Anda di halaman 1dari 624

Kolektor E-Book

Misteri Lembah Hantu


karya Abdullah Harahap
pembuat djvu : kang Ozan
Sumber Image : Awie
Dermawan
Finish Edit teks dan Pdf : Saiful
Bahri Situbondo.
Ebook ini di persembahkan
Group Fb Kolektor-Ebook
Selamat Membaca !
***
MISTERI LEMBAH HANTU
Sebuah novel karya Abdullah
Harahap Diterbitkan pertama
kali
Oleh Penerbit ALAM BUDAYA
Jakarta Cetakan pertama 1986
Lukisan cover oleh Aji
Soemakno. Dilarang mengutip
tanpa seizin penulis .Hak Cipta
dilindungi undang-undang ALL
RIGHTS RESERVED
***

1
WAKTU menunjukkan sekitar
pukul dua dinihari ketika
Martubi meninggalkan rumah
untuk membuka tali air ke sawah
miliknya. ia kebagian giliran
selama dua jam. Lebih dari
cukup, mengingat sawahnya
cuma beberapa kotak saja.
Tetapi ia tetap harus muncul
sesuai jadwal. Karena kalau
tidak, Ki Sukriya yang tamak itu
dengan senang hati akan
mencuri air siapa saja untuk
mengairi sawahnya yang
luasnya berbahu-bahu, bila
perlu dengan mengupah
beberapa tukang pukul.
Syukurlah, musim sedang baik
dan biasanya sekitar pukul tiga
seperempat sawah Martubi
sudah kecukupan air. Sehingga
tukang-tukang pukul Ki Sukriya
tak perlu menggertak Martubi
agar cepat-cepat menutup tali
air kembali, meski giliran
Martubi masih bersisa empat
puluh lima menit lagi. Kalau
tukang pukul Ki Sukriya lengah,
maka waktu yang tersisa itu
dimanfaatkan Martubi untuk
membuka tali air ke sawah milik
Nyi Sarijah yang kebagian
giliran pukul tujuh pagi.
saat-saat mana arus air makin
sedikit. Nyi Sarijah seorang
janda beranak empat. Tidak
terlalu cantik. tetapi tubuhnya
montok berisi. Dan bila ia
tersenyum. senyuman Nyi
Sarijah seakan mengundang
bibir lelaki untuk memagutnya.
Sayang Nyi Sarijah teramat
mencintai almarhum Suaminya
ia lantas menjaga jarak dengan
lelaki mana saja. biar sudah
duda seperti Martubi. Tak apa.
Biar cuma dihadiahi senyuman
doang. Martubi mau saja
memberaki muka tukang pukul
Ki Sukriya demi janda beranak
empat itu.
Hampir beku kedinginan karena
udara lembab berkabut. Martubi
berjongkok merembes masuk ke
sawah yang padinya sudah
setinggi lutut. Sambil menikmati
kehangatan rokok linting yang
menempel di mulut. ia
memikirkan kapan waktu yang
paling tepat untuk mengingatkan
Nyi Sarijah bahwa suaminya
sudah lama jadi tulang belulang
dan perempuan itu lebih
membutuhkan seorang laki-laki
yang utuh untuk membimbing
anak-anaknya yang masih
bocah; dan untuk mengeloni
tubuh montoknya yang sayang
kalau dibiarkan 'terbuang'
sia-sia. Apalagi Martubi tidak
punya tanggungan lain kecuali
batang tubuhnya seorang.
Batang tubuh yang rela
diapakan saja Oleh Nyi Sarijah,
ketimbang harus kedinginan
membeku seperti sekarang ini ..
Tak tahan membayangkan
keelokan tubuh Nyi Sarijah,
Martubi bangkit dan berjalan
tersuruk-suruk ke dangau.
Lamunannya bisa lebih
dikembangkan di kehangatan
dangau itu, sambil berharap
tukang-tukang pukul Ki Sukriya
tidak muncul sebelum pukul
empat subuh. Ia baru saja akan
melangkah naik sewaktu dari
balik dinding dangau ia
mendengar bunyi mendengkur.
Martubi tertegun. Apakah salah
seorang tukang pukul Sukriya
telah datang lebih dulu, untuk
menggertak Martubi agar
melupakan saja janda
idamannya itu"
Dengan perasaan cemas
Martubi menyelinap hati-hati
lewat pintu dangau dan
menampak bayangan sesosok
tubuh dalam kegelapan malam,
meringkuk di pojok dangau.
Lampu senter Martubi
mula-mula menangkap kaki
bersepatu dan ujung celana dari
bahan jean yang sudah lusuh.
Jelas. orang yang tidur itu
bukanlah tukang pukul Ki
Sukriya. Kepastiannya terbukti
manakala sorot lemah lampu
senter yang baterainya sudah
semestinya diganti beberapa
hari lalu..., menerpa seraut
wajah muda belia namun
tampak sudah matang oleh
kehidupan.
Martubi segera tersadar.
Bahwa. adalah keliru kalau ia
mengatakan pada Nyi Sarijah
bahwa ia tidak punya
tanggungan apa-apa. Ia masih
punya tanggungan. Paling tidak,
itulah yang diingatkan Dudung,
polisi desa. dua hari yang lalu.
Dan tanggungannya itu kini
pelan-pelan membuka mata,
kemudian serempak duduk
terkejut dengan sikap siap untuk
membunuh siapa saja yang
cobacoba menjamah tubuhnya
tanpa seizin dirinya.
Mart ubi sempat terlompat
mundur dua langkah, manakala
cahaya senternya menangkap
kilatan pisau komando yang
tergenggam di tangan pemuda
itu. Sebelum terjadi sesuatu yang
tidak dikehendaki, Martubi
berseru tertahan: "Jadah ! Kau
hampir membunuhku,
Margono!"
Pisau itu menjauh dari wajah
Martubi. Disusul suara bisikan
serak: "Kau itu, Kek?"
Martubi memadamkan
senternya. "Mengapa kau ke
sini" '
"Ini tempat paling aman untuk
menunggu dan bertemu dengan
Kakek. Aku...," Pemuda itu
menguap lebar kemudian
mengernyit menahan sesuatu di
perutnya: "Aku lapar, Kakek
bawa makanan?"
"Dapat kuambilkan."
"Rokoknya saja dulu. Kek!"
Dalam kegelapan, Martubi
melintingkan rokok untuk
cucunya. Bertanya hati-hati:
"Tak
ada yang tahu kau ke sini?"
"Mudah-mudahan tidak. Aku
turun dari truk
pengangkut pasir itu jauh dari
pertigaan desa
Menerobos lewat perkebunan
kopi. Kegelapan malam
menolongku tidak sampai
dikenal orang-orang yang
berpapasan di jalan, sampai
akhirnya aku tiba di dangau ini
dan langsung tertidur saking
letih dan lapar. . . ."
"Mereka mencarimu," desah
Martubi hatihati.
"Polisi?"
"Ya. Kata mereka kau telah..."
Martubi menggantung
kata-katanya.
Pemuda itu paham, menarik
nafas berat dan getir lantas
berusaha membela diri: "Aku
terpojok, Kakek. Lolos dari
penjara dengan bantuan dua
orang penjaga yang makan
suap, polisi itu melihatku secara
kebetulan dan sialnya, ia
mengenali aku pula. Ia
menyambar pistolnya. Malang
buat dia, pisauku lebih cepat...."
Si pemuda kembali menghela
nafas. Bertanya khawatir:
"Kuharap saja dia masih. .. ."
"Mereka bilang, korbanmu itu
sudah mati, Margono. Dua jam
setiba di rumah sakit! "
"Ahhh...."
"Kau tak boleh lama-lama di
sini."
"Kakek takut?"
"Tidak. Nenekmu sudah lama
mati karena memikirkan
ayahmu. Ayahmu pun kemudian
mati, karena memikirkan
engkau. Tak lama lagi, kukira
aku akan menyusul mereka. Dan
bila saat itu tiba juga akhirnya,
aku tidak ingin membawa
kenangan buruk bahwa aku
membiarkan pewarisku yang
tinggal satu-satunya mati di
pangkuanku tanpa aku mampu
menahannya...."
"Itu tidak akan terjadi, Kakek.
Aku berjanji akan segera pergi.
Aku cuma perlu uang...."
"Heem. Sudah kuduga. Tetapi
kau punya kawan-kawan, kalau
tak salah ."
"Beberapa ikut terpenjara,
Kakek. Yang masih berkeliaran
di luar, sudah sedemikian takut
sehingga tidak seorang pun
bersedia ditemui.... Babi busuk,
mengapa polisi itu tidak
membiarkan aku, heh"!"
"Tak usah menyalahkan
siapa-siapa, Margono. Juga
tidak dirimu. Kakek dan
nenekmulah yang salah.?"
Sementara ia pergi
mengambilkan makanan,
pakaian dan uang secukupnya ke
rumah, Martubi menangisi
dirinya dan almarhumah
istrinya. Ia dan istrinyalah yang
patut disalahkan untuk semua
ini. Karena dulu ia begitu
bangga pada kekayaannya, dan
istrinya begitu memanjakan
putra tunggal mereka.
Kebanggaan dan kemanjaan itu
tetap mereka pertahankan tanpa
malu-malu. ketika suatu hari
seisi kampung gempar.
Sumargo, putra mereka yang
hanya sebiji mata wayang itu
diringkus sendiri oleh Pak Lurah
setelah diperoleh cukup bukti

bahwa Maryati hamil akibat


perbuatan bejat
Sumargo.
Waktu itu Martubi berkata pada
Pak Lurah dengan angkuh:
"Kami tidak akan melepaskan
tanggung jawab!" la lupa,
bahwa waktu itu Maryati baru
berusia 12 tahun, dan Sumargo
hanya lebih tua tiga tahun dari
si gadis yang ia hamili. Tanpa
malu-malu pula, pesta
perkawinan diadakan
besar-besaran. Dengan royal
Martubi menghamburkan
sejumlah uang untuk menutup
mulut sejumlah tetangga yang
suka bergunjing. Baru beberapa
tahun kemudian Martubi dan
istrinya menyadari satu hal: apa
yang mampu diperbuat seorang
suami yang masih gemar
mengejar layang-layang putus,
sementara istrinya di rumah
membersihkan ingusnya saja
masih perlu dibantu"!
Tidak. Tidak sesuatu apa pun
yang dapat dilakukan oleh
Sumargo. termasuk ketika suatu
hari istrinya minggat dengan
seorang mahasiswa dari kota.
Sumargo hanya bisa
berteriak-teriak sambil
memukuli anaknya yang waktu
itu baru menginjak usia lima
tahun. Puas memukuli anaknya,
Sumargo akan mendesak
orangtuanya -kalau perlu
dengan mencuri; untuk
mendapatkan sejumlah uang
buat bermabuk-mabukan dengan
teman-temannya sebaya.
Sumargo mencintai Maryati
teramat sangat. Dan tidak ada
yang dapat menahannya ketika
akhirnya Sumargo memutuskan
untuk mencari istrinya ke kota.
Ia bersikeras membawa
Margono yang masih bocah,
dengan keyakinan seorang ibu
pasti sadar kalau melihat
anaknya menderita.
Ternyata Sumargo gagal. Gagal
mencari istrinya yang khianat
itu. Gagal mengurus dirinya
sendiri. apalagi harus mengurus
anaknya. Dan kegagalan itu.
lagi-lagi diakibatkan kesalahan
Martubi dan istrinya". antara
lain disebabkan uang terus
mengalir dari kampung. Berapa
saja diminta oleh Sumargo. Biar
misalnya Martubi mendengar,
sebagian besar uang itu
dihamburkan Sumargo di
rumah-rumah pelacur.
sementara anaknya di rumah
kelaparan. Margono yang
malang terpaksa mengharap
belas kasihan para tetangga
yang baik hati. Bila yang
menaruh belas kasihan tidak
punya apa-apa lagi untuk diberi.
atau juga bosan memberi terus
menerus, maka Margono nekat
mencuri. Apa saja yang bisa
dimakan atau bisa dijual untuk
membeli sesuatu yang dapat
mengganjal perutnya yang
kelaparan. Bersamaan dengan
perkembangan usia. kebutuhan
Margono ikut pula berkembang.
Ia menjadi langganan kantor
polisi atau jeruji besi penjara.
Dan Martubi lagi dan lagi.
terpaksa harus mengeluarkan
uang. Menggadaikan lalu
kemudian menjual sawahnya.
sekotak demi sekotak. Sebuah
pengorbanan besar. yang
ternyata tidak memberi arti
apaapa. Istrinya meninggal
dunia karena tekanan batin. Dan
Sumargo kemudian menyusul.
Sumargo tidak lagi mampu
memukuli anaknya. Sebaliknya,
dialah yang dipukul setiap kali
mencoba menasihati anaknya . .
..
***
SELAGI cucunya makan dengan
lahap di dangau. Martubi pergi
menutup tali air. Gilirannya
masih tersisa sekitar satu jam
lagi. Tetapi ia begitu
mengkhawatirkan cucunya. Anak
buah Ki Sukriya tidak boleh
mengetahui kehadiran Margono.
Martubi tidak pula ingin
bertengkar dengan mereka
karena lagi-lagi mengambil hati
Nyi Sarijah. Maka dengan
mengutuk panjang lebar ke
alamat Ki Sukriya, saluran
irigasi langsung ia salurkan ke
sawah petani kaya raya itu.
Sawah yang sebagian darinya
dahulu adalah milik Martubi
yang kemudian terpaksa ia jual
teramat murah akibat belitan
hutang selilit tubuh.
Kembali ke dangau ia temui
Margono tengah asyik
menikmati sebatang rokok.
sambil berselonjor di lantai.
Pemuda itu tampaknya kembali
didatangi kantuk dan siap untuk
tidur kembali. Terpaksa Martubi
mencegah dengan kata
peringatan
"pagi bakal datang .margono !"
pemuda itu menguap.
menggerutu panjang pendek
lantas berbenah diri untuk
berangkat!
" Apakah kau akan menyerahkan
diri !' tanya Martubi ingin tahu .
Margono tertawa bergelak"
Setan .Tentu saja tidak'
sudah kuduga. pikir Martubi
dengan gundah gulana "kemana
kau akan bersembunyi" . ..
"Berapa lama kau bisa lari ?"
"Entah "
"Kau perlu makan untuk tetap
hidup. "
" Siapa pula yang tidak?"
Jawaban cucunya yang
terdangar sarkastis. tidak
membuat Martubi sakit hati.
Salahku. Pikirnya. menyesali
diri. Lalu akhirnya ia
kemukakan apa yang sempat
terpikir olehnya selagi
mengambil bekal ke rumah
untuk cucunya. Bebarapa saat ia
bimbang karena tahu reaksi
yang bakal ia peroleh. Namun
karena tidak ada pilihan lain
dan meski baru berusia tak lebih
dua puluh tahun. Margono
tampaknya sudah cukup dewasa
dan matang untuk mengetahui
kenyataan yang sebenarnya.
Maka dcngan hati hati Martubi
bergumam:
"Ada seseorang. Pada siapa kau
dapat bersembunyi. bahkan
dapat perlindungan. "
Margono tertegun. Dalam
remang-remang cahaya dinihari
menjelang subuh itu. ia awasi
wajah kakeknya dengan
pandangan curiga. "Siapa" Di
mana?" Ia bertanya, bernafsu
Martubi menelan ludah. "Desa
Lamping." desahnya. segan. "Di
sisi sana gunung. Dengan naik
ojek dan kendaraan penumpang.
hanya diperlukan tempo tak
sampai lima jam. Tetapi kau tak
mungkin keluar terang-terangan.
Maka. kau harus pergi lewat
sungai. menyusuri lembah,
mendaki bukit-bukit_. . . ."
"Aku pernah dengar tentang
desa Lamping. Kalau tak salah,
ayah pernah membawaku ke
sana. waktu ibu masih bersama
kami... "
Lagi Martubi menelan ludah.
Katanya: "Pada dia lah kau
harus pergi."
"Dia siapa" Ayah kan sudah
lama. ?"
"Bukan ayahmu. Tetapi Maryati.
ibumu."
"Aneh..."
"Tidak, cucu. Karena ibumu.
ada di desa Lamping sekarang
Ini. Mudah bagimu menanyakan
alamatnya. Karena ia sudah
diambil istri oleh Lurah desa itu.
Dan...."
Belum habis ucapan Martubi,
reaksi yang ia tunggu segera
menjadi kenyataan. Margono.
dengan lengan-lengannya yang
kokoh kekar menerkam ke depan
dan mencengkeram kerah
leher baju kakeknya. 'Jadi ayah
dan kakek
mendustaiku selama ini. . . .! "
Martubi merasa lehernya
tercekik. Nafasnya sesak. Susah
payah ia berkata: "Demi...
kebaikanmu. cucu. Ayahmu tak
tahan setiap kali kau
menanyakan tentang ibumu yang
tidak tentu rimbanya itu. Dan
aku... aku akhirnya ikut"
membenci Maryati... seperti
ayahmu juga membencinya...."
Margono terkejut mengetahui
kakeknya seperti orang sekarat.
Cekalan di kerah leher baju
orangtua itu ia lepaskan. la
biarkan kakeknya mengatur
nafas sebentar. Lantas dengan
suara tergetar, ia merintih:
"Jadi... ibu masih hidup. Betapa
mustahil rasanya. setelah..."
Beberapa menit lamanya
pemuda itu menceracau tak
menentu, melamun, menceracau
lagi. melamun, tak ubahnya
orang hilang akal.
"Ibumu kembali beberapa bulan
yang Ialu...." Martubi
menjelaskan, setelah
paruparunya terasa lebih
longgar. "Setelah belasan tahun,
mendadak ia pulang! Aku
bahkan... hampir tak dapat
mengenali dirinya. Sampai ia
sendiri yang datang menemui.
Dan bertanya... tentang
dirimu...."
Secara ringkas Martubi
menceritakan pada cucunya
tentang apa yang ia dengar dan
ketahui mengenai bekas
menantunya itu. Maryati
katanya bercerita bahwa di kota
ia telah kawin cerai sampai tiga
kali. ia tak pernah bahagia. Dua
orang anaknya dari tiga
perkawinan itu, dirampas oleh
bekas suami atau mertuanya.
Bertahun-tahun ia kemudian
harus berjuang untuk hidup di
kota. Berjuang sendirian, tanpa
keberanian pulang ke kampung
halaman. Lalu secara kebetulan
lurah desa Lamping bertemu
dengannya. Mereka saling
mengenal, meski perbedaan usia
mereka cukup jauh. Juga masih
ada pertalian famili. Sebelum
lurah itu pulang ke kampung, ia
menemui Maryati dan
melamarnya jadi istri kedua.
Istri pertamanya tidak
keberatan, karena tujuan
perkawinan yang ke dua kalinya
itu lebih dititikberatkan Pak
Lurah untuk memperoleh
keturunan. Istri pertamanya,
mandul.
"Ibumu bersedia." tutur Martubi
sebagai
mana ia dengar dari penuturan
Maryati pula: "Tetapi ibumu kini
lebih berhati-hati. ia tidak mau
lagi dicampakkan begitu saja.
Maka ia
memberi syarat. Hanya satu
syarat. Bahwa ia akan mencari
anak yang pernah ia
terlantarkan. dan membawa
anak itu dalam hidup
perkawinan bersama calon
suaminya yang baru.... ia akan
melakukan apa saja demi kau.
Margono. Untuk menebus
dosa-dosanya di masa lalu."
"Lalu, mengapa...."
"Waktu itu kau masih di penjara.
Aku tak
mau membuat malu ibumu. Jadi
kubilang: nantilah, dia akan
kucari. Maksudku, kau bebas
dulu dari penjara baru aku bawa
kau kepadanya...." Martubi
membuang puntung rokoknya
yang sudah lama padam,
kemudian meneruskan: "Lurah
desa Lamping tak sabar
menunggu. Ibumu tidak melihat
jalan lain. Maka ia pun naik ke
pelaminan. Dengan didahului
perjanjian hitam di atas putih.
Bahwa. kau dinyatakan sebagai
salah seorang pewaris lurah
desa itu! "
Mereka masih mempercakapkan
beberapa hal lainnya, sampai
tiba waktunya berpisah. Martubi
mengulangi beberapa petunjuk
yang harus diikuti cucunya
selama menempuh jalan
alternatif lewat lembah yang
menyisir gunung. "Kalau kau
tidak tersesat. menjelang sore
kau sudah akan bertemu ibumu.
Kecuali kalau kau masuk
perangkap...."
" Perangkap?"
" Bukan polisi. Tetapi penghuni
lembah."
"Maksud Kakek?"
"Jarang orang mau ke lembah
itu, kecuali kalau terpaksa.
Mereka yang pernah
melakukannya, ada yang tak
pernah kembali. Benar,
kebanyakan dari mereka kembali
juga ke rumah. Setelah
menghilang berbulan-bulan. Itu
pun, pulangnya dengan tubuh
kurus kering. Pucat , dan
umumnya lupa ingatan. . . ."
"Ah. . masa iya?"
"Jangan menyepelekan. Semua
orang menamai lembah itu.
Lembah Hantu! "
Margono hampir tertawa
bergelak. Ia yang sudah terbiasa
hidup keras di kota yang sama
kerasnya, selalu menganggap
omongan sejenis itu sebagai
kepercayaan tahayul penduduk
penduduk pedalaman yang cara
berpikirnya serba terbelakang.
Namun ia tidak ingin kakeknya
yang begitu banyak berkorban
demi dia, tersinggung hatinya.
Maka dengan menahan tawa di
perut yang sudah dijejali
makanan secukupnya, Margono
bertanya ingin tahu :
" Bagaimana bentuk perangkap
itu?"
"Astaga. Mana aku tahu, cucu.
Namanya juga perangkap gaib.
Perangkap siluman. . .!"
"Jadi?" .
"Yang penting, kau ikuti saja
jalan setapak yang kugambarkan
tadi. Jalan yang sudah biasa
dilalui para pencari rotan.
Jangan menyimpang. Walau
hanya satu langkah!"
"Wah...." Margono memikirkan
kemungkinan itu. Tak boleh
menyimpang. Walau hanya satu
langkah. Astaga! Diam-diam
keinginan tertawa itu
menggelitik lagi. dan ia
melampiaskannya dalam
perkataan berseloroh:
"Bagaimana kalau aku
misalnya... terpeleset?"
Martubi menjawab tegas: "Tidak
boleh ."
"Tidak boleh terpeleset?"
"Benar. Tidak boleh terpeleset!"
Bukan main.
Tetapi apa salahnya dicoba"
Margono mencium tangan
kakeknya. Dan begitu bedug
subuh terdengar bertalu-talu di
kejauhan. pemuda itu melangkah
turun ke sungai tanpa berpaling
lagi ke belakang. Di sebuah
titian bambu, ia menyeberang.
Dan setelah mendaki sebuah
bukit terjal. Margono langsung
disambut kehangatan cahaya
matahari pagi.
Dari puncak bukit, ia menatap
lembah temaram kebiru-biruan
di depannya. la mendaki dan
menuruni dua bukit lagi, sampai
akhirnya bibir hutan menganga
di hadapannya. Lidah matahari
menjilati semak yang
membelukar liar, di antara mana
berdiri batang-batang
pepohonan raksasa yang tegak
kokoh, perkasa dan berbaris
tanpa suara sebagai penjaga
hutan yang setia. Semakin lama
Margono mengawasi, semakin ia
sadari bahwa lebih ke dalam
dari hutan itu, suasana tampak
legam. Suram.
Sesaat dadanya bergetar.
Seakan tercium olehnya bau
misterius di balik barisan
penjaga hutan itu. Tidak! Ia
tidak boleh mempercayai
kegaiban yang diutarakan
kakeknya. Ia hanya harus
percaya dan yakin pada satu
hal: bahwa
dibalik barisan penjaga hutan
yang angkuh dan perkasa itu
polisi pasti kewalahan mencari
buronan mereka. Ia akan aman
di sana. Bersama hantu-hantu
penghuninya. . . .
****
BAB 2
MARGONO memang senang
mendengarkan kisah-kisah
menyeramkan tentang hal-hal
gaib atau hantu-hantu
gentayangan. Namun untuk
mempercayainya, nanti dulu.
Apalagi merasa takut
karenanya. Apa yang ditakuti
Margono hanyalah ditangkap
polisi, lalu digebuki sampai
babak belur sewaktu diperiksa
supaya ia mau mengakui
kejahatan-kejahatan apa saja
yang telah ia lakukan. Atau, ia
juga takut bila suatu pagi ia
terbangun dan menyadari tidak
punya uang." sedang mencuri
atau merampok ia tak berani
karena masih harus bersembunyi
dari kejaran polisi.
Untunglah, ia hampir tak pernah
sampai kelaparan. Linda dan
Ningrum, dua orang pelacur
muda dan cantik yang ia pacari
secara bergiliran, bersedia
menolong kapan saja Margono
ingin. Ningrum atau Linda
sebaliknya tidak pernah merasa
takut berurusan dengan polisi,
karena mereka punya modal
tubuh montok serta wajah
cantik. Apa yang ditakutkan
pelacur-pelacur itu adalah kalau
mereka harus kehilangan
Margono. Hanya dengan
Margono mereka dapat
menikmati permainan ranjang
dengan sepenuh hati, bukan
cinta se mu dengan embel-embel
uang. Margono selain tampan.
memang jagoan dalam bermain
ranjang. Untuk dapat tetap
menikmati kejagoan Margono,
pelacur-pelacur itu bersedia
melakukan apa saja yang
diminta Margono.
Tetapi mereka segera
menghindar dengan ketakutan,
begitu mendengar Margono
membunuh seorang sersan
polisi. Dunia mereka atau dunia
Margono sama hitamnya.
Peraturan-peraturannya juga
hampir sama, tertulis atau tidak
tertulis. Salah satu peraturan tak
tertulis itu berbunyi: tidak ada
ampun buat seorang pembunuh
polisi, atau siapa pun yang
coba-coba melindungi si
pembunuh polisi itu. Tak ada
jalan lain. Margono terpaksa
minta perlindungan kakeknya,
suatu hal yang langka ia
perbuat, karena tidak ingin
kakeknya ikut celaka.
Ternyata kakek pun
menyuruhnya pergi. Bukan
karena takut dirinya ikut celaka.
Cinta kakek pada Margono
sama besar dengan cinta
Ningrum maupun Linda, meski
dengan motif berbeda. Kakek
menyuruh Margono pergi
adalah demi keselamatan
Margono sendiri. Kau dapat
bersembunyi dengan aman di
tempat ibumu, begitu kata kakek.
Ibunya masih hidup!
Sungguh menakjubkan. Itu
adalah satu satunya keajaiban
yang sering dinikmati Margono
di kala tidur. namun tak pernah
berani ia harapkan di kala hari
terjaga.
Ketika melangkahkan kaki
memasuki mulut Lembah Hantu,
Margono terkenang saat-saat
manis ketika ia masih bocah.
Kalau Margono terjatuh. ibunya
akan menjerit ketakutan. Atau
menangis, bila ibunya sudah
kewalahan mengatasi kenakalan
anaknya yang kelewat batas.
Pernah Margono ngompol di
dada ibunya. Perempuan itu
bukannya marah. Malah
tertawa. Margono tidak ingat
lagi apa yang diomelkan ibunya
selagi tertawa. Yang ia ingat.
ibunya langsung membuka
blouse dan kutangnya yang
basah kuyup, dan mendelik
ketika Margono menunjuk
seraya berkata: "Wah. dada ibu
besar yaaa...! "
Semua kenangan itu hanya
terbayang samar-samar karena
telah lampau belasan tahun
lamanya. Yang membekas nyata
dalam ingatannya adalah wajah
ayahnya yang memerah padam
ketika beberapa tahun kemudian
Margono bertanya mengapa ibu
tidak pernah pulang ke rumah.
"Sudah berapa ratus kali
kuingatkan, jangan tanya-tanya
ibumu lagi. Ibumu sudah lama
mati!"
"Ibumu lari dengan laki laki
lain," kata ayahnya suatu hari.
sewaktu ayahnya mabuk berat.
"Kalau begitu, ibu masih
hidup...."
"Ia sudah mati! "
"Sakit apa?"
"Bukan sakit. Laki-laki itu
membunuhnya! Mayatnya lalu
dikuburkan. Entah di mana, tak
ada yang tahu. Karena laki-laki
itu juga kemudian mati. Bunuh
diri."
Dalam keadaan mabuk,
seseorang suka lepas omong
mengenai hal-hal yang
sebenarnya. bukan dusta. ltulah
sebab mengapa Margono
percaya ibunya sudah
meninggal. Setelah sekarang ia
mendengar ibunya masih hidup,
Margono lantas berpikir. Bahwa
apa yang diucapkan ayahnya
selagi mabuk, adalah apa yang
menjadi trauma dalam jiwa
ayahnya. Trauma yang terus
mendarah-daging. sehingga apa
yang tadinya cuma trauma, oleh
ayahnya lantas diyakini sebagai
suatu fakta yang sesungguhnya.
...
MARGONO tersentak kaget
waktu mendengar suara berisik
ribut di sebelah kirinya. Ia
melihat bayang-bayang kecil
hitam dan jumlahnya ada
puluhan. melesat dari semak
belukar rimbun ke arah
dedaunan yang lebih rimbun di
atas sana. Rupanya sekelompok
burung telah dikejutkan oleh
suara berderak ranting tua dan
rapuh yang terinjak oleh
Margono.
Sambil memaki, Margono
kembali menyarungkan pisau
komando yang secara naluriah
telah ia genggam. Suatu
kebiasaan yang ia selalu
lakukan bila ia terancam bahaya
atau bila ia terdesak. Sadar
bahwa ia masih memiliki sebilah
pisau komando yang telah
berulangkali menyelamatkan
dirinya, Margono semakin
memantapkan hati. Tidak ada
yang perlu ia takutkan di hutan
belantara ini. Kecuali
barangkali binatang buas, yang
tiba-tiba menerkam sebelum ia
siap.
Dengan tangan kiri tetap
memegang simpul bungkusan di
pundak dan tangan kanan
memegang gagang pisau yang
terselip di pinggang, Margono
meneruskan perjalanan. la lebih
berhati-hati kini. Karena
semakin jauh ia berjalan
memasuki hutan, suasana sekitar
makin gelap dan suram. Jalan
setapak yang harus ia tempuh
pun makin mengecil. Bahkan di
beberapa tempat seperti lenyap
begitu saja, seolah itu adalah
akhir perjalanan orang-orang
sebelum Margono. yang kesasar
sampai ke tempat itu dan
memutar langkah ke arah
semula.
Margono mengamat-amati
dengan seksama, dan akhirnya
dapat melihat jalan setapak
membelok di antara dua batang
pepohonan raksasa yang tegak
diam dan kaku di antara semak
yang membelukar. Di tempat itu.
matahari tak membias sedikit
pun karena rimbun nya
dedaunan pohon-pohon raksasa.
Bahkan batang-batang
pepohonan sampai dilapisi
lumut tebal, dingin. dan licin.
Harap-harap cemas kalau jalan
setapak benar-benar hilang dan
ia kehilangan arah, Margono
mengutuk kegelapan hutan.
Seakan saat itu menjelang
tengah malam, padahal ia tahu
betul hari baru sekitar pukul
sepuluh atau sebelas siang.
Udara lembab pula .Bau humus
yang sudah lama mengendap,
sungguh tak enak di hidung. Di
satu tempat, malah tercium bau
bangkai menyengat dan
membuat Margono ingin
muntah.
Suatu saat, ia melihat bias
matahari di kejauhan. Margono
mempercepat langkah. terpeleset
sekali, bangkit lagi dan dengan
bersemangat berjalan ke arah
yang lebih terbuka dan
benar-benar bersiram cahaya
matahari. Jalan setapak
nyata-nyata terlihat di padang
ilalang setinggi pinggang.
Tetapi keadaan sekitar begitu
sepi mencekik. Bahkan angin
pun seakan tak berani bertiup,
sehingga padang ilalang itu
tampak tegang . diam membisu
seolah kehadiran Margono tidak
disukai.
Namun dengan senang hati.
Margono menerobos pada
ilalang yang tampak tak
bersahabat itu. Karena di tempat
terbuka itu ia dapat merasakan
kehangatan cahaya matahari.
Lamat-lamat terdengar pula
suara air mengalir. Berpedoman
pada suara itu tanpa sadar ia
meninggalkan jalan setapak dan
tiba di sebuah sungai kecil
berbatu-batu, yang airnya
mengalir deras namun hening
bagaikan kaca.
Margono melemparkan
bungkusan bekal dan lari
mencebur ke dalam air. Ia
basahi wajah dan rambutnya,
bahkan pakaiannya. la minum
air jernih itu sepuas-puasnya.
Kembali ke darat, ia buka
bungkusan, duduk santai sambil
menikmati makan siang
seadanya yang dibekali oleh
kakeknya. "Coba kalau si Linda
ikut," pikirnya getir sembari
membayangkan gadis itu berdiri
telanjang di permukaan batu di
tengah sungai, meliuk liukkan
tubuh mengundang Margono
untuk sama-sama menikmati
cahaya matahari. Kemudian
bermain cinta di atas batu itu
juga, dan."
Margono tiba-tiba terkesiap.
Dari balik permukaan batu
besar dan pipih di tengah sungai
itu. pelan-pelan muncul sesuatu
berwarna hitam pekat
bersinar-sinar, lalu sesuatu yang
putih. disusul... sepasang mata.
Astaga! Itu adalah rambut
basah. dahi, lalu sepasang mata
cemerlang membelalak
memperhatikannya. Margono
sampai terpekik kaget.
dan sesuatu itu lenyap pula
seketika. Masih kaget, Margono
tetap duduk diam, mematung.
mengawasi batu besar itu.
Beberapa saat, tak tampak
apa-apa. Tak terlihat apa apa.
Lalu. sesuatu tadi muncul lagi,
kali ini lebih ke atas, lebih
berani.
Kini tampaklah seraut wajah.
Jelas bukan wajah Linda. Bukan
pula Ningrum, Nelly, Kiky. atau
Susi. itu bukanlah wajah yang
pernah ia kenal. Begitu banyak
wajah cantik rupawan yang
telah ia lihat bahkan nikmati.
Namun yang satu ini.
keelokannya luar biasa.
Margono ternganga. Potongan
ayam goreng di tangannya.
terjatuh tanpa ia sadari. Begitu
pula butir-butir nasi di dalam
mulut yang sebelumnya tengah
ia kunyah. Semua jatuh
berleleran ke pangkuannya, dan
ke sisa bekal yang belum ia
sentuh. Dalam ketakjubannya,
Margono sempat teringat
cerita-cerita yang sering
menjelma menjadi manusia.
Jangan-jangan, apa yang
terlihat nyata di depan matanya
adalah. . . .
"... siapa kau?" bibir merah
ranum itu setengah terbuka,
memperdengarkan suara halus
dan tajam.
lama, Margono baru bisa
membuka mulut: "... aku, aku...."

