Anda di halaman 1dari 400

B

U
K
U
II

MATERI
MUSYAWARAH NASIONAL
TARJIH MUHAMMADIYAH XXXI

Mewujudkan Nilai-nilai Keislaman


yang Maju dan Mencerahkan

Majelis Tarjih dan Tajdid


Pimpinan Pusat Muhammadiyah
1442 H / 2020 M
ii

BUKU II MATERI
MUSYAWARAH NASIONAL TARJIH MUHAMMADIYAH XXXI
 RISALAH AKHLAK ISLAM FILOSOFIS
 FIKIH ZAKAT KONTEMPORER
 TERMINASI HIDUP, PERAWATAN PALIATIF DAN
PENYANTUNAN KAUM SENIOR

------------------------------------------------------------------------------

Diterbitkan Oleh : Panitia Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI

Disusun Oleh : Tim Penyusun Materi Munas Tarjih Muhammadiyah XXXI


Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tata Letak : Amirudin, S.Ag.

Pra Cetak : Ramadhoni Adyatama, S.E.I.

Yogyakarta, Rabiulakhir 1442 H / November 2020 M

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


iii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI iii

BAGIAN I : RISALAH AKHLAK ISLAM FILOSOFIS 1

BAB I : Pendahuluan 3

A. Latar Belakang 3
B. Akhlak Dalam Muhammadiyah 9
C. Metodologi 12
D. Sistematika 14

BAB II : Konsep Akhlak 16

A. Pengertian Akhlak 16
1. Pengertian tentang “Konsep” 16
2. Pengertian tentang “Akhlak” 17
B. Bangunan Akhlak 21
1. Living Akhlak 21
2. Teoretisasi Akhlak 21
C. Pembagian Akhlak 25
1. Aspek Tujuan 25
2. Aspek Sasaran dan Implementasi 26
3. Aspek Sistematisasi Konsep 27

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


iv

D. Konsep Akhlak dan Konsep Lain Terkait Perilaku Baik


dan Buruk 34
1. Berbasis Norma Kefilsafatan 35
2. Berbasis Norma Adat 36

BAB III : Manusia sebagai Ciptaan Allah 39

A. Penciptaan Manusia 39
1. Asal Penciptaan 39
2. Tujuan Penciptaan Manusia 45
3. Kedudukan Manusia di Bumi 47
B. Kodrat-Kodrat Manusia 53
1. Kodrat Wujud 53
2. Kodrat Potensi 55
3. Kodrat Kedirian dan Keberadaan 60
C. Indra Batin Manusia 61
1. Ṣadr 67
2. Qalb 69
3. Fuad 72
4. Lubb 75
D. Pendidikan Qalb 77

BAB IV : Tujuan Hidup Manusia 79

A. Manusia dan Keberadaannya 79


B. Islam dan Perjalanan Hidup Manusia 83

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


v

1. Tujuan Eskatologis 85
2. Tujuan Spiritual 87
3. Tujuan Etis 88
C. Ihsān sebagai Tindakan untuk Menjadi Ada (Zu Sein) 90

BAB V : Peran dan Tanggung Jawab Manusia 94

A. Peran dan Tanggung Jawab sebagai Pribadi 98


1. Kesadaran Moral untuk Senantiasa Bersyukur atas Semua
Nikmat Pemberian Allah swt. 101
2. Kesadaran Moral untuk Senantiasa Menyucikan Jiwanya 102
3. Kesadaran Moral Untuk Menahan Diri dari Golongan
Hawa Nafsu Karena Takut Akan Kebesaran Allah swt. 103
4. Kesadaran Moral Untuk Menegakan Keadilan dan
Menjadi Saksi Karena Allah swt. 103
5. Kesadaran Moral untuk Menjaga Ketakwaan dengan
Berani Berkata Benar dan Hidup Bergaul dengan
Orang-orang yang Benar 103
6. Kesadaran Moral untuk Bersikap Rendah Hati dan Tidak
Sombong 104
7. Kesadaran Moral untuk Bersikap Rendah Hati dan Tidak
Sombong 104
8. Kesadaran Moral untuk Bersikap Sabar, Dapat Menahan
Amarah dan Mau Memaafkan Kesalahan Orang Lain 105
9. Kesadaran Moral untuk Menuntut Ilmu dan Menambah
Pengetahuan dengan selalu mempergunakan akal yang
telah dianugerahkan oleh Allah swt. 105

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


vi

B. Peran dan Tanggung Jawab sebagai Hamba Allah 106


1. Kesadaran moral untuk selalu berbaik sangka
kepada Allah 108
2. Kesadaran moral untuk selalu bertasbih dan mengingat
Allah swt sehingga hatinya menjadi tenang dan tenteram 109
3. Kesadaran moral untuk senantiasa taat beribadah dan
bertawakkal kepada Allah swt, termasuk kesadaran
bahwa hanya Allahlah yang dapat menyembuhkan
semua penyakit 109
4. Kesadaran moral untuk bertaubat dan memohon
ampunan kepada Allah swt. 110
C. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Anggota Keluarga 110
1. Kesadaran moral untuk taat kepada kedua orang tua dan
larangan untuk membentak mereka 111
2. Kesadaran moral untuk memelihara anak dan larangan
takut miskin 112
3. Kesadaran moral untuk menolak ajakan orang tua untuk
melakukan semua perbuatan yang dilarang oleh
Allah swt. 113
4. Kesadaran moral untuk selalu ingat akan betapa susah
payahnya sang ibu dalam mengandung dan melahirkan
anak-anaknya 114
5. Kesadaran moral bahwa istri dan anak-anak merupakan
perhiasan dunia dan cobaan dari Allah swt 114
6. Kesadaran moral atas pesan-pesan Lukman yang sangat
bermakna, di antaranya yaitu: bahwa Allah swt akan
membalas setiap perbuatan kita, tidak mengabaikan
perintah sholat, menegakkan amar makruf nahi munkar,
dan larangan untuk bersikap angkuh 115

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


vii

D. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Anggota Keluarga 116


1. Kesadaran moral untuk menjalin silaturahim 117
2. Kesadaran moral untuk menyantuni anak yatim dan orang
miskin 118
3. Kesadaran moral untuk tidak bertindak sewenang-
wenang, tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini
dan tidak berlebih-lebihan karena takut akan balasan
dan laknat Allah 118
4. Kesadaran moral untuk memakmurkan bumi 119
E. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Warga Masyarakat 120
1. Kesadaran moral untuk memelihara kehidupan dan tidak
membunuh orang lain 121
2. Kesadaran moral untuk menafkahkan harta di jalan Allah
swt dan berkata yang baik 121
3. Kesadaran moral untuk memohon izin jika akan
memasuki rumah orang lain 122
F. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Warga Negara 123
1. Kesadaran moral untuk melakukan amar makruf nahi
munkar 124
2. Kesadaran moral untuk menghindari sikap durhaka dan
melampaui batas 126
3. Kesadaran moral untuk kembali kepada seruan al-Quran
dan Sunnah dan balasan bagi orang-orang yang berbuat
zalim 126
G. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Warga Dunia 127
1. Kesadaran moral akan pentingnya mewujudkan
perdamaian (iṣlah) dan menjaga persaudaraan 128

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


viii

2. Kesadaran moral untuk menjaga kelestarian alam dengan


tidak membuat kerusakan di muka bumi ini 129
3. Kesadaran moral untuk berbuat baik dan membuat
rencana terbaik untuk mewujudkan perbaikan-perbaikan 129

Bab VI: Nilai-nilai Kehidupan Manusia 130

A. Landasan Nilai Dalam Kehidupan Manusia 130


B. Pengertian Nilai (Value) 132
C. Pasangan-pasangan Nilai 135
D. Jenjang (Hirarki Nilai) 138
1. Nilai-nilai Kesenangan dan Kenikmatan 139
2. Nilai-nilai Vital atau Kehidupan 140
3. Nilai-nilai Kerohanian dan Kejiwaan 141
4. Nilai-nilai Kekudusan atau Transendental 141
E. Manfaat Nilai Dalam Kehidupan Manusia 143

Bab VII: Kebaikan dan Keburukan: Konsep, Tolok Ukur, dan


Sumber 146

A. Faḍīlah dan Rażīlah 146


B. Birr dan Fujur 147
C. Khair dan Syarr 152
D. Ḥasanah dan Sayyi’ah 154
E. Ma‘rūf dan Munkar 157
F. Ṣalāḥ dan Fasad 159

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


ix

Bab VIII: Kesadaran tentang Akhlak 161

A. Pendahuluan 161
B. Akhlak Agung Rasulullah saw. 162
C. Hirarki Ilmu dan Kesadaran tentang Akhlak 165
D. Kesadaran tentang Akhlak Harus Berfungsi di Ruang Publik 168
E. Ilham Fujūr dan Taqwa 171
F. Konflik Nilai: Kebaikan vs Keburukan 174
G. Ulul Albāb: Pemenang dalam Pertarungan Nilai 176
H. Tadabbur dan Tażakkur 180

Bab IX: Rangkuman 188

Daftar Pustaka 191

BAGIAN II : FIKIH ZAKAT KONTEMPORER 195

BAB I : Pendahuluan 197

A. Latar Belakang 197


B. Metodologi 207

BAB II : Konsep Zakat 209

A. Makna Zakat 209


1. Menurut Bahasa (Lugat) 209

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


x

2. Menurut Istilah (Syarā’) 209


B. Beberapa Kata yang Berarti Zakat dalam Al-Qur’an 209
1. Zakat 209
2. Shadaqah 209
3. Ḥaq 210
4. Infaq 210
C. Hikmah Zakat 210
D. Status, Kedudukan, dan Dalil-dalil Wajib Zakat 212
1. Status Zakat 212
2. Kedudukan Zakat 212
3. Dalil-Dalil Wajib Zakat 213
E. Macam-macam Zakat 215
1. Zakat Māl (Harta) 216
2. Zakat Nafs (Jiwa), juga Disebut Zakat Fitri 216
F. Syarat-Syarat bagi Orang yang Wajib Zakat 216
1. Mukmin dan Muslim 216
2. Berakal 217
3. Kepemilikan Sempurna (al-Milk al-Tām) 217
4. Memiliki Harta yang Mencapai Niṣāb 217

BAB III : Nilai Dasar dan Prinsip Zakat dalam Ajaran Islam 218

A. Nilai-Nilai Dasar Islam Tekait Zakat 219


1. Allah Adalah Pemilik Hakiki Harta Kekayaan 220
2. Allah Mendelegasikan Pengelolaan Harta kepada Manusia 221

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


xi

3. Manusia Mempunyai Kepemilikan Nisbi atas Harta 222


4. Nilai Dasar Keadilan 223
5. Nilai Dasar Persaudaraan 223
6. Nilai Dasar Kemaslahatan 224
B. Prinsip-prinsip Zakat 224
1. Prinsip Imperatif 225
2. Prinsip Keadilan Distributif Terkoreksi 225
3. Prinsip Kelenturan Tafsir 226
4. Prinsip Pemberdayaan 226
5. Prinsip Kepastian Hukum Syariah 227

BAB IV : Harta yang Wajib Dizakati 228

A. Hasil Kerja-Usaha yang Baik (Ṭayyibāt Mā Kasabtum) 228


1. Perdagangan 228
2. Peternakan 234
3. Perusahaan 237
4. Surat-Surat Berharga 249
a. Saham 249
b. Obligasi Syariah/Sukuk 250
c. Premi Asuransi 251
5. Profesi 253
6. Sewa-Menyewa 258
B. Hasil Pengelolaan Sumber Daya Alam (Mā Akhrajnā Lakum
min al-Arḍ) 260

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


xii

1. Pertanian 260
2. Perkebunan 269
3. Perikanan 271
4. Kehutanan 272
5. Pertambangan 273
6. Rikaz 273
C. Harta Simpanan (al- Żahab wa al-Fiḍḍah) 275
1. Zakat Simpanan Emas dan Perak 276
2. Zakat Uang 278
3. Zakat Simpanan Tanah dan atau Bangunan 279
4. Penggabungan Zakat Seluruh Harta Simpanan 280

BAB V : Zakat Fitri, Infaq dan Shadaqah 281

A. Zakat Fitri 281


1. Pengertian Zakat Fitri 281
2. Dalil Wajibnya Membayar Zakat Fitri 281
3. Harta yang Dibayarkan untuk Zakat dan Kadarnya 282
a. Makanan Pokok dan Kadarnya 282
b. Harga Makanan Pokok 283
4. Orang yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitri 283
5. Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitri 284
6. Waktu Pelaksanaan Zakat Fitri 285
a. Waktu Pembayaran atau Penarikan 285
b. Waktu Pembagian 286

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


xiii

7. Pembaruan Distribusi Zakat Fitri 288


B. Infaq 292
1. Pengertian Infaq 292
2. Pahala dan Keutamaan Infaq 292
3. Hukum Infaq 293
C. Shadaqah 294
1. Pengertian Shadaqah 294
2. Perbedaan Shadaqah dan Zakat 294
a. Dari segi subjek (orang yang bershadaqah) 295
b. Dari segi yang dishadaqahkan 295
c. Dari segi penerima (objeknya) 295
3. Benda yang dishadaqahkan 296

Bab VI: Aṣnāf-aṣnāf Mustahik Zakat 297

A. Mustahik Individu/Lembaga 300


1. Orang-Orang Fakir (al-Fuqarā’) 300
2. Orang-Orang Miskin (al-Masākin) 303
3. Pengelola Zakat/Amil (al-‘Āmilīn ‘alaihā) 305
4. Muallaf (al-Mu’allafāt Qulūbuhum) 306
5. Orang-orang yang memiliki utang (al-Gārimīn) 308
6. Ibnu Sabil 309
B. Mustahik Publik 311
1. Riqab 311
2. Sabilillah 313

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


xiv

Bab VII: Permasalah Terkait Zakat 315

A. Administrasi Zakat 315


1. Landasan Hukum 315
2. Prinsip-prinsip Manajemen Zakat 317
3. Struktur Organisasi 318
4. Personalia (Sumber Daya Insani – SDI) 321
5. Akuntansi 322
6. Auditing 326
B. Amil Zakat 328
1. Pengertian, Kedudukan dan Legalitas Amil 329
2. Syarat Amil 332
a. Muslim 332
b. Mukallaf dan cerdas 333
c. Jujur 333
d. Paham ketentuan dan hukum zakat 333
e. Kemampuan melaksanakan tugas 333
3. Keabsahan Zakat Melalui Amil 334
4. Upah Amil 336
5. Kelayakan Upah Amil 337
6. Amil Haram Menerima Hadiah 338
7. Amil Harus Sopan dan Cerdas 338
8. Amil Mendoakan Muzaki 339
C. Penyaluran Zakat 341
1. Zakat Produktif 341

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


xv

2. Memodalkan Zakat Fitri 344

Daftar Pustaka 348

BAGIAN III : TERMINASI HIDUP, PERAWATAN PALIATIF


DAN PENYANTUNAN KAUM SENIOR 353

A. Latar Belakang Permasalahan 355


B. Definisi Terminasi Hidup 359
C. Norma-norma Syariah (Agama Islam) 363
D. Ketentuan Hukum Eutanasia 369
E. Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior 370
F. Kesimpulan dan Saran 378

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


xvi

Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI


MATERI
MUSYAWARAH NASIONAL
TARJIH MUHAMMADIYAH XXXI

RISALAH AKHLAK ISLAM


FILOSOFIS

Majelis Tarjih dan Tajdid


Pimpinan Pusat Muhammadiyah
1442 H / 2020 M
2

MATERI
MUSYAWARAH NASIONAL TARJIH MUHAMMADIYAH XXXI
RISALAH AKHLAK ISLAM FILOSOFIS

------------------------------------------------------------------------------

Diterbitkan Oleh : Panitia Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI

Disusun Oleh : Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tim Penyusun : 1. Dr. Hamim Ilyas M.A.


2. Dr. Ustadi Hamzah, M. Ag.
3. Dr. Rizal Mustansyir, M. Hum.
4. Dr. M. Damami Zain, M. Ag.
5. Dr. Robby H. Abror, M. Hum.
6. Dr. Aris Fauzan, M.A.
7. Dr. Izza Rohman, M.A.
8. Piet H. Khaidir, M.A.

Penyunting : 1. Qaem Aulassyahied, S.Th.I. M.Ag.


2. Ayub, S.Pd.I. M.A.
3. Amirudin, S.Ag.

Yogyakarta, Rabiulakhir 1442 H / November 2020 M

Risalah Akhlak Islam Filosofis


3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam al-Anbiyā, 21: 107 Allah menegaskan bahwa Islam adalah
agama rahmat bagi seluruh alam, raḥmatan (raḥmah) lil-‘ālamīn.
Raḥmah ialah rīqqah taqtaḍī al-iḥsān ilā al-marḥūm, perasaan lembut
(cinta) yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang
dikasihi. Berdasarkan pengertian ini maka Islam diwahyukan Allah
kepada Nabi Muhammad untuk mewujudkan kebaikan nyata bagi seluruh
makhluk Allah. Kebaikan nyata dalam pengertian yang paling luas adalah
hidup baik yang dalam al-Naḥl, 16: 97 disebut ḥayāh ṭayyibah. Dalam al-
Quran ada beberapa ayat yang menyebutkan tiga indikator hidup baik: 1)
lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera-sejahteranya/ al-
rafāhiyyah kulluhā); wa lā khaufun ‘alaihim (damai sedamai-
damainya/al-salāmu kulluhā); 3) dan wa lā hum yaḥzanūn (bahagia
sebahagia-bahagianya/al-sa‘ādah kulluhā) di dunia dan di akhirat.
Nabi Muhammad SAW sangat menghayati kerasulannya untuk
mewujudkan rahmah Allah dalam kehidupan nyata itu. Dalam beberapa
hadis secara khusus dan eksplisit beliau menjelaskan tujuan dan beberapa
tugas kenabiannya. Sesuai dengan al-Anbiyā’, 21: 107 dalam sebuah
hadis beliau menyatakan:
َ َّ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ
َ ‫الل ِه ْاد ُع َع َلى ْاْلُ ْشر ِك َين َق‬
‫ال ِإ ِني ل ْم‬ ِ ‫ال ِقيل يا رسول‬ َ ‫عن أ ِبي هريرة ق‬
ً ْ َ ْ ُ
‫أ ْب َعث ل َّع ًانا َوِإ َّن َما ُب ِعث ُت َر ْح َم َة‬
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, disampaikan kepada Nabi, wahai
Rasulullah berdoalah agar orang-orang musyrik ditimpa keburukan.
Rasulullah menjawab: Sesungguhnya aku tidak diutus untuk menjadi
pelaknat. Aku diutus untuk menjadi rahmat [H.R. Muslim].

Risalah Akhlak Islam Filosofis


4

Berdasarkan pembacaan yang utuh terhadap hadis-hadis tentang


tugas kenabian, dapat dinyatakan bahwa hadis ini di satu sisi
merupakan pernyataan tentang tujuan kenabiannya untuk mewujudkan
kebaikan nyata. Di sisi lain hadis itu merupakan pernyataan tentang
tugas kenabiannya yang sentral untuk mewujudkan kebaikan nyata.
Tujuan dan tugas kenabian sentral ini dapat terwujud dan terlaksana
dengan pelaksanaan lima tugas kenabian instrumental yang lain:
Pertama, menyempurnakan sistem nilai (akhlak karimah)1
َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ
ُ‫الل ُه َع َل ْيه َو َس َّل َم إ َّن َما ُبع ْثت‬
ِ ِ ِ ‫ال قال رسول الل ِه صلى‬
َ ‫عن أ ِبي هريرة ق‬
ََْْ َ ‫ُِل َتم َم‬
َ ِ ‫ص ِال َح ْلاخَل‬
‫ق‬ ِ ِ
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah bersabda: Aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang membangun [H.R. Aḥmad].
Tugas kenabian menyempurnakan akhlak dalam hadis itu
diungkapkan dengan utammima, dibentuk dari tamām yang berarti
lengkap bagian-bagiannya. Akhlak yang lengkap bagian-bagiannya
tidak hanya berhubungan dengan kebaikan-kebaikan yang harus
dilakukan, tetapi juga berhubungan dengan nilai-nilai yang mendukung
pelaksanaan kebaikan-kebaikan tersebut oleh seseorang. Nilai-nilai itu
meliputi tujuan hidup, orientasi hidup, cita-cita hidup, komitmen hidup
dan kesetiaan dalam hidup. Dalam al-Quran dan hadis terdapat
penjelasan tentang nilai-nilai yang menjadi sistem nilai yang diajarkan
Islam ini. Penjelasan itu merupakan keniscayaan karena kebaikan

1
Hadis yang dijadikan rujukan dalam uraian ini adalah hadis riwayat Imam
Ahmad. Redaksi matannya berbeda dari yang masyhur (populer) di kalangan umat
(innamā bu‘iṡtu li utammima makārima al-akhlāq). Sementara ini belum ditemukan
sumber dari hadis yang populer di kalangan mereka tersebut. Hal ini karena yang
ditemukan dalam kitab hadis rujukan, yakni al-Mu’jam al-Ausaṭ, karya al-Ṭabrānī adalah
matan berikut: َ
َ َ َ َ َْ ْ َ َّ َّ َ ُ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َّ ْ َ ْ َ ْ َ
‫اس ِن‬
ِ ‫ وك م ِال م ح‬، ‫مكارم ْلاخ َل ِق‬
ِ ‫َ ِإ َّن الل َه َب َع ث ِن ي ِب َت َم ِام‬:َ‫هللا َع ل ْي ِه َو َس ل َم‬ ‫صلى‬ ‫َق ال رس ول الل ِه‬:َ‫ع ن ج ِاب ِر ب ِن ع ب ِد الل ِه ق ال‬
َْْ
)‫ْلاف َع ِال (رواه الطب راني‬
Diriwayatkan dari Jabir, Rasulullah bersabda, sesungguhnya Allah dengan
membawa kelengkapan akhlak mulia dan kesempurnaan amal-amal yang baik [H.R.
al-Ṭabrānī].

