Anda di halaman 1dari 232

-- Halaman 1 Kolektor E-Book --

Kolektor E-Book

Misteri Perawan Kubur


Karya : Abdullah Harahap
Ocr by : Yoza Upk
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 30 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan
Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!!

***

MISTERI PERAWAN KUBUR


Oleh Abdullah Harahap
GM 412 0110 0001
Editor: Eka Kurniawan
Sampul dikerjakan: Eduard Iwan Mangopang
Diterbitkan pertama kali oleh Paradoks Publishing Jl. Palmerah Barat 29-37 Blok I,
Lt. 4-5 Jakarta 10270
Imprint Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI Jakarta, Agustus 20
0320 hlm; 8 cm
ISBN-13: 978 -979 -22 -6135-6

-- Halaman 2 Kolektor E-Book --


***

SATU

Semakin larut malam, suasana hening semakin menyelimuti desa Cikalong Wetan di
kaki Gunung Galunggung yang tampak lebih kelabu dari biasanya.Tak seorang pun
tampak berkeliaran di luar rumah.Padahal bulan sedang purnama, dan bintang
gumintang menari-nari gemulai di langit biru jernih.Udara pun berembus segar.
Nyaman.
Tetapi setiap warga desa tahu, malam itu sebaiknya mereka masuk tidur lebih cepat
dari kebiasaan. Meski mata sulit dipejamkan.Malam itu, sesuatu akan terjadi. Dan
mereka semua menunggu.
Dengan tegang.
Satu-satunya pintu rumah yang terbuka adalah pintu rumah Pak Lurah. Cahaya
lampu minyak menerobos keluar, menjilati tanah berpasir di pekarangan. Angin malam
yang menerobos masuk ke dalam rumah membuat lampu minyak sesekali menggeliat.
Segan dan kaku.
Sekelompok laki-laki sedang berkumpul di ruang tengah rumah. Wajah mereka juga
tampak segan dan kaku.Bahkan satu-dua di antaranya jelas dicekam perasaan takut,
tanpa dapat menyembunyikannya. Hanya Aki Bajuri seorang yang terlihat tenang.
Hampir acuh tak acuh.
Tetua kampung yang dikenal juga sebagai dukun kesohor itu, untuk kesekian kali
menyapukan pandang pada wajah-wajah tegang di sekelilingnya, dan berakhir di wajah
Pak Lurah yang dari tadi duduk gelisah.
"Tak ada yang perlu dicemaskan!" ujarnya tiba-tiba,mengejutkan semua yang hadir.

-- Halaman 3 Kolektor E-Book --


"Kita telah menemukan kelemahan perempuan itu. Yakinkanlah diri kalian
masing-masing, bahwa kita tidak akan gagal.Buat yang ragu-ragu, masih terbuka
kesempatan untuk mundur..."
Satu per satu yang hadir menarik napas. Namun tak ada yang ingin mundur.
Masing-masing mereka harus menebus kematian anggota keluarga mereka yang
telah:terbunuh dengan kejam dan mengerikan. Selama ini mereka tidak menemukan
jalan untuk membalas kematian demi kematian yang mendirikan bulu roma itu.
Sekaranglah waktunya.
Setelah Aki Bajuri mendapatkan senjata pemusnah yang konon dapat melumpuhkan
kekuatan gaib dan jahat Perempuan yang tengah mereka perbincangkan. Aki Bajuri
tersenyum.
''Syukurlah kalian semua telah membulatkan tekad. Sebelum tugas kita
laksanakan,ada satu hal yang perlu saya utarakan. Khususnya kepada satu-satunya
orang yang sempat dijamah kekuatan jahat perempuan itu...."
Aki Bajuri kembali menatap lurus ke wajah Pak Lurah.Yang ditatap duduknya
semakin resah. Tetapi sebagai orang yang paling dihormati dan disegani di desa itu, ia
harus mempertahankan wibawanya. Susah payah ia kuasai dirinya, lalu bergumam
lirih,
"Tak apa. Ki!"
"Masih ingat apa yang kau dan teman-temanmu perbuat dulu pada suami perempuan
itu, bukan?"
"Ya!"
"Bahwa cucumu mati lantaran penyakit sampar. Bukan karena diteluh suami
perempuan itu."
"Aku tahu. Dan aku sangat menyesal...."
"Syukurlah kau telah menyadari kekeliruanmu,Sumarna. Walau datangnya terlambat,
paling tidak kau telah menunjukkan kebesaran jiwamu di hadapan orang-orang ini...."

-- Halaman 4 Kolektor E-Book --


Aki Bajuri menyapukan pandang pada mereka yang hadir.
"Jadi biarlah kelak mereka ikut memutuskan, apakah kau mereka setujui atau tidak
untuk memimpin dan mengelola hidup serta kehidupan desa ini!"
Pak Lurah menundukkan kepala. Tanpa berani berkomentar, apalagi memandang
wajah orang-orang yang hadir di sekitarnya. Karena ia tahu, kelompok kecil itu
langsung atau tidak langsung tetaplah mewakili setiap warga desanya. Yang penting,
pikirnya,aku tetap hidup walau kemungkinan besar tak lagi menduduki jabatan yang
kuperoleh turun-temurun.Warisan leluhur wajib dipertahankan. Tetapi kalau warisan
itu sudah menyangkut nyawa, apalagi nyawa orang-orang lain yang tidak berdosa, ada
kalanya kewajiban terpaksa ditanggalkan.
"Aku pasrah,''
Sumarna bergumam juga akhirnya. Aki Bajuri manggut-manggut.
"Bagus," desahnya,lembut.
Lalu menambahkan dengan khidmat,
"Kini waktunya menjalankan tugas!"
Mereka yang hadir sama-sama menarik napas. Lalu berjalan ke luar satu per satu
dari rumah itu, dengan Aki Bajuri sebagai pelopor. Sumarna bangkit paling akhir, ia
pandang sejenak orang muda yang berdiri bimbang di dekatnya.
"Kau tinggal di rumah saja,Komar. Putriku membutuhkan perlindunganmu."
Wajah tampan gagah pemuda itu berubah berseri seri.
"Bila itu kehendak Bapak, baiklah," sahutnya setuju.
"Kalau nanti di sana terjadi apa-apa...."
"Semuanya akan beres. Bapak akan kembali dengan selamat!" si pemuda memberi
semangat.
"Berkat kau juga, menantuku!"
Sumarna akhirnya dapat tersenyum. Ia tepuk-tepuk pundak pemuda itu kemudian
melangkah dengan gagah meninggalkan rumahnya.Tiba di luar, sejenak ia tengadah.

-- Halaman 5 Kolektor E-Book --


Menatap rembulan.
Banyak tahun telah lewat, ketika rembulan seindah malam ini ia lewatkan bersama
seorang perempuan cantik menggairahkan. Janji yang mereka padu begitu mesra,
seakan tak satu apa pun di dunia ini yang dapat menggoyahkan. Lalu tiba-tiba, bagai
petir di siang bolong, perempuan itu menikah dengan lelaki lain.Rembulan masih tetap
hadir setelah itu. Entah berapakali sudah dan setiap kali, Sumarna menatap rembulan
itu dengan perasaan sakit tiada terperi. Yang kian lama kian mengguratkan dendam
berkarat di sanubarinya.Tiga tahun berselang, ia mengira dendamnya sudah
terlampiaskan. Laki-laki saingannya telah mati ditangan Sumarna sendiri. Sayangnya,
ia telah melakukan beberapa kesalahan. Perempuan itu ternyata teguh pendiriannya.
Memilih lebih baik hidup menyendiri sebagai janda kesepian, ketimbang harus menikah
dengan laki-laki yang bertanggung jawab atas kematian suaminya.Terngiang di telinga
Sumarna apa yang pernah diucapkan bekas kekasihnya itu. Mungkin saja aku dapat
menjalin cinta kita yang pernah terputus,Sumarna.
Sayang... tanganmu kini berlumuran darah!
Itulah kesalahan Sumarna yang terbesar. Dan masih ada lagi kesalahan-kesalahan
lain. Ia membujuk orang-orang dekatnya untuk ikut menyempurnakan gagasannya. Ia
libatkan mereka untuk menyiarkan desas-desus bahwa suami bekas kekasihnya itulah
biang kerok yang menyebabkan penyakit menular melanda desa mereka.
Dipergunjingkan sedemikian rupa, bahwa kemampuan orang itu sebagai tabib dengan
ilmu-ilmu aneh untuk menyembuhkan penduduk yang sakit, telah membangkitkan ambisi
besar untuk menjadi tabib yang semakin masyhur. Ambisi yang hanya dapat dicapai
dengan mengorbankan nyawa orang-orang yang ia kehendaki.Tentu saja semua itu
tidak benar. Tetapi berkat pengaruh Sumarna sebagai kepala desa yang disegani,yang
tidak benar itu lambat laun akhirnya dibenarkan juga oleh penduduk. Laki-laki yang
tidak saja telah merebut perempuan tercinta tetapi juga mulai merebut popularitas
Sumarna, berhasil disingkirkan. Keajaiban alam kemudian turut pula membantu

-- Halaman 6 Kolektor E-Book --


Sumarna. Begitu saingannya tersingkir, wabah penyakit menular ikut pula menyingkir
dari desa mereka. Sampai Sumarna sendiri sempat hampir percaya, bahwa saingannya
yang terkutuk itu bukan sekadar kambing hitam. Tetapi memang sumber wabah yang
sebenarnya.Siapa nyana, wabah lain muncul tiba-tiba. Wabah misterius yang datang
tanpa pemberitahuan.
Bahkan tanpa tanda-tanda.
Tanpa adanya penyakit.
Korban wabah itu langsung mati. Mati tanpa meninggalkan bekas, kecuali
tulang-belulang berserakan. Semula Sumarna tidak menaruh curiga. Barulah setelah ia
berkonsultasi dengan Aki Bajuri, semuanya terbuka lebar.Dengan mulut ternganga ia
sadari, korban-korban yang jatuh adalah orang-orang dengan siapa sebelumnya
Sumarna bekerja sama menyingkirkan laki-laki saingannya.
"Entah mengapa, kau tetap dibiarkan hidup..." kata Aki Bajuri waktu itu.
"Tetapi bukan mustahil, giliranmu akan tiba juga akhirnya!"
Sumarna menghela napas panjang dan berat. Awan kecil berwarna putih perak
sesaat tampak menempeli rembulan. Lalu terdengar suara menegur,
"Tunggu apalagi, Sumarna?"
Aki Bajuri mengawasi Pak Lurah dengan sorot mata ingin tahu.
"Tak apa-apa," desah Sumarna, bergetar.
"Ayolah"
Rombongan kecil itu kemudian berjalan meninggalkan desa. Beriring-iringan dengan
mulut diam membisu.Orang-orang berjalan paling depan, menggenggam tangkai obor
ekstra hati-hati. Seperti takut lepas, takut dari kegelapan malam ada makhluk jahat
menerkam dirinya.Aki Bajuri kemudian berjalan mendahului. Langkah kakinya mantap.
Napasnya tenang, teratur. Namun toh ketika mereka mulai mendaki jalan setapak
memasuki lereng gunung, Aki Bajuri sempat juga menahan napas.Tengadah menatap
dinding gunung yang kelabu kebiru-biruan, dengan sadar tangannya meraba gagang

-- Halaman 7 Kolektor E-Book --


pedang di pinggang.Gagang pedang itu memancarkan uap panas. Lalu telapak tangan
Aki Bajuri perlahan-lahan terasa lembap.
Basah. Berkeringat.

***

Di dalam gubuk kecil terpencil yang mereka tuju, hawa dingin mendadak menyergap
tubuh sesosok perempuan yang dari tadi duduk diam dekat tungku. Lewat pintu
gubuknya yang terbuka, si perempuan mengawasi suasana malam di luar. Malam yang
sunyi senyap.Makhluk-makhluk penghuni hutan seperti mengetahui sesuatu akan
terjadi, lalu memutuskan untuk berkubang diam di sarang masing-masing. Tak
terdengar suara apa pun, kecuali desau-desau angin berembus menerpa pucuk-pucuk
pepohonan. Lalu batang-batang rumpun bambu di samping gubuk berkeriut,
menimbulkan bunyi gemeretak yang sahut-bersahut. Seolah roh-roh penghuni alam
sedang ribut.Saling membisiki untuk memperingatkan si perempuan yang tetap tak
beranjak dari duduknya.Nyala api dari tungku menyinari wajahnya. Wajah itu tampak
tenang. Sesekali kelopak matanya mengerjap.Lalu menatap lagi ke luar pintu.
Bersiaga.
Ketika angin malam sayup-sayup memantulkan suara-suara gerakan yang jelas
menuju gubuknya, siperempuan menggeliat pelan. Di usianya yang sudah memasuki 35
tahun, geliat tubuh si perempuan tetap tampak gemulai, walaupun jiwanya terasa
tegang.
Kurun waktu boleh berlalu.
Tetapi kondisi tubuh serta kecantikan wajahnya tetap bertahan. Ramu-ramuan yang
dulu diberikan almarhum suaminya serta ketekunannya untuk merawat diri, memang
banyak membantu. Itu semua ia lakukan demi cinta dan gairah seksualnya pada suami.
Malang, nasib menghendaki lain. Setelah suaminya mati mengenaskan, kondisi tubuh

-- Halaman 8 Kolektor E-Book --


serta kecantikan wajahnya tetap ia pertahankan.
Tetapi untuk tujuan-tujuan lain!
"Semua belum berakhir. Tak akan pernah berakhir!"bibirnya yang ranum
menggerimit pelan.
"Manusia-manusia jahanam itu malam ini boleh saja bertepuk dada merayakan
kemenangan mereka. Tetapi akan tiba waktunya aku akan kembali!"
Suara-suara itu semakin mendekat.Si perempuan masih tak beringsut dari
duduknya.Kalaupun ia bergerak, gerak itu adalah untuk membetulkan posisi semedinya
tiap kali jiwa yang bertambah tegang terasa merusak konsentrasi. Gerakan lain ia
lakukan manakala cahaya kuning kemerah-merahan muncul di luar gubuk. Si
perempuan mengusap perutnya.
"Waktunya sudah tiba, anakku," bisiknya getir.
Lalu sosok-sosok tubuh itu pun muncul dari kegelapan.Cahaya tadi, yang berasal
dari sebuah obor,memperlihatkan wajah-wajah segan kaku. Juga sorot-sorot mata
kebencian, yang menuntut dilunasi sampai tuntas. Si perempuan memandangi mereka
satu per satu. Tanpa reaksi apa pun di wajahnya yang cantik menawan. Juga tak ada
reaksi saat matanya menangkap raut wajah seorang lelaki berusia lanjut.Wajah yang
mulai mengeriput namun tetap tampak keren, berwibawa.Wajah lembut si perempuan
baru berubah tegang manakala ia mengenali Sumarna. Usia mereka berdua sebenarnya
hampir sebaya. Tetapi perasaan cemburu,sakit hati, serta polesan dendam dan
pikiran-pikiran busuk telah membuat kekasih di kala remaja itu tampak jauh lebih tua
sekian belas tahun. Lutut lelaki itu pun kelihatan goyah waktu matanya bertemu dengan
mata penghuni gubuk. Benih-benih cinta tak terbalas serta dendam yang terus
menggerogoti, jelas terpateri di bibir Sumarna yang menggurat tipis, kering, tegang.
Detik-detik pun berlalu.
Bersama kesunyian yang kian menyentak. Tampaknya, tak seorang pun yang berani
mengatakan sesuatu, sehingga si perempuan memutuskan untuk membuka mulut.

-- Halaman 9 Kolektor E-Book --


Bibirnya mengurai senyuman ramah, namun tanpa nada bersahabat ketika ia berujar,
"...Haruskah aku mengucapkan selamat datang?"
Tamu-tamu tak diundang itu terdiam.Lalu Sumarna mengumpat pendek,
"Mengakulah,Larasati!"
Senyum di bibir si perempuan menyirna.
"Tak adagunanya aku mengaku, Sumarna. Keputusan sudah diambil, bukan?"
"Kau harus menebus dosa!"
Sumarna menggeram.
"Aku tahu!"
"Kau harus mati, Larasati!"
"Aku tahu."
Si perempuan mengulangi, terap tenang.Tetap bergeming di posisi duduknya.
Bersimpuh diam dekat tungku, dengan telapak tangan menyilang didepan dada.
"Dan aku juga tahu, tak ada lagi waktu buat membela diri. Kalian telah merampok
kekuatanku..."
si perempuan menambahkan tanpa ragu-ragu. Tak ada pula bayangan ketakutan
apalagi putus asa di balik sorot matanya yang tetap bersinar tajam. Diam sebentar, ia
kemudian bergumam,
"Omong-omong, Sumarna. Sia-sia saja kau menyembunyikan menantumu yang hebat
itu di balik bokongmu..."
"Aku tidak merasa menyembunyikan dia"
Sumarna menggerutu.
"Memang tidak. Aku sendiri menduga, si Komar terlalu pengecut untuk
memperlihatkan tampangnya yang busuk di depan perempuan yang telah ia khianati."
"Menantuku tidak sebusuk yang kau sangka Larasati!",
Sumarna mengomel.
Tak senang.

-- Halaman 10 Kolektor E-Book --


"Dan ia mengkhianatimu, juga bukan atas kemauannya sendiri.Tetapi demi
keselamatan dan nyawa orang-orang lain dari ancaman ilmu-ilmu jahatmu yang kejam
dan biadab!"
"Oh, oh..." si perempuan menyeringai.
Manis sekali.
Bertentangan dengan pertanyaan yang kemudian ia lontarkan,
"Siapakah sebenarnya yang lebih kejam dan lebih biadab itu, Sumarna?"
Lurah desa Cikalong yang tadinya ingin memperlihatkan wibawanya itu, tersengal
lantas diam.Aki Bajuri segera bertindak ke depan untuk menyelamatkan muka Sumarna
di depan warga desanya.
"Marilah kita sudahi pertengkaran ini" katanya menengahi.
"Tiap manusia tak lepas dari kesalahan.Pada akhirnya, kesalahan itu harus ditebus.
Tak peduli bagaimanapun caranya."
Aki Bajuri menatap lurus si penghuni gubuk.
"Aku hanya mengingatkan, Larasati. Kesalahan yang kau perbuat terlalu nista untuk
di ampuni. Perbuatan-perbuatanmu menyebabkan setiap warga desa merasa terancam.
Isak tangis keluarga korban-korban kejahatanmu sudah waktunya akhiri..."
Salah seorang warga nyeletuk tak puas,
"Mari kita lakukan sekarang juga!"
Yang lain menyetujui.
Mereka ribut bergumam, kemudian mengumpat, dan mulai melemparkan caci maki
atas nama sanak-saudara mereka yang sudah mati.
Mati penasaran!
Aki Bajuri mengangkat tangannya.
Menyuruh diam.
"Aku tak punya permusuhan pribadi dengan Larasati"katanya, dingin.
"Maka, Larasati. Kuharap kau mengerti. Keadaanlah yang membuatku terpanggil

-- Halaman 11 Kolektor E-Book --


untuk melibatkan diri!"
"Dapat kupahami" sahut Larasati, sama dinginnya.
"Kelak, rohku tidak akan mengusik dirimu..."
Mendengar itu, mereka yang lain saling bertukar pandang dengan wajah pucat pasi.
Sumarna apalagi. Ia mengentakkan kaki ke tanah, lantas berteriak marah,
"Siasat apa lagi yang akan kau jalankan, Larasati?"
Larasati hanya menjawab dengan senyuman misterius.Aki Bajuri sengaja
memutar-mutar pelan mata pedangnya agar nyala obor menerangi lebih jelas.Tampak
di antara kilatan mata pedang yang tajam ini sesuatu yang tipis dan teramat samar bila
dipandang sepintas lalu. Si penghuni gubuk menahan napas. Lalu bersungut-sungut
penuh kedengkian.
"Aku tahu apa yang membelit pedangmu, Ki. Tujuh helai rambut ubun-ubunku. Yang
dicuri Komar... setiap kali ia membuatku terkulai di bawah kekuasaan berahi...."
Ia tampak sangat marah. Lalu dengan mata berapi-api memandangi Sumama.
Berkata mengejek,
"Tahukah putrimu, bahwa bukan ia seorang yang telah ditiduri si Komar jahanam
itu? Pasti tidak, bukan? Tetapi kau tahu betul, bahwa menantumu telah mulai
kehilangan gairah menyetubuhi istrinya. Karena aku telah memuaskannya sedemikian
rupa, sehingga ia tidak akan pernah lagi terpuaskan oleh perempuan lain.Diam-diam
menantumu masih merindukan kehangatan dan nikmatnya bercumbu dengan aku,
Sumarna. Itu sebabnya kau tak memperkenankan si Komar ikut kesini. Karena kau juga
tahu, bahwa ia mungkin saja berubah pikiran dan jerih payah kalian akan sia-sia!"
Sumarna menyeringai, gembira. Dan jelas, ia menyembunyikan kecemburuan di balik
suaranya ketika ia mendengus,
"Ia memang sempat tergila-gila karenamu, Larasati. Tetapi berkat kemujaraban obat
Aki Bajuri, setiap kali habis meniduri tubuh molekmu itu, menantuku senantiasa
teringat pada tugas yang harus ia jalankan. Kaulah kemudian yang tunduk dibawah

-- Halaman 12 Kolektor E-Book --


kekuasaan berahimu, Larasati. Sehingga kau tidak pernah sadar apa yang diperbuat
Komar tiap kali kau terlena puas...!"
"Dan..."
Larasati mendesis tajam,
"Ia akan mendapat bagian untuk apa yang telah ia lakukan itu!"
Lalu sebelum tamu-tamunya yang resah gelisah itu mencerna apa maksud
tersembunyi di balik ucapan-ucapannya, si perempuan mendengus ke arah Aki Bajuri,
"Aku sudah kepalang hancur, Ki. Sempurnakanlah kehancuran itu sekarang juga,
sebelum pandanganku berubah atas keterlibatanmu!"
Ucapannya berakhir dalam kesunyian mencekam.Sumarna dan warga desanya
menatap ke arah Aki Bajuri.
Mereka menunggu. Harap-harap cemas,sekalipun mulai dilanda ketakutan dan teror
yang diam-diam mulai menerpa perasaan mereka sebagai manusia biasa, dengan
segala kelemahan dan kekurangannya.Aki Bajuri melangkah ke depan.
"Karena kita tidak bermusuhan, Larasati, aku akan memberimu kematian yang cepat
tanpa rasa sakit...."
Ia melangkah tenang dan pasti mendekati perempuan itu.
"Menunduklah,Larasati. Dan berdoalah semoga Yang Maha Kuasa mengampuni
dosa-dosamu!"
Si perempuan menurut dengan patuh. Kepalanya dirundukkan, sehingga tampak jelas
tengkuknya yang halus dan putih mulus itu. Pada saat-saat terakhir dalam hidupnya itu,
hanya ia yang tahu bahwa di balik ketenangan sikap dan kepasrahan menerima
kematiannya, ia bukanlah berdoa. Tangannya yang tadi menyilang di dada, turun
pelan-pelan ke perutnya.Hampir tak terlihat ia usap perutnya dengan gerakan lembut
dan penuh kasih sayang, seraya membatin dengan khusuknya,
"Mereka tidak tahu ayahmu telah menitipkan dirimu padaku, anakku. Mereka juga
tidak tahu, hanya kekuatan luarku yang telah mereka curi.Melalui kekuatan dalamku

-- Halaman 13 Kolektor E-Book --


yang masih kumiliki,anakku, aku kini menyusup ke dalam jiwa ragamu.Lahir dan
hiduplah, anakku. Dan balaskan sakit hati ibumu pada manusia-manusia terkutuk
itu.Bangkitlah... bangkitlah... bangkitlah...!"
Aki Bajuri melihat getaran di tengkuk si perempuan kian lama kian melemah.
Menduga bahwa perempuan itu tengah berdoa dan doa itu telah terselesaikan, Aki
Bajuri mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Mulutnya komat-kamit membaca mantra,
lalu dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat oleh mata biasa,pedangnya pun
menghunjam ke bawah.
Menebas dengan sempurna.
Sampai leher si perempuan putus dan memisahkan kepala dari tubuhnya.Tubuh si
perempuan terjerembab ke lantai, bersatu dengan kubangan darah yang
menyembur-nyembur dari batang lehernya. Adapun kepalanya menggelinding jatuh ke
arah tungku. Tetapi sebelum lidah-lidah api dan bara yang memerah sempat
menjilatinya, dengan tangkas kaki kanan Aki Bajuri menginjak dan menahan kepala itu
agar tidak sampai terbakar mengerikan. Aki Bajuri kemudian menyapukan pandang
pada wajah-wajah tegang dan dilanda kengerian warga-warga yang mewakili
penduduk desa. Sumarna tampak berpaling cepat,menyembunyikan isi hatinya .Adapun
yang lain masih terkesima oleh kejadian yang begitu cepat itu sehingga tak seorang pun
dari mereka keburu menghindar untuk tidak melihat apa yang terjadi. Ada yang berdiri
tegak,kaku. Ada yang gemetar, lalu lututnya goyah. Yang seorang malah tiba-tiba
menghambur ke luar gubuk, dimana kemudian orang itu muntah mengeluarkan isi
perutnya.Adapun Aki Bajuri, bukannya tidak terpengaruh.Orang tua itu memang tetap
tegak bergeming, tetap kelihatan keren, bahkan sedikit menyeramkan. Namun perasaan
hatinya jelas tergambar lewat suara berbisiknya yang miris bergetar-getar,
"...Masih adakah yang belum puas?"
Mereka yang ditantang sama terdiam. Benar, tadinya mereka datang dengan bekal
dendam kesumat, ingin berbuat sama kejam dengan kekejaman yang dilakukan si

-- Halaman 14 Kolektor E-Book --


perempuan pada sanak saudara mereka. Namun bagaimanapun, mereka bukanlah
pembunuh. Bukan mustahil pula mereka tidak pernah menyaksikan pembunuhan,
apalagi terhadap sesama manusia.Maka tak pelak lagi, segenap kebencian dan
kemarahan mereka luntur dalam keterkejutan dengan kengerian yang mendirikan bulu
roma. Maksud untuk merencah-rencah tubuh si perempuan, urung pula dengan
sendirinya. Pantaslah sewaktu di rumah pak Lurah, Aki Bajuri mengingatkan,
"Kalau perempuan itu harus mati, biarlah ia mati secara wajar. Jangan kotori
tangan kalian dengan keinginan-keinginan yang tidak perlu dan tidak pantas..."
Karena tak seorang pun lagi yang bergairah, Aki Bajuri lalu memutuskan,
"Mari kita kuburkan perempuan malang ini secara layak!"
Menguburkan jenazah, memang layak dan harus. Apa yang tidak layak adalah,
jenazah itu tidak dikubur menurut semestinya. Kepala dan tubuh perempuan itu
dikuburkan terpisah tidak jauh dari gubuk. Tidak terlalu jauh pula dari kuburan yang
sudah ada lebih dulu di tempat itu. Yakni kuburan yang digali dan ditimbun sendiri oleh
si perempuan, tak lama sesudah mayat suaminya yang mati terbunuh dibiarkan telantar
begitu saja; sehingga mayat yang sudah membusuk itu hampir tak utuh lagi karena
sebagian sudah dimangsa binatang-binatang penghuni hutan di sekitarnya....
Gubuk si perempuan kemudian dibakar sampai musnah.

***

Ketika matahari pagi muncul di ufuk timur, yang tertinggal hanyalah puing-puing
berserakan yang sedikit demi sedikit hancur menjadi abu, lalu terbang dan sirna disapu
angin pagi. Satu per satu mereka berjalan menuruni lereng gunung tanpa berbicara
walau hanya sepatah kata. Walau tak terucap, satu hal mereka jelas sepakat. Tak
seorang pun dari mereka bersedia menginjakkan kaki di tempat yang barusan mereka
tinggalkan.Kelak di kemudian hari, kesepakatan itu ternyata harus mereka tebus sangat

-- Halaman 15 Kolektor E-Book --


mahal. Tak seorang pun dari mereka tahu bahwa di suatu malam yang gelap dan
berkabut tebal, gundukan tanah di mana tubuh siperempuan dikuburkan tampak
bergetar.
Bergetar...dan terus bergetar.
Makin lama getaran itu makin kuat.Lalu tiba-tiba kuburan itu merekah.
Terbuka.
Dan perlahan-lahan bangkitlah sesosok tubuh dari lubang kubur yang hitam
menganga itu!

***

DUA

Telepon berdering.
Mengejutkan.
Ramandita sampai terpekik sendiri, saking terperanjat.Selesai mengetik, ia lalu
menyandar letih di kursinya.Larut ditelan kesunyian yang menghanyutkan, kelopak
mata Ramandita kemudian terpejam.
Mengantuk.
Saat itulah ia dikejutkan oleh deringan telepon.Gagang telepon cepat disambarnya,
lantas menggerutu tak senang,
"Tidak dapatkah menunggu besok pagi?"
"Tidak!" jawab suara di seberang sana.
Ketus,
"satu satunya naskah yang masih ditunggu mesin malam ini hanya punyamu.
Lupakah kau bahwa harus naik cetak pukul tiga nanti?"
"Ah kau kiranya, Rianto!"

-- Halaman 16 Kolektor E-Book --


Ramandita tertawa.
"Maaf, deh. Aku keasyikan rupanya...."
"Lagi in, ya?"
"He-eh. Kepalang basah, ceritanya kutamatkan sekalian. Beres sudah. Barusan..."
"Untuk berapa penerbitan?"
"Lima hari!" jawab Ramandita setelah menghitung-hitung jumlah halaman naskah
yang tadi diketiknya.
"Bagus. Jadi mulai besok kau dapat memusatkan perhatian pada tugasmu yang
sebenarnya. Kau tahu,Rama. Hari-hari terakhir ini, surat kabar kita kekurangan berita
yang pantas untuk dibaca!"
"Ada Leo. Dan Alex."
"Memang. Tetapi mereka berdua tahunya mencari dan mencari. Kau lain. Kau dapat
membuat sesuatu yang sepintas tak ada apa-apanya, menjadi sebuah berita yang
membuat pembaca penasaran dan bertahan jadi langganan tetap surat kabar kita...."
"Aduh. Perutku mulas."
"Apa?"
"Pujianmu membuat perutku mulas, Rianto. Aku jadi ingin ke kamar kecil...."
"Sialan!"
Harianto, redaktur pelaksana surat kabar tempat Ramandita bekerja, tertawa
membahak.
"Kalau kau mau buang hajat, di sini sajalah. Dapat mengantarkan naskahmu
sekarang juga?"
"Oke!"
Setelah hubungan putus, Ramandita mengoreksi sebentar naskah hasil ketikannya
tadi. Setelah meneguk sisa kopi yang sudah dingin, ia meninggalkan mejanya lalu
berjalan ke pintu tembus menuju garasi tanpa merasa perlu bersalin pakaian lebih dulu.
Ia pun hanya mengenakan sandal jepit saja. Mobil dikeluarkan, garasi ditutup lalu

-- Halaman 17 Kolektor E-Book --


dikunci. Pintu pagar ia biarkan saja terbuka karena malas ke luar dari mobil.Mobil
dipacu menembus kegelapan malam. Lalu lintas sudah sepi. Jalanan tampak lembap,
basah. Rupanya ketika mengetik tadi hujan yang turun deras sebelumnya sudah
berhenti. Tinggal kabut yang menggantung berat di permukaan aspal. Begitu tebalnya,
sehingga cahaya lampu-lampu merkuri pun hampir tak dapat menembus.Ramandita
menyalakan lampu kabut mobilnya dan diam-diam merasakan hawa dingin merayapi
sekujur tubuh. Sambil mengawasi malam gelap, dingin,berkabut sepanjang jalan yang
ia lalui, alam bawah sadar Ramandita pelan-pelan menyatu dengan bagian akhir cerita
bersambung yang telah ia selesaikan tadi.
Barangkali, pikirnya, suasana semacam inilah yang menyelimuti lereng Gunung
Galunggung, ketika kuburan Larasati menganga terbuka. Apakah di balikkabut yang
menyelimuti lalu lintas malam ini bersembunyi pula kekuatan magis yang misterius?
Mungkin saja, pikirnya lagi. Buktinya, semenjak meninggalkan rumah tak sekali pun
ia melihat adanya pejalan kaki. Kendaraan yang biasanya hilir mudik pun hanya satu
dua berpapasan, lalu hilang, gelap dan sunyi sepi kembali. Sementara kabut seakan
bertambah tebal saja, membuat suasana malam tampak semakin kelam.
Menyeramkan.
"Siapa pula yang ingin berkeliaran dalam cuaca seperti ini?"
Ramandita bergumam sendirian.
"Kalaupun ada,paling-paling hanya setan!"
Di sebuah perempatan jalan, lampu merah menyala.Tetapi Ramandita tidak
melihatnya. Ia terus saja menerobos.
Ia beruntung.
Tak terjadi apa-apa.
Dan lamunannya pun terus berkembang, semakin jauh,jauh, dan jauh saja. Ia
bayangkan dirinya bukan sedang bermobil di jalanan kota Jakarta, melainkan di
sebuah desa yang hanya ada dalam khayalan Ramandita.

-- Halaman 18 Kolektor E-Book --


Desa Cikalong.
Dan ia bukan sedang menuju ke kantor Redaksi Malam, majalah tempatnya bekerja,
melainkan tengah mendaki lereng-lereng gunung. Di mana kabut tebal juga
menyelimuti dirinya, seperti sekarang ini.Lalu tanpa sadar, Ramandita bergumam lagi,
"Malam yang bagus untuk bangkit dari kuburmu, Larasati!"
Benar.
Mengapa tidak?
Ramandita tertawa membayangkan lamunan gila itu.Dan di antara derai tawanya, ia
berteriak kencang.
"Setan alas. Pastilah mengasyikkan, andai kata kau benar-benar bangkit dari kubur,
Larasati!"
Lelucon iseng Ramandita seketika disambut hawa dingin yang menyergap tajam.
Tetapi sekilas cuma.
Persisnya, sepersekian detik. Setelah itu, hawa di dalam mobil berubah hangat.
Kabut pun mulai menipis.
Lalu menguak terbuka.
Memperlihatkan lampu-lampu jalanan yang bersinar cemerlang, kendaraan yang
hilir mudik, sebuah bioskop yang baru saja bubaran, serta warung-warung kaki lima
yang tampak masih tetap sibuk. Di satu dua tempat suasana boleh saja mati.Tetapi
secara keseluruhan kota Jakarta masih tetap hidup, tetap hiruk pikuk, seakan takkan
pernah mati sampai di akhir zaman.Tiba di gedung percetakan majalah mereka,
suasana lebih hingar bingar lagi. Seseorang sedang berteriak marah-marah, seakan
ingin mengatasi bunyi mesin-mesin yang riuh rendah. Seorang lainnya tertawa ke arah
Ramandita yang penampilannya tampak begitu kumuh.
"Hampir saja aku mengusir Oom," katanya menyeringai.
"Kukira ada gelandangan salah masuk!"
Ramandita membalas teguran petugas Satpam percetakan itu dengan senyuman, lalu

-- Halaman 19 Kolektor E-Book --


masuk ke sebuah ruangan yang dibangun dengan kayu-kayu lapis penyekat. Di situ
suara deru mesin-mesin cetak masih terdengar, tetapi setelah pintu ditutup suara dari
luarpun agak teredam. Tiga orang rekannya tengah asyik bermain kartu. Seorang
lainnya tidur mendengkur dikursi panjang, menghadap ke televisi yang masih
menyiarkan acara terakhir, sebuah film seri.Satu-satunya orang yang melirik ketika
Ramandita masuk adalah Harianto, si redaktur pelaksana.Harianto sedang berbicara di
telepon, ia cuma melambai sekilas, terus berbicara sampai selesai. Setelah meletakkan
gagang telepon, ia bersungut-sungut,
"Kasus tabrak lari. Bukan berita!"
"Yang menabrak?" tanya Ramandita, ingin tahu.
"Ya, mobil. Terus kabur!"
"Yang ditabrak?"
"Pejalan kaki."
"Mati?"
"Kata yang menelepon sih, hampir. Dia sudah diangkut ke rumah sakit...."
"Apa? Dia hampir mati tetapi masih sempat mencari telepon umum lalu menelepon
ke sini?"
Ramandita nyeletuk, menggoda.
"Monyong. Yang kumaksud bukan si penelepon,tetapi..."
"Habis? Bahasamu jelek sih. Jadi jangan coba-coba mengoreksi naskahku,"
Ramandita tersenyum.
"Mana?"
"Ini. Makanlah sekenyangmu!"
Ramandita menyerahkan naskah yang dibawanya dari rumah,terus bergabung
dengan rekan-rekan yang bermain kartu. Tetapi sesuatu dan ia tidak tahu apa, terus
saja mengganggu pikirannya, sehingga beberapa kali jadi pecundangi temannya
bermain kartu.Ternyata bukan dia saja yang merasa terganggu.Karena Harianto yang

-- Halaman 20 Kolektor E-Book --


telah menyelesaikan bacaannya tampak merenung-renung tak puas, lantas berseru
memanggil,
"Rama!"
Sambil terus menyimak kartunya, Ramandita menjawab dengan seruan pula,
"Ya?"
"Benarkah cerita bersambungmu ini sudah selesai?"
"Sudah!"
Ramandita membanting satu kartunya kemeja, lalu menarik yang lain dari tumpukan
kartu didekatnya.
"Lantas? Siapa yang bangkit dari kuburan Larasati?"
Jengkel karena mendapatkan padanan kartu yang lebih jelek lagi, Ramandita
memaki,
"Setan!"
Harianto yang salah tafsir, menimpali,
"Iya. Aku juga tahu. Tetapi setan itu setannya Larasati atau anaknya?"
"Anaknya dong!"
"Hem. Lalu mengapa ia kau bangkitkan?"
"Untuk meneruskan dendam ibunya yang belum terlampiaskan sampai tuntas.... Nah,
yang ini lebih baik," rupanya Ramandita senang dengan kartu pengganti.
"Akan lebih baik, Rama, bila ceritamu tidak kau akhiri macam begini. Rasanya kok
menggantung. Bikin aku tak puas..."
Harianto geleng-geleng kepala, sambil memisahkan tiga halaman naskah itu untuk
diteruskan ke bagian, setting, yang ia panggil lewat interkom.
"Omong-omong..." lanjutnya, masih tidak puas dan sangat penasaran,
"apa yang ada dalam pikiranmu andai kata... yah, andai kau anaknya Larasati itu
gadis cantik seperti ibunya?"
"Hem!"

-- Halaman 21 Kolektor E-Book --


Ramandita berpikir-pikir. Supaya ia tidak diusiklagi oleh Harianto, ia lantas
menjawab seenak perut,
"Kalau ada setan perempuan secantik Larasati. biarlah setan itu kuminta datang ke
rumahku. Akan kubilangi dia, bahwa aku butuh teman tidur!"
Tawa bergelak seketika di ruangan itu.Permainan kartu lebih mengasyikkan
sekarang, karena Ramandita menang dan terus menang, sampai akhirnya kelopak
matanya memberat. Ia putuskan untuk berhenti.Kemudian pulang ke rumah.

***

TIGA

Sebenarnya, pulang ke rumah bukanlah ide yang menyenangkan.Dua tahun sudah


Ramandita banyak menghabiskan.waktunya di luar. Sibuk mengejar berita
kemana-mana. Kalau tak ada kejadian yang dapat diberitakannya, ia akan membuat
apa saja supaya dapat dijadikan berita menarik. Untuk itu ia harus sering
berpetualang. Makin jauh dari kota Jakarta,makin baik.Apabila sedang tidak bergairah
menulis berita, ia isi waktunya dengan menulis novel, baik untuk surat kabarnya
maupun majalah atau langsung dijadikan buku oleh penerbit yang memesannya. Untuk
tujuan yang satu ini, Ramandita sengaja mencari tempat dimana ia tidak dikenal orang,
tidak diganggu pula oleh tugas-tugas kewartawanannya. Ia keranjingan menyendiri. Di
tepi pantai atau di kaki gunung. Dimana suasananya lebih membantu inspirasi maupun
imajinasi. Tetapi ada kalanya Ramandita segan bepergian. Bila sudah demikian, ia pun
bersembunyi dikamar-kamar hotel. Malangnya, kian lama tarif hotel makin mencekik,
sementara honorarium novelnya tak naik-naik akibat resesi. Terpaksalah ia berkurung
dirumah untuk menyelesaikan naskahnya yang acap kali tertunda. Dengan satu tekad,
selagi bekerja di rumah, ia harus menjauhi ranjang yang pernah ditiduri oleh

-- Halaman 22 Kolektor E-Book --


Magdalena.Tidur di ranjang itu membuat mata Ramandita sukar dipejamkan. Tanpa
Magdalena di sisinya, ranjang itu terasa begitu dingin.
Beku.
Lebih terkutuk lagi, apabila Ramandita tertidur juga lalu bangun esok
paginya,kebiasaan celaka itu pasti terulang dan terulang lagi.Yakni, tangan merayap.
Meraba-raba ke sana-sini.Mencari-cari. Biasanya ia akan menemukan tubuh hangat
Magdalena, yang seketika menggeliat bangun dan mengucapkan,
"Selamat pagi, Yang!"
Atau bisikan lembut mesra,
"Mimpi indah tadi malam, ya?"
Yang paling sering dan selalu mengasyikkan adalah ini,
"Kau ingin kita melakukannya sekali lagi?"
Magdalena yang menakjubkan!
Dengan kesukaannya yang khas, bermain cinta sebagai sarapan pagi!
Semua itu kini tinggal kenangan belaka. Ramandita sudah lama tidak menikmatinya
lagi.
Magdalena sudah pergi.
Untuk mengucapkan selamat pagi pada lelaki-lelaki lain. Dan mempersembahkan
permainan cintanya yang mendebarkan sebagai sarapan pagi bagi kekasih-kekasih
barunya....
Ramandita mengeluh, sakit.
" Apakah kita tidak dapat saling memaafkan, Lena?"
Di akhir keluhannya, Ramandita tersentak sadar.Mobilnya hampir saja menabrak
sebuah bajaj yang tahu-tahu membelok ke seberang jalan. Beruntung secara naluriah
Ramandita menginjak rem keras-keras sampai ban mobil menjerit-jerit menciutkan hati.
Pada sopir bajaj yang berhenti di seberang, Ramandita menggeram marah,
"Anjing!"

-- Halaman 23 Kolektor E-Book --


Sopir bajaj membalas lebih kasar lagi,
"Kalau aku anjing, situ tahi anjing!"
"Apa?!"
"Aku sudah memberi tanda. Situ yang buta!"
Dua perempuan tengah baya yang turun dari bajaj,menguatkan pula. Yang seorang
menjelaskan,
"Saya tahu betul Bang Sopir sudah menyalakan lampu sein"
"Bahkan saya juga menambahkan tanda dengan tangan!" ujar perempuan satunya
lagi seraya mendelik dengan wajah masih tampak pucat pasi.
Dikeroyok begitu, Ramandita terpaksa mengalah.Dengan mulut mengumpat panjang
pendek, ia teruskan perjalanannya. Dipikir-pikir, barangkali ia memang salah.
Mengemudi sambil pikiran melantur ke sana kemari. Atau juga, karena pandangannya
terhalang kabut?
Kabut, astaga!
Wilayah pemukiman tempat kini ia kembali masih juga diselimuti kabut. Benar tidak
setebal tengah malam tadi,namun toh tetap ada.
Seakan enggan pergi.
Dibeberapa tempat kabut memang lebih tipis atau hilang sama sekali. Tetapi di
tempat-tempat lain, muncul dan muncul lagi. Ramandita melirik jam digital mobilnya
yang digerakkan oleh tenaga baterai. Pukul lima lewat dua puluh menit, pagi hari.
Mestinya cuaca sudah mulai terang, dan...
Ramandita membelokkan mobil memasuki pekarangan rumahnya. Pintu pagar besi
masih terbuka seperti ketika ia tinggalkan tadi.
Tentu saja Siapa pula yang menutupkan?
Toh hanya ia seorang penghuni rumah itu!
Adapun Magdalena....
Ia singkirkan jauh-jauh Magdalena dari pikirannya.Lalu turun untuk membuka pintu

-- Halaman 24 Kolektor E-Book --


garasi. Setelah itu menutup lalu mengunci pagar. Dan tidur pulas sesuka hati. Tinggal
memilih di kamar yang mana ia rebah.Kalau suka, di sofa ruang tengah.Ramandita
baru saja keluar dari garasi untuk menutup pintu pagar, manakala ekor matanya
menangkap adanya gerakan samar-samar di sudut beranda depan.Otomatis langkahnya
terhenti. Dengan sikap waspada ia mengawasi beranda.
Kewaspadaan yang berlebihan.
Karena beranda diterangi lampu dan di situ tidak terlihat komplotan perampok
bersenjata. Ia hanya melihat sosok tubuh seorang perempuan bangkit perlahan dari
kursi, lalu berdiri menghadap ke arahnya,tepat di bawah sinar lampu beranda.Satu dua
detik lamanya Ramandita terpana.Lalu bergumam, kaget,
"...Hai!"
"Hai.." terdengar sahutan lembut.
Ramandita mendekat ke beranda. Perempuan itu kini tampak lebih jelas. Pakaian
yang melekat di tubuhnya jelas ketinggalan mode, membuat penampilan, siperempuan
tampak begitu sederhana. Namun kesederhanaan itu tertutup oleh hal lain yang sangat
menonjol, raut tubuh serta kecantikan wajah siperempuan. Sehingga, walau masih
kaget dan kepala diliputi tanda tanya, toh kelelakian Ramandita terasa dilecut oleh
rangsangan berahi.
"Mencari siapa, Nona?"
"Anda Ramandita, bukan?"
"Betul."
"Anda lah yang ingin saya temui..." ujar si perempuan,tampak lega.
"Sepagi ini?"
Perempuan itu tersenyum.
Manis sekali. Katanya,
"Apakah waktu dapat mencegah seseorang untuk menjalankan tugas penting yang
harus dilakukan sesegera mungkin?"

-- Halaman 25 Kolektor E-Book --


"Nona bergegas, agaknya..."
"Tergantung."
"Apa?"
"Sejauh mana Anda dapat membantu saya?"
"Hem. Nona ini siapa? Dan apa yang dapat saya bantu?"
"Apakah kita berbicara di sini saja, atau..." siperempuan sengaja menahan
kata-katanya.
Ramanditalah yang harus maklum sendiri. Setelah mengawasi sekitar dan yakin
bahwa perempuan itu hanya sendirian dan jelas tidak tampak berbahaya,
Ramanditapun melangkah naik ke beranda. Pintu depan dibukanya lebar-lebar.
"Silakan," desahnya, ramah.
Sewaktu perempuan itu melewatinya, Ramandita mencium bau harum semerbak,
yang mau tak mau kembali melecut berahinya. Aneh, pikirnya sewaktu menutup pintu.
Mengapa tiba-tiba ia hanya berpikir tentang seks?
Karena kerinduannya pada Magdalena?
Atau karena kehadiran si perempuan misterius yang muncul di pagi hari yang dingin
serta masih sepi ini?
Dan di ruang duduk yang hangat hanya ada mereka berdua saja!
"Mau kopi?"
"Tidak. Terima kasih," sahut si perempuan seraya mengawasi sekitar ruang duduk
dengan sorot mata mengandung minat.
"Tempat yang nyaman"tambahnya.
"Dan berantakan!"
Ramandita menimpali, malu-malu.
"Mestinya ada yang membereskan..."
"Mestinya!"
Ramandita mengangguk setuju.

-- Halaman 26 Kolektor E-Book --


"Tetapi dia sudah lama pergi..."
"Istrimu?"
Nada bicara si perempuan kini lebih akrab.Keakraban tamunya disambut Ramandita
dengan gembira. Seraya menyeringai lebar ia menjelaskan,
"Pertama kali melihatmu tadi, aku sempat berpikir Magdalena sudah kembali..."
"Kembali?" alis si perempuan terangkat.
"Kami sudah bercerai."
"Oh!"
"Sudahlah. Apa yang dapat kubantu? Dan, eh aku belum tahu siapa Nona!"
"Aku tak punya nama."
Sudah beraku-aku dia sekarang. Tidak lagi bersaya-saya. Namun bukan itu yang
membuat Ramandita mendadak tercengang. Melainkan apa yang diucapkan perempuan
itu barusan, aku tak punya nama.Ramandita mencerna kata-kata itu, kemudian tertawa
sumbang.
"Jangan bergurau, ah!"
"Sungguh."
"Masa iya, Nona tak punya nama?"
"Ibuku tak sempat memberi nama. Beliau sudah meninggal ketika aku dilahirkan...."
"Dan ayahmu?"
"Aku belum pernah melihatnya. Juga tidak tahu apakah ia masih hidup. Dan di mana
ayahku itu sekarang ini...."
Berkata demikian, wajah si perempuan menyendu. Sesaat, sinar matanya tampak
berkilat ganjil. Semacam kilatan marah. Atau kebencian yang berapi-api?
"Orangtuamu... bercerai?"
"Aku tidak tahu."
Ramandita lagi-lagi tercengang.
"Tidak tahu? Yang benar saja. Sanak familimu tentu menceritakan...."

-- Halaman 27 Kolektor E-Book --


"Aku tak punya kerabat seorang pun juga," perempuan itu tampak sama bingungnya
dengan Ramandita sendiri.
Duduknya berubah resah.
Gelisah.
Ia menatap penuh harap ke wajah Ramandita. Lanjutnya, lirih,
"Maka itulah aku datang menemuimu. Hanya kau yang dapat menjelaskan tentang
ayah yang harus kucari dan kutemukan. Juga tentang beberapa orang
lainnya.Terutama, Pak Lurah!"
Orang terakhir disebut si perempuan dengan nada benci yang tidak disembunyikan.
Ramandita memikirkannya, sambil matanya memperhatikan tubuh menawan si
perempuan kelihatan berubah regang,bahkan pundaknya sempat bergetar.
"Pak Lurah..." gumam Ramandita, berminat.
"Lurah mana? Siapa namanya?"
"Lurah Desa Cikalong. Namanya Sumarna."
Ramandita mengerutkan dahi. Nama Desa Cikalong seperti begitu dekat dengan
benaknya. Demikian pula nama Sumarna. Tetapi di manakah Desa Cikalong itu?
Seperti apakah lurahnya yang bernama Sumarna, nama yang juga menyatu di benak
Ramandita?
Dan bagaimana nama desa serta lurahnya sampai melekat dikepala Ramandita?
Mendadak, Ramandita menahan napas.
Astaga!
Nama-nama itu muncul dalam imajinasinya.Yang telah ia tuangkan ke dalam
novelnya!
Apakah yang ditanyakan si perempuan menyangkut isi novel Ramandita, atau
sebaliknya tidak punya sangkut paut sama sekali?
Tergerak hati Ramandita untuk bertanya,
"Lantas... ayah Nona itu. Tahu siapa namanya?"

-- Halaman 28 Kolektor E-Book --


"Komar!"
Ramandita hampir saja terlonjak, namun cepat menguasai diri. Ia menyeringai lebar,
lalu berujar,
"Begini, Nona. Sebaiknya berterus terang saja mengenai maksud dan tujuan Nona
menemuiku. Boleh saja Nona terpengaruh lalu keranjingan pada cerita bersambung
yang hampir seluruhnya sudah dimuat surat kabar.Tetapi..."
Perempuan itu menukas cepat,

"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan, Ramandita."


"Oh ya?"
Ramandita menahan senyum.
"Aku lebih tidak mengerti lagi mengapa Nona datang menemuiku dengan omong
kosong yang menggelikan ini. Kalau Nona hanya ingin berkenalan, atau ingin
tandatanganku sebagai pengarang novel itu, datanglah baik-baik. Dan menurut waktu
yang pantas pula.Setuju?"
Si perempuan kembali menggelengkan kepalanya.Berujar masygul,
"Tolonglah. Jangan mempermainkanaku...!"
"Siapa yang mempermainkan siapa, Nona?" balas Ramandita, mulai jengkel.
Menyadari kejengkelan Ramandita, si perempuan tidak menyerah begitu saja.
Sebelum Ramandita sempat menghindar, perempuan itu telah bangkit dari duduknya,
lalu cepat bersimpuh di depan Ramandita.Sepasang tangannya yang halus mulus, putih
berseri tanpa cacat cela, tahu-tahu sudah mendarat diharibaan Ramandita. Suaranya
terdengar amat memelas, bahkan hampir-hampir putus asa,
"Tolonglah,Ramandita. Bantulah aku menemukan orang-orang yang kucari. Sebagai
imbalannya, akan kuturuti apa saja permintaanmu. Tubuhku pun kurelakan, bila itulah
kehendakmu...."
Ramandita terpesona.Tubuh mulus montok dan wajah cantik menggairahkan itu

-- Halaman 29 Kolektor E-Book --


boleh ia miliki sesuka hati, dan kapan ia mau?
Berpikir demikian, timbul pemikiran lain di kepala Ramandita. Ia lalu
mengutarakannya tanpa tedeng aling-aling,
"Apakah kau ini... pelacur?"
Di luar harapannya, si perempuan sedikit pun tidak menampakkan perasaan
tersinggung, Perempuan itu hanya menjawab, pasrah,
"Untuk mencapai tujuanku,Ramandita... jadi pelacur yang hina sekalipun aku
rela...."
Dan dari sudut-sudut matanya meneteslah butir-butir air bening, sewaktu ia
menambahkan dengan bisikan sayup-sayup,
"Demi roh ibuku."
Ramandita menegang.
"Dan ibumu adalah..."
Perempuan itu menjawab tenang dan khidmat,
"Larasati."
Ramandita pun terbungkam.

