Anda di halaman 1dari 9

Monolog

Ibu kita Raminten.


Diangkat dari novel karya Muhamad Ali
Teks Pra- lakon: Ikun Sri Kuncoro

1. Yang aku bayangkan adalah ruang pengadilan. Tapi ruang ini sekaligus juga harus hadir
secara simbolik sebagai sebuah kungkungan, yang dengan itu berarti ia juga menindas, entah
sebagai sebuah sistem (termasuk tata nilai, di sini) atau sesuatu hal yang lain yang muaranya
pada konstruksi sosial.

2. Maka, bayangannya adalah pilar-pilar tiang dengan berbagai ukuran yang secara kompositif
memberi efek visual menekan karena stage dalam pembayangannya hanya berisi sebuah
tempat duduk terdakwa (Raminten), maka tiang-tiang ini harus dipermainkan dengan cahaya
yang memberi aksentuasi atas suasana monolog Raminten. Jika ditemdukan ikon lain yang
lebih menggugah tentu itu yang diharapkan.

3. Andai potensi teaternya mampu, yang aku bayangkan dari teater ini hanyalah teater auditif:
sebuah rangkaian irama bunyi yang memukau (membuat penonton betah) yang muncul dari
wilayah tekanik ucapan dan ilustrasi musik. Sehingga, Raminten tidak perlu beranjak dari
kursi terdakwanya untuk sebuah spektakel yang lain.

4. Tetapi sejujurnya saya juga tak mengelak, andai prosesi latihan, proses penciptaan teater
yang sesungguhnya memberikan penawaran lain yang sering tak terduga dan tak dibayangkan
pada awalnya. Karena, sebenarnya, di situlah letak keajaiban teater.

Marilah dimulai saja:

1 |M o n o l o g Ibu Kita Raminten karya Ikun Sri Kuncoro


Panggung itu gelap, ketika lamat-lamat detak sepatu membentur ubin hadir semakin nyata
dan berselah-selih dengan suara “ngremo” antara bunyi gamelan dan tembang, juga dentam
besi dari gembok dan kerangkeng penjara. Sampai suasana menjadi.

Lalu dalam kelam itu sidang dibuka oleh suara hakim:

Hakim (Off Stage): Sidang perkara pembunuhan Prihartono warga negara Indonesia
kelahiran Hongkong, dengan agenda utama pembelaan terdakwa II Saudari Raminten yang
akan disampaikan oleh terdakwa sendiri, dengan ini dinyatakan dibuka.

Lalu lampu merayap pelan pada Raminten yang duduk di kursi terdakwa.

RAMINTEN

Trima-kasih. Sebagaimana dinyatakan kepada saya dan telah saya jawab, saya tidak akan
menambahkan atau mengurangi. Saya... hanya akan melihatnya dan mengatakannya dari sisi
diri saya tentang peristiwa apa yang telah saya jalani dan tentang apa yang telah bapak dan
ibu simpulkan atas diri saya.

Saya, malam itu, tanggal 22 Desember 2004 memang berada di kamar bapak Prihartono di
jalan Ahmad Yani no. 1. Tetapi seperti yang telah saya katakan, kenapa saya di rumah itu? ...
Saya, ... dipaksa Stambul ... Anak saya.

Malam itu, Stambul pulang. Dan seperti beberapa malam sebelumnya, Stambul membujuk
saya.

Setelah berbulan-bulan tidak pulang—juga, ketika bapaknya meninggal—beberapa malam


sebelum peristiwa itu Stambul membujuk saya untuk menjadi gundik bapak Prihartono.

Menurut Stambul, hidup saya akan lebih baik kalau saya bersedia bekerja pada Pak
Prihartono. Katanya, Pak Prihartono sedang membutuhkan seorang tukang pijat. Yang
diinginkan adalah seorang tukang pijat yang muda. Tapi Stambul yakin bahwa tak akan ada
perempuan muda yang bersedia menjadi tukang pijat Pak Pri.

Stambul, anak saya itu, dari pada saya hidup seperti ini: nganggur, kelaparan dan kesepian.
Hidup bukan mati pun tidak. Lebih baik ikut Pak Prihartono. Meskipun tua, Pak Pri duitnya
banyak. Pak Pri akan memberi uang berlimpahan, cukup makan, cukup pakaian, dan saya
hanya disuruh memijat-mijat. Hanya itu saja. Memijat.