" Mengapa kau ke sini"! " Suara


itu bernada teguran ketimbang
pertanyaan.
'Aku...."
"Ini tempatku bermain! "
"Maaf. Aku...."
"Eh. jangan cuma ngomong.
Ambilkan pakaianku, lekas.
Lemparkan kemari!" Perempuan
itu lagi-lagi memotong dengan
nada perintah.
"Pakaianmu"!" tanya Margono.
Bingung ia melirik ke kanan.
melirik ke kiri, menoleh ke
belakang. Lantas cepat lagi
berpaling ke depan, setengah
berharap apa yang tadi ia
dengar dan lihat hanyalah
fatamorgana hampa karena ia
sebelumnya asyik melamunkan
kehadiran Linda di tempat yang
sama. Tetapi wajah cantik itu
masih tetap ada di sana, kini
dengan leher jenjang dan
pundak telanjang yang mulus.
Suaranya pun terdengar nyata:
" Di atasmu!"
Mau tidak mau. Margono
menengadah. Rupanya tanpa ia
sadari ia telah duduk
beristirahat di bawah sebatang
pohon bercabang cabang
rendah. Salah satu cabang
paling bawah yang patah, jelas
digantungi oleh seperangkat
pakaian wanita; blus merah, rok
hijau lumut. celana dalam krem.
Ketika menggapainya satu
persatu. Margono sempat
memperhatikan bahwa selain
tiga potong itu tidak ada lagi
yang lainnya, khususnya beha.
Ia tersenyum memikirkannya,
kemudian bergerak akan turun
ke sungai menakala si
perempuan menghardik:
"Eee. Kubilang, lemparkan.
Jangan coba coba mendekat!"
"Kalau aku mendekat?" Entah
mengapa. timbul keberanian
Margono. Pakaian si perempuan
ia genggam erat-erat. Sewaktu
ia masih remaja belia, ia pernah
membaca sebuah komik tentang
tujuh bidadari yang turun ke
bumi untuk mandi di sebuah
telaga. Mereka dipergoki
seorang lelaki pengelana, yang
kemudian nekat
menyembunyikan salah satu
pakaian bidadari itu. sehingga si
bidadari yang malang tak dapat
kembali bersama bidadari
lainnya ke balik awan tempat
asal mereka. Si bidadari
terpaksa menetap di bumi jadi
istri si pengelana. dengan
beberapa syarat yang harus
dipenuhi.
Menatap ke tengah sungai,
Margono hampir tidak percaya
bahwa ia telah melihat bidadari.
Lalu ketika ia melirik ke pakaian
di tangannya, ia lebih tak
percaya lagi. Bidadari di komik
itu berpakaian putih. secarik
kain tak berjahit. Yang ini, jelas
kain 'warna-warni. buatan
manusia , dijahit dengan model
paling mutakhir. Bidadari
modern, barangkali"
Senyuman Margono semakin
lebar. "Hei," ia berseru pada
perempuan itu. "Kalau
pakaianmu kuberikan, apakah
kau akan kembali ke langit?"
"Ke langit" "ganti perempuan itu
yang tercengang.
"Ya, Ke langit Karena di
sanalah kau tinggal
bersama-sama
saudara-saudaramu sesama
bidadari."
"Eh. jangan ngomong ngaco!" Si
perempu-an mendelik "Aku
manusia biasa seperti kau.
Aku tidak punya saudara,
kecuali seorang a-yah dengan
siapa aku tinggal selama ini. Di
sana!"
Ia setengah mengangkat
tubuhnya,
menunjuk ke arah lereng bukit di
kejauhan
Tak ada petunjuk apapun bahwa
ada manusia
tinggal di tempat yang ia tunjuk,
karena lereng
bukit itu tampak menghijau oleh
pepohonan
yang rapat dan rimbun. Hal itu
tidak terlalu di-
pikirkan Margono. Apa yang
berkecamuk dalam pikirannya
adalah apa yang barusan
sempat terlihat ketika si
perempuan mengangkat
tangannya untuk menunjuk, dan
dengan sen-dirinya bawah bahu
si perempuan juga ikut
ter-angkat. Gambaran payudara
telanjang yang
terlihat sekilas itu, diam-diam
menggetarkan
kelelakian Margono
Ia berkata: Kau bukan manusia
biasa."
"Sudah kubilang...
Kalau kau manusia biasa,
perlihatkanlah
seluruh tubuhmu. Siapa tahu kau
ini seekor
ikan duyung"

"ikan duyung?" "Yah. Ke atas


berwujud manusia Kebawah.
berwujud ikan."
Seketika bersemu merah wajah
perempuan itu. "Kau mau
membodohi aku ya?"
"Tidak. Aku cuma perlu bukti,"
jawab Margono.
" Uh. Tak punya malu!"
" Apa boleh buat ."
"Aku tak sudi."
"Hem. Baik " Dan Margono
kembali ke tempat semula, duduk
dengan santai, sambil
menggulung pakaian si
perempuan di haribaannya.
"Aku akan tetap duduk di sini
sampai sore hari, sampai
malam. kalau perlu sampai
besok pagi. Dan kau tetap di
tempatmu, karena kau tidak
akan lari dari balik batu itu
tanpa pakaian...." Ia mengawasi
sekitar sungai yang jelas terbuka
dan perlindungan satu-satunya
buat si perempuan, adalah batu
besar tempatnya bersembunyi.
Perempuan itu mengumpat tak
jelas. menunggu diam,
mengumpat lagi. kemudian
menyerah. Perlahan tetapi pasti.
dan tentu saja
malu bukan main yang tergurat
di wajahnya
yang memerah padam.
perempuan itu naik ke
permukaan batu dengan
berupaya sedemikian rupa agar
bagian-bagian tertentu di
tubuhnya tidak terlihat oleh
Margono. Ia kemudian duduk
bersijuntai di atas batu.
setengah membelakangi
Margono yang memandanginya
dengan mata kagum.
"Kau bukan saja cantik. Kau
punya lekuk tubuh
mempesonakan. Jadi aku belum
percaya sepenuhnya, bahwa kau
memang manusia.
Masih harus dibuktikan...."
Margono semakin berani saja.
"Apalagi?"
"Aku akan menjamahmu. Supaya
aku yakin, ragamu memang raga
manusia."
"Kurang ajar. Kau.?"
Tetapi Margono telah bangkit
dari duduknya, menyerbu ke
tengah sungai sebelum si
perempuan sempat melakukan
sesuatu. Tiga tahun terakhir.
Margono harus meringkuk di
penjara karena kasus
perampokan dan perkosaan.
Tiga tahun yang menyiksa, tanpa
kesempatan menjamah tubuh
perempuan. Kerinduan yang
sekian tahun terpendam,
mendadak saja menuntut
pelampiasan. Ia tak perduli lagi
apa dan siapa perempuan di
tengah sungai itu, juga tidak
perduli segala akibat apa pun
yang bakal terjadi apabila ia
memaksakan kemauannya pada
perempuan itu.
Mulanya, memang ada
pemberontakan dan caci maki.
Tetapi dengan keahlian yang
selama ini. Ia Pergunakan
menaklukkan perempuan
semacam Linda, Margono
lambat laun berhasil
meredakan perlawanan maupun
kemarahan si
perempuan .Apa yang
sebelumnya la bayangkan,
berlangsunglah di atas batu
besar dan pipih Itu. Bedanya,
dalam bayangannya ia bermain
cinta dengan Linda. Dalam
kenyataan, ia
bermain cinta dengan
perempuan tak dikenal.
yang muncul secara ajaib di
tengah kesunyian rimba
belantara, Jauh dari kehidupan
manusta
manusia beradab.
Tidak sedikit pun teringat
olehnya bahwa ia
telah di luar dari jalan setapak.
la telah melanggar pantangan.
Tetapi kalau pantangan Itu
memang demi-kian indah,
demikian nikmat. siapa pula
yang
perduli"

***

BAB 3
MARGONO tahu betul, dua kali
perempuan itu mendaki sampai
ke puncak sebelum Margono
dengan nafas tersengal-sengal
akhirnya tiba di tempat yang
sama. Dua kali, pikirnya, seraya
bangkit meninggalkan tubuh si
perempuan yang terbujur diam,
tidak bergerak. Kelopak mata
perempuan itu tertutup rapat
seperti ingin terus tidur
sehingga mimpi indah itu tidak
segera berlalu begitu saja.
Selagi mengawasi wajah cantik
berkeringat itu sejenak,
Margono tahu pula. Bahwa si
perempuan jelas tidak menyesali
apa yang diperbuat Margono
terhadap dirinya. Mungkin ia
marah, tetapi kemarahan itu
telah lenyap ditelan kejantanan
Margono. Sambil tersenyum,
bangga dan puas." Margono
turun ke dalam air. mandi
sepuas-puasnya. Tanpa
mengeluarkan suara si
perempuan mengikuti apa yang
dilakukan Margono. Kemudian
ia naik lebih dulu di darat,
mengenakan pakaian dengan
mulut tetap terkunci rapat dan
wajah tidak
menggambarkan perasaan
apa-apa. Perempuan itu duduk
diam, menunggu Margono
selesai mandi. Mau tidak mau,
sikap misterius si perempuan
sempat juga membuat Margono
tergetar. Gelisah, tanpa sebab.
Barulah setelah ia naik ke darat
dan mengenakan pakaian pula,
ia dengar suara si perempuan.
berdesah lirih: "Sekujur tubuhku
lemas sekali rasanya...," ia
berkata. Margono hampir
tertawa mendengar pengakuan
terang terangan itu. Sebelum ia
memberi komentar, si
perempuan sudah melanjutkan:
"Kau bersedia mengantarku
pulang. bukan?"
"Jauhkah rumahmu?" tanya
Margono setelah agak lama
terdiam.
"Tak seberapa."
Margono membereskan
bungkusan pakaian serta
bekalnya. Bertanya lagi. dengan
hatihati: "Apa kata ayahmu
nanti?"
"Ayah" Tak satu pun!"
"Tetapi. . . ."
"Ia sudah terbiasa berhadapan
dengan orang asing. Apakah kau
takut?"
"... tidak"
"Kalau begitu. ayolah."
Perempuan itu berjalan duluan
menuju jalan
setapak yang mereka susun
sekitar beberapa menit.
Kemudian si perempuan
membelok tiba-tiba di balik
sebatang pohon besar.
meninggalkan jalan setapak.
Margono memperhatikan. jalan
berikut yang mereka lalui
tampaknya jarang dilewati
orang lain. Medannya berbatu,
dengan tanjakan atau turunan
yang terkadang curam,
berbahaya. Namun meski tanpa
alas kaki si perempuan bergerak
tangkas dan lincah. Beberapa
kali ia terpaksa harus berhenti,
menunggu Margono yang
tertinggal jauh di belakangnya.
"Agaknya kau bukan penduduk
desa-desa di sekitar lembah ini,"
suatu saat si perempuan berkata.

"Aku datang dari kota," jawab


Margono, letih.
"Pantas!"
Margono diam saja. Ia terlalu
lelah dan tidak bernafsu untuk
mendebat si perempuan. Dalam
hati, ia juga dihinggapi
perasaan malu. Teringat apa
yang tadi mereka lakukan di
permukaan batu besar dan pipih
di tengah sungai. Ia memang
jagoannya, dalam hal
melumpuhkan perlawanan
seorang perempuan. Tetapi
hanya itu. Kini, ia sadari bahwa
ia punya kelemahan sebagai
manusia biasa, dan sebaliknya si
perempuan memperlihatkan
kekuatan luar biasa di balik
tubuhnya yang tampak lemah
itu.
Syukurlah si perempuan
kemudian berkata menghibur:
"Nanti kau juga akan
terbiasa...."
lalu berjalan cepat menempuh
padang terbuka dengan
panorama indah di sekeliling. Di
mana mana tumbuh
bunga-bunga liar, bunga-bunga
hutan yang tumbuh dan mekar
secara alami. Jenisnya
bermacam-macam dengan
warna warni yang membuat
Margono terpaksa berhenti
untuk dapat mengagumi dan
menghirup harum segar
bunga-bunga liar itu.
Kemudian ia melihat kabut tipis
di puncak pepohonan, tak
berapa jauh di depan sana.
Setelah menempuh perjalanan di
bawah lindungan pepohonan
yang membuat segalanya
kembali tampak suram dan
gelap. mereka tiba di sebuah
tempat terbuka yang tak begitu
luas, dikitari oleh pepohonan
yang rapat dan rimbun. Hanya
sedikit matahari menerobos di
tempat itu.Lalu Margono
melihat dua buah pondok yang
letaknya agak jauh satu sama
lain. Di pondok paling kecil
dengan bentuk persegi empat,
Margono melihat asap mengepul
naik. Asap itulah kiranya apa
yang tadi ia sangka sebagai
kabut.
"Ayah rupanya masih sibuk di
dapur," kata si perempuan.
"Ayo, kau akan kuperkenalkan
padanya!"
Apa yang disebut si perempuan
dapur agaknya, adalah sebuah
ruangan di bawah atap ijuk
dikelilingi dinding kayu. yang
permukaannya kehitam-hitaman
karena jilatan asap maupun
api. Lantai pondok berupa
sebuah lubang besar di mana
api dan bara tampak
bernyala-nyala. Di atas tungku
alami itu terjerang sebuah ketel
besar berisi cairan kental coklat
kemerah merahan yang tengah
mendidih. Hampir rapat dengan
atap tampak ada sebuah para,
penuh ditumpuki oleh
potongan-potongan kelapa yang
telah dikupas.
Dari apa yang dilihatnya serta
adanya berbagai ragam
peralatan yang berserakan di
dalam maupun di luar pondok,
tahulah Margono bahwa
pemiliknya tengah sibuk
mengolah gula merah sekaligus
bahan minyak kelapa. Seorang
laki-laki berusia lanjut namun
tampak kuat dan kekar berhenti
menggodok cairan gula dari air
nira itu setelah mendengar
suara langkah-langkah kaki
mendekat. Dari balik kumis serta
jenggotnya yang sudah memutih,
ia melemparkan seulas senyum
manis pada putrinya, dan
tertegun melihat kehadiran
Margono.
Margono sudah akan meminta
maaf karena telah mengganggu
pekerjaan orang tua itu. Tetapi
orang itu dengan cepat sudah
berkata pada putrinya: "Di sini
panas, Melati. Kau bawalah ia
ke rumah ." la mengawasi
Margono sekali lagi, lalu tanpa
mengatakan apa-apa ia
membalikkan tubuh dan kembali
sibuk dengan pekerjaannya.
"Ayahmu tampaknya tidak
menyukai kehadiranku," bisik
Margono ketika ia mengikuti si
perempuan menuju pondok
lainnya. Pondok yang lebih
besar, juga beratap ijuk dan
berdinding kayu. Karena di
sebelah dalam ada pintu pula.
Margono lantas tahu kalau
pondok itu paling tidak punya
kamar. Ada dipan bambu
berlapis tikar jerami di ruang
tamu, yang ia perkirakan
merangkap ruang tidur si orang
tua tadi. Satu-satunya kursi yang
ada di situ adalah sebuah kursi
goyang yang terbuat dari rotan.
Selain perabotan rumah tangga
dan pakaian yang bergantungan
di sana sini, tampak beberapa
kaleng besar, tentunya kaleng
minyak kelapa, dan sebuah peti
besar berisi
gumpalan-gumpalan gula merah
yang sudah jadi. Bau ke dua
jenis keperluan dapur itu
bercampur dengan bau lembab
tanah dan asap tembakau.
"Duduk saja di dipan itu, kalau
kau sudah bosan berdiri
mematung begitu...," si
perempuan mempersilakan
seraya tertawa lunak. "Maafkan,
gubuk kami jelek dan
berantakan pula. Tak menduga
bakal ada orang kota datang
bertamu. Mau kopi?"
Meskipun ia habiskan kopi satu
mangkuk penuh sambil ngobrol
tentang banyak hal di kota yang
ditanyakan oleh si perempuan,
toh Margono merasa kantuk
tetap menyerang. Waktu terus
berlalu, dan si ayah belum
muncul-muncul jua. Margono
mendengar si perempuan
menjelaskan tentang sesuatu,
namun tidak dapat dicerna otak
karena telinganya pun Sudah
antara mendengar dan tidak.
Saat berikutnya ia sudah
tertidur. Pulas. Sangat pulas.
Dan betapa ia terkejut ketika
akhirnya ia bangun, heran
dengan kenyataan bahwa ia
bangun di sebuah tempat aneh
dan terasing, di sekeliling sunyi
mencekam. Cahaya matahari
menerobos lembut lewat jendela
yang terbuka. Ia mencium udara
yang lebih segar dan nyaman.
Tak ada siapa-siapa di dalam
pondok. Ataukah ia tengah
bermimpi"
Ke luar dari pondok, ia lebih
terkejut lagi. Dari arah dan
panas matahari tiba tiba ia
menyadari bahwa saat itu
paling-paling baru sekitar pukul
sembilan pagi. Astaga. ia telah
tertidur sepanjang sore dan
malam. Bukan main. Dan
alangkah memalukan. Masuk
lagi ke dalam pondok barulah ia
mengetahui bahwa di atas meja
kayu terhidang semangkuk kopi
yang masih hangat serta
sepiring ubi rebus dengan
campuran kelapa parut serta
gula merah. Tanpa malu-malu ia
menghabiskannya, kemudian ke
luar menuju pondok berikutnya,
dari mana ia dengar suara
orang bekerja. Ia berharap si
perempuan ada di sana,
membantu ayahnya.
Tungku tidak menyala. Ketel
hanya tinggal kerak gula. Para
tampak kosong. Tiada
siapasiapa di dalam pondok itu.
Ternyata suara yang tadi ia
dengar berasal dari sebelah
sana pondok. Orang tua
berkumis dan berjenggot serba
putih, sama putih dengan
rambutnya yang kini terurai
lepas tanpa penutup seperti
kemarin. Potongan-potongan
kelapa yang telah diasap sudah
dijemur di bawah panas
matahari. Ada sebuah mesin
aneh di bawah sebatang pohon
yang rindang, yang kemudian ia
ketahui sebagai mesin giling. Si
orang tua tengah sibuk
menekuni pekerjaannya.
Mengupas kulit kelapa dengan
mempergunakan besi runcing
tajam, yang pangkalnya ditanam
ke dalam tanah keras. Puluhan
butir kelapa-kelapa tua
tertumpuk di dekat kakinya.
"Nyenyak betul tidurmu
semalam," dia bergumam tanpa
menoleh. "Sudah sarapan?"
"Sudah, Pak," jawab Margono.
"Maaf, tempat tidur Bapak aku
monopoli sendiri...."
"Tak apa. Tidur di kursi goyang
tetap menyenangkan. Kau
mencari anakku, bukan?"
Tebakan langsung itu membuat
Margono gugup sesaat. la
memaksakan senyuman lebar di
bibir manakala si orang tua
berpaling ke arahnya, sebagai
balasan dari senyuman yang
juga lebar di balik kumis dan
jenggot memutih itu. Untuk tidak
tampak konyol, ia berkata
seingatnya saja: "Apakah ada
yang dapat saya bantu?"
"Terima kasih Tetapi itu
nantilah.
'Tak ingin mandi?"
"Yah" "
"Ada mata air di bawah sana."
orang tua itu menunjuk ke arah
Barat. menjelaskan beberapa
petunjuk yang harus ditempuh
agar Margono tidak sampai
tersesat. Kemudian: " Boleh aku
tahu siapa namamu, Nak?"
"Margono."
"Berapa tahun umurmu?"
"Dua satu."
Orang tua itu diam sebentar.
Pekerjaannya ditunda. Ia
tampak berpikir, kemudian
katanya lembut: "Anak muda.
Kau melarikan diri dari sesuatu.
bukan?"
"Dari mana Bapak tahu?" tanya
Margono terkejut.
"Itu salah satu keistimewaanku."
orang tua itu tersenyum. "Nah.
Pergilah mandi. Setelah itu baru
kita ngobrol panjang lebar."
Margono baru saja memutar
langkah. ketika ia teringat untuk
bertanya: "Bapak sudah tahu
nama saya. Bolehkah pula saya
tahu nama Bapak?"
"Aku Sumirta."
"Apakah bapak dilahirkan
dengan rambut putih semua?"
"Tidak. Rambut. seperti juga
kumis dan jenggotku memutih
bersama waktu. Kalau kau ingin
tahu, waktu aku lahir ke dunia
mungkin ayah bahkan kakekmu
sendiri belum ada. Bulan depan.
usiaku genap seratus tahun. Satu
abad. persisnya. Heran. Nak
Margono" Pikirkanlah itu selagi
kau mandi nanti...."
Margono menemukan mata air
jernih dan resik itu. Ia mandi.
dan ia berpikir. Yang ia pikirkan
bukan kebenaran usia si orang
tua. Boleh saja dia berusia satu
abad. Pertanyaan yang
berkecamuk di benak Margono
adalah. berapa tahun pula usia
si Melati, putrinya yang cantik
jelita itu" Mungkin tak lebih dari
20 tahun. Paling tidak. hampir
sebaya dengan Margono sendiri.
Lalu kalau umur Melati
sebegitu. berapa umur ayahnya
ketika menikahi ibunya Melati"
80 tahun! Perempuan mana
yang masih bersedia dinikahi
lelaki seusia itu" Atau ibu Melati
juga sudah berusia lanjut ketika
menikahi ayah Melati" Istri ke
berapa pula dia itu" Masih
hidupkah. atau sudah mati"
Uh, mengapa berpikir sejauh itu.

Pikirkan saja satu hal:


bagaimanapun. tempat ini cukup
aman untuk bersembunyi.
Didampingi Melati pula!
Apalagi" Di sini ia tidakperlu
uang. Tak bakal takut kelaparan.
Asal ia
pintar melakukan pendekatan.
bekerja apa saja untuk
membantu orang tua itu. Tetapi
eh,
tunggu dulu. Buat apa minyak
kelapa dan gula merah
berlimpah-limpah itu" Jelas,
bukan untuk memenuhi
keperluan dapur dua anak
beranak. Lalu, untuk apa
memproduksi sedemikian
banyaknya"
Selesai mandi, ia berjalan-jalan
di sekitar mata air menikmati
pemandangan alam yang serba
kontras. Terang cemerlang
bersiram matahari di beberapa
tempat, tetapi gelap dan suram
di tempat-tempat lainnya.
Seperti kata Melati, ia akan
segera terbiasa. Bukan saja
menempuh perjalanan yang
meletihkan, tetapi juga
menyesuaikan diri dengan alam
sekitar. Juga menyesuaikan diri
dengan anak beranak itu.
Selama ini ia tidak punya
keahlian, kecuali mencuri,
merampok, memperkosa, kalau
perlu membunuh. Di luar itu, ia
boleh dibilang nol. Tak tahu
apa-apa. Tetapi ia dapat
belajar. Belajar pekerjaan apa
saja yang mungkin ia kerjakan
untuk membantu anak beranak
itu. Agar tidak jadi benalu,
hanya tahu numpang makan dan
tidur secara cuma-cuma.
ia tengah memikirkan
kemungkinan untuk menikahi
Melati, dengan izin ayah gadis
itu, tatkala Margono mendengar
suara ganjil tak jauh dari
tempatnya berdiri. Rasanya.
seperti suara jeritan lemah dan
pasti bukan jeritan seorang
manusia. la susuri aliran mata
air. menerobos di antara semak
belukar dan pepohonan
yang teduh dan gelap. Makin
dekat ke arah suara itu. ia makin
berhati-hati. Khawatir ada
ancaman bahaya di depan.
Siapa tahu, suara yang tadi ia
dengar adalah suara binatang
binatang buas yang....
Mungkin tidak buas, namun
seekor ular sanca besar dan
panjang tetaplah sosok makhluk
mengerikan di mata Margono.
Dengan ekor masih membelit
cabang rendah sebatang pohon
besar, tampak seekor ular sanca
meliuk-liuk membelit seekor
binatang di atas rerumputan.
Selintas pandang, Margono
dapat menerka korban sambaran
ular besar itu adalah seekor
menjangan muda, yang
mengejang-ngejang
mempertahankan hidup. Sampai
akhirnya terdengar suara
berderak tulang belulang yang
patah. Dan gerakan menjangan
yang sial itu pun terhenti
seketika.
Berlindung di balik rimbunnya
belukar. Margono mengintip
bagaimana ular sanca itu tetap
bergantungan di cabang pohon
beberapa saat lamanya.
Kemudian bagian ekornya jatuh
melingkar di rerumputan.
Belitan pada tubuh menjangan
di lepas. Sepasang matanya
yang merah kehijau-hijauan,
mengawasi korbannya beberapa
saat. Lalu setelahnya. terjadilah
sesuatu yang aneh. Sesuatu yang
berlawanan dengan kelaziman.
Ular sanca itu bukannya
menelan bulat-bulat bangkai
menjangan. Setelah lebih dulu
dibelit kembali. moncong
mengerikan itu menerkam salah
satu paha menjangan. dan
dengan satu renggutan keras
paha binatang malang itu
direnggut lepas Lalu dengan
paha menjangan tercengkeram
di antara moncongnya. ular
sanca itu kemudian merayap
pergi. Meliuk-liuk di antara
pepohonan lalu lenyap di tempat
gelap menakutkan.
Margono menghela nafas.
menyeka keringat. Dingin
sekujur tubuhnya. Begitu pula
keringatnya. la mengawasi sisa
bangkai menjangan yang secara
ajaib diterlantarkan begitu saja
oleh sang ular. Ganti mengawasi
tempat gelap di mana ular sanca
tadi menghilang, kembali
tubuhnya terasa dingin
membeku. Satu hal yang ada
dalam pikirannya hanyalah,
cepat menjauh sebelum makhluk
mengerikan itu melihatmu dan
memangsamu pula. _
Setelah menunggu beberapa
saat, Margono kemudian lari
terbirit-birit. Ia sempat salah
arah sebelum akhirnya
menemukan mata air tempatnya
mandi. lalu berjalan lebih
tenang mendaki tanjakan sampai
ke tempat terbuka. Ayah Melati
telah selesai mengupas seluruh
butir kelapa yang ada. Margono
mengatur nafas. berusaha
bersikap wajar agar tidak
ditertawakan karena telah begitu
takut setengah mati. la berjalan
mendekati tempat ayah Melati
bekerja, dan dengan penuh
perhatian memperhatikan
bagaimana orang tua itu
mengelupas tempurung kelapa
sedemikian rupa, sehingga
daging-daging kelapa tidak
rusak terpotong sia-sia.
Seperti tadi, tanpa menoleh
orang tua itu lantas sudah
berkata: "Pergilah jalan-jalan,
Nak. Supaya kau lebih
mengenali suasana sekitar."
Jalan-jalan dan dipergoki
makhluk yang lebih mengerikan
dari ular sanca itu. Margono
bergidik. Lalu bergumam
bimbang: "Pekerjaan begini
tampaknya asyik juga. Maukah
Pak Sumirta'mengajari saya?"
Lepas tengah hari Sumirta
mengajak tamunya masuk ke
pondok utama. "Sudah waktunya
makan siang ." katanya. Dan
memang, sejak beberapa menit
sebelumnya Margono telah
mencium bau masakan yang
merangsang hidung dibawa
angin dari arah pondok utama.
Barangkali ia begitu asyik
menekuni pekerjaan yang
beberapa kali ia lakukan dengan
gagal. Sehingga tidak melihat
Melati pulang dan menyelinap
ke pondok utama. Entah
hidangan apa yang dimasak
Melati sehingga baunya
sedemikian rupa menggelitik di
hidung apalagi di perut.
Ternyata. daging panggang!
Daging segar, lunak, gurih dan
lezat. Plus
sayur lalap, sambal dan sop
dengan bahan daging yang
sama. Mereka bertiga, terutama
Margono, makan dengan lahap.
Selagi makan, Sumirta
menceritakan satu dua lelucon
yang ia alami ketika mengajari
Margono mengupas tempurung
kelapa .Meski merasa malu. mau
juga Margono memperlihatkan
telapak tangannya yang terluka
oleh goresan sisi tempurung
yang runcing tajam. Lantas
sambil lalu ia memuji kelezatan
hidangan Melati, dan bertanya:
"Dagingnya enak. Daging apa
sih?" "Menjangan." jawab
Melati, tenang.
...
"MENJANGAN" Bukan main.
Pantas.?" Margono terdiam
tiba-tiba. la mengawasi Melati.
yang balik mengawasinya pula.
Tanpa berpikir panjang.
Margono meneruskan: "Oh. oh.
Apakah kau juga menemukan
bangkai menjangan itu" Lalu
mengambilnya sebagian untuk
dibawa pulang?"
Sekilas mata Melati berkilat
tajam. Namun dengan cepat
bersinar biasa kembali. dan
dengan tenang bergumam:
"Bangkai" Aku... tak
melihatnya."
Ayah Melati terdengar
batuk-batuk kecil.Lantas dengan
lembut bertanya:
"Apa saja yang kau lihat. Nak
Margono?"
Dengan bernafsu Margono
menceritakan apa saja yang ia
dengar dan kemudian saksikan
dengan mata kepala sendiri.
"Anehnya, ular mengerikan itu
bukannya menelan bulat bulat
tubuh korbannya. Cuma
merenggut sepotong paha.
kemudian menghilang ."
Melati bertukar pandang sejenak
dengan ayahnya. kemudian
tertawa lembut. "Kau pasti
begitu ketakutan ya?" ujarnya.
"Bagus kau tidak mengusik ular
itu . Binatang-binatang di
lembah ini, bagaimanapun
buasnya tidak akan
mengganggumu. selama kau
tidak mengganggunya. Itu,
selama mereka mengenal
baumu.. .."
"Bauku?" Margono
terheran-heran.
"Benar."
"Aku tak mengerti. Kukira aku
tak punya bau istimewa. . . ."
"Kau punya. Yakni bau yang
melekat di tubuhmu karena
tinggal di sini bersama aku dan
ayah. Makhluk-makhluk yang
ada di luar sana, mengenal bau
pondok ini. Mengenal pula bau
penghuni-penghuninya. Memang
sulit dimengerti. Tetapi di
tempat yang begini sunyi
terpencil. akan banyak hal-hal
aneh yang kelak kau alami...."
"Itulah yang dikatakan kakek "
Margono setengah berseru.
"Hal-hal yang aneh. Jangan
keluar dari jalan setapak Dan.. "
Melati tampak menjadi tegang.
Margono tidak memperhatikan.
karena ia sudah keburu menoleh
sewaktu ayah Melati berkata:
"Jadi kau punya sanak saudara
di desa sekitar lembah ini ya"
Desa mana?"
Margono lalu menceritakan
tentang kakeknya. desa di mana
ia lahir. dan desa ke mana ia
seharusnya pergi sebelum ia
bertemu dengan Melati.
Sementara Melati sibuk
membereskan bekas makan
mereka. sang ayah masih
bertanya ini itu sehingga soal
menjangan dengan segera
terlupakan. Obrolan kemudian
berkembang pada persoalan
yang lebih menjurus. baik dari
pihak tuan rumah maupun dari
sang tamu.
"Ibu Melati sudah meninggal."
Sumirta menerangkan sepintas
lalu. "Dan tentang gula dan
minyak kelapa. aku menjualnya
pada satu
di antara sekian orang pencari
rotan yang sering memasuki
lembah ini. Kami tak butuh
uang. Nak Margono. Yang kami
butuhkan adalah apa yang tak
kami dapatkan di tempat ini.
Beras. garam. pakaian.
beberapa alat-alat yang tak
dapat kami buat sendiri. Dan
jangan lupa. Melati seorang
perempuan. Perempuan, di
mana pun. suka dan keranjingan
memiliki atau menyimpan
perhiasan. Terutama emas
berlian. Dia sudah
mengumpulkan cukup banyak
tetapi yah rasa tak puas
menghinggapi setiap orang
bukan?"
Margono tidak memberi
komentar. Ia diam. tercenung.
Melati punya setumpuk emas
berlian. Astaga. itu kabar yang
menarik. Suatu kesempatan yang
langka. Tetapi....
"Kami tak membeli semua itu
secara langsung." berkata lagi
Sumirta. sambil matanya
mengawasi wajah Margono.
mencoba menarik kesimpulan
kemungkinan apa yang tersirat
di balik wajah laki-laki muda
tamunya itu. "Kami cukup
menyerahkan gula dan minyak.
Dan sebaliknya. langganan kami
menyerahkan barang-barang
atau keperluan apa saja yang
kami butuhkan: Dengan syarat.
orang itu tak boleh mengetahui
di mana kami tinggal. Tak
_boleh mengungkapkan tentang
kami pada siapa pun juga."
"Hem." Margono membuang
pikiran buruk dari kepalanya.
"Mungkin orang itulah yang
menyebarkan desas-desus
lembah ini berhantu. Selain
untuk menjamin kerahasiaan.
juga untuk menjamin ia tidak
akan punya saingan...."
"Boleh jadi. Tetapi ada juga
sebab lain mengapa tempat ini
mereka sebut Lembah Hantu.
Seringkali ada orang nekat atau
punya tujuan lantas tersesat di
lembah ini. Beberapa dari
mereka berhasil menemukan
jalan pulang.
Tetapi tiba di rumah, mereka
tidak bisa menceritakan apa
yang mereka lihat dan alami
selama tersesat beberapa hari di
hutan-hutan sekitar sini. Konon,
mereka seperti orang linglung,
lupa ingatan. namun satu hal,
mereka tetap sehat dan
berpikiran normal sebagai
orang-orang lain. . . ."
"Maksud Bapak. ada pula yang
tak pernah kembali."
"Ada, tetapi jarang. Misalnya,
pernah aku menemukan mayat
seseorang. Jelas ia habis
dimangsa harimau, menyimak
keadaan jenazahnya yang rusak
berat. Aku tak tahu siapa dia,
dari mana asal-usulnya. Jadi ia
kukuburkan saja di tempat ia
kutemukan. Begitu pula, ketika
lain waktu aku menemukan
sepasang remaja belia. Entah
apa maksud mereka memasuki
lembah ini. Tetapi kuduga,
mereka ingin memadu cinta.
Sayang, mereka memilih tempat
bercinta yang salah. Dari apa
yang kemudian kupelajari,
tahulah aku mereka telah
tersesat cukup jauh ke dalam
hutan. Si pemuda terjerumus ke
jurang, mati. Gadisnya,
berkeliaran seperti orang gila,
putus asa dan ketakutan. Gadis
itu pun kemudian mati. Karena
kelaparan. Dan pasti juga,
karena ketakutan...."
"Mereka Bapak kuburkan pula.
Tanpa pergi ke desa terdekat,
siapa tahu ada yang
mengenalnya?" tanya Margono.
takjub.
"Orang-orang di luar sana
sudah sejak puluhan tahun
berselang menjauhi lembah ini.
Mereka takut dan kemudian
benci pada apa pun yang ada di
dalamnya. Kalau aku turun ke
sana. hanya ketakutanlah yang
akan kutemui. Selain juga. toh
tidak akan menolong sanak
mereka yang sudah mati. bisa
hidup kembali...."
"Pasti ada sebab-sebabnya"
"Itu pasti. Suatu akibat, pasti
ada penyebabnya."
"Lalu... apa sebab Bapak dan
putri Bapak memilih menetap di
lembah ini?"
Orang tua itu memandang
tajam, baru menjawab. "Aku
ingin menyepi. Melati juga ingin
menyepi. . . ."
"Mengapa Bapak memilih
tempat menyepi yang begitu jauh
dari dunia luar?"
Orang tua itu menjawab dengan
pertanyaan
pula: "Mengapa kau melarikan
diri dari kota, Nak "
Margono terdiam.
Bersama waktu, yang berlalu
pula diam diam. Tanpa terasa
hari sudah malam. Sementara
orang tua pemilik Lembah
Hantu pergi untuk membereskan
sesuatu di pondok kerjanya,
Margono mencari tempat
tersembunyi untuk buang hajat.
Kembali ke pondok, Melati
menyuguhinya semangkuk kopi.
ia ingin merokok, dan Melati
melintingkan tembakau milik
ayahnya untuk memenuhi
permintaan Margono.
Sewaktu menyulutkan api ke
rokok lintingan yang terselip di
mulut Margono. tubuh
perempuan itu terasa begitu
dekat. begitu hangat, begitu
mengundang. Margono
memegang tangan si perempuan,
menariknya ke pelukannya.
Setelah melepaskan rokok dari
sela-sela bibirnya, Melati
diciuminya sepuas hati. Gadis
itu tidak menolak. Baru ketika
Margono akan merebahkannya
ke dipan, gadis itu melawan.
"Jangan." katanya.
."Sewaktu-waktu ayah pulang."
"Aku menginginimu, Melati."
"Besok saja! "
" Besok" Mengapa tidak malam
ini. "
"Besok saja!" ulang Melati
tegas. lalu menyelinap ke balik
pintu kamar. Kamar satu
satunya di pondok itu. Pintu ia
tutupkan rapatrapat. Margono
tidak mendengar bunyi anak
kunci diputar. Waktu ia
perhatikan, ternyata daun pintu
kamar tidak pakai lubang kunci.
Diselot, barangkali" Atau
menutup tanpa penghalang yang
berarti"
Margono masih memikirkan
berbagai kemungkinan, ketika
ayah Melati masuk ke pondok
Selama beberapa saat lamanya.
mereka meneruskan obrolan
yang arah tuiuannya tak
"tertentu. Puas mengisap
tembakau dari pipanya. si orang
tua kemudian tertidur lelap di
kursi goyang. Sebelum tidur. ia
sempat berseloro: "Barangkali.
besok kita perlu membuat dipan
tambahan ."
"Artinya." pikir Margono." aku
diperkenankan menetap."
Dia kembali gelisah. Ia senang
diperbolehkan menetap. Apa
yang ia gelisahkan. adalah pintu
yang tertutup didepan matanya.
Dahaga akan perempuan yang
terpendam sekian tahun di
dalam penjara. kembali
menuntut pelampiasan.
Menuntut. menggebu-gebu."
***

BAB 4
BERSAMA larutnya malam,
larut pulalah benteng
pertahanan Margono. Diiringi
dengkur Sumirta yang terlelap di
kursi goyang, ia bangkit hati
hati dari dipan. Dengan
bersijingkat ia tiba di pintu
kamar Melati. Ternyata pintu
tidak dikunci atau ditahan dari
dalam. Waktu ia mendorongnya,
terdengar suara berderit tajam.
Margono menegun, tak berani
bergerak. la siap mendengar
teguran keras dari ayah Melati.
Namun kecuali bunyi dengkur
yang melemah, Margono tidak
mendengarkan apa-apa lagi.
Bahkan juga tidak suara hati
kecilnya agar menjaga diri di
tempat orang.
Ia tidak tahu, bahwa begitu ia
menutupkan pintu di
belakangnya, Sumirta setengah
membuka mata. Orang tua itu
mengawasi pintu kamar tidur
anaknya yang ditutup sangat
hatihati. Gelang kepala sejenak,
bergumam: "Laki-laki. Di mana
pun, sama saja!" Lalu matanya
terpejam kembali. Acuh tak
acuh.
Di dalam kamar, jilatan lampu
damar yang temaram menerangi
lantai tanah keras. di atas mana
tubuh Melati yang
menggairahkan terbujur pulas
berlapiskan jerami tebal dan
padat. Gadis itu tampaknya
tidak teruSik oleh bunyi
langkah-langkah kaki Margono
yang semakin mendekat. Tubuh
molek itu tetap diam, ketika
Margono berjongkok bersimpuh
perlahan, lalu membungkuk dan
mencium bibir yang ranum Itu.
Melati hanya menggeliat lemah
ketika roknya disingkap terbuka
oleh Margono. ia baru membuka
matanya, manakala Margono
dengan pelan tetapi pasti mulai
memasuki tubuhnya. Gadis itu
membelalak, kemudian
memprotes lembut. Tetapi
Margono dengan segera
membungkam protes itu melalui
ciuman yang memabukkan.
Sesaat sewaktu ciuman itu
terlepas, Melati berbisik di
telinga Margono:
"Aku harap, kau tidak menyesal
nanti. . . ."
Margono mendengar peringatan
yang ganjil itu. namun tidak
memperdulikannya. Gairahnya
sudah menggebu sedemikian
rupa, begitu mereka menyatu
tanpa lapis apa pun yang
membatasi tubuh mereka
berdua. Ia hanya tahu bahwa
perempuan itu mendadak liar
dan buas . Suatu saat
perempuan itu berada di atas
tubuhnya, meliuk-liuk semakin
liar. Saking liarnya, Margono
sampai tersentak sendiri.
Matanya terbuka lebar
mengawasi gaya bermain si
perempuan yang belum pernah
dilihat maupun dialaminya.
Setengah tubuh Melati
mendongak ke atas. Kedua
lengannya tidak bertahan ke
lantai untuk menjaga
keseimbangan.
Melainkan,menyatu lurus dan
rapat ke tubuh, seperti juga
kedua belah kakinya. Dengan
posisi yang aneh itu Melati
melampiaskan dorongan
birahinya yang telah
dibangkitkan Margono.
Pada klimaksnya, mulut Melati
setengah terbuka mengeluarkan
suara berdesis. Berdesis dan
terus berdesis, semakin tajam,
semakin menusuk. Menyusul
lidahnya pun ikut ke luar. Dan
lidah itu bercabang dua di
ujungnya. Lidah itu berbuih, dan
buihnya yang berbau anyir
sebagian jatuh menimpa wajah
Margono. Pada saat bersamaan,
mata si perempuan berubah
warna menjadi merah
kehijau-hijauan, disusul
perubahan demi perubahan
lainnya. Wajahnya semakin
lonjong lalu lancip, kulit halus
mulus menjadi kasar dan
bersisik. kesat dan hitam pekat.
Kaki maupun tangannya lenyap.
sementara tubuhnya terus
memanjang dan semakin
panjang. begitu besar, begitu
hitam.
Akhirnya, dengan suatu desisan
liar lewat moncong dan lidahnya
yang bercabang dua. bagian
atas tubuh makhluk
menyeramkan itu
melorot lalu terhempas dengan
suara berdebum lunak di jerami.
tepat di sisi tubuh Margono yang
tergetar dengan wajah pucat
pasi. Birahi Margono lenyap
seketika. Kejantanannya melayu,
keberaniannya pun ikut sirna.
Disertai jeritan-jeritan tertahan
ia melepaskan diri dari sisa
tubuh menakutkan itu yang
masih membelit bagian bawah
tubuhnya sendiri.
Ia terbang ke pintu. melesat
melewati kursi goyang,
menerjang pintu depan. Dan di
luar pondok, ia
terbungkuk-bungkuk, jatuh
dengan ke dua lutut di tanah,
lalu muntah, muntah dan terus
muntah sampai seisi perutnya
benarbenar sudah kosong tak
bersisa. Setelah itu, ia
tertengadah menghirup udara
segar. Di atas sana, rembulan
begitu pucat seperti dirinya. Di
sekeliling, kegelapan begitu
hitam pekat seperti makhluk
yang ia tinggalkan di kamar
tidur Melati.
?" aku harus pergi!" ia merintih.
"Aku harus menjauhi tempat
terkutuk ini. .. .! "
Udara sedingin es menusuk
tubuh telanjangnya. Margono
mengumpulkan sisa-sisa tenaga
maupun keberanian. lalu
berjalan masuk kembali ke
dalam pondok. Ia menemukan
buntelan berisi pakaian
cadangan yang oleh kakeknya
memang selalu disiapkan
bilamana Margono benar-benar
membutuhkan. Waktu ia akan
melangkah menuju pintu.
barulah ia
sadari bahwa ia tidak seorang
diri di pondok itu.
"Mau ke mana?" terdengar
suara bertanya, dari arah kursi
goyang.
Margono membalikkan tubuh
dan melihat Sumirta
mengawasinya dengan mata
setengah mengantuk. Apakah
laki-laki tua renta bertubuh
kekar ini adalah juga seekor
ular. Ular dari jenis apa dia,
dan sebesar apa pula panjang
tubuhnya" Margono bergidik.
dan menjawab kecut: "Aku mau
pergi. .. ."
KELOPAK MATA keriput itu
melebar terbuka, dari balik
kumis serta jenggotnya terulas
senyuman lembut. "Besok pagi
sajalah," katanya ramah, tanpa
motivasi apa pun. "Aku tetap
akan pergi. Sekarang!" "Tahan
dirimu. Nak. Dan berpikirlah
dengan kepala dingin," kata
Sumirta, menyabarkan. "Di luar,
gelap. Dalam gelap,
makhluk-makhluk penghuni
lembah di luar sana, saling
memusuhi satu sama lain. Kau
tidak akan memahami, tetapi
sinar rembulanlah penyebabnya.
Sinar rembulan membangkitkan
kebencian mereka, mendorong
mereka untuk saling
menghancurkan bila bertemu. ..
." Bau tak sedap tercium dari
pintu kamar
yang terbuka. Margono tidak
berani menoleh ke sana. Tetapi
bau itu mengingatkannya pada
sesuatu. Katanya: "Bapak
bilang. di tubuhku sudah melekat
baupondok ini.-Bau. ..
penghuninya!"
"Memang. Tetapi bau itu akan
hilang Begitu kau kembali ke
jalan setapak. Sampai dibatas
itu. baumu tidak dapat lagi
melindungi dirimu. Bahkan aku
dan anakku pun, tidak "
"Aku dapat melindungi diriku
sendiri!"
"Mungkin. Tetapi dalam gelap,
kau tak akan menemukan jalan
setapak itu untuk kembali ke
mana pun kau ingin pergi...."
"Damar! " dengus Margono.
Namun suaranya tidak tegas
ketika melanjutkan:
"Perkenankan aku meminjamnya
sebuah..."
"Kau tidak tahu apa yang akan
terjadi atau akan kau temui di
luar pondok ini, Nak. Dalam
situasi serupa itu, lampu damar
tidak akan banyak
membantumu."
Margono mendekati kursi
goyang. la berlutut. Tak malu ia
jadi pengemis. bila keadaan
sudah sangat kritis. "Tolonglah."
ia memohon dengan sangat.
"Bapak dapat menuntunku
sampai ke jalan setapak. Hanya
sampai di situ. Setelahnya. . . ."
Sumirta menggelengkan kepala.
"Aku mau melakukannya.
Bahkan aku senang dapat
melakukannya." ia berkata,
lunak. "Tanpa kehadiranmu di
sini. aku dan anakku akan
kembali pada kehidupan kami
yang biasa. Ketenangan yang
abadi. Kesunyian yang abadi.
Dan hidup. yang kami harapkan
semoga akan abadi pula.?"
Sumirta melirik sekilas ke arah
pintu kamar yang masih
terpentang. Di atas tumpukan
jerami. tampak sesuatu yang
besar dan hitam. melingkar
diam, tidak bergerak. Margono
yang ikut melirik, mau tidak mau
bergidik. Seram. Dengan cepat
ia berpaling, dan pikirannya
teramat kacau. Namun ia masih
dapat menangkap jelas suara
Sumirta:
"Kami adalah kami, Nak. Bukan
kau. atau orang-orang seperti
kau di luar lembah ini. Kami
tidak mau diusik. Tidak mau
diganggu. Tetapi kau, dan
orang-orang di luar sana
seringkali saling mengusik.
saling mengganggu. Aku bukan
menyalahkan siapa-siapa.
Kalian di luar sana, harus hidup
seperti aku dan anakku juga
ingin hidup. Bedanya. untuk
dapat hidup kalian harus
bertahan, atau berjuang. Sama
saja. Dalam keadaan bertahan
atau berjuang, kalian tetap
harus menghadapi tantangan.
Menghadapi saingan. yang
semakin lama semakin keras .
Acapkali jadinya kalian harus
mementingkan diri sendiri,
perduli amat dengan
kepentingan orang lain .. .."
Margono merasa tersindir. Di
sini. sebelumnya ia begitu
menikmati dan mendambakan
hidup tenang dan indah bersama
Melati. Tetapi begitu ia
menghadapi kenyataan. ia lari.
Diam diam. Margono merasa
malu pada dirinya sendiri.
"Tidak perlu malu, Nak."
Sumirta seperti menyelami jalan
pikiran Margono. "Apa yang
ingin kau lakukan, juga telah
dilakukan oleh laki-laki lain
sebelum engkau.. . ."
Margono terjengah. Mestinya ia
telah memikirkannya sejak
semula. Yakni ketika ia pertama
kali menyetubuhi Melati di atas
batu sungai. Saat mana ia
menyadari bahwa. ia bukanlah
laki-laki pertama. Ia begitu
dungu. Dan dengan kepala
dungunya, tanpa terkendali ia
bertanya kasar: " Berapa. ..
banyak?"
"Laki-laki sebelum kau?"
Sumirta mengeluh, tanpa nada
tersinggung. "Aku tak pernah
menghitungnya. Aku hanya tahu.
mereka datang. lalu mereka
pergi. Laki-laki terakhir, pergi
beberapa bulan sebelum kau
datang "
Suatu pemikiran baru
menggugah rasa ingin tahu
Margono. Terlupa sejenak pada
pengalaman mengerikan dan
adanya makhluk yang sama
mengerikan di belakang
punggungnya. ia bertanya:
"laki-laki terakhir. Bagaimana
dengan laki-laki sebelum dan
sebelumnya lagi?"
"Sudah kubilang, aku tak ingin
mengingatnya. Mungkin sewaktu
kau baru saja dilahirkan ibumu.
Beberapa di antaranya, bahkan
mungkin
sewaktu ibumu masih ada dalam
kandungan
nenekmu.
Margono ternganga "Mustahil,
ia mengerang, getir
Apa yang tidak mustahil di
lembah ini,
Nak" Kau toh telah membuktikan
salah satu.
Tadi, di kamar tidur anakku.
Pengalaman mengerikan itu
tidak ingin diingat lagi oleh
Margono. Tetapi mana dia
mam-pu" Tanpa sadar, la
beringsut lebih dekat ke sinar
lampu damar. Dalam cahaya
terang, la me-rasa lebih aman.
Dalam gelap" Haruskah ia
bersikeras pergi di tengah
malam buta ini"
Pengalaman di kamar tidur itu,
sudah lebih
dari cukup. Tidak. la tidak
mungkin pergi sekarang. Tetapi
mampukah ia bertahan di
pondok ini, bersama kenyataan
yang diam melingkar di
tumpukan jerami itu"
Margono bergidik lagi.
Bertanya, kacau.
Melati berapa tahunkah
umurnya" Dia
makhluk itu....Aku kira....
Tabahkan hatimu, Nak. Seperti
aku dulu
berusaha menabahkan hatiku
pula Ketika aku
masih seusia kau Ketika Melati
dilahirkan oleh
ibunya, delapan puluh tahun
yang silam"
Ketika itu. Sumirta bercerita, la
tidak punya
keberanian seperti Margono.
Terutama, kebe-ranian untuk
membunuh sesama manusia. Ia
tidak mau maju ke medan
perang. Kalau ia maju, ia harus
membunuh atau dibunuh. Ia lalu
ditertawakan, dihina, kemudian
dikucilkan. Terpaksa ia
menghindar. Menjauhi
orang-orang lain, menjauhi
dunia luar yang hidup matinya
bukan lagi persoalan atau
miliknya. Ia memilih lembah dan
lereng-lereng gunung di sekitar
lembah ini, karena tahu di
tempat ini tidak seorang
manusia lain pun pernah berani
memasukinya.
Sumirta bertapa. Ingin jadi
orang suci. Suci dari
mengalirnya darah, suci dari
keinginan duniawi. Namun ia
tidak mampu mengelakkan diri
dari satu hal: bahwa ia tetap
saja seorang laki-laki.
Menjelang akhir tapanya, ia
terbujuk rayuan perempuan
cantik molek yang tahu-tahu
saja muncul entah dari mana
lalu memeluk dan
membangkitkan gairahnya.
"... perempuan itu secantik dan
semuda Melati," katanya,letih.
"Penampilan wujudnya pun tak
berbeda. Bila ia ingin jadi
manusia. jadilah ia manusia.
Bila ia tergoda jadi ular, jadilah
ia ular. Tetapi godaan terakhir
lebih besar, terutama bila
rembulan mulai merayap di
langit kelam. Akhirnya ia tidak
kuasa melawan kehendak
rembulan. Dengan atau pun
tanpa kemauannya, maka ia
akan kembali ke wujud
Ular begitu rembulan
merangkak di balik aWan...."
Jadi itu sebabnya. pikir
Margono gundah. mengapa
sebelumnya ia telah ditolak
Melati bermain cinta. "Besok
saja." kata Melati. Jelas. Melati
maksudkan, besok siang. Jangan
di waktu malam! Sungguh
terkutuklah diri Margono. tak
kuasa mengendalikan diri.
Tetapi apa bedanya. Pada suatu
ketika. toh ia akan terjebak juga
oleh dorongan birahi. Pada
suatu ketika, toh semua itu akan
terbuka juga.
"Masihkah kau ingin tetap pergi
Malam ini?"
Margono tersentak oleh
pertanyaan Sumirta. Jawabnya:
"Biarlah aku menunggu sampai
besok pagi. Tetapi. . . ."
"Masih meragukan sesuatu.
Nak?"
Takut-takut Margono menoleh
ke belakang. Lewat pintu kamar
yang terbuka. ia lihat sesuatu
yang besar dan hitam itu masih
tetap melingkar di tempatnya.
Diam seperti mati.
Margono membasahi bibirnya
yang kering. Bertanya serak:
"Apakah dia... bersedia
melepaskan aku pergi?"
Sumirta tersenyum, misterius.
Suaranya mengandung iba
kasihan bercampur kelegaan:
"Ia akan membiarkanmu pergi.
Seperti ia juga dengan berat hati
telah membiarkan lelaki-lelaki
sebelum kau. pergi
meninggalkannya...."
Lagi Margono merasa malu.
Malu. karena harus lari.
Ia masih tetap Margono. masih
tetap dengan karakter yang
belum dan mungkin tidak akan
pernah berubah: mementingkan
diri sendiri.
"Ayo. Nak. Tidurlah kembali."
ujar Sumirta .
Margono akan merangkak naik
ke dipan. ketika Sumirta berkata
memelas:
"Maukah kau menutupkan
kembali pintu kamar Melati"
Dengkurku. selalu mengganggu
tidurnya. . . ."
Margono menelan ludah.
Dengan langkah langkah kaku ia
menuju pintu kamar tidur yang
sempit. pepak dan menebarkan
bau tak sedap itu. Anehnya.
ketika mengawasi tubuh
melingkar di tumpukan jerami.
ia tidak lagi merasa takut. Ia
juga tidak merasa ingin muntah.
Sesaat sebelum ia menutupkan
pintu. matanya menangkap
sesuatu di sudut kamar. Sebuah
peti kecil, berwama kuning tua.
Margono sudah lama dapat
melihat dan mengetahui
sasarannya. mana yang asli
mana yang cuma imitasi. Maka
ia tahu betul. bahwa peti kecil di
sudut kamar itu
sesungguhnyalah berlapiskan
emas murni. Dan dengan
ketajaman otaknya. ia sudah
mampu mencium benda apa saja
yang tersimpan di dalam peti
kecil itu.
Delapan puluh tahun adalah
waktu yang teramat banyak
untuk mengumpulkan sesuatu.
Karena tempat menyimpannya
tidaklah cukup besar, maka apa
yang terkumpul lalu disimpan itu
mestilah tidak ternilai rupa,
bentuk, apalagi harganya.
Sewaktu merayap naik ke dipan,
Margono tidak saja memikirkan
emas, berlian. Ia juga sempat
memikirkan perhiasan-perhiasan
perempuan tempo dulu. Intan
yang sudah
diasah, maupun yang masih
dalam gumpalan utuh....
***
BAB 5
BEBERAPA KALI terjadi dalam
menjalankan aksi kejahatannya
di kota, Margono salah atau
kurang perhitungan. Tak heran
bila ia telah dikenal polisi pada
usia 12 tahun, dan masuk
penjara pertama kali pada usia
15. Pengalaman memang
seharusnya dijadikan cambuk.
Tetapi nafsu ingin memiliki
dengan cepat, seringkali gagal
diajarkan dengan baik oleh
seorang guru. Termasuk guru-g
uru Margono di penjara.
Nafsu semacam itulah yang
mendorong Margono untuk
bertahan jangan sampai
tertidur. Dan setelah mendengar
Sumirta kembali mendengkur, ia
menunggu beberapa saat,
bahkan ia tambahi dengan
permainan ekstra: dengkuran
palsu, sahut bersahut dengan
dengkur Sumirta. Sambil
pura-pura mendengkur ia
menggapai pisau komandonya
yang tersimpan di bawah
tumpukan jerami. Untuk ke dua
kalinya malam itu, ia
bersijingkat ke pintu kamar tidur
anak Sumirta. Kali ini, lebih hati
hati. ia berhasil, meskipun
sebenarnya ia tidak pernah
mempelajari ilmu meringankan
tubuh.
Hambatan pertama yang ia
hadapi. adalah perasaan jijik.
mual. sekaligus seram sewaktu
ia melangkahi tumpukan jerami
yang ditiduri oleh makhluk besar
hitam, melingkar sampai
setinggi pinggangnya. la
terpaksa menahan nafas
beberapa tarikan. Berusaha
menguasai getaran dadanya
yang terguncang, serta menekan
kuat keinginan untuk lari naik
lagi ke tumpukan jeraminya
sendiri.
Moncong lancip makhluk
menyeramkan itu rebah di
lingkaran paling atas.
MonCOng itu terkatup rapat.
begitu pula sepasang matanya
yang tanpa kelopak. Tak ada
suara desis. Bahkan angin pun
seperti tak berani bertiup di
kamar ini. Setelah merasa lebih
tenang sedikit, Margono
melangkahi tumpukan jerami
sang makhluk. Ia berjongkok di
sudut, menyentuh tutup peti kecil
yang menggoda itu dengan
kegairahan meluap-luap, jauh
lebih berpengaruh daripada
kegairahan seksuilnya.
Seperti pintu, peti itu pun tanpa
kunci. Mudah sekali
membukanya. Dan di bawah
sinar lampu damar yang
temaram, muncullah sinar
sinar lain. Sinar-sinar
cemerlang, berkilau
gemerlapan. Margono benar.
Perhiasan emas tidak seberapa.
Yang terbanyak di dalam peti
adalah berlian dan intan. Salah
satu intan itu besarnya
mencapai besar sebutir telur
bebek. Ada juga berbagai batu
jambrud, merah tua,
biru kelam. ungu. hijau bening.
Menyadari harta karun tidak
ternilai kini ada dalam
genggamannya. Margono tanpa
sadar memiringkan peti. Dengan
maksud, cahaya lampu damar
lebih leluasa memperlihatkan
keluarbiasaan serta keindahan
masing-masing benda itu.
Tidak sedikit pun ia sadari.
kerlipan cemerlang intan berlian
yang dipantulkan sinar lampu.
secara silang juga memantul ke
tubuh melingkar di dekat
Margono. Salah satu percikan
sinar menerpa mata terkatup
tanpa kelopak itu. Mata sang
makhluk mengerjap. Mula-mula
tanpa hasrat. Lalu kerjapan itu
terulang kembali, dan mata sang
makhluk kini mengawasi dengan
tajam. Moncongnya bergerak
terbuka disusul lidah bercabang
dan berbuih.
Desis tajam yang menyertai
keluar masuknya lidah sang
makhluk, mengejutkan Mar_
gono. Sejenak ia terpukau ketika
matanya beradu dengan sinar
merah darah kehijau-hijauan di
kepala sang makhluk. Kemudian
ia meraba gagang pisau
komandonya. Siap menghadapi
serbuan.
Jangan. Jangan menunggu.
Seranglah lebih dulu. sebelum
kau didahului!
Meskipun sang makhluk tetap
melingkar dan hanya
menggerakkan mata serta lidah
keluar masuk saja. seakan
pasrah atau tidak perduli.
perasaan takut dan panik lebih
menguasai pikiran Margono.
Naluri ingin menyelamatkan diri
menggerakkan tangannya begitu
cepat. Dengan ketrampilan
seorang ahli, pisau komandonya
melayang sekilas di _udara.
untuk kemudian hinggap dengan
derasnya tepat di antara ke dua
biji mata makhluk itu. Seperti
kesurupan Margono mencabut
pisau dan menusukkannya lagi.
Lagi dan lagi. Ia tidak tahu
bahwa tusukan pertama saja
telah menghancurkan otak sang
makhluk. Melumpuhkan pusat
saraf, membunuhnya seketika.
Bahkan barangkali, sebelum
makhluk itu sendiri sempat
menyadari bahwa manusia tidak
layak dipercaya.
Begitu mengetahui tidak ada
perlawanan, barulah Margono
menghentikan kebuasannya. Ia
merasa pasti makhluk itu telah
mati. Tinggal bangkai. Ia tidak
menyesal. seperti juga ketika ia
tidak menyesal sewaktu menusuk
mati sersan polisi yang
memergokinya sewaktu
melarikan diri dari penjara.
Pada saat ia mengepit
peti kecil berlapis emas itu di
dadanya. ia merasakan
kenyamanan dan kepuasan luar
biasa. Dunia miliknya sekarang.
Dengan isi peti itu. ia dapat
bersembunyi di mana-mana.
Malah ia akan keluar
terang-terangan di tempat
terbuka, mengingat seorang
polisi pun manusia juga seperti
dirinya,ingin tetap hidup. Kalau
mungkin. hidup enak. Terserah
bagaimana caranya!
Itulah ajaran salah seorang
gurunya yang berpengalaman,
guru yang beberapa kali dapat
meloloskan diri secara aneh
apakah itu dari sel tahanan
polisi atau penjara.
Benar,membunuh seorang polisi
berarti tiada maaf bagimu.
Tetapi dengan apa yang kini
dimiliki Margono, di penjara
pun ia tak perlu takut lagi. . . .
la membuka pintu kamar yang
tadi ia tutupkan. mengintip lewat
celah-celahnya. Orang tua
misterius itu masih terlena di
tempat tidurnya, kursi goyang
yang begitu nyaman. Kepalanya
rebah ke arah lain. Salah satu
lengannya terkulai ke lantai,
seolah secara naluriah untuk
berjaga-jaga kalau dalam
tidurnya ia terguling lalu jatuh.
Margono ke luar dari kamar
dengan waspada. Pintu
ditutupkan, dan ia bersijingkat
ke dipan. Bersama pakaian
berserakan yang dipungut di
kamar tidur anak Sumirta
sebelum keluar tadi. ia
buntalkan sekalian peti kecil
yang berisi harta karun itu.
Disimpul kuat. khawatir peti
kecil itu punya tangan dan kaki
untuk melarikan diri. Ia
kemudian rebah di dipan,
berbantalkan buntelan itu juga.
Kokok ayam hutan pertama di
kejauhan. membuka kelopak
matanya lebar-lebar. Ia tidak
mendengar bunyi mendengkur.
tetapi ketika mengintip lewat
kelopak matanya tampak
Sumirta masih rebah di kursi
goyang. Kokok ayam kemudian
disahuti oleh bunyi cicit burung.
mula-mula pelan, kemudian
makin ramai berkicau.
Margono sadar bahwa matahari
belum muncul. Tetapi nalurinya
mengatakan bahwa di luar ia
tidak perlu lagi menakutkan
sesuatu. Tanpa memikirkan
damar lagi. ia bangkit dari
dipan. Bersijingkat ke pintu
depan. agar tidur orang tua itu
tidak terusik. Pamit. adalah
kewajibannya. Tetapi. bila itu
pada saat dan situasi yang tepat.
Dengan bangkai ular sanca
besar di kamar tidur anaknya.
mana Sumirta mau menerima
ucapan pamit Margono"
Dengan berpedoman pada cuaca
terang-terang ayam. Margono
meninggalkan tempat terbuka di
mana dua' pondok terasing itu
terletak. Langkahnya
dilambatkan begitu memasuki
hutan lebat padat. Tetapi dengan
berpedoman pada jalan yang
kemarin ia lalui serta sempat
mempelajarinya ketika si
perempuan mengajaknya ikut ke
pondok, Margono hanya tersesat
dua kali sebelum ia kembali lagi
menemukan jalan yang benar.
Ia tiba di jalan setapak yang
terbuka, tepat ketika sinar
matahari pagi muncul di balik
rimbunan pepohonan.
Persoalannya sekarang. Ke
mana ia harus pergi" Kembali
menempuh jalan
semula, ke desa kakeknya, atau
terus melanjutkan perjalanan
yang kemarin dulu sempat
tertunda" Kemarin dulu! Tetapi
eh, rasanya
kok telah sekian lama waktu
berlalu. Ataukah
semua peristiwa yang telah dia
alami bukan terjadi kemarin.
kemarin dulu. hari-hari
sebelumnya" Mungkin telah
berbulan-bulan. Bahkan siapa
tahu, malah mungkin baru
terjadi satu dua menit barusan.
Di lembah misterius ini, hal-hal
yang aneh telah ia alami dan
bukan mustahil masih banyak
hal-hal aneh lainnya.
Margono tengah berpikir-pikir
untuk pulang ke desa kakek atau
terus ke desa Lamping menemui
ibunya, ketika ia dengar suara
batuk batuk kecil. Ia terpekik
saking kaget. Entah dari mana
datangnya, Sumirta telah berdiri
di sebelahnya. Tiada kantuk di
mata orang tua itu, yang
mengawasi dirinya dengan
tajam. Margono tidak tahu apa
yang mau ia perbuat, apa yang
mau dikata.
Ia hanya terpukau, bagai
linglung tanpa sebab.
Namun seperti biasa. suara
Sumirta tetap masih ramah:
"Jadi juga pergi, Nak
Margono?"
Apakah orang tua ini belum tahu
putrinya sudah tinggal bangkai"
Margono menelan ludah
berkali-kali. lantas menjawab
gugup: "Aku" aku.?" Aduh. apa
yang patut diucapkan"
"Desa mana yang kau tuju?"
Sumirta menjernihkan
pikirannya.
"Lamping!" Margono akhirnya
memutus
"Hem. Kau beruntung, masih
punya ibu.. .," orang tua itu
berkata pelan, tanpa senyum,
juga tanpa motivasi apa-apa.
Margono berpikir Melati sudah
tidak punya ibu, tetapi masih
punya seorang ayah. Sebaliknya,
Sumirta tidak lagi punya
siapa-siapa. Tidak ayah, tidak
ibu, tidak istri. dan kini, tidak
pula anaknya!
"Maafkan aku Pak Mirta." kata
Margono cepat, tanpa tahu
untuk apa sebenarnya ia minta
maaf. Karena tidak pamit, atau
karena Sumirta telah kehilangan
putrinya"
"Sudahlah, Nak. Segala sesuatu
dapat terjadi di dunia ini. Tak
seorang pun dapat mengelakkan,
bukan?"
Sambil berkata demikian,
Sumirta mengawasi buntelan
yang terjinjing di tangan
Margono. Biasa-biasa saja. ia
bertanya: "Apakah bekalmu
cukup?"
Margono manggut-manggut. Tak
kuasa mengatasi kegugupannya.
sehingga lidahnya terasa kelu.
"Kau yakin, bekal itu cukup
untuk menghidupkanmu?"
Manggut lagi Margono.
"Ah, Nak. Kalau kau cuma
manggut. aku tak yakin. Katakan
saja. Karena aku merasa pasti,
kau tidak sempat membawa
makanan dari pondok kami. Lalu
apa saja yang kau bawa"!"
itu pertanyaan menjurus.
Pertanyaan yang menghendaki
jawaban terus terang. Hilang
akal. Margono akhirnya mampu
juga menjawab: "Hanya pakaian
saja, Pak. Setumpuk kain-kain
rombeng!"
"Betul" Bolehkah aku melihat?"
Margono mati kutu. Ia ingin
berontak. la ingin membunuh,
karena membunuh tidak jadi
persoalan lagi sekarang.
Sekaligus ia juga ingin lari.
Menyelamatkan diri. Tetapi
sinar mata orang tua itu teramat
misterius. Mengandung kekuatan
gaib yang seketika menguasai
jiwa dan pikiran Margono.
Seperti halnya seorang anak
patuh dan penurut, Margono
membuka simpul buntalannya
dengan cemas setengah mati.
Tetapi perasaan cemas itu
ternyata tidak perlu.
Yang ia perlukan adalah akal
sehat. Karena apa yang dilihat
Sumirta dan dilihat oleh mata
kepala Margono sendiri, isi
bungkusannya benar seperti apa
adanya yang dia ucapkan tadi.
Hanya pakaian yang berupa
kain-kain rombeng .Cuma
kain-kain rombeng semata.
Jangankan peti berlapis emas
dan segenap isinya. Bahkan baju
dan celana Margono sendiri
yang sebelumnya ia yakin masih
utuh dan kuat, kini tampak tak
lebih dari kain-kain rombeng
usang, rombengan-rombengan
tak berguna!
Dalam keheranan dan kekalutan
pikiran, telinga Margono masih
sempat menangkap suara tajam
Sumirta: "Telah kuingatkan kau,
Nak. Di tubuhmu masih melekat
bau pondok kami. Bau yang
tidak kau mengerti, tetapi tetap
saja tidak dapat kau hindari.
Kau telah mengalami banyak hal
di lembah ini. Misalnya,
lidahmu. Kau tadi mengatakan
kain rombeng, dan itulah yang
kini kau pegang. Ketahuilah
Nak. lidahmu sangat berbisa."
Margono ingin menjerit.
Sayang, ucapan itu hanya
tersimpan di sanubari, dan
hasilnya cuma melemahkan
jantung mengosongkan pikiran
saja. ia semakin merasa
linglung. Juga ketika ia
mendengarkan
petunjuk-petunjuk si orang tua
jalan setapak mana yang harus
ia tempuh untuk tiba dengan
selamat di desa Lamping .
"Sebagaimana orang-orang
sebelum kau," Sumirta
menjelaskan sehabis memberi
petunjuk, "... maka setiba di
pinggir lembah, kau akan
kembali pada dirimu semula.
Dirimu. sebelum kau tersesat ke
tempat kami. Kau tidak tahu dan
tidak ingat apa saja yang kau
alami selama tersesat. Kau tak
ingat siapa kau. siapa anakku. di
mana kami tinggal. dan apa saja
yang kau ketahui mengenai kami
dan tempat tinggal kami.
Selamat jalan. Nak. Dan
ingatlah selalu. Kau menyimpan
sesuatu yang baru dalam dirimu.
sebagai akibat dari
perbuatanmu pada anakku.
Hati-hatilah menjaga lidah.
Karena lidahmu. camkan sekali
lagi. lidahmu sangat berbisa."
Suatu dorongan perintah
menggerakkan kaki Margono
untuk melangkah. Langkahnya
lunglai, tertegun-tegun. Matanya
antara terang dan gelap,
pikirannya kosong, hampa, tak
mampu mencerna apa-apa yang
ia dengar dan lihat. Ia terus saja
melangkah dan melangkah.
mendaki. menurun, mendaki
lagi. melompati selokan,
merayapi tebing terjal di bawah
pengaruh perintah yang sama.
Tanpa tahu. ke arah mana ia
sebenarnya menuju. Kecuali
satu kepastian. bahwa
seseorang. entah siapa dan di
mana. bersedia menerima
kehadirannya.
Tujuannya adalah ke sana.
Pada orang itu.
Ibunya.
Astaga. Ibunya masih hidup.
Luar biasa . Sungguh suatu
keajaiban untuk mendengar
ibunya masih ada dan telah
lama mencarinya. Ibu akan
melindunginya dari kejaran
siapa pun. Di balik ketiak
ibunya. ia akan aman
bersembunyi. Entah sampai
kapan. Tetapi mengapa harus
meributkan masa datang yang
belum tentu"
Lihat di depan sana.
Ada cahaya terang. Cahaya
matahari.
Dan eh, apa itu yang
merah-merah di sebelah kiri
sana" Wah, jambu. Jambu air
yang ranum segar. Betapa
lebatnya! Mengapa tidak ia petik
saja beberapa buah" Toh tidak
akan ada yang tahu. Mungkin
malah jambu-jambu itu tak
bertuan!
Namun baru saja ia akan
memutar tubuh, tiba-tiba ia
teringat: "He. bukankah kakek
bilang. aku tak boleh keluar dari
jalan setapak"!" la ragu-ragu.'
Omong kosong semua itu,
tetapi.... Nalurinya
mengingatkan agar ia menuruti
nasihat kakeknya. Aneh, ia
akhirnya mengalah pada semua
omong kosong yang
menggelikan itu.
Ia meneruskan langkah.
Dengan tenggorokan kering, dan
perut keroncongan. . . .
***
BAB 6
GlLlRANNYA masih tersisa satu
jam lagi. Tetapi air yang
mengaliri sawahnya sudah lebih
dari cukup. Martubi membuang
puntung rokoknya, menutup
pintu air, kemudian berjalan
pulang ke rumah. Biarlah air
saluran itu mengalir terus. Ke
mana saja. Biarlah terbuang
percuma. Atau di suatu tempat,
dicuri seorang pemilik sawah
lainnya. Yang pasti, ia tidak rela
meneruskan arus ke sawah Ki
Sukriya yang tamak itu. Juga ia
tidak bernafsu membuka pintu
air Nyi SariJah, seperti biasanya
bila ada kesempatan. Toh,
bantuannya itu tidak dipandang
seujung rambutpun oleh Nyi
Sarijah.
Apa kata janda itu kemarin"
"Bukannya aku menolak,
tetapi.?" Kalimat pembuka itu
saja sudah jelas. Tak lebih dari
basa-basi. Jadi Martubi tidak
mau menerima begitu saja
alasan yang kemudian
diutarakan oleh Nyi Sarijah:
"Aku terikat sumpah. Beberapa
saat sebelum suamiku
menghembuskan nafas
terakhirnya, aku bersumpah
tidak menyia-nyiakan
anak-anaknya. Bersumpah, akan
tetap menghormati masa-masa
bahagia selama kami hidup
bersama...." Bersumpah atau
tidak, yang pasti Nyi Sarijah
menolak mentah mentah uluran
kasih sayang Martubi. la cuma
bertepuk sebelah tangan!
Beberapa jauh melangkah.
dalam kegelapan tampak
bayang-bayang dua sosok tubuh
menuju pintu air yang barusan
ditinggalkan Martubi. Dengan
memperhatikan sekilas saia.
Martubi tahu kalau ke dua orang
itu adalah
begundal-begundalnya Ki
Sukriya. Keduanya telah tiba di
pintu air, melirik ke arah
Martubi, lantas yang seorang
menggerutu:
"Dasar tua bangka pendengki! "
Martubi menangkap umpatan
itu. Ia marah. Gagang pacul di
tangan, ia genggam erat-erat.
Lalu seorang lainnya lagi ia
dengar berkata:
"Bagaimana kalau kita datangi
dia, dan kita kencingi mukanya
bersama-sama?" Sambil berkata
demikian. orang itu
mengeluarkan golok panjang
dan tajam berkilat dari balik
pinggangnya. Martubi terkesiap.
Jantungnya bagaikan amblas
seketika.
"Sudahlah," kata yang seorang
lagi. "Tanpa kita mengotori
tangan pun. si tua bangka itu
akan mati sendiri. Mati
digerogoti sifat dengkinya"
Kecut hati Martubi sewaktu ia
meneruskan perjalanan pulang.
masakan ia mati karena
digerogoti sifat dengki"
Benarkah ia seorang pendengki"
ia tidak rela memanfaatkan
gilirannya yang tersisa untuk
mengairi sawah ki Sukriya. Ia
juga tak sudi lagi membantu Nyi
Sarijah, setelah janda sialan itu
menolak cintanya. Lalu air
saluran ia biarkan mengalir
perCuma. Bunarkah itu
pertanda dengki"
Kedengkian itulah yang
mendorong anaknya, Sumargo
nekat pergi ke kota. Ia bawa
Margono yang masih bocah.
Kalau bertemu. bocah itu akan
ia jejalkan ke muka istrinya yang
sampai hati lari dengan laki-laki
lain. Sampai ia mati Sumargo
tak berhasil melaksanakan
niatnya. Tak pernah ia berhasil
mencari istrinya yang durjana
itu. la tersiksa. lahir batin. Jadi
ia mati, karena digerogoti sifat
dengki yang tidak tersalurkan.
Atau memang tersalurkan.
namun dalam wujud yang
berbeda" Yakni, menyia-nyiakan
Margono"
"Cucuku yang malang!" keluh
Martubi setiba di rumah. "ia tak
akan pernah jadi perampok,
kalau ia tidak disia-siakan.
Disia-siakan ibunya, kemudian
ayahnya.. .."
Perasaan kasihan pada cucu
itulah yang mendorongnya untuk
meninggalkan rumah begitu ia
selesai sarapan pagi. Lagipula.
tak ada lagi yang ia harapkan di
dunia ini karena Nyi Sartjah
telah menolaknya. Satu-satunya
harapan yang masih tersisa,
adalah lebih memperhatikan
cucunya. Anak itu masih muda.
Masih punya harapan. Biar sulit
dan penuh marabahaya. paling
tidak Margono masih punya
harapan. Martubi akan
menemuinya, mengatakan
padanya bahwa sawahnya yang
tak seberapa itu ia wariskan
semua padanya. Didukung pula
oleh ibu Margono yang kini jadi
istri seorang lurah, Martubi
berharap cucunya akan mau
membuka lembaran hidup yang
baru. Martubi meninggalkan
rumah pada saat setengah
penduduk kampungnya masih
terlelap tidur. Dengan begitu.
mudah baginya menyelinap
pergi tanpa dicurigai Orang
lain. Polisi desa pun sudah
beberapa hari ini berhenti
mengintip-intip di sekitar rumah
Martubi. Mungkin karena
tersiarnya kabar dari kota.
bahwa Margono lenyap tanpa
jejak, dan alat negara kembali
disibukkan perkara-perkara lain
yang jauh lebih penting dari
buronan mereka yang satu itu.
Martubi menerobos ladang
tetangganya. menyisiri sungai
sampai ke jalan raya. Tidak
menempuh jalan umum, karena
ia belum yakin bahwa polisi
desa benar-benar sudah
mempersetankan Margono.
Setelah menunggu beberapa
menit, ia naik sebuah bus
sampai ke kota kecamatan. Dari
situ naik oplet yang melewati
desa Cibeureum. Dari desa
Cibeureum barulah ia naik ojek,
dan turun setelah ojek itu tidak
lagi mampu menanjak jalan
mendaki berbatu-batu. Dari
rumahnya sampai ke tempat itu,
Martubi menghabiskan waktu
cuma dua jam. Tetapi
perjalanan seterusnya yang
harus ia tempuh dengan jalan
kaki. akan makan tempo sekitar
tiga jam. Memang melelahkan,
tetapi di lain pihak ia juga
merasa gembira. Gembira
memikirkan bahwa desa
Lamping letaknya begitu
terpencil. Komunikasi ke daerah
sekitar boleh dikatakan seperti
terputus. Sungguh jitu otak
Martubi menyarankan cucunya
pergi ke desa lamping. Meski
untuk itu, Martubi terpaksa
membuka rahasia masa lalu.
Biarlah. Yang penting, desa
Lamping sangat cocok dipakai
bersembunyi.
ia tiba di desa Lamping
menjelang tengah hari.
Meskipun komunikasi dengan
dunia luar sangat terbatas.
Martubi melihat bahwa Lamping
sudah berubah lebih maju. Jauh
lebih maju dari waktu ia
bertahun-tahun silam datang ke
desa yang sama. untuk melayat
seorang kerabat yang meninggal
dunia. Lurahnya waktu itu hanya
ia kenal sepintas lalu. Sekarang.
takdir menghendaki mereka jadi
kerabat. setelah lurah itu kini
menikahi ibunya Margono.
Seraya mengagumi kemajuan
yang banyak dicapai desa
Lamping, Martubi membalas
tegur sapa orang-orang yang
berpapasan dengannya. Ia juga
tak segan-segan memberitahu
tujuannya, ingin ke balai desa.
"Mau bertemu Pak Lurah."
katanya. Ia merasa bebas di sini.
Tak sebebas di desanya sendiri.
Terutama. dalam kaitan dengan
cucunya.
Di balai desa, ia disuruh
menunggu sebentar. Pak Lurah
tengah mengadakan rapat
dengan pengurus LKMD
(Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa). Saat-saat
menunggu ia pergunakan untuk
istirahat. Baru sekarang ia
rasakan betapa melelahkan
perjalanan jauh yang harus ia
tempuh, demi cucunya. Juga
baru sekarang ia sadari, bahwa
ia tidak semuda dulu lagi.
Mungkinkah karena itu Nyi
Sarijah menolak lamarannya"
Setengah jam kemudian barulah
ia dipersilahkan bertemu Pak
Lurah secara pribadi. Tuan
rumah mengawasi tamunya
sebentar dengan dahi berkerut.
kemudian sambil tersenyum
lebar berkata: "Pak Martubi ya"
Mertua istriku?"
"Bekas mertua," Martubi
memperbaiki. seraya membalas
uluran tangan tuan rumah.
Mereka berdua tertawa. namun
Martubi melihat bahwa suara
tawa tuan rumah tidaklah
sepenuh hati. Waktu ia
perhatikan lebih seksama,
barulah ia sadari bahwa tuan
rumah lebih pucat, lebih kurus
dari saat kedatangannya ke
desa Martubi untuk menikah
dengan bekas menantu Martubi.
Matanya pun kelihatan seperti
tak bergairah. "Tampaknya Pak
Lurah tidak enak badan ya?" ia
bertanya, simpatik.
Tuan rumah menghempaskan
pantatnya di kursi. Tampak
teramat lelah. Dan menderita.
"itulah," katanya. "Itulah yang
sering mereka katakan tentang
diriku. Pak Martubi. Lalu aku
bilang. aku sehat walafiat saja.
Bukan aku yang sakit. Tetapi . . .
." '
"Maryati?" bisik Martubi.
Curiga. sekaligus waswas.
"Heeh ."
"Apa yang terjadi?"
"Banyak sekali. Dan serba
membingungkan. Eh, Bapak
belum bertemu dia, kalau
begitu?"
Martubi tersenyum. "Aku kira
kurang pantas kalau aku
langsung ke rumah kalian. Aku
seorang bekas mertua saja.
bukan?"
"Kau membuatku malu. Pak
Martubi. Kita sudah menjadi
keluarga besar. sekarang.
Maksudku. sejak saat pertama
kali cucumu datang ke rumah
kami. ..."
Kabar itulah yang paling
ditunggu Martubi. Jadi cucunya
selamat, tak kurang suatu apa.
Lembah Hantu telah
dilewatinya. Lalu mengaPa
Maryati jatuh sakit" Pasti bukan
sakit biasa, karena tampak
berpengaruh besar pada
suaminya. Martubi merasa tak
enak, dan ia mengeluarkan isi
hatinya dengan terus terang:
"Margono penyebabnya?"
Tuan rumah manggut-manggut,
disertai keluhan tak jelas. itu
membuat rasa sayang Martubi
pada cucunya sempat terampas.
ia menjadi marah. Dan
kemarahan itu pun ia lontarkan
tanpa berpikir panjang: "Anak
berandal dan tak tahu diuntung
itu! "
Lurah desa Lamping
mengerutkan dahi. Berpikir
sebentar, kemudian memberikan
komentar yang kontras:
"Setahuku, Margono anak yang
baik. Tak suka berkeliaran ke
luar rumah. Ia memang agak
pendiam. tetapi itu pun kukira
karena ia kurang begitu sehat.
Barangkali kelelahan.
Bayangkan. ia menerobos
gunung dan lembah. Bukan
menempuh jalan biasa. Katanya
sih, cari pengalaman. Begitulah
anak-anak muda sekarang.
Bersemangat tinggi. Tapi lupa
kemampuan mereka ada
batasnya...."
Dalam hati, Martubi
bertanya-tanya. Sudah tahukah
orang ini siapa dan apa
pekerjaan Margono" Bagaimana
pula dengan Maryati"
Perempuan itu tidak banyak
mengetahui tentang anaknya,
kecuali apa yang pernah
diutarakan Martubi: Margono
tinggal di kota, tidak punya
pekerjaan tetap, tetapi di kota ia
tidak kekurangan, tak perlu
dicemaskan -aku akan
memanggilnya pulang. begitu
kudapatkan alamatnya yang
terakhir. Sungguh sebuah dusta
besar. Dan sekarang, setelah
Maryati dan suaminya
mengetahui-Ataukah belum"
Sama saja : suatu saat mereka
akan tahu. Dan pertanggungan
jawab akan mereka tuntut dari
Martubi!
Setelah menghela nafas panjang,
Martubi bertanya hati-hati:
"Apakah cucuku tidak
menyusahkan?"
"Menyusahkan?" Pak Lurah
geleng-geleng kepala. "Ia justru
membahagiakan ibunya. Sejak
kedatangannya, ibunya begitu
gembira, tampak jauh lebih
muda. . . ."
,,Dan"!
"Datanglah kesusahan itu.
Kesusahan yang
membingungkan. Membuat aku
putus harapan, karena tidak
tahu harus berbuat apa....
Beberapa hari lalu. Margono
tiba-tiba menghilang. Tanpa
pamit, tanpa kabar berita. Sejak
itulah istriku jatuh sakit.
Perilakunya aneh, keinginannya
lebih aneh-aneh lagi. Keinginan
yang Sungguh tak masuk diakal.
.. ."
"Aku tak mengerti. Bagaimana
cucuku... pergi?"
"Tak ada yang tahu ."
"Mengapa" Apakah terjadi...
sesuatu?" Martubi
membayangkan polisi.
"Tidak ada sesuatu pun yang
terjadi. Kecuali. bahwa
Margono tiba-tiba lenyap.
Lenyap begitu saja. Bagai
ditelan bumi'"
"Wah...."
"Lebih wah lagi, apabila Pak
Martubi tahu apa yang
kemudian terjadi pada istriku."
"Apa yang terjadi dengan
Maryati?"
"Sejak kepergian Margono,
istriku selalu ketakutan.
Mengurung diri di kamar, dan
kalau ia kebetulan dapat tidur.
dalam tidurnya ia menjerit-jerit,
menceracau tak menentu. Tiap
kali ia menyebutnyebut nama
anaknya. Atau kata-kata seperti
'tidak', 'jangan', 'pergi', bahkan
beberapa kali' ia
mengingaukan.. .setan! "
Hampir terlonjak Martubi dari
kursinya. "Setan?" tanyanya,
kelu. Bayangan Lembah Hantu
dan cerita-cerita ganjil
menakutkan sekitar lembah itu
maupun penghuninya,
mencemaskan Martubi. "Setan
apa?"
"Entahlah. Pendeknya, tiap kali
terjaga dari tidurnya, istriku tak
mau bercerita apa-apa. Kecuali
hanya menangis dan menangis.
Lalu terjadilah peristiwa itu . . .
."
Martubi mendengarkan dengan
takjub kisah yang diutarakan
lurah desa Lamping, ketika
suatu hari ada seekor anjing
menerkam ayam tetangga. Yang
punya ayam marah. lalu
menyambit si anjing. Anjingnya
melawan. Menggigit
penyambitnya. Orang-orang
yang melihat segera datang, dan
anjing itu dipukuli berama
ramai.
Didalam rumah. Maryati yang
berbaring sakit di tempat tidur.
tiba-tiba melonjak bangun
mendengar suara anjing
terkaing-kaing. "Anakku! Oh,
anakku!" ia memekik lalu berlari
larian ke luar rumah. ia
berteriak-teriak pada
kerumunan orang agar jangan
memukuli anaknya. Dengan
terheran-heran para tetangga
kemudian menyaksikan
bagaimana Maryati mendatangi
anjing yang sekarat itu. Ia
bersimpuh, seakan mau memeluk
makhluk malang yang terluka
parah di depan matanya. Lalu
tiba-tiba Maryati merintih: "ia
bukan anakku." lalu dengan
langkah lunglai pulang ke
rumah. "Aku begitu malu karena
peristiwa itu," Lurah desa
Lamping mengeluh sakit. "Sukar
untuk membela keanehan
perilaku istriku. Lalu pada
mereka semua kubilang, istriku
sakit dan agar mereka semua
bubar dan tidak meributkan
persoalan itu lagi. Sampai di
situ. semuanya beres.
Tampaknya. Kemudian. istriku
selalu terkejut mendengar suara
anjing menggonggong, apalagi
di malam hari. Dan
menyebarkan desas-desus.
istriku terkena gunaguna...."
Tuan rumah mengerang lembut.
Katanya: "Aku justru tengah
berniat mencari dukun. sebelum
istriku tiba-tiba memintaku
memenuhi tuntutannya. Agar
aku mencarikannya seekor
anjing hitam besar, bermata
merah saga!"
"Wah. ..," lagi-lagi hanya itu
komentar yang mampu
diucapkan Martubi.
Seakan tak mendengarnya, tuan
rumah meneruskan: "Aku telah
membawakannya beberapa ekor
anjing. Kulitnya hitam. bulunya
hitam. Tetapi istriku bilang,
anjing itu kurang besar. Atau.
matanya hitam, bukan merah.
Ada yang merah, tetapi kata
Maryati kurang merah lagi. Dia
bilang, mata anjing itu harus
berwarna kalau tak semerah
saga, haruslah semerah darah.
Ya Tuhan!" suami yang malang
itu mengusap wajahnya dengan
putus asa.
Martubi membasahi bibirnya
dengan lidah, kemudian
bergumam hati-hati:
"Barangkali, Maryati memang
terkena. .. ."
"Guna-guna?" potong tuan
rumah dengan kesal. "Aku tak
mau percaya itu. Lagipula.
setelah kupikir cukup lama, aku
merasa belum pernah punya
musuh, atau berbuat sesuatu
yang menyakiti hati orang. Aku
tak gila kedudukan, tak suka
menumpuk harta. Aku
perlakukan semua orang tanpa
membedakan kedudukan
maupun kekayaannya. Setiap
saat aku berpikir dan berusaha
bagaimana aku harus
memajukan desa ini. memajukan
kehidupan rakyat di sini.
Satu-satunya yang kukira belum
sempat kulakukan, hanyalah
membuka komunikasi dengan
dunia luar. Untuk itu,
kemampuan desa sangat
terbatas. Sedang bantuan dari
beliau-beliau di atas sana.
hanya berupa janji belaka. Aku
dapat mengerti .Apa apa yang
dihasilkan desa ini hanya cukup
untuk menghidupi rakyatnya
sendiri. Tidak ekonomis untuk
dunia luar. Sayangnya,
penduduk di sini sudah merasa
puas dengan apa yang telah
mereka capai. Lalu. dengan
mereka menghormatiku dan
merasa puas dengan caraku
memimpin mereka, siapa pula
yang harus kutakuti sebagai
musuh?"
"Barangkali, ada sebab lain,"
Martubi berujar hanya sekedar
berujar, karena tidak tahu lagi
apa yang mau dikatakan.
"Misalnya. maaf -dari pihak istri
tua"." dan Martubi terkejut
sendiri. Menyesali tuduhan
sembarangan yang dapat
menyakitkan hati itu.
Tetapi tuan rumah hanya
tertawa parau. "Kau tahu. Pak
Martubi" Dua-dua istriku hidup
rukun, bahkan melebihi saudara
kandung. Bahkan istriku yang
pertamalah yang dengan tekun
dan setia menjaga Maryati
selama madunya ini menderita
sakit. Ia bahkan menghormati
Maryati. Karena berkat
pengalaman-pengalaman
Maryati selama tinggal di kota,
perempuan-perempuan desa
Lamping kini berpikiran lebih
maju. dan tidak hanya
mengandalkan hidup dari hasil
sawah dan ladang.
Kursus-kursus keterampilan
yang didirikan dan diawasi
Maryati berkembang pesat.
meski ia baru lima bulan
menjadi warga desa kami. Sudah
tampak harapan, hasil
kursus-kursus itu dapat kami
perkenalkan ke luar desa.
Mungkin sampai ke kota
kabupaten. Kalau itu berhasil,
akan terbuka" jalan menuntut
dibangunnya sarana komunikasi
ke desa ini oleh Pemerintah.
Maryati sungguh merupakan
mujizat buat kami. Terutama
buatku. Karena?" wajah tuan
rumah lebih bersinar kini. "la
tengah mengandung anakku
yang pertama!"
"Ah" Martubi tanpa sadar
bertepuk tangan. "Jadi itulah
sebabnya. Maryati mengandung,
dan karena kandungannya. ia
berperilaku aneh, meminta yang
aneh-aneh.?"
"Aku sependapat," tuan rumah
menyetujui. Namun tanpa
kegembiraan. Martubi mau tidak
mau terhenyak. Berpikir keras.
Perempuan yang hamil muda
memang sering menyusahkan.
Seperti sekarang ini: mengidam
anjing. Anjing besar hitam,
bermata semerah darah!
"Kita harus mendapatkannya.
Mendapatkan anjing yang
diinginkan istrimu,
bagaimanapun caranya'"
Martubi berkata mantap.
"Setelah itu, baru memikirkan
kemana perginya Margono, dan
setelah bertemu, menyadarkan
perbuatannya yang dungu telah
menyusahkan ibunya yang
begitu baik."
"Itulah yang membuatku
semakin susah. Pak Mart ubi."
kembali tuan rumah mengeluh.
"Maksudmu?"
"Anjing yang diidam idamkan
istriku. Aku tak pernah berharap
bahwa ada anjing seaneh
bahkan --rasanya semengerikan
begitu. Tetapi. sungguh luar
biasa. Anjing itu memang ada.
Beberapa orang kepercayaanku
tengah berusaha mengikuti
jejaknya dan kalau bertemu,
agar menangkapnya tanpa
cidera. Di sinilah timbul
kesulitan baru. Anjing yang
sama. ternyata juga dicari oleh
orang-orang lain, untuk
kepentingan yang berbeda...."
"Ahhh!" Martubi berdesah,
takjub.
"Anjing itu," tuan rumahnya
berkata dengan nada cemas.
"Pernah terlihat atau diketahui
muncul di dua tempat. Dan
kemunculannya. tak kalah
mencemaskan dengan apa yang
diderita istriku!"
" Mencemaskan bagaimana?"
"Boleh dibilang, malah
mengerikan." jawab Lurah desa
Lamping yang tampak semakin
menderita itu. Malu ia
menceritakan apa-apa yang ia
dengar dari orang-orang
kepercayaannya yang ia suruh
mencari anjing dimaksud.
"Nyi Imas. pemilik warung
dikampung Banjar baru saja
akan menutup warungnya
karena hari sudah malam. ketika
tiba-tiba ia dikejutkan oleh
munculnya seekor anjing besar
berbulu hitam. Mata anjing itu
merah. teramat merah, dan
sorotnya memukau Nyi imas.
Sebelum Nyi Imas sempat
berteriak untuk mengusir anjing
itu, ia sudah diserang. Anehnya,
ia tidak digigit. Hanya
pakaiannya yang dicabik-cabik
sampai tubuhnya boleh dibilang
telanjang. Lalu, entah kekuatan
gaib apa yang mempengaruhi
Nyi Imas sehingga ia tidak
berani melawan ataupun
berteriak minta tolong, Nyi Imas
pun diam saja ketika anjing itu
menindihkan tubuh telanjangnya
lalu memperkosanya!"
"Mustahil, bukan?" keluh Lurah
desa Lamping melihat Martubi
tercengang. "Tetapi itulah yang
diceritakan Nyi Imas, ketika
suaminya kemudian melihat dia
merayap seorang diri di lantai
warung, memunguti pakaiannya
yang compang-camping. Nyi
Imas menceritakan
pengalamannya sambil
menceracau seperti orang gila.
Mulanya sulit dipercaya. Sampai
hari berikutnya. di pancuran air
kampung Parigi, peristiwa sama
dialami seorang gadis. Gadis itu
sungguh sial. kebetulan mencuci
sendirian di pancuran. Ia juga
terpukau. dan tak berdaya ketika
disetubuhi. Baru ketika ia
merasakan perih sewaktu
keperawanannya pecah -ia
menjerit dan jeritannya didengar
teman-temannya yang belum
pergi terlalu jauh.

