Anda di halaman 1dari 10

Gerilyawan

(Nazamuddin)

Aku yang kini duduk di bangku tengah mobil Jeep bersama rombongan tentara
Belanda, perlahan menjauh meninggalkan desa tempat aku dilahirkan. Desa yang kini sudah
rata dengan tanah. Aku hanya terdiam menatap datar dari balik remang remang cahaya bulan,
mayat ayah dan ibuku yang berlumuran darah, serta mayat dari orang-orang yang kukenal.
seakan tidak terjadi apa-apa, aku tidak menangis. Sedihpun tidak. Aku berusaha tertawa
meski sulit.
Bukan, aku bukannya senang melihat kejadian ini, tapi hal ini aku lakukan demi
menjaga identitasku sebagai penghianat pribumi di mata Belanda. Aku harus bisa
mengendalikan diri. Serangan tadi dilakukan berdasarkan informasi yang aku berikan kepada
pemerintah belanda. Harga yang cukup mahal bagiku. Harus mengorbankan orang tua serta
warga desaku. Tetapi hal ini harus kulakukan demi menyelesaikan misiku. Serangan ini
mereka sebut sebagai “Agresi Milter Belanda I ”.
Sudah sepuluh menit perjalanan di dalam mobil, aku hanya diam. Tidak mengucap
sepatah kata pun. Membiarkan sunyinya malam terpecah oleh tawa pasukan di mobil ini.
Kalau saja mentalku tidak dilatih sekeras ini, mungkin emosiku lepas kendali mendengar
tawa bahagia mereka setelah menghancurkan desaku. Setelah beberapa lama aku mulai
angkat bicara. ”Malam ini mungkin akan terasa sangat panjang bagi kalian,”ujarku dengan
nada santai dan terkendali. Untuk sesaat tawa dan canda mereka terhenti. Tapi hanya sesaat,
tidak peduli kalimatku. Mereka kembali tertawa seperti sebelumnya.
Kami sudah setengah perjalanan, tetapi tiba-tiba “PSSSHHHHH.....,” terdengar suara
tembakan dengan peredam suara yang diikuti dengan pecahnya ban depan mobil Jeep ini.
Dua mobil Jeep dibelakangku pun lepas kendali karena terkejut. Kecelakaan beruntun lima
mobil Jeep terjadi. Tanpa sempat bersiap, dalam sekejap kelima mobil ini dikepung
gerilyawan yang sudah jelas unggul dalam hutan dan kegelapan malam. Tidak butuh waktu
lama, rombongan ini berhasil dibekuk dengan mudah.
Kelima mobil ini memang menjadi tujuan utama kami dalam misi kali ini. Tiga Dari
lima mobil ini adalah mobil yang membawa senjata mesin yang canggih beserta amunisinya
serta beberapa granat. Senjata-senjata mesin seperti itu sangat sulit didapatkan. Dan di dalam
salah satu mobil terdapat informasi sangat penting mengenai rencana agresi militer Belanda
1,2, dan 3.
“Selamat datang kembali, Sarji. Hahaha... Kau benar-benar tidak memberitahukan
nama aslimu kepada mereka?,” Gerilyawan itu terkekeh. “Kerja bagus nak, ternyata aku tidak
salah memilihmu untuk menjadi pemain utama dalam misi yang sangat beresiko ini, ”,
sambungnya lagi. Suara itu tidak salah lagi, itu adalah suara komandan Ivan.”Aku tahu ada
banyak yang ingin kau ceritakan padaku nak, tapi untuk saat ini tahan dulu ceritamu itu, kita
harus mengurus harta karun kita yang saat ini ada di depan mata,” lanjutnya dengan nada
khas yang sudah lama tidak kudengar.
“Kalau begitu, langsung saja kita bunuh para keparat ini komandan,” ucapku dengan
nada penuh emosi. “haahahha, ternyata kau masih belum berubah ya Sarji. Terlalu mengikuti
nafsu pribadimu hingga tak bisa berpikir jernih dan tak mampu membaca situasi,” balas
komandan Ivan.” Coba berpikir sejenak, orang secerdas dirimu pasti tau apa yang bisa kita
dapat dari orang-orang kulit putih ini,” lanjutnya. ”Siap komandan, kita bisa menggali
informasi melalui orang-orang ini,” ucapku dengan tangan hormat kepada komandan Ivan.