Memang, sejak Markeso meninggal, saya hidup dari belas-kasih tetangga. Setiap hari
tetangga-tetangga memang saya dtang mengantar makanan untuk saya. Itu berjalan lebih dari
tiga bulan lamanya. Dan, mungkin akan lebih lama lagi seandainya peristiwa ini tidak terjadi.

2 |M o n o l o g Ibu Kita Raminten karya Ikun Sri Kuncoro


Sepeninggal Markeso, saya memang malas melakukan apa saja. Saya tidak keluar rumah.
Saya memang tidak pernah bekerja sejak saya menjadi istri Markeso. Saya, Stambul, dan
Markeso, hidup hanya dari hasil Markeso mbarang, mengamen sebagai ludruk garingan. Atau
ludruk ontang-anting: sendirian mengamen dengan menembang, menari dan ngremo. Dan
kami hidup.

Dulu Markeso bekerja sebagai kernet angkot. Sebelum bertemu saya. Sebelum kami
menikah. Saya masih ingat benar ketika kami bertemu. Waktu itu usia saya baru 15 tahuanan.
Seperti biasa, saya membantu bapak yang berjualan obat keliling, menggelar perlak untuk
alas menata dagangan bapak. Ketika itu sebuah angkot berhenti menurunkan dan menaikkan
penumpang. Entah kenapa, ketika mendengar dari mesinnya saya tiba-tiba berhenti dan entah
kenapa saya jadi memandangnya. Saya melihat Markeso, meloncat turun dan melayani para
penumpang turun. Waktu itu, mungkin Markeso masih berusia 20-an. Ia sibuk mempersilakan
penumpang turu, membantu menurunkan barang lalu sibuk menawarkan pada orang-orang
yang barangkali akan ikut dalam angkotnya. Lalu tiba-tiba ia berpaling. Sejenak kami
berpandangan. Lalu ia teruskan menawarkan angkotnya, dan saya meneruskan menata obat-
obatan dagangan bapak. Tapi entah kenapa, setiap kali saya mendongak melihatnya, ia selalu
juga sedang melihat saya.. Seterusnya, wajh Markeso selalu saya ingat dan setiap kali bapak
berjualan di pasar itu, saya selalu berharap melihatnya lagi.

Tak sampai setahun saya pun menikah dengan Markeso. Kami keluar dari rumah bapak dan
menyewa rumah bedeng yang murah di pemukiman padat. Markeso berhenti sebagai kernet
angkot dan memilih menjadi pengamen. Dari hasil mengamen itulah kami hidup. Dan
setahun kemudian lahirlah Ruba’i.

Kami pun cemas. Bagaimanakah kami harus hidup dari hasil mbarang Markeso dengan
tambahan seorang bayi? Untuk hidup berdua kami, kadang makan hanya 2 kali/ entah dari
mana pikiran itu datang, tiba-tiba kami memutuskan untuk menyerahkan Ruba’i pada orang
yang bersedia memungutnya. Dan kebahagiaan kami pun pulih kembali begitu ada orang
datang dan sangat berterimakasih kepada kami ketika mereka menerima Ruba’i.

Tapi sungguh kami tidak menjualnya. Memang, Pak Rus, yang memungut Ruba’i
memberikan uang ungkapan kebahagiaannya pada kami. Tetapi, Pak Rus sendiri yang
menyatakan itu hanya sebagian ungkapan kebahagiaan karena ia mendapatkan kesempatan
dari Tuhan untuk bisa membesarkan seorang bocah. Dan kami pun berpesan agar nama
Ruba’i tak diganti dengan nama lainnya.

Begitulah. Nasib Lastri pun sama ketika setahun kemudian adik Ruba’i itu lahir. Kami yang
membayangkan nasibnya tidak bersekolah, makan dan pakaian yang tidak akan tercukupi,
menyerahkan Lastri pada Bu Broto begitu usianya telah lebh dari tiga bulan. Orang-orang
pun mengira terutama tetangga-tetangga kami, bahwa kami telah menjual anak-anak kami.
Apalagi pada tahun berukutnya Gani lahir dan Pak Irham memintanya untuk
membesarkannya.

