Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Budaya Banjar
Oleh:
RIFKY ABDILLAH
NIM: 18.11.20.0109.01588
Rifky Abdillah
i
DAFTAR ISI
2. Pengertian Piduduk................................................................................... 3
A. Kesimpulan ................................................................................................ 15
B. Saran........................................................................................................... 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
beras, kue-kue adat banjar, telur, pisang, kopi pahit dan manis. Pada penelitian ini
penyusun akan berfokus pada sesajen kopi pahitnya saja, dan menelaah serta
meneliti makna dan nilai filosofis yang ada pada kopi pahit yang menjadi bagian
dari sesajen atau piduduk.
Maksud dari penelitian ini ialah untuk menggali dan mengkaji sejarah,
budaya, dan kebudayaan Nusantara sebagai leluhur bangsa Indonesia, agar dapat
duduk sejajar dengan kebudayaan besar dunia. Dan untuk mengakaji pandangan
islam terhadap sesajen atau piduduk, terkuhusus terhadap kepercayaan dan
keyakinan masyarakat terhadah sesajen kopi pahit.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana budaya kopi pahit dimasyarakat?
2. Bagaimana pandangan islam terhadap sesajen kopi pahit?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui budaya kopi pahit dimasyarakat.
2. Untuk mengetahui pandangan islam terhadap sesajen kopi pahit.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sesajen dan Piduduk
1. Pengertian Sesajen
Sedangkan secara luas kata sesajian atau sesajen atau yang biasa disingkat
dengan ‘sajen’ ini adalah istilah atau ungkapan untuk segala sesuatu yang
disajikan dan dipersembahkan untuk sesuatu yang tidak tampak namun ditakuti
atau diagungkan, seperti roh-roh halus, para penunggu atau penguasa tempat yang
dianggap keramat atau angker, atau para roh yang sudah mati (leluhur).2
2. Pengertian Piduduk
1
Dato Paduka Haji Ahmad bin Kadi, Kamus Bahasa Melayu Nusantara, (Brunei
Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2003), H. 2337
2
Artikel : Ibnuabbaskendari.wordpress.com. Diakses tanggal 15 Maret 2021.
3
I Ketut Wiana, Makna Upara Yajna Dalam Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 2002),
H. 1-5
3
Piduduk merupakan pengganti diri seseorang yang melaksanakan upacara
untuk mempersembahkan kepada makhluk-makhluk halus yang dating atau
diundang. Dalam hal ini pula Piduduk itu mencakup diantaranya sebagai berikut:
a. Beras
b. Gula merah
c. Telur
d. Benang
e. Jarum, dan
f. Kelapa4
1. Hidup Berkah
1) Beras
2) Pisang
4
Wajidi, Akulturasi Budaya Banjar di Benua Halat, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2011), H. 114
4
2. Berperilaku Baik
3. Hidup Bersama
1) Lakatan
2) Gula habang
3) Hintalu
5
Kamariah, Makna Simbolik Dalam Adat Badudus Pangantin Banjar, Universitas Negeri
Surabaya, H. 53-54
6
Ibid
5
Dari simbol-simbol yang terdapat pada piduduk, mempunyai makna
kepercayaan yang tidak mudah dipahami karena menurut kepercayaan piduduk
mempunyai makna perlindungan kepada sesuatu yang bersifat gaib, penguasa
bumi, yang dipercayai dapat membuang keburukan.
7
Ibid
6
roh leluhur. Kemudian dilanjutkan dengan membaca do’a-do’a islam dan ditutup
dengan jamuan makan.8
Jenis kopi yang digunakan untuk menyambut roh para leluhur biasanya
jenis kopi hitam. Untuk rasa tidak terikat harus manis atau pahit. Hal tersebut
dilakukan sesuai dengan tradisi atau kebiasaan yang dianut oleh daerah masing-
masing, tergantung dari ajaran orang tua terdahulu.
“Untuk kopi yang dipersembahkan tidak harus rasa manis atau pahit. Tapi,
bisa keduanya atau salah satunya. Itu memang sudah jadi keyakinan. Persembahan
sesajen dilakukan berasal dari keyakinan, bahwa arwah leluhur itu seringkali
pulang ke rumah untuk menjenguk anak cucunya dan sebagian masyarakat
Indonesia masih meyakininya, oleh karenanya dikasihlah sesajen itu,” ucap H.
Drs. K. Ng. Agus Sunyoto, ketika diwawancarai Okezone, Kamis (24/8/2017),
melalui sambungan telepon.
“Jadi, saat mengunjungi rumah itu arwah leluhur dapat merasakan dirinya
masih diingat dan dihormati oleh anak cucunya, dari penyambutan yang dilakukan
dengan sesajen tersebut,” ucapnya.