Komandan Ivan membalas hormatku. “ayo semuanya cepat bergegas, kita harus sampai ke
markas sebelum pagi datang. Sebelum pasukan Belanda lainnya tiba di sini,” komandan Ivan
memberi komando. Persis, sesaat setelah komandan Ivan memberi aba-aba, semuanya
bergerak dengan cepat dan sangat teratur. Hasil latihan yang sangat panjang.
Sesampainya di markas, rombongan kami disambut langsung oleh Jenderal
Soedirman. Meski dalam keadaan sakit dan duduk di atas tandu, beliau masih saja
memaksakan diri untuk ikut dalam misi penumpasan agresi militer Belanda ini. Kalau diriku
pribadi, jujur aku senang jika Jenderal Soedirman yang memimpin misi ini. Dengan
strateginya yang jenius dan kemampuannya dalam membangkitkan semangat para prajurit
melalui pidato-pidatonya, aku yakin misi penumpasan agresi militer Belanda ini akan sukses.
Di markas gerilya ini, berisi sekitar lima puluh orang gerilyawan yang sebagian besar adalah
prajurit bekas Divisi Siliwangi.
“ Teknik sandi morse mu boleh juga Sarji. Sangat jelas dan tidak meragukan. Dan
yang paling hebatnya kau bisa tau tujuanku menyelipkan pistol buatan Jepang itu di bajumu,”
Jenderal Soedirman memulai menyapaku lebih dulu dengan pujiannya. “ terimakasih
Jenderal, mengenai pistol yang Jenderal selipkan itu aku bisa menebaknya berdasarkan
instingku saja. Aku terus berpikir tentang fungsi pistol Jepang itu dan akhirnya saat
penyerangan di desaku tadi, aku sadar kalau pistol Jepang yang jenderal berikan ini
mengeluarkan bunyi tembakan yang berbeda dengan senjata yang digunakan para keparat ini
dan bunyi yang dihasilkan juga lebih keras. Hal ini membuatku berpikir untuk mengirim
sandi morse yang aku yakin akan didengar oleh salah seorang gerilyawan yang sedang
berpatroli,”jawabku dengan semangat.” Pilihan yang sangat tepat Sarji isi sandi morse mu R-
U-T-E-L-O-N-G-M-A-R-C-H-S-I-L-I-W-A-N-G-I BUKAN ?”Ucap Jenderal Soedirman
sambil menepuk pundakku. “Siap benar komandan,”jawabku.“Sangat jenius. Oh iya,
mengenai desamu, aku yakin kau tidak ingin membahasnya tapi yakinlah semua itu tidak
akan sia-sia”.
Kemudian Jenderal Soedirman membawaku ke kantor sederhananya. Di sana Jenderal
Soedirman bertanya tentang informasi yang berhasil aku dapatkan setelah menyamar selama
sebulan penuh. Aku pun menjelaskan semua informasi yang aku ketahui, semuanya termasuk
hal-hal kecil sekalipun. Karena untuk inilah tujuan misi penyamaranku. Setelah selesai
menjelaskan, aku pamit kepada Jenderal dan langsung menuju tempat tawanan prajurit
Belanda itu di amankan. Aku sudah tidak sabar untuk membalaskan perbuatan yang mereka
lakukan di desaku tadi. Ingin sekali rasanya aku membunuh mereka semua, tapi apa yang
dikatakan Komandan Ivan sangatlah benar. Aku harus berpikir jernih. Tidak boleh jika aku
hanya menuruti nafsu pibadiku. Aku harus bisa mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya dari mulut prajurit-prajurit keparat ini.
Tetapi saat tiba di lokasi penawanan, bukannya aku yang berbicara lebih
dulu.“Terimakasih telah memberi tahu lokasi markas kalian kepada kami ,” Salah satu
diantara mereka lebih dulu berbicara padaku.” Hahahah Apa maksudmu hai orang kulit
putih? kalian adalah tawanan di sini. Jadi meskipun kalian tahu lokasi markas gerilya kami,
itu tak ada gunanya,” aku berbicara setengah terkekeh. Tiba- tiba terdengar suara gaduh
diluar. Itu adalah Suara mobil. Mobil apa itu? Siapa mereka? Aku bertanya-tanya bergumam
kepada diriku sendiri. “ternyata mitos tentang kebodohan orang pribumi itu benar adanya.