Risalah Akhlak Islam Filosofis


5

nyata berupa hidup baik dengan indikator sejahtera, damai dan bahagia
tidak dapat diwujudkan tanpa pelaksanaan sistem nilai tersebut.
Kedua, mendakwahkan agama ḥanīfiyyah samḥah
َّ ‫الل ُه َع َل ْيه َو َس َّل َم إني َل ْم ُأ ْب َع ْث ب ْال َي ُهود َّية َ َوَل ب‬
ْ ‫الن‬
‫ص َرا ِن َّي ِة‬
َّ َّ َ ُّ َّ َ َ َ
‫فقال الن ِبي صلى‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ َ ٌ َ َ َّ
ُ ‫الس ْم َح ِة َوال ِذي َن ْف‬ َّ ‫َو َل ِكني ُب ِع ْث ُت ب ْال َح ِن ِيف َّي ِة‬
‫س ُم َح َّم ٍد ِب َي ِد ِه لغ ْد َوة أ ْو َر ْو َحة‬ ِ ِ
ْ‫الصف َخ ْي ٌر من‬ ُ َ
َ ُ َ َ ُ َ ََ َ ْ ُّ ْ ْ َ َّ َ
ِ ِ َّ ‫ِفي س ِب ِيل الل ِه خي ٌر ِمن الدنيا وما ِف َيها وْلقام أح ِدك ْم ِفي‬
ً ََ
‫صَل ِت ِه ِس ِت َين َس َن َة‬
… maka Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya aku tidak diutus untuk
mendakwahkan agama Yahudi dan Nashrani, tetapi aku diutus untuk
mendakwahkan agama ḥanifiyyah lagi samḥah. Demi Allah yang diri
Muhammad ada dalam kekuasaan-Nya, berangkat berjuang di jalan
Allah sungguh lebih baik daripada dunia dan isinya dan bertahannya
salah seorang di antara kamu dalam barisan sungguh lebih baik
daripada dia shalat enam puluh tahun” [H.R. Ahmad].
Dalam hadis ini Nabi menyebut agama yang didakwahkannya
dengan istilah al-ḥanīfiyyah as-samḥah. Sebagaimana akan dijelaskan
dalam bab yang akan datang, istilah ḥanīfiyyah menunjuk pada agama
yang menjunjung tinggi integritas dalam semua bidang (tidak hanya
dalam kepercayaan saja) yang menjamin tercapainya tujuan hidup
pribadi dan kelompok, dan tujuan penyelenggaraan berbagai bidang
kehidupan. Kemudian istilah samḥah menunjuk pada agama yang
terbuka. Keberagamaan dengan integritas dan keterbukaan demikian
dalam hadis tersebut harus diekspresikan dengan keterlibatan dan
keteguhan berjuang di jalan Allah (sabīlillah). Sabīlillah yang di
zaman Nabi identik dengan qitāl (perang) secara substantif bermakna
jalan menegakkan eksistensi sosial politik. Karena itu pemaknaannya
sekarang, sebagaimana yang berkembang dalam pelaksanakaan zakat,
sabīlillah, adalah kemaslahatan umum. Perkembangan makna ini
terjadi karena eksistensi sosial politik satu masyarakat tidak dapat
ditegakkan kecuali jika mereka dapat mewujudkan kemaslahatan
umum. Hanya saja sebagai agama, al-ḥanīfiyyah as-samḥah tidak

Risalah Akhlak Islam Filosofis


6

dapat dipisahkan dari kehidupan pribadi sehingga pribadi muslim


menurut hadis itu juga harus menegakkan eksistensi sosial politiknya.
Dengan demikian agama al-ḥanīfiyyah as-samḥah yang didakwahkan
Nabi dalam pengamalannya membuat pribadi dan umat muslim
menjadi pribadi dan masyarakat unggul yang keberadaannya
diperhitungkan oleh pribadi dan masyarakat yang lain. Jadi bukan
adanya mereka seperti tiada (wujūduhum ka ‘adamihim). Untuk dapat
diperhitungkan sudah barang tentu mereka harus memiliki integritas
dan terbuka terhadap perkembangan. Tanpa integritas dan keterbukaan,
mereka akan menjadi pribadi dan masyarakat yang tidak memiliki
identitas-kepribadian dan daya saing di hadapan dan dengan selain
mereka. Hal ini terbukti di antaranya dalam ekonomi industri sekarang
ketika umat Islam tidak menguasai faktor-faktor produksi (modal,
teknologi, perusahaan, managemen dan lain-lain), maka mereka tidak
memiliki identitas dan daya saing di bidang eknomi.
Ketiga, mengajarkan hikmah
ْ َّ َ َّ َّ َ َّ َ ُ َ ُ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َّ َ
‫صلى الل ُه َعل ْي ِه َو َسل َم َي ُقو ُل ُب ِعث ُت‬ ‫ال س ِمعت رسول الل ِه‬
َ ‫أن أبا هريرة ق‬
َْ
‫ِب َج َو ِام ِع الك ِل ِ َم‬
Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, saya mendengar Rasulullah
bersabda: “Saya diutus dengan membawa hikmah” [H.R. al-Bukhari].
Dalam hadis ini hikmah disebut jawāmi’ al-kalim, ungkapan
dengan kata-kata sedikit (qalīl al-lafḍi), tapi mengandung makna yang
banyak (kaṡīr al-ma’nā). Penyebutan ini berarti menekankan bentuk
ungkapan hikmah yang singkat dan padat. Bentuk ini membuat hikmah
dapat mengena di hati dan cepat diingat sehingga mudah
diinternalisasikan. Dengan begitu maka maksud penyampaian hikmah
untuk mencegah terjadinya keburukan dapat dicapai. Dalam bahasa
Indonesia hikmah seperti itu terdapat dalam kata-kata mutiara dan
peribahasa. Banyak hadis Nabi memuatnya. Di antaranya yang populer
adalah khairun al-nās anfa‘uhum li al-nās, sebaik-baik manusia adalah
yang paling banyak memberi manfaat kepada manusia lain.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


7

Keempat, menentukan hak dan kewajiban


ُ َْ َ ُ ْ ُ َّ َ َ ْ ُ ْ َّ َ َ َ َ ْ َ َ
َ‫اس ًما أق ِس ُم َب ْي َنك ْم‬
ِ ‫قا َل س ُّموا ِباس ِمي وَل تكنوا ِبكني ِتي ف ِإن َما ب ِعثت ق‬
… Nabi bersabda "Berilah nama anak-anakmu dengan namaku, tapi
jangan menggunakan nama keluarga, dengan nama keluargaku (Abul
Qasim). Aku diutus untuk menjadi pembagi di antara kamu sekalian."
[H.R. Muslim].
Dari banyak hadis dapat diketahui bahwa tugas kenabian menjadi
pembagi itu maksudnya adalah menentukan hak dan kewajiban dalam
hubungan-hubungan yang diselenggarakan manusia di antara mereka
sendiri dan di antara mereka dengan Allah, alam dan lingkungan.
Sebagai contoh adalah hadis yang menganjurkan umat untuk
memenuhi hak-hak jalan (lingkungan) dengan menebarkan kedamaian
dan menghilangkan segala yang menimbulkan gangguan bagi
pengguna jalan (batu, lubang, kemacetan dan lain-lain).
Kelima, menyampaikan ilmu
َ َ َ ْ َ َّ
‫إ َّن الل َه ل ْم َي ْب َعث ِني ُم َع ِن ًتا َوَل ُم َت َع ِن ًتا َول ِك ْن َب َعث ِني ُم َع ِل ًما ُم َي ِس ًرا‬
“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang
mempersulit urusan sehingga berat dikerjakan dan ditanggung dan
sebagai orang yang menjerumuskan kepada ketidaknyamanan, tetapi
Dia mengutusku sebagai pendidik (pengajar) yang memberikan
kemudahan” [H.R. Muslim].
Pemahaman yang utuh terhadap hadis ini menunjukkan bahwa
tugas kenabian Nabi adalah menyampaikan ilmu atau ajaran yang
membuat semua urusan hidup menjadi mudah dan tidak membuat para
pengikutnya mengalami ketidaknyamanan dalam melaksanakannya.
Urusan itu tentunya tidak hanya menyangkut bidang agama, tapi juga
bidang-bidang lain termasuk politik dan ekonomi.
Pelaksanaan kelima tugas kenabian instrumental untuk
mewujudkan tugas kenabian sentral berupa mewujudkan hidup baik
bagi semua, sangat jelas dalam sunah Nabi dan diikuti generasi salaf
aṣ-ṣāliḥ. Dalam sunah diketahui bahwa terkait tugas instrumental

Risalah Akhlak Islam Filosofis


8

membangun akhlak mulia, Nabi tidak hanya menekankan kesalehan


pribadi di antaranya dengan menjaga kesucian diri (tidak berzina),
tetapi juga menekankan kesalehan sosial di antaranya dengan
menegakkan keadilan dalam semua bidang kehidupan. Sebagai contoh
dalam bidang hukum, beliau menegakkan keadilan tanpa pandang bulu
sebagaimana disebutkan dalam hadis:

‫وم َّي ِة‬ ُ ‫ َأ َّن ُق َر ْي ًشا َأ َه َّم ُه ْم َش ْأ ُن اْلَ ْرَأة اْلَ ْخ‬،‫الل ُه َع ْنَ َها‬
‫ز‬
َّ َ َ َ َ َ ْ َ
‫عن عا ِئشة ر ِض ي‬
ِ ِ
َّ َ ُ َّ َ َّ ‫َّ َ َ َ ْ َ َ ُ َ َ ْ ُ َ ُ َ َ ُ َل‬
‫هللا َعل ْي ِه َو َسل َم؟‬ ‫صلى‬ ‫َومن يك ِل م ِفيها رسو الل ِه‬:‫ فقالوا‬،‫ال ِتي سرقت‬
َّ َ َّ ‫ُّ َ ُ ل‬ ُ ُ َّ َ َ ُ َ
‫ ِحب رسو ِ اللَ ِه صلى‬،‫ َ َو َم ْن َي ْجت ِر ُئ َعل ْي ِه ِإَل أ َس َامة ْب ُن َز ْي ٍد‬:‫ف َقالوا‬
َ ُ َّ َ َّ ‫ُ َ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َّ َ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ َ ُ ُل‬
‫هللا َعل ْي ِه‬ ‫صلى‬ ‫ فقال رسو الل ِه‬،‫هللا علي ِه وسلم فكلمه أسامة‬
َ ‫ ُث َّم َق‬،‫اخ َت َط َب‬ ْ َ َ َ َّ ُ َّ ْ ََ َّ
َ:َ‫ال‬ ‫ ثم قام ف‬،‫ َ" َأتش َف ُع ِفي َح ٍد ِم ْن ُح ُد ِود الل ِه‬:َ‫َو َسل َم‬
ُ ‫يف َت َر ُك‬ ُ َّ ُ ‫َّ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ ُ ْ َ َّ ُ ْ َ ُ َ َ َ َق‬
،‫وه‬ ‫ أنهم كان َوا ِإذا سر ِف ِيهم الش ِر‬،‫ِإنما أهلك ال ِذين قبلكم‬
َ َ َ َّ َ ْ َ َّ ُ ْ َ َّ َ ْ ‫يف َأ َق ُاموا َع َل‬ ُ َّ ُ ‫َ َ َ َ َق‬
‫اطمة‬ ِ ‫ف‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ه‬
ِ ‫الل‬ ‫م‬ ‫اي‬‫و‬ ، ‫د‬ ‫الح‬ ‫ه‬ِ ‫ي‬ ‫و ِإذا سر ِف ِيهم الض ِع‬
َ َ َ ْ
َ)َ‫ِبن َت ُم َح َّم ٍد َس َرق ْت ل َقط ْع ُت َي َد َها (رواه البخاري‬
Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa kaum Quraisy merasa prihatin
dengan nasib seorang perempuan dari Bani Makhzum yang melakukan
pencurian. Mereka meminta Usamah bin Zaid (cucu angkat)
kesayangan Rasulullah untuk memohonkan pengampunan supaya
perempuan tersebut tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
Mendengar permohonan ini, beliau bersabda, “Apakah Engkau
memohon pembebasan dari hukuman yang ditetapkan Allah?”
Kemudian beliau berdiri memberi ceramah. Dalam ceramahnya,
beliau bersabda, “Sesungguhnya bangsa-bangsa sebelum kamu hancur
karena jika ada orang terhormat (kalangan atas) mencuri, dibiarkan
tidak diberi hukuman. Jika ada orang lemah (kalangan bawah)
mencuri, maka mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah
seandainya Fatimah Puteri Muhammad mencuri, aku pasti memotong
tangannya.” [H.R. al-Bukhari]
Di samping penegakan keadilan tanpa pandang bulu, sabda Nabi
dalam hadis di atas juga menegaskan akhlak sebagai faktor sejarah,
yakni penyebab kehancuran, bahkan kemusnahan, suatu bangsa.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


9

Pemahaman penegasan demikian secara lugas dinyatakan oleh Syaikh


Ahmad Syauqi 2 dalam sebuah syair yang populer:

َ‫َ فإن هم ذهبت اخَلقهم ذهبوا‬# ‫انما الامم اخَلقهم ما بقيت‬


Bangsa-bangsa itu eksis tergantung pada akhlak. Apabila tidak
berakhlak, mereka musnah
Dalam ajaran Islam, faktor akhlak sebagai penentu nasib manusia
tidak hanya dalam kehidupan di dunia saja, tetapi juga dalam
kehidupan mereka di akhirat. Hal ini dinyatakan dalam hadis Nabi
bahwa akhlak yang baik menjadi amal yang paling berat timbangannya
di akhirat sehingga mengantarkan pelakunya di dunia untuk
mendapatkan keselamatan di akhir. Hadis itu adalah sebagai berikut:
َْ َ َ ‫هللا َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َق‬
ُ ‫ص َّلى‬ َّ ‫َع ْن َأبي‬
‫َ َما ِم ْن ش ْي ٍء أث َق ُل‬:َ‫ال‬ َّ ‫ َعن‬،‫الد ْ َداء‬
َ ‫النبي‬
ِ ِ ِ ِ ‫ر‬ ِ ْ
ُُ ْ ْ ُ ْ َ
َ[‫ِفي ِاْل يز ِان ِمن حس ِن الخل ِقَ َ]رواه أبو داود‬
Abu al-Darda’ r.a. meriwayatkan dari Nabi saw yang bersabda,
“Tidak ada suatu apapun yang lebih berat dalam timbangan di akhirat
daripada akhlak yang baik” [H.R. Abu Dawud]
Kenyataan dalam kehidupan di dunia membuktikan bahwa akhlak
menjadi faktor penentu kejayaan dan keterpurukan suatu umat atau
bangsa. Kemudian kepercayaan tentang akhirat memastikan bahwa
akhlak baik menjadi faktor penentu keselamatan dan kebahagiaan
hidup di alam setelah kematian itu. Hal ini mengharuskan
pengarusutamaan akhlak dalam keberagamaan Islam. Apabila
pengarusutamaan ini tidak dilakukan, maka umat pasti terpuruk di
dunia dan keselamatan mereka di akhirat pun dalam tanda tanya besar.

B. Akhlak Dalam Muhammadiyah


Pengarusutamaan akhlak di Muhammadiyah telah dilakukan sejak
awal pendiriannya, baik dalam ajaran maupuan dalam praktek

2
Dalam buku Aḥmad Syauqī Syā‘r al-Umarā’ wa Amīr asy-Syu‘arā’.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


10

keberagamaan. Dalam catatan KRH Hadjid yang berkhidmat, berguru dan


berteman dengan K.H.A Dahlan selama 6 tahun (1916-1923),
berdasarkan hadis riwayat Umar bin Khatab, beliau membagi ajaran-
ajaran al-Quran menjadi tiga, Islam, iman dan ihsan (beribadah kepada
Allah seakan-akan melihat kepada Allah atau merasa dilihat oleh Allah).3
Dijelaskan bahwa ketiga ajaran ini dikaji dalam ilmu tauhid, ilmu fikih
dan ilmu tasawuf. Di samping itu dinyatakan pula bahwa ada ulama yang

3
Hadis itu dalam Ṣaḥīḥ Muslim adalah sebagai berikut:
ُ‫ إ ْذ َط َل َع َع َل ْي َنا َ ُج ٌل َشديد‬،‫ات َي ْوم‬ َ ‫هللا َع َل ْيه َو َس َّل َم َذ‬ ُ ‫ص َّلى‬ َ ‫َ َب ْي َن َما َن ْح ُن ع ْن َد َر ُسول هللا‬:‫ال‬ َ َّ َ ْ ُ ْ ُ َ ُ َ َ َّ َ
ِ ‫ر‬ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ََ ‫اب ق‬ ِ ‫حدث ِني أ ِبي عمر بن الخط‬
َ َ َّ َ ُ َّ َ َّ َ َ َ َ َّ َ ٌ َ َ َّ ُ ُ ْ َ َ َ َ َّ ُ َ َ ْ َ َ َ ُ َ َ َّ َ
‫ فأ ْس َن َد‬،‫هللا َعل ْي ِه َو َسل َم‬ ‫ص َلى‬ ‫جلس ِإلى الن ِب ِي‬ َ ‫ حتى‬،‫ وَل يع ِرفه ِمنا أحد‬،‫ َل يرى علي ِه أثر السف ِر‬،‫ ش ِد ُيد َس َو ِاد الشع ِر‬،‫اب‬ َ ‫َب َياض‬
ِ ‫الثي‬
ِ ِ
َ ْ َّ َ َّ َ َ ْ ْ َ
َ ‫ ف َق‬،‫َ َيا ُم َح َّم ُد أخب ْرِني َعن ْلا ْسَلم‬:‫ال‬ َ َ َ َ َ َ ‫ َو َو‬،‫ُر ْك َب َت ْيه إ َلى ُرك َبت ْيه‬
َ ْ
‫َ« ِْلا ْسَل ُم‬:‫هللا َعل ْي ِه َو َسل ََم‬ ُ ‫صلى‬ َ ‫ال َر ُسو ُل هللا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ََ ‫ َوق‬،‫ض َع ك َّف ْي ِه َعلى ف ِخذ ْي ِه‬ ِ ِ ِ
ْ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َّ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ
‫ َوت ُح َّج ال َب ْي َت‬،‫ان‬ ‫ وتصوم رمض‬،‫ وتؤ ِتي الزكاة‬،‫ وت ِقيم الصَلة‬،‫صلى هللا علي ِه وسلم‬
َّ َ
‫هللا‬ ُ ‫هللا َو َأ َّن ُم َح َّم ًدا َر ُسو‬
‫ل‬ ُ ‫َأ ْن َت ْش َه َد َأ ْن ََل َإ َل َه إ ََّل‬
ِ ِ ِ
ُْ َ َ َ ْ ْ ََ َ َ ُ ُ َ َُ ُ َُ ْ َ ُ َ َْ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ ً َ َ ْ
،ِ‫ َ«أ ْن تؤ ِم َن ِباهلل‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫ َفأخ ِب ْرِني َع ِن ِْلا َيم ِان‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫ ويص ِدقه‬،‫ َفع ِجبنا له يسأ َله‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫ َصدقت‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،»‫يَل‬ َ ‫اس َتط ْع َت ِإل ْي ِه َس ِب‬ ‫ِإ ِن‬
َ ‫َ«أ ْن َت ْع ُب َد‬:‫ال‬ َ َ ْ َ
ْ َ َ َ َ ْ ََ َ َ َ َ ْ ُْ ْ ْ ُ َ َ
‫هللا‬ ََ ‫ َق‬،‫َفأخ ِب ْرِني َع ِن ِْلا ْح َس ِان‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫َصدقت‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،»‫ َوتؤ ِم َن ِبال َق َد ِر خ ْي ِر ِه َوش ِر َِه‬،‫ َوال َي ْو ِم ْلا ِخ ِر‬،‫ َو ُر ُس ِل ِه‬،‫ َوك ُت ِب ِه‬،‫َو َمَل ِئك ِت ِه‬
ْ ََ َ َ َّ ‫َ« َما ْاْلَ ْس ُئو ُل َع ْن َها ب َأ ْع َل َم م َن‬:‫ال‬ َ َ َّ ْ َ َ َ َ َ َ َ ُ َّ َ ُ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ َ َّ َ َ
‫َفأخ ِب ْرِني َع ْن‬:‫ال‬ َ ‫الس ِائ ِ َل»َق‬ ِ ِ ََ ‫ ق‬،‫اع ِة‬ ‫َفأخ ِب ْرِني َع ِن الس‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،»‫اك‬ َ ‫ ف ِإن لم تكن تراه ف ِإنه ير‬،‫كأنك تراه‬
ُ ْ ََ ََ ْ ُ َ َ ْ ْ َ ُ َ َّ ََ ْ َ ْ َ ْ َ َ ُ َْ َ َ ْ َ َ َ َ َ ََ
‫ ث َّم‬،‫َث َّم انطل َق فل ِبث ُت َم ِل ًّيا‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،»‫ان‬ َ ِ ‫ َوأ ْن ت َرى ال ُح َفاة ال ُع َراة ال َعالة ِر َع َاء الش ِاء َي َتط َاولون ِفي ال ُبن َي‬،‫ْلا َمة َرَّب َت َها‬ َ ‫َ«أن ت ِلد‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫ارتها‬ ِ ‫أم‬
ْ‫يل َأ َت ُاك ْم ُي َعل ُم ُك ْم ِد َين ُك َم‬
ُ ْ‫َ« َفإ َّن ُه جبر‬:‫ال‬
َ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ُ َ َ ُ ُ ْ ُ ُ َّ َ ْ َ
َ ‫َ«يا عمر أتد ِري م ِن الس ِائل؟»َقل‬:‫ال ِلي‬
ََُُ َ َ ‫َق‬
ِ ِ ِ ِ َ ‫ ق‬،‫َهللا ورسوله أعلم‬:‫ت‬
Umar bin al-Khatab berkata, 'Dahulu kami pernah berada di sisi Rasulullah saw,
lalu datanglah seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam,
tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami
mengenalnya, hingga dia mendatangi Nabi saw lalu menyandarkan lututnya pada lutut
Nabi saw, kemudian ia berkata, 'Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang
Islam? ' Rasulullah saw: "Kesaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan puasa Ramadlan, serta haji ke Baitullah jika kamu mampu
bepergian kepadanya.' Dia berkata, 'Kamu benar.' Umar berkata, 'Maka kami kaget
terhadapnya karena dia menanyakannya dan membenarkannya.' Dia bertanya lagi,
'Kabarkanlah kepadaku tentang iman itu? ' Beliau menjawab: "Kamu beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir
baik dan buruk." Dia berkata, 'Kamu benar.' Dia bertanya, 'Kabarkanlah kepadaku
tentang ihsan itu? ' Beliau menjawab: "Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu."
Dia bertanya lagi, 'Kapankah hari akhir itu? ' Beliau menjawab: "Tidaklah orang yang
ditanya itu lebih mengetahui daripada orang yang bertanya." Dia bertanya, 'Lalu
kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya? ' Beliau menjawab: "Apabila seorang
budak melahirkan (anak) tuan-Nya, dan kamu melihat orang yang tidak beralas kaki,
telanjang, miskin, penggembala kambing, namun bermegah-megahan dalam
membangun bangunan." Kemudian dia bertolak pergi. Maka aku tetap saja heran
kemudian beliau berkata; "Wahai Umar, apakah kamu tahu siapa penanya tersebut?"
Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Beliau bersabda: "Itulah jibril, dia
mendatangi kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang pengetahuan agama
kalian'." [RH. Muslim].

Risalah Akhlak Islam Filosofis


11

menegaskan bahwa ketiga ajaran pokok tersebut dikaji dalam akhlak dan
adab.4 Pembagian ajaran dan ilmu yang mengkajinya ini menunjukkan
bahwa akhlak diterima sebagai wujud dari ihsan dan menjadi bagian tidak
terpisahkan dari trilogi Islam, bahkan menjadi inti atau pusatnya sehingga
pengetahuan tentang seluruh ajarannya cukup dibagi menjadi akhlak dan
adab.
Kemudian terkait dengan pengarusutamaan dalam praktik, telah
umum diketahui bahwa dengan berdasarkan surat al-‘Ashar dan al-Ma’un,
K.H.A. Dahlan menekankan Islam sebagai agama amal yang fungsional
untuk mewujudkan kebaikan hidup manusia (ṣāliḥ al-‘ibād) di dunia dan
di akhirat. Amal akhlak yang beliau minta untuk langsung dipraktikkan
oleh murid-muridnya dalam praksis pendidikannya adalah bersungguh-
sungguh, ikhlas, rela berkorban dan mau menderita.5 Adapun K.H. Farid
Ma’ruf mencatat bahwa akhlak yang beliau praktikkan bersama para
pengikutnya adalah: bijaksana, perwira, dermawan, berani, benar, tabah
dan sabar, serta cinta kepada Allah dan ikhlas.6 Praktik ini merupakan
pembudayaan nilai yang luar biasa dan berperan penting dalam
perkembangan Muhammadiyah sampai sekarang.
Pengarusutamaan akhlak dalam ajaran selanjutnya terdapat dalam
Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah yang
diputuskan pada 1969. Dalam putusan resmi yang menyatakan ideologi
keagamaan Muhammadiyah ini ditegaskan bahwa ajaran Islam
merupakan kesatuan ajaran yang tidak boleh dipisah-pisah dan meliputi:
1. Akidah: ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan
2. Akhlak: ajaran yangberhubungan dengan pembentukan mental
3. Ibadah: ajaran yang berhubungan dengan peraturan dan tata cara
hubungan manusia dengan Tuhan

4
KRH Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah &17 Kelompok
Ayat Al-Qur’an (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019), hlm. 129-130.
5
hlm. 160 – 165.
6
Farid Mas’ruf, Analisa Achlak dan Perkembangan Muhammadiyah (Ttp: Tnp,
Ttp), hlm. 29 -30

Risalah Akhlak Islam Filosofis


12

4. Muamalah Dunyawiyah: ajaran yang berhubungan dengan


pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat.7
Pengarusutamaan akhlak dalam ajaran berikutnya terdapat dalam
buku Risalah Islamiyah Bidang Akhlak yang disusun oleh Majelis Tarjih
PP Muhammadiyah. Penyusunan buku ini merupakan pelaksanaan
amanat muktamar ke-41 di Surakarta. Buku ini disusun untuk menjadi
tuntunan bagi keluarga besar Muhammadiyah pada khususnya dan umat
Islam pada umumnya. Pembahasannya berisi pengertian akhlak dan daya
cakup akhlak yang meliputi akhlak terhadap Allah, diri pribadi, keluarga,
masyarakat dan lingkungan.
Pengarusutamaan akhlak dalam putusan resmi terakhir terdapat
dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) yang
diputuskan pada tahun 2000. Dalam putusan yang menjadi pedoman
warga persyarikatan dalam menjalani kehidupan dalam semua bidang dan
levelnya ini, terdapat pedoman akhlak secara garis besar yang harus
mereka ikuti.
Pengarusutamaan akhlak dalam praktek sejarah dan perumusan
ajaran resmi di atas belum membicarakan akhlak dengan landasan
filosofis yang memadai. Buku ini hadir untuk melengkapi pembicaraan
tersebut.

