Anda di halaman 1dari 9

LEGENDA TANJUNG MARTHAFONS

Ada satu Desa di jazirah Baguala namanya Desa Poka, biasanya disebut Desa
Poka-Rumah Tiga. Dulu di Desa ini tinggal satu keluarga yang sangat sederhana
namun mereka hidup bahagia.
Kepala keluarga bernama Bapak Bram. Beliau bekerja sebagai petani dan biasanya
mendayung perahu membawa penumpang dari Poka-Rumah Tiga ke Galala pulang
pergi, sedangkan istrinya bernama Ibu Mina. Ibu Mina adalah wanita yang cantik,
rajin dan bekerja membantu Bapak Bram menambah penghasilan keluarga yaitu
dengan cara bakar sagu untuk dijual.
Bapak Bram dan Ibu Mina mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik,
saat itu berusia 16 tahun. Anak itu bernama Martha, berkulit hitam, rambutnya ikal
panjang terurai hingga betis.
Setiap sore sehabis Ibu Mina membakar sagu, biasanya Martha berjalan menjual
sagu kepada orang-orang disekitar Desa Poka. Dia selalu memakai baju cele merah
muda (baju adat wanita Ambon), dengan rambut yang dikonde, dan sagu ditaruh
diatas baki. Martha berjalan menjualnya dengan cara menaruh sagu di atas kepala.
Martha berjalan keluar masuk lorong-lorong sambil berteriak………. Sagu, tante beli
sagu. Sagu…. Sagu… mau beli atau tidak.
Martha biasanya menjual sagu lewat di depan asrama tentara Portugis. Tempatnya
tidak jauh dari tempat Ferry sekarang.
Suatu sore ketika Martha berjalan menjual sagu di depan asrama tentara Portugis,
seperti biasanya Martha berteriak sagu…. Sagu… beli sagu…. Martha terkejut
karena di depan berdiri seorang laki-laki gagah…… tentara Portugis.
Tentara itu melihat kearah Martha dan di dalam hatinya wanita ini cantik sekali.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, Martha tetap tekun dengan pekerjaannya
menjual sagu.
Suatu hari seperti biasanya Martha berjalan menjual sagu lewat depan asrama
tentara Portugis sambil berteriak… sagu… sagu…. Martha sangat terkejut karena
tiba-tiba terdengar suara dari dalam asrama… “sagu…. sagu… sagu… sini!!” Martha
cepat-cepat menghampiri suara tadi, tetapi Martha sangat takut karena dia harus
masuk ke dalam asrama.. lelaki itu mengulurkan tangannya kearah Martha. Dalam
hati Martha,, oh… dia ingin berkenalan. “saya Alfonso, nona siapa??” …saya
Martha… wah!! Kamu cantik sekali Martha… jantung Martha berdebar-debar.
Karena tidak tahan Martha bertanya, tuan panggil saya mau beli sagu kan..?? tapi
kenapa tuan tidak membelinya?? …saya ingin pergi… ”ya nona Martha sagunya
saya beli semuanya ya…”
Martha menjawab…. Iya.. iya.. setelah tuan itu membayar Martha langsung
mengucapkan terima kasih dan pamit pulang. Tentara itu berkata : “ya nona Martha
besok datang lagi ya..”
Sambil menjawab iya… iya… Martha setengah lari cepat-cepat meninggalkan
asrama tentara itu.
Alfonzo adalah komandan tentara Portugis yang bertugas di Ambon. Portugis
menjajah Indonesia dari tahun 1569-1571.
Ketika tiba di rumah Ibu Mina telah berdiri di depan pintu menunggu Martha dengan
senang hati karena Ibu Mina melihat baki telah kosong, sagu habis terjual……
Ibu Mina kaget ketika melihat wajah Martha yang sangat pucat, Ibu Mina mengelus
bahu Martha, sambil bertanya “Martha.. ada apa denganmu, nak?? Katakan pada
Ibu apa yang terjadi??” Begini bu.. tadi sewaktu saya berjualan sagu di depan
asrama tentara Portugis, ada seorang tentara yang memanggil saya katanya mau
mebeli sagu. Setelah saya menghampiri tentara itu dia tidak langsung mengambil
sagu, tetapi dia malah mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan saya. Ibu
Mina menjawab “terus…. siapa namanya??” namanya Alfonzo bu… Ibu, dia sangat
baik hati… semua sagu yang saya jual tadi dibelinya. “ohh… itukan Cuma kenalan
saja” kata Ibu Mina.
Beberapa hari kemudian Martha menjual sagu. seperti biasa dia lewat di depan
asrama sambil berteriak sagu… sagu… beli sagu atau tidak… eh,, Martha kaget..
dia tidak menyangka kalau yang berdiri di depannya adalah Alfonzo. Martha hendak
berlari meninggalkan Alfonzo namun tentara itu telah memegang baki sagu.
Alfonzo membawa masuk Martha ke dalam asrama dimana dia tinggal. Martha
berkata “jangan tuan… saya takut”, Alfonso menjawab “jangan takut Martha, saya
akan bayar semua sagu yang kamu jual”.
Kemudia Alfonzo berkata, “Martha saya ingin bersahabat dengan kamu, maukah
kamu bersahabat dengan saya?…
“Boleh tuan… boleh…” jawab Martha sambil menganggukan kepalanya. Bulan
berganti bulan, tahun berganti tahun. Martha sekarang berumur 17 tahun. Martha
dengan Alfonzo semakin dekat layaknya sepasang kekasih…. Mereka berdua diam-
diam telah bertunangan, Bapak Bram dan Ibu Mina sudah mengetahui hubungan
mereka.
Bapak Bram tidak menyetujui Martha bertunangan dengan Alfonzo. Tetapi Alfonzo
