Anda di halaman 1dari 70

Original Author: Honobu Yonezawa

English Translation by manlyflower


Indonesian Translation by iNapoleon
——————————————
Jika hendak meng-copy hasil terjemahan ini, tolong lampirkan
sumber asli dan mencantumkan penerjemahnya.
——————————————

1.

Musim hujan yang panjang sudah berakhir, dan hanya satu awan berbentuk seperti daun bunga
mengambang di langit malam, yang diterangi oleh bulan sabit. Angin yang memasuki ruangan cukup
hangat, meskipun waktu malam, dan tampak seperti menyambut datangnya musim panas.
Meskipun aku menyadari lampu rumah bertaburan di kejauhan, aku terus menekan tombol organ,
mataku memindai sebuah lembar musik.

Aku menghafal catatan perkembangan dasar yang mengalir keluar dan kemudian melanjutkan
dengan perlahan-lahan menyenandungkan lagunya. Aku merasa sedikit malu ketika membayangkan
betapa panjangnya melody “la-la-la” miliku ini mungkin bawa melewati malam sunyi in, dan suaraku
menjadi melembut.

Seolah-olah tenggelam dalam suara sendiri, aku mendendangkan lagu yang sama berkali-kali.
Akhirnya, aku sudah menjadi hampir puas dengan akurasi nadaku dan mengambil napas dalam-
dalam, berniat untuk menambahkan lirik pada usaha berikutnya.

Pada saat itu, sebuah suara memanggilku dari sisi lain pintu geser.

“Eru.”

Itu adalah ayahku.

Sungguh jarang baginya untuk datang ke kamarku untuk memanggilku. Mungkin organnya, atau
mungkin senandungku, yang sudah terlalu berisik. Aku dengan takut menjawab.
“Ya?”

“Datanglah ke ruang kuil.”

Seperti biasa, suaranya serius, tapi dia tidak datang untuk marah. Aku lega, belum semua lebih
disambar betapa misteriusnya itu. Ruang kuili sering dipakai ketika ada sesuatu yang penting untuk
dibahas, tapi aku tak bisa membayangkan apa yang akan dibicarakan.

“Aku akan segera kesana.”

Suara langkah kakinya meluntur. Tampaknya latihan hari ini sudah selesai. Aku menutup penutup
organnya dan menutup jendela.

Tiba-tiba, saat aku meninggalkan kamarku, aku menjadi ragu tak menentu. Apa yang sebenarnya
yang dia ingin bicarakan? Tanpa alasan yang jelas, aku merasa ketakutan luar biasa.

....Mungkin aku bisa terus bersenandung saja?

Bahkan meskipun seperti ini melewati kepalaku sebentar.

Tentu saja aku tak bisa. Saat aku mencapai momen kebenarannya, aku entah bagaimana berhasil
menahan kegelisahanku sedikit. Aku tersenyum saat aku berpikir tentang saat aku sebelumnya panik
dan mematikan lampu di kamarku.

Di luar jendela, di mana tirai belum ditutup, awan kecil melayang di depan bulan.

2.

Setelah menyelesaikan ujian semester, hanya menunggu libur musim panas di mulai, semua siswa
SMA Kamiyama sudah diselimuti oleh suasana lesu; Ruang geografi pun tidak terkecuali. Bisa
dikatakan, tidak seperti aku bisa benar-benar mengatakan kalau suasana seperti ini bukanlah norma
sejak awal. Aku merasa kalau ini pertama kalinya sejak sekian lamanya ketika keempat anggota
berkumpul di ruang klub di waktu yang sama.
Setiap dari kami duduk di kursi manapun yang kami mau, di sebuah ruangan yang bisa muat untuk
sebuah kelas. Bisa dikatakan, itu tidak seperti setiap dari kami begitu jauh dari yang lainnya. Kami
semua cenderung duduk dengan dengan pusat.

Chitanda dan aku sedang membaca dengan tenang. Bukuku menceritakan tentang ninja, putri-putri
kerajaan dan anak-anak haram mereka; kisah mereka seluruhnya terdiri dari suksesi cepat dari
insiden besar, semua benar-benar tanpa ada kerja sastra halus atau bantalan, dengan masing-
masing bab hanya menunjukkan seseorang masuk ke beberapa jenis himpitan atau yang lainnya.
Tidak ada satu aspek pun yang sulit tentang hal itu—Sungguh bacaan yang menyenangkan. Untuk
pikiran sepertiku, seseorang yang sudah dirusak oleh tes, aku bisa mengatakan itu cocok dengan
sempurna yang tak bisa disangkal.

[T/N: himpitan disini maksudnya himpitan keadaan]

Aku tidak tahu apa yang Chitanda sedang baca. Itu buku yang besar dengan foto-foto, jadi aku
berasumsi buku itu mungkin sesuatu seperti travel guide, tapi aku tidak bisa melihat dengan baik
dari tempat aku duduk, tidak pula aku bahkan benar-benar membuat usaha untuk melakukannya,
tampaknya itu tidak begitu menarik saat Chitanda sendiri menatap termenung pada halamannya.

Ibara dan Satoshi sedang menulis dan hampir semua catatan yang terbuka dan membicarakan tentai
apa yang diketahui satu sama lain... Tapi saat aku berhenti di antara chapter yang aku baca dan
mengintip pada mereka berdua, tampaknya Ibara adalah orang yang memimpin diskusinya. Dengan
pulpen di tangannya dan ekspresi bermasalah, dia bicara.

“Ini tangannya. Masalahnya pasti pada tangannya,” dia bergumam.

Satoshi mengangguk, seolah-olah benar-benar setuju. “Aku mengerti, tangannya, huh?”

“Laki-laki ini tidak bisa menggunakan tangan kanannya… Sebenarnya, jika aku bisa menggambarnya
seperti itu sebuah hal yang berbau psikologi—dibanding yang dia tidak mau pakai—itu bisa
dipasangkan dengan foreshadow yang bagus.”

“Aku mengerti, foreshadowing, huh?”

Ternyata mereka menguraikan plot untuk manga.


Sejak Ibara keluar dari klub manga, dia belum menunjukkan cadangan berkaitan dengan
menggambar manga. Sederhananya, mungkin karena Chitanda dan aku tahu tentang karya dia, tak
ada gunanya merasa malu atau mencoba untuk menyembunyikannya. Atau mungkin berhenti Klub
Manga sudah menyebabkan sesuatu dalam dirinya berubah.

Sejak dari awal, sudah diputuskan kalau Chitanda akan mewarisi bisnis keluarganya. Dengan Ibara
juga menjadi teguh dengan passionnya, hanya Satoshi dan kebimbangan bodohku yang dibawa ke
permukaan. Sungguh situasi yang mengganggu.

...Tidak, kami berdua normal. Murid kelas 11 ini benar-benar tidak ada kepastian mengenai
pengejaran masa depan mereka—Dua gadis ini yang hanya menginginkan kemampuan tercinta
mereka—Mereka adalah orang-orang aneh.

“Itu akan baik-baik saja jika aku membuat bertanya padanya ‘Apa yang terjadi dengan tangannya?’
Tapi dia sendirian di skenario ini. Melihat pada tanganmu sendiri dan lalu meletus menjadi mencela
diri sendiri yang terasa dipaksa juga… Apa yang seharusnya aku lakukan…?”

“Aku mengerti, sendirian, huh?”

Saat dia mendengarkan dengan senyum besar, Satoshi hanya menambahkan.

“Apa yang kau lakukan saat kau sendirian?”

“Apa yang aku lakukan… um…”

Bahkan tanpa mengakui dia, Ibara menyilangkan lengannya dan melotot ke langit-langit. Akhirnya,
matanya tiba-tiba berbinar dan dia berbicara.

“Aku mengerti! Bagus Fuku-chan, itu dia! Aku sama sekali tidak harus berpikir sangat untuk itu.
Kenapa aku mencoba membuatnya menjadi begitu rumit? Semua yang harus aku lakukan adalah
membuatnya meminum kopi. Dia akan mencoba untuk memegang gelas kopinya dengan tangan
kanannya, tapi di panel selanjutnya dia menggunakan tangan kirinya. Ya, itu natural, itu adalah apa
yang aku lakukan.”

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi tampakenya dia memikirkan ide yang bagus. Ibara
menggambar beberapa goresan lebar di buku catatannya, dan kemudian menutupnya dengan
empati “Oke!”
“Apa kau sudah menyelesaikan langkah pertamanya?”

“Dari seluruh bagian. Aku masih belum bisa menggambarnya, tapi dengan ini, aku pikir aku bisa
menggambarkan dengan sederhana produknya.”

“Senang mendengarnya.”

Dan kemudian Satoshi menambahkan, “Kali ini, paling tidak beritahu aku akan jadi jenis cerita apa
itu.”

Jadi dia pada dasarnya sudah menawarkan komentar pada monolog Ibara tanpa mengetahui apa
jenis cerita itu. Aku tidak tahu apakah aku harus kecewa padanya atau kagum.

Mungkin lega setelah mengatasi rintangan itu, Ibara berbicara dengan agak kurang antusias
dibanding sebelumnya.

“Berbicara tentang kopi, sesuatu yang aneh terjadi padaku dulu.”

“Oh sungguh?”

“Aku pergi ke sebuah toko kebutuhan seni di Kiryuu, tapi...”

“Kiryuu? Kenapa kau pergi sejauh itu?!”

Walaupun Satoshi adalah orang yang mengganggu ceritanya, aku mengerti dimana dia datangnya.
Kiryuu adalah daerah paling utara di kota ini dan bahkan dengan mobil itu memakan waktu sampai
dua puluh menit untuk sampai dari SMA Kamiyama. Dari rumah Ibara, itu bisa memakan waktu satu
jam. Seharusnya paling tidak ada satu penyedia peralatan seni terdekan. Dengan sebuah ekspresi
kesal, dia merespon.

“Yeah, hal itu adalah… ada sebuah tone yang hanya bisa aku dapat di toko itu. Aku tidak terlalu
banyak memakainya, tapi begitulah keadaanya.”

“Huh, aku mengerti.”

Apa-apaan dengan sebuah tone itu? Aku kira aku paling tidak bisa bisa mengira kalau itu sesuatu
yang dipakai ketika menggambar manga. Aku tidak benar-benar tertarik dengan mengintip lagi jadi
aku memuuskan untuk kembali ke bukuku, hanya untuk memastikan kalau jam tanganku mendekati
jam 5:00. Jika aku sedang membaca chapter baru sekarang, aku tidak yakin akan bisa
menyelesaikannya sebelum gerbang sekolah tutup. Aku memutuskan untuk memutuskan
menyimpannya ketika aku pulang ke rumah dan menutup bukunya. Mungkin menyadari gerak-
gerikku, Ibaru berbalik menghadap padaku.

[T/N : Tone, di sini TL belum yakin secara pasti. Tapi yang jelas bukan suara, nada atau hal yang
berbau musik. Kemungkinan semacam karakter, corak, pola tulisan atau semacamnya yang TL belum
bisa yakin apa itu. Ga ada penjelasan dari versi englishnya.]

“Oreki, dengarlah ini, juga.”

“Aku sudah mendengarkan.”

“Oh ya? Jadi, setelah aku selesai berbelanja, aku menjadi benar-benar haus and memutuskan untuk
pergi ke kafe terdekat karena finalnya baru saja berakhir. Rupanya mereka memiliki kopi yang
sungguh bagus, jadi aku memilihnya, dan, seperti, itu memiliki rasa yang aneh. Aku penasaran
kenapa.”

“Aku membayangkan kau membeli kopi di kafe. Kau seperti Houtarou.” Satashi menahan tawa.

Ibara menggerutu menggembungkan pipinya. “Itu hanya penelitian, hanya penelitian! Hei, aku bisa
memikirkan hal yang bagus karena itu, bukan?”

“Aku tahu, aku tahu. Jadi? Kenapa rasanya aneh?”

Meskipun itu pada dasarnya kewajiban bagi Satoshi, Aku sudah pergi ke kafe beberapa kali. Itu tidak
sejauh kalau aku bisa menghargai perbedaan halus di antara berbagai jenis kopi, tapi aku setidaknya
bisa membedakan yang enak dari yang tidak. Bisa dikatakan, untuk kehidupanku, aku tidak bisa
membayangkan bagimana anehnya rasa kopi itu.

Ibara dengan acuh melambaikan tangannya di depan wajahnya. “Oh, yang dimaksud ‘rasa aneh,’
aku membicarakan tentang gulanya.”

Aku menjadi jauh lebih dan lebih bingung. Gula itu manis; itu saja tidak berubah. Satoshi terlihat
kebingungan juga, tapi dia akhirnya berkata dengan sebuah senyuman.

“Aku mengerti. Rasanya hambar, bukan?”


“…Fuku-chan, kau mengejekku, bukan.”

“Aku hanya sedikit senang.”

Ibara memelototi senyum tak peduli nya sebentar, tapi kemudian akhirnya mengeluarkan desahan
kecil. “Bukan begitu. Rasanya manis.”

“Jadi bukankah itu normal?” Satoshi dan aku tak terduga menjawab bersamaan.

Ibara membanting tinjunya di atas meja. “Kita sedang berdiskusi sekarang karena aku bilang itu tidak
normal!”

Yes ma’am.

[T/N: Oreki bernarasi pakai bahasa inggris di sini]

Ibara memelototi kami berdua seakan memastikan mulut kita yang benar-benar tertutup dan
kemudian melanjutkan. “Rasanya bukan hanya manis, itu benar-benar manis. Aku tidak pernah
memakan sesuatu seperti itu selain kopi kaleng yang terlalu manis itu, jadi aku benar-benar
terkejut.”

“Tidakkah kau memasukannya terlalu banyak?” Aku membalas, dan kemudian, seolah meminta
maaf karena tidak memberikan informasi yang cukup, dia tiba-tiba mengangguk.

“Mari kita lihat. Mulai dari awal, aku memesan set kopi dan cake . Aku memesan lemon cake dan
jujur itu tidak terlalu begitu manis, menurutku. Mereka menanyakanku jika aku mau menambahkan
gula dan susu dan aku memberitahu mereka kalau aku menginginkannya. Kopi yang di bawa
pelayannya sudah ditambakan susu, dan kemudian ada dua gula batu yang ditempatkan di saucer.
Aku mengambil satu tegukan dan aku pikir rasanya biasa, jadi aku menambahkan satu gula batu dan
merasakannya lagi dan… well… itu pada dasarnya menjadi air gula pada saat itu.”

Satoshi mengangguk pelan. “Jadi, itu gula batu, huh… Jika mereka memberimu sebuah mangkuk gula
dan sendok, aku bisa mengerti kenapa itu jadi terlalu manis; kau mungkin menambahkannya terlalu
banyak.”

“Itu cukup membuat shock untuk satu gula batu merubahnya jadi begitu manis, jadi aku tidak bisa
apa-apa selain berpikir kalai itu aneh. Aku sudah banyak memikirkannya sejak saat itu, tapi tak ada
hal lain yang aneh.”
Satoshi menyilangkan lengannya dan memiringkan kepalanya sambil berpikir. “Hmm, gula yang
terlalu manis, huh?“

“Kan? Ini aneh, bukan?”

“Iya, tapi bukan berarti aku tidak bisa berpikir alasannya kenapa.”

Ibara membungkuk ke depan. “Sungguh?”

Satoshi mengangguk dengan serius. “Ada pemanis yang seratus kali—tidak, ribuan—kali lebih manis
dibanding gula. Jika kau menambahkan mereka sebanyak yang akan kalau tambahkan seperti gula
biasaI, tentu saja kau akan mendapatkan sesuatu yang manisnya tidak wajar.”

“Hmph!” Ibara memberi sebuah dengusan tak puas dan kemudian dilanjutkan dengan ekspresi
waspada. “Benar itu rasanya sangat manis, tapi, seperti yang aku katakan sebelumnya, itu tidak
sejelek sehingga tidak bisa diminum seperti kopi kaleng bagiku. Dan terlebih lagi, pernahkah kau
melihat kafe yang memberimu pemanis yang berbentuk seperti gula batu?”

“Tidak, aku tidak pernah. Aku bahkan tidak bisa membayangkan hal seperti itu ada.”

Lalu kenapa kau tadi menyebutkannya?

“Maybe it was some kind of strong tasting sugar. Contohnya, itu memakai proses pembuatan yang
berbeda, atau mungkin itu dibuat dengan berbeda sumber*.”

[T/N: *bisa diganti jadi bahan dasar/bahan baku. Tapi TL lebih pakai sumber karena
mungkin yang dimaksud sumber adalah bahan baku yang asalnya daerah berbeda.]

Satoshi meluruskan tangannya dan membalikan kepalanya untuk melihat ke arah Chitanda.

“Hei, Chitanda-san. Apa kau punya ide?”

“Huh?” Chitanda, yang sudah linglung membaca buku, mengangkat kepalanya seolah tiba-tiba
dibawa kembali ke kenyataan dengan pertanyaan Satoshi. “Uh, tentang apa?”

Suara kami sudah cukup keras saat kami berbicara, namun ternyata tidak satu katapun sampai ke
telinganya. Dengan senyum lebar, Satoshi menjawab. “Mayaka sedang membicarakan tentang
bagaimana dia pergi ke sebuah kafe dan melakukan ini dan itu, dan bagaimana mereka membawa
keluar beberapa gula batu untuknya. Kami berpikir kalau mungkin ada sesuatu hal yang spesial yang
membuatnya lebih manis dibanding gula biasa. Bukankah kau tahu banyak tentang perbedaan jenis
makanan?”

“Oh, begitu.”

Chitanda menutup buku di tangannya dan tersenyum, tapi tiba-tiba aku merasakan
ketidaknyamanan meresahkan dari ekspresinya. Dari awal, dia adalah orang yang pendiam. Dia tidak
tersenyum lebar, marah, atau mengatakan apa-apa terus terang. Namun, bahkan setelah
memutuskan bahwa keluar, senyumnya saat ini terlihat kaku, hampir seperti senyum itu dibuat-
buat.

Chitanda menanggapi dengan suara lembut. "Sayangnya, aku tidak yakin. Kami tidak menumbukan
tebu atau sugar beet. "

[T/N: Search google sugar beet untuk lebih jelasnya]

“Aku mengerti. Aku sedang berpikir kau mungkin pernah membuatnya.”

Dia langsung menjatuhkan matanya ke bawah, hanya sedikit.