C. Metodologi
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah, amar ma’ruf dan
nahi munkar berdasarkan al-Quran dan sunnah ṣaḥīḥah (maqbūlah).
Sesuai dengan dasar ini, penyusunan risalah ini bersumberkan pada al-
Quran dan sunah dengan metodologi yang ditetapkan dalam Matan
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM).

7
Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideiologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyan, 2013), hlm. 62.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


13

Dalam MKCHM ditegaskan bahwa al-Quran yang menjadi dasar


agama Islam adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw dan sunah Rasul adalah penjelasan dan pelaksanaan
ajaran al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw dengan
menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Ditegaskan
pula bahwa kedua dasar ini merupakan pokok dasar hukum/ajaran Islam
yang mengandung ajaran yang benar.8
Di samping menggariskan panduan pengertian, MKCHM juga
menggariskan panduan untuk merumuskan ajaran yang benar berdasarkan
al-Qur’an dan Sunah, sebagai berikut:
1. Mengungkapkan dan mengetahui kebenaran yang terkandung
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul;
2. Mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-
Qur’an dan sunnah Rasul;
3. “Dalam” mencari cara (menemukan kebenaran dan maksud) dan
dalam melaksanakan ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasul “untuk”
mengatur dunia guna memakmurkannya, akal pikiran yang
dinamis dan progresif mempunyai peranan yang penting dan
lapangan luas.
4. Akal pikiran (ra’yu) adalah alat untuk mempertimbangkan
seberapa jauh pengaruh keadaan dan waktu terhadap penerapan
suatu ketentuan hukum (ajaran) dalam batas maksud-maksud
pokok ajaran agama.9
Dalam perspektif Ushul Fikih, perumusan dan pelaksanaan ajaran
dengan pola di atas disebut ijtihad. Karena itu MKCHM menegaskan
“Muhammadiyah berpendirian bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka”
dan “orang dalam beragama hendaklah berdasarkan pengertian yang
benar, dengan ijtihad dan ittiba.”10

8
Manhaj Gerakan Muhammadiyah, hlm. 61
9
Ibid.
10
Ibid.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


14

Ijtihad dalam Muhammadiyah yang ditegaskan dalam MKCHM itu,


kemudian dirumuskan modelnya oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah. Model itu adalah model spiral keterkaitan anatara 3
epistemologi:
1. Bayani (analisis kebahasaan)
2. Burhani (analisis rasional dan empiris yang berkembang dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan)
3. Irfani (pemahamanan tentang realitas, termasuk realitas tertinggi,
yang melahirkan keterampilan mengelola kehidupan).
Buku ini disusun dengan menggunakan metodologi yang
dirumuskan dalam dokumen resmi Muhammadiyah yang dijelaskan
secara singkat di atas. Karena rumusan metodologi tersebut masih dalam
garis besar, maka penggunaannya dalam buku ini sudah barang tentu
sesuai dengan pemahaman dan kemampuan tim dalam menerapkannya.

D. Sistematika
Pembahasan buku ini disusun dengan urut-urutan logis sesuai
tuntutan keilmuan kajian dan praksis pengamalan akhlak dalam
kehidupan nyata. Pembahasan diawali dengan pendahuluan untuk
memberikan gambaran singkat tentang latar belakang, arti penting, posisi
dan metodologi yang digunakan.
Pembahasan selanjutnya dibagi dalam bab-bab yang menguraikan
keilmuan dan pengamalan akhlak secara terpadu. Uraian tentang
keilmuan akhlak meliputi konsep pengertian; nilai-nilai dalam kehidupan
manusia dengan hirarki sesuai kenyataan hidup mereka, bukan sesuai
keharusan nilai yang mereka anut; dan konsep-konsep nilai baik dan
buruk dengan kriteria dan indikator-indikatornya yang dipahami dari al-
Qur’an.
Kemudian uraian terkait pengamalan akhlak meliputi manusia dan
kesadarannya. Uraian tentang manusia diberikan dengan pertimbangan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


15

bahwa manusia adalah pengamal akhlak yang harus dipahami penciptaan


dan kedudukannya dalam penciptaan, kodrat-kodrat, indera batin, tujuan
hidup serta peran dan tanggung jawabnya. Kemudian uraian tentang
kesadarannya diberikan dengan pertimbangan bahwa kesadaran adalah
realitas primer manusia yang menentukan keseluruhan realita
kehidupannya yang dapat diamati.
Pemaduan uraian dalam buku ini dilakukan dengan pembahasannya
yang tidak fokus menuntaskan uraian tentang keilmuan akhlak terlebih
dahulu dan kemudian pindah ke uraian tentang pengamalan akhlak.
Pembahasan keilmuan akhlak disela dengan pembahasan tentang manusia
karena manusialah yang mengamalkan akhlak dengan nilai-nilai dalam
kehidupannya. Dan dia mengamalkan nilai dengan kesadarannya
sehingga uraian tentang kesadaran menjadi uraian terakhir sebelum
penutup.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


16

BAB II
KONSEP AKHLAK

A. Pengertian Akhlak
Oleh karena subbab ini akan memperjelas tentang “akhlak” sebagai
sebuah “konsep”, sebagaimana tertulis dalam judul bab, maka uraiannya
akan dipecah menjadi dua, yaitu tentang “konsep” dan “akhlak”. Setelah
itu, baru dirumuskan apa sebenarnya yang disebut “akhlak”.
1. Pengertian tentang “Konsep”
Istilah “konsep” adalah: “something conceived on the mind...”
atau “an abstract or generic idea generalized from particular
instances”11, yang terjemahannya sebagai berikut: sesuatu yang
tersusun dalam pikiran... atau sesuatu gagasan abstrak atau gagasan
umum yang diambil secara umum dari hal-hal yang bersifat khusus.
Ringkasannya, “konsep” adalah gagasan umum dan abstrak
yang dibangun dalam pikiran yang diambil dari hal khusus. Kalau
pengertian ini dikaitkan dengan masalah khusus yang disebut
“akhlak”, maka yang disebut “konsep” dalam hal ini adalah: gagasan
umum dan abstrak yang dibangun dalam pikiran tentang apa yang
disebut dengan “akhlak”.
Sesuai dengan pengertian “konsep” di atas, ada hal yang patut
dicatat, bahwa dalam proses dan produk perumusan “konsep” tersebut
tidak terlepas dari kerja pikiran penggagasnya. Oleh karena itu, kalau
ada perbedaan gagasan dan rumusan tentang konsep yang
bersangkutan, maka sepenuhnya perlu dimaklumi.

11
(Meriem Webster’s Collegiate Dictionary, 1995: 236)

Risalah Akhlak Islam Filosofis


17

2. Pengertian tentang “Akhlak”


Sebelum dirumuskan “akhlak” sebagai sebuah “konsep”, di sini
akan dipecah penjelasannya dari dua sisi, yaitu sisi “bahasa” dan
“rumusan para penggagas terdahulu”.
a. Dari sisi bahasa
Dari sisi kebahasaan, kata “akhlāq” adalah bentuk jamak
(plural) dari kata “khilqun” atau “khuluqun”. Khusus tentang kata
“khuluqun” sering diartikan: as-sajjiyah (pembawaan), aṭ-ṭabī‘ah
(tabiat, kelakuan), al-‘ādah (kebiasaan, kelaziman), al-murū’ah
(keperwiraan), dan ad-dīn (agama) (Nata, 2014: 1; dengan
perbaikan redaksi).
Dari penelusuran kebahasaan yang pertama di atas, maka
kata “akhlāq” adalah sifat yang melekat pada diri manusia belum
ditimbang atau dibatasi oleh koridor-koridor atau label-label
tertentu. Karena itu masih terbuka lebar untuk ditafsiri, asal ketat
metodologi penafsirannya.
Masuklah kita ke dalam penelusuran kebahasaan yang
kedua. Dalam penelusuran kebahasaan yang kedua ini kata
“akhlāq” dikaitkan dengan kata “khalqun” yang berarti
“penciptaan”. Oleh karena itu pengertian yang termuat dalam kata
“akhlāq” tidak bisa dilepaskan dari kata “khāliq” yang berarti
“Maha Pencipta”, yaitu Allah swt. Jadi, kata “akhlāq” sudah
dikoridori atau dibatasi dengan masalah hubungan “makhlūq” (hal
atau benda yang diciptakan) dengan “khāliq” (Sang Maha
Pencipta).
Pengertian “akhlāq” yang dikaitkan dengan “khalīq” inilah
yang ideal yang ditawarkan oleh agama Islam yang secara
normatif dituliskan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam As-
Sunnah. Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Qalam, [68]: 4) dikatakan “wa
innaka la‘alā khuluqin ‘aḍīm” (dan sesungguhnya engkau

Risalah Akhlak Islam Filosofis


18

[Muhammad] sungguh memiliki akhlāq yang sangat agung).


Dalam ayat ini sosok Rasulullah saw. dinyatakan sebagai
cerminan “akhlāq” yang sangat agung, atau dalam kata lain
“akhlāq” yang lengkap. Kata “lengkap” inilah yang perlu
dijabarkan lebih jauh.
Selanjutnya, Rasulullah saw menyatakan bahwa iman yang
sempurna yang terdapat dalam diri orang beriman adalah dalam
diri yang paling baik akhlaknya;
ْ َ َّ َ َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ
‫صلى الل ُه َعل ْي ِه َو َسل َم أك َم ُل‬ ‫عن أ ِبي هريرة قال قال رسول الل ِه‬
ً‫ْاْلُ ْؤمن َين إ َيم ًانا َأ ْح َس ُن ُه ْم ُخ ُلقا‬
ِ ِِ
Dari Abu Hurairah ra. Dia berkata, Rasulullah saw bersabda
“Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhalknya.” [HR Ahmad].
Ini artinya “akhlāq” yang dimaksud adalah “akhlāq” yang
lengkap di atas.
Sementara itu pengertian populer yang disosialisasikan para
ulama adalah pengertian kata “akhlāq” yang dikoridori atau
dibatasi oleh ukuran “benar” dan “baik saja”. Sementara itu, masih
banyak ukuran yang semestinya dilibatkan secara sinergik.
Ukuran-ukuran lain yang masih terabaikan inilah yang akan
ditelusuri lebih jauh.
Berdasarkan uraian dari sudut kebahasaan di atas, maka
dapat diringkaskan pengertian kata “akhlāq” sebagai berikut:
1) Kata “akhlāq” dari sudut asal kata secara murni tanpa
konteks maka artinya adalah: sifat melekat pada diri
manusia berupa pembawaan, tabiat, kebiasaan,
keperwiraan, dan agama.
2) Kata “akhlāq” dari sudut asal kata yang dalam
pemahamannya tidak dapat dilepaskan dari hubungan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


19

antara “makhlūq” (hal atau benda yang diciptakan) dan


“khalīq” (Sang Maha Pencipta). Dengan demikian,
“akhlāq” adalah sifat “makhlūq” yang harus sesuai dengan
keutuhan apa yang menjadi “irādah” (kehendak) Allah
s.w.t.
b. Rumusan dari para penggagas terdahulu
Di sini dikutipkan beberapa rumusan pengertian tentang
“akhlaaq” yang dikemukakan ulama terdahulu seperti berikut ini.
1) Ibn Miskawaih (wafat 421 H/ 1030 M) mengatakan bahwa
“akhlāq” adalah: “hālun li an-nafsi dā‘iyatun la-hā ilā
af‘āli-hā min ghairi fikrin wa lā rawiyatin” (Ibn
Miskawaih, 1934: 40) yang terjemahannya: keadaan sifat
yang terdapat dalam diri manusia yang mendorong dengan
sifat itu untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
memerlukan pikiran dan pertimbangan.
2) Imam al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) mengatakan
bahwa “akhlāq” adalah: “‘ibāratun ‘an hai’atin fī an-nafsi
rāsikhatun ‘an-hā taṣduru al-af’āl bi-suhūlatin wa yusrin
min ghairi ḥājatin ilā fikrin wa rāwiyatin” (lihat:
Hadikusuma, t.th: 5; dengan perubahan redaksi
terjemahan), yang terjemahannya: bentuk ungkapan sifat
yang tertanam dalam diri manusia yang darinya muncul
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
3) K.H. Ahmad Azhar Basyir (1928-1994 M, mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah) merumuskan
istilah “akhlāq” dengan pengertian “peri keadaan jiwa
yang dapat mendorong lahirnya perbuatan-perbuatan
secara spontan; peri keadaan jiwa yang mendorong
lahirnya perbuatan-perbuatan baik secara spontan disebut s
yang baik, dan yang mendorong lahirnya perbuatan-

Risalah Akhlak Islam Filosofis


20

perbuatan yang buruk disebut khuluq yang buruk” (Basyir,


1991: 3). Dia menegaskan, “... akhlāq berkaitan dengan
nilai baik dan buruk.” (Basyir, 1991: 3).
Berdasarkan uraian kutipan pendapat para ulama di atas,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1) Sebagian ulama masih tetap menetralkan muatan “akhlāq”
dari koridor-koridor atau batasan-batasan tertentu. Intinya,
“akhlāq” adalah: kondisi sifat yang ada dalam diri manusia
yang bersifat melekat.
2) Ulama lain, misalnya K.H. Ahmad Azhar Basyir, istilah
“akhlāq” sudah mulai dikoridori, dibatasi, bahkan digiring
ke arah perspektif tertentu, yaitu: peri keadaan jiwa yang
diukur dengan nilai “baik” dan “buruk”.
c. Dari sisi konseptual
Kini pertanyaan terakhir yang harus dijawab dalam subbab
ini adalah, “apa pengertian istilah ‘akhlāq’ dalam perspektif
‘sebagai konsep’?” Jawaban dan sekaligus sebagai kesimpulan
dalam subbab ini adalah sebagai berikut.
“Akhlāq” (untuk selanjutnya ditulis dengan “akhlak” saja)
yang dimaksud dalam subbab tulisan ini adalah: rangkaian sifat
yang melekat dalam diri manusia dan implementasinya dalam
praktik kehidupan sebagaimana telah diteladankan secara utuh
oleh Rasulullah saw serta diharapkan selaras dengan kehendak
(irādah) Allah swt.
Berdasarkan rumusan kesimpulan tentang pengertian
“akhlak” di atas, maka konsep tentang “akhlak” mesti harus
dibangun berdasar kemampuan dan usaha maksimal dari para
ulama Islam khususnya, dan umat Islam pada umumnya. Konsep
tentang “akhlak” tidak muncul begitu saja, apalagi konsep tentang
“akhlak” yang sudah tersusun dengan sangat sistematis.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


21

B. Bangunan Akhlak
1. Living Akhlak
Yang dimaksud dengan “living akhlak” adalah rangkaian sifat
yang tergolong sifat dalam “akhlak” yang tertampil dalam praktik
kehidupan nyata sehari-hari, baik yang teramalkan secara horizontal
di kalangan umat Islam selama ini, terutama yang telah diteladankan
secara utuh oleh Rasulullah s.a.w. selama hayatnya.
Oleh karena “living akhlak” menyatu dalam praktik hidup, maka
“living akhlak” belum berupa konsep yang tersusun secara sistematis
dalam sebuah bangunan konsep yang bersifat metodologis dan
dinamis. Oleh karena itu diperlukan usaha “teoritisasi akhlak”.
2. Teoretisasi Akhlak
Yang dimaksud dengan “teoritisasi akhlak” adalah menyusun
gagasan abstrak tentang “akhlak” sehingga menjadi bangunan “ilmu
akhlak” yang sistematis, metodis, dan berdaya fungsional.
Proses teoritisasi akhlak tersebut sebagai berikut kerja unsur-
unsurnya.
a. Sumber konsep
Sumber konsep tentang akhlak adalah dari al-Qur’an dan
rincian utuhnya dari al-Sunnah al- Maqbūlah.
Dari kedua sumber konsep tersebut, lalu dipilihlah “kata
kunci” untuk dikembangkan lebih lanjut rincian pengertian kata
kunci tersebut setelah dibangun menjadi sebuah konsep, misalnya
kata-kata kunci: adil, sabar, ikhlas, shidiq, amanah, istiqomah, dan
sebagainya.
Dari kedua sumber tersebut juga bisa diambil “masalah
kunci” untuk dikembangkan lebih lanjut untuk dijadikan konsep,
seperti masalah kunci: kepemimpinan (leadership), pertanggung
jawab, keteladanan, ketaatan, dan sebagainya.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


22

Dari kedua sumber tersebut juga bisa dijadikan pemantik


inspirasi (inspirator) untuk mengkategorikan hal-hal yang
berkaitan dengan masalah “akhlak”, seperti: tujuan akhlak,
sasaran dan implementasi akhlak, dan sistematisasi konsep
akhlak.
b. Metodologi pemahaman
Metodologi pemahaman terhadap sumber konsep akhlak,
yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah al-Maqbūlah, memakai pencarian
kebenaran (epistemologi) berdasar pangkal-pikir (paradigma)
secara deduktif, yakni berangkat dari “kebenaran umum” ke
penjabaran dalam wujud “kebenaran khusus”. Praktik kerja
deduktif ini sebagai berikut:
1) Al-Qur’an dan al-Sunnah al-Maqbūlah adalah sebagai
“sumber kebenaran” yang tidak diragukan.
2) Kebenaran dalam teks al-Qur’an dan al-Sunnah al-
Maqbūlah dipahami lanjut dengan cara:
a) dibantu ilmu-ilmu lain yang proporsional, seperti:
bahasa, filsafat, mistisme Islam (tasawuf), psikologi,
sosiologi, seni, dan ilmu-ilmu rumpuk eksakta yang
relevan;
b) dijelaskan secara “kontekstual” dinamis-berkelanjutan
secara kritis-prediktif pemahamannya;
c) terbuka terhadap kritik yang membangun
3) Pencarian kebenaran tetap didampingi suara rohani berupa:
a) suara hati nurani (hati yang mendapat cahaya atau
“nūr” dari Allah swt.;
b) rasa “layak” dan “tidak layak” yang bekerja dalam hati
yang bening-jernih;
c) dorongan murni untuk “seharusnya dilakukan” (das
Sollen) atau “tidak perlu dilakukan”.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


23

4) Kebenaran yang dicapai dibingkai oleh “nilai”. Yang


dimaksud dengan “nilai” adalah pengakuan adanya
“bobot” atau “harga” yang melekat pada sesuatu. “Nilai”
ada 2 (dua) macam. Pertama, nilai esensial. Yaitu nilai
yang muatan bobot dan harga di dalamnya diakui abadi
oleh manusia sepanjang sejarahnya. Kedua, nilai artifisial.
Yaitu nilai yang muatan bobot dan harganya tergantung
pada sudut pandang atau perspektif yang dipakai sehingga
pengakuan terhadap nilai tersebut menjadi bersifat “relatif”
dan mudah mengandung perbedaan pendapat.
Bingkai “nilai” yang dipakai di sini adalah “nilai esensial”
saja. Sebab, “akhlak” harus mampu diakui oleh seluruh
manusia, kapan saja dan di mana saja.
Dalam praktik pembingkaian kebenaran dalam “akhlak”
ada 2 (dua) macam, berikut ini.
a) Bingkai nilai esensial yang “ideal” (utuh dan lengkap).
Bingkai nilai di sini terdiri dari:
(1) Nilai “benar” lawannya “salah”. “Benar” adalah
adanya kesesuaian antara berita/ informasi dengan
fakta atau datanya (disebut “kebenaran
korespondensi”), adanya kecocokan antara isi
bayangan batin dengan kenyataan tampilan (disebut
“kebenaran fungsional”; contoh; pensil fungsinya
untuk menulis).
(2) Nilai “baik” lawannya “buruk”. “Baik” adalah
pemberian hakiki yang menguntungkan yang
dirasakan oleh siapa saja secara objektif. Tidak ada
yang tidak suka.
(3) Nilai “indah” lawannya “jelek”. “Indah” adalah
tampilan harmoni atau keselarasan antara faktor
“bentuk” (struktur), “warna”, “suara”, “keharuan”,

Risalah Akhlak Islam Filosofis


24

“kekaguman”, dan “ketertarikan” dalam kenyataan


atau tampilan.
(4) Nilai “manfaat” lawannya “mudlarat”. “Manfaat”
adalah daya layanan yang fungsional dari sesuatu.
Daya layanan ini dirasakan sangat menguntungkan
dan disukai oleh orang yang sedang membutuhkan
terutama, dan dibutuhkan di mana saja dan kapan
saja tanpa batas.
(5) Nilai “luhur” lawannya “hina”. “Luhur” adalah
posisi hirarki kemuliaan yang berbasis kesadaran
saling menghormati antarmanusia. Di sisi suara
hati nurani secara fungsional yang berbicara.
(6) Nilai “adil” lawannya ”diskriminasi”. “Adil”
adalah posisi pilihan menengah antar-manusia yang
berbasis saling-memberi dan saling-menerima
dengan penuh kesadaran.
(7) Nilai “universal” lawannya “partikular”.
“Universal” adalah kondisi ketidakterbatasan
waktu, yakni berlaku oleh siapa saja, kapan saja,
dan di mana saja.
b) Bingkai nilai esensial yang “populer” (yang dikenal
luas kalangan). Bingkai ini hanya berbasis nilai
“benar” lawannya “salah” dan nilai “baik” lawannya
“buruk”. Dalil yang dipakai untuk berpijak adalah
(QS. Al-Baqarah [2]: 147): al-haqqu min rabbika falā
takūnanna min al-mumtarīn (kebenaran itu dari
Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau
[Muhammad] termasuk orang-orang yang ragu-ragu)
dan berpijak pada (QS. Al-Baqarah 2: 149): wa likullin
wijhatun huwa muwallīhā fastabiqū al-khairāt (dan
setiap umat memiliki kiblat yang umat itu menghadap

Risalah Akhlak Islam Filosofis


25

ke arahnya; maka berlomba-lombalah kalian dalam


kebaikan) (Djatmika, 1992: 32-39).
Bahwa arti “kebaikan” dalam Al-Qur’an (QS. Al-
Mu’minun [23]: 96) bermakna gabungan antara nilai
“benar” dan “baik” di atas; sebaliknya lawannya
adalah “kejahatan” (syayi’ah).
Kata kunci “kebaikan” (al-ḥasanah) dalam arti
gabungan antara nilai “benar” dan “baik” dan kata
kunci “kejahatan” (as-sayyi’ah) (QS. Fushshilat, 41:
34; wa lā tastawī al-ḥasanatu wa lā as-sayyi’atu, dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan), inilah yang
menjadi pembahasan sentral bingkai nilai esensial
yang “popular” yang banyak dikembangkan para
ulama “Ilmu Akhlak” selama ini.

C. Pembagian Akhlak
Untuk memetakan “pembagian akhlak” ini, di sini akan dilihat dari
beberapa aspek. Diharapkan dengan cara seperti ini akan diperoleh
gambaran yang lebih komprehensif tentang “akhlak yang diteorisasikan”
di atas yang akhirnya bermuara menjadi “Ilmu Akhlak”.
1. Aspek Tujuan
a. Pahala dan keridlaan dari Allah swt.
Pahala (ajrun, jazā‘un, ṡawābun) dan keridlaan (ridhā)
diyakini sebagai karcis atau tiket masuk ke dalam surga dan hidup
berbahagia di dalamnya selama-lamanya (Q.S. al-Qashash [28]:
77; Q.S. al-Baqarah [2]: 201).
b. Kesalehan perbuatan dan kesejahteraan hidup di dunia.
Kesalehan hidup (‘amal ṣālih) dan kesejahteraan hidup
(ḥasanah fī ad-dunyā) merupakan dua hal yang saling melekat

Risalah Akhlak Islam Filosofis


26

bagaikan wajah sebuah koin uang logam (Q.S. al-Baqarah [2]:


201; Q.S. al-Qashash [28]: 77).
2. Aspek Sasaran dan Implementasi

Sasaran Implementasi
Khāliq - Meyakini ke-Esa-an-Nya
- Meyakini kesempurnaan-Nya,
kebesaran-Nya, dan
kemahakuasaan-Nya
- Beribadah tertuju kepada-Nya
Makhlūq - Memelihara jasad secara
-Diri sendiri memadai
- Menjaga kestabilan kejiwaan
(psikologis)
- Menjaga kesucian rohani

- Sesama manusia dalam = Saling relasi dan saling sapa


konteks: = Saling hormat dan saling
= Konteks kemanusiaan umum menghargai
=Saling menolong dan saling
melindungi
=Saling perhatian (atensi) dan
saling mengingatkan

= Konteks tata aturan = Saling menjaga


= Saling menepati

= Konteks kepemimpinan = Saling menaati


= Saling menjunjung tinggi
komitmen

= Kebutuhan hidup = Saling melayani


= Saling memberi
= Saling mencari solusi
= Saling mendukung

= Relasi hidup = Saling memahami


= Saling menyadari
= Saling beradaptasi

Risalah Akhlak Islam Filosofis


27

- Lingkungan hidup dalam


konteks:
= Wilayah hunian = Memelihara keseimbangan
hidup yang biotik (hidup) dan
yang abiotik (tidak hidup)

= Kemajuan hidup =Memelihara simbiosis-mutualis


kehidupan
= Saling membatasi diri dari ego-
sektoral (kepentingan sepihak)
= Saling mencari solusi untuk
mencapai kesejahteraan bersama

- Lingkungan kealamsemestaan =Menjaga simbiosis-mutualis


ruang angkasa

3. Aspek Sistematisasi Konsep


Di bawah ini dituliskan sekadar contoh perbedaan perspektif
dalam melihat peta isi “akhlak”.
a. Menurut Barmawie Umary
Barmawi Umary membuat sistematisasi konsep tentang
“akhlak” dalam buku karangannya, Materia Akhlak. Dia membuat
pembagian menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: “akhlak”, “mahabbah”,
dan “adab”. Berikut ini skemanya:

Akhlak Mahabbah
Adab ketika
Mahmudah Madzmumah terhadap
Amānah Ananiah Allah Tidur
Alifah Bagyu Rasulullah Buang air
‘Afwan Bukhlu Orang tua Mandi
Anisah Buhtan Guru Wudlu’
Khairun Khamrun Saudara Tayamum
Khusyū’ Khiyānah Tetangga Shalat
Diyafah Ḍalmun Teman Imam

Risalah Akhlak Islam Filosofis


28

Khufran Jubun Tanah air Makmum


Ḥayā’ Fawāḥisy Manusia Masjid
Hilmun Gaḍab Jum’at
‘ādil Gasysyu Ṣiyām
Ikhā’ Gibah Makan
Iḥsān Ginā Minum
Ifāfah Gurūr Berkumpul
Murū‘ah Ḥayatuddunyā Guru
Naẓāfah Ḥasad Murid
Raḥmah Ḥiqdun
Sakhā’ Ifsād
Salām Intihār
Ṣaliḥāt Iṣrāf
Ṣabr Istikhār
Ṣidqah Każbun
Syajā’ah Kufran
Ta‘āwūn Liwāṭ
Taḍarru’ Makrun
Tawāḍu’ Namīmah
Qanā‘ah Qatlunnafsi
‘Izzatunnafsi Ribā
Riyā’
Sikhriyah
Sirqah
Syahawāt
Tabżīr
Tanābuż bi al-
alqāb

b. Menurut H. Ahmad Azhar Basyir


H. Ahmad Azhar Basyir adalah mantan Ketua Umum
Muhammadiyah. Tokoh ini telah menulis sebuah buku yang
berjudul Faham Akhlaq dalam Islam (1982). Dalam buku tersebut,

Risalah Akhlak Islam Filosofis


29

sistematisasi konsep akhlak yang diusulkan adalah sebagai


berikut.

Macam Akhlak Rincian Perwujudan


- Hak jasmani:
= kebutuhan gizi dan nutrisi
= preventif kesehatan
= lingkungan hunian yang sehat
- Hak rohani:
= kesucian jiwa (terhindar dari sifat tercela
dan mementingkan diri sendiri)
= bebas dari rasa takut dan khawatir
= kejernihan akal
= bebas dari khurafat dan takhāyul
= bebas dari sistem perbudakan dalam
Akhlak pribadi segala bentuknya, termasuk budak nafsu
- Hak berkeluarga
- Wajib bekerja
- Sifat-sifat luhur:
= teguh pendirian (istiqomah)
= tabah hati seperti para rasul “ulu al-azmi”
= jujur
= menjaga martabab kemanusiaan yang
mulia
= kuat jasmani dan rohani
= penghias kehidupan masyarakat dengan
kebajikan
- Menjaga hak dan kewajiban selaku suami
dan isteri
- Berbuat baik kepada orang tua (birru al-
Akhlak keluarga walidain)
- Menjaga kecukupan hidup keluarga
- Hak dan kewajiban kepala keluarga
- Menjaga silaturahim
- Menjaga kesatuan kemanusiaan
- Saling mengenal dan saling berhubungan
(relasi sosial)
Akhlak sosial
- Saling menolong (ta’awun)
- Saling menghindari kekerasan
- Saling menciptakan kerukunan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


30

- Penegakan keadilan
- Saling menguntungkan dalam kegiatan
ekonomi
- Hak dan kewajiban pemimpin
- Hak dan kewajiban rakyat
- Kritik membangun
Akhlak politik
- Hak asasi dalam pemilihan
- Hak pertahanan diri
- Musyawarah
- Terjaga kinerja dalam profesi
- Kolaborasi dalam bekerja dan usaha dalam
kerjasama kemanusiaan
- Mencari keuntungan dalam profesi secara
Akhlak jabatan/ wajar dan proporsional
profesi - Menjauhi suap-menyuap, terlebih dalam
urusan profesi
- Menghindari keahlian dalam profesi untuk
mencari kepentingan pribadi sebesar-
besarnya
- Menjaga kelestarian potensi alam
Akhlak terhadap
- Memanfaatkan dan mengembangkan potensi
alam lingkungan
alam secukupnya
- Menjaga ketaatan beribadah kepada-Nya
- Menjaga akidah tauhid kepada-Nya
- Kepatuhan atas dasar cinta kepada Allah
Akhlak terhadap
tercermin dalam seluruh aspek kehidupan
Allah
- Berpegang teguh kepada agama Islam yang
telah dinyatakan-Nya sebagai agama yang
diridlai-Nya
c. H. Yunahar Ilyas
H. Yunahar Ilyas adalah mantan Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Tokoh ini menulis buku yang berjudul Kuliah
Akhlaq (1999). Dalam buku tersebut ditawarkan sistematisasi
yang dikutipnya dari kitab Dustūr al-Akhlāq fī al- Islām sebagai
berikut.

Macam Akhlak Rincian Perwujudan


Akhlak pribadi - Ṣiddiq (benar):

Risalah Akhlak Islam Filosofis


31

= benar perkataan
= benar kemauan
= benar janji
= benar kenyataan
- Amānah (dipercaya):
= memelihara titipan
= menjaga rahasia
= tidak menyalahgunakan jabatan
= menunaikan kewajiban
= memelihara semua nikmat Allah
- Istiqāmah (teguh pendirian)
- ‘Iffah ( menjaga kehormatan diri):
= menjaga dari zina
= menjaga dari suka minta-minta
= menjaga integritas diri dari ketidakjujuran
- Mujāhadah (berkinerja tinggi):
= menolak berbuat durhaka
= menolak ajakan hawa nafsu
= menolak ajakan syaithan
= menolak terlalu cinta dunia
= menolak sifat kufur dan munafik
= menolak perbuatan maksiat
- Syajā‘ah (pemberani)
= pemberani dalam peperangan
= pemberani dalam memperjuangkan
kebenaran
= pemberani dalam pengendalian diri
- Tawadlu’ (rendah hati)
- Hayā’ (malu)
- Ṣabr (sabar);
= sabar menghadapi cobaan hidup
= sabar menghadapi godaan hawa nafsu
= sabar dalam menaati Allah
= sabar dalam dakwah
= sabar dalam perang
= sabar dalam pergaulan
- ‘Afwu (pemaaf)
- Taqwā
Akhlak terhadap
- Cinta dan ridla
Allah swt.
- Ikhlas

Risalah Akhlak Islam Filosofis


32

- Khauf dan raja’


- Tawakkal
- Syukur
- Murāqabah
- Taubat
- Mencintai dan memuliakan
Akhlak terhadap
- Mengikuti dan menaati
Rasulullah saw.
- Mengucapkan shalawat dan salam
- Birru al-walidain:
= mengikuti keinginan dan saran orang tua
= menghormati dan memuliakan
= membantu fisik dan material
= mendoakan untuk kebaikan
= menyelesaikan hal-hal yang belum
Akhlak dalam
terselesaikan dan meneruskan
keluarga
keteladanannya
- Hak, kewajiban, dan kasih-sayang suami-
isteri
- Kasih sayang dan tanggung jawab orang tua
terhadap anak
- Silaturrahim dengan kerabat
- Bertamu dan menerima tamu
- Hubungan baik dengan tetangga
- Hubungan baik dengan masyarakat:
= menjawab salam
= mengunjungi orang sakit
= mengiringkan jenazah
= mengabulkan undangan
Akhlak = menyauti dan mendoakan orang yang
bermasyarakat bersin
= toleransi dalam beragama
- Pergaulan muda-mudi yang baik
- Ukhuwah Islamiyah:
= ta‘āruf
= tafāhum
= ta‘āwun
= takāful
- Musyawarah:
Akhlak
= lemah lembut
bernegara
= pemaaf

Risalah Akhlak Islam Filosofis


33

= mohon ampun Allah


- Menegakkan keadilan:
= perlakuan yang adil
= keadilan berdasar hukum
= keadilan dalam segala hal:
- terhadap diri sendiri
- terhadap isteri dan anak
- mendamaikan perselisihan
- adil dalam berkata
- adil sekalipun terhadap musuh
- amar ma’ruf nahi mungkar
- hubungan pemimpin dan yang dipimpin
Dengan memerhatikan contoh-contoh sistematisasi yang
dilakukan 3 (tiga) orang ulama di atas, yang tentu saja belum bisa
dikatakan mewakili yang memadai dari keseluruhan ulama, dengan
jelas ditunjukkan bahwa kecenderungan membuat sistematisasi
tersebut tergantung pada apa yang dipikirkan para ulama yang
bersangkutan. Atau dengan lain perkataan, banyak tergantung pada
hasil ijtihād para ulama yang bersangkutan.
Oleh karena itu, untuk menyusun sebuah sistematisasi konsep
maka sangat diperlukan logika atau alasan metodologis yang dipakai.
Dari sinilah orang lain, yakni para pembaca buku atau kitab yang
disusun seorang ulama, akan dapat lebih dipahami secara kritis dan
sekaligus dapat dimaklumi. Lebih lanjut, kesimpulan dan pemilihan
konsep yang akan diambil oleh para pembaca buku atau kitab para
ulama tersebut terserah pada kesimpulan dan pilihan mereka dan tidak
layak digiring.
Satu hal yang wajib menjadi patokan dalam penyusunan
sistematisasi konsep “akhlak” tersebut adalah: asal berangkat dari
normativitas al-Qur’an dan as-Sunnah al-maqbūlah. Dengan patokan
tersebut, maka berapapun banyak versi sistematisasi dan berapapun
lebarnya pembahasan, maka hasil sistematisasi tersebut akan tetap
“terkendali”.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


34

D. Konsep Akhlak dan Konsep Lain Terkait Perilaku Baik dan


Buruk
Seperti telah disinggung dalam uraian terdahulu, bahwa “akhlak”
ada yang berbingkai “nilai esensial ideal” yang melibatkan pembingkaian
7 (tujuh) nilai, dan ada yang berbingkai “nilai esensial populer” yang
melibatkan pembingkaian 2 (dua) nilai saja, yaitu nilai “benar” dan nilai
“baik”.
Dalam subbab ini dicoba membandingkan akhlak yang berbingkai
“nilai esensial ideal” dan “nilai esensial populer” di atas dengan konsep
yang berbicara tentang perilaku yang berbasis nilai “baik” dan “buruk” di
luar yang diajarkan agama Islam.
Untuk menjelaskan secara adil dan objektif terhadap konsep
perilaku di luar agama Islam tersebut, di sini perlu ditegaskan patokan ciri
utama yang membedakan antara keduanya, yaitu antara “yang Islam” dan
“yang bukan Islam”. Patokan ciri utama tersebut sebagai berikut:
1. “Akhlak” dalam ajaran Islam berpangkal pada sumber utamanya,
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah al-maqbuulah.
2. Dalam menyusun konsep “akhlak” dalam Islam lebih diutamakan
penjabaran berdasar ijtihaad dalam memahami teks Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang tetap dalam koridor yang tidak bertentangan
dengan teks yang dipahami tersebut.
3. Pemahaman penalaran yang dibantu dengan filsafat, psikologi,
sosiologi, ekonomi, politik, linguistik, antropologi, dan ilmu-ilmu
lain yang relevan, hanyalah bersifat “membantu menjelaskan”
saja.
Di sini perlu ditegaskan, di luar Islam basis penyusunan konsep
perilaku baik dan buruk lebih mengedepankan timbangan “pengalaman
kehidupan sehari-hari”, entah lokal, entah mondial, dan timbangan
“pemikiran kefilsafatan”, entah kefilsafatan murni, entah sekadar berbau
kefilsafatan.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


35

Berikut ini akan dideskripsikan pengertian tentang istilah-istilah


terkait tentang perilaku baik dan buruk yang tidak terlepas dari kaitan
“norma” hasil pengalaman kehidupan sehari-hari maupun hasil pemikiran
kefilsafatan.
1. Berbasis Norma Kefilsafatan
a. Etika dan kesusilaan
Kata “etika” berasal dari kata bahasa Yunani, “ethos” yang
berarti watak kesusilaan (Zubair, 1987: 13). Etika adalah ilmu
tentang filsafat moral yang tidak bersangkutan dengan urusan
fakta, melainkan berurusan dengan nilai-nilai; tidak berurusan
dengan watak tentang tingkah laku manusia, melainkan berurusan
dengan citra dari tingkah laku manusia (New Masters Pictorial
Encyclopaedia, vol.III, p.460).
Kata “kesusilaan” berasal dari kata “susila” (bahasa
Sansekerta). “Su” artinya “baik”. “Sila” berarti dasar, prinsip,
aturan hidup, norma. Jadi, kesusilaan adalah masalah dasar,
prinsip, aturan hidup, dan norma yang “baik”.
b. Moral dan budi pekerti
Kata “moral” berasal dari kata bahasa Latin, “mos”, atau
jamaknya “mores” yang berarti cara hidup (Zubair, 1987: 13).
Dari segi istilah, moral adalah: bersangkutan dengan prinsip-
prinsip tentang benar dan salah; baik dan kebajikan; kemampuan
untuk memahami perbedaan antara benar atau salah;
penggambaran watak yang baik (The Advanced Learner’s
Dictionary of Current English, p. 634).
Kata “budi pekerti” berasal dari bahasa Sansekerta “buddhi”
dan “prakrti”. “Buddhi” artinya akal, pikiran. “Prakrti” artinya
sifat, tabiat.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


36

Jadi, budi pekerti adalah: sifat atau tabiat yang berasal dari
kerjanya akal atau pikiran. Sementara itu, akal atau pikiran
manusia adalah sumber munculnya perbuatan konkret manusia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
dalam kata “etika dan susila” yang lebih mengedepan adalah
pemikiran kefilsafatan, sedangkan dalam kata “moral dan budi
pekerti” sudah menunjukkan campuran antara pemikiran
kefilsafatan dan fakta perbuatan yang dikaitkan dengan benar-
salah, dan kebaikan serta kebajikan.
2. Berbasis Norma Adat
a. Tata krama dan unggah-ungguh
“Tata krama” berasal dari kata bahasa Jawa, yang artinya
“tata” berarti aturan, ketertiban; dan “krama” artinya cara, jalan,
kelakuan, keadaan, dan sifat. Dengan demikian istilah “tata
krama” berarti: cara atau kelakuan hidup yang diwarnai aturan
teknis yang diakui atau dipandang “baik”. Misalnya cara makan
dengan tidak menyilangkan kaki ketika duduk (“jigang”, dalam
bahasa Jawa). Selanjutnya, kata “unggah-ungguh” juga dari
bahasa Jawa yang artinya sikap dan tatanan yang diselaraskan
dengan yang sedang dihadapi dalam rangka untuk menghormati
sesuai dengan tua-mudanya usia dan banyak-sedikit
pengalamannya. Misalnya kalau menyebut nama saudara yang
lebih tua dengan menambah sebutan Kangmas/Mas (untuk saudara
berkelamin pria), Mbakyu/Yu (untuk saudara berkelamin wanita).
b. Sopan santun dan etiket
“Sopan santun” sudah masuk dalam kosa kata bahasa
Indonesia. Artinya adalah memperlakukan di depan orang lain
yang menunjukkan rasa hormat yang tinggi. Misalnya di kalangan
masyarakat Jawa kalau ada orang akan lewat di depan orang yang
lebih tua dan lebih banyak pengalamannya maka dia akan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


37

membungkukan badannya. “Etiket” yang dalam bahasa Perancis


ditulis etiquette yang menunjuk arti tingkah laku praktis dan
bahkan sangat teknis dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya saja
cara makan dan minum di hotel bintang lima mesti perlu
menerapkan etiket tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam tata krama, unggah-
ungguh, sopan santun, dan etiket sangat begitu jelas dibingkai oleh
“kebiasaan hidup”, bahkan tidak jarang bersifat setempat. Jadi
sangat terbatas jangkauan wilayahnya. Namun, tampaknya dewasa
ini mulai disosialisasikan secara lebih luas sehingga keterbatasan
jangkauan wilayah menjadi relatif. Contoh etiket pergaulan yang
dibiasakan dalam hotel internasional dewasa ini.
Disamping istilah-istilah yang telah disebut, mulai dari
istilah “etika” sampai “etiket” di atas, ada istilah-istilah lagi yang
relevan disebut sebagaimana di bawah ini.
a. Taat hukum
Kata-kata “taat hukum” secara selintas seolah-olah
bernuansa “akhlak” secara penuh dalam Islam. Sebenarnya tidak
demikian halnya. “Hukum” adalah aturan yang dibuat untuk
menata lalu-lintas pergaulan masyarakat dalam segala bidang yang
dihasilkan lewat usaha “kesepakatan” dalam badan legislatif atau
oleh pemangku kuasa dan wewenang. Hukum adalah “ucapan
raja” kini telah dilenyapkan. Disebabkan butir-butir hukum adalah
hasil kesepakatan, maka hukum memiliki kekuatan untuk
“memaksa untuk ditaati”. Karena itu, “taat hukum” tidak sama
nuansanya dengan “akhlak”. Dalam akhlak harus berangkat dari
rasa “kesadaran penuh”, bukan adanya “paksaan”.\
Di samping adanya perbedaan di atas, butir-butir hukum
lebih banyak hasil dari, “mempelajari hal yang ideal” dan “belajar
dari pengalaman hidup manusia” di sepanjang kesejarahannya.
Apa ukuran yang disebut “ideal”, sukar dirumuskan. Karena

Risalah Akhlak Islam Filosofis


38

manusia hidup di alam kreativitasnya yang tidak pernah berhenti.


Demikian juga kapan “pengalaman hidup manusia” bisa diangkat
sebagai standar-mati? Tidak jelas juga. Bahwa “akhlak” lebih
tepat dipahami, dimaknai, dan dihayati sebagai “ajaran yang
memberi petunjuk”, sedangkan “hukum” sekadar menaati selama
hukum tersebut diakui dan dijalankan.
b. Karakter
Karakter adalah sifat perilaku yang masih bisa diubah dan
berubah lewat pendidikan. Dalam pendidikan tersebut termuat
usaha-usaha pengubahan, seperti: pelatihan, penyadaran, dan
pembiasaan. Kata kunci “terlatih”, “sadar” dan “terbiasa”
merupakan hal-hal yang sangat penting dalam pembentukan
karakter, beda dengan “kepribadian”. Kepribadian (personality)
adalah sifat yang dibawa sejak lahir. Karena itu sukar untuk
berubah dan diubah.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


39

BAB III
MANUSIA SEBAGAI CIPTAAN ALLAH

A. Penciptaan Manusia
1. Asal Penciptaan

Dalam al-Baqarah (2): 30 ditegaskan bahwa Allah menjadikan


khalifah di bumi. Dari ayat berikutnya diketahui bahwa yang diangkat
menjadi khalifah adalah Adam. Adam yang diangkat menjadi khalifah
ini adalah Adam dalam pengertian manusia yang sudah ada di bumi
paling akhir pada 350.000 tahun sebelum Masehi (SM). Hal ini
diketahui dari pembicaraan rangkaian ayat 30-39 yang menjelaskan
manusia secara umum sebagai spesies dengan kodrat-kodrat tertentu,
tidak terbatas pada Adam sebagai pribadi yang memiliki watak dan
perilaku tertentu. Pemahaman demikian sesuai dengan pandangan
Sibawaih yang menyatakan bahwa kata )‫م‬ ََ ‫ ( َآد‬Ādam merupakan
sebutan untuk kelompok, bukan individu.12 Dengan demikian Adam
dalam ayat-ayat itu pada hakikatnya merupakan sebutan untuk
manusia yang sejak awal kehadirannya di bumi ini telah menjadi
spesies tersendiri yang berbeda dari spesies-spesies yang lain. Sebutan
itu tampaknya diberikan dengan memerhatikan kekhasan fisiknya.
Adam dalam bahasa Arab berarti kulit yang dalam satu pengertian
maksudnya adalah kulit luar yang menjadi tempat tumbuhnya
rambut.13 Pengertian ini menunjukkan bahwa manusia itu disebut
Ādam karena kulitnya kelihatan yang membuatnya berbeda dari
makhluk hidup bergerak lain yang kulitnya tidak kelihatan karena
tertutup bulu.

12
Ibn Manzhur, Lisān al-‘Arab (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), XII, hlm. 10.
13
Ibid.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


40

Adam dalam pengertian manusia itu kemudian populer menjadi


bapak manusia (abū al-basyar) atau manusia pertama yang diciptakan
Tuhan. Mengenai penciptaannya dalam beberapa ayat dijelaskan
bahan materinya. Ali Imran (3): 47 menyebutkan secara umum
bahwa ia diciptakan dari turāb, tanah. Kemudian dalam as-Sajdah
(32): 7; Shad (38): 71 dan al-An’am (6): 2 disebutkan jenis tanah
yang digunakan untuk menciptakannya, ṭīn tanah liat, tanpa
disebutkan bagian dan sifatnya. Adapun dalam al-Mu’minun (23): 12
disebutkan bagian dari ṭīn yang digunakanakan, yakni sulālah min ṭīn
yang biasa diterjemahkan dengan saripati dari tanah liat; dan dalam
ash-Shaffat (37): 11 disebutkan sifat dari ṭīn yang digunakan untuk
menciptakannya, ṭīn lāzib yang biasa diterjemahkan dengan tanah liat
yang kenyal. Lalu dalam al-Hijr (15): 28 terdapat keterangan sifat
yang lain dari dan asal tanah liat yang digunakan untuk
menciptakannya, yakni ṣalṣāl min hamā’ yang biasa diterjemahkan
dengan tanah liat kering dari lumpur hitam. Selanjutnya jika
dihubungkan dengan al-Anbiya’ (21): 30 yang menyatakan bahwa
Allah menciptakan segala sesuatu yang hidup dari air, maka bahan
materi awal penciptaan manusia pertama itu juga dari air. Di samping
itu juga disebutkan bahwa manusia pertama diciptakan dengan ada
peniupan ruh ke dalam dirinya oleh Tuhan (al-Hijr [15]: 29 dan Shad
[38]: 72). Dengan demikian manusia pertama diciptakan dengan
menggunakan bahan materi yang biasa disebut tanah liat dan air dan
bahan spirit berupa ruh Allah.
Adapun mengenai proses penciptaannya (manusia pertama), Ali
Imran (3): 47 menyebutkan bahwa prosesnya melalui firman kun,
jadilah, dan kemudian jadilah manusia pertama itu (fa yakun).
Penggunaan fi’l muḍāri’, kata kerja menunjuk waktu sekarang dan
akan datang (yakun) menunjukkan adanya proses dalam penciptaan
itu. Proses itu langsung berjalan begitu Allah menyabdakan firman
kreatif-Nya kun, sehingga dalam ayat itu di gunakan huruf ‘aṭaf, kata

Risalah Akhlak Islam Filosofis


41

penghubung, fa’, yang menunjukkan urutan waktu yang dekat atau


langsung.
Proses penciptaan itu dijelaskan dalam al-Hijr, 15: 28-19.
Dalam dua ayat ini ada gambaran bahwa proses penciptaan tersebut
melalui 4 tahap: pertama, penciptaan bahan asal tanah liat kering dari
lumpur hitam (al-bad’); kedua, pemberian bentuk (al-sunnah); ketiga,
penyempurnaan penciptaan (al-taswiyyah); dan keempat, peniupan
ruh (nafkh al-rūḥ).
Semua ayat mengenai penciptaan dan prosesnya ini menegaskan
pandangan bahwa manusia sebagai satu spesies diciptakan oleh Allah,
sebagaimana spesies-spesies makhluk hidup yang lain, dalam tatanan
yang rumit. Jadi mereka tidak terbentuk oleh kebetulan-kebetulan
acak dan di luar kesengajaan seperti yang dinyatakan dalam teori
evolusi.14 Dalam pandangan kreasionis, penganut kepercayaan bahwa
alam semesta diciptakan oleh Tuhan, kebenaran terjadinya penciptaan
itu secara empiris dibuktikan dari lapisan Kambrium. Lapisan
Kambrium adalah lapisan bumi tertua tempat ditemukannya fosil-fosil
makhluk hidup yang diperkirakan berusia 500-550 juta tahun. Fosil-
fosil yang ditemukan dalam lapisan itu adalah fosil siput, trilobita,
bunga karang, cacing tanah, ubur-ubur, landak laut dan invertrebata
kompleks lainnya. Catatan fosil-fosil itu menunjukkan bahwa semua
makhluk hidup itu muncul secara bersamaan dan tiba-tiba, sehingga
literatur geologi menyebut kejadian ajaib ini sebagai Ledakan
Kambrium (Cambrian Explosion).15 Catatan fosil yang demikian,
sebagaimana dikatakan Harun Yahya, diakui Mark Czarnecki,
seorang ahli paleontologi evolusionis (penganut teori evolusi) sebagai
kendala utama dalam membuktikan teori evolusi karena belum pernah
mengungkapkan jejak-jejak jenis peralihan hipotesis Darwin.16

14
Harun Yahya, Keruntuhan Teori Evolusi (Bandung: Dzikra, 2001), hlm. 5
15
Ibid., hlm. 33.
16
Ibid., hlm. 32.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


42

Penciptaan manusia dari air dan tanah secara ilmiah dewasa ini
terbukti dengan unsur-unsur yang membentuk tubuhnya. Diketahui
bahwa kurang lebih 70% tubuh manusia terdiri dari air. Kemudian
sepenggal tubuh manusia terdiri atas unsur-unsur yang sama dengan
unsur-unsur segenggam tanah dari permukaan bumi yang subur.
Unsur-unsur itu dan prosentasenya yang disebutkan al-Bahi al-Khuliy
adalah sebagai berikut:

Oksigen 63% Karbon 20, 20%


Nitrogen 2, 50% Hidrogen 9, 90%
Kalsium 2, 45% Pospor 1, 1%
Klor 0, 16% Fluoride 0, 14%
Belerang 0, 14% Potasium 0, 11%
Sodium 0, 10% Sodium 0, 10%
Yodium, Silikon,
Zat besi 0, 01% 0,18%
dan manganese
Selanjutnya materi ruh yang digunakan untuk menciptakannya
dalam kehidupan terbukti dengan kenyataan bahwa manusia memiliki
jiwa yang kompleks yang secara kualitas berbeda dari jiwa binatang,
makhluk hidup yang bisa bergerak yang secara biologis paling dekat
atau bahkan sama dengan manusia.
Apabila unsur-unsur yang membentuk tubuhnya adalah zat-zat
itu, maka tentunya penciptaannya pun juga dari zat-zat itu. Untuk
penciptaan manusia melalui proses reproduksi setelah penciptaan
manusia pertama sudah jelas bahwa unsur-unsur tersebut membentuk
tubuhnya karena ia mengonsumsi makanan dan minuman yang berasal
dari bumi. Bagaimana dengan penciptaan manusia pertama yang
sebelum diciptakan ia tidak ada dan dalam ayat-ayat di atas dijelaskan
bahwa ia diciptakan dari tanah dan air? Apakah sejak awal proses
dimulainya penciptaan, telah digunakan seluruh unsur itu atau
sebagiannya saja?

Risalah Akhlak Islam Filosofis


43

Dalam penciptaan “pohon kehidupan” itulah dilakukan


penciptaan manusia dari bahan-bahan itu melalui proses al-sunnah,
al-taswyiyah, dan nafkh al-rūḥ. Berkaitan dengan hal ini Agus Haryo
Sudarmojo, seorang kresionis Muslim Indonesia, berdasarkan hadis
khalaqallāh ādama ‘alā ṣūratihi, berani menyatakan bahwa proses itu
dilakukan dengan memasukkan bahan-bahan tersebut ke dalam tabung
biologis. Alasannya ṣūrah dalam bahasa Arab tidak hanya berarti
gambar atau citra, tapi juga berarti tempat yang digunakan orang Arab
untuk menyimpan uang, yang mestinya berupa tabung.17
Dalam penciptaan melalui tabung biologis itu, Adam tidak
hanya dibentuk fisiknya, tapi juga disempurnakan (al-taswiyah) dan
ditiupkan ruh Tuhan kepadanya (nafkh al-rūḥ), sehingga dia menjadi
homo sapiens. Dengan demikian dalam pandangannya, Adam yang
nota bene adalah manusia homo sapiens yang pertama itu bukan
merupakan evolusi dari dari makhluk-makhluk homo sebelumnya,
yang disebutnya sebagai Australiphitecus Aferensis (hadir 3,5 juta
SM); Paranthropus Boisei, homo Habilis (2 juta tahun SM); Homo
Ergaster (1,5 juta tahun SM); Homo Erectus, Homo Heidelbergensis
(500-140 ribu tahun SM); dan Homo Neanderthal (400-30 ribu SM).18
Tidak seperti Sudarmojo, kreasionis Muslim yang lain tidak
mengemukakan pernyataan penciptaan Adam melalui tabung biologis.
Dalam membicarakan penciptaan manusia, mereka hanya
menghubungkannya dengan evolusinya tidak hanya dari homo-homo
sebelum homo sapiens, tapi juga dari makhluk bersel satu yang
menjadi awal mula kehidupan di bumi. Mereka mengemukakan
pandangan yang berbeda-beda. Di sini dikemukakan tiga tokoh
sebagai representasi. Harun Yahya menolak terjadinya evolusi,19

17
Agus Haryo Sudarmojo, Perjalanan Akbar Ras Adam: Sebuah Interpretasi Baru
al-Qur’an dan Sains (Bandung: Mizania, 2009), hlm. 95-96.
18
Ibid., hlm. 90.
19
Harun Yahya, Keruntuhan, hlm. 90-91.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


44

sementara Jurnalis Udin menerima terjadinya evolusi.20 Adapun


Maurice Bucaille berpandangan mungkinnya terjadi evolusi kreatif
dan tidak perlu mempertentangkan al-Qur’an dengan data
paleontologi.21
Dengan tidak ada dukungan dari fosil-fosil yang menjadi bukti
empirisnya, teori evolusi dewasa ini menghadapi masalah besar yang
menurut Harun Yahya membuatnya runtuh atau, paling tidak,
mengalami krisis, seperti yang dikatakan John Dupre. Namun ternyata
krisis yang dialami teori evolusi tidak otomatis menjadi kemenangan
kreasionisme. Hal ini karena, kata Dupre: “penelitian yang dilakukan
atas genom-genom –terutama mikroba- menunjukkan bahwa beberapa
gen yang bergerak di antara organisme-organisme yang jauh
merupakan katalisator yang penting dalam perubahan evolusi.”22
Dalam menghadapi kontestasi antara kreasionisme dan teori
evolusi tentang penciptaan manusia ini, al-Qur’an sebenarnya
memberikan pegangan untuk menentukan sikap. Di atas telah
disebutkan bahwa dalam kitab suci itu manusia disebut basyar yang
menunjukkan bahwa ia memiliki ciri khas berupa kulit tubuhnya
kelihatan meskipun ada rambut atau bulu yang tumbuh di atasnya. Di
samping itu dalam al-Qur’an juga ada penegasan tentang kodrat-
kodrat manusia, termasuk kodrat makhluk kebudayaan, yang akan
dijelaskan di belakang. Ini berarti yang disebut manusia itu adalah
makhluk hidup bergerak yang secara fisik memiliki ciri khas itu sejak
awal adanya di bumi dan mengembangkan kebudayaan, tak peduli ia
diciptakan melalui evolusi atau tidak.
Sikap ini mungkin bisa mengakhiri perdebatan di kalangan
Muslim ketika membicarakan proses penciptaan manusia, paling tidak
20
Jurnalis Udin, “Teori Evolusi: Sesuai atau Bertentangan dengan al-Qur’an”,
dalam Mukjizat al-Qur’an dan as-Sunnah tentang Iptek, ed. Iwan Kusuma Hamdan dkk,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 273-275
21
Maurice Bucaille, Dari Mana Manusia Berasal? Antara Sains, Bibel dan Al-
Qur’an, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizania, 1984), hlm. 326.
22
John Dupre, “Krisis”, hlm. 21.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


45

untuk sementara ini, ketika bukti-bukti empiris untuk mendukung


kreasionisme dan membatalkan teori evolusi belum “disepakati”
kesahihannya. Sekarang sudah ditemukan bukti bahwa manusia
mewarisi mitokondria (mt) DNA dari satu wanita yang membuktikan
bahwa manusia merupakan keturunan dari satu wanita. Berhubung
dalam Islam ada kepercayaan bahwa manusia merupakan keturunan
Hawa (Eva), maka Sudarmojo menyebut metokondria itu dengan
mtDNA-Eve.23 Di masa yang akan datang bisa diharapkan
ditemukannya zat atau apalah namanya yang membuktikan tidak
terbantahnya kreasionisme sehingga kontroversinya dengan teori
evolusi menjadi berakhir.
2. Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia ditegaskan dalam QS. al-Dzariyat,
51: 56, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
mengabdi kepada-Ku”. Ayat ini membicarakan penciptaan manusia
oleh Allah dan tujuan penciptaanya (sangkan paraning dumadi).
Agama mengajarkan bahwa Allah adalah Wujud Adi Kodrati yang
memiliki kehendak dan kekuatan yang tidak terbatas dan telah
menciptakan alam semesta seisinya, termasuk manusia. Karena
diciptakan oleh-Nya, maka keberadaan manusia di bumi ini dalam
pandangan agama terjadi by design, dengan ada perencanaan, tidak by
accident, secara kebetulan karena ada mutasi gen yang berhasil,
seperti yang diyakini dalam teori evolusi, sebagaimana dijelaskan di
atas. Penciptaan by design ini dapat dibuktikan secara empiris dengan
tidak adanya kebetulan dalam semua proses yang terjadi di alam
semesta ini. Apabila dahulu ada kebetulan yang menjadi bagian dari
proses alam ini, tentunya sekarang dan sampai kiamat nanti kebetulan
itu masih ada. Tetapi nyatanya sekarang tidak dapat dijumpai adanya
kebetulan itu. Di samping itu juga dapat dibuktikan secara rasional
dengan melihat manusia sebagai "produk" yang sempurna. Apakah

23
Agus Haryo Sudarmojo, Perjalanan, hlm. 61.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


46

masuk akal manusia yang sempurna itu tercipta secara kebetulan,


padahal semua yang ada, termasuk yang paling sederhana sekalipun
terjadi dengan ada perencanaan?
Penciptaan manusia oleh Allah berarti bahwa asal muasalnya
adalah Dia. Design yang diciptakan-Nya untuknya bukan hanya
desain biologis menjadi makhluk hidup tertinggi, tapi juga desain
kosmologis. Sebagai bagian dari alam, dia diciptakan dengan
memiliki keterbatasan, meskipun batas dari keterbatasannya itu selalu
dapat dipertanyakan. Sebagai contoh adalah keterbatasan manusia
membuat lagu. Dengan tujuh tangga nada, tentunya dia memiliki
keterbatasan membuat lagu. Tetapi tidak ada yang mengetahui batas
keterbatasannya itu sampai kapan, apa dan di mana. Sebagai bagian
dari alam juga keberadaan manusia di dunia pasti pasti ada akhirnya.
Akhir kehidupan manusia sebagai individu terjadi dengan kematian
dan sebagai spesies makhluk Tuhan dengan kiamat. Kematian
manusia secara soteriologis (tentang keselamatan) bukan berarti akhir
kehidupannya, tapi berarti dia memasuki tahapan kehidupan baru
kembali kepada asalnya, Allah, untuk diterima secara langsung
maupun tidak langsung.
Tujuan penciptaan manusia dalam ayat itu dinyatakan dengan
ungkapan li ya’budūn(i). Ya’budū(na) merupakan kata kerja bentuk
sekarang dan akan datang (fi’l muḍāri’). Pembentukannya dapat dari
kata dasar (maṣdar) ‘ibādah yang berarti menyembah (aṭ-ṭā’ah ma’a
ghāyah al-khuḍū’) dan kata dasar ‘ubūdiyyah yang berarti mengabdi
(iḍār at-tażallul).24 Sesuai dengan kedudukan manusia dalam
penciptaan sebagai hamba dan khalifah, sebagaimana yang akan akan
dijelaskan, ya’budūn(i) dalam ungkapan ayat tersebut berarti
mengabdi sehingga terjemahnya adalah “untuk mengabdi kepada-Ku”

24
Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Fikr, t.), hlm.
330.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


47

Tujuan penciptaan manusia dalam ayat tersebut menggunakan


pola kalimat penafian-pengecualian (nafy-iṡbāt). Penggunaan pola itu
menunjukkan bahwa tidak ada penciptaan tanpa pengabdian. Karena
itu pengabdian kepada Tuhan juga menjadi alasan keberadaan (raison
de etre) manusia di muka bumi. Tanpa pengabdian kepada-Nya,
manusia tidak perlu ada.
Sebagai tujuan dan alasan keberadaan, pengabdian mengarahkan
hidup manusia. Hidup manusia itu menuju kepada Tuhan, tidak
kepada dirinya sendiri dan selain-Nya. Karena itu manusia memiliki
naluri atau kodrat beragama, sebagaimana akan dijelaskan. Kodrat ini
menjadi bagian dari dirinya yang tidak dapat ditindas oleh kekuatan
apapun, baik dari luar maupun dalam dirinya sendiri. Penindasan
terhadapnya pasti akan membuat manusia mencari sublimasi untuk
menyalurkannya itu melalui agama semu (pseudo religion). Apabila
penindasan itu tidak ada lagi, maka dia akan kembali kepada agama
atau spiritualitas yang menjadi inti agama.
3. Kedudukan Manusia di Bumi

Penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi dalam al-Baqarah


ً َ َ َ
ْ ‫ْلا‬ َ
(2): 30 diungkapkan dengan )‫ة‬
َ ‫ض خ ِليف‬
ِ ‫ر‬ ‫اع ٌل ِفي‬
ِ ‫ ( ِإ ِني ج‬innī jā’ilun fī
al-arḍi khalīfah. Dalam ungkapan itu Allah menyebut diri-Nya
dengan kata ganti orang pertama tunggal. Penyebutan ini
menunjukkan bahwa untuk terlaksananya perbuatan mencipta, Dia
tidak melibatkan makhluk-Nya. Maksudnya penciptaan manusia
sebagai khalifah di bumi merupakan kehendak mutlak-Nya dan
terlaksana tanpa keterlibatan makhluk-Nya. Dia menghendaki
memiliki khalifah dan memutuskan bahwa di antara makhluk-
makhluk yang diciptakan-Nya di bumi yang dikehendaki-Nya untuk
dijadikan khalifah adalah manusia.
Kehendak dan keputusan mutlak Allah untuk menjadikan
manusia sebagai khalifah di bumi dalam ayat tersebut digambarkan
dengan dialog antara para malaikat dengan-Nya. Dalam ayat itu

Risalah Akhlak Islam Filosofis


48

disebutkan bahwa setelah diberi tahu kehendak-Nya untuk


mengangkat khalifah di bumi, para malaikat bertanya, “Apakah
Engkau menjadikan di bumi makhluk yang melakukan kerusakan di
atasnya dan menumpahkan darah?” Pertanyaan itu dijawab-Nya
dengan firman “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui!” Jawaban ini menunjukkan bahwa menciptakan dan
menjadikan manusia sebagai khalifah itu sudah menjadi keputusan-
Nya yang pasti. Dia tetap melaksanakan keputusan itu, meskipun para
malaikat mengajukan pertanyaan tentangnya.
Berkaitan dengan pertanyaan para malaikat, beberapa mufasir
mengemukakan penjelasan berbeda tentang maksudnya. Ibn Katsir
menjelaskan bahwa mereka bertanya untuk memohon penjelasan dan
mengungkap hikmah di balik penciptaan Adam, sementara sebagian
mufasir lain menjelaskan pertanyaan itu untuk menyatakan keberatan
dan kedengkian.25 Penjelasan kedua ini ditolak oleh Ibn Katsir dengan
alasan bahwa para malaikat, sebagaimana ditegaskan dalam al-
Anbiya’ (21): 27, tidak berbicara mendahului Allah, dalam pengertian
tidak menanyakan sesuatu yang mereka tidak diizinkan untuk
menanyakannya.26 Penolakan Ibn Katsir ini jelas menunjukkan bahwa
kisah penciptaan Adam yang dikemukakan dalam al-Baqarah (2): 30 -
39, dalam pandangannya, merupakan kisah historis, kisah yang benar-
benar terjadi dalam sejarah. Namun jika kisah itu dipandang sebagai
kisah didaktis, kisah yang disampaikan untuk menyampaikan pesan-
pesan pendidikan, maka sikap terhadap penjelasan sebagian mufasir
itu bisa lain. Dalam kisah didaktis, keberatan para malaikat itu tidak
mesti dipahami sebagai penolakan atau pernyataan kedengkian, tapi
bisa dipahami sebagai ungkapan tentang potensi merusak yang
dimiliki manusia. Potensi ini dipandang perlu untuk diungkapkan
dalam kisah itu supaya umat Muslim yang berpedoman pada al-
Qur’an menyadarinya sehingga berusaha dengan sungguh-sungguh

25
Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Kairo: Maktabah Miṣr, t.t.), I, hlm 69.
26
Ibid.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


49

supaya tidak menjadi aktual dalam kehidupan mereka sebagai pribadi


maupun kelompok. Dengan demikian penjelasan sebagian mufasir ltu
logis dan sesuai dengan al-Anbiya’ (21): 27.

Apapun kenyataan kisah penciptaan Adam itu, umat Islam harus


mengambil pelajaran yang sangat berharga yang ada di dalamnya,
sekalipun ia merupakan kisah historis. Keharusan ini bisa dipahami
ْ
dari adanya kata )‫ ( ِإ َذ‬iż yang menjadi pengantar kisah di awal al-
Baqarah (2): 30 yang berarti ingatlah. Perintah untuk mengingat ini
sudah barang tentu tidak hanya untuk mengingat kejadian yang
disebutkan dalam kisah, tapi juga untuk mengingat pelajaran yang
terdapat di dalamnya, yakni ajaran tentang konsepsi manusia, yang
dalam hal ini adalah pemahaman tentang kedudukannya di bumi
dengan kodrat manusiawinya. Ajaran ini penting diingat, dalam
pengertian dijadikan pengetahuan dan praktek perbuatan, supaya umat
dapat menggapai kejayaan seperti disebut di depan.

Kedudukan manusia di bumi dijelaskan dalam beberapa ayat


termasuk al-Baqarah (2): 30. Ayat ini menjelaskan kedudukan itu
dalam kalimat innī jā‘ilun fī al-arḍi khalīfah yang berdasarkan
penggunaan kata ganti orang pertama tunggal untuk Allah dalam
uraian di atas dibawa untuk menjelaskan penciptaan manusia sebagai
khalifah. Sekarang berdasarkan pengertian kata )‫ل‬ ٌَ ‫اع‬ َ
ِ ‫ (ج‬jā‘ilun yang
terdapat dalam kalimat itu, ungkapan tersebut dibawa untuk
menjelaskan kedudukan manusia. Jā‘ilun adalah ism al-fā‘il dari kata
َُ ‫ َي ْج َع‬- ‫ ( َج َع َل‬ja‘ala-yaj‘alu yang bisa berarti membuat sesuatu
kerja )‫ل‬
menjadi dalam keadaan tertentu.27 Ungkapan itu, sebagaimana
dijelaskan di depan, menunjuk kepada Adam sebagai manusia.
Kemudiaan dengan ini dan dengan maksud penyebutan diri Allah
dengan kata ganti orang pertama tunggal yang barusan dijelaskan,
ungkapan tersebut maksudnya adalah “Dia dengan kehendak dan

27
Al-Ashfahani, Mu’jam, hlm. 92.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


50

keputusan mutlak-Nya, membuat manusia menjadi dalam keadaan


sebagai khalifah di bumi.” Ini berarti kedudukan manusia di bumi
adalah sebagai khalifah.
ً َ َ ََ
Dalam bahasa Arab )‫ة‬ َ ‫ (خ ِليف‬khalīfah dibentuk dari )‫( ِخَلفة‬
َ َ
khilāfah yang berarti )‫ ( ِنيابة‬niyābah, menggantikan pihak lain.
Menurut al-Ashfahani, penggantian ini bisa karena pihak yang
digantikan tidak ada di tempat, meninggal, tidak mampu
(melaksanakan pekerjaan atau tugas) dan untuk memberi
penghormatan kepada pihak yang diminta menggantikan.28 Ini berarti
penggantian itu pengertiannya bisa menggantikan kedudukan atau
peran dan mewakili. Dengan menggunakan pengertian yang pertama,
Ibn Katsir menjelaskan bahwa kedudukan manusia sebagai khalifah
dalam al-Baqarah (2): 30 itu maksudnya adalah pengganti bangsa
manusia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi.29 Adapun
az-Zamakhsyari yang memahami Adam dalam ayat itu sebagai
pribadi, dengan menggunakan pengertian kedua, menjelaskan bahwa
maksudnya bisa Adam mewakili orang-orang lain dan juga bisa dia
mewakili Allah sebagai seorang nabi, seperti nabi-nabi yang lain.30
Pertanyaan para malaikat yang disebutkan dalam al-Baqarah (2):
30 baik dipahami sebagai sekedar untuk mohon penjelasan maupun
untuk mengajukan keberatan, menunjukkan bahwa maksud khalifah
dalam ayat tersebut bukan pengganti generasi secara geneologis
seperti yang dinyatakan Ibn Katsir. Penciptaan manusia di bumi
dengan diberi hidup lama sehingga bisa bertahan dari generasi ke
generasi an sich tidak berpotensi untuk membuat kerusakan dan
menumpahkan darah. Potensi ini hanya bisa aktual jika mereka
menyandang status tertentu yang memungkinkan mereka
mengaktualkannya. Adapun penjelasan az-Zamakhsyari
28
Ibid., hlm. 157.
29
Ibn Katsir, Tafsir, I, hlm. 69.
30
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyāf ‘an Haqāiq at-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwil fī Wujuh
at-Ta’wīl (Teheran: Intisyarat Aftab, t.t.), I, hlm 271.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


51

menggambarkan kepercayaan yang populer dalam teologi Islam


bahwa Adam adalah manusia dan nabi pertama. Adam ini sudah
barang tentu bukan “Adam” yang hidup 5000 tahun SM, tapi “Adam”
yang hidup paling akhir 350.000 tahun SM seperti yang disebutkan di
atas. Hal ini karena dari sejarah sekarang sudah diketahui bahwa
ribuan tahun sebelum 5000 tahun SM, telah ada masyarakat yang
mengembangkan peradaban di berbagai belahan bumi dan menganut
kepercayaan monoteisme primitif (primitive monotheism) dan
monoteisme murni (ür-monotheism). Mereka mengembangkan
peradaban dan menganut kepercayaan monoteis sudah barang tentu
dengan ada pemimpin dan nabi yang menggerakkan dan
mendakwahkan. Berhubung kenyataannya dalam sejarah begitu maka
al-Qur’an menegaskan bahwa kenabian tidak terbatas pada 25 nabi
dan rasul yang dikisahkannya (an-Nisa’ [4]: 164 dan Ghafir [40]: 78).
Jumlah ini, menurut hadis dari Abu Dzar, hanya sebagian kecil dari
keseluruhan nabi yang jumlahnya mencapai 324.000 orang dengan
313 di antaranya juga menjadi rasul.31
Dengan demikian khalifah yang disandangkan kepada Adam
dalam al-Baqarah (2): 30 itu tidak berpengertian geneologis, sosial
dan teologis seperti yang dikatakan Ibn Katsir dan az-Zamakhsyari.
Ayat itu berbicara tentang penciptaan manusia. Pengertian khalifah di
dalamnya seharusnya dipahami berdasarkan pembicaraannya. Ini
berarti khalifah merupakan status yang diberikan Allah dalam
penciptaan. Status itu melekat padanya dalam keberadaannya di bumi.
Dalam hubungannya dengan makhluk Allah yang lain, status itu
membuat manusia memiliki kedudukan tertentu di hadapan Allah dan
di hadapan makhluk yang lain itu. Dengan kedudukan itu ia bisa
membuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi seperti yang
dikhawatirkan malaikat. Namun dengan kedudukan itu pula dia bisa
mewujudkan kebaikan di bumi, sebagaimana tergambar dalam
jawaban Allah “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu

31
Ibn Katsir, Tafsīr, I, hlm. 585-586.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


52

ketahui”. Kedudukan dengan potensi demikian menunjukkan bahwa


manusia memiliki otonomi dalam mengelola kehidupan di bumi. Dia
tidak akan memiliki otonomi, jika tidak diberi oleh Allah. Allah
memberikannya kepadanya karena ia diciptakan memang untuk
menjadi khalifah-Nya. Karena itu pengertian khalifah dalam ayat itu
adalah wakil Allah. Dengan kedudukan ini dia harus mengelola
kehidupan di bumi. Sesuai dengan Ketuhanan-Nya Yang Maha
Rahman dan Maha Rahim, dia harus mengelola kehidupan untuk
mewujudkan kebaikan nyata yang dikehendaki-Nya.
Dalam perspektif kebudayaan, mengelola kehidupan untuk
mewujudkan kebaikan nyata hanya bisa dilakukakan dengan
menciptakan dan mengembangkan sistem pengetahuan, sistem sosial
dan sistem artefak. Kalau begitu manusia harus menciptakan dan
mengembangkan ketiga sistem ini supaya dia berhasil menjadi wakil
Allah di bumi. Tanpa itu ia akan menjadi wakil yang gagal. Dengan
demikian untuk keberhasilan menjadi wakil Allah, dia harus bisa
menjadi pencipta bersama-Nya (co-creator).
QS. al-Dzariyat (51): 56, sebagaimana telah dibicarakan di
depan, menegaskan bahwa Allah tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk mengabdi kepada-Nya. Penegasan ini menunjukkan
bahwa mengabdi kepada Allah merupakan tujuan penciptaan manusia
dan menjadi alasan keberadaannya di bumi, sehingga dalam al-
Baqarah, 2: 21 ia diperintahkan untuk itu. Dia mengabdi dengan
kedudukan yang terhormat, yakni sebagai khalifah yang ditegaskan
dalam al-Baqarah (2): 30 dan sebagai hamba yang disebutkan dalam
Maryam (19), 93. Karena khalifah merupakan kedudukan dalam
pengabdian, maka mencipta dan mengembangkan ketiga sistem
kebudayaan tersebut atau menjadi pencipta bersama-Nya itu berarti
menjadi wujud pengabdiannya kepada Allah. Apabila dia tidak
melakukannya, maka dia tidak mengabdi kepada-Nya dan tujuan
penciptaannya tidak tercapai sehingga keberadaannya di bumi
menjadi sia-sia.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


53

Kesia-siaan itu sudah barang tentu harus dihindari oleh manusia


dan untuk menghindarinya ia harus memiliki orientasi hidup yang
sesuai. Orientasi hidup yang sesuai untuk itu sudah semestinya
merupakan orientasi yang menjauhkan orang dari kesia-siaan yang
notabene adalah ketidakbergunaan itu. Orientasi itu adalah orientasi
hidup untuk memberi manfaat. Karena normanya demikian, maka
dalam sebuah hadis populer Nabi bersabda: “Sebaik-baik manusia
adalah orang yang paling berguna bagi manusia.” Dalam kehidupan,
kegunaan tidak bisa dipisahkan dari kedudukan. Berdasarkan ini,
hadis tentang orientasi hidup itu mesti atau stidak-tidakny bisa
diyakini berhubungan dengan kedudukan manusia sebagai khalifah.
Dengan begitu maka “paling berguna bagi manusia” dalam hadis
tersebut maksudnya adalah paling berjasa dalam menciptakan dan
mengembangkan sistem pengetahuan, sistem sosial dan sistem
artefak. Pemahaman ini sesuai dengan praktek kehidupan Nabi yang
telah berjasa besar dalam penciptaan dan pengembangan ketiga sistem
tersebut, terutama dua sistem yang pertama, sehingga mendapatkan
pengakuan dunia sebagaimana yang dinyatakan oleh Michael H. Hart
yang menempatkannya sebagai orang yang menduduki ranking
pertama dari seratus tokoh paling berpengaruh di dunia sepanjang
sejarah.32

B. Kodrat-Kodrat Manusia
1. Kodrat Wujud

Di samping membicarakan penciptaan manusia dengan


menjelaskan bahan dan kedudukan yang telah dijelaskan di atas, al-
Qur’an juga membicarakan penciptaannya dengan menjelaskan
kodrat-kodratnya. Kodrat adalah sifat asli yang menjadi bawaan yang
diberikan kepadanya dalam penciptaan. Sifat asli itu disebut kodrat
32
Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah,
terj. Ken Ndaru dan M. Nurul Islam, (Bandung: Hikmah, 2009), hlm. 1-9.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


54

karena ia merupakan watak dan berfungsi sebagai kemampuan untuk


menghadirkan diri dengan melakukan sesuatu, baik aktif maupun
pasif. Penciptaan manusia dengan kodrat ini dibicarakan dalam
banyak ayat, termasuk ayat yang membicarakan penciptaan secara
umum, yakni al-A’la (87): 3. Dalam ar-Rum (30): 30 kodrat itu
ٌ ْ
disebut sebagai fitrah. Sesuai dengan arti asal )‫ ( ِفط َر َة‬fiṭrah dalam
bahasa Arab adalah mencipta untuk yang pertama kali, penyebutan
kodrat dengan fitrah itu menunjukkan bahwa kodrat merupakan
rekayasa Allah sejak awal penciptaan manusia dengan cetakan
tertentu. Sebagai rekayasa-Nya, kodrat itu melekat padanya sepanjang
zaman sehingga dalam ayat ar-Rum itu ada penegasan “tidak ada
perubahan sedikit pun untuk penciptaan yang dilakukan Allah”.
Kemudian karena rekayasa itu menggunakan cetakan, maka dalam al-
ٌَ
َ ‫ ( ِص ْبغ‬ṣibġah, cetakan dan celupan
Baqarah )2(: 138 kodrat disebut )‫ة‬
yang digunakan untuk menciptakan manusia dengan bentuk, sususan
dan “warna” tertentu.
Al-Baqarah (2(: 30-39 menjelaskan tiga macam kodrat manusia:
kodrat wujud, kodrat potensi dan kodrat keberadaan. Kodrat wujud
adalah sifat asli wujud manusia. Wujud manusia terdiri atas jasmani
dan rohani. Dua bagian ini tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain,
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Jadi kodrat manusia itu
adalah makhluk jasmani-rohani. Dalam ayat-ayat tentang penciptaan
manusia, kodrat ini ditunjukkan dengan bahan penciptaannya dari
tanah liat dan ruh tuhan. Tanah liat menunjukkan bagian jasmani,
sementara ruh Tuhan menunjukkan bagian jasmani. Adapun dalam
ayat-ayat itu, bagian jasmani ditunjukkan dengan perintah kepada
Adam dan Hawa untuk bertempat tinggal di surga dan di bumi, makan
dengan nikmat dan tidak mendekati pohan larangan (al-Baqarah [2]:
35-36). Tiga perintah itu menunjukkan bahwa Adam dan Hawa
sebagai manusia memerlukan tempat tinggal dan makan dan berada di
ruang luas sehingga ada jarak antara mereka dengan benda lain di

Risalah Akhlak Islam Filosofis


55

tempat mereka tinggal. Hal itu karena mereka merupakan makhluk


jasmani. Lalu bagian rohani dari wujud manusia ditunjukkan dengan
kemampuan Adam menerima pengajaran dan memahami perintah dari
Allah, melakukan pertobatan, menerima ampunan; dan dengan
kebebasan manusia mengikuti petunjuk Allah atau mengingkarinya
(al-Baqarah [2]: 31, 32, 37, 38 dan 39). Selanjutnya kesatuan jasmani
dan rohani dalam diri manusia ditunjukkan dengan kesediaan para
malaikat dan penolakan Iblis untuk bersujud kepada Adam (al-
Baqarah (2): 34).
2. Kodrat Potensi
Kodrat potensi adalah sifat asli manusia yang berfungsi menjadi
kemampuan yang melekat padanya sebagai makhluk jasmani-rohani
yang diciptakan untuk mengabdi kepada Allah dengan kedudukan
sebagai hamba dan khalifah-Nya. Pengelolaan kodrat itu menentukan
nasibnya dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat.
Pengelolaan dengan baik pasti membuat nasibnya menjadi baik,
sebaliknya pengelolaan dengan buruk pasti membuat nasibnya
menjadi buruk. Karena itu supaya manusia bisa mengelolanya dengan
baik, Allah yang memberikan kodrat itu kepada manusia juga
memberikan petunjuk pengelolaannya sebagaimana yang ditegaskan
dalam al-A’la [87]: 3 yang telah disebutkan di atas.
Setidak-tidaknya ada delapan kodrat potensi yang diungkapkan
dalam al-Baqarah (2): 30-39. Pertama, makhluk kebudayaan. Kodrat
manusia sebagai makhluk kebudayaan merupakan konsekuensi dari
kedudukannya sebagai khalifah atau wakil Allah di bumi yang
ditegaskan dalam al-Baqarah [2]: 30. Di atas telah dijelaskan bahwa
sebagai khalifah, ia harus menciptakan dan mengembangkan sistem
pengetahuan, sistem sosial dan sistem artefak. Ini berarti kodrat itu
berfungsi menjadi kemampuan manusia untuk menjalani hidup
dengan belajar, tidak hanya dengan insting. Menjalani hidup dengan
belajar itu membuat manusia bisa mengembangkan kebudayaan dari

Risalah Akhlak Islam Filosofis


56

waktu ke waktu sehingga mencapai peradaban tinggi seperti yang


disaksikan sekarang.
Kedua, makhluk pengertian. Manusia memiliki kodrat ini karena
ia memiliki indera, akal dan ruh. Kodrat ini berupa kemampuan
mengetahui, memahami, membuat konsep atau sebutan dan membuat
klasifikasi obyek sehingga manusia memiliki pengertian tentang
semua wujud. Kodrat ini dijelaskan dalam al-Baqarah (2): 31-33.
Pengelolaan kodrat itu dengan baik membuat manusia menjadi
makhluk Allah yang paling mulia karena bisa memperoleh semua
kebaikan dan menolak semua keburukan yang dalam al-Baqarah (2):
34 digambarkan dengan kesediaan malaikat dan penolakan Iblis
bersujud kepada Adam. Dalam perspektif filsafat, pengelolaan dengan
baik itu adalah mengelola pengertian supaya berfungsi penuh
sehingga dapat: menjiwai kehidupan dan perbuatan manusia;
mempersatukan manusia dengan dunianya; mempersatukan manusia
dengan sesamanya; mempersatukan manusia dengan dirinya sendiri;
dan membuat manusia menangkap transendensinya sehingga bisa
menyempurnakan dirinya dengan tuntutan transendensinya itu.33
Ketiga, makhluk merdeka. Manusia menjadi makhluk merdeka
karena memiliki kehendak bebas yang membuatnya bisa memiliki
pilihan dan menentukan nasibnya sendiri. Sadar atau tidak, apapun
yang ia lakukan atau menjadi apapun dia, sebenarnya merupakan
pilihannya sendiri, termasuk “pilihan” menerima paksaan ketika
dipaksa orang lain. Karena melakukan apapun atas kehendak
bebasnya, maka dia diminta untuk mempertanggungjawabkannya,
sehingga kehendak bebas itu ibaratnya pisau bermata dua baginya,
indah tapi berat.
Kehendak bebas atau kodrat kemerdekaan manusia dalam al-
Ahzab, 33: 72 disebut amānah (diserap menjadi amanah dan amanat).
Kemerdakaan manusia sebagai pengertian amanah terdapat dalam

33
Drijarkara, Filsafat Manusia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 63-66

Risalah Akhlak Islam Filosofis


57

tafsir ayat tersebut yang dikemukan dua ulama besar: Tabi’in Hasan
Bashri dan Mujahid, dan menurut an-Nahhas, dianut oleh ulama ahli
tafsir, sebagaimana kutipan di bawah:

‫ َإن ْلامانة عرضت على السموات وْلارض والجبال‬:‫قال الحسن‬


،‫ وإن أسأت عذبتك‬،‫ وما فيها؟ فقال لها إن أحسنت آجرتك‬:‫فقالت‬
‫ وقيل له‬،‫ َقال مجاهد فلما خلق هللا آدم عرضها عليه‬.‫فقالت َل‬
‫َوروي نحو هذا عن غير الحسن ومجاهد قال‬.‫ فقال قد تحملتها‬،‫ذلك‬
.‫َوهذا القول هو الذي عليه أهل التفسير‬:‫النحاس‬
Hasan (al-Bashri) mengatakan: “Amanah ditawarkan kepada langit,
bumi dan gunung-gunung. Mereka menjawab tawaran dengan
bertanya, ‘Apa yang ada dalam amanah itu?’ Jawab Allah, ‘Apabila
kalian berbuat baik, maka Aku memberimu pahala dan jika kalian
berbuat buruk, maka aku menghukummu’. Maka mereka menjawab,
‘Tidak’. Mujahid mengatakan, “Ketika Allah menciptakan Adam, Dia
menawarkan amanah kepadanya dengan menyampaikan firman itu
kepadanya, maka dia menjawab, ‘Ya, aku menerima amanah itu.’ An-
Nahhas mengatakan, “Pendapat ini merupakan pendapat yang dianut
oleh ulama ahli tafsir.”
Amanah berupa kehendak bebas yang diterima manusia itu amat
sangat berat. Betapa beratnya amanah dalam ayat itu digambarkan
secara menarik. Langit, bumi dan gunung-gunung yang secara fisik
lebih kuat dibandingkan manusia, menolak menerimanya ketika
ditawari oleh Allah. Manusia yang menerimanya, bukannya dipuji,
tapi malah dikomentari sebagai amat zalim dan amat bodoh.
Kodrat manusia sebagai makhluk merdeka dalam al-Baqarah
[2]: 30-39 digambarkan dengan perbuatan Adam dan Hawa melanggar
larangan mendekati pohon larangan (al-Baqarah [2]: 35-36) dan
manusia dipersilahkan untuk memilih mengikuti petunjuk Allah atau
mengingkarinya (al-Baqarah [2]: 38-39). Demi kebaikan hidup
manusia sendiri, kemerdekaan itu harus dikelola dengan baik.
Kemerdekaannya hendaknya dikelola untuk mengikuti petunjuk-Nya

Risalah Akhlak Islam Filosofis


58

supaya tidak mengalami ketakutan dan kesedihan dalam kehidupan di


dunia dan di akhirat (al-Baqarah [2]: 38). Kemudian dia diingatkan
jangan menggunakan kemerdekaan untuk mengingkari ayat-ayat-Nya
supaya tidak menjadi penghuni neraka yang kekal di dalamnya. (al-
Baqarah [2]: 39).
Kodrat manusia sebagai makhluk merdeka dalam al-Baqarah, 2:
30-39 digambarkan dengan perbuatan Adam dan Hawa melanggar
larangan mendekati pohon larangan (al-Baqarah [2]: 35-36) dan
manusia dipersilahkan untuk memilih mengikuti petunjuk Allah atau
mengingkarinya (al-Baqarah [2]: 38-39). Demi kebaikan hidup
manusia sendiri, kemerdekaan itu harus dikelola dengan baik.
Kemerdekaannya hendaknya dikelola untuk mengikuti petunjuk-Nya
supaya tidak mengalami ketakutan dan kesedihan dalam kehidupan di
dunia dan di akhirat (al-Baqarah [2]: 38). Kemudian dia diingatkan
jangan menggunakan kemerdekaan untuk mengingkari ayat-ayat-Nya
supaya tidak menjadi penghuni neraka yang kekal di dalamnya. (al-
Baqarah [2]: 39).
Kelima, makhluk ekonomi. Manusia menurut kodratnya adalah
makhluk ekonomi yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
untuk mempertahankan eksistensinya. Kodrat ini diungkapkan dengan
perintah untuk makan dari seluruh sumber makanan yang ada di
surga, selain pohon larangan (al-Baqarah [2]: 23). Kebutuhan manusia
sangat luas dan tidak terbatas pada makanan. Apabila ayat itu hanya
menyebutkan kebutuhan makan, maka itu tidak dimaksudkan untuk
membatasi, tapi untuk menunjukkan kodrat yang harus diperhatikan
dan dikelola dengan baik supaya eksistensinya tetap terjaga dan tidak
punah.
Keenam, makhluk tata aturan. Manusia menurut kodratnya
merupakan makhluk yang membutuhkan tata aturan dalam hidupnya.
Manusia tidak bisa hidup tanpa aturan dalam kehidupan pribadi
maupun kehidupan kelompok. Kodrat ini diungkapkan dalam larangan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


59

kepada Adam dan Hawa untuk mendekati buah larangan. Berdasarkan


pemahaman kodrat ini, maka pohon larangan itu tidak menunjuk pada
pohon tumbuh-tumbuhan: gandum, zaitun dan lain-lain, sebagaimana
yang disebutkan beberapa mufasir,34 tapi pohon yang berhubungan
dengan tata aturan. Apabila tata aturan itu dibatasi pada hukum, maka
pohon yang tidak boleh didekati itu adalah pohon kejahatan, seperti
yang dikemukakan Nurcholish Madjid.35 Namun jika dipahami juga
meliputi aturan-aturan moral dan tata pergaulan, maka pohon larangan
itu adalah pohon kejahatan, keburukan dan ketidakpantasan.
Ketujuh, makhluk spiritual. Manusia menurut kodratnya
merupakan makhluk spiritual yang mampu menangkap adanya Wujud
Adikodrati (Tuhan) dan memberi respon terhadap keberadaan-Nya
sesuai dengan kekaguman dan ketakutan yang dirasakannya. Kodrat
ini diungkapkan dengan ketaatan Adam menerima dan mengikuti
perintah Allah untuk menjelaskan konsep-konsep wujud kepada para
malaikat dan untuk tinggal bersama isterinya di surga; dan dengan
pertobatan yang dilakukannya setelah melakukan kesalahan yang
membuatnya terusir dari surga (al-Baqarah [2]: 33, 35 dan 37). Di
samping itu juga diungkapkan dengan kesediaan manusia mengikuti
petunjuk-Nya (al-Baqarah [2]: 38).
Kedelapan, makhluk pengelola konflik. Manusia menurut
kodratnya merupakan makhluk yang memiliki kepentingan sehingga
terjadi benturan kepentingan antara satu orang dan satu kelompok
dengan orang dan kelompok yang lain. Dalam pandangan klasik
kodrat ini dipahami sebagai bagian dari wujud nafsu hewani karena
kehidupan manusia dipahami sebagai bagian dari animal kingdom.
Namun ungkapan kodrat itu dalam al-Baqarah [2]: 36 tidak
mendukung pandangan itu. Ayat ini memuat firman sangat indah.

34
Ibn Katsir, Tafsir, I, hlm. 79.
35
Nurcholish Madjid, “The Islamic Concept of Man and Its Implications for
Muslim’s Appreciation of The Civil an Political Rights” dalam al-Jami’ah, No.
65/VI/2000, hlm. 42.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


60

Setelah firman “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi lawan yang


lain”, ada firman “Bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di
bumi sampai waktu yang ditentukan.” Ungkapan firman ini
menunjukkan bahwa dengan kodratnya sebagai pengelola konflik,
manusia membuat konflik menjadi konflik yang kreatif, bukan
sebagai konflik yang destruktif. Pengelolaan konflik demikian
membuat mereka mapan dan senang dalam kehidupan di bumi. Jadi
konflik itu bukan bagian dari animal kingdom, tapi bagian dari human
kingdom.
3. Kodrat Kedirian dan Keberadaan
Kodrat wujud dan potensi di atas membuat manusia memiliki
kodrat kedirian dan keberadaan. Kodrat kedirian adalah sifat asali
manusia yang sadar tentang diri (aku) dan kehadiran diri, sedang
kodrat keberadaan adalah sifat asli dari realitas manusia yang dirinya
hadir atau menghadirkan diri dalam kehidupan sehingga memiliki
keberadaan di ruang dan waktu yang jelas.
Dengan kodrat kediriannya manusia menghadirkan diri dalam
kehidupan sesuai dengan kesadarannya tentang diri dan segala yang di
luar dirinya. Manusia sebagai “diri yang menghadirkan diri” ini dalam
al-Qur’an disebut nafs (asy-Syam [91]: 7). Kemudian karena kodrat
kedirian itu menjadi pangkal kesadaran manusia menghadirkan diri
yang berarti menjadi “pendorong” baginya, maka kata nafs secara
populer digunakan dengan pengertian dorongan dari dari dalam diri
(pengertian ini selintas ditunjuk dalam Yusuf [12]: 53).
Dalam kapasitasnya sebagai nafs manusia di dunia menerima
pembebanan sesuai dengan kemampuannya (al-Baqarah [2]: 286) dan
di akhirat menerima pembalasan atas semua perbuatannya tanpa
dizalimi (Yasin [36]: 54). Ayat terakhir ini dan ayat-ayat lain yang
menjelaskan kehidupan manusia di akhirat setelah kehidupannya di
dunia menunjukkan bahwa manusia dalam keberadaannya sebagai diri
merupakan makhluk yang abadi.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


61

Kehidupan manusia sepanjang sejarahnya sebagai individu dan


kelompok selalu dinamis. Dalam keadaan normal tidak ada satu pun
orang yang dalam hidupnya terus menjadi bayi secara biologis,
psikologis dan metafisik. Ini berarti manusia itu menurut kodrat
keberadannya merupakan makhluk dinamis. Dalam al-Baqarah [2]:
30-39, kodrat ini ditunjukkan dengan dinamika yang kompleks dari
kehidupan Adam: dari tidak tahu menjadi tahu, dari belum dihormati
menjadi dihormati dan tidak dihormati, dari tidak bersalah menjadi
bersalah, dari bahagia menjadi sengsara, dari tidak ada konflik
menjadi ada konflik dan seterusnya.
Al-Qur’an menunjukkan bahwa kodrat keberadaan manusia
sebagai makhluk dinamis harus dikelola supaya kehidupannya di
dunia dan akhirat menjadi ḥayāh ṭayyibah. Secara eksistensial
pengelolalan itu dilakukan dengan mengusahakan diri menjadi diri
(nafs) yang muṭmainnah (diri yang memiliki dorongan baik dominan),
bukan diri yang lawwāmah (diri yang memiliki dorongan baik lemah),
apalagi diri yang ammārah (diri yang memiliki dorongan buruk
dominan).

C. Indra Batin Manusia


Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling
sempurna36 di antara makhluk-makhluk lainnya, seperti malaikat dan
binatang. Di antara potensi kesempurnaan manusia yang dititipkan Allah
dalam diri keturunan Adam ini adalah, kemampuannya dalam berpikir.
Kemampuan berpikir inilah yang menjadi pembeda secara radikal antara
manusia dengan makhluk lainnya. Hal ini seiring dengan penjelasan yang
berkembang dalam wacana umum filsafat dan moral/akhlak Islam, bahwa
manusia pada dirinya terdapat akal (aql) dan jiwa (nafs), pada malaikat
terdapat akal dan dan tidak ada jiwa, sedangkan pada binatang tidak
terdapat akal tetapi mempunyai jiwa. Melalui kemampuan berpikir inilah
36
Lihat Q.S. At Tin/95: 4.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


62

dengan berbagai istilah dan gambarannya yang menjadikan manusia,


meskipun punya jiwa, layak menjadi wakil Tuhan di muka bumi.
Meskipun dikisahkan bahwa pemberian kewenangan itu mendapat protes
dari para malaikat, namun Allah menegaskan dengan mengatakan bahwa
Dirinya mengetahui apa yang tidak malaikat ketahui. Atas kewenangan
Allah jualah, Allah secara langsung mengajarkan kepada Adam nama-
nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian menguji malaikat untuk
menyebutkan apa yang Allah ajarkan kepada Adam,37 dan malaikat pun
tidak mampu melakukannya.
Pada penjelasan lain, manusia juga diingatkan oleh Allah dengan
ancaman neraka Jahanam. Ancaman ini diberikan kepada manusia dan jin
karena kelalaian mereka tidak menggunakan fungsi mata, telinga dan
hatinya. Akibat kelalaian mereka inilah selanjutnya mereka dikategorikan
sebagai makhluk yang lebih hina daripada binatang ternak (domestic
animal).38 Seperti dalam pemahaman umum, binatang ternak dipelihara
secara baik dan terjaga dari bahaya, pada akhirnya hanya akan dijadikan
sebagai binatang sembelihan untuk dikonsumsi. Maka sungguh buruk
gambaran manusia yang tidak menggunakan mata, telinga dan hatinya.
Hati (qalb) khususnya – dan juga mata serta telinga, sebagaimana
tersebut dalam al-A’raf 7: 179– mempunyai potensi untuk memahami
(yafqahūna) realitas, yang kegagalan atau kelalaiannya berujung pada
neraka jahannam, suatu kondisi terburuk di akhirat. Shihab menjelaskan
bahwa tipe manusia ini menolak kebaikan dan kebenaran serta mengarah
kepada bahaya yang tiada-taranya, sebaliknya manusia yang
menggunakan hati, mata, dan telinganya dapat mengantarkan dirinya
meraih derajat jauh lebih tinggi dari binatang.39 Bila binatang hanya
memenuhi kebutuhan biologisnya sebatas telah terpenuhi, namun manusia
dalam tipe ini dalam memenuhi kebutuhan berlebihan dalam mengurangi

37
Lihat Q.S. al-Baqarah/2: 30-31.
38
Lihat Q.S. Al A'raaf/7: 179.
39
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 379.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


63

hak orang lain.40 Inilah gambaran singkat tentang bagaimana peran qalb
(mata dan telinga) bagi manusia, bukan saja memberi pengaruh dan
maṣlaḥah atau mafsadah bagi manusia semasa mereka di hidup dunia
tetapi juga menjadi penentu utama tentang kehidupan mereka di akhirat.
Gambaran tentang hati dengan perbuatan manusia menjelaskan
bahwa qalb memiliki nilai sentral dalam kehidupan manusia, baik sebagai
makhluk pribadi (individu) maupun sebagai makhluk sosial yang
berimplikasi pada pertanggungjawaban setiap manusia di dunia dan di
akhirat. Fenomena ini juga terungkap dalam sejumlah teks-teks hadis
berikut ini: innamā bu‘iṡtu li utammima makārima al-akhlāq,
sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemulian akhlaq atau
dalam hadis populer ini: Inna Allah lā yanẓuru ilā ṣuwarikum wa
abṣārikum, wa innamā yanẓuru ilā qulūbikum,41 Sesungguhnya Allah
tidak melihat pada bentuk dan badan kalian, tetapi Allah melihat pada hati
kalian.
Dalam konteks pribadi yang sehat (healthy personality) terikat kuat
dengan keadaan hati, sebagaimana hadis populer berikut ini: Inna fī al-
jasadi muḍgah, iżā ṣaluḥat ṣaluḥa al-jasad kulluhu, wa iżā fasadat fasada
al-jasad kulluhu, alā wa hiya qalbun,42 sesungguhnya di dalam tubuh
manusia itu ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka
baiklah kondisi tubuh, tetapi apabila segumpal daging itu rusak, maka
rusaklah tubuh, maka ketahuilah segumpal daging itu adalah hati. Hati,
demikian penjelasan Rober Frager, merupakan pusat spiritual. Hati
merupakan sumber cahaya batiniah, inspirasi, kreativitas, dan belas
kasihan.43

40
Al-Qur’an dan Tafsirnya, Juz 7-8-9, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 515.
41
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Minhāj al-‘Ābidīn (Indonesia: Dār Iḥyā’
al-Kitāb al-‘Arabiyyah, tth), hlm. 31.
42
al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin, hlm. 31.
43
Robert Frager, Psikologi Sufi: Untuk Transformati Hati, Jiwa dan Ruh, terj.
Hasmiyah Rauf (Jakarta: Zaman, 2014), hlm. 59. Syekh Ragib al-Jerrahi ini menjelaskan
fungsi hati dengan menghadapkan pada tradisi orang-orang Barat yang lebih

Risalah Akhlak Islam Filosofis


64

Qalb – sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis –


dalam bahasa Indonesia diterjemahkan hati. Selain qalb, terdapat kata lain
dengan terjemah yang sama, hati yaitu: al-qalb, al-fuad/al-afidah, dan lub
atau al-albāb. Selain ketiga kata ini terdapat kata lain yang tidak kalah
penting lagi yaitu al-ṣadr (dada).44 Ketiga kata yang pertama ini memberi
gambaran detail tentang fenomena kebatinan setiap manusia. Hal ini
menunjukkan betapa manusia itu dengan berbagai perilaku tindakannya
terkadang misterius. Hal ini mengingatkan kita pada penilaian Hukum
Islam (Fiqh) bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
pelakunya tidak bisa dikenai sanksi, karena dilakukan dalam tekanan
orang lain. Bermula dari fenomena inilah topik indra batin dan fungsi
menjadi penting untuk didiskusikan, terlebih lagi dalam konteks
membangun kesadaran akhlak.
Selanjutnya, pertanyaan umum yang mungkin dikemukakan banyak
kalangan adalah: Lantas apa sebenarnya yang dimaksud dengan hati
dalam konteks hadis tersebut? Apa yang dimaksud dengan shadr, qalb,
fu’ād, dan lubb? Dan bagaimana fungsi qalb, fu’ād, dan lubb pada diri
manusia kaitannya dengan kualitas moral/akhlak seseorang?
Salah satu kemujizatan al-Qur’an di antaranya penjelasam detail
dan menukik tentang fenomena batin manusia. Penggambaran fenomena
indra batin manusia ini menggunakan sejumlah istilah yang berbeda yaitu:
ṣadr, qalb, fu’ād, dan lubb. Dalam konteks bahasanya Indonesia tiga di
antaranya diterjemahkan dengan hati, hati yang lebih dalam, dan lubuk
hati. Nama yang berbeda tersebut juga menjelaskan tentang fungsi yang
berbeda, terutama dalam akhlak atau perilaku manusia.
Qalb (Indonesia: kalbu) ini mengambil bentuk jamak seperti qulub,
iqlāb, qilāba dan ‘aqlūb, yang artinya membalik sesuatu ke dalam,
membalikkan dan mentransformasikan. Raghib al-Asfahani (w.

menekankan akal dengan mengabaikan peran hati. Akal tidak lain sebagai pendidikan
dasar seperti pada aktivitas membaca, menulis dan arifmatika. Ibid., hlm. 58.
44
Untuk selanjutnya, guna membedakan pengertian ṣadr, qalb, fu’ād, dan lubb,
keempat kata ini akan dipertahankan sebagaimana ungkapan bahasa aslinya.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


65

502/1108) mendefinisikan qalb dengan "mengubah sesuatu dari keadaan


tertentu menjadi keadaan yang berbeda."45 Ibn Manzhur mendefinisikan
qalb sebagai: secara fisik maupun secara psikis. Dalam pengertian fisik
material, qalb adalah segumpal daging dari fu’ād yang menggantung pada
jantung yang secara fisik keadaannya terus menerus berdetak dan
berbolak-balik memompa darah. Adapun dalam pengertian psikis, qalbu
adalah keadaan rohaniah yang selalu bolak balik dalam menentukan suatu
ketetapan.46
Diponegoro menyebutkan bahwa fenomena lain yang terjadi pada
qalb adalah adanya komunikasi timbal balik antara hati dengan otak,
bertransmisi melalui saraf; secara biokimia melalui hormon dan
transmiter saraf; secara biofisik melalui gelombang tekanan; dan secara
energi melalui interaksi gelombang elektromagnetik.47 Bukan hanya itu
Gullen menyebutkan bahwa organ ini sangat istimewa dan berbeda
dibandingkan semua organ tubuh lainnya, baik dari strukturnya maupun
sel-sel pembentuknya, dan memiliki dua serambi (auricle), dua bilik, dan
dua lubang. 48 Penjelasan Nawab Ali menegaskan bahwa qalb dari arti
sepotong daging berbentuk kerucut di sebelah kiri dada, yang fungsinya
mengedarkan darah, sebagai sumber ruh hewani. Semua hewan
memilikinya.49 Organ ini menjadi pusat semua urat dan otot yang dapat
bergerak secara mandiri, sehingga membuatnya sebagian organ yang
sangat dinamis, karena ia bergerak seperti penggerak mekanis yang

45
Mehmet Yavuz Seker, A map of the Divine Subtle Faculty: The Concept of Qalb
(Heart) in Classical and Contemporary Islamic Scholarship, Disertasi (Australia:
Australian Catholic University, 2012), hlm. 28.
46
Ibn Manzhur, Lisān al-‘Arab, tt, hlm. 426 dalam Ahmad Dibul Amda, Qalbu
dalam al-Qur’an, Disertasi (Yogyakarta: Program Doktor Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga, 2015), hlm. 43-44.
47
Ahmad Muhammad Diponegoro, “Tafsir Ilmi Kisah Adam dan Musa dalam
Surat al-Baqarah: Studi terhadap al-Qur’an dan Tafsirnya Kementerian Agama,”
Disertasi, (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm. 117.
48
Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf untuk Kita Semua: Menapaki Bukit-bukit
Zamrud Kalbu Melalui Istilah-istilah dalam Pratik Sufisme, terj. Fuad Syaifuddin Nur
(Jakarta: Republika, 2014), hlm. 63-64.
49
Syed Nawab Ali, Rahasia-rahasia Ajaran Tasawuf al-Ghazali, terj. Hamid Luthfi
A. Basalamah (Bandung: Gema Risalah Press, 1988), hlm. 24-25.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


66

kinerjanya sangat mirip dengan pompa yang dapat menyembur dan


menghisap, 50 menjadi pusat segala perasaan, persepsi, sensitivitas, akal,
dan daya kontrol.
Itulah definisi dan fenomena umum yang dipahami kalangan ahli.
Adapun penjelasan al-Qur’an terkait dengan nama-nama atau istilah yang
berbeda tentang hati, seperti aṣ-Ṣadr, al-Qalb, al-Fu’ād, dan al-Lubb
mereka memberikan uraian yang lebih teknis dan operasional dalam
konteks fungsi indra batin manusia. Al-Qur’an sendiri menyebut istilah-
istilah teknis seperti ini: qalbun mu’allaf (Al Anfaal [8]: 63), qalbun
salim (As-Saffat [37]: 84, Asy-Syu'ara'/26:89), qalbun muṭmainnun (Ar
Ra'd [13]: 28), qalbun ya’qilu (Al Hajj [22]: 46) qalbun mu’minun (Al
Qashash [28]: 10), qalbun ra’fatun wa raḥmatun (Al-Hadid [57]: 27),
qalbun munībun (Qaf [50]: 33); qalbun taqwā (al-Hujarat [49]: 3); qalbun
sakīnun (al-Fath [48]: 18). Namun untuk menjelaskan detail terkait
dengan istilah hati atau nama-namanya yang berbeda itu secara sederhana
bisa mengikuti uraian Robert Frager.
Frager membuat ilustrasi sederhana guna memahami hubungan
ṣadr, qalb, fu’ād dan lubb, dalam sebuah lingkaran yang berlapis-lapis.
Lapisan paling luar ditempati oleh ṣadr, lapisan kedua dari luar ditempati
oleh qalb, lapisan ketiga ditempati oleh fu’ād, dan lapisan terdalam
ditempati oleh lubb.
Berikut ilustrasi hubungan keempat indra batin tersebut.

Lubb
Fuad
Qalb
Shadr

50
Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuh untuk Kita Semua..., hlm. 63-64.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


67

1. Ṣadr
a. Pengertian ṣadr
Secara harfiah ṣadr (jamak: ṣudūr), muqaddimu-kulli
syaiin.51 Dalam konteks tasawuf, ṣadr merupakan wilayah batin
seseorang dalam menerima Islam.52 Definisi ini merujuk pada
makna Q.S. al-Hujarat/49: 14, yang mengungkap tentang kisah
pernyataan iman orang Baduwi. Namun pernyataan iman orang
Baduwi ini disanggah karena apa yang mereka ucapkan sebagai
tindakan iman itu lebih tepat disebut dengan berislam atau pasrah.
Pengakuan mereka di hadapan Nabi Muhammad itu dilakukan
karena himpitan musim paceklik yang mereka alami pada tahun
IX H. Melalui menyatakan iman itu mereka berharap mendapat
imbalan yang setimpal dari nabi Muhammad.53 Untuk memilah
antara iman dan Islam, Shihab menguraikan bahwa isla, sesuatu
yang bersemai di dalam hati menyangkut apa yang disampaikan
oleh nabi Muhammad, serta ketundukan lidah mengucapkan dua
kalimat syahadat serta ketundukan anggota tubuh dengan
mengamalkan perintah Allah baik sesuai dengan hati mamupun
tidak. Islam inilah dalam lapisan hirarkhis batin manusia berada
pada sisi terluar yang disebut dengan ṣadr (dada).
b. Fungsi Ṣadr
Berpijak dari pengertian di atas, ṣadr merupakan tempat
bersemayamnya komitmen lahiriah batiniah seseorang dalam
landasan transaksional material politik, ekonomi, maupun sosial

51
Ahmad Muhtar Umar, Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyyah al-Mu’āṣirah, Jilid 2,
(Kairo: ‘Ālam al-Kitāb, 2008), hlm. 1278.
52
Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi): the Mystical
Language of Islam, (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1995), hlm. 204.
53
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 624.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


68

keamanan.54 Fenomena ini seiring dengan istilah al-Ṣadr al-A’ẓam


yang diartikan dengan al-Wazīr al-Akbar (Perdana Menteri).55
Pengertian umum al-Wazīr al-Akbar sebagai pejabat negara yang
berada pada posisi depan untuk menangani urusan sosial, politik,
ekonomi dan keamanan. Analogi ini bisa dipahami bahwa
seseorang yang berhadapan dengan sejumlah transaksi politik,
ekonomi, dan sosial keamanan. Dalam hal ini nilai transaksi
materialnya sebagian besar untuk membangun komitmen
keagamaannya. Meski beragama Islam sekalipun, iman yang
bersemayam dalam ṣadr seseorang ini sangat mungkin bisa
digeser, tergantung besar kecilnya pengaruh materi barang yang
dijadikan tawar menawar.
Konsistensi al-Qur’an dalam menggunakan kata ṣadr ini
sebagai bentuk penegasan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada
dalam dada seseorang, meskipun orang lain tidak mengetahui.
Artinya artikulasi verbal dan gerakan tingkah fisik seseorang tidak
selamanya menggambarkan tentang konsistensi isi yang
diyakininya dalam hati. Meskipun orang lain tidak mengetahui apa
yang ada dalam dada seseorang, tetapi Allah mengetahuinya.56
Dalam konteks psikologi Islam, Frager mengkaitkan
fenomena seseorang yang mendasarkan hidup pada pertimbangan-
pertimbangan ṣadriyyah masuk dalam kelompok Nafs al-
Ammārah (the Commanding Self). Kelompok ṣadriyyah ini oleh
Shaikh Fadhlalla Haeri digambarkan dengan fenomena kejiwaan
seperti bertindak kejam, serakah, pencemburu, bodoh,
mementingkan diri sendiri, membanggakan diri, senang dengan
kejayaan, sombong, senang dengan sensualitas, pemarah, keras

54
Lihat pada Buddhy Munawarr-Rahman, ed., Ensiklopedi Nur Cholish Madjid:
Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Edisi Digital, Jilid 2 (Bandung: Mizan, 2006),
hlm. 1205.
55
Ahmad Muhtar Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabyiyah al-Mu’āṣirah, Jilid 3,
hlm. 1278.
56
Lihat Q.S. Al 'Ankabuut (29): 10-11; Az Zumar (39): 7-8; Huud (11): 5;

Risalah Akhlak Islam Filosofis


69

hati, tidak memiliki kepekaan, kurangnya wawasan, bertindak


keji, senang ikut campur dengan urusan lain, suka menghina dan
mengolok-olok orang lain, tamak (rakus), membangun kebencian,
kaku pada satu dogma, cuek (tidak peduli), dan tidak mampu
membangun relasi sosial yang stabil.57 Fenomena ṣadriyyah selalu
menampilkan persoalan-persoalan ketidakharmonisan,
ketidakadilan, ketidakpedulian pada sesama. Atau egois, selfish,
soliter, mungkin gambaran orang-orang yang mendasarkan
hidupnya pada semangat ṣadriyyah.
Gambaran al-Qur’an tentang fenomena kejiwaan ṣadr (nasf
al-ammārah) ini seperti yang diceritakan dalam Yusuf [12]: 53,
yang artinya: “Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Sederhananya pribadi yang masuk dalam watak Nafs al-Ammārah
ini indra batinnya berada dalam dominasi keinginan kenikmatan
jasmani dan nafsu duniawiyah.58 Pertimbangan-pertimbangan
material, nominal, dan kenikmatan duniawi menjadi pijakan utama
amalan mereka yang mendasarkan pada ṣadr.
2. Qalb
a. Pengertian Qalb
Al-Qur’an menyebut qalb, qulūb lebih dari 168 kali, dalam
berbagai bentuk isim, seperti: maṣdar, maf‘ūl, fā‘il, mufrad dan
jama’; dan dalam bentuk fi’il. Seperti māḍi dan muḍāri.59
Keragaman bentuk qalb itu menggambarkan betapa rinci dan
57
Shaikh Fadhlalla Haeri, the Journey of the Self: an Islamic View to
Understanding the Self and Its Unified Nature, (Great Britain: Element Books, 1989),
hlm. 84.
58
Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi), hlm. 168.
59
Rizky Maulida, Konsep Maqamat al-Qalb Menurut al-Hakim al-Tirmidzi dan
Relevansinya terhadap Pendidikan Karakter, Tesis, (Malang: Program Studi Agama
Islam, Sekolah Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim, 2016), hlm. 19.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


70

detail al-Qur’an menjelaskan fungsi dari suatu benda penting


dalam tubuh manusia. Secara harfiah qalb (jamak: qulūb) yang
telah menjadi bahasa Indonesia, kalbu. Istilah qalb, diartikan
dengan maṣdarun qalaba, markaz, wasṭun wa lubb kulli syaiin.60
Namun dalam tahapan batiniah, posisi qalb di atas lebih tingi
daripada aṣ-ṣadr. Merujuk pada ilustri Frager, al-qalb berada
dalam lapis kedua yang lebih dalam.
Dalam konteks pengertian psikis atau lebih dekat dengan
ruhaniah, para sufi menyebut qalb sebagai sebuah laṭīfah ruḥāniah
yang oleh para sufi disebut dengan istilah “Hakikat Manusia” (al-
Haqīqah al-Insāniyah), sementara para filosof menyebutnya “Jiwa
Nalar” (an-Nafs an-Nāṭiqah).61 Mereka memahami qalb
merupakan organ intuisi supra-rasional di mana Realitas
Transenden bersentuhan dengan manusia. Ia sebagai tanah genting
(al-barzakh) antara dunia ini dengan alam yang akan datang.
Bahkan di dalam qalb terdapat medan perang Perang Suci Besar
(jihād al-Akbar) antara setan dengan manusia, meskipun bagi
Manusia Sempurna ia menjadi Singgasana Ilahi (al-'arsy) yang
melingkari realitas spiritual.62 Nawab Ali menyebutnya dengan
unsur ketuhanan yang misterius, seperti hubungan antara penghuni
rumah dengan rumahnya atau antara tukang kayu dengan
peralatannya.63

60
Ahmad Muhtar Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’āṣirah, Jilid 3,
(Kairo: ‘Ālam al-Kitāb, 2008), hlm. 1848.
61
Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuh untuk Kita Semua..., hlm. 63-64. Lihat
juga 1848. Ahmad Muhtar Umar, Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyah al-Mu‘āṣirah, Jilid 3
(Kairo: ‘Ālam al-Kutub, 2008), hlm. 1848.
62
Lihat juga Julian Baldick, Mystical Islam: an Introduction to Sufism, (New York
& London: New York Universiry Press, 1992), hlm. 25. Lihat pada Amatullah
Armstrong, Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi): The Mystical Language in Islam
(Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1995), hlm. 183-184. Lihat juga Imam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz III, (Lebanon: Dār a-l
Kutub Li al-‘Ilmiyyah, 2010), hlm. 4.
63
Syed Nawab Ali, Rahasia-rahasia Ajaran Tasawuf al-Ghazali, terj. Hamid Luthfi
A. Basalamah (Bandung: Gema Risalah Press, 1988), hlm. 24-25.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


71

b. Fungsi dan Fenomena Qalb


Qalb mempunyai fungsi, emosinal, rasional, dan spiritual.
Fungsi emosional yaitu menampung perasaan takut, gelisah,
harapan dan ketenangan; mampu menerima dan menyimpan sifat-
sifat keteguhan hati, kesucian, kekerasan, sifat sombong; mampu
berdzikir yang menjadikannya tenang; mampu memahami dan
berpikir.64 Sedangkan fungsi rasional s adalah: mendengar
(yasma‘u), mengerti atau memahami (ya’qilūn, yafqahu,
tafakkaru, yatadabbaru), dan melihat (yarā’u).65 Aktivitas hati
yang mendengar dalam kaitannya dengan pertimbangan-
pertimbangan seseorang dalam memahami dinamika sejarah dan
kehancuran umat manusia.66 Adapun aktivitas hati dalam konteks
ya’qilūn, yafqahu, tafakkaru, yatadabbaru, adalah sebagai berikut:
pertama, ya’qilūn (dapat memahami), ini terkait dengan
pengalaman manusia dalam memahami realitas sejarah peradaban
dan kehancuran umat manusia. Pemahaman ini bukan semata-
mata dalam konteks melihat fakta ke belakang atau sesuatu yang
telah terjadi, tetapi juga mempertimbangkan pada apa yang sedang
terjadi dan mereka alami.67
Masih berkaitan dengan fungsi rational, Qalb – sebagaimana
artinya aslinya membolak-balik – terkadang muncul rasa
penyesalan dan menyalahkan diri sendiri atas perbuatan salah
yang telah dilakukannya. Melalui qalb ini seseorang sadar bahwa
ada kebaikan di satu sisi, namun pada sisi yang lain ada
penyesalan jika perbuatan buruk telah dilakukannya.