tetap berani untuk datang ke rumah dan meminta kepada Bapak Bram dan Ibu Mina
agar dia dapat menikahi Martha anak mereka. Bapak Bram berkata kepada Alfonzo
“sabar.. Martha masih muda tunggu sampai Martha berumur 19 tahun”.
Alfonzo tetap sabar menanti Martha. Martha tetap berjualan sagu seperti biasanya,
sampai di asrama Alfonzo memanggil Martha kemudian Alfonzo membeli semua
sagu yang Martha jual agar mereka berdua dapat duduk bercerita tanpa Martha
harus berjalan berkeliling menjual sagu. Sambil bercerita Martha tetap
memperhatikan jam seperti biasa dia pulang berjualan, agar tidak terlambat sampai
di rumah. Suatu hari ada kabar dari Batavia tepat tahun 1571, Portugis ditarik
mundur.
Cita-cita tinggal cita-cita tetapi nasib berkata lain tentara Portugis dari Ambon harus
ke Batavia. Kapal perang Portugis sudah berlabuh di pantai Poka tempat Ferry
sekarang ini.
Perpisahan harus terjadi antara Martha dengan Alfonzo. Mereka berdua berdiri
berpelukan. Martha manangis terseduh-seduh. Sambil memeluk Martha, Alfonzo
berkata “sabar ya…tunggu saya Martha, saya akan kembali menjemputmu sebagai
istri saya………. Tunggu saya kembali di Ambon ya Martha“ Martha hanya bisa
mengangguk-anggukan kepalanya.
Pasukan tentara satu demi satu naik ke kapal. Sekali lagi Alfonzo memeluk
Martha… kemudian Alfonzo naik ke kapal, dia naik paling akhir karena Alfonzo
adalah komandan pelaton.
Sampai di atas kapal Alfonzo berteriak “Martha tunggu saya ya”. Setelah Martha
mendengar tanda Kapal akan segera berangkat Martha mengambil sapu tangan
putih kemudian melambai-lambaikannya sambil berteriak
…Alfonzo….Alfonzo…..Alfonzo….Martha tidak tahan lagi sambil manangis Martha
meloncat ke dalam laut lalu berenang. Alfonzo melihat Martha meloncat ke laut
Alfonzo pun mengikutinya.
Kabar itu sampai kepada Bapak Bram. Bapak Bram dan Ibu Mina menunggu di tepi
pantai berharap anaknya akan segera kembali namun harapan mereka sia-sia.
Bapa Bram memanggil orang-orang untuk mencari Martha dengan mendayung
perahu. Tapi sia-sia belaka kedua kekasih itu hilang di dalam laut sampai saat ini.
Tempat mereka berdua tenggelam namanya dikenal dengan nama “Tanjung
Marthafonz” gabungan dari nama dua kekasih Martha dan alfonzo.
Sejarah Singkat Adik Dan Kakak ( ambalau dan Nusalaut) alkisah Hidup Suami Istri
Yang sangat Bahagia Mereka hidup di 1 (satu) pulau (Pulau Nusalaut Dan Ambalau
dulu Menjadi Satu) Mereka Di karuniai 2 Orang Anak Laki-laki (kakak Dan Bongso)
kedua Adik Dan Kakak ini mereka hidup saling tolong menolong,, klau yang satu lagi
kesulitan mereka saling membantu,, pada Suatu Hari Mereka Berdua Pergi Kehutan
Mereka berdua Melihat pohon Sukun yang banyak buahnya, (Pohon Sukun Ini
Beradah Antar kedua Dusun adik dan kakak ini). Lanjut Ceritanya,, pada waktu itu
Mereka Bertengkar sangat hebat'' ,, yang adik Bilang bahwa '' Ini B pung Pohon
Sukun,, Eh Sebaliknya Juga Sang Kakak
'' C bilang apa,, pohon sukun ini ada di b pung dusun jadi ini b milik'' pada waktu itu
mereka berdua bertengkar Sampai tidak ada jalan untuk menyelesaikan
permasalahaan ini,, karena pertengkaran mereka berdua tidak ada titik temunya,,
dan pda saat itu harii sudah menjelang malam,, pada waktu mereka berdua
memutuskan untuk berhenti bertengkar,, karna sudah larut malam,, akhirnya
masing'' darii mereka pun ber istirahat di masing'' rumah mereka yang mereka buat
di dusun mereka ( bagian barat adik dan bagian timur kakak dan di tengah barat dan
timur adalah pohon sukun ,, pada waktu mereka terlelap tidur ,, terjadii hal yg
sangat-sangat di luar dugaan mereka,, terjadi gempa bumi yang sangat dasyat,, dan
petir menyambar'' ,, dan darii hasil gempa bumi itu,, terjadii sesuatu hal yang sangat
dasyat juga,, pulau yang mereka tinggal itu terbelah menjadi dua bagian ,, dan
membela juga 1 pohon sukun itu menjadi 2 bagian'' (ambalau dan Nusalaut) dan
pada saat itu kedua bersaudara itu mereka kaget dan bangun dari tempat istirahat
mereka,, dan sang kakak berlarii ( 2 saudara ini yang tidur di tempat yang berbeda )
untuk memastikan bahwa adiknya apa baik'' saja,, ( pada saat gempa bumi ), tetapi
pada saat dia berlarii di tempat pohon sukun itu dia terkejut melihat bahwa adiknya
sudah tidak ada lagii,, dan alangka terkejutnya sang kakak yang melihat pohon
sukun yang terbelahh dan melihat adiknya yang melihat kakaknya darii pulau
sebelah ( pulau yang terbelah menjadi 2 bagian ) dan berkata ( kakak ee,, Kakak Ee
jang kasih tinggal b) dan sang kakak hanya melihat dan menangis darii pulau
sebelahnya sambil berkata (ade jaga diri baik''),, itu lah sepengal cerita adik dan
kakak,,
Nusalaut dan Ambalau ( biar beda agama tetap itu katong pung sodara)
NYI RORO KIDUL

