seperti topeng Noh.

“Apakah Tuan Puteri tahu mengapa saya di sini?” tanya

Kansuke.

“Tidak, aku tidak tahu. Namun aku merasakan sesuatu

yang negatif dan menakutkan.”

“Saya datang untuk membunuh Tuan Puteri.”

Kansuke mengira perempuan itu akan terkejut, namun

ternyata tidak.

“Rasanya aku bisa merasakan itu.”

“Lantas, kenapa tidak bersikap lebih hati-hati?”

“Karena aku merasa bahwa jika hal tersebut adalah

keinginan dari Tuanku, maka aku rela mengorbankan


hidupku untuknya.”

Perempuan memang memiliki perasaan-perasaan yang

aneh, pikir Kansuke. Sikap pengorbanan diri sendiri seperti

itu adalah sesuatu yang bahkan Kansuke sendiri tidak

mampu membayangkannya.

“Ini tidak ada hubungannya dengan Tuanku. Saya

datang kemari untuk membunuh atas keinginan sendiri,

tanpa diketahui Tuanku.”

“Lalu, kenapa kau tidak membunuhku?”

Untuk pertama kalinya, nada suara Sang Puteri

terdengar berapi-api. Matanya yang indah menatap wajah

Kansuke.

“Karena saya merasa bahwa kedua puteri kalian, juga

anak yang Tuan Puteri kandung, semuanya akan menjadi

hal penting bagi keluarga Takeda. Anak-anak Tuan Puteri

akan menjadi kakak laki-laki dan perempuan yang baik bagi

anak laki-laki Puteri Yuu, Katsuyori.”

“Aku tidak yakin tentang itu. Mereka mungkin akan

menimbulkan masalah yang mengancam kedamaian

keluarga Takeda.”

“Tidak, jika anak-anak tersebut dibesarkan oleh Tuan

Puteri, mereka akan menjadi harta karun keluarga Takeda.

Saya yakin,” lalu Kansuke menambahkan, “Saya bernama

Yamamoto Kansuke.”

“Aku tahu. Ketika kau memasuki ruangan ini, aku pikir

kamu pastilah orangnya.”

“Mulai sekarang, saya akan menolongmu. Saya akan


melindungi kalian semua, kedua puteri dan anak dalam

kandungan Tuan Puteri, dengan seluruh hidupku. Tetapi

mohon sadari satu hal, karena Pangeran Katsuyori

dilahirkan setahun sebelum puteramu, Tuan Puteri harus

mengakuinya sebagai kakak laki-laki puteramu.”

Sang Puteri menatap Kansuke, kesedihan merayap di

matanya.

“Jika bisa menerima itu, maka saya akan melindungi

putera Tuan Puteri.”

Sang Puteri tetap diam beberapa saat, lalu dia bicara

dengan suara rendah, “Aku akan menurutimu,” dan

membungkukkan badan sekilas.

“Akan lebih baik jika Tuan Puteri tidak mengatakan

pada Tuanku tentang kedatangan saya ke sini. Setidaknya

untuk sementara waktu.”

“Aku mengerti.”

“Saya ada satu permintaan lagi; tolong jangan…”

Kansuke ingin mengatakan kepada Sang Puteri agar jangan

memenggal kepala Harunobu ketika tidur, namun rasanya

saran seperti itu tidak perlu diutarakan kepadanya. “Tolong

jangan membenci Tuanku. Ini… ini hanya karena tubuhnya

yang bermasalah. Saya harus melakukan sesuatu tentang

itu.”

“Membenci Tuanku…” meski ekspresinya

menampakkan kesedihan, tidak terlihat kebencian di sana.

“Maafkan saya, tapi siapakah namamu, Tuan Puteri?”

“Namaku Ogoto,” katanya.


“Puteri Ogoto. Nama yang indah.”

Kansuke tinggal selama kurang lebih satu jam di sana,

kemudian pamit dari kediaman rahasia Puteri Ogoto.

Dalam perjalanan pulang, Kansuke tidak memacu

kudanya. Puteri Ogoto tidak menunjukkan perasaannya

lebih banyak di depan Kansuke, namun bagaimana pun

juga ia tetap seorang perempuan. Kansuke berpikir bahwa

puteri tersebut kadangkala bisa menjadi orang yang sangat

sulit diatur, namun kepada Puteri Yuu ia akan menghadapi

tantangan yang lebih sulit. Jika Sang Puteri sampai

mengetahui hal ini, ia tidak akan membiarkan Harunobu

ataupun Puteri Ogoto hidup. Namun suatu hari nanti, ia

pasti akan mengetahui tentang Puteri Ogoto. Akan lebih

baik bagi Kansuke untuk mengatakan hal ini di waktu yang

tepat, demi menghindari kejutan yang tidak perlu.

Sekarang, Kansuke berada di posisi menjaga dua orang

selir, Puteri Yuu dan Puteri Ogoto, dari istri resmi

Harunobu, Sanjo-no-Uji. Namun Kansuke tidak

menganggap hal tersebut sebagai masalah besar. Jika ia

mampu mengendalikan situasi ke posisi yang

menguntungkan bagi Pangeran Katsuyori dengan

menunjukkan pada Puteri Ogoto bagaimana cara

membesarkan anak-anaknya, jelas akan sangat berguna bagi

Sang Pangeran.

Kansuke berhenti sejenak di sebuah rumah petani untuk

mengisi perut, lalu kembali ke jalan yang tadi dilaluinya.

Kudanya berlari kencang sejauh tujuh mil tanpa istirahat,


kemudian memasuki desa Nirasaki. Saat tiba di sisi lain

desa itu, ia melihat tiga ekor kuda terikat di tepi sungai

Kanna. Penunggangnya tidak terlihat; mereka pasti sedang

mencari makan. Kansuke membawa kudanya ke arah

berlawanan, menjauh dari tepi sungai. Sadar bahwa ini

berarti mengambil jalan memutar, namun Kansuke tidak

ingin bertemu Harunobu di sini. Suatu hari nanti, Kansuke

akan bicara baik-baik pada Harunobu untuk memintanya

mengendalikan nafsu.

Jarak dari Nirasaki ke Benteng Takashima sekitar tiga

puluh dua mil. Kansuke tetap memacu kuda tanpa istirahat

sepanjang sisa perjalanan, la tidak sabar untuk bertemu

dengan Puteri Yuu dan puteranya Katsuyori. Selain itu, ia

juga harus memimpin pasukan Benteng Takashima yang

baru saja kembali dari Un-no-Daira, menuju wilayah

Takato sebelum mereka melepaskan baju perisainya.

Kansuke bermaksud menjadikan wilayah itu sebagai bagian

dari wilayah kekuasaan Takeda.

Dan begitu mereka memenangkan wilayah Takato, ia

berpikir menempatkan Puteri Yuu dan Katsuyori di sana.

0=odwo=0

Ada begitu banyak pertempuran dalam skala kecil sejak

akhir tahun Tenbun ke-17 hingga awal tahun Tenbun ke-18.

Sebelum bertemu dengan Nagao Kagetora dari Echigo,

mereka harus membasmi semua musuh Takeda di wilayah

Shinshu. Kansuke turut serta di berbagai pertempuran

sepanjang wilayah Ina, Kiso, dan Matsumoto, sekaligus


mengantisipasi proses stabilisasi kekuasaan keluarga Takeda

di wilayah-wilayah tersebut.

Di awal Agustus, Kansuke memiliki kesempatan

beberapa hari untuk istirahat dan bebas dari baju zirah. Saat

itulah, seorang pembawa pesan Puteri Yuu datang

kepadanya, dan menyampaikan permintaan kunjungan

mendadak ke Kuil Kan-non-in. Kansuke sudah tidak

bertemu Puteri Yuu selama kurang lebih tiga bulan, maka ia

cepat-cepat mengambil kudanya dan buru-buru menuju

kediaman Sang Puteri.

Saat menjejakkan satu kaki di pintu gerbang kuil Kannon-

in, Kansuke merasa ada yang lain dari biasanya, la

langsung menuju ruangan sebelah; ruang tamu Puteri Yuu;

dan duduk di sana.

“Tuan Puteri!” panggil Kansuke.

“Silahkan masuk.”

Kansuke lalu membuka pintu. Puteri Yuu sedang duduk

di lantai dengan wajah pucat pasi. Begitu melihat wajah

Kansuke, Sang Puteri berkata, “Bisakah engkau melihat

langsung ke wajahku?”

Suaranya bergetar.

“Maaf, apa maksud Tuan Puteri?” jawab Kansuke, tanpa

sadar mengarahkan pandangannya ke bawah. Kansuke

tidak menyimpan rahasia apa pun dari Puteri Yuu, kecuali

mengenai masalah Puteri Ogoto. Dan ia yakin Puteri Yuu

tahu tentang Puteri Ogoto.

“Bisakah kau tatap langsung ke mataku? Jawab!”


Kansuke tidak menjawab, namun menatap langsung ke

mata Sang Puteri.

“Aku tidak tahu apakah kau melihatku atau tidak dengan

kedua matamu itu,” kata Puteri Yuu menyindir, kemudian

melanjutkan, “Apakah kau mengetahui sebuah fakta bahwa

di Kofu, Tuanku memiliki seorang selir bernama Ogoto dan

dia melahirkan seorang anak laki-laki sekitar satu bulan

yang lalu?”

Itulah pertama kalinya Kansuke mendengar tentangnya.

Meskipun Ogoto sudah mendekati masa kelahiran, ia belum

sempat menjenguknya di Kofu karena pertempuran yang

berlangsung secara terus-menerus.

“Saya tidak mengetahui tentang fakta tersebut.”

“Apa artinya itu? Apakah itu berarti kau baru

mendengarnya?”

“Ya, artinya seperti itu.”

“Kalau begitu, aku harus menanyakan apakah kau tahu

atau tidak mengenai fakta bahwa Ogoto akan melahirkan

seorang bayi? Sekarang katakan yang sebenarnya. Jika kau

bohong, aku tidak akan pernah memaafkanmu.”

Kansuke masih terdiam.

“Apa kau tahu seorang perempuan bernama Ogoto?”

Karena Puteri Yuu sudah tahu nama, Kansuke merasa

tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. Namun,

tetap saja penasaran dari mana Puteri Yuu mendapatkan

informasi ini. Sungguh aneh dan mistrius. Kansuke

akhirnya berkata, “Ya, saya telah bertemu dengan Puteri


Ogoto.”

“Mengapa kau menyimpan rahasia itu dariku?” Puteri

Yuu menimpali keheningan Kansuke dengan pertanyaan

lain, “Bisakah kau katakan alasannya?”

“Saya lebih tertarik mengetahui siapa yang memberitahu

Tuan Puteri tentang dia.”

“Tuanku sendiri yang memberitahukannya.”

Kansuke menahan napas beberapa detik dalam

keterkejutan.

“Tuan Harunobu benar-benar mengatakan begitu ya…”

“Apa menurutmu dia tidak akan mengatakan padaku hal

seperti itu?”

Puteri Yuu tidak mengubah ekspresinya sama sekali.

Lalu dengan senyum dingin di bibir, ia berkata, “Aku

tanyakan ini langsung kepada Tuanku, sama seperti aku

tanyakan langsung padamu sekarang.”

Kansuke tetap diam. Mendadak merasa harus berhatihati

dengan apa yang akan dikatakan.

“Dia lebih jujur dibanding kau, Kansuke. Dia juga

memberitahu tentang kunjunganmu ke tempat

persembunyiannya di Kuil Sekisui.”

“Oh-,” erang Kansuke, “Tuanku mengetahui hal itu!”

“Itu bukan masalahku.”

“Bagaimana ia bisa tahu perihal Puteri Ogoto?”

“Kau ingin tahu?” Tiba-tiba tubuh Puteri Yuu tampak

membesar dalam penglihatan Kansuke. Setidaknya, ia

merasa seperti itu. “Kau bahkan tidak akan mengira


bagaimana aku bisa mengetahuinya. Itu karena aroma

dupa. Aku sudah mendengar bahwa istrinya tidak

menyukai dupa. Namun, aku selalu mencium aroma dupa

yang kuat.”

“Wah….” Kansuke tak mampu berkata-kata.

“Aku hanya mengirim seseorang ke Kofu dan

menyuruhnya mengikuti aroma dupa tersebut.”

Kansuke belum pernah merasakan ketakutan di depan

Puteri Yuu seperti ini sebelumnya.

“Kansuke!”

“Ya.”

“Aku punya permintaan padamu. Tolong bawa Puteri

Ogoto kemari.”

“Jika saya lakukan, Tuan Puteri hendak berbuat apa?”

“Belum terpikir sekarang. Aku akan memikirkannya

nanti. Aku hanya ingin kau membawanya kemari.”

Kansuke tetap diam cukup lama.

“Jika kau tidak melakukan apa yang kuminta, maka aku

akan melakukannya sendiri.”

Kansuke percaya. Gadis ini termasuk orang yang selalu

melakukan keinginannya, sesulit apa pun itu.

“Saya mengerti. Akan saya bawa dia kemari,” Kansuke

menjawab.

“Kapan?”

“Hmm.”

“Kuberi waktu satu bulan,” gertak Sang Puteri.

“Saya mengerti,” Kansuke berkata lagi.


Hari itu, setelah meninggalkan Kuil Kan-non-in,

Kansuke menginap semalam di Benteng Takashima dan

pergi menuju Kofu keesokan paginya untuk menemui

Harunobu. Sesampainya di sana, tidak ada pilihan selain

membicarakan hal tersebut dengan Harunobu, yang

bertanggung jawab atas semua yang terjadi, la harus

memutuskan apa yang akan dilakukan. Kansuke akan

mengambil kesempatan ini untuk menyarankan Harunobu

mengendalikan nafsunya. Begitu tiba di Kofu, Kansuke

langsung menuju kediaman Harunobu untuk menemuinya.

Tidak seperti biasanya, Harunobu tampak bahagia.

“Tuanku harus menyadari mengapa saya datang

kemari,” kata Kansuke masam.

“Ini pasti mengenai kapan kita seharusnya menyerang

Kagetora.”

“Tidak sama sekali.”

“Lalu mengenai apa?”

“Saya kira Tuanku tahu. Karena semua ini ulah

Tuanku.”

“Aku tidak paham apa yang kau bicarakan.”

“Ini mengenai Puteri Yuu dan Puteri Ogoto.”

“Kau tahu tentang itu!” kata Harunobu terkejut dan

mendadak malu, “Itu tidak baik, ya?”

“Ini bukan lelucon, Tuanku. Tidakkah Tuanku sadar

bahwa saya dalam masalah?”

“Aku tidak tahu apa pun tentang masalahmu.

Bagaimana kau dapat mengetahuinya? Apa yang harus


kulakukan?” kata Harunobu.

“Harus bagaimana? Tuanku sendiri yang mengatakan

kepadanya. Saya benar-benar dimarahi gara-gara itu.”

“Oh, tidak. Pasti ada kesalahpahaman. Aku tidak pernah

mengatakan apa pun pada Puteri Yuu.”

“Tapi ketika beliau menanyakannya langsung pada

Tuanku, dia bilang Tuankulah yang telah menceritakan

semua kepadanya.”

“Kau pikir aku bodoh!” kata Harunobu. Melihat

ekspresinya, Kansuke tidak menemukan adanya

kebohongan.

“Dia memperdayamu, Kansuke.”

“Saya kira tidak, tapi…” Kansuke mulai merasa lemas.

“Apakah Tuanku yakin tidak mengatakan apa pun

padanya?”

“Ada hal-hal yang memang harus dikatakan dan ada

yang tidak. Aku masih bisa membedakan.”

“Hm, kalau begitu, ini mumi salah saya sendiri,” ujar

Kansuke giras, “namun beliau juga tahu bahwa saya

mengunjungi Puteri Ogoto.”

“Kau ke sana!?”

“Ya.”

“Kapan dan kenapa kau ke sana?”

“Apa Tuanku yakin tidak tahu sedikit pun soal itu?”

“Tidak, aku tidak tahu apa pun tentang itu.”

“Hmm, aku dalam masalah.”

“Akulah yang berada dalam masalah,” kata Harunobu.


“Puteri Yuu memerintahkan saya membawa Puteri

Ogoto kepadanya.”

“Hmm, itu urusan antara kau dan Puteri Yuu. Jangan

libatkan aku.” Harunobu tertawa keras, kemudian

menambahkan, “Katakan padanya bahwa aku telah

mengembalikan Ogoto ke keluarga Yukawa di Shinano.

Gampang, kan?” Harunobu kembali tertawa.

Kansuke sulit membedakan mana perkataan yang benar

dan mana yang dusta, namun tidak ada yang bisa dilakukan

kecuali memercayai Harunobu untuk sementara ini.

“Katakan saja kepadanya seperti itu. Kujamin,

masalahmu pasti beres.”

Sepertinya situasi sudah berbalik terhadap Kansuke, dan

sekarang Harunobulah yang sedang membantu Kansuke,

bukan sebaliknya. Kansuke bermaksud menanyai tentang

Puteri Ogoto sekaligus menasehati tentang perilakunya di

masa depan. Namun tidak diberi kesempatan.

“Begitu kita putuskan mengembalikan Puteri Ogoto ke

Shinano, aku harus memintamu menjaga ketiga anaknya,

Kansuke, karena aku tidak tahu orang lain selain kau yang

bisa merawat anak-anaknya.”

“Ya, saya akan merawat anak-anaknya.”

“Besok kau tinggalkan tempat ini bersama ketiga

anaknya.”

Hari itu, Kansuke meninggalkan kediaman Harunobu

dalam keadaan bingung dan bertanya-tanya.

Hari berikutnya, ketika kembali ke benteng, tiga buah


usungan menunggu di pintu gerbang. Dua puteri kecil dan

seorang bayi yang baru lahir masing-masing berada dalam

gendongan tiga orang pelayan yang duduk dalam usungan.

Kansuke meninggalkan Kofu bersama dua puluh orang

samurai untuk menjaga mereka. Matahari musim panas

bersinar begitu terik. Kansuke pernah menjaga usungan saat

berangkat menuju Suwa dengan Puteri Yuu di dalamnya,

dan kini kembali menuju Suwa bersama tiga anak dari ibu

yang berbeda.

Ketika ia memikirkannya, sulit bagi Kansuke untuk

menemukan alasan mengapa harus pergi ke Kofu. Tanpa

sempat menyampaikan nasehat kepada Harunobu, Kansuke

malah harus membereskan akibat skandal Harunobu. Jika

menyangkut masalah penaklukan benteng atau

pertempuran, ia mampu melihat segala sesuatunya dengan

jelas, layaknya kabut pagi menghilang seiring terbit mentari.

Namun jika sudah soal laki-laki dan perempuan, ia tidak

mampu melihat apa pun di hadapannya. Yang terpikir saat

ini adalah bahwa ia harus menaklukkan empat benteng.

Benteng Suwa untuk Katsuyori, benteng di Takato untuk

sang bayi dalam usungan, atau mungkin juga sebaliknya.

Para puteri juga berhak memiliki benteng. Oh, aku bakal

sibuk sekali. Sementara merenung, seekor kuda melintasi

kelompok Kansuke dari belakang, membuat suara keras dan

berisik di seputar mereka. Tidak lama kemudian, kuda

kedua juga melintas. Ketika kuda ketiga muncul, Kansuke

memacu kudanya tepat di samping kuda tersebut.


la berteriak kepada si pembawa pesan, “Apa yang

terjadi?”

“Nagao Kagetora akan menyerang Shinano bagian utara.

Tuan Takeda akan meninggalkan Kofu malam ini.”

“Baik, pergilah!” kata Kansuke, lalu mundur kembali.

Tubuh kuda yang melintas berkilat karena keringat, seolah

habis disiram seember air padanya. Kuda dan

pengendaranya dengan cepat menghilang dari pandangan.

Kansuke sedikit gemetar. Tapi ini tidak akan menjadi

perang besar, pikir Kansuke, karena pasukan Kagetora akan

lemah di musim panas. Tidak seperti beberapa menit lalu,

otaknya kini kembali jernih begitu ia memikirkan perang

yang akan segera terjadi.

0o-=dw=-o0

Sembilan

Dari tahun Tenbun ke-18 hingga ke-19, armada perang

Takeda terus-menerus berada dalam peperangan, sampai

tidak memiliki waktu untuk mengistirahatkan kuda atau

bahkan diri mereka sendiri. Mereka menghadapi Nagao

Kagetora beberapa kali di wilayah Shinano bagian utara,

namun pertempuran-pertempuran kecil ini tidak pernah

berubah menjadi perang besar. Kerap kali dalam

pertempuran itu Kagetora menarik mundur pasukannya

pada saat yang tepat. Caranya menarik mundur pasukan

selalu terlihat begitu ahli dan sangat indah diamati.

Di tahun ke-18, ketika kedua pasukan saling bertempur

di dataran Un-no-Daira, seorang pembawa pesan dikirim


oleh Kagetora, membawa sepucuk surat untuk Harunobu.

Isi surat tersebut:

Alasanku mengirim pasukan jauh-jauh dari Echigo ke

wilayah Shinano bagian utara bukan disebabkan oleh

ambisi menaklukkan wilayah kekuasaanmu, namun karena

aku diminta oleh Murakami Yoshikiyo. karenanya, aku

menantangmu semata-mata demi memenuhi jalan samurai.

Namun, jika kau mau menerima kembali Murakami

Yoshikiyo yang telah kau usir dari Shinano bagian utara,

aku tidak akan menyerang wilayah ini.

Harunobu segera mengambil kuas tulis, membalas surat

tanpa berkonsultasi dulu dengan Kansuke:

Tidak mungkin bagiku mengajak Murakami Yoshikiyo

kembali ke wilayah Shinano bagian utara, dan aku tidak

akan pernah melakukan itu selama aku hidup. Oleh karena

itu, aku harus menolak usulanmu. Jika kau ingin bertempur

dengan kami, kami siap kapan saja.

Selesai menulis surat tersebut, Harunobu memanggil

Kansuke dan menyerahkan surat balasan itu untuk dibaca.

Setelah membacanya, Kansuke berkata, “Ini bagus, namun

saya ingin menyarankan Tuanku untuk menambahkan

sebaris kalimat setelah ‘Jika kau ingin bertempur dengan

kami’ dengan menuliskan ‘Aku ingin kau yang memulai

peperangan.’” “Mengapa?” tanya Harunobu dengan nada

kurang puas. “Lebih baik tidak memprovokasi Kagetora

saat ini. Penting untuk memberikan kesan padanya bahwa

kita tidak punya keinginan berperang dengannya. Tuanku


harus menekankan hal ini berulang-ulang.”

“Maksudmu, kita tidak punya cukup kekuatan untuk

berperang melawan dia?”

“Tidak, saya sama sekali tidak bermaksud begitu. Kita

tentu saja memiliki cukup kekuatan untuk mengalahkan

Kagetora saat ini. Namun jika kita mengalahkannya,

sebagian besar jenderal Takeda akan terbunuh dalam

perang itu. Yang saya takutkan adalah apa yang akan

terjadi selanjutnya. Harusnya kita mencoba tidak

memprovokasi dia sekarang dan lebih berusaha menjaga

stabilitas keseluruhan wilayah Shinano. Itu artinya kita

harus menaklukkan Kiso agar tidak ada penyesalan setelah

perang berakhir; setelah itu kita bisa menantang Kagetora

dan mencoba untuk memenangkan pertempuran besar,

sesuatu yang belum pernah kita coba.”

“Kapan itu akan terjadi?”

“Saya belum tahu pasti.”

Harunobu tertawa dan berkata, “Kansuke, memangnya

kau akan hidup selamanya?”

“Saya?” tanpa sadar, Kansuke sudah berumur 58 tahun.

Tujuh tahun masa perang sudah berlalu sejak ia mulai

bekerja untuk Harunobu.

“Saya tidak akan mati sebelum mencapai tiga hal.”

“Tiga hal?”

“Pertama, melaksanakan pertempuran penentuan

dengan Nagao Kagetora. Saya ingin mempersembahkan

kepalanya ke hadapan Tuanku dengan tangan saya sendiri.


Meskipun tidak tahu kapan hal itu terjadi, saya sangat

menantikan kesempatan itu.”

“Apa hal yang kedua?”

“Yang kedua adalah kampanye perang pertama

Pangeran Muda Suwa.” Kansuke merendahkan suara

ketika mengatakan hal ini, karena berbahaya jika ada yang

mendengarnya. Pangeran Muda Suwa tentu saja anak lakilaki

Puteri Yuu, yaitu Katsuyori. Harunobu tidak

berkomentar. Pandangannya malah menerawang.

“Yang ketiga?”

“Yang ketiga, hmm…sulit dikatakan,” kata Kansuke,

sedikit memberi petunjuk.

Harunobu mulai tertawa. “Ohoho….aku tahu. Aku tahu

yang kau maksud. Kau harus menunggu paling tidak dua

atau tiga tahun untuk itu.”

“Dua atau tiga tahun terlalu lama. Tuanku perlu

memutuskan lebih cepat.”

Hal ketiga yang ingin dicapai oleh Kansuke adalah

membuat Harunobu meninggalkan keduniawian dan

menjadi seorang rahib. Setiap kali Kansuke melihat

Harunobu, ia selalu meminta hal tersebut. Maksud Kansuke

adalah bahwa dirinya juga akan meninggalkan keduniawian

dan mencukur kepala sebagai rahib. Oleh karena itu,

Harunobu seharusnya melakukan hal yang sama.

sebenarnya ini bukan tawaran yang adil bagi Harunobu;

Ada perbedaan sangat signifikan antara Harunobu yang

baru saja melewati usia 30 tahun dengan Kansuke yang


sudah berusia 58 tahun; untuk mencukur kepala dan

meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian.

Harunobu menolak permintaan ini dengan berbagai

macam alasan dan tidak mau mendengar Kansuke, namun

tetap tidak bisa menolak begitu saja karena ia sudah

membuat Kansuke menjaga Puteri Yuu, Puteri Ogoto, serta

keempat anak mereka.

Meskipun Kansuke mengatakan tidak akan mati sebelum

mewujudkan ketiga hal tersebut, sebenarnya ia masih

menyimpan satu keinginan tambahan sebelum meninggal

dunia. Tentu saja yang satu ini tidak bisa dikatakan kepada

orang lain karena bersifat sangat pribadi dan tidak bisa

seenaknya diceritakan pada siapa pun. Keinginan terakhir

ini adalah menyingkirkan putera sah Harunobu, yaitu

Yoshinobu. Selama Yoshinobu menjadi pewaris keluarga

Takeda, Katsuyori tidak akan memiliki masa depan untuk

itu.

Kansuke tidak menyukai Yoshinobu maupun kelompok

pendukungnya. Kelompok di sekelilingnya terhitung jenis

kelompok yang akan segera menghilang seperti kabut begitu

Yoshinobu tidak lagi menjadi pewaris. Orang-orang aneh

yang digerakkan oleh posisi Yoshinobu dalam masyarakat.

Tujuan pertamanya adalah membuat Harunobu

meninggalkan keduniawian; kedua, menyingkirkan Putera

Mahkota yang sah, Yoshinobu; kemudian membantu

Katsuyori memenangkan kampanye perang pertamanya.

Dan, jika semua keinginan tersebut sudah terpenuhi,


barulah ia akan membunuh Uesugi Kenshin. Kansuke tidak

tahu mana yang akan terjadi lebih dulu; pembunuhan

Kagetora atau kampanye perang pertama Katsuyori. Satu

hal yang pasti: menghancurkan Kagetora bukan hal mudah,

seperti yang dikira Harunobu.

Karena itulah Kansuke selalu mencoba membuat kedua

jenderal perang itu tidak saling berhadapan dalam

pertempuran langsung. Perang antara Harunobu dan

Kenshin harus ditunda sampai hari ketika kekuasaan

Takeda mencapai puncak kekuatan. Di tahun Tenbun ke19,

ketika Kenshin menyiapkan kemah perangnya di

gunung Zenkoji, Kansuke berusaha menahan Harunobu,

yang sangat ingin memulai perang, dengan memaksanya

menulis surat kepada Uesugi Kenshin dan mengirimkannya

lewat kurir. Isi surat tersebut adalah:

Kita tidak punya dendam pribadi, jadi sia-sia buat kita

berdiri saling berhadapan di medan tempur. Bagaimana

menurutmu? Jika seseorang mencoba menyerang

wilayahku, Kai, aku tidak akan sungkan memulai perang

besar, tidak peduli siapa pun yang menyerang, namun aku

tidak bermaksud memaksamu berperang.

Sehari setelah sang kurir meninggalkan kemah

Harunobu, sekitar jam dua pagi, Kagetora segera

membongkar kemahan dan mengirim pasukannya kembali

ke Echigo.

Kansuke merasa was-was dengan tindakan Kagetora

muda ini. Ini bukan tindakan yang lazim dilakukan oleh


seorang jenderal muda berusia 20 tahun. Sepertinya

Kagetora mencoba memanas-manasi Harunobu dengan

menyiapkan kemah di Shinano bagian utara berkali-kali,

memprovokasi Harunobu agar tidak punya pilihan selain

mengirim pasukan melindungi wilayahnya. Oleh karena itu,

Kagetora sepertinya menunggu kesempatan yang paling

tepat untuk memulai perang.

0=odwo=0

Pada Januari tahun Tenbun ke-20, Kansuke

mengunjungi kuil Kan-non-in setelah mendapat undangan

dari Puteri Yuu. Sudah satu setengah tahun berlalu sejak

Sang Puteri menginterogasi dan mempermalukannya

mengenai Puteri Ogoto di musim panas. Sang Puteri tidak

pernah lagi menanyakan Puteri Ogoto sejak itu.

Memanfaatkan kesempatan ini, Kansuke juga tidak pernah

lagi mengungkit soal puteri satu itu di hadapan Puteri Yuu.

Namun kali ini, Puteri Yuu mengungkit hal tersebut.

“Bagaimana keadaan Puteri Natsu dan Haru serta Pangeran

Nobumori? Apakah mereka sehat?”

“Ya, mereka baik-baik saja,” jawab Kansuke. Tidak

berani memberitahu Puteri Yuu bahwa ia sendirilah yang

merawat ketiga anak Puteri Ogoto, kendati menduga bahwa

Puteri Yuu pasti juga sudah mengetahui, Kansuke tidak

akan kaget bila Sang Puteri bertanya.

“Bisakah kau beri Katsuyori kesempatan untuk bertemu

mereka sekali waktu? Kau sendiri yang mengatakan bahwa

mereka akan menjadi teman baik bagi Katsuyori, maka aku


memercayai hal itu.”

Kansuke tidak menyangkal, namun tak urung merasa

sedikit gelisah karena ekspresi wajah Sang Puteri dan cara

mengatakan kalimatnya. Penilaian Kansuke terbukti benar,

karena Puteri Yuu kemudian melanjutkan, “Aku sudah

sangat menderita setahun ini. Sudah cukup aku mengalami

penderitaan; aku tidak bisa lagi menahannya. Dulu, aku

sering berpikir memenggal kepala Tuanku, namun sekarang

sudah tidak lagi.”

Kansuke mengangkat kepala melihat Puteri Yuu, namun

tidak mampu memahami apa gejolak pikirannya.

“Aku cukup yakin Puteri Ogoto juga merasakan hal yang

sama,” kata Sang Puteri.

“Karena itulah,” lanjut Puteri Yuu, “baik aku maupun

Puteri Ogoto telah memutuskan untuk tidak lagi menjadi

selir Tuanku. Dan aku berpikir untuk tinggal bersama

dengan Puteri Ogoto dengan damai di kuil Kan-non-in.”

“Apa pendapat Puteri Ogoto mengenai ide ini?”

“Aku sudah mengirim pembawa pesan kepadanya dan

dia sudah setuju.”

“Apa?!” Pernyataan Sang Puteri sering mengejutkan

Kansuke. Kali ini pun begitu.

“Apakah Tuan Puteri mengirim seorang pembawa pesan

kepada Tuan Yukawa?”

“Tuan Yukawa?”

Puteri Yuu tertawa kecil.

“Kansuke, apa kau betul-betul yakin Puteri Ogoto sudah


dikembalikan kepada keluarganya?”

“Ya, saya yakin.”

“Kau betul-betul lugu, Kansuke!”

Puteri Yuu kembali tertawa, lalu tiba-tiba berhenti dan

berkata, “Tidak masalah buatku. Tapi aku ingin kau

beritahu Tuan Harunobu tentang keputusan kami.”

“Baik, Tuan Puteri.”

Tidak ada cara lain bagi Kansuke untuk menjawab, la

tidak mengerti situasinya dengan baik. Bagaimanapun juga,

ia merasa kagum pada kelihaian Puteri Yuu mendapatkan

semua informasi tersebut, meski berada di dalam kuil Kannon-

in.

“Jadi Tuan Puteri berdua akan tinggal bersama di sini?”

“Ya, kami bermaksud demikian.”

“Pasti akan sulit.” Kansuke tidak bisa membayangkan

hal ini bisa terjadi.

“Kau tidak perlu khawatir dengan kami, karena kami

berdua akan menjadi rahib.”

“Apa!?”

“Ya, sudah kami putuskan.”

“Kenapa? Apa yang membuat Tuan Puteri memutuskan

perubahan begitu drastis, dengan begitu tiba-tiba?”

‘Tuanku sudah begitu terobsesi pada gagasan

menaklukkan Kiso. Kau mungkin tidak akan mengerti

kenapa dia begitu terlibat dengan gagasan ini.”

“Itu karena aku yang menyarankan kepada beliau.”

“Ya, kau mungkin benar, namun Tuanku menyimpan


maksud lain,” kata Sang Puteri seperti menyembunyikan

sesuatu. Setelah terdiam beberapa menit, ia melanjutkan,

“Aku mendengar ada seorang perempuan Sangat cantik

yang merupakan sepupu dari istri penguasa Kiso.”

“Mungkin ada perempuan seperti itu, namun apa

hubungannya dengan Tuan Harunobu?”

“Sasaran utamanya bukan Kiso, tapi perempuan itu!”

“Tidak mungkin,” kata Kansuke. Namun kemudian,

teringat sifat Harunobu, ia tidak bisa benar-benar

menyangkal perkataan Sang Puteri. Setelah direnungkan

kembali dengan pengetahuan yang baru ini, memang ada

antusiasme yang berbeda dalam cara Harunobu menangani

pertempuran kali ini dibandingkan pendekatan sebelumnya

saat menaklukkan wilayah lain.

Meski menyadari kebenaran tersebut, Kansuke masih

mencoba menyangkal pada Puteri Yuu. “Saya mengenal

Tuan Harunobu dengan sangat baik. Sejauh mengenai

penyerangan Kiso, saya percaya itu adalah……kecurigaan

yang tidak beralasan, begitukah yang akan kau katakan?”

“Saya tidak menyebut tidak beralasan, namun saya kira

Tuan Puteri hanya terlalu khawatir.”

Tanpa mengomentari perkataan itu, Puteri Yuu berkata,

“Hmm, memangnya apa yang Tuanku lakukan ketika

ayahku kehilangan wilayahnya? Kau sangat mengerti situasi

saat itu. Jadi, kurasa kau akan ke Kiso untuk mengambil

perempuan lain lagi. Ya kan? Kau pasti sangat Sibuk.”

Kansuke tidak mampu berkata apa-apa ketika Sang


Puteri mengacu pada pengalamannya sendiri.

“saya akan bicara dengan Tuan Harunobu mengenai hal

ini. Namun tidak seharusnya Tuan Puteri bermain-main

dengan gagasan menjadi rahib.” Kansuke khawatir jika

Puteri Yuu dan Ogoto menjadi rahib, Harunobu pasti akan

mencari selir baru.

“Baiklah. Dalam hal ini, pilihan ada di tangannya;

apakah dia akan menghentikan penyerangan ke Kiso atau

kami akan menjadi rahib.”

“Menghentikan penyerangan Kiso, itu…”

“Tidak mungkin dilakukan?”

Mengambil alih Kiso adalah kepentingan sangat

mendesak yang akan menguntungkan klan Takeda. Tidak

mungkin dihentikan.

“Saya akan mendiskusikannya dengan Tuan Harunobu,”

jawab Kansuke.

Hari berikutnya, Kansuke berangkat ke Kofu untuk

menemui Tuannya. Berniat menyarankan agar

meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang rahib.

Harunobu harus mencukur kepalanya dan berjanji untuk

tidak lagi melakukan hubungan badani, agar Puteri Yuu

tidak meragukan tindakan Harunobu menyerang Kiso.

Tidak ada jalan lain, pikir Kansuke.

Saat itu sore hari ketika Kansuke bertemu dengan

Harunobu. la meminta bicara secara pribadi dengan

tuannya.

“Tuanku, ada sesuatu yang harus saya tanyakan,” kata


Kansuke. la hendak langsung ke titik permasalahan dan

menyelesaikan secepatnya.

“Di mana Tuanku menyembunyikan Puteri Ogoto?”

Wajah Harunobu menunjukkan ekspresi ketidaksabaran,

namun tetap menjawab tegas seperti biasa, “Masih berada

di kuil Sekisui.”

“Tuanku mengatakan kepada saya telah mengembalikan

dia ke rumahnya di Shinano. Saya ingat jelas, tapi ternyata

bohong, kan?”

“Hmm, aku memang bermaksud mengirimnya kembali,

namun Ogoto sendiri yang menolak pulang, jadi dia masih

di sini.”

“Baiklah, tidak apa kalau begitu. Namun Puteri Yuu

mengetahui hal ini, dan dia telah memutuskan untuk

menjadi rahib bersama Puteri Ogoto.”

“Hmmm.”

“Apa tindakan Tuanku soal ini?”

“Hmm, menyusahkan juga, ya?”

“Apa yang akan dikatakan oleh oleh orang-orang di

wilayah lain jika mereka mendengar bahwa kedua orang

selir Tuanku menjadi rahib?” Kansuke melanjutkan tanpa

sedikit pun melembutkan ekspresi. Tidak ada jalan lain bagi

Tuanku selain ikut menjadi rahib dan meninggalkan

keduniawian Jika Tuan bersedia melakukan itu, kedua tuan

puteri tidak akan membayangkan hal yang tidak-tidak.”

“Membayangkan hal yang tidak-tidak?”

Kansuke tidak langsung menjelaskan.


“Apakah hal yang tidak-tidak itu?”

“Ini bukan hanya demi para selir. Tuanku harus

meninggalkan keduniawian untuk membebaskan diri dari

kecurigaan umum…”

“Kecurigaan umum seperti apa?”

“Masyarakat umum selalu berpikir tentang hal-hal yang

bahkan Tuanku sendiri tidak bisa membayangkan. Mereka

bilang bahwa alasan Tuanku mencoba menaklukkan Kiso

adalah karena seorang perempuan cantik,” kata Kansuke

sambil mengangkat wajah menatap Harunobu. Kansuke

tetap berfokus di sana. Meski sulit, mata Kansuke yang

terlatih melihat perubahan air muka Harunobu.

“Mungkin itu bukan pendapat masyarakat umum,

Kansuke. Aku yakin itu pasti pendapat pribadimu sendiri.”

“Jika hanya pendapat saya semata, kedua selir Tuanku

tidak akan pernah memikirkan gagasan menjadi rahib.”

“Tapi aku tidak tertarik meninggalkan keduniawian,”

kata Harunobu hati-hati. Tidak seperti biasanya, ia berhatihati

untuk tidak memberi kesempatan pada Harunobu

menantang keputusannya.

“Aku ingin Tuanku memikirkan hal ini sampai besok,”

kata Kansuke, lalu pergi.

Malam itu, Kansuke menginap di rumah lama Itagaki

Nobukata, yang selalu ditinggali setiap kali datang ke Kofu.

Pada larut malamnya Kansuke mengunjungi seorang rahib

bernama Tosho-an di Katagawa. la memintanya untuk

memberikan saran kepada Harunobu agar mau


meninggalkan keduniawian dan menghentikan hasrat

badani. Kansuke punya hubungan persahabatan yang dekat

dengan rahib ini selama dua tahun terakhir, dan ia

memercayainya.

Tosho-an mengaku tidak mampu membujuk Harunobu

seorang diri, namun ia mengenal seorang rahib bernama

Choshuza di Ashikaga yang sangat dihormati, la

menyarankan Kansuke untuk memberi undangan pada

rahib tersebut dan memintanya memengaruhi Harunobu.

Hari berikutnya Kansuke menunggang kuda menemui

rahib Choshuza di Ashikaga. la merasa cara ini lebih cepat

dibanding mengirim pembawa pesan.

Saat itu awal Februari ketika kedua rahib, Tosho-an dan

Choshuza, mengunjungi rumah Harunobu di Kofu.

Choshuza berkata pada Harunobu, “Tuanku, kami ke sini

hendak memberitahu sesuatu yang penting. Kami baru saja

meramalkan masa depan Tuan, dan tampaknya nenek

moyang Tuan dilahirkan dari keluarga hebat dan kaya.

Namun, bagian selanjutnya menunjukkan kata ‘pertanda

buruk’. Inilah sebabnya kami kemari untuk memberitahu

agar berhati-hati mengenai ini.”

Kansuke yang juga hadir mengamati ekspresi wajah

Harunobu dalam diam. Harunobu menyimak kata-kata

kedua rahib dengan pandangan tidak senang.

Choshuza melanjutkan, “Bagian awal hari berarti bagian

awal hidup Tuan, dan bagian akhir hari berarti bagian akhir

hidup. Kami menganggap hidup manusia berlangsung 60


tahun; bagian awal hari berlangsung sampai usia 30 tahun.

Tuanku sekarang berumur lebih dari 30 tahun dan telah

memasuki bagian akhir. Jika datang ramalan yang

mengatakan akan ada kegagalan di bagian akhir hidup

Tuan, maka Tuan harus memikirkan tindakan selanjutnya

dengan sangat hati-hati.”

“Jadi apa yang kau sarankan?” tanya Harunobu.

“Inilah waktunya bagi Tuanku mengikuti kehendak

langit dan meninggalkan keduniawian. Jika Tuan melihat di

seluruh penjuru negeri, banyak keluarga yang memiliki

kehebatan di zaman dahulu telah tumbang. Bukan hai yang

aneh di zaman perang Gekokujo ini jika suatu ketika

keluarga Takeda juga ditumbangkan. Selama beberapa

generasi, keluarga Takeda berhasil menjaga kekuasaan

dengan busur dan panah; karena itulah di generasi Tuan…”

“Aku mengerti,” kata Harunobu.

“Tidak, Tuanku belum benar-benar mengerti,” kata

Kansuke.

“Ya, aku mengerti. Aku benar-benar mengerti.

Meninggalkan keduniawian, menjadi seorang rahib dan

menyerahkan diri pada kehendak langit. Cukup seperti itu,

kan?”

“Meskipun Tuanku meninggalkan keduniawian, namun

jika dilakukan untuk formalitas belaka dan tidak benarbenar

dijalani, tidak akan berguna. Begitu Tuanku

meninggalkan keduniawian, sangat penting untuk

menetapkan hati agar tidak lagi memiliki perempuan di


sekeliling Tuan.” Kansuke sangat ingin mengutarakan isi

hati kepada Harunobu.

0=odwo=0

Saat itu bulan Februari, sekitar jam empat sore, ketika

Harunobu meninggalkan keduniawian dan menamakan

dirinya Tokueiken Shingen, dengan nama religius Ikuzan.

Mulai saat ini Harunobu dikenal sebagai Shingen.

Para jenderal yang juga ikut mencukur kepala bersama

Takeda Shingen adalah Hara Toratane, Yamamoto

Kansuke, Obatayama Shiro-no-kami dan Nagasaka

Saemon-no-jo. Hara Toratane dinamai Nyudo Seigan,

Kansuke memiliki nama Doki, Obatayama Shiro-no-kami

bernama Nyoi, dan Nagasaka Saemon-no-jo diberi nama

Chokan.

Pada 15 Februari, Kansuke kembali ke Suwa. Dua-tiga

hari kemudian, ia mengunjungi Puteri Yuu di kuil Kan-nonin.

Kansuke duduk di hadapan Sang Puteri dan

memberitahukan bahwa Harunobu telah mencukur

kepalanya. Puteri Yuu mengamati Kansuke beberapa saat.

Ekspresinya seperti menahan tawa. Lalu berkata, “Terima

kasih untuk segalanya. Sayang sekali kau juga harus ikut

serta di dalamnya, Kansukei” kemudian tergelak.

“Nah, sekarang Tuan Puteri tidak perlu lagi menjadi

rahib.”

“Menjadi rahib? Astaga, kau benar-benar percaya

omonganku, ya?”

“Jadi, apakah Tuan Puteri berbohong ketika mengatakan


akan menjadi seorang rahib?”

“Tidak peduli bohong atau benar, aku tidak pernah

bermimpi untuk menjadi seorang rahib. Jika aku menjadi

rahib, berarti aku kalah oleh Tuanku, bukan begitu,

Kansuke?”

“Dan tentang Puteri Ogoto, apakah itu juga

kebohongan?”

“Aku tidak tahu apa-apa soal Puteri Ogoto, mungkin saja

sekarang dia sudah menjadi rahib.

“Apa? Dasar pembohong!” Kansuke ingin sekali berkata

begitu, namun yang keluar dari mulutnya malah, “Jika

Puteri Ogoto sudah menjadi rahib…”

“Kemungkinan besar sudah, karena aku yang

menyuruhnya.”

“Jadi Tuan Puteri memperdayainya!”

“Kansuke, di pihak mana kau berada?”

“Saya?” Kansuke tidak mampu menjawab.

“Kansuke!” Puteri Yuu berkata dengan intonasi agak

kuat, lalu berubah pikiran dan berkata pelan, “Kansuke,

maukah kau berjalan-jalan di luar? Ayo kita melihat bunga

persik yang bermekaran.”

Kansuke mengikuti Puteri Yuu saat Sang Puteri berjalan

menuruni tanjakan di depan kuil Kan-non-in ke sebuah

jalan. Pada pertemuan antara Sungai Tenryu dengan salah

satu anak sungainya, mereka menyusuri jalan setapak. Di

kawasan itu, ada begitu banyak pohon persik. Bunga-bunga

merah muda bermekaran di lembah-lembah hutan dan


pegunungan, meski udara dingin menandakan musim

dingin belum sepenuhnya pergi.

“Kansuke, rasanya aku tidak akan hidup lebih lama

lagi,” kata Puteri Yuu sambil terus berjalan, “Lihat,

lenganku semakin kurus.”

Ketika Puteri Yuu mengucapkan itu, Kansuke terpaksa

harus mengakui. Tangannya yang langsing tampak semakin

kurus. Kulitnya begitu pucat dan terlihat menyakitkan.

“Tuan Puteri tidak kedinginan?”

“Tidak, aku tidak kedinginan.” Lalu menambahkan,

“Apakah aku jahat telah membuat Tuanku dan kau

meninggalkan keduniawian, juga memperdaya Puteri

Ogoto untuk menjadi rahib?”

“Tidak, tidak pernah…” jawab Kansuke. la tidak pernah

berpikir Sang Puteri berbuat kesalahan. Apa pun yang ia

lakukan atau pikirkan, tidak mungkin bagi Kansuke untuk

menyalahkannya.

“Indah sekali bunga persik itu! Namun sepertinya ini

akan menjadi tahun terakhir aku menikmatinya.”

“Tuan Puteri, mohon jangan berpikir seperti itu.”

“Sejujurnya, aku benar-benar tidak ingin hidup lebih

lama lagi. Menjadi seorang perempuan sungguh sangat

menyedihkan. Aku sadari hal itu belum lama ini. Saat

mengetahui perihal Puteri Ogoto, aku merasa jijik pada

Tuanku. Lama-lama terbiasa dan menjalani hidup sampai

hari ini dengan berada di antara istrinya dan Puteri Ogoto.

Ketika Tuanku hendak mengambil seorang perempuan baru


di masa depan-dan aku yakin pasti akan terjadi, aku merasa

hidup dalam kesedihan dan penderitaan. Meski begitu,

setiap kali Tuanku berkunjung, aku masih berusaha

menyenangkannya. Aku hanya merasa sudah cukup

mengalami kehidupan seperti itu!” kata-kata terakhir

terdengar emosional.

“Tuan Puteri tidak perlu cemaskan hal itu lagi. Tuanku

sudah meninggalkan keduniawian.”

Puteri Yuu tertawa. Suara tawanya terdengar dingin di

udara awal musim semi. “Hanya karena sudah

meninggalkan keduniawian, kau pikir akan ada bedanya?

Paling-paling hanya bermakna perolehan gelar Daisojyo

dari negara. Seorang Daisojyo! Tuanku menjadi seorang

Daisojyo, lucu sekali!” Kali ini suara tawanya terdengar

sedikit beda dari sebelumnya.

“Tuan Puteri!” Kansuke mengira Puteri Yuu sudah gila.

Melihat gerak-geriknya, setiap orang pasti akan berpikir

demikian.

“Aku menyukai Tuanku hanya ketika dia bersiap

berperang. Aku menyukainya ketika dia tidak berpikir halhal

seperti istrinya, Puteri Ogoto, atau bahkan aku. Dia

paling baik ketika tidak memikirkan hal lain selain

bagaimana memenangkan perang. Selain itu aku tidak suka.

Aku ingin Katsuyori hanya mewarisi keberaniannya.

Kansuke, aku mohon bantulah Katsuyori menjadi jenderal

perang yang hebat sepeti ayahnya. Aku mohon padamu,

Kansuke.”
“Tuan Puteri tidak perlu cemaskan itu. Jelas sekali

bahwa Tuan Muda Katsuyori akan menjadi pemanah

terhebat di seluruh negeri. Dia akan menjadi jenderal

terhebat yang pemah ditemui orang. Bayangkanlah dirinya

sedang memakai helm perang Suwa.”

Ketika Kansuke membayangkan Katsuyori mengenakan

helm perang Suwa, ia hampir pingsan saking bahagia. Ini

juga merupakan mimpi terbesarnya: melihat Katsuyori di

awal masa kedewasaan.

Kansuke menyukai Harunobu dan Puteri Yuu.

Mencintai mereka melebihi siapa pun di dunia ini. Satusatunya

tujuan yang dimiliki mulai saat ini adalah

melindungi anak itu, yang mewarisi darah dari dua orang

yang dicintai melebihi siapa pun juga, dan menjadikan anak

tersebut seorang jenderal yang hebat.

“Kansuke, ayo kita kembali.”

Sebelum dipanggil oleh Puteri Yuu, mata Kansuke

terpaku pada lereng di bukit nun jauh di sana. Matanya

tidak melihat apa-apa ketika membayangkan masa depan.

Begitu banyak hal yang harus dipikirkan.

Saat itu, seorang samurai muda mendekat, kudanya

dipacu dengan kecepatan penuh. Tiba di dekat Kansuke,

samurai itu turun dari kudanya dan berkata, “Tuanku akan

segera tiba di sini.”

“Apa! Tuanku! Aku akan kembali secepatnya,” kata

Kansuke. Ini pasti tentang perang lagi, pikir Kansuke.

Berita tentang kunjungan Shingen dengan jelas


mengembalikan aura kehidupan ke wajah Puteri Yuu.

Perubahan tersebut tampak jelas bagi Kansuke.

“Kita harus kembali ke kuil Kan-non-in secepatnya,”

katanya kepada Sang Puteri.

“Kansuke, tolong ambilkan satu cabang pohon persik.

Aku tidak punya hadiah untuknya, yang sudah

meninggalkan keduniawian atas permintaanku. Paling

tidak, aku ingin menunjukkan bunga-bunga persik.”