8
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Tangerang selatan: Pustaka IIMaN, 2016), H. 438
7
hangat, kembang tujuh rupa, makanan yang berunsur beras, seperti kue apem,
lontong, ketupat, dan tidak lupa juga memasukkan unsur kelapa di dalamnya.
Tradisi mempersembahkan sesajen ini telah diturunkan oleh para orang tua
sejak zaman kuno hingga pada tahun 70an akhir, para penerus sudah mulai
melunturkan kebiasaan dari tradisi yang tadinya dilakukan oleh para orang tua
mereka. Hal tersebut pula yang diceritakan oleh Agus Sunyoto dalam wawancara
yang dilakukan.
Kopi pahit dan kopi manis, maknanya ialah ketika diri kita menginjak
masa tua yang sudah melewati tempaan pahit getir dan manisnya kehidupan, tentu
menyebabkan seseorang menjadi padat dengan pengalaman dan pengetahuan,
maka sudah seharusnya ia terbentuk menjadi manusia yang bijaksana.
a) Jenis tumbuhan kopi ditempa oleh alam, hujan, angin, dingin, panas terik
matahari. Pohon kopi menghasilkan buah yang berubah warna dari hijau
menuju merah tua yang menandakan kematangan. Kopi yang berwarna
merah dipetik kemudian dikupas diambil bijinya, lalu dijemur hingga
9
https://travel.okezone.com/read/2017/08/25/406/1763410/okezone-week-end-mitos-
kopi-jadi-sesaji-budayawan-warisan-budaya-ini-percaya-leluhur-akan-berkunjung-pada-malam-
jumat, diakses pada tanggal 15 Maret 2021
8
kering. Kemudian dipanaskan melalui tahap pembakaran, selanjutnya
hangus ia digiling menjadi serbuk.
b) Ketika akan disajikan, kopi masih harus diseduh dengan air mendidih
hinga setelah diaduk ia mewarnai air dengan pekat dan tidak terlihat
tembus pandang.
c) Setelah mengalami tahap pengadukan yang mengeruhkan air, serbuk kopi
turun dengan tenang dan perlahan mengendap di dasar cangkir. Maka
terpisahlah antara air gelap dan ampas kopi.
d) Ampas kopi yang mengendap sama sekali sudah berubah dari bentuk
awalnya yang berupa biji-bijian.
10
Lucky Hendrawan dkk, Sesajen Sebagai Kitab Kehidupan, Institut Teknologi harapan
Bangsa, Bandung, H. 38-39
11
Hj. Noorthaibah, Refleksi Budaya Muslim Pada Adat Perkawinan Budaya Banjar di
kota Samarinda, Jurnal FENOMENA, Vol. IV, No. 1, STAIN Samarinda, 2012, H. 29
9
tradisi turun temurun dari keluarga. Dan biasanya juga disembahkan pada
malam jum’at untuk seserahan kepada roh-roh leluhur atau biasa disebut
datu. Dan Budi Rahmat juga menerangkan dari cerita-cerita orang tua
dahulu bahwa sesajen kopi pahit ini biasa juga dipakai bagi orang-orang
belampah atau lampah, maksud lampah ini adalah orang yang mencari
ilmu pesugihan atau ilmu hitam. (Wawancara via WhatsApp dengan Budi
Rahmad tanggal 16 Maret 2021).12
2) Kai Sulaiman, 62 Tahun dari Sungai Dikum adalah salah seorang yang
sehari-harinya beradi di kawasan candi Agung, dan menurut pengakuan
beliau bahwa beliau juga merupakan salah satu keturunan dari candi
Agung. Menurut beliau budaya kopi pahit merupakan sebuah seserahan
untuk roh-roh leluhur khususnya dari leluhur candi Agung. Roh-roh
leluhur itu seperti roh Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih. Dalam
pelaksanaannya yaitu disiapkan beberapa benda-benda seperti kue-ue
tradisiona, lakatan, dupa, kopi pahit, kopi manis dan lain-lain, lalu
dibacakan do’a selamat. Diharapkan dari seserahan itu dapat diberi
perlindungan dari hal-hal yang tidak baik dan juga bisa meminta bantuan
dari roh leluhur. Seperti saat berburu dihutan maka kita berikan seserahan
dengan harapan meminta bantuan agar mendapat hasil atau binatang
buruan maka kata beliau pasti akan dapat hasilnya. Kai Sulaiman
menerangkan bahwa kopi merupakan minuman yang disukai oleh para
leluhur, karena itulah kopi dimasukan dalam benda-benda dalam seserahan
atau sesajen. (Wawancara dengan Kai Sulaiman tanggal 16 Maret 2021 di
Candi Agung Amuntai).13
3) Siti Aisyah, 50 tahun. Beliau merupakan penjaga ditempat petapaan
