Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Sang Hyang Widhi Wasa, karena anugerah-Nya yang
tiada hentinya kami dapat menyelesaikan tugas makalah agama dengan tema Tanggung Jawab
Umat Beragama dalam Memajukan Budaya Hukum dan Moralitas Wasyarakat Modern. Dari
tema tersebut kami mengambil judul “Tajen, Tradisi Sabung Ayam Dalam Masyarakat Hindu”.
Kami ucapkan terima kasih juga kepada dosen mata kuliah agama Hindu kami, yaitu Ibu Dra Ni
Wayan Suarmini,M.Sc yang telah memberikan tugas dan membimbing kami dalam
menyelesaikan tugas laporan ini sehingga kami dapat lebih memahami apa yang telah diajarkan
dalam mata kuliah agama Hindu.

Makalah ini disusun sebagai tugas dan secara garis besar memuat tentang bagaimana umat
beragama, khususnya umat Hindu dalam memajukan budaya hukum dan moralitas masyarakat
di tengah-tengah kondisi zaman yang mengalami modernisasi. Selain itu, kami membahas
aspek-aspek yang terlibat dan saling ketergantungan untuk memahami kondisi dan cara
beradaptasi yang tidak melupakan latar belakang agama.

Demikian makalah ini kami susun, terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu memberikan
bahan-bahan atau referensi yang terkait sehingga membantu selesainta penyusunan makalah
ini. Disamping itu, kami juga menyadari bahwa makalh ini masih terdapat banyak kekurangan,
bahkan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan.
Terima Kasih.

Surabaya, 02 April 2014

Penulis

DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………………………………………………
…ii

DAFTAR
ISI……………………………………………………………………………………………………………..
iii

BAB I.
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………
1

1.1. LATAR BELAKANG………………………………………………………………………………..1

1.2. RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………………………….1

1.3.
TUJUAN…………………………………………………………………………………………………..1
1.4.MANFAAT……………………………………………………………………………………………….
.2

BAB II. DASAR TEORI

2.1.Sejarah “Tajen” (sabung ayam)……………………………………………………………………..2

2.1.1 Pengertian Tajen……………………………………………………………2

2.1.2 Tajen Pada Masa Lalu dan Kini…………………………………………….3


2.2 Sudut Pandang Mengenai Tajen…………………………………………………….6

2.2.1 Sudut Pandang Hindu…………………………………………………….6


2.2.2 Pandangan Sosial…………………………………………………………..7
2.2.3 Pro-Kontra Terhadap Tajen………………………………………………..8
2.2.4 Tajen dan Pembangunan Berbudaya……………………………………..10
BAB III. PEMBAHASAN
3.1 Tajen: Judi, Budaya, atau Yadnya……………………………………………….13
3.2 Tajen Menyebabkan Pergeseran Moral masyarakat……………………………..13
BAB IV. PENUTUP

4.1
Kesimpulan………………………………………………………………………………………………16

4.2 Saran………………………………………………………………………………16

DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………17

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah judi adalah masalah yang menyangkut kehidupan masyarakat (walau tidak
seluruhnya), dan jika tidak ditangani dengan serius akan dapat menimbulan berbagai masalah
spiritual, sosial, keamanan baik untuk pribadi pelaku maupun berdampak kepada lingkungan
sosial yang lebih luas.
Di Bali judian dalam bentuk sabungan ayam, sejak jaman Bali Kuno (abad ke 8 Masehi) telah
dikenal. Penjelasan tersebut dapat dijumpai dalam prasasto Sukawana A.I, berangka tahun 804
Śaka (882 M), pada prasasti itu dikenal dengan istilah “blindarah”. Pada prasastri Abang A
berangka tahun 933 Śaka (1011 M) disebutkan tiga “sehet” (makantang tlung prahatan) dan
tidak perlu minta ijin kepada pemerintah. Selanjutnya pada prasasti Batuan tahun 944 Śaka
(1022 M) disebutkan bila mengadu ayam di tempat suci, tiga sehet tidak dikenakan pajak (I
B.Purwita, 1978: 9). Namun kini di lingkungan masyarakat Bali telah terjadi pergeseran dari ritual
yang bersifat sakral, berubah menjadi judi dengan dalih “tabuh rah”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah tradisi “Tajen” masyarakat Hindu di Bali itu merupakan wujud Yadnya, Judi, atau
Budaya?
2. Bagaimana dampak dari tradisi “Tajen” tersebut terhadap moralitas masyarakat Hindu?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah tradisi “Tajen” masyarakat Hindu di Bali itu merupakan wujud
Yadnya, Judi, atau Budaya.
2. Untuk mengetahui dampak dari tradisi “Tajen” tersebut terhadap moralitas masyarakat Hindu.
1.4 Manfaat
1. Untuk penulis:
Dapat menambah pengetahuan tentang seluk- beluk tajen dalam tradisi Yadnya.