“Aku tidak tahu. Aku minta maaf.”

“Mengerti. Salahku, salahku. Maaf sudah menanyakanmu pertanyaan yang aneh. Apa hubungannya
dengan gua itu. Ini mengejutkan ini sulit dipecahkan. Aku sedikit penasaran.”

“Ya, aku ingin tahu.”

Dilihat oleh bagaimana dia menjawab, karena dia tidak bisa masuk percakapan, lagipula tampaknya
ia sedang memikirkan sesuatu yang lain.

Ibara menatapku seolah mencoba mengatakan sesuatu. Jika aku harus menebak, itu mungkin
sesuatu seperti “Tidakkah Chi-chan terlihat sedikit aneh? Apa kau tahu sesuatu?” Aku
menggelengkan kepalaku untuk memberi tanda “Aku tidak tahu.”

Percakapan tak terucapkan kami menciptakan keheningan yang canggung selama jeda diskusi.
Seolah berusaha menyelamatkan percakapan, Satoshi berbalik ke arahku dan mengajukan
pertanyaan. “Bagaimana menurutmu, Houtarou? Apa kau pikir itu gula dengan tipe spesial?”
Mendengarkan percakapannya, pikiran itu sebenarnya terlintas pikiranku pada satu titik. Aku tidak
melihat kebutuhan untuk mengatakannya selama aku tidak ditanya, tapi sekarang aku sudah
ditanya, aku tidak melihat kebutuhan untuk tetap diam tentang hal itu.

“Aku tidak berpikir ini sesulit seperti kau membuatnya.” Aku menjawab.

“Tunggu, sungguh?” Satoshi terlihat keheranan.

Di sisi lain, mata Ibara menjadi hidup. “Apa yang kau maksud? Bukankah kau mendengarkan? Aku
tidak melihat apapun selain gula batu yang normal itu.”

“Maka mungkin itu hanya gula batu biasa.”

“Apa lidahku saja yang aneh?”

“Aku pikir kau bersikeras tapi tampaknya tidak.” Aku menggaruk kepalaku. “Bukankah kau
menyebukannya sebelumnya—apa yang terjadi pada kopi yang pelayan bawa untukmu?”

Satoshi langsung menjawab. “Dia bilang kalau saucer-nya punya dua gula batu di dalamnya.”

“Benar, tapi aku tidak membicarakan tentang gula batunya.”

Ibara dan Satoshi menjadi diam saat ekspresi bingung muncul di wajah mereka. Aku melirik Chitanda
dari sudut mataku, dan sementara itu tampaknya ia mendengarkan, dia menatap kosong seolah-olah
dia tidak tahu aku baru saja mengajukan pertanyaan.

“Ibara. Kapan kau memesan kopinya, apa yang penjaga tokonya tanyakan padamu?”

“Aku sudah memberitahumu. Mereka menanyakan apa jika aku ingin susu dan gula.”

“Apa itu yang mereka tanyakan, kata demi kata?”

Ibara melihat ke bawah seolah mengingat kembali memorinya dan kemudan akhirnya
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti.”

“Aku mungkin terdengar sedikit kasar saat aku menanyakannya, maaf. Itu wajar melupakan sesuatu
seperti itu.Aku hanya berpikir kalau mungkin saja mereka bertanya, ‘Apakah anda mau kami
menambahkan susu dan gula?’”
Dia mengangguk.

“Tapi aku sudah sekali meneguknya dan kemudian menambahkan gula batunya karena kupikir itu
terlalu pahit. Itu tidak akan terjadi jika gulanya sudah di dalam sejak awal”

“Kau berpikir begitu. Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan setelah memasukan gula batunya?”

“Aku meminumnya.”

“Tidak, maksudku sebelumnya.”

“Aku memakan lemon cake, tapi...”

“Aku tidak membicarakan tentang hal itu.”

Chitanda, yang hanya mendengarkan sampai saat itu, dengan malu-malu mulai berbicara.

“Umm… Mungkin apa yang Oreki-san bicarakan itu tentang fakta kalau kamu mencampurkannya.”

Mendengarnya, Satoshi langsung bicara “Oh, itu dia!” Dia berbalik pada Ibara dan melanjutkannya
dengan antusias. “Itu benar. Kopi yang Mayaka minum sudah memiliki gula di dalamnya sejak dari
awal, tapi masalahnya gulanya tenggelam di dalam, jadi kau tidak merasakan rasa manisnya. Setelah
kau mencapurkan gula batu ke dalamnya—”

Ibara juga berteriak saat menyadarinya. “Aku mengerti. Itu punya potensi dua gula batu tercampur
ke dalamnya sekaligus.”

“Ya, tampaknya begitu. Sepertinya kejadiannya memang begitu.”

Setelah mengatakannya, Satoshi dengan kepuasaan dalam dan kemudian berbalik ke arahku dengan
sebuah senyuman padaku.

“Aku akan mengatakan, kau seperti detektif, bukan?”

Ini tidak seperti aku mengatakan sesuatu yang jenius … Ini mungkin bisa saja keberuntungan karena
kesalahan memori dari pihak yang terlibat—Ibara.
Tapi, Ibara, di sisi lain, dengan ragu menjawab: “Ya… Aku rasa itu cukup beralasan,tapi… ingatanku
sedikit buram; aku punya perasaan kalau aku tidak bisa bilang 100% kalau itu adalah jawabannya.
Aku merasa mungkin aku harus pegi kesana lagi untuk memastikannya.”

Menimbang bahwa kafenya berada di sebelah toko perlengkapan seni yang ia sering kunjungi, ia
mungkin akan memiliki kesempatan untuk pergi lagi nantu. Bagaimanapun, tidak ada lagi yang bisa
kami lakukan dengan informasi yang kami punya. Berpikir ini adalah tentang waktu untuk pulang,
aku mulai berkemas.

Pada saat itu, Satoshi berteriak. “Mari kesana untuk memastikannya!”

Saat aku mulai berharap mereka berdua beruntung pada perjalanan mereka ...

“Lagipula kita harus mulai mengerjakan antologinya,” dia melanjutkan.

“Itu benar. Kau punya ide yang bagus.”

“Benarkan?”

Dalam rangka untuk mempersiapkan festival budaya akhirnya, kami sebenarnya tidak perlu
melakukan perjalanan sepanjang jalan di luar kota; tinggal di sekolah akan cukup. Pada saat yang
sama, bagaimanapun, perjalanan ke sebuah kafe untuk menyelesaikan misteri di balik gula yang
terlalu manis belum tentu menjadi ide yang buruk. Aku menahan diri untuk bereaksi.

Semua yang aku katakan adalah, “Ini akan terlalu terlambat jika kita pergi sekarang.”

Jam di dinding menunjukkan pukul 5:40.

“Benar. Kalau begitu besok“—dia berhenti—”Sebenarnya aku sibuk. Aku punya urusan di OSIS.”

Besok adalah upacara akhir semester. Menjadi anggota OSIS, Satoshi sepertinya punya sesuatu yang
harus dilakukan.

“Bagaimana kalau lusa?”

Bukan berarti aku peduli, tapi melakukan pekerjaan persiapan pada hari pertama liburan musim
panas akan cukup rajin dari kami. Ibara tampaknya tidak memiliki keberatan jua. Sama seperti yang
aku diasumsikan itu akan menjadi kesepakatan, Chitanda berbicara dengan suara kecil yang hampir
seperti bisikan.

“Maaf.Aku akan sibuk hari itu.”

Wajah Ibara tiba-tiba berubah. “Ah, benar. Aku lupa.”

Tidak Satoshi ataupun aku mengatakan sesuatu, tapi kaku, suasana kedap tiba-tiba menyalip
ruangan. Ibara menghadap kami yang kemudian melanjutkan.

“Penampilan Chi-chan di choir festival,” dia bilang.

“Jadi begitu. Aku rasa hari itu tidak bisa.”

tampak yakin, tapi aku satu-satunya yang bingung. Sekolah ini telah tergesa-gesa mengadakan acara
setelah acara, dimulai dengan festival budaya, tapi aku tidak pernah pernah mendengar festival
paduan suara.

Satoshi mengangguk, tampak yakin, tapi aku satu-satunya yang bingung. Sekolah ini telah tergesa-
gesa mengadakan acara setelah acara, dimulai dengan festival budaya, tapi aku tidak pernah pernah
mendengar festival paduan suara.

Mereka mengadakan sesuatu seperti itu selama liburan musim panas? Apakah mereka
mengadakannya di gedung olahraga?

“Mereka mengadakan sesuatu seperti itu selama liburan musim panas? Apakah mereka
mengadakannya di gedung olahraga?

Aku mendapatkan dua tatapan dingin sebagai balasannya.

“Tentu saja tidak.”

“Itu adalah event yang diadakan oleh kota.”


Jadi itu bukan kegiatan sekolah. Aku rasa itu masuk akal; tidak peduli berapa banyak aku
mengalihkan pandanganku dari energi di sekolahini, tidak mungkin aku akan pergi tanpa mengetahui
sebuah acara ada. Sungguh lega.

“Festival itu disebut Ejima Choir Festival, dinamai berdasarkan Sandou Ejima, seorang komposer
terkenal dari kota Kamiyama. Mereka mengadakannya tiap tahun kali ini. Kelompok paduan suara
datang dari tidak hanya kota Kamiyama, tapi kota sebelah juga. Mereka menyanyikan segala macam
karya paduan suara, bukan hanya mereka yang ditulis Sandou.”

“Tidak pernah mendengar dia sebelumnya.”

Topik semacam ini adalah daerah Satoshi keahlian. Dia tampak menyadari hal ini sendiri.

“Dia adalah seorang penulis sajak di majalah anak-anak di zaman Taisho, ‘Red Candle.’ Dia menulis
bersama Hakushuu Kitahara, Yaso Saijou, dan Ujou Noguchi. Bersama-sama, Mereka dijuluki empat
raja lagu anak-anak‘“

‘Raja’ yang terakhir itu tidak disangkal lagi dibuat oleh Satoshi.

“Aku diundang Chi-chan untuk ikut, jadi aku pergi untuk latihan sekali; tapi sekarang aku ingin
mengerjakan manga-ku…” Ibara menyebutkannya dengan agak menyesal. Ketika dia mengatakan itu
padaku, itu mungkin sebagian ditujukan pada Chitanda juga, meskipun dia tidak mengatakan apa
pun. Lagipula Chitanda mungkin tidak menyadari bahwa Ibara sedang berbicara tentang dia.

Klub Sastra Klasik tentu saja hanya satu dari banyak kegiatan di Kamiyama SMA, dan di luar hal-hal
yang teman sekelas dan siswa pada tahun yang sama lakukan dengan satu sama lain secara alami,
tidak ada yang lain menghubungkan kami. Aku tidak tahu setiap hal yang terjadi di luar sekolah, dan
aku tidak berpikir itu penting untuk mengetahuinya. Itu karena mentalitas ini bahwa pemikiran
Chitanda dan Ibara tampil bersama dalam paduan suara hanya datang sebagai kejutan ringan.

Satoshi meletakan tangannya ke belakang kepalanya. “Baiklah, mari putuskan ketika kita harus
bertemu lain waktu. Kita bisa membicarakannya lewat telepon.”

Meskipun ia mengatakannya ini acuh tak acuh, pada dasarnya dia mengatakan ia akan mengurusnya
sendiri. Dia benar-benar tipe orang yang mengambil lebih banyak pekerjaan daripada orang lain dan
melakukannya tanpa kesombongan dan basa-basi; Aku benar-benar menghormatinya untuk itu.
“Ya, sepertinya itu baik-baik saja.”

Dengan jawaban Chitanda, tampaknya kegiatan setidaknya saat ini sudah berakhir. Hari-hari yang
panjang di musim panas saat ini; meskipun sudah mendekati 06:00, tidak ada tanda dari langit
malam.

Aku memasukan novelku ke dalam tas dan berdiri. “Baiklah, aku akan pergi sekarang.”

“Oh ya, sampai jumpa.”

Aku tidak berniat untuk mengintip, tapi saat aku meninggalkan ruang klub, aku menangkap
gambaran buku yang Chitanda baca. Itu mungkin hanya imajinasiku, tapi itu tampaknya sesuatu yang
menjelaskan tentang career guide.

3.

Di hari pertama libur musim panas, aku membuatkan diriku sendiri mie goreng.

Mungkin karena awan yang tak menyenangkan menyenangkan bersembunyi di langit sepanjang
sore, tampak seolah-olah mereka akan membawa hujan setiap saat, agak dingin keluar saat
mendekati waktu makan siang meskipun musim panas baru saja dimulai. Aku tidak bisa benar-benar
mengatakan ini adalah hari yang sempurna untuk mie dingin, tapi aku tidak bisa benar-benar
mengubah menu karena mienya akan basi hari ini.

Aku mencampurkan sejumlah vinegar, saus kacang, gua, minyak wijen, dan mirin bersama dan lalu
memasaknya dan mengguyukan ke mienya. Topping yang aku pilih adalah tomat, daging babi, da
sebuah telur mata sapi yang aku secara tidak sengaja lupa angkat dan membuatnya gosong sedikit.
Aku memotong tomatanya menjadi beberapa potongan dan memotorng daging babi dan telurnya
menjadi potongan tipis. Aku tidak bisa tidak peduli dengan sajiannya, jadi aku mengeringkan mienya,
menaruhnya ke atas piring, dan lalu meletakan topping di atasnya. Terakhir, aku dengan cepat
menuangkan sausnya dan menambahkan sentuhan akhir: sejumlah mustard di tepi piringnya.

Aku membawa piringnya dari dapur ke ruang keluarga dan menyiapkan sumpit dan teh barley;
dengan begitu, persiapannya sudah selesai. Saat aku mempersiapkan diriku untuk menikmati
hidangannya, mengambil dengan sumpit di tangan, telepon mulai berdering.
Aku dengan keras kepala mengabaikannya saat itu terus berdering dan melihat pada jam yang
menempel di dinding. Sementara aku sudah siap untuk terganggu kalau mereka akan menelpon
tepat di tengah jam makan siang, itu sudah jam 2.30 siang. Karena matahari sudah mulai bersinar di
sore hari, aku mengambil cucian untuk dijemur; itu pasti memakan waktu lebih lama dari
perkiraanku. Aku tidak bisa benar-benar mengklaim kalau penelpon itu tidak punya akal sehat. Aku
menatap mie goreng di depanku. Mungkin aku seharusnya berterima kasih kalau aku memilih
masakan mie yang tidak akan basi. Aku berdiri, bergoyang ke depan dan ke belakang dan
mengangkat telponnya.

“Ya?” Aku menjawab dengan suara yang tidak bisa kau salahkan karena merasa jengkel seperti itu.

“Halo, namaku Ibara. Apa Oreki-san sedang di rumah?”

Sebanyak aku ingin memberitahunya kalau dia tidak ada, suaranya terasa tegang, jadi aku tidak bisa
membiarkan diriku untuk bercanda.

“Ibara?”

“Oh, Oreki. Syukurlah. What the heck was up with that deep voice just now?”

“Aku baru saja mau makan siang.”

“Ah, maaf sudah mengganggu. Kalau begitu, tak usah peduli dengan—”

Fakta bahwa dia menelponku pasti berarti sesuatu sudah terjadi. Aku tidak punya pilihan selain
membiarkan mie gorengnya sedikit lebih lama.

“Tak apa. Ada apa?”

“Sebenarnya…”

Aku merasa seperti aku bisa mendengar keraguan dari telponnya. Dia akhirnya bertanya.

“Apa kau tau tempat-tempat yang mungkin Chi-chan pergi?”

Aku memindahkan gagang teleponnya ke tanganku yang lain.

“…Kenapa kau menanyakannya padaku?”


Jawabannya terdengar sangat kasar.

“Aku memikirkan semua orang yang aku pikirkan. Kau adalah orang yang terakhir.”

“Aku mengerti.”

Aku ingin menanyakannya apa yang sudah terjadi, tapi aku bisa bilang punggungnya menempel di
dinding. Penjelasannya bisabisa menunggu sampai nanti.

[T/N : Entah ini idiom atau bukan, tapi TL rasa ini bukan idiom]

“Dugaan pertamaku mungkin dia berada di sekolah.”

“Yeah.”

“Setelah itu mungkin di perpustakaan. Ada tempat di dekat SMP Kaburaya—yang apa sih namanya—
kafe yang kita pergi bersama Ohinata. Juga Pineapple Sand, walaupun tempatnya sudah pindah.”

Aku terus memberitahu Ibara nama-nama tempat yang Chitanda mungkin pergi.. Pada akhirnya,
bagaimanapun, dugaan terbaikku itu perpustakaan. Bahkan aku menyadari kalau kemungkinan dia
pergi ke kafe sendirian sangat tipis.

“Mengerti, makasih. Aku tidak berpikir tentang perpustakaan. Fuku-chan sedang mengerjakan
urusan komite di sekolah, jadi aku memintanya untuk mencarinya, tapi dia bilang sepatu Chi-chan
tidak ada.”

“Aku mengerti… Apa sesuatu sudah terjadi?”Aku bertanya, dan teringat apa yang kita bicarakan
sebelumnya, “Bukankah hari ini festival paduan suara? Chitanda tidak muncul?”

“Tidak, belum.”

Jadi itu alasan kenapa dia terburu-buru.

“Dia tampil jam 6.00, jadi kami masih punya waktu, tapi dia tidak bisa ditemukan di manapun.”

Setelah aku mendengar dia mengatakan jam 6.00, entah kenapa aku merasa tenagaku meninggalkan
tubuhku.

“Tak mungkinkah dia sedang tidur?”


“Dia tidak sepertimu.”

“Benar, aku sudah telat melakukan ini dan itu, tapi aku tidak pernah sekalipun tidur lewat dari
alarmku. Lupakan, itu bukan masalahnya. Bukankah itu berarti kau hanya harus menunda
persiapannya sebentar?”

Dia menjawab dengan rasa jengkel yang jelas dalam suaranya: “Bukan begitu. Ada wanita tua yang
mengendarai bus yang sama dengan Chi-chan dari Jinde, dimana dia tinggal, ke pusat budaya.”

Aku rasa festival paduan suaranya akan diadakan di pusat buda kota. Aku bisa bersepeda ke sana
dari rumahku sekitar 10 menit.

“Jadi kemudian dia menghilang setelah sampai di pusat budaya, huh. Melihat kau bahkan sampai
menelponku, aku rasa itu berarti kau sudah mencari-carinya seluruh gedung.”

