Anda di halaman 1dari 21

PERSPEKTIF ISLAM TERHADAP BUDAYA KOPI PAHIT

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Budaya Banjar

Dosen Pengampu: H. Nashrullah, M.H.I

Oleh:

RIFKY ABDILLAH

NIM: 18.11.20.0109.01588

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AMUNTAI

PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB (PBA)

TAHUN AKADEMIK 2020-2021


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang. Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT,
Tuhan semesta alam, yang karena hanya dengan rahmat serta karunia-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktu nya. Shalawat
serta salam selalu terlimpah dan dicurahkan kepada Junjungan Nabi Besar, Nabi
Muhammad SAW, serta keluarga dan sahabatnya.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Mu’allim H.


Nashrullah, M.H.I selaku Dosen Islam dan Budaya Banjar Sekolah Tinggi Ilmu
Al-Qur’an (STIQ) Amuntai dalam menyusun makalah ini yang berjudul
“Perspektif Islam Terhadap Budaya Kopi Pahit” sebagai pembelajaran bagi kita
semua.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini sangat jauh


dari kata sempurna. Karena itu penyusun memohon maaf atas segala kekurangan
dan keterbatasan ilmiah dalam makalah ini. Penyusun pun selalu mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi perbaikannya makalah ini. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Amuntai, 26 Maret 2021

Rifky Abdillah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

A. Pengertian Sesajen dan Piduduk .................................................................. 3

1. Pengertian Sesajen .................................................................................... 3

2. Pengertian Piduduk................................................................................... 3

B. Makna Kopi Pahit dalam Sesajen atau Piduduk .......................................... 6

C. Budaya Kopi Pahit dimasyarakat ................................................................. 9

D. Pandangan Islam terhadap Budaya Kopi Pahit .......................................... 13

BAB III PENUTUP............................................................................................... 15

A. Kesimpulan ................................................................................................ 15

B. Saran........................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Setiap bangsa di dunia memiliki ciri-ciri kebudayaannya masing-masing


yang membedakan antara satu dan lainnya. Adat, sejarah, budaya, serta
lingkungan hidup merupakan sumber nilai pembentuk kepribadian, jati-diri, dan
watak bangsa dengan segala cara-cirinya, maka demikian pula dengan bangsa
Indonesia yang mewarisi nilai-nilai sejarah, adat, budaya dan kebudayaan para
leluhurnya (bangsa Nusantara).

Kebudayaan merupakan suatu sistem nilai, lambang, dan perilaku hidup


serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan seluruh
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya.
Kebudayaan menjadi identitas masyarakat yang bersangkutan sehingga dalam
kenyataannya tidak ada dua masyarakat yang kebudayaannya seluruhnya sama.

Sebuah kebudayaan atau adat-istiadat dipertahankan oleh masyarakatnya


dikarenakan, apabila tidak dilakukan takut terjadi hal-hal yang mungkin tidak
diinginkan, dan berharap akan ada berkah apabila melaksanakannya. Adat
biasanya berupa sebuah upacara yang didalamnya berisi rentetan ritual dengan
persembahan serta do’a atau mantra. Semua rangkaian acara, persembahan
maupun mantra yang ada disetiap ritual adat suatu suku tentunya mengandung
banyak simbol yang sarat akan makna dan harapan untuk yang melakukannya.
Untuk mengungkapkan simbol adat tersebut digunakanlah semiotika kultural
sebagai kajian.

Indonesia sangat kaya dengan tradisi kebudayaannnya. Ada bermacam-


macam budaya yang berasal dari setiap suku bangsa yang tinggal di Indonesia.
Salah satu daerah yang memiliki tradisi budaya adalah suku Banjar dari
Kalimantan Selatan. Suku Banjar memiliki banyak tradisi budaya salah satunya
adalah budaya seserahan, sesajen atau masyarakat banjar menyebutnya dengan
piduduk. Didalam piduduk biasanya terdapat beberapa benda seperti kelapa,

1
beras, kue-kue adat banjar, telur, pisang, kopi pahit dan manis. Pada penelitian ini
penyusun akan berfokus pada sesajen kopi pahitnya saja, dan menelaah serta
meneliti makna dan nilai filosofis yang ada pada kopi pahit yang menjadi bagian
dari sesajen atau piduduk.

