1. Tema
Tema novel ini adalah tentang kisah percintaan seorang pemuda keturunan
pribumi Jawa dengan seorang gadis keturunan Belanda dan perjuangannya
di tengah pergerakan Indonesia pada awal abad ke 20.
2. Tokoh
a) Minke
b) Annelies Mellema
c) Nyai Ontosoroh
d) Herman Mellema
e) Robert Mellema
f) Ayah Minke
g) Ibu Minke
h) Robert Surhorf
i) Jean Marais
j) May Marais
k) Darsam
l) Ah Tjong
m) Maiko
n) Amelia Hammers Mellema
o) Insinyur Maurits Mellema
p) Magda Petters
q) Mevrow Telinga
r) Miriam Dela Croix
s) Sarah Dela Croix
t) Herbert Dela Croix
3. Penokohan
Ruang Belakang
“Di ruang belakang kudapati Robert sedang menonton kejadian itu
dari tempatnya. Ia hanya menguap…” (hal. 113)
Surabaya
“Kereta mendesau laju menuju ke Surabaya. Pada jam lima sore
Surabaya telah ada di bawah roda kereta. Kuburan panjang..” (hal.
142)
b) Latar Waktu
Pagi:
“Pagi itu sangat indah memang. Langit biru cerah tanpa awan.
Hidup muda hanya bernafaskan…” (hal. 23)
“Pagi itu lebih dari hanya sejuk. Grobak-grobak yang mengangkuti
tong…” (hal. 153)
“Pagi itu aku berangkat ke kantor pos. sepnya, entah siapa
namanya, seorang Indo, menjabat tanganku…” (hal. 131)
“Pagi-pagi tepukan tanngan Babah telah meamnggil aku keluar…”
(hal. 162)
Sore:
“Kereta mendesau laju menuju ke Surabaya. Pada jam lima sore
Surabaya telah ada di bawah roda kereta. Kuburan panjang..” (hal.
142)
“Pada jam empat sore ia baru lepaskan aku dan turun dari
ranjang…” (hal. 163)
“Pada waktu itu aku sedang berada di kantor rumah plesirankku.
Kira-kira jam empat sore loncenng dari kamar raja…” (hal. 164)
Malam:
“Pada suatu malam Tuan Administratur, Tuan Besar Kuasa itu,
datang ke rumah. Aku sudah mulai cemas…” (hal. 82)
“Hari telah malam dan lampu berpancaran dimana-mana. Hanya
pikiran diri juga…” (hal. 146)
“Di malam hari, dibawah kesaksian Jean Marais, diputuskan: Aku
dan Annelies…” (hal. 275)
c) Latar Suasana
Tegang dan genting:
“Rasanya ada gendang bermain dalam jantungku. Dia sudah tahu
aku bukan Indo, pengusiran setiap saat bisa…” (hal. 28)
Terkejut:
“Darsam datang untuk membukai pintu dan jendela. Ia terkejut
melihat tingkah laku noninya…” (hal. 149)
Lengang:
“Pagi ini memang lengang. Kadang saja terdengar lonceng
dokar…” (hal. 169)
5. Sudut Pandang
Dalam novel “Bumi Manusia” pengarang menggunakan sudut pandang
orang pertama pelaku utama.
“Aku tunggu-tunggu meledaknya kemarahan Nyai karena puji-pujian”
(hal. 34)
Tahapan Alur
a. Perkenalan
Minke, seorang siswa HBS Surabaya, bagaimana adalah
seorang pribumi yang tidak mengaku pribumi-seseorang
yang begitu mengagumi ilmu pengetahuan dan kemajuan
teknologi, tidak mempunyai kepercayaan lagi pada hal-hal
seperti budaya leluhur dan ilmu-ilmu ‘palsu’ seperti
astrologi.
b. Konflik
Konflik awal muncul saat makan malam bersama-Nyai
Ontosoroh, Robert Mellema, Annelies, Robert Suurhof dan
Minke-, tiba-tiba Herman Mellema pulang dan memaki-
maki Minke yang merupakan seorang pribumi dengan
kondisinya yang acak-acakan.
c. Klimaks
Darsam, Minke, Annelies dan Nyai Ontorsoh menemukan
Tuan Mellema tergeletak tewas di lantai, dengan muntahan
di sampingnya. Mereka juga menemukan Robert di sana,
tapi Robert kabur lewat jendela. Kasus kematian Tuan
Mellema jadi buah bibir di masyarakat, masuk ke koran-
koran. Beberapa fraksi di dunia jurnalistik menyerang Max
Tollenar-nama pena dari Minke. Untuk kasusnya sendiri
akhirnya Ah Tjong dan beberapa anggota plesirannya
dijatuhi hukuman penjara.
d. Penyelesaian
Hari terakhir pun tiba. Pengacara yang dikirim Tuan De la
Croix pun tidak bisa melawan hukum kuno yang rasis dan
semena-mena terhadap kaum pribumi ini. Annelies pun
akhirnya harus dikirim ke Belanda. Walau begitu Minke
sudah menyiapkan Jan Dapperste, atau sekarang dengan
nama Panji Darman ke Belanda untuk mengawasi Annelies.
Annelies pun pergi, tapi perjuangan belum berakhir.
7. Gaya Bahasa
Personifikasi : “Ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu
restu yang tiada terhingga indahnya, jaringanjalan kereta api
membelah-belah pulau, Jawa. Pandang dan pemuda itu terasa
menusuk punggungkku. Butir-butir air yang kelabu itu merajai
segalanya” (hal. 156)
Metafora : “Di kejauhan sana samar-samar Nampak gunung
gemunung berdiri tenang dalam keangkuhan seprti pertapa
berbaring membatu” (hal. 76)