1
WAKTU menunjukkan sekitar
pukul dua dinihari ketika
Martubi meninggalkan rumah
untuk membuka tali air ke sawah
miliknya. ia kebagian giliran
selama dua jam. Lebih dari
cukup, mengingat sawahnya
cuma beberapa kotak saja.
Tetapi ia tetap harus muncul
sesuai jadwal. Karena kalau
tidak, Ki Sukriya yang tamak itu
dengan senang hati akan
mencuri air siapa saja untuk
mengairi sawahnya yang
luasnya berbahu-bahu, bila
perlu dengan mengupah
beberapa tukang pukul.
Syukurlah, musim sedang baik
dan biasanya sekitar pukul tiga
seperempat sawah Martubi
sudah kecukupan air. Sehingga
tukang-tukang pukul Ki Sukriya
tak perlu menggertak Martubi
agar cepat-cepat menutup tali
air kembali, meski giliran
Martubi masih bersisa empat
puluh lima menit lagi. Kalau
tukang pukul Ki Sukriya lengah,
maka waktu yang tersisa itu
dimanfaatkan Martubi untuk
membuka tali air ke sawah milik
Nyi Sarijah yang kebagian
giliran pukul tujuh pagi.
saat-saat mana arus air makin
sedikit. Nyi Sarijah seorang
janda beranak empat. Tidak
terlalu cantik. tetapi tubuhnya
montok berisi. Dan bila ia
tersenyum. senyuman Nyi
Sarijah seakan mengundang
bibir lelaki untuk memagutnya.
Sayang Nyi Sarijah teramat
mencintai almarhum Suaminya
ia lantas menjaga jarak dengan
lelaki mana saja. biar sudah
duda seperti Martubi. Tak apa.
Biar cuma dihadiahi senyuman
doang. Martubi mau saja
memberaki muka tukang pukul
Ki Sukriya demi janda beranak
empat itu.
Hampir beku kedinginan karena
udara lembab berkabut. Martubi
berjongkok merembes masuk ke
sawah yang padinya sudah
setinggi lutut. Sambil menikmati
kehangatan rokok linting yang
menempel di mulut. ia
memikirkan kapan waktu yang
paling tepat untuk mengingatkan
Nyi Sarijah bahwa suaminya
sudah lama jadi tulang belulang
dan perempuan itu lebih
membutuhkan seorang laki-laki
yang utuh untuk membimbing
anak-anaknya yang masih
bocah; dan untuk mengeloni
tubuh montoknya yang sayang
kalau dibiarkan 'terbuang'
sia-sia. Apalagi Martubi tidak
punya tanggungan lain kecuali
batang tubuhnya seorang.
Batang tubuh yang rela
diapakan saja Oleh Nyi Sarijah,
ketimbang harus kedinginan
membeku seperti sekarang ini ..
Tak tahan membayangkan
keelokan tubuh Nyi Sarijah,
Martubi bangkit dan berjalan
tersuruk-suruk ke dangau.
Lamunannya bisa lebih
dikembangkan di kehangatan
dangau itu, sambil berharap
tukang-tukang pukul Ki Sukriya
tidak muncul sebelum pukul
empat subuh. Ia baru saja akan
melangkah naik sewaktu dari
balik dinding dangau ia
mendengar bunyi mendengkur.
Martubi tertegun. Apakah salah
seorang tukang pukul Sukriya
telah datang lebih dulu, untuk
menggertak Martubi agar
melupakan saja janda
idamannya itu"
Dengan perasaan cemas
Martubi menyelinap hati-hati
lewat pintu dangau dan
menampak bayangan sesosok
tubuh dalam kegelapan malam,
meringkuk di pojok dangau.
Lampu senter Martubi
mula-mula menangkap kaki
bersepatu dan ujung celana dari
bahan jean yang sudah lusuh.
Jelas. orang yang tidur itu
bukanlah tukang pukul Ki
Sukriya. Kepastiannya terbukti
manakala sorot lemah lampu
senter yang baterainya sudah
semestinya diganti beberapa
hari lalu..., menerpa seraut
wajah muda belia namun
tampak sudah matang oleh
kehidupan.
Martubi segera tersadar.
Bahwa. adalah keliru kalau ia
mengatakan pada Nyi Sarijah
bahwa ia tidak punya
tanggungan apa-apa. Ia masih
punya tanggungan. Paling tidak,
itulah yang diingatkan Dudung,
polisi desa. dua hari yang lalu.
Dan tanggungannya itu kini
pelan-pelan membuka mata,
kemudian serempak duduk
terkejut dengan sikap siap untuk
membunuh siapa saja yang
cobacoba menjamah tubuhnya
tanpa seizin dirinya.
Mart ubi sempat terlompat
mundur dua langkah, manakala
cahaya senternya menangkap
kilatan pisau komando yang
tergenggam di tangan pemuda
itu. Sebelum terjadi sesuatu yang
tidak dikehendaki, Martubi
berseru tertahan: "Jadah ! Kau
hampir membunuhku,
Margono!"
Pisau itu menjauh dari wajah
Martubi. Disusul suara bisikan
serak: "Kau itu, Kek?"
Martubi memadamkan
senternya. "Mengapa kau ke
sini" '
"Ini tempat paling aman untuk
menunggu dan bertemu dengan
Kakek. Aku...," Pemuda itu
menguap lebar kemudian
mengernyit menahan sesuatu di
perutnya: "Aku lapar, Kakek
bawa makanan?"
"Dapat kuambilkan."
"Rokoknya saja dulu. Kek!"
Dalam kegelapan, Martubi
melintingkan rokok untuk
cucunya. Bertanya hati-hati:
"Tak
ada yang tahu kau ke sini?"
"Mudah-mudahan tidak. Aku
turun dari truk
pengangkut pasir itu jauh dari
pertigaan desa
Menerobos lewat perkebunan
kopi. Kegelapan malam
menolongku tidak sampai
dikenal orang-orang yang
berpapasan di jalan, sampai
akhirnya aku tiba di dangau ini
dan langsung tertidur saking
letih dan lapar. . . ."
"Mereka mencarimu," desah
Martubi hatihati.
"Polisi?"
"Ya. Kata mereka kau telah..."
Martubi menggantung
kata-katanya.
Pemuda itu paham, menarik
nafas berat dan getir lantas
berusaha membela diri: "Aku
terpojok, Kakek. Lolos dari
penjara dengan bantuan dua
orang penjaga yang makan
suap, polisi itu melihatku secara
kebetulan dan sialnya, ia
mengenali aku pula. Ia
menyambar pistolnya. Malang
buat dia, pisauku lebih cepat...."
Si pemuda kembali menghela
nafas. Bertanya khawatir:
"Kuharap saja dia masih. .. ."
"Mereka bilang, korbanmu itu
sudah mati, Margono. Dua jam
setiba di rumah sakit! "
"Ahhh...."
"Kau tak boleh lama-lama di
sini."
"Kakek takut?"
"Tidak. Nenekmu sudah lama
mati karena memikirkan
ayahmu. Ayahmu pun kemudian
mati, karena memikirkan
engkau. Tak lama lagi, kukira
aku akan menyusul mereka. Dan
bila saat itu tiba juga akhirnya,
aku tidak ingin membawa
kenangan buruk bahwa aku
membiarkan pewarisku yang
tinggal satu-satunya mati di
pangkuanku tanpa aku mampu
menahannya...."
"Itu tidak akan terjadi, Kakek.
Aku berjanji akan segera pergi.
Aku cuma perlu uang...."
"Heem. Sudah kuduga. Tetapi
kau punya kawan-kawan, kalau
tak salah ."
"Beberapa ikut terpenjara,
Kakek. Yang masih berkeliaran
di luar, sudah sedemikian takut
sehingga tidak seorang pun
bersedia ditemui.... Babi busuk,
mengapa polisi itu tidak
membiarkan aku, heh"!"
"Tak usah menyalahkan
siapa-siapa, Margono. Juga
tidak dirimu. Kakek dan
nenekmulah yang salah.?"
Sementara ia pergi
mengambilkan makanan,
pakaian dan uang secukupnya ke
rumah, Martubi menangisi
dirinya dan almarhumah
istrinya. Ia dan istrinyalah yang
patut disalahkan untuk semua
ini. Karena dulu ia begitu
bangga pada kekayaannya, dan
istrinya begitu memanjakan
putra tunggal mereka.
Kebanggaan dan kemanjaan itu
tetap mereka pertahankan tanpa
malu-malu. ketika suatu hari
seisi kampung gempar.
Sumargo, putra mereka yang
hanya sebiji mata wayang itu
diringkus sendiri oleh Pak Lurah
setelah diperoleh cukup bukti
***
BAB 3
MARGONO tahu betul, dua kali
perempuan itu mendaki sampai
ke puncak sebelum Margono
dengan nafas tersengal-sengal
akhirnya tiba di tempat yang
sama. Dua kali, pikirnya, seraya
bangkit meninggalkan tubuh si
perempuan yang terbujur diam,
tidak bergerak. Kelopak mata
perempuan itu tertutup rapat
seperti ingin terus tidur
sehingga mimpi indah itu tidak
segera berlalu begitu saja.
Selagi mengawasi wajah cantik
berkeringat itu sejenak,
Margono tahu pula. Bahwa si
perempuan jelas tidak menyesali
apa yang diperbuat Margono
terhadap dirinya. Mungkin ia
marah, tetapi kemarahan itu
telah lenyap ditelan kejantanan
Margono. Sambil tersenyum,
bangga dan puas." Margono
turun ke dalam air. mandi
sepuas-puasnya. Tanpa
mengeluarkan suara si
perempuan mengikuti apa yang
dilakukan Margono. Kemudian
ia naik lebih dulu di darat,
mengenakan pakaian dengan
mulut tetap terkunci rapat dan
wajah tidak
menggambarkan perasaan
apa-apa. Perempuan itu duduk
diam, menunggu Margono
selesai mandi. Mau tidak mau,
sikap misterius si perempuan
sempat juga membuat Margono
tergetar. Gelisah, tanpa sebab.
Barulah setelah ia naik ke darat
dan mengenakan pakaian pula,
ia dengar suara si perempuan.
berdesah lirih: "Sekujur tubuhku
lemas sekali rasanya...," ia
berkata. Margono hampir
tertawa mendengar pengakuan
terang terangan itu. Sebelum ia
memberi komentar, si
perempuan sudah melanjutkan:
"Kau bersedia mengantarku
pulang. bukan?"
"Jauhkah rumahmu?" tanya
Margono setelah agak lama
terdiam.
"Tak seberapa."
Margono membereskan
bungkusan pakaian serta
bekalnya. Bertanya lagi. dengan
hatihati: "Apa kata ayahmu
nanti?"
"Ayah" Tak satu pun!"
"Tetapi. . . ."
"Ia sudah terbiasa berhadapan
dengan orang asing. Apakah kau
takut?"
"... tidak"
"Kalau begitu. ayolah."
Perempuan itu berjalan duluan
menuju jalan
setapak yang mereka susun
sekitar beberapa menit.
Kemudian si perempuan
membelok tiba-tiba di balik
sebatang pohon besar.
meninggalkan jalan setapak.
Margono memperhatikan. jalan
berikut yang mereka lalui
tampaknya jarang dilewati
orang lain. Medannya berbatu,
dengan tanjakan atau turunan
yang terkadang curam,
berbahaya. Namun meski tanpa
alas kaki si perempuan bergerak
tangkas dan lincah. Beberapa
kali ia terpaksa harus berhenti,
menunggu Margono yang
tertinggal jauh di belakangnya.
"Agaknya kau bukan penduduk
desa-desa di sekitar lembah ini,"
suatu saat si perempuan berkata.
BAB 4
BERSAMA larutnya malam,
larut pulalah benteng
pertahanan Margono. Diiringi
dengkur Sumirta yang terlelap di
kursi goyang, ia bangkit hati
hati dari dipan. Dengan
bersijingkat ia tiba di pintu
kamar Melati. Ternyata pintu
tidak dikunci atau ditahan dari
dalam. Waktu ia mendorongnya,
terdengar suara berderit tajam.
Margono menegun, tak berani
bergerak. la siap mendengar
teguran keras dari ayah Melati.
Namun kecuali bunyi dengkur
yang melemah, Margono tidak
mendengarkan apa-apa lagi.
Bahkan juga tidak suara hati
kecilnya agar menjaga diri di
tempat orang.
Ia tidak tahu, bahwa begitu ia
menutupkan pintu di
belakangnya, Sumirta setengah
membuka mata. Orang tua itu
mengawasi pintu kamar tidur
anaknya yang ditutup sangat
hatihati. Gelang kepala sejenak,
bergumam: "Laki-laki. Di mana
pun, sama saja!" Lalu matanya
terpejam kembali. Acuh tak
acuh.
Di dalam kamar, jilatan lampu
damar yang temaram menerangi
lantai tanah keras. di atas mana
tubuh Melati yang
menggairahkan terbujur pulas
berlapiskan jerami tebal dan
padat. Gadis itu tampaknya
tidak teruSik oleh bunyi
langkah-langkah kaki Margono
yang semakin mendekat. Tubuh
molek itu tetap diam, ketika
Margono berjongkok bersimpuh
perlahan, lalu membungkuk dan
mencium bibir yang ranum Itu.
Melati hanya menggeliat lemah
ketika roknya disingkap terbuka
oleh Margono. ia baru membuka
matanya, manakala Margono
dengan pelan tetapi pasti mulai
memasuki tubuhnya. Gadis itu
membelalak, kemudian
memprotes lembut. Tetapi
Margono dengan segera
membungkam protes itu melalui
ciuman yang memabukkan.
Sesaat sewaktu ciuman itu
terlepas, Melati berbisik di
telinga Margono:
"Aku harap, kau tidak menyesal
nanti. . . ."