Maksud dari penelitian ini ialah untuk menggali dan mengkaji sejarah,
budaya, dan kebudayaan Nusantara sebagai leluhur bangsa Indonesia, agar dapat
duduk sejajar dengan kebudayaan besar dunia. Dan untuk mengakaji pandangan
islam terhadap sesajen atau piduduk, terkuhusus terhadap kepercayaan dan
keyakinan masyarakat terhadah sesajen kopi pahit.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana budaya kopi pahit dimasyarakat?
2. Bagaimana pandangan islam terhadap sesajen kopi pahit?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui budaya kopi pahit dimasyarakat.
2. Untuk mengetahui pandangan islam terhadap sesajen kopi pahit.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Sesajen dan Piduduk
1. Pengertian Sesajen

Sesajen menurut bahasa adalah makanan (bunga-bungaan) yang disajikan


untuk atau dijamukan kepada makhluk halus. Menurut KBBI, sesajen ialah
macam-macam makanan yang disediakan untuk roh halus. Sedangkan menurut
istilah, sesajen adalah mempersembahkan sajian dalam upacara keagamaan yang
dilakukan secara simbolik dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan-
kekuatan ghaib, dengan cara mempersembahkan makanan dan benda-benda lain
yang melambangkan maksud dari pada berkomunikasi tersebut.1

Sedangkan secara luas kata sesajian atau sesajen atau yang biasa disingkat
dengan ‘sajen’ ini adalah istilah atau ungkapan untuk segala sesuatu yang
disajikan dan dipersembahkan untuk sesuatu yang tidak tampak namun ditakuti
atau diagungkan, seperti roh-roh halus, para penunggu atau penguasa tempat yang
dianggap keramat atau angker, atau para roh yang sudah mati (leluhur).2

Sesajen merupakan aktualiasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku


untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesajen juga merupakan wahana
simbol yang digunakan sebagai sarana untuk negosiasi spiritual kepada hal-hal
ghaib, dengan pemberian makanan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan
roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia.3 Sesajen dilakukan
agar makhluk-makhluk halus diatas kekuatan manusia tidak mengganggu
manusia. Wujud sesajen bermacam-macam tergantung kebutuhan yang
diperlukan.

2. Pengertian Piduduk

1
Dato Paduka Haji Ahmad bin Kadi, Kamus Bahasa Melayu Nusantara, (Brunei
Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2003), H. 2337
2
Artikel : Ibnuabbaskendari.wordpress.com. Diakses tanggal 15 Maret 2021.
3
I Ketut Wiana, Makna Upara Yajna Dalam Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 2002),
H. 1-5

3
Piduduk merupakan pengganti diri seseorang yang melaksanakan upacara
untuk mempersembahkan kepada makhluk-makhluk halus yang dating atau
diundang. Dalam hal ini pula Piduduk itu mencakup diantaranya sebagai berikut:

a. Beras
b. Gula merah
c. Telur
d. Benang
e. Jarum, dan
f. Kelapa4

Piduduk memiliki tiga makna yang terkandung di dalamnya yaitu hidup


berkah, berperilaku baik, dan hidup bersama. Ketiga makna tersebut disimbolkan
dari beberapa barang yang disiapkan dalam piduduk. Makna-makna dalam
piduduk dijelaskan sebagai berikut.

1. Hidup Berkah

Makna hidup berkah dalam piduduk dimaknai dengan dsimbol-simbol


baras bujur (beras), dan pisang. Penjelasan makna simbol-simbol tersebut
dipaparkan sebagai berikut.

1) Beras

Beras mempunyai makna sebagai bentuk kepercayaan bahwa beras itu


mempunyai nilai kesucian karena beras memiliki warna putih, serta memiliki
harapan agar dalam menjalani suatu hubungan selalu diberikan kebahagian.

2) Pisang

Pisang mempunyai makna memiliki banyak manfaat yang bertujuan agar


segala sesuatu yang dilakukan dapat bermanfaat bagi orang lain serta
mendapatkan keberkahan.

4
Wajidi, Akulturasi Budaya Banjar di Benua Halat, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2011), H. 114

4
2. Berperilaku Baik

Berperilaku baik dalam piduduk di simbolkan dengan nyiur (kelapa).


Nyiur mempunyai makna pohon kehidupan yang sangat bermanfaat bagi orang
lain. Dengan harapan agar hidup lebih bermanfaat untuk orang lain agar
mendapatkan keberkahan di dalam hidup karena perilaku baik yang mereka
miliki.