“Beberapa kalipun. Dia tidak ditemukan di manapun.”

Aku mengganti lenganku sekali lagi.

“Haruskah aku khawatir?”

“Aku tidak tahu. Aku merasa dia akan datang tepat waktu, tapi ketua paduan suaranya khawatir dan
memintaku untuk menelpon yang tahu tentang dia.”

“Ini mungkin terlambat untuk menanyakannya, tapi kenapa kau berada di sana?”

“Bukankah aku bilang padamu aku pernah ikut latihan sekali? Aku hanya berpikir aku akan datang
untuk membantu selama itu hanya untuk satu hari..”

Jadi begitu. “Aku mengerti. Well, pada saat ini, dia belum muncul di sini.”

Aku sudah mengatakannya sebagai candaan, berharap itu akan membantu menenangkan Ibara
sedikit karena dia tampak tegang, tapi dengan dingin dia membalas: “Aku tidak berpikir dia pergi ke
rumahmu.”

“Jadi begitu.”

“…Well, ngomong-ngomong makasih. Aku menutup telponnya sekarang.”


“Sama-sama.”

Telponnya terputus. Aku memasang gagangnya kembali dan kembali ke mie gorengku.

Ada satu keuntungan besar yang tidak dimiliki soba normal: aku tidak perlu menghangatkannya . Aku
bisa memakannya dalam waktu singkat yang kuinginkan.

Pusat Kebudayaan Kota Kamiyama adalah bangunan setinggi empat lantai yang ditutupi ubin merah
yang menyerupai batu bata; yang terpisah jadi dua area, satu aula besar dan satu aula kecil,
keduanya memberikan kesan yang megah. Aku tidak tahu berapa banyak orang yang bisa ditampung
awalnya, tapi melihat ke papan informasi. Aula besar bisa menampung sekitar 1200 orang dan yang
kecil bisa menampung 400 orang. Papan nama yang bertuliskan “Festival Paduan Suara Ejima”
berdiri pada marmer atrium hitam di luar pintu masuk dengan jumlah orang yang berjalan.

Festival paduan suaranya sendiri tampaknya dimulai jam 2:00. Fakta bahwa masih ada empat jam
lebih sebelum Chitanda tampil di panggung adalah sebuah bukti jumlah kelompok yang sudah pasti
berpartisipasi. Atau mungkin ada segmen siang dan segmen sore. Yang manapun, tidak ada yang
tertulis di papan nama yang mengungkapkan jawabannya padaku.

Aku pergi ke konter informasi dan mulai berbica pada petugas yang memakai seragam biru muda.

“Um…”

Petugasnya adalah seorang wanita yang, bahkan setelah melihat aku seorang pelajar, menahan
keceriaannya, bersikap sopan.

“Ya. Adakah yang bisaku bantu?”

Pada saat itu, aku tiba-tiba menyadari sesuatu. Aku tidak tahu nama kelompok paduan suara yang
Chitanda ikuti. Aku pikir jika aku pergi ke ruang tunggu kelompoknya aku bisa bertemu dengan Ibara,
tapi karena ini aku tidak punya cara untuk bertanya.

“Um…” Keceriaan sikap petugas berubah menjadi kebingungan.


“Oh, maaf.”

Aku berpikir sejenak tentang bagaimana aku membangun pertanyaanku.

Ah! Aku rasa tidak perlu untuk khawatir.

“Bisakah anda memberitahuku di mana ruang tunggu untuk kelompok yang tampil jam 6:00?”

Petugasnya tersenyum cerah padaku kemudian mulai mencarinya lewat beberapa berkas di
tangannya.

“Pada jam 6:00 adalah Paduan Suara Campuran Kamiyama. Ruangan mereka di A7, di lantai kedua.”

Seperti yang kuduga, itu nama yang terlalu dipaksa. Aku berterima kasih padanya dan segera pergi
ke lantai kedua.

Dengan cepat aku menemukan tujuanku: ruang tunggu A7. Dinilai dari ruang diantara pintu menuju
ke ruangan sebelah, ruang di dalam mungkin sekitar 20 meter persegi. Pintunya berwarna sedikit
putih, hampir abu, dan dibuat dari logam. Di atasnya, terpampang oleh sepotong selotip, kertas
printer bertuliskan “Paduan Suara Campuran Kamiyama.” Logamnya terlihat seolah akan berdegung
seperti sebuah gong jika diketuk, jadi aku melewatinya dan membukanya.

Orang dalam yang melihat ke arahku seolah jika seseorang menjentikan jari di wajahnya mereka.
Saat dia menyadari akulah yang masuk, matanya melebar terkejut.

“Hei.” Aku mengangkat tanganku saat aku masuk ke dalam.

Saat aku melakukannya, kakiku menginjak sebuah payung yang disandarikan di sebelah pintu. Itu
terlihat sedikit goyang, dan, bahkan walaupun aku tidak berpikir aku memberi tenaga padanya, itu
akan jatuh. Payungnya yang disandarkan itu berguling ke karpet.

“Whoops.”

“Apa yang kau lakukan?!”


Itu seharusnya menjadi sesuatu di sepanjang kalimat "bala bantuan yang pemberani telah tiba," tapi
akhirnya aku mengalami langkah awal yang mengerikan.. Seorang wanita tua duduk di kursi lipat
terdekat folding chair nearby dan berkata, “Oh ara,” dan berdiri. Aku rasa itu payungnya.

“Maaf.” Aku meminta maaf sambil mengembalikan payungnya seperti semula. Tanganku menjadi
basah, jadi aku mengeluarkan sapu tangan dari kantungku dan mengusapnya.

“Tidak, aku yang seharusnya yang minta maaf.”

Wanita tua itu hanya mengatakan ini saat dia kembali duduk. Dia memakai jaket dan rok hitam,
mengenang pakaian berkabung, dan cara dia duduk tegak meninggalkan kesan yang kuat.

Ruang tunggu A7 ternyata sebesar yang aku aku bayangkan di aula, tapi ruangannya ternyata jarang,
memberikannya perasaan sepi. Selain dari sepuluh atau lebih kursi lipat yang ada di ruangan itu,
hanya ada satu meja yang berjajar di samping dinding yang berbatasan dengan lorong–tidak lebih.
Meja itu digunakan untuk menyimpan barang-barang pribadi; di atasnya terdapat deretan tas. Di
sepanjang dinding lainnya ada beberapa kursi lipat saling bertopang dalam posisi tertutup. Mungkin
karena penampilannya masih sedikit lama, hanya Ibara dan wanita tua yang berada di dalam
ruangan. Ibara melompat dan mendekatiku. Seakan memaafkanku karena kecelakaan payung
sebelumnya, hal pertama yang dia katakan : “Kau datang. Thanks.”

Walaupun kami sudah mendiskusikan ini lewat telepon, aku hanya bisa berpikir tentang betapa
mengganggunya aku. Apa aku seceroboh ini hingga melekatkan diriku pada masalah yang tidak ada
hubungannya dengan sekolah? Namun, yah, aku pikir itu akan terlalu tak berperasaan untuk terus
menarik untaian mie goreng saat mengetahui kalau yang menyusahkan seperti ini sedang terjadi
begitu dekat. Untuk beberapa alasan, aku mengalihkan pandanganku dari tatapan Ibara dan melihat
ke sekeliling ruangan.

“Tampaknya Chitanda masih menghilang.”

“Benar. Dia juga tidak punya HP…”

“Kapan dia seharusnya berada di sini?” Saat aku mengatakannya, aku melirik jam tanganku sekilas.
Ini sudah hampir jam 3:30.

“1:00.”
“Itu sedikit lebih awal, bukan?”

“Perwakilan kelompok paduan suara harus naik panggung saat konser dimulai jam 2:00. Chi-chan
yang seharusnya ke sana.”

“Ada event pembuka, huh? Jadi penampilan dia yang sebenarnya jam 6:00. Sudahkah anggota yang
lain sampai?”

“Semua orang yang akan tampil pada siang hari tampil tepat waktu—mereka sekarang sedang
mendengarkan nyanyian kelompok yang lain. Para anggota yang bergabung dengan kami di sore
nanti diharuskan datang sekitar jam 5:00.”

Jika begitu keadaannya, bahkan jika Chitanda tidak muncul jam 5:00, seharusnya tidak akan ada efek
besar di seluruh grupnya. Itu sedikit melegakan, tapi fakta kalau Chitanda tiba-tiba menghilang
setelah sampai di tempat tanpa memberitahu seorangpun bukanlah masalah kecil.

Aku sedikit khawatir tentang apakah aku harus atau tidak memberitahunya apa yang ada di
pikiranku, tapi mempertimbangkan Ibara tampak sangat gelisah, aku harus bertanya.

“Apa kalian benar-benar butuh Chitanda?”

“Apa?”

“Di paduan suara, banyak orang yang beryanyi, bukan? Tentu saja itu tidak ideal, tapi kehilangan
satu orang seharusnya tidak membuat banyak masalah, bukan?”

Ibara menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa.”

“Kenapa tidak? Apa orang tuanya datang atau semacamnya?”

“Mereka mungkin datang, tapi bukan itu masalahnya… Chi-chan bermain solo.”

Astaga. Aku melihat pada plafon.

Aku tidak tahu lagi jenis apa yang mereka nyanyikan, tapi orang yang bernyanyi solo adalah
bintangnya. Fakta kalau dia menghilang bukanlah bahan tawaan. Saat Ibara mungkin benar-benar
khawatir dengan keadaan Chitanda, anggota paduan suara yang lain tampaknya gelisah kalau
mereka bahkan tidak bisa naik ke panggung sama sekali.
Demi menyingkirkan suasana negatif, aku mencoba menanyakan sebuah pertanyaan.

“Apa informasi lain yang kau punya mengenai kemungkinan dia pergi?”

Ibara mengeluarkan buku catatan kecil yang terlihat bisa pas di tangannya. Dia me She rifled through
the pages as she answered.

“Juumonji-san memberitahuku dia tidak datang ke tempatnya. Selain sekolaj, dia memberitahuku
Taman Istana dan Toko Buku Kobundo. Irisu-senpai menyebut toko pakaian yang disebut Houki-ya
dan Kuil Arekusu.”

Aku menggaruk kepalaku.

“Aku tidak tahu tentang Houki-ya, tapi yang lain benar-benar jauh. Jika dia ke sini dengan bus, Dia
mungkin akan harus berjalan. Semua tempat itu akan mengambil jalan yang terlalu jauh untuk
berjalan.”

“Aku pikir dia bisa jika dia benar-benar menginginkannya, tapi aku tidak bisa membayangkan dia
akan melakukannya.”

“Stasiun kereta masih dalam jarak untuk berjalan,jadi kau bilang dia bisa mengambil bus berbeda di
terminal bus di depan stasiun, huh.”

“Tapi akankah dia melakukannya?”

Aku tidak berpikir itu terjadi… Tentu saja jika itu dalam situasi normal. Ada pertanyaan mendasar
mengenai semua ini.

“Hei,apa Chitanda pergi ke suatu tempat karena keinginannya sendiri? atau, aku benci mengatakan
ini, apa kau pikir dia terluka karena suatu insiden?”

“Jangan bertanya sesuatu yang mengerikan…”

Suaranya sangat lemah.

“Mana mungkin aku bisa menjawabnya. Aku tidak tahu.”

Seperti yang diduga. Aku terus menggaruk kepalaku.


Pegangan di pintu berbelok dengan suara berdengung, dan pintu itu sendiri terbuka tak lama
setelahnya. Ibara dan aku berbalik menghadap pintu masuk, tapi orang yang berdiri di sana bukanlah
Chitanda; melainkan, seorang wanita yang berusia sekitar empat puluhan yang masuk. Dia
mengenakan jaket krem dan di rambutnya terdapat hiasan yang bersinar dari permata, atau
mungkin sepotong kaca yang dibuat dengan baik. Dia kemungkinan anggota kelompok paduan
suara.

“Danbayashi-san,” panggil Ibara.

Wanita yang bernama Danbayashi memakai ekspresi kaku saat dia berjalan ke arah kami dan
menanyakan pertanyaannya.

“Well? Apa dia di sini?”

“Tidak.”

“Aku mengerti. Ini tidak baik.”

Alisnya berkerut saat dia menggumamkan hal ini, dan kemudian dia terus berbicara dengan Ibara
seolah tiba-tiba menyadariku.

“Dan ini…?”

“Ah, ini Oreki-kun. Kami satu klub. Dia datang untuk membantu mencarinya.”

Mendengar dia memanggilku "Oreki-kun" tidak membuatku merasa sedikit lebih nyaman. Saat aku
memikirkan itu, Ibara menoleh menatapku.

“Aku bisa mengganggap bahwa itulah yang kau lakukan di sini, benar?”

Meskipun ini adalah awal liburan musim panas, aku tidak datang ke sini untuk bermain-main, seperti
yang akan diduga. Saat aku mengangguk, Danbayashi-san mengajukan sebuah pertanyaan.

“Apakah kau tahu sesuatu?”

Bingung, aku menjawab: "Tidak, tidak saat ini."

Dia mendesah dalam, hampir seolah melakukannya dengan sengaja.


“Aku mengerti…”

Ekspresinya dan suaranya sekali lagi mulai mengeluarkan kekesalan saat dia melanjutkan.

“Aku tahu tekanannya menimpanya, tapi memikirkan bahkan dia tdak muncul hari ini. Aku
bersumpah, ini tidak bisa dipercaya.”

“Bagaimana jika dia hanya ingin pikirannya tenang?”

“Kalau begitu, seharusnya dia memberi tahu seseorang. Tidak peduli betapa gugupnya dia,
menghilang tanpa mengatakan kepada siapapun adalah tindakan tidak bertanggung jawab.”

Mengingat penampilan mereka dijadwalkan pada pukul 6:00, aku pikir mungkin dia terlalu bereaksi
berlebihan, tapi pada saat yang sama, aku kira wajar jika dia kebingungan saat penyanyi solonya
menghilang.

Namun, aku tidak bisa jujur setuju dengan teorinya tentang Chitanda yang hilang karena tekanan. Itu
bukan seperti aku pikir dia bukan tipe yang gugup; Kapan pun dia mendapati dirinya berbicara di
radio sekolah, dia selalu merasa takut kaku. Meski begitu, ia selalu berhasil melakukan apa yang
perlu dilakukan. Jadi, terutama dalam situasi ini, aku merasa sulit membayangkan kalau dia tidak
mampu mengatasi stresnya. Jika dia, sebenarnya, bukan di sini dengan keputusannya sendiri,
alasannya kemungkinan tidak terkait dengan tekanan mendapat bagian sebagai solo.

“Aku rasa kami harus mencoba menelpon rumahnya.”

Danbayashi-san bergumam dengan tangannya menutupi bibirnya. Pada saat itu, wanita tua yang
duduk di kursi lipat di dekatnya mulai berbicara.

“Kau tak perlu khawatir; Aku percaya dia akan datang.”

“Apa mengerti yang anda katakan, Yokote-san, tapi aku tidak bisa apa-apa selain merasa gelisah
tentang hal ini.”

Meski Danbayashi-san jelas kehilangan kesabarannya, wanita bernama Yokote tidak pernah
kehilangan nada lembutnya.

“Banyak hal terjadi pada masa muda - banyak hal yang beruntung. Kau harus memberinya satu jam
lagi tanpa menghukumnya.”
“Hal itu lagi… Bukankah kau sudah mengatakan hal yang sama sebelumnya?”

“Yah, aku rasa iya.”

Yokote-san tetap tenang, jadi mungkin malu dengan penampilannya yang kacau, Danbayashi-san
mengalihkan pandangannya.

“…Cukup benar, kami masih punya sedikit waktu. Baik. Kami akan menunggu sedikit lebih lama lagi.”

Dia kemudian meninggalkan ruang tunggu segera setelah mengatakan ini, bahkan tidak melirik Ibara
dan aku di jalan keluar. Mendengar pintu tertutup rapat, aku ditanya sebuah pertanyaan, masih agak
tercengang.

“Jadi, siapa yang barusan?”

“Danbayashi-san. Dia bagian dari anggota paduan suara… Bagaimana aku menjelaskannya?
Manajer?”

“Jadi dia ketuanya?”

“Dia bukan yang memimpin, atau kepala kelompoknya. Umm, dia yang mengarahkan kelompoknya.”

Aku pikir aku mendapatkan intinya. Kau terkadang bertemu orang seperti itu.

“Dia menyebutkan sesuatu tentang 'sebelumnya'. Apa dia selalu seperti itu?”

Ibara merengut dan menjawab, “Yeah, selalu.”

Aku melirik Yokote-san. Jika semua anggota lainnya pergi ke aula, maka aku kira dia punya alasan
untuk tetap di sini, duduk sendirian di kursi lipatnya. Sebuah pikiran lain yang mengganjalkanku, jadi
aku memutuskan untuk bertanya.

“Hey, Ibara, kau bilang kalau ada seorang wanita yang satu bis dengan Chitanda dari Jinde, bukan?
Apa itu dia?”

“Ah benar: Yokote-san.”


Seperti yang aku pikirkan. Meskipun aku tidak bisa memastikan karena Jinde adalah sebuah distrik
besar, ada kemungkinan kuat kalau Yokote-san tinggal dekat Chitanda; Mereka bahkan mungkin
sudah saling mengenal sebelum festival berlangsung. Lindungannya untuk Chitanda ke Danbayashi-
san memberi kepercayaan lebih jauh pada teori itu.

Mungkin tak bisa diam, Ibara mulai berbalik.

“Aku akan mencari di sekitar gedung lagi.”

“Aku akan mencari juga sedikit.”

“Makasih.”

Dia bergegas pergi dan meninggalkan kami berdua —Yokote-san and aku—sendirian di ruangan.

Karena Chitanda sudah menghilang sesaat setelah sampai di pusat kebudayaan, wanita yang berada
di sampingku mungkin adalah orang terakhir yang melihatnya. Mencari Chitanda dengan berjalan
kaki baik dan bagus, tapi di tempat kami berdiri saat ini, tidak mungkin menebak ke mana dia
mungkin pergi. Kupikir sebaiknya aku mencari dari Yokote-san apa pun yang bisa.

“Um, permisi,” Aku memulai.

Dia menempatkan tangannya ke pahanya dan memiringkan kepalanya sedikit dengan rasa
penasaran.“Ya?”

