Anda di halaman 1dari 9

ANALISA UNSUR INSTRINSIC NOVEL ANAK RANTAU

NAMA : Azhim Firdaus


Nim : 2155201035
Kelompok : 4
Tokoh: Martiaz, Hepi, Dora, Kakek Hepi, Nenek Hepi,
Attar, Zen, Bang Nopen, Mak Tuo Ros,
Pandeka Luko, Ibu Ibet, Bang Lenon, Datuk Pamenan,
Pak Sinayan, Datuk Malano,
Inspektur Saldi, dan Datuk Mudo.

Tokoh Utama : Hepi


Tokoh Protagonis : Attar dan Zen
Tokoh Antagonis : Bang Lenon dan Jenggo
Tokoh Sederhana : Dora
Tokoh Bulat : Hepi
Tokoh Statis : Mak Tuo Ros
Tokoh Berkembang : Hepi
Tokoh Tipikal : Pak Guru Agama
Tokoh Netral : Nurbaiti dan Yanuar

Tema: Tema dari novel Anak Rantau ini adalah agama,


pertemanan, adat istiadat, dan keluarga. Novel ini
menceritakan tentang sebuah keluarga yang
berpisah antara anak dengan bapaknya. Kemudian
di dalam novel ini juga menceritakan tentang sisi
agama yaitu agama Islam. Di daerah Tanjung
Durian di ranah Minang, Sumatera Barat. Di novel
ini diceritakan bahwa Hepi adalah anak yang diajak
ayahnya pulang kampung halaman, namun ia
ternyata ditinggal di sana. Ia berjuang dengan
bekerja untuk mencari uang agar bisa kembali
pulang ke Jakarta. Sedangkan sisi agama terlihat
ketika Hepi tinggal di sana, ia mendapatkan
pelajaran agama dari kakeknya yang merupakan
ulama di daerah sana. Sempat juga ia beserta
teman-temannya dan kakek neneknya tinggal di
surau untuk beberapa waktu. Kisah pertemanan
juga terlihat antara Hepi, Zen, dan juga Attar.

Penokohan:
J. Pandeka Luko (pemberani)
“Karena aku dianggap pemberontak. Padahal, aku
hanya membela bangsa dan
kebenaran,” katanya dengan raut keras sambil masih
menghunus katana. (Anak
Rantau, hal 247).Pandeka Luko (penyayang)
“Untuk Hepi, yang sudah dia amati sejak datang ke
kampung ini, dan telah
membuat hatinya terhibur lagi sejak kehilangan
Yanuar.” (Anak Rantau, hal 339).
K. Ibu Ibet (ramah)
“Sebagai guru baru di sekolah ini, tentu belum ada
yang pernah ketemu dengan
saya. Itu nama lengkap Ibuk. Tapi panggil saja Ibuk
Ibet. Ibuk lahir di Jakarta,
kuliah di Jakarta, tapi asli orang Tabing di Padang.”
(Anak Rantau, hal 64).
Ibu Ibet (pemarah)
“Tidak hanya marah, guru muda ini dengan wajah
tegang bahkan meloncat ke
atas kursi sambil berteriak-teriak histeris seperti hilang
akal,
Pergi...keluar...jauh...”. (Anak Rantau, hal 88).
L. Bang Nopen (jahat)
“Am...ampun Angku Datuk. Saya tidak ikut
men..mencuri.” katanya menunduk
lagi. (Anak Rantau, hal 292).
“Kalian ditahan karena kasus pencurian. Kalau kalian
bantu kami membongkar
kasus narkoba ini, hukuman kalian nanti bisa lebih
ringan. Di mana kalian
mendapat narkoba?” tanya seorang polisi lain sejak
tadi mencatat dan merekam
semua pembicaraan.” (Anak Rantau, hal 296).
M. Datuk Pamenan (pemarah)
“Eh, janganlah Angku bicara seakan suku kita ini sudah
karam. Masih banyak
orang cerdik pandai yang kita punya. Stok tidak pernah
habis,” sanggah Pak
Datuk Pamenan. (Anak Rantau, hal 100).

Gaya Bahasa: Menggunakan gaya bahasa yang mudah


dipahami oleh pembaca. Meskipun terdapat
selipan bahasa Minang, tetapi pembaca bisa
memahami karena terdapat keterangan atau
maksud dari kata atau kalimat tersebut.