Pada zaman dahulu ada sebuah kerajaan besar di Pulau Jawa. Rakyatnya hidup
makmur dan sejahtera. Kerajaan itu dipimpin dengan bijaksana oleh Prabu
Mundangwangi. Ia mempunyai permaisuri bernama Dewi Rembulan dan dikaruniai
seorang putri yaitu Dewi Kadita yang sangat cantik. Pada zaman itu seorang raja
biasanya mempunyai istri lain yang disebut selir. Demikian pula Prabu
Mundangwangi, Ia mempunyai selir yang bernama Dewi Mutiara. Ternyata Dewi
Mutiara memiliki sifat buruk karena Ia selalu merasa iri terhadap Dewi Rembulan.

Pada suatu hari Pandita Agung menghadap Prabu Mundangwangi. Ia


menyampaikan bahwa tidak lama lagi Prabu Mundangwangi akan memperoleh putra
dari selirnya, yaitu Dewi Mutiara. Prabu Mundangwangi sangat bahagia karena Ia
sudah lama menunggu lahirnya anak keturunannya.

"Meskipun puteraku lahir dari rahim seorang selir, tetapi dengan wewenangku Ia
akan kuangkat menjadi putera mahkota," kata Prabu Mundangwangi kepada Pandita
Agung. Dewi Mutiara yang diam-diam mendengarkan ucapan tersebut menyambut
dengan sangat gembira.