3 |M o n o l o g Ibu Kita Raminten karya Ikun Sri Kuncoro


Juga, ketika Fitri lahir, Alamsyah, dan Samsi pada tahun-tahun berikutnya. Ketiganya diminta
oleh Pak Subandi seorang pengusaha oli yang anak-anaknya sudah besar semua.

Tetapi sungguh kami tidak menjual anak-anak kami. Kami selalu meminta agar mereka tidak
mengganti nama anak-anak kami dan kami selalu tahu pada siapa anak-anak kami serahkan.

Anak ketujuh kami, Joko, kami serahkan pada pedagang koran, Pak Hasan namanya. Falhi,
anak kedelapan kami serahkan pada Pak Badawi, seorang guru agama di SD kampung
sebelah. Dewi diminta Ibu Kartika yang telah menjanda. Ningsih dan Ningrum anak kembar
kami dibesarkan Pak Widodo dan Pak Alam. Sedangkan Anwar diminta oleh Pak Effendi,
seorang pelaut.

Memang, terkadang ada saja dari mereka yang mengambil anak kami, tidak saja memberikan
uang begitu mereka bawa anak-anak kami. Sering, ada saja yang telah memberikan kepada
kami uang sejak bayi-bayi itu masih ada dalam kandungan. Mereka bilang, agar bayi yang
saya kandung tidak kekurangan gizi sehingga saya harus menjaga makanan yang saya makan.
Itu pengakuan mereka. Bapak-bapak dan ibu-ibu boleh tidak percaya. Tapi begitulah mereka
mengatakannya kepada kami, setiap kali pada setiap bulan mereka memberikan uang itu
ketika saya mengandung anak yang hendak mereka minta.

Begitulah kami mengandung anak-anak kami. Kami memberikan bayi-bayi kami kepada
orang lain lantaran kami tahu, kami tak akan bisa menghidupinya. Kami tak akan pernah
sanggup menyekolahkan, dan kami tak akan bisa mendidiknya sendiri. Kami bahkan tidak
bisa membayangkan, apa yang akan terjadi seandainya anak-anak kami besarkan pada
lingkungan kami yang pepat oleh rumah-rumah bedeng kemiskinan kami. Kami sudah
melihat apa yang terjadi dengan anak-anak tetangga kami; yang dekil, yang kurus, yang tak
bersekolah, dan kami sudah tahu apa yang terjadi pada saat besarnya nanti.

Tetapi kenapa kami bisa beranak sampai 12, sampai 13, hanya kemiskinak kami yang tahu.
Saya dan Markeso tak punya pekerjaan lain begitu maghrib tiba. Setiap kali pulang ngamen,
Markeso tak akan pergi lagi. Dan kami hanya akan bersembunyi dalam bedeng gubuk kami.
Kami jarang, atau malah tidak pernah bermain ke gubuk tetangga kami. Mengunjungi mereka
lebih sering hanyalah mengunjungi sumpah serapah yang mengutuk nasib dan kehidupan.
Berjalan-jalan ke pertokoan hanya akan tersiksa sebagaiamana, mungkin, tiba di neraka.
Neraka bagi kami adalah menyaksikan melimpahnya barang-barang yang ditawarkan tanpa
pernah bisa membelinya. Neraka bagi kami adalah kelaparan yang tak pernah lekang.

Dan Markeso, suami saya, adalah laki-laki yang tahu bagaimana membangun surga di dalam
gubuk kami. (JIKA ADA TRANSISI TEATER BISA DIAWALI DI SINI). Tangan yang
kasar, bau keringatnya yang sengak, mulutnya yang bertembakau, selalau saja bisa
mendatangkan surga di bedeng kami yang pengap bila sudah berbaring di dekat saya.

Saya ingat benar, apa yang dikatakannya di suatu malam:

4 |M o n o l o g Ibu Kita Raminten karya Ikun Sri Kuncoro


“Ram, sungguh buruk nasib kita. Bayangkan kepada siapa kita akan menitipkan hidup kita
kalau kita sudah tua dan ak mampu lagi buat bekerja? Kita akan jadi tua bangka, nantinya.

Apakah akan ada yang ingat kepada kita, Ram? Satu saja dari 12 anak yang kita buang itu?