***

Mereka berlari-lari mendatangi.


dan melihat sesosok makhluk
besar hitam tengah menggagahi
si gadis. Mereka pun
berteriak-teriak minta tolong.
Makhluk itu melepaskan
mangsanya, kemudian melarikan
diri. Sejak hari itu. tak ada lagi
kabar berita mengenai anjing
yang menakutkan itu. Kecuali
bahwa. beberapa laki-laki
pemberani dari kampung Banjar
dan Parigi telah bekerja sama
untuk mencari anjing itu sampai
dapat dan kemudian
membunuhnya...."
Untuk ke sekian kalinya.
Martubl bergumam: "Wah"
Untunglah jurutulis desa muncul
untuk pamit pulang karena hari
sudah mulai gelap. Jurutulis
menyerahkan berkas-berkas
yang telah ia kerjakan dan
merupakan kelanjutan hasil
rapat kepala desa dengan
pengurus LKMD.
Hampir tak menaruh perhatian
pada berkas berkas itu. Pak
Lurah bangkit dari duduknya.
Berkata menyesal: "Maaf. Pak
Martubi. Kami lupa
menyediakan air minum. Ayo
kita ke rumah. Perutku
mendadak lapar. Juga Pak
Martubi. bukan?"
Dalam perjalanan ke rumah
lurah itu. mereka tak berbicara
sepatah pun. Dua-duanya
dipenuhi pikiran-pikiran kacau.
Lurah memikirkan istrinya.
Martubi memikirkan cucunya.
Mungkin. hanya dalam satu hal
pikiran mereka sama: makhluk
apakah kiranya, anjing besar
hitam bermata semerah darah
itu"
***
BAB 7
MARYATI terbujur kaku di
tempat tidur, tanpa daya.
Sepasang matanya terbuka
lebar, seakan mencari sesuatu di
langit-langit. Mulutnya megap
megap, susah bernafas. Ia tidak
bergerak atau pun menoleh
ketika suaminya. melangkah
masuk diiringkan Martubi.
Wajahnya tampak sangat pucat.
Tubuh pun jauh lebih kurus
dibanding terakhir kali Martubi
melihatnya lima bulan yang lalu.
Perhatian Martubi kemudian
beralih pada Supinah, istri
pertama tuan rumah, yang
bergegas bangkit menyongsong.
Wajahnya pun pucat,
gerakannya lemah. dan mata
memerah karena kurang tidur.
"Pak Martubi, aduh. Syukurlah
kau datang!" sambutnya,
bergetar. Diambilnya tangan
kanan Martubi, lalu dicium
khidmat. Waktu Supinah
tengadah lagi. ia memohon lirih:
"Tolonglah Dik Maryati, Pak
Martubi. Lakukanlah sesuatu
untuk mengurangi
penderitaannya. Kasihan.
Dia...,," dan air matanya pun
mengalir jatuh.
Sambutan perempuan itu
membuat Martubi terharu.
Sekaligus ia juga kagum,
bersimpati. Tutur kata maupun
air mata Supinah begitu tulus.
sehingga Martubi dapat
membayangkan betapa
perempuan ini tanpa mengenal
lelah merawat dan menjaga
Maryati, saingan berat dalam
rumah tangganya.
"Aku akan berusaha...
sedapatku." Martubi menyahut.
"Kau pasti dapat, Pak Martubi.
Kau lebih mengenal Dik
Maryati. Lebih dekat padanya!"
Benarkah. pikir Martubi.
Benarkah ia lebih mengenal
Maryati" Mungkin, dan itu telah
lama berlalu. Ketika Maryati
masih bocah perempuan kecil
yang tiba-tiba hamil, menjadi
menantunya, kemudian
memberikannya seorang cucu.
Bocah perempuan itu tidak tahu
pahit getirnya hidup. apalagi
soal berumah tangga. Tidak tahu
membedakan mana bujuk rayu
yang patut dituruti, mana yang
harus dijauhi karena di balik
bujuk rayu itu tersembunyi hati
yang busuk berulat. Maryati
termakan hati berulat itu, tega
meninggalkan suami dan anak,
meninggalkan Martubi yang
sebenarnya mengasihinya.
Semenjak itu si bocah
perempuan tidak pernah lagi
dilihatnya. Sampai belasan
tahun kemudian. ia muncul lagi.
Lebih dewasa. lebih matang,
tampak tetap muda dalam
usianya yang sudah 35 tahun.
dan lebih cantik dari yang
pernah diketahui Martubi. Ia
muncul begitu tiba tiba, untuk
kemudian pergi lagi. Mengikuti
suaminya yang terbaru!
Martubi menarik nafas panjang.
Maju dua langkah mendekati
tempat tidur. la bungkukkan
badannya , untuk dapat
menyentuh rambut Maryati.
Berbisik lembut: "Yayah" Kau
mendengarku, Yayah?"
Kelopak mata si sakit
mengerjap. Mulut kumat-kamit
sebentar, lalu terdengar erangan
lirih: "Ba--pak?" Tangannya
mencari-cari. Martubi
menyambut tangan itu.
menggenggamnya.
melimpahinya kasih sayang.
Luka yang pernah ditinggalkan
Maryati, mencair
perlahan-lahan. Hampir tidak
terasa lagi bekasnya di hati
Martubi.
"Ini aku, Nak. Apa yang
terjadi?"
"Bapak?" Mata yang hampa itu
memancarkan sinar. namun
hanya sekejap. "Bapak. dia
datang lagi...."
"Dia siapa, Yayah?"
"Anakku. Dia datang. .. lalu
pergi lagi!"
"Aku tahu. Nak. Aku tahu. Tetapi
nantilah itu kita bicarakan, ya?"
" Dia datang, Bapak." Maryati
seakan tidak mendengar.
"Melayang-layang dari balik
kegelapan. la berlari-lari ke
arahku. Lalu -tiba-tiba ia
-terjatuh. la menjerit minta
tolong.
Lalu aku berlari.
menyongsongnya. dan. dan ia
menghilang begitu saja... "
Sedih bercampur bingung,
Martubi berkata menghibur:
"Tabahkan hatimu, Yayah. Aku
akan membantu menemukan dia
untukmu. ..."
"Bapak tidak akan dapat
menolongku. Suamiku juga...
tidak. Tidak seorang pun dapat
menolongku. Tidak seorang pun.
. . ."
"Mengapa tidak, Yayah?"
"Karena karena. . .. Aduh,
Bapak. Aku sakit. Tubuhku lelah
sekali rasanya. Aku juga ingin
tidur...."
"Tidurlah."
"Tetapi aku takut."
"Takut apa, Yayah?"
"Takut kalau aku bangun, dia
sudah pergi lagi...."
"Tak usah takut, Nak. Kalau
anakmu datang, ia akan kuikat
ke tempat tidurmu agar tak pergi
lagi meninggalkanmu."
"Jangan. Jangan kasari dia.
Bapak."
"Kalau begitu, akan kukurung
dia di kamar ini. Akan kujaga
sendiri. Supaya nanti kalau kau
bangun, ia akan tetap di sini. Di
dekat mu.?"
"Terima kasih, Bapak. Kau baik
sekdi. Baik... sekali...," suara
Maryati melemah. semakin
lemah. Tangannya masih
menggenggam erat tangan
Martubi. Seolah ia mencari
perlindungan. Seperti dulu ia
pernah meminta nya dengan
manja, mengadu dengan lugu:
"Bapak' Kang Margo jahat.
Pantatku digigitnya!"
Ketika Maryati benar-benar
tertidur dan nafasnya lebih
teratur, Martubi dengan hatihati
menarik tangannya. Seraya
menahan air mata, ia berpaling
pada tuan rumah. Namun di
mata suami Maryati. ia
mendapatkan kegetiran dan
kesulitan yang sama. Bagaimana
kalau nanti Maryati terjaga, dan
menuntut kehadiran anaknya"
Lurah desa Lamping itu
memaksakan senyum di bibir,
menghibur diri sendiri tetapi
siasia. Ia berbisik mengajak
Martubi meninggalkan kamar
tidur. "Kita bicarakan di luar
saja. . . ," katanya tak
bersemangat.
Dua gelas kopi kental panas
telah dihidangkan Supinah untuk
mereka berdua. Dari suara
suara yang didengar Martubi
dari arah dapur. Martubi tahu
bahwa saat itu Supinah tengah
sibuk untuk mempersiapkan
makan malam mereka.
Setelahnya"
Martubi duduk dengan gelisah.
Tuan rumah, tak kurang gelisah.
Mereka sama-sama membisu.
Tak seorang pun berselera untuk
mencicipi kopi yang terletak di
depan masing masing. Malah
tuan rumah sampai lupa
mempersilakan tamunya minum.
Keduanya sama
termenung. Duduk kaku di
tempat masing masing.
Menunggu .
Tetapi apa yang mereka tunggu"

Seakan menjawab pertanyaan


yang musykil itu. terdengar pintu
depan diketuk orang dari luar.
Pak Lurah sampai terkejut,
kemudian bergegas bangkit
untuk membukakan pintu. Di
luar. malam sudah gelap. Lampu
yang lebih dulu sudah
dinyalakan Supinah, menerangi
tubuh seseorang di beranda.
Seorang laki-laki yang dari
rambut, jenggot serta kumisnya
jelas telah berusia lanjut.
Berdirinya tegak, perkasa
seperti tubuhnya yang tinggi
kekar sebagai kontradiksi yang
sungguh menyolok.
"Maaf," suaranya terdengar
dalam dan berat. "Apakah benar
ini rumah Pak Lurah."
Yang ditanya. menganggukkan
kepala. Masih kalut oleh pikiran
pada istrinya, tuan rumah
bergumam tak ramah: "Ada
perlu apa?"
Tamu misterius itu
memperlihatkan senyuman tipis.
"Boleh saya ketemu Pak
Lurah?" katanya berharap.
"Aku sendiri."
"Namaku Sumirta," tamu itu
memperkenalkan diri seraya
mengulurkan tangan yang
dengan segan-segan dijabat oleh
tuan rumah yang setelah
bingung sesaat kemudian
mempersilakan tamu asing itu
masuk dan mengambil tempat
duduk. Sementara tuan
rumah beranjak ke dapur untuk
membentahu istrinya agar
mengantarkan minuman untuk
tamu yang baru datang, Martubi
mengawasi si pendatang.
Pakaian orang itu berbeda
dengan pakaian Martubi sebagai
seorang petani. Berbeda dengan
pakaian Pak Lurah sebagai
orang yang dihormati.
Sederhana, rapih, tidak ada
yang istimewa atau yang dapat
dijadikan petunjuk mengenai
pekerjaan maupun asal usulnya.
Tanpa dapat menahan diri,
Martubi lalu bertanya: "Bukan
orang sini, ya?"
"Aku datang dari jauh. Dari
balik gunung," jawab orang
yang menamakan dirinya
Sumirta itu.
"Malam-malam begini"
Tentunya penting sekali."
"Benar."
Tetapi orang tua itu baru mau
menceritakan tujuannya datang,
setelah tuan rumah bergabung
lagi dengan mereka, diikuti
Supinah yang membawa segelas
minuman. istri tuan rumah
melirik curiga ke arah tamunya,
mengawasi sebentar sebelum
menangkap lirikan menegur dari
sang suami. Setelah mana,
Supinah bergegas kembali ke
dapur.
;"Maafkan atas sambutan kami
yang kurang pantas," ujar tuan
rumah. Berusaha ramah,
rupanya telah dapat menguasai
dirinya kembali. "Apa yang
dapat kami bantu, Pak
Sumirta?"
"Sebaliknya. akulah yang ingin
membantu." jawab Sumirta,
tersenyum.
"Oh ya?"
"Kalian mencari sesuatu,
bukan?"
"Kami tidak "."
Ucapan Pak Lurah dipotong
tamu misterius itu: "Sudahlah.
Tak usah malu mengakuinya.
Apa yang kalian hadapi, adalah
hal yang wajar dan lumrah
terjadi di jagad raya yang
mengandung begitu banyak
hal-hal gaib dan musykil.
Maafkan kalau aku berlaku
kurang sopan. Tetapi benarkah
kalian mencari seekor anjing
besar hitam, bermata semerah
darah?"
Pak Lurah tercengang. Akan
halnya Martubi, diam-diam
menahan nafas. Jantungnya
berdegup kencang. Apakah tadi
nalurinya yang "membisikkan
agar ia berjanji pada Maryati
untuk menemukan anak yang
hilang itu" Apakah janji itu akan
terpenuhi, melalui orang tak
dikenal ini" ia berdehem halus,
dan dengan lirikan matanya
yang ditangkap oleh mata Pak
Lurah, ia mengisyaratkan agar
bersikap lebih terbuka.
Suami yang tengah diliputi
gundah gulana itu, menelan
ludah sambil berpikir keras.
Kemudian: "Dari mana Bapak
mengetahui tentang anjing itu"'
Sumirta mengelus jenggotnya
dengan gerakan sambil lalu.
Menjawab: "Kisahnya panjang.
Tetapi baiklah kuceritakan garis
besarnya saja!"
Menurut Sumirta, selama
beberapa hari terakhir ini
tidurnya terganggu oleh
kehadiran makhluk asing di
sekitar pondok tempatnya
tinggal. Ia tidak mau
menjelaskan di mana letak
pondok itu, kecuali satu petunjuk
samar: di kaki gunung. Makhluk
itu, katanya. muncul tidak
terlalu dekat. Bahkan hampir
tidak terlihat. Tetapi berkat
kemampuannya melihat jauh
maupun melihat dalam
kegelapan, Sumirta tahu
bintik-bintik merah menyala
yang sering dilihatnya, adalah
sepasang mata. Mata yang terus
mengawasinya, entah dengan
maksud apa. Kadang-kadang.
sinarnya seperti menuduh,
kadang-kadang seperti
memohon pertolongan. atau
putus asa. Namun tiap kali
didekati, makhluk itu segera
melarikan diri.
"Seperti ia takut padaku," kata
Sumirta di tengah ceritanya.
"Yang pasti, aku kemudian tahu
bahwa makhluk itu berupa
anjing. Anjing
besar berbulu hitam pekat.
Matanya semerah darah ...."
Sementara ia masih
dibingungkan oleh kehadiran
makhluk berperilaku ganjil itu.
Sumirta kebetulan bertemu
dengan seorang kenalan, yakni
pencari rotan yang sudah lama
dikenalnya dan kemudian
menjadi sahabatnya. Lewat
sahabatnya itu Sumirta
mendengar bahwa makhluk yang
sama tengah dicari-cari oleh
penduduk sekitar. Ia juga
menceritakan apa yang ia
dengar dari penuturan kelompok
pencari makhluk itu, bahwa ada
seorang perempuan yang
tiba-tiba kehilangan anaknya
setelah mana kemudian jatuh
sakit dan sering mengigau
tentang anjing.
"Waktu sahabatku menyebut
desa Lamping, aku pun lantas
mengerti," Sumirta mengawasi
pintu yang tertutup di belakang
punggung tuan rumah. "Aku
pernah mengenal seseorang
lain, yang katanya akan pergi ke
desa Lamping untuk
mengunjungi ibunya. Kemudian
aku berpikir. Berpikir tentang
beberapa hal yang kuketahui
mengenai orang itu, mengenai
ibunya, lalu makhluk yang
berkeliaran di sekitar tempat
tinggalku. Naluriku berkata.
antara semua itu ada jalinan
yang saling kait berkait satu
sama lain. Maka kuputuskan
untuk berbuat sesuatu. Lalu aku
pun berkunjung ke rumah ini ...."

Sementara tuan rumah hanya


termenung menung bingung,
Martubi merasakan detakan di
jantung. Orang yang diceritakan
Sumirta pastilah cucunya,
Margono. Kalau benar.
maka tamu misterius ini tentulah
tinggal di sekitar Lembah Hantu.
Bahkan bukan tidak mustahil.
orang ini salah satu penghuni
Lembah Hantu!
Seraya menjilat bibirnya yang
mendadak kering. Martubl
bergumam parau: "Apakah
orang yang Bapak maksud.
seorang pemuda bernama
Margono "
Dengan wajah datar. sang tamu
menjawab: " kukira demikianlah
namanya
"la ia tersesat?" tanya Martubi
lagi, dengan suara tercekik.
"Tersesat ke mana?" Sumirta
balas bertanya. tajam. Dengan
sorot mata yang lebih tajam
lagi. Sorot mata memukau. yang
membuat Martubi terdiam. tak
kuasa lagi berkata apa apa.
Martubi kemudian berpaling
pada tuan rumahnya. dan
dengan gelisah berkata: "Kalau
tak salah. waktu pertama kali
Margono datang ke sini. ia agak
sakit. bukan?"
"Kukira hanya letih," sahut Pak
Lurah. "Seorang penduduk
menemukannya tergeletak
kepayahan di pinggir hutan.
Anak itu pucat. tak bertenaga.
Jelas ia sangat kelaparan. Ia
tidak membawa bekal. kecuali
sebuah buntelan berisi kain-kain
rombeng ."
"Kain rombeng?" celetuk
Martubi. tak mengerti.
"Seingatku. selain makanan
secukupnya. ia juga kubekali
satu stel baju dan celana yang
masih utuh. Selain yang ia
pakai. tentunya. Bukan
baju-baju mahal. tetapi aku
yakin terbuat dari bahan yang
kuat dan tak mudah rusak.
Tetapi kain-kain rombeng?"
Martubi geleng-geleng kepala.
Ia menoleh pada si tamu
misterius. tetapi dengan cepat
berpaling untuk menghindari
pandangan menusuk dari mata
orang tua yang muncul entah
dari mana itu.
Situasi sunyi menegangkan yang
berlalu beberapa helaan nafas,
untunglah segera dipecahkan
oleh suara ramah tuan rumah:
"Pak Sumirta. Tadi kau katakan
kaitan dari semua yang kau
dengar dan lihat. dengan istriku
serta putra kesayanganku.
Kaitan macam apa yang Bapak
maksudkan?"
"Wah. Sulit untuk menceritakan.
Tetapi mengapa tidak Pak Lurah
tanyakan sendiri pada istri Pak
Lurah?"
"Aku telah berulangkali
berupaya. Tetapi selalu gagal.
Bukan saja tak mau
menceritakannya. Tetapi juga,
apa-apa yang ia katakan semua
serba kacau, tak jelas. tepatnya
tidak dapat kumengerti ...."
"Dapat kupahami. Karena selain
mengerikan, tentunya juga
sangat memalukan. Mengingat,
Suaminya seorang Lurah yang
dihormati banyak orang," ujar
Sumirta, tanpa tedeng
aling-aling.
"Apa"!" Pak Lurah hampir
menjerit.
"Jangan berkata yang
bukan-bukan!"
"Aku berkata yang sebenarnya."
Sumirta bersikeras, tetapi
dengan sikap dan nada yang
lunak. Sinar matanya pun
memandang seperti itu pula,
yang dengan seketika
mendinginkan kepala tuan
rumah yang sempat panas.
"Baiklah kita tidak usah
bertele-tele. Aku mencium
adanya bahaya mengancam di
seputar peristiwa ini. Entah apa,
aku belum tahu jelas. Yang pasti,
kita harus cepat melakukan
sesuatu."
"Misalnya?" Tuan rumah
bertanya dengan dada
berdebar-debar.
"Tolong ambilkan aku
minuman."
"Oh. Maaf . Itu, di depan Bapak.
Silahkan
"Maksudku segelas air putih.
Untuk diminumkan pada istri
Pak Lurah," ujar Sumirta.
sopan.
Apa yang dimintanya dalam
sekejap telah terhidang.
Rupanya diam-diam Supinah
nguping dari dapur. Lalu tanpa
membuang tempo segera
berlari-lari masuk ke ruang
tamu membawa segelas air
putih. Membuat suaminya
terheran-heran, karena si suami
justru baru bangkit untuk
meminta air putih itu pada
Supinah.
Baik Supinah, Pak Lurah,
maupun Martubi sama menanti
dengan tegang apa yang akan
terjadi. Mereka sama menunggu.
sama berpikir. Tanpa
mengetahui, bahwa mereka
membayangkan hal yang sama.
Bahwa si tamu misterius yang
tak ketahuan ujung pangkalnya
itu, akan menghadapi gelas air
putih dengan duduk bersila.
Mulutnya kumat-kamit membaca
mantera. Tubuh
berguncang-guncang keras,
semakin keras; sampai asap tipis
mengepul dari celah-celah
gumpalan rambutnya yang
memutih. Kemudian
menjerit-jerit atau berkata
kacau, mungkin kesurupan, lalu
Tak satu pun yang menjadi
kenyataan.
Karenanya, ternyata caranya
sederhana saja. Sumirta
menerima gelas berisi air putih
itu dengan tenang dan mulut
terkatup rapat. Ia hanya
mengawasi isi gelas dengan
tajam, seperti khawatir dari
dalam gelas itu tiba-tiba muncul
tangan-tangan gaib yang haus
darah. Satu-satunya keanehan
yang ia perbuat. adalah
mencelupkan ujung telunjuk jari
tangan kanannya ke permukaan
air. Tanpa mantera apa pun.
Kemudian gelas ia berikan ke
tangan Pak Lurah.
"Datangilah istrimu. Minumkan
air putih ini. Dan yakinlah, ia
akan mengungkapkan semuanya
dengan jelas dan terus terang! "
Tuan rumah menerima gelas itu
dengan tangan gemetar.
Matanya mengawasi sang
tamu, mengawasi Martubi.
mengawasi Supinah. Ia tidak
menemukan apa-apa, kecuali
kebisuan yang mendebarkan.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu
menoleh pada Martubi.
"Kukira tak ada salahnya Bapak
ikut mendampingi." katanya.
Martubi mengangguk setuju.
Sementara Supinah cemberut tak
diajak.
Dan ketika suaminya masuk ke
kamar tidur Maryati diiringkan
Martubi. wajahnya kembali
membayangkan kekhawatiran.
Pintu kamar tidur ditutup dari
dalam. Supinah mengeluh, lalu
memperhatikan tamu misterius
yang duduk tenang dan santai di
kursinya. Entah mengapa.
Supinah merasa takut pada
orang itu. . Benar saja. Ketika
Sumirta melirik karena tahu
diperhatikan, sekujur tubuh
Supinah seketika bergetar.
Darahnya tersirap, dan dengan
wajah pucat pasi ia
membalikkan tubuh dan dalam
sekejap ia sudah menghilang
didapur.
Sumirta tersenyum.
Penuh arti.
***
BAB 8
KETIKA beberapa orang
penduduk datang ke rumahnya
seraya menggotong seorang
pemuda yang setengah pingsan.
Maryati segera menyadari itulah
makna dari firasat yang telah
dirasakannya. Selama dua hari
terakhir, beberapa kali Maryati
merasakan Jantungnya
berdegup kencang tanpa sebab.
Begitu pun telinga kanannya,
sesekali berdenging panjang.
Pertanda ia akan menerima atau
mengalami sesuatu yang tidak
terduga-duga.
Pemuda itu dibaringkan di kursi
panjang. Maryati
memperhatikannya sebentar,
kemudian terkesima. Telinga
Maryati mendengar suara lelah
salah seorang penduduk,
rupanya mewakili
teman-temannya, menjelaskan di
mana pemuda itu mereka
temukan dan mengapa dibawa
ke rumah ini.
"Katanya, ia minta diantarkan
ke rumah Lurah desa Lamping.
untuk bertemu seseorang di
rumah ini. Apakah ibu mengenal
dia", !
Maryati memperhatikan wayah
pemuda itu sekali lagi. Pemuda
itu membuka kelopak matanya
dengan susah payah. Pandangan
mata mereka bertemu. Dan
jantung Maryati berdebar keras.
Bahkan wajahnya sempat
bersemu merah lalu pucat.
karena sempat terlintas dalam
pikirannya bahwa yang ada di
depan biji matanya adalah
Sumargo, bekas Suaminya yang
pertama. Tetapi ia segera
teringat bahwa Sumargo sudah
lama meninggal dunia. Sumargo
juga tidak punya saudara
lakilaki. konon pula saudara
kembar. Jelas pemilik wajah
yang bagai pinang dibelah dua
dengan wajah bekas suaminya
itu. tak lain tak bukan adalah
Margono. Anak laki-laki
Sumargo. Anak Maryati pula.
Darah dagingnya sendiri'
Setelah pemuda itu cukup kuat
untuk duduk dan berbicara.
Maryati sedikit pun tidak ragu
lagi. Bahkan Margono tidak
perlu bersusah payah
menerangkan siapa dirinya.
Dengan melihat bola mata si
pemuda, Maryati sudah cukup
diyakinkan. Bola mata Sumargo
hitam pekat. Memandang bola
mata si pemuda, Maryati seakan
bercermin dan melihat bola
matanya sendiri. Coklat
gemerlap, warna yang
menyimpan kekerasan hati serta
hasrat bertualang yang begitu
kuatnya sehingga terkadang
melampaui batas yang
semestinya.
Meskipun kerinduan begitu
mendalam di
hati Maryati. ternyata ia tidak
punya keberanian untuk
memeluk Margono .Ada
semacam perasaan bersalah
dalam dirinya. Perasaan
bersalah yang menghantuinya
selama sekian belas tahun. dan
kini membuatnya takut. Takut
kalau uluran tangannya akan
disambut dengan penolakan
yang menyakitkan hati, atau
kebencian yang telah mengeras
seperti batu sehingga tidak
dapat lagi dicairkan. Apalagi
setelah Maryati melihat sinar
mata Margono. Yang
memandangi Maryati dengan
tidak berkedip. dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki.
kembali lagi ke atas. dan
berhenti sangat lama di wajah
Maryati.
"Jadi. kaulah perempuan yang
melahirkan aku." terdengar
suara si pemuda bergumam.
Datar. Tidak bersahabat, namun
mengandung hasrat tersembunyi
dan sukar diduga maknanya.
"Bolehkah aku tahu berapa usia
ibu sekarang?"
Pertanyaan itu mengejutkan
Maryati. Namun toh dijawabnya
juga. Dengan kaku. "34 tahun.
Mengapa?"
"Tadinya kubayangkan. Ibu
sudah tua. Kurus. Dan
sakit-sakitan ...."
"Oh yaa?" Maryati berusaha
menahan senyum.
"Sungguh. Malah aku tak
percaya. Ibu berusia di atas
30tahun!"
"Aku berusia 13 tahun. ketika
menikah dengan ayahmu."
Maryati mencoba menjelaskan.
"Pantas."
"Pantas apanya?"
"lbu tampak masih begitu muda.
Muda dan sehat ."
Mulanya Maryati ingin
mengomentari. Bahwa kondisi
seseorang bukan tergantung dari
usia. Melainkan dari kehidupan
yang dijalani. Maryati tinggal
cukup lama di kota besar. Boleh
dibilang pergaulan maupun
pengalamannya luas. Hal itu
memberikan pengaruh besar
dalam diri seseorang untuk
memandang hidup dan
kehidupan. Misalnya, apa yang
harus dilakukan seorang
perempuan agar bukan ia saja
yang dikecewakan tetapi ia juga
dapat mengecewakan kaum
lelaki. Tetapi ah buat apa semua
itu diceritakan. Bukan untuk
maksud seremeh itu Margono
datang berkunjung.
Maka Maryati berujar hati-hati:
"Syukurlah. Tuhan telah
mempertemukan kita kembali.
Aku selalu berharap. kau
baik-baik saja. Dan"
"Tak ada yang perlu dicemaskan
tentang diriku. Bu. Kecuali.
bahwa aku sangat terkejut
setelah mengetahui Ibu masih
hidup."
"Oh!" Maryati terdiam. Tidak
perlu bertanya. pikirnya. Ia
sudah dapat menduga apa
yang diceritakan seorang ayah
pada anakanaknya. bila ibu
anak-anak itu pergi
meninggalkan mereka secara
tidak terhormat. Kembali
perasaan bersalah menghantui
Maryati. Betapa ia menyesal,
tetapi pantaskah diutarakan
sekarang. Dan oh, mengapa
Margono duduk begitu kaku di
kursi. Mengapa pemuda itu tidak
datang padanya, lalu
memeluknya" Atau kalau
memang Maryati pantas dibenci
mengapa Margono tidak
mengeluarkan kata kata
kutukan"
Lakukanlah salah satu dari
keduanya! Jerit Maryati dalam
hati. Supaya pertemuan yang
mengejutkan dan serba kaku ini
cepat terselesaikan, dan Maryati
dapat mengambil sikap. Tetapi
Margono hanya duduk, dan
terus memandangi wajah
Maryati dengan sorot mata
beribu'arti.
Gelisah, Maryati berdesah: "
Dari siapa kau tahu aku tinggal
di desa ini" Bapak, ya?" ia
bertanya sekedar bertanya,
untuk menekan kegelisahannya,
paling tidak membuang suasana
kaku yang tidak mengenakkan
itu.
"Bapak?" Margono balas
bertanya, heran.
"Maksudku, kakekmu."
"Oh. Memang dari dia. Dia pula
yang menyuruhku untuk datang
menemui Ibu. Aku ingin bersem
Eh, maksudku, ingin beristirahat
di suatu tempat di mana aku
dapat
menyendiri tanpa mendapat
gangguan dari orang-orang
yang selama ini mengelilingiku
dan membuatku yah. membuatku
susah bernafas!" Kalimat
terakhir itu disusulkan Margono
dengan suara tawa yang kaku.
"Aku tak tahu kemana harus
pergi. Lalu kakek menyu ruhku
datang ke sini."
"Kau akan lihat, bahwa kakekmu
memberikan alamat yang benar.
Di sini. kau akan dapat
beristirahat dengan tenang,
selama kau suka. Aku tak berani
menjanjikan apa-apa. Tetapi aku
akan berusaha sedapatnya, agar
kau betah tinggal di sini."
Setelah mengutarakan semua
itu, Maryati merasa plong. Ia
tidak menampak adanya
permusuhan dari pihak anaknya.
Maka ia benar-benar berjanji
pada diri sendiri untuk berusaha
sekuat tenaga supaya Margono
betah dan mau tinggal bersama
dia beberapa waktu, kalau
mungkin untuk selamanya. Lebih
dari itu, ia tidak berani
berharap. Biarlah waktu dan
keadaan nanti yang menentukan,
apakah Margono bersedia
mencintai ibunya dan melupakan
kesalahan besar yang pernah
dilakukan sang ibu. Maryati
merasa lebih lega sekarang.
Ia mulai dapat tersenyum, ketika
ia bangkit dari duduknya seraya
berkata dengan keramahan yang
tulus: "Kau tentu lelah dan
lapar.
lbu akan ke dapur sebentar. Oh
ya. Apakah tidak lebih baik,
sambil menunggu kau mandi
dulu" Ada pancuran air di
belakang rumah "
Barulah kemudian Maryati
menyadari betapa menyedihkan
keadaan anaknya. Ketika
Margono juga bangkit dan
bermaksud mengambil
buntelannya, Maryati bertindak
lebih cepat. "Biar Ibu bawakan.
Dan marilah kutunjukkan kamar
tidurmu." Buntelan Margono ia
ambil dan kemudian mengajak
Margono ke kamar tidur yang
memang khusus disediakan
untuk tamu atau kerabat yang
datang berkunjung. Diam-diam,
sambil menunjuk lemari dan
memberitahu di mana Margono
bisa menemukan handuk serta
pakaian ganti, Maryati untuk
pertama kali semenjak
kehadiran Margono, diliputi
kebahagiaan tiada terperi. Anak
yang yang telah lama hilang,
kini datang sendiri padanya dan
tinggal bersamanya. Bagaikan
mimpi saja!
"Kebetulan," katanya gembira,
"postur tubuh serta tinggimu
tidak jauh berbeda dengan
suamiku. Jadi kau dapat memilih
pakaian miliknya, mana saja
yang kau sukai. Dan nanti, Ibu
akan menjahitkan sendiri baju
untukmu
Menjahitkan baju untuk
anaknya! Alangkah
beruntungnya Maryati.
Buntelan Margono ia letakkan di
sebuah meja kecil kemudian
bergerak ke pintu, waktu ia
dengar pertanyaan Margono:
"Suami ibu. Kok saya belum
melihatnya?"
"Sebentar lagi dia juga pulang,"
jawab Maryati. tiba-tiba
menyadari bahwa kebahagiaan
itu belum saatnya untuk ia miliki
secara utuh. Lalu dengan suara
tergetar, ia berdesah: "Kuharap
kau suka padanya ."
"Selama dia tidak keberatan aku
tinggal di rumahnya, aku akan
menyukai dia," ujar Margono
kalem.
"Ia akan gembira berkenalan
denganmu." Maryati tersenyum.
Manis.
Pemuda itu memandanginya
beberapa saat. Matanya tampak
bersinar-sinar. Mata yang sudah
lama tidak melihat sesuatu yang
teramat ia dambakan, dan kini
sesuatu itu ada di depan
matanya, berhak untuk
dimilikinya. Sinar mata itu
menyenangkan Maryati. Namun
ucapan yang kemudian lepas
dari bibir si pemuda, membuat
Maryati sempat tertegun.
Margono berkata: "Maaf kalau
aku terus terang. Selain masih
muda, kau juga cantik!"
Ucapan terus terang itu
mengganggu plkiran Maryati
selama bekerja di dapur.
Seorang anak wajar memuji
ibunya. Tetapi mengapa
Margono begitu terbuka dan
bebas lepas" Selain 'kau',
Margono sesekali juga menyebut
'ibu'. Tetapi mengapa nada
suara Margono tidak terdengar
mengandung nada suara
seorang anak pada ibunya"
Begitu jauhkah jurang yang
telah memisahkan mereka
selama ini. Dan sebaliknya,
sudah berapa jauhkah Maryati
sendiri mengenal anak
kandungnya"
Benar, dia yang mengandung
dan melahirkan Margono.
Tetapi ketika itu ia masih bocah.
Atau bolehlah dibilang gadis
tanggung. Gadis yang merasa
lucu dan sering terganggu oleh
perutnya yang kian hari kian
membesar. Yang menjerit-jerit
menggemparkan seisi rumah
ketika melahirkan. Dan
mengangkat bahu sambil
mengeluh: "Menyusuinya"
Apakah aku punya air susu?"
Lalu ketika bayinya jatuh sakit,
Maryati memang prihatin.
Tetapi ajakan teman teman
sebaya untuk main petak umpat
di pekarangan belakang, lebih
kuat. Malah pernah ketika
Margono berusia tiga tahun.
Maryati ditegur mertuanya:
"Hei, dia bukan boneka. Dia
anakmu!"
Betapa mengerikan, memikirkan
masa lalu itu sekarang. Masa di
mana ia diharuskan bersikap
sebagai seorang ibu, sementara
dalam dirinya lebih kuat
dorongan untuk memperlakukan
Margono bukan sebagai seorang

anak. Melainkan sebagai


seorang adik yang kebetulan
lahir lewat rahimnya.
Maryati gemetar.
Dan memekik tertahan ketika
mata pisau menggores ujung jari
tangannya

***
Hari pertama lewat. Disusul
hari berikutnya. dan berikutnya
lagi. Hadiman, suaminya yang
lurah itu benar-benar memenuhi
janji. Dengan dada lapang
Hadiman menerima kehadiran
anak tirinya. Dari sikap serta
caranya tertawa bersama
Margono, juga tampak betapa
sebenarnya Hadiman sangat
bersyukur. Karena kehadiran
Margono lebih membahagiakan
istrinya. Ia juga tidak perlu lagi
merasa cemas harus
meninggalkan Maryati sendirian
kalau pada waktunya ia pergi
menggilir istri tuanya. Sambutan
dari istri tua Hadiman hampir
tidak jauh berbeda. Begitu
mendengar tentang Margono,
istri tua Hadiman langsung
melupakan pekerjaannya dan
pergi berkunjung ke rumah yang
didiami Maryati. ia tidak saja
menjabat tangan tetapi juga
memeluk Margono (suatu hal
yang Maryati sendiri belum
melakukannya), dan berkata
riang: "Tak kusangka. aku
punya anak sebesar dan
setampan ini' "
Margono pun lantas dengan
gembira pergi ke rumah ibu
tirinya bila disuruh. Sungguh
menakjubkan ketika Maryati
menyadari bahwa Margono
bukan lagi anaknya seorang.
Margono kini juga jadi anak
Hadiman, anak istri tua
Hadiman, bahkan anak
beberapa orang lainnya pada
siapa Margono sowan sebagai
seorang pendatang. Margono
senang pada suasana sekitar. Ia
juga tidak kecewa dengan
kesederhanaan hidup di desa,
ataupun tentang hampir tidak
adanya komunikasi dengan
dunia luar. "Justru tempat
seperti inilah yang cocok
untukku sekarang ini," pernah
Margono berkata, tanpa
bersedia menjelaskan apa yang
dia maksudkan. Maryati atau
suaminya hanya beranggapan.
bahwa Margono barangkali
telah muak dengan hiruk-pikuk
atau palsunya kehidupan di kota
besar.
Margono tertawa lebar ketika
diberitahu tak lama lagi ia bakal
punya adik. "Semoga saja
laki-laki. _Supaya ada temanku
memancing!" katanya.
Memancing dan berenang
sepuas-puasnya di sungai
adalah pilihan pertama
Margono setelah ia mempelajari
suasana kehidupan di
sekitarnya. Katanya hanya itu
yang dapat ia kerjakan. "Untuk
sementara ini, aku belum
berpikir untuk memulai sesuatu."
Alasan yang sederhana dan
masuk akal. Namun setelah
diperhatikan lebih seksama oleh
Maryati, tahulah dia bahwa
Margono sengaja menjauhkan
diri dengan cara yang halus.
agar tidak bertemu cukup sering
dengan orang-orang lain.
Maryati tidak berprasangka
apa-apa. la pikir, Margono suka
menyendiri karena ia
benarbenar ingin menikmati
waktu-waktu istirahatnya di desa
ini. Tanpa mengganggu atau
diganggu arang lain.
Lalu tibalah malam mengejutkan
itu.
Hadiman sedang pergi menggilir
istri tuanya. Di rumah, Maryati
hanya berdua dengan anaknya.
Lelah sehabis memancing
sepanjang hari; Margono lekas
pergi tidur. Maryati menyusul
kira-kira dua jam kemudian,
karena ia harus menyelesaikan
jahitannya.
Baru saja Maryati mau rebah di
tempat tidur. ia dengar suara
gedebak-gedebuk di kamar tidur
Margono. Hanya dengan
mengenakan pakaian tidur
seadanya Maryati berlari-lari
memasuki kamar anaknya.
Lampu belum dipadamkan. Jadi
Maryati dapat melihat
bagaimana sambil tidur
Margono menendang dan
memukul kian kemari.
Gerakan-gerakannya liar, begitu
pula kata-kata yang terlontar
dari mulutnya, sementara wajah
pemuda itu tampak bersimbah
peluh.
Maryati segera tahu bahwa
anaknya bermimpi buruk.
"Margono. He. bangunlah Nak
...," Maryati memegang tangan
Margono. "Kau bermimpi ya?"
Margono menarik tangannya.
Dengan mata
masih terpejam. Margono
mengigau dengan kata kata
kasar: "Jangan! Jangan dekati
aku.kau. ular terkutuk! Aku takut
" jangan oh. kau membelitku
Aduh enyahlah. enyahlah ...!"
Maryati memperkeras
pegangannya. "Bangunlah.
Margono. ini aku. ibumu'"
Suaranya yang keras dan tajam,
menyadarkan Margono. Pemuda
itu terjaga. Matanya terpentang
lebar, tampak ketakutan. Ketika
ia mengenali Maryati, pemuda
itu berkata dengan nafas
tersengal-sengal: "Aku
takut!" "Tak ada yang perlu
ditakutkan. anakku,"
Maryati tersenyum, menghibur.
"Kau cuma bermimpi ...."
"Tetapi ular sanca besar dan
hitam itu
"Tak ada ular di sini. Lihatlah
sekelilingmu. Tak ada yang
perlu ditakutkan. bukan?"
Sepasang mata Margono
membelalak liar ke seputar
kamar. Kemudian ia tampak
lebih tenang. meski sinar
matanya masih membayangkan
ketakutan. "Jangan tinggalkan
aku sendirian di sini," ia
merintih tersendat sendat.
"Baiklah. Aku akan
menungguimu sampai kau tidur
dan bangun lagi besok pagi.
Akan kau lihat. bahwa semuanya
beres.
"Aku .. .kedinginan. Dingin
sekali."
' "Kuselimuti ya?" Maryati
menyelimuti anaknya. Ketika
merasakan sekujur tubuh
Margono masih gemetar, ia
bahkan naik ke tempat tidur dan
mendekap anaknya supaya
Margono merasa lebih hangat,
nyaman dan terlindungi. Lambat
laun, nafas Margono bergerak
lebih teratur. Tubuhnya pun
tidak gemetar lagi. Bahagia
dapat melindungi dan membeli
kehangatan pada anaknya.
tanpa terasa Maryati tetap
mendekap Margono dan
kantuknya kemudian datang
menyerang. Maryati pun lantas
tertidur.
Ia baru terjaga ketika nafasnya
terasa sesak dan tubuhnya
seperti ditekan dari segenap
penjuru. Waktu ia buka
matanya, Maryati terperanjat.
Sedikit pun ia tidak percaya
bahwa tubuh putranya ada di
atas tubuhnya. Semakin tidak
percaya lagi, setelah melihat
Margono tidak mengenakan
walau selembar benang pun di
tubuhnya. Bagaikan mimpi yang
jauh lebih buruk ketimbang
mimpi Margono, ia sadari
bahwa Margono memeluknya
sedemikian erat dan menciumi
dadanya dengan bernafsu.
"Ya Allah!" Maryati terpekik.
Margono melepaskan payudara
ibunya, dan memandang lurus ke
matanya. "Kau berjanji akan
menyenangkan aku!" kata
pemuda itu seraya menyeringai.
"Aku menuntutnya sekarang.
perempuan cantik! "
Maryati mengucapkan istigfar.
sambil berusaha menolakkan
tubuh pemuda itu dengan sekuat
tenaga. "Sadarlah. Aku ibumu!"
ia memperingatkan, dengan
pikiran bahwa anaknya mungkin
tengah mengigau sehingga
berbuat yang tidak-tidak.
"Aku tak percaya kau ibuku "!"
" Lepaskan aku! "
"Nanti. Setelah kita sama-sama
menikmatinya," dan sambil
berkata demikian mulut
Margono mencari-cari bibir
Maryati. Maryati menghindar
dan terus menghindar sehingga
Margono menjadi kalap dan
mencengkeram rambut Maryati.
dipaksa untuk tengadah
menghadap ke wajah pemuda
itu. "Apakah kau harus
kuperkosa"!" pemuda itu
menggeram. dahsyat.
"Ya ampun, Margono. Sadarlah
ingat aku ibumu. Dan aku
tengah mengandung!"
"Biar!"
"Jangan. Oh ...." Maryati
terbungkam ketika mulutnya
diciumi Margono dengan liar.
Setelah ciuman itu terlepas,
Maryati memberontak dan
membentak: "Jangan bertingkah
laku seperti binatang,
Margono!"
"Persetan!" dengus pemuda itu.
"Biarlah misalnya aku jadi
anjing, asal ...."
Dan

***
MARYATl tergetar hebat di
tempat tidurnya. Tubuhnya
menegang kaku. sementara kulit
wajahnya tampak jauh lebih
pucat. Hadiman, suaminya,
dengan gelas berisi sisa air
putih masih tergenggam di
tangan. bertanya dengan suara
tersedak: "Dan apa, Maryati?"
Bibir yang pucat kebiru-biruan
itu kemak-kemik sebentar.
Disusul suara setengah menjerit:
"la berubah jadi anjing! Anakku
tiba-tiba berganti wujud menjadi
seekor anjing besar. hitam
menakutkan, dengan mata
menyala merah mengerikan!"
Berderai bunyi gelas yang jatuh
ke lantai tanpa disadari
Hadiman. Suami yang malang
itu mengawasi istrinya sejenak
dengan wajah membeku,
kemudian berpaling dengan
susah ke arah Martubi yang dari
tadi berdiri ternganga sewaktu
mendengar bagian akhir dari
cerita yang dituturkan Maryati.
Margono, Cucunya, berubah
wujud menjadi seekor anjing"
Bagaimana mungkin"
"Anjing itu menyalak keras
Menggonggong lirih. kemudian
melompat menerjang jendela.
Kabur ...," lamat-lamat
terdengar suara Maryati
memecahkan kesunyian yang
membekukan sumsum di kamar
tidur istri lurah desa Lamping
Itu.
Ada suara berkeriut.
Martubi dan Hadiman sama
berpaling. Pintu
dibuka dari sebelah luar. dan
muncullah orang tua misterius
yang mengaku bernama Sumirta
itu. Ia mengawasi dua lelaki
lainnya. mengawasi si sakit di
tempat tidur. kemudian
bergumam lirih:
"Aku telah memperingatkannya."
Lama. cuma keheningan yang
ada.
Lalu Martubi berbisik rendah:
"Memperingatkan siapa, Pak
Sumirta?"
"Margono," jawab orang tua itu.
"Sudah kubilang agar hati-hati
menjaga lidahnya. Karena
lidahnya, mengandung bisa yang
busuk!"
"Lidah berbisa" Seperti ular?"
Sumirta tampak kaku ketika
mendengar kata 'ular', tetapi
dengan cepat ia menguasai
dirinya kembali. "Aku tidak
berbicara tentang bisa
sebagaimana bisa yang pernah
kalian kenal. Aku juga tidak
berkata tentang lidah bertuah.
Tuah, mengandung unsur positif.
Tuah, adalah kemujizatan Yang
Maha Pencipta. Ada pun bisa di
lidah Margono. tak lebih dari
kebejatan setan. itulah yang
tidak disadari
oleh pemuda itu. Sehingga di
luar kesadaran atau pun
kemauannya. ia telah mengutuk
dan
mencelakakan diri sendiri... ."
***
BAB 9
SETELAH mendengar apa yang
dituturkan Maryati. maka
Martubi tidak lagi terkejut
mendengar penuturan Sumirta.
la bertambah yakin sekarang
bahwa dalam perjalanan ke desa
Lamping cucunya telah tersesat
di Lembah Hantu. Sejauh mana
cucunya tersesat. Martubi tidak
tahu. Namun ia tidak ragu
sedikit pun, bahwa Sumirta
terlibat cukup dalam dengan
musibah yang menimpa
cucunya. Pun ia tidak ragu
bahwa keselamatan cucunya kini
terletak di tangan orang tua
misterius itu.
Seketika itu juga ia mengambil
keputusan. Ia sadar bahwa
Hadiman tidak sepenuhnya
mempercayai apa yang ia
dengar. Maka dia bertanya
langsung ke sasaran:
"Katakanlah apa yang harus
kami lakukan, Pak. Mirta. Demi
cucuku, aku bersedia
mengurbankan nyawa bila itulah
yang diminta sebagai
syaratnya."
"Tidak segawat itu." ujarSumirta
tenang. "Kita hanya
mengerjakan beberapa hal kecil
dan sederhana. Pertama-tama
...," ia melirik Maryati sambil
bertanya pada tuan rumah:
"Apakah istrimu sanggup duduk
beberapa menit tanpa dibantu,
Pak Lurah?"
Sebelum suaminya sempat
menjawab, Maryati yang semula
heran melihat kehadiran
Sumirta, menjawab lemah tetapi
tegas: "Selama ini aku telah
menyia-nyiakan anakku.
Sekaranglah kesempatanku
untuk memperbaiki kesalahan.
Aku sanggup duduk sendiri. Bila
itu dapat menolong anakku,
maka aku akan duduk menunggu
selama diperlukan. Mati duduk
pun aku rela!"
Suaminya akan memprotes.
Tetapi kakinya keburu diinjak
oleh Martubi sebagai pengganti
teguran. Hadiman menggerutu
perlahan, kemudian angkat
bahu. Pertanda pasrah, meski
setengah terpaksa. Lewat
bahunya, ia mengintip Sumirta
dengan pandangan masih
curiga. Begitupun, ia tidak lagi
memprotes manakala istrinya
bangun dengan susah payah.
berjalan lunglai ke ruang depan
sesuai permintaan Sumirta, lalu
duduk menghadap lurus ke pintu
masuk rumah. Atas perintah
Sumirta, Hadiman dengan segan
pergi membuka pintu. la
pentangkan lebar-lebar, seolah
mengundang kesunyian dan
kegelapan malam di luar supaya
masuk berbondong-bondong ke
dalam rumah untuk
mencemoohkan peristiwa
apa yang bakal berlangsung
Sementara Maryati duduk
setengah oleng. Sumirta duduk
pula di belakangnya. Bersila.
Lewat pundak nyonya rumah ia
mengawasi kegelapan yang
hitam pekat di luar rumah.
"Perlu kalian semua
kuingatkan," ia berkata seraya
menyapukan pandang pada
Hadiman, Martubi dan Supinah
yang muncul dari dapur dengan
wajah cemas setelah mengetahui
Maryati tidak rebah di
pembaringan. "Kalau terjadi hal
hal yang di luar kehendak kita,
tak seorang pun dari kalian
boleh menyentuh tubuhku
maupun tubuh di depanku. Apa
pun yang terjadi!"
"Kami akan mengingatnya,"
jawab Martubi. "Masih ada
syarat lainnya?"
"Selama hidupku. aku sudah
membiasakan diri untuk tidak
terlalu banyak menuntut. Tidak.
Tidak ada syarat lainnya,"
jawab Sumirta dingin.
"Sekarang kuminta kalian
tenang dan diam. Karena aku
akan menyatukan diri dengan
tubuh di depanku ini. ..."
" Apa?" Hadiman tersentak.
"Jangan salah mengerti,"
Sumirta berkata sabar. "Dan
supaya Pak Hadiman tidak terus
menerus mencurigai aku.
biarlah aku jelaskan sebentar.
Dapatkah kau bertahan, Bu
Lurah?"
"Da-'pat." jawab Maryati
terbata-bata Jelas ia tengah
berusaha sekuat tenaga agar
tidak semakin oleng dan jatuh.
la sempatkan pula memaling ke
arah suaminya. Dengan sorot
matanya serta senyum yang
dipaksakan di bibir, ia
memperingatkan suaminya agar
tidak terlalu rewel. Hadiman
jadi malu sendiri dan tidak
berani lagi memprotes.
"Sebagaimana kukatakan tadi,"
Sumirta menjelaskan dengan
cepat. Rupanya ia memburu
waktu. "Aku akan menyatukan
diri dengan tubuh di depanku
ini. Ia seorang ibu. Mata hati
seorang ibu punya pandangan
luas dan jauh. Ia dapat
menjangkau apa yang tidak
dapat dijangkau oleh mata
dalam arti harafiah. Begitu pula
kata hati. Kata hati seorang ibu
dapat menggetarkan dan
menembus batas antara alam
nyata dan alam gaib. Begitupun,
seorang ibu tetaplah seorang
manusia biasa. Ia juga punya
kelemahan, khususnya untuk
merangsang mata hati. serta
mendorong kata hati agar mau
menuruti kehendak jiwanya.
Sebaliknya, aku punya kelebihan
untuk urusan semacam itu.
Dengan penyatuan diri, aku
akan menggabungkan
kekurangan tubuh di depanku ini
dengan kekuatan yang ada di
dalam tubuhku. Cukup jelas?"
Meski agak bingung, toh
Hadiman menganggukkan
kepala. "Apa sebenarnya yang
kita hadapi?" ia bertanya
lembut, khawatir pertanyaan itu
ditanggapi sebagai protes.
" Angkara murka"
"Dan kita akan melawannya
dengan angkara murka pula?"
"Kalau angkara murka dilawan
dengan angkara murka pula,"
jawab Sumirta, jelas dengan
nada menahan kejengkelan.
"Akan terjadi adu kekuatan.
Kalian, dan semoga aku juga
demikian, bukanlah manusia
angkara murka. Maka bila
terjadi adu kekuatan, kita
berada di pihak yang lemah.
Kita jadi pecundang. Jadi kita
akan melawan angkara murka
itu dengan kelembutan serta
kasih sayang. Unsur terakhir ini
merupakan musuh bebuyutan
angkara karena sering angkara
murka tak berdaya
menghadapinya. Masih ada
pertanyaan lain'?"
Hadiman menggelengkan kepala
begitu menangkap sorot mata
menusuk. Tidak saja dari
Maryati, tetapi juga dari istri
tuanya, Supinah.
"Mulailah, Pak Mirta," Martubi
mendesak, sambil menatap
Hadiman dengan iba.
***
BELUM habis gaung suara
Martubi, penyatuan diri itu telah
berlangsung. Karena jelas
terlihat, Maryati yang tadinya
duduk lunglai mendadak duduk
tegak lurus. Matanya pun
terpentang lebar. Sementara di
belakangnya,
Sumirta duduk tanpa bergeming,
dengan mata terpejam rapat.
Tak sepatah pun ada pembacaan
mantera, tiada bunga rampe,
apalagi dupa menyan. Anehnya,
seputar ruang depan rumah itu
mendadak terasa dingin
membeku. Begitu dinginnya
sehingga Martubi sempat
menggigil, Hadiman
menggeratakkan gigi, dan
Supinah bersidekap dada
dengan wajah pucat pasi.
Lalu, pelan-pelan bibir Maryati
terbuka. Suaranya hampir
menyerupai bisikan, ketika ia
memanggil: "Anakku, Margono.
Kau mendengarkan aku, Nak?"
Selama beberapa saat, tak
terjadi apa pun juga. Kecuali
bahwa sinar mata Maryati yang
tadinya redup karena menderita
sakit, mendadak bersinar tajam.
Lengannya yang tadi terkulai
tanpa daya di haribaan, kini
bergetar kuat dan hidup. "Apa
yang kau kerjakan di dalam gua
yang gelap dan dingin itu,
anakku?" ia berbisik lagi. Lebih
keras, tetapi dengan kelembutan
yang demikian membelai,
sehingga Supinah yang
berjaga-jaga tidak jauh darinya,
menggigit bibir menahan
perasaan. "Aku tidak marah,
anakku.... Buanglah perasaan
berdosa itu. Ikutilah suaraku,
Margono... datanglah padaku.
Aku... menunggumu.?"
Getaran tangan Maryatl makin
kuat. Begitu
pula suara yang keluar dari
mulutnya: "Bagus!
ikuti terus, anakku Hati-hati!
Ada perangkap di sebelah
kirimu. Dekat reruntuhan
batu.Apa" Kau mendengar
suara-suara yang membuatmu
takut" Jangan perdulikan.
Tetaplah dengar dan ikuti
suaraku. Sekarang larilah. Lebih
cepat. Lebih cepat lagi. Lihatlah,
betapa aku menanti dengan
rindu Awas!"
Kata terakhir itu mirip pekikan
cemas bercampur kaget. Sekujur
tubuh Maryati terguncang keras,
sementara di belakangnya
Sumirta tetap duduk bersila
tanpa bergeming, tak ubahnya
patung batu. Tiada tanda-tanda
bahwa ia mendengar, melihat,
atau pun merasakan sesuatu.
Sumirta duduk membeku, seakan
roh sudah tidak menyatu lagi
dengan dirinya. Martubi
berpikir penuh hasrat ingin
tahu: "Ataukah rohnya sudah
tidak bersatu lagi dengan
tubuhnya" Beralih dan menyatu
dengan roh Yayah?"
"Jangan!" Maryati memekik
lebih keras. Bola matanya
bergerak liar memancarkan
ketakutan teramat sangat.
"Jangan perdulikan mereka.
Larilah, anakku Hei, kau dengar
aku Margono" Jauhi mereka.
Jangan turuti nafsu angkara
murkamu! "
Mendadak nafas Maryati
tersengal-sengal. Supinah mau
mendekati, tetapi Martubi
mencegah dengan kibasan
tangan. Di sebelah Martubi,
Hadiman mengawasi istrinya
dengan
khawatir. Lurah desa Lamping
itu lebih khawatir lagi ketika ia
lihat istrinya mencengkeram
paha sendiri, seakan mau
menghunjamkan ujung-ujung
kuku ke daging pahanya .untuk
mencari kekuatan.
Lalu, seisi rumah seakan pecah
oleh ledakan jerit Maryati yang
melengking nyaring:
"Margonoooo "! Jangan!
Jangan kalian ciderai anakku!
Tolonglah kumohon! Biarkan
dia pergi Aduh. Margono.
Jangan melawan lagi, Nak. Kau
dengar aku" Kau ingin aku mati
tersiksa melihat darah
membanjir dari lambungmu"
Tidak" Oh kau menyesal" Cepat
lari. Nak. Lewat sebelah kirimu
Ayo, bertahanlah. Jangan
cengeng!" Dan air mata Maryati
membanjir menggenangi pipinya
yang pucat, "Yaa ya. Aku tahu
kau sangat kesakitan. ibu juga
merasakannya. Seakan lambung
ibulah yang dibacok orang itu
Nah. Mereka makin jauh di
belakangmu mereka kehilangan
jejak. Jangan berhenti!
Bangkitlah, anak bodoh! Kau
sudah begitu dekat dengan aku!
Ayo. kuatkan dirimu! "
Suara-suara kemarahan itu,
mendadak hilang. Diganti suara
lemah dan bingung: "Margono"
Mengapa kau tak menjawab"
Margono! Kau dengar ibumu,
Nak" Ayo, jawablah. Jawablah
"."
Agaknya jawaban itu tidak
kunjung datang
dan Maryati menjadi kalut
karenanya. Terlihat dari sorot
matanya yang mendadak liar.
Dadanya naik turun dengan
kencang, sementara tangan
mengepal memukuli paha karena
putus asa. Tangan itu, kemudian
naik dengan cepat, dan
tahu-tahu ia sudah menjambaki
rambut sendiri.
Sampai di situ, Hadiman tidak
sanggup lagi menahan diri. Ia
melompat mendekati istrinya
yang tengah menyiksa diri itu.
Tetapi ia telah didahului oleh
yang lain. Sumirta yang duduk
diam tak bergeming di belakang
Maryati. membuka matanya
tiba-tiba. Gerakan pertamanya
adalah condong ke depan,
menangkap tubuh Maryati yang
doyong mau jatuh. Diusapnya
wajah perempuan itu. sambil
menggelengkan kepala pertanda
tidak senang.
"Kita terlambat ." katanya.
"Mereka ...."
Ucapannya terputus sewaktu
merasakan gerakan tubuh
Maryati melemah. dan
perempuan itu kemudian terkulai
dalam pegangannya. Sumirta
menarik nafas panjang dan
berkata pada suami Maryati:
"Angkatlah ia ke tempat tidur."
Melihat istrinya terkulai diam.
Hadiman menggeram: "Apakah
dia ..."
"Pingsan. Karena lelah. Tak
perlu dikhawatirkan," potong
Sumirta lembut.
Wajah Hadiman beringas ketika
ia mengambil Maryati dari
tangan tamu misterius itu.
Suaranya gusar tak terperi:
"Kau yang jadi gara-gara. Kau
yang menyiksa istriku. Dan apa
hasilnya"!" lalu tanpa menunggu
reaksi, ia bopong tubuh Maryati.
Masuk ke kamar tidur diiringkan
oleh istri tuanya, Supinah.
Martubi tak bergerak di tempat
duduknya. Matanya lurus
mengawasi pintu depan yang
menganga terbuka, seakan ingin
menembus kegelapan malam
sejauh ia dapat memandang.
Dari tadi ia mendengar dan
menyimak tiap kata yang
diucapkan Maryati dengan
bantuan kekuatan batin Sumirta.
Selama mendengarkan, Martubi
pun mampu membayangkan apa
yang terjadi di luar sana. Di
suatu tempat. entah di mana,
anjing besar hitam bermata
semerah darah itu keluar
meninggalkan gua tempatnya
bersembunyi. Terpanggil oleh
suara hati nurani ibunya. Di
tengah perjalanan. anjing itu
dipergoki oleh beberapa orang.
Mungkin karena takut atau
mungkin juga karena mengikuti
sifat penaik darahnya. anjing itu
kemudian melawan waktu
orang-orang itu bermaksud
menangkapnya.
"Jangan kalian ciderai anakku!"
terngiang suara memohon
Maryati. Lalu: "Kau ingin aku
mati tersiksa melihat darah
membanjir dari lambungmu?"
Berkat dorongan suara nurani
ibunya, anjing itu melepaskan
diri kemudian
lari. Tetapi jatuh lagi.
Hubungan gaib antara ibu dan
anak pun terputus tiba-tiba.
Maryati melihat dan menyadari
apa yang telah terjadi pada
putranya. Maryati pingsan.
Mengingat semua itu, tanpa
sadar Martubi menggigil. Pun
tanpa ia sadari. air mata
merembes membasahi pipi
tuanya. Ia sudah dapat
memahami apa yang terjadi di
luar sana. Dan hampir tidak
dapat diterima jiwa tuanya.
karena semua itu hanya berarti
satu hal saja. Bahwa, Martubi
kini tinggal sebatang kara!
Di antara linangan air matanya,
Martubi melihat ada bayangan
berkelebat ke arah pintu. Segera
ia menguasai perasaan,
berusaha tenang dan kemudian
bertanya terbata-bata: "Bapak
mau ke mana?"
"Pulang ke tempatku." jawab
Sumirta datar.
Martubi bangkit dari duduknya.
"Aku ingin tahu. kalau Bapak tak
keberatan," katanya.
"Sebenarnya, apa yang akan
Bapak lakukan apabila usaha
Bapak tidak gagal setengah
jalan?"
"Tidak banyak," jawab Sumirta.
"Aku hanya mengalihkan
kekuatan gaib yang ada dalam
diriku. Yang melakukan
seterusnya. adalah dia ...."
Sumirta melirik ke arah pintu
kamar tidur, di mana tampak
Maryati masih terkulai rebah
dan suami beserta madunya
tengah berusaha
menyadarkannya.
"Apa pula yang harus dia
lakukan?" Martubi terus
mendesak.
" Mengiris nadinya."
"Apa?"
"Mengiris nadinya. Karena
lewat nadi darah akan
menyembur dengan cepat. Ia
harus menghirupnya, kemudian
dengan bantuan kekuatan gaibku
darah itu disemburkan lagi ke
tubuh makhluk yang kita panggil
bila ia datang. Di dalam tubuh
makhluk itu, mengalir darah
ibunya. Dengan darah ibunya
pulalah, wujudnya akan kembali
seperti semula. Setelahnya ...."
Dari kamar terdengar
suara-suara mengandung
kelegaan. Martubi tidak
menoleh. Perhatiannya lebih
terpusat pada Sumirta, yang
tampak ragu-ragu. Ia ingin
bertanya. tetapi kemudian ia
berpikir bahwa diam dan
menunggu adalah lebih pantas
dan sopan.
"Sebenarnya. bagian terakhirlah
yang menjadi tujuan pokok aku
datang untuk membantu. Aku
harus melakukan sesuatu yang
memalukan, dan mungkin akan
membuat kalian semua
mengumpatku habis-habisan.
Syukur, kini aku terbebas dari
tugas berat itu
"Karena makhluk itu "," Martubi
menggigii kembali. "Karena,
cucuku telah mati."
"Aku turut berduka cita." ujar
Sumirta, prihatin.
"Dan. tugas berat itu?"
" Apakah perlu kuungkapkan"
Toh tidak berguna lagi!"
"Ah maafkanlah. Aku hanya
sekedar ingin tahu. Tetapi kalau
Bapak tetap keberatan"."
Martubi menggantung suaranya.
Berharap.
"Baiklah," Sumirta mengalah.
"Cucumu, seperti sebelumnya
kukatakan, memiliki lidah
berbisa. Yang dapat
mencelakakan baik dirinya
maupun orang lain. Karena apa
pun yang diucapkannya, seketika
akan menjadi kenyataan. Tentu
saja bukan mengenai hal-hal
yang baik atau
menggembirakan. Karena
kekuatan bisa di lidahnya,
adalah kekuatan angkara murka,
maka yang terucap dan menjadi
kenyataan tentulah mengenai
hal-hal buruk dan menakutkan
seperti apa yang terjadi pada
dirinya sendiri. Lama aku
berpikir, kemudian diam-diam
menyesal. Kalau itu hanya
terjadi pada dirinya! Bagaimana
kalau karena dia, orang lain jadi
korban" Padahal mereka tak
berdosa apa-apa?" Sumirta
menghela nafas berat dan
panjang. "Maka kusingkirkan
dari kepalaku. kesalahan besar
yang diperbuat oleh cucumu.
Aku putuskan untuk
menemuinya. Dan mencabut
kutukan itu. Caranya sederhana
saja. ia harus meminum air
kencingku!"
Setelah mengungkapkan apa
yang perlu diungkapkan.
Sumirta kemudian minta diri.
Sebelum Martubi sempat
mengatakan sesuatu. Sumirta
sudah berlalu. Dalam sekejap
mata saja. ia sudah menghilang
ditelan kegelapan malam. Pergi
ke tempat dari mana ia datang.
Di manakah tempat itu
sebenarnya"
Apa pula kesalahan besar yang
telah diperbuat cucu Martubi?"
Martubi mengawasi sekali lagi
kegelapan di luar sana.
kemudian menutup pintu.
Setelah termenung sebentar, ia
putuskan untuk melihat keadaan
bekas menantunya.
Maryati sedang diberi minum
ketika Martubi masuk ke dalam
kamar tidur. Hanya beberapa
teguk, kemudian perempuan
malang itu rebah kembali.
Sesaat kelopak matanya
terpejam. disusul gumam lirih
yang menyentuh perasaan:
"Tidak usah mendustaiku, Kang
Maman. Aku yakin bahwa apa
yang kudengar dan kulihat,
bukan impian buruk seperti yang
kau katakan tadi."
"Ia benar," desah Martubi
menimpali.
"Nah. Apa kukatakan." seru
Hadiman diriang-riangkan,
merasa didukung oleh Martubi.
Tetapi keriangannya seketika
buyar.
waktu Martubi menjelaskan:
"Yang kumaksud. Yayah benar."
Hadiman memandang Martubi
dengan sorot mata gusar.
Namun setelah melihat sudut
sudut mata Martubi berkilat
basah, ia menahan
kegusarannya. Lalu berkata
setengah jengkel: "Okelah. Kita
misalkan semua omong kosong
itu benar. Lantas. apa yang
sekarang harus dilakukan?"
"Aku tidak tahu." jawab Martubi
terus terang.
"Aku tahu." Maryati menyela.
Suaranya teramat getir. "Aku
sudah pasrah. Namun begitu,
kita harus berbuat sesuatu.
Jenazah anakku, harus kita
kuburkan secara layak'"
Mendengar itu, Hadiman
berubah gelisah.
Martubi mengerti. Tampaknya
memang sepele: ambil bangkai
anjing itu. lalu kuburkan. Yang
membuat persoalannya tidak
sepele, adalah apa yang tadi
dikatakan oleh Maryati.
Dikuburkan secara layak. dan
yang dikuburkan itu adalah anak
kandungnya. Berarti upacara
penguburan itu haruslah
sebagaimana layaknya upacara
penguburan jenazah seorang
manusia.
Mungkinkah"
Apa pula nanti, omongan orang
sedesa"
***
DALAM keadaan bingung
karena merasa serba salah itu.
pintu depan terdengar digedor
dari luar. Sementara Martubi
berpikir bahwa Sumirta telah
melupakan sesuatu, tuan rumah
berjalan menuju pintu depan.
Martubi segera pula mengikuti.
Khawatir kalau Sumirta yang
menggedor pintu, akan terjadi
hal-hal yang tidak dikehendaki
mengingat perasaan tak senang
tuan rumah pada orang tua
misterius itu.
Ternyata yang muncul di depan
pintu adalah tiga orang
penduduk setempat. Salah
seorang maju ke depan mewakili
teman-temannya. la muda, kuat.
bertampang keren, tetapi
suaranya kecil seperti suara
perempuan. Katanya. dengan
nafas terengah-engah: "Maafkan
kami, Pak Lurah. Mereka lebih
dulu dari kami melihat anjing
itu, dan ...."
. Lurah desa Lamping memberi
isyarat supaya orang itu
menunda dulu keterangannya.
Lurah itu lalu beranjak ke luar,
yang segera pula diikuti oleh
Martubi. Pintu kemudian
ditutupkan.
"Atur nafas dulu," Hadiman
berkata pelan. "Dan
rendahkanlah suaramu, ya?"
Orang itu mengatur nafasnya
agar lebih tenang. Namun toh
suaranya yang halus merdu itu
tetap saja terdengar
menggopoh: "Rombongan
pencari dari kampung Parigi
yang pertama-tama melihat
anjing itu. Pak Lurah. Mereka
lalu mengejarnya. Gerakan
mereka terlihat oleh rombongan
pencari dari kampung Banjar.
Mereka pun ikut mengejar lalu
mengepung anjing itu. Waktu
kami mengetahui hal itu dan
datang menyusul. kami Sudah
terlambat. Maafkan kami Pak
Lurah. Kami tidak
"Sudahlah. Tak ada yang perlu
disesalkan," desah Hadiman
menenangkan. "Apa yang
terjadi?"
"Anjing itu dapat mereka
keroyok dengan mudahnya.
Memang aneh, Pak Lurah.
Tetapi begitulah nyatanya.
Anjing itu tampaknya tidak
segalak yang diduga.
Gerakan-gerakannya
tertegun-tegun. Waktu melawan,
kepalanya beberapa kali
ditolehkan ke arah lain. Bukan
ke arah orang yang mau
memukulnya. Sepertinya ia
mendengar atau mau melihat
sesuatu di tempat lain itu
Akibatnya ia lengah dan ...."
"Teruskan," Hadiman menahan
nafas. Sambil berpikir: si
Sumirta itu agaknya bukan
orang sembarangan!
"Mereka berhasil
membacoknya." orang itu
meneruskan. "Anjing itu, bagai
tidak merasa kesakitan sekali
lagi ia memalingkan kepala dari
orang yang membacoknya lalu
ia berlari ke arah tadi ia
memaling. Tetapi dengan
lambung terluka parah ia tidak
dapat berlari jauh. Anjing itu
terjatuh lagi. Kami semua
mengejar. Setelah sampai ke
tempat anjing itu jatuh kami
lihat anjing itu memandangi
kami semua dengan matanya
yang merah tidak lagi
semengerikan semula. Mata itu
seperti memohon. Malah kalau
tak salah seperti menangis. Aku
sampai tercengang. dan entah
mengapa terpengaruh. Ada
keinginan untuk melindunginya.
Aku merasakan kesedihannya
aku ingin menangis bersamanya
...
Orang bertubuh tinggi besar dan
bertampang keren itu. tidak
dapat meneruskan ceritanya. la
tersendat-sendat, dan menangis
beneran! Lurah desa mereka
dengan lembut menepuk-nepuk
bahunya. mengucapkan katakata
menghibur. Salah seorang yang
dari tadi hanya
manggut-manggut mengiyakan
wakil mereka, diminta Pak
Lurah untuk melanjutkan kisah
yang terputus itu. Yang ini
bertubuh kecil dan suaranya
mantap:
"Anjing itu mati, Pak Lurah,"
katanya pendek.
"Oh ...," Hadiman mendadak
loyo. Berpikir: seperti dikatakan
Martubi, dugaan Maryati
ternyata benar. Lalu ia teringat
lagi akan tugas yang
meresahkan itu: menguburkan
bangkai anjing itu sebagaimana
layaknya menguburkan jenazah
manusia. Sambil berusaha
menenangkan pikiran
gundahnya Hadiman bertanya:
"Bangkai anjing itu. Mereka
apakan, Dudung?"
Si kecil yang dipanggil dengan
nama Dudung itu menjawab
pelan: "Dibawa pulang. Pak
Lurah. Entah mau diapakan.
Usaha kami untuk mengambil
alih dan mengurus bangkai
anjing itu, tidak mereka
perdulikan. Kata mereka anjing
itu akan diarak keliling
kampung. Setelah itu.
bangkainya akan dipotong dua
"'"
Hadiman terkejut. Bertanya:
"Dipotong dua! Mengapa?"
Si kecil hilang kemantapannya
sejenak. Lalu: ?" kata mereka.
anjing itu adalah makhluk
jadi-jadian. Makhluk jelmaan
setan"," ia terdiam sesaat ketika
melihat Lurah desa mereka
memalingkan muka. Ia merasa
menyesal, karena tahu betul
bahwa Lurah mereka itu paling
tidak suka membicarakan hal
hal yang berbau mistik.
Namun karena sudah terlanjur,
si kecil terpaksa meneruskan
juga: "Makhluk seperti itu. kata
mereka, agar tidak mengganggu
atau membalas dendam, harus
dipisahkan kepala dari
badannya. Kemudian
dikuburkan di tempat yang
berjauhan pula. Satu di sekitar
kampung Parigi, satunya lagi di
sekitar kampung
Banjar. Tentang tempat dan
cara dikuburkannya belum
diperoleh kata sepakat.
Pendeknya. tubuh anjing itu
harus dipotong dua."
Setelah menjelaskan beberapa
pertanyaan lagi, ketiga orang
penduduk itu kemudian permisi
untuk pulang ke rumah
masing-masing. Tak lupa
Hadiman mengucapkan terima
kasih atas letih payah
orang-orang kepercayaannya
itu. Disertai pesan: "Seperti
semula, kuharap
kalian tetap tutup mulut.
Maklum. perempuan ngidam.
Aneh-aneh saja permintaannya
bukan?"
Ketiga orang itu mengangguk
mengerti kemudian menghilang
di kegelapan malam. Martubi
bertukar pandang dengan tuan
rumahnya, tanpa tahu harus
berkata apa. Untuk beberapa
waktu lamanya mereka hanya
berdiam diri, tanpa
memperdulikan udara malam
yang semakin dingin menggigit.
Hadimanlah yang mula-mula
membuka mulut: "Apa yang
harus kuperbuat. Pak Martubi?"