“Aku mendengar anda mengendarai bus yang sama dengan Chitanda…-san. Aku mencoba mencari
ide untuk menemukannya; maukah anda memberitahuku sesuatu yang mungkin anda sadari?”

“Oh ara, kamu…”

Tanpa mengakui pertanyaanku, dia melihat pada wajahku kemudian tiba-tiba tersenyum.

“Kupikir aku mengenali dari suatu tempat! Kau adalah anak muda yang memegang payung anak
perempuan Chitanda di Festival Boneka tahun ini. Kau melakukan pekerjaan yang luar biasa!”

Ya, itu memang terjadi. Mengingat dia adalah penduduk Jinde, masuk akal jika dia melihat festival
ini. Well, dia mengenali wajahku hanya akan bermain dengan keuntunganku.
“Terima kasih banyak. Jadi? Bagaimana tingkah Chitanda-san?”

Saat aku membalas dengan tergesa-gesa, Yokote-san mulai berpikir dengan “Mari kita lihat…”
Akhirnya,dia mulai bicara sedikit demi sedikit.

"Aku sendirian di terminal bus Jinde. Chitanda-san menurunkan anaknya dengan mobil dan
kemudian membuka jendela untuk memberi kami doa yang baik."

'Chitanda-san' pasti merujuk pada ibu atau ayah Chitanda. Untuk saat ini, tidak masalah yang mana.

"Anak muda itu lalu bertukar sapa. Setelah itu, kami berdua berdiri di bawah payung kami saat kami
menunggu bus tiba.”

Sesuatu yang menarik perhatianku adalah kenyataan kalau Chitanda diantar ke halte bus. Tidak
bisakah dia pergi langsung ke pusat kebudayaan? Yah, jawaban yang sederhana adalah bahwa
perjalanan ke halte bus lebih pendek daripada menyetir ke pusat kebudayaan dan "Chitanda-san"
disebutkan pasti memiliki masalah yang lebih mendesak.

Jika aku berniat mencari Chitanda, masih ada sesuatu yang penting yang belum aku tanyakan.

“Apa anda ingat apa yang Chitanda…-san pakai?”

Sekali lagi, Yokote-san menggumakan: “Mari kita lihat.”

“Dia memakai pakaian panggungnya, jadi dia mengenakan kemeja putih dengan rok hitam.
Sepatunya juga hitam juga, dan kaus kakinya berwarna putih. Dia juga membawa tas berwarna
kremnya—oh, dan payungnya berwarna merah pekat. Pilihan yang tidak biasa, aku pikir.”

Jika itu adalah pakaian panggung, maka aku tahu apa yang terjadi dengan jaket krem yang dikenakan
Danbayashi-san tadi. Dia mungkin akan ganti baju sebelum naik ke atas panggung.

Bagaimanapun, selain dari hal-hal yang dia bawa, Chitanda sepenuhnya memakai pakaian
monochrome. Mencari dia di dalam pusat kebudayaan akan sulit, tapi sepertinya dia akan menonjol
jika berada di luar.

[T/N: monochrome di sini maksudnya Chitanda memakai pakian hitam putih. Oreki sadar
kalau Danbayasi-san(Manajer) tadi pake jaket krem tapi anehnya Chitanda ga pake jaket krem itu.]
“Jadi kalian berdua mengendarai bus bersama?”

“Itu benar—hanya kita berdua.”

“Bus yang mana itu?”

“Bus jam 1.00, di titiknya.”

“Kapan bus itu sampai di sini?”

“Sekitar jam 1:30.”

Chitanda seharusnya tiba di sini jam 1.30, jadi dia sudah naik bus tepat pada waktunya agar tidak
terlambat. Ada yang lebih awal dan mungkin sudah memakan makan siangnya, dan tidak ada alasan
untuk datang lebih awal lagipula; Aku menghargai efisiensinya.

“Chitanda juga turun di halte bus pusat budaya, benar?”

“Ya.” Yokote-san mengangguk lalu menambahkan: “Kami berdua datang di ruang tunggu ini
bersama, tapi sebelum aku menyadarinya, dia sudah hilang.”

Meskipun orang yang menemani Yokote-san telah lenyap dari hadapannya, dia tampak seperti
menunggu dengan tenang Chitanda kembali. Aku bertanya-tanya dari mana kekuatan pikirannya
berasal, untuk tidak menunjukkan kegelisahan apapun dalam situasi aneh ini.

“Apa anda tahu kemana Chitanda mungkin pergi?”

Saat aku menanyakan pertanyaan terakhir ini, Yokote-san membalas dengan tenang. "Aku yakin dia
hanya mencari udara segar untuk menenangkan kegelisahannya. Tidak perlu khawatir. "

4.

Saat aku meninggalkan ruang tunggu, aku bisa mendengar kebisingan dari aula masuk di kejauhan.
Itu adalah daerah tepat sebelum aula, dimana Ibara sudah pergi untuk mengeceknya sekali lagi.
Walaupun aku sudah datang untuk mencari-cari di setiap sudut dan celah gedung untuknya, tidak
banyak waktu yang tersisa. Mungkin ada sesuatu yang muncul, dan dia harus pergi. Ibara melihatku
berdiri di depan ruang tunggu dan alisnya berkerut sedikit.

“Kau masih di sini?”

Tanpa memberiku waktu untuk merespon, dia melanjutkan.

"Tetap saja, ini sempurna. Fuku-chan baru menelepon untuk memberitahuku bahwa dia akan pergi
dari sekolah dan ingin tahu apakah ada yang bisa dia lakukan. Aku bilang padanya kalau aku akan
bertanya padamu, lalu kembali kepadanya. "

Ini adalah permintaan selamat datang. Satoshi adalah orang yang masuk akal, jadi aku bisa
mempercayainya dengan mencari informasi.

“Hmm…”

Kami sudah bicara sebelumnya tentang perpustakaan dan Taman Kastil, jadi satu pilihan akan
memintanya untuk memeriksa dua tempat itu, namun, sejujurnya, aku merasa seperti bertaruh
dengan peluang sukses yang rendah. Aku melihat jam tanganku, dan membaca sedikit sebelum
pukul 4.00. Kita akan mulai merasakan krisis ini segera. Aku tidak mampu menggunakan mobilitas
berharga ini pada sesuatu yang tidak berarti seperti itu.

Ada sesuatu yang menarik ingatan di belakang pikiranku. Aku tidak bisa benar-benar membentuk
pemikiran itu menjadi kalimat yang berhubungan, tapi daripada membiarkannya berkeliaran di Kota
Kamiyama untuk bertaruh dengan peluang setipis kertas, aku bisa melihat terus garis pemikiran ini
mungkin membuahkan hasil.

“Minta dia untuk pergi ke stasiun.”

“Stasiun Kamiyama?!”

Suara Ibara hampir histeris. “Apa yang harus aku katakan untuk dia lakukan di sana?”

Tidak ada, aku tidak berencana memintanya melakukan perjalanan.

“Daripada stasiun, aku ingin dia pergi terminal bus yang terhubung dengannya. Aku ingin dia
mendapatkan peta rutenya dan jadwal dan membawanya ke sini.”
Ibara membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu. Tidak diragukan lagi dia ingin tahu
mengapa, namun ekspresinya menegang seakan dia merevisi pikirannya, dan dia menggigit lidahnya.

“Peta rute dan jadwal. Aku mengerti,” dia mengangguk, “Bagaimana dia akan mengantarkannya?”

“Aku akan menunggu di pintu masuk. Itu ramai di sana, tapi seharusnya baik-baik saja.”

“Oke.”

Sambil mengatakan ini, dia mengeluarkan ponselnya. Satoshi rupanya mengangkatnya setelah
beberapa detik, dan Ibara kemudian menyampaikan permintaanku lewat telepon.

Telponnya akhirnya berakhir, dan Ibara mulai berbicara kepadaku sekali lagi, dengan telepon masih
di tangan.

“Dia bilang dia akan sampai di sini dalam 15 menit.”

Bahkan jika kau datang ke sini langsung dari SMA Kamiyama, mungkin akan memakan waktu lebih
dari 15 menit, dan dia tidak langsung datang ke sini. Dia juga akan berhenti di stasiun untukku; Tidak
mungkin dia bisa sampai pada waktunya. Dia mungkin sudah berusaha mengungkapkan betapa dia
terburu-buru, tapi aku akan merasa tidak enak jika akhirnya mengalami kecelakaan karenaku.

“Bisakah kau mengirim SMS kepadanya untuk tidak ugal-ugalan untuk datang ke sini?”

“Ya, itu ide yang bagus.”

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku baru melihat sekeliling saat aku kembali, jadi aku akan menyelesaikan pencarianku di seluruh
gedung. Jika aku masih tidak bisa menemukannya setelahnya, aku berpikir aku akan mencari di
taman terdekat juga. Jangan khawatir tentangku; Lakukan saja apa yang perlu kamu lakukan.”

Aku tidak punya pilihan lain. Lagipula, aku tidak punya HP, jadi aku tidak akan bisa
mengkoordinasikan usahaku dengannya.

“Aku mengerti. Kalau begitu, sampai jumpa.”

Aku menuju lantai satu, meninggalkan Ibara saat dia mulai mengetikkan SMS-nya.
Walaupun Festival Paduan Suara Ejima dimulai jam 2.00, aula masuk masih penuh sesak. Karena ada
satu ton kelompok paduan suara yang berpartisipasi, mungkin tempat itu penuh dengan orang-
orang yang datang tepat pada waktunya untuk menonton pertunjukan teman mereka. Aku rasa itu
berarti bahwa orang baru terus-menerus berdatangan, bukan?

Saat aku berdiri di tengah lantai marmer hitam di aula depan, aku mengamati sekelilingku hanya
untuk memastikan bahwa Chitanda tidak ada di sana.

Seharusnya dia mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Ada banyak orang yang pakaiannya sesuai
dengan deskripsi itu, tapi tidak ada yang sedikit pun mirip Chitanda. Baiklah, aku kira jika dia ada di
sini, dia akan kembali ke ruang tunggu sendirian tanpa perlu khawatir.

Aku tidak menyadarinya sebelumnya, tapi ada beberapa selebaran brosur Festival Paduan Suara
Ejima yang tertumpuk di loket informasi. Aku mengambil satu untuk menghabiskan waktu saat aku
menunggu Satoshi. Aku pergi ke jalan masuk dan berdiri di lokasi yang paling mencolok di depan
papan nama besar yang bertuliskan "Festival Paduan Suara Ejima," dan kemudian membuka
pamfletnya.

Pamflet itu sendiri berwarna krem dan dicetak di atas kertas mengkilap. Tanggal dimulainya Festival
Paduan Suara Ejima ditandai dengan jelas jam 02.00, tapi tidak ada yang ditulis mengenai waktu
berakhirnya. Mungkin memang begitu, jadi mereka bisa memperpanjang atau mempersingkatnya
jika terjadi masalah yang tidak terduga; Mungkin mereka punya alasan lain. Pikiran itu terlintas di
pikiranku sehingga menyulitkan para tamu untuk merencanakan makan malam mereka.

Teks yang mengenalkan kelompok paduan suara yang berpartisipasi sangat kecil. Sebagian besar
halaman didedikasikan untuk lirik potongan Sandou Ejima. Aku belum pernah mendengar tentang
Sandou Ejima sampai Satoshi pertama kali menyebutkannya, tapi sepertinya dia hidup beberapa
waktu yang lalu. Semua kata itu tampak kuno. Pamflet itu ada di dalamnya yang kelompoknya
sedang melakukan karya yang mana, jadi aku mencari yang dilakukan oleh kelompok Chitanda,
Paduan Suara Campuran Kamiyama.

“Yang ini, huh.”

Itu adalah sebuah karya berjudul “Moon Over Release.”

Aku ingin tahu apakah tidak ada yang memperingatkannya bahwa itu terdengar seperti komposisi
Rentarou Taki yang terkenal itu.
Aku pergi ke depan dan membaca liriknya karena bosan.

Moon Over Release

Sungguh suara yang merdu, burung yang tersangkar!

Meski aku merenungkan kebajikan dari melepaskan,

Sosok dunia sekilas ini tidak akan pernah bisa mencapai keabadian.

Ah, aku berdoa lagi. Aku, juga, berusaha

Tinggal di langit yang tak terbatas.

Aku melepaskanmu, burung yang tersangkar.

Untuk hidup di langit yang tak terbatas

Aku melepaskanmu, burung yang tersangkar.

Betapa indahnya ikan di dalam tangki.

Meski aku merenungkan kebajikan dari melepaskan,

Sosok dunia sekilas ini tidak akan pernah bisa mencapai keabadian.

Ah, aku berdoa lagi. Aku, juga, berusaha

Mati di laut yang tak terbatas.

Aku melepaskanmu, ikan yang terperangkap.


“…Aku tidak yakin aku mengerti.”

Sayangnya, aku tidak memiliki satu ons sentimen puitis. Terlepas dari pendapatku tentang karya itu,
aku kira setidaknya aku harus mengingat jenis lagu yang akan mereka nyanyikan. Sepertinya mereka
akan membawakan satu bagian lagi, tapi aku tidak bisa menemukan apa-apa selain namanya, bukan
berarti itu penting; Itu adalah lagu pop yang paling terkenal sehingga aku pun mengetahuinya. Ini
ada kaitannya dengan semua orang yang hidup dalam harmoni, atau semacamnya.

Aku menggulung pamflet itu menjadi sebuah tabung di tangan kananku dan mulai memukul telapak
tangan kiriku. Saat aku menghasilkan irama beraturan, irama yang berongga, pandanganku tanpa
sadar berkelana ke area kecil di depan pintu masuk.

Dari apa yang bisa kulihat di balik pintu kaca, awan itu lenyap begitu saja; Sinar matahari yang
menyilaukan bersinar dari atas. Seorang wanita tua membawa payung matahari masuk sambil
menyeka keringatnya, lalu tiba-tiba tersenyum. Aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan hal itu
terjadi, tapi kemudian sadar kalau dia pasti sangat gembira karena ada AC. Dari apa yang bisa aku
katakan, AC di pintu masuk tidak mungkin sangat efektif; Diaa harus menempuh perjalanan jauh
sampai ke pintu masuk dari lantai tiga. Bahkan dari sini, sebagian besar ruangan terasa tidak
terpengaruh. Well, mungkin lebih baik dibanding berada di luar, paling tidak.

“Hm?”

Tiba-tiba aku menyadari sesuatu yang menarik dari wanita tua itu.

Dia mengenakan rok hitam dan kemeja putih dan membawa tas bahu kecil di atas jaket biru
gelapnya. Karena pakaiannya cocok dengan pakaian Chitanda, kupikir wanita ini bukan tamu;
Sebaliknya, dia adalah anggota kelompok paduan suara. Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak,
tapi anehnya aku penasaran dengan hal itu.

Sebuah rok, kemeja, jaket, tas bahu, payung matahari. AC dan senyuman.

“Oh.”

Itu benar.

“Sebuah payung matahari.”


Di jalan masuk pusat kebudayaan ada sejumlah payung berdiri berbaris bersebelahan. Ada juga
payung berdiri berjejer di samping dinding di pintu masuk - mungkin karena area pintu masuk saja
tidak punya cukup ruang untuk menampung 1.600 payung orang-orang. Wanita tua itu, akan tetapi,
terus memegang payung saat dia menaiki tangga.

Tiba-tiba aku sadar dan menuju ke loket informasi. Di belakangnya ada wanita ramah yang sama
seperti sebelumnya.

“Apa anda mencari sesuatu?” Dia bertanya.

“Ini mungkin pertanyaan yang aneh.”

“Tentu saja, aku akan membantumu sebisaku.”

Tidak peduli bagaimana kau melihatnya, aku jelas hanya seorang murid SMA; Dia tidak perlu
bersikap sopan. Sungguh pekerjaan yang sulit, pikirku.

“Apakah pemain paduan suara tidak diperbolehkan menggunakan payung berdiri di pintu masuk?”

Kupikir itu adalah pertanyaan aneh yang tak dapat diragukan lagi untuk ditanyakan, tapi petugas
tersebut menjawab tanpa sedikit keraguan: "Itu benar. Agar bisa meninggalkan ruangan sebanyak
mungkin bagi para tamu, kami meminta mereka untuk menggunakan stand yang disediakan di ruang
tunggu. "

“Oke, terima kasih banyak.”

“Tentu saja. Jika anda memiliki banyak pertanyaan lain, Jangan ragu untuk bertanya.”

Setelah mendengar tanggapan sopan itu, aku merasa bersalah karena alasan aneh dan berbalik
meninggalkan loketnya. Dengan informasi ini, sekarang aku mengerti alasan wanita tua itu
sebelumnya tidak meninggalkan payungnya di stand depan.

“…”

Dengan ini, aku menjadi sedikit lebih dekat untuk menemukan kemana Chitanda pergi. Pada
akhirnya, dia tidak di sana...
Aku berjalan kembali menuju papan nama "Ejima Choir Festival", dan memutuskan untuk
memikirkannya sedikit lagi. Tapi saat perjalanan ke sana, sebuah suara memanggil, mengganggu
kepulanganku.

“Aku tidak akan menyuruhmu untuk melihat ke atas, tapi setidaknya kau bisa melihat ke depanmu,
Houtarou!”

Di tempat di mana aku baru saja sampai, Satoshi sedang berdiri, dan benar-benar basah oleh
keringat.

“Hei.”

Saat aku mengatakan ini, aku melihat jam tanganku. Tepat jam 4:14. Sudah 15 menit sejak dia
berbicara dengan Ibara tadi. Kami bahkan menyuruhnya untuk ugal-ugalan.

“Itu sangat cepat.”

“Benarkah? Ngomong-ngomong, ini pesanananmu.”

Jadwal bus dan peta rute dicetak di atas kertas mengkilap, dilipat di tangannya.

“Maaf membuatmu melakukan hal seperti ini untukku.”

“Tak masalah, itu masalah biasa.”

Ekspresi dia menjadi serius.

“Aku mendengar tentang situasinya dari Mayaka. Katanya Chitanda menghilang?”

“Itu yang terjadi.”

“Dia tidak di sekolah. Paling tidak sepatunya tidak ada di pintu masuk sekolah. Tapi, ini benar-benar
menyusahkan.”

“Uh huh.”