2. Untuk pembaca:
Dapat menambah wawasan pembaca tentang keberadaan tajen di masyarakat Hindu.

BAB II
DASAR TEORI
2.1 Sejarah “Tajen” (sabung ayam)
2.1.1 Pengertian Tajen
Tajen adalah suatu permainan adu ayam atau sabung ayam dengan mengikatkan taji pada kaki
ayam itu serta mengadunya, sebagai salah satu bentuk hiburan yang disertai taruhan
uang.Taruhan uang itu sendiri adalah judi atau dyuta, sedang menyebabkan matinya
ayam/mahluk utnuk kesenangan semata-mata didalam ajaran Agama Hindu dinamai Himsa
Karma yang tidak baik dilakukan oleh setiap orang yang berusaha untuk mengamalkan Dharma.
Tabuh Rah atau tabuh getih adalah taburan darah binatang utnuk persembahan
dalam upacara Agama (Panca Yadnya) sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Tattwa-
Tattwa tentang mpulutuk bebanten (sesaji) dan beberapa Prasasti Bali Kuno. Tentang Tabuh
Rah ini sesungguhnya rakyat telah memaklumi dan melaksanakan sebagaimana mestinya, akan
tetapi kadangkala pengertian Tabuh Rah disamakan saja dengan pengertian Tajen, sehingga
lama-kelamaan sukar dibedakan mana yang Tabuh Rah dan mana yang disebut Tajen.
Sabung ayam atau tajen nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Bali-Hindu. Adanya
larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi sejak tahun 1981, dimana acara tajen tak lagi
dilakukan secara terbuka di wantilan yaitu bangunan tradisonal yang umum yang terdapat di
desa. Acara tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali. Namun
Belakangan, sejak era reformasi acara tajen dilakukan untuk penggalangan dana.
Acara tajen di Bali sudah dikenal sejak zaman majapahit, konon tajen sangat dekat dengan
tradisi tabuh rah.Sehingga tajen dianggap sebuah proyeksi profan dari salah satu upacara
yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang
dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya. Upacara tabuh
rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam meneteskan darah ke
tanah.

Darah yang menetes ketanah dinggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu
pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan mengalami proses
peningkatan jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang lain dengan derajad lebih tinggi
atau manusia.

Matabuh darah binatang dengan warna merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya
judi menyabung ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan tajen
adalah , diamana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang
sekali terjadi sapih atau imbang dan menggunakan media uang sebagi taruhan . Sedangkan
tabuh rah bersifat sakral dan merupakan bangian dari persyaratan yadnya.
2.1.2 Tajen Pada Masa Lalu dan Kini
Tajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi
fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh (kelapa) dan tajen taluh (telur). Tajen
jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan
keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan
ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan
(kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain.
Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan
dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar
berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai
kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara
itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa
tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali
dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang
secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan
pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan
pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama
senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu
diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku
dalam areal pura.
Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan
umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat
dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan
dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam
menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor
kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna
itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi
unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya,
saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun
dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari
sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.

Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan
berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan,
percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang
warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa
dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan
kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan
merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan tajen acapkali diselenggarakan
oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak
individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih
memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam
penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang
disepakati.

Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak
dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan
diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang
relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin
luas, semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal
sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi
rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz
tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.

Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara
keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam
perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya
hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat
perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian
diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup
dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena
manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi
kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa
pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-
pasangan itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-
pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan
perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan
tetap belangsung.

Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki
yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan
ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis
pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada
perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan
kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan
hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan.
Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang
mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi
kelompok.

Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada
prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun
budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu
persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal
harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan
mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi
hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak
menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin
menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa
semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang
sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya
masyarakat.

2.2 Sudut Pandang Mengenai Tajen


2.2.1 Sudut Pandang Hindu
Kebenaran konteks pengertian pertaruhan dalam tajen tentunya masih dapat dilihat dan dikaji
dari berbagai pandangan selain dari sudut pandang etika sosial masyarakat Bali dan hukum
positif.sedangkan dari perspektif agama Hindu sendiri , seperti tertera dalam Manawa
Dharmasastra V.45, yaitu “Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca
mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate” artinya: “Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak
berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak
akan pernah merasakan kebahagiaan . Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak
pula mati.”
Demikian juga ketika dikembalikan pada hakikat yadnya dan tabuh rah. Di dalam tabuh rah
terkandung makna mengenai etika upacara demi menjaga kesucian yadnya. Yandnya yang
dipersembahkan secara suci untuk sebuah kesucian yang lebih hakiki. Dimana upacara yang
suci menjadi media yang berada pada realitas ambang antara yang partikular, yaitu buana alit,
yaitu jiwa kecil atau manuasia dan yang lebih universal yaitu bhuana agung atau alam semesta.

Orang Bali berprinsip harus terjadi keseimbangan diantara keduanya. Selain itu masih dalam
kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano Dyayah) sloka 221 sampai 228 dengan
jelas menyebutkan adanya larangan mengenai judi. Sloka 223 membedakan antara perjudian
dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian. Misalnya uang,
mobil, tanah dan rumah. Sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan. Misalnya,
binatang peliharaan,manusia, bahkan istri sendiri.
Seperti yang dilakukan oleh panca pandawa dalam epos Bharata Yudha ketika Dewi Drupadi
yang dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa. Selain itu dalam kitab suci Rg Veda Mandala
X. Sukta 34. Mantra 3,10 dan 13 dengan tegas melarang orang berjudi. Berjudi itu dapat
menyengsarakan keluarga. Kerjakanlah sawah ladang cukupkan serta puaskanlah penghasilan
itu. Demikian antara lain isi Mantara Veda tersebut.

Sangat jelaslah bahwa dalam ajaran Hindupun menentang keras adanya penyiksaan mahluk
hidup , yang digunakan sebagai media dalam tajen dan perjudian yang menggunakan benda
hidup maupun non hidup. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti masyarakat yang senang
berjudi namun sebaliknya memberikan masukan, bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak
sepatutnya terus dikembangkan hingga anak cucu kita dan menjadi “budaya” yang merugikat
masyarakat Bali- Hindu khususnnya.

2.2.2 Pandangan Sosial


Bila boleh menyimpulkan secara pragmatis dalam kasus tajen di Bali telah terjadi
keracunan berpikir(Jalaludin 2000:17) Argumetum ad Verecundiam yaitu beragumen dengan
menggunakan otoritas yang tidak relevan atau ambigu. Ada orang yang terkadang secara
berpihak berusaha memebenarkan paham dan kepentingannya dengan menggunakan satu
otoritas atau pembenar tertentu. Dalam kasus tajen, adat dapat diindikasikan sebagai suatu
otoritas pembenar untuk sebagi argumen bahwa tajen dapat dibenarkan.
Selain itu uang merupakan menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan tajen
masih eksis.di wilayah agama uang memiliki makna simbolik yang sangat kuat baik secara
denotatif maupun konotatif.Dalam judi tajen konteks pengertian fungsi simbolik uang tanpa
didasari alasan untuk resistensi adat dan resistensi kolektifitas mabanjar .
Dengan melihat budaya Bali termasuk tajen didalamnya yang telah melekat dihati masyarakat
sampai sekarang , tentunya merupakan sebuah budaya yang luar biasa tanpa menyalah artikan
dan maksud dari tajen tersebut. Memandang bahwa tajen adalah aset yang perlu dilestarikan
untuk menunjang pariwisata budaya tanpa menggunakan budaya tersebut sebagi ajang untuk
berjudi.

