Kolektor E-Book
***
SATU
Semakin larut malam, suasana hening semakin menyelimuti desa Cikalong Wetan di
kaki Gunung Galunggung yang tampak lebih kelabu dari biasanya.Tak seorang pun
tampak berkeliaran di luar rumah.Padahal bulan sedang purnama, dan bintang
gumintang menari-nari gemulai di langit biru jernih.Udara pun berembus segar.
Nyaman.
Tetapi setiap warga desa tahu, malam itu sebaiknya mereka masuk tidur lebih cepat
dari kebiasaan. Meski mata sulit dipejamkan.Malam itu, sesuatu akan terjadi. Dan
mereka semua menunggu.
Dengan tegang.
Satu-satunya pintu rumah yang terbuka adalah pintu rumah Pak Lurah. Cahaya
lampu minyak menerobos keluar, menjilati tanah berpasir di pekarangan. Angin malam
yang menerobos masuk ke dalam rumah membuat lampu minyak sesekali menggeliat.
Segan dan kaku.
Sekelompok laki-laki sedang berkumpul di ruang tengah rumah. Wajah mereka juga
tampak segan dan kaku.Bahkan satu-dua di antaranya jelas dicekam perasaan takut,
tanpa dapat menyembunyikannya. Hanya Aki Bajuri seorang yang terlihat tenang.
Hampir acuh tak acuh.
Tetua kampung yang dikenal juga sebagai dukun kesohor itu, untuk kesekian kali
menyapukan pandang pada wajah-wajah tegang di sekelilingnya, dan berakhir di wajah
Pak Lurah yang dari tadi duduk gelisah.
"Tak ada yang perlu dicemaskan!" ujarnya tiba-tiba,mengejutkan semua yang hadir.
***
Di dalam gubuk kecil terpencil yang mereka tuju, hawa dingin mendadak menyergap
tubuh sesosok perempuan yang dari tadi duduk diam dekat tungku. Lewat pintu
gubuknya yang terbuka, si perempuan mengawasi suasana malam di luar. Malam yang
sunyi senyap.Makhluk-makhluk penghuni hutan seperti mengetahui sesuatu akan
terjadi, lalu memutuskan untuk berkubang diam di sarang masing-masing. Tak
terdengar suara apa pun, kecuali desau-desau angin berembus menerpa pucuk-pucuk
pepohonan. Lalu batang-batang rumpun bambu di samping gubuk berkeriut,
menimbulkan bunyi gemeretak yang sahut-bersahut. Seolah roh-roh penghuni alam
sedang ribut.Saling membisiki untuk memperingatkan si perempuan yang tetap tak
beranjak dari duduknya.Nyala api dari tungku menyinari wajahnya. Wajah itu tampak
tenang. Sesekali kelopak matanya mengerjap.Lalu menatap lagi ke luar pintu.
Bersiaga.
Ketika angin malam sayup-sayup memantulkan suara-suara gerakan yang jelas
menuju gubuknya, siperempuan menggeliat pelan. Di usianya yang sudah memasuki 35
tahun, geliat tubuh si perempuan tetap tampak gemulai, walaupun jiwanya terasa
tegang.
Kurun waktu boleh berlalu.
Tetapi kondisi tubuh serta kecantikan wajahnya tetap bertahan. Ramu-ramuan yang
dulu diberikan almarhum suaminya serta ketekunannya untuk merawat diri, memang
banyak membantu. Itu semua ia lakukan demi cinta dan gairah seksualnya pada suami.
Malang, nasib menghendaki lain. Setelah suaminya mati mengenaskan, kondisi tubuh
***
Ketika matahari pagi muncul di ufuk timur, yang tertinggal hanyalah puing-puing
berserakan yang sedikit demi sedikit hancur menjadi abu, lalu terbang dan sirna disapu
angin pagi. Satu per satu mereka berjalan menuruni lereng gunung tanpa berbicara
walau hanya sepatah kata. Walau tak terucap, satu hal mereka jelas sepakat. Tak
seorang pun dari mereka bersedia menginjakkan kaki di tempat yang barusan mereka
tinggalkan.Kelak di kemudian hari, kesepakatan itu ternyata harus mereka tebus sangat
***
DUA
Telepon berdering.
Mengejutkan.
Ramandita sampai terpekik sendiri, saking terperanjat.Selesai mengetik, ia lalu
menyandar letih di kursinya.Larut ditelan kesunyian yang menghanyutkan, kelopak
mata Ramandita kemudian terpejam.
Mengantuk.
Saat itulah ia dikejutkan oleh deringan telepon.Gagang telepon cepat disambarnya,
lantas menggerutu tak senang,
"Tidak dapatkah menunggu besok pagi?"
"Tidak!" jawab suara di seberang sana.