***

EMPAT

Ramandita keranjingan menulis cerita-cerita hantu, itu memang betul. Akan tetapi
bahwa hantu itu benar-benar ada... konon pula dalam wujud nyata seperti sekarang ini,
sungguh tak masuk di akal Ramandita.
Hantu hanya ada dalam khayalan manusia-manusia penakut. Semakin mereka takut,
semakin mereka percaya. Ramandita lantas ikut menakuti-nakuti mereka. Karena ia
tahu dari ketakutan-ketakutan yang ditimbulkannya, uang pun mengalir deras ke saku

-- Halaman 30 Kolektor E-Book --


Ramandita.Maka dalam bungkamnya, Ramandita berpikir cepat,praktis dan sederhana.
Ia tidak sudi membodohi diri sendiri. Perempuan yang jadi tamunya di pagi hari
ini,bukanlah hantu. Hanya ada satu kemungkinan, ada orang yang coba-coba
mempermainkannya. Itu jelas sekali. Bagian akhir novel yang ia ketik tadi malam belum
termuat di surat kabar. Kecuali Ramandita,hanya seorang saja yang tahu ending cerita
itu.Bahwa perempuan ini tahu, itu karena seseorang memberitahukannya, dan tidaklah
sulit menerka siapa orang sedeng yang berpikir dapat mempermainkan Ramandita.
Siapa lagi, kalau bukan Harianto!
Heem.
Apa tadi yang mereka percakapkan di kantor?
Harianto bersungut-sungut mengenai akhir cerita itu,
"..Aku tak puas!"
Kemudian, Andai kata anaknya Larasati seorang gadis cantik seperti ibunya?
"Ah, " enaknya Ramandita menjawab,
"Biarlah ia datang ke rumahku!"
Ditambah ini,
"Aku butuh teman tidur..."
Bukan main!
Agaknya Harianto tidak ingin sekadar main-main.Selagi bermain kartu Ramandita
sempat melihat sahabatnya itu termenung-menung. Sekali, ia lihat Harianto berbicara
di telepon. Lalu tersenyum-senyut.Asyik dengan kartu di tangan, Ramandita tak tertarik
untuk memikirkan mengapa sahabatnya senyum-senyum sendiri.Baru sekarang ia
berpikir.Baru sekarang pula ia sadari, Harianto gemar main perempuan. Sahabatnya
itu punya koleksi perempuan-perempuan cantik yang dapat ia tiduri kapan ia suka.
Terutama apabila istri di rumah sudah tidak sanggup menampung genjotan seksual
Harianto yang memang overdosis.Perempuan ini tentunya salah satu koleksi si maniak
itu.Perempuan ini telah diberi instruksi-instruksi lewat telepon. Lalu perintah-perintah.

-- Halaman 31 Kolektor E-Book --


Si perempuan harus sudah menunggu di rumah Ramandita pada saat yang empunya
rumah tiba.
Harianto sedeng itu!
Oh, oh, boleh-boleh saja,Ramandita akan melayani apa maunya. Tetapi dengan akhir
yang pasti akan mengejutkan Harianto, sebuah pukulan balik dan tidak terduga!
Mulai sedeng, Ramandita merunduk memandang perempuan yang bersimpuh
tengadah seraya memegang lututnya.
"Berhentilah menangis, Nona manis," ia berkata,tersenyum.
"Aku akan menolongmu.."
"Benarkah?" sepasang mata indah itu seketika berbinar-binar.
"Aku berjanji."
"Terima kasih, Ramandita. Terima kasih..." ucap siperempuan, terharu.
Lalu ia ciumi lutut Ramandita dengan gaya yang amat dramatis. Sedramatis
gumamnya yang bergetar,
"Entah bagaimana aku kelak membalas budi baikmu, Ramandita...."
"Bukan kelak. Tetapi sekarang juga!" bisik Ramandita.
Tajam menusuk.
"Tetapi..."
"Kalau kau tak membutuhkan pertolonganku..."
Ramandita berujar. Jual mahal.
"Aku membutuhkannya. Amat sangat membutuhkan-nya!" sahut si perempuan,
bernafsu.
"Jadi?"
"Aku tak tahu... entah bagaimana aku dapat..." si perempuan tampak bingung,
bahkan gelisah.
"Mudah saja, Nona."
"Bagaimana?"

-- Halaman 32 Kolektor E-Book --


"Ciumanmu tadi salah alamat..."
Si perempuan membelalak. Lalu tersenyum. Penuh arti.
"Yang mana yang mestinya kucium?"
"Ini," desah Ramandita, bergetar-getar seraya menunjuk mulut sendiri.
"Oh. Cuma itu..." desah si perempuan pula, seraya meluruskan tubuhnya sehingga
wajah mereka berdua:saling berhadapan.
Bibirnya yang ranum basah kemudian mendarat di bibir Ramandita. Sekilas
saja,setelah itu segera ditarik mundur kembali.
"Lagi!" dengus Ramandita, tak puas.
"Lebih lama!".
Perempuan itu menciumnya lagi. Lebih lama. Namun terasa kaku. Tak sabar,
Ramandita merangkul lalu menarik tubuh si perempuan duduk di haribaannya.Seraya
terus mengulum bibir hangat dan berbau harum semerbak itu, Ramandita merebahkan
si perempuan dikursi panjang berjok tebal empuk yang ia duduki.Sedetik, ada
pemberontakan. Detik-detik berikutnya,sambutan hangat yang sudah diduga oleh
Ramandita.Begitu ciuman mereka yang menghanyutkan itu merenggang lepas, si
perempuan berbisik terengah,
"...Sudah?"
"Belum!"
Ramandita sama terengah.
"Apa lagi?"
"Aku ingin menidurimu!" ujar Ramandita, nekat.
"Oh..."
"Keberatan?"
Perempuan itu tampak bingung. Pikir Ramandita,
Pura-pura dia!
Benar saja, karena si perempuan kemudian berujar,

-- Halaman 33 Kolektor E-Book --


"Walau baru berupa janji,perasaanku sudah plong. Maka, baiklah. Bila itu
kehendakmu..."
Ia menggeliat di bawah tubuh Ramandita yang masih menekan.
"Di sini sempit.Kurang leluasa..."
Benar juga, pikir Ramandita. Lantas, kepalang sedeng ia bimbing perempuan itu
langsung menuju... kamar tidur utama.
Mengapa tidak?
Dua tahun sudah ia membenci dan menjauhi ranjang di kamar itu. Sudah waktunya
kebencian itu dibunuh habis.
Persetan dengan cinta.
Persetanlah Magdalena. Bila Magdalena dapat tidur dengan lelaki-lelaki lain,
mengapa ia tidak?
Dua tahun sudah Ramandita bertahan. Bukan karena tidak ingin, apalagi tak mampu.
Ramandita masih lelaki normal. Hanya saja, trauma itu terus mengusik dan
merobek-robek jiwanya. Takut apabila ia menikah lagi,akan terulang tragedi yang
pernah menimpa Magdalena.
"Jangan pikirkan tentang perkawinan!" pernah Harianto menasihatinya.
"Ajak saja seorang perempuan ke kamar tidurmu. Lampiaskan berahimu yang
terpendam. Sampai tuntas. Bayar dia. Setelah Itu suruh keluar. Beres!"
Nasihat sahabatnya itu tidak mampu menggoyahkan pendirian Ramandita.
"Seorang pelacur," katanya, siapapun dia dan berapa pun juga dibayar, pastilah
tidak merasa bahagia dengan apa yang dilakukannya! Kalau aku meniduri seorang
pelacur, itu akan lebih mengingatkan aku pada Magdalena. Bekas istriku itu bukan
pelacur. Namun aku yakin betul, apa yang dia perbuat bersama lelaki itu hanya
membuat dia lebih tidak berbahagia daripada seorang pelacur...!
Harianto pernah menjebaknya, saking jengkel.
Suatu malam Ramandita didorong masuk oleh Harianto kesebuah kamar motel.

-- Halaman 34 Kolektor E-Book --


Begitu Ramandita sudah di dalam,Harianto berkelit keluar, lalu mengunci pintu dari
luar.Dan Ramandita hanya bisa termangu melihat ke tempat tidur. Di situ menggeliat
menantang seorang perempuan yang tidak berbusana sehelai benang pun.Tatap mata
dan senyum bibirnya mengundang. Marah karena terjebak, berahi Ramandita justru
tidak terbangkit. Ia suruh perempuan itu mengenakan pakaian, disertai ancaman yang
belakangan membuat ia tertawa sendiri,
"Kalau tidak, aku akan berteriak minta tolong!"
Harianto tak pernah mencobanya lagi.
Sampai malam... eh, pagi hari ini!
Hem.
Awas lu, Harianto.
Akan kaulihat bagaimana Ramandita dapat berbuat apa yang tidak terduga olehmu!
Dan itulah yang terjadi.
Bahkan justru di luar dugaan Ramandita sendiri.Gerakan-gerakan si perempuan di
bawah tubuhnya,beberapa kali salah dan jelas agak kaku, meski tubuh itu hangat dan
semakin menghangat pertanda berahinya justru terus memuncak.Pekik tertahan si
perempuanlah yang membuat Ramandita terpana. Tetapi segala sesuatunya sudah
terlambat. Ramandita tak mungkin lagi mundur. Ia sudah memasuki tubuh perempuan
itu. Dan membuatnya sangat terkejut.
Ya Tuhan.
"Perempuan itu masih perawan!"
"Mengapa kau biarkan aku melakukannya?" keluh Ramandita sesudah semuanya
berakhir dan mereka rebah bersebelahan, mengatur napas masing-masing.
"Menyesal?" desah si perempuan.
Tenang-tenang saja.
"Aku?"
Ramandita tertawa kaku.

-- Halaman 35 Kolektor E-Book --


"Mestinya akulah yang mengajukan pertanyaan itu..."
Dan jawabnya adalah,
"Aku menyukainya. Begitu indah!"
Si perempuan menatap dengan mata syahdu.Sewaktu Ramandita menoleh, ia melihat
pipi gadis itu basah dilinangi air mata.Ramandita terenyuh.
"Kau menangis..."
"Karena bahagia" gadis itu tersenyum.
"Aku akan selalu mengenangnya. Tak akan kulupakan. di manapun aku berada!"
"Nona..."
"Hem. Aku juga menyukai nama itu."
"Apa?"
"Nona. Nama yang bagus, apalagi kau yang mem-berinya, Rama."
Mau tak mau, Ramandita tertawa.
"Masih tetap bersikeras tidak mau memberitahu namamu sebenarnya."
"Itulah namaku. Nona."
Ramandita menyerah .Pelacur tetap punya nama.Karena ia pelacur, namanya lebih
dari satu. Bukan mustahil, pada setiap lelaki yang menidurinya, seorang pelacur akan
memberi nama yang berbeda-beda.Demikian sering dan tak terhitung lagi banyak nama
yang ia sebutkan, sehingga si pelacur tidak mustahil lupa nama lahirnya.Ramandita
setengah bangkit. Bertelekan pada siku.Mengawasi gadis yang berbaring santai di
sebelahnya.Tubuhnya yang indah, berkilat-kilat cemerlang dalam jilatan lidah-lidah
mentari pagi yang menerobos lewat ventilasi jendela kamar. Merenung sejenak, ia
kemudian berujar,
"Tahukah kau, betapa mahalnya tebusan permainan konyol ini?"
Wajah Nona ? ya, biarlah anggap itulah namanya;mendadak berubah tegang. Juga
bisiknya,
"...Permainan? Permainan apa, Rama?"

-- Halaman 36 Kolektor E-Book --


"Sandiwaramu."
"Aku tak mengerti."
Mendengar jawaban itu, perasaan kesal yang sudah hilang, bangkit lagi mengusik
kepala Ramandita. Ia bersungut-sungut,
"Apakah Harianto saja yang mengerti?"
Nona tampak bingung.
"Siapa?"
"Harianto. Teman sekantorku. Berapa dia membayarmu? Atau berapa aku harus
membayar, bila itulah keputusan Harianto. Mengingat, kau masih...perawan?"
Nona serentak duduk.Marah sekali dia. Tangannya sempat terangkat, tetapi
kemudian mendadak lunglai kembali.
"Tidak..." desisnya, putus asa saking marahnya.
"Sungguh tak pantas aku menampar manusia yang memberiku keindahan, memberiku
nama, bahkan memberiku kehidupan...."
"Kau mengaco lagi,"
Ramandita tersenyum.
Mengejek.
"Bukan aku. Tetapi kau!"
"Aku?"
Ramandita rebah lagi. Berbuat sesantai mungkin, meskipun hatinya masih
terguncang mengingat ia telah menodai kesucian seorang perawan.Dan itu semua
bermula dari permainan iseng yang tidak saja konyol, tetapi juga sudah melampaui
batas.
"Aku tidak mengaco, Nona...."
"Mengaco mungkin tidak. Mengelakkan tanggungjawab, ya!"
Ramandita menegang.
Tanggung jawab?

-- Halaman 37 Kolektor E-Book --


Astaga, sudah sedemikian jauhkah akibat permainan memalukan ini?
Ataukah Ramandita terkena hukum karma?
Melanggar sumpah untuk tidak meniduri perempuan lain, sebelum ia dan Magdalena
mencapai saling pengertian lalu berpisah secara baik-baik dan saling merelakan?
"Ayo. Mengapa bungkam?!"
Nona mendesis tajam.Ramandita berusaha sekuat tenaga menghirup udara sebanyak
mungkin untuk mengisi paru-parunya yang terasa kering kerontang. Lalu bertanya
getir,
"Kau menuntut sebuah perkawinan, Nona?"
"Tidak"
"Lantas?"
"Hanya janji. Janjimu menolongku!"
Kini Ramandita lah yang marah.
"Hentikan omong kosong yang tak masuk akal itu, Nona!"
Nona gemetar hebat.Sinar matanya yang berapi-api sempat membuat bulu kuduk
Ramandita merinding. Bukan karena takut.Melainkan karena ia sedikit pun tidak
menduga bahwa si gadis akan uring-uringan semacam itu. Kalaupun Ramandita takut,
yang ia takutkan adalah ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat
dan mengawini Si Nona!
Selagi Ramandita belum sempat berpikir sesuatu, Nona sudah berkata dingin.
Sangat dingin.
"Apa pun yang terjadi, Ramandita, aku tetap menghormatimu. Yang tidak kunyana
adalah, bahwa kau ini ternyata seorang manusia busuk!"
Sampai di situ, habislah kesabaran Ramandita. Ia meluncur turun dari ranjang.
Pakaian si perempuan disambar, lalu dilemparkan ke si empunya.
"Kenakanlah itu. Lalu enyah dari sini!" .
Nona pun punya batas kesabaran.Cepat ia kenakan pakaiannya, lalu berjalan ke

-- Halaman 38 Kolektor E-Book --


pintu yang sudah dibukakan Ramandita. Di sana ia tegak sejenak. Kata-kata yang
keluar dari mulurnya, panas bagai semburan api neraka
"Hati-hatilah, Ramandita.Kau akan melihat akibat perbuatanmu karena telah ingkar
janji!"
Setelah itu Nona berlalu tanpa menoleh-noleh lagi.Di tempat yang ia tinggalkan,
Ramandita tiba-tiba merasakan kehilangan sesuatu. Tak tahu apa sesuatu itu. Yang
pasti, perasaan kehilangan itu teramat kuat memukul hatinya, malah mencabik-cabik.
Sedetik,muncul penyesalan. Detik berikutnya, kemarahan, tohdia itu cuma pelacur!
Tetapi mengapa harus berakhir seperti ini?
Lama Ramandita termangu.Tak tahu harus berbuat apa, ia berjalan lunglai
meninggalkan kamar tidur. Dari ruang tengah ia kedepan, terus ke beranda. Matahari
sudah naik semakin tinggi. Lalu lintas di jalan sudah ramai. Banyak orang hilir mudik
di sana sini. Tetapi ke mana pun matanya mencari, tetap saja sia-sia.
Nona sudah lenyap.
Entah ke mana....

***

LIMA

Tahan juga Ramandita berkurung di rumah. Tetapi tak sampai dua jam. Dering demi
dering telepon tak ia acuhkan. Kemudian kabelnya dicabut sambil memaki-maki. Surat
kabar pagi dan majalah yang bareng datang, tidak menaruh minatnya. Penjual susu
sapi murni langganannya juga ia biarkan mengebel pintu depan terus menerus. Sampai
orang itu bosan sendiri lalu pergi.Di dalam rumah, Ramandita duduk, berdiri,
mondar-mandir, merokok, dan terus merokok. Sampai ia batuk-batuk dan dadanya
seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.Akhirnya ia tiba pada satu kesimpulan, ada sesuatu

-- Halaman 39 Kolektor E-Book --


yang salah, dan ia harus memperbaikinya.
Ramandita lalu mandi.
Bersalin pakaian, lalu tanpa lebih dulu sarapan pagi, rumah ia tinggalkan. Mobilnya
ia pacu macam orang edan. Beruntung tak terjadi musibah. Tak pula ada polisi
mengeluarkan surat tilang.Ia tiba dengan selamat di rumah Harianto.
Pastilah kuncinya ada di tangan Harianto!
Harianto masih pulas di kamar tidur. Tetapi setelah Mariana,istrinya, melihat
penampilan tamu mereka yang tak ubahnya orang kesurupan, Harianto segera
dibangunkan.
"Tuh, Rama mencarimu. Agaknya ada peristiwa penting terjadi di kantor!"
Didampingi sang istri, Harianto bergegas keluar dari kamar. Ia temui tamunya
sambil mengucek-ngucek mata, masih mengantuk.
"Peristiwa apa yang terjadi dikantor, Rama?" ia bertanya, polos.
"Bukan di kantor. Tetapi di rumahku!" jawab Ramandita, tak sabar.
"Oh, ya?"
"Gadis suruhanmu itu..."
Ramandita tidak melanjutkan kalimatnya sewaktu ia sadari Mariana juga hadir, ikut
mendengarkan sepenuh perhatian. Susah payah Ramandita menguasai diri. Berujar
lebih lunak,
"...kau sudah sarapan pagi, Yanto?"
Yang ditanya menjawab bingung,
"Mandi pun belum...."
"Kalau begitu, ayolah. Kita sarapan di luar saja!"
Biar bingung, Harianto ternyata masih mampu tertawa.Katanya,
"Kalaulah semua tamu yang datang ke rumah ini orangnya macam kau, Rama,
istrikulah yang senang. Belakangan ini ia makin irit saja...."
"Hus! Kok malah buka rahasia dapur!"

-- Halaman 40 Kolektor E-Book --


Mariana mengomel, cemberut.
"Tak apa. Rama bukan siapa-siapa, ini."
Harianto membujuk istrinya. Lalu pada Ramandita,
"Tunggulah sebentar. Aku mandi dulu."
"Cuci muka sajalah!"
"Hei. Nanti dulu. Kau mau mengajak aku sarapan pagi,atau berkelahi?!" dengus
Harianto membelalak.
"Anggap saja dua-duanya!" sahut Ramandita, serius.
Harianto geleng-geleng kepala, tetapi ia menyelinap juga ke kamar mandi. Cuci
muka, sikat gigi, salin pakaian seadanya, kembali lagi ke ruang depan sambil berkata
pada istrinya,
"Kalau aku tak pulang-pulang,Ana. Itu tandanya aku sudah mati!" sambil ia
mengerling ke arah Ramandita yang tersentak mendengarnya.
"Ayolah."
Mariana protes. Tetapi sang suami dan tamu mereka sudah masuk ke mobil yang
diparkir di depan rumah.Ramandita langsung tancap gas. Di sebelahnya,Harianto
bersungut-sungut tak senang,
"Benar kau mengirit biaya dapur istriku, Rama. Tetapi sekaligus kau membuatnya
kurus dalam sekejap...."
"Ha?"
Ramandita tersentak dari lamunannya.
"Habis?"
Harianto angkat bahu.
"Datang-datang bikin panik orang. Belum lagi bila istriku terlalu menganggap serius
ucapanku tadi. Jangan-jangan saat ini ia sedang menelepon polisi!"
"Itu urusanmu," gumam Ramandita, tak acuh.
"Oh ya? Lalu, bagaimana dengan sarapan pagiku?"

-- Halaman 41 Kolektor E-Book --


"Aku tidak lapar."
Ramandita tidak berdusta. Ada restoran di depan mereka. Tetapi mobil terus saja.
Harianto mencium gelagat,, lantas berkata sengit,
"Lalu mau apa kau menarikku dari tempat tidur?"
"Bicara."
"Itu jelas!"
"Kau tahu apa yang akan kubicarakan, Yanto...."
Harianto mendengus,
"Gadis suruhanku, hem...!"
"Itu dia."
"Kau tidak main-main, bukan?"
"Belum pernah aku seserius hari ini, Yanto," jawab Ramandita, mengeluh.
Melihat sahabatnya seperti patah semangat, Harianto menahan diri. Ia berkata
lunak,
"Kau sedang panik..."
"Ya."
"Dan hanya aku seorang yang dapat menghentikan kepanikanmu."
"Ya."
"Baiklah. Anggap saja aku tahu siapa gadis itu. Dan tahu bagaimana aku
menjelaskan persoalannya. Tetapi sebelum sampai ke situ, berjanjilah melakukan
sesuatu untukku..."
"Apa?"
"Tulislah sebuah novel...."
"Ha?"
"Tidak. Tidak. Bukan novel. Terlalu lama"
Harianto meralat diri.
"Cukuplah cerita pendek saja. Jadi bisa kau selesaikan dalam tempo segera. Tentu

-- Halaman 42 Kolektor E-Book --


saja dengan judul Gadis Suruhan. Begitu selesai, serahkan padaku. Akan kubawa
pulang ke rumah. Lalu pura-pura mengoreksinya di depan mata istriku...."
Ramandita tertawa juga akhirnya. Lari mobil dikurangi.Mereka sudah tiba di
kawasan Taman Monas. Mobil diparkir di bagian yang teduh. Tetapi tak ada
tanda-tanda Ramandita berniat turun. Jadi Harianto memutuskan tetap duduk di
kursinya. Diam,menunggu.
"Kok jadi runyam begini..."
Ramandita bingung sendiri.
"Aku tak menduga istrimu jadi persoalan..."
"Salahmu sendiri. Mengapa ngomong macam-macam didepan istriku. Bikin Mariana
curiga saja. Dapat kupastikan ia juga bakal mencak-mencak apabila aku pulang nanti
ke rumah tanpa siap dengan jawaban yang masuk di akalnya. Hanya cerita pendekmu
yang barusan kupesan, yang dapat menolongku selamat dari cakaran kukunya..."
Harianto mengakhiri dengan tawa kecut.
"Itulah risiko jadi pendosa. Selalu dikejar-kejar perasaan bersalah..."
Ramandita malah menggoda.
"Apakah kau luput dari dosa, Rama?" sahut Harianto sengit.
Ramandita terdiam.Ia tahu apa yang dimaksudkan sahabatnya. Menyandar di
kursinya, ia lihat sekelompok bocah tanggung berlompatan dari sebuah mobil pick-up.
Bocah-bocah itu berlarian ke air mancur.
Sukacita.
Anak-anak yang lugu.
Yang belum tahu apa itu dosa!
"Mengenai gadis di rumahku itu, Yanto...."
"Hem?"
"Aku tahu kau bermaksud baik. Kau ingin aku melupakan saja Magdalena..."
"Nah. Apa pula ini?" bingung lagi Harianto.

-- Halaman 43 Kolektor E-Book --


Berpikir sejenak, ia lantas manggut-manggut.
"Tetapi kau benar juga. Memang itulah selalu harapanku. Buang Magdalena
jauh-jauh dari pikiranmu, sebelum kau menjadi gila karenanya. Kau sendiri tahu,
Magdalena kerjanya berpindah dari pelukan satu lelaki ke pelukan lelaki lain. Sadar
atau tidak, itu akan membuat harta warisan orangtuanya yang melimpah ruah akan
ludes.Tandas tak bersisa walau hanya sepeser...."
"Tidak semua," Ramandita menggeleng.
"Sebagian hartanya ditinggalkan Magdalena untukku ketika kami berpisah. Dan aku
senantiasa menjaga sedapat mungkin agar apa yang ia tinggalkan tetap utuh tak
terganggu..."
"Kau masih tetap mencintai bekas istrimu, ya?"
"Masih. Dan seperti harapanmu tadi, aku pun berpikir sama. Terus terang,
harapanku busuk dan kotor.Semoga uang Mariana ludes tandas. Sampai tak ada
seorang pun masih mau melayani kebiasaan buruknya!"
Harianto mengingatkan,
"Istrimu masih muda. Cantik pula."
"Itu betul. Tetapi setelah uangnya habis, Magdalena akan menyadari bahwa
kemudaan dan kecantikan saja tidaklah cukup. Aku yakin, akan tiba saatnya ia
berpaling ke hartanya yang masih tersisa di tanganku.Ia akan datang mengambilnya.
Sebab ia tahu aku tidak bakal banyak cingcong. Nah, aku siap menunggu dia.Namun
sebelum peninggalannya kukembalikan, aku dan dia harus saling berbuka kartu lebih
dulu...!"
Harianto menoleh ke luar jendela mobil.
"Ah. Itu ada pedagang asong. Tak apa kubelikan roti?"
"Silakan."
Harianto turun dari mobil, ia membeli beberapa potong roti dan dua teh kotak. Dan
jadilah mereka sarapanpagi juga. Tanpa seorang pun yang berbicara. Seolah asyik

-- Halaman 44 Kolektor E-Book --


menghitung suara-suara klakson mobil atau berapa banyak sepeda motor yang
lalu-jalang tak jauh dari tempat parkir itu.Harianto menghabiskan tiga potong roti.
Ramandita sepotong pun tak habis. Tetapi satu hal kemudian mereka sepakat, tiba
saatnya memperbincangkanmasalah pokok. Ramandita menyedot teh kotaknya tanpa
selera. Ketika ia memulai, kata-katanya terdengar bernada pahit,
"...Dia masih perawan, Yanto!"
Hampir saja Harianto tersedak.
"Dia siapa?"
"Nona."
"Ya. Nona siapa?"
"Gadis suruhanmu."
Nah.
Ributlah lagi mereka.
Bertengkar.
Saling salah menyalahkan. Sampai akhirnya Ramandita dapat dibujuk agar tenang
lalu mengulang ceritanya lebih tenang, lebih jelas, dari A sampai Z.Tak sekali pun
Harianto memotong.Kecuali desah-desah heran, bingung, takjub. Atau
gumaman-gumaman kagum, campur iri sewaktu Ramandita tiba pada cerita di tempat
tidur.
Tentu saja,seraya menelan ludah!
Ramandita menuturkan segala sesuatunya tanpa menyembunyikan apa pun.
Termasuk dugaannya yang kuat, bahwa kunci persoalan ada ditangan Harianto. Dari
seorang pendengar yang tekun,dengan minat yang sungguh-sungguh, Harianto berubah
jadi penuntut.Katanya, tenang dan teratur,
"Kelakuanku jelek-jelek begini, Rama, tetapi ah aku memercayai kemahakuasaan
Tuhan. Maka, atas nama Tuhan biarlah aku bersumpah. Terkutuklah diriku,
istriku,anak-anakku apabila benar aku mengenal gadismu itu,dan aku pula yang

-- Halaman 45 Kolektor E-Book --


menyuruh Si Nona mengakalimu"
Ramandita mendadak tegang.Ia simak wajah sahabatnya. Dan menyadari, tak ada
gunanya berkata: aku memercayai kejujuranmu.Adalah lebih baik Ramandita
menanyakan kemungkinan satu-satunya yang paling masuk akal dan bisa dilacak,
"Selain kau sendiri, apakah ada orang lain yang sudah membaca bagian-bagian
akhir novel yang kuserahkan tadi malam?"
"Tidak seorang pun," jawab Harianto.
Tegas.
"Kalaupun ada, hanyalah tiga halaman pertama yang kuterima darimu. Petugas
setting, kemudian korektor,penata letak, tukang-tukang cetak. Aku tahu betul mereka
senantiasa menanti lanjutan cerita bersambungmu dengan tak sabar. Plus, tentu saja
masyarakat luas karena surat kabar kita telah beredar sejak pukul lima pagi ini...."
"Sisanya?"
Ramandita menahan napas.
"Seperti biasa. Kusimpan di laci mejaku yang terkunci.Dan kuncinya tak pernah
kupercayakan ke tangan orang lain...."
"Jadi..."
Wajah Harianto berubah pucat. Suaranya pun gemetar.
"Itulah yang kucemaskan. Jangan-jangan Si Nona adalah..."
"Putri tokoh utama novelku," desah Ramandita, tak percaya.
Harianto membenarkan dengan kepercayaan penuh,Tepatnya, Rama.
Si Nona adalah hantu perawan yang telah bangkit dari kuburan Larasati!
Terdengar bunyik klakson mobil yang lewat, menyalak.Menyentak-nyentak.
Kemudian sepi.
Semakin menyentak.

***

-- Halaman 46 Kolektor E-Book --


ENAM

MENDADAK Ramandita tertawa.Harianto kaget. Lantas mengomel,


"Orang lagi ketakutan, ini malah tertawa. Apa sih yang lucu?"
Ramandita menjawab dengan umpatan,
"Jadah! Sebentar tadi hampir saja aku membodohi diri sendiri!"
"Maksudmu?"
Ramandita memutar kunci kontak. Sambil menjalankan mobilnya kembali, ia berkata,

"Bahwa hantu itu ada!"


"Memang betul!"
Harianto bersitegang.
"Pernah mengalami? Atau melihat dengan mata kepala sendiri?"
"Oh-oh... semoga jangan sampai terjadi!"
Harianto bergidik.
"Aku cuma dengar-dengar dari orang. Selain dari membaca, tentu. Yang pasti,
seorang famili dekatku pernah mengalami sendiri..."
"Apa iya?"
"Sungguh!" desah Harianto serius.
"Kalau tak salah ingat, terjadinya sekitar penengahan tahun 1995 yang silam. Dia,
yakni saudara sepupuku, kala itu piknik bersama teman-teman sekelasnya di SMA ke
Pantai Pameungpeuk, di sebelah selatan kota Garut. Sepupuku orangnya urakan, kalau
tak bisa dikatakan brutal..."
"Apa yang terjadi?" tanya Ramandita tertarik, sambil menurunkan laju mobil karena
lampu lalu lintas didepan mereka sudah menyala kuning, lalu merah.
Mobil pun berhenti.

-- Halaman 47 Kolektor E-Book --


Mengikuti antrean panjang.
"Habis mandi, berenang, berperahu, sepupuku serta teman-temannya menginap di
desa terdekat. Di rumah keluarga salah seorang temannya. Esok paginya mereka
bermaksud menyalurkan hobi berburu unggas liar didaerah sekitar. Sebelum berangkat,
tuan rumah mereka mewanti-wanti. Nanti bila mereka memasuki wilayah berawa-rawa,
agar berhati-hati. Di tempat itu ada gundukan tanah kering berbatu-batu di bawah
naungan sebatang pohon rindang. Bila kebetulan mereka melihatnya, mereka harus
terus. Jangan berhenti. Apalagi bertingkah macam-macam. Bisa kualat!"
"Memangnya kenapa?" tanya Ramandita.
Mobil ia jalankan kembali karena lampu hijau sudah menyala.
"Tuan rumah bilang, gundukan tanah di tengah rawa itu kuburan keramat. Konon di
situ dimakamkan dahulukala, seorang abdi kepercayaan Prabu Pajajaran.Semasa
hidupnya, sang abdi ditugaskan membuka serta menundukkan roh-roh jahat penghuni
daerah rawa-rawa tersebut. Tak heran bila penduduk setempat mengeramatkannya.
Menurut cerita turun-temurun,daerah berawa itu sudah ratusan kali dilanda air
bah.Setiap kali air surut, ada saja pohon besar yang tumbang. Banyak batu-batu
raksasa sudah berpindah tempat. Tetapi gundukan tanah itu tetap utuh.Batu-batunya
tak terusik. Dan pohon yang menaunginya tetap kokoh, malah makin rindang...."
"Hem. Ide yang menarik buat dijadikan bahan cerita misteri!" cetus Ramandita,
berimajinasi.
Harianto tersenyum.
"Asal honornya dibagi dua. Aku yang memberi ide, ingat-ingatlah itu!"
Ramandita bersungut,
"Masih di angan-angan sudah minta bagian!"
Lantas tertawa berderai.Puas tertawa, Harianto melanjutkan.
"Nah. Kembali kesepupuku tadi. Atas kehendak Tuhan, mereka memang melihat
kuburan keramat yang tiap tahun diberi sesajen, dipuja dan dipuji oleh penduduk

-- Halaman 48 Kolektor E-Book --


setempat itu.Maklum sudah letih, mana dipanggang matahari terikpula. Sepupuku
memaksa berhenti. Istirahat diketeduhan pohon rindang yang menaungi
kuburan.Teman-temannya semua menolak. Lantas cepat-cepat menyingkir. Segan.
Melihat kelakuan mereka, sifat urakan sepupuku kambuh, ia nekat naik ke atas kuburan
dimaksud. Berdiri di atasnya, celana dibuka.Lalu kencing..."
"Hebat!"
Ramandita berucap.
"Hebat apanya. Teman-teman sepupuku malah pada ketakutan. Dari jauh mereka
perhatikan bagaimana sepupuku itu habis kencing, menyandar di batang pohon. Rileks.
Bekalnya dibuka. Ia makan tenang-tenang sambil mengejek teman-temannya yang ia
sebut pengecut, percaya takhayul, tak punya nyali. Puas makan, ia rebahan sejenak.
Bersenandung gembira.Teman-temannya dibiarkan menunggu. Dengan waswas..."
"Lalu, kuburan keramat itu bergetar..."
Ramandita senyum-senyum dikulum.Harianto tak bergairah tersenyum.
"Tidak seperti imajinasimu, tak terjadi apa-apa. Tak sabar menunggu,teman-teman
sepupuku berteriak-teriak kesal. Terpaksa juga sepupuku turun dari kuburan tadi.
Bergabung lagi dengan teman-temannya, sambil tak lupa mencemooh mereka.
Perburuan diteruskan. Dan tahukah kau apa yang terjadi?"
"Apa?" dengus Ramandita, datar-datar saja.
"Hampir setiap sasaran yang dibidik sepupuku, kena.Teman-temannya pada sial
semua. Sorenya mereka pulang ke penginapan. Membawa 12 ekor burung hasil buruan.
Delapan di antaranya, dihasilkan oleh tembakan bedil sepupuku...."
"Terbukti, bukan?"
Ramandita menyeringai.
"Bukannya kualat, sepupumu malah ketiban rezeki nomplok. Disitulah nikmatnya
orang yang tidak percaya takhayul!"ia menambahkan dengan bangga.
Harianto mengeluh.

-- Halaman 49 Kolektor E-Book --


"Nikmat apaan? Bila kenikmatan itu disusul azab sengsara yang mengerikan..."
"Oh ya?"
Ramandita masih belum terpengaruh.

"Ya.Itulah yang terjadi. Pulang ke Jakarta, sepupuku mendadak tak bisa kencing!"
"Pasti dijangkiti penyakit kencing batu!"
"Mulanya sepupuku juga berpendapat demikian. Lalu ia memakan macam-macam
obat penyembuh. Sia-sia belaka. Tetap saja tak mampu kencing, betapapun keinginan
sudah sangat mendesak, makin lama makin terasa menyakitkan. Bila dipaksakan yang
keluar cuma darah, darah, dan darah. Kadang-kadang, juga nanah.Dua kali aku ikut
mendampingi sepupuku berkonsultasi ke dua orang dokter spesialis. Sepupuku diperiksa
dan diperiksa. Dirontgen bagian demi bagian. Sempat pula diopname berhari-hari.
Hasilnya, negatif. Dokter-dokter ahli itu cuma menggelengkan kepala.
Menyerah.Mereka bilang, tak ada kencing batu, walau gejalanya sekalipun. Ginjalnya
bekerja sempurna. Hasil pengamatan luar maupun pemeriksaan laboratorium
menunjukkan sepupuku sehat wal afiat. Tak kurang suatu apa...."
"Kok aneh!"
Ramandita mulai berminat.
"Itulah yang jadi bahan pemikiran keluarga kami.Adapun sepupuku itu, boleh dikata
sudah tak mampu lagi berpikir. Kasihan dia. Sudah tak bisa kencing;.."
Harianto menggelengkan kepala, wajahnya penuh iba,
"...masih juga ia diteror hantu si penghuni kubur Hantu berseragam hulubalang
raja-raja tempo dulu. Sepupuku disiksa. Dibuat tak berani tidur...."
"Ah...!"
"Benar. Hampir setiap kali sepupuku mulai terlena,hantu itu menurut dia, muncul
dan muncul lagi. Setiapkali muncul, si hantu dengan buasnya meremas-remas kemaluan
sepupuku. Tentu saja sepupuku melolong-lolong seperti orang sekarat, lalu

-- Halaman 50 Kolektor E-Book --


pingsan.Dan dari kemaluannya keluarlah darah. Atau nanah...."
"Mengerikan!"
"Dan ikut menyiksa anggota keluarga lain," gumam Harianto, manggut-manggut.
"Keluarga kemudian berkumpul. Berembuk. Orang-orang yang konon banyak tahu,
ditanya. Kenalan-kenalan ikut memberi saran dan petunjuk. Aku kemudian dapat tugas
membawa sepupuku yang sudah kurus kering dimakan azab sengsara itu pergi menemui
seorang dukun terkenal di Cisolok, Sukabumi. Di sana, sepupuku ditanya dan ditanya,
disuruh bercerita sejelas-jelasnya.Dukun kemudian bersemedi di kamar tertutup. Habis
semedi, wajahnya kelihatan cerah. Hari itu juga kami diajak pergi berziarah ke
Pameungpeuk."
"Dan?"
"Dan tiba di Pameungpeuk perjalanan diteruskan kekuburan di daerah berawa itu.
Seorang tua renta,warga desa tempat sepupuku pernah menginap, ikut mendampingi.
Sesajen dipersembahkan. Dukun dan siorang tua, entah membaca mantra entah doa,
tak jelas.Yang pasti, saudaraku itu diharuskan meminta maaf pada penghuni kubur.
Disuruh berjanji akan mengubah sifat sembrononya yang sering sekali
keterlaluan.Setelah itu si orang tua dengan hati-hati menggali tanah di bawah pohon.
Dari lubang galian ia jemput beberapa ekor ulat yang harus ditelan sepupuku saat itu
juga...."
"Pastilah ia menolak!"
"Oh, saudara sepupuku sudah begitu putus asanya.Disuruh makan racun pun ia sudi
asal penderitaannya berakhir. Jadi, tak ayal lagi, ulat-ulat itu langsung saja dilahapnya
bagai orang kelaparan!"
"Terus?"
"Selesai melaksanakan upacara ritual itu, kami kembali lagi ke desa. Karena sudah
malam, si orang tua mempersilakan kami menginap di rumahnya.Sepupuku diberi
minum segelas air putih. Lalu disuruh tidur di kamar. Tengah malam, seisi rumah

-- Halaman 51 Kolektor E-Book --


terlompat bangun. Sepupuku berteriak-teriak di kamarnya. Semua gempar. Semua
saling dahulu-mendahului masuk kekamar sepupuku. Aku sempat menduga, pastilah
hantu hulubalang itu telah meremas-remas kemaluannya lagi!"
"Ayo. Teruskan lagi!" desak Ramandita karena selama beberapa saat Harianto
berdiam diri. Sekujur tubuh sahabatnya itu tampak tegang, seperti juga wajahnya yang
berkeringat.Harianto menghela napas panjang. Melanjutkan,
"Dikamarnya, kami melihat sepupuku melompat-lompat histeris di tempat tidur. Ia
berteriak-teriak kacau-balau,kadang-kadang diseling tertawa
berkepanjangan.Merinding bulu pundakku ia buat. Apalagi, tiba-tiba sepupuku jatuh
terduduk. Berhenti diam. Lalu mulutnya tampak tersenyum-senyum."
"Wah...!"
"Itulah. Wah, pikirku. Sudah tiba saatnya sepupuku itu kupindahkan ke rumah sakit
jiwa. Aku yakin ia sudah tak tahan lagi menderita, lantas berubah tak waras.Aku
hampir menangis saking sedih dan kasihan, ketika sepupuku mengawasi kami satu per
satu sambil senyum-senyum itu. Lalu terdengar ia berbisik malu-malu. Maaf, katanya,
aku kencing di tempat tidur...!"
"Astaga!" hampir saja meledak tawa Ramandita.
"Lalu tahukah kau apa yang kami lihat? Kami perhatikan, benar saja celana
sepupuku basah kuyup.Kasur yang didudukinya lebih kuyup lagi. Kami sidik-sidik, tak
ada terlihat noda-noda darah. Tidak juga nanah. Yang ada cuma bau pesing. Sepupuku
benar-benar habis kencing. Dan tentunya banyak sekali... kami semua pun
mengendus-endus. Mencium bau tak sedap kencingnya itu dengan nikmat, seakan
hidung kami menyedot bau wewangian yang harum semerbak...!"
"Tokcer begitu?"
Ramandita bergumam tak percaya.Harianto menyeringai.
"Tokcer luar-dalam!" katanya,mengiyakan.
"Pulang ke Jakarta, saudara sepupuku itu bukan saja berangsur-angsur sembuh

-- Halaman 52 Kolektor E-Book --


fisiknya,melainkan juga jiwanya. Ia benar-benar tobat. Sangat tobat malah. Dari
seorang anak yang tadinya amat sering memusingkan dan membuat malu
orangtua,lambat laun ia berubah jadi anak paling saleh. Tahun kemarin sepupuku itu
berangkat ke Mekah. Pulang naik haji ia bekerja sebagai guru di sebuah madrasah."
"Bukan main!" desah Ramandita. Takjub bahkan kagum.Di lampu merah lainnya,
mereka berhenti menunggu sambil pikiran masing-masing menerawang. Ketika lampu
hijau menyala, dan mobil melaju lagi, Hariantolah yang pertama-tama buka mulut. Dan
apa yang terlontar dari mulutnya mau tidak mau membuat Ramandita terkejut.Harianto
berkata,
"Bersediakah kau kuajak ke Sukabumi?"
Ramandita tersentak. Lalu bertanya tercengang,
"Berobat ke dukun masyhurmu itu?"
"Ya."
Ramandita tertawa.
"Aku tidak sakit, Bung. Jangan menghina ah!"
"Tetapi bertanya tidak salah, bukan?"
"Kau benar sekali!"
Ramandita manggut-manggut setuju.
"Bertanya. Itulah yang harus kulakukan!"
"Kapan?" desah Harianto gembira.
"Sekarang juga!"
Ganti Harianto yang terkejut.
"Tetapi..."
"Tenanglah. Aku tidak bermaksud mengajakmu, ke Sukabumi. Melainkan menemui si
Parlan!"
Harianto tak berselera lagi untuk memberi komentar.
Memang percuma.

-- Halaman 53 Kolektor E-Book --


***

Parlan, teman Ramandita bermain kartu di percetakan, sewaktu ditemui di rumahnya


memang mengakui sempat mendengar tanya jawab antara Ramandita dan Harianto
malam tadi. Namun jangankan mengerti, ingin tahu apa yang dipermasalahkan kedua
teman itu pun, tidak.
"...Apa yang memenuhi pikiranku adalah, bahwa aku terus kalah. Ketika permainan
selesai tak lama setelah kau pulang, Rama, total uangku terkuras sebanyak lebih dari
seratus ribu rupiah!" keluhnya, masih dilanda kekecewaan.
"Kalau tak salah, setengah dari jumlah itu kau yang memenangkannya, Rama!"
Parlan menambahkan.Aditya, yang setelah berkeliling mencari akhirnya mereka
temukan sedang makan siang di sebuah kantin kantor balai kota, mengatakan ia juga
kalah, tetapi setelah Ramandita pulang pelan-pelan ia berhasil menarik kembali
uangnya yang lepas.
"Dipikir-pikir, impaslah!" ujarnya, tertawa.
"Tetapi apasih yang kalian ributkan sebenarnya?"
Harianto menjawab bijaksana,
"Ah, cuma lagi kehabisan bahan obrolan saja. Sambil makan siang. Kau yang bayar
ya?"
Ramandita akhirnya yang membayar makan siang mereka bertiga.Setelah itu, mereka
berpisah. Aditya akan meliput berita di kantor wali kota. Harianto memaksa pulang
kerumah. Khawatir si Anna menganggap dirinya sudah menjadi janda, sungut Harianto
sambil menambahkan,
"Jangan lupa cerita pendekmu berjudul Gadis Suruhan itu!"

-- Halaman 54 Kolektor E-Book --


Ramandita mengalah. Dua teman lainnya tak perlu ditanyai. Karena Ramandita tahu
betul, kedua-duanya sudah berumah tangga, sayang anak istri, dan haram mengajak
bersentuhan dengan pelacur. Adapun Ansar yang tidur mendengkur di depan televisi,
jelas tak tahu apa-apa.
"Ia baru bangun setelah koran itu selesai dicetak. Kami pun pulangnya sama-sama,"
Harianto menguatkan alibi si penidur.Dalam perjalanan pulang, Harianto yang
tampak tegar berbisik menyimpulkan,
"Tak pelak lagi. Si Nona pasti hantu adanya!"
Ramandita membantah.
"Mana ada hantu yang dapat ditiduri manusia. Memekik, lagi, saat selaput
perawannya pecah!"
Ramandita mendengus kasar.
"Dan dari apa yang kuketahui, baik menurut kepercayaan di dunia Timur maupun di
dunia Barat,tak ada hantu yang tenang-tenang saja tatkala tubuhnya dijilati sinar
matahari. Sinar matahari akan membuat mereka menjerit tersiksa, atau musnah sama
sekali. Itulah yang tercantum dalam undang-undang tak tertulis mengenai roh-roh dari
alam gaib!"
Ramandita mengakhiri seraya tersenyum ironis.Setelah mengembalikan sahabatnya
ke pangkuan sang istri yang tampak sangat khawatir, Ramandita meneruskan
perjalanan pulang ke rumahnya sendiri.Tanpa orang lain di dekatnya, ia dapat
berkonsentrasi.Sebungkus rokok sudah ia habiskan, ketika ia sampai pada satu
kesimpulan akhir, ia telah mengalami ilusi luar biasa. Karena pengaruh kabut. Karena
omong kosongnya dengan Harianto di kantor. Atau juga karena ia begitu gila
memikirkan Magdalena. Semua itu membuat jiwa raganya teramat letih setiba ia di
rumah pagi-pagi tadi.Barangkali ia sempat terlelap.Lalu dalam tidurnya yang resah,
bayangan kabut tebal dan kerinduan yang sangat pada Magdalena menggugah alam
bawah sadarnya untuk menikmati kehangatan tubuh seorang perempuan. Lantas dari

-- Halaman 55 Kolektor E-Book --


alam bawah sadar itu, muncullah Si Nona.
Tunggu, tunggu dulu!
Bukankah tadi pagi ia baru turun dari mobil?
Ia belum sempat masuk ke dalam rumah, ketika ia melihat gadis itu.
Tidak, ia tidak sempat tidur.
Apa yang terjadi adalah, novelnya sudah tamat, namun karena situasi dan kondisi
yang membantu, maka imajinasinya pun terus berkembang. Semakin berkembang
imajinasi itu terasa semakin nyata. Bukan lagi sekadar khayalan.
Tetapi...

***

TUJUH

Ramandita menggeliat bangun.


Astaga, ia tertidur lagi.
Di sofa.
Asbak tampak penuh.
Bau asap rokok di ruang duduk itu terasa menyesak pernapasan. Ramandita
menurunkan kaki ke lantai.Terbentur olehnya botol bir yang sudah kosong, diantara
surat kabar yang berserakan. Tentulah ia sudah membaca-baca sebelum tertidur. Di
atas meja tegak botol bir lainnya. Masih ada sedikit bir tersisa.Sisa bir ditenggak.
Sambil bertanya-tanya, apa yang telah membangunkan dia dari tidur.
Lalu terdengar suara-suara.
Benar.
Suara-suara itulah yang telah mengusik tidurnya. Gedoran-gedoran keras di pintu
depan. Serta suara seseorang, sayup-sayup. Memanggil namanya.Malas dan

-- Halaman 56 Kolektor E-Book --


mengantuk, Ramandita pergi membuka pintu. Setelah mengenali siapa yang berdiri di
bawah siraman lampu beranda depan, Ramandita pun mengeluh,
"Istrimu masih hidup bukan, Yanto?"
"Pertanyaan apa itu?" dengus Harianto tak sabar seraya menerobos masuk ke
dalam.
"Dan apa yang membuatmu berpikir bahwa istriku sudah mati?"
"Cuma ingin tahu saja..." jawab Ramandita.
Masih mengantuk terenyak di kursi, ia kemudian melantur
"Soalnya aku barusan mimpi buruk. Dalam mimpiku aku lihat diriku menggedor
rumahmu seperti sekarang kau menggedor rumahku. Kita lantas mempercakapkan
sesuatu yang membuat istrimu ketakutan. Kemudian kulihat kita berkeliaran ke
mana-mana. Bicara macam-macam. Aku juga melihat si Parlan. Dan Aditya. Semuanya
begitu jelas. Seperti bukan sekadar mimpi..."
Harianto mengerutkan dahi. Lantas sambil mengendus-endus bau pengap dari arah
ruang duduk,ia nyeletuk,
"Dan aku meminta kau menuliskan sebuah cerita pendek?"
"Lho. Bagaimana kau tahu sebagian isi mimpiku?"
Ramandita tercengang.
"Sudah berapa lama kau tertidur, menurutmu?"
Harianto balas bertanya.
"Entah. Tiga jam. Tujuh jam. Atau dua puluh empatjam lebih. Dan kepalaku rasanya
sakit sekali!"
"Jadi, kau belum membuatnya, ya?"
"Membuat apa?"
"Cerita pendek itu!"
"Yang mana?"
"Gadis Suruhan."

-- Halaman 57 Kolektor E-Book --


Ramandita seketika tertawa. Katanya,
"Agaknya kita punya mimpi yang sama, Kawan!"
"Salah!" dengus Harianto tak sabar.
"Kau tidak bermimpi. Memang kau telah membuat istriku panik.Kau menyeretku dari
rumah. Menuduhku macam-macam, lalu memaksaku ikut menemanimu mencari Parlan
dan Aditya. Itulah yang telah kita lakukan hampir sepanjang hari tadi...."
"Tetapi..."
"Bangunlah dari tidurmu, anak tolol!" bentak Harianto kesal.
"Tidak tahukah kau betapa paniknya aku malam ini, he? Setelah kita berpisah tadi
siang, kau tak muncul-muncul di kantor. Tak pula memasukkan berita. Teleponmu tak
menyahut pula. Menunggak, ya? Diblokir, ya?"
"Masa!"
Ramandita mendengus. Berjalan ke meja telepon. Setelah memeriksa sebentar, ia
menyeringai.
"Aku seorang pelanggan yang setia dan membayar tagihan tepat waktu. Tetapi lalai
menyambungkan kabel...!"
Seraya berpikir-pikir mengapa kabel telepon tercabut, ia menyambungkannya
kembali.
"Ada apa sebenarnya?" tambahnya acuh tak acuh.
Harianto tidak segera menjawab. Ia awasi wajah sahabatnya yang sibuk sendiri
menyambungkan kabel.Baru setelahnya,
"Ada pembunuhan!" ia berujar pendek.
"Yang terbunuh?"
Ramandita masih tak acuh.
"Seorang penjaga malam..."
"Perampokan ya?"
"Bukan."

-- Halaman 58 Kolektor E-Book --


Ramandita menyelesaikan pekerjaannya. Telepon diangkat. Terdengar bunyi
dengung panjang. Monoton.Teleponnya sudah normal kembali.
"Aku jadi ingin minum," katanya.
Harianto yang sudah melihat botol-botol bir di ruang duduk yang berantakan itu,
mendengus tak sabar,
"Kalau mau mabuk, nanti sajalah. Sekarang ikutlah denganku!"
"Hei!"
Ramandita membelalak.
"Kau tadi tidak bilang kita akan pergi..."
"Barusan kukatakan!"
"Ke?"
"Mau ikut tidak?"
Harianto melotot marah.Ramandita angkat bahu. Katanya,
"Demi menggendutkan perut majikan, apa boleh buat.Tunggulah sebentar. Aku cuci
muka dulu."
Ramandita juga tidak lupa mengambil tasnya yang berisi
perlengkapan-perlengkapan memotret, alat perekam,alat tulis menulis seperlunya.
Mobilnya kemudian disimpan di garasi. Pintu-pintu dikunci, lalu naik kemobil Harianto
yang sudah menunggu.
"Ceritakanlah lebih jelas, Bung!" rungutnya.
Dengan bantuan lampu dalam mobil, ia memastikan bahwa film di tustel masih
cukup, baterai blitz masih kuat, serta hal-hal sepele lainnya yang tak boleh diabaikan
bila ingin dalam keadaan siap tempur.Duduk tegang di belakang kemudi, Harianto
menerangkan,
"Sumber kita di kepolisian tadi menelepon ke kantor. Pembicaraan singkat
saja.Pokoknya, mereka menemukan kerangka...."
"Kerangka?"

-- Halaman 59 Kolektor E-Book --


"Ya. Kerangka manusia. Katanya belum dapat dipastikan apakah itu benar si
penjaga malam atau bukan. Tetapi dari gambaran yang sekilas ia terangkan aku
mencium berita besar. Si Alex sudah kusuruh pergi lebih dulu ke lokasi kejadian..."
Ramandita bergumam masam,
"Kalau begitu, aku pulang saja. Tidur lagi. Toh sudah ada Alex!"
"Peduli setan dengan Alex! Ia tetap harus membuat beritanya. Dan kita tetap akan
memuatnya. Plus,beritamu sendiri!"
"Aku harus toleran pada Alex, Yanto. Kau tahu itu"
"Aku tahu. Tetapi aku juga tahu yang lain. Setelah Alex pergi, mendadak aku teringat
sesuatu. Maka itu aku datang ke tempatmu. Dan sempat dibuat panik. Habis,sudah
teleponmu bungkam, batang hidungmu pun taktampak. Tiba di rumahmu, kulihat
mobilmu dipekarangan. Garasi tertutup. Pintu maupun jendela semua terkunci. Aku bel,
tak menyahut. Kugedor-gedor,masih tak menyahut. Aku sudah mulai tahu ketika pintu
akhirnya terbuka juga..."
"Apa yang membuatmu begitu ketakutan?"
"Kerangka itu."
Ramandita tertawa.
"Lalu, kawanku yang penakut, apa yang harus kulakukan dengan kerangka yang
sedang kita kejar?"
"Biarkan polisi yang mengurusnya, Rama. Tugasmu adalah melihat peristiwa
pembunuhan itu dari sudut pandangmu sendiri. Kalau kau bersedia, tulislah analisismu
untuk..."
"Aku? Tak bersedia."
"Itulah yang kuragukan!"
"Hem. Toh kau gedor juga pintuku. Kau buat gempar tetangga sekitarku..."
"Demi sahabat baik, apa boleh buat!"
"Demi sahabat baik. Apa pula ini, Yanto?"