Margono mendengar peringatan
yang ganjil itu. namun tidak
memperdulikannya. Gairahnya
sudah menggebu sedemikian
rupa, begitu mereka menyatu
tanpa lapis apa pun yang
membatasi tubuh mereka
berdua. Ia hanya tahu bahwa
perempuan itu mendadak liar
dan buas . Suatu saat
perempuan itu berada di atas
tubuhnya, meliuk-liuk semakin
liar. Saking liarnya, Margono
sampai tersentak sendiri.
Matanya terbuka lebar
mengawasi gaya bermain si
perempuan yang belum pernah
dilihat maupun dialaminya.
Setengah tubuh Melati
mendongak ke atas. Kedua
lengannya tidak bertahan ke
lantai untuk menjaga
keseimbangan.
Melainkan,menyatu lurus dan
rapat ke tubuh, seperti juga
kedua belah kakinya. Dengan
posisi yang aneh itu Melati
melampiaskan dorongan
birahinya yang telah
dibangkitkan Margono.
Pada klimaksnya, mulut Melati
setengah terbuka mengeluarkan
suara berdesis. Berdesis dan
terus berdesis, semakin tajam,
semakin menusuk. Menyusul
lidahnya pun ikut ke luar. Dan
lidah itu bercabang dua di
ujungnya. Lidah itu berbuih, dan
buihnya yang berbau anyir
sebagian jatuh menimpa wajah
Margono. Pada saat bersamaan,
mata si perempuan berubah
warna menjadi merah
kehijau-hijauan, disusul
perubahan demi perubahan
lainnya. Wajahnya semakin
lonjong lalu lancip, kulit halus
mulus menjadi kasar dan
bersisik. kesat dan hitam pekat.
Kaki maupun tangannya lenyap.
sementara tubuhnya terus
memanjang dan semakin
panjang. begitu besar, begitu
hitam.
Akhirnya, dengan suatu desisan
liar lewat moncong dan lidahnya
yang bercabang dua. bagian
atas tubuh makhluk
menyeramkan itu
melorot lalu terhempas dengan
suara berdebum lunak di jerami.
tepat di sisi tubuh Margono yang
tergetar dengan wajah pucat
pasi. Birahi Margono lenyap
seketika. Kejantanannya melayu,
keberaniannya pun ikut sirna.
Disertai jeritan-jeritan tertahan
ia melepaskan diri dari sisa
tubuh menakutkan itu yang
masih membelit bagian bawah
tubuhnya sendiri.
Ia terbang ke pintu. melesat
melewati kursi goyang,
menerjang pintu depan. Dan di
luar pondok, ia
terbungkuk-bungkuk, jatuh
dengan ke dua lutut di tanah,
lalu muntah, muntah dan terus
muntah sampai seisi perutnya
benarbenar sudah kosong tak
bersisa. Setelah itu, ia
tertengadah menghirup udara
segar. Di atas sana, rembulan
begitu pucat seperti dirinya. Di
sekeliling, kegelapan begitu
hitam pekat seperti makhluk
yang ia tinggalkan di kamar
tidur Melati.
?" aku harus pergi!" ia merintih.
"Aku harus menjauhi tempat
terkutuk ini. .. .! "
Udara sedingin es menusuk
tubuh telanjangnya. Margono
mengumpulkan sisa-sisa tenaga
maupun keberanian. lalu
berjalan masuk kembali ke
dalam pondok. Ia menemukan
buntelan berisi pakaian
cadangan yang oleh kakeknya
memang selalu disiapkan
bilamana Margono benar-benar
membutuhkan. Waktu ia akan
melangkah menuju pintu.
barulah ia
sadari bahwa ia tidak seorang
diri di pondok itu.
"Mau ke mana?" terdengar
suara bertanya, dari arah kursi
goyang.
Margono membalikkan tubuh
dan melihat Sumirta
mengawasinya dengan mata
setengah mengantuk. Apakah
laki-laki tua renta bertubuh
kekar ini adalah juga seekor
ular. Ular dari jenis apa dia,
dan sebesar apa pula panjang
tubuhnya" Margono bergidik.
dan menjawab kecut: "Aku mau
pergi. .. ."
KELOPAK MATA keriput itu
melebar terbuka, dari balik
kumis serta jenggotnya terulas
senyuman lembut. "Besok pagi
sajalah," katanya ramah, tanpa
motivasi apa pun. "Aku tetap
akan pergi. Sekarang!" "Tahan
dirimu. Nak. Dan berpikirlah
dengan kepala dingin," kata
Sumirta, menyabarkan. "Di luar,
gelap. Dalam gelap,
makhluk-makhluk penghuni
lembah di luar sana, saling
memusuhi satu sama lain. Kau
tidak akan memahami, tetapi
sinar rembulanlah penyebabnya.
Sinar rembulan membangkitkan
kebencian mereka, mendorong
mereka untuk saling
menghancurkan bila bertemu. ..
." Bau tak sedap tercium dari
pintu kamar
yang terbuka. Margono tidak
berani menoleh ke sana. Tetapi
bau itu mengingatkannya pada
sesuatu. Katanya: "Bapak
bilang. di tubuhku sudah melekat
baupondok ini.-Bau. ..
penghuninya!"
"Memang. Tetapi bau itu akan
hilang Begitu kau kembali ke
jalan setapak. Sampai dibatas
itu. baumu tidak dapat lagi
melindungi dirimu. Bahkan aku
dan anakku pun, tidak "
"Aku dapat melindungi diriku
sendiri!"
"Mungkin. Tetapi dalam gelap,
kau tak akan menemukan jalan
setapak itu untuk kembali ke
mana pun kau ingin pergi...."
"Damar! " dengus Margono.
Namun suaranya tidak tegas
ketika melanjutkan:
"Perkenankan aku meminjamnya
sebuah..."
"Kau tidak tahu apa yang akan
terjadi atau akan kau temui di
luar pondok ini, Nak. Dalam
situasi serupa itu, lampu damar
tidak akan banyak
membantumu."
Margono mendekati kursi
goyang. la berlutut. Tak malu ia
jadi pengemis. bila keadaan
sudah sangat kritis. "Tolonglah."
ia memohon dengan sangat.
"Bapak dapat menuntunku
sampai ke jalan setapak. Hanya
sampai di situ. Setelahnya. . . ."
Sumirta menggelengkan kepala.
"Aku mau melakukannya.
Bahkan aku senang dapat
melakukannya." ia berkata,
lunak. "Tanpa kehadiranmu di
sini. aku dan anakku akan
kembali pada kehidupan kami
yang biasa. Ketenangan yang
abadi. Kesunyian yang abadi.
Dan hidup. yang kami harapkan
semoga akan abadi pula.?"
Sumirta melirik sekilas ke arah
pintu kamar yang masih
terpentang. Di atas tumpukan
jerami. tampak sesuatu yang
besar dan hitam. melingkar
diam, tidak bergerak. Margono
yang ikut melirik, mau tidak mau
bergidik. Seram. Dengan cepat
ia berpaling, dan pikirannya
teramat kacau. Namun ia masih
dapat menangkap jelas suara
Sumirta:
"Kami adalah kami, Nak. Bukan
kau. atau orang-orang seperti
kau di luar lembah ini. Kami
tidak mau diusik. Tidak mau
diganggu. Tetapi kau, dan
orang-orang di luar sana
seringkali saling mengusik.
saling mengganggu. Aku bukan
menyalahkan siapa-siapa.
Kalian di luar sana, harus hidup
seperti aku dan anakku juga
ingin hidup. Bedanya. untuk
dapat hidup kalian harus
bertahan, atau berjuang. Sama
saja. Dalam keadaan bertahan
atau berjuang, kalian tetap
harus menghadapi tantangan.
Menghadapi saingan. yang
semakin lama semakin keras .
Acapkali jadinya kalian harus
mementingkan diri sendiri,
perduli amat dengan
kepentingan orang lain .. .."
Margono merasa tersindir. Di
sini. sebelumnya ia begitu
menikmati dan mendambakan
hidup tenang dan indah bersama
Melati. Tetapi begitu ia
menghadapi kenyataan. ia lari.
Diam diam. Margono merasa
malu pada dirinya sendiri.
"Tidak perlu malu, Nak."
Sumirta seperti menyelami jalan
pikiran Margono. "Apa yang
ingin kau lakukan, juga telah
dilakukan oleh laki-laki lain
sebelum engkau.. . ."
Margono terjengah. Mestinya ia
telah memikirkannya sejak
semula. Yakni ketika ia pertama
kali menyetubuhi Melati di atas
batu sungai. Saat mana ia
menyadari bahwa. ia bukanlah
laki-laki pertama. Ia begitu
dungu. Dan dengan kepala
dungunya, tanpa terkendali ia
bertanya kasar: " Berapa. ..
banyak?"
"Laki-laki sebelum kau?"
Sumirta mengeluh, tanpa nada
tersinggung. "Aku tak pernah
menghitungnya. Aku hanya tahu.
mereka datang. lalu mereka
pergi. Laki-laki terakhir, pergi
beberapa bulan sebelum kau
datang "
Suatu pemikiran baru
menggugah rasa ingin tahu
Margono. Terlupa sejenak pada
pengalaman mengerikan dan
adanya makhluk yang sama
mengerikan di belakang
punggungnya. ia bertanya:
"laki-laki terakhir. Bagaimana
dengan laki-laki sebelum dan
sebelumnya lagi?"
"Sudah kubilang, aku tak ingin
mengingatnya. Mungkin sewaktu
kau baru saja dilahirkan ibumu.
Beberapa di antaranya, bahkan
mungkin
sewaktu ibumu masih ada dalam
kandungan
nenekmu.
Margono ternganga "Mustahil,
ia mengerang, getir
Apa yang tidak mustahil di
lembah ini,
Nak" Kau toh telah membuktikan
salah satu.
Tadi, di kamar tidur anakku.
Pengalaman mengerikan itu
tidak ingin diingat lagi oleh
Margono. Tetapi mana dia
mam-pu" Tanpa sadar, la
beringsut lebih dekat ke sinar
lampu damar. Dalam cahaya
terang, la me-rasa lebih aman.
Dalam gelap" Haruskah ia
bersikeras pergi di tengah
malam buta ini"
Pengalaman di kamar tidur itu,
sudah lebih
dari cukup. Tidak. la tidak
mungkin pergi sekarang. Tetapi
mampukah ia bertahan di
pondok ini, bersama kenyataan
yang diam melingkar di
tumpukan jerami itu"
Margono bergidik lagi.
Bertanya, kacau.
Melati berapa tahunkah
umurnya" Dia
makhluk itu....Aku kira....
Tabahkan hatimu, Nak. Seperti
aku dulu
berusaha menabahkan hatiku
pula Ketika aku
masih seusia kau Ketika Melati
dilahirkan oleh
ibunya, delapan puluh tahun
yang silam"
Ketika itu. Sumirta bercerita, la
tidak punya
keberanian seperti Margono.
Terutama, kebe-ranian untuk
membunuh sesama manusia. Ia
tidak mau maju ke medan
perang. Kalau ia maju, ia harus
membunuh atau dibunuh. Ia lalu
ditertawakan, dihina, kemudian
dikucilkan. Terpaksa ia
menghindar. Menjauhi
orang-orang lain, menjauhi
dunia luar yang hidup matinya
bukan lagi persoalan atau
miliknya. Ia memilih lembah dan
lereng-lereng gunung di sekitar
lembah ini, karena tahu di
tempat ini tidak seorang
manusia lain pun pernah berani
memasukinya.
Sumirta bertapa. Ingin jadi
orang suci. Suci dari
mengalirnya darah, suci dari
keinginan duniawi. Namun ia
tidak mampu mengelakkan diri
dari satu hal: bahwa ia tetap
saja seorang laki-laki.
Menjelang akhir tapanya, ia
terbujuk rayuan perempuan
cantik molek yang tahu-tahu
saja muncul entah dari mana
lalu memeluk dan
membangkitkan gairahnya.
"... perempuan itu secantik dan
semuda Melati," katanya,letih.
"Penampilan wujudnya pun tak
berbeda. Bila ia ingin jadi
manusia. jadilah ia manusia.
Bila ia tergoda jadi ular, jadilah
ia ular. Tetapi godaan terakhir
lebih besar, terutama bila
rembulan mulai merayap di
langit kelam. Akhirnya ia tidak
kuasa melawan kehendak
rembulan. Dengan atau pun
tanpa kemauannya, maka ia
akan kembali ke wujud
Ular begitu rembulan
merangkak di balik aWan...."
Jadi itu sebabnya. pikir
Margono gundah. mengapa
sebelumnya ia telah ditolak
Melati bermain cinta. "Besok
saja." kata Melati. Jelas. Melati
maksudkan, besok siang. Jangan
di waktu malam! Sungguh
terkutuklah diri Margono. tak
kuasa mengendalikan diri.
Tetapi apa bedanya. Pada suatu
ketika. toh ia akan terjebak juga
oleh dorongan birahi. Pada
suatu ketika, toh semua itu akan
terbuka juga.
"Masihkah kau ingin tetap pergi
Malam ini?"
Margono tersentak oleh
pertanyaan Sumirta. Jawabnya:
"Biarlah aku menunggu sampai
besok pagi. Tetapi. . . ."
"Masih meragukan sesuatu.
Nak?"
Takut-takut Margono menoleh
ke belakang. Lewat pintu kamar
yang terbuka. ia lihat sesuatu
yang besar dan hitam itu masih
tetap melingkar di tempatnya.
Diam seperti mati.
Margono membasahi bibirnya
yang kering. Bertanya serak:
"Apakah dia... bersedia
melepaskan aku pergi?"
Sumirta tersenyum, misterius.
Suaranya mengandung iba
kasihan bercampur kelegaan:
"Ia akan membiarkanmu pergi.