Ketus,
"satu satunya naskah yang masih ditunggu mesin malam ini hanya punyamu.
Lupakah kau bahwa harus naik cetak pukul tiga nanti?"
"Ah kau kiranya, Rianto!"
***
TIGA
***
EMPAT
Ramandita keranjingan menulis cerita-cerita hantu, itu memang betul. Akan tetapi
bahwa hantu itu benar-benar ada... konon pula dalam wujud nyata seperti sekarang ini,
sungguh tak masuk di akal Ramandita.
Hantu hanya ada dalam khayalan manusia-manusia penakut. Semakin mereka takut,
semakin mereka percaya. Ramandita lantas ikut menakuti-nakuti mereka. Karena ia
tahu dari ketakutan-ketakutan yang ditimbulkannya, uang pun mengalir deras ke saku
***
LIMA
Tahan juga Ramandita berkurung di rumah. Tetapi tak sampai dua jam. Dering demi
dering telepon tak ia acuhkan. Kemudian kabelnya dicabut sambil memaki-maki. Surat
kabar pagi dan majalah yang bareng datang, tidak menaruh minatnya. Penjual susu
sapi murni langganannya juga ia biarkan mengebel pintu depan terus menerus. Sampai
orang itu bosan sendiri lalu pergi.Di dalam rumah, Ramandita duduk, berdiri,
mondar-mandir, merokok, dan terus merokok. Sampai ia batuk-batuk dan dadanya
seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.Akhirnya ia tiba pada satu kesimpulan, ada sesuatu
***
"Ya.Itulah yang terjadi. Pulang ke Jakarta, sepupuku mendadak tak bisa kencing!"
"Pasti dijangkiti penyakit kencing batu!"
"Mulanya sepupuku juga berpendapat demikian. Lalu ia memakan macam-macam
obat penyembuh. Sia-sia belaka. Tetap saja tak mampu kencing, betapapun keinginan
sudah sangat mendesak, makin lama makin terasa menyakitkan. Bila dipaksakan yang
keluar cuma darah, darah, dan darah. Kadang-kadang, juga nanah.Dua kali aku ikut
mendampingi sepupuku berkonsultasi ke dua orang dokter spesialis. Sepupuku diperiksa
dan diperiksa. Dirontgen bagian demi bagian. Sempat pula diopname berhari-hari.
Hasilnya, negatif. Dokter-dokter ahli itu cuma menggelengkan kepala.
Menyerah.Mereka bilang, tak ada kencing batu, walau gejalanya sekalipun. Ginjalnya
bekerja sempurna. Hasil pengamatan luar maupun pemeriksaan laboratorium
menunjukkan sepupuku sehat wal afiat. Tak kurang suatu apa...."
"Kok aneh!"
Ramandita mulai berminat.
"Itulah yang jadi bahan pemikiran keluarga kami.Adapun sepupuku itu, boleh dikata
sudah tak mampu lagi berpikir. Kasihan dia. Sudah tak bisa kencing;.."
Harianto menggelengkan kepala, wajahnya penuh iba,
"...masih juga ia diteror hantu si penghuni kubur Hantu berseragam hulubalang
raja-raja tempo dulu. Sepupuku disiksa. Dibuat tak berani tidur...."
"Ah...!"
"Benar. Hampir setiap kali sepupuku mulai terlena,hantu itu menurut dia, muncul
dan muncul lagi. Setiapkali muncul, si hantu dengan buasnya meremas-remas kemaluan
sepupuku. Tentu saja sepupuku melolong-lolong seperti orang sekarat, lalu
***
TUJUH
***
DELAPAN
Besok paginya, berita yang termuat di hampir semua surat kabar isinya tak jauh
SEMBILAN
Tidak.
Jangan dulu!
"Bagaimana dengan autopsi?" tanyanya, dengan mulut terasa kering.
"Masih belum selesai. Tetapi tadi aku telah menghubungi laboratorium. Kata
mereka, jelas sudah kerangka itu masih baru sekali. Mereka temukan beberapa tetes
darah. Memang sudah kering, tapi sudah dapat dipastikan bahwa korban meninggal
sekitar tengah malam tadi...!"
Robinson bersandar di kursinya dengan wajah muram. Lanjutnya,
"Kau lihat, bukan?Ada unsur-unsur yang aneh dalam kasus ini. Terlalu aneh,
sehingga sulit dijangkau akal sehat manusia biasa. Dan aku masih tetap manusia biasa,
Ramandita,bukan Ellery Queen. Bukan pula Hercule Poirot. Hem...andai kata
tokoh-tokoh masyhur itu ada di sini sekarang..."
Robinson merenung, disusul senyuman masam di bibirnya.
"Konon pula aku!"
Ramandita tersenyum sama masamnya.
