Anda di halaman 1dari 5

Sang Pemimpi

Senin itu banyak siswa yang terlambat, termasuk aku, Arai, dan Jimbron. Pak Mustar,
wakil kepala sekolah garang yang sedang berpidato ditirukan gayanya oleh Aku, Arai, dan
Jimbron. Pak Mustar mengetahuinya, ia pun kami bertiga. Kami berlari, dengan pandangan
dari seluruh warga SMA, terus berlari sampai menuju pasar. Kami terperangkap di pasar.
Satu satunya jalan adalah sembunyi di peti es, kami melakukannya, tapi tetap saja apa yang
kami lakukan diketahui Pak Mustar. Namun pasar itu menjadi begitu istimewa. Lalu lalang
kendaraan adalah serpihan fatamorgana. Burung Camar mematuki cumi yang berjuntai di
lubang lubang peti, terbang labuh. Sayap kumbang berkilauan terbias warna-warni
dedaunan maranta. Demikian indahkah hidup dilihat dari seorang pemimpi. Beginikah
seorang pemimpi melihat dunia?
Arai dan Jimbron adalah sahabatku. Arai seperti orang pada umumnya, namun yang
membedakan dia dengan orang lainnya adalah mimpi mimpi nya. Dia sering berkata padaku,
bahwa orang yang miskin seperti kita, hanya memiliki mimpi. Tanpa mimpi, kita akan mati.
Karena memang hidup Arai sangat sulit, Ibunya meninggal ketika ia kelas satu SD, lalu
Ayahnya juga meninggal menginjak ia kelas tiga SD. Arai sebatang kara, orang melayu sering
menyebutnya Simpai Keramat, artinya orang terakhir yang tersisa dari satu keluarga. Namun
tidak pernah terlintas kesedihan di mukanya, ia adalah seorang pemimpi yang selalu ceria
dan selalu semangat bersama mimpi mimpi nya. Karena baginya, bermimpilah, karena
Tuhan akan memeluk mimpi mimpi itu.
Semenjak ayahnya meninggal, Arai hidup dengan keluargaku. Aku dan Arai menjadi
sangat dekat. Kami melakukan banyak hal bersama. Kami pernah memecahkan celengan
kami yang berisi recehan demi membelikan tetangga bahan membuat roti agar ia dapat
memulai usaha penjualan roti dan tidak setiap hari meminta nasi pada tetangganya. Kami
pernah juga bersama sama mengaji serta mengerjai guru ngaji kami. Aku dan Arai seperti
sebatang jarum di atas meja dan magnet dibawahnya.
Sahabatku yang lain bernama Jimbron. Sama seperti Arai, orang tuanya telah
meninggal. Ia dibesarkan oleh Pendeta Geovanny. Jimbron gagap, namun ia hanya gagap
apabila sedang panik saja. Jimbron sangat menyukai kuda, ia terobsesi pada kuda walaupun
di kampung kami tak ada seekor pun kuda.
Kami bertiga merantau ke Magai untuk sekolah di SMA negeri. Kami sekolah sambil
bekerja. Kami pernah bekerja mendulang timah, bekerja di warung orang cina, office boy,
hingga sekarang kami bekerja ngambat, atau memikul ikan dan hasil laut lain dari perahu ke
pasar pasar. Terlepas dari pekerjaan kami, di sekolah kami selalu termotivasi oleh guru guru
kami, terutama Pak Balia sebagai kepala sekolah kami akan perlunya mengejar mimpi.
Seperti yang disampaikannya,”Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan
mozaik mu.”
Kata kata itulah yang terus memotivasiku untuk belajar dan bekerja keras. Walaupun orang
tuaku bahkan orang yang tak tersentuh oleh bangku pendidikan. Ibuku masih dapat menulis
dengan huruf latin, tapi ayahku bahkan hanya dapat menulis namanya dengan tulisan arab.
Ayahku adalah seorang yang pendiam. Tapi aku paham bahwa lelaki pendiam memiliki kasih
sayang yang jauh lebih besar kepada keluarganya. Salah satu buktinya adalah baju safari
ayahku. Baju itu tidak pernah ayah gunakan kemanapun untuk tujuan apapun, kecuali ke
sekolahku untuk mengambil rapor ku dan Arai.
Aku, Arai, dan Jimbron sering melakukan hal bersama sama, baik hal yang baik
hingga yang agak nakal sekalipun. Di depan los kontrakan kami, terdapat sebuah gedung
bioskop yang tampaknya akan memutar film baru. Film itu adalah film yang disebut orang
kota sana film biru, sehingga kami tidak berani untuk mendekatinya, apalagi menontonnya.