3. Hidup Bersama

Makna hidup bersama disimbolkan dengan baras lakatan (beras ketan),


gula habang (gula merah) dan hintalu (telur). Berikut akan dijelaskan makna dari
simbol tersebut. 5

1) Lakatan

Lakatan mempunyai makna bentuk pengharapan keselamatan bagi


penyelenggara acara.

2) Gula habang

Gula habang mempunyai makna manis dan berwarna merah harapannya


adalah segala sesuatu yang dilakukan selalu berbuah manis atau mempunyai
makna bahwa gula tersebut dalam melambangkan suatu kehidupan yang indah
yang dijalani bersama pasangan hidupnya.

3) Hintalu

Hintalu mempunyai makna simbol kehidupan sebagai kekuatan generasi


yang diharapkan memiliki generasi penerus yang kuat dan selalu bermanfaat bagi
orang lain. Serta diharapkan agar selalu bersama-sama menjalani kehidupan baik
suka maupun duka.6

5
Kamariah, Makna Simbolik Dalam Adat Badudus Pangantin Banjar, Universitas Negeri
Surabaya, H. 53-54
6
Ibid

5
Dari simbol-simbol yang terdapat pada piduduk, mempunyai makna
kepercayaan yang tidak mudah dipahami karena menurut kepercayaan piduduk
mempunyai makna perlindungan kepada sesuatu yang bersifat gaib, penguasa
bumi, yang dipercayai dapat membuang keburukan.

Piduduk bermakna agar segala hajat yang ingin dilakukan diberikan


kemudahan, dijauhkan dari segala keburukan, karena menurut kepercayaan nenek
moyang terdahulu jika ingin melangsungkan suatu prosesi acara maka harus
menyediakan piduduk, dan jika tidak menyediakan piduduk maka akan
berdampak kepada salah satu penyelenggara acara tersebut. Orang tersebut bisa
kesurupan, bisa menjadi sakit, dan dipercaya piduduk itu merupakan cara agar
terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan. Jika salah satu piduduk yang
digunakan tersebut ada yang tertinggal maka akan mengurangi makna dan syarat
tersebut karena itu, kepercayaan tersebut tidak mudah hilang dalam suatu acara.
Namun sebagai masyarakat beragama dengan adanya simbol piduduk yang
digunakan tidak mengurangi pengharapan atau permohonan terhadap Allah swt.7

B. Makna Kopi Pahit dalam Sesajen atau Piduduk

Tradisi mempersembahkan sesajen merupakan warisan dari zaman kuno


yang diturunkan oleh orang tua pada anak cucunya. Persembahan sesajen yang
berisi kopi di dalamnya mengiringi keyakinan masyarakat, yang menganggap
arwah leluhur seringkali pulang dan mengunjungi rumah untuk menjenguk sanak
keluarga dan anak cucunya, bahkan hingga kini sebagian masyarakat Indonesia
masih melakukan persembahan sesajen tersebut dan meyakininya.

Tradisi ini dipengaruhi oleh tradisi muslim champa yang mengadakan


jamuan atau kenduri yang sebelum membaca do’a-do’a islam didahului
pernyataan niat atau hajat dari orang yang menyelenggarakan kenduri tersebut
untuk memohon restu kepada leluhur dengan memberikan hidangan kepada roh-

7
Ibid

6
roh leluhur. Kemudian dilanjutkan dengan membaca do’a-do’a islam dan ditutup
dengan jamuan makan.8

Jenis kopi yang digunakan untuk menyambut roh para leluhur biasanya
jenis kopi hitam. Untuk rasa tidak terikat harus manis atau pahit. Hal tersebut
dilakukan sesuai dengan tradisi atau kebiasaan yang dianut oleh daerah masing-
masing, tergantung dari ajaran orang tua terdahulu.

“Untuk kopi yang dipersembahkan tidak harus rasa manis atau pahit. Tapi,
bisa keduanya atau salah satunya. Itu memang sudah jadi keyakinan. Persembahan
sesajen dilakukan berasal dari keyakinan, bahwa arwah leluhur itu seringkali
pulang ke rumah untuk menjenguk anak cucunya dan sebagian masyarakat
Indonesia masih meyakininya, oleh karenanya dikasihlah sesajen itu,” ucap H.
Drs. K. Ng. Agus Sunyoto, ketika diwawancarai Okezone, Kamis (24/8/2017),
melalui sambungan telepon.

