Anda di halaman 1dari 21

Kereta Api Terakhir: Kroya

Penulis: Rivi Ardillah.S


Penulis Asli: Pandir Kelana
Jenis Novel: Fiksi
|
|
|
*Disclaimer: Novel ini bersifat tidak resmi dan
bersifat fan-fiction. Properti Kereta Api
Terakhir yang asli dimiliki oleh Pandir Kelana,
Pusbang Film, dan Kemendikbud
Kebasen Butuh Pertolongan!

Setelah berhasil menjalankan tugas melakukan


pengawalan kereta api pengungsi kelima dari
Purwokerto menuju daerah republik, Yogyakarta.
Letnan Satu Herman, mendapatkan tugas dari
Markas Besar untuk kembali ke garis depan dan
menghadang Belanda yang akan menyerang daerah
republik Indonesia. Bersama Sersan Tobing, Letnan
Dua Sudadi, dan Kondektur Bronto, TKR, dan TRIKA
kembali ke garis depan dengan kereta api.

Saat diperjalanan, Sersan Tobing bertanya kepada


Letnan Herman, “Pak, kira-kira, apa yang terjadi jika
kota-kota besar diserang oleh Belanda”.

“Ahh, nanti saja jika sudah sampai disana kita akan


perbincangkan nanti”. jawab Letnan Herman.
Kereta berhenti sebentar di stasiun Ijo untuk
melakukan penghormatan kepada para pejuang
yang gugur dan memberikan hormat kepada
Mandor Jalur bernama Sastro Sentono yang telah
gugur setelah terkena bom pesawat Belanda di
dekat terowongan Ijo.

Kereta berhenti sebentar di Sumpiuh untuk


melakukan pengecekan yang dilakukan oleh TKR
dan sekalian mengambil bahan bakar kayu untuk
lokomotif. Saat proses pengecekan dan
pengambilan kayu untuk lokomotif, terlihat KS
Sumpiuh yang masih merasa jengkel dengan
kejadian yang di alaminya kemarin, “Mana ada
kereta yang terbakar dari Kroya, yang ada hanya
lokomotif uap dan gerbong-gerbong pengungsi
saja, hmph!”.

“Ahahah, maaf. Gerbong yang terbakar sudah kami


lepaskan di tengah jalan sebelum stasiun ini” ujar
Kondektur Bronto dengan tertawa.
Di tengah perbincangan, Pembantu KS Sumpiuh
berteriak kepada KS Stasiun, “Pak! Pesan dari KS
Purwokerto! Purwokerto diserang Belanda! Kereta-
kereta yang mengangkut penumpang dan pejuang
dari arah Jogja segera dihentikan di Kroya!”
Semuanya kaget dengan berita yang dikatakan oleh
pembantu KS Sumpiuh. Tak terkecuali dengan
Letnan Herman yang mengetahui bahwa temannya
yang bekerja sebagai KS Purwokerto juga dalam
bahaya. Ia pun segera memerintahkan pejuang
untuk kembali ke dalam kereta untuk kembali
berjalan menuju Kroya. Kereta pun sampai di stasiun
Kroya dan Letnan. Herman disambut oleh KS Kroya
dan dipanggil untuk masuk ke ruang KS,
“Purwokerto di bom oleh Belanda. Pejuang-pejuang
disana kewalahan menghadang mereka. Kereta yang
dikawal oleh Kapten Pujo mengangkut para pejuang
terluka akan segera tiba disini. Setelah kereta yang
mengangkut pejuang tiba di stasiun, kereta pasukan
Letnan Herman segera berjalan hati-hati ke stasiun
Kebasen dan buat tempat pertahanan. Segala
perintah untuk menyerang, bertahan, atau mundur
itu adalah keputusan Letnan Herman”.

“Apakah disana sudah ada pejuang yang


mempertahankan stasiun Kebasen?” tanya Letnan
Herman “Sudah pak, tapi mereka sangat
membutuhkan pasukan bapak”.

