Anda di halaman 1dari 4

Di Kaki Merapi

Akhirnya, Darto yang menderita. Segala usaha kami untuk menginsyafkannya pada hematku sia-sia
saja. Dalam hal itu memang tidak bisa dicampuri orang lain, sahabat-sahabatnya sekalipun. Ia tetap membisu
dengan angan-angannya sendiri dan selalu menyendiri. Kasihan dia, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa.
Kami memang tidak akan melupakan kejadian itu, meskipun tidaklah mudah menceritakannya.
Sungguh menyedihkan, tapi aku percaya bahwa siapa saja, yang bersangkutan juga, pasti akan bisa
memaafkan perbuatan itu.
Kami hanyalah seregu pasukan pelajar, terdiri dari tujuh orang yang dibentuk oleh Komandan sendiri,
diambil dengan suka rela. Bukannya dipilih maksudku, tapi diminta dengan suka rela. Tadinya kami heran
kenapa yang dibutuhkan hanya tujuh orang. Tapi setelah dijelaskan, teranglah semuanya.
Tugas kami memang tugas luar biasa yang membutuhkan ketelitian serta urat syaraf kuat. Berani saja
tidak cukup. Heran aku kenapa Ratman diterima, sebab tugas itu kukira tidak sesuai dengan sifatnya yang
mudah gugup. Kesalahan sedikit karena gugup bisa mengakibatkan kematian yang mengerikan.
Seminggu lamanya kami dilatih oleh dua anggota tentera. Yang dipelajari tak henti-hentinya adalah
membuat bom tarik dari peluru. Teoritis memang sangat sederhana, tapi tidaklah demikian mengerjakannya.
Kalau hanya latihan dengan detonator-detonator yang sudah rusak tidak perlu ditakutkan.
Caranya begini: pada ujung detonator, kira-kira satu centimeter lebih sedikit sebelum ditutup slagpin,
dibor. Ini tentu saja harus diukur dengan sangat teliti, dengan perhitungan tepat. Kemudian dimasukkan
ganjal sebagai penahan slagpin. Lalu dipasang pegas di antara slagpin dan penutup. Jika tak ada pegas, ban
dalam sepeda baik juga digunakan, tapi dibalutkan bagian luar detonator. Untuk ganjal slagpin, paling baik
jari Jari speda, kuat dan kebetulan ukurannya tepat
Akhirnya ganjal itu disambung dengan kawat yang panjangnya menurut kebutuhan. Nah, jadilah
sebuah bom tarik buatan sendiri. Jika kawat itu ditarik, ganjal lepas, dan slagpin mendapat tekanan dari
pemukul pegas isi detonator. Maka meleda klah peluru howitzer itu seperti juga kalau ditembakkan.
Pernah terjadi kecelakaan. Tapi sangat mengherankan. Tomo, yang mendapat kecelakaan, kukira tidak
ada satu meter dari peluru yang meledak, masih hidup. Hanya dua jari tangan kirinya yang rantas. Dan Tomo
tak pernah mengaku sebab sebenarnya kenapa peluru itu sampai meledak. Kami selalu mengira-irakan saja.
Tugas kami pertama berhasil baik. Pagi-pagi pada suatu hari di awal 1949, empat peluru sudah kami
pasang sangat rapi di jalan besar. Kawat-kawat penarik sudah beres. Kami mencegat konvoi Belanda yang
menuju ke Solo.
Aku dan Marno bertugas menarik, dan lima orang lainnya bertempat agak jauh di seberang jalan di
balik tanggul sawah yang agak tinggi letaknya, bersenjatakan sten dan sebuah bren untuk mengacaukan
pengawal pengawal konvoi dan melindungi pengunduruan diri kami.
Semuanya sudah siap waktu derum konvoi mulai kedengaran. Keringat mengalir dan tenggorokan
mengering, dengan mulut rapat. Yang terutama kami cemaskan kalau tidak tepat kenanya, hingga para
pengawal konvoi sempat mengatur serangan balasan sebelum kami bisa meloloskan diri. Dan lagi, keadaan
medan di situ tidak menguntungkan, begitu merata. Hanya ada sebuah dusun kecil yang sudah kosong, dan
selebihnya sawah, terlalu jauh untuk mencapai desa lain.
Derum konvoi mendekat. Tanganku terasa gemetar meskipun harus kucoba kukencang-kencangkan.
Ketenangan Marno sedikit mengurangi ketakutanku. Ia kelihatan tenang, dengan muka bersungguh-sungguh,
berjongkok di sebelahku, siap dengan Thompson-nya. Aku sudah siap dengan empat utas tali kawat yang
kujadikan satu.
Kami berlindung di balik pohon kelapa di pinggiran rumah. Ah, pikirku sombong, baru begini saja
sudah takut! Sebentar kulirik Marno. Matanya tak berkedip, mulutnya bergerak pelahan, kaku. Dan tahu-tahu
carier yang mendahului konvoi sudah melewati pasangan. Kemudian menyusul truk-truk. Dan sesudah
beberapa buah tepat di atas pasangan bom tarik, kawat-kawat kutarik serentak sambil memejamkan mata.
