Cerpen 2 Ariel XI IPA 1
Cerpen 2 Ariel XI IPA 1
ABANG TENTARA
MOBIL mainan dari kayu itu dibuat oleh seorang tentara pada masa perang di kampungku. Aku
memanggilnya abang tentara. Demikian ia menyuruh agar aku memanggilnya. Padahal, ia memiliki
nama. Aku pernah melihat namanya tertera pada baju seragam lorengnya. Aku ingat namanya:
Sulaiman Simbolon. Pertemuan kami terjadi pada suatu sore yang berhujan. Saat itu aku sedang
bermain kelereng di bawah rumah panggung kami. Ia menghampiriku, Aku bersiap untuk pergi
darinya.
“Kau jangan takut. Tidak usah kau lari,” katanya sambil memegang kepalaku. Aku kembali bermain
kelereng. Aku ambil satu kelereng dan kulemparkan pada kelereng yang lain. Lemparanku itu tidak
mengenai kelereng yang kutuju. a mengambil sebuah kelereng yang kupegang. Ia melakukan seperti
yang kulakukan. Lemparannya tepat mengenai kelereng yang ia tuju. Lemparannya sangat keras
sehingga kelereng itu pecah. Maafkan aku. Lain hari akan aku ganti kelerengmu. Ini dua permen
dariku. Kau ambillah. Sampai jumpa,” katanya. Satu minggu setelah kejadian itu, lima tentara
mendatangi rumah kami. Salah satunya abang tentara itu. Mereka berbicara kepada ayahku di atas
rumah panggung, sedangkan aku berada di dalam kamar. Tapi, dari kamar itu, aku dapat dengan jelas
mendengar apa yang mereka perbincangkan Ketika tentara itu sudah pergi meninggalkan rumah
kami, ayahku seperti orang ketakutan. Kepada ibuku ayah berkata, “Aku takut dituduh bersekongkol
dengan tentara. Aku takut Sulaiman mendugaku begitu. Ia akan marah besar padaku,” kata ayahku.
Aku tahu siapa Sulaiman yang dimaksudkan ayah. Ia adalah pemimpin pemberontak yang berasal
dari kampung kami.
Esok harinya, tepat pada Minggu pagi, beberapa tentara sudah berkumpul di depan rumah. Tepatnya
duduk di pondok kecil buatan ayahku. Pondok buatan ayah, yang sebelumnya hanya berupa dinding
tipis dari papan kayu, mereka ganti dengan potongan pohon kelapa yang dibelah dua Usai mereka
merenovasi pondok buatan ayah, abang tentara itu mendekati rumah kami. Wajah ayah pucat. Aku
berdiri di belakang ayah.
Aku mengangguk.
“Aku akan membuatkanmu sebuah mobil mainan dari kayu ini.” Hanya sekitar satu jam ia
menyelesaikan mobil mainan dari kayu itu. Aku menjadi senang. Ketakutanku tiba-tiba saja hilang.
“Terima kasih, Abang Tentara,” kataku kepadanya.. Perang itu usai juga di saat aku hampir
kehabisan napas diimpit tubuh ayah. Suasana sunyi dan sepi. Terdengar dengan pelan suara
rintihan. Tapi kemudian diam. Tidak lama kemudian, pintu rumah kami ditendang seseorang. Aku
sangat ketakutan. Tiga tentara masuk ke dalam kamar. Mereka membentak kami. Dengan kasar ayah
mereka bawa. Ibu sangat takut. Dan aku telah kencing di celana Siangnya ayah pulang. Mukanya
lebam. Bibirnya bengkak. Ayah seperti telah dipukuli.
Kepada ibu ayah bercerita bahwa semua tentara yang menjaga pos di depan rumah sudah tewas dalam
kontak senjata subuh tadi.
Tentu saja aku terkejut mendengar kabar dari ayah. Aku tiba-tiba saja teringat pada abang tentara itu.
Aku sedih padanya. Aku menangis atas kematiannya. Sejak itu aku meletakkan mobil truk dari kayu
itu di atas lemari rak piring milik ibu. Dan aku mengenangnya sampai hari ini.