Kamu jangan marah, Ram. Tapi apalagi kalau bukan membuangnya? Memberikannya
kepoada orang lain sama artinya dengan membuang. Meskipun, kita tetap meminta agar
nama-nam anak-anak itu tidak diganti. Meskipun kita tahu dan hapal, siapa-siapa saja yang
telah memungut anak kita. Tetapi, kita tetaplah melepaskan tanggungjawab itu. Atau, ka mu
lebih suka aku menyebutnya menjual, Ram? Kamu lebih keberatan, kan? Meskipun
kenyataannya kita tidak hanya menerima ucapan terimakasihnya dalam sejumlah uang, tetapi
juga menerima uang belanja selama kamu hamil dan selama tiga bulan awal menyusui hanya
agar bayimu tidak kekurangan gizi. Tapi apa kenyataannya, Ram? Kita juga menumpang
makan dari uang membeli bubur dan susu itu.

Kita memang telah menjual bayi-bayi itu. Atau mungkin kita telah menjualnya. Tetapi
sungguh, sekarang aku justru sangat ketakutan kepada siapa kita akan menitipkan hidup kita
kalau kita sudah tua. Kita akan menjadi tua, Ram. Kita akan, menjadi tua bangka dan tidak
punya siapa-siapa.

Tidak, Ram. Tidak.

Kita harus punya anak lagi, harus. Dan kita juga harus memeliharanya sendiri. Kita harus
membesarkannya. Karena, karena aku tidak yakin 12 anak kita akan ada yang bersedia
menerima kita pada waktu kita telah menjadi bangka. Ayo, Ram. Kau harus hamil. Harus
hamil lagi. Dan kita harus berani memelihara anak sendiri. Kita harus membesarkannya. Kita
akan menyekolahkannya, akan mengajarinya bermain, akan mengajaknya berjalan-jalan.
Apapun yang kita punya.”

(WAKTU LEWAT DALAM HITUNGAN BANYAK BULAN. INI ZAMAN KETIKA


RAMINTEN TENGAH MENGANDUNG ANAK KE-13. USIA PERUTNYA MUNGKIN 7
ATAU 8 BULAN. ANDAI TEATER DIPERMAINKAN SET BISA BERUBAH: AKU
MEMBAYANGKAN PERISTIWANYA DI DALAM GUBUK BEDENG RAMINTEN.
ADAPUN TOKOHNYA ADALAH MARKESO. WAKTUNYA SORE SEPULANG DARI
MENGAMEN. JADI, MINIMALNYA, AKTOR MEMBAWA SATU ALAT YANG
DIGUNAKAN MENGAMEN. SEMISAL, KEDANG KECIL. LALU MENGAMEN
SEBENTAR DI WILAYAH PENONTON. JIKA SANGGUP, AKTOR BERIMPROVISASI
SEBENTAR DENGAN PENONTON. TETAPI ANDAI TETAP DIPERTAHANKAN
KONSEP AWAL SEBAGAI TEATER AUDITIF. MAKA YANG TERJADI DALAM
SESAAT HANYALAH SEMACAM LAMPU PADAM. DAN KETIKA CAHAYA
TUMBUH PENGADILAN ITU BERLANJUT.)

RAMINTEN:

5 |M o n o l o g Ibu Kita Raminten karya Ikun Sri Kuncoro


Sore itu Markeso datang dengan wajah yang bungah. Aku sudah mendengar teriaknya sejak
dari luar:

“Ram.., Ram..., Raminten..

Ini yang namanya rezeki nomplok. Aku bertemu dengan Mas-mas seniman. Jangan salah
ucap lagi dengan “si Niman.” Aku ditraktirnya. Dibayari makan sepuasku, dan masih diberi
duit. Sekarang kamu percaya, kan? Anak memang selalu membawa rezekinya sendiri. Aku
juga menemukan nama untuk anak kita: Stambul. Kamu pengen ngerti apa itu Stambul? Itu
artinya, sandiwara. Drama. Orang-orang pinter, mas-mas seniman itu, menyebutnya titer. Mas
seniman tadi yang bilang. Jangan takut kalau nama itu membebani anak kita. Nanti kita
selamati dengan tiga ekor ayam yang masih kita punya. Dengan selamat tiga ekor ayam pasti
tidak akan ada aral yang melintangai Stambul. Kamu tahu, kan? Nabi Ibrahim? Nama
Ibrahim memberikan sesaji satu ekor kambing untuk mengganti nyawa anaknya, Nabi Ismail.
Nah, karena kita bukan nabi maka cukup ayam saja: tiga ekor.