"Tetapi kau pernah memberi masukan untukku,Ramandita. Sesuatu yang sebelumnya
tidak terpikirkan olehku. The Black Widow. Si Janda Hitam. Ingat,bukan?"
"Tentu saja...!"
Lamunan Ramandita menerawang.
"Janda yang selalu berpakaian hitam-hitam semenjak ditinggal mati oleh suaminya.
Dan tetap seperti itu,sampai akhirnya ia mati terbunuh 20 tahun kemudian.Belum
pernah kudengar ada seorang istri yang tahan berkabung selama itu..."
"Bacalah ini. Dan camkan, sifatnya masih rahasia. Off the record, Belum seorang
pun teman-temanmu yang kami beritahu...."
"Apa ini?" desah Ramandita sambil membuka-buka sepintas berkas itu.
"Hasil berita acara yang kami buat pagi ini. Aku mencurigai petugas-petugas ronda
itu tidak memberi keterangan sebenarnya dalam tanya jawab tadi malam di lokasi
kejadian. Jadi kuminta mereka hadir lengkap pagi ini untuk dimintai keterangan
tambahan...."
"Dan?"
"Mereka kemudian terpojok, lalu sepakat untuk membersihkan nama baik
masing-masing. Mereka memberikan pernyataan baru. Untuk meyakinkan kami, mereka
malah ngotot bersumpah bahwa keterangan mereka kali ini benar apa adanya!"
Karena berkas itu berlembar-lembar, diketik spasi rapat pula, perlu waktu yang tidak
sedikit untuk mempelajarinya.
***
SEPULUH
***
SEBELAS
"Entahlah. Bahkan aku meragukan apakah aku masih berpikiran sehat sekarang ini!"
***
Mereka berdua turun dengan lift ke lantai bawah,kemudian masuk ke kantor hotel
***
DUABELAS
***
Di Sukabumi mereka istirahat sejenak untuk makan malam dan membeli oleh-oleh
roti kaleng serta kain sarung untuk Aki Juhari yang akan mereka temui. DiCisolok,
mobil terpaksa mereka titipkan di rumah salah satu penduduk. Dari situ naik ojek
sepeda motor melalui jalanan sempit berbatu-batu, naik-turun sangat curam dan
berbahaya. Baru sekitar pukul 11 malam mereka sampai ke alamat yang dituju.
"Memang pada jam begini Aki Juhari biasanya ada dirumah..." pengemudi ojek
menjelaskan.
"Apakah kalian tidak lupa membawa roti kaleng dan kain sarung kesukaannya?"
"Beres," jawab Ramandita, sambil bersyukur Harianto sudah mengingatkan lebih
dulu.
***
TIGABELAS
Ramandita keranjingan menulis berita kejutan. Salah satu berita yang ia tulis dua
tahun yang lalu,menyebabkan seorang bupati terpaksa dicopot dari kedudukannya.
Dalam suatu perjalanan keliling ke daerah, Ramandita berhasil mengungkapkan
informasi yang dapat dipertanggung jawabkan, bahwa sejumlah tender proyek besar di
daerah tersebut senantiasa dimenangkan secara bergiliran oleh salah satu dari lima
perusahaan yang bernaung di bawah satu grup.Masing-masing perusahaan itu
dipimpin oleh seorang direktur, yang ternyata hanya berkuasa di atas kertas saja.
Mereka digerakkan oleh orang-orang lain yang berdiri di belakang layar dengan posisi
sebagai anggota dewan komisaris. Data yang diperoleh Ramandita menunjukkan
bahwa kelompok dalang itu punya kaitan erat dalam hirarki keluarga bupati yang
sekaligus merangkap jabatan sebagai pemimpin proyek.Informasi yang diperoleh
Ramandita dari perusahaan saingan yang dengan sakit hati terpaksa gulung tikar itulah
yang menyebabkan bupati setempat dimutasi kekantor gubernur menempati sebuah
meja tanpa telepon,tanpa anak buah, kecuali seorang sekretaris.
Tetapi Ramandita tidak mau berhenti sampai di situ saja.Manusia-manusia brengsek
harus menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya!
Demikian Ramandita berpikir.
Dan, Ramandita beruntung.
***
Ramandita merasa ulu hatinya sakit. Misalnya memang Si Nona lah yang dilihat Aki
Juhari, misalkan benar SiNona ditangkap polisi, tetapi mengapa dengan
pelacur-pelacur jalanan?
Apa sebab Si Nona dijaring polisi-polisi susila?
Jawabannya jelas karena Si Nona juga pelacur. Tetapi pelacur jalanan!
Yang katanya liar dan murahan!
Sakit rasanya hati Ramandita. Gadis itu begitu muda, begitu cantik, tampak tak
berdosa.
Dan masih perawan ketika ditiduri Ramandita!
Tidak!
SiNona bukan pelacur!