Adapun tujuan dari mempersembahkan sesajen, yang merupakan warisan


dari tradisi zaman kuno tersebut ialah agar roh para leluhur yang mengunjungi dan
kembali pulang ke rumah untuk sementara waktu tersebut dapat merasakan
dirinya masih diingat, dihormati, dihargai dan disambut oleh anak-cucunya. Hal
itu juga dikatakan oleh H. Drs. K. Ng. Agus Sunyoto yang terkenal dengan
karyanya berjudul Atlas Wali Songo.

“Jadi, saat mengunjungi rumah itu arwah leluhur dapat merasakan dirinya
masih diingat dan dihormati oleh anak cucunya, dari penyambutan yang dilakukan
dengan sesajen tersebut,” ucapnya.

Sesajen biasanya disajikan hanya semalaman saja, tepatnya ketika masuk


Kamis malam Jumat dan pada acara semacam kenduri. Para orang tua mulai
menyiapkan sesajen selepas adzan magrib. Sesajen biasanya berisi kopi hitam

8
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Tangerang selatan: Pustaka IIMaN, 2016), H. 438

7
hangat, kembang tujuh rupa, makanan yang berunsur beras, seperti kue apem,
lontong, ketupat, dan tidak lupa juga memasukkan unsur kelapa di dalamnya.

Tradisi mempersembahkan sesajen ini telah diturunkan oleh para orang tua
sejak zaman kuno hingga pada tahun 70an akhir, para penerus sudah mulai
melunturkan kebiasaan dari tradisi yang tadinya dilakukan oleh para orang tua
mereka. Hal tersebut pula yang diceritakan oleh Agus Sunyoto dalam wawancara
yang dilakukan.

“Kalau sampai tahun 70an itu masih dilakukan mempersembahkan sesajen


setiap Kamis, malam Jumat oleh para orang tua. Tapi, sekarang sudah jarang
dilakukan, kecuali ketika ada acara-acara tertentu seperti kenduri, selametan, atau
hajatan dan pesta-pesta tradisional lainnya seperti khitanan atau pernikahan
barulah masyarakat menyajikan sesajen itu termasuk kopi, untuk roh para
leluhurnya yang diyakini kembali mengunjungi rumah,” tambahnya. 9

Pada kepercayaan atau keyakinan masyarakat banjar, budaya kopi pahit


biasanya disandingkan dengan kopi manis. Terdapat makna filosofis pada kopi
pahit dan kopi manis ini.

Kopi pahit dan kopi manis, maknanya ialah ketika diri kita menginjak
masa tua yang sudah melewati tempaan pahit getir dan manisnya kehidupan, tentu
menyebabkan seseorang menjadi padat dengan pengalaman dan pengetahuan,
maka sudah seharusnya ia terbentuk menjadi manusia yang bijaksana.

a) Jenis tumbuhan kopi ditempa oleh alam, hujan, angin, dingin, panas terik
matahari. Pohon kopi menghasilkan buah yang berubah warna dari hijau
menuju merah tua yang menandakan kematangan. Kopi yang berwarna
merah dipetik kemudian dikupas diambil bijinya, lalu dijemur hingga

9
https://travel.okezone.com/read/2017/08/25/406/1763410/okezone-week-end-mitos-
kopi-jadi-sesaji-budayawan-warisan-budaya-ini-percaya-leluhur-akan-berkunjung-pada-malam-
jumat, diakses pada tanggal 15 Maret 2021

8
kering. Kemudian dipanaskan melalui tahap pembakaran, selanjutnya
hangus ia digiling menjadi serbuk.
b) Ketika akan disajikan, kopi masih harus diseduh dengan air mendidih
hinga setelah diaduk ia mewarnai air dengan pekat dan tidak terlihat
tembus pandang.
c) Setelah mengalami tahap pengadukan yang mengeruhkan air, serbuk kopi
turun dengan tenang dan perlahan mengendap di dasar cangkir. Maka
terpisahlah antara air gelap dan ampas kopi.
d) Ampas kopi yang mengendap sama sekali sudah berubah dari bentuk
awalnya yang berupa biji-bijian.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makna yang terkandung di


dalam kopi pahit dan manis ialah perjalanan dari kegelapan menuju pencerahan
yang maknanya adalah menuju ketenangan jiwa dan cipta atau pikiran sebagai
sosok “manusia suci”.10

