Anda di halaman 1dari 1

Sebelum kabut meninggalkan malam, truk berhenti di sebuah tempat.

Kudengar suara-
suara orang yang berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Aku diturunkan dari truk
bersama sembilan orang lainnya yang tampaknya senasib denganku. Tidak seorang pun dari

antara mereka yang kukenal.

Kami digiring ke sebuah rumah gedung tua yang tampak kokoh dari luar. Ada penjaga
bersenjata di segala sudut. Di sebuah ruangan satu demi satu kami diempaskan ke lantai.
Ikatan tangan kami dilepaskan satu demi satu. Nyeri rasa luka di bekas ikatan itu. Menjelang
siang seorang berwajah garang duduk di belakang meja reyot, dan kami duduk di kursi

rotan di hadapannya. Satu demi satu kami ditanyai: nama, keluarga, alamat, asal-usul,
pekerjaan, sejak kapan masuk organisasi politik, siapa pemimpinnya, dan macam-macam
jenis pertanyaan yang aku sendiri tidak mengerti.

Sore itu perut diisi dengan beberapa potong ubi rebus. Tengah malam, ketika perut masih
keroncongan, namaku dipanggil dari kamar berukuran tiga kali empat meter yang dihuni
dua belas orang. Aku berdiri dan menuju ke sebuah ruangan. Dari ruangan lain kudengar
jeritan orang dipukul. Aku duduk dan tidak dapat menjawab pertanyaan interogator itu. Lalu

ia tuduh aku masuk gerakan tutup mulut (GTM). la lalu berdiri di belakangku dan
memegang dagu dan kepalaku, mencoba memutar leherku, ’jawab! Atau kupatahkan
lehermu!”

Aku diam saja. Kemudian ia melepaskan kedua tangannya, tapi menohok punggungku
membuat aku jatuh pingsan. Ketika aku tersadar, aku sudah berada di tengah-tengah
kawan seselku. Mereka mengoles punggungku dengan minyak kelapa. Aku belum mampu
memusatkan pikiran untuk mendengar apa yang dikatakan mereka. Jamahan tangan mereka
sedikit melegakan rasa sakitku.

Sebulan kemudian aku mendengar secara sembunyi-sembunyi dari sesama tahanan bahwa
hampir semua lelaki di dusunku sudah "diangkat” dan kaum perempuan melarikan diri ke
orang tua mereka masing-masing. Beberapa kawan seselku "pergi” dan tidak pernah
kembali, diganti dengan tahanan baru, sampai pada akhirnya aku sendiri pun dipanggil
bersama beberapa orang yang dahulu ditangkap bersamaku.

Menurut pengawal yang melemparkan kami ke dalam truk, kami akan dipindahkan ke
tempat yang lebih nyaman, tenteram, pembebasan. Karena ia mengatakannya dengan
senyuman dengan mata mengejek, yakinlah aku bahwa inilah hari akhir dalam kehidupanku.
Wajah anak- anakku, istriku, melintas silih berganti di benakku. Tubuh-tubuh yang kurus
bagai paku tipis yang karatan mungkinkah dibebaskan ke tempat yang nyaman dan
tenteram? Aku tidak tahu dosa apa yang membuat aku harus mengalami derita seperti ini.

Sampai bulan-bulan terakhir aku hendak di-”bebaskan” tidak ada pengakuan apa pun yang
keluar dari mulutku. Pernah aku berpapasan dengan seorang interogator yang rasanya
pernah kukenal dan memalingkan wajah daripadaku ketika sekilas bertatap mata. Diakah
biang keladi dari derita lelaki dari dusunku? Ah, tidak berani aku berburuk sangka. Semua
orang ingin mencari selamat sendiri.

Anda mungkin juga menyukai