Ternyata ucapan Pandita Agung benar, karena tidak lama kemudian Dewi Mutiara
hamil.

Setelah tiba waktunya Ia pun melahirkan bayi laki-laki. Prabu Mundangwangi sangat
gembira menyambut kelahiran puteranya. Ia pun semakin menyayangi Dewi Mutiara,
tetapi juga tetap mencintai Dewi Rembulan dan Dewi Kadita. Ternyata hal itu
membuat Dewi Mutiara merasa iri, Ia ingin dicintai oleh Prabu Mundangwangi
seutuhnya.

"Aku harus segera menyingkirkan Dewi Rembulan dan Dewi Kadita sehingga
akhirnya akulah yang akan menjadi permaisuri raja," gumam Dewi Mutiara.

Dewi Mutiara mempersiapkan niat jahatnya dengan matang. Pada suatu malam Ia
pergi ke hutan menemui Nenek Jahil dengan ditemani oleh seorang pengawal
setianya. Nenek Jahil wajahnya sangat buruk, tubuhnya kurus tetapi tampak sehat
dan sangat gesit. Ia juga sangat sakti dan menguasai semua ilmu sihir. Dewi Mutiara
menyampaikan niat buruknya untuk mencelakai Dewi Rembulan dan Dewi Kadita.
"Baiklah, besok malam aku akan ke istana dan Iangsung ke peraduan Dewi
Rembulan dan Dewi Kadita. Jangan khawatir, keiginanmu akan segera terwujud,"
kata Nenek Jahil meyakinkan. Mendengar kesanggupan Nenek Jahil maka Dewi
Mutiara Iangsung memberi sekantong emas sebagai upah jasanya.

Pada malam yang ditentukan, Nenek Jahil memasuki lstana Prabu Mundangwangi.
Karena kekuatan sihirnya maka tak seorang pun mengetahui kedatangan Nenek
Jahil yang leluasa masuk ke peraduan Dewi Rembulan dan Dewi Kadita. Nenek
Jahil kemudian membaca mantera penenung untuk memanggil setan agar
membantu rencana jahatnya. Setelah selesai Ia membungkuk dan meniup wajah
Dewi Rembulan dan Dewi Kadita yang sedang tidur lelap.

"Wuuusshh...," hembusan angin keluar dari mulut Nenek Jahil. Setelah itu Ia
meninggalkan istana dengan tenangnya.

“Hah...., apa yang terjadi?" teriak Dewi Rembulan dan Dewi Kadita ketika bangun
tidur. Sekujur tubuh mereka dipenuhi borok dan kudis yang mengeluarkan bau
busuk.

"Oh..., apa dosa kami sehingga tubuh kami menjadi begini menjijikkan?" ratap
mereka tiada henti. Seketika seluruh penghuni istana menjadi gempar. Prabu
Mundangwangi merasa sedih, bingung, dan kesal menjadi satu. Pandita Agung dan
para tabib didatangkan untuk menyembuhkan penyakit yang menimpa permaisuri
dan anaknya. Sayang sekali tak seorang pun berhasil menyembuhkan mereka.

Karena khawatir penyakit yang menakutkan itu menular maka Prabu Mundangwangi
segera memerintahkan pengawalnya untuk mengasingkan mereka ke hutan.

"Aku tidak mau istana ini dikotori penyakit yang menular dan menjijikkan itu! Mereka
harus dibuang jauh-jauh dari istana!" perintah Prabu Mundangwangi kepada para
pengawalnya.

Akhirnya pada suatu pagi Dewi Rembulan dan Dewi Kadita dimasukkan ke dalam
dua tandu besar dan ditutup kain dengan rapat, kemudian dibawanya menuju hutan
belantara. Setibanya di hutan kedua tandu itu dibuka dan para pengawalnya
Iangsung lari meninggalkannya.
Dewi Rembulan dan Dewi Kadita baru menyadari bahwa mereka bukan dibawa
pergi untuk diobati tetapi dibuang di hutan. Dewi Kadita menangis karena tak tahan
menanggung kesedihannya.

"Anakku, janganlah menangis. Kita harus berpasrah diri kepada Sang Dewata. lni
mungkin cobaan yang harus kita terima," kata Dewi Rembulan menghibur putrinya.

Dewi Kadita berusaha membuang kesedihannya dengan berjalan menyusuri hutan.