C. Budaya Kopi Pahit dimasyarakat

Meskipun pada umumnya masyarakat Banjar beragama Islam, namun


masih belum bisa meninggalkan adat lama yang berbau primitivisme, seperti
adanya piduduk dengan maksud agar acara tidak diganggu roh-roh halus,
demikian juga peralatan kelengkapan yang dipergunakan masih bersifat magis
primitive, seperti sesajen, piduduk dan sebagainya adalah suatu ungkapan rasa
kekhawatiran terhadap gangguan para roh leluhur mereka.11

1) Budi Rahmat menerangkan bahwa kopi pahit itu merupakan sebuah


sesajen untuk persembahan agar disebuah acara tidak terjadi hal-hal yang
tidak baik atau yang tidak diinginkan akibat dari gangguan makhluk halus,
tetapi akhirnya kopi pahit tadi tetap diminum. Dan hal ini merupakan

10
Lucky Hendrawan dkk, Sesajen Sebagai Kitab Kehidupan, Institut Teknologi harapan
Bangsa, Bandung, H. 38-39
11
Hj. Noorthaibah, Refleksi Budaya Muslim Pada Adat Perkawinan Budaya Banjar di
kota Samarinda, Jurnal FENOMENA, Vol. IV, No. 1, STAIN Samarinda, 2012, H. 29

9
tradisi turun temurun dari keluarga. Dan biasanya juga disembahkan pada
malam jum’at untuk seserahan kepada roh-roh leluhur atau biasa disebut
datu. Dan Budi Rahmat juga menerangkan dari cerita-cerita orang tua
dahulu bahwa sesajen kopi pahit ini biasa juga dipakai bagi orang-orang
belampah atau lampah, maksud lampah ini adalah orang yang mencari
ilmu pesugihan atau ilmu hitam. (Wawancara via WhatsApp dengan Budi
Rahmad tanggal 16 Maret 2021).12
2) Kai Sulaiman, 62 Tahun dari Sungai Dikum adalah salah seorang yang
sehari-harinya beradi di kawasan candi Agung, dan menurut pengakuan
beliau bahwa beliau juga merupakan salah satu keturunan dari candi
Agung. Menurut beliau budaya kopi pahit merupakan sebuah seserahan
untuk roh-roh leluhur khususnya dari leluhur candi Agung. Roh-roh
leluhur itu seperti roh Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih. Dalam
pelaksanaannya yaitu disiapkan beberapa benda-benda seperti kue-ue
tradisiona, lakatan, dupa, kopi pahit, kopi manis dan lain-lain, lalu
dibacakan do’a selamat. Diharapkan dari seserahan itu dapat diberi
perlindungan dari hal-hal yang tidak baik dan juga bisa meminta bantuan
dari roh leluhur. Seperti saat berburu dihutan maka kita berikan seserahan
dengan harapan meminta bantuan agar mendapat hasil atau binatang
buruan maka kata beliau pasti akan dapat hasilnya. Kai Sulaiman
menerangkan bahwa kopi merupakan minuman yang disukai oleh para
leluhur, karena itulah kopi dimasukan dalam benda-benda dalam seserahan
atau sesajen. (Wawancara dengan Kai Sulaiman tanggal 16 Maret 2021 di
Candi Agung Amuntai).13
3) Siti Aisyah, 50 tahun. Beliau merupakan penjaga ditempat petapaan
Pangeran Suryanata di Candi Agung Amuntai. Beliau menerangkan bahwa
beliau mempunyai anak yang memiliki gampiran. Gampiran maksudnya
beliau mempunyai 2 orang anak kembar yang satunya diambil oleh
makhluk halus atau roh leluhur. Dan beliau setiap malam jum’at selalu

12
Wawancara dengan Budi Rahmad, via WhatsApp tanggal 16 Maret 2021
13
Wawancara dengan Kai Sulaiman di Candi Agung Amuntai tanggal 16 Maret 2021

