Anda di halaman 1dari 3

DIALOG TENTANG MAULID NABI MUHAMMAD SAW

WAHABI : “Mengapa Anda mengerjakan Maulid. Padahal itu bid’ah.”


ASWAJA : “Maulid itu perbuatan baik, dan setiap kebaikan diperintah oleh agama
untuk dikerjakan.”
WAHABI : “Mana dalilnya?.”
ASWAJA : “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:

َ‫َوا ْف َعلُوا ْال َخي َْر لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬


“Kerjakanlah semua kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. al-Hajj : 77).

Maulid itu termasuk kebaikan, karena isinya sedekah, mempelajari sirah Nabi SAW dan
membaca shalawat. Berarti masuk dalam keumuman perintah dalam ayat tersebut.”

WAHABI : “Itu kan DALIL UMUM. Tolong carikan dalil khusus dalam al-Qur’an yang
menganjurkan Maulid.”

ASWAJA : “Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, tolong jelaskan dalil anda
yang melarang Maulid ?”

WAHABI : “Dalil kami sangat jelas. Maulid itu termasuk bid’ah. Setiap bid’ah pasti
sesat. Rasulullah SAW bersabda: “Kullu Bid’atin Dholalah.” Setiap
bid’ah adalah sesat.”

ASWAJA : “Ah, kalau begitu dalil anda sama dengan dalil kami, sama-sama DALIL
UMUM. Yang saya minta adalah, jelaskan ayat atau hadits yang secara
khusus melarang maulid.”

Sampai sini, ternyata si Wahabi mati kutu, dan tidak bisa menjawab. Akhirnya si Aswaja
berkata: “Anda percaya kepada Syaikh Ibnu Taimiyah?”

WAHABI : “Ya tentu. Beliau itu Syaikhul Islam, ulama besar, dan inspirator dakwah
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, panutan kami kaum
Wahabi.”

ASWAJA : “Syaikh Ibnu Taimiyah, membenarkan dan menganjurkan Maulid, dalam


kitabnya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 621.” Lalu si Aswaja
menunjukkan teks asli kitab tersebut. Akhirnya si Wahabi terkejut dan
terperangah. Mukanya seketika menjadi pucat. Kitab tersebut, dia bolak
balik, ternyata penerbitnya juga orang Wahabi di Saudi Arabia.
Akhirnya ia berkata:

WAHABI : “Syaikh Ibnu Taimiyah itu manusia biasa. Bisa salah dan bisa benar.
Masalahnya Maulid ini tidak memiliki dasar agama yang dapat
dipertanggung jawabkan.”

ASWAJA : “Menurutmu, dasar agama itu apa saja?”

WAHABI : “Al-Qur’an dan Sunnah saja. Selain itu tidak ada lagi.”

ASWAJA : “Sekarang saya bertanya kepada Anda. Bagaimana hukum seorang


anak memukul orang tuanya?”

WAHABI : “Jelas haram dan dosa besar.”


ASWAJA : “Tolong jelaskan dalil al-Qur’an atau hadits yang melarang memukul
orang tua.”

WAHABI : “Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an;

ٍّ ُ ‫فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أ‬


‫ف َو ََل ت َ ْن َه ْر ُه َما‬
“Maka janganlah kamu berkata uff kepada kedua orang tua dan jangan pula
membentaknya.”

Dalam ayat tersebut, Allah melarang seorang anak berkata uff, atau berdesis terhadap
orang tua, karena jelas akan menyakiti mereka. Apabila berkata uff saja dilarang karena
menyakiti, apalagi memukul. Tentu lebih berat dalam hal menyakiti, dan keharamannya
lebih berat pula dari pada sekedar berkata uff.”

ASWAJA : “Owh, ternyata di sini Anda menggunakan dalil Qiyas. Tadi Anda
berkata, dalil itu hanya al-Qur’an dan Sunnah. Sekarang justru Anda
menggunakan dalil Qiyas. Berarti Anda mengakui Qiyas termasuk dalil,
selain al-Qur’an dan Sunnah.”

WAHABI : “Ini kan Qiyas aulawi, dalam artian hukum yang dihasilkan oleh produk
Qiyas, lebih kuat dari pada yang ditunjuk oleh teks.”

ASWAJA : “Harusnya Anda tidak membatasi dalil pada al-Qur’an dan Sunnah saja.
Tetapi juga menyebutkan Qiyas, sebagaimana dipaparkan oleh seluruh
ulama salaf. Anda tahu, bahwa menurut teori Ushul Fiqih, yang juga
diakui oleh Ibnu Taimiyah, produk hukum Qiyas aulawi, lebih kuat dari
pada hukum yang diproduk oleh teks. Dalam artian, memukul orang tua
lebih haram dan lebih besar dosanya dari pada hanya sekedar berkata
uff, karena volumenya dalam menyakiti lebih keras.”