-- Halaman 60 Kolektor E-Book --


"Nantilah setelah kita yakinkan keadaannya," jawab Harianto, misterius.
Dan tak mau lagi membuka mulut setelah itu. Sampai akhirnya mereka lihat di
kejauhan cahaya lampu kelap-kelip berwarna merah semerah darah. Juga kerumunan
manusia. Serta polisi-polisi bersenjata yang sedang sibuk atau sedang
berjaga-jaga.Salah seorang polisi penjaga mulanya melarang Harianto dan Ramandita
datang mendekat. Belum sempat mereka menjelaskan identitas masing-masing,perwira
polisi yang hadir di tempat itu sudah keburu melihat. Ia memanggil nama dan melambai
ke arah Ramandita supaya bergabung dengannya.Si petugas jaga menepi. Memberi
jalan. Lalu membentak kerumunan penonton yang berdesak mendekat Peristiwa itu
terjadi di belakang sebuah gedung sekolah dasar. Tak ada lampu-lampu penerangan di
situ. Kecuali lampu-lampu baterai polisi,sebuah petromak, dan ketika Ramandita
mendekat,baru saja dipasangkan lampu listrik yang arusnya diambil dari rumah salah
seorang penduduk setempat.Dan di gang sebelah dalam sekolahan itu, tak jauh dari
kamar mandi, tergeletak setumpuk kerangka manusia.Yang membuat suasananya
menjadi lebih seram adalah, kerangka itu berpakaian seragam Hansip,lengkap dengan
label nama, dan bersepatu. Pakaian atas terbuka lebar. Celana juga setengah terbuka
dan seperti ditarik ke bawah sampai sebatas lutut.Sewaktu Ramandita sibuk memotret,
ia dengar dokter kepolisian yang sudah ia kenal baik, berkata pada perwira polisi tadi,
"...Masih tercium anyirnya darah.Dan masih tersisa serpihan-serpihan daging segar
ditulang-belulangnya!"
"Jadi?" perwira polisi itu berbisik tegang.
"Aku bertaruh sebulan gaji," jawab Dokter.
"Orang ini jelas baru saja mati. Tetapi, ya Allah. Kematian macam apakah ini? Dan
makhluk apa pula yang sanggup membunuhnya sedemikian rupa? Sehingga dalam
tempo sekejap yang tersisa hanya tulang-tulang saja?"
Ramandita bertanya ke sana bertanya ke sini, baru berhenti setelah Harianto yang
tampak pucat pasi dan seperti mau muntah, menariknya dengan tangan gemetar.

-- Halaman 61 Kolektor E-Book --


"Biarkan si Alex mengumpulkan data.Keterangan lain dapat kau peroleh mulai
besok. Ayo kita ke kantor sekarang. Banyak pekerjaan yang tertunda..." bisik Harianto
dengan napas tersengal-sengal, sambil menyeret Ramandita setengah memaksa kembali
ke mobil mereka.Mereka berdua tak berbicara sepatah pun sampai mereka tiba di
kantor dalam gedung percetakan yang hiruk pikuk itu. Tegur sapa rekan-rekan lain tak
disahuti Harianto. Berita atau artikel yang disodorkan ke mejanya pun ia lewatkan
tanpa komentar.Selebihnya ia hanya duduk, tegang, diam mematung,dengan wajah
yang tak kalah menyeramkan dibanding korban pembunuhan tadi.Melihat Ramandita
menyulut rokok lalu mengisapnya dengan tenang, Harianto bangkit lagi
semangatnya.Semangat untuk marah,
"Bangsat! Masih bisa santai kau!"
Semua yang hadir di ruangan kantor itu sama-sama menoleh.
Terperanjat.
Ramandita saja yang tetap kalem. Bergumam, kalem pula,
"Lantas? Aku harus berbuat apa?"
Sadar mereka berdua jadi pusat perhatian, Harianto menahan diri. Suaranya
direndahkan agar hanya bisa didengar Ramandita seorang.
"Lupa ya? Atau pura-pura lupa? Cara kematian mengerikan itulah yang kau tulis
dalam novelmu! Persis sama dengan korban kekejaman Larasati...!"
Saat itulah sekujur tubuh Ramandita terasa dingin.
Membeku.

***

DELAPAN

Besok paginya, berita yang termuat di hampir semua surat kabar isinya tak jauh

-- Halaman 62 Kolektor E-Book --


berbeda. Telah ditemukan kerangka utuh laki-laki di sebuah gedung sekolah
dasar.Asal-usulnya belum diketahui. Diduga kuat kerangka itu dicuri dari suatu tempat
yang masih diselidiki polisi.
Motif belum jelas.
Kemungkinan besar untuk diperjualbelikan secara tidak sah. Kepergok ronda malam,
sipencuri bersembunyi di gedung sekolah dasar dimaksud, kemudian melarikan diri
dengan meninggalkan barang curiannya. Menurut polisi, jejak si pencuri sudah
diketahui dan kini sedang ditelusuri.Ramandita meletakkan surat kabar terakhir yang
dibacanya. Di situ tertulis sinyalemen tambahan,
"Sumber kami mensinyalir, di balik kasus ini terlibat seseorang penganut ilmu
hitam...."
"Kenapa semua orang selalu berpikir tentang takhayul?" keluh Ramandita dalam
hati, seraya bangkit dari kursinya.
Gontai, ia berjalan ke jendela.
Memandang keluar,tanpa tahu apa sebenarnya yang sedang ia cari. Jalanan di
bawah sana tampak lengang-lengang saja. Gedung bertingkat yang dijadikan kantor
pusat surat kabar tempatnya bekerja, memang berlokasi di kawasan tenang dan adem.
Di latar depan terlihat bagian belakang gedung-gedung bertingkat lainnya; tempat
perkantoran atau hotel yang satu sama lain saling tinggi-meninggi. Di sebaliknya
barulah hiruk-pikuk-nya kota Jakarta.Untuk sesaat Ramandita mendambakan suasana
sibuk dan hingar bingar yang menjadi ciri khas kota metropolitan itu. Bergabung
dengan manusia-manusia lainnya yang terus bergerak dan bergerak tanpa henti,sibuk
dan sibuk terus tanpa mengenal lelah. Seolah takut dunia keburu kiamat, sementara
anak istri dirumah belum sempat diberi makan.Ramandita tidak peduli kapan kiamat
akan tiba. Ia ingin menyatu dengan suasana riuh rendah itu karena di sana ia hanya
berpikir tentang apa yang terlihat dan apa yang harus dikerjakan. Bukan seperti di
tempatnya sekarang ini berdiri. Benar, di sekitarnya masih terdengar suara ributnya

-- Halaman 63 Kolektor E-Book --


mesin-mesin tik, deringan telepon, detak-detak sepatu hilir mudik, suara
bercakap-cakap diseling seloroh untuk mengurangi kejenuhan karena harus
mengerjakan yang boleh dibilang sama setiap harinya.Akan tetapi semua itu berjalan
terlalu tenang.
Monoton.
Dengan ritme yang hampir tak pernah berubah. Tidak ada tantangan sedikit pun.
Kecuali bila kau mendadak dipanggil bos yang marah-marah karena sirkulasi oplah
menurun, volume iklan berkurang, kuota berita tertinggal jauh dari media lain. Dengan
akhir yang sama, kembali ke pekerjaan yang itu-itu juga. Sampai kau tiba-tiba sadar,
bahwa kau sudah terlalu tua untuk memulai yang lain!
Ramandita berpaling sewaktu telinganya menangkap suara umpatan kasar,
"Yahudi terkutuk itu, uh!"
Ia lihat Alex baru saja duduk di kursi sambil meletakkan sebuah map tertutup di atas
meja kerja Ramandita. Masih berbicara pada dirinya sendiri, Alex meneruskan,
"Makin banyak saja alasannya. Bikin kepala tambah mumet!"
Ramandita duduk santai di kursinya.
"Hei. Siapa pula yang telah membakar janggutmu, Alex?"
"Siapa lagi kalau bukan si kikir jahanam itu!" dengus Alex sambil menyambar dan
melahap kue yang ada dimeja, jatah Ramandita.
"Coba saja pikir. Rama. Yang mau kupinjam tak seberapa. Cukup buat beli
bensin.Eh, dia bilang kas lagi kosong. Padahal sempat kuintip,di laci kasnya yang
setengah terbuka kulihat uang bertumpuk-tumpuk!"
"Bonmu ditolak lagi, ya?" gumam Ramandita,tersenyum.
"Kalau ditolak doang sih, tak apa. Ini, masih beri nasihat macam-macam.
Berhematlah! Bergiatlah! Enak saja dia ngomong. Mana bisa berhemat kalau yang
akan dihemat pun tak punya. Mana bisa bergiat, kalau uang saku pun tak ada. Yahudi
haram jadah itu!"

-- Halaman 64 Kolektor E-Book --


Alex terus saja mengomel panjang-pendek,
"Kau punya, Alex," desah Ramandira, menyabarkan.
"Hanya saja, salah menggunakannya..."
"Uh, ikut-ikutan pula kau, Rama!"
Alex tambah berang.Ramandita menyeringai lebar.
"Kau sih. Buat apa kaupunya pacar sampai empat lima orang, sementara dengan
mengawini salah satu dari mereka sudah lebih dari cukup?"
"Aku masih ingin bebas."
"Betul. Tetapi kebebasan yang harus kau bayar mahal.Aku dengar-dengar
belakangan ini gajimu setiap bulan impas dengan gundukan bon yang kau tanda
tangani..."
"Tetapi kan tidak sampai defisit?"
Alex membela diri.
"Memang tidak. Aku cuma mengingatkan. Buat apa kau capek-capek banting tulang,
kalau setiap akhir bulan kau tak mendapatkan apa-apa kecuali baju selembar yang
melekat di badan?"
"Aku masih muda. Masih banyak waktu..."
Alex berdalih. Namun sempat merenung.
"Tetapi sampai kapan? Kau toh tahu sendiri, Alex.Waktu terus berjalan. Tanpa
kompromi. Kita akan diinjak-injak apabila kita belum juga berusaha menguasai serta
mengatur waktu yang masih tersisa.Segeralah kawin, Kawan!"
"Lantas jadi duda seperti kau?"
Alex balas menyeringai.
"Wah..."
Ramandita menggelengkan kepala.
"Payah kalau sudah ngomong dengan orang yang seguru seilmu..."
Alex tertawa. Ramandita mau tidak mau ikut tertawa.Dijangkaunya map yang

-- Halaman 65 Kolektor E-Book --


diletakkan Alex tadi.Membuka lalu menyimak isinya. Lembar demi lembar.
"Semua data terkumpul di sini?"
"Ya."
"Tak ada yang terlewat?"
"Tidak. Kecuali bahwa aku tak percaya sepenuhnya pada mereka. Ada sesuatu yang
mereka sembunyikan..."
"Biarlah kubaca dulu laporanmu. Setelah itu baru kita bongkar apa yang mereka
tutup di bawah batu!"
"Oke...."
Alex bangkit.
"Oh ya. Ada pesan dari Pak Tarigan. Katanya ingin bertemu denganmu. Pribadi."
"Kok tidak ia katakan sendiri padaku, ya..." gumam Ramandita melamun, sambil
membayangkan perwira polisi yang tadi malam bertemu dengannya di lokasi gedung
sekolah dasar tempat terbujur kerangka manusia berseragam Hansip.
Ah.
Tentu saja.
Ajun Komisaris Polisi itu sedemikian sibuk dan tegang. Yang memenuhi pikiran
beliau hanyalah, pembunuhan macam apa yang sedang ia hadapi. Dan bagaimana
supaya masyarakat luas tidak dibuat gempar. Lalu sibuklah perwira polisi itu
menggamit setiap wartawan yang muncul di lokasi. Sampai berbusa mulutnya
mengucapkan kalimat-kalimat yang sama dengan wajah keren,
"Tolonglah tidak menulis macam-macam.Tulislah apa yang saya katakan ini..."
Hubungan baik tidak boleh dirusak. Juga kode etik,hindari berita yang dapat
menyebabkan masyarakat gelisah dan ketakutan. Maka, apa-apa yang dikatakan
Robinson Tarigan, itulah pula yang ditulis di surat kabar terbitan hari ini.
"Potret kerangka yang diduga hasil curian itu pun diimbau supaya tidak dimuat.
Tunggu sampai ada lampu hijau dari kami" pesan Ajun Komisaris tegas.

-- Halaman 66 Kolektor E-Book --


Dan hukum orang Timur pun berlakulah, saling hormat-menghormati. Urusan
kebenaran yang hakiki hanya ada di dalam saku orang Barat sana!
Paling tidak apa yang sempat diutarakan Harianto dinihari tadi di percetakan ada
benarnya,
"Berdoa saja agar rekan-rekan kita tidak mengkhianati Pak Tarigan. Bila saja ada
yang memberitakan apa yang dianalisis dokter itu, aku yakin pembaca yang rajin
mengikuti cerita bersambungmu akan berpikir-pikir. Selanjutnya, dapat kau bayangkan
sendiri, Rama!"
Sampai detik ini, Ramandita belum tergoyahkan, ia masih tetap pada pendiriannya.
Bahwa ada sesuatu yang salah. Ia harus tahu di mana letak kesalahan itu.Dan
bagaimana cara memperbaiknya. Tanpa ia ikut tenggelam di dunia takhayul. Dunia
yang buat Ramandita hanya mungkin ada dalam imajinasi saja....
Ia tekuni laporan Alex. Dengan harapan isi laporan itu akan membuktikan kebenaran
prinsipnya. Laporan Alex memang sangat menarik. Bila saja boleh diberitakan, pastilah
akan dilahap pembaca dengan bernafsu, untuk kemudian dijadikan bahan
pergunjing-an yang bakal tak habis-habisnya. Objeknya saja sudah cukup
mendebarkan, kerangka berseragam Hansip.Tidak seperti apa yang pagi ini ditulis di
koran.
Hanya kerangka.
Titik.
Tetapi apakah kerangka itu berpakaian atau tidak, dan bagaimanapun bagus serta
lengkapnya laporan Alex, tetap saja tidak memenuhi apa yang diharapkan
Ramandita.Laporan Alex merupakan rangkuman keterangan-keterangan yang ia
peroleh sepanjang sisa malam tadi sampai pagi hari ini. Semuanya ada 21 lembar,
diketik rapi. Tetapi Ramandita dapat meringkasnya cukup dengan satu halaman ketik
saja.Tadi malam lima orang Hansip yang dapat giliran tugas meronda di lokasi
kejadian, beristirahat di pos sekitar pukul satu dini hari. Salah seorang dari mereka

-- Halaman 67 Kolektor E-Book --


kemudian berkata mau buang hajat besar karena mendadak perutnya mulas. Orang itu
lantas berlari-lari jegal memasuki gedung sekolahan yang berdekatan dengan pos
Hansip. Salah seorang teman malah melihat dengan mata kepala sendiri, si rekan yang
perutnya mengulah itu masuk ke salah satu kakus sekolahan, ia tak lagi melihat si rekan
setelahnya, karena yang lain-lain mengajak main domino. Keadaan lingkungan
tenang-tenang saja. Aman damai seperti malam-malam sebelumnya.Satu jam lewat
ketika komandan ronda memutuskan untuk berkeliling lagi. Barulah mereka teringat
pada sirekan yang sakit perut, yang ternyata belum muncul-muncul juga. Cemas kalau
teman mereka tidak cuma mulas saja, salah seorang Hansip ditugaskan melihat apa
yang terjadi dengan rekan mereka. Pintu kakus tadi terbuka, tetapi si rekan sudah tidak
ada didalamnya. Apakah terus pulang ke rumah?
Ah, tidak biasanya. Rekan itu dikenal paling getol dan disiplin,dan selalu pamit pada
yang lain walau hanya akan membeli sebatang rokok.
"Mungkin perutnya masih sakit. Lantas ia rebahan disalah satu bangku panjang, dan
tertidur" komandan regu menyimpulkan.
Kembali lagi dilakukan pencarian, dan mereka temukanlah kerangka manusia itu.
Terbujur utuh dilantai salah satu gang yang gelap . Yang mengejutkan,kerangka itu
mengenakan pakaian tak teratur tetapi sama dengan seragam mereka. Dengan bantuan
lampu baterai, mereka pastikan bahwa seragam kerangka itu adalah seragam teman
yang menghilang tadi. Ada label namanya. Dompetnya pun utuh di saku
belakang,lengkap dengan identitas KTP maupun SIM orang yang sama. Juga sepatu di
kaki kerangka adalah sepatu teman mereka pula.Polisi dilapori, dan muncul tak lama
kemudian. Dokter polisi yang datang belakangan memastikan bahwa kerangka itu asli
bekas manusia, utuh setiap bagiannya,dan masih segar. Masih tercium anyirnya darah,
masih tersisa serpihan-serpihan daging. Kesimpulan sementara, korban telah dibunuh,
waktu pembunuhan belum lama, dan dibunuh langsung di tempat.
Tetapi kemana semua cairan tubuhnya?

-- Halaman 68 Kolektor E-Book --


Ke mana organ-organ yang semestinya ada selain tengkorak dan tulang-belulang?
Dan, apa, atau siapa pembunuhnya?
Ridwan, 35 tahun, telah berkeluarga dengan dua anak,yang pakaian seragamnya
dikenakan kerangka itu, takada lagi kabar beritanya. Tidak pulang ke rumah, dan tidak
diketahui pula ke mana perginya...
kalau ia benar-benar pergi!
Sementara, bekas manusia di lantai gang sekolahan itu belum dapat dipastikan
identitasnya, dan kini masih diperiksa satu tim dokter-dokter ahli di laboratorium
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
"Ada telepon!"
Ramandita yang tengah merenungi laporan Alex, dikejutkan suara Halida, sekretaris
redaksi.
"Dari?"
"Bung Wempi. Kalau tak salah, ia yang menerbitkan buku-bukumu, bukan?"
Hampir tak bersemangat, Ramandita mengangkat gagang telepon di mejanya setelah
lebih dulu disambungkan Halida ke telepon utama.
"Halo?"
"Aduh, Rama. Ke mana saja kau? Dua minggu sudah kau tidak menelepon!" sahut
lawan bicaranya.
"Ada apa?"
Ramandita tak bergairah.
"Mana naskah baru yang kau janjikan?"
"Ah, itu lagi. "
Novel yang bikin runyam Ramandita
"Barukuselesaikan. Dua malam yang lalu..." jawabnya takacuh.
"Dapat kami terima salah satu copy-nya hari ini?"
"Besoklah."

-- Halaman 69 Kolektor E-Book --


"Jam?"
"Akan kutelepon lebih dulu."
"Bagus. Jadi kami dapat menyiapkan honorarium untuk naskahmu yang berikutnya.
Oh ya. Bukumu yang paling akhir akan kami cetak ulang. Besok dapat kauambil
sekalian honornya...."
"Terima kasih."
Selesai bertelepon, Ramandita terenyak lagi di kursinya.
Berpikir.
Uang masih tetap mengalir.
Tetapi untuk apa?
Magdalena masih tetap sibuk dengan lelaki lain. Tak ada tanda-tanda ia akan
kembali pada Ramandita.Kalaupun Magdalena sesekali menelepon, hanya untuk
menanyakan hal yang sama, kau baik-baik saja?
Coba kalau Magdalena tetap di rumah. Tak akan ada perempuan lain.
Juga tidak Si Nona!
Apa kata Si Nona sebelum mereka berpisah pagikemarin?
"Hati-hatilah, Ramandita. Kau akan lihat akibat perbuatanmu telah ingkar janji!"
Kerangka berseragam Hansip itukah?
Ramandita merinding.
Kemudian menggeram marah,
"Tak ada hubungannya seujung rambut pun!"
Pasti begitulah halnya. Kerangka itu nyata. Si Nona sama nyatanya. Nonsens bahwa
Si Nona anaknya Larasati. Karena jelas-jelas Larasati hanyalah tokoh cerita novel.
Boleh saja sepupu Harianto merasa dirinya disiksa hantu beliau. Itu salahnya sendiri.
Siapa yang menyuruh dia mengencingi kuburan keramat. Soal sepupu Harianto terbukti
sembuh setelah minta maaf pada penghuni kubur, itu lumrah. Orang sialan itu kualat.
Tobat dari kualatnya, sembuhlah dia. Karena Tuhan telah mengampuni dosa-dosanya.

-- Halaman 70 Kolektor E-Book --


Itu saja.
Titik.
Adapun Si Nona, lain halnya.
Si Nona hanya ilusi.
Kalau bukan ilusi, Si Nona bukanlah hantu. Raganya utuh dan hangat sebagaimana
perempuan lainnya.Begitu pula desah-desah napas ketika berahinya memuncak, serta
pekik tertahannya ketika kegadisannya direnggut Ramandita. Gadis-gadis lainpun akan
bereaksi sama. Karena mereka itu manusia.
Manusia yang hidup.
Bukan hantu!
Ramandita harus mencari dan menemukan Si Nona.Harus tahu apa tujuan gadis itu
sebenarnya. Permainan apa yang sedang ia lakonkan. Dan siapa yang berdiri
dibelakangnya. Bukan mustahil, orang misterius dibelakang Si Nona sama dan sejenis
dengan orang yang dahulu merusak pernikahan Ramandita, sehingga Magdalena
minggat karena tak kuat menanggung aib.Orang-orang durjana itu kemudian berhasil
dipukul balik oleh Ramandita. Maka kini, akan ia pukul balik pula manusia-manusia
salah kaprah yang telah memperalat Si Nona. Tetapi yang pertama-tama harus
dilakukan Ramandita adalah, temukan Si Nona lebihdulu!
Benar, itu bukan pekerjaan mudah.
Perlu tempo.
Dan tentu saja, biaya. Tetapi Ramandita punya banyak tempo. Uang pun masih terus
mengalir, bukan?
Ramandita tahu pada siapa ia harus pergi. Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan.
Memang tidak ada petunjuk.
Tidak pula identitas.
Tetapi bahwa gadis itu ada, cukuplah sebagai pegangan. Ia akan memberitahu
ciri-ciri Si Nona pada ahlinya di kantor polisi, Sketsa gambaran Si Nona akan dibuat,

-- Halaman 71 Kolektor E-Book --


lalu disebarkan. Setelah itu, menunggu. Sambil memanfaatkan waktu yang ada untuk
bertanya dan memasuki setiap celah yang mungkin ada kaitannya.Dengan gembira
Ramandita bangkit dari duduknya.Semula ia akan menelepon, tetapi urung.
Langsung sajalah ke sana. Berdoa saja Pak Tarigan ada di tempat.Dan, hem...
bukankah Ajun Komisaris Polisi itu memang ingin bertemu dengannya?
Ramandita turun ke lantai bawah menuju halaman parkir. Di anak tangga terbawah,
ia menoleh ketika mendengar suara orang bertengkar berbisik. Alex sedang mengeluh
dengan suara sengaja direndahkan,rupanya malu kalau ditangkap telinga yang tidak
dikehendaki,
"Masa iya, lima puluh ribu rupiah saja kau tak punya!"
Herman, pengelola bagian iklan, mengangkat pundaknya dengan sabar.
"Buat apa aku berbohong padamu?"
"Lantas, yang di amplop tadi?"
"Bukan punyaku. Dan aku harus menyetorkannya kekasir. Tak boleh kurang walau
satu sen. Bisa-bisa gajiku dipotong, lagi...!"
Alex masih akan mendesak, tetapi keburu digamit Ramandita. Ditanyai,
"Kau butuh berapa sih?"
"Cuma lima puluh ribu..." sahut Alex, dengan mata berkilat.
Penuh harap.Ramandita membuka loketnya. Menyerahkan dua lembar lima puluhan
dan ratusan ribu. Alex menerimanya dengan dahi berkerut.
"Lho, dikasih lebih malah mengerutkan dahi. Masih kurang, ya?"
Ramandita bersungut-sungut.
"Tetapi..."
Alex bingung.Ramandita maklum. Tersenyum lebar, ia menjelaskan,
"Ini bukan utang. Tak perlu kau bayar kembali...."
"Yang benar!"
"Demi Tuhan. Laporanmu yang kubaca tadi kemungkinan besar tak dapat kita muat.

-- Halaman 72 Kolektor E-Book --


Tetapi tetap saja harus dibayar, bukan? Nah, anggaplah ini sebagai bayarannya. Oke?"

Sebelum Alex sempat berkomentar, Ramandita segera berlalu menuju mobilnya.


Menit itu juga ia sudah melupakan Alex. Karena pikirannya kembali sudah dipenuhi
apa yang patut dipikirkan. Kira-kira apa jawabannya kalau nanti Pak Tarigan
bertanya,
"Apamu gadis ini, sehingga kau begitu menginginkannya?"
Hem. Jawab saja begini,
"Kukira ia seorang penggemar,yang diam-diam jatuh cinta tetapi malu berterus
terang.Ditimbang-timbang, akhirnya aku tertarik juga. Aku bermaksud melamarnya!" .
Ramandita mengemudikan mobilnya dengan bibir tersenyum. Mengapa pula tidak?
Si Nona masih muda,cantik rupawan pula. Dan masih perawan ketika Ramandita
menidurinya. Cinta memang belum tumbuh. Tetapi nanti juga akan datang sendiri,
setelah mereka menikah. Pasti gadis itu tidak akan menolaknya. Bila ia tolak juga,
suatu ketika kelak laki-laki lain akan berteriak marah pada Si Nona,
"Kau sudah tidak perawan lagi!"
Astaga.
Jangan-jangan benar gadis itu memang salah seorang penggemar. Begitu
keranjingannya pada novel-novel yang ia baca, sehingga lama-kelamaan ia jatuh hati
pada si pengarang. Tentunya ia adalah seorang gadis yang istimewa. Karena terbukti
ia juga punya imajinasi.Mereka belum pernah kenal satu sama lain. Jadi Si Nona harus
yakin bahwa ia tidak akan bertepuk sebelah tangan.Maka ia buatlah rencana-rencana.
Sebuah surprise.
Ia tampilkan dirinya dengan gaya penampilan tokoh-tokoh misterius dalam
novel-novel Ramandita.Begitu akhirnya mereka bertemu muka, si gadis pun
melaksanakan rencananya. Bercerita macam-macam.Lalu diakhiri dengan kejutan,
bermain cinta.Barangkali, akhir yang mengejutkan itu semula tidak termasuk rencana

-- Halaman 73 Kolektor E-Book --


Si Nona. Ia hanya merencanakan permainan-permainan awal saja. Tetapi siapa
nyana,berahinya telanjur naik, tidak dapat lagi dikendalikan.Gadis itu terlambat
menyadari akibat permainan sandiwara yang telah ia lakonkan sesungguh hati.Sebagai
wanita normal, Si Nona tentu saja menjadi sangat malu karenanya. Kemudian takut ia
dianggap sebagai perempuan murahan di mata Ramandita. Lalu Si Nona pun
berpura-pura marah. Dan dengan imajinasinya yang brilian, ia ciptakan suasana yang
secara tidak langsung membuat Ramandita merasa berdosa, lalu merasa berkewajiban
untuk mempertanggungjawabkan apa yang telanjur mereka lakukan.Setelah itu tinggal
menunggu.
Dan...
Dan, apa pun yang ada dalam pikiran gadis itu,Ramandita memang telah dihinggapi
perasaan berdosa.Benar, ia tidak meminta, tidak memaksa. Gadis itu sendiri yang
menawarkan secara sukarela. Tetapi persoalannya bukanlah, paksaan atau atas dasar
suka sama suka. Melainkan, seorang gadis telah hilang kesuciannya. Itu dapat merusak
masa depan si gadis.
Dan Ramandita lah penyebabnya!
Yakin teka-teki telah terjawab, Ramandita mengemudi-kan mobilnya dengan
perasaan gembira. Tidak lagi merasa terganggu oleh kesimpulan menakutkan si
Harianto yang percaya takhayul itu. Memang, masih perlu dipertanyakan bagaimana Si
Nona sampai tahu bahwa Larasati sudah mati, Larasati sudah hamil ketika jenazahnya
dikuburkan, kemudian melalui jabang bayi roh Larasati bangkit dari kubur untuk
menuntaskan dendam yang terkandas di tengah jalan. Patut pula dipikirkan apa dan
siapa di belakang semua ini.Jawabannya akan ia peroleh nanti. Setelah ia temukan Si
Nona.
"Berjaga-jagalah, gadis cantik!" gumam Ramandita.
Lalu ia pun bersiul-siul.
Gembira.

-- Halaman 74 Kolektor E-Book --


***

SEMBILAN

AKP Tarigan tidak ada di tempat.


"Masih di ruang Kasatserse!" ujar seorang anggota Sabhara yang dijumpai
Ramandita di ruangan seksi pembunuhan.
Ia lalu menunggu sambil mengobrol dengan beberapa teman sesama wartawan. Yang
dibicarakan lagi-lagi mengenai penemuan kerangka malam harinya. Ramandita lebih
banyak mendengarkan. Hasilnya, idem dito dengan isi laporan Alex. Tak ada sesuatu
yang baru.Ketika orang yang ditunggu muncul, Ramandita memisahkan diri. Sang Ajun
Komisaris langsung menarik Ramandita ke ruang pribadinya, sambil tak lupa
menginstruksikan pada anak buahnya agar tidak diganggu sampai selesai berbicara
dengan tamunya.
"Serius amat sih?" tanya Ramandita setelah mereka duduk sambil menikmati
minuman dingin yang diantarkan oleh anak buah si Robinson.
"Aku perlu input darimu!" jawab yang ditanya, datar.
"Tentang?"
"Kerangka berseragam Hansip!"
Ramandita terbatuk. Lalu berujar hati-hati,
"Apakah tidak terlalu pagi Bapak meminta bantuan orang luar?"
"Ah. Jangan berbasa-basilah!"
Robinson cemberut.
"Kasus yang satu ini sebuah modus baru, Ramandita.Sungguh-sungguh baru.
Setahuku belum pernah terjadi. Dan belum pernah kudengar dokter ahli forensik kita itu
mengeluh seperti orang habis akal. Kau tahu apa yang ia keluhkan?"

-- Halaman 75 Kolektor E-Book --


Dan Robinson pun menirukan suara dan mimik orang yang ia bicarakan,
"Ini bukan perbuatan manusia. Ini perbuatan setan!"
Tanpa disadarinya, Ramandita tersentak. Ia cicipi minumannya sambil berpikir,
apakah sudah tiba waktunya ia percaya pada omongan Harianto yang menggelikan itu?

Tidak.
Jangan dulu!
"Bagaimana dengan autopsi?" tanyanya, dengan mulut terasa kering.
"Masih belum selesai. Tetapi tadi aku telah menghubungi laboratorium. Kata
mereka, jelas sudah kerangka itu masih baru sekali. Mereka temukan beberapa tetes
darah. Memang sudah kering, tapi sudah dapat dipastikan bahwa korban meninggal
sekitar tengah malam tadi...!"
Robinson bersandar di kursinya dengan wajah muram. Lanjutnya,
"Kau lihat, bukan?Ada unsur-unsur yang aneh dalam kasus ini. Terlalu aneh,
sehingga sulit dijangkau akal sehat manusia biasa. Dan aku masih tetap manusia biasa,
Ramandita,bukan Ellery Queen. Bukan pula Hercule Poirot. Hem...andai kata
tokoh-tokoh masyhur itu ada di sini sekarang..."
Robinson merenung, disusul senyuman masam di bibirnya.
"Konon pula aku!"
Ramandita tersenyum sama masamnya.
"Tetapi kau pernah memberi masukan untukku,Ramandita. Sesuatu yang sebelumnya
tidak terpikirkan olehku. The Black Widow. Si Janda Hitam. Ingat,bukan?"
"Tentu saja...!"
Lamunan Ramandita menerawang.
"Janda yang selalu berpakaian hitam-hitam semenjak ditinggal mati oleh suaminya.
Dan tetap seperti itu,sampai akhirnya ia mati terbunuh 20 tahun kemudian.Belum
pernah kudengar ada seorang istri yang tahan berkabung selama itu..."

-- Halaman 76 Kolektor E-Book --


Ramandita menggeleng-gelengkan kepala, tidak mengerti.
"Lebih mengherankan lagi, bahwa ia bukan berkabung atas kematian sang suami.
Melainkan atas apa yang telah ia perbuat dengan suaminya itu!"
"Sebelum jadi suaminya!"
Robinson mengingatkan.
"Itulah yang dulu kuherankan. Laki-laki itu toh menikahi dia juga secara sah. Namun
tetap saja perempuan itu merasa berdosa. Dosa yang menurut dia tidak terampunkan.
Yang kemudian harus ia tebus dengan nyawanya sendiri. Hem. Itulah risikonya kalau
orang sudah terlalu fanatik agama...."
"Dan kemudian merangsang imajinasimu,"
Robinson memandang kagum pada tamunya.
"Ah. Hanya kebetulan, Pak. Kulihat anak tunggal janda itu lebih fanatik dari ibunya.
Aku tahu sedikit mengenai aliran kepercayaan yang mereka anut. Kebetulan anak
tunggal si janda tertarik pada pengetahuanku. Kami lantas ngobrol. Berdiskusi. Lalu
ketika kemudian ia bilang dosa tak berampun hanya dapat ditebus dengan nyawa, aku
mulai berpikir-pikir. Lebih-lebih dia juga menyebutkan prinsip yang kontradiksial,
bunuh diri juga adalah dosa. Terpikir olehku, si janda tidak meminum racun itu atas
kemauannya sendiri. Tetapi diminumkan oleh orang lain, tanpa diketahui si
korban.Pertanyaannya adalah, siapa orang yang paling tepat dan tega melakukannya?
Si janda tidak punya musuh.Ia disegani bahkan dihormati oleh lingkungannya yang
serba terbatas dan tertutup. Apakah tidak mustahil cinta si anak yang berlebihan pada
ibunya, telah menimbulkan sebuah ide? Yakni, penderitaan batin Ibu harus kutolong...
hanya aku yang dapat melepaskannya dari beban dosa!"
"Lalu, berkat masukanmu, aku pun bertindak!"
Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan menyambut gembira.Ikut asyik dengan
lamunan kerja sama mereka yang unik dan tak terlupakan itu.
"Kuserang anak itu dengan tuduhan ingin mengangkangi warisan ibunya yang tak

-- Halaman 77 Kolektor E-Book --


mati-mati juga.Kuberi ia kesan bahwa cinta kasihnya pada sang ibu hanya kamuflase.
Bahwa ia sebenarnya teramat sangat membenci ibunya. Ingin ibunya cepat-cepat mati
sebelum harta ibunya habis dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial serta
keagamaan. Dia jadi berang. Berteriak-teriak mengatakan bahwa mestinya sudah
jauh-jauh hari ibunya ia bunuh. Bukan karena harta. Tetapi karena cinta kasih pada
ibunya.Mengerikan, bukan?"
"Mengharukan!" bantah Ramandita, tak sependapat.
"Lihatlah. Betapa kemudian harta ibunya yang tersisa cukup banyak, ia hibahkan
semua pada perkumpulan agama mereka. Dan ia hidup tenang di penjara.Dengan
pikiran gilanya, bahwa ia akhirnya mampu juga melakukan sebuah tugas yang sangat
suci!"
Sejenak mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.Lalu tiba-tiba Sang Ajun
Komisaris mengeluh,
"Tugas suci. Itulah yang kuemban sekarang. Menghindarkan masyarakat luas dari
kepercayaan yang bukan-bukan.Termasuk ibu anak-anakku di rumah...."
"Lho, kok melibatkan istri Bapak?"
Ramandita nyeletuk,heran.Robinson menyeringai masam. Katanya,
"Kau juga yang bikin gara-gara, Ramandita...."
Ramandita tambah heran.
"Aku?"
"Jelas. Cerita-cerita misteriusmu selalu dilahap istriku mentah-mentah begitu saja.
Ia percaya bahwa cerita yang kau tulis, kalaulah bukan kau alami sendiri pastilah
ditulis berdasarkan pengalaman orang lain.Bukan sekadar imajinasi..."
Ramandita tertawa bergelak.
"Separah itukah tanggapan Ibu?"
"Malah sangat parah, menurutku. Tetapi ibunya anak-anak tak seluruhnya salah.
Kau tahu bukan, kami sama-sama berasal dari daerah Karo. Di daerah kami sana,

-- Halaman 78 Kolektor E-Book --


kepercayaan pada takhayul tetap kuat. Bahkan sampai sekarang animisme belum
seluruhnya berhasil diberantas. Sebenarnya malu aku mengakuinya, Rama,Salah
seorang paman mertuaku dulu dibunuh beramai-ramai oleh penduduk yang
menuduhnya seorang dukun ilmu hitam. Kalau di Jawa ini, semacam santet lah...!"
"Lantas apa hubungannya dengan kasus yang kita hadapi?" tanya Ramandita pelan,
untuk menutupi kekagetannya akibat perwira polisi itu larut dalam perasaannya
sehingga lepas omong.
Tetapi mungkin juga Sang Ajun Komisaris sadar akan apa yang ia ceritakan. Karena
ia berteman cukup dekat dengan Ramandita yang mau tidak mau terkadang membuat
rekan-rekan seprofesi Ramandita jadi iri.
"Itulah yang ingin kumintakan pendapatmu, Rama,"jawab Robinson,
sungguh-sungguh.
"Aku belum sempat mengikuti novel terakhirmu yang dimuat bersambung di surat
kabar kalian. Aku hanya mendengar lewat istriku. Dan katanya ia sedikit kecewa..."
"Oh, ya?"
"Istriku bilang, tokoh Larasati dalam ceritamu itu patut dikasihani. Katanya lagi, kau
terlampau kejam.Mengubah karakter seorang wanita yang tadinya begitu lembut dan
penuh kasih sayang, mendadak jadi kejam dan buas. Dari istrikulah aku tahu sebagian
isi ceritamu. Dan tahukah kau bahwa itu pula yang terpikirkan olehku ketika tadi
malam aku melihat kerangka di gedung sekolahan itu?"
Ramandita berupaya agar dirinya tetap kelihatan tenang. Ia bertanya santai,
"Apa yang dapat kubantu,Pak Tarigan?"
"Pendapatmu. Aku harus mencari semua aspek dari kasus yang misterius ini, bukan?
Misalnya, kalau korban memang dibunuh tengah malam tadi, apa yang menyebabkan
kita hanya menemukan tulang belulang?"
"Alat pembunuh yang canggih, barangkali. Seperti sinar laser," jawab Ramandita,
hampir-hampir tanpa dipikirkan lebih dulu.

-- Halaman 79 Kolektor E-Book --


"Mengapa tidak kau bilang sekalian, bahwa sipembunuh makhluk angkasa luar?
Yang turun dari salah satu benda UFO?" tuan rumah bersungut-sungut mencemooh.
"Jangan macam-macamlah!"
"Sejauh ini aku belum punya pandangan. Apalagi yang kuketahui barulah
permukaannya saja..." jawab Ramandita, membuang perasaan kesal yang tampak nyata
di wajahnya. Namun diam-diam ia teringat pada Si Nona.
Mungkinkah?
Haruskah ia beritahu sekarang mengenai gadis itu?
Mendadak ia teringat maksud semula datang menemui perwira polisi itu. Ia harus
menemukan Si Nona. Sketsa mengenai ciri-ciri gadis itu pasti dapat membantu.Belum
sempat Ramandita mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya, Robinson sudah
keburu berdiri lalu mengambil sebuah map dari tumpukan di atas meja itu,
mengeluarkan salinan sebuah berkas yang kemudian ia sodorkah ke tangan Ramandita.

"Bacalah ini. Dan camkan, sifatnya masih rahasia. Off the record, Belum seorang
pun teman-temanmu yang kami beritahu...."
"Apa ini?" desah Ramandita sambil membuka-buka sepintas berkas itu.
"Hasil berita acara yang kami buat pagi ini. Aku mencurigai petugas-petugas ronda
itu tidak memberi keterangan sebenarnya dalam tanya jawab tadi malam di lokasi
kejadian. Jadi kuminta mereka hadir lengkap pagi ini untuk dimintai keterangan
tambahan...."
"Dan?"
"Mereka kemudian terpojok, lalu sepakat untuk membersihkan nama baik
masing-masing. Mereka memberikan pernyataan baru. Untuk meyakinkan kami, mereka
malah ngotot bersumpah bahwa keterangan mereka kali ini benar apa adanya!"
Karena berkas itu berlembar-lembar, diketik spasi rapat pula, perlu waktu yang tidak
sedikit untuk mempelajarinya.

-- Halaman 80 Kolektor E-Book --


"Boleh kubawa pulang?" kata Ramandita, berharap.
"Silakan. Tetapi ingat. Walau apa yang mereka kemukakan bukan hal yang aneh,
tetapi harus kau rahasiakan. Kemudian, katakanlah bagaimana pendapatmu. Makin
segera, makin baik. Oke?"
Saatnya untuk pergi. Ramandita bangkit dari kursinya,mengucapkan terima kasih
dan berjalan ke pintu diantar oleh tuan rumahnya. Di pintu, Robinson nyeletuk,
"Apa belum bosan jadi bujangan?"
"Duda, maksud Bapak," komentar Ramandita,menyeringai.
"Sama saja. Tetap saja dibutuhkan seorang perempuan.Katakanlah,
Magdalena-Magdalena yang lain..." sang Ajun Komisaris tersenyum bijaksana.
"Selamat siang, duda pengkhayal" tambahnya seraya menutup pintu di depan batang
hidung Ramandita.Ketika menerima berkas itu, entah mengapa kepala Ramandita
berdenyut aneh. Instingnya telah mencium sesuatu. Oleh karenanya ia urungkan
maksud kembali ke kantor. Ia langsung pulang ke rumah untuk dapat mempelajari isi
berkas yang ia bawa dengan lebih leluasa, tanpa ada yang mengganggu.
Empat orang petugas malam di TKP (Tempat Kejadian Perkara), memberi
keterangan yang hampir senada.Malam itu mereka berpapasan dengan seorang
perempuan yang tampak berjalan sendirian di tempat gelap dan sepi. Ketika didekati
perempuan itu tidak lari.Ditegur menyahut pula dengan genit. Pasti pelacur yang masih
nekat berkeliaran karena belum mendapat mangsa, pikir mereka
sependapat.Gerak-gerik dan obrolan si perempuan yang berbau porno membuat
mereka terangsang.
"Saya masih normal, Pak. Mana istri di rumah lagi hamil tua!" begitu dalih seorang
dari mereka sebagaimana tertulis di berkas yang dibaca Ramandita.Perempuan itu tak

-- Halaman 81 Kolektor E-Book --


keberatan mereka ajak ngobrol dipos. Dalam cahaya terang, mereka sama
terpesona.Ternyata perempuan itu masih muda.
Cantik rupawan pula.
Heran, bagaimana perempuan semacam dia mau jadi pelacur murahan?
Setelah menilik pakaian siperempuan yang tampak sederhana, mereka pun berpikir
tentulah perempuan itu berasal dari kalangan bawah dan tidak punya koneksi untuk
naik ke tingkat yang lebih atas.Omong punya omong, perempuan itu tidak menolak
ketika diajak tidur.
"Asal aku tidak dikeroyok beramai-ramai" katanya,tertawa nakal.
"Maksudmu, kau bersedia digilir?" tanya salah seorang peronda, seraya menelan
ludah.
"Mau saja. Dengan syarat, aku boleh memilih siapa yang lebih dulu bermain cinta
denganku...."
Dan ia memilih Ridwan yang bertubuh paling kekar,dan memang tampan pula
wajahnya. Ridwan kemudian menghilang di gedung sekolahan itu bersama si
perempuan. Yang lain terpaksa menunggu giliran dengan penuh perasaan iri pada
keberuntungan Ridwan yang terpilih sebagai pembuka pintu yang tentulah masih segar.
Sambil menunggu mereka juga berjaga-jaga, siapa tahu ada yang mengintip perbuatan
mereka.
Menit demi menit berlalu.
Setengah jam lewat sudah, Ridwan belum kembali juga.Kepala ronda bersungut tak
sabar,
"Jangan-jangan dia main dobel. Terus naik-turun, tak ingat kawan sendiri!"
Diputuskanlah untuk melihat apakah Ridwan sudah selesai. Alangkah kaget mereka,
ketika tidak menemukan baik Ridwan maupun perempuan misterius itu. Yang mereka
temukan justru seonggok kerangka manusia. Berpakaian acak-acakan, dan bersepatu
pula.

-- Halaman 82 Kolektor E-Book --


Pakaian dan sepatu Ridwan sendiri!
Ramandita terhenyak di kursinya.
Siapa perempuan itu?
Ke mana Ridwan menghilang?
Dalam berkas, pertanyaan pertama tidak terjawab.Pertanyaan kedua, juga belum
terjawab, kecuali ada petunjuk. Bahwa sudah satu bulan Ridwan dan istrinya perang
dingin karena cekcok urusan rumah tangga.Ridwan maunya bercerai. Konon mau
kawin lagi,namun tak diketahui jelas siapa dan di mana kekasih gelapnya bertempat
tinggal. Kesimpulan sementara,malam itu Ridwan memutuskan lari dengan kekasih
gelapnya. Tetapi karena satu dan lain hal yang masih perlu diselidiki, Ridwan
melaksanakan keputusannya dengan cara yang misterius.Di halaman terakhir berkas
pemeriksaan, pada bagian kosong tertulis nota pertanyaan polisi,
Kerangka siapa?
Dan siapa yang menyimpannya di TKP?
Kepala Ramandita berdenyut lagi.
Keras.
Denyut itu belum berakhir, ia sudah melompat dan mengangkat telepon.
Nomor-nomor diputar, dan disahuti dalam tempo singkat. Langsung oleh AKP Tarigan
sendiri.
"Perempuan itu!"
Ramandita berkata gemetar ditelepon.
"Apakah kalian teringat membuat sketsanya?"
"Pasti dong. Kok masih kau tanya. Dan suaramu...apakah kau sakit perut?"
"Boleh kulihat copy-nya?"
"Kau di mana?"
"Di rumah."
"Yang kau minta akan tiba di rumahmu dalam setengah jam..."

-- Halaman 83 Kolektor E-Book --


Robinson agaknya mau bertanya lagi, tetapi hubungan telepon sudah lebih dulu
diputuskan oleh Ramandita. Terkaan polisi itu benar. Perut Ramandita mendadak
terasa sakit.
Melilit-lilit.
Terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan,seorang petugas berpangkat
Bharada muncul di rumah Ramandita untuk menyerahkan lembar amplop. Lupa
mengucapkan terima kasih, Ramandita masuk lagi kedalam rumah.Amplop diletakkan
di meja kerjanya. Dipandanginya selama beberapa detik dengan mata menyipit, seakan
takut amplop itu berisi bom surat yang sewaktu-waktu dapat saja meledak. Kemudian
dengan tangan gemetar dia membukanya. Mata dipejamkan waktu jari-jarinya
mengeluarkan selembar kertas khusus untuk membuat foto kopi. Lalu sambil
menggumamkan doa yang tak jelas, Ramandita membuka mata.
Dan ia melihatnya.
Melihat gambaran kasar tetapi tidak perlu diragukan lagi.
Si Nona.

***

SEPULUH

Dan malam pun tiba.Untuk kesekian kalinya, Raharjo menguap lagi.


"Sialan!" ia membatin kesal.
"Jangan tidur dulu kau!"
"Ya. Pekerjaan belum selesai."
Masih ada beberapa notulen lagi yang harus dipelajari Raharjo sebelum esok pagi ia
tampil di hadapan pemegang sebagian saham perusahaannya. Orang lain boleh saja
tidur Tetapi tidak Raharjo, yang sedang dirongrong kesulitan akibat omzet penjualan

-- Halaman 84 Kolektor E-Book --


hasil produksi perusahaannya menurun drastis. Pertimbangan neraca terlalu berat
sebelah, sehingga untuk menyelamatkan mukanya,Raharjo terancam melempar
sebagian saham pribadinya ke pasaran bebas. Beruntung empat orang manajernya
menemukan jalan keluar, meskipun dengan sedikit menyerempet-nyerempet bahaya.
Itulah yang harus ia putuskan malam ini, sebelum esok pagi mengumumkannya di
depan para pemegang saham.
Untuk menghindari kantuk dan pikiran yang sudah mulai letih, Raharjo menunda
dulu pekerjaannya.
Ia keluar dari kamar hotel tempat ia sudah menginap selama beberapa hari agar
dapat bekerja lebih tenang.
Di koridor berlapis karpet beludru merah hati, ia berpapasan dengan seorang room
boy yang bertanya sopan apakah Raharjo membutuhkan bantuan. Raharjo
menggelengkan kepala sambil berlalu, masuk ke lift dan naik ke teras terbuka di lantai
atas hotel berbintang empat itu. Di situ ada bar yang buka nonstop selama 24jam.
Tiba di teras yang dimaksud, Raharjo pergi ke meja bar dan memesan gin dan tonic
tanpa es pada pelayan yang dengan segera mendatanginya. Sewaktu melonjorkan kaki
untuk mengendurkan otot-otot yang tegang, matanya menangkap bayangan sesosok
tubuh yang duduk sendirian di pojok teras terbuka, bermandi sinar rembulan.
"Siapa perempuan itu?" tanya Raharjo pada pelayan yang muncul mengantarkan
pesanannya.
Sepasang mata yang ditanya mengikuti arah telunjuk Raharjo. Dahi berkerut, disusul
gumaman heran,
"Barusan tempat itu kosong. Kok tahu-tahu sudah ada yang menduduki...."
"Sekarang zamannya serba cepat,"
Raharjo bergumam tertawa melihat keheranan pelayan itu.
"Barangkali kau tak melihat ketika ia duduk di situ...."
"Mustahil, Tuan. Barusan saya lewat di sana, sebelum tadi Tuan panggil. Bahkan

-- Halaman 85 Kolektor E-Book --


saya sempat membersihkan meja di sampingnya, membereskan peralatan minum tamu
yang sebelumnya duduk di situ!"
"Apakah ia selalu duduk sendirian seperti itu? Melamun?"
"Mana saya tahu, Tuan."
"Belum pernah melihatnya? Tidak tahu siapa dia?"
"Tidak, Tuan. Tentunya salah seorang tamu yang baru masuk malam ini. Akan saya
sampaikan, apabila Tuan hendak berkenalan..." si pelayan menawarkan jasa.
"Biar kulakukan sendiri!"
Raharjo memutuskan dengan cepat.
"Tolong antarkan minumanku ke sana!"
"Baik, Tuan."
Raharjo tidak tahu apa yang mendorong hatinya untuk nekat mendatangi si
perempuan. Hasratnya bangkit begitu saja. Mungkin karena ia terlalu lelah bekerja,
dan kini membutuhkan sesuatu untuk menghibur diri.Mencari teman ngobrol, adalah
sebuah hiburan juga,bukan?
Mengangguk pada si perempuan yang seketika mengangkat muka, Raharjo menyapa,
"Hai..."
"Hai," sahut perempuan itu lembut.
"Sedang menunggu seseorang?"
"Tidak."
"Keberatan ditemani?"
"Tak apa. Silakan..." perempuan itu menggerakkan dagu ke kursi kosong di
sebelahnya, yang segera diduduki Raharjo dengan suka cita.
Sebelum mengenyakkan pantat yang sudah tak sabar, Raharjo mengulurkan tangan
dengan tertib.Ia memperkenalkan diri.
"Raharjo..."
Uluran tangan disambut dengan hangat. Si perempuan tidak menyebut namanya.

-- Halaman 86 Kolektor E-Book --


Kecuali senyuman manis dibibir, dan itu jauh lebih besar nilainya dari sebuah
nama.Pelayan datang menyusul. Minuman Raharjo diletakkan di meja, sambil bertanya
hormat pada siperempuan,
"Minum apa, Nyonya?"
"Nona," gumam si perempuan, tersenyum.
"Aku belum mau minum Sekarang ini. Terima kasih."
Selagi pelayan dan si perempuan bertanya jawab,Raharjo memanfaatkan waktu yang
teramat singkat itu untuk mempelajari perempuan yang duduk disebelahnya. Tidak
seperti umumnya wanita yang terbiasa menginap di hotel mewah, perempuan ini
mengenakan pakaian sederhana saja. Modelnya pun jelas ketinggalan zaman. Ataukah
Raharjo yang tidak mengikuti, bahwa para perancang mode sudah kehabisan bahan
lantas berpaling pada mode guru-guru mereka tempo dulu?
Namun kesederhanaan pakaian maupun mode yang membalut tubuh perempuan
muda itu justru lebih menonjolkan kecantikannya yang menawan hati. Tipe kecantikan
yang menjadi idola Raharjo, membuatnya sering tidak betah di rumah untuk mencari
lalu kemudian meniduri idola-idola itu.
Apakah perempuan ini juga adalah...
"Ada pesanan lain, Tuan?"
Raharjo menjawab tersentak,
"Ah. Tidak. Terima kasih!"
Si pelayan mengangguk sopan, kemudian berlalu sambil tak lupa bibirnya mengulas
senyum mengerti.Senyuman si pelayan itu tanpa disadari membuat Raharjo tertawa
kecil.
"Ada yang lucu?" tanya si perempuan ingin tahu.
"Oh. Tidak. Aku hanya menertawakan diri sendiri...."sahut Raharjo tanpa dipikirkan
lebih dulu.
"Hem?"

-- Halaman 87 Kolektor E-Book --


"Barusan tadi aku berpikir yang bukan-bukan."
"Tentang?"
"Kau."
"Aku?" perempuan itu membelalak.
Menambah indah penampilannya.
"Apa yang Anda pikirkan mengenai diriku?"
Nah, sesaat Raharjo mati kutu. Tetapi tidak percuma ia telah banyak makan asam
garam. Cepat sekali Raharjo sudah menemukan jawab,
"Aku pikir, kau tentunya habis berselisih dengan temanmu menginap..."
"Hem?"
"Maaf. Tetapi terus terang aku berpendapat, lelaki itu telah berbuat bodoh
membiarkan gadis secantik Nona duduk sendirian di sini..."
Si gadis tertawa renyah.
"Bagaimana kalau kukatakan,bahwa aku hanya ingin menikmati kota Jakarta
diwaktu malam?"
"Kenikmatan itu tak berarti bila kita sendirian"
Raharjo melempar umpan.
"Ada Anda sekarang."
Si gadis tersenyum.
"Tetapi aku tidak ingin berkelahi dengan teman Nona!"
"Tak perlu."
"Oh, ya?"
Wajah gadis itu seketika berubah muram. Matanya teramat sendu, menatap jauh ke
kegelapan malam yang temaram di kejauhan, lalu mengeluh getir,
"Ia tak dihotel ini. Dan aku tak tahu apa yang dilakukannya sekarang. Juga tidak
tahu, apakah ia masih memikirkan aku atau sudah melupakan sama sekali."
"Manusia tak tahu diri!"

-- Halaman 88 Kolektor E-Book --


Raharjo nyeletuk. Bersimpati.
"Bukan tak tahu diri," si perempuan menggeleng.
"Ia cuma tidak tahu, apa arti hubungan kami yang sebenarnya."
"Nona menyesalinya?"
"...Mungkin," perempuan itu menghela napas panjang.
"Ah. Mengapa kita berbicara tentang dia? Lebih menyenangkan bila kita berbicara
saja dengan siapa! kita berhadapan saat ini, bukan?"
Umpan telah disambar, pikir Raharjo. Tinggal menyentakkan kail. Seraya menatap
lurus ke mata siperempuan, yang tidak pula menghindar, Raharjo meraih
kesempatannya yang teramat langka itu.
"Ada kalanya Nona, berbicara hanya membuang-buang waktu...." katanya,
harap-harap cemas.
"Aku sependapat!" si perempuan lagi-lagi mengurai senyum.
"Di kamar mana kau menginap?"
"Banyak kamar di hotel ini..."
"Mau melihat-lihat kamarku?"
"Mengapa tidak? Hawa di sini pun sudah semakin dingin."
Mereka tak berbicara soal tarif. Tak perlu, pikir Raharjo.Ia sudah tahu mengaturnya.
Tinggal mengingat di hotel kelas apa mereka berkencan, dan sejauh mana mereka
saling memuaskan satu sama lain. Raharjo pun tidak perlu khawatir jadi skandal, Ia
tahu bagaimana mengatasinya. Ia juga punya tangan-tangan jahil tapi berotot yang
siap membantu kapan saja ia perintahkan.Karena ia punya uang.Room boy yang tadi
sedang berbicara dengan dua orang tamu yang akan masuk ke kamar mereka,sewaktu
Raharjo dan pendampingnya keluar dari lift yang membawa mereka ke bawah. Room
boy tersenyum sopan. Dua yang lain pura-pura tak melihat.Di hotel ini, siapa saja
boleh berbuat sesuka hati. Selama yang lain tidak terganggu, dan tidak ada pihak-pihak
yang dirugikan.Perempuan itu menolak minum setelah mereka masuk ke kamar.