10
memberi seserahan berupa beberapa seserahan termasuk kopi pahit agar
anak yang diambil oleh leluhur itu dijaga dan dirawat oleh roh leluhur, dan
sebagai pengakuan bahwa beliau menganggap itu memang anaknya. Dan
dari seserahan itu juga beliau meminta agar anaknya itu membantu dirinya
jika ada masalah atau dalam keadaan sulit, dan beliau yakin anaknya itu
akan membantunya. Beliau bercerita bahwa dulu pernah sakit, lalu
memberi seserahan dan membaca do’a selamat. Dan meminta kepada roh
leluhur dan anaknya itu untuk mendo’akan serta membantu beliau agar
cepat sembuh, lalu tidak lama setelahnya beliau sembuh dari penyakitnya.
Dari seserahan itu beliau menjelaskan bahwa seserahan itu untuk memberi
makan kepada roh leluhur dan anaknya itu agar dipermudah segala urusan
dan dihindarkan dari penyakit dan hal-hal yang tidak baik. (Wawancara
dengan Siti Aisyah tanggal 16 Maret 2021 di Candi Agung Amuntai). 14
4) Sam‟ah menerangkan bahwa dia setiap malam Jumat menyediakan kopi
pahit dan kopi manis serta kembang melati dan kenanga dalam rumahnya
karena hal tersebut telah menjadi tradisi bagi keturunan Candi Agung.
Sam‟ah sering mengalami penyakit aneh, seperti tidak mau makan dan
susah tidur selama beberapa bulan lamanya. Keadaan ini sering berulang-
ulang, dan penyakit darah tinggi, serta sakit kepala berat merupakan
kebiasaannya. Namun bila disediakan kopi pahit dan kopi manis serta
kembang kenanga dan melati kemudian kain diukup/dirabun di atas
kemenyan atau dupa yang dibakar, setelah itu langsung dipakaikan kain
sarigading selengkapnya seperti selendang, baju, sarung, dan stagen, dan
penggunaan kain ini tidak terus menerus, melainkan bila mau mandi atau
shalat, maka pakaian itu dilepas sementara. Biasanya dalam waktu yang
tidak lama, dia sembuh dari penyakit itu. Dia meyakini Allah yang
menyembuhkan dan pakaian kain tersebut hanya sebagai sarana media

14
Wawancara dengan Siti Aisyah di Candi Agung Amuntai tanggal 16 Maret 2021

11
saja.(Wawancara dengan Sam‟ah, pemakai benda bertuah, 04 Oktober
2015).15
5) H. Masran penduduk kecamatan Alabio, memiliki saudara angkat didaerah
Kelua kabupaten Tabalong yang bernama H. Ja’far. H. Ja’far ini dikenal
punya hubungan kekerabatan dengan buaya jelmaan. Dengan adanya
keakraban dengan saudara angkatnya ini sehingga H. Ja’far
mempercayakan kepada H. Masran untuk memelihara buaya jelmaannya.
Sejak itulah H. Masran ini menjalin hubungan kekerabatan dengan buaya
jelmaan yang berlanjut kepada anak cucunya hingga sekarang. Menurut
Hj. Hamnah, ayahnya yang bernama H. Masran, selama hidup hingga
meninggal dunia selalu menjalin hubungan persahabatan dengan buaya
jelmaan dan selalu memberi makanan untuk buaya tersebut setahun sekali
berupa nasi ketan, telor ayam, pisang yang dimasukan ke dalam air dan
menyediakan kopi manis dan pahit dalam rumah pada malam hari.
Generasi selanjutnya juga melakukan hal yang sama, terutama apabila
datang gangguan seperti kesurupan, atau gangguan kejiwaan yang
perilakunya merayap seperti buaya.(wawancara: Husni, Banjarmasin, 05
September 2013).16
6) Teater lamut (balamut) asal-usulnya dari kesenian dundam, yaitu kesenian
bercerita dengan alat yang sama dengan lamut yaitu terbang, pendundam
duduk di sentral rumah, dengan perapian dupa dan menyan, apabila lampu
dimatikan, maka mulailah pendundam bercerita. Tentu saja pendengarnya
cuma melihat pendundam sama-samar dalam gelap. Cerita yang
dibawakan pendundam adalah dongeng-dongeng kerajaan antah berantah.
Lamut sebagai seni pertunjukkan tidak menyediakan sesajen seperti lamut
untuk upacara yang memerlukan sesajen berupa seperangkat piduduk
(lambang pembayaran hajat) kecuali perapian dupa kemenyan dan kelapa

15
Arni, Kepercayaan dan Perlakuan Masyarakat Banjar Terhadap Jimat-Jimat Penolak
Penyakit, Jurnal Studia Insania, Vol. 4, No.1, IAIN Antasari Banjarmasin, 2016, H. 43-44
16
Basrian dkk, Kepercayaan dan Perilaku Masyarakat Banjar dalam Hubungan
Kekerabatan dengan Buaya Jelmaan di Banjarmasin dan Banjarbaru, Jurnal Tashwir, Vol. 1
No.2, IAIN Antasari, 2013, H. 50,54-55