Apakah kalian tidak mengenal Sinyal SOS? SOS adalah Sinyal darurat. Kami menanamnya
di mobil Jeep kami dan terhubung dengan markas pusat kami. Dan dengan sinyal itu
koordinat mobil kami yang kini berada di markas kalian dapat ditemukan dengan mudah. Dan
satu fakta lagi. Suara Itu bukanlah suara mesin mobil, melainkan mesin helikopter yang tidak
akan mampu kalian lawan dengan bambu runcing,” salah seeorang tawanan itu menjelaskan
sambil tertawa puas. Aku membalas ocehan tersebut dengan membunuh mereka semua
menggunakan senjata api yang sedang aku pegang.
Beberapa saat kemudian terdengar komando berkumpul dari komandan Ivan. Semua
prajurit termasuk aku langsung berkumpul secepat mungkin. Dan di atas tandu, Jenderal
Soedirman memberikan semangat dan menjelaskan situasi dengan singkat. Selama Jenderal
Soedirman memberi arahan, aku tidak berhenti berpikir tentang sinyal SOS di mobil Jeep itu.
Pasti ada tombol tempat mengaktifkan sinyal tersebut. Setelah beberapa lama akhirnya aku
ingat bagaimana tindakan salah seorang tawanan itu saat di dalam mobil tadi. Ia
menandukkan kepalanya ke atap mobil Jeep saat perjalanan ke markas tadi. Awalnya aku
menganggap kalau tindakan salah satu tawanan itu adalah tindakan bodoh. Tapi ternyata aku
salah, ia sangatlah jenius. Aku yakin di atap itulah tombol untuk mengaktifkan sinyal SOS.
Dan sinyal itu pasti dihubungkan oleh kabel yang jika kabel itu aku putuskan akan memutus
sinyal dari SOS itu.
Setelah yakin akan hal itu, aku langsung memeberitahunya kepada komandan Ivan
dan Jenderal Soedirman. Kemudian menyusun rencana bersama mereka. Menurut
perhitunganku kami punya waktu dua puluh menit sebelum mereka menemukan lokasi pasti
markas kami. Lokasi kami belum terlihat jelas karena tertutup oleh pohon-pohon yang sangat
tinggi di hutan ini. Sebelum dua puluh menit, kami harus melakukan sesuatu atau kami akan
mati sia-sia dan semua informasi dan senjata rampasan yangg susah payah kami dapatkan
akan sia-sia.
Setelah berunding beberapa saat, rencana diputuskan. Jenderal Soedirman
mengumumkan rencana kepada seluruh prajurit. Seluruh prajurit mulai bergerak sesuai aba-
aba Jenderal Soedirman. Pertama, kami memastikan keberadaan sinyal SOS itu dan ternyata
benar, di atap bagian dalam mobil Jeep itu terpasang tombol pemancar yang aku yakin itu
adalah sinyal SOS. Tanpa ragu aku memotong kabel yang terhubung dengan pemancar sinyal
itu. Kemudian satu per satu senjata mesin dan beberapa senjata canggih dari mobil Jeep
rampasan kami turunkan. seluruh pasukan dibagi menjadi dua kelompok. Lalu kami mulai
bergerak sesuai posisi yang telah ditentukan. Aku berada di kelompok yang sama dengan
komandan Ivan, kelomok penyergap. Kami kelompok penyergap membentuk formasi
mengelilingi markas kami yang aku yakin akan menjadi lokasi pendaratan helikopter Belanda
itu. Sedangkan kelompok lainnya yang bergerak menjauh bertugas menjaga Jenderal
Soedirman yang sedang sakit-sakitan.
Dugaan kami tepat. Persis di sebelah markas kami, helikopter Belanda itu mendarat.
Tapi kami salah menyangka kalau helikopter yang datang cuma ada satu. Melainkan delapan
helikopter dengan masing-masing helikopter mengangkut 5 orang prajurit bersenjata lengkap
di dalamnya. Kami menunggu kelima helikopter itu mendarat sempurna. Dan membiarkan
empat puluh orang prajurit Belanda itu mengacak-ngacak markas kami. Kami pasukan
penyergap masih menunggu aba-aba dari komandan Ivan.
Setelah lima menit menunggu akhirnya komandan Ivan memberi aba-aba menyerang.