2.2.3 Pro-Kontra terhadap Tajen


Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan
masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah
tajen, yaitu sebagai berikut.

Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam
kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen
berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya
sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual
berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik
dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung
mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan
dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari
konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur
spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu
yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran
ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan ‘candu’ bagi masyarakat. Ia
hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat
berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan
menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai
orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus
dihindarkan.
Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal.
Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik
mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya
perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun
memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang
agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita
akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya
untuk memelihara jago dan mengadunya?

Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang


dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah
wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan
karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh
kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis,
sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam
kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.
Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena
pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu
memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti
terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada
bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama
artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini
menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya
sebuah permainan atau gambling?

2.2.4 Tajen dan Pembangunan Berbudaya


Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama
Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan
tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis
pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan
segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan
merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis
sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada
kita bahwa:
(1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai
cobaannya;

(2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga;

(3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun.

Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat
dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti
pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah
pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak?
Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana
dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.

Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak
mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan
terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena
itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang
harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak
mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan
kultural.

Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya
terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap
orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka
tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk
mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan
melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan
kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan
dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama)
berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh
dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan
agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu.
Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan
hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke
arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-
pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun
demikian, kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya
bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada
banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih
serius

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Tajen: Judi, Budaya atau Yadnya
Dalam perkembangannya, ritual suci tabuh rah mengalami pergeseran makna. Seni
pertarungan ayam yang seru dan mengasyikan kemudian sering di salah gunakan. Berbicara
tentang tajen dimana, merupakan metamarfosa dari tabuh rah sendiri memang sulit
dipahami apakah termasuk judi murni, budaya (adat-istiadat) atau yadya?
Banyak sekali persepsi masyarakat Bali-Hindu yang memandang bahwa tajen merupakan,
budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat Bali, dan ada juga
yang memberikan pandangan tajen merupakan persayaratan dari yadnya. Memang tidak bisa
dipungkiri dari sudut pandang berbagai kalangan masyarakat Bali mengenai tajen antara
budaya dan yadnya (agama) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lainya. Bila kita amati apabila ada upacar-upacara yadya disuatu daerah atau banjar-banjar di
Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, karena tajen merupakan bagian yang tak dapat
dipisahkan dari sebuah upacara, meskipun terkadang orientasinya bukan hanya sekedar
upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan
sebuah taruhan sebagi bumbu-bumbu untuk lebih menarik.
Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah adalah bagian
dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan (bhuta yadya). Setelah berabad-abad
dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan budaya tabuh rah mengalami pergeseran
makna dan tujuannya menjadi tajen.
Sedangkan tajen yang kita kenal di msyarakat sekarang ini adalah tajen yang bernuansa
judi dan menjadi sebuah taruhan dengan menggunakn materi atau uang, sehingga tajen yang
sekarang dilakukan masyarakat Bali merupakan perjudian murni bukan yadnya. Namun,
tajen memiliki satu-kesatuan sudut pandang dari masyarakat bahwa aktivitas tersebut
masih merupakan bagian dari yadnya dan budaya yang ada sejak terdahulu.

3.2 Tajen Menyebabkan Pergeseran Moral Masyarakat


Dari jaman dulu tajen sulit dipisahkan dari masyarakat Bali, karena selalu dikaitkan dengan
upacara agama. Tajen merupakan bagian dari acara ritual keagamaan tabuh rah atau perang
sata dalam masyarakat Hindu di Bali. Yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah
yang menetes sebagai symbol/syarat menyucikan umat manusia dari keserakahan terhadap
nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual Bhuta
Yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat
manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.
Tetapi, bagi sebagian besar orang tajen telah dijadikan sebagai media mengadu nasib untuk
mengadu keberuntungan. Tetapi banyak juga yang menjadikan tajen sebagai sarana hiburan
khususnya bagi kalangan yang berduit karena mereka ke tajen hanya untuk mencari
kesenangan saja dan sama sekali bukan untuk mencari kemenangan dalam bentuk uang. Jika
dilihat saat ini tajen tidak lagi sesuai dengan realitas jaman dulu yang menganggap tajen sebagai
sebuah ritual dalam upacara agama yang disebut dengan tabuh rah. Namun sekarang tajen
lebih identik dengan judi yang menyebabkan berbagai pergeseran moral dalam masyarakat.

