Anda di halaman 1dari 7

Bulan Darah

Sinopsis:

Buruh perempuan bernama Banou sedang menginisiasi gerakan menuntut hak-hak pekerja ketika
ditemukan tak bernyawa di sebuah gang kecil tak jauh dari tempatnya bekerja. Ia ditemukan
dalam keadaan rusak, dan tidak ada selembar pakaian pun melekat di tubuhnya.

***

Tangan-tangan kasar itu mulai menjamah tubuh gadis itu dari ujung sampai ke ujung lagi.
Sesekali mereka berhenti di tengah-tengah, di atas sepasang payudara yang mengkal, sembari
mendesah. Bibir-bibir busuk hitam dengan lidah panas dan bau, mendecak-decak, mencecap
sejengkal demi sejengkal bukaan kulit yang baru saja dilucuti dengan paksa.

“Makanya jangan sok pinter!”

Ujar laki-laki satu, ia tersengal-sengal seraya menjilati tubuh gaids yang kini sudah tidak
melawan lagi. Rambut merahnya tergerai dengan serampangan di atas jalanan penuh lubang
yang kotor dan berbau pesing.

“Cakep bener dia, bos! Mulus lagi!”

Geram lelaki kedua, hidung besarnya yang menyerupai moncong babi mengendus-endus rambut
merah lebat yang dulunya milik perempuan dengan wajah elok itu. Tubuh moleknya kini tidak
menggunakan penutup suatu apa. Kedua payudaranya yang baru mengkal, tergantung lemas di
bawah wajahnya yang sudah pias. Pangkal pahanya mengalirkan darah segar yang merembes
perlahan ke badan jalan.

“Buat apa cakep kalo banyak bacotnya!” Seru lelaki yang dipanggil bos itu. Kawanan itu
kemudian tertawa dengan tawa kasar yang parau. “Biar dia rasa, jadi buruh nggak usah
kebanyakan tingkah! Tau rasa kan, lo sekarang!” Seru laki-laki satu seraya kembali mengoyak
tubuh gadis itu.

Sakit, tolong!
Gumam perempuan itu ditengah-tengah napasnya yang terakhir. Lehernya telah dicengkeram
begitu rupa, sementara bagian-bagian tubuhnya lumat oleh kawanan preman yang tadi
mencegatnya. Ia bisa merasakan tangannya dijilati, sementara kaki-kakinya dicengkeram sama
kuatnya dengan cengkraman di lehernya, sehingga ia tak bisa lagi bergerak.

Tolong! Sakit! Hentikan, tolong!

Perempuan molek itu pernah meminta hingga suaranya serak. Ia telah menjerit dan berteriak.
Menendang dan mencakar-cakar. Ia mengiba dengan putus asa, bagai anak domba di bawah
cengkeraman para serigala: segalanya sia-sia.

Serigala-serigala itu berwujud lelaki satu, dua, tiga, dan empat, yang sama sekali mengabaikan
permintaannya. Mereka menyergap, lalu menyeretnya ke dalam gang sempit yang jarang dilalui
manusia. Di dalam sana, kawanan lelaki itu kemudian berpesta. Mengganyang si wanita sampai
puas. Mereka mencabik-cabik tubuh itu hingga koyak, sampai tuntas, habis napasnya.

“Wah, bos, kayaknya dia mati, nih!” Seru lelaki empat dengan bekas luka yang melintang di
wajahnya. Ia baru saja menunaikan hasratnya yang begitu mendesak, sampai-sampai
mengabaikan bahwa tubuh di bawahnya itu sudah kaku, jelas sekali tidak ada kehidupan yang
tertinggal di dalamnya.

Lelaki itu tak akan melupakan betapa wajah mayat bisa membuatnya ketakutan. Ia tak akan lupa
bagaimana sepasang bola mata yang tadinya begitu hidup dan menawan, berubah mengerikan
saat yang tertinggal hanyalah selongsong tubuh kosong, tanpa jiwa.