Tiga puluh gerilyawan yang belum sepenuhnya tau cara menggunakan senjata mesin
melawan empat puluh orang prajurit terlatih dengan senjata lengkap. Tentara Belanda itu
terkejut dengan kedatangan kami yang mendadak. Aku langsung membabi buta menembak
mereka sambil menghitung jumlah tentara yang berhasil aku bunuh. Satu, dua, lima, tujuh,
sembilan. Aku berhasil membunuh sembilan orang tentara Belanda. Peperangan terjadi
dengan sangat sengit. Meskipun kami kalah jumlah, namun dari segi mentalitas dan
penguasaan medan tempur aku yakin kami lebih unggul. Akhirnya dengan strategi
pengepungan dan berjuang mati-matian, kami berhasil mengalahkan empat puluh orang
tentara Belanda.
Dengan kemenangan ini, aku tertawa sangat senang dan berlari mencari komandan
Ivan. Tetapi sepanjang perjalanan aku terheran dengan ekspresi sedih gerilyawan lain yang
kutemui. Mengapa harus bersedih? padahal kami berhasil menang dalam pertempuran ini.
Aku terus berputar mencari komandan Ivan, tapi setelah sekian lama berkeliling aku belum
juga menemukan komandan Ivan. Akhirnya, aku bertanya kepada salah seorang gerilyawan
yang dilihat dari sisi manapun bisa diketahui kalau ia sedang bersedih. ”Hai saudaraku,
dimana komandan Ivan?” tanyaku padanya. Namun gerilyawan itu malah memalingkan
wajahnya dariku dan tangisnya bertambah parah.
Lalu aku lanjut berjalan sambil terheran-heran. Belum jauh berjalan, aku melihat
sekelompok gerilyawan yang sedang mengerumuni sesuatu. Aku mendatangi kerumunan itu,
dan betapa terkejutnya aku melihat jasad yang terbaring kaku di atas tanah. Meski wajahnya
hancur lebur, aku yakin kalau mayat Itu adalah mayat komandan Ivan. Mataku mulai
memerah, mulai terasa panas. Ingin rasanya aku menangis sekuat tenaga, tapi kuurungkan
niatku itu. Karena aku yakin komandan Ivan tidak akan suka melihat aku menangisi jasadnya.
Aku berjanji akan membalas perbuatan Belanda keparat ini di agresi atau
penyerangan Belanda yang berikutnya. Atau yang mereka sebut sebagai rencana agresi
militer Belanda 2. Dengan informasi dan pengalaman yang aku dapatkan setelah menyamar
sebulan penuh, aku yakin kami bisa menaklukkan agresi militer Belanda 2. Sesuai wasiat
komandan Ivan, saat ini akulah yang akan menjadi pengganti komandan Ivan. Meski sulit
untuk menjadi sosok sehebat dirinya, aku akan berusaha dengan sekuat tenaga. Dan saat ini
yang paling penting adalah memindahkan markas kami ke tempat baru yang lebih aman.
Karena di tempat ini sudah tidak aman lagi.

TUGAS

1. Analisislah struktur cerpen sejarah di atas dengan menyebutkan paragrafnya!


2. Analisislah kebahasaan dari cerpen sejarah tersebut!
STRUKTUR CERPEN GERILYAWAN

Abstrak
Aku yang kini duduk di bangku tengah mobil Jeep bersama rombongan tentara
Belanda, perlahan menjauh meninggalkan desa tempat aku dilahirkan. Desa yang kini sudah
rata dengan tanah. Aku hanya terdiam menatap datar dari balik remang remang cahaya bulan,
mayat ayah dan ibuku yang berlumuran darah, serta mayat dari orang-orang yang kukenal.
seakan tidak terjadi apa-apa, aku tidak menangis. Sedihpun tidak. Aku berusaha tertawa
meski sulit.
Orientasi
Bukan, aku bukannya senang melihat kejadian ini, tapi hal ini aku lakukan demi
menjaga identitasku sebagai penghianat pribumi di mata Belanda. Aku harus bisa
mengendalikan diri. Serangan tadi dilakukan berdasarkan informasi yang aku berikan kepada
pemerintah belanda. Harga yang cukup mahal bagiku. Harus mengorbankan orang tua serta
warga desaku. Tetapi hal ini harus kulakukan demi menyelesaikan misiku. Serangan ini
mereka sebut sebagai “Agresi Milter Belanda I ”.