Nama itu tentu akan membawa berkah. Kalau sudah besar, Stambul, Stambul akan menjadi
seniman sandiwara. Titer. Tapi kalau nanti dia ternyata perempuan, aku lebih suka kalau dia
menjadi penyanyi ndangdhut. Kita harus dibelikan teve agar bisa menonton dia.

Aku jadi tidak sabar menunggu 2 atau 3 bulan lagi. Tabungan kita rasanya cukup untuk
membayar Bu Bidan. Kamu ingin anak kita, laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin
anak kita laki-laki. Kamu ingin anak kita, laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin
anak kita laki-laki. Aku akan mengajarinya main kendang, menembang. Aku akan
mengajarinya menari. Maka, kalau sudah besar dia akan menjadi...

(KALIMAT ITU TIDAK SELESAI. DAN RAMINTEN TERISAK. DI SINI TRANSISI


UNTUK MASUK KE TOKOH STAMBUL.)

RAMINTEN:

Apa yang terjadi dengan Stambul setelah besar adalah apa yang tidak pernah kami harapkan.
Bahkan, membayangkan pun, kami; tidak. Sore, apabila Markeso telah pulang dari
mengamen, Stambul pastilah akan datang.

“Ram..., Raminten... Di mana Markeso? Aku sudah melihatnya pulang, tadi. Mar...,
Markeso... Atu, uang itu sudah diberikan padamu? Mana? Mana? Berikan padaku! Kalau
tidak kamu berikan padaku, kepada anakmu, akan kamu berikan kepada siapa hasil kerja
bapakku? Atau kalian belum makan? Baik, kita bagi tiga uang itu. Aku minta bagianku, dan
kalian ambil bagian kalian. Atau begini saja. Berikan uang itu semua padaku, nanti aku akan
membelikan kalian makan malam ini. Daripada kalian harus keluar, naik-turun, tebing sungai
ini, tentu hanya akan membuat kalian lapar lagi. Iya, kan? Nah, biarkan aku sekalian
membelikan kalian makan untuk malam ini. Setuju, kan?

6 |M o n o l o g Ibu Kita Raminten karya Ikun Sri Kuncoro


Ram, aku dengar dari para tetangga, kamu dulu menjual 12 kakakku selagi masih bayi.
Kenapa itu tidak dilakukan lagi? Biar aku nanti yang mencari pembeli. Aku punya banyak
kenalan. Dan aku dengar harga bayi sangat mahal sekarang. Malah, Ram, ada yang bisa
menjualkan dengan harga yang lebih tinggi lagi bila kamu bersediah dioperasi selagi bayi itu
berusia 3 bulan dalam kandunganmu. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya operasi itu, Ram.
Kita hanya tinggal menerima harga bayi itu. Katanya untuk dibikin sop, atau diawetkan untuk
diminum sebagai jamu. Kamu tidak tertarik, Ram? Hanya mengandung tiga bulan, Ram. Dan
kit abisa pindah dari bedeng ini. Kamu tidak bosan tinggal di gubuk yang berdempet-dempet
ini? Kamu tidak bosan terus melarat seperti ini? (Kere kok ra jeleh.) ah, aku yakin, Markeso
pasti setuju. Di mana? Di mana Markeso sekarang?

Mar... Markeso... Mar. Kamu sembunyikan di mana Markeso? Tapi uang itu sudah diberikan
padamu, kan? Mana, berikan padaku. Nanti aku belikan kalian makan, malam ini. Atau...,
baik..., aku belikan juga makan sampai besok pagi. Bagaimana? Mana sekarang uangnya?
Ayo, berikan. Berikanlah \ram. Aku kan anakmu.

Ram, aku memang pernah mencuri. Sering, malah. Aku juga kadang memeras. Atau,
memaksa. Tapi, aku tidak mau melakukan itu pada kalian. Ayolah, Ram. Berikan uang itu
padaku. Jangan paksa aku menjadi pemeras, atau penjahat pada kalian. Ram, meskipun
orang-orang selalu mengatakan aku sama jahatnya denan kalian yang telah menjual kakak-
kakakku, tapi aku tetap tidak ingin jahat pada kalian dengan memaksa kalian menyerahkan
uang itu padaku. Kalian itu Ram, berikan uang itu padaku. Ayolah, nanti aku belikan nasi
untuk malam ini, besok pagi, dan juga siangnya. Bagaimana? Ayolah, Ram. Jangan suruh aku
untuk kasar padamu.