Terdengar suara suling lokomotif penarik kereta


yang berisi pejuang yang terluka dan berhenti di
stasiun untuk menunggu perintah. Kapten Pujo
turun dari keretanya dan segera pergi ke ruangan KS
untuk melapor. Saat masuk kedalam ruangan KS,
Kapten Pujo kaget dengan kehadiran Letnan
Herman, “Loh, Her, sedang apa kamu disini?” tanya
Kapten Pujo.

“Aku sedang menunggu kehadiran kereta kau agar


kereta ku bisa menghantarkan pasukan ku ke
Kebasen”.

“Kereta Kapten Pujo sudah tiba disini, jalur sudah


aman, kereta Letnan Herman dipersilahkan
berangkat.” Kata KS Kroya. Letnan Herman segera
memanggil Sersan Tobing. Saat Ia tiba di hadapan
Letnan Herman, Sersan Tobing masih mengunyah
nasi dimulutnya, “Siap, Pak Herman!”.

“Tolong perintahkan masinis untuk membunyikan


suling 3 kali”.

“Siap, Pak Herman!” Ia pun berlari mencari


lokomotif yang menarik kereta Pasukan Letnan
Herman, Ia sempat bingung karena terdapat dua
lokomotif yang sama pada saat itu, pada akhirnya Ia
menemukan lokomotif yang menarik kereta Letnan
Firman, lalu Ia berlari kembali ke ruangan KS untuk
melapor, dan suling pun dibunyikan, “Lapor, suling
lokomotif telah dibunyikan”.

“Terima kasih, segera kembali ke kereta, kita akan


segera berangkat”.

“Siap Pak!” jawab Sersan Tobing.

“Kalau begitu, kami siap berangkat, saya tunggu di


kereta”.
“Kapten Pujo, semoga selamat dan sampai tujuan,
MERDEKA!” .

“TETAP!” .

Letnan Herman keluar dari ruangan dan berjalan


menuju keretanya. Saat sedang berjalan ke
keretanya, Ia melihat Kondektur Bronto sedang
membantu TKR mengangkut senjata kedalam
gerbong tertutup keretanya, “Mari saya bantu”.

“Ah tidak usah, Pak. Bikin repot bapak saja” ujar


Kondektur Bronto.

“Tidak apa-apa, untuk kepentingan kita bersama


hehem” jawab Letnan Herman.

Para pejuang sudah siap di dalam kereta, dan KS


Kroya sudah bersedia untuk memberikan perintah
memberangkatkan kereta.

“Kami berangkat, MERDEKA!” .

“TETAP!”.
Suling lokomotif telah berbunyi, kereta pun
berangkat dan berjalan pelan hati-hati dan selalu
waspada.

Sesampainya disana, Letnan Herman pergi


mengunjungi KS Kebasen untuk menerima kabar
dari Purwokerto, “Apa ada berita lagi dari
Purwokerto ?”.

“Ada, Pak. Tadi ada seorang pengintai dari Markas


Besar dan melakukan pengintaian dari bukit dekat
dengan sungai Serayu”.

“Siapa namanya?”.

“Sulaiman, Pak”.

“Oooh..Kalau begitu, saya kedepan dulu sebentar”.

Belum saja keluar dari ruangan KS, Letnan Herman


mendengar sesuatu dari langit. 2 pesawat Mustang
dari lapangan terbang Semarang mendekat
mengarah mereka, “TIARAP! CARI TEMPAT
BERLINDUNG!” teriak Letnan Herman.
Suara gemuruh mesin dari dua pesawat Mustang
yang menukik mengarah mereka membuat para
pejuang kocar kacir mencari perlindungan. Beberapa
pejuang melakukan perlawanan dengan menembaki
pesawat tersebut dengan senapan mereka.