Sudah sepuluh menit perjalanan di dalam mobil, aku hanya diam. Tidak mengucap
sepatah kata pun. Membiarkan sunyinya malam terpecah oleh tawa pasukan di mobil ini.
Kalau saja mentalku tidak dilatih sekeras ini, mungkin emosiku lepas kendali mendengar
tawa bahagia mereka setelah menghancurkan desaku. Setelah beberapa lama aku mulai
angkat bicara. ”malam ini mungkin akan terasa sangat panjang bagi kalian,”ujarku dengan
nada santai dan terkendali. Untuk sesaat tawa dan canda mereka terhenti. tapi hanya sesaat,
tidak peduli kalimatku. mereka kembali tertawa seperti sebelumnya.
Pengenalan Masalah
Kami sudah setengah perjalanan, tetapi tiba-tiba “PSSSHHHHH.....,” terdengar suara
tembakan dengan peredam suara yang diikuti dengan pecahnya ban depan mobil Jeep ini.
Dua mobil Jeep dibelakangku pun lepas kendali karena terkejut. Kecelakaan beruntun lima
mobil Jeep terjadi. Tanpa sempat bersiap, dalam sekejap kelima mobil ini dikepung
gerilyawan yang sudah jelas unggul dalam hutan dan kegelapan malam. Tidak butuh waktu
lama, rombongan ini berhasil dibekuk dengan mudah.
Kelima mobil ini memang menjadi tujuan utama kami dalam misi kali ini. Tiga Dari
lima mobil ini adalah mobil yang membawa senjata mesin yang canggih beserta amunisinya
serta beberapa granat. Senjata-senjata mesin seperti itu sangat sulit didapatkan. Dan di dalam
salah satu mobil terdapat informasi sangat penting mengenai rencana agresi militer Belanda
1,2, dan 3.
“Selamat datang kembali, Sarji. Hahaha... Kau benar-benar tidak memberitahukan
nama aslimu kepada mereka?,” Gerilyawan itu terkekeh. “Kerja bagus nak, ternyata aku tidak
salah memilihmu untuk menjadi pemain utama dalam misi yang sangat beresiko ini, ”,
sambungnya lagi. Suara itu tidak salah lagi, itu adalah suara komandan Ivan.”Aku tahu ada
banyak yang ingin kau ceritakan padaku nak, tapi untuk saat ini tahan dulu ceritamu itu, kita
harus mengurus harta karun kita yang saat ini ada di depan mata,” lanjutnya dengan nada
khas yang sudah lama tidak kudengar.
“Kalau begitu, langsung saja kita bunuh para keparat ini komandan,” ucapku dengan
nada penuh emosi. “haahahha, ternyata kau masih belum berubah ya Sarji. Terlalu mengikuti
nafsu pribadimu hingga tak bisa berpikir jernih dan tak mampu membaca situasi,” balas
komandan Ivan.” Coba berpikir sejenak, orang secerdas dirimu pasti tau apa yang bisa kita
dapat dari orang-orang kulit putih ini,” lanjutnya. ”Siap komandan, kita bisa menggali
informasi melalui orang-orang ini,” ucapku dengan tangan hormat kepada komandan Ivan.
Komandan Ivan membalas hormatku. “ayo semuanya cepat bergegas, kita harus sampai ke
markas sebelum pagi datang. Sebelum pasukan Belanda lainnya tiba di sini,” komandan Ivan
memberi komando. Persis, sesaat setelah komandan Ivan memberi aba-aba, semuanya
bergerak dengan cepat dan sangat teratur. Hasil latihan yang sangat panjang.
Sesampainya di markas, rombongan kami disambut langsung oleh Jenderal
Soedirman. Meski dalam keadaan sakit dan duduk di atas tandu, beliau masih saja
memaksakan diri untuk ikut dalam misi penumpasan agresi militer Belanda ini. Kalau diriku
pribadi, jujur aku senang jika Jenderal Soedirman yang memimpin misi ini. Dengan
strateginya yang jenius dan kemampuannya dalam membangkitkan semangat para prajurit
melalui pidato-pidatonya, aku yakin misi penumpasan agresi militer Belanda ini akan sukses.