Pak Mustar juga melarang keras kami menonton film di bioskop. Akan tetapi, darah muda
kami seolah berkata lain, hingga atas ide Jimbron, kami menyamar sebagai orang bersarung
dan masuk ke bioskop untuk menonton film itu. Kami berhasil melewati tukang karcis
sekaligus tukang sobeknya. Kami berhasil memasuki bioskop dan menonton film itu. Di
dalam, kami berpikir lain, ternyata film ini memang membosankan dan mudah ditebak.
Penyesalan kami berlanjut ketika di saat saat terakhir film, Pak Mustar sudah di depan kami.
Ternyata Pak Mustar mengetahui apa yang kami lakukan. Pak Mustar benar benar geram, ia
menyeret kami keluar bioskop dan berkata, “Ingin tahu seperti apa neraka dunia? Lihat saja
di sekolah Senin pagi nanti, Berandal!”
Senin pagi tidak ada siswa yang terlambat apel. Seperti yang dikatakan Pak Mustar
sebelumnya, kami akan diperlihatkan neraka dunia oleh Pak Mustar. Ternyata benar, Pak
Mustar memberikan kami hukuman untuk membersihkan WC yang sudah sangat kotor dan
juga membersihkan kotoran kelelawar pada langit-langitnya. Namun bukan itu yang paling
mengerikan, karena justru yang paling mengerikan adalah ketika kami bertiga disuruh untuk
berakting menirukan film yang kami tonton di bioskop. Itulah kejadian yang sangat
memalukan, hanya Jimbron yang masih dapat berakting dengan sepenuh hati.
Begitulah pemikiran Jimbron, dalam pikirannya, jika kita ditimpa buah nangka, itu
artinya memang nasib kita harus ditimpa buah nangka, Tuhan telah mencatat dalam buku-
Nya bahwa kita memang akan ditimpa buah nangka. Dengan mentalitas seperti itulah
Jimbron mempersepsikan dirinya. Barangkali ada benarnya, tapi tak dapat dipungkiri bahwa
pandangan itu mengandung kenaifan mahabesar. Diperlukan intelegensi yang tinggi untuk
memahami bahwa buah nangka matang yang menggelembung sebesar tong, dengan
tangkainya yang sudah rapuh, dapat sewaktu waktu jatuh berdebam hanya karena
dihinggapi kupu-kupu. Intelegensia Jimbron belum sampai kesana. Maka menerima
hukuman apapun dari Pak Mustar Jimbron ikhlas saja. Disuruh berakting, ya, dia berakting
sebaik mungkin. Seperti halnya dengan obsesinya pada kuda, tidak ada yang dapat
menghentikannya, termasuk aku sekalipun.
Berada dalam pergaulan remaja Melayu yang seharian membanting tulang
membawaku pada sikap realistis. Namun, tak pernah kusadari bahwa sikap realistis itu
berbahaya karena sangat dekat dengan pesimis. Sekarang, setiap kali Pak Balia membuai
kami dengan puisi-puisi indah Prancis, aku hanya menunduk, menghitung hari yang tersisa
untuk memikul ikan dan menabung pulang ke kontrakan. Aku sangat paham bahwa
tabungan itu tidak akan membawaku ke Prancis. Kini, aku berubah menjadi pribadi yang
pesimistis. Peringkatku di SMA, dari peringkat tiga menjadi tujuh puluh lima. Aku dimarahi
Pak Mustar habis habisan, hingga ia menyebut tentang ayahku, aku tak tahan lagi. Air
mataku mengalir.
Kulewati malam yang penuh siksaan. Aku merasa beku. Tak hanya Pak Mustar, Arai
pun turut membentakku, sekaligus Arai telah membantuku melihat arah hidupku kembali.
Bahwa pesimistis tak lebih dari sikap mendahului nasib.

“Kita lakukan yang terbaik di sini! Kita akan berkelana, kita akan menjelajah Eropa sampai ke
Afrika! Kita akan sekolah ke Prancis! Kita akan ke Sorbonne! Apapun pengorbanannya!
Apapun yang akan terjadi!”

Arai berteriak. Suaranya lantang memenuhi lapangan luas sekolah kami, menerobos
ruang-ruang gelap dalam kepalaku. Seketika mataku terbuka untuk melihat harapan besar
yang tersembunyi dalam hati ayahku. Aku kembali berlari, aku kembali bermimpi.
Dermaga dipenuhi orang melayu yang ingin melihat kuda. Capo baru saja membeli
kuda dan baru membawanya sekarang. Ia menamai kudanya Pangeran Mustika Raja Brana.
Kulihat Jimbron berdiri tegak di atas tong aspal. Ia menatap sendu truk yang meninggalkan
dermaga. Dengan lengan bajunya, dia berulang-ulang mengusap air matanya yang
berlinangan.