Itu adalah respon setengah hati; Aku sedang fokus membaca jadwal.
“Chitanda-san berakhir pergi ke suatu tempat di kota ini dan tidak memiliki ponsel. Maksudku aku
yakin, aku tahu satu atau dua tempat tempat dia mungkin pergi, tapi tidak ada waktu untuk
memeriksanya satu per satu. Houtarou, skalanya agak terlalu besar saat ini, dan aku merasa sedikit
seperti tanganku terikat di belakang punggungku sekarang.”

Aku tidak memiliki cukup informasi untuk memeriksa seluruh jadwal yang dia bawa untukku. Seperti
yang kuduga, jumlah bus yang melewati Jinde cukup kecil, dan sepertinya hanya ada satu pada jam
1:00 sore. Aku mengangguk sekali dan kemudian melipat jadwal sekali lagi.

Satoshi menyeka keringat yang menetes di wajahnya dengan tangannya, lalu melanjutkan.

“Aku benar-benar minta maaf, tapi aku punya suatu hal yang harus aku lakukan, Jadi aku harus
segera pergi. Tapi ayolah: Ini Chitanda yang kita bicarakan. Aku berpikir tidak perlu khawatir …
Benarkan, Houtarou? Tunggu, apakah kau sudah tahu sesuatu tentang di mana dia berada?”

“Sepertinya.”

Saat aku mengaatakan ini, mata Satoshi melebar. Kurasa dia tidak menduga aku mengatakan itu.

“Wha—tunggu, apa?! Apakah kau benar-benar tahu di mana dia sekarang??”

“Aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya jika aku bilang bahwa aku tahu jawaban yang pasti ...
tapi ada beberapa hal dalam pikiranku. Setidaknya aku punya jalan yang menuntunnya.”

Jika aku benar, masalah yang sebenarnya adalah apa yang terjadi setelah menemukannya.

Aku memeriksa jam tanganku. Ada 1 jam 40 menit sampai penampilan solonya.

Apa yang dikatakan Satoshi benar.

Menemukan Chitanda yang menghilang dengan mencari setiap sudut dan celah Kota Kamiyama akan
membutuhkan lebih dari seminggu. Karena pencarian yang menyeluruh tidak akan bagus, perlu
menerapkan metode yang efisien, yang meminimalkan waktu dan energi yang dihabiskan. Ini adalah
metode yang mungkin lebih sederhana dari yang dibayangkan Satoshi.

Dan lagi…

“Jadi apa yang akan kau lakukan?”


Dia menanyakan hal ini langsung ke wajahki, sehingga sulit untuk merespon. Aku tidak akan
mengatakan bahwa aku adalah tipe orang yang benar-benar peduli dengan apa yang dipikirkan
orang lain tentangku, tetapi jika aku dengan yakin mengatakan sesuatu seperti, "Inilah yang harus
kita lakukan," sebelum merasa yakin, bahkan aku akan sedikit malu jika rencananya tidak berhasil.

“Well, aku masih belum benar-benar yakin…”

Aku menanggapi dengan usaha yang buruk untuk menghindari pertanyaannya dan kemudian
mencoba untuk memaksa mengubah topik dengan pertanyaanku sendiri yang tepat yang ingin aku
tanyakan.

“Ngomong-omong, apakah Sandou Ejima benar-benar sangat terkenal di titik di mana dia disebut
salah satu dari Empat Raja Langit atau yang lainnya?”

Aku yakin Satoshi benar-benar sadar bahwa aku berusaha menarik pembicaraan dari Chitanda, tapi
dia menanggapi seolah-olah dia sepertinya tidak keberatan.

“Aku kira aku mungkin sudah sedikit membesar-besarkannya, tapi bahkan jika kau
memperhitungkan kecintaanku terhadap budaya lokal ke dalam bagaimana aku menggambarkannya
sebelumnya, fakta bahwa Hakushuu, Ujou, dan sejenisnya yang tak tertandingi masih benar,
menurut pendapatku.”

“Jadi kau mengatakan kalau menyebutnya berlebihan ... berarti berlebihan itu sendiri?”

Satoshi diam mengangkat bahu. Aku membuka pamflet yang kuambil tadi dari meja resepsionis.

“Sepertinya Chitanda akan menyanyikan lagu 'Moon Over Release' ini.”

“Begitukah?”

Satoshi melirik sekilas liriknya, mengangguk dengan ekspresi aneh. "Itu benar. aku sama sekali tidak
tahu banyak tentang masalah ini, tapi ini karya Sandou Ejima yang klasik.”

“Oh ya? Kenapa ini ‘klasik’ Ejima?”

“Jika aku harus menjelaskannya, aku akan mengatakannya karena ini terlalu menasehati.”
Aku mengerti, itu terlalu menasehati. Tanpa menyadarinya, aku mengangguk dengan penuh
semangat. Itu sungguh katarsis untuk diberi kata yang tepat untuk menggambarkan pemikiran yang
aku punya saat awal membacanya.

“Hal-hal seperti takwa, ketekunan, kejujuran— karyanya selalu dipersembahkan untuk secara
sungguh-sungguh memuji nilai-nilai semacam ini. Orang itu sendiri pada awalnya adalah seorang
biarawan, dan buku itu ditulis dalam sebuah buku yang pernah aku baca bahwa kehidupan
persaudaraannya mungkin berasal dari kualitas nasehat. Mungkin itulah sebabnya dia sangat hebat,
setidaknya, bagi orang-orang yang tahu tentang dia.”

“Dan sekarang kita bahkan punya festival yang dinamai menurut namanya.”

Dia balas tersenyum, ekspresinya berisi sedikit sarkasme.

“Paduan suara biasanya memiliki penampilan berkala. Begitulah jenis kelompok mereka. Jika kau
ingin mengadakan sebuah acara, mungkin kau juga harus melampirkan nama yang keren untuknya.
Aku bisa mengerti dari mana mereka berasal dari depan itu.”

Aku tidak bisa bersimpati secara pribadi, tapi jika aku membayangkan itu Satoshi, aku akan mengerti
sepenuhnya.

Satoshi melirik jam tangannya. Alisnya sedikit berkerut.

“Aku harus pergi sekarang. Aku bersumpah… Aku membuat diriku terikat dengan sesuatu yang
sangat menyebalkan.”

Dia benar-benar ingin membantuku terlepas dari urusannya. Aku bisa dengan mudah mengatakan
itu kata-kata yang tersirat.

“Tak perlu khawatir. Jadi, apa yang harus lakukan?”

“Permasalahannya adalah —“

Sepertinya dia tidak punya banyak waktu, tapi dia membungkuk untuk mengeluh. Kurasa dia benar-
benar ingin melepaskannya dari pundak dan curhatannya.

“Sepupuku dan istrinya akan datang. Keponakanku benar-benar menyebalkan.”


“Anak sepupumu juga keponakanmu?”

“Ini disebut sepupunya sepupu, tapi aku panggil dia keponakanku. Dia sangat menyukai shogi, jadi
dia akan menggangguku untuk bermain dengannya.”

Aku tidak akan pernah mengira Satoshi tidak bisa bermain shogi, apalagi mengingat dia selalu
mencoba segalanya. Oh, tunggu, itu tidak benar sama sekali. Dia sebenarnya sangat ahli dalam shogi,
jika aku mengingatnya dengan benar. Suatu malam, dalam sebuah perjalanan studi di SMP, dia
bermain melawan salah satu teman sekelas kami yang selalu membual tentang posisi ketiga di
sebuah turnamen kota —dan menang.

“Lalu apa yang salah dengan bermain dengannya?”

“Dia menangis setiap kali aku menang, dan tidak ingin berhenti bermain sampai dia menang. Dia
bahkan akan melewatkan makan malam.”

“Itu benar-benar menyebalkan.”

Satoshi menggelengkan kepalanya.

“Aku tidak keberatan tentang hal itu. Semua yang harus aku lakukan hanya membiarkan dia
menang.”

Aku tahu Satoshi saat berada di SMP. Aku tahu bagian dirinya yang akan membutuhkan
kemenangan; Dia akan menyalahgunakan celah dalam peraturan atau membiarkan sebuah
permainan menjadi basi dan membosankan asalkan akan menghasilkan kemenangannya. Bisa
dikatakan, aku juga tahu bagian dirinya yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri, membuang
sebagian kepribadiannya, dalam sekejap.

“Lalu apa masalahnya?”

“Jika kau tidak bilang ‘aku menyerah,’ dia menyebutku seorang pengecut dan menjeritkan
pembunuhan berdarah”

Dalam shogi, kau kalau jika kau berakhir dalam situasi di mana rajamu akan diambil tidak peduli apa
yang kau lakukan, tapi kau bisa kalah sebelum melakukan itu. Sejauh kutahu, mengatakan "aku
menyerah" adalah cara paling umum untuk mengkomunikasikan bahwa kau sudah menyerah.
“Karena aku hanya bermain untuk menenangkannya, aku akan membiarkan dia mengsekakmat ku;
Tapi dia tidak akan membiarkanku pergi dengan 'kau menang' atau 'kau mengalahkanku.'
Maksudku, ini sekakmat, jadi tidak ada yang perlu dikatakan.”

“Apa kau benar-benar begitu membenci mengatakan ‘aku menyerah’?”

Wajah Satoshi berubah menjadi ekspresi agak terluka.

“Aku tidak apa-apa selain berpikir: 'Bagaimana dengan kau membuat aku mengatakannya dengan
benar-benar mengalahkanku dengan kemampuanmu sendiri.' Aku sangat payah dalam mengatakan
hal-hal yang tidak aku yakini. Jujur saja, hanya masalah dengan pilihan kata-kata, dan bahkan dia ada
benarnya, tapi—aku tidak tahu. Kurasa itu berarti aku masih belum dewasa.”

Ini bukan jenis percakapan yang harus kita lakukan sementara sisa waktu kami terus berdetak setiap
saat, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum penuh rasa sedih karenanya.

“Aku benar-benar mengerti. Aku berada di sebuah pernikahan kerabat beberapa waktu yang lalu,
dan aku—“

Itu adalah pernikahan bergaya kristen. Aku memasuki gereja dengan mengenakan seragam sekolah
yang kaku dan mendengarkan khotbah pendeta—

Hmm…

Tiba-tiba aku mulai merasa ada sesuatu yang tertinggal di ujung lidahku. Aku tidak bisa
mengatakannya dengan benar, tapi saat aku hendak meletakkan jari aku di atasnya, pikiran itu
datang dan kemudian hanyut, seolah-olah sebuah gelombang membawanya kembali ke laut. Apa
itu, aku bertanya-tanya? Ada apa dengan permainan shogi dan upacara pernikahan yang membawa
sesuatu yang begitu jelas ke dalam pikiranku?

“Jadi, itulah sebabnya aku harus pergi, Houtarou.”

Suaranya membawaku kembali ke akal sehatku.

“Hm? Yah, baiklah.”

“Aku memintamu untuk menemukan Chitanda-san. Aku benar-benar aku tidak membantumu saat
waktu seperti ini.”
“Tak apa.”

Saat aku masih mengumpulkan pikiranku, aku menambahkan secara mendadak, " Serahkan sisanya
padaku." Mata Satoshi melebar dan dia sedikit tersenyum.

“Mengerti. Aku akan menyerahkannya padamu—maksudku, pada akhirnya, satu-satunya orang yang
akan bisa Chitanda yang tersembunyi mungkin kau.”

5.

Aku kembali ke ruang A7 di lantai dua, tapi Ibara tidak ada di mana pun. Aku rasa dia mencari
sekeliling seperti yang dia bilang akan lakukan sebelumnya.

Sebuah kursi lipat tersusun di tengah ruangan 20 meter persegi, dan Yokote-san adalah satu-satunya
orang yang sedang duduk. Danbayashi-san juga di sana—disamping jendela—dan hampir
memelototiku saat aku masuk. Tapi sesaat aku menoleh, bahunya melemas seolah-olah dia kecewa.

“Aku pikir kau gadis itu.”

Aku menundukan kepalaku sediki, setengh sebagai sapaan dan setengahnya lagi sebagai permintaan
maaf karena bukan Chitanda, tapi Danbayashi-san bahkan tidak memberikanku pandangan lain; dia
langsung berbalik dan mulai berdebat dengan Yokote-san.

“Baiklah Yokote-san. Satu jam sudah berlalu. Kami akan menelpon rumahnya sekarang. Dia mungkin
tidak berhasil kali ini, tapi jika kita bahkan tidak mempertimbangkan mengajak orang lain untuk
menyanyikan solo sebagai gantinya, maka kita tidak punya pilihan lain.”

Bahkan sejak dari awal, nada Danbayashi-san tampaknya membawa semua sikap buruk yang
diarahkan pada "anak muda zaman sekarang." Jika kau mengambil semua emosi negatif itu, mata
terbaliknya benar-benar membuatnya terlihat seperti ikan. Itu bisa dimengerti, mengingat fakta
bahwa dia sedang berjuang dalam batas waktu.

Seperti biasa, Yokote-san tetap tenang dan sabar dan menjawab : ”Aku mengerti, tapi aku yakin dia
akan datang sebentar lagi. Bagaimana kalau kita memberinya satu jam lagi?”
“Lagi-lagi—lihat, ini bukan waktunya untuk bersikap lembut. Dengar, Yokote-san, aku akan
menelponnya sekarang, jadi aku memintamu untuk memberiku nomor rumahnya.”

Aku mengerti. Aku tidak paham mengapa dia dia mencoba mendapatkan persetujuan Yokote-san
demi menghubungi Chitanda, tapi tampaknya dia tidak tahu nomornya. Nama keluarga Chitanda
sebenarnya tidak biasa, jadi tampaknya itu akan terlalu sulit untuk menemukannya di buku telepon,
akan tetapi—tunggu, tunggu sebentar. Jika Danbayashi-san mengejar telepon rumahnya, itu berarti
aku jadi dalam pandangannya juga, bukan?

Saat aku memikirkan ini dan akan berbalik, itu sudah terlalu terlambat. Danbayashisan berputar
untuk melihat kearahku dan mulai berjalan cepat mendekat dan mendekat, wajar seramnya
mengekerut di keningnya.

“Kau! Kau teman kelasnya, benar?”

Untuk sekarang, aku akan hanya membenarkan dia.

“Aku bukan teman kelasnya. Aku beda kelas.”

“Siapa yang peduli?!”

“Yah, umm…”

Kurasa tidak ada—yang—peduli.

“Jadi kau pasti punya nomor Chitanda, bukan?!”

Sekarang, aku terikat. Tentu saja aku mendapatkan setiap nomor itu karena kami mungkin perlu
saling menghubungi satu sama lain tentang klub, namun, yang tidak mengejutkan, aku tidak
memilikinya berkomitmen untuk mengingatnya.. Aku tidak punya apapun untuk disembunyikan, jadi
aku memberi tahunya kebenarannya.

“Aku punya nomornya, tapi aku harus pulang ke rumah untuk mendapatkanya.”

“Bukankah kau punya HP?”

“Tidak.”
Danbayashi-san menanggapi dengan suara melengking.

“Kau pasti bercanda!”

Tapi aku tidak bercanda. Seharusnya aku mengatakan sesuatu sebelum dia terlalu kesal. aku tidak
punya waktu berdebat dengannya, jadi aku memakai ekspresi seriusku yang terbaik; Aku bisa
membuat yang cukup bagus jika aku menaruh hatiku ke dalamnya.

“Yah, aku tahu di mana Chitanda berada: perutnya sakit karena dia sangat gugup, jadi dia istirahat.”

Rahang Danbayashi-san terjatuh. Aku berharap dia terkejut saat mendengar kabar tentang Chitanda,
terutama karena itu bisa tiba entah dari mana.

“Dia akan berada di sini bahkan jika kau berhenti mencarinya, tapi aku mengerti: kau gugup sehingga
dia tidak akan datang pada waktunya. Jangan khawatir, aku akan menjemputnya sekarang juga.”

Memikirkannya dengan logis, kontakku dengannya — terutama karena aku tidak punya HP —adalah
cerita yang tidak mungkin, tapi Danbayashi-san tampaknya tidak meragukanku. Sebenarnya, dia
tampak lega; Ekspresi tegasnya meleleh hampir seketika. Dia menjawab dengan cara yang aneh,
"Oh, begitu. Kalau begitu, aku akan menyerahkannya padamu, "dan berbalik meninggalkan ruang
tunggu. Mungkin dia merasa malu setelah menyadari betapa bingungnya dia beberapa menit yang
lalu.

Sementara aku menghargai bahwa dia akan pergi tanpa perkelahian, masih ada sesuatu yang ingin
aku tanyakan kepadanya sebelum aku keluar. Aku memanggilnya saat dia meraih gagang pintu.

“Umm…”

“Hah?” Kaget, dia berbalik untuk menatapku dengan ekspresi terkejut. “Apa kau bicara padaku? Apa
ada lagi?”

“Ini tidak terlalu penting, tapi…”

Saat aku bicara, aku mengeluarkan pamflet yang aki terima dari loket informasi dan menunjuk lirik
lagu yang dinyanyikan oleh Chitanda, "Moon Over Release."

“Bagian mana yang akan dinyanyikan oleh Chitanda?”


Alis Danbayashi-san kembali berkerut.

“Hah? Kenapa kau ingin tahu sesuatu seperti itu?”

Aku berasumsi bahwa dia hanya akan memberi tahuku jika aku memintanya dengan acuh tak acuh,
tapi malah dia mengangkat pertahanannya dan membalas dengan pertanyaannya sendiri.

“Yah kau tahu—” Aku berbicara perlahan sehingga aku bisa menemukan alasan yang bagus. “Aku
ingin memotretnya saat dia menyanyikan solo untuk catatan klub kami. Aku harus mendapatkan
momen yang dengan tepat. Aku akan bertanya pada Chitanda sendiri, tapi sepertinya aku tidak
punya kesempatan.”

Aku penasaran jika itu terdengar sedikit dipaksakan.

“Oh, Jadi begitu? Uh, tentu saja.”

Tampaknya dia membawanya. Jari Danbayashi-san mulai bergerak menunjukan liriknya.

“Hmm… Yang ini.”

Ah, sekali lagi aku berdoa. Aku, juga, berjuang

Untuk hidup di langit yang tak terbatas.

“Ini bagian yang dinyanyikan dengan dada, jadi ini sangat terdengar dan terlihat emosional. Mungkin
sebaiknya kau mengambil video.”