Ataukah barangkali Si Nona kemudian jadi pelacur, setelah Ramandita merenggut
kegadisannya secara tidak bertanggung jawab?
Lalu mengapa Si Nona harus terlibat dalam kasus Kerangka Berpakaian Seragam
dan kasus Kerangka di KamarHotel?
Ya Tuhan.
Semoga semua itu hanya kebetulan belaka.Biarlah Si Nona akhirnya terjerumus jadi
pelacur.Tetapi janganlah ia jadi pembunuh.
Pembunuh mengerikan pula!
Ramandita berdoa.
***
Mereka tiba di Jakarta sekitar pukul dua dini hari.Langsung ke kantor polisi tempat
Robinson Tarigan bertugas mengepalai Seksi Pembunuhan. Tak ada kesulitan yang
mereka hadapi karena petugas piket mengenal baik Ramandita. Kecuali sedikit
kebingungan menerangkan siapa Aki Juhari yang masih mengenakan kain sarung itu.
"Seorang kenalan dari desa, dan ingin bertemu Pak Tarigan...."
"Barusan pulang," petugas piket memberi tahu.
"Kami ke rumahnya saja."
"Sebentar kuhubungi dulu. Siapa tahu beliau sudah tidur dan tak boleh diganggu!"
Petugas piket baru saja mengangkat telepon sewaktu seseorang lewat di depan pintu
kantor piket. Inspektur Satu Rajiman, yang mendampingi Ajun Komisaris Polisi
Robinson Tarigan dalam kasus Kerangka di kantor piket dan ketika melihat Ramandita,
ia berseri riang,
"Sudah kami temukan, Bung!"
"Apa?" tanya Ramandita, dengan jantung berdebar.
"Gadis itu!"
"Si Nona?"
"Lho. Kok kau bisa tahu namanya?"
Rajiman terheran-heran.
"Memang lucu terdengarnya. Tetapi begitulah gadis itu menamakan diri. Nona. Dan
dia..."
Ramandita berkata pada petugas piket,
"Biarkan Pak Tarigan tidur nyenyak!" lalu ia mengajak teman-temannya menemui
Rajiman yang bersedia juga ditemui dikantornya.
Ramandita memperkenalkan Harianto sebagai redaktur pelaksana surat kabar
tempat ia bekerja. Adapun Aki Juhari yang diawasi si Letnan dengan pandangan
***
LIMABELAS
Ramandita tidak tahu berapa lama ia terenyak, larut didera kepedihan hati yang
menyentak jiwanya sehingga tak kuasa berpikir apa pun juga. Ketika galau yang
"Jadi barusan tadi saya cek ke laboratorium bedah. Saat ini rekan-rekan saya masih
sibuk membongkar mayat seorang perempuan.Kiriman teman-teman Anda dari Polres
Jakarta Timur.Mereka juga bilang, masih ada satu mayat lainnya menunggu giliran
dengan sabar..." dokter itu tersenyum dikulum pada akhir kalimatnya.
"Jadi besok siang. Baiklah. Toh gadis itu sudah...."
Robinson tiba-tiba menegun, lantas menghardik marah,
***
***
***
ENAMBELAS
Matahari pagi belum muncul setiba mereka di rumah sakit. Tetapi cuaca sudah
terang-terang ayam. Petugas piket di pintu gerbang masih mengenali mereka dan tidak
melarang mereka masuk. Mereka terus menuju paviliun tempat mayat si gadis tadinya
dirawat. Tak ada polisi yang berjaga-jaga. Di kantor piket, ada suster tetapi yang
bertubuh tinggi kekar tidak terlihat.
***
Kopi panas yang segera dihidangkan di kantor dokter jaga sungguh menarik selera
di hawa pagi yang dingin dan sedikit mengandung kabut. Tetapi tak seorang pun
berselera mencicipinya, sementara petugas kamar mayat terduduk letih dan pucat
setelah selesai menceritakan apa yang terjadi dan telah menimpa dirinya, sehingga ia
***
TUJUHBELAS
Sepi menyentak, selesai Joko bercerita. Semua yang hadir mengawasi si penjaga
kamar mayat yang duduk terengah-engah dan wajahnya masih pucat pasi.
Dokter bangkit dari duduknya.
Lalu memberikan segelas minuman kepada Joko, yang melahapnya sekali tenggak.
Perlahan-lahan wajahnya pun bersemu merah kembali .Ia kemudian senyum-senyum
ditahan, lantas bergumam malu,
"Tak biasanya aku takut pada hantu!"
Tak ada yang menertawakannya.Semua berdiam diri, sambil berusaha memercayai
cerita yang diungkapkan si penjaga kamar mayat, dan berakhir dalam satu kesimpulan
yang mencemaskan. SiNona sudah lolos dan entah di mana gadis itu sekarang,serta
kapan mereka dapat meringkus kembali sebelum:jatuh korban-korban
berikutnya.Ramandita yang pertama-tama membuka mulut.Suaranya kering waktu ia
merintih,
"Jadi itulah yangterjadi!"
Robinson menoleh.
Lalu bertanya menyentak,
"Apapula maksudnya, itulah yang terjadi?"
"Tepatnya." ia berujar,
"aku akan mengulang apa yang pernah kutulis dalam cerita fiksiku yang paling
akhir...."
Tak ada yang bereaksi. Kecuali Dokter, yang mengerutkan dahi.Setelah korban
semakin banyak berjatuhan, diperoleh sejumlah petunjuk bahwa Larasari yang
menghuni lereng gunung itulah penyebab matinya beberap orang penduduk desa.
Dengan bantuan orang-orang yang ahli menangkal ilmu hitam, penduduk akhirnya
berani menyatroni tempat tinggal janda itu, lalu meringkus janda yang hidup
menyendiri serta ditakuti itu. Larasati tidak melawan bukan karena kekuatan gaibnya
berhasil dilumpuhkan, melainkan karena ia tahu banyak diantara penduduk yang
mengitari dirinya tidak berdosa atas kematian suaminya. Bila ia melawan, akan terjadi
pertarungan mati-matian dan orang-orang tak berdosa itu akan jatuh sebagai
"Bah!"
Dokter yang duduk diam-diam di belakang mejanya mengeluh getir,
Namun demikian Robinson Tarigan tetap yakin bahwa otaknya masih cukup waras.
Ia memanggil Bripda Priadi yang segera menghadap dengan sikap siaga dan siap
menerima perintah.
"Hanya ada dua kemungkinan, Priadi!"
Robinson Tarigan berkata tanpa ragu-ragu sedikit pun.
"Secara klinis, gadis itu memang dinyatakan sudah meninggal.Tetapi tidak mustahil
ia hanya mati suri. Jantungnya dikejutkan uap pendingin di kamar mati. Ia hidup
kembali, berjuang keras keluar dari peti matinya. Terus kabur. Kemungkinan lainnya,
dan ini dugaanku paling kuat yang harus kau selidiki dengan seksama, ada orang lain
***
DELAPANBELAS
Berdebar jantung Ramandita ketika terdengar bunyi bel dan ia pergi membuka pintu
depan. Di hadapannya berdiri tubuh semampai bermata bening yang menatap mesra
serta berbibir merah basah, setengah terbuka merindukan sentuhan.Ramandita menelan
ludah lantas berujar dengan suara bergetar,
"Tambah cantik saja kau, Lena!"
Magdalena tersenyum.
Hangat.
"Begitulah yang selalu kudengar tentang komentar seorang suami ketika melihat
bekas istrinya..." sahutnya sama bergetar.
"Kita belum bercerai, Lena."
"Memang belum. Jadi aku masih berhak mengoreksi penampilanmu, bukan?" sambil
berkata demikian tangan Magdalena menyentuh pipi lalu mengurai helai-helai rambut
yang menutupi telinga Ramandita.
"Kau tampak kurus dan tua, sayangku!"
"Akhirnya, aku tambah matang?" kilah Ramandita,tertawa.
"Ayolah. Ini rumahmu sendiri. Aku tak harus menyilakan masuk, bukan?"
Ramandita menyisih untuk memberi jalan, kemudian menutup pintu.
Masuk ke dalam.
Magdalena sejenak diam mengawasi suasana, baru kemudian meneruskan langkah
menuju ruang dalam. Sambil lewat, masih sempat dia membetulkan letak lukisan
***
SEMBILAN BELAS
Dan sibuklah orang-orang di rumah itu. Yang mula-mula sibuk, bila itu bisa diesebut
kesibukan adalah Aki Juhari, dukun yang sebelumnya menunggu tak sabar di rumah
Harianto. Segera datang setelah menerima kabar lewat telepon. Ia datang ditemani
Harianto yang wajahnya tampak kemalu-maluan sewaktu bertukar salam dengan
Magdalena. Pernah ia berkata, andai saja Magdalena itu istrinya, Harianto pasti akan
membutakan mata terhadap perempuan-perempuan lain.
Tanpa banyak bicara Aki Juhari segera minta diperlihatkan kain seprai yang
diperuntukkan sebagai lapisan bersanggama oleh tuan dan nyonya rumah.Setelah
menerima seprai ia minta disediakan ember berisi air, ke dalam mana seprai ia rendam
"Ambilkan benang. Yang berwarna kuning emas kalau ada. Bila tidak, warna hitam
pun jadi, sekalian dengan jarum jahit!"