Yang ditanya termenung,


berpikir. Kemudian: "Yah. Tak
ada jalan lain. Seperti kata
istrimu, kita harus
menguburkannya dengan layak."

"Tetapi diarak berkeliling


kampung. Mudah-mudahan
hanya di Parigi dan Banjar saja.
Tetapi kampung-kampung lain di
seputar desa ini dan bukan tidak
mustahil desa-desa di
seantero daerah ini. akan
mendengar peristiwa yang
langka ini .Semua orang
akhirnya tahu Semua orang
akan lebih waspada. Dan akan
muncul pertanyaan. Mengapa
aku bersikeras memiliki kepala
dan tubuh bangkai seekor anjing
bermata semerah darah?"
"itu. kalau kau memang
memintanya " "
"Maksud Bapak?"
"Kau dapat memperoleh bangkai
itu tanpa seorang pun melihat
lalu bertanya mengapa,"
Martubi menjelaskan dengan
tenang.
"Mencurinya" Astaga. seorang
lurah yang terhormat melakukan
perbuatan yang sangat tidak
terhormat. Astaga ...."
"Kau tidak mencuri apa pun.
Pak Lurah. Kau hanya
membongkar dua buah kuburan
kecil. lalu mengambil isinya
yang tidak bermanfaat buat
orang-orang lain. Lagipula,
yang kau ambil adalah milik
istrimu. Aku akan membantu.
Karena yang akan diambil,
adalah juga milikku ...."
"Bapak percaya itu. adalah
cucumu?"
Martubi diam saja. Kata-kata,
tak ada gunanya.
"Baiklah." Hadiman menyerah.
Tidak sepenuhnya. karena masih
ada yang lain: "Setelah kita
ambil, lalu apa?"
"Jangan berpura-pura lagi. Pak
Lurah!" Martubi mendengus
kesal.
"Bukan begitu. Aku hanya
berpikir, bahwa orang lain akan
bertanya-tanya mengapa
bangkai seekor anjing harus
dimandikan. disemayamkan,
disembahyangkan, dikain kafani,
baru dikuburkan. Diiringi
doa-doa pula!" Hadiman
mengakhiri kata-katanya dengan
gelengan kepala pertanda
betapa ia teramat susah dan
berada dalam posisi yang
teramat sulit.
"Sudah kubilang tadi," kata
Martubi. pelan. "Tidak ada
orang yang tahu. Akan kubujuk
istrimu, agar hanya dia, kau,
istrimu satunya lagi, dan aku
saja yang ikut terlibat. Orang
lain, tak boleh ikut campur. Soal
disembahyangkan, itu pun wajar
...."
"Wajar?" Hadiman membelalak.
"Jangan jangan kau sudah
terpengaruh dan ikut edan
seperti si .:.," Hadiman tertegun.
Rupanya baru sadar. "Sumirta.
Aku tak melihatnya dari tadi."
"Ia sudah pergi."
"Ke mana?"
"Bukan hakku menanyakan itu.
Lagi pula apa bedanya?"
"Yah. Kupikir-pikir, ada
benarnya juga. Entah di mana ia
menetap, entah bagaimana
Margono bertemu dengannya.
Dan kalau semua ini benar dan
nyata. entah setan terkutuk apa
pula yang menimbulkan bencana

mengerikan ini. Yah, sudahlah


itu. Atas dasar apa Pak Martubi
berpendapat bahwa bangkai
binatang wajar
disembahyangkan?"
"Yang akan kita
sembahyangkan. bukan bangkai
binatang. Tetapi jenazah
manusia biasa," jawab Martubi
tenang
"Jangan membuatku bingung,
Pak Martubi."
"Begini," Martubi menjelaskan.
"Sebelum orang tua itu pergi.
aku sempat mengobrolkan
beberapa hal. Antara lain, cara
bagaimana yang harus ditempuh
agar wujud anjing itu berubah
kembali ke wujudnya semula.
Wujud manusia yang diberi
nama Margono, dan takdir
menghendaki bahwa dia adalah
cucuku ...
"Wah, wah, wah! Rupanya
kesintingan ini masih harus
terus kuhadapi. Dengan apa kita
dapat merubah wujud makhluk
itu?"
"Darah! ',
Kasihan, Hadiman tampak
semakin linglung
***

BANGKAI anjing besar berbulu


hitam pekat dan bermata merah
darah yang sudah memudar mati
itu, ternyata batal diarak
berkeliling kampung. Setelah
rombongan kecil yang
merupakan gabungan penduduk
lelaki lelaki pemberani kampung
Banjar dan kampung Pa rigi
berembuk dengan tetua-tetua
setempat. dicapai kata sepakat
bahwa arak-arakan hanya
membuang waktu dan tenaga.
Mana malam hari pula lagi. Jadi
diputuskanlah bahwa bangkai
itu akan digantung di suatu
tempat agar dapat disaksikan
oleh mata kepala siapa pun yang
ingin melihat. Yang tidak ingin
melihat. dengan demikian dapat
tinggal diam di rumahnya dan
menganggap tidak pernah
terjadi apaapa.
Lewat tengah malam bangkai
anjing itu telah tergantung di
cabang rendah sebatang pohon
belimbing tua, yang kebetulan
terletak di sekitar batas
kampung Parigi dengan
kampung Banjar. Belasan obor
ditempatkan berkeliling, dan
tempat itu dijaga untuk
menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Kabar pun dengan
cepat tersiar. Ternyata hampir
seisi ke dua kampung tumpah ke
luar rumah untuk melihat atau
dapat memegang bangkai anjing
itu. Semuanya pergi
berbondong-bondong ke pohon
belimbing tua itu disertai
suara-suara memanggil,
berteriak, sorak-sorai atau
bernyanyi-nyanyi, bahkan ada
yang dengan sengaja membawa
bekal untuk dimakan
beramai-ramai. Kalaupun ada di
antara penduduk yang tidak ikut
ke luar rumah, maka
jumlah itu hanya segelintir kecil
.Malah mungkin hanya dua
orang saja .
***
Nyi imas, perempuan beranak
empat yang membuka warung di
kampung Banin meringkuk
ketakutan di tempat tidur
ditunggui oleh suami dan
anak-anaknya. Peristiwa
menakutkan itu mungkin tidak
akan pernah lenyap dari
pikirannya. la gemetar dan
berteriak-teriak histeris tiap kali
teringat saat ia melihat anjing
besar hitam bermata merah itu
menerkamnya. merobek-robek
pakaiannya. lalu
menyetubuhinya. Anak-anaknya
menjadi malu karena sering
mendengar tawa cemoohan
tentang ibu mereka diperkosa
anjing gila. Syukurlah suami Nyi
Imas seorang penyabar dan juga
mawas diri. Ia sadar peristiwa
itu di luar kehendak istrinya. Ia
pun teringat pula masa depan
anakanaknya. Jadi ia
memutuskan untuk mengabaikan
saja omongan di luar. dengan
harapan suatu hari kelak toh
akan berhenti dan hilang dengan
sendirinya.
Tetapi Sunggoro. putra
kesayangannya seorang pemilik
kebun kelapa yang luas di
kampung Parigi tidaklah
sesabar dan sepasrah suami Nyi
lmas. Benar. Sunggoro
mencintai Ningrum. anak gadis
paling bungsu keluarga
pensiunan juru tulis kecamatan.
yang masih ada pertalian famili
dengan keluarga Sunggoro. Ia
tidak kuasa membayangkan
selalu
bagaimana Ningrum diperkosa
dengan ganas oleh makhluk
buas itu di pancuran tempat
mandi perempuan. Yang
lebih-lebih tidak dapat
diterimanya lagi. Ningrum
sudah tidak perawan! Padahal
sudah lama Sunggoro
mengidam-idamkan bagaimana
rasanya menembus
keperawanan seorang gadis di
pelaminan. Belum lagi sindiran
teman-teman Sunggoro: "Kau
ketinggalan oleh anjing!"
Ningrum gembira mendengar
makhluk buas itu telah dibunuh.
Tetapi apa arti kegembiraan itu
mengingat kekasihnya tidak kuat
menghadapi kenyataan. dan
kemudian memutuskan jalinan
cinta kasih yang tadinya begitu
indah dan membahagiakan"
Maka. di saat warga penduduk
lainnya pergi berduyunduyun ke
perbatasan kampung dengan
suara riuh rendah seakan
berpesta besar. Ningrum sibuk
membereskan barang-barang
miliknya dan milik keluarganya.
Orangtuanya telah memutuskan,
besok hari pagi-pagi benar
mereka akan menyelinap pergi
meninggalkan kampung. Sambil
menatap foto kecil berbingkai
kayu di mana terpampang wajah
tampan dan senyum menggoda
Sunggoro, air mata Ningrum
mengalir melelehi pipi
Di perbatasan. gelak tawa
meledak ketika seorang
penduduk nekat menggunting
sejemDut bulu-bulu anjing yang
tergantung di
W ' _ v-.... | ---'
cabang pohon belimbing tua.
Waktu ditanya mengapa ia
melakukan hal itu. dia menjawab
tenang: "Sebagai
kenang-kenangan. Siapa tahu.
membawa berkah!"
Meskipun banyak yang
mencemoohkan. tidak sedikit
yang kemudian mengikuti orang
tadi. Rata-rata mereka
mengatakan, sejemput bulu
anjing yang mereka ambil akan
dipakai sebagai jimat, pemberi
kekuatan gaib. penolak bala.
pembawa rejeki dan
macam-macam lagi yang
semuanya berhubungan dengan
alam gaib. Tak heran. menjelang
pagi keadaan tubuh bangkai itu
tidak lagi sebagus yang tampak
semula. Tubuh makhluk itu
hampir plontos. awut-awutan,
sehingga tampak sangat jelek,
menjijikkan. Ditambah
genangan darah membeku di
sana-sini serta luka menganga
di lambungnya, sosok itu justru
menimbulkan kengerian di mata
orang yang menyaksikannya.
Bahkan orang terakhir yang
semula berniat mencungkil kuku
makhluk itu untuk dijadikan
hiasan kalung leher. mendadak
sontak mundur ketakutan.
Kelopak mata makhluk yang
setengah tertutup itu,
memperlihatkan sedikit bagian
mata di sebelah dalam. Mata itu
seakan menatap lurus ke mata
orang yang mendekatinya.
Barangkali, hanya suatu
kebetulan. Tetapi orang itu
merasa. mata itu seakan hidup
dan menatapnya dengan penuh
an
caman
Ketika ia menceritakan apa yang
menurutnya dia lihat, kembali
gelak tawa berderai di sana sini.
Salah seorang malah dengan
berani mam ke muka dan
menepuk-nepuk kepala makhluk
itu sambil tertawavtawa.
Dengan sombongnya ia
dekatkan wajahnya ke wajah
makhluk itu. Kelopak mata
setengah tertutup itu ia buka
dengan jari tangan. la pandangi
mata merah saga yang pudar
itu, sambil berseru:
"Hei. kau melihatku bukan"
Perkenalkan, namaku Kartijo.
Akulah yang nanti akan
memotong lehermu. Apakah kau
ada permintaan terakhir?"
Habis mencemooh sambil
bercanda itu. orang yang
menamakan dirinya Kartijo
mundur seraya mengangkat
dagu dengan angkuhnya.
"Dan aku yang memukul
kepalamu sampai memar! "
teriak seorang lainnya. yang
kemudian tertarik untuk
mengikuti perbuatan kawannya.
"Sebutkan saja namaku si Codet,
karena memang pelipis kiriku
codet. Lihat, ini nih ...," ia
mendekatkan pelipisnya yang
ditandai bekas luka ke dekat
mata makhluk itu. "Nah, kau
sudah tahu siapa aku. bukan"
Jadi sekali-kali, datanglah
berkunjung ke rumahku. Kau
akan senang. Karena biar aku
ini codet,
aku punya istri paling cantik di
kampung ini. Kau akan
kuperkenalkan padanya. Dan
kau akan lihat, bahwa untuk
mengangkangi istriku tidaklah
semudah mengangkangi Nyi
Imas. He-he-he "!" Bedug subuh
dari surau menyadarkan semua
orang yang masih berkeliaran di
seputar belimbing tua itu. Para
tetua menyuruh semua orang
pulang untuk membersihkan diri
dan ikut ke surau untuk
berjamaah. "Bagaimana dengan
anjing terkutuk ini?" teriak
Kartijo tak sabar. "Nanti saja,
setelah hari siang ." jawab salah
seorang tetua. "Mengapa tidak
sekarang?" "Sekarang waktu
sholat. Pantang melakukan yang
tidak pantas ...." "Ah, cuma
bangkai!" Kartijo menggeram.
Lalu sreeetl Goloknya melayang.
Dan put uslah leher makhluk itu.
Kepala yang mengerikan itu
jatuh ke tanah. Menggelinding
sebentar, lalu diam. Tetapi eh,
nanti dulu. Benarkah kelopak
mata makhluk itu tadi mengerjap
sebelum terlepas dari tubuhnya"
Kartijo mengawasi kepala
makhluk dekat kakinya. "'
Kelopak mata itu tidak
mergerjap. Kartijo menyeringai.
kemudian berlalu. Tanpa
memperhatikan. bahwa kelopak
mata di ke
pala makhluk itu yang tadinya
setengah terbuka. sekarang
terpejam rapat. Suatu pertan
da. nyawa makhluk itu belum
terpisah dari
badannya. sampai golok Kartijo
membantai lehemya!
**.
10
HADIMAN tidak perlu
ribut-ribut menyuruh orang
mencari tahu di mana dua
potong bangkai anjing itu
dikuburkan. la pelajari
situasinya dengan seksama.
kemudian memutuskan dam dan
menunggu adalah lebih
bijaksana Maka pagi hannya ia
pergi ke balai desa. meski
banyak hal lain yang bermanfaat
untuk ia )alankan Misalnya
melihat apakah kebun
cengkehnya sudah siap untuk
dipanen Atau menanyakan pada
warga yang dipercayakan
mengurus empat ekor sapi
Bantuan Presiden -yang dua di
antaranya belum lama ini
melahirkan. tidak kurang suatu
apa Dan lain-lain urusan. Baik
sebagai kepala desa. maupun
sebagai kepala dua
rumahtangga
Tetapi setiap kali ada warga
desa yang da tang padanya
memohon potunpuk l-ladiman
selalu menanamkan sembouan di
kepala warga itu: "Dahulukan
mana yang paling pen ting dan
bermanfaat!" ltulah sebab
mengapa Hadiman memilih
pergi ke balai desa ketim
163"
bang mengerjakan urusan lain.
Balai desa masih tutup ketika ia
tiba. Juru tulis yang tinggal
berdekatan. melihat
kedatangannya lalu
tergopoh-gopoh datang
membawa anak kunci.
"Ada perlu apa Pak Lurah"
Pagi-pagi sudah masuk kantor,"
tanya juru tulis seraya membuka
pintu.
"Ah, tidak ada yang penting."
jawab Hadiman. "Aku kebetulan
kurang kerjaan. Maka kupikir
apa salahnya duduk-duduk di
balai ini. Siapa tahu ada di
antara warga yang
membutuhkan pertolongan,
bukan?"
Dugaan Hadiman tidak meleset.
Belum juga ia sempat
mengambil tempat duduk. juru
tulis telah mengantarkan
seorang tamu, yang ia segera
kenali sebagai penduduk
kampung Parigi. Sesaat jantung
Hadiman berdebar. Apakah
orang ini membawa kabar
terakhir mengenai akhir
pembantaian anjing itu"
"Aku memerlukan surat pindah,
Pak lurah ," orang itu
menerangkan.
"Kau" Pindah?" Hadiman
kecewa, sekaligus
terheran-heran.
"Bukan aku yang pindah.
Melainkan Pard' "|
,"'Parjo" Parjo yang pensiunan
juru tulis kecamatan itu?"
"Persis."
" Lho, kok?" "lni menyangkut
anak gadisnya. Pak Lurah.
Maksudnya. si Ningrum."
"Ningrum?" Wahai, bertanya
dan bertanya
saja yang ia lakukan. Tetapi
Hadiman betulbetul terkejut dan
heran, sehingga ia bertanya
lagi: "Ningrum. Hem, ada apa
dengan Ningrum?"
"Ah. Masa Pak Lurah lupa! "
Hadiman berpikir. kemudian
terhenyak. "Ningrum! Aku ingat
sekarang. Anak gadis yang
malang "." wajah Hadiman
murung seketika. "Ke mana
Ningrum akan pindah?"
"Bukan Ningrum saja, Pak
Lurah. Tetapi juga ayahnya,
ibunya. bahkan kakaknya yang
sudah berkeluarga. Semuanya
boyong ."
"Astaga, separah itu benarkah"
Tidak dapat lagi dicegah, atau
ditunda?"
"Terlambat, Pak Lurah. Dini
hari tadi, mereka sudah
menyelinap pergi. Aku
diwakilkan mengurus apa-apa
yang mereka tinggalkan.
termasuk mengenai kepindahan
mereka. Maklumlah, Pak Lurah.
Karena peristiwa memalukan
itu, mereka tidak tahan ...."
Sambil mengerjakan surat-surat
yang diperlukan. pikiran
Hadiman menerawang.
Penyebab penderitaan Parjo
sekeluarga, tak dapat dipungkiri
lagi adalah makhluk jahanam
itu. Mengingat makhluk itu
adalah anak tirinya,
sungguh sangat menyakitkan
hati.
Kesalahan apa yang diperbuat
Hadiman, sehingga ia tertimpa
aib yang tidak saja memalukan
tetapi juga mengerikan itu"
Salah memilih istri"
Rasa-rasanya tidak. la
menyayangi Maryati.
Sebaliknya, Maryati juga
menyayangi Hadiman. malah tak
pernah lupa mengingatkan agar
Hadiman tidak menomorduakan
Supinah.
"Dia istri pertama Kang
Maman. Jadi dia tetap harus
nomor satu." begitu Maryati
mengibaratkan.
Hadiman tidak pernah berpikir
untuk menomor duakan Supinah.
Di lain pihak, ia juga tidak mau
menomorduakan Maryati. Maka
ia senantiasa memperlakukan
dua-dua istrinya sama hak dan
kedudukan. Tak heran kalau
Supinah dan Maryati sama
bangga dan kagum pada suami
mereka. Bahkan lambat laun.
Suplnah serta Maryati seperti
sepakat bahwa mereka berdua
adalah satu adanya. Sungguh
karunia Tuhan yang patut
disyukuri.
Lalu di mana letak
kesalahannya"
Apakah pada Maryati, yang
kebetulan melahirkan seorang
anak terkutuk"
Astaga, betapa nistanya tuduhan
itu!
Adalah lebih patut bila
dikatakan, Margono sekedar
sial. Sial karena memilih jalan
merepotkan untuk mengunjungi
ibunya, tersesat
&
di jalan. masuk rimba larangan.
dan terjadilah bencana itu.
Demikianlah kira-kira yang
dapat disimpulkan Hadiman dari
apa-apa yang ia lihat dan
dengar sepanjang malam tadi.
Tetapi apakah seluruh kesalahan
pantas ditimpakan di pundak
Margono"
la tersesat, bukan"
Jadi yang salah, mungkin rimba
larangan itu. Atau penghuninya.
Sumirta. Eh, atas dasar apa pula
ia mengkambinghitamkan
Sumirta"
Bisa mabok l-hdiman
memikirkan pertanyaan
bertumpuk yang menyakitkan
kepala itu. Untunglah tidak
terlalu lama. Menjelang tengah
hari. datanglah apa yang
sesungguhnya ia tunggu. Yakni
dua orang tamu lain. Kepala
kampung Parigi dan kepala
kampung Banjar. Mereka
mengulang peristiwa hari-hari
sebelumnya sebagai pembuka
kata. Dan diakhiri dengan
dibantai-putusnya kepala anjing
besar hitam bermata semerah
darah itu.
"Aku tidak berkeberatan
mengenai itu," kata Hadiman,
tenang dan ramah, meski
dadanya berdebar-debar dan
hatinya gelisah resah. "Sayang,
aku tak dilapori sebelumnya ...."
ia pura-pura menyesalkan.
"Maafkanlah, Pak lurah." ujar
kepala kampung Parigi.
menyesal. "Kami mengetahui
istri Pak Lurah sakit keras. Jadi
kami pikir. sung
rm &
guh tak pantas membebani
pikiran Pak Lurah dengan
urusan yang mampu kami atasi
sendiri. Baru setelah beres, kami
sekarang datang melapor."
"Aku mengerti. Hem ...."
Hadiman memperlihatkan wajah
acuh tak acuh. "Anjing itu
dibantai. Lalu kalian apakan"
Dibuang di sembarang tempat?"

"Dikuburkan secara terpisah,


Pak Lurah. Kampung kami
dapat bagian kepala. Kami
tanam di pinggir kali. Dekat
jembatan yang ke kampung
Maung. Siapa tahu, roh makhluk
itu sudi jadi penjaga jembatan
...." kepala kampung Parigi
tertawa terkekeh-kekeh.
Dapat satu, cetus Hadiman
dalam hati Dan ia pun tertawa
senang, yang ditanggapi keliru
oleh tamu-tamunya. Karena
dengan segera. kepala kampung
Banjar berujar riang:
"Seperti Pak Lurah, aku pun
paling jengkel bila temanku
ngobrol bicara soal hantu,
demit, atau setan gentayangan
lainnya. Tetapi demi
menghormati saran tetua-tetua
kampung. aku terpaksa
mengalah. Tubuh makhluk tanpa
ke
pala Itu kami kuburkan di pintu
masuk kampung Banjar. Mereka
bilang, agar roh jahat tidak
berani lalu lalang ...."
"Maksudmu, di bawah pohon
beringin tua itu?" desah
Hadiman, seolah tanpa minat.
"Wah. Pak Lurah dari dulu
selalu jitu mene
168
&
bak isi hati orang," kepala
kampung Banjar memuji diiringi
senyum kekaguman yang tulus.
"Sering-sering hanya
kebetulan!" sambut Hadiman,
dan tawanya pun berderai
gembira. Lengkap sudah yang
kuharap-harapkan, pikirnya,
lebih gembira lagi. Namun
perasaan itu ia sembunyikan
dengan segera beralih ke
permasalahan lain. Seingatnya
saja: "Kebetulan pula kau
berkunjung, Pak Diran," ujarnya
pada kepala kampung Banjar.
"Anak sapi yang dua ekor itu.
Apakah sehat-sehat saja?"
"Malah rasanya kelewat gemuk,
Pak Lurah. Adapun induknya
...."
Yang selebihnya, tidak lagi
diperhatikan sungguh-sungguh
oleh Hadiman. Pikirannya lebih
terpusat pada letak
masing-masing kuburan kepala
dan tubuh anjing yang sial itu.
Tentunya kuburan-kuburan itu
masih terus dikunjungi, siapa
tahu juga diziarahi penduduk
tertentu untuk memohon berkah.
Kepercayaan semacam itu telah
mendarah daging di sanubari
sebahagian penduduk desanya.
Dan merupakan salah satu tugas
paling berat yang selama ini
harus dihadapi Hadiman,
dibantu oleh beberapa pemuka
agama setempat. Meskipun
berjalan lambat tetapi hasilnya
lu. mayan juga. Paling tidak,
menekan jumlah penduduk yang
masih berpegang teguh pada
tradisi dan kepercayaan nenek
moyang mereka.
Persoalannya sekarang,
haruskah ia percaya pula"
Sialnya, ia terlibat pula. Masih
perlu dibuktikan. Dan kalau
ternyata apa yang ia
khawatirkan memang terbukti
benar adanya" ia akan berserah
diri pada Tuhan Yang Maha
Kuasa, Yang Maha Tahu, dan
Maha Pencipta. Apa pun dapat
terjadi, bila Tuhan
menghendaki. Yang penting
diingat, pikir Hadiman,
janganlah jauh-jauh dari jalan
yang ditunjuk Tuhan melalui
rasulNya, Nabi Besar
Muhammad.
Setelah dua tamunya itu pulang.
Hadiman pun pulang pula ke
rumahnya. la mengajak Martubi
bicara di bawah empat mata. la
ceritakan apa semua yang ia
dengar dan ketahui.
Martubi seketika menanggapi.
Katanya. bernafsu: "Jadi malam
ini kita sudah boleh keluyuran!"
"Jangan. Setiap ketergesaan,
dapat berakibat buruk.
Kuburan-kuburan itu masih
hangat. Jadi besar kemungkinan,
ada saja orang-orang yang
masih berkeliaran di sekitarnya
...."
"Kita takut-takuti saja mereka!"
dengus Martubi, tak sabar.
"Seorang kepala desa yang
menakut-nakuti warganya. lebih
baik diturunkan saja dari ja
batannya!" Hadiman
menggerutu tak senang. '
"Lagipula, kalau mereka kita
takut-takuti, itu berarti aku
mendorong mereka untuk
mempercayai apa yang selama
ini justru kusuruh tinggalkan!"
"Aku hanya bermaksud semua
urusan ini cepat terselesaikan ."
Martubi berdalih, menyimpan
perasaan kecewa. "Tetapi
berapa lama kita harus
menunggu" Dan jangan lupa.
bangkai yang sudah dikubur
dalam tanah, lambat laun pasti
hancur. Tak ada lagi yang dapat
kita perbaiki ...."
"Yang lebih patut diperbaiki,
Pak Martubl
...," ujar Hadiman tenang.
"Adalah ketentraman jasmani
dan rohani ibu dari cucumu.
Untuk jangka panjang. Bukan
sekedar hari ini sa'a!"
]"Aduh. Perutku kok mendadak
lapar!" Martubi mengelakkan
diri dari kekalahan.
"Aku juga. Tercium oleh bau
ikan panggang Supinah!"
...
MALAM hari itu Kartijo tak
mampu memicingkan mata. la
gelisah setengah mati. tanpa
sebab-sebab yang jelas.
Kerlngatnya mengalir tak
putus-putus. lewat tengah malam
ia menyelinap ke luar rumah
untuk mendapatkan hawa segar.
Baru saja ke luar. ia sudah kaget
sendiri waktu ada
bayang-bayang lewat di
dekatnya. Tahu tahu pundaknya
ditepuk pula. Tak pelak lagi. ia
memekik tertahan. Suara tawa
bergelak menyadarkannya. la
cepat berpaling, mengenali
siapa yang memperdayakannya,
lantas memaki:
"Haram jadah kau, Parlan!
Kukira ...."
"Hantu ya?" yang disebut
Parlan, tertawa lagi. "Katanya
kau bukan penakut!"
"Siapa bilang aku takut, kau
tikus busuk" Aku kaget. hanya
itu saja. Dan apa kerjamu
keluyuran larut malam begini"
Mau maling ?" ya "Maling
nenekmu!" Parlan balas
menggerutu. "Aku baru dari
kuburan itu. Anakku sakit keras.
dan ada yang bilang kalau aku
menyiram kuburan kepala anjing
itu dengan air kembang, anakku
akan lekas sembuh ...."
"Omong kosong!" dengus
Kartijo mencemooh. "Lalu apa
yang terjadi kalau umpamanya
kuburan itu kukencingi?"
"Kau berani?"
"Mengapa pula tidak" Mau
kubuktikan?"
"Uh. Kau pergilah sendiri. Aku
tidak mau terlibat ikut mengotori
tempat di mana aku justru
mengharapkan berkah ...."
"Dasar manusia tak eling,"
Kartijo geleng kepala. "Dan
supaya kau eling, biarlah
kukencingi saja kuburan itu.
Lalu akan kita lihat besok,
bahwa aku tetap segar bugar
dan anakmu tak
sembuh-sembuh."
"Atas nama anakku, terkutuklah
kau Kartijo! " umpat Parlan
seraya berlalu dengan sakit hati.