“Masa? Yaudah, ayok! Cepetan cabut!” Perintah lelaki satu sambil membetulkan letak
celananya. Ia telah berkali-kali ejakulasi di dalam liang si perempuan yang tak berdaya. Ketiga
kawanannya bahkan harus memaksanya pergi dari liang itu untuk kemudian bergantian
menggunakannya.

Perempuan itu mati dengan tubuh rusak dan berdarah-darah, sementara bulan di atas sedang
bersolek dengan begitu besar dan megahnya.

***

Banou adalah buruh wanita yang memiliki wajah rupawan, dengan rambut merah panjang ikal
sampai sebatas pinggang. Hari itu, ia memimpin rapat serikat buruh di tempatnya bekerja untuk
menuntut hak-hak mereka yang disunat habis. Ia ingin memperjuangkan hak-hak buruh demi
mendapatkan penghidupan yang lebih layak, dan jam kerja yang lebih manusiawi. Sudah lama
sekali ia menggadang-gadang gerakan buruh yang bisa mengubah nasib mereka semua.

“Kita sudah terlalu lama diam, jika bukan kita sendiri yang bergerak, dan melawan, siapa lagi?”
Ujarnya berapi-api. Banou dikenal sebagai perempuan dengan pendirian keras, meskipun usianya
baru beranjak sembilan belas. Dilahirkan dalam keluarga miskin dan serba berkekurangan,
mental Banou sudah ditempa dengan kesulitan dan sengsara, yang membuatnya menjadikan
tekadnya lebih keras dari baja.

Banou, meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah menengah, memiliki wawasan
luas karena kegemarannya membaca berita. Banou juga merupakan salah satu buruh yang cukup
vocal, sehingga suaranya sering didengar di berbagai media.

Gadis yang hanya tamat sekolah dasar itu, selalu bekerja demi memenuhi kebutuhan
keluarganya. Ia hanya tinggal bersama dengan ibu dan adik kembarnya yang masih balita.
Hidupnya dihabiskan dengan berpindah dari satu pabrik ke pabrik lainnya, beraneka ragam
pelecehan telah diterimanya sejak belia. Banou sudah kenyang dengan rasa sakit, karenanya, ia
ingin bergerak, dan bisa membuat perubahan.

Ia percaya, orang kecil sepertinya, bahkan wanita, berhak memiliki hidup yang layak, serta sama
berharganya dengan hidup orang-orang berduit di atas sana. Kini, Banou mengumpulkan rekan-
rekan buruh yang memiliki tujuan sama dengannya selepas pulang kerja. Mereka berkumpul di
tanah lapang tak jauh dari pabrik, pertemuan itu dilakukan secara terbuka, Banou sengaja
melakukannya dengan terang-terangan, agar para atasannya bisa dengan mudah mengetahui,
bahwa gerakan yang digagasnya sama sekali jauh dari pemberontakan.

Beberapa rekan buruh di hadapannya tampak mengangguk semangat, namun ada pula yang
tampak ragu-ragu dan diliputi ketakutan. “Ban, ada peribahasa yang mengatakan, anjing tidak
pernah mengigit tangan yang memberinya makan.” Sela salah satu kawan buruhnya. Rekannya
itu lelaki berbadan tambun, yang rupanya berbanding terbalik dengan nyalinya.

“Ya, tapi apa kamu mau disamakan kayak anjing, Gon?” Sahut Banou sengit. Goni, rekan yang
tadi menyahutinya tampak wajahnya memerah karena malu. “Sekalipun kita ini anjing, tapi bos-
bos di atas sana itu cuma kasih kita remahan sisa. Sekarang lihat, deh, mana ada di antara kita
semua yang makan enak, hidup layak? Padahal, tenaga kita diperas sampai tinggal ampas, boro-
boro bisa napas!” Seru Banou lagi seraya menghidupkan batang rokok klobot yang dilintingnya
sendiri.