Pergeseran moral yang dimaksud dalam masyarakat ini seperti, banyak masyarakat yang jatuh
miskin sampai-sampai ada yang menjual tanahnya untuk bias bermain tajen. Kejahatan seperti
perkelahian, kerusuhan, KDRT pun sering terjadi akibat adanya tajen. Seperti, yang terjadi di
masyarakat Bali saat ini, banyak para ibu rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh sang
suami. Ini disebabkan karena sang suami yang sering ke tajen mengalami kekalahan dan
akhirnya dilampiaskan di rumah terutama kepada sang istri. Pelampiasan ini dapat berupa
tekana psikologis, pemukulan dan sebagainya. Bahkan kekerasan dalam rumah tangga ini
sampai merembet ke keluarga sang istri yang tidak terima oleh perlakuan sang suami. Akhirnya
pertengkaran antar dua pihak keluarga pun bias terjadi.

Fakta lainnya, tajen menyebabkan beberapa anggota masyarakat menjual tanahnya. Namun apa
daya, uang hasil penjulan yang seharusnya dapat lebih bermanfaatmalah dihabiskan di arena
tajen. Akhirnya uang yang diharapkan bisa membuat si bebotoh 9orng yang bermain tajen)
menjadi kaya tersebut malah sebaliknya, membuat ia mengalami kemiskinan. Masalah seperti
ini, mungkin terjadi karena hobi seseorang terhadap bermain tajen yang terlalu berlebihan atau
keren aberhutang yang cukup besar kepada salah satu temannya saat bermain tajen.

Tajen juga menyebakan perkelahian atau kerusuhan antar dua kelompok banjar bahkan desa.
Ini bisa terjadi, karena masyarakat yang bermain tajen dalam satu arena tersebut bukan cuma
dri satu banjar atau desa saja bahkan dari lain banjar atau desa. Hal-hal seperti ini harus segera
disadari oleh masyarakat maupun pemerintah. Masyarakat perlu mengingat kembali bahwa
sebenarnya tajen/judi itu tidak baik bagi siapapun yang melakukannya. Karena agama manapun
tidak ada yang mengajari judi tersebut. Pemerintah pun harus segera mengantisipasi atau
membuat peraturan untuk melarang adanya tajen yang sudah kelewatan batas ini. Dengan
begitu, pergeseran moral masyarakat yang disebabkan oleh adanya tajen tersebut bisa
diminimalisir dan tidak akan ada lagi.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN:

Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh
rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya
dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah – sebuah sarana persembahan kepada
Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia.
Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari
memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.

SARAN :
Setelah membuat makalah ini diharapkan masyarakat Hindu di Bali agar memahami peran tajen
sebagai rangkaian upacara yadnya dan tidak di salah gunakan ke arah yang berbau perjudian.

DAFTAR PUSTAKA
http://kotakinformasi.wordpress.com/2011/02/13/%E2%80%9Ctajen%E2%80%9D-judi-
budaya-atau-kah-yadnya/29-04-2014
http://www.cakrawayu.org/artikel/8-guru-sukarma/62-tajen-dalam-masyarakat-
bali.html/29-04-2014
http://dharmavada.wordpress.com/2010/03/10/judi-menurut-hindu/29-04-2014
http://praptablog.blogspot.com/2011/12/tajen-menyebabkan-pergeseran-moral.html/30-
04-204
http://soulemotionoye.blogspot.com/2012/11/tajen-tabuh-rah-di-bali.html/30-04-2014

Anda mungkin juga menyukai