Di markas gerilya ini, berisi sekitar lima puluh orang gerilyawan yang sebagian besar adalah
prajurit bekas Divisi Siliwangi.
“ Teknik sandi morse mu boleh juga Sarji. Sangat jelas dan tidak meragukan. Dan
yang paling hebatnya kau bisa tau tujuanku menyelipkan pistol buatan Jepang itu di bajumu,”
Jenderal Soedirman memulai menyapaku lebih dulu dengan pujiannya. “ terimakasih
Jenderal, mengenai pistol yang Jenderal selipkan itu aku bisa menebaknya berdasarkan
instingku saja. Aku terus berpikir tentang fungsi pistol Jepang itu dan akhirnya saat
penyerangan di desaku tadi, aku sadar kalau pistol Jepang yang jenderal berikan ini
mengeluarkan bunyi tembakan yang berbeda dengan senjata yang digunakan para keparat ini
dan bunyi yang dihasilkan juga lebih keras. Hal ini membuatku berpikir untuk mengirim
sandi morse yang aku yakin akan didengar oleh salah seorang gerilyawan yang sedang
berpatroli,”jawabku dengan semangat.” Pilihan yang sangat tepat Sarji isi sandi morse mu R-
U-T-E-L-O-N-G-M-A-R-C-H-S-I-L-I-W-A-N-G-I BUKAN ?”Ucap Jenderal Soedirman
sambil menepuk pundakku. “Siap benar komandan,”jawabku.“Sangat jenius. Oh iya,
mengenai desamu, aku yakin kau tidak ingin membahasnya tapi yakinlah semua itu tidak
akan sia-sia”.
Kemudian Jenderal Soedirman membawaku ke kantor sederhananya. Di sana Jenderal
Soedirman bertanya tentang informasi yang berhasil aku dapatkan setelah menyamar selama
sebulan penuh. Aku pun menjelaskan semua informasi yang aku ketahui, semuanya termasuk
hal-hal kecil sekalipun. Karena untuk inilah tujuan misi penyamaranku. Setelah selesai
menjelaskan, aku pamit kepada Jenderal dan langsung menuju tempat tawanan prajurit
Belanda itu di amankan. Aku sudah tidak sabar untuk membalaskan perbuatan yang mereka
lakukan di desaku tadi. Ingin sekali rasanya aku membunuh mereka semua, tapi apa yang
dikatakan Komandan Ivan sangatlah benar. Aku harus berpikir jernih. Tidak boleh jika aku
hanya menuruti nafsu pibadiku. Aku harus bisa mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya dari mulut prajurit-prajurit keparat ini.
Komplikasi
Tetapi saat tiba di lokasi penawanan, bukannya aku yang berbicara lebih
dulu.“Terimakasih telah memberi tahu lokasi markas kalian kepada kami ,” Salah satu
diantara mereka lebih dulu berbicara padaku.” Hahahah Apa maksudmu hai orang kulit
putih? kalian adalah tawanan di sini. Jadi meskipun kalian tahu lokasi markas gerilya kami,
itu tak ada gunanya,” aku berbicara setengah terkekeh. Tiba- tiba terdengar suara gaduh
diluar. Itu adalah Suara mobil. Mobil apa itu? Siapa mereka? Aku bertanya-tanya bergumam
kepada diriku sendiri. “ternyata mitos tentang kebodohan orang pribumi itu benar adanya.
Apakah kalian tidak mengenal Sinyal SOS? SOS adalah Sinyal darurat. Kami menanamnya
di mobil Jeep kami dan terhubung dengan markas pusat kami. Dan dengan sinyal itu
koordinat mobil kami yang kini berada di markas kalian dapat ditemukan dengan mudah. Dan
satu fakta lagi. Suara Itu bukanlah suara mesin mobil, melainkan mesin helikopter yang tidak
akan mampu kalian lawan dengan bambu runcing,” salah seeorang tawanan itu menjelaskan
sambil tertawa puas. Aku membalas ocehan tersebut dengan membunuh mereka semua
menggunakan senjata api yang sedang aku pegang.
Beberapa saat kemudian terdengar komando berkumpul dari komandan Ivan. Semua
prajurit termasuk aku langsung berkumpul secepat mungkin. Dan di atas tandu, Jenderal
Soedirman memberikan semangat dan menjelaskan situasi dengan singkat. Selama Jenderal
Soedirman memberi arahan, aku tidak berhenti berpikir tentang sinyal SOS di mobil Jeep itu.