-- Halaman 89 Kolektor E-Book --


Ngobrol sejenak, melantur tak tentu arah diselang-seling tawa lepas yang semakin
mengakrabkan satu sama lain. Pendahuluan pun selesai, dan dengan gembira mereka
naik ke tempat tidur.Mulanya, segala sesuatu berlangsung tenang,
hangat,menggairahkan.
Lalu rintihan-rintihan senang mendadak berubah jadi sentakan-sentakan
mengejutkan. Itu terjadi ketika si perempuan menggeliat naik dan bergerak di atas
tubuh Raharjo.Suatu saat si perempuan merunduk dan mengulum bibir Raharjo. Tak
melepaskannya lagi!
Di puncak nikmat berahi, kelopak mata Raharjo terbuka sedikit, lalu tersentak
melebar.
Tetapi hanya itu.
Ia tak mampu melepaskan mulutnya dari mulut siperempuan. Anggota tubuh lainnya
pun tidak berdaya melepaskan diri. Dalam paniknya, Raharjo masih sempat menangkap
suara-suara aneh dan mengerikan.Suara yang mengalir dari tubuhnya ke tubuh
siperempuan. Seperti disedot keras dan buas.Dan tubuh yang menjepitnya sedemikian
kuat dan kejam itu bukanlah tubuh si perempuan cantik.
Ia tak tahu apa. Kecuali bahwa sosok tubuh itu teramat aneh dan menakutkan. Dari
tubuh itu bersembulan keluar tonjolan-tonjolan hitam yang menganga, bergerigi, lalu
menyayat, dan menggerogoti tanpa kenal ampun.Sebelum sempat memikirkan sesuatu,
Raharjo sudah lenyap. Benar, tidak seluruhnya lenyap. Karena masih ada yang tersisa.
Yakni, tengkorak.
Plus, tulang belulangnya.

***

SEBELAS

-- Halaman 90 Kolektor E-Book --


Suara itu terdengar lagi. Seperti tubuh yang besar dan berat diseret-seret. Lalu
berhenti, diam.
Ramandita juga berdiam.
Tak berani bergerak.
Matanya nyalang mengawasi kegelapan di sekitarnya.
Ia merasa terancam.
Takut setengah mati, karena tak tahu bahaya apa yang tengah dihadapinya.Dalam
ketakutannya, Ramandita juga tak habis pikir bagaimana ia sampai ke tempat yang
begitu asing dan menyeramkan. Kalau tak salah, ia telah memasuki hutan belantara.
Entah mau apa, dan entah apa yang dicari.
Lalu ia tersesat.
Terperangkap di tempat sepi dan gelap pekat itu. Bias rembulan menerobos lewat
celah-celah dedaunan rimbun di atas kepalanya.Cahaya yang sangat lemah, tak
berdaya.
Nah, itu terdengar lagi.
Kepala Ramandita ditelengkan, mendengar-dengar. Dan mendadak saja,
samar-samar sepasang tangan menjulur dari kegelapan. Tangan-tangan itu
panjang,semakin panjang. Gerakannya pun sangat cepat. Tahu-tahu saja Ramandita
sudah dicengkeram kuat,pundaknya ditekan ke bawah, sampai Ramandita jatuh berlutut
tanpa mampu melepaskan diri.
Kemudian ia melihatnya.
Melihat sebentuk kepala yang teramat besar, hitam bergerigi, dengan sepasang mata
berwarna merah kehijauan mengawasinya dengan tajam.
Ramandita mencoba berteriak.
Tetapi lidahnya kelu.
Sekujur tubuhnya pun kaku membeku. Peluh dingin mengucur deras, lalu ikut
membeku, membuat tubuhnya semakin terjepit.Matanya membelalak ngeri saat kepala

-- Halaman 91 Kolektor E-Book --


makhluk misterius itu terjulur ke depan. Moncong yang lancip menganga lebar,
memperlihatkan lidah tipis panjang serta taring-taring runcing yang tajam berkilauan.
Ramandita mengeluh, pasrah.
Habislah ia dicaplok, dikunyah-kunyah, mungkin juga ditelan bulat-bulat. Dan
tiba-tiba saja terdengar suara lain. Suara berdering yang berulang-ulang. Kepala
hitam bergerigi itu seketika berpaling ke arah bunyi berdering. Matanya yang merah
kehijauan berkilat marah. Lalu entah bagaimana, mata yang mengerikan itu mendadak
ketakutan dan detik berikutnya kepala itu pun lenyap. Tekanan di pundak Ramandita
mengendur pula. Tangan-tangan gaib itu menciut,kemudian ikut lenyap.Saat itulah
Ramandita menangkap adanya cahaya menembus kegelapan. Terdengar lagi bunyi
deringan yang sama. Ramandita coba berteriak minta tolong.Tetapi hanya erangan saja
yang keluar dari bibirnya yang kaku membeku. Beruntung, tangan kanannya
pelan-pelan dapat ia gerakkan, ia menggapai-gapai kearah bunyi dering itu, berharap
dapat menyentuh penolongnya yang pasti berdiri di sana. Setelah meraba-raba, telapak
tangan Ramandita berhasil menyentuh sesuatu yang licin tetapi keras. Pada waktu
bersamaan, cahaya itu pun semakin dekat, semakin jelas.
Ramandita jadi silau.
Ia kerjapkan kelopak matanya,sampai terbiasa dengan cahaya terang itu. Bunyi
berdering tadi terdengar sekali lagi. Dan benda licin keras di telapak tangannya
bergetar lembut. Sel-sel otak Ramandita bekerja cepat, dan tiba-tiba ia menyadari
sesuatu.
Telepon, pikirnya.
Bunyi teleponlah yang menyelamatkan Ramandita!
Ingatan itu membuat Ramandita terlonjak.Mata ia buka lebar-lebar.
Astaga, ia ada di ruang kerjanya sendiri.
Tertidur dengan kepala terkulai di meja. Cahaya yang ia lihat ternyata cahaya lampu
duduk. Dan memang gagang teleponlah yang sedang digenggamnya.

-- Halaman 92 Kolektor E-Book --


"Mimpi buruk sialan!" ia membatin keki, sambil secara naluriah gagang telepon
didekatkan ke telinga.
"Halo" lambat-lambat ia dengar suara halus lembut.
"Halo?"
Ramandita membuka mulutnya dengan suara payah. Megap-megap meraih hawa
segar sebanyak mungkin untuk mengisi rongga paru-parunya yang beberapa saat tadi
kering menyakitkan.
"Aku tahu kau ada di rumah, Yang!" suara di seberangsana berujar mesra.
"Lena...!" bisik Ramandita. Lega.
Sekaligus rindu.
"Oh!"
"Kau tidak sakit, bukan?"
"Tidak. Tidak. Apa kabarmu?"
"Seperti biasa...." suara Magdalena terdengar menyimpan rasa sendu.
Tetapi segera berubah riang lagi ketika melanjutkan,
"Aku hanya ingin tahu, apakah kau baik-baik saja. Sayangku...."
Ramandita mengeluh,
"Akan lebih baik lagi bila kauada di sini!"
"Masih kutimbang-timbang, Yang."
"Sampai kapan?"
"Entah..."
"Aku merindukanmu, Magdalena!"
"Aku tahu."
"Itu saja tidak cukup, Magdalena!"
Di seberang sana terdengar tawa lembut, merdu bergairah. Lebih-lebih bergairah
lagi ucapannya,
"Kalau kau ingin tidur denganku, Rama..."

-- Halaman 93 Kolektor E-Book --


Ramandita menyela tidak senang,
"Untuk kemudian berpisah lagi. Apa kaupikir aku dapat bahagia hanya dengan
bersanggama barang satu-dua jam denganmu?"
"Maafkan aku, Yang."
"Yeah. Keputusan ada di tanganmu ini!"
"Rama..." .
Tanpa menunggu lanjutan kata-kata Magdalena,Ramandita sudah mengentakkan
gagang telepon dengan marah. Sesaat kemudian, ia menyesal. Bukan begitu caranya
kalau ia masih menghendaki Magdalena kembali. Mestinya ia lebih bijaksana, dan...
Tetapi buat apa?
Seperti kata Magdalena tadi, masih kutimbang-timbang. Diam-diam, Ramandita pun
ikut menimbang-nimbang.
Sudah berapa banyak lelaki yang diajak tidur oleh Magdalena?
Sedang Ramandita, belum seorang pun!
Apa?
Belum?
Bagaimana dengan Si Nona?
Ramandita mengerang.
Sudah bangunkah dia?
Atau masih berkelana di alam mimpi?
Ia pandangi mesin tikydi depannya. Terbaca:
Gadis Suruhan. Judul sebuah cerica pendek. Bukankah itu atas permintaan Harianto
untuk menyenangkan Marianna, istrinya yang pencemburu itu?
Ia lantas teringat dirinya sempat berkonsentrasi untuk cerita dengan judul
tersebut.Lantas karena letih dan pikirannya menerawang tak menentu, ia pun tertidur.
Lalu bermimpi.
Haram jadah,buruk benar mimpinya tadi!

-- Halaman 94 Kolektor E-Book --


Ramandita menggeliat.
Memutar kursi tempat ia tertidur, lantas pergi ke jendela. Begitu jendela
dibuka,matahari seketika menerobos masuk, hangat menggigit.Melirik ke arlojinya,
Ramandita dapat melihat pukul berapa ia terbangun: 09.20 pagi.
"Kesiangan lagi, ya?" seseorang menyapanya dari halaman samping rumah sebelah.
Tante Isye, yang tengah menjemur cucian. Ramandita membalas dengan senyuman.
Lalu ia diberitahu bahwa Pak RT tadi mengetuk pintu rumahnya, tetapi karena
Ramandita masih tidur, Ketua RT itu lantas pergi lagi.
"Ada perlu apa dia?" tanya Ramandita, sekadar berbasa-basi.
"Katanya sih bakal ada sensus. Sekalian urusan iuran kampung...."
"Oh!"
"Omong-omong soal Pak RT, Dik Rama..."
Tante Isye kambuh lagi penyakit bergunjingnya, pikir Ramandita.
"Tahukah kau bahwa anaknya yang dulu ketahuan mengisap ganja itu..."
Tak ada kelanjutannya lagi,lantaran terganggu oleh seorang bocah perempuan kecil
yang datang berlari-lari, lantas sambil menangis anak itu mengadu kepada ibunya.
Pantat Lusi rupanya dicubit oleh Dudung, anak tetangga mereka.Tante Isye pun sibuk
membujuk Lusi. Berjanji akan balas mencubit pantat Dudung.
"Bila perlu, pantat bapaknya sekalian!" umpat Tante Isye seraya menyeret anaknya
masuk ke dalam rumah.
Ramandita pun pergi ke kamar mandi. Setelah itu kedapur, karena perutnya terasa
lapar. Malas menanak nasi, ia rebus saja dua butir telur ayam, lalu dengan air panas
bekas malam hari di dalam termos, ia menyeduh kopi susu.Sewaktu menikmati sarapan
paginya, telepon berdering lagi. Ternyata Pak Robinson Tarigan.
"Sudah ada masukan buat kami, Ramandita?"
Pertanyaan itulah yang tadi malam ikut mengganggu konsentrasi Ramandita. Seraya
menahan kesal, ia menjawab dengan suara diramah-ramahkan,

-- Halaman 95 Kolektor E-Book --


"Sementara ini belum, Pak..."
Sang Ajun Komisaris mengeluh,
"Jadi aku harus segera mencari seorang dukun!"
Ramandita hampir tertawa.
"Separah itu keadaannya?"
"Saat-saat ini, Ramandita, ocehan orang sakit jiwa pun akan kuperhatikan dengan
sungguh-sungguh.Pilihanku jatuh pada dukun. Paling tidak, seorang dukun masih agak
waras cara berpikirnya...."
Ramandita menangkap nada serius dalam pembicaraan si perwira polisi. Lantas ia
pun menanggapi dengan serius pula.
"Setahuku, Pak. Seorang dukun memerlukan objek yang masih utuh. Bukan yang
sudah diacak-acak dokter-dokter kita di laboratorium itu. Jadi kupikir, sudah terlambat
untuk..."
"Belum. Belum terlambat!"
Robinson memotong tegas.
"Objek lainnya masih utuh. Sampai dukun tiba, akan kubiarkan bekas manusia yang
sial itu tetap terbaring ditempat tidurnya!"
"Apa?"
Ramandita tersentak.
Kaget.
"Agar kagetmu hilang, datanglah ke sini sekarang juga!"
Lalu Robinson memberi tahu ke mana Ramandita harus pergi.Tak sampai lima menit,
Ramandita sudah bergegas dari rumah. Ia jalankan mobilnya dengan mulut
menyumpah-nyumpah tiap kali ia terhalang oleh lalulintas yang macet. Saking tegang
pikiran, ia sempat bertengkar hebat dengan seorang sopir taksi yang tiba-tiba menyalip
lantas berhenti tiba-tiba dengan posisi tanggung di depan mobilnya, karena lampu
diperempatan sudah menyala merah. Pengendara-pengendara lain ikut memaki si sopir

-- Halaman 96 Kolektor E-Book --


taksi, sehingga suasana jadi semakin ramai. Si sopir taksi bungkam takbisa bicara.
Apalagi petugas Polantas yang tadi tak terlihat tahu-tahu sudah berdiri di sebelah
taksi. Si sopir diperintahkan meminggirkan kendaraannya, diiringi teriakan menghasut
orang-orang yang menyaksikan.
Lampu hijau menyala.
Ramandita langsung tancap gas,Kecuali mobil patroli polisi di pelataran parkir, tak
ada tanda-tanda terjadi kehebohan di dalam hotel yang tak lama kemudian dimasuki
Ramandita. Suasana tampak biasa-biasa saja. Baru setelah ia keluar dari lift di lantai
6, ia berhadapan dengan suasana tegang, Petugas sekuriti hotel mencegat ketika ia
berjalan ke kamar bernomor 607. Tetapi petugas polisi yang mendampingi berjaga-jaga
di depan pintu tertutup itu segera mengatakan sesuatu pada si petugas sekuriti
hotel.Pintu lalu dibuka, dan secepat itu pula ditutup kembali setelah Ramandita
menyelinap ke dalam.Di situ lebih banyak orang.Di situ suasananya jauh lebih
tegang.Dan di atas seprai tempat tidur yang acak-acakan,tampaklah seonggok
tulang-belulang manusia yang mengerikan, tetapi tulang-belulang yang ini
telanjang.Yang membuat bulu kuduk Ramandita meremang adalah letak tengkorak.
Tengkorak itu menghadap pas di tempat Ramandita berdiri tegak. Rongga mata yang
kosong pada tengkorak itu seakan melontarkan tuduhan marah. Dan rongga mulut yang
menganga kosong di antara dua baris gigi itu seakan menyumpah serapah.
Pada Ramandita!
Tas tustel yang disandang Ramandita hampir saja meluncur jatuh, kalau tak keburu
ditahan seseorang.Lalu telinganya menangkap suara dingin Robinson Tangan,
"Surprise, ya?"
Dokter yang sedang membungkuk ke tempat tidur menggumamkan sesuatu dengan
nada marah. Sang Ajun Komisaris mendekati dokter itu, lalu mereka berdua segera
terlibat diskusi yang mereka lakukan dengan suara perlahan. Ramandita menggapai
kursi paling dekat, terenyak dengan wajah pucat dan jiwa yang kembali diteror

-- Halaman 97 Kolektor E-Book --


mimpi-mimpi buruk.
"Menyeramkan memang!" seseorang bergumam didekatnya.
Ramandita menoleh, dan segera mengenali Brigadir Polisi Dua Priadi yang
menyandar di tembok,menatap segan onggokan tulang di tempat tidur.
"Dan seorang anak manusia kembali hilang misterius.Kali ini seorang usahawan
terkemuka...."
Priadi menambahkan. .
"Bagaimana ceritanya, Pak Priadi?" tanya Ramandita,kelu.
"Sederhana saja, Bung Ramandita," sahut yang ditanya,mengulang apa-apa yang
telah ia catat dalam notes pribadinya.
Tepat pukul tujuh pagi, sopir Raharjo, si pengusaha dimaksud, muncul di hotel sesuai
instruksi majikan sehari sebelumnya. Tampaknya Raharjo belum bangun.Jadi sopir itu
turun ke lobi di bawah, membaca-baca surat kabar sambil menunggu. Seperempat jam
kemudian ia naik lagi ke atas. Kembali mengetuk pintu kamar suite nomor 607 yang
ditempati majikannya.Masih tak ada sahutan. Seorang pelayan kamar menyarankan si
sopir supaya turun lagi ke lobi.Dari sana menelepon lewat saluran lokal ke kamar yang
dituju. Juga telepon tidak diangkat. Atas persetujuan manajer hotel, dicobalah
membuka pintu dengan kunci master setelah si sopir dengan gelisah memberitahu
bahwa majikannya tidak biasa bangun kesiangan,apalagi harus menghadiri pertemuan
penting pagi itu.Mustahil pula majikannya tak terbangun meski pintu telah
digedor.Usaha membuka pintu dengan kunci master juga gagal.Terhalang anak kunci
yang menempel dari sebelah dalam, pertanda si penghuni masih ada di tempat.
Diambillah jalan darurat.
Seorang petugas sekuriti hotel meminta izin pada penghuni kamar 609 untuk masuk
ke teras di sebelahnya, melalui teras kamar 609. Pintu ke teras kamar suite 607 tertutup
rapat tetapi tidak terkunci. Si petugas membukanya sedikit. Lalu batuk-batuk kecil
sebagai tanda kehadirannya. Karena tidak ada reaksi dari dalam, ia putuskan masuk

-- Halaman 98 Kolektor E-Book --


saja.Lima menit setelah si petugas sekuriti terdengar memekik tertahan, polisi dilapori,
"Seorang tamu hotel lenyap misterius. Tempatnya digantikan seonggok kerangka
manusia di atas tempat tidur!"
"Dari mana munculnya tulang-belulang terkutuk itu?"
Priadi menggelengkan kepala, tak habis mengerti.
"Dan ke mana si penghuni yang sah? Keluar melalui teras,lalu terjun ke bawah?
Pasti hancur remuk dia.Mayatnya pasti ditemukan di basement. Terbang, kalau begitu?
Dengan apa? Atau dia punya sayap, berubah jadi manusia kelelawar?"
"Aku meragukan kemungkinan itu, Prjadi" yang berkata ini AKP Tarigan yang telah
bergabung lagi didekat mereka.
"Tetapi tak ada salahnya kau naik kelantai paling atas. Siapa tahu Tuan Raharjo
yang hebat itu justru jadi manusia cicak?"
Setelah Prjadi berlalu, Robinson mengawasi Ramandita dengan sorot mata tajam
menusuk.
"Masih juga tidak punya masukan, Rama?" tanyanya ketus.
"Nanti dulu, Komandan!"
Ramandita bersungut, resah.
"Bagaimana aku harus menerangkan bahwa..."
"Biarlah aku yang menerangkannya padamu!"
Robinson menyela
"Setelah aku membuka-buka suratkabar kalian itu, dan mempelajari sebagian isi
cerita bersambungmu, aku pun sependapat dengan apa yang pernah diributkan istriku,
Ramandita. Tokoh imajinermu, Larasati, teramat kejam dan buas dalam melampiaskan
dendam kesumatnya. Ia memangsa setiap korbannya secara berlebihan, sehingga yang
tersisa hanyalah tulang belulang korbannya saja..."
"Protes Anda akan kucacat, Komandan," desah Ramandita, lesu.
"Belumkah terbuka pikiranmu, Ramandita?"

-- Halaman 99 Kolektor E-Book --


Robinson berujar pedas.
"Saat ini aku tidak ingin berdebat tentang dunia fiksimu. Bukalah matamu
lebar-lebar,Kawan. Lihatlah ke dunia nyata. Dan apa yang kita peroleh? Dua malam
lalu kerangka berseragam Hansip dan malam ini..."
AKP Tarigan melirik marah ke atas tempat tidur.
"Kerangka di kamar hotel. Kerangka yang sama-sama masih segar. Masih tersisa
pula tetes-tetes darah serta serpihan-serpihan daging. Seakan disengaja. Persis
sebagaimana tertulis dalam cerita fantasimu yang menyeramkan itu."
"Hanya kebetulan belaka, Pak Tarigan..."
"Mungkin. Yang pasti tetap melibatkan seorang perempuan di dalamnya!"
"Larasati?" dengus Ramandita ingin tertawa.
Namun perutnya terlalu sakit untuk tertawa.
"Hentikanlah berolok-olok, Ramandita. Aku berbicara mengenai perempuan yang
saat ini hidup di dunia nyata!"
"Oke. Oke. Teruskan!"
Ramandita menyerah.
"Empat,orang saksi mata sudah lebih dari cukup, Ramandita.Terakhir kali mereka
melihat Raharjo, seorang perempuan menemaninya. Mereka tak tahu siapa. Tak pernah
melihat sebelum maupun setelahnya. Tetapi mereka masih ingat ciri-cirinya...."
"Sudah dibuat sketsa, Pak Tarigan?"
"Tak perlu. Modusnya toh sama. Jadi kami tinggal memperlihatkan sketsa yang ada
pada kami!"
"Dan?"
"Positif. Seperti kubilang tadi, perempuan yang sama.Mengherankan, bukan?"
Tidak mengherankan, pikir Ramandita. Tidak, bila yang melakukannya memang
Larasati.
Tetapi Si Nona...benarkah ia terlibat dalam kedua kasus ini?

-- Halaman 100 Kolektor E-Book --


Bila benar,mengapa Ramandita tidak jatuh sebagai korbannya pula?
Toh ia telah melakukan hubungan seksual dengan Si Nona. Seperti yang dilakukan
Larasati dengan korban-korban yang kemudian dibunuhnya melalui hubungan seksual
itu.
"Komandan?" seorang inspektur polisi mendekat lalu berbisik-bisik dengan
komandannya.
Sang Ajun Komisaris seketika tampak kaku wajahnya dan bergegas pergi menuju
meja tempat telepon menunggu diangkat.Ramandita mendekati si Ajun Inspektur.
Bertanya panik,
"Korban baru lagi?"
Yang ditanya menjawab getir,
"Kalau pantas disebut korban, kamilah itu...."
"Ada kejutan baru agaknya?"
"Urusan intern, Bung Ramandita. Maaf saja..."
AKP itu akan berlalu, tetapi ditahan oleh Ramandita.
"Sudahlah, Pak. Kita buang saja birokrasi itu ke tempat sampah. Tuh, aku punya
jaminan memuaskan, bukan?" bujuk Ramandita seraya mengerling , ke arah Robinson
yang diam dengan wajah kaku mendengar pembicaraan seseorang di telepon.
"Yah. Kau sudah seperti orang dalam ini!"
Ajun Inspektur itu menyeringai.
"Lagi pula tak ada salahnya kuberitahu. Agar kalian orang-orang pers tidak nanti
ditanya-tanya, mengapa kasus yang kita hadapi saat ini mendadak dipetieskan. Itulah
yang dapat kutangkap dari pembicaraan singkat di telepon tadi...."
"Hem. Ada malaikat-malaikat yang kuasa menghitamputihkan kalian, ya?"
Ramandita berujar penuh minat.
"Malaikat yang juga makan nasi seperti kita-kita ini?"
"Soal makan nasi, Bung. Itu kuragukan. Mereka pasti lebih tertarik pada roti dan

-- Halaman 101 Kolektor E-Book --


keju..."
Si polisi tersenyum dikulum.
"Namun apa pun yang mereka makan, tak ada bedanya, bukan?"
"Lalu, siapa mereka itu?"
"Off the record, ya?"
Si Ajun Inspektur merendahkan suaranya.
"Mereka Ketua dan wakil ketua dewan komisaris hotel haram jadah ini. Adapun
kedudukan mereka secara resmi di mata umum ialah..."
"Inspektur!"
AKP Tarigan menggeram dari meja telepon.
"Siap, Komandan!"
"Instruksikan anak-anak yang saat ini berkeliaran disetiap sudut hotel. Tamu-tamu
harus diperlakukan lebih lunak. Penggeledahan tunda sebentar, sampai surat
perintahnya diturunkan. Mengerti?"
"Siap, Komandan!" jawab yang diperintah, tegas.
Lantas sambil berlalu ia mencibir ke arah Ramandita.
"Nah, apa kubilang!" bisiknya, masam.
"Dokter?" suara AKP Tarigan masih tetap angker,namun kali ini lebih lembut.
Dokter kepolisian berkepala botak yang sedang melap keringat di jidatnya menoleh.
"Sebaiknya barang busuk itu kita pindahkan,Dokter."
"Sekarang juga?"
"Benar. Makin cepat makin baik. Kita harus menghindari skandal, bukan?"
AKP Tarigan menyeringai kecut.
"Lalu? Rencana Anda dengan dukun itu?"
"Ah. Nanti sajalah itu kita pikirkan. Kau sendiri juga menentangnya bukan, Dokter?"

"Entahlah. Bahkan aku meragukan apakah aku masih berpikiran sehat sekarang ini!"

-- Halaman 102 Kolektor E-Book --


Si kepala botak menggeleng-geleng hilang akal. Lalu memerintahkan para
pembantunya untuk melaksanakan perintah Tarigan. Saat itulah Ramandita teringat
pada, tugas rutinnya.
Tetapi ia ragu-ragu.
Apa gunanya ia memotret?
Toh tak dapat dimuat.
Nanti pun ia dapat meminjam dari bagian identifikasi kepolisian.
"Bung Ramandita?" seseorang tiba-tiba menyapanya dengan nada hati-hati.
Ramandita menoleh dan seketika berhadapan muka dengan seraut wajah laki-laki
bertampang menarik tetapi jelas sedang gelisah. Laki- laki bersetelan lengkap dan
perlente itu menambahkan,
"Saya dibisiki Pak Komandan mengenai Bung..."
"Hem. Dia mestinya meminta izinku lebih dulu!" rungut Ramandita berseloroh
seraya mengerling ke arah Tarigan yang sedang sibuk memberi perintah pada salah
seorang anak buahnya.Si perlente tidak tergugah oleh seloroh Ramandita. Ia tetap saja
gelisah.
"Berkenan ikut dengan saya? Sebentar saja..." katanya, memohon.
"Ayolah!"
Ramandita menyatakan setuju. Ia gembira karena dapat menjauh dari onggokan
bekas manusia ditempat tidur. Diam-diam ia juga berharap orang ini punya sesuatu.
Paling tidak, petunjuk bahwa onggokan tulang-belulang mengerikan itu bukanlah hasil
perbuatan Si Nona.

***

Mereka berdua turun dengan lift ke lantai bawah,kemudian masuk ke kantor hotel

-- Halaman 103 Kolektor E-Book --


yang nyaman dan mewah.
Ramandita dipersilakan duduk. Ditawari minuman yang tentu saja disambut
Ramandita dengan senang hati. Dari tadi kerongkongannya sudah kering.
Dadanya lebih-lebih lagi.
Haram jadah!
Mengapa semua mimpi buruk ini harus terjadi?
"Bung ini wartawan, bukan?" si perlente bergumam resah, di balik mejanya.
Sebelum Ramandita mengiyakan, ia sudah meneruskan,
"Saya sangat berterima kasih bahwa Pak Tarigan tidak memperkenankan nyamuk
pers berkeliaran di dalam hotel kami malam ini. Menakjubkan bahwa Bung menerobos
pengawalan ketat anak buah beliau."
"Itu urusanku," desis Ramandita, mulai curiga apa maunya orang ini.
"Betul. Saya setuju. Dan tak akan ribut mengenai itu!" siperlente menyela dengan
suara waswas.
Seolah dia sudah diberitahu, bahwa dia bakal jatuh sebagai korban berikutnya.
"Saya ajak Bung ke kantor saya, adalah untuk membicarakan hal lain. Saya
bertindak atas nama direktur hotel. Kami berharap Bung bersedia melakukan kerja
sama."
"Untuk?"
"Yah... kami tak berhak melarang Bung memuat berita mengenai skandal mengerikan
di suite 607 tadi. Kami hanya dapat berharap, kalaupun toh Bung muat juga beritanya,
tolonglah nama hotel kami tidak disebut-sebut. Walau inisialnya sekalipun. Bila itu
sampai terjadi, Bung dapat bayangkan sendiri..."
"Hem!"
Ramandita merengut tak senang.
"Tamu- tamu kalian akan minggat ketakutan, bukan? Desas-desus akan tersebar
luas. Lalu kalian bangkrut sebelum sempat menarik napas...!"

-- Halaman 104 Kolektor E-Book --


"Syukurlah, Bung memahaminya...."
"Lantas?"
"Pertama-tama akan saya tulis cek tunai. Atas nama Bung!"
Si parlente membuka tas kerjanya,mengeluarkan buku cek dan pulpen, siap menulis
diselembar buku berharga itu.
"Apakah sepuluh juta rupiah cukup?"
Jadi itulah semuanya, pikir Ramandita, mulai kesal. Tak ada petunjuk. Tak ada
bantuan apa pun untuk meyakinkan alibi Si Nona. Dan itu hanya menjurus kesatu hal
saja: Ramandita terpaksa mengikuti jalan pikiran Harianto!
Ia tidak memperlihatkan kekesalannya. Justru timbul pikiran iseng. Sekadar
mengendurkan pikiran tegang. Ia mendengus acuh tak acuh, tetapi kata-katanya diberi
tekanan khusus,
"Reputasi terkadang sangat mahal harganya, bukan?"
"Benar," si perlente menyetujui, sambil dahinya mengerut.
"Untuk itu kami bersedia menaikkan jadi lima belas juta rupiah. Bagaimana?"
"Lima puluh juta!"
Ramandita nyeletuk seenak perutnya saja.Laki-laki gagah di belakang meja berlabel
manajer itu menyeringai kecut.
"Saya yakin Pak Direktur tidak akan keberatan dengan dua puluh juta," katanya,
bimbang.
"Lima puluh!"
"Begini, Bung Ramandita. Seperti Bung tahu sendiri..."
"Apa yang kuketahui itu urusanku!" ujar Ramandita dengan wajah dibuat sekeren
mungkin.
Di dalam hati ia tertawa. Intermezo ini benar-benar menyenangkan!
"Situ yang harus mengerti, bahwa aku tak biasa makan sendiri. Aku punya beberapa
teman lain yang pasti akan bertanya-tanya. Dan mereka semua tentu saja punya mulut

-- Halaman 105 Kolektor E-Book --


untuk disuapi. Lima puluh juta. Tak kurang"
"Wah. Saya harus berbicara dulu dengan Pak Direktur.Tetapi saya khawatir
beliau..."
"Teruskanlah berkhawatir. Selamat siang!" dengus Ramandita, lalu dengan wajah
galak bangkit dari kursinya.
Bersiap-siap pergi.
"Lima puluh juta. Baiklah. Baiklah!" si perlente menyerah.
"Saya mungkin dapat teguran keras. Atau dikenakan sanksi potong gaji. Tetapi saya
belum siap untuk pindah kerja di tempat lain. Duduklah Bung Ramandita, sementara
ceknya saya isi...."
Ramandita tidak duduk.
"Tak perlu," katanya.
"Tetapi...." si perlente pucat pasi wajahnya.
Dengan wajah berubah iba kasihan, Ramandita mengurai senyuman manis di bibir.
"Ketahuilah, Kawan. Ada satu hal yang paling tak kusukai dalam hidup ini. Yakni
diperas orang!" katanya, seraya mengawasi wajah siperlente yang tampak
kebingungan.
"Maka itu, selalu kuingatkan diriku agar tidak melakukan hal yang sama terhadap
orang lain. Paham?"
Wajah si perlente berubah cerah.
"Paham!" katanya,riang.
"Jadi Bung tak keberatan dengan sepuluh saja?"
"Satu sen pun haram kuterima!"
"Saya.. saya tak mengerti...."
"Situ akan mengerti bila menghentikan kebiasaan menyuap mulut orang lain dengan
cara kotor!"
"Maaf. Keadaan memaksa saya...."

-- Halaman 106 Kolektor E-Book --


"Hem. Betul juga. Ada kalanya kita harus menyerah pada keadaan. Lupakan sajalah.
Dan terima janjiku,untuk tidak menyebut-nyebut nama hotel kalian.Sebagaimana kalian
kehendaki walau inisialnya sekalipun. Oke?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Baru setelah ia lihat Ramandita berjalan ke
pintu, ia buru-buru bangkit menyusul. Dijabatnya tangan Ramandita dengan
keras.Tanpa menyembunyikan keharuan di wajahnya, ia berkata sungguh-sungguh,
"Bung tak akan pernah saya lupakan. Kapan-kapan Bung berniat istirahat beberapa
hari di hotel kami, Bung tinggal angkat telepon. Kami akan sediakan suite yang paling
bagus. Cuma-cuma,tentu saja!"
"Terima kasih. Imbalan, itu lebih memadai kukira,"sambut Ramandita acuh tak acuh,
sambil cepat-cepat berlalu.
Dengan pikiran bertambah sumpek.

***

DUABELAS

Ramandita tiba di kantor pusat surat kabar mereka,berbarengan dengan Harianto. Ia


cegat sahabatnya itu di pelataran parkir. Terus diseret ke warung kopi terdekat. Setelah
memesan minuman sambil mencicipi makanan ringan yang terhidang di meja,
Ramandita langsung mengutarakan apa yang telah ia putuskan sekembali dari hotel.
"Aku mulai berpikir-pikir untuk memercayai saja omonganmu, Yanto!" katanya,
tanpa sadar menghilangkan ketegangan dalam suaranya.
Harianto latah, ikut tegang.
"Larasati?" bisiknya tersedak.
"Bukan. Si Nona!"
"Ah. Si gadis misterius. Tak juga berhasil menemukan jejaknya, ya?"

-- Halaman 107 Kolektor E-Book --


"Jangankan aku. Polisi saja belum."
"Atau tak akan pernah. Gadismu itu jelas bersembunyi di tempat paling aman dan tak
mungkin dijejaki!"
"Di manakah itu?"
Ramandita tersenyum, mencemooh.Harianto menjawab tak peduli,
"Di lubang kubur Larasati!"
"Malangnya, kuburan Larasati itu tak pernah ada.Kecuali di sel-sel otak seorang
pengarang yang kemudian dicurahkan ke mesin tik!"
Ramandita mengerang, jemu.
"Kita lupakan saja dulu kuburan imajiner itu. Lalu kita pergi ke tempat lain..."
"Ke mana?"
"Sukabumi. Aku tak tahu apa yang kudapatkan nanti di sana. Barangkali saja dukun
yang kau sebut-sebut itu dapat membantu..."
Dengan semangat Harianto menanggapi,
"Aku yakin ia dapat. Kapan kau ingin pergi?"
"Hari ini juga!"
"Wah. Aku banyak pekerjaan, Rama..."
"Alaa, Yanto. Ini hari Sabtu, bukan? Terbitan hari Minggu bukan bagianmu!"
"Tetapi aku tak boleh lepas tangan begitu saja,Ramandita. Bisa-bisa aku kecolongan
lagi seperti dulu.Terpaksa bolak-balik menghadap ke pengadilan.Repotnya setengah
mati!"
"Repot apa!"
Ramandita tertawa kecil.
"Malah kau untung. Buktinya? Artis penyanyi yang waktu itu menggugat surat kabar
kita toh akhirnya; menarik pengaduannya. Lantas kau menikahi dia. Hidup bahagia
dengannya, sampai sekarang..."
"Bahagia. Hem!"

-- Halaman 108 Kolektor E-Book --


Harianto merenung.
Murung.
"Pada mulanya, memang. Tetapi semenjak kandungan Marianna diangkat, ia sering
dicekam ketakutan tiap kuajak bersetubuh. Sekali-sekali ia memang mampu mengatasi
ketakutannya, dan berhasil mencapai klimaks. Tetapi banyak kali ia merasa terpaksa
melayaniku, lantas berakhir dengan stres. Dan aku terpaksa lari dan lari lagi pada
perempuan lain...."
"Anna tidak sepenuhnya bersalah, Yanto."
"Betul. Mestinya aku yang mengurangi jadwal. Pun aku telah bolak-balik
berkonsultasi ke psikiater. Namun tetap sulit membatasi jadwal yang kami sepakati
berdua. Yang sering kali kulanggar dan kulanggar lagi!"
Harianto menghela napas panjang dan berat.
"Semua itu dimulai dari masa kecilku, Rama. Dan bukan pula salah orangtuaku
seluruhnya. Salahku juga bergaul dengan bocah-bocah tanggung sebayaku yang
terbiasa hidup liar. Aku pun lantas keranjingan buku-buku dan gambar-gambar porno.
Lalu tiap kali perbuatanku dipergoki Ayah atau Ibu, tiap kali pula aku dicambuk dan
dicambuk lagi. Anehnya, semakin keras aku dicambuk, hasrat berahiku justru tambah
bangkit .Masih beruntung ekses yang lebih buruk tidak menjangkitiku,menyiksa secara
fisik perempuan yang kutiduri. Namun toh nafsu seksualku yang menggebu-gebu tetap
sulitku kendalikan"
"Hei. Mie kocokmu sudah dingin!"
Harianto tersadar, lantas tertawa parau.
"Uh. Kita sudah melantur ke mana-mana, ya?"
Berpikir sejenak,Harianto kemudian memutuskan,
"Baiklah. Kita pergi ke Sukabumi hari ini juga. Tetapi setelah beberapa urusan di
kantor lebih dulu kuselesaikan!"
"Terima kasih, Yanto,"

-- Halaman 109 Kolektor E-Book --


Ramandita berujar gembira.
"Kemungkinan besar kita harus-bermalam, Rama."
"Jadi bantulah aku untuk sama-sama pamit pada istriku!"
"Sebagai jaminan, ya?"
Ramandita tertawa bergelak.
"Habis? Hanya kau satu-satunya orang dengan siapa aku dapat pergi bermalam
tanpa dicurigai istriku. Si Anna tahu betul kau laki-laki yang setia pada istri,meski kau
dan istrimu berpisah. Yaaah, meskipun dia itu artis numpang beken.... bekas artis
maksudku, tetapi kalau sudah uring-uringan, dia tak ada tandingannya dalam kontes
nyanyiin suami!"
Mereka berdua lalu masuk ke kantor. Dan ternyata cukup banyak urusan
masing-masing yang harus dikerjakan. Baru lepas maghrib mereka dapat pulang
kerumah Harianto. Sang nyonya tidak keberatan suaminya pergi bersama Ramandita.
"Asal kembali utuh. Tak ada cacat cela!" sindirnya,tertawa.

***

Di Sukabumi mereka istirahat sejenak untuk makan malam dan membeli oleh-oleh
roti kaleng serta kain sarung untuk Aki Juhari yang akan mereka temui. DiCisolok,
mobil terpaksa mereka titipkan di rumah salah satu penduduk. Dari situ naik ojek
sepeda motor melalui jalanan sempit berbatu-batu, naik-turun sangat curam dan
berbahaya. Baru sekitar pukul 11 malam mereka sampai ke alamat yang dituju.
"Memang pada jam begini Aki Juhari biasanya ada dirumah..." pengemudi ojek
menjelaskan.
"Apakah kalian tidak lupa membawa roti kaleng dan kain sarung kesukaannya?"
"Beres," jawab Ramandita, sambil bersyukur Harianto sudah mengingatkan lebih
dulu.

-- Halaman 110 Kolektor E-Book --


"Syukurlah. Biasanya kalau sudah selemari, orang tua itu akan membagi-bagikan
kain sarungnya. Saya sendiri sudah tiga kali kebagian!" pengemudi ojek itu tertawa
gembira.
"Nah. Itu beliau sudah membuka pintu. Sudah tahu bakal ada tamu berkunjung!"
Apa yang dikatakan pengemudi ojek itu memang benar. Ketika Ramandita masuk ke
rumah bersama Harianto, di atas meja ruang tamu sudah terhidang dua gelas kopi
tubruk dan sepiring penganan ringan.Mereka dipersilakan duduk dan minum lebih dulu
sebelum membicarakan maksud kedatangan mereka.Sembari mencicipi kopi hangat
yang terasa sangat nikmat karena hawa malam yang dingin menggigit,Ramandita
mempelajari tuan rumah. Orangnya tampak biasa-biasa saja. Tidak terlalu tua, meski
menurut Harianto konon usianya sudah mencapai satu abad.Tutur kata maupun
pendengaran tuan rumah pun masih jelas dan teratur, gerak-gerik tetap energik.
Aki Juhari berkain sarung dan baju sontog saja. Tak sebagaimana dibayangkan dan
ditulis Ramandita dalam novel-novel misterinya: pakai ikat kepala, sarung
disandangkan di pundak, plus kalung dan gelang akar bahar. Wajah Aki Juhari pun
tidak kecut, matanya tidak kemerahan-merahan, sikapnya tidak menakutkan.
Aki Juhari lebih mirip ustad di tempat-tempat pengajian yang sesekali diikuti
Ramandita.Selesai mencicipi hidangan, Aki Juhari tiba-tiba berujar,
"Kalian mau minta bantuan mencari seorang perempuan, ya?"
Tentu saja Ramandita tersedak. Bagaimana orang tua ini tahu apa tujuan mereka?
Ia melirik kawannya yang manggut-manggut dengan sikap tenang, tanpa
memperlihatkan keheranan sedikit pun juga.Aki Juhari meneruskan lagi, dengan tutur
kata yakin,
"Yang kalian cari bukanlah perempuan sembarangan.Melainkan perempuan yang
ada kaitannya dengan alam gaib. Ada kekuatan jahat bersembunyi di balik tubuhnya.
Dan kekuatan jahat itu telah mengambil korban orang-orang yang tak berdosa. Apakah
aku benar?"

-- Halaman 111 Kolektor E-Book --


Tak pelak lagi Ramandita bertanya takjub,
"Bagai,mana Aki mengetahuinya?"
"Dengan melihat wajahmu, Nak Ramandita"
"Oh."
"Dapat memberikan ciri-dri perempuan itu?"
Ramandita segera mengeluarkan amplop tebal yang sengaja dibawanya. Sketsa yang
menggambarkan wajah kasar Si Nona ia perlihatkan pada orang tua itu,yang
mempelajarinya dengan saksama.
"Gadis muda lagi cantik rupawan...." gumamnya,menggeleng.
"Wajahnya begini polos dan lugu. Tak tampak seperti orang berdosa. Apalagi
memiliki ilmu hitam yang jahat..!"
Aki Juhari kemudian menanyakan bagaimana mulanya Ramandita berkenalan
dengan gadis itu. Juga mengapa gadis itu dicurigai telah mengambil korban, dan
bagaimana keadaan korban-korban yang dimangsanya.Orang tua itu mendengarkan
dengan serius, dan dahinya mengerut ketika Ramandita menuturkan keheranannya
bagaimana mungkin tokoh dalam cerita fiksi yang ia tulis muncul di dunia nyata?
Aki Juhari kemudian bertanya hal-hal yang lebih detail.Setelah Ramandita teringat,
ia lalu menceritakan mengenai malam berkabut serta obrolan iseng dengan Harianto di
percetakan. Si orang tua lantas manggut-manggut mengerti. Katanya,
"Aku selalu bernasihat pada anak-anak muda agar tidak berucap atau bertingkah
laku sembrono, tanpa lebih dulu dipikir buruk-baiknya. Nasihatku adalah bila tersesat
di hutan,jangan sebut-sebut harimau. Bila pikiran kita sedang gelap, jangan
panggil-panggil setan...!"
Ramandita menahan napas.
"Jadi di situlah letak kesalahanku," desahnya, gelisah.
"Tetapi, Ki, sesungguhnya aku tak pernah percaya bahwa hantu itu benar-benar
ada..."

-- Halaman 112 Kolektor E-Book --


"Hantu, anakku!"
Aki Juhari tersenyum.
"Hanyalah istilah. Secara umum, kita menyebutnya setan!"
"Setahuku, setan hanya ada dalam diri manusia...."
Ramandita terpancing berdebat.
"Itu memang betul, Nak. Tetapi setan juga ada di luar diri manusia. Apalagi bila
manusia itu lemah imannya.Kalau tak lemah iman, mungkin lemah mental, atau juga
fisik. Dalam kondisi seseorang sedang lemah, apapun dapat terjadi. Termasuk
peristiwa-peristiwa gaib.Aku tidak bermaksud mengatakan kau sedang lemah iman atau
sedang sakit mental atau fisik, anak muda.Kau kelihatan sehat wal afiat. Cuma saja,
terkadang kita lupa diri, bukan? Dan kita suka lupa apa yang disuruh camkan
orang-orangtua kita. Bahwa mulutmu adalah harimaumu. Paham?"
Ramandita mengangguk. Ia memang sering mendengar perumpamaan itu. Baik lewat
pembicaraan sehari-hari,dan juga terutama ketika masih bocah ia sering mengikuti
pengajian. Teringat ke situ, diam-diam Ramandita menyesali diri sendiri. Sejak ia
berpisah dengan Magdalena, jiwanya selalu terguncang. Ia dan Magdalena saling
mencintai satu sama lain. Saling mengasihi dalam keadaan apa pun juga.
Tetapi mengapa musibah itu harus terjadi di antara mereka?
Sebagai seorang wartawan, Ramandita telah menulis berita sesuai hati nuraninya
dan sebagaimana adanya.Ia bertujuan membongkar perbuatan buruk dan jahat orang
lain, yang jelas-jelas merugikan masyarakat banyak.
Itikadnya baik.
Tetapi akibatnya justru mengerikan. Justru dirinya yang jatuh sebagai korban.Kalau
hanya Ramandita saja, tak apalah. Tetapi Magdalena yang tak berdosa, harus ikut
sebagai korban?
Tuhan tidak adil, begitulah Ramandita sering mengeluh. Dan ia pun mulai
melalaikan apa yang pernah didapatinya dari orangtua maupun guru mengajinya.

-- Halaman 113 Kolektor E-Book --


Aki Juhari benar sekali.
Belakangan ini iman Ramandita semakin lemah.
Lalu Tuhan pun mengujinya.
Melimpahi Ramandita dengan cobaan berat. Yang tak masuk di akalnya pula!

***

TIGABELAS

Ramandita keranjingan menulis berita kejutan. Salah satu berita yang ia tulis dua
tahun yang lalu,menyebabkan seorang bupati terpaksa dicopot dari kedudukannya.
Dalam suatu perjalanan keliling ke daerah, Ramandita berhasil mengungkapkan
informasi yang dapat dipertanggung jawabkan, bahwa sejumlah tender proyek besar di
daerah tersebut senantiasa dimenangkan secara bergiliran oleh salah satu dari lima
perusahaan yang bernaung di bawah satu grup.Masing-masing perusahaan itu
dipimpin oleh seorang direktur, yang ternyata hanya berkuasa di atas kertas saja.
Mereka digerakkan oleh orang-orang lain yang berdiri di belakang layar dengan posisi
sebagai anggota dewan komisaris. Data yang diperoleh Ramandita menunjukkan
bahwa kelompok dalang itu punya kaitan erat dalam hirarki keluarga bupati yang
sekaligus merangkap jabatan sebagai pemimpin proyek.Informasi yang diperoleh
Ramandita dari perusahaan saingan yang dengan sakit hati terpaksa gulung tikar itulah
yang menyebabkan bupati setempat dimutasi kekantor gubernur menempati sebuah
meja tanpa telepon,tanpa anak buah, kecuali seorang sekretaris.
Tetapi Ramandita tidak mau berhenti sampai di situ saja.Manusia-manusia brengsek
harus menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya!
Demikian Ramandita berpikir.
Dan, Ramandita beruntung.

-- Halaman 114 Kolektor E-Book --


Salah satu grup perusahaan itu terbukti pernah melakukan manipulasi pajak
besar-besaran yang menyebabkan negara dirugikan sekitar dua miliar. Tetapi berkat
pengaruh sang bupati, manipulasi itu berhasil ditutupi. Tetapi korban manusia jatuh
karenanya. Salah seorang staf inti di perusahaan itu berniat membongkar rahasia
setelah istrinya beberapa kali dizinahi pimpinan perusahaan itu sendiri. Tak kuat
menanggung aib, si istri bunuh diri. Suaminya kemudian minta berhenti,tetapi
sebelumnya berhasil mencuri sejumlah dokumen.Yang ia curi tak pernah ditemukan,
karena dokumen itu telah ia titipkan pada seorang kepercayaannya, dan orang itulah
yang menyerahkan pada Ramandita dengan syarat identitasnya tidak
diungkapkan.Ditambah informasi lainnya, Ramandita kemudian memuat lengkap isi
dokumen itu di surat kabar tempatnya bekerja. Si bekas bupati beserta mertuanya yang
pimpinan perusahaan dimaksud, tentu saja kalang kabut. Ada indikasi kuat mereka
terlibat dalam pembunuhan itu, dan bayangan jeruji penjara sudah tak terelakkan lagi.
Lalu tekanan dan teror mental pun muncul dari mana-mana yang mau tak mau
membuat Ramandita berwaspada.
Sayang, ia lengah.
Suatu malam ketika ia beristirahat disebuah vila milik almarhum mertuanya, ia dan
istrinya didatangai tiga orang tamu tak dikenal. Dengan berpura-pura sebagai petugas
kelurahan setempat yang ingin membicarakan rencana perayaan Hari Kemerdekaan,
ketiga laki-laki itu dipersilakan masuk.Dan terjadilah apa yang seterusnya menjadi
trauma dalam kehidupan rumah tangga Ramandita.Selagi Magdalena pergi ke dapur
untuk membuatkan minuman, salah seorang tamu bergerak cepat.Tahu-tahu saja ia
sudah berdiri di belakang Ramandita,dengan mata sebilah pisau komando menempel di
leher Ramandita. Pelayan yang terbaring sakit di kamarnya,diringkus. Magdalena yang
tak menduga apa-apa,diseret dari dapur. Tiga laki-laki misterius itu bekerja tanpa
banyak bicara.
"Kalian berdua akan kami biarkan tetap hidup," kata salah seorang lelaki itu.

-- Halaman 115 Kolektor E-Book --


"Tetapi hidup yang akan penuh penyesalan"
Ramandita tak kuasa melawan. Karena laras sepucuk pistol menempel di jidat
Magdalena. Mulut Ramandita disumpal dengan isolasi plastik lebar yang mereka
keluarkan dari tas yang mereka bawa ke vila itu.Dengan isolasi itu pula Ramandita
diikat kuat ke lemari besar di ruangan tengah. Dengan ngeri ia hanya dapat melihat
bagaimana lengan Magdalena kemudian ditusuk dengan sebuah alat suntik, lalu
dipaksa rebah telentang di lantai. Tetap dengan todongan laras pistol di jidatnya
disertai ancaman:
"Bertingkah macam-macam, kepalamu hancur!"
Menit demi menit berlalu, tak terjadi apa-apa.Ramandita yang semula menduga
istrinya diberi suntikan morfin dalam dosis tinggi, kemudian melihat bagaimana
Magdalena mulai menggeliat resah,mengerang secara aneh, dan matanya bergerak
liar.Lelaki bersenjata tadi segera mengangkangi tubuh Magdalena dengan mulut
menyeringai.
"Kau pasti ingin ke surga bersamaku, bukan?" lelaki itu berkata menyeringai.
Lalu dimulailah perkosaan itu.Mulanya Magdalena melakukan perlawanan, tetapi
lambat laun berubah menunjukkan reaksi menyambut.Begitu bergairah dan
bernafsunya, sehingga Ramandita segera menyadari bahwa yang disuntikkan ke tubuh
Magdalena adalah obat perangsang yang kuat. Dua laki-laki lain, bertopeng, segera
pergi keluar rumah.Tentu saja untuk berjaga-jaga. Dan si tokoh pimpinan yang tak
mengenakan penutup muka sama sekali, naik turun dengan leluasa di atas tubuh
Magdalena,bergulingan di lantai dalam luapan nafsu seksual yang
menggebu-gebu.Ramandita hanya mampu menyumpah-nyumpah ketika terdengar
rintihan nikmat dan senang dari mulut Magdalena, kala istrinya mencapai klimaks
seksual.Sambil tertawa kecil ia berkata pada Ramandita,
"Istrimu bukan saja cantik, tetapi juga hebat dalam bercinta...."
Magdalena yang masih terkulai letih kemudian disepak pada tengkuknya. Laki-laki

-- Halaman 116 Kolektor E-Book --


itu kemudian berlalu.Sebelum lenyap, ia sempat berkata kagum,
"Oom Tarjo memang punya banyak cara untuk melumpuhkan wanita."
Di situlah kuncinya..
Sutarjo, pimpinan perusahaan yang terlibat manipulasi dan pembunuhan itulah yang
jelas dimaksudkan oleh laki-laki yang kemudian menghilang bersama dua temannya itu.
Kalimat perpisahan yang menentukan itulah yang kemudian dipakai sebagai patokan
oleh Ramandita. Dibantu oleh Robinson Tarigan dan dibekali rekomendasi dari
seorang perwira tinggi di Mabes Polri, Ramandita akhirnya berhasil melacak silelaki
yang ternyata seorang bekas residivis kelas kakap di Jakarta.Tiga bulan kemudian,
bekas bupati dan mertuanya terlibat dalam suatu perkelahian di kompleks penjara.
Simertua mati terbunuh.
Si bekas bupati lebih beruntung.Ia berhasil diselamatkan petugas yang cepat turun
menguasai keadaan, tetapi bekas Bupati itu harus meringkuk di penjara dengan tubuh
cacat di sana sini sepanjang hidupnya. Ramandita telah melampiaskan dendam
kesumatnya secara tuntas.Tetapi di balik pembalasan dendam itu, ia juga jatuh sebagai
korban. Selain biaya materi yang tak sedikit untuk melaksanakan dendamnya, ia juga
terpaksa harus melepaskan Magdalena.
"Aku selalu dihinggapi perasaan bahwa kau pasti jijik padaku, teringat peristiwa di
vila malam itu...." begitu ucap Magdalena dengan tabah.
"Aku juga mencintaimu, Rama, dan cintaku padamu tak akan pernah berakhir. Tetapi
cinta saja tidaklah cukup,bukan?"
Kemudian Magdalena pergi. Magdalena tidak mau menerima kenyataan, bahwa
semua itu terjadi bukan atas kehendak mereka berdua.
"Satu-satunya yang masih dapat kita lakukan, Rama," katanya beberapa waktu
kemudian,
"adalah bertemu satu-dua jam,sekadar melepas rindu. Sampai akhirnya cinta itu
mati dengan sendirinya. Dan kita tidak lagi terikat satu sama lain..."