Saat dia mengatakan itu, dia mulai memperhatikanku. Tentu saja, aku tidak punya sesuatu seperti
DSLR atau camcorder. Ekspresinya mulai mengeras; Dia pasti sudah curiga, jadi aku dengan cepat
mengambil inisiatif.

“Terima kasih banyak. Aku akan pergi dan memberi tahu Ibara.”

Tentu saja Ibara juga tidak punya kamera, tapi Danbayashi-san pasti tidak tahu.
“Hmm… Itu ide yang bagus. Baiklah, aku akan kembali ke aula dan memberitahu semua orang bahwa
kami menemukannya. Aku akan menyerahkan sisanya.”

Setelah Danbayashi-san meninggalkan ruangan dan pintu tertutup dengan suara berat
dibelakangnya, hanya dua orang tersisa adalah Yokote-san dan aku. Karena hanya dua dari kami di
ruangan itu berarti menahan sepeluh orang atau lebih, ruang kosong di sekitarku terasa sangat aneh
dan tak nyaman.

Yokote-san duduk di kursi lipatnya, dan kedua tangannya tertelungkup di atas pangkuannya. Dia
tidak bergerak satu inci pun pada satu jam yang aku habiskan bersama Satoshi; Dia masih diam, aku
mulai bertanya-tanya apakah dia benar-benar telah duduk di kursi logamnya—tidak bergerak sedikit
pun sejak aku pergi.

Pada saat ini, bagaimanapun, matanya yang tenang dan lembut menatapku tajam, seakan diam-
diam menuntut untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

Aku mendekatinya dan berdiri tepat di depan tatapan itu. Aku kemudian menundukkan kepalaku
dengan hormat.

“Saya masih belum memperkenalkan diri. Nama saya Oreki Houtarou. Saya sekelas dengan Chitanda-
san, juga berada di satu klub.”

Yokote-san menghindari kontak mata selama sepersekian detik, tapi kemudian dengan cepat
membentuk senyuman yang hampir tak terlihat saat dia menundukkan kepalanya sebagai
balasannya.

“Senang bertemu denganmu. Nama saya Atsuko Yokote. Maafkan saya karena tidak berdiri untuk
menyapamu; Lututku tidak seperti dulu lagi.”

“Tentu saja, tak apa.”

“Terima kasih.”

Itu adalah perkenalan yang sopan, tapi pada akhirnya, kata-kata hangat kami hanyalah basa-basi
sementara. Mata Yokote-san menyipit dan suaranya menegang sedikit juga, hampir seperti
menerima nada menuduh.

“Oreki-san. Kau bilang kalau kau tahu dimana anak perempuan Chitanda, bukan? Apa itu benar?”
Aku membalas tanpa ragu-ragu: “Tidak, itu sebuah kebohongan.”

Dia membuka mulutnya dan menutupnya lagi, seolah-olah kehilangan kata-kata. Dia menatapku
dengan teliti, lalu akhirnya bergumam, “Kebohongan…”

“Aku perlu Danbayashi-san unutk keluar, jadi aku berbohong padanya.”

“Oh? Mengapa kau melakukan hal seperti itu?”

Meskipun dia benar-benar kebingungan dengan fakta bahwa aku telah berbohong, sepertinya dia
tidak mencelaku karena telah melakukannya. Kemungkinan besar karena dia tidak bisa memaksa
dirinya untuk mengkritikku karena berbohong.

“Aku melakukannya karena aku memiliki sesuatu untuk aku tanyakan padamu, Yokote-san.”

“Aku? Apa itu?”

Dengan singkat aku melirik jam tanganku dan melihat bahwa saat ini sudah hampir pukul 4:20;
Masih tersisa sedikit waktu. Ini bukan waktunya untuk memukul-mukul sekitar semak-semak. Lagi
pula, "jika aku harus melakukannya, aku akan melakukannya dengan cepat." Mottoku berarti bahwa
aku harus ke intinya.

“Kau bilang kalau kau menaiki bus dengan Chitanda sampai ke Pusat Budaya dan datang dengannya
sampai ruangan ini, benar?”

“Ya, kau benar.”

Menuduh seseorang selalu membutuhkan keberanian. Tapi aku tidak punya sebanyak itu, jadi aku
melanjutkannya sambil menghindari tatapannya.

“Kau berbohong.”

Ekspresi Yokote-san membeku.

Apa yang dikatakan Satoshi benar; Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan untuk mencari
Chitanda. Aku harus menemukan metode lain dan, tentu saja, yang paling sederhana adalah
bertanya kepada orang yang tahu.
Tidak diragukan lagi, Yokote-san telah berbohong tentang kedatangan Chitanda. Dia tahu sesuatu,
dan mengeluarkannya darinya akan jauh lebih cepat daripada mencari-cari di sekitar setiap kafe dan
toko buku di Kota Kamiyama.

Tangannya menegang, seakan mengalah pada ketegangan saat mereka beristirahat di atas
pangkuannya. Aku bisa membuat pembicaraan kita singkat jika hanya dia terusterang, tapi itu
mungkin hanya angan-angan. Lagi pula, aku belum melakukan apapun untuk mendapatkan
kepercayaannya.

Seperti yang kuduga, dia mulai pura-pura tidak tahu apa-apa saat dia berbicara.

“Apa yang kau bicarakan?”

Meninggalkan segenggam harapan bahwa ini mungkin akan segera berakhir, aku mencoba untuk
mengeluarkannya darinya lagi.

“Aku ingin menyelesaikan ini secepat mungkin, jadi tolong ambil kembali pernyataanmu yang
mengklaim bahwa kau menaiki bus dengan Chitanda?”

“Tapi itu kenyataannya. Bagaimana kau bisa mengatakan sesuatu seperti itu; Tidakkah kau pikir kau
bersikap kurang sopan?”

Emosiku goyah saat aku menghadapi hambatan ini. Negosiasi dan bujukan tidak pernah sesuai cocok
denganku. Jika aku memiliki kesempatan, aku akan mendorong semuanya pada Satoshi atau
Chitanda dan mengembalikan kehidupan sekolahku yang tenang. Pada akhirnya, bagaimanapun, aku
adalah yang satu-satunya di sini. Tidak hanya itu, aku terdesak waktu. Aku mengepalkan tanganku
dan mengumpulkan sebanyak mungkin keberanian.

“Maafkan aku. Aku berisiko mengulang diriku sendiri pada saat ini, tapi pada dasarnya tidak mungkin
kau datang bersama Chitanda ke ruangan ini.”

“Bagaimana kalau kau menjelaskan alasannya.”

“Tentu saja. Logikanya sangat mudah.”

Aku menunjuk ke arah pintu di depan ruang tunggu.

“Karena itu”
“Pintunya?”

“Tidak. Aku sedang membicarakan tentang payung berdiri itu.”

Di sebelah pintu ada payung yang tidak stabil, dan hanya ada satu payung hitam yang menonjol dari
situ. Tanpa sengaja aku menyenggolnya kakiku saat memasuki tadi dan menggulingkannya. Saat
mengambilnya lagi, tanganku jadi basah.

“Di sekitar rumahku tidak hujan, tapi—karena payungnya—aku hanya bisa berasumsi kalau
hujannya turun di Jinde.”

“Aku pikir aku sudah mengatakannya.”

“Ya, Aku mendengarnya. Itu dan bagaimana Chitanda memiliki payung merah sementara dia
menunggu busnya. Tapi lihat: payung miliknya itu tidak ada di manapun. Ini sudah berawan di
daerah ini sejak pagi, tapi ketika kau tiba dengan Chitanda pada pukul 1.30, cuaca menjadi cerah.
Setelah sampai di sini sekali, aku kesulitan membayangkan dia membawa payung itu ke tempat lain.
Itu berarti Chitanda sama sekali tidak datang kesini, yang berarti aku bukan satu-satunya yang telah
berbohong hari ini.”

Yokote-san meletakkan tangannya di pipinya. “Bagaimana mungkin kau sampai pada kesimpulan itu
semata-mata karena payungnya tidak ada di sini? Ini bukalah satu-satunya payung yang berdiri di
gedung itu, kau tahu.”

“Tentu saja ada juga beberapa di pintu masuk. Pemain diminta secara tegas untuk menggunakan
yang ada di ruang tunggu jika memungkinkan.”

“Sebanyak mungkin—”

Itu tidak seperti kau bisa mengikuti setiap peraturan dengan sempurna; Sebenarnya, bahkan
mengetahui setiap peraturan tidak mungkin terjadi. Tentu saja aku sadar sepenuhnya akan hal ini.

“Yah,Chitanda yang datang ke sini sendirian, sangat mungkin baginya untuk menggunakan payung
yang berbeda karena tidak tahu tentang peraturannya. Tapi bukan itu masalahnya, bukan? Aku
mencoba membayangkannya—sebuah skenario di mana kau dan Chitanda datang ke ruangan ini
bersama-sama, tapi di mana kau mengikuti peraturan saja sementara Chitanda mengabaikannya—
dan sepertinya tidak mungkin. Itu hanya masuk akal kalau orang-orang berkelompok bersama
melakukan hal yang sama. Tidak hanya itu, tapi Chitanda adalah tipe orang yang tahu dan mengikuti
semua peraturan.”

Yokote-san tidak merespon, dan perasaan bahwa dia masih tidak mau menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi masih bertahan, jadi saku mereda dan mengubah pendekatanku.

“Bahkan dengan ini, aku tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan bahwa Chitanda belum ada
di sini. Seandainya Chitanda benar-benar tiba dan kemudian memutuskan untuk kembali pulang
untuk alasan apapun, dia mungkin telah memutuskan untuk tidak kembali dan membawa payungnya
bersamanya. Jauh lebih mudah menemukan bukti seseorang berada di suatu tempat daripada tidak
berada di sana.”

“Kurasa begitu.”

Aku menarik napas kecil dan memeriksa dia dari sudut mataku.

“Ngomong-ngomong, kau sudah berada di sini sejak sampai di sini, benar?”

Aku tiba-tiba memutuskan untuk merubah topiknya.

“Bahkan meskipun semua anggota paduan suara lainnya ada di aula?”

Alis Yokote-san berkerut karena tersinggung.

“Aku tidak melanggar peraturan apapun.”

“Tentu saja tidak. Tapi ada sesuatu yang menggangguku. Sejak aku tiba, kau telah mengatakan
sesuatu yang aneh kepada Danbayashi-san setiap kali dia menyebutkan ketidakhadiran Chitanda:
'Aku yakin dia akan datang sebentar lagi.’“

“Apa kata-kataku aneh?”

Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak. Aku tidak pikir kalimat itu sendiri aneh.”

“Lalu aku tidak mengerti…”

“Akan tetapi, kau bilang: ‘Dia akan datang, beri dia waktu satu jam lagi.’ Kenapa satu jam? Kenapa
tidak bilang ‘sebentar lagi’ atau ‘sedikit waktu lagi?’ kau secara khusus menyebutkan satu jam. Aku
hanya mendengar kau menyebutkan dua kali, tapi tampaknya kau bahkan mengatakannya sekali
sebelum aku datang; Danbayashi-san mengatakan sesuatu pada kalimat itu. Dibanding 30 menit atau
2 jam, kenapa kau mengatakan satu jam?”

Aku telah mempertimbangkan bahwa mungkin itu hanya sesuatu yang Yokote-san katakan dalam
percakapan normalnya, tapi aku punya teori lain; Berkat informasi yang diberikan oleh Satoshi, aku
bisa yakin sepenuhnya akan hipotesisku. Satu jam yang terus dia sebutkan —membuatku sadar akan
sesuatu yang penting.

“Kau mengacu pada busnya.”

Sementara ekspresi Yokote-san tidak berubah, aku mendapat kesan kalau bahunya tiba-tiba
menegang.

Aku mengambil jadwal yang Satoshi ambil untukku.

“Ini sebuah jadwal bus. Demi mendapatkan ini, Temanku harus bersepeda ke sini seperti orang gila.
Untung dia tidak menyakiti dirinya sendiri. Menurutnya, ada sejumlah bus yang menghubungkan
Jinde dan pusat kebudayaan, dan jaraknya satu jam. Inilah sebabnya mengapa kau secara khusus
mengatakan menunggu satu jam, bukan?”

Aku melihat Yokote-san saat dia mengalihkan pandangannya. Aku benar.

“Dengan mengatakan ‘tunggu satu jam,’ kau pada dasarnya bermaksud ‘tunggu sampai bus
selanjutnya tiba.’ Chitanda mungkin di bus berikutnya. Itulah apa yang kau harapkan saat kau
menenangkan Danbayashi-san yang panik.”

Namun 3 jam sudah berlalu, dan Chitanda masih belum muncul. Aku terkesan dengan sikap tenang
dan tegar Yokote-san, tapi dia mungkin mulai dalam hatinya.

Berdasarkan percakapan kami sejauh ini, lokasi Chitanda mungkin sangat terbatas.

“Chitanda masih di Jinde, apa aku benar?”

Kalimat ini adalah pukulan penentu. Tatapan Yokote-san mulai berputar-putar, menimbulkan
kebingungan dan kegelisahan, tapi akhirnya dia menarik napas pendek.
“Itu benar. Anak perempuan Chitanda tidak pernah sampai ke sini. Aku sudah berbohong selama
ini.”

Senyum manis kembali ke wajahnya sekali lagi saat dia mulai berbicara.

“Seperti yang kau sebutkan, hujan sudah turun di Jinde pagi ini,” Kata Yokote-san saat dia
melanjutkan. “Aku mengatakan yang sebenarnya saat aku mengatakan anak perempuan Chitanda
dan aku menunggu di bawah payung hitam dan merah kami. Aku tidak berbohong saat mengatakan
bahwa kami juga menaiki bus sama-sama. Hampir tidak ada orang lain di dalamnya, jadi kami duduk
di dekat satu sama lain.

Aku menyadarinya ketika kami menunggu bus dan dia terlihat terlalu baik. Setelah kami naik bus dan
aku melihat lebih dekat, semakin jelas wajahnya sangat pucat. Aku bertanya kepadanya apa yang
salah, tapi gadis malang itu berulang kali mencoba meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Namun,
tiba-tiba, karena aku berharap ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuknya, dia menekan tombol
untuk menghentikan bus.”

Aku menahan ketidaksabaranku dan tetap diam. Tidak hanya mungkin ada lebih banyak informasi
untuk diambil, tapi aku berpikir bahwa mendengarkan tanpa suara adalah hal yang paling tidak aku
bisa lakukan untuk seseorang yang mau menceritakan kisahnya. Yang paling penting, aku khawatir
dengan keadaan aneh Chitanda. Aku belum pernah melihatnya dengan ekspresi pucat seperti yang
telah dia gambarkan.

“Aku memanggil anak itu saat hendak turun dari bus—dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi
dia malah menundukkan kepalanya dan bergegas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku
berpikir untuk mengejarnya, tapi aku tidak mau menancapkan hidungku ke tempat yang bukan
miliknya, jadi aku tetap di bus tanpa melakukan apapun.”

[T/N : *kalimat yang dimiringkan bisa juga bermaksud ikut campur urusan orang lain.]

Sepertinya dia sudah selesai dengan ceritanya, jadi aku mengajukan pertanyaan.

“Apa Chitanda terlihat sedang sakit?”

Dia menjawa sederhana, “Aku ingin tahu kalau memang dia begitu…”
Ini adalah pertanyaan konyol. Jika dia sakit tapi tetap tidak mau menyerah untuk menyanyikan lagu
solo, dia bisa saja pergi ke pusat kebudayaan dan menjelaskan situasinya kepada semua orang —
atau mungkin dia bisa kembali ke rumah untuk fokus agar sembut. Sampai sesaat sebelum
penampilannya. Apa pun itu, dia tidak perlu turun dari bus seolah dia melarikan diri dari sesuatu.

Alasan Chitanda turun dari bus lebih awal—alasan di balik wajahnya yang pucat—mungkin tidak ada
hubungannya dengan kesehatannya. Ini adalah hipotesisku, jadi aku memutuskan untuk langsung
terjun ke masalah ini.

“Di pemberhentian mana Chitanda turun? Apa kau tahu kemana dia pergi setelah itu?”

Yokote-san menatap dingin saat aku menanyakan ini padanya.

“Apa yang akan kau lakukan jika aku memberitahumu?”

“Tentu saja, mencarinya.”

“Itu tidak berguna.”

Dia duduk tegak dan berkata begitu tegas.

“Anak itu adalah penerus dari pertanian Chitanda; Dia mengerti tanggung jawabnya. Dia turun dari
bus hanya ragu sesaat. Aku yakin tanpa ragu kalau dia akan tiba tepat pada waktunya. Ini akan
membuatmu menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak perlu dan percaya pada
temanmu.”

Aku mengangguk.

“Ya, dia akan datang pada waktunya, juga.”

Yokote-san duduk di sana dengan ekspresi kosong, tampak seolah-olah semua keganasan
sebelumnya telah tersedot darinya.

“Lalu kenapa kau bilang kau akan mencarinya?”

Itu sudah jelas sejak awal.

“Lagipula, mungkin sulit baginya.”


“Itu sulit baginya?”

“Tak bisakah kau melihatnya?”

Aku sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai topik pewaris, tapi satu hal yang aku yakini adalah
seberapa kuat rasa tanggung jawab Chitanda. Jika dia benar-benar turun dari bus dan menghilang,
pasti ada alasan serius di baliknya. Aku tidak ingin mengabaikan alasan itu karena hanya "Saat
keraguan."

Tentu saja, seperti yang dikatakan Yokote-san, dia hampir pasti akan muncul sebelum waktunya
untuk naik ke atas panggung. Tapi penampilannya akan menjadi hasil akhir konflik — sebuah konflik
di dalam dirinya untuk mencekik dan mengubur alasannya untuk melarikan diri dengan wajah pucat,
sepenuhnya terikat oleh rasa tanggung jawabnya. Bagiku, sepertinya dia mengatakan bahwa dia
ingin melarikan diri, tapi dia harus pergi. Dia harus pergi. Apa itu tidak terasa sulit baginya?

Kapan pun aku merasa terpojok seperti itu, melihat seseorang yang datang untuk menariklu keluar
selalu membuatku bahagia. Dalam arti itu, menemukannya lebih penting daripada yang bisa
diketahui Yokote-san.

Alih-alih mengatakan semua itu, aku menekan semuanya menjadi satu kalimat pendek:

“Aku maksud, itu yang seorang teman lakukan.”