12
muda untuk sang pelamutan. Lamut dapat dipergelarkan dalam berbagai
peristiwa seperti hajatan, nazar, maupun sebagai hiburan. Sebelum lamut
dipergelarkan baik dalam kegiatan hajatan, nazar, atau hiburan biasanya
selalu didahului oleh sebuah upacara kecil yang sudah mentradisi dalam
setiap pergelaran lamut. Upacara kecil tersebut yaitu: a) Membakar
pedupaan, b) Menyediakan piduduk berupa beras ketan, kelapa, gula
merah, kopi pahit/manis, kue tradisional, rokok daun, air putih dan lain-
lain, c) Menyiapkan air kelapa muda untuk diminum pelamutan, d)
Membaca do’a selamat.17

D. Pandangan Islam terhadap Budaya Kopi Pahit

Menurut Mu’allim Daud, budaya kopi pahit ini dipengaruhi oleh


agama hindu yang dulunya merupakan agama yang ada di banjar sebelum
agama islam datang. Penyajian kopi pahit dan seserahan lainnya disetiap
acara-acara jika niat dan dasar penyajian itu untuk meminta kepada roh-roh
leluhur dan makhluk halus agar tidak mengganggu acara atau meminta
dilancarkan acara maka hukumnya telah disepakati adalah haram, dikarenakan
merupakan perbuatan syirik atau mempersekutukan Allah SWT. Meskipun
diselipkan do’a selamat saat pelaksanaannya, karena tidak boleh mencampur
adukkan antara yang haq atau kebenaran dengan kebathilan.

Namun, jika niat dan dasarnya tidak untuk meminta kepada roh leluhur
dan makhluk halus hanya sebatas mengambil faidah dari makna atau nilai
filosofi yang terkandung dari kopi pahit dan seserahan lainnya dan setelahnya
dibacakan do’a-do’a lalu di makan bersama maka hukumnya boleh. Karena
hanya ingin mengambil berkah dari makanan dan minuman yang telah
dido’akan serta mengambil pengajaran dari makna dan nilai filosofi yang

17
Agus Yulianto, Revitalisasi Kesenian Lamut di Kalimantan Selatan, Jurnal Naditira
Widya, Vol. 9, No.2, Balai Arkeologi Banjarmasin, 2015, H. 137, 139

13
terkandung dari makanan dan minuman yang disajikan pada saat acara-acara
tersebut. (Wawancara dengan Mu’allim Daud tanggal 19 Maret 2021).18

Ustadz Sabirin Noor, beliau adalah ketua PW Ruqyah Aswaja


Kalimantan selatan. Menurut beliau tradisi sesajen ini dipengaruhi dari aliran
agama terdahulu sebelum islam yang menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme lalu dipengaruhi juga dari agama hindu. Hukum dari penyajian
kopi pahit ini tergantung dari niat dan dasar dari orang yang menyajikan kopi
pahit itu. Jika niatnya untuk memberikan hidangan kepada jin atau roh-roh
leluhur maka hukumnya haram. Namun, jika niatnya untuk mengambil faidah
dan nilai atau makna yang ada pada kopi itu maka hukumnya dibolehkan.
Dengan syarat tidak ada unsur menyajikan untuk jin atau roh, tetapi dimakan
untuk mengambil berkah dari do’a-do’a yang telah dibacakan.

Dan menyikapi dari tradisi di masyarakat tentang roh-roh leluhur,


beliau berpendapat bahwa itu merupakan tipu daya syaitan. Kerena syaitan
sangat ahli dalam menipu umat manusia agar terjerumus pada kesyirikan
dengan mengaku-ngaku menjadi roh leluhur yang meminta sesajen untuk
dipenuhi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, padahal itu semua
merupakan tipu daya dan kebohongan dari syaitan. (Wawancara dengan
Ustadz Sabirin Noor tanggal 22 Maret 2021).19

Jadi, kesimpulannya adalah hukum dari penyajian kopi pahit di acara-


acara disesuaikan dengan niat dan dasar dari penyaji tersebut. Jika niatnya
meminta kepada selain Allah SWT maka hukumnya haram. Namun, jika
niatnya mengambil faidah dan berkah dari do’a-do’a dan makna serta nilai
filosofis yang ada pada makanan dan minuman itu maka hukumnya
dibolehkan.