Pasti ada tombol tempat mengaktifkan sinyal tersebut. Setelah beberapa lama akhirnya aku
ingat bagaimana tindakan salah seorang tawanan itu saat di dalam mobil tadi. Ia
menandukkan kepalanya ke atap mobil Jeep saat perjalanan ke markas tadi. Awalnya aku
menganggap kalau tindakan salah satu tawanan itu adalah tindakan bodoh. Tapi ternyata aku
salah, ia sangatlah jenius. Aku yakin di atap itulah tombol untuk mengaktifkan sinyal SOS.
Dan sinyal itu pasti dihubungkan oleh kabel yang jika kabel itu aku putuskan akan memutus
sinyal dari SOS itu.
Setelah yakin akan hal itu, aku langsung memeberitahunya kepada komandan Ivan
dan Jenderal Soedirman. Kemudian menyusun rencana bersama mereka. Menurut
perhitunganku kami punya waktu dua puluh menit sebelum mereka menemukan lokasi pasti
markas kami. Lokasi kami belum terlihat jelas karena tertutup oleh pohon-pohon yang sangat
tinggi di hutan ini. Sebelum dua puluh menit, kami harus melakukan sesuatu atau kami akan
mati sia-sia dan semua informasi dan senjata rampasan yang susah payah kami dapatkan akan
sia-sia.
Setelah berunding beberapa saat, rencana diputuskan. Jenderal Soedirman
mengumumkan rencana kepada seluruh prajurit. Seluruh prajurit mulai bergerak sesuai aba-
aba Jenderal Soedirman. Pertama, kami memastikan keberadaan sinyal SOS itu dan ternyata
benar, di atap bagian dalam mobil Jeep itu terpasang tombol pemancar yang aku yakin itu
adalah sinyal SOS. Tanpa ragu aku memotong kabel yang terhubung dengan pemancar sinyal
itu. Kemudian satu per satu senjata mesin dan beberapa senjata canggih dari mobil Jeep
rampasan kami turunkan. seluruh pasukan dibagi menjadi dua kelompok. Lalu kami mulai
bergerak sesuai posisi yang telah ditentukan. Aku berada di kelompok yang sama dengan
komandan Ivan, kelomok penyergap. Kami kelompok penyergap membentuk formasi
mengelilingi markas kami yang aku yakin akan menjadi lokasi pendaratan helikopter Belanda
itu. Sedangkan kelompok lainnya yang bergerak menjauh bertugas menjaga Jenderal
Soedirman yang sedang sakit-sakitan.
Dugaan kami tepat. Persis di sebelah markas kami, helikopter Belanda itu mendarat.
Tapi kami salah menyangka kalau helikopter yang datang cuma ada satu. Melainkan delapan
helikopter dengan masing-masing helikopter mengangkut 5 orang prajurit bersenjata lengkap
di dalamnya. Kami menunggu kelima helikopter itu mendarat sempurna. Dan membiarkan
empat puluh orang prajurit Belanda itu mengacak-ngacak markas kami. Kami pasukan
penyergap masih menunggu aba-aba dari komandan Ivan.
Klimaks
Setelah lima menit menunggu akhirnya komandan Ivan memberi aba-aba menyerang.
Tiga puluh gerilyawan yang belum sepenuhnya tau cara menggunakan senjata mesin
melawan empat puluh orang prajurit terlatih dengan senjata lengkap. Tentara Belanda itu
terkejut dengan kedatangan kami yang mendadak. Aku langsung membabi buta menembak
mereka sambil menghitung jumlah tentara yang berhasil aku bunuh. Satu, dua, lima, tujuh,
sembilan. Aku berhasil membunuh sembilan orang tentara Belanda. Peperangan terjadi
dengan sangat sengit. Meskipun kami kalah jumlah, namun dari segi mentalitas dan
penguasaan medan tempur aku yakin kami lebih unggul. Akhirnya dengan strategi
pengepungan dan berjuang mati-matian, kami berhasil mengalahkan empat puluh orang
tentara Belanda.
