Anda di halaman 1dari 4

Teks Cerita Sejarah

Wahana Kapal Berayun

K
A
R
Y
A

Zurriyatur Rahmah
XII MIPA 7
SMA NEGERI 4 PEKANBARU
Wahana Kapal Berayun

Nama ku Zurra. Aku lahir di Pekalongan, 10 Maret 1983. Umur ku saat ini 39 tahun, dan
sudah memiliki keluarga kecil. Setiap malam, aku dan keluarga ku berkumpul santai di ruang
keluarga untuk bercerita. Malam ini, aku teringat salah satu kejadian yang menimpa ku ketika
aku masih berumur 15 tahun. Kejadian yang memakan 1 korban dan yang lainnya luka-luka.
15 tahun, umur yang mengalami masa-masa yang menyenangkan karena memiliki banyak
waktu bersama teman, tetapi malah menjadi masa yang kelam bagiku.
Saat itu aku menduduki bangku kelas 3 SMP. Aku memiliki 3 orang sahabat bernama
Risa, Lisa, dan Yori. Risa dan Lisa adalah saudara kembar. Kami berempat selalu bermain
bersama-sama, tidak pernah terpisah satu pun. “Hey tau ngga? Di Taman Kota ada pasar
malam loh dan banyak wahana juga!,” seru Yori. Risa menyanggah, “Ssstt diam dulu, lagi
belajar,”.
Istirahat pun tiba, aku dan sahabat ku menuju ke kantin untuk membeli makanan dan
minuman. Kami berbincang-bincang sembari berjalan. “Tadi kata mu ada pasar malam di
Taman Kota ya Yor?,” tanyaku. “Iya, tadi malam aku dan ayah ku sedang jalan-jalan terus
lewat situ deh,” jawab Yori. “Wah seru tuh! Gimana kalau malam minggu kita bermain
kesana? Refreshing deh ceritanya sebelum ujian!,” ajak Risa sambil menyeruput teh yang ia
beli di kantin tadi. “Iya ayo deh boleh!,” seru kami.
Hari Sabtu, tanggal 29 Juli 1998. Hari Sabtu adalah hari libur sekolah, di mana aku dan
sahabat ku memiliki waktu untuk bermain. Kami sudah berencana untuk bermain ke pasar
malam dan menaiki wahana kora-kora, sebuah jenis wahana ekstrem berbentuk kapal
pembajak yang berayun ke depan dan belakang. Sebenarnya, aku dilarang keluar malam oleh
orang tua ku. Tetapi, aku sangat ingin ikut bersama teman-teman ku. Aku memberanikan diri
untuk meminta izin kepada orang tua ku.
“Pagi mama dan papa! Lagi ngapain tuh?,” tanyaku. Sebenarnya aku sudah tahu mama dan
papa ku sedang ngapain. Iya, sedang membersihkan halaman rumah, aku hanya berbasa basi
saja. ”Halo anak ku, papa sedang membersihkan halaman rumah nih, rumput-rumput udah
pada panjang semua,” ujar papa ku. “Kenapa Zurra? Mau bantuin juga?,” tanya mamaku.
Aku berpikir sejenak, “Kalau misalnya aku rajin bantuin mama papa beresin rumah kayaknya
bakal dibolehin nih ke pasar malam” batin ku begitu.
Aku mengangguk pertanda siap untuk membantu mama dan papa. Aku mencabuti rumput-
rumput yang sudah panjang. Setengah jam berlalu, aku membersihkan bagian dalam rumah.
Aku menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju dan menjemur kain. Semua ku
lakukan demi sebuah izin untuk bermain ke pasar malam.
“Tumben serajin ini, biasanya mentok-mentok cuma menyapu dan ngepel. Lagi ada
maunya ya?,” tanya mama ku. Aku menyengir, mama ku pasti sudah hafal sifat ku yang
begini. “Hehe, nanti Zurra mau main ke pasar malam sama teman ma. Boleh ya ma? Sekali
iniii aja,” aku memasang wajah memelas, agar mama mengasihani ku dan segera
mengizinkan ku. Mama berpikir sejenak, “Oke sekali ini aja, dan jam 9.30 malam sudah
berada di rumah”.
Aku berterima kasih dan memeluk mama ku. Aku sangat senang, hari ini adalah hari
bermain malam ku untuk pertama kalinya, Aku menelepon sahabat-sahabat ku, memberi
kabar bahwa aku diberi izin oleh orangtua ku. Aku segera memilih baju yang akan aku pakai
untuk bermain nanti malam.
Sore menjelang malam, aku sudah bersiap-siap dijemput oleh sahabat ku. Tidak lupa
untuk shalat dan makan terlebih dahulu. Aku menunggu mereka di kursi teras rumah. Tak
lama kemudian, terdengar dua suara motor dari kejauhan. Feeling ku itu adalah motor Risa
dan Lisa yang berboncengan, dan satu lagi motor Yori.
Feeling ku tidak pernah salah. “Ayo naik Zur!,” ucap Yori dengan semangat. “Sebentar,
aku salim mama dan papa ku dulu,”. Aku melepas sendal, memasuki rumah dan berpamitan
kepada orang tua ku. Tidak lupa ku pasang helm sebelum menaiki motor.
10 menit berlalu untuk menempuh Taman Kota. Akhirnya kami pun sampai di pasar
malam. Ternyata tidak hanya wahana, di sini juga banyak yang menjual makanan, minuman,
serta menyewakan sepeda dan skuter. Tetapi orang-orang tertarik untuk mencoba berbagai