Kansuke terpesona melihat kecantikan Sang Puteri yang

diliputi kebahagiaan. Kali ini bahkan tampak lebih cantik

dibanding Puteri Ogoto. Kansuke senang melihatnya.

Kansuke dan Puteri Yuu kembali ke kuil Kan-non-in.

Kansuke berpikir hal ini pasti mengenai perang lagi, namun

saat mereka tiba, Shingen sedang duduk di beranda

kediaman Puteri Yuu dan tidak seperti biasanya; ia tampak

rileks. Sambil memandangi bunga-bunga persik yang

dibawa oleh Puteri Yuu, Shingen berkata, “Bunga-bunga

persik. Apakah sudah bermekaran?”

“Bunga-bunga persik sudah bermekaran selama lebih

dari sebulan,” kata Puteri Yuu.

“Benarkah itu? Aku tidak memperhatikannya sama

sekali,” jawab Shingen. Siang dan malam ia habiskan

menyusun strategi perang, terlalu sibuk untuk

memperhatikan bunga-bunga persik yang bermekaran di

seluruh daerah pegunungan dan lembah wilayah Shinano

dan Kai.

Shingen, dengan kepalanya yang tercukur, tampak agak


bersikap dingin. Pasti kelihatan lucu di pandangan Puteri

Yuu, karena Sang Puteri tampak seperti menahan tawa,

namun tidak menyinggung soal itu di hadapan Shingen.

“Saya sempat mengira Tuanku hendak terjun ke medan

pertempuran kembali,” kata Kansuke.

“Terjun ke medan pertempuran? Biarkan aku istirahat

sejenak,” kata Shingen. Lalu melihat kepada Puteri Yuu

dan berkata, “Maukah kau menyiapkan jamuan minum

sake?”

Kansuke bermaksud meninggalkan mereka berdua,

namun Shingen berkata, “Bagaimana kalau kau minum

sake bersama kami, Kansuke?”

Inilah pertama kalinya mereka minum sake bertiga dan

hal tersebut merupakan permintaan mengejutkan yang

datang dari Shingen.

Permukaan danau menjadi gelap seiring hari yang

semakin sore. Tidak seperti biasanya, danau tampak tenang

tanpa satu riak pun yang merusak ketenangan itu.

“Hmm, kita berdua sudah meninggalkan keduniawian,

apa yang seharusnya kita lakukan sekarang?” tanya

Harunobu berkelakar. “Aku akan melakukan apa saja yang

kau minta, Yuu. Jika kau memintaku menyerang Kiso,

akan kulakukan. Jika kau menyuruhku menaklukkan

Echigo, akan kulakukan juga.”

“Kau bersedia melakukan apa yang aku minta!?” kata

puteri Yuu pelan, lalu menambahkan, “Kenapa berkata

manis kepadaku hari ini, Tuanku?”


“Itu bukan kata-kata manis. Karena aku selalu ragu

dalam setiap hal yang harus aku lakukan, aku ingin

memutuskan tindakan dengan mengikuti permintaanmu.

Aku sedang menghadapi saat paling sulit dalam hidup.

Akhir-akhir ini aku memikirkan berbagai hal dengan

sungguh-sungguh, tetapi tetap saja tidak memecahkan

masalah. Itulah sebabnya aku ingin mendengar

pendapatmu. Baik aku maupun Kansuke sudah sama-sama

lelah dengan pikiran kami.”

Nada suara Shingen lebih serius kali ini. Sambil

menyimak perkataan Tuannya, Kansuke menyetujui bahwa

sebagian ucapan Shingen benar. Ini memang saat paling

sulit bagi keluarga Takeda. Namun mengambil tindakan

berdasarkan saran Puteri Yuu, menurut Kansuke seolah

sedang berusaha menyingkirkan Kansuke.

Keinginan Shingen yang sebenarnya adalah

menghancurkan Kiso, Uesugi, dan siapa pun yang

menghalangi jalannya, dengan memanfaatkan kekuatan

besar, secepat mungkin.

Tidak peduli apa pun yang diminta oleh Sang Puteri,

jenderal muda yang telah meninggalkan keduniawian itu

masih tetap memegang kepercayaan diri memenangkan

perang tanpa mengalami kegagalan.

“Baik. Kalau begitu aku akan meminta…” Puteri Yuu

membuka mulut tanpa ragu. Kansuke mengangkat wajah

memandang Puteri Yuu.

“Mengapa kau tidak menaklukkan Kiso? Itu yang selalu


ingin kau lakukan, bukan? Mengalahkan Kiso.” Ada sedikit

nada sinis dalam suaranya.

“Kiso?” kata Shingen dengan kaku.

“Ya. Setelah menaklukkan Kiso, kenapa tidak coba

menikahkan puterimu dengan penguasa Kiso? Sampai

sekarang kau selalu mengambil seseorang dari keluarga

yang sudah ditaklukkan, seperti halnya diriku…” kata

Puteri Yuu tertawa sekilas, “tapi aku kira berbahaya untuk

membawa pulang hubungan darah dari keluarga yang

sudah kau taklukkan. Perihal aku, kau beruntung bahwa

akulah yang kau boyong pulang. Kau selesaikan masalah

dengan mencukur kepala. Jika itu orang lain, aku yakin kau

sudah kehilangan nyawa,” bentak Puteri Yuu.

“Jangan bercanda,” kata Shingen terkejut.

“Aku serius. Kansuke sangat mengerti perasaanku. Aku

tidak mengatakan ini lantaran cemburu pada perempuanperempuan

Kiso. Jika kau berencana untuk membawa

seorang perempuan cantik dari Kiso ke Kai dalam usungan,

maka kau akan menyesal. Kau akan segera kehilangan

nyawa. Tidak ada orang lain selain aku yang mengerti

perasaan ketika seluruh keluargamu dihancurkan.

Karenanya, aku menyarankan untuk memberikan seseorang

sebagai ‘tawanan’ kepada musuh.”

“Hmmm,” gumam Kansuke sambil berpikir. Gagasan itu

memang bukan hal yang lazim terpikir oleh seorang yang

memenangkan perang. Namun, sebagaimana saran Puteri

Yuu, ide ini bisa menjadi strategi efektif yang tidak


terpikirkan oleh orang lain sebelumnya. Sebuah gagasan

yang hanya bisa dipikirkan oleh seseorang yang pernah

merasakan menjadi ‘tawanan’.

“Hmmm,” kembali Kansuke bergumam.

Shingen tampak terkejut dengan perkataan Sang Puteri,

lalu dengan ekspresi seolah baru saja tersedak makanan, ia

berkata, “Baiklah, aku akan menaklukkan Kiso.”

Kemudian kepada Kansuke, ia berkata, “Kansuke, kau

tidak keberatan?”

“Aku setuju dengan gagasan Tuan menyelesaikan

masalah Kiso sebelum Echigo. Dan bersamaan dengan

penaklukan Kiso, penting kiranya untuk menjalin

persekutuan yang kuat dengan Imagawa dan Hojo.”

Didorong ucapan Puteri Yuu tadi, percik api dalam

benak Kansuke membesar dan menyebar ke seluruh

penjuru.

Untuk menetralkan persekutuan dengan Hojo, penting

untuk menikahkan puteri tertua Shingen dari istrinya yang

resmi dengan keluarga Hojo. Kemudian Hojo akan

menikahkan puterinya dengan Imagawa, dan puteri

Imagawa dengan keluarga Takeda. Strategi yang telah

disusun Kansuke beberapa tahun lalu, akan memberi

sebuah makna baru. Mata Kansuke mulai bersinar. Jika bisa

melaksanakan strategi ini, maka ketiga keluarga tersebut;

baik Takeda, Hojo, dan Imagawa; akan menjadi kerabat.

Dengan demikian, Shingen dapat menghadapi Kagetora

tanpa takut terhadap keluarga tersebut.


Pada Agustus tahun Tenbun ke-20, Nagao Kagetora

menerima gelar daimyo dan julukan baru Uesugi Norimasa.

Sejak saat itu ia dipanggil dengan sebutan Uesugi Kenshin

Kagetora.

Kansuke menjelaskan hal ini kepada Shingen dengan rinci.

Shingen merenung lama sekali dalam hening, dan tidak

segera menjawab.

Tiba-tiba, Shingen memerintahkan Puteri Yuu untuk

meninggalkan ruangan. “Puteri Yuu, bisa kau tinggalkan

kami sebentar?”

Puteri Yuu meninggalkan mereka dengan patuh.

Kansuke sendirian bersama Shingen. Tanpa sadar,

matahari sudah tenggelam di cakrawala dan kegelapan

mulai menyelimuti.

“Haruskah saya nyalakan pelita?” tanya Kansuke.

“Tidak usah,” Shingen menggelengkan kepala dan

bertanya dengan nada pelan, “apakah persekutuan antara

Imagawa, Hojo dan Takeda, akan berlangsung selamanya?”

“Hmm, saya tidak yakin akan berlangsung lama atau

tidak. Namun, jika Tuan mengikuti petunjuk yang telah

saya sampaikan, persekutuan itu akan terus berlangsung

setidaknya sampai kita hancurkan Uesugi Kenshin

Kagetora. Begitu kita mengalahkannya, maka meskipun

persekutuan itu pecah…”

“Tidak akan menjadi masalah, ya?” “Tidak, sungguh

bukan tugas yang sulit, dibanding menaklukkan Hojo dan

Imagawa.”
“Kansuke._ teriak Harunobu tajam. “Lalu, apa yang

akan terjadi dengan puteriku yang menikahi klan Hojo?

Juga puteraku Yoshinobu yang akan menikahi puteri

Imagawa?”

Kansuke sedikit gemetar. Sepertinya Shingen bisa

melihat makud dibalik rencana Kansuke. Shingen

melanjutkan, “Lalu bagaimana dengan puteri lainnya yang

akan pergi ke Kiso seperti saran Puteri Yuu? Dalam hal ini,

Yoshinobu dan kedua saudara perempuannya…” Kata-kata

Shingen menghilang. Kemudian menambahkan, “Kasihan

mereka.”

“Tuanku,” kata Kansuke cepat.

Shingen sekonyong-konyong menyela, “Jangan

khawatir. Aku hanya mengatakan bahwa hal ini bisa

menjadi salah satu kemungkinan. Namun bagi keluarga

Takeda, ini akan menjadi cara paling efektif menjalankan

rencana yang baru saja kau paparkan. Demi keberhasilan

keluarga Takeda di masa perang, gagasan ini harus

dijalankan. Aku ingin kau melaksanakan rencanamu

secepat mungkin.”

Saat itu, untuk pertama kalinya Kansuke merasa takut

terhadap Takeda Shingen. Melihat Shingen sebagai musuh

berbahaya bagi dirinya dan Puteri Yuu. Shingen sadar betul

akan kenyataan bahwa anak-anak dari istrinya yang resmi

sedang menghadapi bahaya. Tetapi ia tetap bersedia

mengambil resiko dan melaksanakan strategi Kansuke.

Sampai detik ini Kansuke menganggap Shingen sebagai


pemimpin muda yang tidak berpengalaman. Meskipun ia

menghormatinya sebagai jenderal perang yang luar biasa,

kenyataan bahwa Shingen jauh lebih muda dibanding

Kansuke senantiasa membayangi, dan karena itulah ia

selalu berpikir bahwa Shingen tetap belum sedewasa

dirinya. Namun hal tersebut telah terhapuskan saat ini.

Kansuke tidak yakin apakah Shingen mencintai Puteri

Yuu atau tidak. Bukan hanya tentang Puteri Yuu, namun

mengenai Kansuke sendiri ia juga tidak yakin. Kansuke

tahu bahwa Shingen memercayainya, namun tetap saja ada

sesuatu yang membuat Kansuke selalu waspada terhadap

Shingen. Selain itu, perasaannya terhadap Shingen juga

rumit. Kansuke tidak menyesal harus mempertaruhkan

nyawa demi Shingen. la rela melakukan apa saja demi

membantu Shingen menaklukkan seluruh negeri. Namun

saat Puteri Yuu masuk ke dalam hubungan mereka,

segalanya menjadi tidak mudah. Kansuke tidak bisa

menyangkal fakta bahwa ia mencoba melindungi Puteri

Yuu dan Katsuyori dari Shingen.

0=odwo=0

Tiga hari setelah Shingen kembali ke Kofu dari kuil Kannon-

in, Puteri Yuu dan Kansuke bertemu, kemudian Sang

Puteri bertanya padanya, “Kansuke, apa yang kau

bicarakan dengan Tuanku, setelah dia menyuruhku pergi?”

“Tidak ada yang istimewa. Dia memerintahkan saya

melaksanakan rencana membangun persekutuan dengan

ketiga keluarga; Imagawa, Hojo dan Takeda.”


“Aku percaya bahwa Tuanku sangat menyadari posisi

tidak menguntungkan yang akan dialami oleh istri resmi

dan anak-anaknya jika rencana ini dijalankan,” kata Puteri

Yuu.

“Bagaimana Tuan Puteri bisa tahu?”

“Oh, aku langsung tahu begitu melihat ekspresi

wajahnya saat itu. Tampak suram, namun sekaligus sadar

pentingnya keputusan itu demi keluarga Takeda, jadi dia

putuskan mengambil resiko dari rencana tersebut.” Lalu

Sang Puteri menambahkan, “Hal lain adalah, meski tidak

menyebutkan, dia juga menyadari bahwa hidupku tidak

akan lama lagi. Jika dia pikir aku akan hidup lebih lama,

keputusan ini tidak akan mungkin diambil. Tuanku bisa

melihat bahwa hidupku tidak akan lama lagi dan karenanya

tidak akan menjadi sumber malapetaka baginya. Itulah

alasannya mengapa Tuanku memutuskan mengambil

langkah ini.”

“Jika Tuan Puteri sehat, mengapa harus menjadi sumber

malapetaka?” tanya Kansuke.

Puteri Yuu menjawab dengan ekspresi sedih di

wajahnya, “Jika anak-anak dari istrinya yang resmi

mendapat posisi yang menguntungkan, aku tidak akan

membiarkan mereka menikmatinya. Aku mencintai anakku

sendiri, Katsuyori. Aku benci anak-anak dari istrinya yang

resmi, walaupun mereka memiliki darah Tuanku, aku tetap

membenci mereka. Oh, Kansuke, aku malu pada diriku

sendiri!”
“Tuan Puteri berbicara terlalu keras. Tidak semestinya

mengatakan hal-hal seperti itu.”

“Tapi itulah kenyataannya.”

“Jika memang itu kenyataannya, justru menjadi alasan

kuat bagi Tuan Puteri untuk tidak menyebutkan.”

“Tapi, Kansuke!” kata Puteri Yuu memotong, “aku blakblakan

begini semata-mata karena aku mencintai Tuanku.

Sebelumnya aku bahkan sering berpikir untuk

membunuhnya. Sekarang sudah tidak lagi. Sekarang aku

ingin membunuh anak-anaknya. Mereka yang terlahir di

antara Tuanku dan perempuan-perempuan lain.”

“Jangan berkata begitu, Tuan Puteri.”

“Tidak ada yang mendengarkan kita. Kansuke, aku

perempuan yang menakutkan, ya? Tentu saja. Tuanku pasti

mengetahui kepribadianku yang jahat. Dia takut padaku,

tapi sekali lagi, dia juga tahu bahwa aku tidak akan hidup

lebih lama lagi.”

Tiba-tiba ia berdiri dan mulai tertawa seperti orang gila.

“Tuanku tahu bahwa hidupku tidak akan lama lagi. Karena

itu dia tidak khawatir menghadapi situasi sesulit apa pun

yang kelak dihadapi oleh anak-anak dari istrinya yang sah.”

“Tuan Puteri tidak boieh membicarakan hidup segampang

itu. Tuan Puteri harus tetap sehat dan panjang umur, agar

bisa melihat Tuan Katsuyori…”

Kansuke sadar bahwa ia juga berharap sama kerasnya

dengan Puteri Yuu. Begitu berharap Puteri Yuu bisa hidup

lebih lama dari yang diperkirakan. Kansuke bahkan tidak


bisa membayangkan kematiannya. Tidak bisa

membayangkan dunia tanpa Puteri Yuu.

O0-^dw^-o0

Sepuluh

Pada akhir tahun Tenbun ke-21, Shingen menikahkan

putera resminya, Yoshinobu, dengan puteri Imagawa.

Setelah itu pada Juli tahun Tenbun ke-22, puteri dari Hojo

Ujiyasu menikahi putera Imagawa, sehingga penyatuan

kedua keluarga menjadi kenyataan. Kemudian pada bulan

Desember tahun itu pula, puteri tertua Takeda dikirim ke

Sooshuu untuk menjadi mempelai bagi putera Hojo

Ujiyasu, Shinkuroo. Hampir empat tahun waktu yang

dibutuhkan Kansuke dan Shingen melaksanakan rencana

yang telah mereka diskusikan di kuil Kan-non-in bersama

Puteri Yuu.

Iring-iringan pernikahan keluarga Takeda menuju

keluarga Hojo begitu megah. Lebih dari 10.000 orang ikut

serta dalam iring-iringan tersebut. Di antaranya adalah

3.000 pasukan samurai berkuda yang menjaga bagian depan

dan belakang rombongan. Pelana-pelana kuda, usungan

dan kotak-kotak besar, semuanya bertabur dan berhiaskan

emas, berkilauan di bawah cahaya lemah matahari musim

dingin. Di penghujung hari yang dingin, iring-iringan itu

memasuki kota benteng Odawara.

Kansuke juga bergabung bersama mereka. Semua yang

berasal dari Takeda tinggal di Odawara sampai Tahun

Baru. Semuanya, kecuali Kansuke. la kembali ke Kofu dan


melapor kepada Shingen tentang jalannya prosesi.

“Hmm, akhirnya kita tidak perlu mencemaskan apa-apa

lagi. Sekarang kita bisa merencanakan penaklukan Kiso.”

“Kapan saat yang tepat untuk menyerang Kiso?”

“Saya yakin sekitar bulan Agustus akan menjadi saat

yang paling tepat. Sungai Kiso akan dipenuhi air dari salju

yang mencair hingga bulan April,” jawab Kansuke.

Maka hingga bulan Agustus, dilakukan berbagai

persiapan untuk menaklukan Kiso.

Begitu kembali dari Kofu ke Suwa, Kansuke

mengunjungi Puteri Yuu. Tubuh Sang Puteri semakin

kurus, dan kulitnya semakin pucat sampai tampak seperti

transparan. Selain itu, mata hitamnya yang besar tampak

semakin besar. Melihatnya langsung dari bawah dengan

posisi berlutut seperti yang dilakukan Kansuke saat itu,

membuat kecantikannya begitu menakutkan. Kansuke

memberitahu, “Puteri dari istri resmi Tuanku sudah

menikah dengan keluarga Hojo.”

“Selanjutnya adalah perang melawan Kiso, kemudian

melawan Echigo. Aku ingin hidup sampai saat itu,” kata

Puteri Yuu murung.

“Tuan Puteri bicara apa? Tuan Puteri harus kuat. Begitu

kita taklukkan Echigo, kita akan menyerang Hojo, lalu

Imagawa.”

“Saat kau menyerang Hojo dan Imagawa, Aku sudah

tidak hidup lagi.”

“Berarti Tuan Puteri tidak akan menyaksikan Tuan


Katsuyori mewarisi Takeda.”

“Aku ingin melihat itu,” mata Puteri Yuu menerawang

sesaat.

“Tuan Puteri harus menegaskan pada diri sendiri bahwa

akan tetap hidup hingga saat itu tiba.” Akhir-akhir ini,

bahkan di mata Kansuke, kondisi Sang Puteri terlihat jelas

semakin menurun.

Pada akhir Agustus, Shingen memindahkan pasukan

pertamanya untuk menyerang Kiso. Dan saat kota benteng

Seba yang terletak tepat di pintu masuk ke wilayah Kiso itu

menyerah, Shingen menarik pasukannya kembali ke Kai

untuk sementara.

Tahun berikutnya, yaitu tahun Tenbun ke-24, pemimpin

Seba mengunjungi Kofu untuk menyampaikan selamat

Tahun Baru kepada Takeda dengan membawa 213 orang

pengikut. Namun Shingen menyerang dan membunuh

semuanya. Meskipun Sheba sudah menyerah, Kansuke

khawatir mereka akan mengkhianatinya dan berdiri di

pihak lawan, saat menyerang Kiso. Inilah alasan mengapa

Kansuke menyarankan pembunuhan itu, biarpun dianggap

kejam.

Pada 7 Maret, Shingen mengerahkan pasukannya

dengan kekuatan penuh untuk menyerang Kiso. Pasukan

Takeda melewati Sungai Kisonie, lalu Puncak Narai, dan

mendirikan kemah di Yanehara. Kansuke menyadari

bahwa tempat tersebut merupakan tempat terbaik

membangun pertahanan. Pada saat pihak Takeda


menyiapkan penyerangan ke Kiso, Uesugi Kagetora

memasuki wilayah Kawanakajima. Shlngen mengirim

pasukan ke Shinano bagian utara untuk me*ghambat

Kagetora, namun tidak ada hal serius. Begitu Kagetora

menarik mundur pasukannya, Shingen kembali

menempatkan pasukan di Yanehara dan sekail lagi mulai

menyiapkan penyerangan ke Kiso.

Amari ditugaskan sebagai komandan di garis depan.

Sedangkan Baba, Naito, Hara dan Kasuga ditugaskan

memimpin formasi kedua. Pasukan Takeda menargetkan

sebuah benteng di Pegunungan Ontake sebagal sasaran

penyerangan mereka yang pertama.

Sejak awal, pasukan Takeda mampu mengalahkan

musuh dengan mudah. Mereka berhasil menguasai semua

kota dan benteng yang terkenal sulit seperti Kokiso dan

Mizoguchi, kemudian bergerak menuju Benteng Kiso

Yoshimasa. Mereka bergerak maju secepat sambaran kilat,

dan angin taufan. Hanya dalam sehari pertempuran,

benteng itu pun jatuh. Kiso Yoshimasa yang telah lama

melawan Takeda, akhirnya menyerah.

Shingen memberikan puteri kedua dari istrinya yang

resmi kepada Kiso Yoshimasa untuk dijadikan istri dan

menjanjikan keamanan atas wilayahnya Pada bulan

November tahun itu, pasukan Takeda kembali ke Kai

dengan penuh kemenangan. Begitu tiba di Kai, Kansuke

langsung memimpin 500 orang pasukan menuju Shinano

bagian utara.
Lebih 10 tahun telah berlalu sejak Kansuke mulai

mengabdi kepada Takeda. Namun baginya, ekspedisi kali

ini merupakan saat paling menggembirakan dalam hidup.

Saat ini, Uesugi Kenshin Kagetora di Echigo menjadi satusatunya

musuh yang harus dihadapi dan dihancurkan oleh

Takeda. Begitu lama mereka bersikap waspada dan

menahan diri, mengambil strategi pasif terhadap pasukan

Uesugi, namun kini tidak perlu lagi. Kai dan seluruh

wilayah Shinano bagian selatan telah menyerah pada

pasukan Takeda yang kuat. Selain itu, Takeda |uga

memiliki persekutuan kuat dengan Hojo dan Imagawa, jadi

tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Kansuke tetap memimpin pasukan ke Shinano bagian

utara, kendati tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa

Kagetora akan menyerang Takeda. Hal seperti itu baru

pertama kali dilakukan. Shingen akan menyambut

kedatangan Kagetora saat ia menampakkan diri di wilayah

Shinano bagian utara dan mempertaruhkan segalanya

dalam perang besar yang akan terjadi. Untuk itulah

Kansuke ingin melihat seluruh wilayah Shinano bagian

utara yang akan menjadi lokasi perang dari sudut pandang

yang benar-benar berbeda.

Ketika pasukan Kansuke memasuki Komuro dan

mendirikan kemah di lereng landai di wilayah tersebut,

seorang pembawa pesan tiba dengan mengendarai kuda dari

Benteng Takashima Suwa. la adalah utusan Puteri Yuu. Isi

pesan tersebut:
Kehadiranmu sangat diharapkan secepat mungkin.

Aku akan sangat menghargai jika kau bisa

menyempatkan diri untuk datang.

Kansuke baru saja tiba di Komuro, namun tanpa

membuang waktu ia putuskan untuk kembali ke Suwa

seorang diri. Kansuke tidak sedang mengharapkan terjadi

perang saat ini, dan tidak ada tanda-tanda pasukan Echigo

akan menyerang Shinano bagian utara, jadi tidak khawatir

meninggalkan pasukannya di sini. Tiga hari kemudian,

Kansuke tiba di Benteng Takashima. Puteri Yuu lalu datang

ke benteng tersebut dari kuil Kan-non-in, dan langsung

ditemui oleh Kansuke.

“Aku minta maaf telah memintamu datang jauh-jauh

dari Komuro,” kata Puteri Yuu pelan. “Sebenarnya tidak

ada hal khusus yang Ingin kusampaikan. Aku hanya ingin

bertemu denganmu.”

Minuman sake dibawa masuk. Begitu Kansuke, yang

tetap memakai pakaian perang, mengangkat cangkir, Puteri

Yuu segera menuangkan sake, yang langsung diteguk dan

mengalir dalam tubuh letih Kansuke. “Berapa usiamu

sekarang, Kansuke?”

“63 tahun.”

“Sudah 10 tahun berlalu sejak aku pertama kali

melihatmu di benteng ini,” kata Puteri Yuu penuh emosi.

“Tuan Puteri sendiri sudah usia berapa?”

“Aku 25 tahun.”

“Hmm, waktu begitu cepat berlalu, ya?”


“Katsuyori sekarang sudah 10 tahun.” Setelah

mengatakan itu, Puteri Yuu menyuruh pelayan memanggil

Katsuyori. Kansuke hanya melihat Katsuyori dua atau tiga

kali dalam setahun. Begitu sibuk mengurus pertempuran

yang silih berganti sampai tidak punya waktu menemani

anak itu.