Seperti ia juga dengan berat hati
telah membiarkan lelaki-lelaki
sebelum kau. pergi
meninggalkannya...."
Lagi Margono merasa malu.
Malu. karena harus lari.
Ia masih tetap Margono. masih
tetap dengan karakter yang
belum dan mungkin tidak akan
pernah berubah: mementingkan
diri sendiri.
"Ayo. Nak. Tidurlah kembali."
ujar Sumirta .
Margono akan merangkak naik
ke dipan. ketika Sumirta berkata
memelas:
"Maukah kau menutupkan
kembali pintu kamar Melati"
Dengkurku. selalu mengganggu
tidurnya. . . ."
Margono menelan ludah.
Dengan langkah langkah kaku ia
menuju pintu kamar tidur yang
sempit. pepak dan menebarkan
bau tak sedap itu. Anehnya.
ketika mengawasi tubuh
melingkar di tumpukan jerami.
ia tidak lagi merasa takut. Ia
juga tidak merasa ingin muntah.
Sesaat sebelum ia menutupkan
pintu. matanya menangkap
sesuatu di sudut kamar. Sebuah
peti kecil, berwama kuning tua.
Margono sudah lama dapat
melihat dan mengetahui
sasarannya. mana yang asli
mana yang cuma imitasi. Maka
ia tahu betul. bahwa peti kecil di
sudut kamar itu
sesungguhnyalah berlapiskan
emas murni. Dan dengan
ketajaman otaknya. ia sudah
mampu mencium benda apa saja
yang tersimpan di dalam peti
kecil itu.
Delapan puluh tahun adalah
waktu yang teramat banyak
untuk mengumpulkan sesuatu.
Karena tempat menyimpannya
tidaklah cukup besar, maka apa
yang terkumpul lalu disimpan itu
mestilah tidak ternilai rupa,
bentuk, apalagi harganya.
Sewaktu merayap naik ke dipan,
Margono tidak saja memikirkan
emas, berlian. Ia juga sempat
memikirkan perhiasan-perhiasan
perempuan tempo dulu. Intan
yang sudah
diasah, maupun yang masih
dalam gumpalan utuh....
***
BAB 5
BEBERAPA KALI terjadi dalam
menjalankan aksi kejahatannya
di kota, Margono salah atau
kurang perhitungan. Tak heran
bila ia telah dikenal polisi pada
usia 12 tahun, dan masuk
penjara pertama kali pada usia
15. Pengalaman memang
seharusnya dijadikan cambuk.
Tetapi nafsu ingin memiliki
dengan cepat, seringkali gagal
diajarkan dengan baik oleh
seorang guru. Termasuk guru-g
uru Margono di penjara.
Nafsu semacam itulah yang
mendorong Margono untuk
bertahan jangan sampai
tertidur. Dan setelah mendengar
Sumirta kembali mendengkur, ia
menunggu beberapa saat,
bahkan ia tambahi dengan
permainan ekstra: dengkuran
palsu, sahut bersahut dengan
dengkur Sumirta. Sambil
pura-pura mendengkur ia
menggapai pisau komandonya
yang tersimpan di bawah
tumpukan jerami. Untuk ke dua
kalinya malam itu, ia
bersijingkat ke pintu kamar tidur
anak Sumirta. Kali ini, lebih hati
hati. ia berhasil, meskipun
sebenarnya ia tidak pernah
mempelajari ilmu meringankan
tubuh.
Hambatan pertama yang ia
hadapi. adalah perasaan jijik.
mual. sekaligus seram sewaktu
ia melangkahi tumpukan jerami
yang ditiduri oleh makhluk besar
hitam, melingkar sampai
setinggi pinggangnya. la
terpaksa menahan nafas
beberapa tarikan. Berusaha
menguasai getaran dadanya
yang terguncang, serta menekan
kuat keinginan untuk lari naik
lagi ke tumpukan jeraminya
sendiri.
Moncong lancip makhluk
menyeramkan itu rebah di
lingkaran paling atas.
MonCOng itu terkatup rapat.
begitu pula sepasang matanya
yang tanpa kelopak. Tak ada
suara desis. Bahkan angin pun
seperti tak berani bertiup di
kamar ini. Setelah merasa lebih
tenang sedikit, Margono
melangkahi tumpukan jerami
sang makhluk. Ia berjongkok di
sudut, menyentuh tutup peti kecil
yang menggoda itu dengan
kegairahan meluap-luap, jauh
lebih berpengaruh daripada
kegairahan seksuilnya.
Seperti pintu, peti itu pun tanpa
kunci. Mudah sekali
membukanya. Dan di bawah
sinar lampu damar yang
temaram, muncullah sinar
sinar lain. Sinar-sinar
cemerlang, berkilau
gemerlapan. Margono benar.
Perhiasan emas tidak seberapa.
Yang terbanyak di dalam peti
adalah berlian dan intan. Salah
satu intan itu besarnya
mencapai besar sebutir telur
bebek. Ada juga berbagai batu
jambrud, merah tua,
biru kelam. ungu. hijau bening.
Menyadari harta karun tidak
ternilai kini ada dalam
genggamannya. Margono tanpa
sadar memiringkan peti. Dengan
maksud, cahaya lampu damar
lebih leluasa memperlihatkan
keluarbiasaan serta keindahan
masing-masing benda itu.
Tidak sedikit pun ia sadari.
kerlipan cemerlang intan berlian
yang dipantulkan sinar lampu.
secara silang juga memantul ke
tubuh melingkar di dekat
Margono. Salah satu percikan
sinar menerpa mata terkatup
tanpa kelopak itu. Mata sang
makhluk mengerjap. Mula-mula
tanpa hasrat. Lalu kerjapan itu
terulang kembali, dan mata sang
makhluk kini mengawasi dengan
tajam. Moncongnya bergerak
terbuka disusul lidah bercabang
dan berbuih.
Desis tajam yang menyertai
keluar masuknya lidah sang
makhluk, mengejutkan Mar_
gono. Sejenak ia terpukau ketika
matanya beradu dengan sinar
merah darah kehijau-hijauan di
kepala sang makhluk. Kemudian
ia meraba gagang pisau
komandonya. Siap menghadapi
serbuan.
Jangan. Jangan menunggu.
Seranglah lebih dulu. sebelum
kau didahului!
Meskipun sang makhluk tetap
melingkar dan hanya
menggerakkan mata serta lidah
keluar masuk saja. seakan
pasrah atau tidak perduli.
perasaan takut dan panik lebih
menguasai pikiran Margono.
Naluri ingin menyelamatkan diri
menggerakkan tangannya begitu
cepat. Dengan ketrampilan
seorang ahli, pisau komandonya
melayang sekilas di _udara.
untuk kemudian hinggap dengan
derasnya tepat di antara ke dua
biji mata makhluk itu. Seperti
kesurupan Margono mencabut
pisau dan menusukkannya lagi.
Lagi dan lagi. Ia tidak tahu
bahwa tusukan pertama saja
telah menghancurkan otak sang
makhluk. Melumpuhkan pusat
saraf, membunuhnya seketika.
Bahkan barangkali, sebelum
makhluk itu sendiri sempat
menyadari bahwa manusia tidak
layak dipercaya.
Begitu mengetahui tidak ada
perlawanan, barulah Margono
menghentikan kebuasannya. Ia
merasa pasti makhluk itu telah
mati. Tinggal bangkai. Ia tidak
menyesal. seperti juga ketika ia
tidak menyesal sewaktu menusuk
mati sersan polisi yang
memergokinya sewaktu
melarikan diri dari penjara.
Pada saat ia mengepit
peti kecil berlapis emas itu di
dadanya. ia merasakan
kenyamanan dan kepuasan luar
biasa. Dunia miliknya sekarang.
Dengan isi peti itu. ia dapat
bersembunyi di mana-mana.
Malah ia akan keluar
terang-terangan di tempat
terbuka, mengingat seorang
polisi pun manusia juga seperti
dirinya,ingin tetap hidup. Kalau
mungkin. hidup enak. Terserah
bagaimana caranya!
Itulah ajaran salah seorang
gurunya yang berpengalaman,
guru yang beberapa kali dapat
meloloskan diri secara aneh
apakah itu dari sel tahanan
polisi atau penjara.
Benar,membunuh seorang polisi
berarti tiada maaf bagimu.
Tetapi dengan apa yang kini
dimiliki Margono, di penjara
pun ia tak perlu takut lagi. . . .
la membuka pintu kamar yang
tadi ia tutupkan. mengintip lewat
celah-celahnya. Orang tua
misterius itu masih terlena di
tempat tidurnya, kursi goyang
yang begitu nyaman. Kepalanya
rebah ke arah lain. Salah satu
lengannya terkulai ke lantai,
seolah secara naluriah untuk
berjaga-jaga kalau dalam
tidurnya ia terguling lalu jatuh.
Margono ke luar dari kamar
dengan waspada. Pintu
ditutupkan, dan ia bersijingkat
ke dipan. Bersama pakaian
berserakan yang dipungut di
kamar tidur anak Sumirta
sebelum keluar tadi. ia
buntalkan sekalian peti kecil
yang berisi harta karun itu.
Disimpul kuat. khawatir peti
kecil itu punya tangan dan kaki
untuk melarikan diri. Ia
kemudian rebah di dipan,
berbantalkan buntelan itu juga.
Kokok ayam hutan pertama di
kejauhan. membuka kelopak
matanya lebar-lebar. Ia tidak
mendengar bunyi mendengkur.
tetapi ketika mengintip lewat
kelopak matanya tampak
Sumirta masih rebah di kursi
goyang. Kokok ayam kemudian
disahuti oleh bunyi cicit burung.
mula-mula pelan, kemudian
makin ramai berkicau.
Margono sadar bahwa matahari
belum muncul. Tetapi nalurinya
mengatakan bahwa di luar ia
tidak perlu lagi menakutkan
sesuatu. Tanpa memikirkan
damar lagi. ia bangkit dari
dipan. Bersijingkat ke pintu
depan. agar tidur orang tua itu
tidak terusik. Pamit. adalah
kewajibannya. Tetapi. bila itu
pada saat dan situasi yang tepat.
Dengan bangkai ular sanca
besar di kamar tidur anaknya.
mana Sumirta mau menerima
ucapan pamit Margono"
Dengan berpedoman pada cuaca
terang-terang ayam. Margono
meninggalkan tempat terbuka di
mana dua' pondok terasing itu
terletak. Langkahnya
dilambatkan begitu memasuki
hutan lebat padat. Tetapi dengan
berpedoman pada jalan yang
kemarin ia lalui serta sempat
mempelajarinya ketika si
perempuan mengajaknya ikut ke
pondok, Margono hanya tersesat
dua kali sebelum ia kembali lagi
menemukan jalan yang benar.
Ia tiba di jalan setapak yang
terbuka, tepat ketika sinar
matahari pagi muncul di balik
rimbunan pepohonan.
Persoalannya sekarang. Ke
mana ia harus pergi" Kembali
menempuh jalan
semula, ke desa kakeknya, atau
terus melanjutkan perjalanan
yang kemarin dulu sempat
tertunda" Kemarin dulu! Tetapi
eh, rasanya
kok telah sekian lama waktu
berlalu. Ataukah
semua peristiwa yang telah dia
alami bukan terjadi kemarin.
kemarin dulu. hari-hari
sebelumnya" Mungkin telah
berbulan-bulan. Bahkan siapa
tahu, malah mungkin baru
terjadi satu dua menit barusan.
Di lembah misterius ini, hal-hal
yang aneh telah ia alami dan
bukan mustahil masih banyak
hal-hal aneh lainnya.
Margono tengah berpikir-pikir
untuk pulang ke desa kakek atau
terus ke desa Lamping menemui
ibunya, ketika ia dengar suara
batuk batuk kecil. Ia terpekik
saking kaget. Entah dari mana
datangnya, Sumirta telah berdiri
di sebelahnya. Tiada kantuk di
mata orang tua itu, yang
mengawasi dirinya dengan
tajam. Margono tidak tahu apa
yang mau ia perbuat, apa yang
mau dikata.
Ia hanya terpukau, bagai
linglung tanpa sebab.
Namun seperti biasa. suara
Sumirta tetap masih ramah:
"Jadi juga pergi, Nak
Margono?"
Apakah orang tua ini belum tahu
putrinya sudah tinggal bangkai"
Margono menelan ludah
berkali-kali. lantas menjawab
gugup: "Aku" aku.?" Aduh. apa
yang patut diucapkan"
"Desa mana yang kau tuju?"
Sumirta menjernihkan
pikirannya.
"Lamping!" Margono akhirnya
memutus
"Hem. Kau beruntung, masih
punya ibu.. .," orang tua itu
berkata pelan, tanpa senyum,
juga tanpa motivasi apa-apa.
Margono berpikir Melati sudah
tidak punya ibu, tetapi masih
punya seorang ayah. Sebaliknya,
Sumirta tidak lagi punya
siapa-siapa. Tidak ayah, tidak
ibu, tidak istri. dan kini, tidak
pula anaknya!
"Maafkan aku Pak Mirta." kata
Margono cepat, tanpa tahu
untuk apa sebenarnya ia minta
maaf. Karena tidak pamit, atau
karena Sumirta telah kehilangan
putrinya"
"Sudahlah, Nak. Segala sesuatu
dapat terjadi di dunia ini. Tak
seorang pun dapat mengelakkan,
bukan?"
Sambil berkata demikian,
Sumirta mengawasi buntelan
yang terjinjing di tangan
Margono. Biasa-biasa saja. ia
bertanya: "Apakah bekalmu
cukup?"
Margono manggut-manggut. Tak
kuasa mengatasi kegugupannya.
sehingga lidahnya terasa kelu.
"Kau yakin, bekal itu cukup
untuk menghidupkanmu?"
Manggut lagi Margono.
"Ah, Nak. Kalau kau cuma
manggut. aku tak yakin. Katakan
saja. Karena aku merasa pasti,
kau tidak sempat membawa
makanan dari pondok kami. Lalu
apa saja yang kau bawa"!"
itu pertanyaan menjurus.
Pertanyaan yang menghendaki
jawaban terus terang. Hilang
akal. Margono akhirnya mampu
juga menjawab: "Hanya pakaian
saja, Pak. Setumpuk kain-kain
rombeng!"
"Betul" Bolehkah aku melihat?"
Margono mati kutu. Ia ingin
berontak. la ingin membunuh,
karena membunuh tidak jadi
persoalan lagi sekarang.
Sekaligus ia juga ingin lari.
Menyelamatkan diri. Tetapi
sinar mata orang tua itu teramat
misterius. Mengandung kekuatan
gaib yang seketika menguasai
jiwa dan pikiran Margono.
Seperti halnya seorang anak
patuh dan penurut, Margono
membuka simpul buntalannya
dengan cemas setengah mati.
Tetapi perasaan cemas itu
ternyata tidak perlu.
Yang ia perlukan adalah akal
sehat. Karena apa yang dilihat
Sumirta dan dilihat oleh mata
kepala Margono sendiri, isi
bungkusannya benar seperti apa
adanya yang dia ucapkan tadi.
Hanya pakaian yang berupa
kain-kain rombeng .Cuma
kain-kain rombeng semata.
Jangankan peti berlapis emas
dan segenap isinya. Bahkan baju
dan celana Margono sendiri
yang sebelumnya ia yakin masih
utuh dan kuat, kini tampak tak
lebih dari kain-kain rombeng
usang, rombengan-rombengan
tak berguna!
Dalam keheranan dan kekalutan
pikiran, telinga Margono masih
sempat menangkap suara tajam
Sumirta: "Telah kuingatkan kau,
Nak. Di tubuhmu masih melekat
bau pondok kami. Bau yang
tidak kau mengerti, tetapi tetap
saja tidak dapat kau hindari.
Kau telah mengalami banyak hal
di lembah ini. Misalnya,
lidahmu. Kau tadi mengatakan
kain rombeng, dan itulah yang
kini kau pegang. Ketahuilah
Nak. lidahmu sangat berbisa."
Margono ingin menjerit.
Sayang, ucapan itu hanya
tersimpan di sanubari, dan
hasilnya cuma melemahkan
jantung mengosongkan pikiran
saja. ia semakin merasa
linglung. Juga ketika ia
mendengarkan
petunjuk-petunjuk si orang tua
jalan setapak mana yang harus
ia tempuh untuk tiba dengan
selamat di desa Lamping .
"Sebagaimana orang-orang
sebelum kau," Sumirta
menjelaskan sehabis memberi
petunjuk, "... maka setiba di
pinggir lembah, kau akan
kembali pada dirimu semula.
Dirimu. sebelum kau tersesat ke
tempat kami. Kau tidak tahu dan
tidak ingat apa saja yang kau
alami selama tersesat. Kau tak
ingat siapa kau. siapa anakku. di
mana kami tinggal. dan apa saja
yang kau ketahui mengenai kami
dan tempat tinggal kami.
Selamat jalan. Nak. Dan
ingatlah selalu. Kau menyimpan
sesuatu yang baru dalam dirimu.
sebagai akibat dari
perbuatanmu pada anakku.
Hati-hatilah menjaga lidah.
Karena lidahmu. camkan sekali
lagi. lidahmu sangat berbisa."
Suatu dorongan perintah
menggerakkan kaki Margono
untuk melangkah. Langkahnya
lunglai, tertegun-tegun. Matanya
antara terang dan gelap,
pikirannya kosong, hampa, tak
mampu mencerna apa-apa yang
ia dengar dan lihat. Ia terus saja
melangkah dan melangkah.
mendaki. menurun, mendaki
lagi. melompati selokan,
merayapi tebing terjal di bawah
pengaruh perintah yang sama.
Tanpa tahu. ke arah mana ia
sebenarnya menuju. Kecuali
satu kepastian. bahwa
seseorang. entah siapa dan di
mana. bersedia menerima
kehadirannya.
Tujuannya adalah ke sana.
Pada orang itu.
Ibunya.
Astaga. Ibunya masih hidup.
Luar biasa . Sungguh suatu
keajaiban untuk mendengar
ibunya masih ada dan telah
lama mencarinya. Ibu akan
melindunginya dari kejaran
siapa pun. Di balik ketiak
ibunya. ia akan aman
bersembunyi. Entah sampai
kapan. Tetapi mengapa harus
meributkan masa datang yang
belum tentu"
Lihat di depan sana.
Ada cahaya terang. Cahaya
matahari.
Dan eh, apa itu yang
merah-merah di sebelah kiri
sana" Wah, jambu. Jambu air
yang ranum segar. Betapa
lebatnya! Mengapa tidak ia petik
saja beberapa buah" Toh tidak
akan ada yang tahu. Mungkin
malah jambu-jambu itu tak
bertuan!
Namun baru saja ia akan
memutar tubuh, tiba-tiba ia
teringat: "He. bukankah kakek
bilang. aku tak boleh keluar dari
jalan setapak"!" la ragu-ragu.'
Omong kosong semua itu,
tetapi.... Nalurinya
mengingatkan agar ia menuruti
nasihat kakeknya. Aneh, ia
akhirnya mengalah pada semua
omong kosong yang
menggelikan itu.
Ia meneruskan langkah.
Dengan tenggorokan kering, dan
perut keroncongan. . . .
***
BAB 6
GlLlRANNYA masih tersisa satu
jam lagi. Tetapi air yang
mengaliri sawahnya sudah lebih
dari cukup. Martubi membuang
puntung rokoknya, menutup
pintu air, kemudian berjalan
pulang ke rumah. Biarlah air
saluran itu mengalir terus. Ke
mana saja. Biarlah terbuang
percuma. Atau di suatu tempat,
dicuri seorang pemilik sawah
lainnya. Yang pasti, ia tidak rela
meneruskan arus ke sawah Ki
Sukriya yang tamak itu. Juga ia
tidak bernafsu membuka pintu
air Nyi SariJah, seperti biasanya
bila ada kesempatan. Toh,
bantuannya itu tidak dipandang
seujung rambutpun oleh Nyi
Sarijah.
Apa kata janda itu kemarin"
"Bukannya aku menolak,
tetapi.?" Kalimat pembuka itu
saja sudah jelas. Tak lebih dari
basa-basi. Jadi Martubi tidak
mau menerima begitu saja
alasan yang kemudian
diutarakan oleh Nyi Sarijah:
"Aku terikat sumpah. Beberapa
saat sebelum suamiku
menghembuskan nafas
terakhirnya, aku bersumpah
tidak menyia-nyiakan
anak-anaknya. Bersumpah, akan
tetap menghormati masa-masa
bahagia selama kami hidup
bersama...." Bersumpah atau
tidak, yang pasti Nyi Sarijah
menolak mentah mentah uluran
kasih sayang Martubi. la cuma
bertepuk sebelah tangan!
Beberapa jauh melangkah.
dalam kegelapan tampak
bayang-bayang dua sosok tubuh
menuju pintu air yang barusan
ditinggalkan Martubi. Dengan
memperhatikan sekilas saia.
Martubi tahu kalau ke dua orang
itu adalah
begundal-begundalnya Ki
Sukriya. Keduanya telah tiba di
pintu air, melirik ke arah
Martubi, lantas yang seorang
menggerutu:
"Dasar tua bangka pendengki! "
Martubi menangkap umpatan
itu. Ia marah. Gagang pacul di
tangan, ia genggam erat-erat.
Lalu seorang lainnya lagi ia
dengar berkata:
"Bagaimana kalau kita datangi
dia, dan kita kencingi mukanya
bersama-sama?" Sambil berkata
demikian. orang itu
mengeluarkan golok panjang
dan tajam berkilat dari balik
pinggangnya. Martubi terkesiap.
Jantungnya bagaikan amblas
seketika.
"Sudahlah," kata yang seorang
lagi. "Tanpa kita mengotori
tangan pun. si tua bangka itu
akan mati sendiri. Mati
digerogoti sifat dengkinya"
Kecut hati Martubi sewaktu ia
meneruskan perjalanan pulang.
masakan ia mati karena
digerogoti sifat dengki"
Benarkah ia seorang pendengki"
ia tidak rela memanfaatkan
gilirannya yang tersisa untuk
mengairi sawah ki Sukriya. Ia
juga tak sudi lagi membantu Nyi
Sarijah, setelah janda sialan itu
menolak cintanya. Lalu air
saluran ia biarkan mengalir
perCuma. Bunarkah itu
pertanda dengki"
Kedengkian itulah yang
mendorong anaknya, Sumargo
nekat pergi ke kota. Ia bawa
Margono yang masih bocah.
Kalau bertemu. bocah itu akan
ia jejalkan ke muka istrinya yang
sampai hati lari dengan laki-laki
lain. Sampai ia mati Sumargo
tak berhasil melaksanakan
niatnya. Tak pernah ia berhasil
mencari istrinya yang durjana
itu. la tersiksa. lahir batin. Jadi
ia mati, karena digerogoti sifat
dengki yang tidak tersalurkan.
Atau memang tersalurkan.
namun dalam wujud yang
berbeda" Yakni, menyia-nyiakan
Margono"
"Cucuku yang malang!" keluh
Martubi setiba di rumah. "ia tak
akan pernah jadi perampok,
kalau ia tidak disia-siakan.
Disia-siakan ibunya, kemudian
ayahnya.. .."
Perasaan kasihan pada cucu
itulah yang mendorongnya untuk
meninggalkan rumah begitu ia
selesai sarapan pagi. Lagipula.
tak ada lagi yang ia harapkan di
dunia ini karena Nyi Sartjah
telah menolaknya. Satu-satunya
harapan yang masih tersisa,
adalah lebih memperhatikan
cucunya. Anak itu masih muda.
Masih punya harapan. Biar sulit
dan penuh marabahaya. paling
tidak Margono masih punya
harapan. Martubi akan
menemuinya, mengatakan
padanya bahwa sawahnya yang
tak seberapa itu ia wariskan
semua padanya. Didukung pula
oleh ibu Margono yang kini jadi
istri seorang lurah, Martubi
berharap cucunya akan mau
membuka lembaran hidup yang
baru. Martubi meninggalkan
rumah pada saat setengah
penduduk kampungnya masih
terlelap tidur. Dengan begitu.
mudah baginya menyelinap
pergi tanpa dicurigai Orang
lain. Polisi desa pun sudah
beberapa hari ini berhenti
mengintip-intip di sekitar rumah
Martubi. Mungkin karena
tersiarnya kabar dari kota.
bahwa Margono lenyap tanpa
jejak, dan alat negara kembali
disibukkan perkara-perkara lain
yang jauh lebih penting dari
buronan mereka yang satu itu.
Martubi menerobos ladang
tetangganya. menyisiri sungai
sampai ke jalan raya. Tidak
menempuh jalan umum, karena
ia belum yakin bahwa polisi
desa benar-benar sudah
mempersetankan Margono.
Setelah menunggu beberapa
menit, ia naik sebuah bus
sampai ke kota kecamatan. Dari
situ naik oplet yang melewati
desa Cibeureum. Dari desa
Cibeureum barulah ia naik ojek,
dan turun setelah ojek itu tidak
lagi mampu menanjak jalan
mendaki berbatu-batu. Dari
rumahnya sampai ke tempat itu,
Martubi menghabiskan waktu
cuma dua jam. Tetapi
perjalanan seterusnya yang
harus ia tempuh dengan jalan
kaki. akan makan tempo sekitar
tiga jam. Memang melelahkan,
tetapi di lain pihak ia juga
merasa gembira. Gembira
memikirkan bahwa desa
Lamping letaknya begitu
terpencil. Komunikasi ke daerah
sekitar boleh dikatakan seperti
terputus. Sungguh jitu otak
Martubi menyarankan cucunya
pergi ke desa lamping. Meski
untuk itu, Martubi terpaksa
membuka rahasia masa lalu.
Biarlah. Yang penting, desa
Lamping sangat cocok dipakai
bersembunyi.
ia tiba di desa Lamping
menjelang tengah hari.
Meskipun komunikasi dengan
dunia luar sangat terbatas.
Martubi melihat bahwa Lamping
sudah berubah lebih maju. Jauh
lebih maju dari waktu ia
bertahun-tahun silam datang ke
desa yang sama. untuk melayat
seorang kerabat yang meninggal
dunia. Lurahnya waktu itu hanya
ia kenal sepintas lalu. Sekarang.
takdir menghendaki mereka jadi
kerabat. setelah lurah itu kini
menikahi ibunya Margono.
Seraya mengagumi kemajuan
yang banyak dicapai desa
Lamping, Martubi membalas
tegur sapa orang-orang yang
berpapasan dengannya. Ia juga
tak segan-segan memberitahu
tujuannya, ingin ke balai desa.
"Mau bertemu Pak Lurah."
katanya. Ia merasa bebas di sini.
Tak sebebas di desanya sendiri.
Terutama. dalam kaitan dengan
cucunya.
Di balai desa, ia disuruh
menunggu sebentar. Pak Lurah
tengah mengadakan rapat
dengan pengurus LKMD
(Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa). Saat-saat
menunggu ia pergunakan untuk
istirahat. Baru sekarang ia
rasakan betapa melelahkan
perjalanan jauh yang harus ia
tempuh, demi cucunya. Juga
baru sekarang ia sadari, bahwa
ia tidak semuda dulu lagi.
Mungkinkah karena itu Nyi
Sarijah menolak lamarannya"
Setengah jam kemudian barulah
ia dipersilahkan bertemu Pak
Lurah secara pribadi. Tuan
rumah mengawasi tamunya
sebentar dengan dahi berkerut.
kemudian sambil tersenyum
lebar berkata: "Pak Martubi ya"
Mertua istriku?"