-- Halaman 117 Kolektor E-Book --


"Nah...."
Aki Juhari membuyarkan lamunan Ramandita.
"Tugaskulah untuk membantu Nak Ramandita sedapat-dapatnya. Maafkanlah aku
sebentar..."
Orang tua itu kemudian masuk ke ruang dalam.Ramandita menoleh ke Harianto,
yang membalas dengan senyuman lirih.
"Kita datang pada orang yang tepat, bukan?"
Harianto bergumam pelan.
"Entahlah. Aku masih bingung," bisik Ramandita,gelisah.
"Aku masih yakin bahwa Si Nona itu manusia biasa adanya, bukan hantu!"
"Kita lihat saja nanti."
Aki Juhari kembali. Ia letakkan sebuah baskom berisi air di atas meja. Selain air, di
baskom itu juga tampak rempah-rempah, bunga warna-warni plus beberapa pucuk
daun. Setelah membakar kemenyan, Aki Juhari meminta tamu-tamu supaya tenang dan
tidak mengganggu selama ia bersemedi. Menangkupkan lengan bersilang di depan
dada, Aki Juhari kemudian duduk tegak dengan kelopak mata dipejamkan.Mulutnya pun
komat-kamit tanpa suara.Melihat sikap semedi Aki Juhari, Ramandita menahan napas.
"Kalau yang ini... persis yang kutulis di novelku!"ia membatin, terus menyempitkan
lubang hidung untuk menahan bau menyan yang tajam serta mengganggu
pemapasannya.
Sekali ia hampir terbatuk, namun ditahannya sekuat daya. Akhirnya paru-paru
terpaksa ia longgarkan, dengan membiarkan hidungnya dimasuki bau menyan secara
leluasa.Ia menunggu bunyi guntur atau petir. Ia juga menunggu bunyi lolongan anjing
di ke jauhan yang sayup-sayup terdengar. Pun ia menunggu hawa dingin yang
menyergap tiba-tiba. Tetapi suasana tetap saja tenang. Hawa dingin memang terasa,
tetapi tidak lebih dingin dari ketika mereka datang. Malah hawa sedikit hangat,
mungkin karena asap menyan yang terus mengepul. Apa yang ditunggu Ramandita,

-- Halaman 118 Kolektor E-Book --


hanya ada dalam cerita karangannya saja!
"Hap!"
Aki Juhari membentak mengejutkan. Kelopak matanya terbuka nyalang, menatap
lurus ke baskom.Ramandita sempat kaget mendengar suara-orang tua itu tiba-tiba
memecah keheningan. Dan meski sudah sering ia tulis dalam novel-novelnya, toh dia
dibuat lebih kaget ketika menyaksikan bagaimana dedaunan serta bebungaan di
permukaan air dalam baskom satu demi satu menyisih sendiri. Begitu pula
rempah-rempah yang terbenam di dasar baskom. Hingga tinggal lingkaran air bening
serta dasar baskom yang putih berkilauan memantulkan cahaya lampu di atas
mereka.Satu-dua detik permukaan air tampak bergetar.
Kemudian diam.
Ketika air bergetar lebih hebat lagi,Aki Juhari berbisik-bisik seperti pada diri
sendiri,
"Aku melihat perempuan-perempuan berkeliaran di sebuah ruangan. Besar dan
pengap oleh bau asap rokok. Aku melihat banyak laki-laki hilir mudik. Laki-laki
berseragam... ada yang bersenjata... Ah, polisi-polisi...."
Ramandita melirik ke permukaan air. Kecuali getaran air, ia tidak melihat apa pun
lagi. Sementara si orangtua meneruskan dengan bisikan semakin tajam,
"Nah.Itu dia. Duduk di kursi... sedang berbicara dengan salah seorang polisi itu...
Benar. Pasti dia. Tak kuragukan lagi!"
"Nona?"
Ramandita menyela tanpa dapat dicegah.
"SiNona? Di kantor polisi? Bagaimana mungkin?"
Permukaan air diam mendadak. Dedaunan,rempah-rempah, bebungaan, kembali
bergerak pula,mencari tempat kosong di permukaan maupun didalam air. Harianto
terdengar mendengus kesal seraya menatap tak senang pada sahabatnya. Ditatap
begitu,Ramandita menyeringai kecut. Namun Aki Juhari tidak tampak marah karena

-- Halaman 119 Kolektor E-Book --


terganggu. Aki Juhari bangkit dari duduknya, masuk cepat ke dalam, dan keluar lagi
dengan sebuah boneka kayu serta dua batang paku.
"Mumpung dia masih di sana...." katanya, tersengal-sengal,
" mumpung pula dia tak siap menghadapi kita,biarlah dia kulumpuhkan lebih dulu!"
Dan sebelum Ramandita sempat berkomentar, Aki Juhari sudah menusukkan
ujung-ujung paku ke lutut-lutut boneka kayu. Dengan paku-paku tetap tertancap,
boneka kayu dicemplungkan si orang tua ke dalam baskom.
"Hem.Kayunya sudah basah semua. Perempuan itu tak sempat lagi mengetahui siapa
yang tiba-tiba melumpuhkannya. Ia tak sempat lagi melakukan balasan!"
Habis berkata demikian, Aki Juhari masuk lagi ke ruang dalam. Secepat ia masuk,
secepat itu pula keluar lagi.
Ia memegang sesuatu.
Ramandita tahu itu adalah sarung keris. Karena gagang keris yang meliuk dan
berbentuk kepala ular tampak jelas menyembul dari gagang sarung kayu itu. Benda
tersebut membuat jantung Ramandita menciut.
"Mau Aki apakan Si Nona?"
Ramandita bertanya cemas.
"Sementara belum. Entah nanti. Yang pertama-tama harus kita lakukan adalah
menemuinya. Sekarang juga!"
Aki Juhari mengajak tamu-tamunya meninggalkan rumah. Ramandita tentu saja
menyetujui dengan gembira, meski campur takut. Gembira karena akan melihat Si
Nona, dan takut kalau Si Nona diapa-apakan oleh Aki Juhari. Dua buah ojek yang
mereka carter,masih menunggu di luar. Sebelum naik, Harianto berbisik dekat telinga
Ramandita,
"Hebat dia, bukan? Senantiasa bergerak cepat"
Ramandita tampak berpikir. Lalu mendekati aki Juhari.Menanyakan apa yang sesaat
tadi mengganggu pikirannya,

-- Halaman 120 Kolektor E-Book --


"Yakinkah Aki, yang Aki lihat adalah perempuan yang kita inginkan?"
"Tentu saja," jawab orang tua itu tersenyum.
"Ia tampak berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya!"
"Perbedaannya?"
"Aku melihat sinar biru yang samar-samar memancar di sekeliling tubuh gadis itu."
"Oh...?"
Ramandita membelalak, tak percaya.
"Satu hal lagi. Apakah kau punya kenalan seorang polisi? Kalau mungkin, polisi itu
punya pengaruh..."
Ramandita teringat pada Tarigan.
"Ada," katanya.
"Tetapi ke mana kita akan pergi?"
"Ke kantor polisi, tentu saja!"
Aki Juhari mengajak Ramandita naik satu ojek dengannya, karena memang yang
tersedia cuma dua ojek. Yang satunya lagi ditumpangi Harianto. Dalam perjalanan di
atas ojek, tak seorang pun berbicara.Bunyi mesin ojek terlalu keras dan bising, apalagi
karena berboncengan bertiga menyebabkan Aki Juhari,terutama Ramandita, merasa
khawatir tertimpa celaka.Ternyata mereka selamat sampai ke rumah di mana mobil
Ramandita dititipkan.Barulah setelah di dalam mobil mereka dapat mengobrol dengan
tenang. Ramandita mengatakan banyak sekali kantor polisi di Jakarta, dan Aki Juhari
berkata tenang,
"Kau punya relasi, bukan? Mintalah relasimu membantu kita menghubungi setiap
kantor polisi!"
"Bagaimana Aki mengetahui, orang yang kita cari ada di kantor polisi?"
"Ya polisi-polisi, ya ruangannya, juga suasananya. Satu hal lagi,
perempuan-perempuan yang berkeliaran itu.Mereka tampak genit-genit. Sepertinya
pelacur-pelacur..."

-- Halaman 121 Kolektor E-Book --


"Yang terkena razia!"
Harianto menyela, setuju. Sambil melirik Ramandita yang duduk tegang di belakang
kemudi, ia menambahkan,
"Pelacur-pelacur jalanan!"

***

Ramandita merasa ulu hatinya sakit. Misalnya memang Si Nona lah yang dilihat Aki
Juhari, misalkan benar SiNona ditangkap polisi, tetapi mengapa dengan
pelacur-pelacur jalanan?
Apa sebab Si Nona dijaring polisi-polisi susila?
Jawabannya jelas karena Si Nona juga pelacur. Tetapi pelacur jalanan!
Yang katanya liar dan murahan!
Sakit rasanya hati Ramandita. Gadis itu begitu muda, begitu cantik, tampak tak
berdosa.
Dan masih perawan ketika ditiduri Ramandita!
Tidak!
SiNona bukan pelacur!
Ataukah barangkali Si Nona kemudian jadi pelacur, setelah Ramandita merenggut
kegadisannya secara tidak bertanggung jawab?
Lalu mengapa Si Nona harus terlibat dalam kasus Kerangka Berpakaian Seragam
dan kasus Kerangka di KamarHotel?
Ya Tuhan.
Semoga semua itu hanya kebetulan belaka.Biarlah Si Nona akhirnya terjerumus jadi
pelacur.Tetapi janganlah ia jadi pembunuh.
Pembunuh mengerikan pula!
Ramandita berdoa.

-- Halaman 122 Kolektor E-Book --


Dan terus berdoa.
Dengan pikiran semakin kalut.Dalam kekalutan pikiran itu sempat terlintas
kemungkinan lain di sel-sel otak Ramandita yang berlari-lari semrawut.
Mungkinkah peristiwa yang sama telah terulang?
Seperti dulu peristiwa terkutuk di vila bersama Magdalena?
Bahwa seseorang atau sekelompok orang tengah merencanakan sesuatu untuk
mencelakakan dirinya!
Tetapi, siapa?
Ramandita memutar otaknya yang sudah letih.Semenjak berita besar yang dibuatnya
dua tahun yang lalu dengan Magdalena jatuh sebagai korban, ia sudah tak bergairah
lagi menulis berita-berita sejenis. Timbul semacam pendirian yang terkadang
membuatnya hilang percaya diri, buat apa kita membongkar kebenaran kalau
kebenaran itu akhirnya menghancurkan diri kita sendiri?
Sekadar pelipur lara, sesekali ia membuat juga berita atau analisis yang sesuai
dengan hati nuraninya.Namun ia cukup hati-hati agar tidak menciptakan musuh
berbahaya seperti dulu-dulu. Karena cara ini tetap tidak memuaskan jiwanya, ia
larikan protes-protes melalui cerita-cerita fiksi. Ia memang memperoleh kepuasan
walau sifatnya semu. Tetapi sekurang-kurangnya ia tidak lagi menciptakan musuh yang
dapat mengorbankan orang lain di sekitarnya.
Apalagi orang yang dicintai.
Cinta, ah!
Untuk jatuh cinta saja, sudah mulai hilang keberanian Ramandita!
Ataukah diam-diam ia sudah berpikir untuk memulai lagi?
Dengan Si Nona?

***

-- Halaman 123 Kolektor E-Book --


EMPATBELAS

Mereka tiba di Jakarta sekitar pukul dua dini hari.Langsung ke kantor polisi tempat
Robinson Tarigan bertugas mengepalai Seksi Pembunuhan. Tak ada kesulitan yang
mereka hadapi karena petugas piket mengenal baik Ramandita. Kecuali sedikit
kebingungan menerangkan siapa Aki Juhari yang masih mengenakan kain sarung itu.
"Seorang kenalan dari desa, dan ingin bertemu Pak Tarigan...."
"Barusan pulang," petugas piket memberi tahu.
"Kami ke rumahnya saja."
"Sebentar kuhubungi dulu. Siapa tahu beliau sudah tidur dan tak boleh diganggu!"
Petugas piket baru saja mengangkat telepon sewaktu seseorang lewat di depan pintu
kantor piket. Inspektur Satu Rajiman, yang mendampingi Ajun Komisaris Polisi
Robinson Tarigan dalam kasus Kerangka di kantor piket dan ketika melihat Ramandita,
ia berseri riang,
"Sudah kami temukan, Bung!"
"Apa?" tanya Ramandita, dengan jantung berdebar.
"Gadis itu!"
"Si Nona?"
"Lho. Kok kau bisa tahu namanya?"
Rajiman terheran-heran.
"Memang lucu terdengarnya. Tetapi begitulah gadis itu menamakan diri. Nona. Dan
dia..."
Ramandita berkata pada petugas piket,
"Biarkan Pak Tarigan tidur nyenyak!" lalu ia mengajak teman-temannya menemui
Rajiman yang bersedia juga ditemui dikantornya.
Ramandita memperkenalkan Harianto sebagai redaktur pelaksana surat kabar
tempat ia bekerja. Adapun Aki Juhari yang diawasi si Letnan dengan pandangan

-- Halaman 124 Kolektor E-Book --


menyidik, diperkenalkan Ramandita sebagaimana tadi ia perkenalkan pada petugas
piket.
"Si Nona dijaring seksi susila di sekitar Lapangan Monas. Lebih-kurang pukul
sembilan malam tadi. Dia dibawa ke Polres Jakarta Pusat. Tetapi segera dikirimkan ke
Polres kita setelah ia dicurigai sebagai orang yang kita cari. Tentu saja kami
menyambutnya sebagai durian jatuh. Komandan sendiri yang menginterogasi dia...."
Ramandita menyela tak sabar,
"Di mana gadis itu sekarang?"
"Di rumah sakit!" jawab Rajiman, dan tarikan mukanya berubah bingung.
"Aneh sekali. Sewaktu diperiksa gadis itu tiba-tiba mengatakan lutut-lututnya sakit
sekali. Ia coba bangkit, lalu tiba-tiba jatuh. Rupanya ia mendadak dapat serangan
penyakit lumpuh...."
Sementara Ramandita saling bertukar pandang dengan Aki Juhari yang tersenyum
diam-diam, Rajiman bergumam pula,
"Lebih aneh lagi, dokter yang memeriksanya di rumah sakit menyatakan tak ada
gejala-gejala atau petunjuk apa pun yang mereka temukan sehingga gadis itu tiba-tiba
lumpuh begitu saja.Kecuali pada darahnya..."
"Ada apa dengan darahnya?"
Ramandita bertanya,khawatir.
Lukakah lutut-lutut Si Nona?
Astaga,paku-paku itu.
Bagaimana kalau berkarat?
Tetapi Ramandita segera teringat, bukan lutut Si Nona yang dihunjam paku,
melainkan lutut boneka kayu di rumah Aki Juhari.
"Darahnya...."
Rajiman berdecak heran.
"Berbintik-bintik hitam. Dokter sendiri sampai kaget melihat darah gadis itu. Mereka

-- Halaman 125 Kolektor E-Book --


kini masih memeriksa contoh darah sigadis di laboratorium."
"Dan gadis itu? Di kamar berapa ia dirawat?"
"Hem. Buat seorang pelacur jalanan, Si Nona termasuk beruntung. Sewaktu kami
tiba di rumah sakit, semua kelas terisi penuh. Karena yang kosong hanya sebuah kamar
paviliun, di sanalah ia kami titipkan, Tentu saja di bawah penjagaan ketat."
"Sebagai?"
Ramandita bertanya parau bulu kuduknya merinding.
"Tersangka!"
"Pelacur?"
"Tersangka pembunuhan, Bung. Itu primernya.Subsider, sebagai tersangka anggota
komplotan pembunuh. Kami beruntung, Bung Ramandita. Gadis itu mengaku terus
terang bahwa ia memang berkenalan dengan Ridwan dalam kasus Kerangka
Berpakaian Seragam. Begitu pula dengan Raharjo yang di hotel berbintang empat.
Hebat dia, bisa naik tingkat dalam tempo sekejap, jadi pelacur kelas kakap,"
Rajiman berdecak-decak. Kali ini dengan nada kagum.
Wajah cantik.
Tubuh menawan.
Suara lembut-lembut basah pula.
"Hem!"
Ramandita berkeringat dingin.
"Dia... mengaku sebagai pembunuh?"
"Oh. Mengenai itu, belum diakuinya. Tetapi kami yakin,pengakuan itu akan kami
dapatkan juga!"
"Lantas, apa saja yang telah ia akui?"
"Cuma bertemu lalu bersetubuh dengan Ridwan maupun Raharjo. Setelah itu
menghilang. Soal mengapa tak ada saksi yang melihat ketika ia menghilang, dia bilang
itu bukan kesalahannya. Juga mengenai adanya kedua kerangka yang kita temukan,dia

-- Halaman 126 Kolektor E-Book --


bilang tidak tahu-menahu sama sekali. Katanya lagi,ia melacur bukan karena motif
uang. Melainkan kesenangan belaka. Luar biasa, bukan?"
"Jadi, dia masih di rumah sakit?"
Aki Juhari tiba-tiba menyela.
"Kita harus ke sana secepatnya!"
" Ha!"
Rajiman kaget.
"Ada urusan apa Bapak ingin menemuinya?"
Aki Juhari tersenyum tipis. Lalu menjawab santai,
"Barangkali saya dapat membantu menyembuhkan ,kelumpuhannya."
"Siapa Bapak ini sebenarnya?"
"Ah. Hanya manusia biasa. Hanya kebetulan beruntung dikaruniai kelebihan
sedikit..."
"Maksudnya?"
"Aki Juhari dikenal sebagai dukun,"
Ramandita terpaksa menjelaskan.Rajiman tampak berpikir-pikir. Kemudian, berujar
bimbang,
"Untuk itu, diperlukan izin dari Komandan."
"Alaa. Hanya ingin bertemu saja kok. Sambil membantu-bantu, kalau mungkin!"
bujuk Ramandita.
Karena lawan bicaranya masih terap bimbang,Ramandita menegaskan,
"Bapak silakan mendampingi.Kalau terjadi apa-apa, biar akulah yang
bertanggungjawab!"
"Hei. Nanti dulu. Kau tampak sangat berminat menemui gadis itu, Bung Rama. Pasti
ada apa-apanya,ya?"
Ramandita terdesak. Tapi cepat menemukan jawaban.
"Biasa toh? Foto melengkapi berita. Apalagi objek cantik menawan seperti yang

-- Halaman 127 Kolektor E-Book --


Bapak katakan...."
"Iya juga. Tapi... awas. Fotonya jangan dimuat dulu,sebelum kita peroleh kepastian
mengenai keterlibatan gadis itu dalam kasus-kasus yang kita tangani. Kalau
komentarnya cuma sebagai pelacur sih, tak apa!"
"Begitu juga jadi!" sambut Ramandita, senang.
"Nah. Kalian sajalah yang pergi ke sana. Bripdu Priadi sudah tak asing lagi buatmu,
bukan? Selama kau tidak macam-macam, Bung, Sersan itu tak akan keberatan kau
memotret-motret tahanan yang dijaganya."
Setelah mendapatkan alamat rumah sakit serta nomor kamar paviliun yang ditempati
sasaran mereka,Ramandita dan teman-temannya bergegas meninggalkan kantor polisi.
Di mobil, mereka hampir tak bercakap-cakap. Hanya suatu saat Harianto bergumam
gemetar,
"Bagaimana ya, kalau gadis itu ternyata... hantu!"
Ramandita mendengus marah,
"Tak ada hantu yang mau ditangkap polisi!"
"Eh, kok marah?"
Ramandita diam.
Makin dekat ke rumah sakit, makin terkatup rapat mulut Ramandita. Makin
berdebar-debar pula jantungnya. Entah mengapa, ia merasa waswas.Ada sesuatu yang
menakutkannya .Beberapa kali ia melirik lewat kaca spion ke jok belakang.Tampak Aki
Juhari duduk tenang. Sambil mengusap-usap gagang kerisnya.
Ramandita bergidik seram.
Astaga, mengapa tak aku tanya apa perlunya keris itu?
"Keris seorang dukun pula!"
Tiba di rumah sakit, Ramandita menyambar tas tustel dijok belakang, yang selalu ia
bawa ke mana pun ia pergi.Harianto melihatnya, dan bertanya sungkan,
"Kau sungguh-sungguh akan memotret gadis itu, Rama?"

-- Halaman 128 Kolektor E-Book --


"Jelas!" jawab Ramandita bernafsu.
"Akan kubuktikan bahwa Si Nona adalah manusia biasa seperti kita!"
"Maksudmu?"
"Kalau ia hantu sebagaimana omong kosongmu, gadis itu tak akan tampak dalam
foto bila nanti sudah diafdruk. Teknik-teknik pemotretan semakin canggih,tetapi belum
pernah kudengar ada orang yang ahli sekalipun, mampu memotret hantu dalam wujud
yangutuh!"
Menjelang kantor piket rumah sakit dekat pintu gerbang, Ramandita meminta Aki
Juhari menyimpan saja keris orang tua itu dalam tas tustelnya.
"Bisa membuat pingsan petugas piket," katanya tersenyum.
"Dan bila dilihat Pak Priadi, pasti disita...."
Aki Juhari tak keberatan. Dan Ramandita senang bukan main. Sejak tadi ia sudah
mencurigai penggunaan keris itu. Tetapi dengan tersimpan aman di dalam tas tustelnya,
maka keselamatan Si Nona tak perlu ia khawatirkan lagi. Keris itu hanya akan
dikeluarkan bila Ramandita setuju dan menganggapnya memang perlu.Gadis itu
dilumpuhkan Aki Juhari sudah lebih dari cukup, dan entah mengapa menimbulkan
perasaan sesal di hati Ramandita. Ia sadar, diam-diam sudah timbul perasaan
sayangnya pada gadis itu. Masih teringat ia ketika mereka bermain cinta.
Begitu lembut.
Berlangsung mesra dan sangat indah.
Apalagi di saat gadis itu memekik tertahan, ketika...
Mereka tiba di kantor piket. Berlangsung perdebatan sengit sejenak. Kemudian salah
seorang petugas piket menghubungi kamar-kamar paviliun pasien rumah sakit. Prjadi
dipanggil dan setelah petugas piket memberitahu kehadiran Ramandita serta
teman-temannya, Prjadi menyatakan tidak keberatan.Ramandita serta teman-temannya
lantas diizinkan masuk. Saat mereka lewat, telinga Ramandita sempat menangkap suara
salah seorang petugas piket dibelakang mereka,

-- Halaman 129 Kolektor E-Book --


"Lihatlah itu. Orang dusun masuk kota!" disusul suara tertawa bergelak.
Ramandita melirik Aki Juhari.Orang tua itu membalas lirikannya, lalu, berujar
tersenyum,
"Aku memang dari dusun, bukan?"
Pandangan menyidik dan senyuman geli tertahan masih harus mereka terima
sepanjang koridor yang berbelok-belok, kecuali polisi satunya lagi, berpangkat
Bharatu, yang tampak acuh tak acuh saja. Ramandita memberitahu bahwa ia sudah
menemui letnan Rajiman lebih dulu. Prjadi lantas tak keberatan dengan maksud mereka
datang.
"Sebaiknya kita didampingi suster!" katanya, lalu pergi ke ruangan kantor di dekat
tempat mereka berjaga-jaga.
Dalam tempo singkat ia sudah kembali bersama seorang suster bertubuh tinggi tegap
namun wajahnya lembut ramah.Tamu-tamu diperkenalkan dan diberitahu tujuannya
datang. Suster hanya senyum tanpa bicara. Matanya mengawasi tajam ke arah Aki
Juhari. Bukan pandangan geli sebagaimana yang lain. Dan ketika mengawasi
Ramandita, senyum di bibir suster itu sempat menghilang sekejap. Matanya pun sempat
berkilat tajam, lalu menjadi biasa lagi. Cerah, riang,ramah.
"Mungkin ia tahu apa yang kusandang," pikir Ramandita seraya memegang erat tali
tas tustelnya.
"Biarlah pulangnya nanti akan kusempatkan memotret dia sebagai kenang-kenangan,
biar dia senang...!"
Harianto menolak masuk ruangan,
"Aku di sini saja,"desahnya, kalem, namun jelas terlihat wajahnya kaku tegang.
Ia pun lantas berdiri cukup dekat pada Bharatu polisi tadi yang juga tidak ikut
masuk. Yang kemudian masuk ke dalam kamar adalah Ramandita,Aki Juhari, Sersan
Prjadi, si suster tinggi tegap sebagai perintis.
Ramandita kemudian tertegun.

-- Halaman 130 Kolektor E-Book --


Inilah kedua kalinya ia melihat Si Nona. Berbaring diam di atas ranjang,tertutup
selimut sebatas leher. Yang membuat jantung Ramandita berdegup kencang dengan
tiba-tiba, adalah pemandangan ganjil di wajah cantik Si Nona. Wajah itu tengadah,
sedikit miring ke arah mereka muncul.Bibir ranum si gadis terbuka menganga, begitu
pula kelopak-kelopak matanya. Dan kulit wajah itu pucat.
Teramat sangat pucat.
Tak berseri.
Mati.
Prjadi sama tertegun.
Bahkan terdengar mengeluarkan seruan kaget. Suster segera memburu ke tempat
tidur. Selimut disingkapkan. Pergelangan tangan halus lembut tetapi pucat milik si
gadis diraba-raba pada urat nadinya.Telinga suster kemudian ditempelkan ke dada
pasiennya, lalu dengan tenang-tenang saja, seperti sudah terbiasa dengan
peristiwa-peristiwa yang jauh lebih mengejutkan, Suster kemudian menggerakkan
telapak tangannya untuk menutupkan kelopak mata serta bibir si gadis yang terbuka
secara mengherankan itu.
"Pasien sudah meninggal dunia," suster yang tabah itu mengumumkan dengan
tenang dan khidmat.
Ramandita merintih pelan.
Dan sakit tiada terperi....

***

LIMABELAS

Ramandita tidak tahu berapa lama ia terenyak, larut didera kepedihan hati yang
menyentak jiwanya sehingga tak kuasa berpikir apa pun juga. Ketika galau yang

-- Halaman 131 Kolektor E-Book --


menyakitkan itu perlahan-lahan mereda, suasana di sekelilingnya sudah berubah sama
sekali. Banyak sekali orang hilir mudik, banyak suara-suara kacau bertanya-jawab atau
perintah-perintah yang tak jelas ditelinganya, tanpa ia sadari apa yang tengah
berlangsung dan bagaimana semua orang tampak begitu tegang dan sibuk.Lalu ia
mendengar suara yang sudah tak asing ditelinganya,
"Sudah diperiksa dengan cermat, Dokter?"
AKP Robinson Tarigan-lah yang berbicara itu. Pada seorang lelaki tengah baya,
berkacamata, dan bermantel putih bersih, yang menjawab,
"Sudah, Komandan...."
"Dan?"
"Tetap negatif, Komandan. Tak ada tanda-tandi kekerasan sama sekali, bila itulah
yang Anda harapkan.Bekas suntikan memang ada. Tetapi dapat saya pastikan itu bekas
tusukan jarum ketika contoh darahnya diambil. Oleh saya sendiri, Komandan"
"Hem. Jadi semuanya mentah kembali!"
Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan mendengus, marah.
"Sungguh terkutuk. Apa dikira aku akan percaya begitu saja bahwa gadis ini bunuh
diri?"
"Itu akan kita buktikan setelah mayatnya diautopsi besok siang!"
"Besok? Mengapa tidak dimulai sekarang saja?"
"Pertanyaan Komandan sudah saya duga sebelumnya,"dokter itu tersenyum simpatik.

"Jadi barusan tadi saya cek ke laboratorium bedah. Saat ini rekan-rekan saya masih
sibuk membongkar mayat seorang perempuan.Kiriman teman-teman Anda dari Polres
Jakarta Timur.Mereka juga bilang, masih ada satu mayat lainnya menunggu giliran
dengan sabar..." dokter itu tersenyum dikulum pada akhir kalimatnya.
"Jadi besok siang. Baiklah. Toh gadis itu sudah...."
Robinson tiba-tiba menegun, lantas menghardik marah,

-- Halaman 132 Kolektor E-Book --


"Hei! Jangan sentuh gelas itu! Tak satu pun yang berada di ruangan ini boleh
dipindahkan atau dijamah tanpa seizinku!"
Lantas, seperti baru menyadari kehadiran orang yang dihardiknya, Robinson
membelalak seraya bertanya sengit,
"Bapak ini siapa? Mengapa ada di sini?"
"Saya Juhari, Pak Komandan..."
"Keluarganya?" tanya Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan penuh perhatian
seraya menunjuk ke mayat diranjang.
"Bukan. Tetapi saya..."
Merah padamlah wajah perwira polisi yang angker itu.Meledak pula seruan
marahnya,
"Bripda Priadi!"
"Siap, Komandan!"
Priadi yang sedang berbicara dengan Suster di teras, bergegas masuk.Untunglah
Harianto lebih cepat. Tahu gelagat, Aki Juhari yang kebingungan ia tarik ke luar
ruangan.Sambil lewat ia juga menyeret pergi Ramandita, yang hanya duduk
terbengong-bengong semenjak tadi.Ramandita menurut bagai kerbau dicucuk
hidung.Langkahnya teramat gontai, sehingga ia hampir tersuruk di dekat pintu. Cepat
Harianto menyangga tubuh sahabatnya.
"Tak ada yang dapat kita kerjakan di sini..." ujar Harianto, sambil membimbing
Ramandita menuju halaman parkir.
"Pulang. Itulah yang terbaik kita lakukan!"
Ramandita tak bernafsu memprotes. Ia patuh saja. Juga ketika Harianto meminta
kunci mobil dan mengambil alih kemudi.
"Demi keselamatan bersama!" rungut Harianto menyeringai sedih membantu
Ramandita yang lunglai masuk ke dalam mobil. Mesin dihidupkan. Kemudian dipacu di
jalan raya.Dan tak seorang pun dari mereka berbicara, sampai suatu ketika terdengar

-- Halaman 133 Kolektor E-Book --


Aki Juhari bergumam kecewa,
"Andai tadi aku diperkenankan menyembur tubuh mayat itu dengan air putih yang
kumantrai...."
Harianto menanggapi dengan kesal.
"Mengapa tidak Aki lakukan sewaktu Sersan Prjadi pergi menelepon? Atau
waktu-waktu yang tersisa, sebelum Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan tiba
dengan wajah bagai orang kesurupan!"
"Yaah. Aku tadi begitu terperanjat. Hanya lutut-lutut gadis itu yang kulumpuhkan
agar ia tidak dapat pergi ke mana-mana. Bukan jantungnya.. Ada yang salah disini.
Dan..."
"Salah...!"
Ramandita yang tadi duduk tak bergerak-gerak seperti sudah mati, mendadak hidup
kembali. Tubuhnya berputar ke jok depan. Dan tahu-tahu saja tangan kirinya sudah
mencengkeram leher baju sontog Aki Juhari. Disertai teriakan-teriakan histeris,
"Kau memang bersalah, kakek pikun! Kaubunuh gadis itu! Terkutuklah kau, tua
renta! Tak akan kubiarkan kau tertawa karena perbuatan jahatmu...!"
Bersamaan dengan umpat caci itu, tangan kanannya terangkat. Siap meninju.
"Rama. Hentikan!"
Harianto berseru panik. Panik pula disambarnya tangan Ramandita yang sudah
melayang.Si orang tua yang sudah pucat pasi, selamat. Tetapi kemudi hilang kontrol.
Mobil meliuk-liuk liar.Refleks Harianto menginjak rem keras-keras. Karena tidak
disertai pergantian gigi, kopling kehilangan tekanan pula, tak ayal lagi mesin mobil
mati serempak.Mobil itu terhunjam diam dalam posisi hampir melintang di tengah
jalan. Disusul bunyi menjerit-jerit ribut mobil lain di belakang mereka.Masih panik,
Harianto menoleh. Tampaklah mobil dibelakang itu hampir saja mencium bagian
belakang mobil mereka. Sopirnya menjulurkan kepala ke luar jendela mobil. Tinju
diacungkan, mulut menyumpah serapah,

-- Halaman 134 Kolektor E-Book --


"Anjing! Cari mati, ya?"
Merasa dirinya yang disebut anjing, Harianto jadi senewen. Ia julurkan pula
kepalanya ke luar jendela mobil, seraya balas menyumpahi,
"Jangan macam-macam kau, babi!"
Saking senewen, pintu mobil dibuka lalu ia turun dengan wajah sangat
angker.Gertakan itu membuat sopir di belakang mereka memundurkan mobil
cepat-cepat, kemudian melesat maju melewati mobil Ramandita. Kalau saja Harianto
tidak keburu menyelinap secara naluriah ke dalam mobil sambil menutup pintu,
pastilah ia sudah terkapar berlumuran darah di tengah jalanan aspal. Harianto duduk
terenyak, pucat pasi mengawasi lampu-lampu mobil yang dalam tempo beberapa detik
sudah lenyap di kejauhan.
"Astaga...!" desis Harianto, kecut.
"Hampir saja. Setan apa yang merasuki diriku ini?"
"Akulah yang dirasuki setan, Yanto."
Harianto menoleh dan melihat sahabatnya duduk dengan kepala merunduk. Tampak
Ramandita sudah mampu menguasai diri. Harianto menggeleng gembira.Katanya,
"Syukurlah akal sehatmu sudah kembali!"
Lalu ia hidupkan mesin, menjalankan mobil sambil bersiul-siul. Tentu saja siulan
sumbang sehingga ia tertawa sendiri.Ramandita pelan-pelan ikut tertawa.Sementara
Aki Juhari di tempat duduk belakang, dengan tangan gemetar merapikan kerah baju
sontognya yang kusut diremas Ramandita.
"Terus ke Sukabumi, ya? Memulangkan kakek ini?"
Ramandita menyeringai pada sahabatnya.
"Besok sajalah itu," jawab Harianto, memutuskan.
"Kalau begitu, marilah ke rumahku..."
"Dan aku kau suruh membuat kopi? Terus mengepel lantai dapurmu?" Harianto
menggelengkan kepala.

-- Halaman 135 Kolektor E-Book --


"Tidak, dudaku malang. Kita ke rumahku saja.Marianna lah yang akan membuat
kopi."
"Hem...tiba-tiba aku ingin meniduri istriku yang bahenol itu.Saking tegang. Hehe...!"
Marianna membuka pintu untuk mereka. Meski dengan rambut kusut dan mata
kemerah-merahan lantaran dibangunkan tiba-tiba, wajahnya segera berseri-seri
melihat si suami tersenyum-senyum nakal. Biar pencemburu setengah mati, Marianna
tetaplah seorang istri yang baik. Ia tidak bertanya mengapa suaminya tumben pulang
lebih cepat dan siapa orang tua aneh berkain sarung yang dibawa suaminya sebagai
oleh-oleh dari Sukabumi.
"Ada yang mau minum teh?" itulah sambutannya,diiringi senyuman manis.
Ramandita mengangguk. Juga Aki Juhari. Harianto mengajak keduanya istirahat di
ruang duduk. Ia sendiri kemudian menyusul istrinya ke dapur, dari mana saat-saat
berikutnya terdengar omelan Marianna.Omelan manja,
"Ya, ampun. Tak Abang lihatkah bahwa aku sedang sibuk? Dasar...!"
Saat berikutnya Harianto kembali ke ruang duduk dengan mulut tersenyum simpul.
Tetapi senyumannya segera sirna setelah Aki Juhari menggumam lirih,
"Kita mesti melakukan sesuatu...."
"Melakukan apa, Ki?" tanya Harianto sambil duduk mendengarkan dengan wajah
serius.
"Tak boleh kita biarkan gadis itu bangkit kembali."
Harianto tersedak.Ramandita mengeluh,
"Si Nona sudah mati, Ki!"
"Memang. Tapi aku yakin, ia mati bukan sembarang mati. Ada kekuatan misterius
dan amat berbahaya bersembunyi di dalam tubuhnya. Dan sesuatu itu akan membantu
gadis itu bangkit lagi dari kuburnya kelak,untuk meneruskan kejahatannya yang sangat
terkutuk"
"Sudahlah!" dengus Ramandita, tak senang.

-- Halaman 136 Kolektor E-Book --


"Kalian lihat sendiri tadi. Si Nona bukan hantu. Ia juga manusia biasa. Sepera kita.
Dan ia sudah mati Titik. Jangan lagi menuduh macam-macam gadis malang yang patut
kita kasihani itu!"
"Rama. Dengarkan dulu apa kata orang tua ini,"Harianto menegur.
"Kita harus memikirkan! segala kemungkinan, kawan...."
"Hanya ada satu kemungkinan saja!" ujar Ramandita.Tegas.
"Oh ya?"
"Ada orang lain di balik semua ini, Yanto. Aku tidak tahu dengan maksud apa serta
apa pula tujuannya.Yang pasti, gadis itu telah ia peralat untuk mengecoh diriku!"
"Siapa, Rama?"
"Entahlah. Aku harus mempelajarinya. Dan aku yakin,Pak Tarigan juga. Aku akan
bahu-membahu dengan dia mencari dan menemukan orang biadab itu!"
"Maksudmu, kisah lama kini terulang?"
"Ya."
"Buanglah mimpi burukmu itu, Rama. Yang lalu sudah lalu. Tidak akan...."
Aki Juhari menengahi dengan lambaian tangan malas.Katanya dingin,
"Aku tak tahu apa yang kalian percakapkan, anak-anak muda. Yang aku tahu, aku tak
percaya sepenuhnya bahwa gadis itu sudah mati.Benar-benar mati..."
Ia bersandar di kursinya, berpikir,lantas bergumam yakin,
"Sinar biru itulah buktinya!"
Harianto mendadak tegang.
"Sinar biru?" desahnya.
"Ya. Aku teringat sekarang. Sewaktu kita masih diCisolok dan Aki Juhari
menyebut-nyebut sinar biru tampak melingkari tubuh gadis yang kita cari, aku sempat
tersentak. Apakah aku pernah mendengar sinar biru semacam itu? Kapan? Dalam hal
apa?"
"Kau tak melihatnya, bukan?"

-- Halaman 137 Kolektor E-Book --


Ramandita tersenyum,mencemooh sahabatnya.
"Air di baskom itu toh tampak bening-bening saja...."
"Memang tidak!" timpal Harianto, bernafsu.
"Tetapi serasa aku mengetahui sesuatu mengenai sinar biru yang dimaksud. Kalau
tak salah, sinar gaib dan mematikan. Semacam sinar laser, begitu. Tetapi dalam kasus
ini..."
Marianna muncul didahului deheman. Lalu di atasmeja ia hidangkan tiga cangkir teh
hangat serta roti kaleng yang tutupnya ia buka.
"Ayo, diminum!"
Marianna menyilakan, terus berlalu.Rupanya sadar bahwa kehadirannya
mengganggu.Harianto menunggu sampai istrinya masuk ke kamar dan menutup pintu.
Baru setelah itu ia berujar setengah berbisik,
"Di rumah sakit tadi, Rama. Kukira telah kutemukan jawabannya. Itu, setelah aku
bertanya-tanya mengapa gadis itu tiba-tiba mati.Mengapa kematiannya begitu ganjil?
Aku telah melihat mayatnya. Gadis itu tampak begitu damai di tempat tidurnya. Tenang.
Bagai tak berdosa..."
"Mengapa tidak!"
Ramandita mengomel.
"Mulanya aku berpikir demikian juga. Tetapi kemudian kudengar dari Aki Juhari
bagaimana kalian mula-mula menemukan gadis itu di tempat tidur. Aku masuk
belakangan, ingat? Nah. Dari Aki Juhari ini kudengar bahwa wajah mayat di tempat
tidur tampak seperti ketakutan. Atau seperti melihat sesuatu di saat-saat menjelang
ajalnya, namun tak percaya pada apa yang dilihatnya. Maka aku pun lantas sependapat
ketika Pak Tarigan meragukan bahwa gadis itu mati bunuh diri.Ada orang lain terlibat
di sini; Aku berpikir dan terus berpikir. Aku pun teringat lagi pada sinar biru yang aneh
itu. Lalu tiba-tiba aku pun menemukan jawabannya. Bahkan mungkin aku salah terka,
tetapi aku merasa sudah tahu siapa orang itu!"

-- Halaman 138 Kolektor E-Book --


Ramandita meluruskan duduknya.
Bertanya gemetar,
"Dan siapakah orang itu, Yanto?"
Harianto mengawasi wajah sahabatnya dengan pandangan tegang.

***

Ruang duduk mendadak terasa sepi. Mencekam.Beberapa saat lamanya Harianto


berdiam diri. Bibirnya terasa sulit untuk dibuka. Ia menelan ludah untuk membasahi
kerongkongannya yang mendadak kering,lantas berbisik tersengal,
"Kenalkah kau pada suster itu,Ramandita?"
"Yang mana?"
"Itu, tuh. Yang tubuhnya tinggi kekar dan tulang-tulang pipinya menonjol sehingga
wajahnya mirip laki-laki...."
"Oh, dia. Kalaupun pernah kenal, aku sudah melupakan dia seketika!" jawab
Ramandita, tertawa.
"Kurasa ia mengenalmu, Rama."
"Mana mungkin. Bertemu pun kami belum pernah!"
"Ia mengenalmu. Kalau tidak, mana mungkin ia terus memperhatikanmu. Dengan
penuh minat, lagi!"
"Barangkali ia kira aku cukup tampan untuk dikerjainya!" desah Ramandita,
berseloroh.
"Barangkali memang begitu!" dengus Harianto, serius.
"Selagi aku duduk menyendiri di teras, berpikir dan berpikir, secara kebetulan aku
lihat bagaimana suster itu mengamati dirimu dengan pandangan tajam.Heran, bahwa
ia melakukannya berulang-ulang. Saking asyiknya memperhatikan, ia tersentak sendiri
ketika ditegur dokter ataupun Bripda Prjadi yang sedang bercakap-cakap

-- Halaman 139 Kolektor E-Book --


dengannya...."
"Mengapa pula kau menaruh perhatian khusus pada dia?"
Ramandita mulai tertarik.
"Karena caranya memandangmu. Dan apa-apa yang juga kudengar tentang
dirinya...." jawab Harianto.
Kemudian ia menceritakan apa-apa yang ia dengar selagi mereka di rumah
sakit.Semenjak Si Nona dimasukkan ke paviliun, tak seorangpun diperkenankan
menemuinya tanpa setahu dan seizin polisi-polisi penjaganya. Kedua petugas sudah
terbiasa melek, dan sampai gadis itu diketahui sudah mati mereka masih tetap terjaga.
Tak ada orang masuk ke dalam ruangan tanpa mereka lihat. Kecuali suster bertubuh
tinggi kekar itu.Sekitar tengah malam, suster dimaksud meninggalkan kantornya dan
berkata pada Priadi bahwa pasien didalam ruangan telah mengebel.
"Barangkali ia membutuhkan bantuan!" ujar Suster.Priadi ikut masuk ke dalam dan
mendengar sendiri bahwa gadis yang mereka jaga ingin kencing tetapi tak dapat
melakukan sendiri karena kakinya yang lumpuh.Suster meminta Prjadi keluar, lalu
menutup pintu. Ia tetap di dalam ruangan untuk beberapa saat lamanya.Kemudian ia
keluar, menutup pintu rapat-rapat dibelakangnya, sambil memberitahu bahwa
pasiennya mau tidur dan tidak perlu dicemaskan. Lalu Harianto,Ramandita, dan Aki
Juhari tiba. Dan gadis itu ternyata sudah mati.Suster sebagai satu-satunya orang yang
masuk kedalam ruangan, tentu saja jadi sasaran kecurigaan.Tetapi dokter yang muncul
setelah dipanggil, membela anak buahnya mati-matian. Bahkan marah karena suster itu
dicurigai.
"Ia tak punya kaitan apa-apa dengan suster ini" kata Dokter, kesal.
"Lima tahun ia bertugas di sini.Kondisinya terkenal baik. Dan biar penampilan
luarnya agak lain, tetapi kami semua mengenal dia berjiwa lembut dan selalu menaruh
kasih sayang pada pasien yang berada di bawah tanggung jawabnya!"
Lalu dalam suatu percakapan antara suster dengan dokter, Harianto mendengar si

-- Halaman 140 Kolektor E-Book --


dokter bertanya sambil lalu namun jelas terheran-heran,
"Mana suaramu yang berat tetapi suka pecah itu, Maria? Kok tumben setelah sekian
tahun, mendadak malam ini suaramu berubah halus lembut. Merdu lagi di telinga!"
Suster tertawa saja. Tak menjawab.
"Nah. Tawamu pun berbeda dari biasa!"
Dokter membelalak.
"Operasi kerongkongan, ya? Kapan? Kok tak bilang-bilang?"
Saat itulah Robinson masuk. Dokter dipanggil. Dan dari tempat duduknya di pojok
teras, si suster lagi-lagi melihat ke arah Ramandita yang masih terhenyak membisu di
kursi dekat pintu masuk. Sesaat bibir Suster mengurai senyum. Harianto tidak dapat
menebak apakah itu senyuman mesra, ataukah senyuman benci.Tarikan bibir si suster
kala senyum, tampak tipis dan tajam. Setajam sorot matanya. Lalu ia tersentak
lagi,ketika namanya dipanggil Robinson dan diajak kekantor pribadi Suster. Ketika
melewati pintu, sekali lagi ia mengawasi Ramandita. Bahkan tangannya sempat
tergerak. Seperti ingin menjamah, namun segera diurungkan, lalu lenyap bersama Ajun
Komisaris Polisi Robinson Tarigan.
Ia tak muncul lagi setelah itu.
Harianto melihat Robinson kembali ke ruangan,menegur Ramandita tetapi yang
ditegur hanya diam saja. Robinson kemudian menanyakan hasil pemeriksaan pada
Dokter, lalu melihat Aki Juhari bergerak dan bermaksud mengambil gelas berisi
airputih di atas meja, dekat ranjang tidur di mana mayatSi Nona terbaring diam.

***

"Hem. Pantas kalau begitu...!"


Aki Juhari menceletuk selesai Harianto bercerita.
"Pantas setiap kali suster itu lewat di dekatku, aku merasakan hawa panas disekujur

-- Halaman 141 Kolektor E-Book --


tubuhku. Hawa panas yang menggigit tajam.Seperti membakar...."
"Bila demikian halnya...." bisik Harianto gemetar,
"Dugaanku tidak salah lagi!"
Ramandita merenggutkan pertanyaan,
"Dugaan apa,Yanto?"
Harianto memandang heran pada sahabatnya.
"Belum jugakah terbuka imajinasimu yang hebat-hebat itu?"
"Ah. Jangan menghina dulu. Saat ini aku sungguh tak mampu berpikir apa-apa!"
jawab Ramandita, jujur.
"Tunggulah sebentar. Semuanya sudah jelas sekarang.Tak dapat diragukan lagi!"
Harianto bangkit dari duduknya.
"Tunggulah sebentar" ia ulangi perkataan itu sekali lagi. Kemudian ia pun sibuk
membongkar-bongkar di bawah meja, terus ke rak penyimpanan majalah dan surat
kabar. Ia pisahkan surat kabar terbitan mereka sendiri, lalu dilembari satu demi satu.
Ia membaca dan membaca dengan cepat.
"Nah. Ini dia!" serunya, seraya membawa selembar dari surat kabar itu, yang
keadaannya sudah lusuh.
Dibeberkannya halaman tengah di depan Ramandita.
"Bacalah apa yang telah kau tulis dalam cerita bersambungmu ini!"
Ramandita menurut saja.Mula-mula tanpa gairah. Kemudian, tarikan wajahnya
pelan-pelan berubah. Paling kemudian, ia duduk lagi terenyak. Wajahnya pucat pasi,
ketika ia bergumam getir dan kebingungan,
"Mustahil. Tak mungkin...!"
"Apakah kehadiranku masih dianggap?"
Aki Juhari tersenyum, namun sinar matanya jelas berubah waspada.
"Syukurlah kami menemukan kau, Ki!" desah Harianto seraya membasahi bibirnya
yang kering.

-- Halaman 142 Kolektor E-Book --


Ia tidak meminta Aki Juhari membaca apa yang telah ia dan Ramandita baca.
Dengan suara gemetar serta terputus-putus, ia menjelaskan kemungkinan apa yang
tengah mereka hadapi. Aki Juhari mendengarkan dengan tekun tanpa menyela sekali
pun juga. Ia hanya manggut-manggut, mengusap dagu, mendengarkan sambil berpikir,
kemudian setelah Harianto selesai bicara, Aki Juhari berbisik kering,
"Mungkinkah kita sudah terlambat?"
"Mudah-mudahan belum!" kata Harianto.
Ia melirik kesahabatnya yang tampak sangat terpukul. Kemudian berjalan ke meja
telepon. Dua-tiga kali ia salah sambung dan kembali menyimak buku telepon, sebelum
akhirnya mendapatkan sambungan yang ia kehendaki.Berbicara sebentar, menunggu
sebentar pula,mengucapkan terima kasih, lalu meletakkan telepon kembali. Pada Aki
Juhari, ia kemudian berkata gemetar,
"Mayat itu sudah dibawa ke kamar mati!"
Aki Juhari merentak bangkit.
"Apa lagi yang kita tunggu?"
Lalu ia menepuk pundak Ramandita yang menggeliat malas. Bertanya,
"Boleh kuambil apa yang menjadi milikku, Nak?"
"Keris itu?"
"Ya."
"Ada dalam tas tustel. Di mobil...."
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang juga...."
"Kemana?"
Ramandita masih dicekam kebingungan.
"Ke mana lagi kalau bukan ke rumah sakit!"
"Tetapi...."
"Bukankah Nak Rama ingin meyakinkan bahwa mayat gadis itu memang mayat
manusia biasa?"

-- Halaman 143 Kolektor E-Book --


Aki Juhari menantang.Ramandita ragu-ragu. Namun segera ia bangkit.
"SiNona sudah mati..." bisiknya pelan.
Tak ada lagi komentarnya selain kalimat pendek itu saja. Sehingga Harianto merasa
pasti, bahwa sahabatnya mulai meragukan keyakinannya sendiri. Meski hatinya dililit
perasaan takut, Harianto tetap memutuskan ikut pergi ke rumah sakit. Ia tidak
membangunkan istrinya.Setelah mereka keluar, ia mengunci pintu dan kuncinya
dikantongi.Di tengah perjalanan barulah Harianto teringat untuk bertanya,
"Untuk apa keris itu, Ki?"
Aki Juhari menjawab kalem,
"Dihunjamkan. Ke jantung mayat itu!"
"Seperti dalam film-film drakula...." desah Harianto,gemetar.
"Dengan kayu berujung runcing...!"
"Kayu saja tidak cukup, Nak Yanto!"
"Karena..."
Harianto tak sanggup meneruskan. Aki Juhari lah yang meneruskan,
"Karena hantu gadis itu bukanlah seperti hantu yang selama ini kita kenal."
"Maaf, Ki...."
Harianto menyeringai kecut.
"Aku tak ingin berkenalan dengan hantu mana pun di dunia ini!"
Aki Juhari tersenyum.
Misterius.
Sepi menyentak lagi.
Disusul pertanyaan lain dari Harianto,
"Mungkinkah kita melakukannya?"
"Mengapa tidak, Nak Yanto?"
"Maksud saya, mungkinkah polisi memberi izin? Atau kalau tidak polisi, pastilah
dokter...."

-- Halaman 144 Kolektor E-Book --


"Mayat itu toh akan diotopsi juga. Melukai, kulit dan jantungnya tidak akan
membedakan apa-apa. Itulah tugasku, Nak. Memberi pengertian pada mereka"

"Dapatkah mereka mengerti?"


Harianto justru tambah gelisah.
"Bayangkan saja. Seorang dukun muncul dirumah sakit, lantas meminta yang
bukan-bukan...."
Ramandita yang hanya membisu dari tadi, tiba-tiba angkat bicara. Suaranya begitu
perlahan, hampir tak terdengar,
"Barangkali tak ada kesulitan. Pak Tarigan sejak semula sudah berpikir meminta
bantuan dukun.Sekarang, kita bawa apa yang dia kehendaki."
Diam lagi.
Sepi lagi.
Lalu dipecahkan keluhan lirih Ramandita,
"Tidak,Nona. Bukan kau, gadisku malang...!"
Harianto tidak berkomentar.
Apalagi Aki Juhari.

***

ENAMBELAS

Matahari pagi belum muncul setiba mereka di rumah sakit. Tetapi cuaca sudah
terang-terang ayam. Petugas piket di pintu gerbang masih mengenali mereka dan tidak
melarang mereka masuk. Mereka terus menuju paviliun tempat mayat si gadis tadinya
dirawat. Tak ada polisi yang berjaga-jaga. Di kantor piket, ada suster tetapi yang
bertubuh tinggi kekar tidak terlihat.