Katsuyori masuk setelah dipanggil ibunya dan duduk

bersebelahan tanpa bicara. Parasnya tidak mirip Shingen,

kecuali matanya. Meski pemalu dan terlihat lemah, namun

di mata Kansuke, anak itu kelihatan bagus dalam segala

hal.

“Tolong jaga dia,” kata Sang Puteri. “inilah yang ingin

aku katakan padamu malam ini. Entah mengapa,

mendadak aku diburu keinginan tak tertahankan untuk

memberitahu hal ini. Aku mohon maaf telah meminta lakilaki

tua berumur 60 tahun lebih sepertimu datang jauh-jauh

kemari. Maafkan keegoisanku.”

“Saya sudah terbiasa dengan sikap tak terduga Tuan

Puteri,” jawab Kansuke tertawa. Sikap egois Puteri Yuu

justru menjadi hal yang membahagiakannya, meskipun

Kansuke tidak mengatakannya secara langsung. Sejak

pertama bertemu hingga hari ini, Sang Puteri selalu bersikap

seperti itu terhadapnya.

Malam itu, Sang Puteri tidak tampak sakit. Wajahnya

bersinar dan matanya cerah dan berbinar. Kansuke

menginap semalam di Benteng Takashima dan keesokan

paginya mengendarai kuda kembali ke Komuro, menyusul


pasukan yang ditinggalkan.

Tiba di Komuro, Kansuke merasa begitu lelah, la tidur

seperti orang mati di ruangan kecil sebuah kuil di lokasi

perkemahan.

Pagi hari berikutnya, kansuke terbangun. Di luar sudah

terang benderang. Cahaya matahari pagi mulai memasuki

kamar tersebut.

“Ada peringatan bahwa patroli musuh sedang menuju

kemari dari Un-no-Daira,” Kansuke mendengar sebuah

suara dari ruangan sebelah.

“Apa! Patroli musuh?”

“Ya, tampaknya pasukan Echigo.”

“Berapa banyak?”

“Kira-kira lebih dari seribu orang.”

“Baiklah.”

Ketika Kansuke keluar dari ruangan Itu, para pengikutnya

sudah berkumpul di halaman kuil. Hembusan napas mereka

mengepul putih di udara pagi bulan November yang dingin.

Walaupun hanya pasukan patroli, namun tetap saja

jumlahnya sangat besar. Jika mereka menuju ke sini dari

Un-no-Daira, maka sangat jelas tujuannya adalah untuk

ikut dalam pertempuran.

“Kita harus mundur secepatnya,” kata Kansuke. la tidak

mau pengikutnya terluka sia-sia atau terlibat pertempuran

kecil yang tidak berarti. Mereka membongkar perkemahan

di Komuro, lalu mulai menuju selatan. Kansuke yakin

bahwa se/ama pasukan mereka mundur, musuh tidak akan


mengejar.

Setelah berjalan sekitar tiga mil, sebuah panah melayang

ke bagian belakang pasukan. Kansuke marah melihat

desakan pasukan musuh, namun tetap tidak ingin

bertempur.

Mereka mempercepat langkah dan melanjutkan

perjalanan menuju selatan dengan menyusuri kaki

pegunungan. Seekor kuda menghampiri dari arah depan;

berlari kencang menuju Kansuke di tengah pasukan, dan

hampir terjatuh dari pelana ketika turun. Samurai

penunggang kuda tersebut berkata dengan ragu, berhenti

sebentar mengambil bernapas, “Tadi malam Puteri Yuu

meninggal dunia.”

Sungguh pesan tak terduga dari Suwa. Kansuke langsung

meragukan kebenarannya.

“Katakan sekali lagi ?!”

“Puteri Yuu…” ulang si samurai. *

“Puteri Yuu meninggal dunia, katamu!? Tuan Puteri

Yuu!?”

Kansuke hampir jatuh dari kuda yang tiba-tiba menendangnendang

kaki belakang dengan ringkikan tajam. Sebuah

anak panah bagian belakang kuda.

“Tuan Puteri meninggal dunia. Tuan Puteri Yuu!”

Sejumlah anak panah berdesing di sekeliling.

Suara-suara teriakan terdengar di kejauhan.

“Mundur!” Kansuke dengan tegas memerintahkan

pasukannya, sementara kudanya sendiri tidak bergerak.


Setelah berpikir beberapa lama, Kansuke turun dari kuda

dan menarik anak panah yang menancap di bagian

belakang kuda. Para pengikutnya mundur dengan

kecepatan penuh, dengan cepat melewati Kansuke.

“Mundur, mundur.’” Kansuke tetap berteriak. Saat

kembali menaiki kuda, tanpa diduga, dari sisi lain bukit,

muncul puluhan orang prajurit musuh. Mereka mendekat

dengan cepat dan masing-masing menghunus pedang.

“Ini tidak mungkin, Sang Puteri tidak mungkin… tidak,

ini tidak mungkin!” Kansuke tidak bisa menerima kematian

Puteri Yuu. Beberapa anak panah melewatinya. Teriakanteriakan

datang dari berbagai arah. Kansuke memacu kuda

ke arah barat, tapi mendadak berbalik arah. Sekelompok

prajurit musuh dengan cepat mendekat. Kansuke memacu

ke segala arah sambil meneriakkan kata-kata yang sama

berkali-kali, “Tuan Puteri, Tuan Puteri!”

Namun tiba-tiba, kesadaran bahwa para samurai musuh

berlari mendekat dari segala penjuru. Untuk pertama

kalinya Konsuke menyadari situasi di sekelilingnya, la lalu

berniat untuk segera meloloskan diri. Tidak mengindahkan

bahaya atau takut.

Yang dirasakan hanya kebencian teramat sangat

terhadap samurai musuh yang akan mengepungnya.

Dia ingin sendirian secepat mungkin.

Begitu memutuskan untuk keluar dari situasi sulit yang

dihadapi, Kansuke memutar kudanya ke arah yang dipilih

dengan tekad bulat tidak akan membiarkan satu pun musuh


menghalangi upaya meloloskan diri.

Beberapa samurai pengikut Kansuke yang mencemaskan

dirinya pasti kembali lagi ke tempat itu, karena di sekitarnya

ada beberapa orang saling bertarung.

Kansuke menusuk seorang musuh dan menendang yang

lain. Darah menyembur mengenai perut kuda. la

menendang dan menjatuhkan musuh-musuh di depannya,

mencari jalan keluar dari pertempuran; mengarahkan kuda

ke selatan, memacunya melintasi hamparan padang seperti

anak panah, naik-turun sepanjang perbukitan Shinano

bagian utara dan terus berkuda menuju selatan.

“Tuan Puteri!” saat meneriakkan kata yang sama

kembali, yang terus diulangi ratusan kali, kudanya

meringkik keras dan menekukkan kaki depan seperti hendak

jatuh ke tanah. Kansuke terlempar bergulung-gulung

beberapa kali di rerumputan, lalu berhenti di dekat semak

belukar.

Tuan Puteri!

Kansuke bangkit untuk duduk dan melihat ke

sekelilingnya. Mencari-cari si pembawa pesan yang datang

mengabarkan berita kematian Puteri Yuu. Tidak ada

sesosok manusia pun di padang luas itu. Kansuke

merasakan cahaya lemah matahari musim dingin di sekitar,

juga pada rumpun ilalang yang berwarna keemasan. Angin

pasti tidak sedang bertiup, karena ujung rerumputan berdiri

diam. Untuk pertama kalinya Kansuke menyuarakan katakat

dari mulutnya. Kata-kata yang tadi didengar dari si


pembawa pesan, “Tadi malam tuan puteri meninggal

dunia.”

la sudah mendengarnya. Puteri Yuu meninggal dunia.

Bahwa sudah berhenti bernapas dan jiwanya sudah tiada.

Tidak, tidak mungkin sosok cantik dan berharga itu lenyap

dari dunia ini! Tidak mungkin!

Tidak peduli seberapa keras mencoba, Kansuke tidak

bisa memercayai kejadian ini. Pantas saja tubuh Sang Puteri

begitu kurus sampai serasa bisa digenggam pinggangnya

dengan kedua tangan, dan kedua mata beliau yang biasanya

bersinar tampak lebih besar dibanding sebelumnya. Jelas

akan membuat orang yang melihatnya berpikir bahwa

hidupnya tidak akan lama lagi. Bahkan Kansuke sendiri

juga merasakannya. Tapi, Tuan Puteri.’ Tidak dengan

orang seberharga itu…

Kansuke bangkit dari rimbunan semak. Kudanya sudah

tidak bisa ditunggangi lagi. Dari jauh, terdengar tiupan

terompet pasukan yang memerintahkan untuk berkumpul;

bunyi terompet dari pasukan Kansuke.

Sepanjang hari itu Kansuke berjalan ke utara seperti

orang gila; kadang berjalan cepat, kala lain berjalan lambat.

Sejumlah desa dilewati. Desa-desa itu seperti tidak

berpenghuni. Tidak terlihat seorang pun. Pintu depan

rumahnya tertutup rapat. Selain burung-burung yang

terbang melintas, seluruh desa sangat hening seperti mati.

Semua desa yang dilalui selalu begitu. Setiap kali Kansuke

masuk, ia minum dari sumur penduduk desa dan terus


berjalan menggunakan pedang berlumur darah sebagai

tongkat.

Sekali waktu, saat melewati sebuah desa, Kansuke tibatiba

berteriak, “Tuan Puteri!”. Sebuah teriakan putus asa.

Ujung pedangnya menembus tanah berdebu sepanjang dua

inci. Tepat ketika itu, dari balik dinding di mana Kansuke

berdiri, seseorang memekik tertahan. Di saat yang sama,

Kansuke mendengar langkah kaki beberapa orang bergerak

menjauh. Desa itu bukannya tidak berpenghuni. Tidak

hanya di desa itu, namun juga di desa-desa lain yang

dilewati, semua orang bersembunyi di dalam rumah,

menutup pintu rapat-rapat, menghindari konfrontasi dengan

laki-laki tua menakutkan ini, yang punya wajah seperti

Ashura.

Tanpa disadari, malam menjelang. Kansuke berada di

bawah lindungan pepohonan. Cahaya biru bulan musim

dingin tampak menyebar saat ia memandang melalui

rimbun dedaunan. “Tuan Puteri!” teriak Kansuke, disusul

kepakan sayap sejumlah burung malam terbang menjauh.

Dua hari dua malam berlalu, Kansuke masih terus

berjalan.

“Ke mana tujuanmu?” Kansuke ingat seseorang bertanya

padanya, la tidak ingat kapan dan di mana. Hanya ingat

ada orang yang bertanya begitu. Ke mana ia harus pergi?

Dalam dunia yang sudah ditinggalkan oleh Puteri Yuu ini,

ke manakah dirinya harus pergi? Kansuke terus berjalan

tanpa henti.
Saat itu tengah malam ketika Kansuke terbangun, la

jatuh tertidur di tepi sebuah sungai kering. Ke manapun

memandang, yang tampak hanya batu-batu berwarna putih,

tersebar di mana-mana. Tidak tampak rerumputan di sana.

Di seberang kumpulan batu-batu putih itu, terdapat sebuah

aliran air berwarna biru, berkilau di bawah terang

rembulan. Dan di seberang aliran air, kembali terdapat

hamparan luas batu-batu putih.

“Hmmm.” Kansuke duduk di tepi sungai, meletakkan

kedua telapak tangan di matanya. Keinginan untuk

menangis tiba-tiba melanda, dan meski tidak mampu

menghentikan getaran tubuhnya, Kansuke mencoba

mengendalikan kesedihan.

Puteri Yuu meninggal dunia. Tidak ada lagi di dunia ini.

Tidak peduli ke manapun mencari, Kansuke tidak akan lagi

bisa menemukan sosok, wajah, tangan, mata, dan rambut

hitamnya yang indah. Untuk pertama kali Kansuke

menerima kematian Sang Puteri dan kesedihan mulai

membekukan tubuhnya.

…Tuan Puteri sudah tiada.

Airmata memenuhi pelupuk mata. Kansuke duduk

menyilangkan kaki dan meletakkan kedua tangan di lutut,

lalu mengangkat wajah membiarkan airmata melelehi pipi.

Kali ini ia terisak.

Malam berikutnya, Kansuke tiba di sisi barat Danau

Suwa. la tidak tahu ke mana atau arah mana ia telah

berjalan. Kakinya mengambil arah utara dan terus berjalan


menuju Benteng Takashima. Saat mendekati benteng, ia

melihat barisan api unggun di sepanjang pinggir danau.

Sekilas seperti barisan api unggun yang diletakkan

sepanjang jalan dari kota benteng Takashima menuju kuil

Kan-non-in. Setiap api unggun memantul di permukaan

danau dan pemandangan itu begitu indah, seolah berasal

dari dunia lain.

Kepada salah seorang samurai pertama yang ditemui

memasuki perbatasan Benteng Takashima, Kansuke

menanyakan.

”Kapan pemakaman akan dilaksanakan.

“Jam enam sore ini,” jawab si samurai dengan sopan,

menyadari bahwa orang di hadapannya itu adalah

Kansuke.

“Peti jenazah diberangkatkan dari Benteng Takashima

atau kuil Kan-non-in?”

“Petinya berangkat dari kuil Kan-non-in.” “Di mana

Tuanku?”

“Menurut berita, beliau berada di kuil Kan-non-in.”

“Bagus!”

Samurai itu berlari cepat ke arah benteng, la pasti telah

melaporkan kembalinya Kansuke. Karena begitu Kansuke

mencapai gerbang benteng, banyak samurai yang berdiri

menunggu.

“Aku akan langsung mengunjungi kuil Kan-non-in,” ujar

Kansuke kepada mereka, lalu berjalan ke kuil tanpa

memasuki benteng. Seseorang menawari seekor kuda,


namun ia tolak. Beberapa orang pengikutnya yang berkuda

datang dari belakang dan melintas. Kansuke berjalan

lambat menyeret kaki yang lelah, sepanjang pinggiran

danau di mana Sang Puteri biasa menikmati pemandangan.

Sepanjang lereng menuju kuil Kan-non-in, banyak

samurai menunggu kedatangan Kansuke. Kansuke tidak

menghiraukan mereka dan terus berjalan, bertumpu pedang

yang digunakan sebagai tongkat. Namun di tengah jalan,

Kansuke tersadar dan memanggil salah seorang samurai.

Dia serahkan pedangnya pada si samurai itu dan merapikan

jubah perang yang acak-acakan dengan kedua tangan.

Kansuke mendengar dengung rapalan mantera Buddha

dan merasakan getaran dari kuil Kan-non-in. kansuke

memasuki gerbang utama, berjalan melintasi lorong,

memasuki ruang terdalam yang merupakan kediaman

Puteri Yuu.

Banyak orang di ruangan itu. Setiap pengikut utama klan

Takeda hadir. Altar Buddha ditempatkan di atas sebuah

undakan kecil di salah satu sisi ruangan. Para pengikut

Takeda duduk di kiri-kanannya.

“Kau sudah kembali, Kansuke!” Itu suara Takeda

Shingen.

“Ya,” kata Kansuke sambil berlutut.

“Puteri Yuu sudah tiada, tapi aku yakin kau masih

kembali.”

“Ya.”

“Kau pasti sangat lelah. Lebih baik istirahat dulu.”


Kansuke bangkit berjalan menuju altar, lalu membakar

dupa. Pada sebilah kayu tertulis ‘Shukoin Koan Seigen

Daishi’, nama Sang Puteri setelah meninggal dunia, yang

dipilihkan oleh pendeta Buddha.

Kansuke melangkah mundur dari altar dan duduk di

hadapan Shingen. la ingin menyampaikan duka, namun

belum sempat membuka mulut, Shingen berkata, “Rakyat

Ina sedang melancarkan protes.”

“Ina? Kenapa tidak Tuanku perangi mereka?”

“Nagano Shinano-no-kami di wilayah Joshu dan Ota

Nyudo dari wilayah Bushu tidak akan membiarkan kita.”

“Perangi juga mereka.”

“Memerangi mereka?!”

“Ya, siapa pun yang menentangmu Tuanku, harus

diperangi.”

“Tapi itu akan menunda penyerangan ke Uesugi

Kenshln.”

“Saya tidak berpikir itu akan tertunda lama. Tekan Ina,

ancurkan joshu dan Bushu, dan segera setelah itu kita akan

mengakhiri Kagetora,” Kansuke mengangkat kepala dan

menatap Shingen lurus-lurus. “Dalam waktu tiga atau

empat tahun ke depan, kita harus membunuh orang itu.”

“Tiga atau empat tahun!? Kau terlalu terburu-buru,

Kansuke.”

“Jika Tuanku tidak melakukannya, saya yakin Tuanku

juga tidak akan pernah merasa aman,” kata Kansuke.

Shingen tidak menjawab. Untuk menghancurkan ina,


Joshu, dan Bushu dan pada akhirnya menghancurkan

musuh utama Kagetora memang menjadi tujuan utama

beberapa tahun ke depan, la tidak bisa memikirkan cara lain

yang lebih baik. Kansuke merasa, Shingen juga memiliki

tujuan yang sama.

“Kansuke, kau membuat wajahmu terluka lagi.

Memangnya berapa banyak luka yang kau miliki?”

“Saya yakin ada 36. Berapakah usia Tuanku sekarang?”

“Kau pasti sudah mulai pikun, melupakan usiaku.

Sebentar lagi umurku 36 tahun. Sama jumlahnya dengan

lukamu.”

Hanya orang-orang yang duduk di dekat mereka saja

yang bisa mendengar percakapan itu. Yang lain tidak bisa

karena tertelan suara-suara rapalan mantera.

Pada Oktober tahun Tenbun ke-24, telah terjadi

perubahan; era Tenbun berganti menjadi era Koji, dan

tahun pertama Koji tersebut akan berakhir dalam 15 hari.

Kansuke meninggalkan ruangan itu, menuju beranda.

Api unggun sepanjang tepi danau masih menyala terang, la

berpikir, tidak ada cara lain mengisi hari-hari yang kosong

tanpa kehadiran Puteri Yuu selain memerangi musuh.

Kansuke puas dengan kenyataan bahwa Shingen juga

menyetujui hal Itu. Kansuke pergi menuju kamar

Katsuyori. Anak itu tertidur kelelahan, seperti tidak istirahat

selama dua hari dua malam. Kansuke memasuki kamarnya

diam-diam.

“Siapa itu?” Bersamaan dengan suaranya yang bernada


tegas, Katsuyori yang berusia 10 tahun itu terbangun. Ini

cukup menenangkan Kansuke.

“Ini Kansuke.”

“Pak tua, kau masih hidup!”

“Bagaimana mungkin aku mati? Bagaimana bisa bahagia

di akherat sana jika aku mati sebelum melihat kampanye

perang pertama mu?”

“Pak tua yang keras kepala, ternyata kau masih hidup.

Sejak ibuku meninggal, kupikir kau juga mati. Jika kau

masih hidup, aku ingin kau hidup untuk setidaknya lima

tahun lagi.”

“Kenapa?”

“Aku akan berusia 15 tahun. Aku juga ingin kau melihat

kampanye perang pertamaku.”

“Oh!” luapan emosional menjalari tubuh tua Kansuke.

“Pak tuamu, Kansuke, akan…” ia tidak mampu

melanjutkan kata-katanya. Gelombang emosi menyapu

seperti luapan. Kansuke membayangkan Katsuyori dalam

kampanye pertamanya. Dalam bayangan Kansuke, seorang

gadis muda yang dilihatnya pertama kali sepuluh tahun lalu

di Benteng Takashima menggantikan wajah muda

Katsuyori. la tidak bisa membedakan kedua wajah tersebut.

Wajah Puteri Yuu dan Katsuyori bercampur dalam

imajinasinya. Seolah Sang Puteri yang sudah tiada kembali

lagi.

Puteri Yuu masih hidup. Masih hidup! Kini, seolah

menyebarkan cahaya indah kembali menyinari Kansuke


yang akan menyongsong hari-hari gelap peperangan mulai

esok hari.

O0—dw—0O

Sebelas

Meskipun masih diliputi kesedihan atas kematian Puteri

Yuu, Shingen tetap mengirim pasukan dengan cepat

menuju Ina pada Maret tahun Koji ke-2. Kansuke pun turut

ambil bagian dalam operasi tersebut.

Saat pertempuran melawan Kiso di pegunungan, mereka

masih bisa menggunakan kuda, namun dalam operasi kali

ini, kuda-kuda tidak bisa digunakan sama sekali. Para

prajurit berbaris dalam satu deret di jalan setapak

pegunungan yang curam, sepanjang jurang dalam yang

menampakkan aliran deras sungai Tenryu. Mereka mendaki

beberapa pegunungan yang belum pernah dilintasi orang

sebelumnya.

Satu demi satu pasukan Takeda menyerang dan

menaklukkan benteng-benteng kecil yang tersebar sepanjang

lembah Ina. Selama dua minggu operasi tersebut mereka

menerima laporan bahwa Uesugi Kenshin Kagetora di

Echigo juga sudah memulai operasinya sendiri di

Kawanakajima. Pasukan Takeda bertempat di sebuah desa

kecil, di mana beberapa rumah pertanian dibangun dengan

berdekatan satu sama lain di sebuah sudut pinggiran sungai

Tenryu yang luas dan kering. Begitu menerima informasi

tersebut, mereka secepatnya mengadakan pertemuan untuk

membicarakan bagaimana menangani perkembangan baru


ini.

“Aku yakin ini bukan keadaan serius. Kita acuhkan saja

mereka untuk saat ini dan melanjutkan penaklukan

benteng-benteng di wilayah Ina. Saat Kenshin mulai

bergerak ke selatan, kita bisa menarik semua pasukan dari

Ina dan memeranginya,” kata Shingen. Kepercayaan

kepada pasukannya jelas terlihat.

“Saya setuju dengan Tuanku,” kata Kansuke. Bagi para

jenderal yang lain, tanggapan Kansuke terhadap perkataan

Tuannya sungguh tidak terduga. Biasanya Kansuke selalu

menentang gagasan Shingen dan menawarkan strategi yang

lebih berhati-hati.

Obu Saburo merupakan orang pertama yang menentang

gagasan tersebut. “Untuk musuh-musuh selain Kenshin,

saya sependapat dengan Tuan. Namun, saya dengan tegas

menyarankan untuk tidak menggunakan strategi tersebut

melawan Kenshin,” ujar jenderal muda tersebut, yang telah

mencatat keberhasilan di berbagi perang. Akiyama Hoki-nokami

juga mendukung perkataan jenderal muda tersebut.

Shingen tampak ragu meninggalkan kegiatan penaklukan

wilayah Ina saat ini dan terintimidasi oleh berita kehadiran

Uesugi Kenshin.

“Baiklah,” Shingen berusaha untuk menyembunyikan

perasaan kecewa dengan menanyakan kepada Kansuke,

“Kansuke, bagaimana menurutmu?”

“Saya memahami pendapat Jenderal Obu. Saya juga

memiliki pemikiran yang sama dengan Tuanku, jika semua


menyetujui. Namun jika ada pendapat lain, kita juga harus

mempertimbangkannya.”

“Kalau begitu, apa yang akan kita lakukan?”

“Menimbang perkataan Jenderal Obu, kita harus

mengirim setengah dari pasukan kita ke Shinano bagian

utara,” kata Kansuke fleksibel. Inilah yang

membedakannya dengan Shingen.

“Siapa yang akan pergi?”

“Saya yakin sebaiknya Tuanku sendiri yang seharusnya

pergi.”

“Bukan, jangan aku,” kata Shingen, “Ini hanya untuk

intimidasi; karena itu tidak akan ada pertempuran di sana.”

“Tuanku sepenuhnya benar. Kenshin memang tidak

akan menyerang, hanya karena seorang jenderal perang

yang memimpin pasukan.”

“Aku tidak tertarik untuk pergi. Biar yang lain saja.”

“Ya, tapi jika yang pergi orang lain, pasti akan terjadi

pertempuran. Kita bisa kesulitan sendiri. Jadi pasukan itu

harus dipimpin Tuanku sendiri.”

Kansuke yakin pada gagasan untuk tidak mengirimkan

seorang pun ke Shinano adalah baik. Namun jika memang

harus mengirimkan seseorang ke sana, maka haruslah sang

jenderal perang, Shingen.

Setelah pertemuan selesai, Shingen berangkat ke

Kawanakajima, meninggalkan sebagian pasukannya di Ina.

Sudah diputuskan bahwa Kansuke akan tetap tinggal di

sana dan melanjutkan upaya penaklukkan banteng-benteng.


Sesuai dugaan Shingen, tidak ada deklarasi perang di

Kawanakajima. Uesugi Kenshin tidak pernah pindah dari

perkemahannya di kuil Zenkoji, sementara Shingen

mendirikan perkemahan di gunung Chausu. Tanpa terjadi

apa-apa selama lebih dari sebulan, pada tanggal satu Mei,

Uesugi Kenshin akhirnya membongkar perkemahan dan

kembali Echigo. Mengikuti tindakan Kenshin, Shingen juga

memimpin pasukannya kembali ke Ina.

Sementara Shingen berada di Shinano bagian utara,

pasukan Takeda, di bawah pimpinan Kansuke,

menaklukkan seluruh wilayah Ina. Semua yang menyerah

diampuni, dan yang tidak mau menyerah dihukum mati.

“Tidak ada satupun wilayah di Ina yang tidak mengakui

Tuanku sebagai pemimpin.,” kata Kansuke.

“Bagaimana dengan Mizoguchi, Kurokawaguchi, dan

Odagiri?”

“Mereka semua dihukum mati.”

“Bagaimana dengan Miyata, Matsushima, Tonojima?”

“Saya juga menghukum mati mereka.”

“Bagaimana dengan Hanyu, Inabe, dan…?”

“Mereka juga…”

“Mati?”

Kansuke tidak mengubah ekspresi sama sekali. Membuat

Shingen merasa takut.