II. ANALISIS UNSUR PEMBANGUN CERPEN
A. UNSUR INTRINSIK
d) SUDUT PANDANG
-Saat itu aku sedang bermain kelereng (sudut pandang orang pertama)
- di bawah rumah panggung kami ( sudut pandang orang pertama jamak)
- . Ia menghampiriku ( susut pandang orang ke dua)
-Mereka membawa perbekalan, senjata lengkap dan satu truk reo yang terparkir tidak jauh dari pondok.(
sudut pandang orang ke tiga jamak)
8 Ketakutan( suasana) “Kau jangan takut. Tidak usah kau lari,” katanya sambil memegang
kepalaku.
9 Cemas(suasana) Aku mengeluarkan kepala dari pundak ayahku dengan cemas.
1. Alur Cerpen
3. gawatan (rising dia mengambil sebuah kelereng yang kupegang. Ia melakukan seperti yang
action) kulakukan. Lemparannya tepat mengenai kelereng yang ia tuju. Lemparannya sangat
keras sehingga kelereng itu pecah Aku tentu kecewa padanya. Aku sudah dua hari
menyisihkan uang jajan sekolah agar dapat membeli kelereng-kelereng itu.
“Maafkan aku. Lain hari akan aku ganti kelerengmu. Ini dua permen dariku. Kau
ambillah. Sampai jumpa,” katanya ,Ia lalu pergi meninggalkanku saat hujan sudah
reda Ayah rupanya marah besar setelah ia tahu bahwa aku berhubungan dengan
tentara itu.“Apa kau mau cari mati dekat dengan tentara. Jika terjadi perang, siapa
yang menolongmu,umpat ayahku malam hari Aku tentu saja membela diri. Aku
bilang kepada ayah bahwa aku tidak bermain dengan tentara. Aku bilang kepada ayah
bahwatentaraituyangmendekatiku.
“Tidak ada alasan apa pun bermain dengan mereka. Kau tahu ini musim perang.
Kontak senjata kapan saja bisa terjadi. Aku tidak mau kau mati terkena peluru nyasar.
Atau, kau mau jika dituduh sebagai cuak?”Ayah mengatakannya dengan
membolakan dua matanya
4. tikaian Satu minggu setelah kejadian itu, lima tentara mendatangi rumah kami. Salah satunya
(conflict) abang tentara itu. Mereka berbicara kepada ayahku di atas rumah panggung,
sedangkan aku berada di dalam kamar. Tapi, dari kamar itu, aku dapat dengan jelas
mendengar apa yang mereka perbincangkan.
“Ini instruksi dari komandan kami,” kata tentara yang pernah memecahkan
kelerengku itu. “Lokasi di sini sangat tepat sebagai pos penjagaan. Kami ingin
membatasi ruang gerak para pemberontak yang masuk ke kampung ini. Kami
memberi tahu Bapak akan hal ini. Kami juga mohon izin agar pondok di depan
rumah itu dapat dijadikan sebagai pos penjagaan. Kami hanya menjalankan tugas.
Bapak harap maklum,” tambahnya lagi kepada ayahku.
Ketika tentara itu sudah pergi meninggalkan rumah kami, ayahku seperti orang
ketakutan. Kepada ibuku ayah berkata, “Aku takut dituduh bersekongkol dengan
tentara. Aku takut Sulaiman mendugaku begitu. Ia akan marah besar padaku,” kata
ayahku.
Aku tahu siapa Sulaiman yang dimaksudkan ayah. Ia adalah pemimpin pemberontak
yang berasal dari kampung kami.
Esok harinya, tepat pada Minggu pagi, beberapa tentara sudah berkumpul di depan
rumah. Tepatnya duduk di pondok kecil buatan ayahku. Mereka membawa
perbekalan, senjata lengkap dan satu truk reo yang terparkir tidak jauh dari pondok.
Pondok buatan ayah, yang sebelumnya hanya berupa dinding tipis dari papan kayu,
mereka ganti dengan potongan pohon kelapa yang dibelah dua. Di depan pondok itu
ditumpuk-tumpuk karung plastik yang di dalamnya berisi pasir dan tanah. Yang
tingginya seukuran anak sekolah dasar.
Ayahku tidak ke mana-mana pada hari Minggu. Maka, ketika mereka merenovasi
pondok buatannya, ayah hanya melihat dari atas rumah.
5. rumitan Aku mungkin saja akan terbangun kesiangan seandainya subuh itu tidak terjadi
(complication) perang di depan rumahku. Ayah menarik tubuhku dari atas ranjang dan
klimaks menjatuhkannya ke lantai rumah. Dalam kantuk aku mendengar suara senjata meletus
tak henti-henti.Ayah mengimpit tubuhku. Ibu melata di sampingku. Tak henti-henti
suara ibu mengucap Allahu Akbar. Sedangkan ayah mengucapkan sesuatu dengan
amat pelan.Aku mengerti bahwa telah terjadi perang. Suara letusan senjata itu sudah
tidak asing lagi bagiku. Entah sudah beberapa kali pula aku terjebak dalam suasana
perang antara tentara dan pemberontak. Terakhir di saat aku pulang sekolah, saat itu
tiba-tiba saja puluhan orang berhadap-hadapan di tengah sawah dekat jalan sekolah.
Aku pun begitu cepat melata seperti ular. Menundukkan kepala serendah mungkin.
Itu kulakukan karena ayah selalu menyuruhku jika aku terjebak dalam perang.Perang
itu usai juga di saat aku hampir kehabisan napas diimpit tubuh ayah. Suasana sunyi
dan sepi. Terdengar dengan pelan suara rintihan. Tapi kemudian diam. Kurang
beberapa menit kemudian terdengar suara truk reo berhenti di rumah kami. Suara
sepatu lars seperti mengacak-acak halaman rumah dan tanah di bawah panggung
rumah. Suara mereka begitu ribut. Ada sumpah serapah kepada pemberontak.
Sesekali suara letusan ke udara.
6. leraian (falling Tidak lama kemudian, pintu rumah kami ditendang seseorang. Aku sangat ketakutan.
action) Tiga tentara masuk ke dalam kamar. Mereka membentak kami. Dengan kasar ayah
selesaian mereka bawa. Ibu sangat takut. Dan aku telah kencing di celana.
(denouement) Siangnya ayah pulang. Mukanya lebam. Bibirnya bengkak. Ayah seperti telah
dipukuli. Kepada ibu ayah bercerita bahwa semua tentara yang menjaga pos di depan
rumah sudah tewas dalam kontak senjata subuh tadi.
Tentu saja aku terkejut mendengar kabar dari ayah. Aku tiba-tiba saja teringat pada
abang tentara itu. Aku sedih padanya. Aku menangis atas kematiannya. Sejak itu aku
meletakkan mobil truk dari kayu itu di atas lemari rak piring milik ibu. Dan aku
mengenangnya sampai hari ini.
Aku pun urungkan niatku untuk pergi. Tapi, aku masih diselimuti ketakutan
dan kecemasan. Tanpa sepengetahuannya, aku sedikit pipis di celana.
Bermainlah kau terus,” tambahnya.
Aku kembali bermain kelereng. Aku ambil satu kelereng dan kulemparkan
pada kelereng yang lain. Lemparanku itu tidak mengenai kelereng yang
kutuju.“ Bah, bodoh kali kau,” katanya dengan nada agak tinggi.
Aku sungguh sangat ketakutan. Aku merasakan celanaku akan semakin basah.
Sini, biar aku coba.”
3. Kompikasi dia mengambil sebuah kelereng yang kupegang. Ia melakukan seperti yang
kulakukan. Lemparannya tepat mengenai kelereng yang ia tuju. Lemparannya
sangat keras sehingga kelereng itu pecah.
Aku tentu kecewa padanya. Aku sudah dua hari menyisihkan uang jajan
sekolah agar dapat membeli kelereng-kelereng itu.
“Maafkan aku. Lain hari akan aku ganti kelerengmu. Ini dua permen dariku.
Kau ambillah. Sampai jumpa,” katanya ,Ia lalu pergi meninggalkanku saat
hujan sudah reda.
Ayah rupanya marah besar setelah ia tahu bahwa aku berhubungan dengan
tentara itu.