Tak jauh beda dengan Jimbron, Arai kian jangkung. Badannya kumal, tidurnya tidak
teratur. Aku ingin menyenangkannya, dan aku paham satu hal yang dapat menyenangkan
hatinya, yaitu Zakiah Nurmala. Perempuan yang ditaksirnya semenjak masuk SMA. Aku
menyarankannya untuk menemui Bang Zaitun, guru besar cinta, dan Arai langsung setuju
untuk melakukannya.
Kami menemui Bang Zaitun, kemudian ia memberikan suatu rahasia kepada Arai. Ia
memberikan Arai sebuah gitar, gitar itu bukanlah gitar ajaib atau penuh mantra guna-guna.
Itu hanya gitar biasa.
“Belajarlah main gitar, Boi. Pilih lagu mu sendiri yang paling indah dan mainkan dengan baik,
dengan sepenuh jiwa, pada momen yang paling tepat. Lebih bagus lagi jika dirancang sedikit
kejutan, Nurmala pasti menoleh pada dirimu…hihihi…”kata Bang Zaitun sambil tertawa dan
memperlihatkan gigi emasnya. Arai sumringah dan mendapat kepercayaan dirinya lagi.
Sekarang, dia yakin teknik gitar itu akan sukses.
Di sisi lain, Arai kian tenggelam dengan pekerjaan bangunannya. Jimbron
menunjukkan gejala makin edan pada kuda. Jimbron benar-benar telah kehilangan motivasi,
hingga datanglah suatu keajaiban pada suatu pagi. Waktu itu hari minggu, dini hari sunyi
sepi di dermaga. Di luar masih gelap, terdengar suara gemeretak di luar jendela. Gemeretak
itu kian dekat, Aku dan Jimbron duduk saling merapat. Bersama kesenyapan itu, angin
berembus pelan lalu samar-samar mengalir bau angin, bau hujan, dan bau malam. Aku
melompat menyerbu jendela, cepat-cepat membukanya dan … masya Allah! Jantungku mau
copot. Aku terlompat dan nyaris pingsan. Hanya sejangkau tangan dariku, menggelinjang
nakal sesosok makhluk putih yang sangat besar. Pangeran Mustika Raja Brana.
Ternyata Arai yang membawanya, Arai bekerja pada Capo supaya dapat
membawakan kuda putih itu untuk sahabatnya Jimbron. Jimbron tak berhenti tersenyum, ia
membawa kuda itu ke pabrik cincau. Kami segera paham arah tujuan Jimbron, yaitu
menemui Laksmi, yang bekerja di pabrik cincau. Laksmi tertegun, dia tak percaya dengan
matanya sendiri. Jimbron tersenyum bangga. Dia menyentak les yang tersambung pada
kadali yang mengekang mulut Pangeran. Kuda putih itu kemudian menaikkan kedua kaki di
depannya tinggi-tinggi, menendang-nendang kakinya dan meringkik dengan suaranya yang
memecah langit. Orang-orang terhenyak, dan Laksmi, yang selama bertahun-tahun tidak
pernah tersenyum, pagi itu untuk pertama kalinya, mereka melihat Laksmi tersenyum.
Tiba saatnya Arai beraksi di depan Nurmala. Ia akan menyanyikan lagu When I Fall In
Love, seperti yang telah direncanakan matang-matang. Ia melintasi kebun depan, menuju
bawah jendela kamarnya, lalu melempar batu untuk memberi perhatian. Namun, rupanya
Nurmala memutar piringan hitam Nat King Cole, dengan lagu yang sama. Arai panik, tapi
tetap melolong. Ini adalah pembunuhan karakter paling sadis yang pernah kusaksikan. Lalu
suara Arai melemah, ia sadar bahwa Nat King Cole sama sekali bukan tandingannya. Kami
pulang melintasi kebun jagung. Wanita indifferent di dalam rumah Victoria itu masih sama
sekali tak bisa didekati.
Aku, Arai, dan Jimbron telah menyelesaikan SMA. Kami merantau ke Jakarta,
Jimbron memberikan celengan kudanya pada Aku dan Arai masing-masing satu. Kami akan
meninggalkan Pulau Belitung. Pulau Belitung tumpah darahku, terapung-apung tegar, tak
pernah lindap oleh ombak dua samudera nan bergelora. Belitong yang kukuh tak
terkalahkan, kapankan aku akan melihatmu lagi?
Dengan Kapal Bintang Laut Selatan yang menantang, kami sampai di Jakarta. Kami
tersesat menuju Bogor karena salah menumpang bis. Kami benar-benar tidak mengetahui
Bogor, kami menemukan kampus IPB dan dengan mudah menemukan kamar kos di
kampung di belakang IPB. Kami mengamati mahasiswa IPB. Kami bekerja untuk
menyambung hidup, kami bekerja sebagai salesman, lalu pindah ke pabrik tali, dan
kemudian beralih bekerja di kios fotokopi tetangga di IPB.
Kemudian, aku beralih pekerjaan lagi menjadi pegawai POS, sementara Arai
berangkat ke Kalimantan dengan sahabatnya dari pabrik tali. Aku kuliah sambil bekerja di
POS. Selesai kuliah, aku mengikuti tes untuk beasiswa S2 yang dibuka Uni Eropa. Pada tes
terakhir, aku diwawancarai seorang profesor dalam keadaan kurang percaya diri. Aku
meninggalkan ruang wawancaraku dengan lesu, aku melalui sebuah koridor panjang. Ketika
melewati sebuah pintu, aku tertarik akan suatu suara yang sepertinya ku kenal. Kusimak
baik-baik, kudekatkan telingaku ke pintu. Mungkinkah itu suara dia? Apakah dia yang ada
dalam ruangan itu?
Akhirnya, wawancara selesai. Dia keluar ruangan, tiga meter di depanku, dia berdiri
tegak sambil tersenyum. Dialah Arai, sang Simpai Keramat. Arai bercerita bahwa dia bekerja
di sebuah perusahaan pertambangan di Kalimantan. Sambil bekerja, dia pun kuliah di
sebuah universitas di sana. Kami pulang ke Belitung untuk menunggu surat keputusan dari
sekretaris program beasiswa itu.
Kami tiba di Belitung. Aku dan Arai menyergapnya ketika dia sedang bersama anak
dan istrinya. Dia terkejut bukan main. Kata-katanya tertelan. Usianya bertambah, tapi
wajahnya masih anak-anak. Tubuhnya makin lebar. Jimbron senang mendengar kami lulus.
Dia terkikik mengangkat anaknya, diiringi dengan senyum Laksmi, yang telah menjadi
istrinya.
Malam itu kami bermalam di rumah Jimbron. Lewat tengah malam, aku berjalan
sendiri menelusuri gang sempit Magai, hingga sampai di dermaga. Rembulan benderang dan
teriakan para nelayan berkumandang. Aku melihat kuli ngambat seolah melihat bayangan
kami bertiga. Betapa kami adalah para pemberani, para patriot nasib. Kaki kami tenggelam
dalam lumpur sampai ke lutut, namun tak pernah surut menggantungkan cita-cita di
angkasa: ingin sekolah di Prancis, ingin menginjakkan kaki kaki miskin kami di atas altar suci
almamater Sorbonne ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. Tak bisa ditawar-tawar.
Berbulan-bulan kami menunggu keputusan penguji beasiswa. Setiap hari menunggu
surat dari Tuan Pos, hingga akhirnya ia datang juga. Ayah mengambil surat itu,
menyerahkannya kepadaku dan Arai. Usai maghrib, ayah dan ibuku langsung duduk di kursi,
di depan meja makan. Arai mengambil bingkai plastic foto hitam putih ayah dan ibunya. Dia
menyingkir ke ruang tengah, duduk di kursi malas ayah seraya membekap bingkai foto dan
suratnya. Aku beranjak membawa suratku dan duduk di tangga rumah panggung. Ayah dan
Ibuku duduk di kiri kananku. Aku tak sanggup membaca, kuserahkan pada ibuku. Ibu
membuka surat itu pelan-pelan dan membacanya. Dia tercenung lalu mengangkat
wajahnya, memandang jauh, matanya berkaca-kaca. Detik itu aku langsung tahu bahwa aku
lulus. Aku terbelalak ketika membaca nama universitas yang menerimaku. Di ruang tengah,
terdengar isak tangis. Kami bangkit menuju suara itu. Kami melihat wajah Arai sembab
berurai air mata. Kami masih berdiri mematung di ambang pintu ketika dia mengatakan
dengan lirih sambil tersedu sedan, “Aku lulus…” Dadaku sesak. Jelas Arai ingin
memberitahukan kelulusan itu kepada Ayah dan Ibunya. Apalah daya sang simpai keramat
itu. Arai menangis sesenggukan memeluk ayahku.
Aku mengambil surat beasiswa Arai dan membacanya, lalu jiwaku seakan terbang.
Hari itu seluruh ilmu umat manusia menjadi setitik air di tengah samudera pengetahuan.
Hari itu, Nabi Musa membelah Laut Merah dengan tongkatnya dan miliaran bintang
gemintang berputar dalam lapisan tak terhingga di luar jangkauan akal manusia. Hanya itu
kalimat yang dapat menggambarkan betapa indahnya Tuhan telah memeluk mimpi-mimpi
kami. Karena di kertas itu tertulis nama universitas yang menerimaku. Disana, jelas tertulis :
Université de Paris, Sorbonne, Perancis.

Anda mungkin juga menyukai