Latar Tempat:
a. Rumah Kakek“Sebetulnya, Hepi juga senang dengan
rumah kakeknya.” (Anak Rantau, hal 35).
b. Surau Gadang
“Di depan Surau Gadang, anak-anak yang akan
khataman disambut Bang Katik
yang bertugas mengatur urutan duduk di sebuah
panggung kecil.” (Anak Rantau,
hal 115).
c. Sarang Elang
“Sebagai markas, “sarang elang” mereka tumpuki
dengan berbagai barang, mulai
dari tikar ayam untuk duduk-duduk, beberapa buku
tulis dan pena, buku bacaan,
kelereng, ular tangga, hingga ludo.” (Anak Rantau, hal
194).
d. Lapau Mak Tuo Ros
“Hepi juga diajak makan ketan goreng di lapau Mak
Tuo Ros, sepupu jauh ayah.”
(Anak Rantau, hal 45).
e. Kantor Polisi
“Dengan berpelukan senang, Hepi, Attar, dan Zen ikut
bersama Kakek ke kantor
polisi.” (Anak Rantau, hal 291).
f. Rumah Lenon
“Hepi kini punya tempat bermain baru, pos ronda di
depan rumah Lenon.” (Anak
Rantau, hal 80).
g. Rumah Hitam“Halaman rumah hitam ini ditumbuhi
rumput yang tampak jarang dipotong dan
sebuah pohon jambu yang besar.” (Anak Rantau, hal
215).
h. SMP
“Dia mulai memutar otak bagaimana selama di SMP ini
dia bisa lolos dari
pengawasan guru dan kakeknya.” (Anak Rantau, hal 62).
i. Surau Tua
“Apakah ini salah satu surau tua yang kini sudah tiada
jemaah dan ditinggalkan?.”
(Anak Rantau, hal 319).
j. Danau Talago
“Bapak dan anak ini mendarat di Padang lalu
menumpang bus menuju kampung
halaman di tepi Danau Talago.” (Anak Rantau, hal 16).
k. Rumah Datuk Mudo
“Selepas magrib, mereka berbondong-bondong datang
ke rumah almarhum Datuk
Mudo di pinggang bukit atas pasar, sebuah rumah luas
berlantai dua.” (Anak
Rantau, hal 109).
l. Pasar
“Kalau pagi dia sibuk di kedainya di pasar.” (Anak
Rantau, hal 99).
“Katanya untuk mengembalikan tenaga setelah lelah
bekerja dari subuh di pasar.”
(Anak Rantau, hal 99).

- Latar Waktu:
a. Pagi hari“Pagi ini Martiaz tersentak dari mimpi gara-
gara muazin tua bersin dua kali di
corong pelantang masjid.” (Anak Rantau, hal 5).
b. Siang hari “Siang ini pertama kalinya Hepi merasakan
salat di surau kayu, yang imamnya
adalah kakeknya sendiri.” (Anak Rantau, hal 30)
c. Sore hari “Sore itu juga dia dipanggil oleh kakek dan
neneknya.” (Anak Rantau, hal 81).
d. Malam hari
“Malam itu, saat Hepi berkelumun di dalam mimpi, tiga
orang dewasa di rumah
itu masih terjaga dikawani kopi digiling Salisah
tadipagi.”(Anak Rantau, hal 21).

Sudut Pandang: Novel ini menggunakan sudut pandang


persona ketiga ‘dia”
mahatahu, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut nama, atau kata
gantinya; ia, dia, dan mereka. Dan berpindah-pindah dari
tokoh dia yang satu ke dia
yang lain.

Amanat: Menjadilah anak yang pandai dan nurut sama


orang tua agar kita bisa
mendapatkan kebahagian apa yang dirasakan oleh orang
tua kita. Jangan pernah
membuat orang tua kita marah dan kecewa kepada kita
karena kesalahan yang pernah
kita lakukan. Lakukan segala sesuatu dengan ikhlas lahir
dan batin tidak
mengharapkan imbalan semata, dan jangan lupa untuk
selalu beribadah.