“Berarti kau membunuh mereka semua.”

“Ya, karena mereka memperlihatkan keraguan terhadap

kepemimpinan Tuanku, saya pikir akan lebih baik


membasmi kejahatan hingga ke akar-akarnya. Namun

mereka yang selamat, tidak aku sakiti sama sekali.”

Tetapi, bagaimnapun juga, jumlah yang tidak mereka

bunuh lebih banyak beberapa kali lipat dibanding pasukan

Kansuke, dan mereka berkumpul di tepian sungai Tenryu.

Baik Shingen maupun para jenderal yang lain mengalami

kesulitan memahami bagaimana cara Kansuke, sendirian

bersama pasukannya yang berjumlah sedikit, mampu

menaklukkan begitu banyak benteng pertahanan di Ina,

yang telah membangkang terhadap Takeda selama puluhan

tahun.

Malam itu, pasukan Takeda mengadakan pesta

merayakan kemenangan.

Akiyama, sebagai pemimpin 250 orang pasukan berkuda,

diperintahkan bertanggung jawab terhadap wilayah Ina dan

melindungi Benteng Takato. Obu Saburo diangkat menjadi

jenderal 500 orang pasukan samurai berkuda dan Kasuga

Danjo-no-Chu mejadi penerus nama keluarga terkenal di

wilayah Shinano, yaitu Kosaka. la menyebut diri sebagai

Kosaka Danjo-no-Chu dan dipindahkan ke Shinano bagian

utara sebagai pemimpin 450 pasukan samurai berkuda.

Lengkap sudah semuanya; Akiyama mengawasi Ina, dan

Kosaka mengawasi Uesugi Kenshin.

Sore itu hingga larut malam, Shingen dan Kansuke saling

berhadapan satu sama lain di ruang tamu rumah pertanian

di perkemahan mereka.

“Nah, selanjutnya apa yang akan kita lakukan?”


“Mari kita menyerang Joshu.”

“Bagaimana dengan Bushu?”

“Baiklah, kita juga akan menyerang Bushu.”

“Apakah menurutmu orang lain tidak akan sependapat

lagi dengan kita?”

“Saya tidak berpikir demikian.”

Mata mereka bertemu. Shingen tersenyum, namun tidak

demikian halnya dengan Kansuke. Beberapa saat lamanya

mereka saling pandang.

“Kau tidak adil, Kansuke,” kata Shingen tiba-tiba.

“Apa maksud Tuanku?”

“Pada saat penaklukan Ina, kau mengambil posisi lebih

baik.”

“Bukan salah saya. Memang begitu adanya.”

“Kali ini, aku yang akan bertarung. Kau tidak bisa lagi

mencegahku.”

“Saya tidak akan membantah. Saya juga akan ikut

bersama Tuanku. Jangan biarkan saya di sini menjaga

rumah; itu sangat membosankan.”

Mereka berdua mulai tertawa, namun tidak lama

kemudian mereka berhenti. Keduanya sama-sama

mendadak sedih atas ketiadaan Puteri Yuu. Seolah semilir

angin dingin baru saja memasuki ruangan itu.

0=odwo=0

Sejak musim gugur tahun itu, panji Furin Kazan tidak

pernah tinggal di Kofu lebih dari setengah tahun. Layaknya

harimau lapar yang sedang mencari mangsa, pasukan


Takeda terus melakukan invasi. Mereka berkuda ke segala

penjuru, bertempur, menang, dan kembali lagi ke Kofu.

Saat itu tahun Koji ke-3 ketika Shingen memimpin

pasukannya melintasi Puncak Fuefuki menuju wilayah

Joshu di mana ia menyerang pasukan besar Nagano

Shinano-no-kami dalam pertempuran Kamejiri. Bahkan

sebelum pertempuran itu berakhir, Shingen menerima

informasi tentang Kenshin yang muncul kembali di

Kawanakajima. Segera ia menggerakkan pasukan ke

Shinano bagian utara.

Seperti biasa, kedua pasukan menghindari konfrontasi

dan menghabiskan bulan-bulan musim panas dan musim

dingin tanpa saling mengganggu. Saat Kenshin menarik

mundur pasukannya, Shingen pun melakukan hal yang

sama.

Pada tahun Koji ke-4, terjadi kembali pergantian era

menjadi tahun Eiroku ke-1. Pada bulan April tahun itu,

Uesugi Kenshin memasuki provinsi Shinano bersama 8.000

prajurit dan membakar dataran Un-no-Daira, yang berada

di bawah kendali Takeda. Shingen bertempat di Benteng

Komuro saat itu, namun ia mengabaikan ancaman Kenshin

dan lebih memusatkan perhatian pada penguatan benteng.

Keheningan mencekam merasuki kedua pasukan. Bagi

semuanya, sangat jelas akan terjadi pertempuran besar

antara Kai dan Echigo.

Pada bulan Agustus, secara tak terduga Shingen

menerima surat rahasia dari Shogun Yoshiteru yang


menyarankan perlunya dibuat perjanjian damai antara

pasukan Kai dan Echigo. Surat tersebut berisi:

Apa gunanya mengirim pasukanmu setiap tahun

memerangi Uesugi Kenshin dan menghancurkan

kedamaian di perbatasanmu; ini tidak memberi apa-apa

kepada rakyatmu selain penderitaan.

Shingen memperlihatkan surat tersebut pada Kansuke.

Kansuke segera bertanya, “Tuanku sudah memberi

jawaban?”

“Ya, sudah.”

“Apa jawaban Tuanku?”

“Ini.” Shingen memperlihatkan Kansuke sehelai surat

panjang yang ditulis di atas kertas resmi dengan tulisan

bergaya cetak. Namun, isi surat tersebut bukan berupa

jawaban kepada Shogun Yoshiteru, melainkan doa untuk

keamanan provinsi Shinano yang didedikasikan untuk kuil

Togakushi.

Tidak ada yang lebih lucu dan tak berarti bagi Shingen

dibandingkan surat berisi saran dari Shogun tersebut.

Menilai bagian akhir surat yang mengatakan, “Aku juga

akan menyarankan Uesugi Kenshin hal yang sama,”

menandakan bahwa Shogun juga mengirim surat sejenis

kepada Kenshin. Namun tidak ada respon dari Kenshin

kepada Shingen. Tampaknya Kenshin juga merasa bahwa

surat tersebut lucu dan tidak berarti.

Pada akhir Februari tahun Eiroku ke-2, seorang pendeta

bernama Zuirin mengunjungi Kai sebagai pembawa pesan


dari Shogun Yoshiteru. Di saat yang sama, terdengar kabar

bahwa Oodate Harumitsu juga dikirim ke Kenshin di

Echigo atas perintah Shogun. Shingen tidak mengatakan

hal yang sebenarnya dan tetap bersikap baik hingga

kepulangan Zuirin.

Dua bulan setelah kedatangan sang pendeta, Shingen

tiba-tiba memanggil Kansuke. Sudah tengah malam ketika

Kansuke mengunjungi Shingen di kediamannya; Shingen

tersenyum dan berkata, “Aku baru saja menerima kabar

bahwa Uesugi Kenshin menuju Kyoto untuk menemui

Shogun.” Selesai mengatakan itu, tubuhnya bergetar sesaat,

menandakan betapa inginnya ia menyerang Echigo

secepatnya.

“Ini kesempatan langka. Kita harus memanfaatkannya

dengan baik. Namun, sekarang belum saatnya menggelar

perang penentuan,” kata Kansuke.

Kansuke percaya bahwa perang dengan Kenshin harus

diadakan di padang-padang wilayah Shinano bagian utara.

Mengingat bahwa mereka bisa menyerang Echigo sekarang;

saat Kenshin berada di Kyoto. Pasukan Takeda bisa saja

menimbulkan kerusakan cukup besar pada pasukan Echigo

hingga tidak dapat memulihkan diri kembali. Namun ini

akan menyulitkan usaha untuk membunuh Kenshin.

Kansuke mengemukakan pikiran itu kepada Shingen.

“Jadi, bagaimana cara kita memanfaatkan kesempatan

ini?” tanya Shingen.

“Saya ingin Tuanku memerintahkan Kosaka Masanobu


untuk menghancurkan semua musuh kita di wilayah sekitar

Kawanakajima. Kemudian, izinkan saya membangun

benteng di sana. Begitu benteng itu selesai dibangun, kita

akan siap bertempur dengan Kenshin kapan saja.”

“Apakah kita memang perlu membangun benteng?”

“Tentu saja perlu. Saya ingin mendirikan benteng di

wilayah strategis dekat Sungai Sai atau Sungai Chikuma.”

“Baiklah, kalau kau berpikir begitu, siiahkan,” kata

Shingen pelan. Tidak menanyakan mengapa Kansuke

membutuhkan sebuah benteng di sana.

Jika pertempuran nanti menjadi penentuan hidup dan

mati, maka benteng tidak begitu diperlukan dalam sebuah

strategi. Pertempuran itu bukanlah jenis pertempuran di

mana mereka bisa menyerang dari sebuah benteng atau

mundur ke dalam benteng. Namun Kansuke tetap

menginginkan sebuah benteng. Tidak perlu besar, asalkan

kuat dan mampu menampung 200-300 orang prajurit.

Pasukan Takeda berpeluang besar untuk menang.

Pasukan Uesugi Kenshin akan mulai melemah setelah

mereka diserang. Saat itulah, sejumlah kecil prajurit dari

benteng baru tersebut akan menyerang dari samping.

Serangan terakhir yang menentukan terhadap Echigo harus

berasal dari sekumpulan kecil prajurit ini, dan komandan

dari pasukan paling penting ini haruslah Katsuyori dalam

kampanye militernya yang pertama.

Kansuke menginginkan sebuah benteng untuk Katsuyori;

ia ingin sebuah benteng di tempat strategis untuk kampanye


pertama Katsuyori. Entah apakah Shingen mengetahui

rencana Kansuke atau tidak, ternyata ia menerima gagasan

Kansuke.

Dan malam itu, tanpa sedikit pun membuang waktu,

perintah untuk maju dikirim kepada Kosaka yang bertempat

di Shinano bagian utara. Kuda-kuda pembawa pesan

dikirim secepatnya dari Kofu.

Kosaka, yang berada di Benteng Amakazari, mengikuti

perintah itu secepatnya dan menuju perbatasan antara

Shinano dan Echigo. la dengan cepat mengalahkan dan

mengambil alih beberapa benteng pertahanan. Pada bulan

Mei, ia berhasil menaklukkan Benteng Takanashi, yang

merupakan basis pertahanan terpenting pasukan Echigo.

Begitu Kansuke dikabari hal tersebut, ia langsung

meninggalkan Kofu menuju Shinano bagian utara.

Ramalan bahwa kemungkinan posisi pertempuran yang ia

harapkan akan segera terjadi antara pasukan Kai dan

Echigo; Kansuke berharap dapat membangun Benteng

Katsuyori tepat di wilayah ini. la mengendarai kudanya

perlahan ketika melewati sebuah dataran tinggi sepanjang

perbatasan Kai dan Shinano yang sebelumnya sudah

berkali-kali dilewatinya. Dulu, ia sering mengendarai

kudanya sendirian, memacu dengan kecepatan tinggi,

namun kini usia Kansuke sudah 67 tahun. Di tengah

perlindungan lebih dari 20 orang samurai, ia melihat ke

sekeliling pemandangan musim semi dari padang dan

gunung di sekeliling, sambil sesekali mengistirahatkan kuda.


Sesekali Kansuke memasukkan kelingking ke telinganya,

namun tetap mendengar bunyi genderang, dan bagi

Kansuke suara itu terdengar seperti teriakan pertempuran di

kejauhan.

Sehari setelah kedatangannya di Ueda, bersama 20 orang

pengikut, Kansuke berjalan mengikuti aliran sungai

Chikuma. la bertemu Kosaka di persimpangan antara

Sungai Chikuma dan sungai Sai. Kosaka baru kembali dari

pertempuran yang dimenangkannya, la menempatkan

pasukan di pinggiran sungai Chikuma, dan segera menemui

Kansuke bersama beberapa orang samurai, yang kemudian

beristirahat di salah satu sudut di delta sungai tersebut.

Kansuke berdiri menyambut jenderal muda yang kira-kira

seusia dengan Shingen. Kosaka adalah seorang samurai

bertubuh dan berwajah kecil dengan tampang biasa-biasa

saja.

“Saya minta maaf Tuan telah jauh-jauh datang kemari

dengan tubuh sudah tidak muda lagi,” gumam Kosaka

dengan suara rendah.

“Sayalah yang telah merepotkan. Kau telah melakukan

tugas dengan baik. Kau pasti cukup lelah,” jawab Kansi-’

dengan kesopanan yang sama. Sekarang, semua wilayah

Shinano bagian utara menjadi miliki Takeda berkat kerja

keras Kosaka.

Mereka duduk di atas kursi, saling berdampingan. Sungai

Sai mengalir sekitar 4-5 meter di depan mereka, pinggiran

sungai ditumbuhi alang-alang air. Di arah yang berlawanan


dari tempat mereka duduk, mengalir sungai Chikuma.

Matahari musim semi menyinari batu-batu putih yang

tersebar di tepi sungai dan juga pada riak-riak kecil di

sungai Sai. Suasananya begitu damai.

Di depan kedua orang samurai hebat yang berdiam diri

itu disajikan minuman sake. Mereka tampak seperti ayah

dan anak.

Kansuke sebenarnya tidak begitu mengenal Kosaka

dengan baik, kecuali bahwa ia dengan sangat mengejutkan,

begitu mahir bertempur. Jenderal muda ini jarang bicara di

berbagai pertemuan yang membahas rencana ataupun

evaluasi pertempuran. Di mata siapa pun, Kosaka tampak

seperti tidak punya pendapat sendiri dan senang

membiarkan orang lain mengambil keputusan baginya, la

menerima semua perintah yang diberikan dan

menyelesaikan dengan sempurna.

Jenis kepribadian seperti ini bersifat menguntungkan

sekaligus merugikan bagi Kosaka. Orang-orang memercayai

samurai muda ini, namun tidak pernah menganggapnya

sebagai jenderal yang hebat. Bahkan Shingen merasakan hal

yang sama. Setiap kali ada pertempuran yang agak sulit,

Shingen hanya berkata, “Kirim saja Kosaka.” Pernyataan

ini menunjukkan 80 persen kepercayaan dan 20 persen

penghinaan. Banyak orang berpikir bahwa Kosaka akan

senang dan puas selama diberi kesempatan bertempur. Saat

Ini ia ditempatkan di Benteng Amakazari sebagai

komandan di garis depan menghadapi Echigo. Tentu saja,


tidak ada seorang pun selain Kosaka yang cocok

mengemban tugas penting ini, namun di saat yang sama,

kenyataan bahwa ia dikirim ke tempat terpencil dan

berbahaya ini menjadi bukti bahwa ia tidak dianggap

sebagai pemimpin penting di antara orang-orang Shingen

yang menghadiri dewan perangnya.

Kansuke sejak dulu menyukai Samurai muda ini,

meskipun pendapatnya tentang dia tidak banyak berbeda

dengan yang lain. Sangat menyenangkan bagi Kansuke

untuk minum sake bersama seseorang di mana ia tidak

perlu khawatir berdiam diri terlalu lama. Sesekali ia

mengangkat cangkir dan membiarkan Kosaka menuangkan

sake baginya, lalu langsung diteguk.

Tiba-tiba, Samurai pendiam itu membuka mulut.

“Saya ingin meminta pendapatmu tentang suatu hal,”

kata Kosaka sembari memerintahkan pengikutnya

menyingkir agar tidak mendengarkan pembicaraan mereka.

“Apakah itu?” Kansuke mengangkat wajah.

“Saya ingin membangun sebuah benteng sekitar dua atau

tiga mil dari sini.”

“Menarik,” kata Kansuke tenang, namun dalam hati

terkejut karena maksud kedatangannya ke sini juga hendak

mencari lokasi yang baik untuk membangun benteng.

“Sebuah benteng?” tanya Kansuke.

“Ya, benar. Saya ingin membangun sebuah benteng.

Saya berencana membangun benteng, namun ingin

mendengarkan pendapatmu lebih dulu.”


“Mengapa perlu membangun benteng?” tanya Kansuke.

Kosaka mengangkat wajah menatap Kansuke.

“Saya yakin bahwa pertempuran penentuan melawan

Echigo akan terjadi di wilayah ini.”

“Kau benar.”

“Dari Kuil Zenkoji hingga Uedahara…”

“Ya.”

“Di wilayah antara Sungai Sai dan Sungai Chikuma.”

“Betul.”

“Saya yakin bahwa pertempuran tersebut akan terjadi

akhir tahun ini, atau paling lambat musim semi tahun

depan. Dengan demikian, saya pikir kita punya cukup

waktu membangun sebuah benteng di sini.”

“Kenapa kau pikir kita membutuhkan benteng untuk

perang tersebut?”

“Hmm,” Kosaka berhenti sebentar, lalu melanjutkan

perlahan, “Saya ingin menempatkan Tuan Katsuyori di

benteng ini dan mendukungnya agar beliau bisa bertahan

melalui pertempuran ini. Kita harus mencegah keluarga

Takeda dimusnahkan dalam pertempuran ini.”

Tanpa sadar Kansuke menatap tajam pada Kosaka.

Tidak ada sepatah kata pun yang mereka ucapkan. Kansuke

juga menginginkan sebuah benteng untuk menempatkan

Katsuyori. Namun bagi Kansuke, gagasan membangun

benteng ini lebih sebagai antisipasi menyambut

kemenangan. Benteng itu untuk menempatkan sekelompok

kecil prajurit yang akan menyelesaikan serangan terakhir


mengalahkan pasukan Echigo, dan memberi Katsuyori

kesempatan untuk meraih kemenangan besar dan

kehormatan. Namun Kosaka punya pikiran yang

berlawanan. Gagasan itu dilontarkan untuk mengantisipasi

kekalahan Takeda.

“jadi, kau pikir sekutu-sekutu kita akan dikalahkan?”

tanya Kansuke.

“Kemungkinannya delapan atau sembilan banding

sepuluh. Sulit untuk menang,” kata Kosaka tanpa ragu.

“Dengan alasan apa?”

“Dalam pertempuran ini, tidak diragukan lagi bahwa

baik pasukan Takeda maupun pasukan Echigo akan

bertarung hingga samurai terakhir. Menilai konfrontasi

yang tiada akhir dan kepribadian Tuan Kita dan Uesugi

Kenshin, tidak terdapat kemungkinan bahwa salah satu dari

mereka akan menarik pasukannya dari perang ini.”

“Hal itu cukup jelas. Aku yakin kau benar.”

“Salah satu pihak harus menang dan yang lain harus

kalah. Dan pihak yang kalah itu…”

“Adalah pihak kita, menurutmu.”

“Ya.”

“Takeda kita akan dikalahkan?!”

“Takeda belum memiliki pengalaman dalam peperangan

yang sulit. Sejauh ini kita salalu memenangkan

pertempuran melalui strategi di mana pasukan yang lebih

kecil menang melawan pasukan yang lebih besar dan

menghancurkan mereka dengan sedikit kerugian di pihak


pasukan kita. Bagaimanapun juga, dalam pertempuran

penentuan melawan Echigo, hasil akhirnya tidak bisa

ditebak. Kedua pihak akan kehilangan semua prajurit, dan

semua perkemahan dan benteng akan jatuh dalam

kekacauan dan kebingungan total. Di sana-sini,

kemenangan atau kekalahan akan ditetapkan. Strategi tidak

akan berarti lagi. Pertempuran akan menjadi

pertarungan satu lawan satu antara hidup atau mati.

Pasukan Echigo terbiasa dengan pertempuran jarak dekat

melawan para pengikut Ikko Buddhisme. Mereka akan

menang, sementara pasukan kita yang tidak berpengalaman

dengan pertempuran jarak dekat ini akan kalah.”

Kosaka berhenti bicara. Perkataannya terdengar tidak

sopan, namun Kansuke justru mengagumi karena berani

mengatakan hal itu.

Kansuke merenungkan kata-kata Kosaka dalam diam.

Merasa seolah-olah jenderal muda itu, yang sebelumnya

belum pernah diperhatikan, secara mengejutkan telah

menyentuh titik sensitif. Kosaka melanjutkan, bergumam

dengan suara rendah tanpa ekspresi, “Jika Takeda kalah,

maaf jika saya mengatakan ini, maka pasti Tuan Kita, Tuan

Yoshinobu dan semua anggota keluarganya akan mati

dalam pertempuran. Agar keluarga Takeda tidak musnah,

maka anggota keluarga yang muda harus tetap hidup. Tuan

Katsuyori harus diselamatkan. Tidak ada yang akan

menyalahkannya atas kekalahan itu. Untuk membuat beliau

lolos dari jangkauan musuh, kita butuh sebuah benteng


untuk menghindar dari musuh, sekaligus memberi waktu

pada Tuan Muda kita untuk meloloskan diri.”

“Aku mengerti,” kata Kansuke dengan pasti. “Aku akan

membantumu sekuat tenaga membangun benteng seperti

yang kau inginkan.” Kemudian ia terdiam. Kansuke

sesekali mengisi cangkir sake Kosaka, demikian pula

sebaliknya.

Di tepi sungai yang luas, para prajurit tersebar di manamana,

terbagi menjadi beberapa kelompok. Rasa puas

dirasakan oleh para prajurit yang baru pulang dari

pertempuran yang mereka menangkan. Itulah pertama

kalinya Kansuke merasa bahwa ia bukan tandingan

Kosaka.

Perkataan Kosaka dengan sangat jelas menggambarkan

kelemahan pasukan Takeda. Shingen sudah mengalahkan

wilayah-wilayah di sekitarnya lewat strategi ulung, dan

karena itulah Takeda kini berada dalam posisi berbahaya.

Tidak seorang pun yang melihat kemungkinan ini, namun

ternyata tergambar jelas di mata Kosaka.

Perkataan Kosaka juga menyakitkan bagi Kansuke.

Tanpa ampun jenderal muda itu mengkritik strategi

Kansuke yang sudah dijalankan selama ini oleh Klan

Takeda. Strategi yang tidak akan mempan lagi menghadapi

perang melawan Kenshin. Sebagai seorang ahli strategi,

Uesugi Kenshin juga sangat hebat. Sejauh menyangkut

masalah strategi, baik Shingen maupun Kenshin sama-sama

hebat. Kenyataannya, yang akan menetukan pemenang


pada akhirnya adalah kekuatan samurai terakhir dalam

pertempuran penentuan. Itu tergantung pada kemampuan

bertarung. Seperti dikatakan Kosaka, Shingen dan

puteranya yang resmi, Yoshinobu, mungkin saja akan gugur

dalam pertempuran. Kansuke sendiri, seperti pengikut setia

lainnya, mungkin akan gugur dalam pertempuran di

Kawanakajima. Kansuke tidak pernah berpikir tentang

kekalahan. Di semua perang sebelumnya ia hanya

memikirkan kemenangan. Kepercayaan diri itu tiba-tiba

menghilang dari tubuhnya yang berusia 68 tahun, seolah

roh jahat yang menguasainya selama ini tiba-tiba

menghilang. Di bawah cahaya matahari musim semi,

jamuan kecil minum sake itu berlangsung hingga satu jam

lebih lama. Tidak satu pun dari mereka berbicara Dari sana,

Kansuke menuju Benteng Amakazari bersama Kosaka.

Kansuke ingin berada di dekat jenderal muda ini lebih lama

lagi.

0=odwo=0

Kansuke balik ke Kofu setelah itu, dan kali ini ia

membawa cukup orang untuk membangun sebuah benteng

dan kembali menuju Shinano bagian utara. Saat itu bulan

Juni.

Namun di tengah proses pembangunan benteng tersebut,

Kansuke terpaksa kembali ke Kofu lantaran menerima

kabar bahwa sementara Uesugi Kenshin berada di Kyoto

dalam rangka mengunjungi Shogun, Nagai Masakage yang

tinggal di Benteng Kasugayama menyerang wilayah


Togakushi di perbatasan wilayah Klan Takeda. Shinano

bagian utara, yang baru saja ditaklukkan oleh Kosaka, akan

menjadi medan pertempuran lagi.

Pada pertengahan Juli, Kansuke meninggalkan Kofu dan

mengambil posisi di Benteng Komuro bersama Shingen dan

para prajuritnya. Sementara itu, Uesugi Kenshin kembali

dari Kyoto dan bergabung dengan mereka yang berada di

Benteng Kasugayama. Di saat seperti ini, tampaknya akan

membuat pertempuran antara kedua bangsawan yang kuat

itu tidak dapat dihindari lagi.

Namun Kansuke tidak melupakan perkataan Kosaka.

Sebelum konfrontasi antara kedua pasukan, sebuah benteng

harus dibangun di wilayah Shinano bagian utara. Meskipun

Shingen ingin memindahkan markas ke Komuro daripada

tetap tinggal di Kofu, Kansuke menahan agar tetap berada

di sana. la cemas hal itu akan memprovokasi Kenshin.

Pada tahun berikutnya, Tahun Baru di tahun Eiroku ke-3,

sebuah jamuan tahun baru diadakan di Kofu. Para jenderal

dari semua provinsi berkumpul di sana. Pada kesempatan

itu, untuk pertama kalinya Shingen mengumumkan rencana

untuk memindahkan markasnya ke Komuro. Dalam situasi

persiapan menghadapi perang penentuan melawan

Kenshin, gagasan tersebut tampak masuk akal bagi banyaki

pihak.

Hanya Kansuke yang tidak setuju.

“Cepat atau lambat, kita memang harus memindahkan

markas, tapi Tuanku harus menunda pemindahan itu lebih


lama.”

“Berapa lama?” tanya Shingen. Seperti biasa, ia tampak

tidak senang.

“Tunggu sampai pembangunan benteng selesai. Jika

benteng itu selesai bulan Maret, Tunaku bisa melakukannya

bulan itu juga.”