Aki Juhari mengeluarkan perintah tanpa mengalihkan matanya dari noda-noda di
permukaan seprai. Karena sebelumnya telah diberitahu, dalam tempo singkat
Ramandita sudah menyerahkan apa-apa yang diminta orang tua itu.Magdalena
membantu memasukkan ujung benang kelubang jarum. Aki juhari sendirilah yang
menjahitkan benang ke kain seprai. Jahitannya kasar tidak teratur,namun terlihat jelas
membuat lingkaran besar di dalam lingkungan mana terdapat noda kuning kemerahan
serta noda hitam.
"Terkurung sudah!" desah Aki Juhari puas, seraya menyerahkan jarum dan gulungan
benang ke tangan Magdalena.
Sewaktu menerimanya Magdalena menceletuk tanpa sadar,
"Saya harap ini bukan permainan sulap"
Ramandita bermaksud menegur Magdalena. Tetapi Aki Juhari sudah mendahului.
Katanya, tenang dan yakin,
"Cobalah keringkan kain seprai ini. Supaya kalian lihat,aku bukan tukang sulap
murahan itu!"
Dengan enggan Ramandita membawa kain seprai yang kemudian ia masukkan ke
mesin pengering. Sambil menunggu mereka mempercakapkan rencana-rencana
selanjutnya, serta risiko-risiko yang mungkin terjadi.Khususnya pada Magdalena, Aki
Juhari mengingatkan,
"Menjadi medium tidak gampang, anakku. Tidak jadi soal apabila kekuatan gaib
yang kita hadapi masih sebanding dengan ilmuku. Apalagi ilmuku setingkat diatasnya.
Nah, bila ilmuku ternyata kalah kuat, bukan mustahil taruhannya adalah nyawa!"
***
DUA PULUH
Hari esoknya berlangsunglah kesibukan lain. Sebuah mobil sedan dan sebuah lagi
pick-up dengan bak tertutup meluncur memasuki pekarangan. Empat orang laki-laki
berpenampilan rapi turun dari kedua mobil itu,disertai seorang lelaki setengah baya.
Kecuali yang disebut terakhir, Ramandita tidak mengenal satu pun lainnya. Kenalan
Ramandita itu memang hanya bertujuan mengantarkan dan memperkenalkan tamu pada
Ramandita.
"Tugasku sebagai penghubung selesai sudah hari ini,sekarang tiba waktunya aku
mengurus diri sendiri,bukankah begitu?" katanya, sambil tak lupa mengerling pada
Magdalena,
"Uban suamimu mulai tumbuh.tetapi kau malah tampak makin muda saja,
***
DUAPULUH SATU
Kemunculan pertama roh penasaran itu didahului suara mengerang pendek bagai
leher tercekik yang keluar dari celah-celah bibir Magdalena. Suatu dorongan gaib
perlahan-lahan mengangkat tubuhnya.Bangkit dari posisi rebah ke posisi duduk tegak
lurus.Dengan bibir menggurat tajam dan galak. Serta mata berputar-putar liar
mengawasi sekitar.Lalu terdengarlah desis kemarahan,
"Siapa yang berani-berani mengusik diriku dari tidur yang pulas,he?!"
Aki Juhari tidak mengenali suara itu, tetapi sadar apa yang ia dengar.
Ramandita mengenalinya.
Tahu yang ia dengar bukan suara asli Magdalena, melainkan suara.
..si Nona!
Tetap rebah tak bergerak dengan kelopak mata terkatup rapat, mereka berdua
berusaha menarik tangan Magdalena agar rebah kembali. pertalian badani antar
mereka berempat tidak boleh putus. Kalau tidak,pengaruh mantra-mantra akan
terpecah belah. Dan Aki Juhari kemungkinan besar gagal menundukkan kekuatan jahat
yang bersemayam di tubuh Magdalena.Merasakan tarikan kuat pada tangan kiri
Tetapi Magdalena yang ia sebut-sebut saat itu tengah marah besar karena hampir
saja ia kena dipecundangi Aki Jauhari. Dengan kemarahan yang meluap-luap ia
meneruskan aksinya. Tubuh Magdalena terangkat dari lantai, terbang ke arah si orang
tua yang masih tetap tergantung di awang-awang. Menyadari datangnya serangan, Aki
Juhari mengangkat kedua tangan dengan telapak terbuka ke depan sebagai
penangkis.Begitu dua pasang telapak tangan mereka beradu,berlangsunglah adu
kekuatan tanpa suara. Aki Juhari tetap tidak berusaha melihat ke arah lawan, untuk
menghindari tusukan sinar sejenis laser dari mata Magdalena.
Tahu siasat lawan, Magdalena mengarahkan sinar biru dari matanya pada kedua
pasang tangan mereka yang saling mendorong.Terjadilah percik-percik api berwarna
biru, putih, dan kuning, lalu merah. Magdalena tampak meringis, sakit dan marah luar
biasa.Akan halnya Aki Juhari, meskipun tidak tampak mulutnya meringis, jelas terlihat
sedang menanggung azab sengsara. Dari sudut-sudut mulutnya yang mengatup rapat,
menetes ke luar butir-butir darah. Dan lebih banyak lagi dari lubang-lubang hidung
serta telinga.