"Bekas mertua," Martubi
memperbaiki. seraya membalas
uluran tangan tuan rumah.
Mereka berdua tertawa. namun
Martubi melihat bahwa suara
tawa tuan rumah tidaklah
sepenuh hati. Waktu ia
perhatikan lebih seksama,
barulah ia sadari bahwa tuan
rumah lebih pucat, lebih kurus
dari saat kedatangannya ke
desa Martubi untuk menikah
dengan bekas menantu Martubi.
Matanya pun kelihatan seperti
tak bergairah. "Tampaknya Pak
Lurah tidak enak badan ya?" ia
bertanya, simpatik.
Tuan rumah menghempaskan
pantatnya di kursi. Tampak
teramat lelah. Dan menderita.
"itulah," katanya. "Itulah yang
sering mereka katakan tentang
diriku. Pak Martubi. Lalu aku
bilang. aku sehat walafiat saja.
Bukan aku yang sakit. Tetapi . . .
." '
"Maryati?" bisik Martubi.
Curiga. sekaligus waswas.
"Heeh ."
"Apa yang terjadi?"
"Banyak sekali. Dan serba
membingungkan. Eh, Bapak
belum bertemu dia, kalau
begitu?"
Martubi tersenyum. "Aku kira
kurang pantas kalau aku
langsung ke rumah kalian. Aku
seorang bekas mertua saja.
bukan?"
"Kau membuatku malu. Pak
Martubi. Kita sudah menjadi
keluarga besar. sekarang.
Maksudku. sejak saat pertama
kali cucumu datang ke rumah
kami. ..."
Kabar itulah yang paling
ditunggu Martubi. Jadi cucunya
selamat, tak kurang suatu apa.
Lembah Hantu telah
dilewatinya. Lalu mengaPa
Maryati jatuh sakit" Pasti bukan
sakit biasa, karena tampak
berpengaruh besar pada
suaminya. Martubi merasa tak
enak, dan ia mengeluarkan isi
hatinya dengan terus terang:
"Margono penyebabnya?"
Tuan rumah manggut-manggut,
disertai keluhan tak jelas. itu
membuat rasa sayang Martubi
pada cucunya sempat terampas.
ia menjadi marah. Dan
kemarahan itu pun ia lontarkan
tanpa berpikir panjang: "Anak
berandal dan tak tahu diuntung
itu! "
Lurah desa Lamping
mengerutkan dahi. Berpikir
sebentar, kemudian memberikan
komentar yang kontras:
"Setahuku, Margono anak yang
baik. Tak suka berkeliaran ke
luar rumah. Ia memang agak
pendiam. tetapi itu pun kukira
karena ia kurang begitu sehat.
Barangkali kelelahan.
Bayangkan. ia menerobos
gunung dan lembah. Bukan
menempuh jalan biasa. Katanya
sih, cari pengalaman. Begitulah
anak-anak muda sekarang.
Bersemangat tinggi. Tapi lupa
kemampuan mereka ada
batasnya...."
Dalam hati, Martubi
bertanya-tanya. Sudah tahukah
orang ini siapa dan apa
pekerjaan Margono" Bagaimana
pula dengan Maryati"
Perempuan itu tidak banyak
mengetahui tentang anaknya,
kecuali apa yang pernah
diutarakan Martubi: Margono
tinggal di kota, tidak punya
pekerjaan tetap, tetapi di kota ia
tidak kekurangan, tak perlu
dicemaskan -aku akan
memanggilnya pulang. begitu
kudapatkan alamatnya yang
terakhir. Sungguh sebuah dusta
besar. Dan sekarang, setelah
Maryati dan suaminya
mengetahui-Ataukah belum"
Sama saja : suatu saat mereka
akan tahu. Dan pertanggungan
jawab akan mereka tuntut dari
Martubi!
Setelah menghela nafas panjang,
Martubi bertanya hati-hati:
"Apakah cucuku tidak
menyusahkan?"
"Menyusahkan?" Pak Lurah
geleng-geleng kepala. "Ia justru
membahagiakan ibunya. Sejak
kedatangannya, ibunya begitu
gembira, tampak jauh lebih
muda. . . ."
,,Dan"!
"Datanglah kesusahan itu.
Kesusahan yang
membingungkan. Membuat aku
putus harapan, karena tidak
tahu harus berbuat apa....
Beberapa hari lalu. Margono
tiba-tiba menghilang. Tanpa
pamit, tanpa kabar berita. Sejak
itulah istriku jatuh sakit.
Perilakunya aneh, keinginannya
lebih aneh-aneh lagi. Keinginan
yang Sungguh tak masuk diakal.
.. ."
"Aku tak mengerti. Bagaimana
cucuku... pergi?"
"Tak ada yang tahu ."
"Mengapa" Apakah terjadi...
sesuatu?" Martubi
membayangkan polisi.
"Tidak ada sesuatu pun yang
terjadi. Kecuali. bahwa
Margono tiba-tiba lenyap.
Lenyap begitu saja. Bagai
ditelan bumi'"
"Wah...."
"Lebih wah lagi, apabila Pak
Martubi tahu apa yang
kemudian terjadi pada istriku."
"Apa yang terjadi dengan
Maryati?"
"Sejak kepergian Margono,
istriku selalu ketakutan.
Mengurung diri di kamar, dan
kalau ia kebetulan dapat tidur.
dalam tidurnya ia menjerit-jerit,
menceracau tak menentu. Tiap
kali ia menyebutnyebut nama
anaknya. Atau kata-kata seperti
'tidak', 'jangan', 'pergi', bahkan
beberapa kali' ia
mengingaukan.. .setan! "
Hampir terlonjak Martubi dari
kursinya. "Setan?" tanyanya,
kelu. Bayangan Lembah Hantu
dan cerita-cerita ganjil
menakutkan sekitar lembah itu
maupun penghuninya,
mencemaskan Martubi. "Setan
apa?"
"Entahlah. Pendeknya, tiap kali
terjaga dari tidurnya, istriku tak
mau bercerita apa-apa. Kecuali
hanya menangis dan menangis.
Lalu terjadilah peristiwa itu . . .
."
Martubi mendengarkan dengan
takjub kisah yang diutarakan
lurah desa Lamping, ketika
suatu hari ada seekor anjing
menerkam ayam tetangga. Yang
punya ayam marah. lalu
menyambit si anjing. Anjingnya
melawan. Menggigit
penyambitnya. Orang-orang
yang melihat segera datang, dan
anjing itu dipukuli berama
ramai.
Didalam rumah. Maryati yang
berbaring sakit di tempat tidur.
tiba-tiba melonjak bangun
mendengar suara anjing
terkaing-kaing. "Anakku! Oh,
anakku!" ia memekik lalu berlari
larian ke luar rumah. ia
berteriak-teriak pada
kerumunan orang agar jangan
memukuli anaknya. Dengan
terheran-heran para tetangga
kemudian menyaksikan
bagaimana Maryati mendatangi
anjing yang sekarat itu. Ia
bersimpuh, seakan mau memeluk
makhluk malang yang terluka
parah di depan matanya. Lalu
tiba-tiba Maryati merintih: "ia
bukan anakku." lalu dengan
langkah lunglai pulang ke
rumah. "Aku begitu malu karena
peristiwa itu," Lurah desa
Lamping mengeluh sakit. "Sukar
untuk membela keanehan
perilaku istriku. Lalu pada
mereka semua kubilang, istriku
sakit dan agar mereka semua
bubar dan tidak meributkan
persoalan itu lagi. Sampai di
situ. semuanya beres.
Tampaknya. Kemudian. istriku
selalu terkejut mendengar suara
anjing menggonggong, apalagi
di malam hari. Dan
menyebarkan desas-desus.
istriku terkena gunaguna...."
Tuan rumah mengerang lembut.
Katanya: "Aku justru tengah
berniat mencari dukun. sebelum
istriku tiba-tiba memintaku
memenuhi tuntutannya. Agar
aku mencarikannya seekor
anjing hitam besar, bermata
merah saga!"
"Wah. ..," lagi-lagi hanya itu
komentar yang mampu
diucapkan Martubi.
Seakan tak mendengarnya, tuan
rumah meneruskan: "Aku telah
membawakannya beberapa ekor
anjing. Kulitnya hitam. bulunya
hitam. Tetapi istriku bilang,
anjing itu kurang besar. Atau.
matanya hitam, bukan merah.
Ada yang merah, tetapi kata
Maryati kurang merah lagi. Dia
bilang, mata anjing itu harus
berwarna kalau tak semerah
saga, haruslah semerah darah.
Ya Tuhan!" suami yang malang
itu mengusap wajahnya dengan
putus asa.
Martubi membasahi bibirnya
dengan lidah, kemudian
bergumam hati-hati:
"Barangkali, Maryati memang
terkena. .. ."
"Guna-guna?" potong tuan
rumah dengan kesal. "Aku tak
mau percaya itu. Lagipula.
setelah kupikir cukup lama, aku
merasa belum pernah punya
musuh, atau berbuat sesuatu
yang menyakiti hati orang. Aku
tak gila kedudukan, tak suka
menumpuk harta. Aku
perlakukan semua orang tanpa
membedakan kedudukan
maupun kekayaannya. Setiap
saat aku berpikir dan berusaha
bagaimana aku harus
memajukan desa ini. memajukan
kehidupan rakyat di sini.
Satu-satunya yang kukira belum
sempat kulakukan, hanyalah
membuka komunikasi dengan
dunia luar. Untuk itu,
kemampuan desa sangat
terbatas. Sedang bantuan dari
beliau-beliau di atas sana.
hanya berupa janji belaka. Aku
dapat mengerti .Apa apa yang
dihasilkan desa ini hanya cukup
untuk menghidupi rakyatnya
sendiri. Tidak ekonomis untuk
dunia luar. Sayangnya,
penduduk di sini sudah merasa
puas dengan apa yang telah
mereka capai. Lalu. dengan
mereka menghormatiku dan
merasa puas dengan caraku
memimpin mereka, siapa pula
yang harus kutakuti sebagai
musuh?"
"Barangkali, ada sebab lain,"
Martubi berujar hanya sekedar
berujar, karena tidak tahu lagi
apa yang mau dikatakan.
"Misalnya. maaf -dari pihak istri
tua"." dan Martubi terkejut
sendiri. Menyesali tuduhan
sembarangan yang dapat
menyakitkan hati itu.
Tetapi tuan rumah hanya
tertawa parau. "Kau tahu. Pak
Martubi" Dua-dua istriku hidup
rukun, bahkan melebihi saudara
kandung. Bahkan istriku yang
pertamalah yang dengan tekun
dan setia menjaga Maryati
selama madunya ini menderita
sakit. Ia bahkan menghormati
Maryati. Karena berkat
pengalaman-pengalaman
Maryati selama tinggal di kota,
perempuan-perempuan desa
Lamping kini berpikiran lebih
maju. dan tidak hanya
mengandalkan hidup dari hasil
sawah dan ladang.
Kursus-kursus keterampilan
yang didirikan dan diawasi
Maryati berkembang pesat.
meski ia baru lima bulan
menjadi warga desa kami. Sudah
tampak harapan, hasil
kursus-kursus itu dapat kami
perkenalkan ke luar desa.
Mungkin sampai ke kota
kabupaten. Kalau itu berhasil,
akan terbuka" jalan menuntut
dibangunnya sarana komunikasi
ke desa ini oleh Pemerintah.
Maryati sungguh merupakan
mujizat buat kami. Terutama
buatku. Karena?" wajah tuan
rumah lebih bersinar kini. "la
tengah mengandung anakku
yang pertama!"
"Ah" Martubi tanpa sadar
bertepuk tangan. "Jadi itulah
sebabnya. Maryati mengandung,
dan karena kandungannya. ia
berperilaku aneh, meminta yang
aneh-aneh.?"
"Aku sependapat," tuan rumah
menyetujui. Namun tanpa
kegembiraan. Martubi mau tidak
mau terhenyak. Berpikir keras.
Perempuan yang hamil muda
memang sering menyusahkan.
Seperti sekarang ini: mengidam
anjing. Anjing besar hitam,
bermata semerah darah!
"Kita harus mendapatkannya.
Mendapatkan anjing yang
diinginkan istrimu,
bagaimanapun caranya'"
Martubi berkata mantap.
"Setelah itu, baru memikirkan
kemana perginya Margono, dan
setelah bertemu, menyadarkan
perbuatannya yang dungu telah
menyusahkan ibunya yang
begitu baik."
"Itulah yang membuatku
semakin susah. Pak Mart ubi."
kembali tuan rumah mengeluh.
"Maksudmu?"
"Anjing yang diidam idamkan
istriku. Aku tak pernah berharap
bahwa ada anjing seaneh
bahkan --rasanya semengerikan
begitu. Tetapi. sungguh luar
biasa. Anjing itu memang ada.
Beberapa orang kepercayaanku
tengah berusaha mengikuti
jejaknya dan kalau bertemu,
agar menangkapnya tanpa
cidera. Di sinilah timbul
kesulitan baru. Anjing yang
sama. ternyata juga dicari oleh
orang-orang lain, untuk
kepentingan yang berbeda...."
"Ahhh!" Martubi berdesah,
takjub.
"Anjing itu," tuan rumahnya
berkata dengan nada cemas.
"Pernah terlihat atau diketahui
muncul di dua tempat. Dan
kemunculannya. tak kalah
mencemaskan dengan apa yang
diderita istriku!"
" Mencemaskan bagaimana?"
"Boleh dibilang, malah
mengerikan." jawab Lurah desa
Lamping yang tampak semakin
menderita itu. Malu ia
menceritakan apa-apa yang ia
dengar dari orang-orang
kepercayaannya yang ia suruh
mencari anjing dimaksud.
"Nyi Imas. pemilik warung
dikampung Banjar baru saja
akan menutup warungnya
karena hari sudah malam. ketika
tiba-tiba ia dikejutkan oleh
munculnya seekor anjing besar
berbulu hitam. Mata anjing itu
merah. teramat merah, dan
sorotnya memukau Nyi imas.
Sebelum Nyi Imas sempat
berteriak untuk mengusir anjing
itu, ia sudah diserang. Anehnya,
ia tidak digigit. Hanya
pakaiannya yang dicabik-cabik
sampai tubuhnya boleh dibilang
telanjang. Lalu, entah kekuatan
gaib apa yang mempengaruhi
Nyi Imas sehingga ia tidak
berani melawan ataupun
berteriak minta tolong, Nyi Imas
pun diam saja ketika anjing itu
menindihkan tubuh telanjangnya
lalu memperkosanya!"
"Mustahil, bukan?" keluh Lurah
desa Lamping melihat Martubi
tercengang. "Tetapi itulah yang
diceritakan Nyi Imas, ketika
suaminya kemudian melihat dia
merayap seorang diri di lantai
warung, memunguti pakaiannya
yang compang-camping. Nyi
Imas menceritakan
pengalamannya sambil
menceracau seperti orang gila.
Mulanya sulit dipercaya. Sampai
hari berikutnya. di pancuran air
kampung Parigi, peristiwa sama
dialami seorang gadis. Gadis itu
sungguh sial. kebetulan mencuci
sendirian di pancuran. Ia juga
terpukau. dan tak berdaya ketika
disetubuhi. Baru ketika ia
merasakan perih sewaktu
keperawanannya pecah -ia
menjerit dan jeritannya didengar
teman-temannya yang belum
pergi terlalu jauh.
***
***
Hari pertama lewat. Disusul
hari berikutnya. dan berikutnya
lagi. Hadiman, suaminya yang
lurah itu benar-benar memenuhi
janji. Dengan dada lapang
Hadiman menerima kehadiran
anak tirinya. Dari sikap serta
caranya tertawa bersama
Margono, juga tampak betapa
sebenarnya Hadiman sangat
bersyukur. Karena kehadiran
Margono lebih membahagiakan
istrinya. Ia juga tidak perlu lagi
merasa cemas harus
meninggalkan Maryati sendirian
kalau pada waktunya ia pergi
menggilir istri tuanya. Sambutan
dari istri tua Hadiman hampir
tidak jauh berbeda. Begitu
mendengar tentang Margono,
istri tua Hadiman langsung
melupakan pekerjaannya dan
pergi berkunjung ke rumah yang
didiami Maryati. ia tidak saja
menjabat tangan tetapi juga
memeluk Margono (suatu hal
yang Maryati sendiri belum
melakukannya), dan berkata
riang: "Tak kusangka. aku
punya anak sebesar dan
setampan ini' "
Margono pun lantas dengan
gembira pergi ke rumah ibu
tirinya bila disuruh. Sungguh
menakjubkan ketika Maryati
menyadari bahwa Margono
bukan lagi anaknya seorang.
Margono kini juga jadi anak
Hadiman, anak istri tua
Hadiman, bahkan anak
beberapa orang lainnya pada
siapa Margono sowan sebagai
seorang pendatang. Margono
senang pada suasana sekitar. Ia
juga tidak kecewa dengan
kesederhanaan hidup di desa,
ataupun tentang hampir tidak
adanya komunikasi dengan
dunia luar. "Justru tempat
seperti inilah yang cocok
untukku sekarang ini," pernah
Margono berkata, tanpa
bersedia menjelaskan apa yang
dia maksudkan. Maryati atau
suaminya hanya beranggapan.
bahwa Margono barangkali
telah muak dengan hiruk-pikuk
atau palsunya kehidupan di kota
besar.
Margono tertawa lebar ketika
diberitahu tak lama lagi ia bakal
punya adik. "Semoga saja
laki-laki. _Supaya ada temanku
memancing!" katanya.
Memancing dan berenang
sepuas-puasnya di sungai
adalah pilihan pertama
Margono setelah ia mempelajari
suasana kehidupan di
sekitarnya. Katanya hanya itu
yang dapat ia kerjakan. "Untuk
sementara ini, aku belum
berpikir untuk memulai sesuatu."
Alasan yang sederhana dan
masuk akal. Namun setelah
diperhatikan lebih seksama oleh
Maryati, tahulah dia bahwa
Margono sengaja menjauhkan
diri dengan cara yang halus.
agar tidak bertemu cukup sering
dengan orang-orang lain.
Maryati tidak berprasangka
apa-apa. la pikir, Margono suka
menyendiri karena ia
benarbenar ingin menikmati
waktu-waktu istirahatnya di desa
ini. Tanpa mengganggu atau
diganggu arang lain.
Lalu tibalah malam mengejutkan
itu.
Hadiman sedang pergi menggilir
istri tuanya. Di rumah, Maryati
hanya berdua dengan anaknya.
Lelah sehabis memancing
sepanjang hari; Margono lekas
pergi tidur. Maryati menyusul
kira-kira dua jam kemudian,
karena ia harus menyelesaikan
jahitannya.
Baru saja Maryati mau rebah di
tempat tidur. ia dengar suara
gedebak-gedebuk di kamar tidur
Margono. Hanya dengan
mengenakan pakaian tidur
seadanya Maryati berlari-lari
memasuki kamar anaknya.
Lampu belum dipadamkan. Jadi
Maryati dapat melihat
bagaimana sambil tidur
Margono menendang dan
memukul kian kemari.
Gerakan-gerakannya liar, begitu
pula kata-kata yang terlontar
dari mulutnya, sementara wajah
pemuda itu tampak bersimbah
peluh.
Maryati segera tahu bahwa
anaknya bermimpi buruk.
"Margono. He. bangunlah Nak
...," Maryati memegang tangan
Margono. "Kau bermimpi ya?"
Margono menarik tangannya.
Dengan mata
masih terpejam. Margono
mengigau dengan kata kata
kasar: "Jangan! Jangan dekati
aku.kau. ular terkutuk! Aku takut
" jangan oh. kau membelitku
Aduh enyahlah. enyahlah ...!"
Maryati memperkeras
pegangannya. "Bangunlah.
Margono. ini aku. ibumu'"
Suaranya yang keras dan tajam,
menyadarkan Margono. Pemuda
itu terjaga. Matanya terpentang
lebar, tampak ketakutan. Ketika
ia mengenali Maryati, pemuda
itu berkata dengan nafas
tersengal-sengal: "Aku
takut!" "Tak ada yang perlu
ditakutkan. anakku,"
Maryati tersenyum, menghibur.
"Kau cuma bermimpi ...."
"Tetapi ular sanca besar dan
hitam itu
"Tak ada ular di sini. Lihatlah
sekelilingmu. Tak ada yang
perlu ditakutkan. bukan?"
Sepasang mata Margono
membelalak liar ke seputar
kamar. Kemudian ia tampak
lebih tenang. meski sinar
matanya masih membayangkan
ketakutan. "Jangan tinggalkan
aku sendirian di sini," ia
merintih tersendat sendat.
"Baiklah. Aku akan
menungguimu sampai kau tidur
dan bangun lagi besok pagi.
Akan kau lihat. bahwa semuanya
beres.
"Aku .. .kedinginan. Dingin
sekali."
' "Kuselimuti ya?" Maryati
menyelimuti anaknya. Ketika
merasakan sekujur tubuh
Margono masih gemetar, ia
bahkan naik ke tempat tidur dan
mendekap anaknya supaya
Margono merasa lebih hangat,
nyaman dan terlindungi. Lambat
laun, nafas Margono bergerak
lebih teratur. Tubuhnya pun
tidak gemetar lagi. Bahagia
dapat melindungi dan membeli
kehangatan pada anaknya.
tanpa terasa Maryati tetap
mendekap Margono dan
kantuknya kemudian datang
menyerang. Maryati pun lantas
tertidur.
Ia baru terjaga ketika nafasnya
terasa sesak dan tubuhnya
seperti ditekan dari segenap
penjuru. Waktu ia buka
matanya, Maryati terperanjat.
Sedikit pun ia tidak percaya
bahwa tubuh putranya ada di
atas tubuhnya. Semakin tidak
percaya lagi, setelah melihat
Margono tidak mengenakan
walau selembar benang pun di
tubuhnya. Bagaikan mimpi yang
jauh lebih buruk ketimbang
mimpi Margono, ia sadari
bahwa Margono memeluknya
sedemikian erat dan menciumi
dadanya dengan bernafsu.
"Ya Allah!" Maryati terpekik.
Margono melepaskan payudara
ibunya, dan memandang lurus ke
matanya. "Kau berjanji akan
menyenangkan aku!" kata
pemuda itu seraya menyeringai.
"Aku menuntutnya sekarang.
perempuan cantik! "
Maryati mengucapkan istigfar.
sambil berusaha menolakkan
tubuh pemuda itu dengan sekuat
tenaga. "Sadarlah. Aku ibumu!"
ia memperingatkan, dengan
pikiran bahwa anaknya mungkin
tengah mengigau sehingga
berbuat yang tidak-tidak.
"Aku tak percaya kau ibuku "!"
" Lepaskan aku! "
"Nanti. Setelah kita sama-sama
menikmatinya," dan sambil
berkata demikian mulut
Margono mencari-cari bibir
Maryati. Maryati menghindar
dan terus menghindar sehingga
Margono menjadi kalap dan
mencengkeram rambut Maryati.
dipaksa untuk tengadah
menghadap ke wajah pemuda
itu. "Apakah kau harus
kuperkosa"!" pemuda itu
menggeram. dahsyat.
"Ya ampun, Margono. Sadarlah
ingat aku ibumu. Dan aku
tengah mengandung!"
"Biar!"
"Jangan. Oh ...." Maryati
terbungkam ketika mulutnya
diciumi Margono dengan liar.
Setelah ciuman itu terlepas,
Maryati memberontak dan
membentak: "Jangan bertingkah
laku seperti binatang,
Margono!"
"Persetan!" dengus pemuda itu.
"Biarlah misalnya aku jadi
anjing, asal ...."
Dan
***
MARYATl tergetar hebat di
tempat tidurnya. Tubuhnya
menegang kaku. sementara kulit
wajahnya tampak jauh lebih
pucat. Hadiman, suaminya,
dengan gelas berisi sisa air
putih masih tergenggam di
tangan. bertanya dengan suara
tersedak: "Dan apa, Maryati?"
Bibir yang pucat kebiru-biruan
itu kemak-kemik sebentar.
Disusul suara setengah menjerit:
"la berubah jadi anjing! Anakku
tiba-tiba berganti wujud menjadi
seekor anjing besar. hitam
menakutkan, dengan mata
menyala merah mengerikan!"
Berderai bunyi gelas yang jatuh
ke lantai tanpa disadari
Hadiman. Suami yang malang
itu mengawasi istrinya sejenak
dengan wajah membeku,
kemudian berpaling dengan
susah ke arah Martubi yang dari
tadi berdiri ternganga sewaktu
mendengar bagian akhir dari
cerita yang dituturkan Maryati.
Margono, Cucunya, berubah
wujud menjadi seekor anjing"
Bagaimana mungkin"
"Anjing itu menyalak keras
Menggonggong lirih. kemudian
melompat menerjang jendela.
Kabur ...," lamat-lamat
terdengar suara Maryati
memecahkan kesunyian yang
membekukan sumsum di kamar
tidur istri lurah desa Lamping
Itu.
Ada suara berkeriut.
Martubi dan Hadiman sama
berpaling. Pintu
dibuka dari sebelah luar. dan
muncullah orang tua misterius
yang mengaku bernama Sumirta
itu. Ia mengawasi dua lelaki
lainnya. mengawasi si sakit di
tempat tidur. kemudian
bergumam lirih:
"Aku telah memperingatkannya."
Lama. cuma keheningan yang
ada.
Lalu Martubi berbisik rendah:
"Memperingatkan siapa, Pak
Sumirta?"
"Margono," jawab orang tua itu.
"Sudah kubilang agar hati-hati
menjaga lidahnya. Karena
lidahnya, mengandung bisa yang
busuk!"
"Lidah berbisa" Seperti ular?"
Sumirta tampak kaku ketika
mendengar kata 'ular', tetapi
dengan cepat ia menguasai
dirinya kembali. "Aku tidak
berbicara tentang bisa
sebagaimana bisa yang pernah
kalian kenal. Aku juga tidak
berkata tentang lidah bertuah.
Tuah, mengandung unsur positif.
Tuah, adalah kemujizatan Yang
Maha Pencipta. Ada pun bisa di
lidah Margono. tak lebih dari
kebejatan setan. itulah yang
tidak disadari
oleh pemuda itu. Sehingga di
luar kesadaran atau pun
kemauannya. ia telah mengutuk
dan
mencelakakan diri sendiri... ."
***
BAB 9
SETELAH mendengar apa yang
dituturkan Maryati. maka
Martubi tidak lagi terkejut
mendengar penuturan Sumirta.
la bertambah yakin sekarang
bahwa dalam perjalanan ke desa
Lamping cucunya telah tersesat
di Lembah Hantu. Sejauh mana
cucunya tersesat. Martubi tidak
tahu. Namun ia tidak ragu
sedikit pun, bahwa Sumirta
terlibat cukup dalam dengan
musibah yang menimpa
cucunya. Pun ia tidak ragu
bahwa keselamatan cucunya kini
terletak di tangan orang tua
misterius itu.
Seketika itu juga ia mengambil
keputusan. Ia sadar bahwa
Hadiman tidak sepenuhnya
mempercayai apa yang ia
dengar. Maka dia bertanya
langsung ke sasaran:
"Katakanlah apa yang harus
kami lakukan, Pak. Mirta. Demi
cucuku, aku bersedia
mengurbankan nyawa bila itulah
yang diminta sebagai
syaratnya."
"Tidak segawat itu." ujarSumirta
tenang. "Kita hanya
mengerjakan beberapa hal kecil
dan sederhana. Pertama-tama
...," ia melirik Maryati sambil
bertanya pada tuan rumah:
"Apakah istrimu sanggup duduk
beberapa menit tanpa dibantu,
Pak Lurah?"
Sebelum suaminya sempat
menjawab, Maryati yang semula
heran melihat kehadiran
Sumirta, menjawab lemah tetapi
tegas: "Selama ini aku telah
menyia-nyiakan anakku.
Sekaranglah kesempatanku
untuk memperbaiki kesalahan.
Aku sanggup duduk sendiri. Bila
itu dapat menolong anakku,
maka aku akan duduk menunggu
selama diperlukan. Mati duduk
pun aku rela!"
Suaminya akan memprotes.
Tetapi kakinya keburu diinjak
oleh Martubi sebagai pengganti
teguran. Hadiman menggerutu
perlahan, kemudian angkat
bahu. Pertanda pasrah, meski
setengah terpaksa. Lewat
bahunya, ia mengintip Sumirta
dengan pandangan masih
curiga. Begitupun, ia tidak lagi
memprotes manakala istrinya
bangun dengan susah payah.
berjalan lunglai ke ruang depan
sesuai permintaan Sumirta, lalu
duduk menghadap lurus ke pintu
masuk rumah. Atas perintah
Sumirta, Hadiman dengan segan
pergi membuka pintu. la
pentangkan lebar-lebar, seolah
mengundang kesunyian dan
kegelapan malam di luar supaya
masuk berbondong-bondong ke
dalam rumah untuk
mencemoohkan peristiwa
apa yang bakal berlangsung
Sementara Maryati duduk
setengah oleng. Sumirta duduk
pula di belakangnya. Bersila.
Lewat pundak nyonya rumah ia
mengawasi kegelapan yang
hitam pekat di luar rumah.
"Perlu kalian semua
kuingatkan," ia berkata seraya
menyapukan pandang pada
Hadiman, Martubi dan Supinah
yang muncul dari dapur dengan
wajah cemas setelah mengetahui
Maryati tidak rebah di
pembaringan. "Kalau terjadi hal
hal yang di luar kehendak kita,
tak seorang pun dari kalian
boleh menyentuh tubuhku
maupun tubuh di depanku. Apa
pun yang terjadi!"
"Kami akan mengingatnya,"
jawab Martubi. "Masih ada
syarat lainnya?"
"Selama hidupku. aku sudah
membiasakan diri untuk tidak
terlalu banyak menuntut. Tidak.
Tidak ada syarat lainnya,"
jawab Sumirta dingin.
"Sekarang kuminta kalian
tenang dan diam. Karena aku
akan menyatukan diri dengan
tubuh di depanku ini. ..."
" Apa?" Hadiman tersentak.
"Jangan salah mengerti,"
Sumirta berkata sabar. "Dan
supaya Pak Hadiman tidak terus
menerus mencurigai aku.
biarlah aku jelaskan sebentar.
Dapatkah kau bertahan, Bu
Lurah?"
"Da-'pat." jawab Maryati
terbata-bata Jelas ia tengah
berusaha sekuat tenaga agar
tidak semakin oleng dan jatuh.
la sempatkan pula memaling ke
arah suaminya. Dengan sorot
matanya serta senyum yang
dipaksakan di bibir, ia
memperingatkan suaminya agar
tidak terlalu rewel. Hadiman
jadi malu sendiri dan tidak
berani lagi memprotes.
"Sebagaimana kukatakan tadi,"
Sumirta menjelaskan dengan
cepat. Rupanya ia memburu
waktu. "Aku akan menyatukan
diri dengan tubuh di depanku
ini. Ia seorang ibu. Mata hati
seorang ibu punya pandangan
luas dan jauh. Ia dapat
menjangkau apa yang tidak
dapat dijangkau oleh mata
dalam arti harafiah. Begitu pula
kata hati. Kata hati seorang ibu
dapat menggetarkan dan
menembus batas antara alam
nyata dan alam gaib. Begitupun,
seorang ibu tetaplah seorang
manusia biasa. Ia juga punya
kelemahan, khususnya untuk
merangsang mata hati. serta
mendorong kata hati agar mau
menuruti kehendak jiwanya.
Sebaliknya, aku punya kelebihan
untuk urusan semacam itu.
Dengan penyatuan diri, aku
akan menggabungkan
kekurangan tubuh di depanku ini
dengan kekuatan yang ada di
dalam tubuhku. Cukup jelas?"
Meski agak bingung, toh
Hadiman menganggukkan
kepala. "Apa sebenarnya yang
kita hadapi?" ia bertanya
lembut, khawatir pertanyaan itu
ditanggapi sebagai protes.
" Angkara murka"
"Dan kita akan melawannya
dengan angkara murka pula?"
"Kalau angkara murka dilawan
dengan angkara murka pula,"
jawab Sumirta, jelas dengan
nada menahan kejengkelan.
"Akan terjadi adu kekuatan.
Kalian, dan semoga aku juga
demikian, bukanlah manusia
angkara murka. Maka bila
terjadi adu kekuatan, kita
berada di pihak yang lemah.
Kita jadi pecundang. Jadi kita
akan melawan angkara murka
itu dengan kelembutan serta
kasih sayang. Unsur terakhir ini
merupakan musuh bebuyutan
angkara karena sering angkara
murka tak berdaya
menghadapinya. Masih ada
pertanyaan lain'?"
Hadiman menggelengkan kepala
begitu menangkap sorot mata
menusuk. Tidak saja dari
Maryati, tetapi juga dari istri
tuanya, Supinah.
"Mulailah, Pak Mirta," Martubi
mendesak, sambil menatap
Hadiman dengan iba.
***
BELUM habis gaung suara
Martubi, penyatuan diri itu telah
berlangsung. Karena jelas
terlihat, Maryati yang tadinya
duduk lunglai mendadak duduk
tegak lurus. Matanya pun
terpentang lebar. Sementara di
belakangnya,
Sumirta duduk tanpa bergeming,
dengan mata terpejam rapat.
Tak sepatah pun ada pembacaan
mantera, tiada bunga rampe,
apalagi dupa menyan. Anehnya,
seputar ruang depan rumah itu
mendadak terasa dingin
membeku. Begitu dinginnya
sehingga Martubi sempat
menggigil, Hadiman
menggeratakkan gigi, dan
Supinah bersidekap dada
dengan wajah pucat pasi.
Lalu, pelan-pelan bibir Maryati
terbuka. Suaranya hampir
menyerupai bisikan, ketika ia
memanggil: "Anakku, Margono.
Kau mendengarkan aku, Nak?"
Selama beberapa saat, tak
terjadi apa pun juga. Kecuali
bahwa sinar mata Maryati yang
tadinya redup karena menderita
sakit, mendadak bersinar tajam.
Lengannya yang tadi terkulai
tanpa daya di haribaan, kini
bergetar kuat dan hidup. "Apa
yang kau kerjakan di dalam gua
yang gelap dan dingin itu,
anakku?" ia berbisik lagi. Lebih
keras, tetapi dengan kelembutan
yang demikian membelai,
sehingga Supinah yang
berjaga-jaga tidak jauh darinya,
menggigit bibir menahan
perasaan. "Aku tidak marah,
anakku.... Buanglah perasaan
berdosa itu. Ikutilah suaraku,
Margono... datanglah padaku.
Aku... menunggumu.?"
Getaran tangan Maryatl makin
kuat. Begitu
pula suara yang keluar dari
mulutnya: "Bagus!
ikuti terus, anakku Hati-hati!
Ada perangkap di sebelah
kirimu. Dekat reruntuhan
batu.Apa" Kau mendengar
suara-suara yang membuatmu
takut" Jangan perdulikan.
Tetaplah dengar dan ikuti
suaraku. Sekarang larilah. Lebih
cepat. Lebih cepat lagi. Lihatlah,
betapa aku menanti dengan
rindu Awas!"
Kata terakhir itu mirip pekikan
cemas bercampur kaget. Sekujur
tubuh Maryati terguncang keras,
sementara di belakangnya
Sumirta tetap duduk bersila
tanpa bergeming, tak ubahnya
patung batu. Tiada tanda-tanda
bahwa ia mendengar, melihat,
atau pun merasakan sesuatu.
Sumirta duduk membeku, seakan
roh sudah tidak menyatu lagi
dengan dirinya. Martubi
berpikir penuh hasrat ingin
tahu: "Ataukah rohnya sudah
tidak bersatu lagi dengan
tubuhnya" Beralih dan menyatu
dengan roh Yayah?"
"Jangan!" Maryati memekik
lebih keras. Bola matanya
bergerak liar memancarkan
ketakutan teramat sangat.
"Jangan perdulikan mereka.
Larilah, anakku Hei, kau dengar
aku Margono" Jauhi mereka.
Jangan turuti nafsu angkara
murkamu! "
Mendadak nafas Maryati
tersengal-sengal. Supinah mau
mendekati, tetapi Martubi
mencegah dengan kibasan
tangan. Di sebelah Martubi,
Hadiman mengawasi istrinya
dengan
khawatir. Lurah desa Lamping
itu lebih khawatir lagi ketika ia
lihat istrinya mencengkeram
paha sendiri, seakan mau
menghunjamkan ujung-ujung
kuku ke daging pahanya .untuk
mencari kekuatan.
Lalu, seisi rumah seakan pecah
oleh ledakan jerit Maryati yang
melengking nyaring:
"Margonoooo "! Jangan!
Jangan kalian ciderai anakku!
Tolonglah kumohon! Biarkan
dia pergi Aduh. Margono.
Jangan melawan lagi, Nak. Kau
dengar aku" Kau ingin aku mati
tersiksa melihat darah
membanjir dari lambungmu"
Tidak" Oh kau menyesal" Cepat
lari. Nak. Lewat sebelah kirimu
Ayo, bertahanlah. Jangan
cengeng!" Dan air mata Maryati
membanjir menggenangi pipinya
yang pucat, "Yaa ya. Aku tahu
kau sangat kesakitan. ibu juga
merasakannya. Seakan lambung
ibulah yang dibacok orang itu
Nah. Mereka makin jauh di
belakangmu mereka kehilangan
jejak. Jangan berhenti!
Bangkitlah, anak bodoh! Kau
sudah begitu dekat dengan aku!
Ayo. kuatkan dirimu! "
Suara-suara kemarahan itu,
mendadak hilang. Diganti suara
lemah dan bingung: "Margono"
Mengapa kau tak menjawab"
Margono! Kau dengar ibumu,
Nak" Ayo, jawablah. Jawablah
"."
Agaknya jawaban itu tidak
kunjung datang
dan Maryati menjadi kalut
karenanya. Terlihat dari sorot
matanya yang mendadak liar.
Dadanya naik turun dengan
kencang, sementara tangan
mengepal memukuli paha karena
putus asa. Tangan itu, kemudian
naik dengan cepat, dan
tahu-tahu ia sudah menjambaki
rambut sendiri.
Sampai di situ, Hadiman tidak
sanggup lagi menahan diri. Ia
melompat mendekati istrinya
yang tengah menyiksa diri itu.
Tetapi ia telah didahului oleh
yang lain. Sumirta yang duduk
diam tak bergeming di belakang
Maryati. membuka matanya
tiba-tiba. Gerakan pertamanya
adalah condong ke depan,
menangkap tubuh Maryati yang
doyong mau jatuh. Diusapnya
wajah perempuan itu. sambil
menggelengkan kepala pertanda
tidak senang.
"Kita terlambat ." katanya.
"Mereka ...."
Ucapannya terputus sewaktu
merasakan gerakan tubuh
Maryati melemah. dan
perempuan itu kemudian terkulai
dalam pegangannya. Sumirta
menarik nafas panjang dan
berkata pada suami Maryati:
"Angkatlah ia ke tempat tidur."
Melihat istrinya terkulai diam.
Hadiman menggeram: "Apakah
dia ..."
"Pingsan. Karena lelah. Tak
perlu dikhawatirkan," potong
Sumirta lembut.
Wajah Hadiman beringas ketika
ia mengambil Maryati dari
tangan tamu misterius itu.
Suaranya gusar tak terperi:
"Kau yang jadi gara-gara. Kau
yang menyiksa istriku. Dan apa
hasilnya"!" lalu tanpa menunggu
reaksi, ia bopong tubuh Maryati.
Masuk ke kamar tidur diiringkan
oleh istri tuanya, Supinah.
Martubi tak bergerak di tempat
duduknya. Matanya lurus
mengawasi pintu depan yang
menganga terbuka, seakan ingin
menembus kegelapan malam
sejauh ia dapat memandang.
Dari tadi ia mendengar dan
menyimak tiap kata yang
diucapkan Maryati dengan
bantuan kekuatan batin Sumirta.
Selama mendengarkan, Martubi
pun mampu membayangkan apa
yang terjadi di luar sana. Di
suatu tempat. entah di mana,
anjing besar hitam bermata
semerah darah itu keluar
meninggalkan gua tempatnya
bersembunyi. Terpanggil oleh
suara hati nurani ibunya. Di
tengah perjalanan. anjing itu
dipergoki oleh beberapa orang.
Mungkin karena takut atau
mungkin juga karena mengikuti
sifat penaik darahnya. anjing itu
kemudian melawan waktu
orang-orang itu bermaksud
menangkapnya.
"Jangan kalian ciderai anakku!"
terngiang suara memohon
Maryati. Lalu: "Kau ingin aku
mati tersiksa melihat darah
membanjir dari lambungmu?"
Berkat dorongan suara nurani
ibunya, anjing itu melepaskan
diri kemudian
lari. Tetapi jatuh lagi.