Terdengar beberapa gumaman mengiyakan di sana-sini. “Dengar, hari buruh memang sudah
lama lewat, tapi tuntutan kita dari tahun kemarin belum juga diloloskan, masa kalian mau diam
dan menyerah begitu saja?” Desak Banou seraya mengamati wajah-wajah lelah dan kuyu di
hadapannya. Banou tahu, kebanyakan di antara mereka hanya ingin segera pulang, dan
meletakkan lelah di bahu malam.

Ia pun merasakan hal yang sama, namun Banou bertekad, malam itu, suara mereka harus bulat
untuk tiga tuntutan utama serikat buruh yang diketuainya. Satu, bayarkan upah buruh yang libur
karena melahirkan. Dua, bayarkan upah lembur buruh, dan tiga, lindungi buruh perempuan dari
kekerasan seksual.

“Kenapa kita nggak minta naik gaji juga, sih Ban?” tanya seorang kawannya yang lain. Banou
menghembuskan asap rokoknya dengan berat. “Dunia lagi resesi, Cok! Kita mau nuntut juga
harus realistis, gaji kita udah sesuai UMR, kok. Cuman jam kerjanya aja yang gak jelas, tuh!
Makanya kita nuntut dikasih duit lembur!” Jelas Banou panjang lebar. Ia kemudian merasa lebih
lega saat dilihatnya banyak kepala-kepala yang mulai mengangguk karena setuju dengan
pendapatnya.

“Oke, gua liat lo pada udah capek, jadi rapat bisa selesai sekarang. Tapi udah pada setuju, kan?
Ingat, besok kita mogok kerja, dan mulai long march dari pabrik sampe ke alun-alun, ngga boleh
rusuh dan jarah-jarah. Ajak buruh lain yang lo kenal, yang belum ikut di sini.” Ujar Banou
menutup rapat mereka.

Setelah kerumunan itu menggumamkan “ya” sebagai persetujuan, satu persatu buruh yang
dikumpulkannya mulai membubarkan diri. Saat itu, seseorang yang sangat dikenalnya
mendekatinya dengan wajah cemas. “Ban, gue denger lo mau ngomong sama media?” Tanya
temannya itu khawatir.

Banou mengangguk pelan, “Ya, suara gue udah mulai didenger sama wartawan, kayaknya.”
Sahut Banou acuh. Rekannya itu kemudian menahan lengan Banou dengan wajah khawatir,
“Tapi, Ban, lo bilang ada yang ancam-ancam elu.” Bisiknya dengan suara lebih rendah.
Gadis itu mengamati Riwan, sahabat laki-lakinya itu dengan seksama. Riwan salah satu rekan
kerja Banou di pabrik yang bisa dipercaya olehnya. Beberapa hari yang lalu memang ada
beberapa orang yang “mengajaknya bicara” di tempat sepi. Banou tidak mengindahkan ancaman
itu karena baginya kebebasan berpendapat adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi.

“Lo tenang aja, Wan, gue bisa jaga diri. Cuma preman-preman remeh yang datengin gue, gak
akan surut langkah gue, Wan!” Balas Banou mantap. Riwan mengangguk resah mendengar
ucapan Banou, “Inget, Ban, bos-bos kita itu gak suka kalo usaha mereka diganggu.” Ujar Riwan
tampak sangat khawatir.

“Ya, tapi mereka juga harus belajar ngehargain orang-orang yang kerja sama mereka, Wan.
Lagian, tuntutan kita gak ada yang aneh-aneh, kok.” Jawab Banou ringan seraya mulai
melangkahkan kakinya.

Riwan memandangi punggung sahabatnya itu dengan gundah, pemberitaan demo buruh pada
media tidak akan membuat pemilik pabrik itu senang.

Banou melangkah dengan gontai sembari menatap bulan bundar besar di atasnya. “Lo cantik
banget malam ini.” Puji Banou pada bulan yang dilihatnya. Ia tak pernah percaya pada hal-hal di
luar akal sehat atau semacamnya, namun melihat bulan begitu besar dan indah malam itu, mau
tak mau rasa optimis mulai menjalari dirinya. Seolah-olah wajah bulan sedang tersenyum dan
memberinya restu.