Resolusi
Dengan kemenangan ini, aku tertawa sangat senang dan berlari mencari komandan
Ivan. Tetapi sepanjang perjalanan aku terheran dengan ekspresi sedih gerilyawan lain yang
kutemui. Mengapa harus bersedih? padahal kami berhasil menang dalam pertempuran ini.
Aku terus berputar mencari komandan Ivan, tapi setelah sekian lama berkeliling aku belum
juga menemukan komandan Ivan. Akhirnya, aku bertanya kepada salah seorang gerilyawan
yang dilihat dari sisi manapun bisa diketahui kalau ia sedang bersedih. ”Hai saudaraku,
dimana komandan Ivan?” tanyaku padanya. Namun gerilyawan itu malah memalingkan
wajahnya dariku dan tangisnya bertambah parah.
Lalu aku lanjut berjalan sambil terheran-heran. Belum jauh berjalan, aku melihat
sekelompok gerilyawan yang sedang mengerumuni sesuatu. Aku mendatangi kerumunan itu,
dan betapa terkejutnya aku melihat jasad yang terbaring kaku di atas tanah. Meski wajahnya
hancur lebur, aku yakin kalau mayat Itu adalah mayat komandan Ivan. Mataku mulai
memerah, mulai terasa panas. Ingin rasanya aku menangis sekuat tenaga, tapi kuurungkan
niatku itu. Karena aku yakin komandan Ivan tidak akan suka melihat aku menangisi jasadnya.
Aku berjanji akan membalas perbuatan Belanda keparat ini di agresi atau
penyerangan Belanda yang berikutnya. Atau yang mereka sebut sebagai rencana agresi
militer Belanda 2. Dengan informasi dan pengalaman yang aku dapatkan setelah menyamar
sebulan penuh, aku yakin kami bisa menaklukkan agresi militer Belanda 2. Sesuai wasiat
komandan Ivan, saat ini akulah yang akan menjadi pengganti komandan Ivan. Meski sulit
untuk menjadi sosok sehebat dirinya, aku akan berusaha dengan sekuat tenaga. Dan saat ini
yang paling penting adalah memindahkan markas kami ke tempat baru yanng lebih aman.
Karena di tempat ini sudah tidak aman lagi.
Koda
-
UNSUR KEBAHASAAN CERPEN GERILYAWAN

Konjungsi Temporal

 Sudah sepuluh menit perjalanan di dalam mobil


 Setelah beberapa lama aku mulai angkat bicara.
 Sesampainya di markas, rombongan kami disambut langsung
 Kemudian Jenderal Soedirman membawaku ke kantor sederhananya
 Setelah selesai menjelaskan, aku pamit kepada Jenderal
 Beberapa saat kemudian terdengar komando berkumpul
 Selama Jenderal Soedirman memberi arahan
 Setelah beberapa lama akhirnya aku ingat
 Awalnya aku menganggap kalau tindakan salah satu tawanan itu
 Kemudian menyusun rencana bersama mereka
 Pertama, kami memastikan keberadaan sinyal SOS itu
 Kemudian satu per satu senjata mesin
 Akhirnya, aku bertanya kepada salah seorang gerilyawan
Majas

 Desa yang kini sudah rata dengan tanah hiperbola


 Aku langsung membabi buta menembak mereka metafora
 Kita harus mengurus harta karun kita yang saat ini ada di depan mata metafora
 Apa maksudmu hai orang kulit putih? metafora
 Kita harus sampai ke markas sebelum pagi datang metafora
Kata sifat

 Kalau diriku pribadi, jujur aku senang jika Jenderal Soedirman yang memimpin misi
 Dengan strateginya yang jenius
 Bunyi yang dihasilkan juga lebih keras
 Ia sangatlah jenius
 Senjata rampasan yang susah payah kami dapatkan akan sia-sia.
 Mataku mulai memerah, mulai terasa panas
NILAI YANG TERKANDUNG
Nilai Sosial
Aku mendatangi kerumunan itu, dan betapa terkejutnya aku melihat jasad yang terbaring
kaku di atas tanah. Meski wajahnya hancur lebur, aku yakin kalau mayat Itu adalah mayat
komandan Ivan. Mataku mulai memerah, mulai terasa panas. Ingin rasanya aku menangis
sekuat tenaga, tapi kuurungkan niatku itu. Karena aku yakin komandan Ivan tidak akan suka
melihat aku menangisi jasadnya

Anda mungkin juga menyukai