Bom-bom pesawat mulai dijatuhkan. Senapan mesin


mereka mulai menembaki para pejuang yang
berlarian. mencari tempat perlindungan. Sersan
Tobing berlari dan menaiki lori yang terdapat
senapan mesin dan mulai menembakinya.

“Masih nyari mati saja mereka ini!”

Satu pesawat Mustang berhasil dibuat mundur


karena kerusakan di mesinnya dan membuat pilot
terluka. Mengetahui hal itu, pilot yang masih hidup
pun juga ikut mundur karena amunisinya telah habis.

“Ik kom terug, Republikeinse rotzooi!” kata pilot


Belanda tersebut dengan penuh amarah dan pergi
meninggalkan Kebasen untuk mengisi ulang bahan
bakar dan amunisi di Semarang.
“Mereka lagi”. ujar Kondektur Bronto.

“Ya..mereka akan terus-terusan menjatuhkan bom-


bom agar kita musnah” jawab Letnan Sudadi.

Banyak para pejuang yang terluka akibat serangan


ini. Para medis yang merawat mereka mulai
kewalahan karena saking banyaknya yang terluka.

“Untuk para pejuang-pejuang yang sehat, saya


minta untuk membuat benteng pertahanan disekitar
stasiun karena bisa saja, Belanda melakukan
penyerangan dan mengambil alih stasiun ini” ujar
Letnan Herman.

Lokomotif yang menarik kereta Letnan Firman


kembali ke Kroya untuk melakukan proses langsir
dan mengambil pasukan tambahan ke Kebasen.

Beberapa prajurit mulai membangun benteng


pertahanan dengan karung yang berisi pasir.
Senjata-senjata yang ada digerbong kereta mulai
dikeluarkan termasuk senjata anti pesawat dan
mortar juga. Pada malam hari, pembangunan
benteng pertahanan selesai dan mereka hanya
menunggu kedatangan tentara Belanda dan
menyerangnya. Pagi harinya, “Pak, apa disini ada
warung makan?” tanya Sersan Tobing.

“Entah, ayo kita cari” jawab Letnan Herman.

Mereka berdua mencari warung makan disekitar


stasiun untuk mengisi perut sebelum kembali
bertugas. Setelah berjalan 10 menit mencari warung
makan, akhirnya mereka menemukan satu warung
makan yang baru saja buka, seorang pria yang
menjadi pemilik tiba-tiba kaget dengan kehadiran
mereka berdua.

“Aduh kenapa kalian berdua datang kesini. Ikut aku


sebentar kebelakang”. ujar pemilik warung.

Letnan Herman yang curiga dengan perilaku pemilik


warung, Ia menyuruh Sersan Tobing mengeluarkan
pistolnya untuk berjaga-jaga. Dengan hati-hati,
Letnan Herman dan Sersan Tobing berjalan
mengikut pemilik warung. Saat berada di tempat
sepi, pemilik warung berhenti berjalan dan balik
badan mengarah ke mereka berdua.

“Untuk apa kalian kesini? Kalian hampir saja


menggagalkan misi ku”.

Sersan Tobing yang sudah sangat curiga


menodongkan pistolnya ke pemilik warung, “Cepat!
Beri tahu siapa kau!”.

“Aku adalah, Letnan 1 Intelejen Sulaiman. Saya disini


untuk melakukan tugas dari Cokro gila itu.
Mengawasi gerak gerik Belanda dari arah
Purwokerto”.

Letnan Herman menurunkan pistol yang dipegang


oleh, Sersan Tobing, “Tenang dulu, Bing” Ternyata
kau disini rupanya”.

Letnan 1 Intelejen Sulaiman adalah seorang


pengintai dan intelejen. Tubuhnya kurus dan tinggi
badannya lumayan. tinggi, fasih menggunakan
Bahasa luar seperti Bahasa Belanda, Jerman, atau
Jepang. Karena keahlian itu, Ia sering ditugaskan
untuk menyusup ke daerah lawan dan mencari
informasi-informasi yang ada.