***
DUAPULUH DUA
Aki Juhari sadar bahwa dirinyalah yang jadi tumpuan kekesalan si perwira polisi.
Orang tua itu tampak jengkel sekali. Namun toh komentar yang keluar dari mulutnya
terdengar masih tetap sopan,
"Bersyukurlah,Pak Komandan. Tidak ada yang cedera serius, saya harap!"
"Tidak?"
Robinson mendengus berang, ia perlihatkan luka bakar di telapak tangan kanannya.
Kulitnya melepuh, sampai tampak dagingnya setengah hangus.
"Lalu ini apa? Sate ya?!"
"Sabar, Pak Komandan. Sebentar juga sembuh.Percayalah, tak akan meninggalkan
bekas apa-apa...."
"Aku percaya. Kalau tidak, kau sudah kupenjarakan!"
Masih tetap beringas, sang Ajun Inspektur memandang sekeliling ruang duduk yang
hancur berantakan. Seolah habis dilanda gempa. Banyak sekali barang yang rusak atau
***
Menjelang tengah malam, keadaan di dalam rumah Ramandita sudah lebih tenang
daripada sebelumnya.Alex Paduhai, astronom yang orang Nias itu beserta anak
buahnya sudah pergi dua jam sebelumnya. Meski tampak masih menyimpan kengerian
di wajah-wajah mereka, pada umumnya mereka kelihatan puas dan gembira. Alex
Paduhai berkata sewaktu pamit,
"Saya akan membujuk pimpinan kami agar membatalkan tagihan pembayaran yang
sudah kalian sepakati. Terus terang, hari inilah pertama kali kami memperoleh hasil
dari jerih payah sekian tahun. Dan hasil yang pasti bakal menggemparkan pula!"
Mereka pergi bersamaan dengan kedua anggota polisi berpakaian preman itu.
Dengan instruksi dari komandan mereka agar menutup mulut rapat-rapat,dengan
jabatan masing-masing sebagai taruhan bila instruksi dilanggar. Mereka diharuskan
kembali kemarkas untuk melapor dan dari markas tetap menghubungi Ajun Komisaris
Polisi Robinson Tarigan mengenai situasi di luaran. Robinson memutuskan tinggal di
rumah Ramandita.
"Aku harus yakin dulu SiNona benar-benar pergi dan tidak lagi meninggalkan
kerangka misterius lebih banyak di atas meja kerjaku!"katanya, ngotot Harianto tidak
bersedia tinggal.
Ia masih ketakutan.
Dan ia punya dalih yang memang masuk akal untuk pergi dan tidak ikut campur
urusan selanjutnya.Katanya:
**
DUAPULUH TIGA
***
DUAPULUH EMPAT
***
***
DUAPULUH LIMA
Makhluk-makhluk pengisap darah maupun daging dan apa saja yang ada di tubuh
manusia kecuali tengkorak dan tulang-belulang itu, berloncatan meninggalkan tubuh Si
Nona. Gadis itu tampak teramat sangat menderita, namun mulutnya terkatup rapat.
Tidak bersuara.
Alangkah tabah gadis itu menahan azab sengsara.
Aku benci memikirkannya.
Dan dengan benci memandangi makhluk-makhluk terkutuk mirip kadal berbadan ular
itu, yang jumlahnya belasan. Semuanya bukan merayap, melainkan tegak pada
kaki-kaki belakang serta ekornya, mengelilingi kadal yang tergencet di bawah akar
yang kuinjak dengan kakiku.Biji-biji mata mereka yang semerah saga tampak meredup
sedih.
Berdukacita.
Dan ketika kadal di bawah akar sekarat lalu mati, makhluk-makhluk itu bukan lagi
mencicit, melainkan melolong-lolong marah. Perhatian mereka kini teralih ke
arahku.Aku tahu itu akan terjadi, dan aku sudah siap. Namun toh jemariku sempat
gagal membuka ritsleting celana panjangku. Syukurlah berhasil juga, dan cepat celana
dalamku di bagian depan ku turunkan. Makhluk-makhluk menjijikkan tetapi juga
menakutkan itu mulai melompat.
Mereka terlambat.
Air kencingku sudah keluar. Mengalir deras, dan kubuat sedemikian rupa supaya
memercik secara melingkar dan melebar. Tiap kali makhluk-makhluk itu terciprat air
***
"Kau cemas mengenai laki-laki lainnya, dengan siapa aku bermain cinta,bukan?