-- Halaman 145 Kolektor E-Book --


"Tadi pergi. Entah kenapa belum kembali..." suster jaga menjelaskan.
"Boleh pinjam telepon?" tanya Harianto, seraya matanya mengawasi tempat gelap di
luar jendela ruangan, seakan takut makhluk mengerikan bersembunyi di balik
kegelapan itu, siap menerkam siapa saja yang lengah.
"Silakan"
Harianto mengangkat gagang telepon, lalu diserahkan ke tangan Ramandita yang
menyambut lesu. Lesu pula,Ramandita memutar-mutar nomor telepon AKP Robinson
Tarigan dan memperoleh jawaban beliau belum kembali ke rumah. Ramandita ganti
menghubungi Polres dan setelah bertanya-jawab sebentar, terdengar suara angker
Robinson Tarigan ditelinganya,
"Kalau mau berbicara, mengapa tidak tadi saja. Di rumah sakit?"
"Maaf, Pak. Aku tadi agak linglung rupanya"
"Bukan linglung lagi. Kau seperti orang sekarat,sehingga sempat terpikir olehku
untuk mengirimmu sekalian ke kamar mati. Bersama mayat gadis itu!"
"Ah. Mayat itu...."
Ramandita menelan ludah.
"Mayat itu. Mengapa dengan mayat itu, Ramandita? Punya masukan untuk kami
sekarang?"
"Masukan sih belum pasti. Kalau seorang dukun jelas ada."
"Apa?!"
Robinson hampir berteriak di telepon.Ramandita menjelaskan dengan hati-hati
bahwa sang Ajun Komisaris sudah bertemu dengan orang dimaksud. Juga mengingat
apa yang pernah diucapkan si perwira sendiri. Segera Robinson menanggapi,
"Malu aku mengatakannya, Rama. Tetapi saat ini aku memang mengharapkan
bantuan dukun. Perkembang-an baru menghendakinya demikian...."
"Perkembangan apa, Pak?"
"Kerangka di kamar hotel. Identitasnya tidak diragukan lagi. Dari susunan gigi,

-- Halaman 146 Kolektor E-Book --


bentuk kuku, dan sedikit kelainan pada tulang lengan. Ciri-cirinya positif!"
"Jadi..."
Ramandita menelan ludah lagi.
"Kerangka di Kamar Hotel, pengarang berimajinasi macam-macam, sudah
dipastikan adalah kerangka Raharjo, pengusaha yang lenyap misterius itu!"
"Oh!"
"Cuma oh?"
"Bapak... Bapak dapat datang ke sini?"
"Ke?"
"Rumah sakit."
"Hei. Apakah kau pikir kerjaku cuma mengurus mayat gadismu itu saja? Aku masih
sibuk menganalisis siapa orang yang berdiri di belakangnya. Orang, yang sungguh
terkutuk, telah memakan mentah-mentah cerita fiksimu, lantas entah bagaimana
berhasil mempraktikkan ilmu jahat fantasimu dengan sukses."
"Agaknya tak seorang pun, Pak Tarigan."
"Apa?"
"Datanglah dan Bapak akan lihat sendiri."
Mereka kemudian menunggu. Sambil menunggu,dokter yang mengurus jenazah Si
Nona juga dipanggil dan diberi penjelasan seperlunya. Tentu saja Dokter
mencak-mencak, tetapi tidak lagi memprotes setelah Robinson muncul dalam tempo
singkat, persis bersamaan dengan munculnya bias matahari pagi dari ufuk
timur.Pembicaraan yang sama diulang lagi. Berlangsung lagi perdebatan sengit. Tetapi
Robinson tidak mengusir Aki Juhari kali ini. Akhirnya ia memutuskan,
"Baiklah.Dipikir-pikir toh mayat itu akan diautopsi juga."
"Tetapi awaslah bila kalian keliru. Jabatanku jadi taruhannya!"
Bersama-sama mereka kemudian pergi ke kamar mayat.Dokter sangat marah ketika
melihat petugas kamar mayat tidur di sembarang tempat, yakni di lantai yang kotor

-- Halaman 147 Kolektor E-Book --


berdebu, dekat pintu masuk kamar mayat, Ketika dibangunkan, petugas itu bangkit
terheran-heran, lalu bertanya ketakutan,
"Masih hidupkah saya, Dokter?"
Mau tak mau Dokter tersenyum.
"Kau masih hidup,Pak Joko. Maka bukalah pintu sekarang!"
Pintu kamar mayat dibuka. Bau khas ruangan yang biasa menyimpan peti-peti dalam
lemari pendingin serta bekas-bekas bau darah maupun bau mayat yang menusuk
samar-samar, terasa mendirikan bulu kuduk.Situasi lebih menyeramkan lagi ketika
mereka masih berada di luar pintu tetapi sudah dapat melihat keganjilan di dalam
ruangan kamar mayat.Salah satu peti mati telah ditarik ke luar dari tempatnya. Ada
sesosok mayat di dalam. Dan ketika mereka mendekat untuk melihat mayat itu,
Harianto menjerit lalu pingsan.AKP Robinsori Tarigan tegak dengan mulut terkatup
rapat.
Dokter gemetar.
Pucat pasi.
Lama baru terdengar dari mulutnya,
"Maria... Ya Allah!"
Benar.
Yang terbaring di peti mati itu, bukanlah jenazah Si Nona. Melainkan mayat suster
bertubuh tinggi kekar itu.

***

Kopi panas yang segera dihidangkan di kantor dokter jaga sungguh menarik selera
di hawa pagi yang dingin dan sedikit mengandung kabut. Tetapi tak seorang pun
berselera mencicipinya, sementara petugas kamar mayat terduduk letih dan pucat
setelah selesai menceritakan apa yang terjadi dan telah menimpa dirinya, sehingga ia

-- Halaman 148 Kolektor E-Book --


terkulai di lantai kotor berdebu Itu.
Tak lama setelah mayat Si Nona dimasukkan ke petimati dan orang-orang yang
mengantarkannya pergi, sipetugas bermaksud tidur karena sudah mengantuk. Ia yakin
sudah terlelap manakala ia dibangunkan seseorang. Ternyata suster Maria, yang
dengan lembut meminta pintu kamar mayat yang terkunci agar dibuka.
"Kasihan gadis itu," katanya dengan suara lembut menyenangkan.
Si petugas heran mendengar cara berbicara suster Maria yang agak lain dari yang
selama ini ia kenal.
"Aku bertanggung jawab atas kematiannya,Pak Joko. Jadi aku bermaksud
memanjatkan doa khusus untuknya, sebelum mayatnya diautopsi...."
Permintaan itu terdengar aneh tetapi masuk akal.Petugas kamar mayat membuka
pintu. Suster Maria kemudian masuk, tetapi minta pintu ditutup saja karena tak ingin
diusik selama berdoa.
"Tldak takut, Suster?" tanya Joko takjub.
"Selama bertugas, pernahkah Bapak dicekik salah satu mayat yang Bapak urus?"
tanya Suster, tersenyum.
"Ah, yang benar saja!" sahut Joko, tertawa.
"Titip doaku, Suster. Gadis yang malang itu cantik juga.Sayang ia mati muda...."
Pintu ditutupkan. Joko menunggu di luar dengan mata terkantuk-kantuk. Tetapi
diam-diam ia merasakan keganjilan di dalam ruangan kamar mayat. Ia tidak tahu apa,
tetapi tergoda untuk melihat-lihat.Pelan-pelan pintu dibukanya, dan terpekik ditahan
karena tiba-tiba saja ia sudah berhadapan bukan dengan suster Maria melainkan...
Gadis di dalam petimati.
Joko hampir menghambur saking kaget dan ketakutan.Tetapi tangannya sudah
keburu dipegang oleh si gadis.Begitu tangannya disentuh, Joko merasa dirinya
melayang, lantas disusul perasaan sakit yang menyentak seakan tubuhnya disambar
arus listrik tegangan tinggi. Dan dari tangan mereka berdua yang saling bersentuhan,

-- Halaman 149 Kolektor E-Book --


tampak berpijar-pijar sinar biru.
Tajam.
Menyambar-nyambar.
"Matilah aku!" masih sempat Joko berpikir sesaat sebelum tubuhnya meliuk.
Jatuh terjerambap di lantai.

***

TUJUHBELAS

Sepi menyentak, selesai Joko bercerita. Semua yang hadir mengawasi si penjaga
kamar mayat yang duduk terengah-engah dan wajahnya masih pucat pasi.
Dokter bangkit dari duduknya.
Lalu memberikan segelas minuman kepada Joko, yang melahapnya sekali tenggak.
Perlahan-lahan wajahnya pun bersemu merah kembali .Ia kemudian senyum-senyum
ditahan, lantas bergumam malu,
"Tak biasanya aku takut pada hantu!"
Tak ada yang menertawakannya.Semua berdiam diri, sambil berusaha memercayai
cerita yang diungkapkan si penjaga kamar mayat, dan berakhir dalam satu kesimpulan
yang mencemaskan. SiNona sudah lolos dan entah di mana gadis itu sekarang,serta
kapan mereka dapat meringkus kembali sebelum:jatuh korban-korban
berikutnya.Ramandita yang pertama-tama membuka mulut.Suaranya kering waktu ia
merintih,
"Jadi itulah yangterjadi!"
Robinson menoleh.
Lalu bertanya menyentak,
"Apapula maksudnya, itulah yang terjadi?"

-- Halaman 150 Kolektor E-Book --


"Sentuhan dua tubuh," desah Ramandita lirih.
"Si Nona dan Suster Maria. Itulah pula yang pernah diperbuat Larasati ketika ia
ditangkap dan akan dibakar di tiang gantungan oleh penduduk desa."
"Bah!"
Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan mendengus.
Tidak tertarik.
Harianto lantas mendesak,
"Ceritakan padanya,Ramandita!"
Ramandita meminta segelas minuman, yang kemudian Dokter menyuruh Joko
mengambilkannya. Si penjaga kamar mayat bangkit dari duduknya. Di pintu ia
ragu-ragu sejenak. Matanya liar mengintip ke luar.Sudah mulai banyak orang lalu
lalang di luar kantor dokter jaga. Matahari pun sudah bersinar terang-benderang.
Aman, pikir Joko, lantas pergi ke dapur terdekat untuk memenuhi permintaan
Ramandita.Setelah mencicipi kopi kental panas, barulah Ramandita memulai ceritanya.

"Tepatnya." ia berujar,
"aku akan mengulang apa yang pernah kutulis dalam cerita fiksiku yang paling
akhir...."
Tak ada yang bereaksi. Kecuali Dokter, yang mengerutkan dahi.Setelah korban
semakin banyak berjatuhan, diperoleh sejumlah petunjuk bahwa Larasari yang
menghuni lereng gunung itulah penyebab matinya beberap orang penduduk desa.
Dengan bantuan orang-orang yang ahli menangkal ilmu hitam, penduduk akhirnya
berani menyatroni tempat tinggal janda itu, lalu meringkus janda yang hidup
menyendiri serta ditakuti itu. Larasati tidak melawan bukan karena kekuatan gaibnya
berhasil dilumpuhkan, melainkan karena ia tahu banyak diantara penduduk yang
mengitari dirinya tidak berdosa atas kematian suaminya. Bila ia melawan, akan terjadi
pertarungan mati-matian dan orang-orang tak berdosa itu akan jatuh sebagai

-- Halaman 151 Kolektor E-Book --


korban.Sembari memikirkan jalan keluar untuk menyelamatkan diri. Larasati
membiarkan dirinya ditangkap, ia lalu digiring turun gunung dan ditahan di balai desa.

Menurut rencana Lurah.


Larasati pagi hari esoknya akan digantung, kemudian mayatnya dibakar. Abu
pembakaran mayat Larasati disebarkan ke berbagai penjuru agar tidak dapat menyatu,
sebagaimana petunjuk dukun-dukun ahli yang ikut meringkusnya.Dengan demikian, roh
Larasati akan sibuk mencari abu pembakaran jasadnya, yang tentunya sudah musnah
tak berbekas. Rohnya akan gentayangan dan tak akan mampu lagi berbuat
apa-apa.Tapi namanya manusia, ada saja yang ingin mengambil keuntungan.
Orang itu adalah Sumirah, istri lurah desa.Sumirah tahu betul bahwa selama ini ia
dianggap sepi oleh suaminya, semata-mata karena suaminya masih tetap mencintai
Larasati. Demikian besarnya cinta sisuami sehingga Sumirah sadar waktu Larasati
akhirnya mati, cinta si suami akan tetap hidup dan mengganggu kebahagiaan rumah
tangga Sumirah.Setelah ditimbang masak-masak, Sumirah nekat mandatangi Larasati
pada tengah malam buta, setelah suaminya tidur mendengkur.
"Aku ingin mengencingi perempuan terkutuk itu!" katanya pada penjaga-penjaga
Larasati.
Para penjaga itu maklum, karena diam-diam mereka juga mendengar desas-desus
tentang nasib malang Sumirah yang selalu disepelekan suaminya. Mereka biarkan
Sumirah masuk ke ruangan terkunci di mana Larasati disekap. Mereka yakin tidak ada
yang perlu dicemaskan. Toh Larasati terikat kuat oleh tali rotan yang telah diberi
mantra-mantra.Dengan menutupi kedengkiannya Larasati, istri Lurah memperlihatkan
muka manis serta tutur kata yang sangat memelaskan hati. Air matanya berlinang
ketika ia berujar sedih,
"Aku sadar pengaruhmu begitu kuat pada suamiku. Meskipun kau besok mati juga,
aku tahu pengaruhmu tidak akan ikut mati. Cinta suamiku akan tetap berurat akar

-- Halaman 152 Kolektor E-Book --


padamu, dan akulah yang akan tetap tersia-sia sepanjang hidupku"
"Apa yang kau kehendaki?" tanya Larasati. seraya memikirkan keuntungan apa yang
dapat direbutnya dengan kehadiran Sumirah.
"Tolonglah. Buang pengaruhmu atas diri suamiku!"
"Hem..."
Larasati tiba-tiba terseyum,
"kalau aku mengabulkan permintaanmu, imbalan apa yang akan kuperoleh?
Kebebasanku?"
"Maaf. Mustahil aku dapat membebaskanmu;.Aku pun tak tahu imbalan apa yang
mampu kuberikan, Tetapi..."
Sumirah makin mencucurkan air mata kesedihannya yang palsu.
"Sungguh malang bahwa akhirnya kauakan mati. Mati, maaf... terkutuk pula. Jadi
apa salahnya, sebelum kematianmu tiba kau berbuat kebaikan demi orang lain?
Sekurang-kurangnya hal itu akan meringankan bebanmu kelak di akhirat sana...."
Larasati pun berpura-pura sedih. Lalu didahului keluhan pasrah ia berkata,
"Baiklah, kupikir kau benar juga. Nah, maukah kau memegang telapak tanganku?"
"Untuk apa?"
"Agar dapat kualihkan pengaruhku ke dalam dirimu.Dengan demikian, akan
beralihlah cinta Sumarna yang begitu menggebu-gebu, hanya pada dirimu seorang!"
Suara dan tatap mata Larasati yang lembut lunak menghilangkan keragu-raguan
Sumirah. Dengan:senang hati ia ulurkan tangannya. Digenggamnya telapak tangan
Larasati. Lalu terjadilah apa yang seterusnya terjadi. Salah satu dari mereka harus
mati!"
"Tentu saja Sumirah lah yang harus mati. Seperti juga halnya Suster Maria!"
Ramandita berkata dengan suara bergetar.
"Para penjaga itu tak pernah tahu, bahwa yang kemudian keluar meninggalkan
ruang tahanan mereka hanya jasadnya saja jasad Sumirah. Begitu pula esok paginya,

-- Halaman 153 Kolektor E-Book --


ketika mereka temukan Larasari mati,yang mati itu hanyalah jasad Larasati...."
"Lalu mereka membakarnya hangus, seperti niat semula.Begitu, bukan?"
Robinson Tarigan bergumam.
Ramandita tersenyum.
Kecut.
"Ah, Bapak rupanya tak membaca seluruh ceritaku itu!"
"Aku bukan pengagummu!"
Robinson menjawab masam.
"Bila demikian, Bapak tak tahu bahwa Larasati tak jadi dibakar. Itulah kekeliruan
besar yang telah diperbuat Pak Lurah. Karena dorongan cintanya yang sudah
mendalam, niat membakar mayat Larasati dibatalkannya sendiri. Dia berdalih, kasihan
Larasati yang sudah mati atas kemauannya sendiri, masih harus dihinakan jasadnya.
Katanya lagi, karena Larasati mati atas kemauannya sendiri, Larasati juga telah
melupakan dendam kesumatnya pada mereka yang masih hidup dan dianggapnya
sebagai penyebab kematian suaminya. Maka meski tanpa upacara,Larasati pun
kemudian dikuburkan."
"Dan suatu hari kuburannya ditemukan menganga terbuka!"
Robinson menerka tak acuh.
"Persis."
"Dan?"
"Yang ditemukan orang di liang kubur itu adalah Sumirah."
"Seperti Suster Maria di lemari pendingin kamar mayat!"
Harianto nimbrung, bernafsu.
Robinson menanggapi dengan sentakan,

"Bah!"
Dokter yang duduk diam-diam di belakang mejanya mengeluh getir,

-- Halaman 154 Kolektor E-Book --


"Omong kosong apa yang kalian bicarakan ini? Dan Anda, Komandan. Mengapa
tidak dimulai saja mencari si pembunuh biadab itu?"
"Sebelas orang anak buahku yang sudah ahli di bidang itu, Dokter," sang Ajun
Inspektur bersungut-sungut tak senang,
"kini sedang sibuk melaksanakan keinginanmu itu. Dan mengenai kau, si pengarang
dengan Imajinasimu yang terkutuk itu...." tambahnya kasar,seraya menuding
Ramandita.
Ramandita terkesiap.
"Ada apa dengan aku, Pak Tarigan?"
"Belum jelas, heh? Tidakkah kau sadari bahwa novelmu itu telah melahirkan sebuah
ide menarik pada seseorang atau siapa tahu juga sekelompok orang yang kesemuanya
menganut ilmu hitam? Lalu, entah apa motif mereka, idemu itu mereka pelajari lalu
mereka buktikan kebenarannya."
"Lantas?"
"Mereka berhasil, Bung! Dan langsung atau tidak kau terlibat di dalamnya. Untuk itu
aku terpaksa harus menahanmu suatu hari kelak bila si pembunuh Itu sudah kuringkus
batang lehernya!"
Ramandita menyeringai.
"Anda mengada-ada,Komandan. Terus terang, tadinya aku pun sependirian dengan
Anda. Tetapi sekarang...."
Ramandita mengubah wajah dan sikap formalnya menjadi wajah masygul.
"Si Nona telah membuktikan kebenaran ancamannya. Sekaligus membuktikan apa
dan siapa dia sebenarnya. Dengan sengaja ia tinggalkan beberapa petunjuk untuk
membuka pikiranku...."
"Untuk itu pun, Ramandita, kau tetap akan kutangkap."
Robinson menggerutu dengan wajah jemu.
"Tuduhannya, Komandan?"

-- Halaman 155 Kolektor E-Book --


Ramandita emosional karena digertak.
"Tuduhannya jelas. Kau mendatangkan seorang pembunuh!"
"Hantu, Komandan. Hantu yang kemudian membunuhi orang-orang. Luar biasa
kalau saja Anda mampu menangkap lalu mengajukan hantu itu ke pengadilan.Seluruh
dunia pasti gempar. Nama Anda akan tercatat dalam sejarah. Paling tidak, dalam buku
Guinness Bookof The Record"
Ramandita tersenyum mengejek.
"Tetapi, Komandan, pasal undang-undang mana yang akan kalian jatuhkan untuk
menghukum hantu?!"
Robinson Tarigan terpojok, lalu diam.
Seseorang tertawa kecil.
Robinson melotot.
Garang.
Dan yangtertawa tadi, Harianto, terbungkam dengan wajah pucat. Ramandita
merasa iba pada sahabatnya yang malang itu. Lalu dengan wajah prihatin ia
mengumumkan,
"Sudah tiba saatnya orang-orang sinting mulai berburu hantu, "

Namun demikian Robinson Tarigan tetap yakin bahwa otaknya masih cukup waras.
Ia memanggil Bripda Priadi yang segera menghadap dengan sikap siaga dan siap
menerima perintah.
"Hanya ada dua kemungkinan, Priadi!"
Robinson Tarigan berkata tanpa ragu-ragu sedikit pun.
"Secara klinis, gadis itu memang dinyatakan sudah meninggal.Tetapi tidak mustahil
ia hanya mati suri. Jantungnya dikejutkan uap pendingin di kamar mati. Ia hidup
kembali, berjuang keras keluar dari peti matinya. Terus kabur. Kemungkinan lainnya,
dan ini dugaanku paling kuat yang harus kau selidiki dengan seksama, ada orang lain

-- Halaman 156 Kolektor E-Book --


yang mengeluarkannya dari peti mati, lantas membawanya pergi!"
"Bagaimana dengan Suster Maria, Komandan?"
"Ia mengetahui sesuatu. Atau, dia tahu terlalu banyak.Untuk itu mulutnya terpaksa
dibungkam untuk selamanya. Bukan mustahil ia terlibat. Maka kalian telusurilah
perilaku kehidupannya sehari-hari, siapa saja teman-teman dekatnya, ke mana saja ia
pergi, dan apakah ia pernah mengatakan sesuatu yang ada kaitannya dengan ilmu
hitam atau aliran sesat lainnya!"
"Dan... Joko?"
Priadi menyeringai gembira.
"Jika tidak salah lihat, pastilah ia telah membual."
"Setuju, Komandan?"
"Hem. Pikiran kita agaknya sejalan, Priadi. Kau interogasilah penjaga kamar mati
itu sekali lagi. Kita harus tahu kejadian yang sebenarnya dan mengapa ia mengelabui
kita dengan ceritanya yang menggelikan itu!"
"Siap, Komandan!"
Adapun mengenai keikutsertaannya dengan rombongan Aki Juhari, di tengah
perjalanan ke Sukabumi, Robinson Tarigan berkilah,
"Aku ingin tahu,bagaimana caranya orang-orang sinting berburu dan menangkap
hantu!"
Ramandita mengeluh,
"Bilang saja Anda mau memastikan aku takkan pergi ke mana-mana...."
"Tidak ada salahnya, bukan?" sambut Sang Ajun Komisaris seraya menyeringai
lebar.
"Yaaah... asal tidak diborgol saja!"
Ramandita ikut menyeringai, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Perburuan itu dimulai di rumah Aki Juhari. Senjata pengintai masih itu juga: baskom
porselen besar dan antik yang ia katakan peninggalan leluhurnya, yang konon pernah

-- Halaman 157 Kolektor E-Book --


jadi tabib di istana kesultanan Banten.Bedanya kali ini tak ada akar bahar,
rempah-rempah,serta bebungaan. Ia hanya membakar kemenyan. Abu pembakaran
dilarutkan ke dalam air bening di Baskom.Setelah itu ia juga menuangkan jelaga hitam
pekat. Isi baskom pun segera diaduk.
"Hantu itu tahu ada yang mencari dan melumpuhkannya tadi malam. Maka setiba di
rumah sakit, ia mencari jalan lolos dari penangkapannya.Nasib siallah yang menimpa
Suster Maria. Hantu itu berhasil kabur dan pasti ia sudah menemukan tempat
persembunyian yang menurutnya cukup aman dari penglihatanku. Dan ia salah!"
Aki Juhari menjelaskan dengan nada berapi-api.
"Ia tidak tahu mata batinku mampu menerobos masuk ke alam gaib yang sama hitam
dan pekatnya dengan air di baskom ini!"
Aki Juhari menunggu sampai riak air di baskom tenang dan diam. Lalu
mengingatkan agar selama ia bersemedi tidak boleh ada suara berbisik apalagi
mengusik. Ia kemudian duduk bersila menghadap ke baskom yang langka didapat itu.
Tak sekali pun ia bergerak.
Kelopak mata dan mulut terkatup rapat. Posisi duduk dan sila diamnya
mengingatkan Ramandita pada patung Sidharta Gautama yang pernah ia lihat di
sebuah klenteng sewaktu ikut menelusuri kasus si Janda Hitam.
Detik demi detik berlalu.
Di luar rumah angin malam bersiut-siut dan atap genteng terdengar
berderak-derak.Ramandita menggigil oleh sergapan hawa dingin membeku. Ketika ia
melirik, ia melihat Harianto bahkan AKP Tarigan juga terpengaruh oleh sikap semedi
Aki Juhari. Tak seorang pun berani bergerak, apalagi membuka mulut. Mata mereka
tak pula berkedip.Bahkan napas pun terpaksa ditahan.Lalu tiba-tiba kelopak mata Aki
juhari merentang terbuka. Tampak kilatan tajam dan aneh di matanya.Lalu dengan
suara menggeram dan pundak bergetar hebat, dari mulutnya disemburkan ludah yang
muncrat ke permukaan air baskom. Tamu-tamunya memandang terkejut kemudian

-- Halaman 158 Kolektor E-Book --


membelalak dengan mulut tercengang, manakala di tempat muncratnya ludah
AkiJuhari, warna hitam pekat permukaan air pelan-pelan berubah bening sementara
sisanya tetap menghitam pekat. Entah ilmu apa yang dipergunakan Aki Juhari,sehingga
keanehan itu masih ditambah hal yang lebih aneh lagi. Muncratnya ludah yang
disemburkan begitu keras, sedikit pun tidak membuat riak, apalagi percikan air di
baskom!
Gigi Aki Juhari bergemeletuk keras sementara ia mengawasi permukaan air di
bagian yang bening tadi.Lalu mendadak dahinya mengerut. Mulutnya terbuka,tampak
menggagap-gagapi lantas bergumam heran,
"Lha. Mengapa jadi begini?"
Mukanya diangkat.
Memandang lurus-lurus ke wajah Ramandita.
Masih dengan pandangan heran.
"Ada apa, Ki?" bisik Ramandita, tegang.
"Aku tidak dapat melihat roh jahat gadis itu. Yang kulihat justru wajah orang lain..."
jawab Aki Juhari,bingung.
"Wajah siapa, Ki?"
"Wajahmu!"
Sepi sejenak.
Lalu Robinson Tarigan tertawa bergolak.
"Tentu saja!" ia berkata mengejek.
"Bapak memang tengah memandang wajah Ramandita. Bukan wajahku atau wajah
Harianto!"
Tanpa mengacuhkan ejekan tamunya, Aki Juhari kembali mengawasi permukaan air.
Matanya memandang tak berkedip sampai bagian yang bening dipermukaan air itu
lambat laun kembali menyatu dengan bagian lainnya.
Kembali menghitam.

-- Halaman 159 Kolektor E-Book --


Kembalipekat.
"Masih wajah yang sama..." gumamnya pelan,sementara kerutan di dahinya
bertambah jelas.
Pertanda ia tengah berpikir keras. Ramandita maupun Harianto diam tak bergerak,
menunggu dengan wajah tegang. Adapun Robinson, tetap dengan santai. Ia jemput
sepotong singkong rebus yang sebelumnya telah disediakan istri tuan rumah, menggigit
lalu mengunyahnya dengan santai pula. Seterusnya, gelas didekatkan ke mulutnya.
Kopi hangat dicicipi.
Lantas mendesah nikmat, sembari kedua belah kaki diselonjorkan. Benar-benar
santai, seolah menikmati suasana piknik saja.Ia pun tidak tampak menaruh minat ketika
Aki Juhari berujar pada Ramandita,
"Waspadalah, anakku.Naluriku membisikkan, bahwa kau dijadikan tameng oleh roh
jahat itu!"
Robinson Tarigan nyeletuk,
"Ambillah baju besi dan pedangmu sekalian, Rama!"
Ramandita tidak mengacuhkan. Dengan suara tersedak ia bertanya pada tuan rumah,

"Apakah maksud Aki...gadis itu bersembunyi di..." kata-katanya tidak diteruskan.


Wajahnya pun semakin tegang karena ikut membayangkan apa yang muncul dalam
pikirannya.Aki Juhari menggelengkan kepala. Berujar lembut namun jelas menyimpan
perasaan khawatir,
"Belum dapat kupastikan, Nak. Mungkin saja aku salah. Yang semacam ini hanya
terjadi satu dari sekian ribu peristiwa gaib. Sudah langka terjadi di zaman, sekarang
ini. Tetapi di masa hidup leluhurku, peristiwa semacam itu bukanlah hal yang aneh..."
"Peristiwa apa, Aki?"
Harianto menyela segan.
"Roh gaib. Yang biasanya hanya bergentayangan di alam arwah, tetapi memiliki

-- Halaman 160 Kolektor E-Book --


kekuatan ampuh dan jahat untuk menyelinap lalu bersembunyi di balik roh orang yang
masih hidup!"
"Astaga!"
Ramandita mengucap berbarengan dengan Harianto. Robinson mengawasi mereka
berdua dengan mulut tersenyum dan pandangan mata menaruh iba kasihan.
"Apa... yang harus kita lakukan, Ki?" tanya Ramandita dengan bulu kuduk
merinding.Aki Juhari mengusap dagunya. Berpikir. Kemudian,
"Aku mampu memanggil roh orang-orang yang sudah mati, sebanyak aku butuhkan!"
katanya.
"Tetapi apabila roh gentayangan itu mencari perlindungan di balik roh orang yang
masih hidup, akan sulit berkomunikasi dengannya. Kita harus menemukan suatu cara,
dimana harus terjadi suatu persenyawaan nyata antara kedua roh itu, yang dapat kita
lihat dan kita raba.Dengan bantuan persenyawaan itulah kita baru dapat
berkomunikasi dengan roh yang ingin kita panggil.."
"Caranya?" desah Ramandita, bingung.
"Melalui darah, atau benih kehidupan!"
"Darah siapa? Benih kehidupan siapa?"
"Kedua-duanya!"
"Darahku sih, kapan saja bisa didapatkan. Tetapi bagaimana mungkin kita
mendapatkan... darah siNona?"
"Mungkin saja, Nak," jawab Aki Juhari.
Tenang.
"Ah...?"
"Di otakku yang sudah tua ini, Nak," kata Aki Juhari tersenyum.
"Setiap kata demi kata yang diceritakan pasien-pasienku selalu tercerna dan
tertanam kuat untuk sewaktu-waktu diungkap kembali. Orang sekarang bilang... ini
bukan sombong, yah... otak komputer, begitu!"

-- Halaman 161 Kolektor E-Book --


"Dan apa yang Aki masih ingat mengenai apa saja yang telah kuceritakan? Dan apa
kaitannya dengan darah? Atau, benih kehidupan?"
"Ingat pertama kali kau bertemu dengan gadis itu? Dan apa saja yang telah kalian
berdua perbuat?"
Wajah Ramandita seketika bersemu merah.
"Maksud Aki..."
"Benar. Kalian telah bersetubuh, bukan? Dan kau bilang, gadis itu... masih perawan.
Tahu, bukan? Apa yang kita lihat apabila terjadi kerobekan pada selaput dara?"
Ramandita menelan ludah. Lalu berkata menggagap,
"Aku... tahu. Tetapi... aku pun sempat dibuat heran.Pagi itu, sewaktu aku kembali ke
kamar tidur... aku sempat melirik ke permukaan seprai. Jelas aku telah merasakan
adanya selaput dara yang terobek. Tetapi...di kain seprai itu sedikit pun tak kulihat
adanya percikan darah!"
"Karena, anakku, kau melihat dengan mata manusia biasa. Sedang yang kau ingin
lihat, adalah darah makhluk gaib. Apakah kain seprai itu sudah kau cuci?"
"Belum. Malah masih terhampar di tempatnya semula," jawab Ramandita,
tersipu-sipu. Harianto yang duduk disebelahnya menggeleng-geleng prihatin.Aki Juhari
berujar gembira,
"Kalau begitu, kita masih dapat melihatnya, Melihat persenyawaan yang telah terjadi
antara kalian berdua. Yang kumaksud bukan darah. Melainkan benih-benih kehidupan.
Tetapi untuk dapat melihatnya, kita harus dibantu persenyawaan benih-benih sejenis.
Yang masih baru. Dan masih segar...!"
Lalu Aki Juhari menjelaskan bagaimana benih kehidupan yang masih baru dan masih
segar itu bisa mereka dapatkan, dan bagaimana mereka memanfaatkannya.
"Sekarang tergantung pada Nak Rama sendiri. Dengan siapa Nak Rama ingin
bersetubuh" katanya, mengakhiri.
"Wah. Enak!"

-- Halaman 162 Kolektor E-Book --


Robinson Tarigan mendengus keras.Lantas dijemputnya singkong rebus sepotong
lagi dengan bernafsu.

***

DELAPANBELAS

Berdebar jantung Ramandita ketika terdengar bunyi bel dan ia pergi membuka pintu
depan. Di hadapannya berdiri tubuh semampai bermata bening yang menatap mesra
serta berbibir merah basah, setengah terbuka merindukan sentuhan.Ramandita menelan
ludah lantas berujar dengan suara bergetar,
"Tambah cantik saja kau, Lena!"
Magdalena tersenyum.
Hangat.
"Begitulah yang selalu kudengar tentang komentar seorang suami ketika melihat
bekas istrinya..." sahutnya sama bergetar.
"Kita belum bercerai, Lena."
"Memang belum. Jadi aku masih berhak mengoreksi penampilanmu, bukan?" sambil
berkata demikian tangan Magdalena menyentuh pipi lalu mengurai helai-helai rambut
yang menutupi telinga Ramandita.
"Kau tampak kurus dan tua, sayangku!"
"Akhirnya, aku tambah matang?" kilah Ramandita,tertawa.
"Ayolah. Ini rumahmu sendiri. Aku tak harus menyilakan masuk, bukan?"
Ramandita menyisih untuk memberi jalan, kemudian menutup pintu.
Masuk ke dalam.
Magdalena sejenak diam mengawasi suasana, baru kemudian meneruskan langkah
menuju ruang dalam. Sambil lewat, masih sempat dia membetulkan letak lukisan

-- Halaman 163 Kolektor E-Book --


dinding yang tergantung miring. Di ruang tengah Magdalena pun tidak langsung
duduk. Lebih dulu ia mempelajari keadaan ruangan itu, lantas didahului tawa lunak ia
mengomentari,
"Hem. Setelah kau meneleponku tadi pagi Rama, tentulah kau sibuk sekali
membenahi seisi rumah, ya?"
Ramandita menanggapi dengan tersipu,
"Pasti aku melakukannya tidak terlalu rapi, kan?"
Ia ternyata benar. Sewaktu duduk mengobrol di kursipanjang, kaki Magdalena
tiba-tiba menyentuh sesuatu di kolong meja. Ia membungkuk lalu menarik keluar sepatu
Ramandita plus kaus kaki yang tergeletak tak benturan di kolong meja itu. Magdalena
juga mengambil botol minyak rambut dan sisir dari lapis bawah meja itu.
"Memalukan!" komentarnya seraya menyeringai ia bangkit dari duduknya dan
membawa benda-benda itu untuk disimpan pada tempat yang benar, di kamartidur. Ia
tidak pergi ke kamar tidur yang ia tahu biasa dipergunakan Ramandita setelah mereka
berpisah,tetapi langsung membuka pintu kamar tidur yang biasa mereka pergunakan
semasih hidup normal sebagai suami istri. Sesaat kemudian, dari dalam kamar
terdengar suaranya memanggil.
Ramandita segera menyusul masuk ke kamar yang dimaksud. Dan ketika melihat
Magdalena tengah mengawasi kamar tidur, jantung Ramandita bergetar lagi. Getaran
yang jauh berbeda dengan saat tadi membukakan pintu untuk Magdalena.
"Bukankah itu seprai yang terakhir kali kita tiduri.Rama? Yakni pada hari Sabtu
malam, 3 bulan 10 yang lalu?" tanya Magdalena, lembut.
"Ah... Agaknya aku lupa daya ingatmu kuat, Lena..."sahut Ramandita cepat-cepat
menambahkan.
"Jangan khawatir. Aku telah mencucinya setelah kau pergi. Kini kupasang lagi.
Sekadar bernostalgia."
Magdalena menggeleng misterius lalu mendekati tempat tidur. Kain seprai

-- Halaman 164 Kolektor E-Book --


disingkapkan pada ulah satu sudutnya. Melihat itu. Ramandita berujar cemas.
"Tak usahlah repot-repot menukarnya dengan sprai yang lain, Magdalena"
"Memang tidak," jawab Magdalena, tersenyum.
"Aku hanya ingin merapikan aja. Tidakkah kau lihat salah satu motif kembangnya
setengah terbenam di bawah kasur?" dan Magdalena menyingkapkan seluruh seprai
lalu memasangnya dengan benar.Selagi bekerja, ia bergumam prihatin.
"Apakah aku pernah menyarankan kau kawin lagi?"
"Pernah!"
"Mestinya saranku kau turuti. Kau tak perlu repot mengerjakan segala sesuatunya
sendirian. Serahkanlah urusan rumah tanggamu kepada seorang istri!"
Ramandita menahan senyum.
"Kalau kuturuti kau pasti bunuh diri!" katanya, memancing.
"Kau tahu aku paling takut mati, Rama," desah Magdalena, getir.
Wajahnya yang tadi riang tahu-tahu berubah murung. Juga suaranya ketika ia
meneruskan,
"Tetapi... yah! Terus terang, bila engkau kawin juga dengan perempuan lain,
mungkin aku akan punya keberanian untuk melakukan apa yang tadi kaukatakan...."
Ramandita yang menyandar di bendul pintu kamar mengerutkan dahi.
"Mengapa?"
"Karena, sayangku. Bila di sisimu sudah ada perempuan lain, berarti kau bukan lagi
milikku seorang.Aku tak boleh lagi menyentuhmu. Apalagi mengajakmu bermain cinta.
Bahkan untuk mencintaimu saja pun aku tak lagi punya hak!"
Magdalena mengakhiri kata-katanya dengan keluhan panjang. Diamati-amatinya
seprai yang kini tampak lebih serasi dan sedap dipandang. Setelah itu ia memutar
tubuh. Menghadap lurus ke arah Ramandita.Tersenyum sejenak, lantas bertanya lirih,
"Kini apa lagi yang masih dapat kulakukan untukmu, Rama? Pergi kedapur untuk
menyediakan makan malammu? Atau..."

-- Halaman 165 Kolektor E-Book --


Ramandita meninggalkan pintu. Ia dekati Magdalena dengan langkah-langkah pasti,
lalu merangkul perempuan itu dengan kehangatan yang mendebarkan dada. Di telinga
Magdalena ia berbisik mesra,
"Bantulah aku melepas rindu dendam yang mengentak-entak jiwa ini, Kekasih...."
"Oh, Ramaku, sayangku, suamiku...."
Magdalena menyambut dengan rintihan terputus-putus dan kecupan-kecupan bibir
yang semakin lama semakin panas membara, ia membiarkan dirinya ditarik lalu
dirobohkan Ramandita di tempat tidur.Sentuhan demi sentuhan ia sambut dengan
kegairahan yang kian menggebu menagih pelunasan janji berahi.Ketika kemudian
tubuh mereka menyatu dalam kemesraan yang luar biasa mempesona, Magdalena
menitikkan air mata sukacita dan bahagia yang tiada tara. Setengah jam berlalu sudah,
ketika akhirnya Magdalena merintih keras lalu tubuhnya meliuk jatuh dan rebah di sisi
tubuh Ramandita.
Beberapa saat lamanya ia rebah dengan mata terpejam meraih sisa-sisa kenikmatan
berahi yang telah dia raih sampai ke puncaknya. Setelah degupan jantungnya
mereda,barulah ia memiringkan tubuh untuk merangkul dada dan mengecup pipi
Ramandita sebagai ucapan terimakasih. Setengah bertelekan pada siku tangannya yang
lain, bergumam tersipu,
"Tahukah kau, Yang?"
"Hem?"
Ramandita mengurai senyuman lembut.
"Bahwa usahaku telah gagal dan gagal lagi!"
"Untuk?"
"Mengantarmu lebih dulu ke puncak. Dan membiarkan engkau lebih dulu menikmati
kebahagiaan yang mengasyikkan itu... sebelum aku meraih bagianku sendiri...."
"Kau selalu mampu melakukannya Magdalena, bila kita mengulangnya lagi. Nanti..."

-- Halaman 166 Kolektor E-Book --


"Di ronde kedua!"
Magdalena berbisik gemetar,
"Tetapi mengapa tak pernah di ronde pertama?"
"Karena, kekasihku, ronde pertama adalah milikmu!"kata Ramandita, kalem.
Wajah Magdalena berubah sendu. Meskipun matanya menatap mata Ramandita,
namun jelas pikirannya menerawang jauh.
"Masing-masing kita ingin saling membahagiakan, bukan? Tetapi sayang sifatnya
hanya sementara...."
"Kau tahu bahwa kau dapat melanggengkannya Lena.Membuatnya tetap abadi...."
bujuk Ramandita.
Magdalena menggeleng sedih. Suaranya teramat pahit ketika ia mengerang pelan.
"Aku ingin, Rama. Namun tiap kali aku berniat kembali bersatu denganmu untuk
tidak pergi-pergi lagi... tiap kali pula jiwaku ditoreh:bayangan terkutuk itu. Bayangan
itu tak pernah berhasil kusingkirkan, Rama. Kengerian pada apa yang telah terjadi.
Dan kebencian pada diriku sendiri,mengingat bahwa aku menikmati kejadian terkutuk
itu.Serta apa yang waktu itu kuucapkan. Aku meminta dia, agar melakukannya... lagi,
dan lagi di saat tubuh laki-laki itu menjauhi tubuhku...."

Magdalena menggigit bibirnya kuat-kuat.


"Sesuatu yang tidak pernah berani kuminta darimu" tambahnya, dengan nada muak
dan malu pada dirinya sendiri.
"Belum jugakah kau menyadari situasi ketika itu, Lena?Kau berada di bawah
pengaruh obat perangsang yang melebihi dosis!"
Ramandita berkata dengan marah.Bukan marah pada Magdalena, melainkan pada
pemerkosa biadab yang tidak saja menodai tetapi juga akhirnya menghancurkan rumah
tangga yang sebelumnya begitu tenteram dan bahagia.
"Aku dapat memahami reaksimu ketika itu, Magdalena!"

-- Halaman 167 Kolektor E-Book --


"Kau, ya. Tetapi aku tidak, lantaran masih dan senantiasa melekat dalam ingatanku.
Bagaimana setelah pergi aku lalu merayap ke tempat kau duduk terikat. Aku bukannya
membantu melepaskan ikatanmu, aku justru... memohon agar kau tuntaskan berahiku
yang masih bergejolak. Lalu tiba-tiba aku melihat sinar jijik di matamu. Saking ngeri
melihatnya,aku pun lantas tersadar!"
Ramandita mengatupkan kelopak matanya rapat-rapat.Lalu berbisik samar,
"Kau tidak ingin ke kamar mandi?"
Magdalena terperanjat sendiri.
"Ya. Tuhan. Mengapa kita membicarakan itu lagi?" ia mencoba tertawa.Tetapi
gagal. Kebahagiaan tadi telah digantikan oleh jiwa yang sakit. Tertatih-tatih ia turun
dari tempat tidur. Tertatih-tatih pula ia berjalan lalu menghilang dikamar
mandi.Ramandita pelan-pelan membuka kelopak matanya. Ia mengawasi pintu kamar
mandi dengan mata tak berkedip. Sesaat ia mengeluh panjang. Kelopak matanya
dikatupkan lagi. Dan pada saat itulah dari sudut sudut kelopak matanya menitik
tetes-tetes air bening hangat, membasahi pipi. Ia goyangkan keras-keras kepalanya
untuk membuang jauh-jauh impian buruk yang sudah lama berlalu namun seolah baru
terjadi beberapa menit berselang.
Kemudian ia bangkit.
Duduk terenyak di tempat tidur,tiba-tiba matanya menangkap noda-noda bening
keputih-putihan membasahi permukaan kain seprai.Seketika ia tersadar bahwa ia harus
melupakan masa lalu dan lebih mengutamakan masa sekarang. Masa dimana, ia justru
dihadapkan pada impian lain. Impian yang jauh lebih buruk dan harus dilenyapkan
pula sebelum terlambat.Tanpa berpikir panjang ia melompat turun lalu tergesa-gesa
menyingkap kain seprai. Baru juga tangannya menyentuh salah satu ujung seprai itu,
dibelakangnya sudah terdengar ucapan lembut,
"Biarlah aku yang melakukannya, Ramandita!"
Lalu tanpa menunggu reaksi, Magdalena bergerak cepat dan terampil melepaskan

-- Halaman 168 Kolektor E-Book --


kain seprai. Sambil lalu ia bertanya tanpa maksud apa-apa,
"Mengapa kau tiba-tiba ingin menukar seprai, Rama?"
Ramandita terkesiap. Menjawab tergagap-gagap.
"Aku... ah, tidak ada salahnya, bukan? Lagi pula sudah waktunya seprai itu ditukar
dengan yang lebih bersih"
Magdalena berpaling. Mengawasinya sesaat. Namun tanpa berkomentar apa-apa,
seprai digulungnya. Begitu pula sarung-sarung bantal. Ia mencari-cari dengan
matanya. Lalu setelah membungkuk, ia temukan apa yang ia cari di kolong tempat
tidur. Sebuah keranjang plastik diseretnya dari bawah kolong. Lalu seprai dan sarung
bantal dimasukkan ke dalam keranjang, dimana sudah ada tumpukan pakaian kotor
Ramandita yang belum sempat dicuci. Ke keranjang itu juga kaus kakinya tadi
dimasukkan, lalu dengan tubuh telanjang ia berjalan ke luar kamar tidur.
"Mau kaubawa ke mana keranjang itu?" tanya Magdalena bingung sambil menguntit
di belakang Ramandita.
"Ke mana lagi? Ya. Dimasukkan ke mesin cuci"
"Ini pekerjaan perempuan, ingat?" sahut Magdalena tersenyum.Ramandita berpikir
cepat.
"Urusan sepele begitu dapat juga dikerjakan laki-laki!" katanya.
"Kau pergilah kedapur. Aku sudah lapar!"
Berkata begitu, keranjang di tangan Magdalena disambarnya terus berjalan menuju
mesin cuci yang ditempatkan tak jauh dari dapur. Magdalena membiarkan saja. Lalu
tiba-tiba tertawa berderai-derai.Tentu saja Ramandita membalikkan tubuh, lalu
bertanya heran.
"Apa yang lucu?"
Sambil memegangi perut, Magdalena bertanya menyindir,
"Apakah belakangan ini kau selalu berbugil saja di rumah, Rama?!"
Terperanjatlah Ramandita. Ia lupa mengenakan pakaian sewaktu tadi ia diikuti

-- Halaman 169 Kolektor E-Book --


Magdalena meninggalkan tempat tidur. Melirik sekilas ke bawah,Ramandita cepat
menurunkan kedua tangannya,sehingga keranjang berisi tumpukan kain kotor seketika
menutup bagian terlarang di bawah pinggangnya. Lalu dengan wajah memerah, ia
membalikkan tubuh dan berjalan santai menuju mesin cuci. Di belakangnya,Magdalena
mendengus,
"Pantatmu masih kelihatan!"
"Peduli amat!" gerutu Ramandita, keki.
"Tak ada orang ini!"
Lalu keranjang diletakkan di meja dekat mesin cuci. Tak peduli tubuhnya sama sekali
tidak lagi terlindung,kalem-kalem saja ia masukkan kain-kain kotor sepotong demi
sepotong ke mesin cuci, setelah lebih dulu mesin cuci itu dioperasikan.
"Hem. Tak ada orang. Lalu aku ini, apa?"
Magdalena nyeletuk sendirian.
"Perempuan! Yang hidup di dapur!" teriak Ramandita.
"Apa tak kau dengar perutku sudah keroncongan,Lena?"
Magdalena menggelengkan kepala, tersenyum-senyum,lalu menyelinap ke dapur dan
sibuklah ia bekerja.Ramandita menunggu sejenak. Ketika ia lihat Magdalena berdiri
membelakangi, cepat-cepat ia menyambar seprai yang sengaja ia sisakan di dalam
keranjang. Cepat-cepat pula ia berjingkat pergi kekamar tidur terdekat. Yakni kamar
tidur pembantu,yang sudah lama kosong karena Ramandita lebih suka sendirian di
rumah semenjak Magdalena meninggalkannya. Seprai dilemparkan begitu saja
kedalam. Pintu kemudian ditutup rapat, lantas kembali lagi ke mesin cuci. Pura-pura
sibuk melihat lewat kaca pengintai mesin cuci, ia nyeletuk keras,
"Mau buatkan kopi, Lena? Gulanya jangan terlalu banyak!"
Tetapi saat itu Magdalena sudah keluar dari dapur dengan cangkir berisi kopi panas
yang kemudian ia serahkan ke tangan Ramandita.
"Aku selalu siap bukan,Komandan?" senyumnya, mengejek.

-- Halaman 170 Kolektor E-Book --


"Minumlah. Dan sebelum kau masuk angin, kenakanlah pakaianmu,oke?"
Habis berkata demikian, Magdalena masuk lagi kedapur. Ramandita meneguk
kopinya secicip. Pas dengan seleranya, ia kemudian pergi ke kamar tidur yang tadi
untuk mengenakan pakaiannya. Dari dapur,ia dengar suara Magdalena berseru,
"Hei. Jangan lupa.Cuci itumu dulu, ya?" disusul tawa mengikik.
Setelah kain-kain kotor dialihkan ke mesin pengering dan Magdalena pun sudah
menyiapkan hidangan dimeja makan, mereka bersantap makan dengan riang gembira,
sambil sesekali bercubit-cubitan. Barulah setelah mereka selesai makan, Magdalena
sekonyong-konyong bertanya dengan suara dan wajah serius,
"Mengapa kau tidak berterus terang saja,Rama?"
Karena pada saat itu Ramandita habis meneguk teh, hampir saja ia tersedak saking
terperanjat.
"Apa maksudmu, Magdalena?"
"Berhentilah berpura-pura, sayangku!"
"Hei. Adakah sesuatu yang salah pada diriku, Lena?"
"Ada beberapa, Ramandita," gumam Magdalena.
Matanya lurus dan tajam menusuk ke mata Ramandita.
"Pertama-tama, tentang kain seprai..."
Ia diam sejenak,melihat reaksi terperanjat lagi di wajah Ramandita.Lalu,
"Dari semula tidak berniat, setelah sanggama kita tadi kau tiba-tiba ingin menukar
seprai itu. Lantas aku tidak kau perbolehkan memasukkan sendiri isi keranjang ke
dalam mesin cuci. Masih kurang jelas? Ketika tadi aku membuat kopi untukmu, aku
berpaling untuk menanyakan apakah kau masih membenci kopi yang kelewat manis.
Aku tak jadi membuka mulut.Karena saat itu kulihat kau melemparkan seprai kekamar
pembantu. Setelah itu aku cepat membalik dan pura-pura tidak melihat apa yang kau
lakukan..."
Wajah Ramandita berubah pucat.

-- Halaman 171 Kolektor E-Book --


"Lena "
"Tunggu dulu, Rama. Kalau engkau tidak berkata jujur,aku pasti mengetahuinya.
Dan saat ini juga aku meninggalkanmu. Dengan keyakinan dan kesadaran penuh
bahwa diriku ini sudah tak punya arti apa-apalagi dalam jiwamu. Bahwa aku hanya...
hanya sekadar diperlukan untuk pemuas hawa nafsumu saja!"
Ramandita terenyak lesu di kursinya. Menarik napas:berat dan panjang, kemudian
bergumam getir,
"Maafkan, Lena, Lena, aku... tidak seharusnya,memanfaatkan hubungan kita yang
tetap mesra dan intim. Untuk..."
"Memanfaatkan, Rama?" desah Magdalena terengah.
"Ceritanya panjang, Magdalena. Dan... teramat sangat menakutkan!"
Ramandita merintih sakit.
"Sungguh tidak pantas aku melibatkan dirimu. Padahal Harianto sudah
menganjurkan agar aku memanfaatkan saja salah seorang gadis-gadisnya. Aku tinggal
menikmati,membayar, kemudian menendang gadis itu kapan aku suka!"
Magdalena menggenggam telapak tangan Ramandita.Berujar lembut,
"Ceritakanlah, sayangku!"
Ramandita menyerah. Ia menceritakan apa adanya.Ringkas, tetapi cukup jelas untuk
dapat dimengerti,betapa jiwanya dilanda kegoyahan akibat terpaksa memercayai
sesuatu yang selama ini senantiasa ditertawakan dan dicemoohkannya. Magdalena
diam mendengarkan. Selesai Ramandita bercerita, ia berpikir sejenak. Tidak ada
pertanyaan atau pernyataan tak percaya, ataupun komentar apa-apa yang dilakukan
Ramandita selama hari terakhir ini.Tetap menggenggam hangat telapak tangan
Ramandita, ia hanya berujar lembut tanpa ragu-ragu sedikit pun,
"Aku mengerti. Dan aku siap mendampingimu walau apa pun yang telah dan akan
terjadi"
"Bantuanmu sudah lebih dari cukup, Magdalena.Selebihnya, serahkan sajalah

-- Halaman 172 Kolektor E-Book --


padaku. Kau bebas untuk pergi dan tidak melibatkan diri. Risikonya bisa jadi sangat
mengerikan."
"Kau bilang tadi, kalian bermaksud menyewa seorang medium, bukan?"
Magdalena bertanya tenang,
"Kepalang basah, Rama, mengapa tidak aku saja? Toh yang kalian butuhkan
hanyalah medium biasa-biasa ,saja. Yang tak perlu punya ilmu macam-macam,
Hus.Jangan membantah, sayangku. Mungkin diriku ini kotor setelah kejadian yang
menimpa kita dua tahun berselang. Tetapi untukmu, apa pun akan kuberikan,pujaanku.
Nah. Sekarang teleponlah mereka. Mintalah mereka datang segera. Kalian tidak rela
terlambat untuk kedua kalinya, bukan?"
Tidak ada lagi waktu untuk berbantah. Dan Ramanditapun beranjak menuju meja
telepon.

***

SEMBILAN BELAS

Dan sibuklah orang-orang di rumah itu. Yang mula-mula sibuk, bila itu bisa diesebut
kesibukan adalah Aki Juhari, dukun yang sebelumnya menunggu tak sabar di rumah
Harianto. Segera datang setelah menerima kabar lewat telepon. Ia datang ditemani
Harianto yang wajahnya tampak kemalu-maluan sewaktu bertukar salam dengan
Magdalena. Pernah ia berkata, andai saja Magdalena itu istrinya, Harianto pasti akan
membutakan mata terhadap perempuan-perempuan lain.
Tanpa banyak bicara Aki Juhari segera minta diperlihatkan kain seprai yang
diperuntukkan sebagai lapisan bersanggama oleh tuan dan nyonya rumah.Setelah
menerima seprai ia minta disediakan ember berisi air, ke dalam mana seprai ia rendam

-- Halaman 173 Kolektor E-Book --


selama beberapa menit. Ia kemudian meludah ke telapak tangan, lalu cairan ludah ia
gosok-gosokkan di kedua telapak tangannya. Lalu sambil komat-kamit membaca
mantra, kedua telapak tangan Aki Juhari dibenamkan pula ke dalam air di ember, dan
dipergunakan seprai meremas-remas seprai.Sementara yang lain mengawasi dengan
sorot mata tak berkedip saking ingin tahunya, Aki Juhari pelan-pelan mengangkat kain
seprai yang basah kuyup dari dalam ember.
"Bantu aku menghamparkannya!" ia berkata tanpa melihat pada siapa ia meminta
bantuan.

Bergegas Ramandita, Harianto, kemudian juga Magdalena bantu menghamparkan


kain seprai dipermukaan lantai yang sebelumnya sengaja dikosongkan dan
dibersihkan.Awalnya, tak tampak apa-apa kecuali motif bunga anggrek warna violet di
empat sudut kain seprai berwarna merah muda itu. Detik demi detik berlalu dalam sepi.
Yang terdengar hanya bunyi mulut Aki Juhari mengatup dan membuka lantaran
membaca mantra tanpa suara. Kemudian muncullah sesuatu dipermukaan kain seprai
yang basah itu. Munculnya perlahan-lahan dan makin lama makin jelas.Kelihatanlah
noda- noda kuning di beberapa tempat,disusul noda-noda kuning kemerahan, lalu
noda-noda hitam legam.
"Apa... apakah itu?" bisik Harianto, terkesima.
Aki Juhari menunjuk sambil menjelaskan,
"Yang berwarna kuning adalah persenyawaan sperma Nak Rama serta istri. Yang
kuning kemerahan persenyawaan sperma Nak Rama dengan Si Nona. Adapun bercak
hitam itulah noda percikan dari selaput dara yang robek...!"
Meskipun Ramandita sebelumnya telah memberihu apa yang ia lakukan ketika
bertemu pertama kali dengan SiNona, toh Magdalena cemberut. Kecemburuan istrinya
dapat dimengerti Ramandita. Ia sentuh tangan Magdalena dan menatap dengan
pandangan meminta maaf!