Dia menatapku tanpa suara. Sepertinya dia berusaha menilai seberapa banyak dia bisa percaya, tapi
tidak ada alasan mengapa kita berdua harus berada di tepi.

“Lagi pula, Bukan alasanmu menunggu di sini karena kau ingin menyapa Chitanda saat dia kembali?”

Yokote-san tampak tercengang.

“Kau ingin bertemu dengannya di sini, kami ingin bertemu dengannya di Jinde – bukankah kau pikir
kita memiliki tujuan yang sama? Bagaimana dengan itu? Bisakah kau memberitahuku dimana dia
turun?”

“Siapa “kami” yang kau maksud ingin menemukannya di Jinde?”

Hm? Oh, yah.


“Ibara sangat khawatir. Mungkin akan lebih baik jika dia datang, atau bahkan jika bertemu dengan
Chitanda sendiri. Satu-satunya, dia keluar mencari sekarang, jadi mungkin sulit untuk
menghubunginya. Tidak ada waktu, jadi aku bahkan tidak yakin apa aku harus coba. Apa menurutmu
itu ide yang buruk?”

“Tidak.”

Entah kenapa, Yokote-san meletakkan tangannya di atas mulutnya dan tampak agak senang. Dia
kemudian mengembalikan tangannya ke pangkuannya dan melanjutkan dengan.

“Aku mengerti. Kau benar. Aku juga mulai merasa sedikit resah, meski aku tahu dia akan datang. Aku
akan memberitahumu apa yang aku tahu.”

Aku mengangguk.

“Anak itu turun di halte bus Jinde Selatan. Jika kau menuju ke sana dari sini dan mengikuti rute bus
di sisi kanan bukit gunung, kau seharusnya bisa melihat satu gudang dengan dinding diplester. Jika
dia mencari tempat untuk bersembunyi, pastilah itu pasti ada di sana.”

Yokote-san mengatakan bahwa ia melihat Chitanda saat ia meninggalkan bus. Bus sepertinya akan
segera berangkat setelah itu.

Aku tidak tahu seberapa jauh gudang itu dari jalan, tapi kalau di bukin gunung, mungkin jaraknya
agak jauh. Dia mungkin hanya punya cukup waktu untuk melihat dari mana Chitanda mulai pergi
sebelum bus berhenti. Meskipun dia hanya melihat sedikit, Yokote-san sepertinya tidak memiliki
keraguan, jadi aku terus ragu.

“Apa kau melihatnya pergi ke sana?”

Yokote-san menggelengkan kepalanya. “Aku tidak melihatnya, akan tetapi aku tahu dia bahkan ke
sana bahkan tanpa melihatnya sendiri.”

Ekspresinya lembut, seakan mengingat saat yang membahagiakan dari masa lalunya.

“Bangunan itu milik keluargaku, tapi kami tidak memakainya lagi. Ketika dia masih kecil, anak itu
sering datang ke sana untuk bersembunyi dari orang-orang.”
Kupikir Yokote-san adalah tetangga dekat, tapi jika Chitanda menggunakan gudang itu sebagai
tempat persembunyiannya, maka pasti dia lebih dari sekadar tetangga yang baik.

“Yokote-san, apa kau kerabat Chitanda?”

“Seharusnya ada beberapa orang dari keluarga Chitanda. Kau tidak harus langsung menuju gudang
karena mungkin ada yang curiga. Pertama, cari rumah yang dikelilingi pagar tanaman di sebelah
gudang. Akan ada papan nama yang bertuliskan "Yokote." Begitu kau melewati pagar tanaman,
berputar-putar ke bagian belakang gudang. Tidak akan ada orang di rumah, tapi jika seseorang
bertanya mengapa kau berada di sana, kau bisa memberi tahu mereka bahwa aku memintamu
untuk mengambil sesuatu yang aku lupakan sebelum datang. Itu saja, jadi tolong cepat.”

Dia dengan cepat mengangkat tangannya dan menunjuk ke pintu logamnya.

6.

Jinde adalah daerah yang dikelilingi deretan perbukitan di sebelah timur laut Kota Kamiyama. Di
kertas, Jinde dimasukkan sebagai bagian dari Kota Kamiyama dalam urusan administrasi distrik.
Namun kenyataannya, keduanya hanya terhubung dengan jalan gunung yang sempit, tempat tinggal
masing-masing terpisah satu sama lain.

Mengesampingkan jaraknya, meskipun, tidak ada jarak yang jauh antara keduanya dalam kenyataan
—Chitanda yang membuat perjalanan pulang dari sekolah setiap hari adalah bukti dari itu. Naik dan
turun jalan gunung sangat sulit, tapi kau bisa menempuh jarak kurang dari 30 menit jika kau terjun
melewatinya dengan sepeda. Aku memeriksa jam tanganku dan membaca beberapa menit sampai
jam 4.30. Tidak ada waktu untuk disia-siakan.

Tepat saat melangkah keluar dari pusat budaya, dengan asumsi harus berkendara dengan sepeda,
bus berhenti di depanku dan pintunya terbuka seolah-olah seorang sopir datang untuk menjemput
seorang artis. Aku benar-benar tercengang. Seperti rusa di lampu depan, aku tidak bisa bergerak
sesaat. Tidak hanya perjalanan pasti akan lebih cepat daripada bersepeda, aku tidak perlu
meluangkan waktu untuk menemukan halte bus begitu sampai di sana. Namun, keberuntungan luar
biasa apa yang aku dapatkan untuk sebuah bus yang hanya datang sekali setiap jam untuk muncul
tepat saat aku sangat membutuhkannya. Ini pasti jebakan, bukan?
Oh, ini pasti jebakan! Arah rutenya pasti berbeda. Jika aku naik bus keberuntungan ini, aku akan
terjebak dalam lubang, dibawa ke arah yang berlawanan, bukan? Seberapa pintar aku untuk
menyadarinya sebelumnya? Aku mengintip papan nama untuk melihat di mana jalan memutar yang
besar ini membawaku: "Menuju Jinde."

“Ah, ok. Aku akan naik.”

Selain momen syokku, pikiranku telah berdegup sepanjang waktu. Tanpa menyadarinya, akhirnya
aku mengatakan ini dengan keras ke bus yang tampak seperti sebentar lagi akan berangkat. Aku
berlari ke sana dan naik, duduk di kursi terdekat sambil mendesah dalam-dalam. Pada saat itu, aku
mendengar suara seperti ban dalam yang mengempis, dan pintu bus tertutup.

“Bus akan segera berangkat.”

Busnya perlahan maju dengan pengumuman tersebut. Itu adalah jenis bus membayar saat kau
turun.

Aku ingin sebentar mencari Ibara sebelum pergi ke Jinde, tapi kedatangan bus yang tak terduga
tersebut memaksa melakukan perubahan rencana. "Jangan terlambat untuk busnya!" Kata seorang
komentator yang pernah aku lihat di TV pada suatu saat. Setelah menetap, aku bertanya-tanya
apakah aku punya uang. Aku cukup yakin kalau aku sudah membawa dompetku bersamaku. Aku
meraba-raba kantongku untuk mencari dompetku dan memastikan bahwa aku membawanya —
sebenarnya—punya selembar 1.000 yen. Sementara aku berhasil menghindari masa depan di mana
aku dipaksa mencuci piring untuk memberi kompensasi karena tidak membayar ongkos bus, aku
harus menunda membeli buku yang aku inginkan sebentar lagi. Aku mengutuk langit, tapi—yah—
kurasa itulah kehidupan.

Ada kurang dari 10 orang di dalam bus, termasuk aku. Setelah meninggalkan pusat kebudayaan,
kami butuh waktu lama untuk sampai ke distrik yang lebih tua. Berkat jalan-jalan sempit, jalan tidak
bisa mendukung banyak lalu lintas, jadi biasa macet. Dengan linglung aku mengintip ke luar jendela
dan pemandangan yang familiar mengalir deras: toko manisan dengan dango yomogi yang lezat,
toko buku dengan rak-rak atas yang kosong karena pemiliknya yang tua tidak dapat lagi menjangkau
mereka, tukang drycleaner yang biasa menjual kain kimono saat aku masih kecil, toko yang menbuat
toko tembakau bangkrut dari bisnis ...

[T/N : Kurang yakin maksudnya apa, istilahnya baru TL denger jadi ga TL rubah semetara]
Halte bus berikutnya diumumkan melalui speaker, dan seseorang menekan tombol untuk turun. Dua
keluar dan satu naik. Perberhentian berikutnya juga ditandai. Aku hendak melihat jam tanganku, tapi
Aku langsung menarik mataku. Terlepas dari berapa banyak cara yang bisa dilakukan untuk
mencapai Chitanda, aku sudah memilih bus. Mungkin aku hanya akan panik jika melihat waktu dan
itu sama sekali tidak membuat aku kesana lebih cepat.

Bus akhirnya sampai distrik tua. Melewati persimpangan jalan dengan sebuah pompa bensin
berukuran empat kapal tanker di satu sisi dan sebuah gabungan hamburger lengkap dengan
pengendara di sisi lain. Kami akhirnya meraih kecepatan saat bus berhenti di jalan pintas.

Aku meletakkan siku di bingkai jendela dan mulai memikirkan lebih banyak tentang kasus ini saat
aku memandang ke luar.

Awalnya, Yokote-san menyebut Chitanda sebagai “anak perempuan Chitanda. "Baru setelah itu dia
mulai memanggilnya "anak itu. " Aku tidak dapat mengatakan apapun dengan pasti, tapi aku pikir dia
berusaha keras untuk memanggilnya "anak itu" di depan Danbayashi-san. Beberapa orang mungkin
membiarkannya karena dia hanya memikirkan sopan santunnya di sekitar orang lain, tapi aku
merasa hal itu mengekspresikan sesuatu yang lebih kompleks—sesuatu yang tidak bisa dia ceritakan
dengan seenaknya kepada orang-orang yang bukan kerabat.

Yokote-san memanggil Chitanda "anak perempuan Chitanda," "pewaris perkebunan Chitanda," dan
kemudian—hanya setelah hal lain—dia akhirnya mengungkapkan bahwa dia adalah keponakannya.
Aku tidak tahu detilnya, dan aku tidak yakin harus, tapi ketika aku memikirkan Chitanda Eru yang aku
tahu—presiden Klub Sastra Klasik SMA Kamiyama—diselimuti dan dikelilingi oleh julukan itu, aku
tidak bisa menghentikan rasa mualku yang tak berujung. Aku bahkan tidak bisa menentukan apa
yang menyebabkannya.

Chitanda sudah turun dari bus.

Mengapa dia melakukan itu? Aku tidak memiliki sesuatu yang khusus untuk dilakukan sementara aku
menunggu untuk mencapai tujuanku, dan pikiran yang sama terus berputar-putar di kepalaku.

Ada beberapa jalan pegunungan yang menghubungkan Jinde dan Kamiyama, dan jalan yang
ditempuh bus berbeda dari yang biasa aku tempuh saat bersepeda. Awalnya aku merasa cemas,
berpikir bahwa bus itu mulai menuju ke arah yang salah, tapi aku segera menyadari bahwa ini adalah
jalur lain yang tepat dan tenggelam kembali, jauh ke tempat dudukku, saat aku terus menunggu.
Bus akhirnya mendekati daerah pegunungan. Saat kami melewati serangkaian bukit yang terbuka,
lekukan mulai bergoyang tajam ke kiri dan kanan, dan bersama mereka, tubuhku. Perasaan asyiknya
muncul kembali kenangan saat kita berada di perjalanan mata air panas yang direncanakan Ibara
sekitar tahun ini tahun lalu. Aku tidak yakin apakah itu benar atau tidak, tapi aku mendengar
beberapa kasus mabuk kendaraan; Jadi, saat mendaki lereng, aku menemukan sebuah lagu berjudul
"Aku Tidak Takut Dengan Mabuk Kendaraan" dan membiarkan diriku dipeluk dengan melodi.

Suara geraman mesin yang jelas bekerja mulai memudar, dan bus memasuki jalan lurus dibalik
tanjakannya. Kami berhenti di tanda lalu lintas, sesuatu yang kurasa belum pernah kulihat dalam
waktu lama, dan suara wanita mengatakan sebuah pengumuman.

“Pemberhentian selanjutnya Jinde Selatan. Pemberhentian selanjutnya Jinde Selatan.”

Aku menekan tombol untuk meminta berhenti. Tepat saat bus mulai bergerak dengan lampu hijau,
itu mulai melambat saat berhenti lagi, akhirnya pintu dibuka. Kali ini, pengemudinya memanggil
dengan suara serak, namun aneh, "Kita sudah sampai di Jinde Se—latan."

Aku membayar ongkosnya dan turun dari bus, dan tindakan pertamaku adalah menarik napas
dalam-dalam. Kupikir aku akan baik-baik saja, tapi kurasa akhirnya aku sedikit sakit, dan udara segar
terasa luar biasa. Seharusnya sudah hujan di Jinde, tapi aku tidak melihat satu pun jejak air di
permukaan jalan. Kurasa karena bulan Juli, lagipula seandainya matahari terlihat hanya sebentar, itu
sudah cukup untuk mengeringkan sejumlah kecil air dengan cepat. Meskipun, melihat sekarang,
langit biru sebelumnya telah dipenuhi sepenuhnya dengan awan gelap. Sepertinya ada tanda-tanda
hujan mengintai di udara. Ini tidak baik. Aku tidak punya payung.

Aku mengamati sekelilingku dan menyadari bahwa jalan yang ditempuh bus itu dibangun di
sepanjang lereng bukit. Tanah di sisi kanannya melengkung ke atas, dan tanah di sebelah kiri turun
dengan lembut. Di bawah ini ladang yang dibangun secara efisien, tidak memiliki sedikit tanah, dan
mereka memancarkan warna hijau tua yang dipelihara oleh kehangatan musim panas. Banyak
rumah dibangun berjauhan, menghiasi pemandangan di hadapanku seolah mereka memainkan
peran pendukung. Aku tidak bisa memperkirakan jarak sebenarnya, tapi beberapa saat kemudian
aku dapati bahwa pemandangan mulai melambat sekali lagi. Di balik perbukitan hijau itu menjulang
pegunungan Kamikakiuchi dengan sisa-sisa salju kuno.

“Gudangnya…”
Saat aku menggumam ini, aku melihat ke sekeliling sekali lagi. Yokote-san telah memberitahuku
bahwa aku bisa melihatnya di sisi kanan jalan saat pergi ke Jinde. Itu berarti di lereng bukit.

Aku cepat menemukanya. Awalnya aku cemas, bertanya-tanya apa yang akan aku lakukan jika ada
beberapa gudang, tapi aku hanya bisa melihat yang pertama setelah memindai area; Itu juga tidak
terlalu jauh. Dari tempat aku berdiri, bagian bawah gudang itu tersembunyi dari pandangan oleh
pagar kayu yang mengelilinginya, jadi yang bisa aku pastikankan adalah atapnya berbentuk segitiga,
yang tampak seperti dinding putih diplester, dan satu set pintu ganda. Pada cerita kedua untuk
ventilasi dan pencahayaan. Sepertinya tidak ada bangunan yang berbatasan dengan itu;
Pemandangan gudang kesepian di lereng menyajikan gambar yang hampir ajaib.

Dengan cepat aku berjalan ke seberang jalan dan hendak langsung menuju gudang ketika aku
mengingat kembali apa yang Yokote-san katakan kepadaku; Akua harus berjalan ke sana dengan
cara yang tidak menarik perhatian. Aku sedikit terganggu dengan bagaimana dia mengatakannya
juga, tapi aku tidak bisa mengabaikan permintaan dari wanita yang memberitahuku di mana
Chitanda berada. Seperti sudah diberitahu, aku mulai mencari rumah dengan pagar tanaman.

Beberapa meter dari gudang, aku melihat sebuah rumah yang sepertinya sesuai dengan biaya
pembagunannya. Bangunan itu dibangun di atas pondasi dan memiliki atap genteng; Melalui celah di
pagar tanaman, aku bisa melihat gatepost di samping sebatang pohon besar. Itu tidak bisa
dibandingkan dengan perumahan Chitanda, tapi pemandangannya masih sangat mengesankan.

“Aku harus pergi ke sana, huh?”

Walaupun aku sudah punya izin untuk masuk, aku masih merasa gugup. Mungkin semuanya sudah
diatur oleh Yokote-san, dan detik saat aku masuk, taku akan ditangkap saat melanggar dan masuk
tanpa izin. Meskipun aku tidak berpikir itu akan benar-benar terjadi.

Aku memeriksa jam tanganku: itu jam 4:50. Kurasa perjalanan bus memakan waktu sekitar 20 menit,
kalau begitu. Kurasa apa yang dikatakan oleh Yokote-san pada pukul 1:00 dan tiba pukul 1.30
hanyalah perkiraan. Pamflet tersebut mengatakan bahwa bus berikutnya untuk pusat kebudayaan
dijadwalkan untuk tiba jam 5:10.

“Ini seharusnya berhasil.”


Ada 20 menit sampai bus berikutnya datang, jadi yang harus kulakukan hanyalah mengeluarkan
Chitanda dari gudang. Jika dia tidak berada di sana, well, aku melakukan semua yang aku bisa
lakukan. Ibara mungkin juga tidak akan menyalahkanku.

Aku merasakan sesuatu yang dingin menusuk pipiku. Aku menyentuh wajahku, hanya untuk
menyadari bahwa pipiku basah. Bintik hitam mulai mengotori jalanan. Ini sudah mulai hujan.

“Kau pasti bercanda.”

Sudah biasa hujan petang ini berubah menjadi deras. Aku benar-benar telah berusaha sekuat tenaga
hari ini, tapi sepertinya langit tidak akan memberiku sedikit pun ketenangan. Aku mengeluarkan
napas panjang dan berlari ke rumah dengan pagar tanaman.

7.

Aku berkeliling kebunnya dan berdiri di depan gudang.

Aku tidak bisa mengatakan bahwa hujan itu sama hebatnya dengan hujan deras. Paling tidak, itu
seperti gerimis ringan; Tapi meski begitu, semua pemandangan di sekitarnya menjadi kabur. Atap
gudang tidak terlihat sejauh itu. Aku tidak akan mengatakan bahwa itu adalah pemandangan yang
bagus, tapi aku berhasil tetap kering di bawahnya karena tidak berangin. Berkat pagar kayu,
meskipun aku pasti terlihat seperti siswa SMA yang hilang saat aku berdiri di sana, aku tidak perlu
khawatir dipergoki. Aku bersyukur untuk itu, tapi pada saat yang sama, desainnya bisa menarik calon
perampok. Kurasa dia bilang itu tidak digunakan lagi; Mereka mungkin tidak terlalu
mengkhawatirkannya.