Ledakan-ledakan hebat menggelegar, empat peluru howitzer! Waktu aku dan Marno terbirit-birit
melarikan diri membongkok-bongkok menyusuri tanggul sawah, tembakan dari teman-teman menyusul.
Sebentar aku menengok. Sebuah truk terbakar dan entah berapa lagi. Api menjilat jilat, asap tebal dan debu
memenuhi jalanan.
Menjelang tengah hari semuanya sudah berkumpul di RV, sebuah desa terpencil. Semuanya selamat.
"Hebat kau!"
He-eh! mpat peluru, empat truk
Ah, hanya kebetulan saja
Kau tahu?! Truk paling belakang yang penuh serdadu kugasak habis-habisan. Lima hower habis!"
Kalau tak ada Brancarrier, tentu habis semuanya!"
Waktu matahari sudah tidak terik lagi sinarnya kami mengadakan patroli untuk menyelidiki bekas-
bekas konvoi yang kami ledakkan. Banyak sisa-sisanya, bekas keributan dan kematian. Macam-macam yang
masih tercecer di sana. Kami menemukan sepucuk pistol yang waktu itu masih asing bagi kami, FN 9mm!
Mulyadi merasa kecewa, sebab ia yang pertama-tama melihat pistol itu, tapi kami anggap milik bersama.
Dengan bangga kami kembali ke tempat kami. Hampir semalam penuh tak bosan-bosan berbicara
tentang konvoi yang kami cegat. Teman-teman pada kagum.
Dan mulailah sejarah regu penggempur konvoi: tujuh pejuang dengan peluru-peluru howitzer
Meskipun pengawalan makin diperkuat, kami tetap melaksanakan penggempuran-penggem puran. Dalam
tempo hampir dua bulan, kami telah enam kali menggempur konvoi. Dan setiap kali kami temukan senjata,
peluru, seragam tentara, dan obat-obatan. Sekali kami temukan mayat seorang serdadu Belanda yang sudah
hancur
Yang paling dahsyat waktu Kresno yang menarik pasangan pasangan peluru peluru howitzer. Rasanya
kami ikut hancur bersama konvoi. Bumi bergoncang keras. Kami yakin konvoi yang kami gempur itu
mengangkut bahan-bahan peledak dan mesiu yang tidak sedikit. Tapi kami selamat.
Regu kami cepat terkenal. Beberapa perwira dari Yogya pernah bersusah payah mencari kami yang
selalu berpindah-pindah dan setelah bertemu, hanya untuk menyampaikan puji-pujian. Tapi menyenangkan
juga
Kami bertujuh selalu gembira melaksanakan tugas-tugas kami. Tomo jarang kelihatan bersedih
meskipun dua jari tangan kirinya tak ada lagi. Jarang ia mengeluh. Marno tak seribut Tomo atau aku, tapi
dalam kesungguhannya masih ada kelakarnya juga. Ia yang tertua di antara kami. Ratman mudah gugup,
sedikit bedanya dengan Mulyadi sama kekanak-kanakannya. Geli aku kalau ingat waktu keduanya kembali
sesudah dikejar-kejar Belanda. Keduanya menangis dan Mulyadi menyebut-menyebut ibunya. Ia sendiri
merasa malu kemudian.
Kresno orangnya seperti Kresno dalam wayang, hitamnya, Kemahirannya mengebor peluru-peluru
howitzer mengagumkan. la memang menggemari pekerjaan itu. Kalau ada kesulitan apa saja mengenai
pembuatan bom tarik, misalnya longgar ganjalnya tentu kami serahkan kepada Kresno. Tentu beres.
Aku paling suka menggoda Tomo. Karena ia suka marah, dan kalau sudah marah, menyenangkan
tingkah lakunya. Mukanya merah, matanya melotot, dan urat-urat di lehernya menegang, kelihatan jelas.
Pada umumnya kami tidak pernah benar-benar bersedih. Biasalah kalau rindu pada keluarga, rumah
dan sekolah atau kekasih. Kalau menggerutu memang hampir setiap waktu. Itu seperti kebiasaan saja, sama
saja dengan kebiasaaan menggaruk-garuk kepala misalnya. Makan kurang baik bungkusnya saja sudah cukup
dijadikan bahan untuk menggerutu berhari-hari. Menggerutu memang ada juga sedapnya, bisa jadi ada juga
manfaatnya. Kresno jarang menggerutu, apalagi memaki-maki. Paling banter kalau marah, makiannya hanya
"Beton” itu tak pula berarti buruk. Beton adalah isi nangka. Kresno adalah "priyayi” regu kami.
Kemudian datang hari itu. Kami sudah berjalan kaki semalaman penuh. Hanya lelah saja, kantuk tak
begitu mengganggu. Yang kami tuju itu memang jauh dari tempat kami. Sebuah desa di antara Solo dan
Boyolali. Akhir-akhir itu banyak konvoi besar-besaran menuju ke Semarang.