Begitu Kansuke bicara, ia tidak akan berubah pikiran.

Bagi orang lain yang mendengarkan percakapan mereka,

sekilas tampak jelas sifat keras kepala khas orang lanjut

usia.

Seperti biasa, Kosaka duduk tanpa berkomentar.

Kansuke berharap ia mau mengatakan sesuatu untuk

mendukung sarannya, namun tidak demikian.

Akan tapi, setelah pertemuan itu, Kosaka menemui

Kansuke dan berkata, “Terima kasih banyak, Tuan,” lalu

melanjutkan dengan merendahkan suara, “Ada sebuah desa

di Matsui bernama Gokobuchi. Saya rasa itu tempat terbaik

untuk membangun benteng. Saya ingin Tuan berkunjung ke

sana dan melihat tempat itu barang sekali.” ia

menambahkan, “Wilayahnya berada di sepanjang Sungai

Chikuma.”

“Begitukah?”

‘Tempat itu paling ideal untuk pertahanan.”

“Kalau untuk menyerang, bagaimana?”

“Hmm, rasanya tidak ideal untuk itu.”

“Kalau memang baik untuk pertahanan…”

“Ya, Tuan tidak akan menemukan tempat lain sebagus


itu dalam hal pertahanan.”

“Kalau begitu, kita pilih tempat itu.”

Setelah diskusi singkat tersebut, mereka berpisah.

Akan tapi, melewati musim semi dan memasuki musim

panas, pasukan Echigo sesekali menyerang Shinano bagian

utara. Tidak ada waktu untuk membangun benteng.

Kansuke bisa membangun benteng itu kapan saja,

namun ia ingin mendiskusikan berbagai gagasan dan

rencananya lebih dahulu dengan Kosaka. Akan tetapi,

Kosaka tidak punya waktu untuk itu.

Kansuke melakukan perjalanan ke Shinano bagian utara

sebanyak dua kali, meninjau desa Gokobuchi di Matsui.

Sesuai saran Kosaka, memang tidak mungkin menemukan

tempat lain sebaik ini jika menyangkut pertahanan.

Tempat itu merupakan wilayah perbukitan sepanjang

Sungai Chikuma yang ikut membantu untuk

mempertahankan benteng. Mengalir dari barat laut, sungai

itu melewati tebing-tebing curam dan membentuk

penghalang besar bagi siapa pun yang akan menyerang dari

Kawanakajima. Melewati wilayah bagian utara dan timur

laut, pegunungan seperti Gunung Kanai, Senbyo, dan Ugen

saling berkumpul membentuk penghalang alami. Selain itu,

ada kemungkinan membuat jalan belakang untuk mundur

ke Benteng Amakazari. Di bagian timur, Gunung Kimyo,

Gunung Horikiri dan Gunung Tate-ishi menjulang di

sekitar bakal tempat pembangunan benteng, yang akan

menghalangi setiap prajurit berkuda untuk melintas.


Dimungkinkan juga untuk dapat pergi ke Komuro, markas

utama mereka, melalui pegunungan ini. Di bagian utara,

tanahnya tinggi dan bergunung-gunung. Satu-satunya

bagian terbuka adalah sisi sebelah barat laut yang mengarah

ke Kawanakajima, melintasi Sungai Chikuma.

Kansuke tidak keberatan membangun benteng di wilayah

ini. Yang harus dilakukan sekarang adalah menunggu

pertempuran di Shinano bagian utara mereda, sehingga

Kosaka akan punya cukup waktu luang. Saat Kansuke

melihat wilayah ini, ia berpikir untuk menamainya dengan

nama Benteng Kaizu; karena aliran Sungai Chikuma

mengalir deras, luas seperti samudera, dan benteng itu akan

dibangun di sepanjang aliran tersebut.

Pada bulan September tahun itu, mereka membangun

fondasi benteng. Kansuke berniat menyelesaikan

pembangunan benteng dalam tiga bulan, bekerja siang dan

malam. Situasi saat itu sangat genting, sehingga mereka

harus berlomba dengan waktu.

Sesuai rencana, mereka mampu menyelesaikan

pembangunan benteng tersebut di bulan November.

Benteng itu terdiri dari benteng utama, benteng bagian luar,

dan lima menara. Bangunannya dikelilingi Sungai Chikuma

dan parit besar yang memiliki lebar 47 kaki di bagian paling

dangkal. Di ujung sebelah timur laut, mereka juga

membangun sebuah kuil dan memohon restu pada dewa

Kuil Hachiman di desa dekat tempat itu.

Karena Kansuke yang bertanggung jawab terhadap


pembangunan benteng tersebut, maka Shingen

menyuruhnya memberi nama. Seperti yang sudah ia

pikirkan, Kansuke menamainya Benteng Kaizu. Begitu

selesai dibangun, Kosaka pindah ke sana dari Benteng

Amakazan sebagai perwakilan. Oyamada Masatatsu

menggantikan Kosaka di Benteng Amakazari.

Pada hari Kosaka memasuki Benteng Kaizu, Takeda

Shingen, yang sudah tinggal di Komuro selama sebulan

lebih, amper berkunjung bersama Kansuke. Kosaka

bertindak sebagai pemandu, membawa Shingen dan

Kansuke naik ke menara pengamat di sudut barat laut

benteng utama. Padang yang mengelilingi Kawanakajima,

yang dianggap sebagai bakal lokasi pertempuran

menentukan antara Kai dan Echigo, terhampar di hadapan

mereka. Aliran sungai Sai membagi padang tersebut

menjadi dua dengan kelokan kecilnya.

Di akhir musim gugur itu, mereka bertiga melepaskan

pandangan ke padang tersebut, masing-masing dengan

perasaan berbeda. Kansuke tahu betul arah tatapan Kosaka.

Padang itu, yang terpantul di matanya, tidak membawa

pikiran positif ke benaknya.

Kansuke menyimpan pemikiran yang berbeda. Saat

membangun benteng ini, gagasannya sama dengan Kosaka,

tapi begitu benteng tersebut amper selesai, gagasannya

berubah.

Tiba-tiba, pertanyaan tentang apa yang akan dipikirkan

oleh jenderal perang musuh, Uesugi Kenshin, tentang


benteng ini, memasuki benaknya. Kenyataan bahwa

Takeda membangun benteng ini tepat sebelum perang

dimulai pasti telah menimbulkan reaksi pada diri Kenshin.

Dibangunnya benteng di sini telah pula mengubah makna

setiap pohon dan rumput yang tumbuh di padang tersebut.

Mata Kansuke mulai berbinar seperti yang senantiasa

terjadi ketika berdiri di menara benteng, la harus menang,

pikirnya.

Tiba-tiba Shingen berkata, ‘Tidak satu pun benteng di

negeri ini yang mampu menyamai benteng ini,” katanya

pelan.

“Maaf, Tuanku?” tanya Kansuke.

“Ini akan menjadi benteng ideal untuk menyaksikan

rembulan. Ya, rembulan. Bagaimana kalau kita adakan

pesta di sini setiap tahun di bawah cahaya bulan.”

Jika direnungkan, memang benar bahwa pemandangan

bulan dari tempat ini pasti menjadi pemandangan paling

indah yang pernah mereka lihat. Kansuke merasa begitu

bangga dengan Tuannya. Kagum, karena Haronobu sempat

memikirkan hal yang sama sekali tidak berkaitan dengan

perang, yaitu menyaksikan rembulan, sementara semua

orang mengharapkannya berfokus semata-mata pada

strategi.

Kosaka memikirkan bagaimana memanggil para prajurit

untuk menyampaikan berita kekalahan. Kansuke berpikir

soal strategi, tidak peduli bagaimana situasi akhir yang akan

terjadi kelak, ia harus mengakhiri perang ini dengan


kemenangan. Di pihak lain, Shingen sedang memikirkan

pesta di bawah cahaya bulan.

0o—dw—o0

Dua belas

Saat itu tahun Eiroku ke-4. Kenshin menunda

pertempuran melawan Shingen dan mengarahkan

serangannya kepada Hojo di Odawara. Pada saat Tahun

Baru, Kenshin berada di garis depan di Benteng

Umabayashi dan mengirim perintah tidak hanya kepada

para jenderal dari delapan provinsi di Kanto, namun juga

kepada beberapa jenderal dari Oou di luar provinsi Kanto,

untuk bergabung dengan kampanye militer kali ini.

Begitu Shingen menerima berita tersebut di Kofu dan

gentingnya situasi yang terjadi, ia memerintahkan para

jenderalnya berkumpul di Benteng Kaizu.

Jika Kenshin berhasil menghancurkan Hojo,

kekuatannya pasti akan berlipat ganda hanya dalam sekali

pertempuran itu. Selain itu dengan memanfaatkan

momentum kemenangannya, Kenshin akan memaksa maju

ke wilayah Takeda. Dalam situasi ini, sangatlah penting

bagi Takeda untuk menghimpun kekuatan mereka di

perbatasan antara Shinano dengan Echigo dan

mengarahkan pedang mereka ke jantung Echigo.

Setibanya di Benteng Kaizu, Shingen menjelaskan posisi

masing-masing jenderal dan menyiapkan penyerangan ke

Echigo. Pasukan harus tetap siaga. Shingen juga mengirim

sekelompok kecil pasukan untuk mendukung keluarga


Hojo. la tidak mampu mengirim pasukan dalam jumlah

besar karena perlu menempatkan sekelompok kecil prajurit

untuk mempertahankan Kofu. Kekuatan Takeda terpusat di

wilayah Shinano bagian utara.

Pada bulan Maret, Kenshin mengepung Benteng

Odawara bersama 96.000 pasukan yang dikumpulkan oleh

para jenderal sekutunya di wilayah Kanto dan Oou. Begitu

Benteng Odawara takluk, Shingen berencana menyerang

Echigo. Selama 41 tahun dalam hidupnya, saat inilah yang

paling mendebarkan dan paling tidak menentu yang pernah

ia alami.

Kansuke memilih untuk tetap diam selama persiapan

konfrontasi, la hanya berharap Benteng Odawara tidak akan

jatuh. Jika benteng itu jatuh, maka suka atau tidak, pasukan

Takeda harus melakukan serangan mendadak terhadap

Echigo; ketika Kenshin sedang tidak berada di sana. Lalu

Kenshin akan segera menyerang Kai. Setelah itu,

bagaimana perubahan keadaan perang selanjutnya berada

di luar perkiraan. Hal itu bukan lagi masalah strategi

maupun keahlian perang yg akan menghasilkan

kemenangan. Semua akan bergantung pada keberuntungan.

Keahlian maupun keberanian Shingen tidak akan berguna,

la tidak lagi memerlukan Kansuke atau Kosaka.

Kansuke tidak ingin membiarkan Shingen bertarung

melawan Kenshin dalam situasi perang seperti itu. Pada 13

Maret, Kenshin menggerakkan pasukan dengan kekuatan

penuh untuk menyerang Benteng Odawara. Benteng


tersebut terkenal tidak mudah ditaklukkan. Para prajurit di

dalamnya mati-matian mempertahankan benteng dengan

kekuatan luar biasa. Akhirnya Kenshin menyerah, dan di

akhir bulan itu juga, ia menarik mundur pasukannya

kembali ke Echigo.

Tampaknya Kenshin, yang harus meninggalkan Benteng

Odawara di tengah jalan, akan menyerang pasukan Takeda

kembali untuk menyelamatkan muka. Pada akhir Juni,

begitu kembali ke Benteng Kasugayama di mana ia

bermarkas, Kenshin mengistirahatkan pasukannya.

Kansuke menduga bahwa pada pertengahan musim

dingin nanti, Kenshin akan menyerang dengan pasukannya

ke Shinano bagian utara. Pasukan Echigo, yang sudah

menghabiskan waktu sebelas bulan dalam kampanye militer

mereka di wilayah Kanto, membutuhkan waktu paling

tidak sebanyak itu untuk istirahat. Tapi mereka tidak akan

menunggu sampai tahun depan, pikir Kansuke. Bagi

Kenshin yang ingin mengembalikan kehormatan karena

peristiwa Benteng Odawara, satu hari pun tidak akan

dilewatkan.

Pada malam tanggal 14 Agustus, jenderal Benteng

Kaizu, Kosaka Masanobu, menerima informasi

penyerangan Kenshin ke Shinano bagian utara. Menurut

kabar tersebut, Kenshin menyerang dengan 13.000 pasukan.

Setelah melewati Puncak Tomikura, ia memasuki Obu,

menuju Kawanakajima.

Di atas Gunung Noroshi, di belakang Benteng Kaizu,


sebuah sinyal api dikirim ke udara. Seberkas api

ditembakkan ke langit, menyemburkan percikan yang

membakar kegelapan malam.

Sinyal itu dikirim satu demi satu dari gunung yang satu

ke gunung berikutnya. Metode ini dirancang khusus untuk

mengirimkan informasi ke selatan, melalui Gorigatake,

Puncak Niki, Koshigoe, Nagakubo, dan Puncak Wada.

Berkas api dikirimkan dari satu gunung ke gunung lain

dengan ditembakkan di puncak gunung. Bersamaan dengan

sinyal tersebut, dikirim pula para penunggang kuda yang

terdiri dari dua-tiga orang per kelompok, dari Benteng

Kaizu, menembus kegelapan malam.

Pada malam tanggal 15, Shingen mengetahui berita

tersebut dari sinyal yang ditembakkan dari salah satu

gunung. Pada pagi hari tanggal 16, ia tahu berapa jumlah

pasukan musuh, dari seorang pembawa pesan kilat. Ketika

si pembawa pesan tiba, perbatasan benteng Kofu sudah

dipenuhi para samurai yang siap berangkat perang.

Sejak hari itu sampai tiga hari berikutnya, para prajurit

yang meninggalkan kota benteng terbagi dalam berbagai

kelompok dan menyiapkan formasi perang. Pada tanggal 18

Agustus, pasukan utama yang terakhir yang dipimpin

Shingen, meninggalkan Kofu.

Kansuke bergabung dengan pasukan pertama yang

paling besar saat mereka berangkat dari Kofu. Hampir 20

tahun berlalu sejak pertama kali ia tiba di sini pada tahun

Tenbun ke-I2. Kansuke merasa, inilah terakhir kalinya ia


menjejakkan

kaki di tanah ini. la membayangkan akhir dari

kehidupannya yang panjang. Meskipun tidak bisa

memperkirakan pihak mana yang akan menang, namun

tidak pernah berpikir Takeda akan kalah, sebagaimana

prediksi Kosaka. Kemenangan ini harus ditempatkan di

pundak Shingen. Mereka harus menang, apa pun caranya.

Namun, entah mengapa, Kansuke merasa tidak akan

pernah menginjakkan kaki di tanah ini lagi. Jika aku tidak

gugur dalam perang ini, aku tidak akan gugur dalam

peperangan mana pun, pikirnya, la merasa akan hidup lebih

lama jika kematian tidak segera menjemputnya, la ingin

mengendalikan takdirnya sendiri. Setiap manusia punya

waktu sendiri-sendiri untuk mati.

Kansuke menuju Benteng Takashima di Suwa bersama 5

orang pengikut, meninggalkan pasukannya yang sedang

menuju Shinano bagian utara. Karena pasukan utama

Shingen tidak akan meninggalkan Kofu sampai dua hari

mendatang, Kansuke hendak melakukan dua hal selama

dua hari tersebut Pertama, mengunjungi makam Puteri Yuu

di bukit dari Kuil Kan-non-in. Dan yang kedua adalah

menjemput Katsuyori. Hal ini tentu saja bukan rencana

Kansuke seorang, tetapi juga Shingen. la telah menyetujui

memilih perang ini sebagai kampanye militer pertama

Katsuyori.

Saat memasuki Suwa, Kansuke menemukan banyak

prajurit yang siap berangkat untuk bergabung dengan


pasukan utama dari Kofu. Dari jenderal yang memimpin

pasukan pertama, Kansuke mengetahui bahwa Katsuyori

berada di wilayah Ina, bukan di Suwa, selama enam bulan

terakhir. Wakil wilayah Ina adalah Akiyama Nobutomo,

dan ia bertanggung jawab melindungi benteng di Takato.

Karena itu, Katusyori mungkin sudah mendengar berita

penting itu di Benteng Takato dan meninggalkan tempat itu

bersama Akiyama Haruchika.

Kansuke berpikir bahwa pasukan Akiyama akan melalui

jalan yang sama dalam satu atau dua hari ini, jadi ia akan

menyambutnya di sana. Kansuke ingin mendukung

kampanye militer pertama Katsuyori. Memasuki medan

laga di samping t Katsuyori.

Mengetahui bahwa Katsuyori tidak ada di Suwa,

Kansuke memutuskan untuk tidak ada gunanya masuk ke

dalam benteng. Mereka membalikkan kudanya; dengan

menyondongkan badan ke depan, mereka memacu

melawan angin di tepi Danau Suwa. Matahari baru saja

akan tenggelam dan sinar terakhirnya terpantul merah

jingga di atas danau. Kansuke sesekali mengistirahatkan

kudanya. Tubuhnya sakit tak terkira ketika kudanya berlari,

la tidak bisa mencegah usianya yang semakin bertambah.

Saat mengistrirahatkan kuda, Kansuke merasakan angin

dingin menerpa pipi; angin musim dingin yang

membekukan tulang-tulang dan membuat ngilu.

Makam Puteri Yuu terletak di tengah perjalanan menuju

Kuil Kan-non-ln, yang menjadi kediaman beliau semasa


hidup sampai meninggal dunia. Lima tahun telah berlalu

sejak wafatnya Sang Puteri.

Dengan meninggalkan para pengikut di luar, Kansuke

menuju makam Sang Puteri sendirian, la berlutut, seolah

Sang Puteri hadir di hadapannya.

“Tuan Puteri,” ia berteriak, “Tuan Puteri, sudah lama

sekali. Saya minta maaf tidak bisa berkunjung lebih sering

lantaran sibuk dengan berbagai pertempuran. Tuan Puteri

pasti sangat kesepian. Tapi bergembiralah. Akhirnya telah

tiba waktu bagi Tuan Kita untuk berperang melawan

Kenshin. Lihatlah dari atas sana siapa yang akan menjadi

pemenang. Apakah tidak mungkin bagi Tuan Kita untuk

kalah? Tuan puteri, apakah kau mencintai Harunobu?

Tidak akan lama lagi hingga Tuan Kita menaklukkan

semua wilayah. Saya hidup sampai hari ini untuk

menyaksikan perang ini. Kalau tidak, apalah gunanya? Saya

sudah mati bertahun-tahun lalu jika bukan karena perang

ini. Saya turut menemani ketika Tuan Puteri meninggalkan

dunia ini. Bukankah saat itu musim dingin begitu

membekukan, ketika Tuan Puteri wafat? Pasti sangat dingin

untuk mati di musim dingin yang beku saat itu,” Kansuke

terus bergumam. Begitu mulai, Kansuke tidak bisa berhenti.

Kata-katanya berhamburan keluar dari mulut yang tidak

berkesudahan.

Tiba-tiba Kansuke mengangkat wajah. Lewat angin ia

bisa mendengar suara langkah-langkah kaki kuda. Itu pasti

derap kuda para pasukan yang berangkat dari Benteng


Takashima. Terdengar sampai ke tempat ini dengan

melintasi permukaan danau.

“Tuan Puteri, saya harus mengatakan satu hal lagi. Ini

mengenai kampanye pertama puteramu, Tuan Katsuyori.

Kampanye militer pertama Tuan Katsuyori yang berusia 16

tahun. Darah Suwa yang terhormat masih mengalir dalam

tubuhnya. Tuan Puteri sudah menderita begitu hebat.

Melarikan diri dari benteng di hari bersalju dan membuat

saya sangat khawatir. Rasanya seperti baru terjadi kemarin.

Namun sekarang, Tuan Puteri harus berbahagia. Darah

Suwa masih mengalir dalam…” mendadak Kansuke

berhenti bicara. Merasa mendengar suara tawa Puteri Yuu

yang jernih.

“Apa yang engkau tertawakan, Tuan Puteri?”

Detik berikutnya Sang Puteri terdengar seperti terisak.

“Apakah engkau menangis, Tuan Puteri?”

Kansuke berdiri, melihat ke sekeliling. Tanpa disadari,

kegelapan mulai turun dan menyelimuti makan Puteri Yuu.

“Tuan Puteri!”

Namun kali ini Kansuke tidak mendengar apa-apa selain

suara angin yang bertiup ke atas dari kaki bukit.

Kansuke berdiri di sana beberapa lama. Apa yang

dipikirkan Sang Puteri tentang pertempuran ini? Suara yang

kudengar tadi, apakah suara tangis, atau tawa? Apakah ia

sedih atau bahagia dengan perang ini? Kansuke berdiri di

sana, gelisah mengenai segala sesuatunya. Padahal

sebelumnya ia sangat yakin Puteri Yuu akan bahagia


mendengar berita ini, namun kini Kansuke merasa bingung.

Apa makna tawa dingin mengejek itu? Tidak, mungkin

itu bukan tawa. Jika bukan tawa, apakah suara tangis? Jika

begitu, apa maksudnya?

Tiba-tiba, entah dari mana, terdengar suara seorang

pengikutnya. “Tuan, apa saya boleh mengganggu?”

Kansuke tidak bisa melihatnya. Sosok si pengikut ditelan

oleh kegelapan. Kansuke berbalik melihat melalui pagar

seolah mencoba melihat menembus kegelapan.

“Ada apa?”

“Tuan, di kaki bukit ini, sekelompok besar prajurit

sedang melintas. Saya tidak yakin pasukan dari Kiso akan

melintasi jalan ini. Karena itu, saya yakin mereka adalah

pasukan Jenderal Akiyama dari Takato, dari wilayah Ina.”

Para pengikutnya tahu bahwa Kansuke sedang

menunggu Tuan Katsuyori, yang tengah bersama pasukan

Ina.

“Apa, pasukan Ina?”

Meskipun Kansuke merasa masih terlalu cepat bagi

pasukan Ina untuk tiba di sana, ia memerintahkan

pengikutnya itu untuk pergi dan memeriksanya. Suara

hentakan kaki kuda yang sempat menghilang karena

berubahnya arah angin kembali terdengar. Sebenarnya

Kansuke bisa mendengarnya mendekat. Pasuka tersebut

pasti sedang melintas tepat di bawah bukit.

“Benar, mereka adalah pasukan Tuan Akiyama dari

Takato, Tuanku.”
Mendengar ini, Kansuke meninggalkan makam Puteri

Yuu dan menuruni bukit, diikuti para pengikutnya.

Pasukan Akiyama berjalan dalam diam. Ada begitu

banyak pasukan berkuda dan berjalan kaki di sana-sini.

Inilah pasukan yang mengikuti pesan darurat dari Kofu dan

segera menuju Shinano bagian utara.

“Di mana Tuan Akiyama?” Kansuke meneriakkan nama

komandan pasukan sambil memacu kuda di setiap baris

pasukan tersebut.

Namun sepertinya tidak ada yang mengetahui di mana ia

berada. Beberapa orang mengatakan Akiyama berada di

bagian depan, yang lain mengatakan ia berada di belakang.

Kansuke maju ke bagian depan.

“Tuan Akiyama, apakah Tuan di sini?” Kansuke

berteriak beberapa kali, dengan cepat memacu kuda ke

depan.

Karena bulan belum akan muncul sampai tengah malam,

saat itu sangat gelap, la tidak bisa melihat apa-apa selain

pantulan kegelapan dari danau di sebelah kiri.

“Apakah Tuan Akiyama di sini?” Setelah sepuluh kali

meneriakkan nama itu, Kansuke mendengar suara anak

muda memanggil tepat di belakang, “Apakah kau

Kansuke?”

Kansuke langsung menghentikan kudanya.

“Tuan Katsuyori? Apakah itu engkau?”

“Ya, ini aku. Apakah kau Kansuke?”

“Oh!” Suara Kansuke bergetar oleh luapan emosi.


Kemudian, seseorang menunggang kuda meninggalkan

barisan mendekati Kansuke.

“Pak Tua, apakah itu kau?”

“Benar. Saya sedang mencari Tuan Muda.”

“Kansuke, bergabunglah dalam barisan.”

“Baik, Tuan.”

“Ayo kita bicara sambil jalan bersama.”

Katsuyori kembali ke barisan dan Kansuke mengikuti.

“Aku membawa 50 orang pasukan samurai berkuda,”

kata Katsuyori dengan bangga.

“Itu hebat sekali!” jawab Kansuke. Pikirnya, bukan

Katsuyori yang memimpin mereka, tapi sebaliknya,

Katsuyorilah yang dilindungi 50 orang pasukan berkuda.

Tiba-tiba, dengan perasaan tak tertahankan, Kansuke

berkata, “Tuan Muda harus memasuki Benteng Takashima

bersama 50 orang pasukan berkuda ini.”

“Apa kau bilang!?”

“Tuan Katsuyori masih terlalu cepat untuk bergabung

dalam kampanye militer Tuan yang pertama ini. Tuan

Muda harus menunggu setahun lagi.”

“Kau pasti bercanda! Aku tidak ingin mendengarmu.”

Suaranya terdengar keras kepala dan sepertinya tidak

akan bergeming sedikit pun.

“Tidak, saya tidak bercanda, ini perintah dari Tuanku.

Saya datang jauh-jauh kemari hanya untuk menyampaikan

keinginan beliau.”

“Ayahku?”
“Ya, ini perintah yang harus dipatuhi dari ayah Tuan

Muda.”

“Aku akan memohon padanya nanti.”

“Percuma saja. Menilai kepribadian Tuanku, begitu

beliau bicara, tidak akan berubah pikiran. Tuan Muda harus

menunggu setahun lagi.”

Kansuke harus menekankan itu dengan tegas. Sangat

aneh, bahkan bagi Kansuke sendiri, bahwa ia tiba-tiba

merasakan desakan untuk menghindarkan Katsuyori dari

kampanye pertamanya. Namun Kansuke yakin sudah

bertindak benar. Setelah melakukan hal tersebut, ia merasa

begitu lega.