Unsur Ekstrinsik:
1. Latar Belakang Pengarang:
a. Riwayat hidup penulis
Penulis novel mega bestseller Negeri 5 Menara.
Alumnus Pondok Modern Gontor,
Unpad, University of London dan George Washington
University. Juga pernah
menjadi wartawan di Tempo dan Voice of America
(VOA). Ahmad Fuadi adalah
penulis yang lahir pada 30 Desember 1972 di Bayur,
Maninjau, Sumatera Barat.
Novel-novel karya beliau kebanyakan menceritakan
tentang adat istiadat Sumatera
Barat tak lupa juga memasukkan nilai-nilai agama
Islam yang sangat kental di sana.
Novel Negeri 5 Menara adalah salah satu novel beliau
yang mengandung latar
belakang yang kuat tentang agama. Novel-novel karya
Ahmad Fuadi banyak
mendapatkan penghargaan, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Selain itu,
Ahmad Fuadi juga banyak diundang di berbagai tempat
sebagai pembicara.
b. Kondisi psikologis
Penulis novel ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
psikologis pengarang, karena
Ahmad Fuadi sebagai orang muslim, banyak karya-
karya beliau yang mengangkat
tentang nilai-nilai agama.c. Aliran sastra penulis
Adat Istiadat dan Agama. Pengarang banyak
mengambil sudut pandang dari segi
agama dan adat istiadat yang ada di ranah Minang.

2. Latar Belakang Masyarakat:


a. Ideologi negara
Pancasila, saat novel ini ditulis, pengarang tidak
mengkritik ideologi sebuah negara.
b. Kondisi politik
Baik-baik saja, saat novel ini ditulis, pengarang tidak
mengkritik kondisi politik
sebuah negara.
c. Kondisi ekonomi
Novel ini tidak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi
masyarakat tertentu.
d. Kondisi sosial
Masyarakat pedesaan dengan penuh adat istiadat dan
kuat akan nilai-nilai agama.
3. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel
a. Nilai agama
Novel ini mengandung nilai-nilai agama, seperti
mengaji dan salat di surau.“Bisa mengaji kayak anak
TK seperti ini kok sudah khataman? Tidak bisa.
Selama wa’ang cucuku, mengaji harus bagus.” (Anak
Rantau, hal 107).
“Selepas isya, anak-anak kembali berkumpul
melingkari Kakek di tengah surau.”
(Anak Rantau, hal 138).
b. Nilai sosial
Novel ini terdapat nilai sosial salah satunya saling
membantu.
“Kakek sudah meminta bantuan anak muda kampung
untuk membantu, dan mereka
berdatangan dengan patuh.” (Anak Rantau, hal 126).
c. Nilai budaya
Kental akan adat istiadat Minangkabau, tatkala pemuda
di sana sudah terbiasa tinggal
di surau sewaktu kecil.
Adat Istiadat
“Dari semenjak dulu yang namanya kaum laki-laki
Minang, ya harus pernah tinggal
di surau. Surau itu bagai asrama anak bujang Minang.
Tapi kini kebiasaan tidur di
surau ini habis. Padahal di surau itu mendidik kami-
kami untuk mandiri, tidak tidur di
ketiak ibu dan bapak saja. Di surau pula kami belajar
falsafah hidup, mengaji, dan
bersilat.” (Anak Rantau, hal 129).
d. Nilai moral
Dalam novel ini terdapat dua nilai moral, yaitu baik dan
buruk.
“Lumayan kan bisa menambah tabungan kau,” kata
Attar. Kedua temannya ingin
membantu dia mencari uang tambahan untuk membeli
tiket pulang ke Jakarta. (Anak
Rantau, hal 91).“Se...sejak beberapa kali air danau
keracunan dan panen ikan gagal, kami kehilangan
sebagian uang makan dan gaji sehingga tak punya
uang untuk beli. Karena itu, kami
yang sudah sakaw dan kehabisan duit menjual barang-
barang sendiri di rumah. Kalau
semua sudah habis dilego, kami mulai mencuri kecil-
kecilan, bukan apa-apa, hanya
untuk bisa beli obat saja. Kami juga pilih-pilih kalau
nyuri, hanya orang kaya dan
jahat saja yang kami kerjai. Atau orang yang menyia-
nyiakan hartanya.” (Anak
Rantau, hal 295)

Anda mungkin juga menyukai