“Semoga besok berjalan sebagaimana harusnya, kasihan temen-temen gue diperlakukan semena-
mena hanya karena buruh kecil.” Gumam Banou penuh harap. Ia kembali melangkah menyusuri
malam yang sudah jatuh, dan melahirkan bayang-bayang.

Jalanan itu cukup sepi, namun Banou tak pernah risau, ia selalu melewati jalan itu tiap kali
pulang bekerja. Sebenarnya, ia bisa naik mikrolet untuk sampai di rumahnya, namun Banou lebih
memilih jalan kaki untuk menghemat pengeluarannya. Lagipula dengan berjalan kaki, Banou
jadi bisa lebih banyak berpikir dan merenung sendirian.

Di tengah-tengah perjalanannya, ada empat sosok laki-laki yang menghadangnya. Banou teringat
ucapan Riwan saat akan pulang tadi. “Centeng-centeng bos, nih.” Gumamnya mulai panik. Ia
bisa saja berani dan percaya diri di siang hari saat banyak mata bisa melihatnya. Namun di
tengah-tengah jalan sepi yang tidak ada manusia?

Banou mulai melihat ke sekeliling, namun tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Rasa takut
mulai menjalari tubuhnya, darahnya berdesir lebih cepat, dan degup jantungnya mulai bertalu-
talu. Jalanan itu memang jalan alternatif yang sangat sepi dengan banyak aspal rusak, yang
jarang sekali dilalui manusia.

Dengan memberanikan diri, Banou melangkah dengan hati-hati. Barangkali cuma orang
nongkrong, batin Banou menenangkan diri. Harapan itu pupus, saat salah satu lelaki yang
menghadangnya melemparkan seringai menyeramkan. Ia bisa saja berbalik, namun jarak mereka
sudah terlalu dekat.

“Ini to, buruh sok tahu yang mau koar-koar di media?” Tanya salah satu laki-laki yang
merintangi jalan yang akan dilalui Banou. Gadis itu kemudian bermaksud menuruti instingnya, ia
langsung berbalik arah dan berniat melarikan diri. Namun, kawanan preman di hadapannya itu
berjumlah empat orang, dan lebih gesit darinya. Belum sempat Banou melangkahkan kaki,
mereka sudah berhasil menangkapnya. Ia menjerit saat diseret seperti boneka kain tak berdaya.

***

Riwan menemukan tubuh itu telanjang, koyak, dan babak belur dengan bulan bulat benar di
atasnya. “Malam ini blood moon, Banou, sayang sekali.” Gumam lelaki yang dekat dengan
Banou itu miris. “Harusnya kamu tidak usah banyak tingkah, kamu bisa saja menghabiskan
waktu bersamaku, alih-alih mengurusi serikat buruh yang tidak jelas juntrungannya itu.”
Bisiknya sedih.

“Kamu juga sudah diperingatkan, tapi kamu sangat keras kepala.” Sambung Riwan lagi,
sementara, dirasakannya ponsel di saku celananya bergetar. Perlahan lelaki itu membaca pesan
yang masuk di ponselnya itu.

“Bagaimana?” Bacanya pada pesan yang diterimanya. “Beres.” Jawab Riwan pendek seraya
mematikan ponsel. Ia yakin ayahnya bisa bernapas cukup lega sekarang, serikat buruh yang
digadang oleh Banou membuatnya gelisah akhir-akhir ini, sampai-sampai Riwan harus
menyusup di antara mereka demi menghentikan gerakan itu.
Riwan lantas menatap sedih pada gadis yang disukainya namun sangat keras kepala itu. ia
termenung beberapa lama, kemudian melangkah gontai meninggalkan tubuh Banou dengan mata
yang masih membelalak tanpa nyawa.

“Maaf, Banou, ayahku tidak mau kamu bicara dengan media.”

Adelliarosa

Surakarta, 05 Agustus 2020

Anda mungkin juga menyukai