Tiba-tiba, entah mengapa, Kansuke merasa cemas

mengirim Katsuyori ke pertempuran ini. Kansuke

kehilangan keyakinan diri. Perubahan pikiran mendadak itu

disebabkan kunjungannya ke makam Puteri Yuu. Kansuke

merasa Puteri Yuu tidak begitu gembira dengan kampanye

militer pertama Katsuyori. Tidak ada gunanya untuk

mengirim orang semuda ini ke medan perang seperti itu. la

bisa mengarang alasan kepada Shingen, nanti.

Setibanya di Benteng Takashima, Kansuke membawa

Katsuyori dan para pengikutnya keluar dari barisan dan

menarik mereka ke pintu gerbang. Di dalam benteng

tersebut, di bawah penerangan api unggun, Kansuke

melihat wajah pucat Katsuyori, dan mulutnya terkatup

rapat. Jelas sekali bagi siapa pun yang melihatnya, bahwa ia

berusaha menahan amarah. Wajahnya bagai pinang dibelah


dua dengan wajah Puteri Yuu yang sedang kecewa.

“Bukankah akan lebih baik maju berperang sebagai

penguasa Benteng Takato di Ina dan memimpin 2000 orang

pasukan, daripada bergabung dengan kampanye militer

sebagai pemimpin 50 pasukan samurai berkuda? Saya

berjanji, dengan taruhan nyawa, untuk meminta Tuan

Horunobu menjadikan Tuan Muda sebagai Penguasa

Benteng Takato dalam jangka waktu satu tahun mendatang.

Saya yakin almarhum ibu Tuan merasakan hal yang sama.”

Tidak peduli apa kata Kansuke, Katsuyori tidak

menjawab. Tanpa mempedulikan hal itu, Kansuke

mengajak Katsuyori ke taman di dalam benteng dan

berkata, “Saya mohon jagalah benteng ini. Di sini, saya,

Kansuke, hendak mengucapkan selamat tinggal.”

Kansuke merasa sudah tidak ada gunanya lagi tinggal

lebih lama, maka ia segera berbalik menuju pintu gerbang

benteng. Di sebuah tempat yang terbuka, tiba-tiba seorang

perempuan memanggil namanya, “Kansuke!” Di sana

berdiri Puteri Ogoto, salah satu sisi wajahnya memantulkan

cahaya api unggun.

“Oh…oh…itu engkau Puteri Ogoto.”

“Aku mohon jagalah dirimu, Kansuke.”

Kansuke membungkuk dan melewatinya, namun

kemudian menghadap Sang Puteri kembali. Kansuke turun

dari kuda dan berkata, “Saya mohon bantulah Tuan

Katsuyori mulai sekarang. Tidak seorang pun tahu siapa

yang akan memenangkan perang ini. Jika terjadi sesuatu,


saya ingin Tuan Puteri menjaganya…”

“Kenapa mendadak berkata seperti itu?” tanya Puteri

Ogoto. Sang Puteri melanjutkan, “Aku mungkin tidak bisa

membantu banyak, namun masih ada kedua puteriku dan

Nobumori. Nobumori sendiri sudah berumur 12 tahun.

Seperti yang kau katakan padaku dulu, aku yakin mereka

dapat banyak membantu Katsuyori.”

“Saya senang mendengarnya. Bisa berangkat ke medan

tempur dengan tenang,” kata Kansuke begitu naik kembali

ke atas kuda.

Saat meninggalkan pintu gerbang Benteng Takato,

Kansuke tidak lagi memiliki penyesalan. Merasa bisa

meninggal dunia dengan damai. Satu-satunya keinginan

yang tersisa adalah memenggal kepala Kenshin dengan

kedua tangannya sendiri.

0=odwo=0

Pasukan utama yang berjumlah 10.000 orang

meninggalkan Kofu pada tanggal 18, sesuai rencana.

Mereka kemudian melewati Puncak Daimon, di mana

pasukan tersebut mendapat tambahan 3.000 prajurit.

Mereka tiba di Koshigoe pada tanggal 21 dan menginap di

Ueda malam itu.

Para pembawa pesan tiba satu persatu dari Benteng

Kaizu dengan menunggang kuda. Shingen sudah

mengetahui bahwa Kenshin telah menyeberangi Sungai

Chikuma dan menancapkan panjinya di Gunung Saijo

dekat Benteng Kaizu. Hal itu merupakan gerakan yang


sangat berani. Sudah menjadi taktik umum dalam

peperangan seperti ini untuk membangun kemah di

seberang Benteng Kaizu dan menjadikan Sungai Chikuma

sebagai batas antara mereka. Namun kenyataan bahwa

Kenshin menyeberangi Sungai Chikuma menandakan ia

sudah memutus semua jalan untuk mundur.

Shingen kembali mendapatkan tambahan 5.000 pasukan di

Ueda yang datang dari berbagai benteng di sekitar Shinano

bagian utara. Jumlah keseluruhan pasukannya mencapai

18.000 orang.

Shingen meninggalkan Ueda pada tanggal 23. Di awal

pagi tanggal 24, mereka menyeberangi Sungai Chikuma dan

membangun perkemahan di seberang kemah Kenshin di

Gunung Saijo. Mereka menghabiskan lima hari dalam

keheningan yang mencekam.

Pada tanggal 29, Shingen kembali menyeberangi Sungai

Chikuma dan memindahkan seluruh pasukannya ke

Benteng Kaizu.

Pada bulan September, baik Kenshin di Gunung Saijo

maupun Shingen di Benteng Kaizu masih saling

berhadapan satu sama lain tanpa pergerakan dari kedua

belah pihak. I Tiba-tiba saja musim gugur sudah mulai, dan

di pegunungan serta padang-padang, cahaya matahari

mulai melemah, dan menjadi dingin. Pada tanggal 9

September, di hari Festival Krisan, semua jenderal di

Benteng Kaizu berkumpul di ruang utama benteng,

mengadakan jamuan perayaan. Karena jamuan tersebut


diadakan di perkemahan, semua yang hadir menggunakan

baju perang. Topik pembicaraan mereka adalah kapan akan

menyerang pasukan Kenshin di Gunung Saijo.

“Kita memiliki hampir 20.000 orang pasukan, sementara

musuh hanya memiliki 13.000 pasukan. Jika kita menyerbu

keluar dari benteng dan menekan mereka sekuat mungkin,

dijamin kita akan menang dengan hanya kehilangan sedikit

pasukan. Saya pikir, bukan gagasan bagus untuk menguji

semangat kita dengan menunda perang ini,” kata Obu

Toramasa. Argumen itu menggambarkan Obu sendiri, yang

percaya pada taktik biasa untuk menyerang. Akiyama dan

Kosaka berpendapat serupa.

“Bagaimana menurutmu, Kansuke?” tanya Shingen.

“Hmm,” kata Kansuke, sebelum menjawab. Apa yang ia

pahami saat ini adalah bahwa selama mereka berlindung di

dalam benteng, mereka tidak akan bisa dikalahkan. Benteng

Kaizu merupakan benteng pertahanan yang tak

terkalahkan, dimana pembangunannya dipimpin sendiri

oleh Kansuke. Benteng itu ditujukan khusus untuk

pertahanan. Mereka tidak akan pernah dikalahkan. Ini yang

diyakini olehnya. Jika mereka keluar dari benteng dan

menyerang dengan membabi buta, boleh jadi mereka

menang, namun mereka juga bisa kalah.

“Saya setuju dengan Jenderal Obu, mungkin kita akan

menang, namun kita juga bisa kalah,” kata Kansuke.

“Itu benar sekali,” kata Shingen tertawa. Merasa begitu

lucu karena Kansuke sedemikian berhati-hati dan begitu


cemas dengan strategi yang digunakan dalam peperangan

kali ini. Mereka sudah bersusah-payah menyeberangi

Sungai Chikuma dan membangun kemah mereka di

seberangnya. Namun, atas saran Kansuke yang begitu

mendesak, mereka harus mengumpulkan kembali semua

pasukan dan membawanya ke Benteng Kaizu.

“Baiklah, apa yang akan kau lakukan untuk menang?”

‘Tunggu sampai mereka bergerak. Kita putuskan strategi

berdasarkan pergerakan musuh. Jika kita bergerak sebelum

mereka, pasukan di Gunung Saijo akan melakukan hal yang

sama. Maka, hal itu akan menjadi keuntungan mereka.”

“Jadi, kita harus menunggu selamanya sampai mereka

bergerak, begitu?” tanya Shingen. ia selalu bersikap baik

dan melindungi. Gagasan Kansuke tidak sepenuhnya

sejalan dengan gagasan Shingen, namun ia senantiasa

menghormati gagasan ahli strategi tua ini, bahkan dengan

menekan pendapatnya sendiri. Shingen ingin memberi

kesempatan menang terakhir kali pada pengikutnya,

Kansuke, yang sudah menjalani berbagai kesulitan untuk

dapat berada dalam pertempuran melawan Kenshin ini.

Malam itu, Kansuke, yang sudah kembali ke kemahnya,

menerima kunjungan dari Kosaka Masanobu.

“Tuan, ada sesuatu yang harus Tuan ketahui,” kata

Kosaka.

“Apa itu?”

“Tidak banyak, namun saya yakin pasukan sekutu akan

meninggalkan benteng dan menyerang Gunung Saijo dalam


beberapa hari mendatang.”

“Benarkah?”

“Saya percaya Tuan Kita juga bermaksud demikian.”

“Hmm, dengan alasan apa?”

“Semua jenderal, termasuk di dalamnya Jenderal Obu

dan Akiyama, memaksakan gagasan tersebut.”

“Kau sendiri?”

“Saya? Saya tidak menentang gagasan tersebut. Terlepas

dari medan pertempuran di Kawanakajima dengan sungai

di tengahnya; namun dalam situasi kita saat ini, saya

percaya keunggulan dalam hal jumlah akan memberi

manfaat bagi kita.”

Kansuke berpikir dalam diam. Semua ahli perang

menyarankan rencana tersebut; Kansuke tahu bahwa

rencana itu terdengar bagus. Namun, ia tidak yakin mereka

akan menang. Mungkin memang tidak ada yang memiliki

keyakinan dalam perang ini. Tapi, jika memang ada

keraguan, kenapa harus mengambil resiko mempertaruhkan

keberuntungan Takeda?

“Jika kau berpikir hal yang sama, maka aku akan

memikirkannya lebih dalam lagi. Tapi aku harus bertemu

dengan Tuanku dan membicarakan hal tersebut

dengannya,” kata Kansuke dengan pandangan lesu. Begitu

Kosaka pamit, Kansuke segera menemui Shingen.

Begitu melihat Kansuke, Shingen langsung berkata,

“Kau sudah mendengarnya.”

“Benar. Tuanku juga berpikir untuk segera menyerang


mereka?”

“Ya.”

“Alasannya?”

“Pertanyaanmu sulit Tidak ada alasan khusus. Aku

hanya merasakan desakan untuk segera menyerang

mereka.”

“Saya tidak bisa menemukan alasan yang bagus pada

jawaban seperti itu.”

“Namun itulah yang sebenarnya… Itu yang selalu ingin

kau lakukan, bukan?” Shingen tertawa keras.

“Maaf, apa maksud Tuanku?]” Kansuke mengangkat

wajahnya dengan cepat “Itu yang selalu ingin kau

lakukan?” gumam Kansuke di balik napasnya.

Dia memaku pandangannya pada Shingen lama sekali.

Ketidaksetujuan tergambar di wajahnya.

“Saya sudah mengunjungi makam Puteri Yuu.”

“Oh, benarkah?” Shingen menjawab, “aku juga

mendengar bahwa kau menyimpan Katsuyori di Benteng

Takashima.”

“Tuanku sudah mendengarnya?”

“Berita seperti itu cepat beredar.”

“Saya sudah memutuskan untuk menunda kampanye

kemenangan Katsuyori hingga satu tahun mendatang.”

“Apa alasan penundaan itu?”

“Pertempuran ini merupakan pertempuran yang sangat

penting, jika terjadi sesuatu…”

“Jika kau sudah sedemikian bersiap diri, mengapa ragu


untuk menyerang? Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan,

bukan? Kita punya Katsuyori untuk meneruskan perang!”

“Benar, Tuanku.”

“Puteri Yuu sudah memberitahu dan meyakinkanku

untuk melakukan apa yang selalu ingin kulakukan.

‘Seranglah mereka, jika engkau ingin,”‘ kata Shingen

kembali menirukan Puteri Yuu.

Tiba-tiba Kansuke merasakan keberanian meluap keluar

dari dalam diri. la juga merasa seolah mendengar suara

Puteri Yuu.

“Tuanku!” Kansuke menyondongkan tubuh ke depan

dan berkata, “jika kita akan menyerang, kita harus membagi

pasukan kita menjadi dua kelompok. Lalu, dengan satu

pasukan, kita akan menyerang Gunung Saijo, sementara

pasukan lainnya menyeberangi sungai dan mengambil

posisi di Kawanakajima. Pasukan Echigo akan turun untuk

menyerang, meninggalkan kemah mereka di Gunung Saijo,

menyeberangi Sungai Chikuma. Lalu kita akhiri mereka

dengan pasukan kita yang menunggu di Kawanakajima.”

“Hmm, dan kapan saat yang paling tepat?”

“Secepat mungkin.”

“Besok malam?”

“Tidak.”

“Hari sesudah besok, malam hari?”

“Hmm, jika kita melakukan hal ini, maka harus malam

ini juga. Jika kita lakukan malam ini, rencana tidak akan

sempat tersebar ke luar, karena hanya Tuanku dan saya


yang mengetahui.”

“Puteri Yuu mungkin juga mengetahui.” Sambil berkata

begitu, Shingen berdiri, hendak meninggalkan ruangan,

namun kembali lagi dan berkata, “Siapa yang kau sarankan

memimpin pasukan penyerang ke Gunung Saijo?”

“Bagaimana kalau Jenderal Kosaka?”

“Baiklah, dan berapa orang pasukan?”

“12.000 orang. Di bawah komando Jenderal Kosaka,

mereka akan meninggalkan benteng pada tengah malam.

Semua pasukan di bawah komando Obu, Akiyama,

Sanada, dan Oyamada akan bergabung dengan kelompok

Kosaka. Dengan begitu kita akan punya cukup waktu untuk

mempersiapkan mereka.”

“Sisa pasukan akan menjadi 8.000 orang.”

“Benar. Tuanku sendiri yang akan memimpin mereka,

dan sebelum matahari terbit, Tuanku harus menyeberangi

Sungai Chikuma dan membangun kemah di

Kawanakajima. Yamagata, Anayama, Naito, Jenderal

Nobushige dan Shooyoken, semua pasukan mereka akan

menyertai pasukan utama. Untungnya, bulan tidak akan

muncul hingga tengah malam, yang akan menguntungkan

kelompok Kosaka. Selain itu, di awal pagi hari akan turun

kabut. Itu juga akan menguntungkan Tuanku

memindahkan pasukan utama,” kata Kansuke saat

memohon diri kepada Shingen.

Tidak lama setelah itu, semua sudut di benteng itu sudah

dipenuhi oleh para samurai yang siap berangkat. Tidak


seorang pun diizinkan mengucapkan sepatah kata; hanya

gemerincing senjata dan baju perang memecah keheningan

tersebut

Tepat sebelum bulan muncul, pasukan besar yang

berjumlah 12.000 orang di bawah komando Kosaka

Masanobu meninggalkan benteng. Mereka akan mendaki

lereng curam di Gunung Saijo untuk menyerang

perkemahan Kenshin pada jam enam pagi.

Kosaka datang menemui Kansuke dengan menunggangi

kuda.

“Tuan, saya akan meninggalkan benteng ini sebelum

Tuanku.” Kata Kosaka dengan rasa hormat. Dalam

kegelapan, Kansuke hanya mendengar suaranya.

“Aku akan mendoakan keberhasilanmu.”

“Saya juga Tuanku.”

Tidak lama kemudian, kuda Kosaka menjauh. Butuh

waktu lama bagi 12.000 pasukan untuk meninggalkan

benteng. Begitu pasukan besar yang pertama berangkat,

suasana menjadi begitu hening. Kansuke menunggu waktu

keberangkatan pasukan utama bersama sekelompok kecil

pengikutnya di lapangan terbuka di bawah salah satu

menara di barat daya. Tidak lama lagi, tidak akan ada

seorang pun tertinggal di dalam benteng.

Kansuke tetap tidak bergerak untuk waktu yang lama.

Sudah 18 tahun berlalu sejak tahun Tenbun ke-12 ketika

keluarga Takeda mulai mempekerjakannya. Sejumlah

pertempuran telah mengisi tahun-tahun yang panjang itu.


Tidak ada hal lain kecuali perang, bagi Kansuke. Seperti

halnya batu-batu besar dan kecil yang berguling di tanah,

perang juga berguling sepanjang tahun-tahun itu.

Jam empat pagi, pasukan Yamagata Masakage

meninggalkan benteng dengan mengambil posisi di bagian

depan pasukan utama. Di belakang mereka berturut-turut

adalah Pasukan Anayama Izu-no-kami, Takeda Nobushige,

dan Naito Shuri beserta pasukan mereka.

Kansuke meninggalkan benteng dan bergabung dengan

pasukan utama Shingen. Saat menengok ke belakang begitu

keluar dari gerbang benteng, tempat tersebut tampak seperti

bayangan hitam dalam kegelapan. Satu sisi langit tampak

lebih cerah dibanding sisi yang lain, namun bumi masih

tampak gelap. Bagi semua orang, benteng tersebut bagaikan

gumpalan kegelapan. Namun bagi Kansuke, benteng itu

berdiri jelas seolah tampak di siang hari. Bayangan

bangunan utama benteng, bangunan pendampingnya dan

lima menara tampak dengan jelas, karena benteng tersebut

dibangun dengan kedua tangannya sendiri.

Mereka menyeberangi Sungai Chikuma di Hirose. Kabut

tebal melayang rendah di padang luas. Shingen

menempatkan kemah perangnya di Yahatahara. Beberapa

panji yang diawali dengan Furin Kazan berkibar di tengah

kabut.

0o-=dw=-o0

Tiga belas

Sesuai rencana, pada jam enam pagi, 12.000 pasukan


terpilih yang dipimpin oleh Kosaka Masanobu akan

menyerang perkemahan Kenshin di Gunung Saijo dari sisi

lain gunung tersebut.

Shingen, yang mendirikan kemah perang di Yahatahara,

secara teratur mengirim patroli dan mengawasi dengan

seksama ke arah Gunung Saijo. Meski kabut tebal masih

menggantung dan tidak mungkin melihat jelas bahkan

dalam jarak tiga meter ke depan, masih terdengar suarasuara

teriakan ketika pasukan sekutu mereka bertempur

dengan musuh di Gunung Saijo.

Tidak lama setelah terdengar suara pertempuran,

pasukan Kenshin pasti akan terpecah dan melarikan diri ke

arah perkemahan ini, menyeberangi Sungai Chikuma.

Kemudian pasukan utama Takeda yang sedang menunggu

di sini, akan menyerang mereka sekaligus. Shingen dan

Kansuke merasa bahwa hanya masalah waktu sampai

mereka memenggal kepala Kenshin.

“Belum juga?” tanya Shingen beberapa kali setiap patroli

datang melapor. Kansuke duduk di sebuah kursi berjarak

tidak sampai 3 meter dari Shingen.

Kadang kala para samurai yang berpatroli muncul nyaris

P merangkak di tanah untuk keluar dari kumpulan kabut.

“Belum ada yang terlihat dari Gunung Saijo. Kami hanya

bisa menangkap sinyal lemah dari api kecil di beberapa

titik.”

Kansuke membahas laporan-laporan tersebut satu

persatu bersama Shingen.


“Pasukan kita pasti tertunda karena kabut tebal ini.

Kabut ini tidak seperti biasanya,” kata Kansuke.

“Ini benar-benar kabut tebal yang tidak biasa, bahkan

untuk daerah ini, namun bisa jadi menguntungkan buat

pasukan sekutu, bukan begitu?” jawab Shingen.

“Tentu saja. Bahkan, ini pastilah salah satu bentuk

perlindungan dewa-dewa Suwa.”

“Namun apa yang menguntungkan kita juga bisa

menguntungkan pihak musuh, bukan?”

“Ya, jika mereka juga menyiapkan penyerangan,” tibatiba

Kansuke mengangkat tubuh dari posisi duduknya saat

mengatakan ini.

“Saya harus melakukan patroli itu sendiri,” kata

Kansuke sambil berjalan turun menuju hamparan sawah.

Kabut mulai terangkat perlahan. Sesekali bayangan

lemah ujung pohon pinus muncul dari balik kabut, dan

secepat itu pula mereka menghilang kembali. Kansuke

berhenti setiap tiga langkah. Seolah berenang dalam kabut

tebal, dan seringkali tidak bisa mengira-ngira apa yang ada

di depan. Kansuke terus berjalan menembus hamparan

tebal tembok kabut putih. Kadang kakinya tersangkut

batang atau akar pohon dan terjatuh sebelum bisa berdiri

kembali lagi.

Kansuke dibebani oleh kecemasan luar biasa. Kini,

bukan lagi kabut tebal yang mengelilingi Kansuke,

melainkan ketakutan yang tidak jelas dan menyakitkan.

Sekarang pasukan sekutunya sedang menunggu untuk


memenggal kepala Kenshin. Namun, apakah mungkin

Kenshin juga sedang bersiaga mendapatkan kesempatan

untuk menghantam kelemahan musuhnya dalam kabut ini

dan merebut kemenangan sendiri? Tidak, itu tidak

mungkin! Lantas, apa yang menyebabkan munculnya

kecemasan ini? Dari mana perasaan cemas ini, yang terus

menggema di dalam batin, berasal?

Tiba-tiba, Kansuke berhenti dan berteriak, “Siapa itu?”

la mendengar derap kaki kuda di dekatnya. Terdengar

seperti seseorang mengendarai kudanya berputar-putar di

satu titik.

“Angin!” teriak lawan bicara.

“Gunung!” jawab Kansuke.

“Pergilah!” teriak sang pengendara kuda dan muncul

dari balik kabut dengan tiba-tiba.

“Aku Yamamoto Kansuke. Apakah kau sedang

berpatroli?”

“Ya, Tuan.” Mendengar suara Kansuke, kuda itu

mengangkat kedua kaki depannya ke udara.

“Tuan, hamparan sawah di depan kita dipenuhi oleh

ratusan pasukan berkuda.”

“Apakah mereka pasukan kita?” tanya Kansuke cemas.

“Saya pikir begitu, tapi saya belum memastikannya.”

Pasukan sekutu sedang menyiapkan formasi perang di

kedua sisi padang Yahatahara. Ya, mereka pasti sedang

mengambil posisi lebih jauh di padang tersebut, namun

sepertinya sulit menduga bahwa mereka sudah maju sampai


sejauh ini. Untuk alasan ini, harusnya tidak ada prajurit

sekutu di depan sana.

“Baiklah, kembali ke perkemahanmu!” Begitu Kansuke

berteriak, ia sendiri langsung berlari ke kemah utama di

mana Takeda Shingen menunggu. Saat itu kabut mulai

menghilang dengan kecepatan tinggi. Di kiri dan kanan

mereka, cabang-cabang dan akar-akar pohon mulai terlihat.

Saat Kansuke tiba di kemah utama, sejumlah panji yang

mengelilingi kemah dapat terlihat melalui kabut, bagaikan

tirai sutera putih yang tipis. Seiring detik yang terus berlalu,

tirai tersebut mulai tersingkap.

“Tuanku.’” panggil Kansuke.

“Bagaimana dengan Gunung Saijo?” tanya Shingen.

“Gunung Saijo mungkin sudah kosong, Tuan.”

“Apa!”

“Tepat di depan kita, dalam kabut ini, Kenshin mungkin

sedang bersembunyi.”

“Tidak mungkin! Apa yang harus kita lakukan?” teriak

Shingen, suaranya bergetar.

Tidak lama kemudian, suara terompet perang yang

mengumumkan pembentukan formasi perang, mulai

menggema dalam nada rendah. Pada saat bersamaan, tiga

ekor kuda patroli tiba satu demi satu.

“Pasukan militer besar sedang membentuk barisan

perang beberapa ratus meter dari sini, dan sayap kanan

mereka mulai bergerak maju,” kata seorang patroli.

“Sayap kiri sudah mulai menggerakkan pasukan berkuda


menuju timur,” lapor patroli kedua.

“Saya tahu bahwa pasukan di depan kita itu pasukan

Echigo. Saya kira ada lebih dari 10.000 orang.” Ketika

patroli ketiga mengatakan ini, ledakan senjata terdengar

dari arah barat.

Sebelum mereka sadar, kabut menghilang. Dataran

rendah, hutan pinus, hamparan sawah, jalanan, pohonpohon

di sekitar rumah-rumah dan sungai yang terhampar

di dataran luas itu mulai terlihat seolah muncul dari dalam

tanah.

Kansuke melihat mereka seketika. Apa yang dilihat

merupakan pemandangan paling menakutkan yang pernah

ia lihat selama ini. Ratusan, bukan, ribuan pasukan

berkuda, dalam tiga barisan panjang, bergerak menuju

Yahatahara, di mana ia dan Shingen berdiri saat ini.

Kansuke menahan napas sejenak, terperangah melihat

pasukan musuh yang terus mendekat.

Saat berikutnya, teriakan perang muncul dari kemah

pasukan sekutu. Teriakan tersebut berasal dari sayap kiri

yang dipimpin oleh Takeda Nobushige. Sekitar 700 pasukan

berkuda mendekat dalam kesatuan menuju salah satu

barisan musuh.

‘Tuanku!” kata Kansuke, “saya salah menilai musuh.

Kita menempatkan diri dalam situasi tak terduga.”

“Apakah kita akan menang?” Shingen tampak begitu

tenang.

“Kita harus menang.”


“Ya, kalau tidak, nyawa kita taruhannya.”

“Bukan hanya nyawa kita, juga arwah leluhur yang

berhak atas kemenangan ini. Jika kita kalah, akan menjadi

kekalahan tak termaafkan bagi mereka.”

“Aku belum ingin mati. Aku akan tetap hidup,” kata

Shingen seolah berkelakar. Tersenyum sendiri mendengar

kata-katanya.

“Kansuke, hingga pasukan Kosaka tiba, pertempuran ini

akan menjadi sebuah kekacauan. Pastikan kau tidak mati

dalam kekacauan ini.”

“Saya juga menyarankan hal yang sama kepadamu,

Tuanku,” jawab Kansuke, senyum menghiasi wajahnya.

Kansuke setuju dengan Shingen. Semua jenderal terlatih

dalam angkatan perang Takeda, seperti Kosaka, Obu, Baba,

dan Oyamada, berada dalam pasukan yang akan

menyerang musuh yang seharusnya berlokasi di Gunung

Saijo, namun sekarang tidak lagi. Kemenangan tergantung

pada kapan pasukan besar Takeda yang berjumlah 12.000

orang itu bergabung dengan mereka di medan laga. Jika

mereka bisa bertahan sampai saat itu, kemenangan akan

bisa diraih. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku tidak

akan membiarkan Shingen mati di medan ini, pikir

Kansuke. Bertekad untuk tidak meninggalkan sisi Shingen.

Bersiap mati demi Shingen.

Teriakan perang terdengar dari segala penjuru medan

pertempuran. Pasukan Yamagata Saburohyobei tiba,

memotong ke barisan tengah. Demikian pula pasukan


Naito Shuri dan Morozumi Bungo di sayap kanan yang

juga mencoba memotong barisan musuh. Kansuke tidak

pernah mengira akan menempatkan prajuritnya melawan

pasukan Kenshin dalam situasi sesulit ini. Sejak lama ia

sudah merencanakan strategi untuk menghadapi saat seperti

ini. Namun yang terjadi di hadapannya, sama sekali

berbeda dari yang ia bayangkan.

Kabut sudah benar-benar menghilang; menampilkan pagi

musim dingin yang terasa tenang. Jubah berwarna merah

yang dikenakan Shingen tampak terang, la duduk di kursi,

mengenakan jubah perang yang dijahit dengan benang

hitam dan helm perang khas Klan Takeda dari wilayah

Suwa. Kansuke duduk di sebelahnya. Kepalanya yang

tercukur dibalut sehelai kain putih, dan ia juga mengenakan

baju perang berhias benang sutera hitam.

Tiba-tiba, teriakan perang semakin membesar, dan

ringkikan kuda memekakkan telinga juga terdengar pada

saat yang sama. Jelas sekali bahwa saat ini kedua pasukan

sudah saling bertarung.

0o-dw-o0

Sejak awal, perang ini sudah begitu sulit buat pasukan

Takeda. Ada perbedaan jumlah yang sangat besar antara

kedua pihak; kesalahan strategi mereka mengurangi

kepercayaan diri para prajurit sekutu. Bagaimanapun juga,

pasukan Takeda harus menghadapi serangan kejutan

mendadak pasukan Echigo yang jauh lebih besar dan lebih

kuat.
Mereka harus menang. Dan untuk menang, mereka

harus bertahan dengan posisi militer yang lebih lemah,

sampai 12.000 prajurit pasukan sekutu mereka bergabung

dalam barisan. Kansuke tidak memiliki keinginan apa pun

selain ini. Sudah tidak ada lagi ruang untuk strategi. Perang

itu kini murni menjadi pertunjukan kekuasaan dan

kekuatan. Kenshin telah memperdaya Kansuke kali ini.

“Bagaimana keadaan Nobushige?” tanya Shingen. la

tidak melihat ke barisan perang; matanya setengah tertutup,

bertanya dengan suara lebih lemah dari biasanya.

“Mereka belum sampai ke tahap untuk menyerah.”

“Hmm, mereka bertahan dengan baik, ya?” kata

Shingen. Dari caranya mengatakan hal itu saja sudah

terdengar nada hangat di telinga Kansuke. Bahkan dari

sana, Kansuke bisa melihat pertarungan mati-matian

Nobushige. Hanya dengan 700 pasukan, mereka dapat

bertahan dengan gigih melawan pasukan musuh yang

jumlahnya beberapa kali lebih besar. Meskipun pasukan

sekutu berulang kali dipukul mundur, mereka kembali maju

dan selalu berusaha mendesak.

Seringkali Kansuke merasa mereka dalam bahaya,

karena pasukan musuh yang baru dan masih segar secara

teratur maju ke depan. Hampir di saat yang bersamaan,

pasukan Nobushige yang sudah bertahan sedemikian lama,

berhamburan. Sungguh pemandangan menyedihkan.

Karena jumlah mereka jauh lebih kecil dibanding pasukan

musuh, maka dalam sekejap mereka tertelan oleh


gelombang pasukan musuh yang berlipat.

Kemudian, 1000 pasukan di bawah Yamagata muncul

dari samping dan mencoba memotong barisan musuh.

Taktik serangan itu sangat bagus dan mengagumkan di

mata Kansuke.

“Pasukan Tuan Nobushige jatuh, tapi…” Kansuke

memulai.

“Yamagata, ya?”

“Benar, Tuanku.”

“Kita bisa bergantung padanya dalam hal itu. Bagaimana

dengan sayap kanan?”

“Pasukan Morozumi juga bertarung mati-matian.”

“Masih bertahan?”

“Pasukan Naito berbelok ke kanan. Sulit mengatakan

siapa yang unggul.”

Tidak lama setelah itu, mereka mendengar berita

kematian Takeda Nobushige.

“Tuan Nobushige gugur!” kata si pembawa pesan. Kuda

yang ditungganginya mendadak menjatuhkan kaki depan

dan si pembawa pesan berguling ke tanah sambil memegang

pedang panjang di tangan, la berdiri dan kembali berteriak,

“Tuan Nobushige gugur!” lalu jatuh tersungkur kembali.

Kansuke berlari ke samurai tersebut dan membalikkan

tubuhnya. Satu kaki diletakkan ke dada sang samurai dan

menarik satu persatu anak panah yang menancap. Tiga

buah anak panah menancap di tubuhnya. Samurai tersebut

sudah mati. Nobushige juga pasti kehilangan nyawanya


seperti ini, pikir Kansuke.

“Nobushige gugur. Orang yang malang,” kata Shingen.

“Saya minta maaf,” kata Kansuke. Merasa bertanggung

jawab atas semuanya, termasuk kematian saudara Shingen.

“Kansuke, aku hanya bilang bahwa dia orang yang

malang. Jangan cemas. Jam dua siang nanti, kita akan

meneriakkan teriakan kemenangan.”

“Baik, Tuanku.”

Kansuke tidak dapat mengangkat kepala. Apakah

Shingen mencoba menutupi kesalahanku? pikir Kansuke.

Atau apakah ia benar-benar percaya pada kemenangan

yang akan diraih nanti? Shingen tidak pernah menyalahkan

Kansuke atas kegagalannya. Luapan emosi melanda

Kansuke. Ingin melakukan apa saja untuk membantu

Shingen. la menyesal hanya punya satu nyawa untuk

diberikan. Kansuke menaiki kuda abu-abunya, melihat ke

segala penjuru dari perkemahan Yahatahara.

Sekarang pertempuran meledak menjadi kekacauan

sepenuhnya. Sudah tidak ada lagi barisan yang

membedakan antara pasukan musuh dan sekutu. Ini

merupakan pertempuran antara hidup dan mati. Meskipun

matahari musim dingin menyebarkan cahaya dinginnya ke

padang luas itu, namun tempat tersebut tetap diliputi

suasana kepedihan. Pedang dan tombak yang terlihat di

mana-mana berkilatan dalam keheningan.

Andai saja Kosaka ada di sini! Seandainya Baba di sini!

Seandainya Obu di sini! Entah berapa kali pikiran seperti ini


melintas dalam benaknya! Pasukan terpilih yang mahir

menunggang kuda dan menggunakan tombak panjang

berada sangat jauh dari medan tempur akibat strategi

Kansuke sendiri.

Pasukan Yamagata yang menggantikan pasukan Takeda

Nobushige sudah menyerang dalam jangka waktu lama

sepanjang barisan tengah dan sayap kiri, namun perlahan

mundur dan bertahan. Dipaksa mundur selangkah demi

selangkah.

Dalam situasi ini, di sayap kanan, Morozumi gugur

dalam pertempuran. Begitu komandan mereka terbunuh,

pasukan sayap kanan mulai melemah. Saat mengetahui

tentang kematian Morozumi, Kansuke merasa bahwa

perkemahan mereka di Yahatahara akan berubah jadi

medan perang. Karena kekalahan sayap kanan, Yahatahara

kehilangan perlindungan dan bahkan menghadapi garis

depan pasukan musuh.

“Tuanku!” panggil Kansuke. Shingen juga menyadari

bahaya yang mengancam dan berkata, “Ya, pasukan utama

Kenshin akan menyerang kemari, bukan?”

“Saya menduga demikian.”

“Kalau begitu, dapatkah kita bertahan selama dua jam?”

“Ya. Harus.”

“Jika kita mampu bertahan selama dua jam, kita akan

menang. Sampai saat itu, pasukan Kosaka akan tiba di

belakang mereka.”

“Ya, pasti.”
Kansuke mengirim pesan ke segala penjuru. Mereka

harus mempertahankan Yahatahara. Di kemah utama

hanya tersisa 1.800 prajurit. 1000 pasukan di sayap kiri

dipimpin oleh Hara Hayato dan Takeda Shoyoken,

sementara 800 pasukan di sayap kanan yang dipimpin oleh

Takeda Yoshinobu dan Mochizuki Kanhachiro, maju ke

depan. Maka, setiap prajurit di kemah Takeda akan

bergabung dalam pertempuran.

Tidak lama kemudian, Kansuke mendengar teriakan

perang begitu keras mengguncang tanah, la melihat 3.000

pasukan Echigo menuju ke arah mereka melintasi dataran

dengan jarak hanya beberapa ratus meter dari mereka.

Tepat seperti apa yang mereka ramalkan.

Untuk pertama kalinya Shingen memberi komando, la

perintahkan seluruh pasukan di kemah utama

meninggalkan Yahatahara dan menghadapi musuh.

“Apakah Tuanku akan berkuda bersama pasukan Tuan?”

tanya Kansuke bergegas kepada Shingen.

Shingen masih duduk di kursinya, menggeleng. Sama

sekali tidak bergerak. Duduk seperti boneka prajurit.

“Tuanku, saya akan berangkat.”

Kansuke bertekad untuk memimpin pasukan perang.

“Apakah kau sudah melihat pasukan?”

“Belum, belum ada, Tuanku.”

“Baik, pergilah!” kata Shingen. Mata sang komandan

perang itu bersinar.

Kansuke berkuda hingga ke padang yang lebih tinggi


letaknya, la melihat ke ujung padang luas itu. Kansuke

tidak melihat satu pun pasukan sekutu mereka di sana. Apa

yang terjadi pada Kosaka! Bagaimana dengan Baba?

Kansuke merasa begitu terpuruk dalam keputusasaan.

Kansuke membuat 200 orang pasukannya tetap berada di

tempat dan menunggu saat yang tepat bagi pasukannya

sendiri untuk maju sebagai pelindung terakhir bagi Shingen.

Anak-anak panah secara teratur menabrak pohon-pohon

pinus dan jatuh ke tanah. Suara ledakan senjata begitu jelas

terdengar. Teriakan perang terdengar di mana-mana.

Ladang pembantaian hanya berada beberapa ratus meter di

depan Kansuke. Kedua pasukan saling bertarung dan

berjuang mempertahankan nyawa masing-masing.

Kansuke menunggangi kudanya bolak-balik di tempat

yang sama berulang kali. la berdoa kepada para dewa

semoga sekelompok pasukan itu akan muncul di ujung

hamparan padang ini. Kemenangan mereka tergantung

kepada pasukan itu. Tidak ada jalan lain.

“Tuanku,” Kansuke kembali menghadap Shingen.

Shingen berkata, “Bukankah seperti ini juga ketika

pertempuran melawan Murakami Yoshikiyo? Tidak

seorang pengikut pun yang berada di sekitarku.”

Ya, itu benar, dan bukankah ia meneriakkan teriakan

kemenangan dalam pertempuran melawan Murakami

Yoshikiyo?! Kansuke merasa itulah yang ingin dikatakan

Shingen. Bahkan dalam pertempuran seperti ini, Shingen

hanya memikirkan kemenangan. Tidak ada bayangan


kematian atau keputusasaan dalam dirinya.

Sementara itu, formasi pasukan Takeda Shoyoken

terpecah dua, dan Kansuke melihat 30 prajurit penunggang

kuda saat kelompok tersebut terbagi dua. Mereka maju

dengan kekuatan penuh.

Kansuke memerintahkan pasukannya menunggu prajurit

mendekat. Sekarang waktunya bagi setiap pengikut untuk

terlibat dalam pertumpahan darah.

Pertempuran sudah berlangsung satu jam. Kansuke

belum pernah mengalami pertempuran sesulit dan sekeras

ini. Musuh bertekad menghancurkan kemah utama Shingen

dalam satu serangan. Sekelompok pasukan memotong ke

pasukan pertahanan kemah utama Takeda dari waktu ke

waktu. Setiap kali mereka melakukan, teriakan, jeritan dan

ringkik kuda bergema di tanah. Pasukan Takeda selalu

berusaha mengepung dan membunuh setiap musuh.

Sungguh pertempuran yang sangat mengesankan.

Kansuke secara teratur menggerakkan pasukannya ke

kanan dan ke kiri. Tugasnya adalah tidak membiarkan satu

pun pasukan musuh mendekati kemah utama tempat

Shingen berada. Namun, jumlah pengikutnya semakin

berkurang setiap kali mereka bergerak.

Setiap kali berhenti untuk mengambil napas, Kansuke

memeriksa kemah utama di hutan pinus. Di tengah padang

di mana 20.000 prajurit sedang bertempur, hanya bagian itu

yang tetap diam. Panji-panji Takeda tetap berdiri tegak.

Belum ada satu pun pasukan musuh yang menembus ke


sana. Namun, itu cuma soal waktu. Ini adalah pertempuran

melawan waktu. Kekuatan Echigo akan segera memenuhi

wilayah ini.

“Yamamoto Kansuke!”

Kansuke berbalik ke arah suara tersebut. Itu suara putera

resmi Shingen, Yoshinobu, yang berlari mendekat. Berusia

24 tahun, kening jenderal muda itu terluka dan pipi

kanannya berlumuran darah.

“Jagalah ayahku, Kansuke. Jangan bergerak dari sini.”

“Tuan Muda sendiri bagaimana?”

“Aku akan menyerang kemah utama musuh. Jika kita

biarkan keadaan ini, pasukan sekutu akan hancur. Lainnya

aku percayakan padamu. Aku, Yoshinobu, akan menyerang

kemah utama musuh.”

Berhasil atau tidak, Yoshinobu bermaksud menembus

kemah utama musuh dan memenggal kepala Kenshin. Tapi

itu tidak mudah, bahkan untuk mencapai kemah Kenshin.

Ribuan prajurit musuh akan menghalanginya.

Untuk waktu yang lama mata Kansuke terpaku di wajah

Yoshinobu. Kansuke sudah lama menentang kekuatan yang

mengelilingi anak muda ini. Dari kekuatan itu, Kansuke

melindungi Puteri Yuu dan anak-anak Shingen yang tidak

resmi, seperti Katsuyori dan yang lain. Namun, sekarang

Kansuke berpikir bahwa ia membenci jenderal muda ini

untuk alasan yang salah, hanya karena ia anak dari istri

resmi Tuannya.

Matahari musim dingin bersinar lembut menerpa helm


perang Yoshinobu yang berhias lambang keluarga Takeda;

gambar kepala naga di lempengan logam berbentuk berlian.

Benang berwarna ungu yang terjahit di baju perangnya

tampak sobek dan kudanya terluka.

Setelah beberapa saat, Kansuke berkata pelan, “Sayalah

yang seharusnya melakukan pekerjaan itu, bukan Tuan

Muda. Seperti Tuan Muda bilang, jika kita b iarkan keadaan

ini, kita tidak akan bertahan bahkan satu jam. Pasukan

sekutu yang sangat kita harapkan kedatangannya, belum

juga tiba karena alasan tertentu.”

Saat ia bicara, matanya menerawang ke cakrawala.

12.000 pasukan mereka yang dipimpin Kosaka belum juga

muncul di padang itu. Tidak satu orang pun.

“Saya, Kansuke, akan menyerang kemah utama musuh.

Tuan Yoshinobu, tetaplah di sini. Saat sayap kanan dan kiri

sudah tidak dapat lagi bertahan, Tuan Muda, mohon bawa

Tuan Kita mencari jalan keluar meloloskan diri ke Benteng

Kaizu.”

“Tidak,” Yoshinobu menggeleng kuat-kuat, mencoba

mengatakan sesuatu.

Kansuke menyela, “Saya mohon Tuan Muda tidak

bertindak ceroboh. Hidup Tuan berbeda dengan saya. Tuan

adalah putera resmi keluarga Takeda yang sangat penting.”

Ujarnya, padahal inilah bocah yang dulu pernah ingin

dihancurkan oleh Kansuke demi Katsuyori—putera Puteri

Yuu—yang ia lindungi. Tanpa diduga dan berbahaya,

takdir sedang mendekati Takeda. Di saat-saat seperti ini,


tidak peduli siapa pun dia, selama di tubuhnya mengalir

darah Takeda, ia harus dilindungi.

“Tidak!” Yoshinobu tidak mau mendengar Kansuke,

mencoba membelokkan kudanya dengan kasar.

“Tidakkah Tuan mengerti?” teriak Kansuke. “Jangan

bergerak dari tempat ini. Jika bukan Tuan yang melindungi

E Tuan Kita, siapa lagi?”

Kansuke perlahan maju, kemudian berbalik dan mulai

mendaki menuju kemah utama di mana Shingen sedang

mengawasi.

Shingen berdiri tegak, menyandarkan tangan kanan di

sebatang pohon pinus, la memandang ke medan

pertempuran dengan ketenangan yang begitu agung.

Tuanku, engkau sudah menjadi seorang komandan

perang yang hebat, begitu yang ingin disampaikan Kansuke.

la belum pernah terlihat begitu mengagumkan seperti

sekarang ini. Sampai detik itu, setiap kali pertempuran

dimulai, Shingen selalu berada di atas kuda. Selalu ingin

memberi komando dan memimpin pasukannya sendiri.

Namun hari ini, dalam pertempuran di mana kemungkinan

besar ia akan kalah, Shingen begitu tenang dan terkontrol

sejak awal, seperti sosok yang berbeda. Shingen

menyerahkan semua kepada para pengikutnya. Segalanya,

kecuali keputusan-keputusan yang paling penting.

Sambil membiarkan tangannya bertumpu di pohon

pinus, Shingen mengalihkan pandangan dari satu sisi

medan pertempuran ke sisi yang lain. Wajahnya bukan


wajah seorang komandan perang yang sedang mengamati

pertempuran yang akan kalah. Kansuke ingin

memperlihatkan sisi Shingen yang seperti ini kepada Puteri

Yuu. Inilah wajah seorang komandan perang paling hebat

di seluruh negeri.

Kansuke membalikkan kudanya dan mengumpulkan

semua pengikut yang masih bertahan.

“Sekarang kita akan memacu kuda kita menembus

wilayah musuh dan menyerang kemah utama mereka. Pacu

saja kuda kalian menuju kemah utama. Jangan hiraukan

apa yang terjadi di sekeliling. Saat ini, hidup kalian adalah

milikku._

“Oooooll” Terdengar teriakan keras dari para

pengikutnya.

Sesaat kemudian, Kansuke memacu kudanya menuju

sudut berlawanan dari pertempuran itu. Di tengah

perjalanan ia menengok ke belakang, melihat para samurai

yang mengikutinya. Jumlah mereka jauh lebih besar dari

yang Kansuke bayangkan.

Musuh mengepung. Kansuke menyondongkan badan ke

depan. Tampak seperti sedang menjilati leher kuda.

Kansuke memegang pedang di satu sudut, mata pedang di

sebelah pipinya.

Sepanjang waktu Kansuke menahan sakit di sekujur

tubuh, la tebaskan pedang ke arah musuh dan musuh

melakukan hal yang sama.

Begitu mendapat kesempatan melihat ke depan, Kansuke


melihat dirinya sedang menembus dinding dari sekumpulan

mata pedang. Tiba-tiba kudanya merubah arah dan berlari

kencang seperti kerasukan. Kuda tersebut tetap berlari

sejauh 60 meter, lalu dengan tiba-tiba berhenti dan

membengkokkan kaki belakang seperti hendak duduk. Saat

itu ia berada di kaki sebuah bukit kecil.

Kansuke terlempar ke tanah.

Saat mencoba bangkit, Kansuke menahan napas. Secara

mengejutkan ia mampu melihat padang yang terhampar

dari tempatnya berdiri. Bisa melihat hamparan sawah dan

padang yang ditumbuhi ilalang dan sebuah danau. Di ujung

padang luas itu ia bisa melihat banyak titik-titik kecil

menyebar ke segala penjuru, memenuhi wilayah tersebut.

Akhirnya mereka tiba, pikir Kansuke. Saat berbalik hendak

melihat ke arah hutan pinus, sejumlah kuda tunggangan

melintas dengan kecepatan penuh.

Kansuke berdiri tegak. Beberapa samurai musuh

mendesak dari sebelah kanan, la mulai berjalan menuju

mereka dengan limbung. Kansuke membunuh satu orang,

namun bahunya juga terluka. la membunuh seorang lagi,

namun kakinya terenggut dari bawah tubuhnya; ia terduduk

di tanah.

Tuanku, pasukan kita sudah tiba. Sekarang engkau akan

menang dan meneriakkan kemenanganmu!

Sebilah pedang menembus perut Kansuke dari samping,

la berdiri menggenggam kepala pedang itu.

Titik-titik hitam itu semakin bertambah jumlahnya.


Di sudut hutan pinus di mana Shingen berada, masih

berdiri panji Furin Kazan, dan di sekeliling panji tersebut

berdiri panji-panji Takeda lainnya. Pasukan Takeda

Yoshinobu pasti juga sedang melindungi kemah utama.

Dalam pertempuran ini, tibanya 12.000 prajurit

menjanjikan kemenangan. Kemenangan itu mendekat

dalam hitungan menit. Dia tetap harus hidup, pikir

Kansuke.

“Yamamoto Kansuke, aku akan memenggal kepalamu,”

Kansuke mendengar suara seorang anak muda. la coba

melihat ke arah suara tersebut, namun tidak bisa. Sambil

menggenggam kepala pedang yang menembus tubuhnya,

Kansuke mencoba mengangkat pedang panjangnya.

Namun tidak terjadi apa-apa.

”Tuanku! Teriakkan kemenangan kita! Mereka akan

segera tiba di sini.”

Rasa sakit kembali menusuk bahu. Kansuke terbanting

beberapa meter, seperti dibetot seseorang dengan kepala

pedang yang menonjol keluar dari tubuhnya, lalu menabrak

sebatang pohon pinus. Kansuke bertumpu di pohon

tersebut; masih memegang pedangnya dan bersiap untuk

menyerang.

Saat paling hening dalam hidupnya pun tiba. Meskipun

jeritan dan teriakan perang memenuhi ruang antara langit

dan bumi, Kansuke merasakan keheningan. Wajah Itagaki

Nobukata muncul, la berkata, “Kau sudah hidup untuk

waktu yang lama. Sepuluh tahun setelah aku mati!”


Kemudian, wajah Puteri Yuu muncul, la tertawa seperti

ketika Sang Puteri sedang merasa bahagia. Tawa tersebut

mendekat seperti sebuah mutiara menggelinding ke

arahnya.

“Lihatlah luka-lukamu. Kau dilahirkan dengan wajah

begitu buruk, dan kau semakin menambahkan luka ke

wajah itu!” gaya khas Puteri Yuu saat mengolok-oloknya

terdengar menyenangkan. Kansuke merasa berbahagia

karenanya.

“Aku yakin namamu Yamamoto Kansuke, tapi sebutkan

namamu dulu,” Kansuke mendengar suara seorang anak

muda, merusak kebahagiaan sesaat yang dirasakan. Entah

mengapa Kansuke merasa puas gugur di tangan seorang

samurai muda.

“Ya, benar, akulah sang ahli strategi Klan Takeda,

Yamamoto Kansuke.”

Saat mengatakan hal itu, Kansuke merasakan pedang

dingin yang akan mengakhiri hidupnya bergerak menebas

leher.

Darah menyembur. Kepala sang ahli strategi Yamamoto

Kansuke lepas dari tubuh pendeknya.

Saat itu, di satu sudut padang tersebut, kelompok

pasukan berkuda Kosaka, Baba, dan Obu, yang sudah

melintasi sungai, menyerbu bagian belakang pasukan

Echigo.

Di saat yang bersamaan, komandan perang Echigo,

Uesugi Kenshin, yang sudah membungkus helm perangnya


dengan bahan sutera lembut berwarna putih yang tampak

seperti rahib, menarik pedangnya yang sepanjang dua

setengah kaki dan memacu kuda cokelatnya, la berniat

untuk menyerang Shingen sendirian dan memutuskan siapa

yang menjadi pemenang dalam satu tebasan pedang.

Masih dua jam berlalu hingga tiba jam dua siang ketika

Shingen meneriakkan kemenangan, seperti yang sudah ia

ramalkan.

Sejak saat itu, penampilan padang tersebut perlahan

berubah. Matahari menghilang di balik awan. Di langit

sebelah barat daya, awan hitam mulai berkumpul.

Tamat

Anda mungkin juga menyukai