-- Halaman 174 Kolektor E-Book --


Magdalena diam saja.
Tak bereaksi apa-apa,kecuali cemberut di bibirnya yang perlahan-lahan menghilang.

"Ambilkan benang. Yang berwarna kuning emas kalau ada. Bila tidak, warna hitam
pun jadi, sekalian dengan jarum jahit!"
Aki Juhari mengeluarkan perintah tanpa mengalihkan matanya dari noda-noda di
permukaan seprai. Karena sebelumnya telah diberitahu, dalam tempo singkat
Ramandita sudah menyerahkan apa-apa yang diminta orang tua itu.Magdalena
membantu memasukkan ujung benang kelubang jarum. Aki juhari sendirilah yang
menjahitkan benang ke kain seprai. Jahitannya kasar tidak teratur,namun terlihat jelas
membuat lingkaran besar di dalam lingkungan mana terdapat noda kuning kemerahan
serta noda hitam.
"Terkurung sudah!" desah Aki Juhari puas, seraya menyerahkan jarum dan gulungan
benang ke tangan Magdalena.
Sewaktu menerimanya Magdalena menceletuk tanpa sadar,
"Saya harap ini bukan permainan sulap"
Ramandita bermaksud menegur Magdalena. Tetapi Aki Juhari sudah mendahului.
Katanya, tenang dan yakin,
"Cobalah keringkan kain seprai ini. Supaya kalian lihat,aku bukan tukang sulap
murahan itu!"
Dengan enggan Ramandita membawa kain seprai yang kemudian ia masukkan ke
mesin pengering. Sambil menunggu mereka mempercakapkan rencana-rencana
selanjutnya, serta risiko-risiko yang mungkin terjadi.Khususnya pada Magdalena, Aki
Juhari mengingatkan,
"Menjadi medium tidak gampang, anakku. Tidak jadi soal apabila kekuatan gaib
yang kita hadapi masih sebanding dengan ilmuku. Apalagi ilmuku setingkat diatasnya.
Nah, bila ilmuku ternyata kalah kuat, bukan mustahil taruhannya adalah nyawa!"

-- Halaman 175 Kolektor E-Book --


Magdalena bergidik sesaat.Lalu ia genggam erat tangan Ramandita, berbisik lirih
dari celah-celah bibirnya yang pucat,
"Andai kematian itu akhirnya toh datang juga dan itu adalah demi suamiku, aku siap
dan rela menerimanya!"
Ramandita terenyuh. Ia balas menggenggam erat dan hangat tangan Magdalena.
"Kau pernah jatuh sebagai korban karena aku. Lena. Tumbal yang satu ini sudah
lebih dari cukup. Jadi biarlah kami mencari orang lain sebagai medium."
Magdalena menatap lurus ke mata suaminya, dan bertanya tajam.
"Kalau perempuan lain mungkin saja demi kau, mengapa aku tak boleh?"
"Tapi..."
"Mungkin seprai itu sudah kering. Biar kuambilkan"gumam Magdalena,
mengabaikan keberatan suaminya.
Ia kemudian pergi dan kembali lagi dengan kain seprai yang sudah kering. Ketika
dihamparkan yang tertinggal hanyalah jahitan melingkari benang kuning
emas.Noda-noda ganjil itu tak tampak sedikit pun, walau hanya bekas-bekasnya saja.
"Sekarang, rendam lagi ke dalam air!" ujar Aki juhari.
Ramandita memasukkan seprai ke dalam ember. Atas perintah Aki Juhari seprai
kemudian diangkat lalu dihamparkan di lantai. Noda-noda itu pun muncul lagi,sama
jelas dengan yang tadi.Aki Juhari tersenyum.
"Kalian boleh mengulangnya sesering kalian mau. Rendam, keringkan, rendam
lagi.Dan yang akan kalian lihat tetap sama. Kecuali bila jahitan benang yang sudah
dimantrai itu kucabut seluruhnya. Bagaimana?"
Ramandita ragu-ragu. Begitu pula Magdalena. Harianto tidak. Sembari mengawasi
dengan pandangan menegur pada suami istri sahabatnya, ia berkata tegas,
"Kami sudah puas, Ki. Lagi pula, kita lebih baik mengerjakan apa-apa yang mesti
dilakukan, bukan?"
Kalimat terakhir ia tujukan pada Ramandita yang mengangguk lalu pergi ke meja

-- Halaman 176 Kolektor E-Book --


telepon. Pada sehelai dimejanya tertulis beberapa nomor telepon.Nomor-nomor ini
segera diputarnya. Setelah mendapat sambungan ia pun berbicara di telepon,
"Selamat malam, Oom Hardi. Apakah saya mengganggu tidur Oom? Terima kasih.
Saya hanya mau memberi kabar.Rencana kita positif dilaksanakan. Besok pagi? Pukul
berapa? Baiklah. Kami tunggu. Selamat malam, Oom."
Ramandita tak lupa menelepon AKP Robinson Tarigan.
"Syukurlah Bapak belum tidur. Oh... justru mau berangkat? Apa? Satu... kerangka
lagi? Tidak... aku tidak ingin ikut. Oh ya. Kami sudah berhasil memperoleh petunjuk
yang pernah kita bicarakan itu.Besok Bapak kukabari lagi. Ah... tadi juga Magdalena
mengeluarkan pendapat seperti Bapak. Tetapi...baiklah. Besok kita bicarakan. Bapak
mau datang? Syukurlah. Selamat menjalankan tugas Pak Tarigan."
Ramandita meletakkan telepon. Menyandar di meja, ia mengawasi istrinya, Harianto,
dan Aki Juhari yang juga tengah mengawasi dengan pandangan bertanya.Dengan
suara tersendat ia memberi tahu,
"Si Nona kembali mengambil korban. Pak Tarigan bilang,kerangka korban
ditemukan dalam sebuah mobil yang diparkir di tempat sepi sekitar pantai Ancol...."
Aki Juhari mengumpat marah,
"Makhluk jahat terkutuk!"
Sepanjang sisa malam itu Ramandita tak dapat terpejam. Demikian pula Magdalena.
Suatu saat,Ramandia bergumam cemas,
"Lebih baik tidak mengambil risiko, Lena...."
Magdalena menyahut,
"Cantikkah dia?"
"Siapa?" tanya Ramandita, terkejut.
"Gadis itu. Si Nona."
"Oh..."
"Apakah ia mampu menundukanmu?"

-- Halaman 177 Kolektor E-Book --


"Ha?".
"Kau tiba lebih dulu dari dia, bukan?"
"Tidak."
"Lantas?"
Magdalena masih tak puas.
"Bersamaan ya?"
Kecemburuan di balik suara Magdalena nyata terasa.Ramandita kikuk dibuatnya.
Lalu berujar rikuh,
"Tidurlah, Magdalena"
"Kau belum jawab pertanyaanku."
"Tidak penting."
"Aku harus tahu."
"Lena...."
"Ia lebih hebat dari aku, bukan?"
Ramandita jengkel karena terus dipepetkan. Egonyapun tampil demi membela diri,
"Gadis itu tak akan muncul dalam kehidupanku, Lena. Itu bila kau tidak
meninggalkan... rumah ini!"
"Jangan menjadikan aku sebagai kambing hitam, Rama.Kau tahu mengapa kau
kutinggalkan!"
Magdalena juga mulai marah.
"Dan pergi ke satu dan lain lelaki?"
"Aku butuh hiburan..."
"Apakah aku tidak, Magdalena?"
Magdalena terdiam.
Ramandita juga.
Lalu pelan-pelan terdengar Magdalena mengisak.
Kejengkelan Ramandita mencair. Ia merangkul dan mengecup bibir Magdalena, yang

-- Halaman 178 Kolektor E-Book --


segera menyambutnya dengan pagutan kuat disertai suara mengisak,
"Teruslah memelukku. Rama. Jangan lepaskan aku lagi..."
"Dan kau, Magdalena, jangan lagi tinggalkan aku sendirian," keluh Ramandita, ikut
terpengaruh sentimentil.
"Tidak. Tidak akan, sayangku!"
"Aku mencintaimu, Lena."
"Lebih-lebih aku, Rama!"
"Marilah kita lupakan yang lalu-lalu, ya?"
"Ya. Ya. Cium aku lagi, kasihku...."
"Mmm...."
"... mmm."
Tertidur juga mereka akhirnya, menjelang pagi tiba.

***

DUA PULUH

Hari esoknya berlangsunglah kesibukan lain. Sebuah mobil sedan dan sebuah lagi
pick-up dengan bak tertutup meluncur memasuki pekarangan. Empat orang laki-laki
berpenampilan rapi turun dari kedua mobil itu,disertai seorang lelaki setengah baya.
Kecuali yang disebut terakhir, Ramandita tidak mengenal satu pun lainnya. Kenalan
Ramandita itu memang hanya bertujuan mengantarkan dan memperkenalkan tamu pada
Ramandita.
"Tugasku sebagai penghubung selesai sudah hari ini,sekarang tiba waktunya aku
mengurus diri sendiri,bukankah begitu?" katanya, sambil tak lupa mengerling pada
Magdalena,
"Uban suamimu mulai tumbuh.tetapi kau malah tampak makin muda saja,

-- Halaman 179 Kolektor E-Book --


Magdalena.Petualangan-petualanganmu pasti mengesankan ya?"
Magdalena menggumam tersipu,
"Ah Oom Hardi"
"Aku bersimpati padamu, Ramandita," orang itu berkata lagi.
"Tetapi maaf. Urusanmu hari ini buatku terlalu musykil. Jadi kuputuskan agar tidak
ikut campur terlalu jauh..."
"Tak apa, Oom Hardi."
"Nah. Selamat tinggal. Dan... selamat berburu hantu!"orang itu tertawa misterius,
masuk ke mobilnya,kemudian berlalu ke jalan raya.
Sementara Aki Juhari melakukan tapa semedi di salah satu kamar tidur yang ia kunci
dari dalam. Magdalena sibuk di dapur membuat hidangan untuk tamu,sementara
Ramandita dan Harianto membantu tamu-tamu itu mengangkati peti-peti karton yang
berat dari mobil pick-up. Begitu pula membantu memasukkan atau menempatkan
benda-benda tersebut sesuai petunjuk salah seorang tamu yang memperkenalkan
dirinya dengan nama Alex Paduhai, mengaku kelahiran Nias. Menurut Oom Hardi,
kepala rombongan tamu-tamu itu meraih titel kesarjanaan di Kansas University,
Amerika, dan ahli dalam bidang astronomi.Tampangnya serius, cara kerjanya tangkas
dan terampil, tetapi tutur katanya maupun sikapnya tetap ramah dan menyenangkan. Ia
pun tidak berusaha menyembunyikan kekagumannya ketika berhadapan dengan
Magdalena.
"Anda suami yang sangat beruntung, Bung Ramandita," katanya, mengomentari
dengan suara tulus.
Tengah mereka sibuk bekerja, muncul pula Robinson Tarigan, lengkap dengan
pakaian seragamnya. Dan tentu saja bersenjata. Ketika ia lihat Ramandita melirik
sarung pistol yang tergantung di kopelrimnya. Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan
menceletuk dengan seringai lebar,
"Biar tampak gagah. Mana istrimu yang suka kelayapan itu?"

-- Halaman 180 Kolektor E-Book --


Lebih dulu ia berkenalan dengan tamu-tamu tuan rumah, dan setelah itu hampir tak
pernah jauh dari Magdalena, dengan siapa ia mengobrol santai yang beberapa kali
diseling gelak tawa berderai. Tingkah laku keduanya membuat suasana jadi rileks,
seolah-olah yang berlangsung di dalam rumah adalah sesuatu yang rutin sehari-hari.
Sedikit-banyak hal itu membantu mengurangi ketegangan yang terus mengusik
perasaan Ramandita.Menjelang tengah hari segala sesuatunya sudah beres.Kegiatan
akan berpusat di dua ruangan. Yakni ruang duduk, yang telah dikosongkan bagian
tengahnya.Kursi dan meja-meja dipinggirkan, sebagian dipindahkan ke koridor
halaman belakang .Ada kabel-kabel tambahan menjulur dari stop kontak disalah satu
sudut tembok menjurus ke atas, menembus lalu lenyap di sebelah lain langit-langit
akustik. Terpisah di bagian bawah langit-langit tampak tiga buah benda-benda
elektronik dalam ukuran mini. Masing-masing sebuah alat penerima suara dan dua
buah kamera yang dapat berputar secara otomatis.Salah satu kamera itu dilengkapi
dua alat pembantu.Alex Paduhai menjelaskan,
"Antena mini itu akan menangkap, menampung dan menetralisir arus maupun sinar
magnetis yang tanpa antena itu,mungkin saja menghancurkan kamera. Kotak kecil
elastis dari bahan plastik di sebelahnya menyimpan apa yang kami sebut ultra shock
filter. Filter jenis ini masih langka dipergunakan. Kami memerlukannya selain untuk
mempertajam fokus yang akan ditangkap kamera, sekaligus juga menetralisir bias-bias
cahaya yang terlalu tajam dan membuat film terbakar."
Menunjuk ke lensa lainnya, ia melanjutkan,
"Yang tanpa antena tanpa filter ini kamera biasa. Juga dioperasikan secara otomatis
untuk menangkap dan merekam adegan atau gerakan-gerakan benda-benda yang biasa
kita lihat dengan mata normal. Yang berbeda, kamera ini mempergunakan lensa infra
merah.Siapa tahu satu dan lain sebab lampu listrik padam dan keadaan berubah gelap
gulita."
Robinson Tarigan yang akhirnya tertarik juga pada kegiatan-kegiatan para teknisi

-- Halaman 181 Kolektor E-Book --


dan astronom itu,kemudian menguntit ikut ke kamar pembantu untuk melihat apakah
segala sesuatu berjalan lancar. Dua orang teknisi di kamar itu duduk menghadap dua
buah televisi close circuit. Di bekas tempat tidur pembantu juga terlihat sebuah video
rekorder dan sebuah tape rekorder. Dua-duanya berukuran besar, dengan pita
berkapasitas maksimum 1000 feet.
"Dengan kapasitas itu kita tak usah kalang kabut mengganti pita sehingga tidak ada
kemungkinan rekaman terputus-putus. Cukup untuk kebutuhan selama lebih kurang 20
jam, nonstop. Mudah-mudahan saja kita tak perlu bekerja selelah itu...." ujar Alex
Paduhai, tersenyum segan.
"Hebat!"
Robinson mendecakkan lidah.
"Buat apa kalian bersusah payah membeli peralatan yang serba mahal ini?"
"Sehari-harinya untuk mengamat-amati aktivitas bintang-bintang. Dalam tingkat
terendah, tentu saja.Yang di luar kemampuan kami, dapat kami peroleh lewat
komunikasi terus menerus dengan Peneropong Bintang Bosscha di daerah Lembang,
Bandung...."
"Cuma itu?"
"Nah. Kami juga sesekali ikut mendeteksi gejala-gejala gempa di permukaan bumi.
Dan beruntung mencapai sukses merekam gerhana matahari. Begitu pula merekam
peluncuran komet Halley yang menakjubkan itu. Data maupun rekaman lengkapnya
sebagian sudah disiarkan di berbagai media massa. Sebagian lagi yang sifatnya intern
kami simpan di lemari arsip dan juga pada file-file komputer. Bila Pak Komandan
berminat,kapan saja Anda boleh melihat lihat hasil pekerjaan kami di kantor...."
Robinson Tarigan mengangkat pundak sambil mengeluh,
"Kita sedang berburu yang lebih hebat,kukira!"
Alex Paduhai tersenyum. Katanya,
"Berbicara soal hantu, baru kali inilah kami mendapat informasi yang benar-benar

-- Halaman 182 Kolektor E-Book --


lain dari yang lain. Beberapa rekan pernah mencoba menelusuri ke berbagai daerah.
Walau boleh dibilang tanpa hasil yang memuaskan, beberapa diantaranya ada juga
yang terekam. Namun sangat terbatas dan sulit dianalisis. Begitu pun, kami tak pernah
putus asa. Maka, sewaktu salah seorang rekan memberitahu kasus Pak Ramandita,
kami langsung menaruh minat. Begitulah, kami diinstruksikan untuk membantu sekuat
tenaga dan sesegera mungkin. Dengan harapan,tentu saja, hantu itu benar-benar ada
dan kami sukses merekam penampakannya...."
"Kalian harus!" dengus Robinson setengah tak acuh.
"Dengan demikian aku dapat membuat laporan lengkap mengenai mengapa dan
bagaimana korban-korban itu mati terbunuh secara misterius dan mengerikan. Berdoa
sajalah. Supaya hantu itu sudi memperlihatkan wajah cantiknya. Lumayan untuk
dinikmati sebagai hiburan dari rasa sepi, bukan?"tambahnya, seraya mengerling ke
arah Ramandita.
"Dan... kalau ia benar-benar muncul, Komandan?"
Ramandita menyeringai, dengan sorot mata menantang.
"Yaah. Barangkali saja ia mau disuruh membuat secangkir kopi untuk mengurangi
mumet di benak ini!"jawab sang Komandan, disusul tawa membahak riang.
Yang mendengarkan mau tidak mau ikut terpengaruh lalu tertawa bersama-sama.
"Yang pasti, ia tak akan lolos lagi dari tanganku!"terdengar ucapan keras di
belakang mereka.
Aki Juharilah yang berkata itu. Dengan wajah kaku ia mengumumkan,
"Bila segala sesuatunya sudah siap,marilah kira mulai sekarang juga!"
Ramandita bergumam heran,
"Hari masih siang, Ki,Tidakkah kita menunggu sampai tengah malam nanti?"
"Tak usah. Yang kita hadapi bukan hantu biasa. Ingat pertama kali kau bertemu
dengan gadis itu, Nak Rama? Kau sendiri bilang, sedikit pun gadis itu tidak
terpengaruh pada sinar matahari yang menerpa tubuhnya. Kalau hantu biasa, pasti

-- Halaman 183 Kolektor E-Book --


sudah kucar-kacir!"
"Hem. Kukira yang terpantas buatku adalah tetap diruangan sempit ini.
Hitung-hitung nonton film televisi secara cuma-cuma!"
Ajun Komisaris Polisi Rnbinson Tarigan berujar kalem.
Aki Juhari membalas sama kalemnya,
"Tambahan satu orang memang sering-sering malah merepotkan!"
Tentu saja sang Ajun Komisaris menggemeretakkangigi, tetapi kemudian ia tertawa.
Membahak, walau sedikit sumbang. Aki Juhari kemudian mengajak Ramandita dan
Harianto ke ruang tengah, di mana Magdalena sudah menunggu dengan wajah tabah
meski sinar matanya jelas kelihatan tegang. Ramandita menutup pintu-pintu, begitu
pula jendela. Aki Juhari menghamparkan seprai di lantai, dengan bantuan Harianto
yang kelihatan pura-pura bermental baja,padahal jari-jemarinya terlihat gemetaran.
Aki Juhari memberi petunjuk-petunjuk mengenai apa yang akan dan harus mereka
perbuat selanjutnya.
"Kita masing-masing harus rebah telentang dengan tubuh lurus tak bergerak-gerak,
mata terpejam, sambil membaca jampi-jampi pelindung diri yang sebelumnya telah
kuajarkan. Supaya aman, baiklah kita melafazkannya lagi. Seorang demi seorang."
Harianto melafazkan dengan benar kata demi kata,meski sesekali tersendat gugup.
Ramandita lancar.Hanya Magdalena yang harus mengulang lagi dan lagi,bukan karena
takut, melainkan karena jampi-jampi itu baru tadi malam ia dengar. Sementara
Harianto dan Ramandita sudah didikte dua hari sebelumnya, yakni ketika mereka
menyusun rencana upacara memanggil roh.Setelah Magdalena berhasil melafazkannya
dengan jelas dan benar, Ramandita kembali mengingatkan,
"Belum terlambat untuk mundur, kekasihku...."
Magdalena menjawab dengan senyuman manis dan kata-kata tabah,
"Sepasang kekasih wajib saling mendampingi dan melindungi, bukan?"
Aki Juhari mendehem halus, lalu menunjuk kepermukaan seprai. Memberitahu di

-- Halaman 184 Kolektor E-Book --


sebelah mana masing-masing mereka rebah, bagaimana pula posisi dan perpaduan kaki
nantinya.
"Posisi rebah kita akan membentuk empat mata angin,"katanya.
"Bukankah mata angin ada delapan, Ki?"
Harianto nyeletuk ditahan.
"Betul. Tetapi kalian pasti pernah melihat, empat mata angin tambahan itu selalu
dibentuk lebih pendek dari empat mata angin utama. Nah, yang empat lagi itu akan
terbentuk sendiri dari sudut-sudut pertemuan sisi-sisi telapak kaki kita. Mari kita
lihat...."
Mereka pun berbaring telentang sesuai petunjuk Aki Juhari. Setiap pasang kaki
dirapatkan sendiri-sendiri,lalu masing-masing sisi luar telapak kaki yang seorang
disentuhkan ke sisi telapak kaki yang lainnya.
"Bila dilihat dari atas,"
Aki Juhari menerangkan,
"posisi kita saat ini sudah membentuk delapan penjuru mata angin...."
"Orang tua itu benar!"
Robinson mengumpat pendek dikamar pembantu, sambil matanya awas
memperhatikan setiap adegan yang berlangsung dilayar kedua televisi. Suara-suara
dari ruang duduk pun terdengar cukup jelas. Bahkan juga napas-napas Harianto yang
keras memburu sewaktu Aki Juhari memutuskan mereka berempat siap memulai
upacara.Pelan dan tersendat-sendat pada mulanya. Untuk kemudian terdengar bunyi
koor yang bergaung semakin keras dan nyata sewaktu keempat orang di ruang duduk
membacakan jampi-jampi. Sesekali ditingkahi Aki Juhari dengan kalimat-kalimat
mantra untuk memanggil roh leluhurnya yang bernama dan bergelar aneh-aneh,
memohon bantuan mendatangkan roh yang dikehendaki. Di kamar pembantu yang juga
tertutup Robinson mulai duduk dan berdiri dengan tegang dan mata membelalak, mulut
terbuka tak mengeluarkan suara. Dan di luar rumah, dua orang polisi berpakaian

-- Halaman 185 Kolektor E-Book --


preman berjaga-jaga di dekat pintu pagar masuk. Siap menghalangi siapa saja yang
ingin berkunjung atau menyelonong tanpa dikehendaki. Salah seorang dari mereka
memegang sebuah pesawat handy talkie untuk mendengar atau melaporkan ke markas
besar.Yang seorang tiba-tiba bergumam lirih.
"Aneh... aneh...."
"Apa?" tanya polisi satunya lagi.
"Matahari mestinya panas terik di siang bolong ini.Tetapi kok hawa yang menyapu
wajahku terasa dingin sejuk, ya?"
"Hem. Agaknya kau memercayai semua omong kosong yang hanya pantas
menakut-nakuti anak-anak badung itu. Aku sih malah merasa gerah. Mudah-mudahan
saja ada penjual es sirup lewat di sini.."
"Juga penjual mie bakso."
"Ya. Juga penjual mie bakso!" kawannya mengangguk setuju.Di ruang duduk, meski
sebelumnya mesin pendingin udara telah dimatikan Ramandita dan ruangan menjadi
pengap dan menggerahkan, hawa dingin itu justru menyerang lebih tajam. Makin lama
makin hebat sehingga Harianto menggigil dengan gigi bergemeletukan. Tangan kirinya
menggenggam semakin erat tangan kanan Ramandita yang juga mulai gemetar.
Tangan-tangan Magdalena di sebelah lain lebih gemetar lagi. Hanya tangan Aki Juhari
saja yang tetap tenang dan diam. Melalui tangan kirinya ia salurkan uap hangat untuk
membantu Magdalena yang sempat mengeluh karena tak kuat menahan serbuan hawa
yang semakin dingin membeku.
Lalu suatu ketika Ramandita merasakan suatu getaran menyentak-nyentak di kedua
telapak kakinya.Kaki-kaki lainnya yang menempel membentuk segiempat persis di
lingkaran benang kuning emas juga merasakan getaran yang sama. Yang paling kuat
merasakannya adalah Magdalena. Getaran menyentak-nyentak itu terasa
menghujam-hujam seperti menerobos masuk lewat kedua telapak kaki,terus merembet
semakin naik dan naik, disusul perasaan ganjil bahwa ia tidak lagi berpikir sesuai

-- Halaman 186 Kolektor E-Book --


kehendaknya sendiri. Ada pikiran-pikiran lain muncul mengganggu, dan itu jelas bukan
pikiran pribadi Magdalena. Pikiran asing itu bersarang lebih kuat dari pikiran asli,
berusaha menguasai, lalu memperbudak semena-mena baik jalan pikiran maupun alam
bawah sadar Magdalena.
Lalu roh itu pun datang.
Kejam.
Dan buas tidak terkira!

***

DUAPULUH SATU

Kemunculan pertama roh penasaran itu didahului suara mengerang pendek bagai
leher tercekik yang keluar dari celah-celah bibir Magdalena. Suatu dorongan gaib
perlahan-lahan mengangkat tubuhnya.Bangkit dari posisi rebah ke posisi duduk tegak
lurus.Dengan bibir menggurat tajam dan galak. Serta mata berputar-putar liar
mengawasi sekitar.Lalu terdengarlah desis kemarahan,
"Siapa yang berani-berani mengusik diriku dari tidur yang pulas,he?!"
Aki Juhari tidak mengenali suara itu, tetapi sadar apa yang ia dengar.
Ramandita mengenalinya.
Tahu yang ia dengar bukan suara asli Magdalena, melainkan suara.
..si Nona!
Tetap rebah tak bergerak dengan kelopak mata terkatup rapat, mereka berdua
berusaha menarik tangan Magdalena agar rebah kembali. pertalian badani antar
mereka berempat tidak boleh putus. Kalau tidak,pengaruh mantra-mantra akan
terpecah belah. Dan Aki Juhari kemungkinan besar gagal menundukkan kekuatan jahat
yang bersemayam di tubuh Magdalena.Merasakan tarikan kuat pada tangan kiri

-- Halaman 187 Kolektor E-Book --


kanannya,Magdalena merunduk memperhatikan. Tampak olehnya tiga sosok tubuh
laki-laki rebah di sebelah kiri kanan maupun di depannya.
"Manusia-manusia terkutuk. Hem... boleh coba! Mari kita lihat siapa yang paling
perkasa!"
Ia menggeram.
Pada saat ia menggeram, Magdalena pun berjuang membetot lepas genggaman kuat
di masing-masing telapak tangannya. Sekaligus ia juga berusaha menekuk lutut, agar
ujung kakinya terpisah dari pertautan tiga pasang kaki lelaki itu. Berusaha lolos dari
lingkaran magis ciptaan Aki Juhari di antara jahitan benang-benang kuning emas.
Tetapi seperti dikomando,baik Aki Juhari maupun Ramandita ngotot membetot kearah
berlawanan.Magdalena gagal meloloskan diri.Namun tidak menyerah begitu saja.
Tiba-tiba ia mengubah taktik. Tertawa mengikik ia memandang lurus ke depan. Ke
arah Harianto yang menggigil hebat saking ketakutan.
"Hei, kau. Si brewok! Bukankah kau ikut andil memanggilku supaya bangkit dari
kubur? He... he...he... ini aku datang. Untuk meremas-remas buah pelirmu. Awas
saja!?"
Perkataan "awaslah" itu ditekankan sedemikian rupa,seolah-olah ia sedang
bersiap-siap melaksanakan ancamannya. Tak pelak lagi, Harianto membuka kelopak
mata seraya berteriak ngeri,
"Jangan...!"
Secepat itu pula Harianto bergerak melepaskan diri.Karena mantra ditujukan pada
roh orang yang sudah mati bukan pada roh orang yang masih hidup, dengan sendirinya
Harianto mudah saja menghindar. Begitu tangannya terlepas dari genggaman Aki
Juhari maupun Ramandita, yang pada saat yang sama tengah memusatkan tenaga pada
tangan-tangan mereka yang memegangi tangan Magdalena, Harianto mencoba bangkit.
Sayang persendian lututnya lemas bukan:alang-kepalang. Hilang akal, Harianto yang
wajahnya memucat bagai kapas sewaktu melihat seringai seram dari bibir Magdalena,

-- Halaman 188 Kolektor E-Book --


hanya mampu menjauh dengan beringsut-ingsut sampai masuk ke kolong meja
kerja:Ramandita. Merasa sedikit lebih aman, barulah;Harianto mampu menggerakkan
sisa-sisa tenaga untuk melindungi diri. Yakni duduk merungkut di sudut tembok yang
gelap, tak peduli kepalanya membentur bagian bawah bidang meja dari kayu tebal dan
keras itu. Usahanya untuk berteriak sia-sia saja lantaran lidahnya makin kelu dan kelu
saja.Sementara itu di atas hamparan kain seprai yang lebar Magdalena tertawa
meringkik. Pertalian magis yang mengurungnya telah buyar begitu Harianto menyeret
diri ke kolong meja. Ia pun seketika beringsut menjauh.Lalu duduk bersila dengan sikap
santai sambil dari mulutnya terdengar suara Si Nona,
"Ayo. Kita bermain-main sejenak!"
Ramandita sadar akan bahaya yang mengancam.Setelah melihat apa yang ia cari,
Ramandita berujar memelas,
"Lena "
"Aku Nona!" potong Magdalena,
"Masa lupa?"
"Persetan! Kau telah..."
"Apa?"
wajah Magdalena berubah garang.
"Sudah mengkhianatiku, masih juga kau menyebutku setan? Kurang ajar. Nih,
rasakan!"
Dari mulutnya memancar sinar biru keputih-putihan,tajam menyilaukan. Ramandita
cepat mengatupkan kelopak mata. Sinar menyilaukan itu lenyap. Namun hantaman kuat
dari sinar Itu tahu-tahu sudah menerpa tubuhnya, mendorongnya mundur
tersuruk-suruk lalu tiba-tiba kakinya pun terangkat. Tubuhnya melayang keras ke
belakang mengempas di tembok, lantas jatuh tengkurap di lantai.
Kesakitan.
Magdalena tertawa terkekeh-kekeh.

-- Halaman 189 Kolektor E-Book --


Tawanya berat dan rendah.
Namun pengaruhnya luar biasa.
Karena mendadak semua benda apa saja di ruangan itu pada bergetar. Makin lama
makin hebat. Botol-botol minuman di rak jatuh bergulingan lalu terempas dilantai
dengan suara hingar bingar. Disusul jatuhnya benda-benda hias dari keramik,
buku-buku tebal yang tersusun rapi, patung-patung ukir buatan Bali yang semuanya
tersimpan di rak lebar dan besar pada berjatuhan pula ke lantai. Salah satu buku tebal
itu mendarat di kepala Ramandita yang sedang berusaha bangkit. Kepala Ramandita
menegun, lalu tubuhnya kembali menengkurap di lantai, terkulai.
"Dan kau, manusia busuk yang berlagak jadi pahlawan penyelamat!"
Magdalena menyeringai ke arah Aki Juhari yang kini sudah bangkit dan duduk
bersila.Berhadapan langsung dengan Magdalena, dengan kelopak mata tetap terpejam
rapat, mulut komat-kamit membaca mantra, telapak tangan terletak menangkup di
masing-masing paha.Magdalena tersenyum manis. Dan berujar sama manisnya,
"Terimalah salam perkenalanku, manusia buruk rupa!"
Lalu sepasang mata Magdalena diarahkan ke sebuah guci besar antik dari porselen,
peninggalan zaman Batavia yang tegak bergetar di samping bawah rak besar. Guci itu
meliuk lalu jatuh pelan di permukaan lantai, kemudian berguling sangat cepat dan
melesat menuju punggung Aki juhari. Tampaknya, tulang punggung Aki Juhari pastilah
akan remuk redam,karena ia tetap duduk bersila tanpa melihat serbuan guci porselen
dari arah belakangnya.

Namun secara menakjubkan, pada detik-detik kritis, tubuh Aki Juhari


sekonyong-konyong melayang naik ke atas. Tergantung diam di antara langit-langit dan
lantai, masih tetap dalam posisi bersemedi. Guci pun lewat seperti kilat dibekas tempat
duduknya. Terus menyerbu ke depan dengan sasaran pasti:
Magdalena

-- Halaman 190 Kolektor E-Book --


senjata makan tuan!
Magdalena membelalak.
Lantas berseru keras. Guci terangkat setiba di depan lututnya, melayang melewati
kepalanya, lalu melesat terbang ke arah tembok. Guci antik bernilai jutaan rupiah itu
pun pecah berantakan.Pecahannya jatuh berserakan dengan suara berderai-derai di
lantai. Salah satu kepingannya melesat ke dekat Ramandita. Masih terkulai lemah dan
sakit,Ramandita mengenali asal kepingan benda yang terpacak ke dinding kayu rak
besar di dekatnya,
"Berhentilah menghancurkan segala sesuatunya,Magdalena...." ia merintih, putus
harapan.
"Kau...Menghancurkan milikmu sendiri! "

Tetapi Magdalena yang ia sebut-sebut saat itu tengah marah besar karena hampir
saja ia kena dipecundangi Aki Jauhari. Dengan kemarahan yang meluap-luap ia
meneruskan aksinya. Tubuh Magdalena terangkat dari lantai, terbang ke arah si orang
tua yang masih tetap tergantung di awang-awang. Menyadari datangnya serangan, Aki
Juhari mengangkat kedua tangan dengan telapak terbuka ke depan sebagai
penangkis.Begitu dua pasang telapak tangan mereka beradu,berlangsunglah adu
kekuatan tanpa suara. Aki Juhari tetap tidak berusaha melihat ke arah lawan, untuk
menghindari tusukan sinar sejenis laser dari mata Magdalena.
Tahu siasat lawan, Magdalena mengarahkan sinar biru dari matanya pada kedua
pasang tangan mereka yang saling mendorong.Terjadilah percik-percik api berwarna
biru, putih, dan kuning, lalu merah. Magdalena tampak meringis, sakit dan marah luar
biasa.Akan halnya Aki Juhari, meskipun tidak tampak mulutnya meringis, jelas terlihat
sedang menanggung azab sengsara. Dari sudut-sudut mulutnya yang mengatup rapat,
menetes ke luar butir-butir darah. Dan lebih banyak lagi dari lubang-lubang hidung
serta telinga.

-- Halaman 191 Kolektor E-Book --


Akhirnya Aki Juhari membuka mulutnya juga.Hanya untuk melepaskan geraman
keras dan pendek.
Akibatnya, Magdalena terdorong mundur ke belakang lalu jatuh ke lantai di atas
kedua kakinya.
Limbung sejenak, kemudian berdiri gontai.
Adapun Aki Juhari posisi semedinya pecah, lalu disertai rintihan derita yang
memilukan tubuhnya jatuh terempas di lantai.Pantatnya lebih dulu terempas,
menimbulkan perasaan pening tidak kepalang, mata berkunang-kunang.Kemudian
orang tua yang malang itu meliuk, terkulai diam di lantai.
Tak bergerak-gerak.
Melihat itu ketakutan Harianto yang bersembunyi dikolong meja kerja, tibalah di titik
puncak, ia mengerang,sambil merasakan cairan hangat mengalir deras membasahi
selangkangan serta paha celananya. Cairan itu juga mengalir lalu menggenang di
lantai.Magdalena mengerutkan dahi. Mengumpat tak senang,
"Bau pesing apa ini?"
Hidungnya kembang kempis mengendus-endus. Setelah mengetahui apa dan dari
arah mana bau pesing itu,Magdalena melangkah cepat lalu membungkuk mengawasi ke
bawah meja.
"Hem. Kau kiranya. Sungguh tak sopan. Kencing seenaknya di depan orang.
Menghina, ya?!"
Lantas sebelah tangannya terulur ke depan.Harianto yang tak berdaya ditarik dari
kolong meja,diseret sepanjang lantai sambil terus dicaci maki.Harianto hanya mampu
mengeluh karena tidak ada yang dapat ia perbuat. Tubuhnya sudah loyo kesadarannya
pun mulai hilang.Tetapi aneh bin ajaib di saat tubuhnya diangkat secara ringan seperti
mengangkat karung berisi kapas saja laiknya, hanya dengan sebelah tangan Magdalena
saja,mendadak Harianto memperoleh kekuatannya kembali.Itu pun cuma untuk
menjerit,

-- Halaman 192 Kolektor E-Book --


"Tolooong! Dia mau...membunuhku... toloooong!"
Ramandita mengangkat kepalanya. Matanya nanar memandang tubuh sahabatnya
yang siap dilemparkan ke tembok sementara yang melemparkan ambil ancang-ancang
diiringi tawa mengikik berkepanjangan.Ramandita beringsut duduk, berusaha membuka
mulut untuk memohon Magdalena tidak berlaku kejam pada sahabatnya.Pada saat
itulah pintu depan didobrak orang dari luar.Dua polisi berpakaian preman yang tadi
sudah tak sabar mendengar suara ribut-ribut di dalam rumah,menyerbu masuk.
Serbuan mereka dibarengi pula oleh serbuan AKP Robinson Tarigan yang menendang
terbuka pintu tembus ke koridor belakang. Kemunculan mereka yang serempak,
didahului suara hingar bingar pula, menarik perhatian Magdalena. Tangannya
diturunkan. Harianto pun jatuh. Namun tidak terlalu keras. Beruntunglah dia mendarat
di tempat empuk.Yakni di atas perut Aki Juhari. Dan pingsanlah Harianto
seketika.Ramandita mampu juga duduk lalu bersandar susah payah di tembok. Adapun
dua polisi berpakaian preman, begitu masuk langsung tertegak diam dalam posisi
menggelikan. Sebelah kaki terangkat, tubuh condong ke depan, tangan terkepal dengan
siku menekuk. Posisi berlari menyerbu, tetapi tanpa kelanjutan apa-apa. Tak ada lagi
gerakan yang mampu mereka lakukan, begitu mata mereka berdua bertemu dengan
mata Magdalena. Robinson Tarigan tak kurang-kurang sial.
Sejenak ia terhindar dari perhatian Magdalena.
Tangannya terangkat.
Dan tangan itu sudah menggenggam sepucuk pistol dengan laras tertuju lurus ke
kepala Magdalena.
"Menyerah atau kutembak!" desisnya, keren.
Magdalena pelan-pelan memutar kepalanya. Ia mengawasi sang Ajun Inspektur
dengan pandangan heran, kemudian pelan-pelan bibirnya tersenyum.
"Tembaklah... tembaklah...." bisiknya tajam.
Ia berjalan maju ke arah Robinson dengan dagu tegak.

-- Halaman 193 Kolektor E-Book --


Menantang.
"Berhenti! Atau..."
Ucapan Robinson putus sampai disitu. Tangannya yang menggenggam pistol tampak
gemetar, basah berkeringat. Jari telunjuknya bergerak mundur ke pelatuk, siap
memuntahkan peluru dari moncong senjatanya. Melihat gerakan telunjuk tangan
Robinson. darah Ramandita tersirap. Hasrat menyelamatkan nyawa Magdalena
memberinya sedikit kekuatan untuk bangkit berdiri dan berteriak memperingatkan.
"Jangan tembak! Dia Magdalena.Komandan! Jangan tembak!"
Robinson masih tidak menembak. Arah laras pistol pun perlahan-lahan menyimpang,
kemudian memutar.Perlahan tetapi pasti, laras pistol itu terangkat miring,lalu
menghujam di jidat Robinson sendiri. Wajah perwira polisi itu berubah pucat.
Keringat dingin menyembur ke luar. Tangan kirinya berusaha menceng-kram
pergelangan tangan kanan, dengan maksud mengalihkan arah laras pistol. Gagal
menarik, jemari tangan kirinya beralih berusaha membuka jemari tangan kanan,
dengan harapan pistolnya terlepas sendiri. Semua usahanya sia-sia belaka.Robinson
menyipitkan mata, pasrah secara terpaksa karena telunjuknya jelas semakin dalam
menarik pelatuk. Magdalena menyeringai buas, tertawa lunak.
"Kasihan!" bisiknya.
Menaruh iba.
"Ayo, bengkokkan...!"
Laras pistol di genggaman tangan Robinson Tarigan tampak mengepulkan asap.
Laras besi baja itu membara merah, kemudian menekuk bengkok ke arah lantai. Tak
ubahnya pistol mainan dari plastik, yang menekuk lemas karena serangan panas api.
Uap panas dari genggaman besi baja di telapak tangannya secara naluriah
menimbulkan reaksi. Memekik tertahan,Robinson secara refleks membuka sendiri
telapak tangannya.Pistol jatuh ke lantai. Dan telapak tangan sang Tarigan tampak
melepuh terbakar. Lelaki malang itu jatuh menahan derita. Mana jantungnya sudah

-- Halaman 194 Kolektor E-Book --


menciut pula.Riang gembira menyaksikan atraksi hebat yang dipertunjukkannya,
Magdalena tertawa mengikik.Tubuhnya pun melayang dengan gerakan menari-nari
sepanjang ruangan. Dari satu sudut ke sudut lain.Tanpa menjejak di lantai maupun di
langit-langit.Tubuhnya mengambil posisi rebah lurus seakan ingin tidur, rileks.
Rambutnya yang tebal bergelombang berurai lepas. Namun tidak ke bawah,
melainkanterurai begitu indah di permukaan eternit langit-langit akustik. Tampaknya ia
benar-benar sedang tidur-tiduran dan Ramandita tengah memandang bukan dari
bawah melainkan dari atas.
"Bagaimana Ramaku sayang?" bisiknya lembut.
Bisikan Si Nona.
"Puas melihat show cuma-cuma yang kupersembahkan untukmu seorang?"
Lutut Ramandita masih goyah.
Menyandar di tembok,ia menengadah dan bertanya memelas,
"Baiklah, Nona.Aku... menyerah...."
"Hanya menyerah?" bibir Magdalena tersenyum manis sekali.
"Katakanlah apa keinginanmu. Tetapi bebaskanlah istriku dari perbudakanmu!"
"Kau sudah tahu apa yang kuinginkan, bukan?"
"Aku... maaf. Aku lupa."
"Dasar laki-laki!" umpat Magdalena, namun bukannya menghina, malah terdengar
mesra,
"Sudah dapat manisnya, sepah dibuang begitu saja. Tetapi aku tahu siapa kau. Sadar
betapa besar pengaruhmu atas diriku.Lagi pula..."
Magdalena mengerdip nakal.
Berkata semakin mesra,
"Aku menyukai permainan biadab indah kita di pagi yang manis itu!"
Ramandita tidak mengomentari apa-apa. Magdalenapun rupanya tak sabar pula.
Nada suaranya berubah tajam ketika ia memberitahu,

-- Halaman 195 Kolektor E-Book --


"Aku menghendaki mereka!"
"Siapa, Nona?"
"Ayahku yang pengkhianat. Si Komar. Dan Sumarna,lurah jahanam itu. Tunjukkan
padaku dimana mereka bersembunyi!"
Ramandita tercekat. Lalu mencoba menjelaskan,
"Tetapi, Nona. Mereka itu hanya tokoh-tokoh imajiner dalam novelku. Dan..."
"Aku tak mengerti apa maksudmu, Ramandita. Dan aku tak peduli. Tunjukkan mereka
padaku. Karena hanya kau satu-satunya orang yang dapat melakukannya, seperti kau
juga dapat memanggilku kapan kau suka. Setelah mereka kutemukan, aku akan pergi.
Untuk selamanya. Bergabung dengan ibuku malang, Larasati!"
"Permintaanmu itu sesuatu yang mustahil, Nona!"
"Apa boleh buat!"
"Cobalah dengar dan pertimbangkan. Aku sudah bilang,bahwa mereka itu..."
"Aku tak sudi lagi mendengarkan alasanmu yang macam-macam itu!" bentak
Magdalena tiba-tiba.
Wajahnya berubah galak, menakutkan.
"Lihatlah apa yang kulakukan pada tubuh istrimu!"
Lalu tubuh yang setengah menempel di langit-langit ruangan itu meliuk-liuk keras.
Wajah galak menakutkan itu berubah memelas, memperlihatkan penderitaan yang tiada
tertahankan, diiringi suara merintih-rintih kesakitan. Suara asli Magdalena.
"Ampun... berhentilah menusuk-nusuk jantungku..Aduh, jangan patahkan
tulang-belulangku. Tolong...aku tak kuat... aaaaak!" dan air mata menetes dan terus
menetes dari sudut-sudut mata Magdalena, jatuh keseprai.
Lembap, basah.
Jiwa Ramandita bagai ikut terkoyak.
Ia merintih,
"Hentikan menyiksa istriku. Nona!"

-- Halaman 196 Kolektor E-Book --


Liukan tubuh Magdalena berhenti. Posisinya kembali keposisi tidur.
Santai-santai saja.
Hanya suara-suara SiNona, yang masih tetap galak,
"Itu belum apa-apa. Kau telah melakukan kesalahan besar. Yang teramat sangat
besar. Dan itu menyiksa roh ibuku. Dengan sendirinya,menyiksa diriku pula...."
"Apa maksudmu?"
"Ibuku mati terbunuh. Tak apa mengenai itu. Yang sungguh keterlaluan, mengapa
roh-roh jahat ditubuhnya tidak dibunuh lebih dulu? Sehingga roh-roh jahat itu ikut
menguasai diriku setelah aku dilahirkan.Tidakkah kau lihat akibat kesalahanmu yang
faal itu? Aku mereka perbudak. Aku dipaksa mereka menyedot cairan tubuh
korban-korbanku, melalui rahimku. Untuk memuaskan dahaga mereka. Setelah itu
barulah mereka merencah dan mengunyah habis daging-daging korbanku itu. Mereka
selalu haus dan lapar. Selalu haus dan lapar...."
"Mereka... siapa?"
"Ini... lihatkah?"
Tubuh Magdalena pelan-pelan menegang kaku, lalu gaun yang dikenakannya
memperlihatkan sembulan-sembulan di beberapa tempat. Di dada, di perut, dipinggang,
di paha, di betis. Sembulan-sembulan itu makin menonjol ke depan, kemudian
merobek-robek retas gaun Magdalena. Disusul meletaknya sosok-sosok kecil hitam
legam, bermata merah darah, menyeringai memperlihatkan gigi-gigi bagai gergaji,
tajam mengerikan. Sosok-sosok makhluk kecil entah mirip kadal atau ular itu
meliuk-liuk buas dan seakan murka karena dipaksa memperlihatkan diri. Setelah
mendesis-desis dengan bunyi mendirikan bulu roma, makhluk-makhluk hitam kecil itu
melesat secepat kilat, masuk lagi ke bagian dalam tubuh Magdalena. Meninggalkan
bekas-bekas robekan di gaun. Dan dari celah-celah robekan itu tampak kulit tubuh
Magdalena yang tadinya putih mulus melepuh merah kehitam-hitaman seperti terbakar
hangus.Ramandita hanya diam ternganga. Lupa memikirkan,mungkin saja raga

-- Halaman 197 Kolektor E-Book --


Magdalena barusan didera azab sengsara yang jauh lebih mengerikan.
"Nah...."
Magdalena, dengan suara Si Nona, berujar tegas.
"Tugasmu pula untuk mengembalikan makhluk-makhluk itu ke tempat mereka yang
layak.Tanpa mereka, barulah aku akan mati dengan tenang,tenteram, dan roh ibuku
dapat tidur dalam kedamaian yang abadi..."
Ramandita akhirnya mampu juga membuka mulut begitu lepas dari pukau yang
menyihirnya sesaat melihat makhluk-makhluk menyeramkan tadi.Komentarnya pun
pendek saja,
"Wah!"
"Yang jelas, Ramandita!"
"Apa?" sahut Ramandita, terperanjat.
"Ucapkanlah lebih jelas. Apakah kau bersedia membantuku menemukan Komar dan
Sumarna? Serta mengembalikan makhluk-makhluk jahat itu ke tempat mereka semula!"
"Aku..."
Ramandita kembali gugup.
Si Nona, melalui mulut Magdalena, bersungut beringas,
"Ingat. Kau tak boleh ingkar janji lagi. Bila kau ingkar janji, aku akan terus
mengambil korban dan korban sebanyak aku suka. Dan pada akhirnya aku pun pasti
tega... mengorbankan dirimu!"
Kalimat terakhir itu mengherankan Ramandita.
"Pasti tega... Ah ya. Kini aku teringat. Mengapa setelah kita bersanggama pagi itu...
aku tidak mengalami nasib seperti laki-laki yang kemudian tidur denganmu?"
"Karena.... "
Magdalena berhenti sejenak, kulit wajahnyapun memerah. Lalu berujar malu-malu,
"Kukira aku..jatuh cinta padamu!"
"Apakah kau tidak. Rama?"

-- Halaman 198 Kolektor E-Book --


"Aku...."
Ramandita ragu mau menjawab apa. Terkilas dalam ingatannya ketika mula-mula ia
putuskan untuk mencari Si Nona, menyatakan tanggung jawabnya karena telah menodai
kesucian gadis itu. Bahkan waktu itu sempat berpikir bahwa bukan mustahil diam-diam
ia juga sudah menaruh cinta pada Si Nona.
"Hem... aku mengerti,"
Magdalena bergumam lembut.Tak ada nada kebencian dalam suaranya, suara
SiNona, ketika ia melanjutkan,
"Cintamu hanya kaupersembahkan untuk satu orang saja. Yakni, pada istrimu. Yang
raganya saat ini kupinjam sementara...."
"Maukah kau melepaskannya sekarang?"
Ramandita segera memohon.
"Dan bagaimana dengan permintaanku?"
Habis akal, Ramandita menjawab,
"Akan kubantu mengantarmu ke tidurmu yang abadi!"
"Aku percaya padamu, Ramandita. Nah. Aku akan pergi ke tidurku yang sifatnya
sementara dan senantiasa resah tersiksa. Sambil menanti kau lunasi janjimu. Selamat
tinggal, lelaki tampan. Sambutlah ini istrimu ini...."
Selesai berkata demikian, dari sekujur tubuh Magdalena memancarlah keluar sinar
biru, namun tanpa bias putih yang tajam menyilaukan mata itu. Sinar biru
bergerak-gerak melingkar, kemudian mulai pecah,menebar.
Ramandita tersadar.
Setengah kaget ia menghambur kedepan dan tiba tepat pada saatnya di tengah
permukaan seprai yang terhampar di lantai, untuk menyambut secara naluriah dengan
kedua lengannya tubuh Magdalena yang jatuh dari langit-langit.Karena masih lemas
dan terasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, sambutan Ramandita tidak begitu
sempurna.Ia memang dapat menangkap tubuh Magdalena, tetapi kemudian jatuh

-- Halaman 199 Kolektor E-Book --


berlutut lantas terjerembap membawa tubuh istrinya ke lantai. Berguling sesaat lalu
berhenti diam, terdengar suara keluhan dari mulut Magdalena.Dan itu memang suara
asli istrinya.
"Aduh...Ramandita. Apa yang telah...?"
Putus sampai di situ.
Karena Magdalena sudah keburu pingsan, tak sadarkan diri.
Ramandita duduk, membawa kepala Magdalena keharibaannya, merangkul dada
istrinya dengan lengan-lengan gemetar dan wajah membias pucat. Lalu dari
sudut-sudut matanya menetes butir-butir air bening.Yang kemudian jatuh di pipi
Magdalena.
"Ya Tuhan...."
Ramandita ingin menjerit.
Jeritan yang tertahan di tenggorokan.
"Bermimpikah aku?"
Tidak.
Ramandita tidak bermimpi.
Ada gerakan-gerakan dan suara-suara keluhan lain di sekitarnya.Dua polisi
berpakaian preman yang mematung dalam posisi menggelikan itu meneruskan serbuan
mereka keruang duduk, sambil bertanya kalang kabut,
"Ada apa?:Mengapa? Siapa yang..."
Di belakang Ramandita, Robinson Tarigan mendengus marah,
"Tanganku. Mengapa telapak tanganku terbakar?"
Dan pada anak buahnya, ia menggeram,
"Siapa yang menyuruh kalian meninggalkan pos?"
Aki juhari menggeliat bangun. Setelah ia mengetahui siapa yang memberati
gerakannya, ia pun bersungut-sungut.
"Uh. Tidur tak lihat-lihat orang?"

-- Halaman 200 Kolektor E-Book --


Lalu ia tepiskan tubuh Harianto yang masih pingsan. Aki Juhari menambah dengan
kesal "Hem. Bau pesing, lagi.Sialan!"
Dari pintu belakang yang menganga terbuka muncul wajah lain yang tampak begitu
pucat. Suaranya pun terengah-engah,
"Ada yang dapat kubantu?" Alex Paduhai, si astronom,bertanya khawatir.Robinson
Tarigan membentak,
"Bah!"
Dan bah lagi.
Bukan main kesalnya dia.

***

DUAPULUH DUA

Aki Juhari sadar bahwa dirinyalah yang jadi tumpuan kekesalan si perwira polisi.
Orang tua itu tampak jengkel sekali. Namun toh komentar yang keluar dari mulutnya
terdengar masih tetap sopan,
"Bersyukurlah,Pak Komandan. Tidak ada yang cedera serius, saya harap!"
"Tidak?"
Robinson mendengus berang, ia perlihatkan luka bakar di telapak tangan kanannya.
Kulitnya melepuh, sampai tampak dagingnya setengah hangus.
"Lalu ini apa? Sate ya?!"
"Sabar, Pak Komandan. Sebentar juga sembuh.Percayalah, tak akan meninggalkan
bekas apa-apa...."
"Aku percaya. Kalau tidak, kau sudah kupenjarakan!"
Masih tetap beringas, sang Ajun Inspektur memandang sekeliling ruang duduk yang
hancur berantakan. Seolah habis dilanda gempa. Banyak sekali barang yang rusak atau

-- Halaman 201 Kolektor E-Book --


pecah. Yang masih utuh, berserakan tumpang tindih. Salah satu dinding tembok malah
retak. Dan rak besar berada dalam posisi miring.
"Entah berapa juta rupiah pula kerugian materi akibat ide sintingmu!" gerutu
Robinson lagi sembari menggelengkan kepala, prihatin.
Aki Juhari diam saja, ia membantu seorang teknisi menyadarkan Harianto dari
pingsan. Begitu siuman,Harianto memekik tertahan, lalu membelalak heran. Ia
mengusap-usap matanya sejenak, memandang orang-orang yang mengelilinginya,
lantas bertanya khawatir,

"Apakah keadaan sudah aman?"