wahana. Ada wahana rumah hantu, roller coaster, dan kora-kora.
“Ayo kita pesan tiket kora-kora di sana!,” ajak Lisa sambil menunjuk wahana kora-kora.
Kami berjalan menuju kora-kora. “Kayaknya ini bakalan jadi pengalaman menyenangkan deh
karena aku pertama kalinya bermain ke pasar malam bersama kalian,” ucapku. “Iya dongg,
apalagi kita main wahananya yang seru,” jawab Risa.
Kami membeli tiket kora-kora untuk 4 orang. Setelah itu kami duduk di kursi yang telah
disediakan untuk menunggu giliran bermain. “WAA!!!,” teriakan heboh terdengar dari
berbagai arah. “Aduuhh jadi ga sabar!,” ucap Risa. Tak lama kemudian, nomor antrian kami
pun dipanggil untuk naik ke kora-kora.
Kami duduk di bagian ujung belakang kora-kora. Ada sekitar belasan orang pemain.
“Bismillahirrahmanirrahim,” kami berempat mengucap basmallah dan berdoa agar semua
baik-baik saja. Setelah semuanya duduk dan menempatkan posisi dengan aman, lonceng pun
dibunyikan pertanda bahwa permainan akan segera dimulai.
Mesin dihidupkan. Perlahan kora-kora mulai berayun depan dan belakang. Yori
merengguh kantong celananya untuk mengambil hp dan mulai merekam. “Hai kawan-
kawann, jadi kita berempat lagi main kora-kora nih seru bangeettt AAA,” ucap Yori sembari
merekam bagaikan vlogger. Setelah 5 menit merekam, Yori kembali memasukkan hpnya ke
dalam saku untuk menikmati permainan. Lama kelamaan, ayunan kora-kora semakin cepat.
“HWAAAA!!! Udahh stop!,” teriakku. “MAUU TURUNN!,” teriak si kembar sambil
berpelukan dan menutup mata. “STOPPP!!,” pemain yang lain ikut berteriak karena berayun
sangat tinggi dan kencang.
Terdengar bunyi gesekan dari mesin kora-kora, dan kora-kora berayun tak beraturan. Aku
dan semua pemain ketakutan. Orang-orang di bawah yang menyaksikan panik dan ikut
berteriak. Mereka juga sedang mencoba mematikan mesinnya. Aku hanya bisa berdoa di
dalam hati agar tidak terjadi apa-apa. Tetapi nasib berkata lain, mesin kora-kora tersebut
terbakar.
BAMM! Terdengar bunyi ledakan dari mesin kora-kora dan beberapa besi penggantung di
bagian depan terlepas sehingga membuat kora-kora tak seimbang dan beberapa orang
terjatuh. BRAAKK!! Ujung kora-kora yang diduduki oleh Risa dan Lisa patah dan terjatuh ke
bawah. “AAAA!!!,” aku dan Yori berteriak melihat si kembar terjatuh dan tergeletak di
bawah. Orang-orang berkerumunan melihatnya. Nyiiiitttt! Terdengar bunyi gesekan besi pada
kursi Aku dan Yori. Kami duduk membeku agar kursi tidak patah.
Selang 1 menit, akhirnya kora-kora perlahan-lahan bergerak melambat. Api pun sudah
dipadamkan oleh warga sekitar. Aku dan Yori segera turun dan berlari secepat mungkin ke
arah Risa dan Lisa. Sayangnya, Risa meninggal di tempat. Lisa dan korban yang lain
dilarikan ke rumah sakit. Aku dan Yori berteriak histeris melihat Risa ditutupi kain dan
dibawa masuk ke mobil ambulance.
Tempat diamankan dan dipasangi police line oleh polisi. “ZURRAAA!!,” Entah dapat
berita dari mana, orang tua kami tiba di pasar malam itu. Aku melihat orang tua Risa dan Lisa
yang menangis tersedu-sedu. Aku dan Yori segera mendatangi mereka untuk turut berduka
cita dan meminta maaf. “Tante turut berduka cita tante, maafkan kami tante,” Ucapku dan
Yori kepada orangtua Risa. “Iya, tidak apa-apa, bukan salah kalian kok. Takdir tidak ada
yang tahu, nak,” ibu Risa memeluk kami. Kacau, sedih, bingung. Otakku rasanya campur
aduk melihat kejadian ini. Diduga kecelakaan ini terjadi berawal dari mesin kora-kora yang
ditutupi oleh kain. Lama kelamaan, mesin itu panas dan mengeluarkan api sehingga terkena
kain dan terbakar.
4 hari semenjak kejadian itu berlalu. Aku, Yori, dan Lisa kembali ke kehidupan dan
beraktivitas seperti biasa. Masih dalam suasana duka, kami masih merasakan kehilangan
Risa. “Rasanya aneh ngga ada Risa,” ujar Lisa. Terasa menjanggal setiap kami berkumpul.
Tetapi apa boleh buat, kami harus menerima kenyataan dan melanjutkan kehidupan kami.
Kejadian 24 tahun yang lalu ini masih membekas di kepala ku. Setiap kali mengingatnya,
aku menghembuskan nafasku dan mengelus dadaku. Rasa trauma akan menaiki wahana-
wahana ekstrem itu tertanam di dalam diriku. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian
itu. Semuanya sudah takdir Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai