Anda di halaman 1dari 14

1

KEWAJIBAN IKRAR SYAHADAT ULANG


DI HADAPAN IMAM (TOKOH TERTENTU)
ITU SALAH KAPRAH
Oleh:
Ust. Hasbi Habibi ibn Achmad Djalaluddin


A. Pendahuluan
Semua manusia pada dasarnya meyakini tentang adanya Dzat yang Serba Maha
yang mengatur alam jagad raya ini. Akan tetapi kepercayaan mereka berbeda-beda.
Misalnya masyarakat Yunani Kuno yang menganut faham politeisme (mempercayai
adanya banyak dewa), nenek moyang kita yang meyakini tentang animisme dan
dinamisme, ataupun kaum ateis yang sebenarnya dalam hatinya meyakini tentang
adanya kekuatan supranatural yang lebih berkuasa daripada manusia. Al-Quran
datang sebagai mukjizat terbesar yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad,
meluruskan keyakinan itu dengan membawa ajaran tauhid.
Pondasi Islam yang pertama sebagaimana yang kita ketahui adalah syahdatain,
yakni bersaksi tiada Ilh selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Syahadat ini adalah pintu pertama agar seseorang diakui sebagai muslim. Bagi
orang yang terlahir dalam keadaan muslim dan belum terkontaminasi dengan doktrin
yang menyebabkan keluar dari fitrahnya, dimana ia memang meyakini dan mengakui
eksistensi syahadat tersebut, maka secara otomatis sudah melaksanakan pondasi
Islam yang pertama, sementara bagi muallaf, maka pengikraran syahadat menjadi
sebuah keniscayaan, entah ada saksi atau tidak (karena esensinya Allahlah yang
menjadi saksi). Keberadaan saksi dari manusia sekedar menjadi penguat untuk
mempermudah pengurusan legalitasnya secara formal sebagai seorang muslim.

B. Semua Orang pada Dasarnya Sudah Muslim
Setiap orang yang lahir ke muka bumi ini pada dasarnya adalah muslim,
sehingga tidak perlu melakukan syahadat ulang di depan imam (tokoh tertentu).
Dalam akidah Islam, tidak ada orang yang lahir dalam keadaan kafir, sebab jauh
sebelum bayi itu lahir, Allah SWT telah meminta mereka untuk berikrar tentang
masalah tauhid, yaitu mengakui bahwa Allah SWT adalah Rabbnya. Hal ini telah
ditegaskan dalam al-Quran:

/
Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
tulang sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
seraya berfirman: Bukankah Aku ini Rabb kalian? Mereka menjawab, Betul
(Engkau Rabb kami), kami bersaksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kalian tidak mengatakan, Sesungguhnya ketika itu kami lengah
terhadap (keesaan Rabb). (Q.S. Al-A'raf [7]: 172).
2

Imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi dalam Tafsir Al-Qurn al-'Adzm memberikan
penjelasan mengenai maksud ayat di atas sebagai berikut:

.
1

Allah Taala memberikan informasi bahwa Dia telah mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka seraya mengadakan persaksian atas
diri mereka bahwa Allah adalah Rabb dan Pemilik mereka, dan bahwasannya
tidak ada Ilh selain Dia. Sebagaimana Allah menjadikan hal tersebut di dalam
fitrah dan pembawaan mereka.
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa setiap manusia sebelum lahir ke muka
bumi ini pernah dimintai kesaksiannya atas keesaan Allah Taala dan mereka
menyaksikan atau mengenal-Nya dengan baik. Sehingga tidak ada alasan untuk
mengkafirkan seorang muslim karena dia tidak mengikrarkan syahadat di depan
saksi. Semua orang yang lahir ke dunia, baik dia itu muslim ataupun kafir,
pada awalnya sudah mengikrarkan syahadat dan Allah yang menjadi
saksinya, dan terus berlangsung fitrah keislamannya itu selama ia belum
ternodai dengan keyakinan agama lain. Maksud ayat tersebut diperkuat dengan
sabda Rasulullah SAW:


2

Semua anak yang dilahirkan berada dalam fitrah, lalu kedua orang tuanyalah
yang akan menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana
binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna, apakah
kamu melihat ada cacat padanya? (H.R. Bukhari).
Adapun mengenai anak yang lahir dari kaum musyrikin, Abu Ja'far Muhammad
ibn Jarir at-Tabari dalam Tafsir Ath-Thabar: Jmi'ul Bayn 'an Ta'wili Ayi al-Qurn
menjelaskan mengenai anak-anak dari orang-orang musyrik melalui periwayatan dari
Al-Aswad ibn Sari', ia berasal dari kalangan Bani Sa'd. Al-Aswad Ibn Sari'
menceritakan bahwa ia pernah ikut berperang bersama Rasulullah SAW sebanyak
empat kali. Lalu ia melanjutkan kisahnya bahwa kaum (pasukan kaum muslim)
menyerang anak-anak sesudah mereka membunuh pasukannya. Kasus ini sampailah
kepada Rasulullah SAW, maka hal itu terasa berat olehnya, lalu beliau bersabda,
Apakah gerangan yang telah terjadi pada kaum (pasukan kaum muslimin) sehingga
mereka tega menyerang anak-anak? Maka ada seorang lelaki yang berkata,
Bukankah mereka adalah anak-anak dari orang-orang musyrik, wahai Rasulullah?
Rasulullah pun menjawab melalui sabdanya:

1

2
/
3

.
3

Sesungguhnya apa alasan kalian hanya karena mereka adalah anak-anak dari
orang-orang musyrik! Ingatlah sesungguhnya tidak ada satu jiwa manusia pun
yang dilahirkan melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ia akan tetap
dalam keadaan fitrah hingga lisannya dapat berbicara. Lalu kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi atau Nasrani.

Dengan ini maka anak-anak yang beragama non-Islam juga pada dasarnya
adalah anak korban pemurtadan dari orang tuanya. Dengan kata lain, kekufuran itu
bukanlah dzat dan tabiat dari anak yang dilahirkan, namun disebabkan oleh unsur
dari luar yang telah didoktrinkan kepadanya. Sebab pada mulanya anak itu muslim
sejak dari rahim ibunya, dan lahir dalam keadaan fitrah keislaman.
Mengapa kemudian al-fithrah dalam hadits tersebut diartikan sebagai Islam?
Maka berkaitan dengan perkataan al-fithrah ini, bersamaan maknanya pada sebuah
ayat berikut:

. /
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam). Tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rm [30]: 30).
Dalam konteks ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul-Bri
mengemukakan makna al-fithrah sebagai berikut:

.
4
Menurut pendapat yang paling masyhur, sesungguhnya yang dimaksud dengan
fithrah itu adalah Islam. Ibnu Abdul Barr berkata, Inilah makna yang dikenal
di kalangan ulama salaf secara umum.
Bagi seorang muslim, setiap hari dalam menunaikan ibadah shalat (saat duduk
tasyahud) dipastikan mengucapkan ikrar syahdatain. Syahadat merupakan
perjanjian untuk berkomitmen memperjuangkan panji syahadah. Namun ada
fenomena yang terjadi di sebagian kalangan (kelompok tertentu) yang menyatakan
bahwa orang yang belum bersyahadat di depan imamnya dianggap belum sempurna

3
/
4

4

keislamannya, bahkan lebih ekstrimnya lagi dianggap masih kafir. Masalah ini
terkadang menghantui umat Islam yang belum memahami secara komprehensif
tentang suatu masalah, karena kelompok ini mengutip ayat al-Quran atau hadits
nabawi yang dialihkan maknanya untuk mendukung dan menjustifikasi pendapatnya.
Ide harus adanya syahadat ulang buat semua umat Islam, biasanya datang dari
kelompok-kelompok yang punya kepentingan tertentu. Ini adalah salah satu tuduhan
yang dihembuskan oleh jamaah-jamaah yang mengaku Islami, dengan menebarkan
keraguan bahwa syahadat kita belum sah, hanya karena kita tidak pernah
melafalkannya di depan seorang Imam atau tokoh tertentu.
Mereka kadang mengambil pernyataan Imam Ibnu Taimiyyah (atau ulama
lainnya) yang tidak dipahami secara utuh, alias memotong teks yang masih bersifat
umum untuk meligitimasi pendapatnya. Padahal Ibnu Taimiyyah dalam kitab Dar'u
Ta'rudh al-'Aqli wa an-Naqli, telah menjelaskan secara gamblang mengenai
masalah tersebut sebagaimana paparannya berikut:

.
5

Dengan ini, lebih dari satu orang pendapat (para ulama) yang mengatakan
bahwa (syahadat) adalah kewajiban yang pertama, sebagaimana yang
dikemukakan Syekh Abdul Qadir dan ulama lainnya: Kewajiban pertama bagi
yang ingin masuk pada agama kita (Islam) adalah dua kalimat syahadat. (Para
ulama) kaum Muslimin telah sepakat bahwa sesungguhnya bayi apabila
tumbuh dalam keadaan masih tetap muslim, maka tidak wajib baginya ketika
sudah menginjak balighnya memperbaharui syahadatain.
Lebih lanjutnya Imam Ibnu Taimiyyah (masih dalam kitab Dar'u Ta'rudh al-
'Aqli wa an-Naqli) mengatakan:

.
Dengan ini pula, para Imam Madzhab seperti Imam Asy-Syafii, Imam Ahmad
dan yang lainnya mengatakan, Wajib hukumnya bagi orang yang
menanggung/mengurus bayi itu memerintahkannya (apabila telah tumbuh
baligh) untuk bersuci dan shalat ketika sudah berumur tujuh tahun. Dan tidak

5


5

ada salah satu Imam pun di antara mereka yang mewajibkan terhadap
walinya untuk menyerunya pada saat tumbuh baligh agar memperbaharui
syahadatain. Karena tidak ada yang berpandangan dan mengambil dalil
serta acuan pendapat yang seperti itu, dan tidak diperintahkan
memperbaharui syahadatain tersebut setelah masa baligh.
Sebagai tambahan referensi, perhatikan ungkapan Syekh Abdullah Al-Hariri,
guru besar ilmu aqidah di Lubnan/Lebanon (w. 1429 H) dalam kitab Ash-Shirth al-
Mustaqm berikut ini:

.
6

Dan dianggap cukup syahnya Islam dengan mengucapkan (syahadatain) sekali
seumur hidup, dan tetaplah kewajiban mengucapkannya pada setiap shalat
karena itu bagian dari sahnya shalat. Yang demikian ini adalah bagi orang yang
sebelumnya bukan Islam kemudian ia bermaksud masuk pada agama Islam.
Adapun orang yang tumbuh dalam aqidah I slam dan ia meyakini terhadap
syahadatain, maka tidak menjadi syarat kewajiban mengucap ulang
syahadatain. Bahkan sebenarnya ia seorang muslim walau tidak
mengucapkan syahadatain (karena sebelumnya telah I slam).
Jadi, pada dasarnya tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk diislamkan lagi
dalam arti membaca syahadat ulang untuk menjadi seorang muslim. Padahal dalam
prinsip akidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, setiap orang itu lahir dalam
keadaan muslim. Artinya, setiap bayi lahir langsung ber-Dien Islam. Barulah
kemudian kedua orang tuanya yang akan mengajaknya kepada kekafiran, mungkin
dijadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi. Kalau mereka suatu saat mau masuk Islam,
haruslah membuat pernyataan/ikrar yang disebut dengan ikrar syahadat. Namun bila
seorang bayi lahir dari kedua orang tua yang muslim dan tumbuh dalam ideologi
Islam, sudah secara otomatis dia menjadi muslim, dan sama sekali tidak perlu
bersyahadat ulang. Yang paling penting bagaimana merefresh kesaksian atau
syahadat tersebut dalam bentuk totalitas keyakinan pada Ilahi yang diwujudkan
dengan amaliyah ibadah kita.

C. Ikrar Syahadat Ulang Di Hadapan Tokoh Tertentu
Di antara ayat yang dikaburkan maknanya oleh kelompok tertentu adalah
firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 89 dan surat Al-Isra ayat 71 dan hadits
tentang untuk melegitimasi fahamnya tentang ikrar syahadat ulang
di hadapan tokoh tertentu sebagai saksinya. Mereka menafsirkan ayat-ayat ini

6
"

"

/ -
6

dengan mempersempit maknanya. Untuk itu perlu adanya penjelasan mengenai
maksud kedua ayat ini.
1. Makna Dalam Surat An-Nahl Ayat 89
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

. /
Dan (ingatlah) pada hari ketika Kami bangkitkan pada setiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan kami datangkan engkau
(Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab al-Quran
kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim). (Q.S. An-Nahl [16]:
89).
Mengenai maksud ayat di atas, Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jmi li
Ahkmil Qurn menjelaskan sebagai berikut:

" /

"

.
Firman Allah, Dan (ingatlah) pada hari ketika Kami bangkitkan pada setiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, yang dimaksud adalah
para Nabi menjadi saksi atas umat-umatnya nanti pada hari kiamat bahwa
mereka (para Nabi) telah menyampaikan risalah dan menyeru umat-umatnya
kepada keimanan. Begitu pula pada setiap zaman itu ada yang menjadi saksi
walau sang Nabi telah tiada. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat
(menurut pakar tafsir). Pertama, mereka itu adalah para imam (para pemimpin)
pemberi petunjuk yang menjadi pengganti para Nabi. Kedua, mereka itu adalah
para ulama yang dipelihara Allah untuk menjaga keberlangsungan syariat-
syariat para Nabinya.
Jika kita cermati ayat ini, Allah SWT menjelaskan bahwa kehadiran seorang
Nabi akan menjadi saksi terhadap umatnya pada hari kiamat nanti. Nabi Muhammad
SAW menjadi saksi pula atas umatnya. Dia sendiri pada hari akhir itu menjelaskan
sikap kaumnya terhadap risalah yang dibawanya, apakah mereka iman dan taat
kepada seruannya, ataukah mereka melawan dan mendustakannya Pada hari itu pula
Allah SWT memerintahkan anggota tubuh mereka untuk memberikan kesaksian,
sebagaimana firman Allah dalam ayat lain:
7

/
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan
mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu
mereka usahakan/ kerjakan. (Q.S. Yasin [36]: 65).
Al-Quran memberikan pedoman bagi manusia mengenai jalan yang lurus dan
yang sesat, arah yang membawa kebahagiaan dan arah yang membawa kesengsaraan.
Penjelasan al-Quran kepada manusia tentang masalah-masalah agama ada yang
terperinci, ada pula yang bersifat umum. Rasul SAW menjelaskan ayat-ayat Allah
yang masih bersifat umum itu melalui sabda dalam haditsnya. Maka barangsiapa
yang membenarkan al-Quran dan mengamalkan segala petunjuk yang terdapat di
dalamnya, tentulah ia memperoleh rahmat dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Namun mengenai ayat di atas ada kelompok tertentu yang memahami ayat ini
serampangan. Ada yang memaknai kata syahdan di sini dialihkan pada makna yang
dangkal, yakni anjuran berikrar ulang syahadat di depan Imam/ tokoh tertentu
sebagai saksinya, yang merupakan tafsir dari syahdan (menurutnya). Perlu dicermati
bahwa memang dalam penafsiran surat An-Nahl ayat 89 para ulama ada yang
menafsirkan berbeda sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al-Qurthubi di
atas, namun arahnya bukan ke pengikraran syahadat di depan Imam/ tokoh tertentu
(sebagai makna syahdan). Penafsiran seperti ini jelas telah keluar dari maksud ayat.

2. Makna Dalam Surat Al-Isra Ayat 71
Allah SWT berfirman:

. /
Pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imm-nya, dan barangsiapa
yang diberikan catatan amalnya di sebelah kanannya mereka akan membaca
catatannya (dengan baik), dan mereka tidak akan dizalimi (dirugikan) sedikit
pun. (Q.S. Al-Isra [17]: 71)
Ada perbedaan pendapat tentang makna "" dalam ayat ini. Namun dari
perbedaan penafsiran ini tidak mengarah pada masalah ikrar syahadat ulang di depan
seorang imam (tokoh tertentu). Mengenai penafsiran ayat di atas, Abu Ja'far
Muhammad ibn Jarir at-Tabari dalam Tafsir Ath-Thabar: Jmi'ul Bayn 'an Ta'wili
Ayi al-Qurn memaparkan perbedaan penafsiran ayat tersebut sebagai berikut:
a. mengandung makna bersama Nabi mereka

"

"

.
Yahya ibn Thalhah al-Yarbu'i, ia berkata: telah menginformasikan kepada kami
Fudhail dari Laits yang diterima dari Mujahid ibn Jabir mengenai firman Allah
8

"Pada hari ketika Kami panggil setiap umat manusia dengan immmereka". Ia
(Mujahid ibn Jabir) berkata: maksudnya adalah dengan Nabi mereka.
b. mengandung makna bersama amal perbuatan mereka (buku catatan
amal mereka)

"

"

.
Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata: telah menginformasikan
kepada kami Yazid. Ia berkata: telah menginformasikan pula kepada kami Sa'id
dari Qatadah dari Al-Hasan al-Bashri mengenai firman Allah "Pada hari ketika
Kami panggil setiap umat manusia dengan imm mereka". Ia (al-Hasan)
berkata: Maksudnya adalah dengan amal perbuatan mereka.
Makna dengan makna amal perbuatan atau catatan amal perbuatan ini
dikuatkan oleh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi dalam Tafsr al-Qurn al-'Adzm sebagai
pendapat yang paling rajih (paling kuat), sebagaimana berikut:

"

"

.
7

Telah meriwayatkan al-'Aufi dari sahabat Ibnu Abbas mengenai maksud firman
Allah "Pada hari ketika Kami panggil setiap umat manusia dengan imm
mereka", maksudnya adalah catatan amal perbuatan mereka. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Abu Al-'Aliyah, Al-Hasan, dan Ad-Dhahak. Pendapat
inilah yang paling kuat.
Begitu pun dalam Tafsr al-Margh, Ahmad Musthafa al-Maraghi memberikan
penjelasan sebagai berikut:
{

.
8

"Pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan immmereka", maksudnya:
Aku kata Allah mengingatkan mereka pada suatu hari itu nanti, yakni pada
hari ketika Kami panggil setiap umat manusia bersama kitabnya yang berisi
catatan amal perbuatan mereka yang telah mereka kerjakannya itu.
Pendapat ini yang dianggap paling kuat, karena terdapat firman Allah SWT
dalam ayat lain:

7

8
/
9

/
Sungguh Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah
yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
(tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam buku catatan yang
jelas (imamn mubn). (Q.S. Yasin [36]: 12).
Allah SWT pun berfirman:

. /
Dan (pada hari itu) engkau akan melihat setiap umat berlutut. Setiap umat
dipanggil untukk melihat buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi
balasan atas apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Al-Jatsiyah [45]: 28).
Dalam ayat lain Allah SWT pun berfirman:

. /
Dan diletakkan kitab (catatan amal perbuatan), lalu engkau akan melihat orang
yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan
mereka berkata, Betapa celaka kami, catatan kitab apakah ini; tidak ada yang
tertinggal, baik yang kecil maupun yang besar melainkan tercatat semuanya,
dan mereka dapati semua apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan
Rabbmu tidak menzalimi (merugikan) seorang jua pun. (Q.S. Al-Kahfi [18]: 49).
Dengan demikian, maka ditinjau dari konteks ayat 71 dalam surat al-Isra bukan
menyuruh untukkk mengikrarkan dua kalimat syahadat di depan imam. Sungguh
jauh panggang dari api jika ayat tersebut dijadikan dalil harus ikrar syahadatain
secara resmi di hadapan imam (tokoh tertentu). Hal ini jelas bahwa doktrin dari
jamaah tertentu punya interes tersendiri ketika mengharuskan setiap orang walau
sudah muslim bersyahadat ulang di hadapan dirinya. Padalah 14 abad lamanya
berjalan syariat Islam di muka bumi ini tidak ada ulama yang mewajibkan ikrar
syahadat di depan imam.
Pada saat Nabi masih ada, setiap kali ada orang yang masuk Islam, beliau
meminta mereka melakukan persaksian dengan melafadzkan syahadatain sebagai
tanda bahwa mulai saat itu dia sudah pindah agama dan menjadi pemeluk Islam.
Pengucapan ini dilakukan untukkk menegaskan bahwa seseorang sudah pindah
agama dari agama selain Islam menjadi beragama Islam.
Selanjutnya anak-anak para sahabat Nabi, para tabi'in, dan anak-anak para ulama
salaf tidak ada yang melakukan proses syahadat ulang di hadapan saksi sebab dalam
kehidupan sehari-harinya semua ciri dan perilakunya sudah menunjukkan sebagai
10

seorang muslim dan ideologi keislamannya belum terkontaminasi dengan ajaran
agama lain sampai mereka dewasa.

c. Makna Dalam Hadits
Dalam kitab Al-Jmi' ash-Shahh li al-Bukhri terdapat riwayat hadits yang
diterima dari sahabat Ibnu Umar sebagai berikut:

.
9

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Aku
diperintahkan untukkk membalas serangan terhadap segenap orang hingga
mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang patut disembah kecuali Allah dan
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan
menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian, maka mereka telah
memelihara darah dan harta mereka dariku (untukkk tidak diserang balik),
kecuali dengan haq Islam (aturan Islam) dan perhitungan mereka ada pada
Allah." (H.R. Bukhari)
Dalam riwayat lain, Imam Bukhari dalam kitab Al-Jmi' ash-Shahh li al-
Bukhri menyebutkan periwayatan dari sahabat Abu Hurairah sebagai berikut:

.
10

Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Aku diperintahkan untukkk
membalas serangan terhadap segenap orang hingga mereka mengucapkan Laa
ilaaha illallah (tidak ada ilah yang patut disembah kecuali Allah). Maka
barang siapa yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah, sungguh telah
terlindung jiwa dan hartanya dariku (untukkk tidak diserang balik) kecuali
dengan haqnya dan perhitunganya diserahkan kepada Allah". (H.R. Bukhari).
Dalam hadits tersebut dinyatakan, Aku diperintah untukkk memerangi
manusia. Manusia yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah orang-orang
musyrik (bukan sembarang manusia bukan orang yang telah mengamalkan ajaran
Islam), sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits lain dalam As-Sunan al-Kubr li
An-Nasi sebagai berikut:

9
/ -
10
/ - .
11

" /

."
11

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau bersabda:
"Aku diperintahkan untukkk membalas serangan kaum musyrikin hingga mereka
bersaksi bahwa tiada Ilah yang patut disembah kecuali hanya Allah dan
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Jika mereka bersaksi
bahwa tiada Ilah yang patut disembah kecuali hanya Allah dan bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, mereka shalat sama seperti shalat
kita, menghadap kiblat kita, makan hewan sembelihan kita, maka darah dan
harta mereka haram atas kita (dilarang diserang) kecuali dengan ketentuan
yang haq." (H.R. An-Nasai).
Dalam Sunan Ab Dwud juga meriwayatkan maknanya:

.
12

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Aku diperintahkan untukkk membalas serangan orang-orang musyrik...
yang redaksi selanjutnya seperti makna hadits tersebut.
Pada saat hadits ini disabdakan Nabi, kaum Muslimin diperintah untukkk
bersikap sabar dan menahan diri untukkk tidak berperang. Secara bertahap
kemampuan bertambah, hingga mereka diperintah untukkk memerangi pihak-pihak
yang memerangi mereka saja. Dengan kata lain, jika tidak memerangi, jangan
diperangi. Bahkan terhadap orang-orang musyrik/kafir pun jika mereka masuk ke
wilayah kaum muslimin dengan meminta jaminan keamanan maka jangan sekali-kali
kita menyerangnya, sebagaimana firman Allah:

. /
Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkan

11
/ -
12
" " /
12

dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka
kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. Taubah [9]: 6).
Selanjutnya, perhatikan khutbah Rasulullah SAW pada saat Haji Wada
mengenai kemulyaan kaum muslimin, sebagaimana yang termaktub dalam kitab
Shahh Muslm yang diriwayatakan dari Abdurrahman bin Abu Bakrah dari ayahnya
berikut ini:

.
13
Di hari itu (saat Haji Wada) beliau pernah duduk di atas keledainya, lalu ada
seseorang yang memegang tali kekangnya, beliau bersabda: "Tahukah kalian,
hari apakah ini?" mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih
mengetahui." Hingga kami semua mengira bahwa beliau akan menyebutnya
dengan nama yang lain, lalu beliau bersabda: "Tidakkah hari ini adalah hari
nahr (hari qurban)?" mereka menjawab, "Benar wahai Rasulullah." Beliau
bertanya lagi: "Bulan apakah ini?" mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya
yang lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Tidakkah sekarang bulan
Dzulhijjah?" kami menjawab, "Benar wahai Rasulullah." Kemudian beliau
bertanya: "Negeri apakah ini?" kami menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih
tahu." Abu Bakrah melanjutkan periwayatannya, "Hingga kami menduga bahwa
beliau akan menyebutnya dengan selain namanya." Beliau bersabda: "Bukankah
ini Baldah (negeri Mekkah)?" Kami menjawab, "Benar wahai Rasulullah."
Nabi bersabda: "Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian dan
kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian, seperti haramnya hari
kalian sekarang ini, dan di bulan ini, juga di negeri kalian ini. Hendaknya
orang yang hadir pada saat ini menyampaikan kepada orang yang tidak hadir!"
Abu Bakrah melanjutkan periwayatannya, "Kemudian Nabi pergi menuju
(tempat penyembelihan) dua ekor domba putih, dan menyembelihnya. Setelah itu

13
/
13

beliau menuju beberapa ekor kambing dan membagikannya kepada kami." (H.R.
Muslim).
Dalam konteks ini, darah saudara muslim adalah haram bagi kita. Kita tidak
boleh melukainya, menyerangnya atau bahkan membunuhnya. Kehormatan saudara
muslim adalah haram bagi kita, karena itu tidak boleh kita mencaci, mengejek,
memfitnah, atau ghibah terhadap sesama kaum muslimin. Ini adalah hukum asal
sikap terhadap sesama muslim. Hukum asal ini akan berubah sesuai dengan yang
diatur dalam syariat Islam (hak Islam), misalnya: seorang muslim secara asal
darahnya haram ditumpahkan, namun jika ia membunuh muslim lain secara sengaja,
maka ia berhak untukkk mendapat qishosh (dibunuh juga) kecuali dimaafkan oleh
ahli waris pihak terbunuh. Bgeitu pula jika seorang muslim yang telah menikah
terbukti berzina dengan terpenuhi empat saksi yang melihatnya, maka ia dirajam.
Begitu pula orang yang murtad. Sebagaimana sabda Nabi dalam kitab Al-Jmi' ash-
Shahh li al-Bukhri dan kitab Shahh Muslm sebagai berikut:

.
14

Diriwayatkan dari sahabat Abdullah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: "Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada
ilah yang berhak untukkk disembah selain Allah dan bersaksi bahwa aku
(Muhammad) adalah utusan Allah, kecuali karena alasan di antara tiga, yakni
seseorang yang membunuh orang lain, seseorang yang telah menikah berzina,
dan orang yang keluar dari agamanya (agama Islam), memisahkan diri dari
kelompok kaum muslimin (murtad)." (H.R. Bukhari & Muslim).
Rasulullah SAW acapkali menganjurkan para sahabat untuk memperbaharui
keimanan, bukan mengulangi ikrar syahadat sebagaimana yang dipahami kalangan
tertentu. Karena ikrar dengan membaca syahadat ulang di hadapan imam/ tokoh
tertentu konsekuensinya adalah mencap orang di luar kelompoknya/jamaahnya
sebagai orang yang belum sempurna keislamannya, bahkan dianggap masih kafir.
Syahadat itu tidak disyaratkan harus dilakukan di depan imam atau tokoh
tertentu. Bahkan tanpa adanya para saksi pun syahadat itu sudah sah dan dia sudah
menjadi muslim dengan sendirinya. Adapun syahadat itu harus disaksikan oleh orang
lain, sama sekali bukan merupakan syarat sahnya syahadat itu sendiri. Meski banyak
para Sahabat Nabi SAW ketika masuk Islam yang datang menemui beliau, bukan
berarti syarat masuk Islam itu harus berikrar di muka orang lain. Tindakan mereka
sekedar menegaskan secara formal bahwa dirinya sudah masuk Islam, serta
menyatakan ikrar untuk membela dan memperjuangkan agama Allah SWT.

D. Kesimpulan

14
/ -
/
14

Syahadat adalah ikrar keislaman seseorang ketika seseorang ingin memasuki
agama Islam. Sedangkan bagi yang sudah terlahir dari keluarga muslim dan tetap
dalam konsistensi keislamannya, maka tidak ada kewajiban untuk melaksanakan
ikrar syahadat ulang ketika sudah baligh. Dalam akidah Islam tidak dikenal perintah
yang mewajibkan seseorang melakukan syahadat ulang selama ia tidak pernah
murtad atau keluar dari agama Islam. Kalaupun diucapkan, maka sifatnya termasuk
dzikir. Yang ada adalah mendalami, memahami dan mengamalkan apa yang menjadi
kensekuensi dari keislaman kita. Orang yang yang membatalkan keislaman yang
sudah dianutnya adalah kafir. Pembatalan keislaman itu secara umum dikarenakan
dua hal, yakni: 1) tidak mengimani Allah dan Rasulnya, dan 2) mengingkari seluruh
atau sebagian hukum Islam.
Pengucapan ikrar syahadat ketika harus disaksikan oleh orang lain, sama sekali
bukan merupakan syarat sahnya syahadat itu sendiri. Meski banyak para sahabat
Nabi SAW ketika masuk Islam yang datang menemui beliau lalu mengucapkan
lafadz syahadatain, bukan berarti syarat masuk Islam itu harus berikrar di muka
orang lain. Tindakan mereka sebenarnya hanya sekedar menegaskan secara formal
bahwa dirinya sudah masuk Islam, serta menyatakan ikrar untuk membela dan
memperjuangkan agama Allah SWT.
Semoga dapat memberikan pencerahan. Wallhu a'lam bi ash-shawb.

Anda mungkin juga menyukai