“Untuk apa kau kesini, biasanya kau pergi ke bukit


sana. itu” ujar Letnan Herman.

“Aku juga melakukan pengintaian dengan cara yang


cukup hehehe. Lagipun, warung ini juga tepat
mengarah ke jalanan yang bisa jadi akan dilewati
oleh tentara Belanda yang mengarah ke Kebasen,
Kroya, atau Jogja”.

“Pintar juga kau, Sul!” puji Letnan Herman.

“Kalau begitu, saya juga ada keperluan perut


hahaha”.

“Ohh, baik-baik”.

Mereka kembali kedepan untuk sarapan. Saat sudah


didepan, ternyata Kondektur Bronto dan Letnan
Sudadi yang menunggu pemilik warung sudah
berada di tempat duduk warung, “Loh, kamu disini
juga” ujar Letnan Herman.
“Dari sekian banyaknya warung makan yang ada di
Kebasen, hanya warung ini saja yang sudah buka,
hahaha” jawab Kondektur Bronto.

“Wah-wah, Sudadi dan Bronto kesini juga toh,


sebentar saya siapkan dulu”.

Letnan Sulaiman kembali kedalam warung untuk


menyiapkan makanan untuk keempat orang
tersebut. Saat Ia kembali kedepan, Ia
menghidangkan nasi rames khas Kebasen yang
memang paling favorit disana, dan mereka
menikmati makanan mereka dan setelah makan
mereka kembali ke stasiun.

Siang harinya, kereta api pengangkut pasukan


tambahan telah tiba di Kebasen. Sekitar 110 orang
hadir untuk membantu memperkuat pertahanan
stasiun.

“Semoga saja, dengan bantuan ini akan membuat


pertahanan ini tambah kuat” ujar Letnan Herman.
Pada saat yang sama, KS Kebasen mendapat berita
dari Letnan Sulaiman yang sebelumnya melakukan
misi menyusup ke Purwokerto untuk memantau
tentara Belanda, “Gerak gerik tentara Belanda mulai
terlihat. Waspada! Dari Sulaiman” Mendengar hal itu,
Letnan Herman memerintahkan semuanya untuk
bersiaga di tempatnya masing-masing. Banyak
pejuang yang berlari sana sini untuk mengambil
senjata, mempersiapkan peralatan, atau mencari
tempat untuk menyerang.

KS Kebasen mendapat berita lagi dari Letnan


Sulaiman, “Tentara Belanda bergerak cepat menuju
Kebasen, bersiaplah, Her!”.

“Tobing, semuanya sudah siap?” tanya Letnan


Herman.

“Sudah, Pak!, senjata sudah siap semua untuk


digunakan” jawab Sersan Tobing dan Ia kembali ke
posisinya.

“Pak Bronto juga ikut?” tanya Letnan Herman


kepada Kondektur Bronto
“Tentu..karena ini adalah tugas negara yang harus
dilakukan” jawabnya

Dalam hati, Letnan Herman bercakap “Kondektur


jiwa prajurit”

Belum juga menyelesaikan perbincangan, suara


gemuruh mesin pesawat Mustang terdengar kembali
di langit. Letnan Herman yang sudah tau situasi
tersebut, langsung memerintahkan para pejuang
untuk mencari tempat berlindung, “CARI TEMPAT
BERLINDUNG!” teriaknya. Kali ini yang datang bukan
2 pesawat saja, melainkan 5 pesawat

Bom-bom yang dibawa oleh kelima pesawat


tersebut mulai dijatuhkan dan pesawat mulai
menembaki para pejuang dengan senapan
mesinnya. Sersan Tobing yang memang sudah
bersiaga dengan senjata anti pesawatnya mulai
menembaki para pesawat Belanda. Kondektur
Bronto membantu tiap pejuang-pejuang yang
terluka dan membawanya ke tempat aman untuk
diobati. 10 menit kemudian, pesawat Mustang
terbang menjauhi stasiun Kebasen yang setengah
hancur.