18
Wawancara dengan Mu’allim Daud tanggal 19 Maret 2021
19
Wawancara dengan Ustadz Sabirin Noor tanggal 22 Maret 2021

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Meskipun pada umumnya masyarakat Banjar beragama Islam, namun


masih belum bisa meninggalkan adat lama yang berbau primitivisme, seperti
adanya piduduk dengan maksud agar acara tidak diganggu roh-roh halus,
demikian juga peralatan kelengkapan yang dipergunakan masih bersifat magis
primitive, seperti sesajen, piduduk dan sebagainya adalah suatu ungkapan rasa
kekhawatiran terhadap gangguan para roh leluhur mereka.

Masyarakat banjar biasanya menyajikan hidangan berupa makanan dan


minuman yang termasuk kopi pahit pada tradisi yang sudah turun temurun
dilakukan sejak dahulu. Seperti meminta perlindungan kepada roh leluhur,
meminta kesembuhan atau betatamba kepada roh leluhur, dan acara-acara adat
yang lain.

Sesajian ini dilakukan karena adanya kepercayaan masyarakat kepada


makhluk halus atau roh leluhur yang dapat membantu mereka jika terjadi hal-hal
yang buruk. Dengan sesajian itu diharapkan agar roh leluhur itu menjaga mereka
dari hal yang buruk.

Dan dalam islam hukum dari penyajian kopi pahit disesuaikan dengan niat
dan dasar dari penyaji tersebut. Jika niatnya meminta kepada selain Allah SWT
maka hukumnya haram. Namun, jika niatnya mengambil faidah dan berkah dari
do’a-do’a dan makna serta nilai filosofis yang ada pada makanan dan minuman itu
maka hukumnya dibolehkan. Dan dunia roh dengan manusia itu berbeda. Jadi,
kepercayaan dengan roh leluhur yang meminta sesajian itu tidak dapat dibenarkan
karena dalam pandangan islam itu merupakan tipu daya dan kebohongan dari
syaitan yang dapat menjerumuskan manusia pada kesyirikan.

15
B. Saran

Penyusun menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak


kekurangan dan kesalahan, dan kepada peneliti lain agar dapat menyempurnakan
penelitian ini. Dan penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran yang sifatnya membangun dengan senang
hati penyusun terima demi kesempurnaan makalah yang lebih baik dikemudian
hari.

16
DAFTAR PUSTAKA

Agus Sunyoto, 2016, Atlas Walisongo, Tangerang selatan: Pustaka IIMaN.

Agus Yulianto, 2015, Revitalisasi Kesenian Lamut di Kalimantan Selatan, Jurnal


Naditira Widya, Vol. 9, No.2, Balai Arkeologi Banjarmasin.

Arni, 2016, Kepercayaan dan Perlakuan Masyarakat Banjar Terhadap Jimat-


Jimat Penolak Penyakit, Jurnal Studia Insania, Vol. 4, No.1, IAIN Antasari
Banjarmasin.

Artikel : Ibnuabbaskendari.wordpress.com.

Basrian dkk, 2013, Kepercayaan dan Perilaku Masyarakat Banjar dalam


Hubungan Kekerabatan dengan Buaya Jelmaan di Banjarmasin dan
Banjarbaru, Jurnal Tashwir, Vol. 1 No.2, IAIN Antasari.

Dato Paduka Haji Ahmad bin Kadi,2003, Kamus Bahasa Melayu Nusantara,
Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hj. Noorthaibah, 2012, Refleksi Budaya Muslim Pada Adat Perkawinan Budaya
Banjar di kota Samarinda, Jurnal FENOMENA, Vol. IV, No. 1, STAIN
Samarinda.

https://travel.okezone.com/read/2017/08/25/406/1763410/okezone-week-end-
mitos-kopi-jadi-sesaji-budayawan-warisan-budaya-ini-percaya-leluhur-
akan-berkunjung-pada-malam-jumat.

I Ketut Wiana, 2002, Makna Upara Yajna Dalam Agama Hindu, Surabaya:
Paramita.

Kamariah, Makna Simbolik Dalam Adat Badudus Pangantin Banjar, Universitas


Negeri Surabaya.

Lucky Hendrawan dkk, Sesajen Sebagai Kitab Kehidupan, Institut Teknologi


harapan Bangsa, Bandung.

17
Wajidi, 2011, Akulturasi Budaya Banjar di Benua Halat, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher.

Wawancara dengan Budi Rahmad

Wawancara dengan Kai Sulaiman

Wawancara dengan Siti Aisyah

Wawancara dengan Mu’allim Daud

Wawancara dengan Ustadz Sabirin Noor

18

Anda mungkin juga menyukai