Pangeran Suryanata di Candi Agung Amuntai. Beliau menerangkan bahwa
beliau mempunyai anak yang memiliki gampiran. Gampiran maksudnya
beliau mempunyai 2 orang anak kembar yang satunya diambil oleh
makhluk halus atau roh leluhur. Dan beliau setiap malam jum’at selalu
12
Wawancara dengan Budi Rahmad, via WhatsApp tanggal 16 Maret 2021
13
Wawancara dengan Kai Sulaiman di Candi Agung Amuntai tanggal 16 Maret 2021
10
memberi seserahan berupa beberapa seserahan termasuk kopi pahit agar
anak yang diambil oleh leluhur itu dijaga dan dirawat oleh roh leluhur, dan
sebagai pengakuan bahwa beliau menganggap itu memang anaknya. Dan
dari seserahan itu juga beliau meminta agar anaknya itu membantu dirinya
jika ada masalah atau dalam keadaan sulit, dan beliau yakin anaknya itu
akan membantunya. Beliau bercerita bahwa dulu pernah sakit, lalu
memberi seserahan dan membaca do’a selamat. Dan meminta kepada roh
leluhur dan anaknya itu untuk mendo’akan serta membantu beliau agar
cepat sembuh, lalu tidak lama setelahnya beliau sembuh dari penyakitnya.
Dari seserahan itu beliau menjelaskan bahwa seserahan itu untuk memberi
makan kepada roh leluhur dan anaknya itu agar dipermudah segala urusan
dan dihindarkan dari penyakit dan hal-hal yang tidak baik. (Wawancara
dengan Siti Aisyah tanggal 16 Maret 2021 di Candi Agung Amuntai). 14
4) Sam‟ah menerangkan bahwa dia setiap malam Jumat menyediakan kopi
pahit dan kopi manis serta kembang melati dan kenanga dalam rumahnya
karena hal tersebut telah menjadi tradisi bagi keturunan Candi Agung.
Sam‟ah sering mengalami penyakit aneh, seperti tidak mau makan dan
susah tidur selama beberapa bulan lamanya. Keadaan ini sering berulang-
ulang, dan penyakit darah tinggi, serta sakit kepala berat merupakan
kebiasaannya. Namun bila disediakan kopi pahit dan kopi manis serta
kembang kenanga dan melati kemudian kain diukup/dirabun di atas
kemenyan atau dupa yang dibakar, setelah itu langsung dipakaikan kain
sarigading selengkapnya seperti selendang, baju, sarung, dan stagen, dan
penggunaan kain ini tidak terus menerus, melainkan bila mau mandi atau
shalat, maka pakaian itu dilepas sementara. Biasanya dalam waktu yang
tidak lama, dia sembuh dari penyakit itu. Dia meyakini Allah yang
menyembuhkan dan pakaian kain tersebut hanya sebagai sarana media
14
Wawancara dengan Siti Aisyah di Candi Agung Amuntai tanggal 16 Maret 2021
11
saja.(Wawancara dengan Sam‟ah, pemakai benda bertuah, 04 Oktober
2015).15
5) H. Masran penduduk kecamatan Alabio, memiliki saudara angkat didaerah
Kelua kabupaten Tabalong yang bernama H. Ja’far. H. Ja’far ini dikenal
punya hubungan kekerabatan dengan buaya jelmaan. Dengan adanya
keakraban dengan saudara angkatnya ini sehingga H. Ja’far
mempercayakan kepada H. Masran untuk memelihara buaya jelmaannya.
Sejak itulah H. Masran ini menjalin hubungan kekerabatan dengan buaya
jelmaan yang berlanjut kepada anak cucunya hingga sekarang. Menurut
Hj. Hamnah, ayahnya yang bernama H. Masran, selama hidup hingga
meninggal dunia selalu menjalin hubungan persahabatan dengan buaya
jelmaan dan selalu memberi makanan untuk buaya tersebut setahun sekali
berupa nasi ketan, telor ayam, pisang yang dimasukan ke dalam air dan
menyediakan kopi manis dan pahit dalam rumah pada malam hari.
Generasi selanjutnya juga melakukan hal yang sama, terutama apabila
datang gangguan seperti kesurupan, atau gangguan kejiwaan yang
perilakunya merayap seperti buaya.(wawancara: Husni, Banjarmasin, 05
September 2013).16
6) Teater lamut (balamut) asal-usulnya dari kesenian dundam, yaitu kesenian
bercerita dengan alat yang sama dengan lamut yaitu terbang, pendundam
duduk di sentral rumah, dengan perapian dupa dan menyan, apabila lampu
dimatikan, maka mulailah pendundam bercerita. Tentu saja pendengarnya
cuma melihat pendundam sama-samar dalam gelap. Cerita yang
dibawakan pendundam adalah dongeng-dongeng kerajaan antah berantah.