Dari jauh, kepulan asap putih mulai terlihat. Tentara


Belanda yang sudah siap menyerang mulai bergerak
maju mengarah ke stasiun, “Mulai menembak!”
teriak Letnan Herman. Satu persatu pejuang mulai
menembak, Letnan Sudadi menembaki tentara
menggunakan M1 Garand-nya, Sersan Tobing selalu
bersama dengan senapa mesinnya, Kondektur
Bronto mengangkut setiap pejuang yang terluka
kedalam stasiun untuk diobati.

“Jangan sampai mereka mendekat! Tembak terus!”


teriak Letnan Herman. Setelah kepulan asap putih
telah memudar, terlihat tank Sherman dan Stuart
mendekat dan mulai menembaki pertahanan dengan
meriamnya, “Tank! Tank!” teriak salah satu pejuang
dan melemparkan granat ke salah satu tank Belanda.
Meskipun telah terkena ledakan dari granat, tank
tersebut tidak rusak dan masih bisa bergerak dan
menembak, “Kita tidak bisa menahannya lebih lama
lagi!” ujar KS Kebasen. Lalu, peluru dari salah satu
tentara Belanda mengenai tepat di dada KS Kebasen
dan membuatnya jatuh. “Pak! Pak!” pendarahan
yang parah membuat KS Kebasen tewas ditempat.
Letnan Herman yang masih shock dengan kejadian
itu terdiam. Satu persatu pejuang mulai gugur dan
tentara Belanda mulai mendekati area stasiun, “Her!
Her! Kita harus mundur! Sudah, Her! Jangan
dipikirkan! Ayo naik ke kereta!” ujar Letnan Sudadi

“Baiklah..saya mengerti situasinya..Pasukan! Mundur!


Ayo naik ke kereta!” teriak Letnan Herman

Para pejuang berlari menjauh dari posisinya menuju


ke kereta. Suling lokomotif telah berbunyi, kereta
mulai berangkat dengan pelan menuju Kroya, “Ayo!
Ayo!” teriak Sersan Tobing. Letnan Herman dan
Letnan Sudadi berlari menuju kereta yang mulai
berjalan cepat, “Ayo, Her!” ujar Letnan Sudadi. Tiba-
tiba, salah satu tentara Belanda yang baru saja
memasuki stasiun melihat Letnan Herman dan
Letnan Sudadi berlari menuju kereta dan
mengarahkan senapannya ke Letnan Herman, “Her!
Awas!”. Ia melompat kebelakang Letnan Herman dan
tentara Belanda tersebut menekan pelatuknya dan
satu peluru tepat mengenai punggung Letnan
Sudadi dan membuatnya jatuh, “Sudadi!”

teriak Letnan Herman. Tentara Belanda yang


menembak Letnan Sudadi tersebut ditembak
kembali hingga tewas oleh Sersan Tobing yang
memberi tembakan perlindungan terhadap Letnan
Herman dan Letnan Sudadi, “Sudah, Her! Jangan
pikirkan aku! Kau harus pergi sekarang, aku akan
memberikan tembakan perlindungan. Lari sekarang!”
Dengan sedih, Ia berlari meninggalkan temannya
yang terkapar di peron stasiun. Letnan Sudadi
mengambil pistol yang dibawanya dan menembaki
beberapa tentara Belanda.
Letnan Herman yang sudah berada di kereta melihat
temannya ditindas oleh tentara Belanda lalu
ditembak tepat di kepalanya, “SUDADIIII!!”. . . . . . .

Bersambung

Ditulis Oleh: Rivi Ardillah.S


Special Thanks To: Rafi Dhiya

Hapeha_Sains

Anda mungkin juga menyukai