“Apa kau mau cari mati dekat dengan tentara. Jika terjadi perang, siapa yang
menolongmu,” umpat ayahku malam harinya.
Aku tentu saja membela diri. Aku bilang kepada ayah bahwa aku tidak
bermain dengan tentara. Aku bilang kepada ayah bahwa tentara itu yang
mendekatiku.
“Tidak ada alasan apa pun bermain dengan mereka. Kau tahu ini musim
perang. Kontak senjata kapan saja bisa terjadi. Aku tidak mau kau mati terkena
peluru nyasar. Atau, kau mau jika dituduh sebagai cuak?”Ayah
mengatakannya dengan membolakan dua matanya.
4. Evaluasi Aku mungkin saja akan terbangun kesiangan seandainya subuh itu tidak terjadi
perang di depan rumahku. Ayah menarik tubuhku dari atas ranjang dan
menjatuhkannya ke lantai rumah. Dalam kantuk aku mendengar suara senjata
meletus tak henti-henti.Ayah mengimpit tubuhku. Ibu melata di sampingku.
Tak henti-henti suara ibu mengucap Allahu Akbar. Sedangkan ayah
mengucapkan sesuatu dengan amat pelan.Aku mengerti bahwa telah terjadi
perang. Suara letusan senjata itu sudah tidak asing lagi bagiku. Entah sudah
beberapa kali pula aku terjebak dalam suasana perang antara tentara dan
pemberontak. Terakhir di saat aku pulang sekolah, saat itu tiba-tiba saja
puluhan orang berhadap-hadapan di tengah sawah dekat jalan sekolah. Aku
pun begitu cepat melata seperti ular. Menundukkan kepala serendah mungkin.
Itu kulakukan karena ayah selalu menyuruhku jika aku terjebak dalam
perang.Perang itu usai juga di saat aku hampir kehabisan napas diimpit tubuh
ayah. Suasana sunyi dan sepi. Terdengar dengan pelan suara rintihan. Tapi
kemudian diam. Kurang beberapa menit kemudian terdengar suara truk reo
berhenti di rumah kami. Suara sepatu lars seperti mengacak-acak halaman rumah
dan tanah di bawah panggung rumah. Suara mereka begitu ribut. Ada sumpah
serapah kepada pemberontak. Sesekali suara letusan ke udara.
5. Resolusi Tidak lama kemudian, pintu rumah kami ditendang seseorang. Aku sangat
ketakutan. Tiga tentara masuk ke dalam kamar. Mereka membentak kami.
Dengan kasar ayah mereka bawa. Ibu sangat takut. Dan aku telah kencing di
celana.Siangnya ayah pulang. Mukanya lebam. Bibirnya bengkak. Ayah
seperti telah dipukuli. Kepada ibu ayah bercerita bahwa semua tentara yang
menjaga pos di depan rumah sudah tewas dalam kontak senjata subuh tadi.
6. Koda Tentu saja aku terkejut mendengar kabar dari ayah. Aku tiba-tiba saja teringat pada
abang tentara itu. Aku sedih padanya. Aku menangis atas kematiannya. Sejak itu aku
meletakkan mobil truk dari kayu itu di atas lemari rak piring milik ibu. Dan aku
mengenangnya sampai hari ini.
2. Kebahasaan Cerpen
No. Nilai yang terdapat dalam cerita (pesan Bukti (Penggambaran dalam cerita)
cerita)
1. 1. Mengucapkan Terimakasih ( Terima kasih,
Nilai Moral Abang Tentara,”)
2.
3.
4.
No. Nilai yang terdapat dalam cerita (pesan Bukti (Penggambaran dalam cerita)
cerita)
2. 1.Berbincang bincang dengan orang lain (Mereka
Nilai Sosial berbicara kepada ayahku di atas rumah
panggung,)
2.
3.
4.
2.
3.
4.
No. Nilai yang terdapat dalam cerita (pesan Bukti (Penggambaran dalam cerita)
cerita)
4. Nilai Agama 1 Tak henti-henti suara ibu mengucap Allahu
Akbar.
2.
3.
4.
kumcer Kupu-Kupu Orang Mati (Basabasi, 2017) dan novel Perempuan dalam Prahara
(Phoenix Publisher, 2019)