Hubungan gaib antara ibu dan
anak pun terputus tiba-tiba.
Maryati melihat dan menyadari
apa yang telah terjadi pada
putranya. Maryati pingsan.
Mengingat semua itu, tanpa
sadar Martubi menggigil. Pun
tanpa ia sadari. air mata
merembes membasahi pipi
tuanya. Ia sudah dapat
memahami apa yang terjadi di
luar sana. Dan hampir tidak
dapat diterima jiwa tuanya.
karena semua itu hanya berarti
satu hal saja. Bahwa, Martubi
kini tinggal sebatang kara!
Di antara linangan air matanya,
Martubi melihat ada bayangan
berkelebat ke arah pintu. Segera
ia menguasai perasaan,
berusaha tenang dan kemudian
bertanya terbata-bata: "Bapak
mau ke mana?"
"Pulang ke tempatku." jawab
Sumirta datar.
Martubi bangkit dari duduknya.
"Aku ingin tahu. kalau Bapak tak
keberatan," katanya.
"Sebenarnya, apa yang akan
Bapak lakukan apabila usaha
Bapak tidak gagal setengah
jalan?"
"Tidak banyak," jawab Sumirta.
"Aku hanya mengalihkan
kekuatan gaib yang ada dalam
diriku. Yang melakukan
seterusnya. adalah dia ...."
Sumirta melirik ke arah pintu
kamar tidur, di mana tampak
Maryati masih terkulai rebah
dan suami beserta madunya
tengah berusaha
menyadarkannya.
"Apa pula yang harus dia
lakukan?" Martubi terus
mendesak.
" Mengiris nadinya."
"Apa?"
"Mengiris nadinya. Karena
lewat nadi darah akan
menyembur dengan cepat. Ia
harus menghirupnya, kemudian
dengan bantuan kekuatan gaibku
darah itu disemburkan lagi ke
tubuh makhluk yang kita panggil
bila ia datang. Di dalam tubuh
makhluk itu, mengalir darah
ibunya. Dengan darah ibunya
pulalah, wujudnya akan kembali
seperti semula. Setelahnya ...."
Dari kamar terdengar
suara-suara mengandung
kelegaan. Martubi tidak
menoleh. Perhatiannya lebih
terpusat pada Sumirta, yang
tampak ragu-ragu. Ia ingin
bertanya. tetapi kemudian ia
berpikir bahwa diam dan
menunggu adalah lebih pantas
dan sopan.
"Sebenarnya. bagian terakhirlah
yang menjadi tujuan pokok aku
datang untuk membantu. Aku
harus melakukan sesuatu yang
memalukan, dan mungkin akan
membuat kalian semua
mengumpatku habis-habisan.
Syukur, kini aku terbebas dari
tugas berat itu
"Karena makhluk itu "," Martubi
menggigii kembali. "Karena,
cucuku telah mati."
"Aku turut berduka cita." ujar
Sumirta, prihatin.
"Dan. tugas berat itu?"
" Apakah perlu kuungkapkan"
Toh tidak berguna lagi!"
"Ah maafkanlah. Aku hanya
sekedar ingin tahu. Tetapi kalau
Bapak tetap keberatan"."
Martubi menggantung suaranya.
Berharap.
"Baiklah," Sumirta mengalah.
"Cucumu, seperti sebelumnya
kukatakan, memiliki lidah
berbisa. Yang dapat
mencelakakan baik dirinya
maupun orang lain. Karena apa
pun yang diucapkannya, seketika
akan menjadi kenyataan. Tentu
saja bukan mengenai hal-hal
yang baik atau
menggembirakan. Karena
kekuatan bisa di lidahnya,
adalah kekuatan angkara murka,
maka yang terucap dan menjadi
kenyataan tentulah mengenai
hal-hal buruk dan menakutkan
seperti apa yang terjadi pada
dirinya sendiri. Lama aku
berpikir, kemudian diam-diam
menyesal. Kalau itu hanya
terjadi pada dirinya! Bagaimana
kalau karena dia, orang lain jadi
korban" Padahal mereka tak
berdosa apa-apa?" Sumirta
menghela nafas berat dan
panjang. "Maka kusingkirkan
dari kepalaku. kesalahan besar
yang diperbuat oleh cucumu.
Aku putuskan untuk
menemuinya. Dan mencabut
kutukan itu. Caranya sederhana
saja. ia harus meminum air
kencingku!"
Setelah mengungkapkan apa
yang perlu diungkapkan.
Sumirta kemudian minta diri.
Sebelum Martubi sempat
mengatakan sesuatu. Sumirta
sudah berlalu. Dalam sekejap
mata saja. ia sudah menghilang
ditelan kegelapan malam. Pergi
ke tempat dari mana ia datang.
Di manakah tempat itu
sebenarnya"
Apa pula kesalahan besar yang
telah diperbuat cucu Martubi?"
Martubi mengawasi sekali lagi
kegelapan di luar sana.
kemudian menutup pintu.
Setelah termenung sebentar, ia
putuskan untuk melihat keadaan
bekas menantunya.
Maryati sedang diberi minum
ketika Martubi masuk ke dalam
kamar tidur. Hanya beberapa
teguk, kemudian perempuan
malang itu rebah kembali.
Sesaat kelopak matanya
terpejam. disusul gumam lirih
yang menyentuh perasaan:
"Tidak usah mendustaiku, Kang
Maman. Aku yakin bahwa apa
yang kudengar dan kulihat,
bukan impian buruk seperti yang
kau katakan tadi."
"Ia benar," desah Martubi
menimpali.
"Nah. Apa kukatakan." seru
Hadiman diriang-riangkan,
merasa didukung oleh Martubi.
Tetapi keriangannya seketika
buyar.
waktu Martubi menjelaskan:
"Yang kumaksud. Yayah benar."
Hadiman memandang Martubi
dengan sorot mata gusar.
Namun setelah melihat sudut
sudut mata Martubi berkilat
basah, ia menahan
kegusarannya. Lalu berkata
setengah jengkel: "Okelah. Kita
misalkan semua omong kosong
itu benar. Lantas. apa yang
sekarang harus dilakukan?"
"Aku tidak tahu." jawab Martubi
terus terang.
"Aku tahu." Maryati menyela.
Suaranya teramat getir. "Aku
sudah pasrah. Namun begitu,
kita harus berbuat sesuatu.
Jenazah anakku, harus kita
kuburkan secara layak'"
Mendengar itu, Hadiman
berubah gelisah.
Martubi mengerti. Tampaknya
memang sepele: ambil bangkai
anjing itu. lalu kuburkan. Yang
membuat persoalannya tidak
sepele, adalah apa yang tadi
dikatakan oleh Maryati.
Dikuburkan secara layak. dan
yang dikuburkan itu adalah anak
kandungnya. Berarti upacara
penguburan itu haruslah
sebagaimana layaknya upacara
penguburan jenazah seorang
manusia.
Mungkinkah"
Apa pula nanti, omongan orang
sedesa"
***
DALAM keadaan bingung
karena merasa serba salah itu.
pintu depan terdengar digedor
dari luar. Sementara Martubi
berpikir bahwa Sumirta telah
melupakan sesuatu, tuan rumah
berjalan menuju pintu depan.
Martubi segera pula mengikuti.
Khawatir kalau Sumirta yang
menggedor pintu, akan terjadi
hal-hal yang tidak dikehendaki
mengingat perasaan tak senang
tuan rumah pada orang tua
misterius itu.
Ternyata yang muncul di depan
pintu adalah tiga orang
penduduk setempat. Salah
seorang maju ke depan mewakili
teman-temannya. la muda, kuat.
bertampang keren, tetapi
suaranya kecil seperti suara
perempuan. Katanya. dengan
nafas terengah-engah: "Maafkan
kami, Pak Lurah. Mereka lebih
dulu dari kami melihat anjing
itu, dan ...."
. Lurah desa Lamping memberi
isyarat supaya orang itu
menunda dulu keterangannya.
Lurah itu lalu beranjak ke luar,
yang segera pula diikuti oleh
Martubi. Pintu kemudian
ditutupkan.
"Atur nafas dulu," Hadiman
berkata pelan. "Dan
rendahkanlah suaramu, ya?"
Orang itu mengatur nafasnya
agar lebih tenang. Namun toh
suaranya yang halus merdu itu
tetap saja terdengar
menggopoh: "Rombongan
pencari dari kampung Parigi
yang pertama-tama melihat
anjing itu. Pak Lurah. Mereka
lalu mengejarnya. Gerakan
mereka terlihat oleh rombongan
pencari dari kampung Banjar.
Mereka pun ikut mengejar lalu
mengepung anjing itu. Waktu
kami mengetahui hal itu dan
datang menyusul. kami Sudah
terlambat. Maafkan kami Pak
Lurah. Kami tidak
"Sudahlah. Tak ada yang perlu
disesalkan," desah Hadiman
menenangkan. "Apa yang
terjadi?"
"Anjing itu dapat mereka
keroyok dengan mudahnya.
Memang aneh, Pak Lurah.
Tetapi begitulah nyatanya.
Anjing itu tampaknya tidak
segalak yang diduga.
Gerakan-gerakannya
tertegun-tegun. Waktu melawan,
kepalanya beberapa kali
ditolehkan ke arah lain. Bukan
ke arah orang yang mau
memukulnya. Sepertinya ia
mendengar atau mau melihat
sesuatu di tempat lain itu
Akibatnya ia lengah dan ...."
"Teruskan," Hadiman menahan
nafas. Sambil berpikir: si
Sumirta itu agaknya bukan
orang sembarangan!
"Mereka berhasil
membacoknya." orang itu
meneruskan. "Anjing itu, bagai
tidak merasa kesakitan sekali
lagi ia memalingkan kepala dari
orang yang membacoknya lalu
ia berlari ke arah tadi ia
memaling. Tetapi dengan
lambung terluka parah ia tidak
dapat berlari jauh. Anjing itu
terjatuh lagi. Kami semua
mengejar. Setelah sampai ke
tempat anjing itu jatuh kami
lihat anjing itu memandangi
kami semua dengan matanya
yang merah tidak lagi
semengerikan semula. Mata itu
seperti memohon. Malah kalau
tak salah seperti menangis. Aku
sampai tercengang. dan entah
mengapa terpengaruh. Ada
keinginan untuk melindunginya.
Aku merasakan kesedihannya
aku ingin menangis bersamanya
...
Orang bertubuh tinggi besar dan
bertampang keren itu. tidak
dapat meneruskan ceritanya. la
tersendat-sendat, dan menangis
beneran! Lurah desa mereka
dengan lembut menepuk-nepuk
bahunya. mengucapkan katakata
menghibur. Salah seorang yang
dari tadi hanya
manggut-manggut mengiyakan
wakil mereka, diminta Pak
Lurah untuk melanjutkan kisah
yang terputus itu. Yang ini
bertubuh kecil dan suaranya
mantap:
"Anjing itu mati, Pak Lurah,"
katanya pendek.
"Oh ...," Hadiman mendadak
loyo. Berpikir: seperti dikatakan
Martubi, dugaan Maryati
ternyata benar. Lalu ia teringat
lagi akan tugas yang
meresahkan itu: menguburkan
bangkai anjing itu sebagaimana
layaknya menguburkan jenazah
manusia. Sambil berusaha
menenangkan pikiran
gundahnya Hadiman bertanya:
"Bangkai anjing itu. Mereka
apakan, Dudung?"
Si kecil yang dipanggil dengan
nama Dudung itu menjawab
pelan: "Dibawa pulang. Pak
Lurah. Entah mau diapakan.
Usaha kami untuk mengambil
alih dan mengurus bangkai
anjing itu, tidak mereka
perdulikan. Kata mereka anjing
itu akan diarak keliling
kampung. Setelah itu.
bangkainya akan dipotong dua
"'"
Hadiman terkejut. Bertanya:
"Dipotong dua! Mengapa?"
Si kecil hilang kemantapannya
sejenak. Lalu: ?" kata mereka.
anjing itu adalah makhluk
jadi-jadian. Makhluk jelmaan
setan"," ia terdiam sesaat ketika
melihat Lurah desa mereka
memalingkan muka. Ia merasa
menyesal, karena tahu betul
bahwa Lurah mereka itu paling
tidak suka membicarakan hal
hal yang berbau mistik.
Namun karena sudah terlanjur,
si kecil terpaksa meneruskan
juga: "Makhluk seperti itu. kata
mereka, agar tidak mengganggu
atau membalas dendam, harus
dipisahkan kepala dari
badannya. Kemudian
dikuburkan di tempat yang
berjauhan pula. Satu di sekitar
kampung Parigi, satunya lagi di
sekitar kampung
Banjar. Tentang tempat dan
cara dikuburkannya belum
diperoleh kata sepakat.
Pendeknya. tubuh anjing itu
harus dipotong dua."
Setelah menjelaskan beberapa
pertanyaan lagi, ketiga orang
penduduk itu kemudian permisi
untuk pulang ke rumah
masing-masing. Tak lupa
Hadiman mengucapkan terima
kasih atas letih payah
orang-orang kepercayaannya
itu. Disertai pesan: "Seperti
semula, kuharap
kalian tetap tutup mulut.
Maklum. perempuan ngidam.
Aneh-aneh saja permintaannya
bukan?"
Ketiga orang itu mengangguk
mengerti kemudian menghilang
di kegelapan malam. Martubi
bertukar pandang dengan tuan
rumahnya, tanpa tahu harus
berkata apa. Untuk beberapa
waktu lamanya mereka hanya
berdiam diri, tanpa
memperdulikan udara malam
yang semakin dingin menggigit.
Hadimanlah yang mula-mula
membuka mulut: "Apa yang
harus kuperbuat. Pak Martubi?"
***
SELESAI
(http://cerita-silat-novel.blogspot.co