Kartijo memperhatikan Parlan


pergi. meninggalkan amarah
meluap-luap di dadanya. Dari
maksud semula ingin bercanda,
ia lantas nekat
melaksanakannya. Wajahnya
memerah padam waktu ia
bergegas ke arah jembatan di
batas kampung mereka dengan
kampung Maung. Kuburan kecil
yang ditumpuki batu sungai
sebagai tanda, tampak bekas air
dan bunga rampai yang
bertebaran.
Kartijo mengawasi tumpukan
batu itu sembari nyeletuk kasar:
"Anjing terkutuk Minumlah air
kencingku sepuas-puas
dahagamu! "
lalu celana ia buka, dan
kemudian tumpukan batu ia
kencingi disertai tawa histeris.
Air seninya mengalir dan terus
mengalir. Belum pernah seumur
hidup ia kencing sebanyak dan
selama itu. Menit demi menit
berlalu, air seninya terus
mengucur seolah tidak
habishabis. Tawanya
pelan-pelan merendah, lalu
hilang. dan kemudian ganti ia
ketakutan. la berusaha
melepaskan tangan dari
kelelakiannya, tetapi usaha itu
tidak berhasil. Ia mulai kalut
dan melangkah mundur. Namun
lewat kelelakiannya cairan terus
saja mengalir lepas tanpa
kendali. la mundur dan terus
mundur dengan panik, manakala
air yang mengalir berubah
warna kemerah-merahan.
semakin merah dan merah.
"Darah!" Kartijo berseru
dengan suara setengah tercekik.
"Aku kencing darah Aku tak
dapat.. .menghentikannya
.Apakah. .. . 'suaranya semakin
lemah dan lemah. Wajahnya pun
semakin pucat dan pucat.
Langkah mundurnya makin lama
makin tertegun-tegun. kaku.
Kemudian ia sadari bahwa
permukaan kulit lainnya ikut
pula memucat dan seterusnya
perlahan-lahan membiru
bersama dengan semakin
banyaknya darah yang tersedot
keluar dari dalam tubuhnya.
"... aku ..tak mengerti..." Kartijo
merintih pelan ketika tubuhnya
limbung ke depan, kemudian
jatuh dengan wajah lebih dulu
mencium tanah. Tanpa dapat
dihindari. ia sekaligus pula
mencium genangan darahnya
sendiri. Baunya anyir dan busuk
alang kepalang.
Kartijo menggeliat. Ingin
muntah.
Tetapi tidak sesuatu pun yang
dapat ia muntahkan lagi, setelah
jaringan-jaringan di sekujur
tubuhnya menolak untuk
bereaksi karena sudah terlalu
lemah kehabisan bahan bakar,
yakni darahnya. Sementara
keheranan
tetap menghantui. Kartijo masih
dapat merasakan bahwa dalam
genggaman telapak tangan
kanannya. kemaluan Kartijo
terus mengeluarkan cairan.
la berupaya sekuat tenaga
menggerakkan kepala. Ia
berhasil, tetapi hanya untuk
menoleh ke samping untuk
melihat kegelapan yang
bertambah pekat hitam, datang
bergumpal-gumpal ke arah
dirinya. mengepung dan
kemudian mencengkeram,
menekan, menghimpit.
"To-long ...," Kartijo bernafas
megapmegap."Aku ...."
Pandangannya mengabur sudah.
Kegelapan sudah berhasil
menguasai dan memperbudak
kemauannya. la menyatu
dengannya. Larut
perlahan-lahan. sampai ia tidak
tahu apa dan siapa lagi dirinya.
Sebelum ia menghembuskan
nafas terakhir, masih sempat
Kartijo menangkap gambaran
lengan kiri yang terkulai lunglai
di depan matanya.
Lengan itu seperti mengecil.
Kulitnya mengisut. Hitam
kebiru-biruan.
Gambaran menakjubkan dan'
lengannya itu tiba-tiba
menghilang. Bersama dengan
hilangnya nyawa Kartijo. Saksi
mata terus memperhatikan
matinya Kartijo. Mengawasi
diam diam beberapa belas meter
dari tempat Kartijo jatuh lalu
mengakhiri ajal.
Saksi mata itu. memang bisu.
Karena sebenarnyalah. hanya
terdiri dari tumpukan batu-batu
semata!
***
BAB 11
BELUM juga matahari terbit,
penduduk kampung Parigi sudah
dilanda gempar. Kabar tentang
matinya Kartijo secara
mengerikan dengan cepat pula
telah sampai ke telinga Lurah
desa Lamping. Hadiman bukan
main terkejut. hampir tak
mempercayai gunjingan yang ia
dengar. Untuk meyakinkan. ia
bergegas menuju kampung
Parigi ditemani oleh Martubi.
Di antara jerit tangis yang
memenuhi rumah almarhum, di
sana-sini terdengar bisik-bisik
ketakutan membicarakan sebab
musabab kematian Kartijo.
Semuanya mengarah pada satu
hal. yang membuat Hadiman
semakin murung. Baru setelah
dibisiki Martubi. ia teringat apa
yang semestinya dilakukan.
Tanpa membuang waktu maupun
kesempatannya. ia meminta
semua orang yang hadir
didalam rumah duka agar diam
sebentar.
"Bela sungkawa patut
kusampaikan pada keluarga
almarhum," katanya tenang dan
datar. Ia tidak ingin
memperlihatkan kemarahan.
namun toh kalimat kalimatnya
yang meluncur kemudian dari
mulutnya jelas berbau
kemarahan itu: "Tanpa maksud
merendahkan martabat
almarhum. aku harus
mengingatkan kalian kembali.
Bahwa telah beratus bahkan
mungkin ribuan kali aku
peringatkan warga desa kita.
termasuk kamu, kamu. dan
kamu"." ia menunjuk beberapa
orang yang seketika
merundukkan kepala. "Melihat
diri dalam urusan setan
jahanam tanpa didukung iman
yang teguh. akan membuka jalan
pada setan untuk memperbudak
kalian. Memuja benda atau
tempat keramat pun setali tiga
uang. Sebaliknya, menolak
kepercayaan yang sudah patut
ditinggalkan itu, benar, baik.
terpuji. Tetapi pun harus
diingat. Tidak pantas mengotori
atau memperhinakan
kepercayaan orang lain.
Selalulah bertukar pikiran
secara kekeluargaan. Dengan
begitu. mudah-mudahan setiap
kesulitan yang sama-sama kita
hadapi dapat dibereskan tanpa
saling melukai hati sesama. Baik
yang sudah mati, konon pula
yang masih hidup.?"
Kepala kampung kemudian
angkat bicara. "Tak ada jalan
lain." katanya. "Aku tak sudi ada
warga kampung ini memuja
maupun mengotori sesuatu yang
tidak patut dipuja dan dikotori.
Kuburan sialan itu harus
dibongkar. Dan kepala anjing
yang terkubur di dalamnya
harus dibuang!"
"Dibuang ke mana?" seseorang
nyeletuk.
"Biarlah aku yang
mengurusnya! " sela Hadiman
dengan wajah tanpa ekspresi.
"Aku akan menguburkannya di
suatu tempat. yang kuharap tak
seorang pun kalian
mengetahuinya,,.
Harapan Hadiman itu
sungguhlah, setulus hatinya.
Ketulusan hati itu, meski dalam
tafsiran lain. disambut anggukan
kepala serempak di sanasini.
Lepas dari kengerian melihat
keadaan jasad jenazah Kartijo,
diam-diam Martubi menahan
senyum sekaligus kagum akan
siasat jitu Hardiman.
Tetapi Martubi samasekali tidak
kuasa lagi tersenyum sewaktu
tumpukan batu lalu tanah di
bawahnya dekat jembatan,
selesai dibongkar. Ia sendiri
yang dengan sukarela
mengangkat kepala anjing itu
dari liang kubur.
membungkusnya dengan sehelai
kain yang diserahkan salah
seorang penduduk. lalu
menyimpannya hati hati di
dalam sebuah kardus. Selagi
mengerjakan semua itu,
tangannya gemetar dan jantung
berdegup keras.
"Benarkah ini kepala cuCuku?"
ia membatin, getir dan sakit .
***
TAK seorang pun yang berani
mengikuti Lurah ketika pergi
bersama Martubi meninggalkan
kampung Parigi. Kedua orang
itu berjalan cepat dengan mulut
bungkam, sampai suatu saat
Hadiman bergumam:
"Tahukah kau, Pak Martubi?"
"A--pa?" sahut Martubi terkejut,
karena pikirannya sedang
tertuju pada wujud kepala
anjing dalam kardus yang
dikepit lengannya.
"Bangkai kepala itu. Sekarang
sudah memasuki hari ke dua
sejak mereka menghabisi
nyawanya. Aku jongkok di
dekatmu ketika kau
mengeluarkan lalu membungkus
kepala itu. Dan aku tak mencium
bau apa-apa.. .."
"Iya ya!" Hadiman
manggut-manggut. "Anehnya.
kepala ini masih utuh.
Maksudku. tidak membusuk.
Aneh memang, namun buat kita
keanehan itu justru sangat
menolong!"
"Kuharap saja. Pak Martubi.
bagian lain tubuhnya punya
keanehan serupa...."
"Ah. Baru aku ingat. Apa tak
ada salahnya kita langsung saja
mengambil jalan pintas ke
kampung Banjar" Tentunya
mereka di sana sudah
mendengar tentang peristiwa
mengerikan di kampung Parigi.
Dan seperti halnya penduduk
kampung Parigi, mereka pun
akan merelakan bagian tubuh
lain itu kita bawa pulang.. ."
"Kita harus punya alasan yang
masuk akal.
Pak Martubi."
'"Ada. Katakan saja. kau tidak
mau jatuh korban yang senasib
dengan Kartijo."
"Usul yang tepat!" desah
Hadiman gembira. "Ayolah! "
Memakan tempo lebih setengah
jam sebelum mereka tiba dan
bertemu dengan kepala kampung
Banjar. Waktu memasuki
kampung itu. Hadiman dan
Martubi bernafas lega melihat
suasana aman tenteram.
Tampaknya apa yang terjadi di
kampung Parigi belum dan
semoga tidak terjadi pula di
kampung Banjar yang damai ini.
Kepala kampung sudah
mendengar peristiwa kematian
Kartijo. la menyuruh orang
memanggil tetua yang dihormati
penduduk. dengan siapa
kemudian mereka berembuk.
Meskipun sempat adu mulut
yang menegangkan dengan tetua
kampung itu. akhirnya diperoleh
juga kata sepakat. Martubi
hampir bersorak kegirangan
setelah disadarinya bahwa
betapa mudah mereka
memperoleh apa-apa yang
mereka kehendaki. Tanpa curiga
atau prasangka dari siapa pun
juga. Urusan seterusnya,
tentulah akan lebih ringan dan
lancar. Perasaan sama juga
meliputi hati Hadiman. Nama
baik dan kehormatannya.
terutama istrinya Maryati, akan
tetap terjaga tanpa cela!
Namun dengan segera
kegembiraan itu lenyap. Sewaktu
datang. mereka mengambil jalan
pintas. Tidak melalui pintu
masuk kampung. Sekarang
mereka berdua didampingi
kepala dan tetua kampung yang
membawa pacul untuk menggali.
sama berdiri menghadapi
kuburan di bawah pohon
beringin. Atau lebih tepat
dikatakan. bekas kuburan.
Karena kuburan itu tampaknya
telah lebih dulu dibongkar orang
lain.
Bagian tubuh yang mereka cari.
lenyap tanpa bekas.
"Kurang ajar! Siapa pula yang
menjahili tempat ini?" Kepala
kampung mengumpat marah.
Lalu mengawasi tetua yang
dihormati itu dengan mata
curiga. Yang diawasi tak
kurang-kurang gusarnya.
Desisnya murka: "Siapa pun dia.
biar anakku sendiri misalnya.
lehernya akan kucekik! "
Ada pun Hadiman dan Martubi.
hanya mampu bertukar
pandang.
Khawatir.
Dan patah semangat
Sewaktu mereka dalam
perjalanan kembali ke rumah
kepala kampung untuk menyusun
rencana mencari tahu siapa
yang bertangan jahil itu. mereka
berpapasan dengan salah
seorang penduduk yang baru
saja akan berangkat ke ladang.
Orang itu kelihatan melangkah
gontai dengan wajah keruh dan
mata kemerah-merahan karena
kurang tidur.
!"
"He. Sulimin!" panggil kepala
kampung. "Kau sakit?"
Orang itu berpaling kaget.
Setelah mengetahui siapa yang
menegur. ia segera
terbungkuk-bungkuk mendekat
"Mungkin saya memang sakit....
Mungkin juga berubah ingatan,"
katanya. Ia menoleh pada
Hadiman. makin membungkuk
lagi sambil berujar
diriang-riangkan: "Pak Lurah.
Tumben!"
Hadiman memaksakan senyum
di bibir. Bertanya lembut: "Kau
barusan mengatakan sesuatu
yang -yah. agak
membingungkan. Apakah kau
memerlukan bantuan. Sulimin?"
"Tidak. Tidak. Tidak ada yang
dapat membantu saya. Pak
Lurah." sahut orang itu dengan
suara gemetar dan mata yang
liar. la mengawasi dari arah
mana keempat orang itu datang.
dan ia bertambah-tambah
gemetar. "Apakah... bapak ini
tadi melewati kuburan
menakutkan itu?" "Kuburan
mana?" Hadiman berlagak
pilon.
"Yang mana lagi. Itu. yang di
bawah pohon beringin. Yang
penghuninya.... penghuninya...."
suaranya mulai panik. "Bangkit
sendiri!"
Sulimin diajak ke rumah kepala
kampung. Setelah diberi minum
dan disuruh beristirahat
sebentar. ia menjelaskan: "itulah
yang membuat saya tidak dapat
tidur semalaman. Sampai
sekarang. saya tetap gugup dan
takut mengingat apa yang
terjadi tadi malam. sewaktu saya
dalam perjalanan pulang dari
kampung tharu untuk melayat
kerabat yang sakit payah. Mau
tidak mau saya harus melewati
kuburan di bawah pohon
beringin itu. Dan...."
Sekali lagi ia terpaksa diberi
minum. Meski tadi ia sudah
meneguk dua gelas penuh, toh ia
habiskan satu gelas teh manis
lagi, yang ia reguk tanpa
merasakan panasnya teh itu.
Mungkin lidah atau
kerongkongannya terbakar.
hanya tidak merasakan. Duduk
terbadai di kursinya. orang itu
mengulang pengalaman
buruknya dengan suara
terputus-putus sehingga harus
beberapa kali disabarkan dan
disuruh mengucap istigfar.
Tadinya, ia bukan seorang
penakut. Disuruh duduk
semalaman tanpa ditemani
orang lain menunggu jenazah,
pun ia berani. Namun
desas-desus yang sudah
menyebar luas tentang makhluk
berwujud anjing hitam bermata
merah darah itu berkembang
begitu cepat dan entah dibumbui
entah tidak, yang jelas dapat
membuat seorang laki-laki
gagah perkasa akan terpaksa
harus berpikir dua kali sebelum
melewati kuburan makhluk itu.
"Bayangkan..." ia menyela
kisahnya, "Mereka bilang, pada
malam hari kita berpikir tengah
menggeluti istri, dan tiba-tiba
kita sadari bahwa yang kita
peluk adalah tubuh seso-
sok makhluk hitam tanpa kepala.
Yang lain bi-lang, suatu pagi ia
terbangun dan melihat kepala
makhluk itu tergolek di sebelah
bantalnya,
dengan mata merah menyala
dan gigi-gigi ta-ring mengancam
Katanya ia langsung terbirit
birit lari, dikejar oleh kepala
mengerikan itu
Baru ketika tiba di bawah terik
matahari, sosok
kepala itu seperti debu ditiup
angin.!
Dan kau percaya tentang
tahayul itu?" de-sah kepala
kampung.
Sebenarnya tidak. Namun toh
waktu pulang dari kampung
owaru mau tidak mau hati
saya gentar juga...."
Sayang ingatan pada si sakit di
awaru
memenuhi pikirannya, sehingga
ketika sampai
di mulut kampung Banjar baru
la teringat bah-wa ia harus
melewati kuburan itu. Tengah
ma-lam buta, seorang diri,
sementara suasana se-kitar
kampung begitu lengang. gelap,
seakan
mendadak tidak berpenghuni.
Angin sedingin
es bertiup kencang pula, entah
dari mana da-tangnya dan tidak
mengerti mengapa angin
dapat sedingin itu.
Setelah ragu-ragu sebentar,
kemudian ia
memutuskan untuk berjalan
menghindar agak
jauh agar tidak melewati
kuburan di bawah po-hon
beringin tua itu. Baru saja ia
akan beran-jak, ia mendengar
suara suara berisik yang
aneh. disusul oleh udara yang
semakin dingin membekukan.
Cepat ia merapatkan tubuh ke
sebatang pohon besar agar
terhindar dari tiupan angin.
Suara berisik itu makin kentara.
Datangnya dari arah bertiupnya
angin. Penasaran. ia
melongokkan kepala dan
mengawasi arah suara tadi
terdengar.
Dan. ia melihatnya. Melihat
tumpukan tanah kubur bergerak
dan berhamburan tanpa ada
yang menggerakkan. kecuali
bahwa arah gerakan itu seperti
mendorong diri dalam liang
kubur. Mula-mula ia tidak
melihat apa-apa. Namun setelah
menajamkan pandang mata
menembus kegelapan, tampaklah
sesosok tubuh hitam. jelek dan
menjijikkan. merayap naik dari
liang kubur kemudian berdiri
limbung di atas keempat
kaki-kakinya. Makhluk tanpa
kepala. Anjing besar berbulu
hitam. tetapi yang sudah plontos
awut-awutan.
"Saya begitu terkesima!" desis
Sulimin lirih. "Sehingga saya
hanya dapat berdiri menyandar
di pohon dengan seluruh tubuh
gemetar hebat. Celana saya
terasa hangat. basah. Setelah
sosok makhluk itu melompat
lompat pergi dan lenyap di
kejauhan. barulah saya lari
bagai dikejar setan. Pulang ke
rumah. Dan ditanyai oleh istri
saya. Apa-apaan saya ini. masuk
rumah bagai kesurupan. kencing
di celana pula. ..! "
"Kau pulanglah. Istirahatlah
yang banyak. Sampai kau
merasa cukup pulih untuk
kembali melakukan pekerjaan
sehari-hari!" Kepala kampung
menyarankan selesai orang itu
bercerita.
"Tetapi kebun mentimun saya,
Pak...."
"Seseorang akan kumintai
tolong untuk mengurusnya."
kepala kampung menjanjikan.
Kemudian mereka berempat
hanya tertunduk diam di kursi
masing-masing. Penganan yang
dihidangkan nyonya rumah.
hampir tidak disentuh sama
sekali. Akhirnya Hadiman
berujar:
"Kita harus mencari tahu. ke
mana perginya tubuh tanpa
kepala itu!"
"Setuju," Martubi mendukung.
"Caranya?" desah kepala
kampung.
"Bagaimana ya"," Hadiman
bingung. "Apakah tidak ada
yang lapor telah didatangi
makhluk tanpa kepala itu tadi
malam?"
"Damai di luar sana, bukankah
begitu Pak Lurah?" Kepala
kampung mengingatkan dengan
halus.
Bingung lagi Hadiman. Lalu:
"Begini saja. Sambil kita
sama-sama mengasah otak tak
ada salahnya kau ceritakan
kembali apa-apa yang terjadi
sewaktu dan setelah makhluk itu
kalian gantung di pohon
belimbing. Siapa tahu kita dapat
meraba-raba kejadian malam itu
dengan apa-apa yang terjadi
selama dua hari terakhir ini. . .
."
Kepala kampung dengan enggan
menceritakan apa yang ia lihat
dan dengar sesekali ditambahi
keterangan lain oleh tetua
kampung yang lebih banyak
diam dari tadi. Menjelang akhir
ceritanya, tanpa disengaja
sepasang mata kepala kampung
menatap kardus milik tamunya
yang diletakkan di sudut
ruangan. Mendadak kepala
kampung Banjar itu tertegun.
lalu berbisik: "Kartijo...
Kartijo.... lalu siapa lagi yang
bikin ulah paling brengsek
malam itu ya?"
Tetua kampung menolongnya.
Orang tua itu bersungut tak
senang: "Si Codet. Bekas
narapidana itu!"
"Si Codet?" Hadiman tertarik.
"Apa kaitannya dengan Kartijo
almarhum?"
"Mereka berdualah yang
memperolok-olokkan bangkai
makhluk itu," jawab kepala
kampung resah. "Membuka
kelopak mata anjing itu. Dan
seperti Kartijo, si Codet pun
mengeluarkan kata-kata
tantangan yang memalukan...."
"Tantangan apa yang
diucapkan?" Hadiman semakin
tertarik.
"Semacam undangan. begitu."
"Ha. Undangan?"
"Ya. Agar makhluk itu datang
berkunjung
ke rumahnya. dan melihat -yah.
seperti dia bilang waktu itu --.
bahwa mengangkangi istrinya
tidaklah semudah mengangkangi
Nyi imas...."
Martubi menahan nafas. lalu
angkat bicara: "Lidah berbisa!"
"Apa?" kepala dan tetua
kampung bertanya serempak.
"Ah... bukan apa-apa." jawab
Martubi rendah sembari
mengerling Hadiman. "Apakah
kau sependapat. Pak Lurah"
Bahwa undangan itu kemudian...
dipenuhi oleh yang diundang?"
Seketika Hadiman bangkit dari
duduknya.
"Aku lupa-lupa ingat rumah si
Codet. Sudilah mengantarku ke
sana, Pak Diran." ia memohon
pada kepala kampung. Dengan
nada memerintah.
***
Sl CODET" bernama lahir
Sobara. Ayahnya berharap
sangat kelak putranya yang ke
sembilan itu menjadi manusia
penyabar. tabah menghadapi
cobaan hidup maupun tantangan
kehidupan. Sobara Sekaligus
juga anak bungsu. karena
setelah ia lahir, ibunya tidak
akan pernah hamil lagi.
Perempuan berahim subur itu
sudah sangat lemah dan kurus
sehingga
tidak lagi dapat meneteki
Sobara. demi anak anaknya
yang berumur rapat satu sama
lain, sang ibu beberapa kali
harus berpuasa selama
beberapa hari. Puasa terpaksa,
sampai akhirnya ia benar-benar
mati karena kelaparan.
Di tengah kemelaratan keluarga,
Sobara tumbuh besar bersama
ketidakpuasan, hinaan,
perlakuan semena-mena orang
lain. Termasuk sanak famili
yang sudah muak diemisi terus.
Menginjak umur belasan tahun
Sobara turun ke kota kecamatan,
dari mana ia menumpang truk
pasir sampai ke ibukota
Kabupaten. Apa saja ia
kerjakan, asal halal dan bisa
memberinya kesempatan hidup
satu hari lagi, lagi dan lagi.
Suatu hari, sang majikan
tempatnya bekerja meludah!
piring berisi nasi dan lauk pauk
yang baru saja akan dimakan
Sobara. Ia dituduh, mencuri lauk
pauk dari lemari dapur tetapi
tidak berani membantah. Ia
ingin menjaga itikad baik
Saniah, pelayan perempuan
majikan yang diam-diam
menaruh hati padanya. Saniah
diperlakukan majikan jauh lebih
baik. Karena ia perempuan,
muda, berwajah manis. murah
senyum dan penurut pula.
Saniah-lah yang diam-diam
mengambil lauk pauk dari
lemari dan diselundupkan ke
piring Sobara.
Hari itu Sobara dapat menahan
diri karena ia masih menyukai
pekerjaannya sebagai tukang
kebun dan pekerjaan kasar
lainnya. dengan gaji memadai.
Gaji yang juga jumlahnya
beberapa kali meningkat berkat
senyuman manis Saniah pada
majikan. Tetapi beberapa hari
kemudian, kesabaran Sobara
runtuh bagai tanggul lapuk yang
mendadak dilanda banjir
dahsyat. la pergoki Saniah
tengah diperkosa oleh majikan,
dengan tangan dan kaki Saniah
diikat di tempat tidur. Tanpa
berpikir panjang Sobara berlari
mengambil penyabit rumput dan
tubuh majikan durjana itu ia
tebas-tebas sampai hampir tak
dapat lagi dikenali.
Di pengadilan, jaksa menuntut
hukuman penjara 11 tahun untuk
Sobara. Tetapi hakim
mempertimbangkan kedurjanaan
si mati, dan sependapat dengan
penasihat hukum bahwa Sobara
membantai majikannya
terdorong oleh naluri ingin
membela kehormatan Saniah. Ia
hanya divonis 4 tahun, langsung
masuk dan hanya ia jalani
sekitar tiga tahun karena
dikurangi remisi-remisi. Keluar
dari penjara ia menikah dengan
Saniah. Pindah ke kota lain.
menemukan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan
mereka.
Hinaan dan perlakuan
semena-mena masih juga
mengejar kemana pun Sobara
pergi.Tiap kali ia berusaha
menghindar, selalu ada saja
sebab ia lagilagi dipojokkan. Ia
tusuk perut teman usaha jual
beli kendaraan bermotor, karena
muak teman itu terus menerus
menipu pembagian untung.
Sobara kali ini kena 7 tahun,
karena terjebak pancingan jaksa
dan terpaksa membuka rahasia
masa lalu bahwa sebelumnya ia
pernah masuk penjara karena
kasus pembunuhan pula.
Dengan setia Saniah
menantinya. bersama dua orang
anak mereka yang syukur
tumbuh sehat dan tidak
kekurangan berkat Saniah yang
jungkir balik tanpa kenal lelah.
Bebas untuk ke dua kalinya,
Sobara memutuskan untuk
mengasingkan diri. Hidup di
kota hanya membangkitkan haus
darahnya saja. Saniah setuju
diboyong pulang ke Kampung
Banjar. Reputasinya di kota
telah didengar penduduk. Tidak
lagi ada yang berani
memperhinakannya. Dan
tidaklah mengherankan pula,
apabila kemudian ia ditawari
pekerjaan bagus oleh salah
seorang sanak yang memiliki
perkebunan kopi satu-satunya di
desa Lamping. Upahnya berupa
bagi hasil sepertiga dari hasil
panen.
Hidupnya sudah lumayan layak.
Bahkan mampu membantu
sedikit-sedikit satu dua
saudaranya agar tidak sampai
kelaparan. Karena kalau tidak
sedang bekerja ke kebun kopi,
Sobara turun ke kecamatan dan
kerja sampingan menggali dan
menjualkan pasir serta
batu-batu sungai untuk bahan
bangunan. Sebenarnya ia
laki-laki yang baik. Sayang,
sejak lahir ia sudah didorong
untuk berlaku kasar dan mudah
naik darah.
Ketika Nyi Imas diperkosa oleh
makhluk berupa anjing besar
hitam bermata merah darah itu,
Sobara baru saja akan
meninggalkan rumah untuk
meronda. Cerita perkosaan yang
ia dengar cukup menakutkan.
Wujud pemerkosa itu lebih
menakutkan lagi. Penduduk
ketakutan setengah mati;
sore-sore sudah mengunci rapat
pintu dan jendela.
"Penakut semua!" umpat Sobara
marah. "Bagaimana kalau
istrimu yang diperkosa?" ia
menghardik dua tiga orang
temannya.
Mau juga dua laki-laki lain
mendukung niatnya sama-sama
mencari dan menemukan
makhluk jahanam yang terkutuk
itu. Sewaktu mereka akan
bergerak ke lereng gunung
itulah sifat penaik darah yang
sering lewat batas dilontarkan
Sobara lewat ucapan lantang:
"Apa, setan" Setan buatku tak
lebih dari taik! "Lalu ia
memperlihatkan codet di
pelipisnya. "Waktu di kota,
seseorang coba mengguna-gunai
istriku. Dengan petunjuk
seseorang. aku mengetahui
dukun pembuat guna-guna itu.
Lehernya kucekik karena ia
bersikeras tidak mau menyebut
siapa yang membayarnya. Lalu
tiba tiba. ia menyemburkan
ludah ke pelipisku. Ludah itu
melukai dan membakar. Dua
bulan baru sembuh. Dukun itu
sendiri yang mengobati. Setelah
kapok. ia bilang aku begitu kuat.
Orang lain. akan hancur
kepalanya kena semburan
ludahnya. la bilang lagi. setan
pujaannya tidak berdaya
melawan kekuatan ajaib dalam
tubuhku."
Entah benar entah omong
kosong saja ceritanya mengenai
codet di pipinya itu. Sobara
yang lebih dikenal dengan
sebutan si Codet memang selalu
paling depan'atau lebih dulu
memasuki tempat-tempat gelap
menakutkan ketimbang yang
lain, termasuk lelaki lelaki
kampung Parigi yang kemudian
bergabung dengan mereka. Dan
waktu mereka memergoki secara
kebetulan makhluk yang dicari.
dia yang pertama mengejar lalu
memukul kepala makhluk itu
dengan pentungan kayu, setelah
mana Kartijo berhasil
menyabetkan golok ke lambung
makhluk itu.
Jerih payah itu melambungkan
kesombongannya.
Geli menyaksikan orang terakhir
yang membatalkan maksud
mencabuti kuku anjing besar
yang tergantung di cabang
rendah pohon belimbing tua, ia
tidak mau kalah dengan Kartijo
yang mengolok-'olok bangkai
anjing itu. Tak ada yang
mengetahui, apakah ia sadar
pada saat ia menantang makhluk
yang mereka pastikan sudah
mati itu. untuk mau berkunjung
ke rumahnya. "Akan kau lihat,
mengangkangi istriku tidak
semudah mengangkangi Nyi
Imas!" teriaknya. disusul tawa
berderai-derai.
*** ***
SANIAH lah yang menceritakan
bagaimana sang makhluk
benar-benar memenuhi undang
si Codet untuk datang
berkunjung ke rumah mereka.
Makhluk itu muncul tanpa
membawa serta kepalanya! Ia
dan suami beserta anak.
anaknya tinggal di rumah kecil
bobrok peninggalan ayah
Sobara yang juga sudah
almarhum. Tidak seorang
tetangga pun yang mengetahui
kunjungan makhluk misterius
itu, karena rumah mereka jauh
terpisah dan memencil dari
kelompok perumahan tetangga
sekitar.
Saniah ditemukan rombongan
Hadiman duduk terkulai di
lantai tanah rumah mereka,
ditangisi oleh anak-anaknya
yang bocah tanggung.
Anak-anak itu, kebetulan malam
pergi menginap di rumah
majikan Sobara untuk membantu
pekerjaan-pekerjaan kecil dalam
rangka khitanan Cucu majikan
itu dua hari mendatang. Pulang
ke rumah, hari sudah siang dan
mereka temukan ibu mereka
dalam keadaan seperti beberapa
menit kemudian
muncul rombongan Hadiman.
Duduk terkulai menyandarkan
diri ke dinding kayu lapuk.
dengan tubuh lunglai tak
bergerak dan mata liar di
wajahnya yang pucat tak berseri
.
Sementara tetua kampung
mengusap wajah Saniah sambil
membaca doa-dna penolak bala.
Hadiman bertanya pada
anak-anak yang panik itu:
"Ayah kalian. Mana dia?"
"Tak tahu. Pak Lurah." jawab
yang tertua. "Ketika kami
datang. ayah tak ada di rumah
ini. Hanya emak yang ada. Itu
pun...." ia melirik ibunya dan
menangis lagi sesenggukan.
Oleh kepala kampung. kedua
orang bocah tanggung itu
diantarkan ke rumah majikan
ayah mereka dan menunggu di
situ sampai mereka
diperbolehkan bertemu kembali
dengan ibunya.
"Apa yang terjadi" Ada sesuatu
yang dapat kami bantu?"
majikan si Codet bertanya
khawatir.
"Yang terjadi. bagiku masih
gelap." jawab kepala kampung.
"Kalau mau membantu. hiburlah
dua anak yang menderita ini.
Mengenai ibunya. biarlah kami
yang mengatasi. ..."
Tiba di rumah yang letaknya
terasing itu. kepala kampung
melihat Saniah sudah mulai
dapat berbicara. Namun masih
diperlukan waktu seperempat
jam kemudian sebelum Saniah
dapat mengulang ceritanya yang
membingungkan agar lebih jelas
dan tidak lari sana lari sini,
sukar dikaitkan satu sama lain.
Syukurlah, meski ia hanya
seorang perempuan, ia lebih
mudah dibujuk ketimbang
Sulimin, lakilaki yang
terkencing-kencing di celananya
itu.
" bersama Kang Sobara, aku
baru pulang dari rumah
majikan," ia memulai lagi
ceritanya dengan lebih tenang
dan tabah. Tinggal matanya saja
yang sesekali mendadak liar
mengawasi pintu depan. "Kami
baru saja akan berangkat tidur
ketika" . ketika terdengar. . .
suara menggaruk-garuk itu . . .
."
Suara itu berasal dari pintu
depan.
Sang suami yang sudah
mengantuk saking lelah, menjadi
jengkel karena suara garuk
garukan itu bukannya berhenti
setelah dibentak dari kamar
tidur. Malah makin keras dan
bernafsu, disertai suara
berdebum-debum seperti daun
pintu dihempas-hempas sesuatu.
"Setan laknat!" Sobara naik
darah, melompat dari tempat
tidur. "Kuhajar kau!"
Saniah mulanya tidak tahu apa
atau siapa yang menjadi sumber
keributan itu. Ia hanya dengar
suaminya merenggut pintu
depan sampai terbuka,
membentakkan kata-kata
cercaan, lalu mendadak
segalanya sepi. Diam membisu.
Saniah bingung, dan tiba-tiba
tegang. la lihat suaminya masuk
kembali. Berjalan mundur tanpa
bersuara. Suaminya yang kasar
dan gagah berani. tampak pucat
dan loyo seolah berada di
bawah pengaruh kekuatan gaib.
Lalu" . sesuatu tampak
mengikuti ke dalam.
Sesosok tubuh setinggi paha
suaminya, barangkali malah
setinggi pinggang... berkaki
empat, kekar kokoh dengan
tubuh yang tampak begitu jelek
menjijikkan karena digenangi
darah membeku bercampur
tanah. Sewaktu suaminya
menyisih untuk memberi jalan,
barulah Saniah terpekik. Hanya
terpekik di dalam sanubari,
karena lidahnya terasa kelu dan
persendian tubuhnya mendadak
lumpuh tanpa sebab. Dengan
kengerian luar biasa ia melihat,
bahwa makhluk itu tanpa
dilengkapi kepala. Pada batas
leher yang terputus, hanya
terlihat daging dan tulang yang
juga digenangi darah berlumur
tanah.
Leher itu. 'memandang' lurus
pada Saniah yang terpukau.
Ada terdengar desahan-desahan
nafas, entah nafas siapa dan
dari mana datangnya, Saniah
tidak memperhatikan benar.
Yang pasti, ia dengar suara
suaminya bergumam rendah:
"Benar. Dialah... istriku...."
Dengan siapa suaminya bicara"
Belum selesai Saniah
memikirkan pertanyaan itu. sang
suami tiba-tiba pula bergerak
mendekatinya lalu
memerintahkan Saniah
menanggalkan pakaiannya.
Saniah ingin menolak, tetapi
"sorot pandang" leher makhluk
itu memaksanya untuk mematuhi
perintah si suami. Aneh, meski
jiwanya terasa lumpuh. justru
sebaliknya kelumpuhan pada
persendian saat itu mulai
berkurang. Ia dapat
menggerakkan tangan dan
jari-jemarinya.
Setelah pakaian ditanggalkan, ia
tertegak lunglai dalam keadaan
bugil sama sekali. Disaksikan
oleh suaminya yang seakan
membeku tanpa kuasa
melakukan sesuatu, Saniah
ketakutan setengah mati sewaktu
makhluk tanpa kepala itu
mendekati. Leher yang
diselaputi darah serta tanah itu
kemudian disentuh sentuhkan
lalu digosok-gosokkan ke paha
Saniah. Saking tidak kuat
menahan kengerian, Saniah
limbung lalu jatuh terjerembab
di lantai. Selama beberapa saat
kepalanya terasa pening , tanpa
ada yang menolong.
Saniah beringsut ke dinding.
Mencari pegangan.
lalu ia melihat sesuatu yang
lain. Sesuatu yang menyembul
keras dan panjang di antara
kaki-kaki belakang makhluk itu.
Saniah setengah sadar setengah
tidak. tahu bahwa ia beringsut
dengan posisi tercelentang ke
arah dinding. la ingin pingsan,
namun kekuatan gaib yang aneh
memaksanya untuk tetap sadar.
Lalu .makhluk itu
mengangkanginya. Dengan
cepat dan mudah. karena Saniah
tidak punya kekuatan apa apa
lagi. Jangankan untuk
memberontak. Untuk
menggerakkan mata saja ia tak
mampu. Sepasang mata Saniah
terpentang lebar, diam tak
berkedip tak beralihalih dari
leher sang makhluk yang begitu
dekat ke wajahnya.
Puas mengangkangi, makhluk
itu kemudian mengundurkan diri
dengan langkah-langkah kaki
gontai. Tak ada yang bertanya,
tetapi telinga Saniah menangkap
suara suaminya menjawab:
"Ya... ya.... Gampang saja...."
Suaminya tidak sekali pun
menoleh lagi ke arah Saniah
ketika berjalan lunglai mengikuti
makhluk itu menuju pintu depan.
Saniah tidak dapat lagi melihat
dua sosok tubuh berlainan takdir
itu.keCuali sayupsayup
mendengar ucapan terbata-bata
Sobara:
"Gantung diri... aku...
mengerti.?"
Dinihari datang. Saniah tak
sadarkan diri entah beberapa
lama. Menjelang subuh ia
terjaga lagi. seolah bukan
pingsan tetapi baru bangun dari
tidur. Sekujur tubuhnya lemas
dan sakitsakit tiada terperi. Ia
melihat pakaiannya yang
berserakan, ingin menjemput
tetapi tangan maupun kaki tidak
mampu ia gerakkan. Siang
menjelang Tak seorang pun
datang. Juga
tidak suaminya. Kemudian ada
suara-suara kaki-kaki kecil
datang berlari-lari. Disertai
teriakan-teriakan riang gembira.
Anak-anaknya! Anak-anak
itulah, yang setelah terlepas dari
shock, kemudian memakaikan
dengan susah payah pembalut
tubuh Saniah, sementara Saniah
sendiri masih tetap tak kuasa
bergerak kecuali matanya yang
dengan liar terus mengawasi ke
arah pintu depan. Ia berharap,
suaminya segera muncul. Sangat
mengharapkannya. Untuk
menanyakan hanya satu
pertanyaan pendek saja:
"Kang Sobara. Tidurkah aku?"
la heran dan malu ketika yang
muncul adalah rombongan lurah
desa mereka. Setelah wajahnya
diusap, diberi minum air putih.
dibacakan doa-doa penolak bala
oleh tetua kampung, barulah
pengaruh kelumpuhan itu
perlahan-lahan hilang. Yang
tinggal hanya keletihan dan
keputusasaan.
Selesai dengan kisahnya,
kelopak mata Saniah terpejam
rapat. Bulu-bulu matanya
bergetar getar. Mengungkap
kandungan perasaan yang
menggugah siapa pun yang
melihat. Tak ada yang tega
untuk menanyai Saniah lagi.
Berpikir bahwa Saniah tertidur.
keempat orang tamu bersijingkat
ke ruang depan. Baru juga
sampai di pintu, terdengar
bisikan setengah mengerang
dari mulut Saniah:
"Kang Sobara. Tidurkah aku?"
Serempak keempatnya
memalingkan muka. Sama-sama
menahan air mata. Martubi
apalagi. Bukan saja ingin
menangis. la malah ingin
mengutuk. Teringat apa yang
dikhawatirkan orang tua
misterius bernama Sumirta itu:
bagaimana kalau orang lain tak
bersalah yang jatuh sebagai
korban"
Sementara tiga orang lainnya
sibuk berembuk, ia berkeliaran
ke sekeliling rumah.
Bagian-bagian akhir cerita
Saniah yang membangkitkan
nalurinya. Tak jauh dari rumah
kecil bobrok itu, ia menemukan
apa yang ia cari. Di salah satu
cabang pohon rambutan, tampak
terayun-ayun sesosok tubuh
tinggi besar. Lehernya terjerat
tali yang diikatkan ke cabang
pohon rambutan itu. Martubi
tidak pernah sebelumnya
bertemu dengan Sobara. Tetapi
setelah melihat bekas luka di
pelipis mayat itu, ia yakin sudah
bahwa ia kini berhadapan
dengan Sobara alias si Codet.
Barangkali benar, ia seorang
pemberani tiada tara. Karena ia
berani mengundang maut untuk
datang mengangkangi istrinya.
Dan kemudian, mengangkangi
nyawa si Codet sendiri!
***
SETElAH diberitahu dan
menyaksikan dengan mata
kepala sendiri bahwa si Codet
alias Sobara mati gantung diri,
Hadiman mengambil keputusan
cepat dan bijaksana. Dari cerita
Saniah sebelumnya ia tahu
bahwa baru mereka berempat
saja orang luar yang
pertama-tama berkunjung ke
rumah kecil dan letaknya
terkucil itu. Dua orang anak
Saniah yang datang lebih dulu,
juga tidak tahu apa-apa kecuali
bahwa ibu mereka waktu itu
seperti orang pingsan, dan
merasa heran mengapa ibu
mereka tersandar di lantai tanpa
busana.
"Tugasmulah memberitahu
warga sekitar," ia berkata pada
kepala kampung. "Kalau ada
yang bertanya mengapa si Codet
gantung diri. bilang saja
mungkin habis bertengkar hebat
dengan istrinya tadi malam.
Pokoknya terserah kau
bagaimana menjelaskan.
Pendeknya. kegemparan yang
terjadi di kampung Parigi
jangan sampai terjadi di sini."
Dan dengan sendirinya, nama
baik Saniah dan anak-anaknya
tetap pula terjaga. Perempuan
itu tentu saja terpukul begitu
diberitahu suaminya meninggal.
Namun ia menerimanya dengan
sikap tampak tetap tenang.
Rupanya pukulan lain malam
harinya, sudah sedemikian berat
dan menyeramkan, sehingga
pukulan yang datang berikutnya
tidak terlalu mengejutkannya
lagi. Dia malah sempat
berterimakasih atas
kebijaksanaan yang ditempuh
Pak Lurah. Ketika jenazah
suaminya dibawa masuk ke
dalam rumah. ia hanya duduk
mematung. Air mata mengalir
melelehi pipinya, sementara
mulutnya terkatup rapat.
Membisu dalam tangis.
Satu setengah jam kemudian,
Hadiman merasa kehadirannya
tidak lagi diperlukan. Martubi
pun sependapat agar segera
berlalu. karena tidak tahan
mendengar jerit tangis dua
orang bocah tanggung yang
ditinggalkan almarhum. Mereka
kembali ke rumah kepala
kampung untuk membicarakan
beberapa hal, kemudian pamit
pada tuan rumah.
Sewaktu akan mengambil kotak
kardus di sudut ruang tamu,
Martubi mendadak merasa mual
perutnya. Ia ingin membuka
penutup kotak itu, lalu muntah
ke dalamnya, mengotori kepala
makhluk yang menjijikkan itu.
Rasanya malah ia sangat ingin
memberakinya. Dengan wajah
tak senang dikepitnya kotak
kardus itu pada lengan,
kemudian meninggalkan rumah
kepala kampung yang berjanji
akan menyuruh orang-orang
kepercayaan mencari bagian
tubuh lain sang makhluk yang
hilang tak tentu rimba itu.
"Kupikir-pikir, aku tidak lagi
berminat untuk mencari bagian
tubuh yang hilang itu...," gumam
Martubi. tak senang. "Malah
Inipun," ia
tepuk-tepuk kardus yang
dikepitnya. "Rasanya ingin
kubuang jauh-jauh! "
Hadiman tidak mengomentari.
Dia pun punya perasaan serupa.
Jijik dan mual. Kalau tidak
mengingat Maryati. maulah ia
lupakan urusan ini dalam
seketika. Selama ia menjabat
sebagai Lurah, kehidupan di
desa Lamping aman tenteram,
warganya pun rukun damai satu
sama lain. Memang ada saja
urusannya yang berat untuk
ditanggung sebagai seorang
Lurah. Tetapi urusan yang satu
ini, sungguh tak sanggup lagi
ditahankannya. Ia ingin
mengutuk Margono, karena
Margono-lah sumber semua
bencana ini. Tetapi ia juga tidak
mampu membuang
kemungkinan, bahwa yang
terjadi bukanlah atas kehendak
Margono sendiri. Margono ada
di bawah pengaruh. Entah
pengaruh apa. Setan,
barangkali" Ataukah semua ini
sebenarnya tidak pernah ada.
Bahwa, Hadiman sebenarnya
hanya bermimpi. Sebuah mimpi
buruk, yang teramat panjang
dan menakutkan" Ataukah,
semua ini hanya sekedar tipu
muslihat setan"
Lepas magrib mereka tiba di
rumah.
Martubi masuk lebih dulu
sementara Hadiman pergi ke
gudang kecil tempat menyimpan
perlengkapan yang tidak
terpakai. Kotak kardus berisi
kepala anjing itu ia kunci di
dalam gudang. kemudian
menyusul masuk ke dalam
rumah. Disambut oleh desahan
tanya Maryati: "Jasad anakku.
Mana?" "Belum saatnya.
sayang." jawab Hadiman
lembut. "Mungkin besok."
"Rasanya, ia begitu dekat. Dekat
sekali.. . ."
Hadiman memaksakan senyum
menghibur di bibir. "Memang
demikianlah selalu perasaan
seseorang ibu," katanya.
Kemudian ia pergi menemui
Martubi yang sedang
berbincang sesuatu dengan
Supinah. Dengan halus ia
meminta Supinah agar
ditinggalkan berdua saja dengan
Martubi.
Kemudian: "Dia tahu ,"
bisiknya. kecut. "Bila pun
sebenarnya tidak tahu, paling
sedikit ia dapat merasakannya.
Merasakan kehadiran
anaknya...."
"Sebagian dari anaknya!" desah
Martubi muram.
Hadiman lebih muram lagi.
Teringat bahwa Maryati hanya
tahu bahwa anaknya telah mati.
Tetapi tidak pernah diberitahu
bahwa setelah anaknya mati,
disembelih oleh penduduk dan
bagian-bagian tubuh itu
dikuburkan jauh terpisah. Apa
jadinya kalau Maryati mengikuti
naluri. Mencari-cari kian
kemari, berakhir di dalam
gudang, dan menemukan
sepotong kepala anjing"
"Bagaimana keadaan Yayah?"
desah Martubi lagi.
mengalihkan pikiran dari kepala
anjing itu.
"Tampaknya lebih baik.
Mungkin karena ia tahu anaknya
sudah mati. Tak ada yang bisa
diharapkan lagi. Ia sungguh
perempuan yang tabah.
Lebih-lebih mengingat, jadi apa
anaknya itu sekarang . . .."
Kembali dan kembali lagi ke
persoalan semua. Martubi
mengeluh: "Sampai kapankah
ini berakhir."
"Sampai bagian lain itu kita
peroleh," Hadiman justru
menanggapi dengan
sungguhsungguh.
"Kau masih mengharapkannya,
Pak Lurah?"
"Demi Maryati, Pak Martubi!"
"Lalu ke mana akan kita cari?"
"Entahlah. Sialnya, aku tadi
lepas omOng. Pada istriku aku
bilang, mungkin besok."
"Apanya yang besok?"
"Kita bawakan dia jasad
anaknya ."
"Kepala anjing terkutuk itu,
maksudmu?"
"Jasad yang utuh," Hadiman
menggigil. Lalu: "Eh, apakah
aku tadi tidak salah dengar. Kau
mengutuk cucumu sendiri?"
Martubi menarik nafas panjang.
Baru menjawab: "Aku tak tahu.
Bahkan aku mulai raguragu.
Benar, cucuku seorang
brengsek..." Ah, apa yang
diucapkannya itu" Untunglah
Hadiman tidak mendesak
mengapa Martubi
menyebut cucunya brengsek. Ia
meneruskan: "... tetapi setelah
menyaksikan apa yang dilakukan
makhluk itu, rasanya tak masuk
diakal bahwa cucuku sebiadab
itu."
"Yang melakukan bukan
cucumu. Tetapi makhluk itu ."
" Adakah bedanya?"
"Mungkin tidak. Tetapi aku
masih tetap berharap. mungkin
ya. Yang melakukan perbuatan
sedemikian buas, biadab, nista
dan menjijikkan, adalah sang
makhluk. Bukan cucumu.
Margono barangkali kesurupan
setan, sehingga nekat mau
menggagahi ibunya sendiri.
Ibunya murka, dan tanpa sadar
menyebut-nyebut tentang anjing.
Margono sadar, lalu menyelinap
pergi. Tak pernah kembali.
Tetapi karena masih shock atas
kelakuan anaknya. kepergian
Margono yang misterius
membuat ibunya ketakutan,
terpengaruh oleh bayangannya
sendiri. Menyangka, bahwa
putranya benarbenar berubah
jadi anjing . . . ."
"Alangkah indahnya kalau
memang demikian. Lalu,
bagaimana dengan Sumirta, apa
yang dikatakannya, dan
kemudian apa yang
dikerjakannya di rumah ini. "
"Uh, si tua bangka itu! Ia,
dengan ide-idenya yang sinting!
Membuat istriku semakin
meyakini apa yang tadinya cuma
bayangan. Bahkan terus terang,
aku sendiri mulai terpengaruh.
Apalagi setelah menyaksikan
semua kejadian yang
berlangsung sampai hari ini.
Semua hampir tidak masuk di
akal sehat kita. Tetapi semua itu
ada. Dan nyata. Dapat dilihat.
Dapat diraba. . . ."
Martubi berpikir-pikir,
kemudian nyeletuk dengan
bersemangat: '"Kita dapat
membuktikan kebenarannya.
Apakah yang kita hadapi
memang jelmaan cucuku, atau
hanya makhluk' sialan yang
mengatasnamakan cucuku."
"Caranya?"
"Seperti rencana semula.
Meminta darah istrimu, lalu
diusapkan ke kepala anjing
didalam kotak kardus itu. Kalau
keadaannya tak berubah, berarti
itu bukan Margono. Cucuku itu
memang telah pergi, dan saat ini
berada di suatu tempat. Entah di
mana."
"Boleh juga itu," Hadiman
bergumam, kaku. "Lalu kalau
kemudian wujud kepala anjing
itu berubah, bagaimana"
Sanggupkah kau melihat
sepotong kepala manusia, dan
kepala
itu adalah... ." "Jangan
teruskan!" dengus Martubi
pucat,
seraya tubuhnya bergidik seram.

