Anda di halaman 1dari 4

Mbah Danu

Karya Nugroho Notosusanto

     WAJAHNYA kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh
susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di
Rembang di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan
tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari
sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan
yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu "didiami" oleh roh-roh jahat; karena itu cara
satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan
itu.

     Si Nah, gadis pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pensiun) telah sebulan sakit demam. Keadaannya
makin lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan
bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringkik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong,
berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan-perempuan serumah dan tetangga-
tetangga yang bertandang semua lari terbirit-birit seolah-olah percaya, bahwa satu saat kemudian Nah
akan menjelma jadi macan gadungan.

     Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti berita radio, Mbah Danu sedang turne.
Routenya adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke
Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang. Dan benar, ketika Nah tengah
mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu datang membawa koper besi yang sama
antiknya dengan yang punya.

     Dia tembusi badan dengan pandang membara sambil mengelilingkan susur besar di dalam mulutnya.
Nah mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya yang
kumal seperti tempat duduk Jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.

     "Ambilkan sapu lidi!" perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia
mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikarnya ke lantai. Sapu lidi datang. Ukurannya
istimewa besar, karena Pak Jaksa mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang
sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkotnya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm itu dia
ayunkan ke atas dan dia pukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin
melotot matanya dan megar kupingnya melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu.

     "Ngeoooong!" keluar dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.

     "Mampus engkau sekarang!" seru Mbah Danu bengis dan sapu lidi terus-menerus menghantam pantat
Nah dengan irama rhumba. Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus
yang marah. Sebagian hadirin mau lari.

    "Minggat! Ayo minggat!" teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah
ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia
manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.

     "Aduh biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuuung!!" tangisnya menggaung.


     "Minggat! Minggat! Minggat!!" suara Mbah Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan pelintas-
penntas mengalir masuk ke rumah itu untuk menyelidiki sebab-sebab suara ngeri yang mereka dengar.

     "Aduuuuuh! Aduh, aduh, aduuuuuh!" pekik Nah seperti manusia biasa.

     "Minggat! Minggat! Ayo minggat!!" jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan
tangan kanan dan menggenggam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah ke lantai dan badan
Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya 1 /2 meter.

     "Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?" Tanya Nah sambil menangis dan ia mencoba
merangkak.

     Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.

     "Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah," katanya dengan suara mmeur yang lembut. "Aku mengusir
setan-setan di dalam badanmu."

     Sebagai pengeras perkataan yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu
sedemikian kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan mengerang. Peluhnya
bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.

     "Ha! Hampir modar engkau sekarang!" seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan
menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama 5 menit ia mondar-mandir di atas badan Nah
sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk
mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batari Durga yang menari di atas mayat
manusia. Setelah sudah, ia menelentangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat
basah dan mukanya kini merah padam.

     Mbah Danu berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan
mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas
pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan
Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula Nah
menggelepar-gelepar. akhirnya kegelian seperti perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah Danu
meraba-raba tubuh pasiennya kemudian ia melepaskannya dan tegak pada lututnya

     "Setan-setan sudah lari dari badanmu. Nah." katanya tenang. ‘Engkau telah sembuh." Dan di hadapan
mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum
seperti orang bangun tidur

     "Tidurlah saja dulu sampai besok," kata Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan menyelimuti
Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit kepala Nah, kemudian memercikkan ludah
sedikit dari mulutnya pada dahi si sakit. Setelah itu ia berdiri dan ke luar untuk meminum kopinya.

     Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawanya di daerah yang terentang dari
Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr. Salyo
Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari
sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan
tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.
     "O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu," kata Mbah Danu setelah mendengarkan
gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. "Coba buka baju saja; akan saya usir." Dan Mbah
Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankannya ke dalam daging perut
Nyonya Salyo, sehingga terbenam sama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan.
Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari
bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega
Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin
berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan. Justru ketika itu Mr. Salyo masuk ke
kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar
seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya.

     "Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakkan rahimmu?!"

Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu
akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap
hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh.

     Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi, ketika
Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang
berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera
menyuruh panggil Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau; sedangkan Mr. Salyo dengan
penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab
lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di
stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.

     "Malaria," diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine,
yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk
lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang.

     Penyakit Mbok Rah makin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang
dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu
dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara
kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo
dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang
dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang
pasif itu.

     Dokter Umar Chattab heran.

     "Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?" tanyanya.

     "Ya," jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. "Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada
Mbok Rah."

     Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar
supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.

     Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.
Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak ditujukan secara
langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri ke dalam kamar
tamu. Asbaknya penuh dengan puntung sigaret.

     "Kita telah berbuat sebaik mungkin," kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.

     "Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!" seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya
yang tidak menjawab.

     "Kita tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!" katanya lagi.

     "Inna li'llahi wa inna illahi raji'un," kata Nyonya Salyo.

     Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 orang-orang
masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan nyonya ikut menyaksikan
pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan
terhadap mertuanya dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati
kecilnya cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan suaminya.
Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo membuka
jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh
muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. la
menghela napas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah
terbaring. Dengan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar. Matanya
terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka melihat pil kinine
membukit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.

7-7-1954

Kisah, Th. II No.9, September 1954

Anda mungkin juga menyukai