Ram, kalian tahu apa yang dikatakan orang-orang di luar? Mereka bilang, kalian; kamu dan
Markeso, lebih jahat daripada aku. Mereka juga bilang bahwa kalian bodoh. Kata mereka,
kalau dulu kalian membesarkan sendiri anak-anak kalian, kalian akan beruntung. Kalian bisa
menjualnya ke luar negeri, sekarang. Dan kalian bisa terus menerima kiriman uangnya. Kata
mereka, kalian bisa menjualnya sebagai babu, sebagai buruh pabrik, bahkan kalau perlu
kalian bisa menjualnya sebagai pelacur.

Aku tidak bisa membayangkannya, Ram. Andai 12 kakakku kamu jual ke luar negeri. Apa
yang akan terjadi pada kita saat ini, Ram? Aku pasti, sudah tentu, tidak perlu menunggu
saban sore hanya untuk meminta uang Markeso yang hanya receh itu. Bayangkan, Ram, 12
anak dalam satu tahun. Kalau mereka mengirim satu juta saja satu orang sekali dalam satu
tahun, kita sudah harus menghabiskan uang segepok itu setiap bulan. Itu hanya sekali mereka
mengirimkan. Kalau setiap anakmu itu mengirimkan dua kali saja dalam satu tahun, apa kita
tidak repot untuk menghabiskannya? Ah.., Markeso pasti tidak perlu bekerja seperti topeng
monyet itu. Keliling kota, mengumpulkan recehan.

Markeso, pasti akan duduk-duduk setiap hari dengan rokok kreteknya yang berbau menyan
itu. Atau, ah.., jangan-jangan dia akan kawin lagi. Beranak-pinak banyak, dan pasti dikualnya
lagi.

7 |M o n o l o g Ibu Kita Raminten karya Ikun Sri Kuncoro


Kita akan hidup enak, Ram, hanya dengan 12 kakakku yang mengirimkan uang bergiliran.
Dasar, kamu memang bodoh, Ram. Dan karena kamu bodoh, maka kamu pun tidak mau
memberikan uangmu padaku sekarang untuk kubelikan nasi. Mana? Di mana sebenarnya
uang itu? Atau, aku harus mengambilnya sendiri? Kamu sembunyikan di mana? Di bawah
tikar? Dalam besek pakaianmu? Atau kau simpan dalam kutangmu? Mana biar aku ambil
sekalipun kau sembunyikan dalam celana dalammu.”

(ADA SESUATU YANG BERUBAH DI DALAM PANGGUNG).

Begitulah Stambul memaksa saya. Syukurlah, semenjak itu dia tidak kembali lagi. Dia tidak
pernah pulang lagi. Tapi suaranya yang terus menuduh saya menjual kakak-kakaknya tak bisa
saya lupakan. Dan malam itu, saya dan Markeso tak lagi bisa makan. Uang seharian Markeso
mengamen telah dirampasnya. Semua.

Kepergian Stambul memang membuat kami lega, meskipun terkadang kami merasa
kehilangan juga. Bagaimanapun Stambul adalah anak kami. Anak yang kami niatkan untuk
kami asuh sendiri. Kami besarkan, dan kami harap untuk bisa merawat hari tua kami.
Lambat-laun kami memang bisa melupakan dan mengikhlaskannya. Kami terkadang
bersyukur tidak membesarkan sendiri ketiga belas anak-anak kami. Kalau yang terjadi adalah
apa yang sudah dinasibkan pada Stambul pastilah rumah bedeng kami hanya akan menjadi
sarang, perampas, pemabuk dan pelacur. Anak-anak kami.

Lalu datanglah peristiwa itu. Beberapa bulan setelah Markeso meninggal. Stambul datang.
Dia meminta saya untuk menjadi tukan pijat Pak Prihartono. Saya tidak hanya menolaknya.
Tetapi juga, dengan sangat terpaksa, mengumpatinya. Dan dia pergi.

Tetapi beberapa malam kemudian, dia tidak hanya meminta saya. Dia, bahkan, telah
memaksa dan menyeret saya. Saya digelandang sampai rumah Pak Prihartono. Dan saya
diseretnya sampai ke dalam kamar. Diseretnya.. Diseretnya saya...

Di dalam kamar itu saya tidak tahu berapa saya telah dijualnya. Tapi saya dengar apa yang
dikatakan Prihartono pada Stambul:

“Brengsek. Aku bilang akan memberikanmu 250 ribu kalau yang kamu bawa perempuan
muda. Tapi apa yang kamu bawa sekarang? Mayat tua. Apa matamu sudah tidak bisa
membedakan perempuan muda dengan orang yang sudah bau tanah? Sekarang bawa uang itu
kalau mau. Kalau tidak, bawa juga pergi nenek-nenek itu. Aku bisa minta orang lain mencari
apa yang aku inginkan. Dasar goblok.”

Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan di kamar mandi itu. Saya seperti tidak bisa
berpikir. Tidak bisa menalar. Ketika, saya lepas baju saya dan menuruti perintahnya untuk
membersihkan diri.

Lalu terdengar suaranya lagi:

8 |M o n o l o g Ibu Kita Raminten karya Ikun Sri Kuncoro


“Kenapa lama? Cepatlah keluar.”

Dan ketika saya keluar dari kamar mandi, saya tidak berani melihat matanya. Saya hanya bisa
mendengar perintah-perintahnya:

“Stop. Berhenti di situ. Buka bajumu. Rokmu. Kutangmu. Celana dalammu. Berbaliklah. Aku
ingin melihatmu dari belakang.

Nah, mendekatlah. Sekarang pijitlah aku. Kamu bisa memijat juga ternyata. Atau kamu sudah
menyiapkannya? Karena menjadi pelacur tentu tak bisa selamanya? Pintar juga kamu punya
otak. Kalau kamu mau, kamu bisa juga bekerja di sini. Kamu pasti bisa memasak, kan?
Kerjamu hanya memasak, membersihkan rumah, menyeterika, dan memijit. Kamu tidak usah
mencuci karena di sini sudah ada mesin cucinya. Berapa kamu minta dibayar setiap bulan?
150 ribu, mau? Aku juga akan mengijinkan kamu menerima panggilan memijat dari orang
lain apabila aku tidak sedang ingin dipijat.

Ya, terus ke bawah. Jangan sungkan-sungkan. Aku juga ingin dipijat di bagian itu. Ayo!
Kenapa berhenti? Pijatlah di mana saja aku ingin kau memijatnya. Aku telah membayarmu.
Aku berhak menyuruh apa saja padamu. Aku bahkan berhak tidak hanya memintamu
memijat. Aku bahkan berhak memintamu untuk melayaniku.”

(ADA PERKOSAAN PERSETUBUHAN YANG KASAR, DI SINI)

Lalu tiba-tiba Stambul datang. Saya sudah tidak bisa mendengar apa yang mereka
percakapkan. Saya takut. Saya bingung. Saya sedih, marah tapi saya tidak bisa berbuat apa-
apa. Apa yang terjadi di situ tak bisa semuanya saya ingat.

Sesekali saya memang mendengar dan melihat Stambul menggertak dan meminta uang.
Sesekali saya mendengar Prihartono yang membentak-bentak Stambul. Saya ingat Markeso.
Andai dia masih hidup, aakah dia juga akan membiarkan saya digelandang Stambul?

Lalu saya mendengar kaca pecah. Ketika saya berpaling saya melihat Stambul bergulat
dengan Prihartono. Saya tidak tahu bagaimana perkelahian itu terus terjadi. Pikiran saya
kacau. Saya bingung. Saya sedih. Saya takut. Tapi juga marah. Tapi saya tidak bisa berbuat
apa-apa. Saya ingin menangis tapi sudah tidak bisa. Saya ingin berteriak. Tapi saya telah
kehilangan suara saya.

(RAMINTEN TERUS BICARA. TANGANNYA BERGERAK-GERAK. TAPI SUARA ITU


TAK ADA. LAMPU MENYUSUT. HINGGA MENEMUKAN KELAM.)

9 |M o n o l o g Ibu Kita Raminten karya Ikun Sri Kuncoro

Anda mungkin juga menyukai