Tak lama di hutan itu Dewi Rembulan kemudian sakit dan semakin Iemah. Akhirnya
Ia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Dewi Kadita.

Dewi Kadita sangat sedih ditinggalkan ibunya. Tubuhnya semakin kurus dan
penyakitnya semakin parah. Ia berjalan menyusuri hutan menuju arah selatan.

"Lautan!" teriaknya gembira. Ternyata Ia berada di Pantai Selatan. Tiba-tiba Ia


melihat seorang pemuda yang gagah perkasa sedang berdiri tak jauh darinya.

"Aku akan menolongmu, dan penderitaanmu akan segera berakhir," kata pemuda
itu. Dewi Kadita sangat gembira mendengar ucapannya. Ia bersedia menuruti
perintah pemuda itu demi kesembuhan penyakitnya. Tiba-tiba pemuda itu terjun ke
laut dan Dewi Kadita Iangsung mengikutinya terjun ke laut juga. Sungguh ajaib,
seketika penyakit borok dan kudisnya Iangsung hilang.

Dewi Kadita sangat gembira mengetahui ia telah sembuh dari penyakitnya dan ingin
mengucapkan terima kasih kepada pemuda itu. Anehnya pemuda itu hilang lenyap
entah ke mana. Dewi Kadita tersadar bahwa ia sudah sekian lama ada di dalam laut
tetapi tidak tenggelam. Kemudian ia melihat kedua kakinya, dan sangat terkejut
melihat apa yang terjadi terhadap dirinya.
SI RUSA DAN SI KULOMANG
Pada jaman dahulu di sebuah hutan di kepulauan Aru, hiduplah sekelompok rusa.
Mereka sangat bangga akan kemampuan larinya. Pekerjaan mereka selain
merumput, adalah menantang binatang lainnya untuk adu lari. Apabila mereka itu
dapat mengalahkannya, rusa itu akan mengambil tempat tinggal mereka.

Ditepian hutan tersebut terdapatlah sebuah pantai yang sangat indah. Disana
hiduplah siput laut yang bernama Kulomang. Siput laut terkenal sebagai binatang
yang cerdik dan sangat setia kawan. Pada suatu hari, si Rusa mendatangi si
Kulomang. Ditantangnya siput laut itu untuk adu lari hingga sampai di tanjung ke
sebelas. Taruhannya adalah pantai tempat tinggal sang siput laut.

Dalam hatinya si Rusa itu merasa yakin akan dapat mengalahkan si Kulomang.
Bukan saja jalannya sangat lambat, si Kulomang juga memanggul
cangkang.Cangkang itu biasanya lebih besar dari badannya. Ukuran yang demikian
itu disebabkan oleh karena cangkang itu adalah rumah dari siput laut. Rumah itu
berguna untuk menahan agar tidak hanyut di waktu air pasang. Dan ia berguna
untuk melindungi siput laut dari terik matahari.

Pada hari yang ditentukan si Rusa sudah mengundang kawan-kawannya untuk


menyaksikan pertandingan itu. Sedangkan si Kulomang sudah menyiapkan sepuluh
teman-temannya. Setiap ekor dari temannya ditempatkan mulai dari tanjung ke dua
hingga tanjung ke sebelas. Dia sendiri akan berada ditempat mulainya pertandingan.
Diperintahkannya agar teman-temanya menjawab setiap pertanyaan si Rusa.

Begitu pertandingan dimulai, si Rusa langsung berlari secepat-cepatnya mendahului


si Kulomang. Selang beberapa jam is sudah sampai di tanjung kedua. Nafasnya
terengah-engah. Dalam hati ia yakin bahwa si Kulomang mungkin hanya mencapai
jarak beberapa meter saja. Dengan sombongnya ia berteriak-teriak, “Kulomang,
sekarang kau ada di mana?” Temannya si Kulomang pun menjawab, “aku ada tepat
di belakangmu.” Betapa terkejutnya si Rusa, ia tidak jadi beristirahat melainkan lari
tunggang langgang.
Hal yang sama terjadi berulang kali hingga ke tanjung ke sepuluh. Memasuki tanjung
ke sebelas, si Rusa sudah kehabisan napas. Ia jatuh tersungkur dan mati. Dengan
demikian si Kulomang dapat bukan saja mengalahkan tetapi juga memperdayai si
Rusa yang congkak itu.

Anda mungkin juga menyukai