WAHABI : “Di mana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan itu?”

ASWAJA : “Dalam kitab al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh.” Kemudian si Aswaja


menunjukkan teks pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut.
Akhirnya si Wahabi semakin senang, karena kesimpulan hukumnya
sesuai dengan kaedah yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam-nya.

WAHABI : “Terus apa hubungan pertanyaan Anda, dengan persoalan Maulid yang
kita diskusikan?”

ASWAJA : “Hukum memukul orang tua lebih haram dari pada sekedar berkata uff.
Logikanya begini, Anda tahu, mengapa umat Islam dianjurkan puasa
Asyura?”

WAHABI : “Ya saya tahu. Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan:

‫ ْال َمدِينَةَ فَ َو َج َد ْال َي ُهو َد‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َّاس – رضى هللا عنهما – قَا َل قَد َِم َر‬ ٍّ ‫عب‬ َ ‫ع ِن اب ِْن‬ َ
‫على‬ َ َ ‫سى َوبَنِى إِس َْرائِي َل‬ ْ َ َّ ْ َ ُ
َّ ‫ع ْن ذلِكَ فَقَالوا َهذا اليَ ْو ُم الذِى أظ َه َر‬
َ ‫َّللاُ فِي ِه ُمو‬ َ ُ
َ ‫سئِلوا‬ ُ َ‫ورا َء ف‬ َ ‫ش‬ ُ ‫عا‬َ ‫صو ُمونَ يَ ْو َم‬ ُ َ‫ي‬
‫ فَأ َ َم َر‬.» ‫سى ِم ْن ُك ْم‬ َ ‫ « نَحْ ُن أ َ ْولَى ِب ُمو‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ ُّ ‫ فَقَا َل النَّ ِب‬.ُ‫صو ُمهُ ت َ ْع ِظي ًما لَه‬ُ َ‫ع ْونَ فَنَحْ ُن ن‬ َ ‫ِف ْر‬
‫ص ْو ِم ِه‬
َ ِ‫ب‬.
“Dari Ibnu Abbas RA berkata:

“Rasulullah SAW datang ke Madinah, lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa


Asyura. Lalu mereka ditanya, maka mereka menjawab;

“Pada hari Asyura ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil menghadapi Fir’aun,
maka kami berpuasa pada hari tersebut karena mengagungkannya.”

Lalu Nabi SAW bersabda: “Kami lebih dekat kepada Musa dari pada kalian.” Maka Nabi
SAW memerintahkan umat Islam berpuasa.”

ASWAJA : “Nah di sinilah hubungannya dengan Maulid. Memukul orang tua tadi
Anda katakan lebih haram dari pada sekedar berkata uff. Kemenangan
Nabi Musa AS layak dirayakan dengan ibadah puasa, sedangkan
lahirnya Rasulullah Muhammad SAW jelas lebih agung dari pada
kemenangan Musa. Apabila kemenangan Musa AS layak dirayakan
dengan suatu ibadah, maka sudah barang tentu lahirnya Nabi
Muhammad SAW lebih layak dirayakan dengan acara Maulid.”

WAHABI : “Owh jadi begitu ya, maksudnya. Apakah ada ulama yang menjelaskan
pengambilan hukum Maulid dengan yang Anda sebutkan tadi dari
kalangan ulama besar?”

ASWAJA : “Ya banyak sekali, antara lain al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Hafizh al-
Suyuthi.”

WAHABI : “Tapi ada satu hal, yang saya kurang setuju dalam perayaan Maulid.
Yaitu berdiri ketika membaca Ya Nabi. Itu jelas tidak ada dasarnya.”

ASWAJA : “Anda pernah menonton orang-orang Wahabi di Saudi Arabia, ketika


membaca nasyid (syair atau lagu), secara berjamaah dan berdiri?
Kalau tidak tahu, silahkan Anda cari di Youtube, di situ banyak sekali.
Itu mengapa mereka lakukan?”

WAHABI : “Ya itu kan bernyanyi dan bersyair bersama. Kalau dengan cara duduk
kurang asyik dan kurang nikmat.”

ASWAJA : “Maulid juga begitu. Kalau menyanyikan Ya Nabi Salam sambil duduk,
dengan suara yang keras, kurang asyik juga dan kurang terasa
khidmat. Jadi hal ini tidak ada kaitannya dengan wajib atau sunnah.”

Akhirnya si Wahabi mengakui kebenaran bolehnya memperingati Maulid secara syar’i.


Alhamdulillah.

Semoga bermanfaat. Aamiin….

Dinukil: Dari kitab iqtidhous shirotul mustaqiim halaman 621 karya ibnu taimiyah.

‫اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين‬.


TETAP BANGGA & BAHAGIA MENJADI NAHDLIYIN (NU)

Anda mungkin juga menyukai