Lamut sebagai seni pertunjukkan tidak menyediakan sesajen seperti lamut
untuk upacara yang memerlukan sesajen berupa seperangkat piduduk
(lambang pembayaran hajat) kecuali perapian dupa kemenyan dan kelapa
15
Arni, Kepercayaan dan Perlakuan Masyarakat Banjar Terhadap Jimat-Jimat Penolak
Penyakit, Jurnal Studia Insania, Vol. 4, No.1, IAIN Antasari Banjarmasin, 2016, H. 43-44
16
Basrian dkk, Kepercayaan dan Perilaku Masyarakat Banjar dalam Hubungan
Kekerabatan dengan Buaya Jelmaan di Banjarmasin dan Banjarbaru, Jurnal Tashwir, Vol. 1
No.2, IAIN Antasari, 2013, H. 50,54-55
12
muda untuk sang pelamutan. Lamut dapat dipergelarkan dalam berbagai
peristiwa seperti hajatan, nazar, maupun sebagai hiburan. Sebelum lamut
dipergelarkan baik dalam kegiatan hajatan, nazar, atau hiburan biasanya
selalu didahului oleh sebuah upacara kecil yang sudah mentradisi dalam
setiap pergelaran lamut. Upacara kecil tersebut yaitu: a) Membakar
pedupaan, b) Menyediakan piduduk berupa beras ketan, kelapa, gula
merah, kopi pahit/manis, kue tradisional, rokok daun, air putih dan lain-
lain, c) Menyiapkan air kelapa muda untuk diminum pelamutan, d)
Membaca do’a selamat.17
Namun, jika niat dan dasarnya tidak untuk meminta kepada roh leluhur
dan makhluk halus hanya sebatas mengambil faidah dari makna atau nilai
filosofi yang terkandung dari kopi pahit dan seserahan lainnya dan setelahnya
dibacakan do’a-do’a lalu di makan bersama maka hukumnya boleh. Karena
hanya ingin mengambil berkah dari makanan dan minuman yang telah
dido’akan serta mengambil pengajaran dari makna dan nilai filosofi yang
17
Agus Yulianto, Revitalisasi Kesenian Lamut di Kalimantan Selatan, Jurnal Naditira
Widya, Vol. 9, No.2, Balai Arkeologi Banjarmasin, 2015, H. 137, 139
13
terkandung dari makanan dan minuman yang disajikan pada saat acara-acara
tersebut. (Wawancara dengan Mu’allim Daud tanggal 19 Maret 2021).18
18
Wawancara dengan Mu’allim Daud tanggal 19 Maret 2021
19
Wawancara dengan Ustadz Sabirin Noor tanggal 22 Maret 2021
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dan dalam islam hukum dari penyajian kopi pahit disesuaikan dengan niat
dan dasar dari penyaji tersebut. Jika niatnya meminta kepada selain Allah SWT
maka hukumnya haram. Namun, jika niatnya mengambil faidah dan berkah dari
do’a-do’a dan makna serta nilai filosofis yang ada pada makanan dan minuman itu
maka hukumnya dibolehkan. Dan dunia roh dengan manusia itu berbeda. Jadi,
kepercayaan dengan roh leluhur yang meminta sesajian itu tidak dapat dibenarkan
karena dalam pandangan islam itu merupakan tipu daya dan kebohongan dari
syaitan yang dapat menjerumuskan manusia pada kesyirikan.
15
B. Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Artikel : Ibnuabbaskendari.wordpress.com.
Dato Paduka Haji Ahmad bin Kadi,2003, Kamus Bahasa Melayu Nusantara,
Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hj. Noorthaibah, 2012, Refleksi Budaya Muslim Pada Adat Perkawinan Budaya
Banjar di kota Samarinda, Jurnal FENOMENA, Vol. IV, No. 1, STAIN
Samarinda.
https://travel.okezone.com/read/2017/08/25/406/1763410/okezone-week-end-
mitos-kopi-jadi-sesaji-budayawan-warisan-budaya-ini-percaya-leluhur-
akan-berkunjung-pada-malam-jumat.
I Ketut Wiana, 2002, Makna Upara Yajna Dalam Agama Hindu, Surabaya:
Paramita.
17
Wajidi, 2011, Akulturasi Budaya Banjar di Benua Halat, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher.
18