Pintu gudang itu tebal dan diplester. Awalnya aku pikir itu tahan api juga, namun ternyata terbuat
dari kayu. Paku keling-mungkin ukuran tinju bayi—dipalu ke dalam pintu yang membentuk garis dari
atas ke bawah sehingga terlihat sangat kokoh. Ada lubang yang menunjukkan bahwa kau bisa
mengunci pintu, tapi bagian yang paling penting, kuncinya, hilang. Kurasa aku tidak butuh kunci
untuk masuk. Aku mulai bergumam pada diriku sendiri saat mengusap jariku di paku keling.

“Lalu, aku ingin tahu apa yang harus aku lakukan.”

Pertama-tama, aku harus memastikan bahwa Chitanda sebenarnya ada di sini. Kupikir aku bisa
mengetuk dan mengangkat tanganku sesuai dengan itu.
Pada saat itu, aku merasa seperti mendengar suara manis bercampur di antara hujan yang turun.
Aku menempelkan telingaku ke pintu.

Ah… Ah… Ah…

Aku bertanya-tanya apa itu, tapi aku bisa mengetahui dengan cepat: latihan vokal. Agar bisa tampil
di panggung dengan paduan suara, dia melakukan pemanasan untuk tenggorokannya di sini.
Sewaktu aku menyadarinya, secara tidak sadar aku mengetukkan jariku ke pintu.

Suara dari dalam gudang segera berhenti. Bagi seseorang di dalam, ketukanku mungkin terdengar
seperti sesuatu dari film horor. Aku memanggil Chitanda dengan santai.

“Chitanda, apa kau di sana?”

Aku menempelkan telingaku ke pintu lagi namun tidak mendengar apa-apa. Aku berbicara sekali lagi,
kali ini tetap menempelkan telingaku di tempat yang sama.

“Kau di sana?”

Suara gemetar terdengar membisik. “…Oreki-san?”

Di sana dia. Chitanda berada di sini sepenuhnya merupakan prediksi Yokote-san, jadi aku sudah
banyak memikirkan kemungkinan bahwa dia salah, tapi sepertinya semuanya berjalan baik.

Aku bisa mendengar suara Chitanda. Meski pintunya tampak tebal, tapi pastinya sangat tipis;
Suaranya terasa begitu dekat.

“Kenapa kau di sini?”

Apakah dia ingin tahu alasan aku datang, atau bagaimana aku bisa tahu ke mana harus pergi? Aku
tidak tahu, jadi aku menanggapi dengan menjawab keduanya.

“Ibara sedang mencari, jadi aku datang untuk membantu. Berkat saran Yokote-san aku akhirnya ke
sini.”

“Aku mengerti…”

Setelah sedikit jeda, dia melanjutkannya dengan nada yang mengetuk kekuatannya.
“Maaf.”

Tidak ada alasan untuknya meminta maaf padaku, jadi aku pura-pura aku tidak mendengar apapun.

“Agak sulit mendengarmu. Bolehkah aku membuka pintunya?”

Jawabannya terdengar seolah itu datang dari tempat yang sangat jauh.

“…Ya.”

“Aku tidak akan membukanya jika kau tidak mau aku melakukannya. Maaf.”

Yokote-san mengatakan bahwa ini adalah tempat persembunyian rahasia untuk Chitanda.
Mengingat situasinya, dia mungkin akan memaafkanku jika aku menerobos masuk tanpa bertanya,
tapi aku masih merasa canggung tentang semuanya. Hujan tidak begitu deras, dan aku sama sekali
tidak keberatan berbicara lewat pintu seperti ini. Tapi saat aku memikirkan ini, tiba-tiba Chitanda
menjawab, suaranya panik dan bingung.

“Bukan, bukan begitu! Hanya saja… Aku sedang kacau sekarang.”

Sebuah keheningan kecil terjadi, dan kemudian Chitanda mulai berbicara dengan suara yang
terdengar seperti dia menghina dirinya sendiri.

“Kau pasti jijik padaku, Oreki-san. Bahkan walaupun aku punya tanggung jawab, Aku kabur seperti
ini. Aku yakin aku sudah menyebabkan banyak sekali masalah bagi semua orang. Aku hanya...orang
yang paling buruk.”

Tentu, aku sudah berpikir itu aneh, tapi tidak pernah sekalipun aku merasa jijik padanya.

“Kau hanya tidak datang di pertemuan jam 2:00, tapi aku yakin kau berencana ke sana sebelum jam
6:00. Maksudku, lagi kau sedang latihan sekarang.”

Dia langsung menembakan sebuah pertanyaan.

“Kau mendengarnya?!”

“Yah, hanya di bagian akhirnya.”

“…”
“Dibanding mendengar, itu lebih seperti aku tidak sengaja mendengarnya.”

Untuk beberapa saat, hanya suara hujan yang turun sampai ke telingaku. Sulit berdiri menghadap
pintu di bawah atap yang sempit, jadi aku menyandarkan punggungku. Aku berdeham dan dengan
lembut berbicara sekali lagi.

“Jadi, Bagaimana? Apa kau pikir bisa pergi?”

Dia menjawab dengan nada ketakutan.

“Kau tidak bilang padaku untuk pergi??”

Chitanda tidak bisa melihatnya, tapi bahuku jadi santai.

“Jika kau tak bisa pergi, Aku tidak akan memaksamu. Danbayashi-san sudah bekerja keras mencari
pengganti. Aku yakin ada satu atau dua orang yang bisa menggantikan tempatmu.”

“Aku tidak bisa melakukan sesuatu seperti itu.”

Aku tidak pernah mendengar suaranya serapuh yang dia lakukan sekarang ini.

Seekor siput memanjat pagar kayu di depanku; ketika siput itu berhasih, aku kagum. Saat aku secara
tidak sadar melihat siput itu perlahan bergerak, aku mulai bicara.

“Tapi kau tidak bisa menyanyi, bukan?”

Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Akhirnya, aku mendengar suara yang sepertinya mencari
sesuatu dengan hati-hati.

“Oreki-san, apa kau tahu sesuatu?”

“Tidak, tidak juga. Maaf, aku bilang sesuatu seperti aku tahu. Aku tidak tahu apapun.”

Sebuah suara—dengan sedikit tenaga—menjawab.

“Tentu saja tidak, pasti ada sesuatu yang salah dengan diriku.”
Bilah rumput liar di kakiku diselimuti oleh gerimis ringat; Mereka membungkuk sedikit, di bawah
berat air. Siput di pagar tampak seolah-olah sedang mendaki, tapi itu belum ada kemajuan sedikit
pun.

“Aku tidak tahu apapun, tapi aku merasa aku mungkin mengerti sedikit.”

Mengapa Chitanda turun dari bus?

Ekspresi apa yang ada di wajah Chitanda, aku bertanya-tanya. Aku mendengar suaranya menjawab,
mungkin terdengar seperti anak-anak yang menggangguku untuk menceritakan mereka sebuah
cerita.

“Kumohon beritahu aku.”

Apa yang akan terjadi jika aku memberitahunya? Jika aku benar tentang perasaan yang dipegangnya
di dalam dirinya, apakah aku bisa memberinya setidaknya sedikit penyelamatan? aku tidak punya
jaminan bahwa aku benar. Ini tidak masuk akal. Lebih baik diam saja.

Aku tidak bisa mendengar apapun dari balik pintu. Dia pasti sudah menunggu dengan napas
tertahan.

Aku melihat jam tanganku; Masih ada sedikit waktu sebelum bus datang.

Aku merasa seperti ada cerita rakyat yang sesuai dengan situasi ini. Apa peranku di dalamnya? Orang
bijak? Pahlawan? Mungkin aku adalah penari yang membuka pintu dengan tariannya yang aneh.
Baiklah, aku kira. Jika bintang pertunjukan menginginkannya, aku harus menceritakan semuanya
padanya. Bahkan jika itu salah dan mengecewakan, aku harus mengatakannya.

“Mari kita lihat. Apa mungkin ini tentang—”

Aku menarik napas tunggal dan melihat ke langit, menembus hujan tanpa henti, ke langit yang gelap.

“—kau diberitahu kalau kau tidak perlu mewarisi bisnis keluarga?”

Aku tidak mendengar apapun kecuali hujan. Semua inderaku dipenuhi dengan suara putih lembut,
shhh.
“Beberapa saat yang lalu, Ibara mengemukakan sebuah cerita aneh. Itu tentang secangkir kopi yang
terlalu manis. Kau melamun di hari itut—tentu bukan dirimu biasa. Awalnya, aku hanya berpikir
bahwa setiap orang memiliki hari-hari seperti itu, tapi saat aku pergi, aku melihat buku yang sedang
kau baca; gambaran tentang itu belum meninggalkan pikiranku. Itu adalah panduan karier. Jenis
perguruan tinggi apa yang harus kau kunjungi setelah SMA, pekerjaan apa yang harus kau kejar, apa
yang akan kau lakukan pada hidupmu—buku semacam itu.”

Meski seharusnya aku aman dari hujan, kakiku agak basah. Tidak ada yang rasa dingin dari itu. Itu
adalah hujan musim panas yang hangat.

“Kita sedang dalam masa tahun kedua SMA kita. Mungkin wajar jika kita membaca buku-buku
semacam itu ... tapi aku pikir itu agak aneh. Ibara dan Satoshi mungkin sedang memikirkan ke mana
mereka ingin hidup, tapi kau berbeda. Pada kunjungan pertama kuil kita pada bulan Januari dan
pada festival boneka hidup di bulan April, aku melihat kau bertindak sebagai pewaris perkembunan
Chitanda. Kau sudah memilih jalan hidupmu lebih cepat dari pada kita —setidaknya itulah yang
seharusnya terjadi. Jadi mengapa aku melihatmu menatap pada sebuah buku panduan karir?”

Pada waktu itu, aku dengan ceroboh membayangkan bahwa dia baru saja membaca tentang karir
yang berbeda yang tidak akan dia kejar. Dengan kejadian hari ini, aku mulai mempertimbangkan
kemungkinan yang sama sekali berbeda.

“Lalu datanglah festival paduan suara hari ini. Kudengar dari Ibara bahwa kau menghilang. Aku tahu
kau pasti punya alasan untuk melarikan diri. Baru setelah aku membaca lirik yang seharusnya kau
nyanyikan, aku mendapat ide ini.”

Aku membaca liriknya di pamflet di pusat budaya, tapi aku tidak tahu bagian mana permainan solo
Chitanta sampai aku berhasil bertanya pada Danbayashi-san.

“Satoshi menyebutkan sesuatu padaku : dalam karyanya, Sandou Ejima sering dipuji dengan nilai
biasa dari hari-harinya tanpa menahan diri dan, sebagai hasilnya, karya-kayanya menjadi terlalu
berkhotbah—dia tidak pernah benar-benar dianggap kelas atas.”

Ah, aku memohon padamu. Aku juga berusaha untuk hidup di langit yang tak terbatas.

“Dalam bagianmu, kau bernyanyi langsung tentang kekaguman kebebasan yang tak tertandingi.”
Berkat Satoshi aku mampu menghubungkan perasaan aneh saat aku membaca liriknya dan
hilangnya Chutanda. Ketika bermain shogi dengan saudaranya dia memberi tahuku bahwa, ketikan
dia baik-baik saja mengalah, itu adalah akting dengan mengatakan “aku kalah” yang tidak cocok
dengannya.

Aku memiliki memori yang serupa. Aku pernah pergi ke pernikahan seorang kerabat sejak lama, dan
akhirnya aku harus menyanyikan sebuah himne. Seharusnya aku baik-baik saja dengan
menyanyikannya karena semuanya benar-benar mendalaminya—menghormati Yesus dan
memanggil Maria-tapi saya tidak bisa memaksa diri melakukannya. Memuji bahwa di mana aku tidak
percaya—bukankah itu hanya merugikan orang-orang yang dengan sungguh-sungguh menyembah
Kristus

“Aku memiliki memori yang serupa. Aku pernah pergi ke pernikahan seorang kerabat sejak lama, dan
akhirnya aku harus menyanyikan sebuah himne. Seharusnya aku baik-baik saja dengan
menyanyikannya karena semuanya benar-benar mendalaminya—menghormati Yesus dan
memanggil Maria-tapi saya tidak bisa memaksa diri melakukannya. Memuji bahwa di mana aku tidak
percaya—bukankah itu hanya merugikan orang-orang yang dengan sungguh-sungguh menyembah
Kristus?”

Terbaring tempat beban berat dalam hatinya.

“Jika liriknya tentang sesuatu yang lain, itu akan beda cerita. Tapi, seperti kau yang sekarang,
tidakkah kau menemukan dirimu sendiri tidak bisa bernyanyi sebuah lagi yang mendambakan
kebebasan?”

Aku bertanya-tanya apakah Chitanda masih ada di balik pintu yang terpaku iut. Dia tidak berbicara,
dan aku tidak bisa mendengar satu suara pun. Aku terus berbicara, seolah memberi monolog.

“Sampai beberapa saat yang lalu, masa depanmu—maafkan aku mengatakan ini—bukanlah apa
yang aku sebut ‘bebas’. Aku yakin kau perlu sedikit masukan, tapi satu hal yang tidak akan berubah
adalah fakta kalau kau mewarisi keluarga Chitanda pada akhirnya. Jika memang begitu keadaanya,
lalu aku tidak mengerti mengapa kau punya masalah bernyanyi. Tapi bukan hanya itu seperti
latihanmu berjalan normal, kau juga tidak menolak diberi bagian itu. Itu berarti situasimu sudah
berubah setelah itu.”

Mungkin itu terjadi sehari sebelum Ibara menceritakan kisah kopi yang terlalu manis itu.
“Jika kau tidak dapat menyanyikannya dalam beberapa hari terakhir ini ... Bukankah itu karena kau
membebaskan dirimu sendiri?”

Aku tidak mendengar sebuah pembenaran maupun sangkalan.

“Kau adalah seseorang yang mampu melakukan apa yang kau lakukan saat diberitahu kau akan
mewarisi bisnis keluarga. Kau sudah memikirkanya dalam-dalam itu sebagai kenyataan yang tak bisa
dirubah. Dengan itu di pikiranmu, apa yang akan terjadi jika kau tiba-tiba diberitahu oleh orang
tuamu atau orang lain kau tidak perlu menjadi pewarisnya dan kau harus menghidupkan hidupmu
sendiri?”

Yokote-san bilang kalau gadis itu adalah pewaris perkebunan Chitanda dan dia akan datang karena
dia paham tanggung jawabnya; tapi apa yang akan terjadi jika Chitanda tidak lagi cocok dengan
peran itu?

“Kau mungkin tidak tahu harus berbuat apa.”

Aku adalah seseorang bahunya tidak menanggung peran besar dan seseorang yang mendedikasikan
pada gaya hidup hemat energi. Dengan itu di pikiranku, aku seharusnya perlu untuk benar-benar
paham apapun yang Chitanda pikirkan. Aku seharusnya tidak mengerti apapun sama sekali—namun,
aku tetap sampai pada jawaban ini. Ini benar-benar konyol.

“Di depan banyak orang, bisakah kau bernyanyi sebuah lagi yang kau mendambakan kebebasan?
‘Tentu saja kau sudah dipercayakan dengan sebuah solo yang penting, Jadi dengan semua catatan
kamu harus ikuti. Kau akan berakhir membuat sesama anggota paduan suara pada situasi sulit. Kau
harus mengesampkinkan situasimu dan menyanyi, karena ini adalah bagian dari peranmu. Jangan
buat ini semua tentangmu—’ Aku rasa semua itu terdengan seperti argumen yang masuk akal. Aku
bisa melihat seseorang mengatakan hal itu.”

Kenyataannya, kemungkinan besar seseorang akan memberitahu dia hal-hal ini. Ibara tidak akan.
Satoshi pasti tidak akan. Tapi, tetap saja, seseorang akan melakukannya.

“Tapi aku—Bahkan jika deduksiku benar. Aku tidak akan menyalahkanku.”

Lagi pula, Aku tidak punya hak untuk melakukannya.


Walau musim hujan sudah lama berlalu, gerimis yang lembut, dan sunyi tidak menunjukan tanda
semakin deras maupun mereda. Siput di pagar sudah menghilang. Sudahkah dia, perlahan tapi pasti,
berhasil sampai ke puncak? Apakau dia jatuh ke rerumputan di bawah? Aku tidak melihatnya.

Dari balik pintu yang tertutup terdengar suara yang sangat lembut.

“Oreki-san.”

“Aku mendengarkan.”

“Bahkan walaupun aku sudah diberitahu aku sekang bisa hidup bebas... Bahkan walaupun aku sudah
diberitahu aku bissa memilih apa yang aku ingin lakukan dengan hidupku... Bahkan walaupun aku
sudah diberitahu kalau keluarga Chitanda akan baik-baik saja, jadi aku tidak perlu khawatir...”

Suaranya, berubah seolah merendah menjadi menghina diri sendiri, menggumamkan satu hal
terakhir.

“Bahkan walaupun aku sudah diberitahu aku sekarang memiliki sayap, apa yang harus aku lakukan?”

Dan dengan begitu, seisi gudang menjadi sunyi.

Saat aku memikirkan beban yang Chitanda tanggung sejauh ini, dan beban yang dia sudah diberitahu
bahwa dia tidak perlu menanggungnya, aku tiba-tiba merasa seperti ingin menghajar sesuatu
dengan dengan semua yang aku punya. Aku merasa seperti aku ingin menghancurkannya—untuk
melukai tanganku dan membuatnya berdarah.

Aku melihat jam tanganku: 5:06. Kurang dari empat menit, bus yang menuju ke pusat budaya akan
tiba.

Aku sudah mengatakan semua yang aku perlu katakan dan menyelesaikan semua yang aku perlu
lakukan. Sisanya, tak peduli betapa banya itu menyakitiku, adalah untuk Chitanda selesaikan.

Tidak menjadi lebih deras maupun mereda, hujan terus turun. Suara nyanyian tidak bisa lagi
didengar dari dalam gudang.

-End-

Anda mungkin juga menyukai