Dengan sangat hati-hati sepuluh peluru kami pasang di jalan besar. Biasanya paling banyak hanya
enam peluru. Masih agak gelap pagi itu waktu kami masuk ke persembunyian. Rakyat yang memikulkan
peluru peluru sudah kami suruh mendahului pulang.
Jalan sangat sepi dan Gunung merapi kelihatan sangat runcing mengepulkan asap. Keadaan medan
amat baik. Agak berbukit, dan kebetulan jalan yang melewati desa itu sudah rusak, sehingga mudahlah
menanam pasangan-pasangan yang tidak mencurigakan. Dan lagi, jalan dari Solo jelas dari persembunyian
kami. Hawa disitu sudah agak dingin. Candi Prambanan jauh di selatan, rasanya masih bisa dibedakan dari
kehijauan alam sekitarnya
Rokokku belum habis separuh derum konvoi sudah kedengaran. Sejak kami di situ, belum ada
kedengaran lewat. Biasanya mobil yang hendak ke Semarang lebih senang mengikuti konvoi. Konvoi terus
berjalan. Paling lama lima atau menit lagi tentu sudah sampai. Semuanya tersenyum-senyum menahan napas.
Aku mengagumi penyelidik yang sampai bisa
tahu keberangkatan konvoi itu. Darto dan Kresno di bawah mengacungkan jempol tanda siap.
Ratman pucat melayani Marno yang sedang mengatur pembidik bren dengan teliti.
Waktu konvoi sudah dekat sekali, ketegangan meliputi se muanya. Sekejap kami keheranan, sebab
sudah banyak truk yang lewat, pasangan-pasangan belum juga diledakkan. Semuanya berpikir dengan wajah
penuh pertanyaan. Lalu menyusul ledakan-ledakan dahsyat yang jadinya betul-betul mengagetkan. Bumi
bergetar. Marno segera menghamburkan peluru dan kami melempar-lemparkan granat Rentetan tembakan
ramai sekali beberapa menit. Marno segera bangkit memberi isyarat untuk mengundurkan diri. Sangat cepat
kami lari ke RTV. Tomo misuh-misuh karena tangannya tersenggol laras bren yang membara. Lengannya
gosong. Tembakan-tembakan balasan dari pengawal konvoi yang terus-menerus, kami tertawakan, karena
arahnya keliru. Entah apa yang mereka tembak. Darto dan Kresno tentu sudah jauh larinya.
Sehabis makan siang di rumah seorang lurah republik agak jauh dari desa yang kami tempati dan
baru hari itu juga kami kenal, dan sekembalinya Marno dan Ratman dari melaporkan penggempuran. Markas
Sektor jauh di barat, kami bersama-sama patroli ke tempat konvoi yang kami ledakkan. Kami berebut dulu,
ingin mendapatkan senjata atau apa saja, meskipun sebetulnya sudah kelelahan.
Dan alangkah terkejut kami. Aku diam seperti tiba-tiba jadi patung, juga yang lain. Tak seorangpun
bisa membuka mulut. Kegembiraan lenyap dan apa yang menyesaki dada kami terlalu berat. bisa lagi aku
menangis. Sekitar tempat itu banyak ba rang-barang berantakan. Barang-barang yang tidak kami duga sama
sekali, di samping sisa-sisa truk yang terbakar dan tidak keruan lagi bentuknya.
Dan tahulah kami apa yang terjadi. Darto tak bilang apa-apa. Seperti kehilangan akal ia melangkah
perlahan menjauh. Marno segera menyuruh semuanya meninggalkan tempat itu. Mataku masih sempat
memperhatikan sekitarku. Di jalan itu berserakan selain bekas-bekas konvoi, sepotong selendang batik
sebagian hangus, beberapa sandal, dan sepatu perempuan dan anak-anak Sebuah koper terbuka dan kocar-
kacir isinya, dan kulihat ada topi bayi yang disulam dengan sutera. Ada pula kartu pengungsi di antara tetesan-
tetesan darah dan genangan darah membeku. Di atas rumput di pinggir jalan tergolek sebuah boneka kecil
yang hangus.
Kami tinggalkan tempat itu dengan terhuyung karena kekecewaan dan kepiluan yang melukai hati.
Kata Kresna, setelah kami berjalan agak jauh, ia melihat mayat anak kecil terhampar di belukar di balik tanggul
jalanan. Darto tidak menghiraukan kami lagi berjalan membisu mendahului kami.
Bagi kami Darto tidaklah semestinya tidak layak merasa bersalah karena kebetulan dia yang menarik
kawat-kawat pasangan sekian banyak bom tarik. Kami juga melemparkan granat-granat dan menembaki
konvoi itu. Kalau kami tahu bahwa konvoi itu konvoi para pengungsi yang mengangkut perempuan dan anak-
anak, tentu tidak akan kami gempur.
Sejak itu Darto tidak lagi ikut dalam regu kami.

(Dikutip dengan perubahan dari ''Laki-laki dan Mesiu" karangan Trisnoyuwono)

Anda mungkin juga menyukai