"Kukira akan demikian pula


halnya reaksi istriku," Hadiman
mengeluh. "Lain halnya, kalau
yang berubah itu adalah wujud
yang utuh. Yang telah disatukan
kepala dengan badannya...."
Sampai larut malam mereka
berdua masih terus mengobrol,
membicarakan langkah. langkah
selanjutnya yang harus mereka
tempuh. Terutama mengenai
cara dan kemana mereka akan
mencari sosok tubuh yang hilang
lenyap itu. Mereka sudah sangat
letih, tetapi tidak ada yang
berniat pergi tidur. Siapa pula
yang dapat tidur sambil
menyadari kenyataan yang
sedemikian mengerikan harus
dibawa serta menyelinap ke
bawah selimut"
Obrolan mereka yang tak tentu
ujung pangkal lagi karena
terlalu banyak menyusun
rencana pencarian tubuh
makhluk itu. barulah terputus
beberapa menit lewat dinihari.
Terputus tiba-tiba. Oleh suara
berisik yang disusul bunyi
gedebak-gedebuk dari belakang
rumah. Karena kebetulan
mereka ngobrol dekat pula dari
arah datangnya suara itu,
mereka mendengar cukup jelas
dan wajah Hadiman berubah
pucat.
"Rasanya... dari gudang!" ia
berbisik tegang.
"Apakah?"
Belum habis pertanyaan
Mariubi. tuan rumah sudah
merentak bangkit lalu
berlari-lari ke pintu belakang,
diikuti oleh Martubi. Di luar
tumah, suara-suara itu semakin
jelas dan nyata. malah semakin
hingar bingar karena
bendabenda yang ada di dalam
gudang seakan terlempar atau
berjatuhan. Hadiman baru saja
akan berlari membuka pintu
gudang ketika terdengar suara
berderak yang keras. Atap
gudang mendadak pecah
berantakan. Lalu dari pecahan
atap itu. melesat ke luar sesuatu
benda. Di bawah sinar rembulan
yang terang benderang.
tampaklah benda itu
melayang-layang kian kemari
seperti bingung, dan tiba-tiba
tergantung diam di udara lepas
waktu terdengar seruan tertahan
dari mulut Martubi:
"Kepala itu. Dia...."
Apa yang mereka lihat,
sebenamyalah kepala anjing
yang tadinya tersimpan rapih di
dalam kardus, terbungkus kain
yang disimpultalikan dengan
erat. Barangkali makhluk itu
telah merobek-robek kain
pembungkusnya. karena sesaat
ia melayang-layang tadi tampak
juga carikan-carikan kain kecil
beterbangan lalu
melayang-layang jatuh ke tanah.

Kepala makhluk tanpa anggota


tubuh lainnya itu, mengawasi ke
arah suara seruan. Mengawasi
Martubi dan Hadiman yang
sama tertegun, berdiri
mematung dengan tubuh kaku
dan wajah pucat. Kelopak mata
di kepala itu membuka perlahan
kemudian tampaklah dua sorot
mata merah menyala.
Moncongnya terbuka, tidak
terlalu lebar. Sesaat, kepala itu
menengadah ke arah rembulan,
lalu terdengarlah suara
lolongan yang panjang lirih.
Habis
melolong. mengawasi lagi ke
bawah. lalu turun pelan-pelan
dengan moncong terbuka
semakin lebar. Taring-taring
runcing tajam di moncong itu
seperti siap untuk
merobek-robek tubuh Hadiman
yang kebetulan paling dekat
dengannya.
"Ha...," Martubi lepas dari
kesimanya dan menghambur ke
depan, terdorong naluri ingin
melindungi. sementara Hadiman
tetap tak bergerak seperti
pasrah menunggu nasib.
Kepala makhluk yang melayang
turun itu, berpaling ke arah
Martubi. berhenti melayang
Kembali seperti tergantung di
udara tanpa ada yang menahan.
Matanya yang semerah darah,
menyorot tajam, berkilat-kilat.
Mata itu memperhatikan
Martubi dengan seksama,
seakan ingin mempelajari
Martubi dari ujung rambut
sampai ke ujung jari kaki.
kembali lagi ke wajah Martubi.
Setelah mengawasi wajah
Martubi sekali lagi, makhluk itu
kembali menengadah,
memperdengarkan lolongan lirih
menyayat tulang. Kemudian.
kepala makhluk itu melesat
pergi. Melayang cepat di antara
pepohonan, terbang seperti
burung tanpa sayap. dengan
kecepatan luar biasa. Arah
terbangnya, lurus ke lereng
gunung yang tampak hitam
legam berlatarbelakang bibir
langit membiru tanpa noda noda
awan. Makin jauh kepala itu
melesat, makin kecil bentuknya,
terakhir menyerupai titik hitam
saja. untuk kemudian sirna dari
jangkauan mata yang
memandang . . . .

***

Hadiman serta Martubi masih


tertegak kaku, berdiri
berdekatan melihat ke arah
lereng gunung di kejauhan,
ketika terdengar suara lemah
dari arah pintu yang terbuka:
"Apakah yang kulihat tadi?"
Serempak kedua lelaki itu
berpaling dan terkejut melihat
Maryati yang tegak
berpegangan ke bendul pintu.
Hadiman menghirup udara
segar ' sebanyak-banyaknya
untuk mengisi paru-paru yang
beberapa saat tadi terasa
hampa. menekan. la datangi
istrinya, dipeluk dan berkata
setengah gugup:
" Hanya seekor burung ,
Maryati. . . ."
"Itu bukan burung. Tetapi
sesuatu... dan aku merasa
pernah melihatnya sebelum ini.
..."
"Maryati, masuklah. Nanti di
dalam kita bicarakan. Kau
masih sakit. ingat?" Hadiman
kali ini berujar dengan nada
menegur. ia menuruti perintah
suaminya dengan patuh.
Ternyata tidak ada yang perlu
dibicarakan. Karena Maryati
langsung masuk ke kamar tidur
di mana Supinah masih terlelap,
tanpa terusik oleh suara suara
hingar bingar tadi. Hadiman
sempat bingung memandangi
pintu yang tahutahu telah
ditutupkan Maryati di depan
batang hidungnya. Marahkah
Maryati" Dan kalau benar dia
memang melihat kepala makhluk
itu,
mengapa Maryati tidak tampak
takut seperti halnya yang
dialami Hadiman" Begitu
hebatkah kekuatan batin yang
tersimpan dalam tubuh seorang
ibu"
Di luar rumah, Martubi masih
tetap berdiri di tempat semula.
Ia juga berpikir bingung.
Bagaimana kepala makhluk itu
tiba-tiba mendadak hidup" Dan
ke mana kepala itu melarikan
diri"
***
BAB 13
MAKHLUK yang cuma terdiri
dari kepala dengan matanya
yang semerah darah itu
melayang-layang di lereng
gunung. Keluar masuk
celah-celah sempit, menerobos
ke rongga gua yang satu ke
rongga gua yang lain. Mengintip
ke semak belukar, mengintai ke
balik pepohonan, kembali lagi ke
celah demi celah, ke rongga gua
demi gua. Makin lama gerakan
makhluk itu makin
tertegun-tegun; beberapa saat
berhenti tergantung di udara
lepas atau terkulai lelah di tanah
maupun di atas batu. Mata
merahnya mengerjap-ngerjap
seperti bingung, untuk kemudian
kembali menemukan
kebiasaannya tadi sampai mata
merahnya tampak panik dan
putus asa.
Pada saat keputusasaan muncul
itulah, dari balik sebuah pohon
besar muncul sesosok tubuh
sambil menyeret sesuatu di
tangannya. Sosok tubuh itu
keluar ke tempat terbuka di
bawah sinar rembulan,
memperlihatkan tubuhnya yang
besar kokoh, meski rambut,
kumis serta jenggotnya sudah
pada memutih dimakan waktu
yang terus berlalu.
"Kau mencari ini. bukan?" ia
berkata keras tetapi tenang.
Benda yang ia seret tadi ia
lemparkan ke tanah. Ternyata
tubuh berkaki empat. hitam
plontos awut-awutan bulunya
yang tersisa. Tubuh tanpa
kepala. hanya tertinggal
setengah bagian lehernya saja .
Makhluk yang menggantung
diam di udara lepas itu.
berpaling cepat. Sorot matanya
mengawasi apa yang tergeletak
diam di tanah. kemudian ganti
mengawasi si orang tua yang
baru ke luar dari
persembunyiannya itu. Dari
sela-sela moncong sang makhluk
terdengar suara menggeram.
dan matanya menyalakan
kemarahan.
"Kau betul-betul sial. bukan"
Mereka memotong lehermu.
Memisahkan kepala dari
badanmu. Tanpa mereka tahu.
saat itu kau dalam keadaan mati
suri. Atau kau lebih suka
kusebut. sekarat" Mereka tidak
tahu itu. Tetapi aku. Sumirta.
tahu. Karena aku selalu
mengikutimu semenjak kau
meninggalkan pondokku.
Mengikutimu dengan mata
batinku. Dengan mata batinku
pula aku melihat apa yang
mereka perbuat di bawah
belimbing tua itu. Dengan mata
batinku pula.. . aku lihat setiap
tindak-tandukmu. Mengapa
semua itu masih kau lakukan"
Belum cukupkah Melati saja?"
Mendengar disebutnya nama
Melati. makhluk yang
mengawang itu berhenti
menggeram. dan sorot matanya
pun tidak lagi segalak semula.
Hanya terdengar desah nafas
berat. panjang pendek. serta
lidahnya terjulur ke luar, seakan
terengah-engah menahan
perasaan
"Setelah apa yang hampir kau
lakukan pada ibumu...," orang
tua itu. Sumirta meneruskan.
"Kau sebenarnya tidak perlu
takut padaku. Tak perlu
sembunyi ke sana. lari ke sini.
Sudah sejak semula kukatakan
padamu, apa yang terjadi pada
Melati... adalah sesuatu yang
wajar terhadap makhluk apa
pun. Aku tidak menaruh dendam,
meski terus terang aku merasa
kecewa atas dirimu. Dan tentu
saja. prihatin karena aku
terpaksa kehilangan si Melati. . .
."
Kepala yang tergantung di
udara malam itu. pelan-pelan
tampak merendahkan
moncongnya. Seperti merunduk.
"Tetapi nafsu angkaramu,
rupanya tidak pernah
terpuaskan bukan?" Suara
Sumirta lebih tegas sekarang.
"Sehingga sebelum ajalmu
benar-benar tiba. lidahmu telah
bersumpah untuk membalas
dendam pada di desa sana....
Nafsu angkara murkamu
kemudian memperbudak dirimu,
dan dengan senang hati
memberimu kekuatan untuk
melampiaskan dendammu.
Rohmu telahdiperbudak oleh
kebusukan, dan sifat baikmu
telah menyingkir jauh.
Keburukan dan kebaikan
memang ada dalam diri setiap
makhluk. Tetapi kalau
keburukan sudah memperbudak
kebaikan, maka kehancuranlah
yang akan kau peroleh. Seperti
sekarang ini. Dengan kekuatan
rohmu, kau bangkitkan tubuhmu
ini dari kubur. Kau lampiaskan
dendammu di desa sana. Sayang
kau kurang hati-hati sehingga
tidak menyadari bahwa aku
mengintai setiap gerak-gerikmu.
dan melihat kau masuk ke salah
satu rongga gua menjelang
subuh tadi. Aku menunggu
sampai hari siang. Karena aku
tahu. di siang hari
makhluk-makhluk penasaran
seperti dirimu tidak memiliki
kehidupan. Guamu kumasuki.
Jasadmu kusentuh. Sesosok
jasad mati. Aku menunggui
jasadmu sampai malam
menjelang, kemudian aku keluar
dari guamu. Mengintai
gerangan apa yang akan kau
lakukan. Dan seperti dugaanku,
jasadmu tak pernah keluar dari
gua lagi. Yang keluar hanya
rohmu, untuk menjemput
kepalamu. . . .
Apakah kau pikir, kau akan
mampu menyatukan tubuhmu
kembali" Secara utuh" Atau...
siapa tahu, kau memang bisa.
Lakukanlah. dan percaya bahwa
aku tidak akan mengusikmu."
***
Makhluk mengawang itu
bimbang sebentar Kemudian,
turun ke bawah menuju bagian
lain tubuhnya yang tergeletak
kaku. Moncongnya
mencium-cium jasad itu sejenak.
seakan ingin membaui apakah
jasad itu telah diselaputi
mantera oleh Sumirta agar tak
dapat ia masuki, dengan rohnya.
Setelah tak mencium bau
apaapa, ia mendongak ketika
Sumirta berujar:
"Mengapa tak kau buktikan
penciuman anjingmu yang
tajam" Tinggalkan kepala,
masuk ke tubuh?"
Bimbang lagi. Lalu tiba-tiba
kepala itu terkulai jatuh begitu
saja di tanah, tanpa daya.
Kelopak matanya menutup
rapat, mati. Sebaliknya, tubuh
yang terkulai di tanah,
bergerakgerak pelan, kemudian
tegak di atas keempat
kaki-kakinya.
Sumirta geleng kepala. Berkata:
"Begitulah hidupmu seterusnya"
Akan bergantian kepala dan
tubuh dimasuki rohmu" Oh, oh...
kau mau mencobanya juga"
Berharap kepala dan tubuhmu
dapat menyatu kembali ya...."
desah Sumirta ketika melihat
tubuh berkaki empat itu
menggerakkan leher ke
sambungannya di kepala yang
terkulai di tanah. Rupanya
usaha itu tak berhasil. Tubuh itu
mendadak roboh, diam. Ganti
kepala itu bergerak hidup.
kelopak matanya terbuka, bola
matanya merah menyala-nyala.
Kepala itu yang kini
mencoba menyatukan diri ke
bagian tubuh, juga tanpa hasil.
Akhirnya kepala itu menggeram.
kemudian melolong panjang.
"Anak malang!" Sumirta
akhirnya tidak sampai hati.
Ia membungkuk dan
memperbaiki posisi tubuh
berkaki empat yang terkulai di
tanah agar letaknya seimbang.
Kemudian ia menyuruh si kepala
mendekat. "Satukan lagi bagian
leher kepalamu dengan
sambungan bagian leher
tubuhmu," ia memerintahkan.
Setelah persambungan itu benar
benar pas, Sumirta berdiri
membuka kancing celana,
kemudian -seer, mengalirlah
keluar air seninya,
menyembur-nyembur ke arah
sambungan leher makhluk itu.
Dari sambungan leher itu
terdengar suara berdesis tajam,
dan uap panas keluar
berkepul-kepul.
"Agak bau dan menyakitkan,
bukan?" Sumirta tertawa lunak.
"Jangan bergerak dulu."
Tunggulah sebentar..., sebentar
lagi.... Nah. sekarang!"
Makhluk berwujud anjing besar
hitam dengan mata semerah
darah itu pun bangkit di atas
keempat kaki-kakinya. dan
dengan kepala menyambung
kukuh pada lehernya. Makhluk
itu menggeram-geram senang.
berjalan kian kemari. kemudian
berlari-lari dari satu tempat
ke tempat lainnya. berhenti, lalu
melolong ke arah rembulan.
"Sayang sekali." Sumirta
mengeluh, setelah makhluk itu
kembali mendekatinya. "Kalau
aku dan ibumu waktu itu tidak
didahului orang, kau sebenarnya
tidak perlu mengalami semua
ini...." Ia mengusap-usap
moncong makhluk itu, yang
memperdengarkan
lirihan-lirihan tertahan.
Matanya yang merah itu tampak
agak memudar, lalu berkilat
basah. Sumirta menarik nafas.
Melanjutkan dengan getir:
"Sayang juga, bahwa
sebenarnya kau dapat mati
secara wajar. Bila kau tidak
bangkit dari kuburmu. Dan
melakukan perbuatan-perbuatan
nista itu. Karena perbuatanmu
itu, kau telah menyatukan dirimu
yang sebenarnya sudah mati,
dengan diri mereka yang masih
hidup. Sehingga. lengkaplah
sudah perbudakan angkara
murka atas dirimu. Darah ibumu
sekalipun, tidak akan mampu
lagi mengembalikan wujudmu,
andaikata mereka berhasil
menemukan jasadmu yang
utuh...."
Makhluk itu merintih dalam.
Matanya semakin basah dan
basah.
"Ayolah. Kau ikut aku ke
pondokku. Kau tahu tempatnya
bukan" Kau tak dapat
berkeliaran di sini. Kau juga tak
dapat pergi ke bawah sana lagi.
mengganggu mereka yang masih
hidup. Karena tubuhmu telah
menyerap air kencingku,
kekuatanmu kini pun sangat
terbatas. Hanya bila tinggal
denganku di lembah, kau akan
tetap hidup. Di luar itu. kau
akan tersiksa oleh panasnya
matahari. Tubuhmu akan
terbakar. itu sih tak apa.
Sayangnya, rohmu juga akan
ikut terbakar. Dan akan terus
terbakar. sampai di akhir
zaman. Apakah kau tahan
tersiksa terus selama itu?"
Makhluk itu mengerang.
kemudian berjalan lunglai
mengikuti langkah-langkah kaki
Sumirta ke Lembah Hantu.
Sambil berjalan pulang, Sumirta
suatu saat bergumam:
"Dipikir-pikir. aneh juga. Aku
kehilangan anak perempuan.
Dan kini aku dapat ganti,
seorang anak lakilaki."
Tiba di pondok kediamannya,
Sumirta menyuruh makhluk itu
rebahan di dipan._ tidur, untuk
menyesali nasib dan mencoba
untuk tetap tabah karena ia kini
menjadi warga penghuni
Lembah Hantu. Ada pun Sumirta
sendiri, keluar lagi dari pondok.
Di tempat terbuka tak jauh dari
pondok kerjanya, ia duduk
bersila dengan lengan-lengan
bersidekap dada. Kelopak
matanya memejam, dan
mulutnya perlahan-lahan
terlihat kumat-kamit dengan
tenang .
Pada saat Sumirta memulai
pemusatan pikirannya di
Lembah Hantu. maka di desa
lamping Martubi yang ingin
meredakan ketegangan
jantungnya dengan rebahan di
kamar tidur. mendadak tersentak
bangun dengan kaget. la
mengawasi kamarnya yang
gelap, kemudian bertanya
hati-hati:
" Siapa itu?"
Ia dengan suara menjawab yang
sayup-sayup sampai: "Aku,
Sumirta. Syukur kau
mendengarku...."
"Pak Sumirta?" Martubi
tersentak lagi. Makin kaget.
"Kau ada di sini" Di kamar ini?"
"Tidak. Aku ada di tempatku.
Kau tak tahu tempatku. tetapi itu
penting...." Sepi sebentar.
Martubi hanya mendengar
helaan nafas berat, lalu
kemudian: "Seperti apa kau
mengenal cucumu. Martubi?"
Pertanyaan yang ganjil itu
membingungkan Martubi. Lalu
ia teringat peristiwa-peristiwa
yang menyusahkan hatinya itu.
Pada kepala yang mengerikan
itu. Korban-korbannya yang
mati, yang diperkosa, jerit tangis
bocah tanggung. Tidak, ia tidak
percaya itu adalah akibat
perbuatan cucunya. Tak akan
pernah percaya. Maka ia
menjawab pelan: "Cucuku
gagah. Tampan. Agak brengsek.
tetapi aku tetap sayang
padanya."
"Bagus Martubi. Kenanglah dia
"!"
"Tetapi. .."
"Cucumu ada bersamaku. Di
sini. Tetapi ia bukan
sebagaimana cucu yang kau
kenal .ia tidak dapat kembali
atau pergi ke mana-mana lagi.
Jadi kau, atau siapa pun, tidak
usahlah berharap akan bertemu
lagi dengannya. Aku hanya
dapat membantu menguatkan
batinmu. nuranimu, dan
menanamkan di dalamnya
kenangan pada cucu yang
selama ini kau kenal. Cucu yang
gagah tampan. brengsek tetapi
kau sayangi. Selamat berpisah.
Martubi!"
Telinga Martubi berdenging
keras.
Sedetik Cuma.
Lalu lengang. menyepi diam.
Beberapa menit lamanya ia
hanya terduduk bingung.
Kerongkongannya kering. ia
ingin minum, oleh dorongan
dahaga yang teramat sangat.
Apakah barusan ia bermimpi"
Atau semua itu nyata" Tidak.
Karena Maryati pernah
mengalami hal serupa.
Penyatuan batin. Hubungan
telepati, tetapi bersifat alami
yang mampu menembus tabir
batas alam nyata dan alam gaib.
la bergerak ke pintu. terus ke
dapur untuk mengambil air
minum. Di dapur. ia sempat
terkejut ketika pintu belakang
terbuka dan melihat Hadiman
masuk seraya membimbing
istrinya. Maryati, yang tampak
pucat tetapi berwajah lebih
tenang dari biasa. Sementara
Maryati terus berjalan ke kamar
tidur, Hadiman tetap tinggal
bersama Martubi. Wajah lurah
itu, anehnya. sama aneh dengan
ketenangan dan kekuatan fisik
Maryati yang lebih pulih secara
mendadak."... wajah di depan
Martubi juga lebih ceria dari
biasa.
"Apa yang terjadi?" bisik
Martubi ingin tahu.
"Entahlah." suara Hadiman
terdengar mantap. "Maryati
tiba-tiba minta diantar untuk
mengambil air Wudhu. . .."
"Oh. Mau tahajud...."
Hadiman menggelengkan
kepala. "Sholat gaib ." katanya
membetulkan.
"Sholat gaib?" Martubi
tercengang. "Untuk siapa?"
"Anaknya. Margono."
'Oh!!
***
BAB 14
PAGI harinya, selesai sarapan
Maryati berkata pada suaminya:
"Aku tahu kau dan Bapak telah
berupaya sekuat daya memenuh
permintaanku. Mulai saat ini,
Kang Maman. aku tidak rela
menyusahkanmu lagi. Juga
Bapak. Maafkanlah karena aku
telah meminta yang
bukan-bukan...."
"Ah. Aku menganggap hal itu
sebagai permintaan yang
wajar," jawab Hadiman, tenang,
meski sebenarnya ia heran
sekaligus gembira mendengar
apa yang dikatakan istrinya.
Dari tempat duduknya, Martubi
manggut-manggut mendukung
komentar Hadiman. Lurah desa
Lamping itu sejenak diam, lalu
bertanya hati-hati: "Andaikata
kami boleh tahu. Maryati, dan
kau tidak merasa keberatan.
Mengapa?"
"Mengapa aku akhirnya
menyadari kedunguanku?"
desah M aryati lirih, yang
disambut suaminya dengan
senyuman menghibur. "Agak
susah menerangkannya."
Perubahan
itu kualami tengah malam tadi.
Setelah aku masuk kembali ke
kamar. Hatiku bertanya-tanya.
Mengapa yang kulihat hanya
kepalanya saja" Mana bagian
tubuh lainnya" Kemudian aku
merenungkan semua yang
terjadi. Serta segala
kemungkinan-kemungkinan yang
paling masuk akal. Lalu aku
bayangkan kira-kira apa yang
telah berlangsung di luar
setahuku...."
Wajah Hadiman memerah,
sementara Martubi berpaling ke
arah lain. Merasa bersalah.
Seperti dapat menebak pikiran
kedua orang itu,. Maryati
meneruskan: "Aku tidak
menyalahkan kalian berdua,
menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku tahu, semua itu dengan
maksud-maksud baik. Yang
kusalahkan adalah kekerasan
hatiku. Baru tengah malam tadi
aku mengerti, bahwa di luar
sana mestinya telah terjadi
banyak yang tidak kukehendaki,
dan kalian berdua berusaha
menutup-nutupinya. lalu setelah
kulihat kepala itu melesat pergi,
aku pun berkata pada diriku
sendiri: dia tidak lagi milikku."
"Dia?" Martubi nyeletuk.
"Dia. Bila tubuh dan kepalanya
disatukan...." " mengapa kau
sampai berpikir demikian.
Yayah?"
"Naluri. Naluri seorang ibu,"
jawab Maryati, lirih. "Naluriku
mengatakan bahwa dia telah
pergi untuk selama-lamanya,
tanpa seorang pun berhak untuk
mencari atau memilikinya. itu
pulalah yang dikatakannya...."
"Dikatakan siapa?" tanya
Martubi lagi. Teringat
pengalamannya tadi malam
sewaktu ia baru saja
merebahkan tubuh di kamar.
"Sumirta?"
"Orang tua yang aneh itu?"
Maryati geleng kepala. "Bukan
dia, Bapak. Tetapi Margono.
Aku sendiri juga heran. Sewaktu
aku merenung-renung, batinku
bergetar. Seakan ada yang
membelainya. Tiba-tiba aku
sadar. bahwa yang membelai
batinku adalah batin anakku. . .
." Maryati berhenti untuk
menarik nafas beberapa kali.
sementara suaminya saling
bertukar pandang dengan
Martubi, takjub. "Tahu kalian
bisikan apa yang didengar
batinku?" Maryati bertanya
tiba-tiba.
Suami dan bekas mertuanya
sama menggelengkan kepala.
"Dia akan pergi, Mama. Ke
suatu tempat. Tak usah dicari! "
Maryati menirukan apa yang
didengar oleh batinnya.
Batin seorang ibu, pikir
Martubi. Terkenang pada
almarhumah istrinya. yang lama
waktu berselang ketika putra
tunggal mereka Sumargo
berkelana membawa anaknya ke
kota untuk mencari sang istri
yang minggat. Almarhumah
suatu hari pernah berkata
dengan khawatir: "Si Sumargo
bakal mencelakakan dirinya.
Juga mencelakakan cucuku yang
malang itu!"
Sumargo terbukti hanya
menyia-nyiakan hidupnya, dan
Margono jatuh sebagai korban.
Kini Martubi diam-diam
mengawasi Maryati. Perempuan
inilah yang begitu dicintai
Sumargo dulu, sehingga
Sumargo nekat pergi ke kota
membawa anak mereka.
Sungguh ironis. bahwa kini
Martubi duduk bersama
Maryati, dan tengah
membicarakan babak-babak
terakhir dari nasib celaka yang
harus diderita Margono.
Obrolan selanjutnya tidak lagi
menarik perhatian Martubi. Ia
menyadari bahwa ia pernah
ikut-ikutan membenci Maryati.
tetapi kemudian menekan
kebencian itu karena juga sadar
bahwa Maryati masih bocah
tanggung ketika melahirkan
anaknya. Sumargo sendiri
sebenarnya belum cukup umur
untuk menjadi seorang ayah.
Apa yang diketahui Sumargo
hanyalah, bahwa ia jatuh cinta.
Kini Maryati begitu dekat
dengannya. Dekat secara fisik.
maupun batin. Mereka berdua
telah dipersatukan kembali.
Justru oleh Margono. yang
datang mengunjungi mereka
sebentar. untuk kemudian pergi
lagi. Kali ini, selama lamanya.
Apakah memang itu tujuan
Margono pulang kampung"
Untuk menjalin kembali
hubungan keluarga yang pernah
porak poranda" Tetapi mengapa
harus berakhir sedrastis ini"
Mengapa pula kepergian
Margono untuk kali yang
terakhir ini, harus sedemikian
rupa membingungkan,
menakutkan, mencemaskan,
kemudian ditutup oleh misteri
yang berangkai"
Apa pun juga yang terselubung
di balik misteri itu, satu hal jelas
sudah. Misteri seorang ibu tidak
akan pernah diketahui orang
lain kecuali dirinya sendiri.
Maryati jelas masih menyimpan
sisa-sisa penderitaan, tetapi
kesehatan semakin pulih.
Semoga tak lama lagi, ia akan
kembali menjadi seorang ibu
yang utuh.
Martubi melirik ke perut
Maryati. Kandungannya baru
tampak samar-samar saja.
Apakah semua ini akan
berpengaruh pada jabang
bayinya, di kelak kemudian hari"
Di tangan Maryatilah
jawabannya tersimpan. Tangan
seorang ibu....
Sudah tiba waktunya pulang ke
tempatku sendiri, pikir Martubi.
Lalu setelah menunggu saat
yang tepat, ia mengutarakannya
pada tuan rumahnya, yang
disambut oleh suara gusar
Hadiman. yang lebih mirip
terdengar di telinga Martubi
sebagai suara gusar seorang
lurah:
"Apa-apaan Pak Martubi ini"
Tidak. Tidak boleh. Lain kali
saja urusan pulang kita
bicarakan!"
Martubi terpaksa menunggu
beberapa hari. Dan melihat
Maryati kembali menemukan
dirinya, Hadiman kembali pada
kebahagiaannya, dan Supinah
pada ketabahannya yang
mengagumkan. Martubi
merenungkan dirinya sendiri.
Hasil renungan itu adalah
berupa kesibukan membereskan
pakaian dan barang miliknya
yang tak seberapa ke dalam tas.
Tetapi kali ini, bukan Hadiman
yang harus ia hadapi. Melainkan
Maryati.
"Mau ke mana. Pak?" tanya
bekas menantunya itu, ketika
memergoki Martubi sibuk
beberes.
"Pulang!" jawab Martubi.
pendek.
"Pulang ke mana?"
"Ke...." Martubi tidak jadi
meneruskan ucapannya, ketika
ia melihat apa yang tersirat di
balik sepasang mata Maryati
yang bercahaya. Martubi setiap
saat. kapan pun mau, boleh saja
pulang kampung. Pulang ke
rumah, kembali sibuk di sawah.
barangkali juga sesekali berbaik
hati membuka pintu air sawah
Nyi Sarijah. Tetapi Nyi Sarijah
jelas-jelas telah menolak
lamarannya. Sebelum itu.
Martubi telah kehilangan istri,
kehilangan anaknya, dan kini
kehilangan cucuya pula.
la sebatang kara. kini.
Dan maksud pertanyaan Maryati
sesungguhnyalah punya arti
lain. Bukan "ke mana"nya yang
jadi persoalan. Tetapi. "siapa":
Untuk siapa Martubi pulang" la
sebatang kara kini. Sudah tua
pula. Kelak kalau ia mati, tiada
yang menangisi. itu. kalau ia
mati besok hari!
Selagi Martubi dilanda dukacita,
ia dengan suara lirih Maryati
berkata: "Benar aku bekas
menantumu. Tetapi darahku
juga mengalir di tubuh
Margono.cucumu. Kau masih
punya aku. Bapak. Kau tidak
sebatang kata.?"
Perempuan itu datang padanya.
Memeluknya.
Lalu berbisik di telinganya:
"Kalau toh kau ingin pergi,
tunggulah sampai cucumu
kembali aku lahirkan. . .! "
Hadiman boleh ia tolak.
Tetapi Maryati"
Apalagi. cucunya!
Aneh tetapi menggembirakan
memikirkan misteri yang datang
dalam bentuk lain. Bahwa. ia
bakal punya cucu. Dan hidup ini
memang penuh misteri. Seperti
halnya apa yang beberapa hari
kemudian diutarakan oleh
Hadiman. Lurah desa Lamping
itu:
"lucu tidak. Pak Martubi" Anak
tiriku pergi. Sebagai gantinya.
aku punya bekas mertua
tiri." Hadiman bergelak. Seolah
tidak terjadi sesuatu apa pun
sebelumnya. Demikian pula
keadaannya di Lembah Hantu.
Tenang. diam. lengang dan
suram. Di sana, kata orang,
tersimpan misteri yang lebih
banyak lagi. Jangan dekat-dekat.
Atau kalau terpaksa. jangan ke
luar dari jalan setapak. Aneh,
bukan" Jangan ke luar dari
jalan setapak. padahal yang
selalu kita dengar adalah:
"Terus saja berjalan. Jangan
menoleh ke belakang!"
Catatan :

buat pembaca ebook ini


.silahkan gabung di group fb
Kolektor -Ebook untuk
mendapatkan ebook terbaru..
atau yang suka baca novel dan
cerita silat secara online bisa
juga kunjungi
http://cerita-silat-novel.blogspot.
com
Terima kasih
Sampai jumpa di lain kisah ya !

SELESAI
(http://cerita-silat-novel.blogspot.co

Anda mungkin juga menyukai