Alangkah buta matamu, Ramandita. Kau sendiri yang mengatur segala sesuatunya,
ingatkah? Semua lelaki itu tidak sempat menanam benih mereka di rahimku. Karena
sebelum mereka sampai ke situ,makhluk-makhluk jahat yang buas di dalam tubuhku
sudah lebih dulu beraksi. Kau tidak ikut jatuh sebagai korban, adalah karena... seperti
kukatakan tadi. Kau yang mengatur segala sesuatunya, bukan? Mereka pun lantas tak
mengusikmu. Kalau mereka mengusikmu,aku akan... bunuh diri. Dengan sendirinya,
mereka pun pasti ikut mati."
Aku terdiam.
Tak berkomentar..
"Berat hatimu meninggalkan istrimu, Rama?"
"Ya..."
"Hem. Suaramu bimbang. Aku dapat mengerti mengapa. Bayangan istrimu merintih
nikmat ketika ia diperkosa tetap menghantui jiwamu yang paling dalam,bukan? Lalu...
istrimu masih lari dari satu lelaki kepelukan lelaki lain. Mereguk kenikmatan demi
kenikmatan lain. Kau berusaha menerimanya dengan wajar: Namun jiwamu yang
paling dalam menentang keras. Apakah aku salah, Ramandita?"
Ramandita merenggut kertas dari mesin tik. Ketika akan menggantinya dengan yang
baru, tangannya disambar Aki Juhari, disertai bentakan lantang,
"Cukup! Hentikan sampai di situ, sebelum kau celaka karenanya!"
Robinson mencium bahaya besar. Naluri polisinya bereaksi cepat. Didahului
permintaan maaf, tengkuk Ramandita dihantamnya dengan pukulan karate. Tidak
terlalu keras, namun biasanya sudah melumpuhkan siapa saja yang pernah dimakan
pukulan sisi telapak tangan kanan perwira polisi itu.
Hasilnya, Ramandita tidak terganggu. Juga ketika Magdalena memekik-mekik. Ia
terus saja mengetik dan mengetik.
Aki Juhari menangis.
Tanpa daya ia hanya mengawasi dengan sedih bagaimana Ramandita melampiaskan
imajinasi gaib yang merasuki alam pikiran pengarang muda itu. Robinson Tarigan
menyumpah serapah,lagi-lagi dengan memukul dan kali ini lebih keras.Tetapi jerit
tangis Magdalena menahannya.
"Jangan sakiti suamiku, Komandan!" isak Magdalena,setengah meratap.
Robinson mengumpat.
Dan terdorong juga hatinya untuk melanjutkan baca, yang diam-diam ia sadari,telah
menimbulkan keasyikan tersendiri dalam sanubarinya.
Dengan hati berat aku menjawab,
"Kau benar. Nona."
"Dan kau ragu-ragu menerima kehadirannya kembali?"
"Ya."
"Kau cinta padanya?"
"Luar biasa cinta."
Si Nona diam.
Entah apa yang dipikirkannya.
Aku sendiri pun tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Begitu kacau.
Dan membingungkan.
Si Nona hamil.
Dan aku bakal jadi seorang ayah....
Lalu tiba-tiba aku tahu apa yang harus kulakukan.
Kuraih tangan gadis itu. Lalu aku berkata padanya,
"Aku belum tahu apakah aku telah jatuh cinta padamu,Nona. Yang aku tahu, aku
telah berdosa padamu. Dan aku ingin menebusnya...."
"Maksudmu, Rama?" suaranya terengah ketika ia menengadah.
"Kau akan jadi seorang ibu, bukan?"
Si Nona mengangguk, patah-patah, namun matanya yang basah kembali bersinar
bahagia.
Aku merunduk.
Mengecup bibirnya.
Tubuhnya kurangkul, menciumnya lagi, lantas berbisik di telinganya,
"Bila demikian, Nona.Harus ada seorang ayah untuk anak kita, bukan?"
Nona menangis.
Aku pun menangis.
Lama kemudian baru aku mampu berkata,
"Marilah kita pergi, Nona."
***
PENUTUP
Detak terakhir mesin tik bergaung panjang kemudian sepi mencekam. Jari-jemari
Ramandita masih menyentuh tuts-tuts mesin tik, namun tak ada lagi gerakan. Tubuhnya
duduk lurus di kursi putarnya.
Dengan mata menerawang.
Jauh.
Sangat jauh.
Bibirnya tersenyum.
Bahagia.
Ia tetap seperti itu, manakala terdengar suara tangis tersendat-sendat. Lalu
Magdalena melompat dari tempat duduknya, berlari ke meja kerja suaminya.Robinson
Tarigan menyisih memberi jalan. Magdalena merangkul suaminya disertai ratap tangis
menyayat hati,
"Rama, cintaku, suamiku, sayangku...."
Kelopak mata Ramandita mengerjap.
(KOLEKTOR E-BOOK)