Tak ada yang menjawab. Harianto disuruh tahu sendiri. Dan ia pun
tersenyum-senyum, malu hati.
"Di mana kau simpan tembakauku itu?" tanya Aki Juhari.
Harianto merogoh saku celananya, panik sebentar, kemudian ribut mencari.
"Barangkali jatuh!" katanya. Yang lain-lain ikut mencari.
Akhirnya bungkusan kecil berisi tembakau mentah milik Aki Juhari ditemukan di
kolong meja kerja. Setengah terbenam dalam genangan air kencing Harianto di bagian
lantai yang sedikit lekuk.
Aki Juhari membuka bungkusan kecil itu. Tembakaunya sudah basah kuyup semua.
Baunya jangan dikatakan lagi. Merah padam kulit muka Harianto melihatnya.Tetapi
Aki Juhari tidak marah. Orang tua itu malah senyum-senyum dikulum. Melirik ke
Robinson Tarigan,ia bergumam senang.
"Nak Yanto seperti sudah tahu saja, bahwa supaya pengobatan lebih
mujarab,tembakau ini mesti dikencingi...."
"Mau diapakan tembakau itu?" tanya Robinson mengerutkan dahi.
Lubang-lubang hidungnya disempitkan karena tak tahan mencium bau pesing.
"Sebagian diusapkan ke luka bakar. Sebagian lainnya...diisap. Seperti mengisap

-- Halaman 202 Kolektor E-Book --


rokok, begitu. Tentu saja setelah dikeringkan lebih dulu,
" jawab Aki Juhari.
"Dan... Bapak sendiri yang akan mengisapnya, bukan?"tanya Robinson.
Wajahnya kelihatan cemas.
"Bukan dong!"
"Lantas, siapa kalau begitu?"
Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan tambah cemas.Aki Juhari memberi tahu
dengan kalem,
"Ya, Pak Komandan sendiri!"
Robinson tak pelak lagi mengumpat panjang pendek.Harianto mundur diam-diam,
tetapi ketahuan. SiPerwira Polisi sudah melihatnya, lantas menghardik garang,
"Kau sih! Kencing tak pakai permisi!"mengumpat panjang pendek lagi, ia
menambahkan dengan keluhan,
"Coba kalau aku sendiri yang mengencinginya... bah!"
Untuk menebus kencing tak permisinya, Harianto bersedia mengeringkan sebagian
tembakau di bawah sinar panas matahari di pekarangan belakang. Sisanya yang masih
basah kuyup oleh Aki Juhari dengan cepat diusapkan ke seluruh permukaan telapak
tangan Robinson Tarigan. Sambil mengusap, Aki Juhari komat-kamit membaca mantra.
Begitu ia selesai mengusap-usap dan tangannya ditarik mundur,tampaklah telapak
tangan Robinson yang terluka bakar mengerikan itu sudah sembuh.
Utuh seperti semula.
Sedikit pun tak ada bekas-bekas luka bakar di situ.
"Setan gemar pada yang busuk-busuk,"
Aki Juhari menjelaskan.
"Berikan yang paling busuk padanya, dan pengaruhnya pun akan hilang dengan
sendirinya."
"Kalau begitu,"

-- Halaman 203 Kolektor E-Book --


Robinson berujar gembira.
"Aku tak usah lagi merokok tembakau yang sudah dikencingi itu,bukan?"
"Harus, Pak Komandan!"
"Lho. Bukannya sudah sembuh!"
Robinson membolak-balik telapak tangannya dengan bangga.
"Dari luar, memang tampaknya sudah. Dari dalam,belum."
Aki Juhari menerangkan dengan khidmat.
"Maka itulah sebagian tembakau harus diisap. Bukan asapnya yang penting,
melainkan nikotin yang tersedot oleh mulut. Nikotin yang sudah bercampur zat-zat dari
air kencing itulah yang menjadi penyembuh dari dalam tubuh."
Sang Ajun Inspektur membelalak. Kali ini dia tidak menyebut, bah, melainkan dengan
mulut menganga ia mengeluh,
"Waaah..."
Acuh tak acuh Aki Juhari meninggalkannya. Dengan sisa tembakau yang masih
basah ia pergi ke kamar tidur, ke tempat mana sebelumnya Magdalena sudah
dipindahkan Ramandita.
"Mudah-mudahan perempuan malang itu sudah siuman pula, dan cederanya tidak
terlampau parah,"desah Aki Juhari, prihatin.
Yang lain-lain mengikuti ke dalam. Toh tidak ada yang melarang. Magdalena
menggeliat di tempat tidur. Ia sudah siuman, dan baru saja habis menangis dalam
pelukan kasih suaminya. Robek-robek pada pakaiannya jelas memperlihatkan kulit
tubuh yang melepuh terbakar di sana-sini. Demikian pula di
betis-betisnya.Daging-daging tubuh Magdalena pun jelas kelihatan,bahkan lebih parah
keadaannya dari pada telapak tangan Robinson. Daging-daging yang terbakar itu
tampak bagai berlubang.
Bekas makhluk-makhluk kecil hitam dan menakutkan itu menembus keluar masuk.Aki
Juhari memerlukan tempo lebih lama dan mantra yang lebih banyak pula ketimbang

-- Halaman 204 Kolektor E-Book --


sewaktu menyembuhkan luka bakar di telapak tangan Robinson.Beberapa kali Aki
Juhari terlihat meringis kesakitan,peluh pun membanjir keluar dari pori-pori kulit
wajahnya. Akhirnya tangan yang mengusap-usap ia tarik mundur, lalu terduduk lemas
dan letih.Tampaklah gaun Magdalena masih robek-robek di sana sini, tetapi luka bakar
sudah tak tampak lagi. Kulit tubuhnya sudah kembali putih mulus. Betisnya yang
telanjang pun semakin sedap dipandang.Penyembuhan berikut tidak ada yang berminat
menyaksikan. Sementara yang lain-lain sibuk bekerja diruang duduk maupun di kamar
pembantu, Robinson pergi ke kakus.
Ia buang air besar sambil mengisap rokok berbalut kertas dengan tembakau yang
sudah dikeringkan itu. Tak seorang pun tahu apakah selama di dalam kakus tertutup itu
ia buang air besar atau tidak.
Mereka hanya mendengar beberapa kali orang menyumpah serapah dan menyebut
nama Harianto.
Malam harinya mereka semua berkumpul di koridor belakang. Karena kamar
pembantu terlalu sempit,semua peralatan dipindahkan ke luar dan kursi-kursi disusun
berderet sehingga semua mereka kebagian tempat duduk untuk menyaksikan
pertunjukan di layar televisi. Banyaklah ragam komentar tercetus selama pemutaran
rekam ulang hasil pemotretan di ruang duduk itu.Di layar, jelaslah posisi rebah
Ramandita, Aki Juhari,Magdalena, Harianto yang tegak lurus dengan telapak tangan
saling bertaut, menunjuk ke arah empat mata angin. Pertemuan sisi-sisi kaki mereka
berempat pun membentuk persegi yang sudut-sudutnya menunju kempat arah mara
angin pula percakapan mereka memulai upacara memanggil roh. Disusul koor
samar-samar dari mulut mereka sewaktu melafal mantra.Lalu dari bagian kosong di
antara telapak kaki,muncullah asap tipis menyerupai kabut. Lantas saja Aki Juhari
berkomentar puas,
"Di ruang duduk tadi aku mengaku kalah bertarung dengan roh jahat ini. Tetapi
kalian lihatlah. Dalam satu hal aku benar, Ramandita dijadikan tameng. Ternyata

-- Halaman 205 Kolektor E-Book --


dugaanku tidak keliru, ia bersembunyi di balik persenyawaan benih hasil
persenggamaannya dengan Ramandita. Persembunyiannya segera terbuka begitu di
kain seprai ikut melarut hasil persenyawaan benih Ramandita dan Magdalena.Terbukti,
bukan? Aku telah berhasil mengurung dia!"
Yang lain diam saja. Semua asyik dan tampak tegang menyaksikan layar, di mana
asap menyerupai kabut itu semakin tebal dan tebal, berputar-putar sebentar diantara
kurungan telapak kaki. Lalu suatu saat muncullah sinar biru dari tengah asap. Sinar itu
bertambah terang dan menyilaukan. Menari-nari sebentar di antara telapak-telapak
kaki pengurungnya,sinar biru keputihan tampak seperti tertegun di depan telapak kaki
Ramandita, disusul gerakan meliuk seakan menghunjam di telapak kaki itu.
Ramandita bersungut gemetar,
"Jadi... hunjaman itulah yang tadi kurasakan..."
Puas menjelajahi dan menghunjam-hunjam di telapak kaki Ramandita, sinar biru
berputar-putar lagi,kemudian berhenti di depan telapak kaki Magdalana.Melihat itu
Magdalena meluruskan duduknya di kursi,menahan napas sambil matanya terbuka
lebar menatap ke layar televisi. Tampak di layar, betapa sinar biru itu menghunjam
masuk seluruhnya ke dalam tubuh Magdalena dan lenyap seketika.
Harianto memekik tertahan sewaktu di layar tampak Magdalena bangkit
perlahan-lahan ke posisi duduk,dengan wajah dingin dan kaku, dan mata berkilat
kemerah-merahan. Dialog-dialog pun terdengar dari mulut Magdalena. Suara Si Nona,
yang kemudian bersiasat mempecundangi Harianto.
'Di situlah letak Magdalena kita!" desah Aki Juhari lirih sewaktu di layar televisi
tampak jelas Harianto melepaskan diri dari ikatan magis. Tetapi tidak ada yang
tertawa sewaktu melihat bagaimana Harianto beringsut dengan punggung menempel di
lantai, lalu lenyap di balik kegelapan kolong meja kerja.Mereka semua sama tegang
dan sama ngerinya menyaksikan apa yang kemudian berlangsung, dan suara-suara
yang mau tak mau membuat bulu roma mereka berdiri. Bahkan Alex Paduhai dan anak

-- Halaman 206 Kolektor E-Book --


buahnya yang telah melihat semua adegan itu sebelumnya toh kembali tegang dan
bahkan mengeluarkan peluh dingin. Kalaupun mereka bersuara, yang terdengar
hanyalah desah-desah takjub,ngeri, kaget, diseling bunyi napas-napas memburu
pertanda jantung maupun paru-paru mereka berpacu ekstrakeras.Hanya sekali
Robinson terpekik. Yakni ketika laras pistol yang tertuju ke arah tubuh Magdalena
perlahan-lahan membelok berubah arah tahu-tahu sudah menempel di jidatnya sendiri!
Sempat pula ia bergumam tersendat,
"Andai bukan ulah sendirilah itu...pasti semua ini... kuanggap... adegan-adegan film
murahan!"
Lalu ia menyeka peluh dingin di jidatnya.
Wajahnya pucat sendiri.
Lalu semuanya pun berakhir. Seperti mulanya, akhir pertunjukan berantakan, dan
kesibukan-kesibukan yang berlangsung setelah Si Nona pamit pada Ramandita dan tak
lupa mengembalikan raga Magdalena yang beruntung masih sempat disambut jatuhnya
dari langit-langit oleh Ramandita.Sementara yang lain bertukar pandang, masih di
cekam kengerian. Aki Juhari meminta salah seorang teknisi memutar ulang adegan
ketika Si Nona pamit pada Ramandita.
Permintaan segera dipenuhi. Jelas terlihat sinar biru itu menebar pecah dari sekujur
tubuh Magdalena sebelum tubuh itu jatuh ke bawah lalu disambut tangan-tangan
Ramandita dengan panik.Sinar biru itu kemudian membentuk garis lurus, lalu melesat
dan hilang di ubun-ubun Ramandita yang tengah sibuk menampung jatuhnya tubuh
Magdalena.
"Apa... apa artinya ini?"
Ramandita bertanya, tersedak.
Yang lain mengawasi Aki Juhari. Menunggu dengan wajah sama tegang. Aki Juhari
sebaliknya mengawasi Ramandita dengan tenang. Dan tenang-tenang pula ia
memberitahu.

-- Halaman 207 Kolektor E-Book --


"Roh jahat itu kini telah menemukan tempat persembunyian yang paling aman.
Sekaligus pula dapat melindungi dirinya."
"Di...?" tanya Ramandita, panik.
"Di dalam tubuhmu. Tepatnya, di alam pikiranmu!"

***

Menjelang tengah malam, keadaan di dalam rumah Ramandita sudah lebih tenang
daripada sebelumnya.Alex Paduhai, astronom yang orang Nias itu beserta anak
buahnya sudah pergi dua jam sebelumnya. Meski tampak masih menyimpan kengerian
di wajah-wajah mereka, pada umumnya mereka kelihatan puas dan gembira. Alex
Paduhai berkata sewaktu pamit,
"Saya akan membujuk pimpinan kami agar membatalkan tagihan pembayaran yang
sudah kalian sepakati. Terus terang, hari inilah pertama kali kami memperoleh hasil
dari jerih payah sekian tahun. Dan hasil yang pasti bakal menggemparkan pula!"
Mereka pergi bersamaan dengan kedua anggota polisi berpakaian preman itu.
Dengan instruksi dari komandan mereka agar menutup mulut rapat-rapat,dengan
jabatan masing-masing sebagai taruhan bila instruksi dilanggar. Mereka diharuskan
kembali kemarkas untuk melapor dan dari markas tetap menghubungi Ajun Komisaris
Polisi Robinson Tarigan mengenai situasi di luaran. Robinson memutuskan tinggal di
rumah Ramandita.
"Aku harus yakin dulu SiNona benar-benar pergi dan tidak lagi meninggalkan
kerangka misterius lebih banyak di atas meja kerjaku!"katanya, ngotot Harianto tidak
bersedia tinggal.
Ia masih ketakutan.
Dan ia punya dalih yang memang masuk akal untuk pergi dan tidak ikut campur
urusan selanjutnya.Katanya:

-- Halaman 208 Kolektor E-Book --


"Aku takut pada hantu. Tetapi lebih takut lagi pada Bos!".
Tetapi sebelum berangkat ke percetakan, ia masih sempat mendengarkan rencana
mengenai usaha Aki Juhari mengakhiri sepak terjang Si Nona. Maka sebelum pamit ia
sempat berpesan setengah berseloroh pada sahabatnya,
"Tulis selengkapnya, ya? Anggap saja lanjutan cerita bersambungmu yang sudah
habis itu.Pasti dimuat!"
Meskipun perabotan, isi rak, keramik hias sudah tak lengkap lagi, guci antik pun
sudah tak meninggalkan bekas, secara keseluruhan ruang duduk itu telah kembali pada
fungsinya semula. Merangkap jadi ruang kerja Ramandita. Bedanya, kalau biasanya
Ramandita bekerja sendirian dan paling tak suka ditunggui, kali ini ia duduk
menghadapi mesin tiknya dengan Aki Juhari duduk pula di seberang meja. Plus dua
lainnya di kursi jok, Magdalena dan Robinson Tarigan yang duduk dengan wajah
cemas. Apalagi setelah Aki Juhari kembali wanti-wanti pada Ramandita,
"Ingat! Begitu urusan Si Nona selesai, kalian harus berpisah. Dan cepat tinggalkan
dia."
"Bukan itu yang kukhawatirkan, Ki," keluh Ramandita lesu.
"Melainkan, apakah aku dapat mengonsentrasikan pikiran...."
Dengan bantuan tenaga batinku yang akan kusalurkan ke batinmu, kau pasti
sanggup. Imajinasimu akan berkembang dengan sendirinya. Dengan satu catatan yang
harus kau camkan benar-benar.'
"Apa, Ki?"
"Hentikan imajinasimu pada saat yang tepat. Yakni saat kalian harus berpisah!"
"Bila tidak dapat kuhentikan?"
"Risiko teramat besar. Maaf, aku tak tahu sebesar apa.Tak tahu pula bagaimana
wujudnya. Yang jelas, pasti berbahaya. Kau masih dapat mundur...."
"Dan membiarkan Si Nona meneruskan petualangannya?"
Ramandita mengeluh lantas menggelengkan kepala.

-- Halaman 209 Kolektor E-Book --


"Aku bersedia mengambil risiko itu. Apalagi risiko itu pun tak perlu ada selama aku
mampu membatasi imajinasiku sebagai seorang pengarang."
"Yakinkan itu dalam dirimu, Nak!" bisik Aki Juhari,tajam.
"Akan kucoba. Sambil mesin tikku berjalan."
"Siap?"
"Siap, Ki!"
Magdalena berpegangan ke tangan Robinson Tarigan,seakan memohon supaya
perwira polisi ini bersiap sewaktu-waktu untuk melindungi Ramandita. Robinson
mengusap lembut punggung tangan Magdalena, tetapi tidak tahu apa yang harus
dikatakan. Kecuali,
"Lebih baik kita mulai berdoa, Magdalena."
Magdalena berdoa.
Robinson Tarigan juga berdoa.
Namun tetaplah Tuhan jua yang menentukan nasib manusia.Sementara Ramandita
duduk santai di kursi putarnya sebagaimana biasa kalau ia bekerja ditemani mesin
tik,maka Aki Juhari bersedekap di dada. Mulut komat-kamit dan mata terpejam rapat.
Lalu suatu saat ia mengembuskan napas keras ke depan, membuat asap rokok yang
diisap Ramandita bertemperam.
Ramandita masih merenung.
Mulutnya makin kuat mengisap rokok, dan setelah mencicipi kopi dari gelas, ia
memasukkan sehelai kertas HVS ke rol mesin tik dan jari-jemarinya mulailah beraksi.
Imajinasinya telah bekerja.
Robinson bangkit dari duduknya. Segan dan tampak sedikit takut, ia berjalan menuju
meja kerja dan berdiri sedikit di belakang kursi putar yang diduduki Ramandita.
Sebelumnya Aki Juhari telah memberikan tugas padanya agar membaca keras-keras
setiap kata hasil ketikan Ramandita, agar dapat didengar Aki Juhari, tetapi tidak dapat
didengar oleh Ramandita sendiri karena lubang-lubang telinganya lebih dulu telah

-- Halaman 210 Kolektor E-Book --


dimantrai sehingga tidak dapat diusik pihak ketiga. Hanya satu hal yang tak boleh
dilakukan Robinson, jangan menyentuh tubuh Ramandita selama bekerja.Sambil
membantu dengan kekuatan batinnya supaya Ramandita dapat berimajinasi dengan
lancar dan sempurna, Aki Juhari menajamkan telinga untuk mendengar apa-apa yang
dibaca sang Ajun Inspektur Di kursinya, Magdalena ikut mendengarkan. Dengan wajah
tambah lama tambah tegang.

**

DUAPULUH TIGA

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan,demikian hasil ketikan


Ramandita yang dibaca keras-keras oleh Robinson, tibalah aku di desa yang terletak di
kaki Gunung Galunggung itu. Aku mencari-cari Si Nona dangan mataku, tetapi tidak
melihatnya. Aku tiba-tiba ingat, ia ada di dalam alam pikiranku. Maka aku
memanggilnya,
"Nona?"
"Aku di sini," kudengar sahutan lembut basah.
Ah.
Si Nona sudah berdiri di sebelahku. Tersenyum bahagia. Wajahnya semakin cantik
saja. Di bawah sinar rembulan, tampak matanya begitu indah, ia masih begitu muda.
Polos, dengan wajah seakan tak berdosa.Mengeluh dalam hati karena telah melibatkan
dirinya dalam kejahatan-kejahatan terkutuk, aku menuding dengan jari telunjuk,
"Kau lihatkah rumah itu, Nona?"
Matanya mengikuti arah jari telunjukku ke sebuah rumah kecil di bawah bukit. Walau
kecil tetapi rapi dan resik. Halamannya ditanami bebungaan yang sedang
mekar-mekarnya, walau malam telah larut dan cuaca terasa dingin sejuk menusuk

-- Halaman 211 Kolektor E-Book --


sampai ke sumsum.
"Rumah siapa itu?" tanya Nona.
'Saniah."
"Aku tidak membutuhkan dia!" kudengar Si Nona menggerutu pelan.
Maka kujelaskan padanya,
"Saniah itu seorang janda.Tanpa anak, masih muda, cantik pula. Setelah Sumirah
meninggal dunia di tangan ibumu, Pak Lurah mengalihkan perhatiannya pada Saniah.
Setelah ibumu meninggal pula, Sumarna makin getol mendekadi Saniah. Nah, itu dia...
lihat!"
Pintu depan rumah kecil itu terbuka. Cahaya lampu minyak menerobos ke luar.
Tampak bayang-bayang sesosok tubuh perempuan melongokkan kepala,mencari-cari.
Sesosok tubuh pun muncul dari kegelapan dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Saniah.

"Diakah... Sumarna?" tanya Si Nona, menggeram.


"Ya. Keluarga Saniah menentang keras hubungannya dengan Sumarna. Itulah
sebabnya mereka melangsungkan pertemuan diam-diam, sementara Sumarna masih
mencari jalan bagaimana membujuk keluarga Saniah...."
Pintu rumah kecil itu tertutup lagi setelah Sumarna menyelinap masuk.
Si Nona bertanya bingung,
"Apa yang harus kulakukan?"
"Pergilah ke sana. Masuklah ke tubuh Saniah.Selanjutnya, kau sudah tahu apa yang
harus kau lakukan..."
"Tetapi... aku tak pernah memakai raga orang lain.Ibuku, Larasati, juga tidak..."
"Kau mempunyai kelebihan dibandingkan ibumu,Nona. Ibumu lahir normal, kau
tidak. Ibumu lahir ditempat tidur. Kau... lahir dan tumbuh besar di dalam kubur. Itulah
sebabnya kau dapat muncul di dunia kami. Dunia nyata. Kelebihannya lagi, kau dapat
meminjam raga orang lain tidak saja sebagai kamuflase,tetapi sekaligus juga sebagai

-- Halaman 212 Kolektor E-Book --


perantara membalaskan dendam kesumat. Nah. Pergilah sekarang, sebelum mereka..."
Ramandita berhenti mengetik. Kertas di mesin tik dicabutnya, diganti dengan yang
baru. Tenang-tenang pula ia menyulut rokoknya sebatang lagi, merenung memandangi
mesin tik. Sikapnya acuh tak acuh, seolah ia sedang sendirian saja laiknya.
Aki Juhari tetap duduk bersila.
Tanpa bergerak.
Bahkan seperti tak bernapas.
Di kursi lainnya, Magdalena duduk menunggu dengan tegang dan wajah pucat. Dan
di sebelah kursi putar Ramandita, Ajun Komisaris Polisi Robinsoo Tarigan berdiri
kaku.Ramandita meneguk kopinya lagi.
Kembali mengetik.
Belum habis ucapanku, tahu-tahu Si Nona sudah lenyap. Aku hanya melihat sinar
biru menyilaukan melesat menembus kegelapan malam, berputar-putar sejenak di atas
atap rumah janda muda itu. Lalu, sinar biru itu menukik ke bawah dan masuk
menerobos atap genting.
Aku duduk menunggu dengan tegang.
Menit demi menit berlalu.
Mataku hampir tak berkedip mengawasi rumah Saniah. Sampai sinar biru itu tampak
melesat lagi dari atap rumah Saniah,menari-nari sejenak, kemudian melesat ke tempat
dimana aku duduk menanti. Saat itulah terdengar suara jerit perempuan dari dalam
rumah Saniah. Pastilah Saniah sendiri yang menjerit amat menyeramkan itu.Terdengar
suara terengah-engah di sebelahku. Ketika aku menoleh, kulihat Si Nona duduk dengan
kaki berjuntai rileks, melepaskan lelah. Matanya mengawasi rumah Saniah, dan
rumah-rumah lain disekitarnya.Makin banyak sinar lampu terlihat. Sosok-sosok
tubuhpun berlompatan keluar dari pintu-pintu rumah yang terbuka, lalu berlari-lari ke
arah yang sama.
Rumah Saniah.

-- Halaman 213 Kolektor E-Book --


"Bagaimana?" tanyaku, gemetar.
"Sudah."
"Sudah apanya?" tanyaku tak puas seraya mengawasi wajah gadis di sebelahku.
Wajahnya tampak gundah, ia tidak tampak gembira sedikit pun ketika menjelaskan,
"Dendam ibuku sudah terlampiaskan. Yang kini ditangisi Saniah tinggal tengkorak
dan tulang-belulang Sumarna saja!"
Aku ingin bertanya mengapa wajahnya justru tampak murung. Tetapi perhatianku
keburu dialihkan oleh sosok tubuh laki-laki yang berlari-lari dengan wajah tegang, tak
jauh dari tempat kami duduk. Kuawasi kearah mana larinya orang itu, lantas berkata
cemas,
"Hentikan dia, Nona!"
"Laki-laki itu?"
"Ya. Dia akan memberitahu kejadian di rumah Saniah pada keluarga Sumarna.
Komar, menantu Sumarna,tinggal di rumah yang sama. Komar tak boleh tahu apa yang
telah menimpa mertuanya. Kalau ia tahu, ia akan mempersiapkan diri untuk melakukan
perlawanan padamu. Ia kawan dekat dukun yang ikut membantu menundukkan ibumu
sebelum ibumu mereka pancung!"
"Oh!"
Si Nona meluruskan duduknya.
Memancar sinar biru dari matanya.
Cepat sekali sinar biru itu mengejar, sampai laki-laki itu tersusul. Sinar biru
menghantam tengkuk laki-laki yang tak tahu apa-apa itu, yang tiba-tiba terjerembap
jatuh.
Tak bergerak lagi.
"Kau... bunuh dia?" tanyaku ngeri.
Si Nona menggelengkan kepala.
"Hanya pingsan,"katanya.

-- Halaman 214 Kolektor E-Book --


"Yakinkah kau, Ramandita, saat ini Komar ada di rumahnya?"
"Tentu."
"Bagaimana kau begitu yakin?"
Sesaat aku bingung mencari jawab.
Tetapi kemudian aku tersenyum.
Berkata kalem pada gadis itu,
"Aku yang punya cerita, bukan? Jadi aku pun tahu mengenai segala sesuatunya yang
terjadi saat ini. Bahkan jelas kuketahui pula, istri Komar sedang berjalan menuju
kamar mandi. Hampir-hampir tanpa pakaian..."
Sinar biru menghantam tengkuk laki-laki yang tak tahu apa-apa itu. Tiba-tiba ia
terjerambab jatuh dan tak bergerak lagi.

***

DUAPULUH EMPAT

Pergantian kertas lagi.Ramandita menekankan puntung rokoknya ke asbak,tetapi


tidak menyulut sebatang rokok lainnya. Tidak pula menyentuh kopi yang tinggal
setengahnya lagi dalam gelas, dan pasti sudah dingin pula. Ia rupanya sedang in dan
cepat sekali mesin tiknya berdetak-detak tak terhentikan. Kecuali sewaktu ketikannya
ada yang salah, lalu dihapusnya dengan cairan type-ex.
"Antarkanlah aku ke sana, Rama!"
"Tidak mungkin, Nona. Waktu kita sangat terbatas.Mungkin saja ada orang lainnya
yang pergi memberitahu ke sana, bahwa Sumarna sudah mau..."
"Aku tak tahu tempatnya!"
"Gampang. Rumah Pak Lurah paling besar dan paling megah di desa ini. Maklum ia
juga menampung anak menantu serta cucu-cucunya, dengan siapa ia tidak ingin

-- Halaman 215 Kolektor E-Book --


berjauhan. Komar tinggal di paviliun. Tetapi sumur dan kamar mandinya di luar. Tak
pakai atap.Kau dapat melihat istri Komar sedang mencuci tubuhnya di situ. Malah saat
ini kudengar ia bersenandung. Lagu Melayu. Kalau tak salah lagu..."
Sinar biru menyilaukan itu melesat lagi di depan mataku. Lenyap di balik pepohonan,
muncul di sekitar jalan desa, menyelinap dari satu atap rumah ke atap lain, kemudian
menghilang entah ke mana.
Cuaca semakin dingin pula.
Di depan rumah Saniah tampak semakin banyak orang.
Terang benderang di sana.
Begitu banyak obor.
Memperlihatkan wajah-wajah ketakutan. Aku pun dapat mendengar samar samar
teriakan-teriakan panik, bentakan-bentakan, dan jerit tangis di sana-sini....
Lalu tiga orang lelaki yang sama-sama membawa obor tiba-tiba meninggalkan
rumah Saniah. Kuikuti arah langkah mereka pergi.
Wah, wah... bukanlah jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang tadi ditempuh
orang sebelumnya yang telah dipingsankan Si Nona?
Apakah mereka mulai curiga karena belum juga ada keluarga Saniah yang muncul?
Aku tertegak panik.
Salah seorang dari ketiga laki-laki itu menoleh kearahku. Cepat aku berlindung di
balik sebatang pohon besar. Orang yang menoleh itu mengatakan sesuatu pada
teman-temannya. Mereka berdebat sebentar,tetapi kemudian meneruskan perjalanan.
Lalu mendadak seseorang terjungkal ke tanah. Dua yang lain berteriak kaget lalu
marah-marah. Obor-obor lalu didekatkan ke bekas orang terjungkal itu. Leher
kunaikkan untuk ikut melihat dari jauh. Ternyata orang tadi terjungkal karena kakinya
menubruk tubuh laki-laki yang pingsan itu. Heran, sebelumnya mereka tidak melihat
laki-laki yang terkulai pingsan di tengah jalan itu. Mungkin masih asyik
mempertengkarkan apa yang dilihat salah seorang dari mereka tadi. Merekapun sibuk

-- Halaman 216 Kolektor E-Book --


menyadarkan orang itu.
Bagus.
Jadi Si Nona mendapat lebih banyak waktu terluang.Setelah yang pingsan itu siuman,
masih ribut pula mereka berdebat. Tampak mereka mulai ketakutan, lalu berjalan cukup
dekat satu sama lain, meneruskan ketujuan semula. Sambil melirik ke kiri-kanan. dan
menerangi dengan obor tempat-tempat yang gelap atau terhalang.Akhirnya mereka
lenyap di belokan jalan desa dekat alun-alun.
Bagaimana dengan Si Nona?
Dapatkah ia temukan rumah yang dicari?
Juga Komar?
Ataukah ia masih sibuk mencari?
Aku duduk dengan kaki-kaki gemetar.Dari ufuk Timur sudah mulai terlihat bias-bias
samar.Matahari pagi akan segera terbit.

***

Robinson Tarigan batuk-batuk.


Berpaling ke jendela.
Gorden tertutup, tetapi ada sedikit celah. Lewat kaca jendela, tampak suasana hitam
legam di luar rumah. Belum tampak pertanda bahwa pagihari akan tiba. Berpaling lagi
ia lihat Ramandita sudah selesai memasang kertas baru ke rol mesin tik.Ia duduk
sejenak menyandar di kursi, sambil menyulut sebatang rokok. Asap rokok dikepulkan
lewat hidungnya. Matanya mengawasi asap-asap rokok itu.Lalu siku-siku tangannya
bertelekan di atas meja.Berpikir keras dengan mata nyalang memandang kedepan. Di
seberang meja, Aki Juhari tetap duduk tak bergerak. Tetapi Ramandita seperti tak
melihatnya.Bahkan tidak terpengaruh oleh Magdalena yang tiba-tiba menggeliat di
kursinya. Jelas sudah, Ramandita tenggelam dan larut dalam imajinasinya.Tak sadar,

-- Halaman 217 Kolektor E-Book --


rokok menyala di antara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya mengenai
helai-helai rambutnya. Terdengar bunyi bergemeretak halus,tercium bau rambut
terbakar. Ramandita menghela napas panjang. Mengisap rokoknya sekali lagi, lalu
meletakkannya di asbak. Lalu mengusap perut sebentar.
"Hem..." ia bergumam pelan.
"Tiba-tiba aku lapar. Tapi tanggung nih....
Robinson hampir saja memberi komentar. Tetapi Ramandita sudah meneruskan
mengetik. Magdalena bangkit dari kursi. Pergi ke dapur.
Robinson menoleh sekilas, angkat bahu, lantas terus pula membaca apa-apa yang
diketik Ramandita.
Sinar biru itu muncul lagi.
Dan tahu-tahu Si Nona sudah duduk pula di sebelahku. Wajahnya semakin murung
saja. Malah seperti mencemaskan sesuatu.
"Gagal?" tanyaku, waspada.
"Tidak," jawabnya, lirih.
"Kali ini kau lebih lama. Mengapa?"
Komar kaget ketika aku melalui istrinya, mengajaknya bersetubuh. Dia bilang,
"Hei, yang tadi apa belum cukup?"
Lalu aku memaksa istrinya meliuk-liukkan tubuh sedemikian rupa, sampai Komar
terangsang sendiri.
Cepat sekali ia menerkam.
Malah seperti mau memerkosa saja.
Lalu...
Terdengar jerit sayup-sayup di kejauhan. Lebih banyak lagi penduduk lari keluar
rumah. Menuju alun-alun desa. Bukti Komar sudah menebus dosa-dosanya pada
Larasati, pikirku.
Aku tidak sedih.

-- Halaman 218 Kolektor E-Book --


Tak harus merasa berdosa. Semua ini hanya fantasi.
Cerita fiksi.
Biarlah mereka mati. Seperti orang-orang lainnya, siapa, kapan,di mana pun juga,
harus mati. Menurut kodrat mereka masing-masing.
Mungkin juga, sesuai karma.
Kalau karma itu memang ada.
Pelan-pelan aku bangkit.
"Ayo kita pergi," desahku, hampir-hampir tak bersemangat.
"Ke?"
"Desa ini akan bergolak. Lalu penduduk akan pergi beramai-ramai menuju tempat
mereka menguburkan ibumu. Kita harus mendahului mereka...."
Kuawasi puncak gunung di arah Timur.
Bias itu semakin menebar.
Semakin terang.
Rupanya Si Nona mengetahui apa sebabnya aku melihat ke arah sana.Tersenyum ia
berkata,
"Tak usah khawatir. Dengan aku, kau akan cepat sampai ke tempat yang kita tuju."
Ia menggenggam telapak tanganku.
Katanya,
"Ceritakan di mana tempat itu...."
Aku menceritakan tempatnya. Masih jelas dalam ingatanku, suatu hari aku pergi
piknik ke kaki Gunung Galunggung, setelah letusan beruntun dan bersejarah itu terjadi.
Suatu saat aku tersesat, kehilangan kawan-kawan seiring. Letih dan lapar aku tiba juga
dikaki sebuah bukit. Bersandar di sebatang pohon raksasa yang daunnya rimbun sekali.
Di dekatku duduk terlihat segundukan tanah berpasir. Seekor kadal hijau kehitaman
mengintip dari bawah akar pohon. Waktu kuhentak, kadal itu lari menyelinap, tetapi
bukan kebalik semak belukar, melainkan ke dalam gundukan tanah berpasir. Dan tak

-- Halaman 219 Kolektor E-Book --


pernah lagi keluar dari sana.Setelah kawan-kawan seperjalanan menemukanku dan
kami kembali ke Jakarta, kejadian sekilas itu menimbulkan ide dalam pikiranku.
Imajinasiku membayangkan gundukan tanah itu adalah sebuah kuburan.
Kuburan terpencil.
Dan seseorang telah jatuh sebagai korban hasutan dan kebiadaban
manusia.Kubayangkan, istrinya kemudian membalas dendam.Pada saat aku tengah
memikirkan untuk menuangkan ide itu menjadi sebuah novel misteri, seorang kenalan
lamaku di universitas mengirim surat. Memberitahukan bahwa ia sudah menikah
dengan seseorang dari sekian banyak kekasihnya. Nama gadis itu, Larasati.
Ya, mengapa tidak?
Larasati, hem.
Larasati-lah istri yang ingin membalas kematian suaminya itu!
Berisik juga ketika Magdalena meletakkan penganan dimeja kerja Ramandita. Ia
juga menyediakan segelas kopi yang diberikan kepada Robinson Tarigan, yang tentu
saja disambut dengan gembira. Diam-diam Robinson juga menyambar sebatang rokok
milik Ramandita, menyulutnya dengan nikmat.
Aki Juhari tidak menegur.
Orang tua itu masih bertapa semedi.
Magdalena mengawasi Ramandita.
Yang diawasi kalem-kalem saja mengganti kertas di rol mesin tik.Kalem pula
menyambar penganan yang terhidang,tanpa mengetahui bagaimana makanan itu
sampai terhidang, dan siapa yang menghidangkannya. Dengan mulut masih mengunyah
Ramandita toh mampu sekaligus mengisap sebatang rokok. Dan jari-jemari terus
beroperasi di tuts-tuts mesin tik.Magdalena hampir saja menyentuh Ramandita untuk
mengatakan sesuatu, tetapi Robinson menegur lembut,dan Magdalena dengan gundah
pergi ke tempat duduknya semula. Wajahnya yang pucat, tampak sangat gelisah.
Perhatiannya tak lepas dari sang suami,namun telinganya terpusat pada

-- Halaman 220 Kolektor E-Book --


kalimat-kalimat yang dibacakan Robinson.
Waktu pun terus berlalu.
"Nah, itu dia tempatnya!"
Nona tertegun.
Gumamnya,
"Heran, aku tidak ingat lahir dan keluar dari dalam kuburan ini...."
"Apa saja yang kau ingat, Nona?" tanyaku ingin tahu.
"Yah... tiba-tiba aku merasa terpanggil. Dan tiba-tiba pula aku sudah ada di
rumahmu. Kau datang. Kita berbicara. Lalu...wajah gadis itu memerah, dan ia tampak
tersipu waktu mata kami bertemu.
"Apakah aku menjerit terlalu keras waktu itu?" tanyanya malu-malu,
"Sangat keras!" jawabku lalu tertawa.
Menambahkan,
"Sampai aku khawatir ada tetanggaku yang mendengar."
"Andai kita dapat mengulanginya lagi..."
Si Nona tak meneruskan kata-katanya, ia mengawasi wajahku dengan mata sendu.
Bibirnya setengah terbuka, mengharap. Untunglah ia segera sadar ada hal lain yang
harus kami kerjakan, dan itu lebih penting daripada apa pun juga. Setelah kami
berbicara sebentar, ia kemudian rebah di atas kuburan ibunya.Kakinya merapat satu
sama lain, dengan telapak menghadap ke bagian bawah akar-akar pohon raksasa
tempat aku pernah menyandar dulu itu.
Mataku lantas mencari-cari.
Dan di bawah sebelit akar besar tampaklah kadal hijau kehitaman itu. Matanya
mengawasiku dengan curiga. Mata kemudian kualihkan mencari-cari kalau ada
sepotong kayu.Namun yang kulihat hanyalah lautan pasir, dan semak belukar liar di
beberapa tempat. Sesaat aku bingung,akan tetapi kemudian aku menemukan ide
cemerlang.

-- Halaman 221 Kolektor E-Book --


Aku memutar hati-hati.
Kadal misterius itu pun menoleh, mengikuti gerakanku. Tanpa tahu, gerakanku
berputar justru semakin mendekati akar tempatnya berlindung. Setelah
memperhitungkan dengan saksama,cepat sekali kuangkat sebelah kakiku lalu
kuhunjamkan ke bawah.
Kadal itu terperanjat.
Mencoba lari.
Tubuhnya lolos sebagian, tetapi sisanya tergencet oleh akar yang kuinjak.
Terdengar bunyi cicitan halus.
Mencicit dan terus mencicit.
Dan bunyi cicitan itu menimbulkan gerakan samar-samar di tubuh Si Nona. Ia
menggeliat dengan wajah seperti menahan sakit. Lalu beberapa bagian depan tubuh
serta betisnya mulai berubah. Seperti membengkak mirip bisul. Lalu bisul-bisul itu pun
pecah bersama datangnya matahari.Dari pecahan bisul terdengar lebih banyak lagi
suara mencicit.
Lebih nyaring pula.
Sahut-menyahut,riuh-rendah, dan membuat bulu romaku berdiri tegak.Kemudian
dengan mata membelalak kulihat makhluk-makhluk mirip kadal itu bersembulan
keluar....
Lagi pergantian kertas.
Ramandita tampak tegang.
Dan tanpa beristirahat ia terus saja mengetik.
Ia bekerja secara menggila. Seakan ia takut ketinggalan sesuatu.
Atau, menakuti sesuatu.
Diam-diam Robinson ikut merasa takut.
"Dari pecahan bisul itu terdengar suara-suara mencicit,kemudian makhluk-makhluk
mirip kadal bersembulan keluar.

-- Halaman 222 Kolektor E-Book --


Suara Robinson sewaktu membaca, jelas bergetar.

***

DUAPULUH LIMA

Makhluk-makhluk pengisap darah maupun daging dan apa saja yang ada di tubuh
manusia kecuali tengkorak dan tulang-belulang itu, berloncatan meninggalkan tubuh Si
Nona. Gadis itu tampak teramat sangat menderita, namun mulutnya terkatup rapat.
Tidak bersuara.
Alangkah tabah gadis itu menahan azab sengsara.
Aku benci memikirkannya.
Dan dengan benci memandangi makhluk-makhluk terkutuk mirip kadal berbadan ular
itu, yang jumlahnya belasan. Semuanya bukan merayap, melainkan tegak pada
kaki-kaki belakang serta ekornya, mengelilingi kadal yang tergencet di bawah akar
yang kuinjak dengan kakiku.Biji-biji mata mereka yang semerah saga tampak meredup
sedih.
Berdukacita.
Dan ketika kadal di bawah akar sekarat lalu mati, makhluk-makhluk itu bukan lagi
mencicit, melainkan melolong-lolong marah. Perhatian mereka kini teralih ke
arahku.Aku tahu itu akan terjadi, dan aku sudah siap. Namun toh jemariku sempat
gagal membuka ritsleting celana panjangku. Syukurlah berhasil juga, dan cepat celana
dalamku di bagian depan ku turunkan. Makhluk-makhluk menjijikkan tetapi juga
menakutkan itu mulai melompat.
Mereka terlambat.
Air kencingku sudah keluar. Mengalir deras, dan kubuat sedemikian rupa supaya
memercik secara melingkar dan melebar. Tiap kali makhluk-makhluk itu terciprat air

-- Halaman 223 Kolektor E-Book --


kencingku, tiap kali pula lolongan lengking bergema seakan mau memecahkan gendang
telingaku saja. Sakit sekali, perih rasanya. Aku berusaha bertahan, sampai air seniku
habis dan makhluk makhluk itu terkulai seluruhnya dibawah kakiku.
Matahari semakin bersinar terang.Makhluk-makhluk itu pun berubah rupa jadi
arang,terus mengabu, lalu embusan angin pagi menerbangkannya entah ke mana.
Mungkin bersatu dengan lautan pasir.
Lenyap tak berbekas.
Yang tinggal:hanyalah bangkai kadal yang sial itu saja.
Tergencet dibawah akar.
Setengah hancur.
Luar biasa, bahwa Si Nona... seperti pernah kulihat waktu dulu kami bertemu
pertama kali lalu berpisah,tidak terpengaruh oleh sinar matahari. Kulitnya tampak
mulus-mulus saja. Malah semakin manis, semakin berseri. Wajahnya pun kelihatan
merona lebih merah,matanya bersinar cemerlang, dan senyumannya...betapa
memabukkan.
Aku sempat tergoda.
Namun sebelum aku benar-benar tergoda, aku pun cepat berkata,
"Sekarang, Nona.Semuanya telah berakhir. Dendam Larasati dan dendammu sudah
terlampiaskan tuntas. Makhluk-makhluk jahat yang bersemayam di tubuhmu sendiripun
telah musnah..."
Aku menelan ludah, dan jiwaku terasa getir waktu kutambahkan,
"Tiba waktunya kita berpisah, Nona..!"
Robinson Tarigan terperanjat waktu Ramandita menyentakkan kertas hasil
ketikannya dari mesin tik.Lebih terperanjat lagi sewaktu ia lihat Aki Juhari membuka
kelopak matanya, mengeluh letih, kemudian berujar lunak pada Ramandita,
Berakhir sudah.
Berhentilah mengetik, anakku. Kau perlu istirahat dan..."

-- Halaman 224 Kolektor E-Book --


Dan seakan tak dengar tak melihat, Ramandita dengan tangkas telah memasang
selembar kertas baru di rol mesin tik.
Ia tidak minum.
Tidak merokok.
Tidak tercenung dulu untuk berkonsentrasi. Ia terus saja mengetik seperti orang
kesurupan.
"Ramandita!"
Aki Juhari membentak nyaring.
"Hentikan! Kubilang, hentikan!"
Ramandita terus mengetik.
Mengetik.
Mengetik, seperti tak mendengar Magdalena menjerit pelan saking cemasnya.
Robinson bingung, tak tahu mau berkata apa. Lalu secara naluriah ia letakkan telapak
tangannya di pundak Ramandita. Berkata dengan suara berat,
"Sudahlah, Bung!"
Tak ada reaksi.
Ramandita tidak terusik sedikit pun.
"Celaka!" desis Aki Juhari, panik.
"Imajinasinya tak dapat kuhentikan!"
Lalu ia kembali bertapa semedi, memanggil-manggil Ramandita.
"Pulanglah, Nak Rama. Pulanglah!"
Robinson menepuk-nepukkan telapak tangannya. Jatuh cukup keras di pundak
Ramandita. Tetapi mesin tik terus berjalan. Dan tanpa sadar Robinson terus pula
membacanya

***

-- Halaman 225 Kolektor E-Book --


Sinar cemerlang di mata Nona tiba-tiba berubah sendu.Mata indah itu berkilat-kilat.
Basah.
Tiba-tiba aku pun sadar, mengapa setelah dendam kesumatnya terlampiaskan dan
makhluk-makhluk jahat Itu tidak lagi merajalela dalam tubuh dan jiwanya, wajah
SiNona begitu murung dan gundah. Setelah menyadarinya, hatiku terenyuh. Hati-hati,
kucoba membujuknya selembut mungkin,
"Aku tahu kau mencintaiku, Nona...."
"Tetapi kau tidak, ya?" ia menukas cepat.
Suaranya getir. Dan matanya kian membasah.
Bingung aku mau jawab apa. Kemudian aku teringat ketika pertama kali kami
berpisah, lalu aku kemudian sibuk mencari kemana ia pergi. Dan sempat berpikir untuk
bertanggung jawab atas apa yang pernah kami perbuat di tempat tidur. Tanpa kusadari
aku pun bergumam,
"Sulit menjawabnya. Nona. Hanya saja...semenjak rumah tanggaku berantakan dan
aku ditinggalkan Magdalena, aku tak lagi punya keberanian untuk jatuh cinta. Lalu kau
muncul dalam kehidupanku. Dengan caramu yang misterius... dan pengorbananmu
yang lebih misterius. Saat itu mungkin... aku lantas berpikir, bahwa apa salahnya aku
memulainya lagi"
"Dengan?"
"Kau, Nona."
"Dan?" matanya kembali bersinar. Meski semakin basah dan basah juga.
"Aku belum pasti."
"Barangkali dapat kujelaskan padamu, Rama," desah gadis itu, tersenyum ganjil
namun tampak teramat:manis, seakan menyimpan kebahagiaan yang hanya ia sendiri
yang dapat merasakan. Katanya, tenang dan bahagia,
"Aku sudah mengandung...."
Tentu saja aku terperanjat setengah mati.

-- Halaman 226 Kolektor E-Book --


"Apa?"
"Mungkin kedengarannya aneh, Rama. Kita baru berkumpul beberapa hari. Namun
toh aku sudah mengandung. Aku dapat merasakan kehadiran janin itu, Ramandita. Dan
aku bahagia menyambut:kehadirannya...."
"Mustahil," bisikku, bingung.
"Apa yang mustahil, Rama, mengingat semua yang telah terjadi di antara kita?" ia
balas berbisik, tersenyum.
"Mengenai itu... masih dapat kuterima. Tetapi..."
Nona tidak tampak tersinggung atau kecewa. Tetap tabah dan tegar, ia memberitahu,

"Kau cemas mengenai laki-laki lainnya, dengan siapa aku bermain cinta,bukan?
Alangkah buta matamu, Ramandita. Kau sendiri yang mengatur segala sesuatunya,
ingatkah? Semua lelaki itu tidak sempat menanam benih mereka di rahimku. Karena
sebelum mereka sampai ke situ,makhluk-makhluk jahat yang buas di dalam tubuhku
sudah lebih dulu beraksi. Kau tidak ikut jatuh sebagai korban, adalah karena... seperti
kukatakan tadi. Kau yang mengatur segala sesuatunya, bukan? Mereka pun lantas tak
mengusikmu. Kalau mereka mengusikmu,aku akan... bunuh diri. Dengan sendirinya,
mereka pun pasti ikut mati."
Aku terdiam.
Tak berkomentar..
"Berat hatimu meninggalkan istrimu, Rama?"
"Ya..."
"Hem. Suaramu bimbang. Aku dapat mengerti mengapa. Bayangan istrimu merintih
nikmat ketika ia diperkosa tetap menghantui jiwamu yang paling dalam,bukan? Lalu...
istrimu masih lari dari satu lelaki kepelukan lelaki lain. Mereguk kenikmatan demi
kenikmatan lain. Kau berusaha menerimanya dengan wajar: Namun jiwamu yang
paling dalam menentang keras. Apakah aku salah, Ramandita?"

-- Halaman 227 Kolektor E-Book --


***

Ramandita merenggut kertas dari mesin tik. Ketika akan menggantinya dengan yang
baru, tangannya disambar Aki Juhari, disertai bentakan lantang,
"Cukup! Hentikan sampai di situ, sebelum kau celaka karenanya!"
Robinson mencium bahaya besar. Naluri polisinya bereaksi cepat. Didahului
permintaan maaf, tengkuk Ramandita dihantamnya dengan pukulan karate. Tidak
terlalu keras, namun biasanya sudah melumpuhkan siapa saja yang pernah dimakan
pukulan sisi telapak tangan kanan perwira polisi itu.
Hasilnya, Ramandita tidak terganggu. Juga ketika Magdalena memekik-mekik. Ia
terus saja mengetik dan mengetik.
Aki Juhari menangis.
Tanpa daya ia hanya mengawasi dengan sedih bagaimana Ramandita melampiaskan
imajinasi gaib yang merasuki alam pikiran pengarang muda itu. Robinson Tarigan
menyumpah serapah,lagi-lagi dengan memukul dan kali ini lebih keras.Tetapi jerit
tangis Magdalena menahannya.
"Jangan sakiti suamiku, Komandan!" isak Magdalena,setengah meratap.
Robinson mengumpat.
Dan terdorong juga hatinya untuk melanjutkan baca, yang diam-diam ia sadari,telah
menimbulkan keasyikan tersendiri dalam sanubarinya.
Dengan hati berat aku menjawab,
"Kau benar. Nona."
"Dan kau ragu-ragu menerima kehadirannya kembali?"
"Ya."
"Kau cinta padanya?"
"Luar biasa cinta."

-- Halaman 228 Kolektor E-Book --


"Dengan itukah kau hidup selama ini?"
"Benar. Dan kupikir-pikir, sungguh aneh. Sering orang bilang, manusia tak mungkin
hidup bahagia hanya dengan cinta saja. Tetapi aku dapat, meski hidupku terasa rapuh."

Si Nona diam.
Entah apa yang dipikirkannya.
Aku sendiri pun tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Begitu kacau.
Dan membingungkan.
Si Nona hamil.
Dan aku bakal jadi seorang ayah....
Lalu tiba-tiba aku tahu apa yang harus kulakukan.
Kuraih tangan gadis itu. Lalu aku berkata padanya,
"Aku belum tahu apakah aku telah jatuh cinta padamu,Nona. Yang aku tahu, aku
telah berdosa padamu. Dan aku ingin menebusnya...."
"Maksudmu, Rama?" suaranya terengah ketika ia menengadah.
"Kau akan jadi seorang ibu, bukan?"
Si Nona mengangguk, patah-patah, namun matanya yang basah kembali bersinar
bahagia.
Aku merunduk.
Mengecup bibirnya.
Tubuhnya kurangkul, menciumnya lagi, lantas berbisik di telinganya,
"Bila demikian, Nona.Harus ada seorang ayah untuk anak kita, bukan?"
Nona menangis.
Aku pun menangis.
Lama kemudian baru aku mampu berkata,
"Marilah kita pergi, Nona."

-- Halaman 229 Kolektor E-Book --


"Ke mana?"
"Ke suatu tempat. Di mana tak ada orang lain kecuali kita berdua!"
Nona tertawa renyah.
"Maksudmu, bertiga?" katanya.
"Ya. Bertiga. Dengan anak kita."
Dan aku tertawa bersamanya.
Ketika aku menengadah, mataku beradu dengan matahari di langit cerah.
Matahari cemberut iri.

***

PENUTUP

Detak terakhir mesin tik bergaung panjang kemudian sepi mencekam. Jari-jemari
Ramandita masih menyentuh tuts-tuts mesin tik, namun tak ada lagi gerakan. Tubuhnya
duduk lurus di kursi putarnya.
Dengan mata menerawang.
Jauh.
Sangat jauh.
Bibirnya tersenyum.
Bahagia.
Ia tetap seperti itu, manakala terdengar suara tangis tersendat-sendat. Lalu
Magdalena melompat dari tempat duduknya, berlari ke meja kerja suaminya.Robinson
Tarigan menyisih memberi jalan. Magdalena merangkul suaminya disertai ratap tangis
menyayat hati,
"Rama, cintaku, suamiku, sayangku...."
Kelopak mata Ramandita mengerjap.

-- Halaman 230 Kolektor E-Book --


Lengan-lengannya terkulai, menjauh dari mesin tik, lantas menggelantung loyo di
pahanya. Pelan-pelan lehernya:berputar, mengawasi tempat sekitarnya dengan
pandangan heran. Sewaktu Magdalena menciumnya, ia menghindar, lalu dengan mata
membelalak ia bertanya,
"Siapa kau?"
Magdalena tak tertahankan lagi, memekik ketika Robinson membujuknya dan
membimbingnya duduk dikursi. Ramandita seperti baru menyadari bahwa bukan hanya
Magdalena saja yang ada di dekatnya ia mengawasi Robinson dengan dahi mengerut,
begitu pula sewaktu melihat Aki Juhari yang tertunduk lemas di seberang
mejanya.Ganti-berganti ketiga orang itu ia pandangi lalu bergumam lebih bingung lagi,

"Siapa kalian-kalian ini? Mengapa kalian ada di sini... di manakah aku?"


Tak seorang menjawab.
Semua berwajah pucat.
Lalu muncullah ledakan pertanyaan mengciutkan Itu dari mulut Ramandita,
"Dan... siapa pula... aku?"
Aki Juhari kembali menangis.
Lama baru ia mampu menjelaskan,
"Alam pikirannya telah pergi. Bersama SiNona. Dan... anak mereka!"
"Siapa? Nona yang mana? Anak siapa? Alam pikiran..."
Ramandita menggelengkan kepala dengan susah payah. Lalu berkata dengan suara
memelas.
"Adakah seseorang yang dapat menjelaskan, siapa aku ini sebenarnya?"
Tidak.
Walau dijelaskan pun, ia tidak akan mengerti.
Kecuali bahwa suatu hari, beberapa tahun kemudian,dapat juga ia memahami yang
dikatakan Magdalena ini,

-- Halaman 231 Kolektor E-Book --


"Dengan kau telah melupakan seluruh masa lamamu, kita berdua akhirnya dapat
memulainya lagi..."
"Memulai apa, Lena?"
"Cinta kasih."
Dan itulah yang ia rasakan seterusnya bersama Magdalena. Barangkali demikian
pula halnya dengan alam pikiran Ramandita yang asli.
Beserta Si Nona.
Dan anak-anak mereka.
Di dunia sana.
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan
Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,30 Agustus 2018
Terimakasih
TAMAT

(KOLEKTOR E-BOOK)

-- Halaman 232 Kolektor E-Book --

Anda mungkin juga menyukai