64
Rizky Maulida, Konsep Maqamat al-Qalb..., hlm. 21.
65
Syamsul Huda Rohamdi, Pengembangan Akal Sehat Berbasis Ulul Albab,
Disertasi (Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyarta,
2019), hlm. 111.
66
Lihat Q.S. Al A'raaf (07): 97-101.
67
Baca selanjutnya Q.S. al-Hajj (22): 44-48.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


72

Terkait dengan fenomena qalb, Farger mengelompokannya


dalam Nasf al-Lawwāmah (the reproachfull self). Haeri68
mengidentifikasi kelompok jiwa ini memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: mempunyai keinginan mendadak (spontan), sombong,
mengharuskan melakukan suatu tindakan yang berorientasi citra
diri, angkuh, berlaku tidak adil, melakukan perbuatan yang nilai
hukumnya samar-samar, senang berbuat fitnah, berdusta,
berlebihan dalam mencintai hal-hal yang berkaitan dengan
persoalan kepemimpinan.
Tindakan spontan dan transaksional nominal materialistik
ini seperti yang tergambar dalam kisah pengakuan keberimanan
orang Baduwi di hadapan Nabi Muhammad. Namun pernyataan
tindakan iman orang Baduwi ini diluruskan oleh Nabi
Muhammad, bahwa mereka baru menerima Islam, dan iman
belum masuk dalam hati mereka. Namun dalam qalb yang bersih,
Allah akan menampakkan pengetahuan batiniahnya tentang
kebajikan-kebajikan spiritual, seperti sifat mulia, murah hati,
sabar, kegigihan melawan kecenderungan-kecenderungan
negatif.69 Kemurahan Allah pada qalb manusia ini akan
melahirkan perbuatan, sifat, dan sikap yang konstruktif, harmonis,
damai, kesejukan, progresif, optimis dan berhati-hati (takwa).70
3. Fuad
a. Pengertian Fu’ād
Pada dasarnya fu’ād dan qalb memiliki makna yang sama,
namun bisa dipahami bahwa fu’ād merupakan dimensi hati yang

68
Shaikh Fadhlalla Haeri, the Journey of the Self, hlm. 84-85.
69
Robert Frager, Psikologi Sufi, hlm. 73.
70
Sikap hati-hati ini sering digambarkan seorang anak kecil tanpa alas di atas
padang pasir yang panas, ia berlari-lari sembari kakinya tersus diperhatikan agar tidak
menginjak batu lancip dan panas. Itulah hati yang takwa kepada Allah. Meskipun atas
perbuatan baik buruknya, qalb ini selalu menyesal sebagaimana Q.S. al-Qiyamah/75:2,
yang artinya, “dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


73

memiliki kualitas lebih tinggi. Fu’ād berasal dari kata definisi


secara leksikal fu’ād adalah mutawaqqid aż-żihni.71 Tidak banyak
pengertian fu’ād namun hampir semua ayat-ayat dalam al-Qur’an
ketika menyebut kata fuad (af’idah) selalu dihubungkan dengan
tindakan bersyukur seorang hamba atas nikmat yang Allah yang ia
terima. Seperti arti dari ayat-ayat pada Al Mu'minuun [23]: 78;72
al-Mulk [67]: 23;73 Al-Sajdah [32]: 9;74 al-Nahl [16]: 78;75 dan
Ibrahim [14]: 37.76
Ayat-ayat tersebut menyebutkan fu’ād dalam kaitannya
dengan penglihatan dan pendengaran, yang berujung pada
tindakan bersyukur. Harus dipahami bahwa tindakan bersyukur
(gratitude) merupakan perbuatan apresiasi positif progresif atas
anugerah Allah yang diberikan kepada seorang hamba baik dalam
bentuk materi maupun non materi. Tindakan ini dilakukan sebagai
bentuk kelanjutan sikap seorang hamba dalam menerima sesuatu
dari Allah. Bila qalb beriorientasi pada tindakan yang bersifat

71
Ahmad Muhtar Amr, Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyah al-Mu’āṣirah, Jilid 3, hlm.
1659.
72
Q.S. Al Mu'minuun/23: 78, “Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu
sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”
Tindakan bersyukur dalam ayat ini adalah ialah menggunakan alat-alat tersebut untuk
memerhatikan bukti-bukti kebesaran dan keesaan Tuhan, yang dapat membawa mereka
beriman kepada Allah s.w.t. serta taat dan patuh kepada-Nya. Kaum musyrikin memang
tidak berbuat demikian.
73
Q.S. al-Mulk/67: 23, “Katakanlah: "Dia-lah Yang menciptakan kamu dan
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati." (Tetapi) amat sedikit kamu
bersyukur.”
74
Q.S.. As Sajdah/32: 9, “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
75
Q.S. an-Nahl/16: 78, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur.”
76
Q.S. Ibrahim/14: 37, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan
sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat
rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar
mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada
mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Risalah Akhlak Islam Filosofis


74

kepentingan personal individual, fu’ād adalah tindakan indra batin


seseorang dalam menerima segala sesuatu sebagai anugerah Allah.
Penerimaan ini masih bersifat pasif, sehingga beberapa ayat al-
Qur’an masih berisi anjuran atau harapan-harapan.
Sementara itu fuad atau afidah dalam dunia sufi dipahami
sebagai aspek dari hati yang berhubungan langsung dengan
ma’rifat, pengetahuan hakikat spiritual. Fu’ād diterjemahkan
dengan hati-lebih-dalam. Frager berusaha membedakan qalb
dengan fu’ād, bila qalb itu mengetahui (cognitive, knowledge)
sedangkan fu’ād itu melihat (seeing deeply, baṣīrah). Keduanya
merupakan satu wujud dalam sisi aspek dengan fungsi yang
berbeda. Sekiranya antara pengetahuan dan penglihatan itu
bersatu, maka rahasia yang ghaib menjadi dan keyakinan berbasis
pada qalb akan menjadi semakin kuat.
Ilustrasi yang digunakan untuk menggambarkan hubungan
antara qalb dan fu’ād laksana dua orang, yang satu pembaca
informasi yang lainnya petualang suatu negeri. Seseorang yang
hanya menggandalkan pengetahuan seperti halnya seorang yang
menguasai informasi suatu daerah dengan membacanya, tetapi
belum pernah mengunjungi daerah yang dibacanya itu. Sedangkan
seseorang yang hanya mengandalkan penglihatan, laksana seorang
musafir (traveler) yang berkunjung pada suatu daerah tetapi dia
tidak tahu informasi tentang daerah yang dikunjunginya itu.
Gabungan antara dua potensi yaitu pengetahan (knowledge) dan
penglihatan (seeing directly, baṣīrah) menjadikan kualitas diri
seseorang menjadi lebih baik.
Gambaran fuad ini dalam dunia tasawuf disebut dengan Nafs
al-Mulhamah (the Inspired Self). Di antara ciri-ciri umum pada
Nafs al-Mulhamah ini adalah murah hati, pengampun, toleransi,
daya tahan, ḥusnuẓan, mengakui kesalahan, tampilan wajah
tersenyum terbuka, cinta damai dan suka merenung meditasi,

Risalah Akhlak Islam Filosofis


75

menerima aturan yang ada, dan mudah tersentuh dan terenyuh.77


Armstrong menggambarkan bahwa Nafs al-Mulhamah ini mampu
berpaling dari tindakan yang salah dan membedakannya dengan
suatu tindakan yang akan membawa kembali kepada Allah.
Dalam wilayah ini tindakan seseorang yang berjiwa Nafs al-
Mulhamah itu di bawah lindungan Allah.78
Pada fu’ād inilah, indra batin manusia sudah tidak terlalu
lagi memikirkan balasan atau imbalan material. Apa pun yang
mereka lakukan sudah menjadi bagian dari kewajiban pribadi
(farḍu ‘ain). Mereka telah menyadari kehadiran Tuhan dalam
segala suasana kehidupan mereka. Hal ini seiring dengan peristiwa
ketika Nabi Muhammad ditanya oleh Malaikat Jibril terkait
dengan ihsan. Kemudian beliau menjawab, ihsan itu ketika
seseorang menyembah Allah, dengan memfungsikan fu’ād-nya,
seakan-akan ia melihat Allah. Namun sekiranya ia tidak mampu
melakukan hal itu, fu’ād-nya difungsikan dengan satu kesadaran
penuh bahwa dirinya dalam pengawasan Allah. Orang-orang yang
memfungsikan fuadnya, sebagaiman memasuki ihsan bahwa
mereka beribah dengan kesadaran konsentratif timbal balik, jika
mereka tidak melihat Allah, maka Allah melihat apa pun yang
mereka lakukan. Maka tidaklah berlebihan, wilayah fuad adalah
wilayah orang-orang yang sudah mengenal Allah (ma’rifat)
4. Lubb
a. Pengertian Lubb
Selain ṣadr, qalb, fu’ād di atas, terakhir adalah lubb (jamak:
albab), artinya ‘aql, malaka ‘alaihi lubbuhu. ‘Uqūl salīmah
mustaniratun bi nūr Allah.79 Lubb merupakan "tempat"

77
Fadhlalla Haeri, the Journey of the Self, hlm. 85.
78
Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi), hlm. 169.
79
Ahmad Muhtar Amr, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’āṣirah, Jilid 3, hlm.
1987.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


76

tersembunyi di mana pengetahuan Allah terlindungi dari orang-


orang yang terikat pada urusan duniawi,80 atau pemahaman
batiniah.81 Lebih dari 16 kali kata ulul albab di sebut dalam al-
Qur’an. Lubb dalam dunia sufi dipahami sebagai inti, inti dari
kesadaran terdalam.
b. Fungsi Lubb
Frager menjelaskan bahwa eksistensi lubb terkait erat
dengan Cahaya Tauhid yang telah dimiliki oleh orang-orang telah
telah melampau derajat ihsan. Mereka ini disebut dengan
Muwaḥḥid (ahli tauhid) yang merepresentasikan tindakannya pada
tindakan ilahiah. Pada wilayah ini pernyataan hadis Qudsi
takhallaqū bi akhlāqillah (bertindaklah sebagaimana Allah
berbuat) menjadi salah satu doktrin yang bisa digunakan.
Ulul al-albāb adalah orang-orang yang menyatukan realitas
perlawanan dalam satu keseimbangan yang alami. Mereka tidak
lagi mempertentangkan perlawanan-perlawanan peristiwa yang
terjadi pada alam semesta ini. Semua itu terjadi dalam lingkup
hukum sunnatullah dan semua berdampak pada keberlanjutan
bukti keagungan Allah. Ayat terkait dengan tergelarnya alam
semesta, diberlakukannya hukum qiṣāṣ, aturan larangan-larangan
ketika melaksanakan haji, pemahaman ayat-ayat muhkamāt dan
mutasyābihāt, memilih yang lebih baik, menjadikannya al-Qur’an
sebagai petunjuk, memahami hukum sebab akibat dan seterusnya.
Orang-orang Ulul al-albāb inilah yang oleh Frager disebut
sebagai pribadi yang memiliki jiwa yang tenang (nafs al-
muṭmainnah, the Certain self). Adapun ciri-ciri nafs al-
muṭmainnah82 sebagai berikut: dermawanan tanpa perlu diminta,
ketergantungan pada Allah Sang Khalik, bebas dari rasa takut dari

80
Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi), hlm. 128.
81
Robert Frager, Psikologi Sufi, hlm. 77.
82
Fadhlalla Haeri, the Journey of the Self, hlm. 86.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


77

terikat sesuatu, peka terhadap aturan yang bertentangan, tulus,


qanā‘ah, bebas bertindak, puas dengan keputusan, tidak gelisah,
bersyukur untuk kesempurnaan ciptaan dan keberadaannya di
suatu tempat, takut melanggar batas, berada di jalan yang jelas,
bertindak sesuai aturan yang pasti dan jelas, percaya diri, beriman,
yakin, terdidik berpengetahuan, bertindakan penuh pertimbangan
pada keamanan.
Tingkatan Hati83

Ṣadr Qalb Fu’ād Lubb


Cahaya Islam Cahaya Iman Cahaya Makrifat Cahaya Tauhid
Muwaḥḥid
Muslim Mukmin ‘Ārif/Muhsin
(Ahli Tauhid)
Pengetahuan
tentang Pengetahuan Penglihatan
Sikap Ilahiyah
tindakan yang batiniah Batiniah
benar
Nafs ammārah Nafs
Nafs
(Tirani atau Mulhamah Nafs
Lawwāmah
memerintah (Terilhami, Muṭmainnah
(Penuh
kepada pen- (Tenteram)
penyesalan)
keburukan) terinspirasi)

D. Pendidikan Qalb
Qalb memiliki fungsi fisik (biologis) dan psikhis (spiritual). Fungsi
biologis qalb adalah memberi dampak pada tingkat kesehatan tubuh
seseorang. Sedikit banyak dunia medis mendiskusikan qalb dengan istilah
jantung. Adapun secara psikis, mempunyai fungsi sebagai pusat emosi
dan perasaan (emotional), sebagai pusat wawasan dan pengetahuan
(intelligence) dan sebagai pusat pertimbangan nilai baik-buruk (spiritual).
Pendidikan qalb dalam metode Muhammadiyah adalah sesuai yang

83
Sumber dari Robert Frager, Psikologi Sufi: Untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan
Ruh, terj. Hasmiyah Rauf, (Jakarta: Zaman, 2014), hlm. 65.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


78

diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan, yaitu dengan merujuk pada spirit al-
Maun, yaitu: menyantuni anak yatim; menganjurkan memberi makan
orang miskin; menegakkan shalat khusyū; menghormati dan
mengapresiasi pada orang lain; dan memberikan barang yang tidak
berguna untuk orang lain.
Lima dari doktrin al-Maun tersebut, empat di antaranya lebih
menitikberatkan pada ibadah sosial kemanusiaan. Sedangkan satu di
antaranya membangun hubungan transenden dengan Allah. Penegasan
ayat-ayat al-Maun tersebut menunjukkan bahwa meskipun berkualitas
khusus seseorang, jika empat langkah tersebut tidak dilakukan, maka
shalat yang dilakukannya menjadi celaka dan sia-sia. Semangat al-Maun
selain mendidik hati sekaligus memperhalus kepekaan seseorang dalam
menegakkan akhlak yang berorientasi pada akhlak pelayanan, yaitu
sebagaimana ungkapan hadis Qudsi takhallaqū bi akhlāqillah, takhallaqū
bi asmāillah. Menegakkan al-Maun bukan semata-mata menghafal Asmā’
al-Ḥusnā, tetapi lebih dari itu yaitu mengimplementasikannya dalam
layanan kepada kaum papa yang membutuhkan.
Doktrin al-Maun ini barangkali tidaklah terlalu rumit, meskipun
demikian tidak ringan juga untuk melaksanakannya. Diksi pada spirit al-
Maun jika diimplementasikan kepada masyarakat yang membutuhkan,
bukan saja akan memberi pengaruh kekayaan spiritual pada diri dan orang
lain, tetapi juga akan membuat tubuh menjadi lebih sehat. Langkah-
langkah tersebut merupakan thariqat yang mendidik seseorang memiliki
kecerdasan sempurna, baik secara emosional, intelektual, maupun secara
spiritual.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


79

BAB IV
TUJUAN HIDUP MANUSIA

A. Manusia dan Keberadaannya


Manusia berada di dunia ini bukan kehendak manusia sendiri.
Keberadaan manusia di dunia seakan geworfen (dilemparkan, terlempar)
–meminjam istilah Martin Heidegger sebagaimana dikutip oleh Lemay
and Pitts, dari “dunia” yang tidak diketahuinya. Dalam kondisi
“terlempar” seperti ini, manusia juga tidak mengetahui (menyadari) akan
dirinya sendiri.84 Dengan demikian manusia membutuhkan media untuk
mengetahui dirinya sendiri. Dari sisi filsafat, mengutip pandangan Martin
heidegger, manusia sebagai subjek yang Ada (Dasein) memerlukan
Seiende (cara meng-Ada, cara menjadi eksis).
Karena eksistensi berperan sebagai dasar Dasein, maka eksistensi
manusia menentukan kemungkinan-kemungkinan Seiende (pengada,
sesuatu yang lain). Konsekuensinya, manusia tidak terkondisi
otentisitasnya sebagai manusia, sehingga perlu dikondisikan. Oleh karena
itu, sebagai Dasein, manusia “berada-dalam-dunia” yang terlibat dengan
apa yang disebutnya das man (mereka) yakni perilaku-perilaku yang
dihadapi manusia di dunia.85 Dengan mengikuti cara “mereka” perilaku
manusia tidak autentik lagi. Pada kondisi ini manusia mengalami
kecemasan (Angst) bahwa Dasein yang merupakan wujud keberadaannya
selalu tergantung pada das man (mereka), sehingga mendorong manusia
menyadari keterlemparannya pada yang dicemaskan yakni “kemampuan-
aslinya-untuk-ada-dalam-dunia”. Kecemasan ini, bagi Martin Heidegger,
mengindividuasikan Dasein bagi manusia sendiri yang berada di dunia
yang memahami, merencanakan dirinya sendiri secara esensial atas

84
Eric Lemay & Jennifer A. Pitts, Heidegger untuk Pemula, terj. P. Hardono Hadi
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), 22-23.
85
Lemay & Pitts, Heidegger …, 47-48.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


80

kemungkinan-kemungkinan yang akan dikerjakan.86 Dari sini eksistensi


manusia terbangun kembali sebagai subjek yang menentukan, dan situasi
inilah yang disebut dengan Schuld.87
Keberadaan manusia di dunia merupakan saat awal dia memahami
eksistensinya. Pada saat “ADA berbicara” manusia mampu mengenali
kembali potensi-potensi asli dari eksistensinya di dunia, tentunya dengan
membongkar semua “lapisan debu” yang melekat dalam pengalamannya
melalui sejarah. Rede atau berbicara bagi Heidegger merupakan ungkapan
bahasa dari Dasein yang menjadi ingatan yang hidup akan Seiende yang
nampak dalam eksistensi. Oleh karena itu, bagi Heidegger, bahasa
merupakan “rumah ada” yakni tempat/media manusia untuk selalu
menjadi diri yang eksis (Ada). Dengan berbahasa manusia mampu
menunjukkan dan mempertanyakan tentang Ada sehingga dalam rentang
waktu selama dia hidup sebagai Dasein dia akan selalu menciptakan
eksistensinya, dan inilah klaim Heidegger bahwa manusia manjadi
pemelihara Ada.88
Dalam kapasitas sebagai Dasein Ada-nya manusia tidak pernah usai
sampai bertemu dengan kematian. Hal ini senada dengan pemikiran
filsafat Sartre tentang eksistensi a être yang menyatakan bahwa manusia
ada dengan selalu membentuk ada-nya terus menerus, maka eksistensinya
bukan être.89 Bagi Heidegger proses keberadaan manusia yang selalu
memperbaharui ke-ada-annya sebagai zu sein, artinya Dasein yang selalu
memperteguh keberadaannya dengan aktivitas hariannya.90
Aktivitas-aktivitas manusia sehari-hari sebagai media pengukuh
eksistensinya telah melahirkan cara pandang baru terhadap manusia yang

86
Ibid., 111.
87
Kutipan dari penjelasan Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat 2, (Yogyakarta:
Kanisius, 1980), 155-156.
88
Lemay & Pitts, Heidegger…93.
89
Baca tentang hal ini dalam karya Jean Paul-Sartre, Being and Nothingness: An
Essay on Phenomenological Ontology, terj. H. Barnes (New York: Philosophical
Library, 1954).
90
Grene, “Heidegger”, 463.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


81

ber-ada di dunia berbeda dengan benda-benda lain. Justru benda-benda itu


yang keberadaannya selalu berhubungan dengan Dasein. Alur ini telah
melahirkan pola pemikiran bahwa keberadaan manusia di dunia
melakukan aktivitas berfikir untuk memperteguh eksistensinya. Meskipun
banyak menuai kritik, pemikiran Heidegger tersebut telah mewarnai dan
banyak memengaruhi filosof-filosof setelahnya, terutama abad XX seperti
Derrida, Faucoult, Lacan dan Gadamer.91 Pemikiran paling mendasar
yang mewarnai pemikiran mereka adalah eksistensi manusia yang
membawa potensi-potensi emosional yang kompleks, tidak hanya sebatas
fenomena yang sejajar dengan Seiende, yakni benda-benda lain dalam
perspektif manusia itu sendiri.
Akhirnya ungkapan-ungkapan eksistensi manusia juga harus
dihadapkan dengan ketiadaan (kematian, Sein-zum-tode). Keseharian
manusia yang terlempar dalam kebiasaan “mereka” (das man)
mengindikasikan in-autentisitas eksistensi manusia. Untuk itu manusia
sebenarnya selalu berhadapan dengan peristiwa-peristiwa tragis, yang
meskipun menghantarkan manusia pada ketiadaan, tetapi justru
merupakan ungkapan Dasein untuk selalu memperbarui keberadaannya
(zu sein). Hal ini, bagi Heidegger dalam Introduction to Metaphysics,
sangat mungkin terjadi karena manusia akan selalu ingin mencapai
keaslian eksistensinya yakni “berada-dalam-dunia” dengan melibatkan
diri dalam kegiatan sehari-hari yang dapat mengukuhkan Dasein sebagai
yang menentukan.92
Ancangan teoritis itu dapat dijadikan acuan untuk melihat
bagaimana manusia dalam menjalani hidupnya. Dari penjelasan
epistemologis di atas, terlihat bahwa manusia membutuhkan “media”
untuk menjadi Ada, dan media itu adalah aktifitas hariannya. Martin
Heidegger tidak menyentuh persoalan nilai dari aktifitas yang dilakukan
oleh manusia untuk mengukuhkan keberadaan manusia itu sendiri.
Penilaian terhadap sebuah aktifitas tersebut apakah sesuatu yang baik atau
91
Lemay & Pitts, Heidegger…, 99.
92
Ibid.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


82

tidak baik bukan menjadi penekanan dari kajian epsitemologis mengenai


eksistensi manusia oleh Heidegger. Dalam konteks ini perspektif lain
perlu dihadirkan untuk dapat menjelaskan persoalan nilai tersebut.
Dalam Sosiologi Agama, terdapat beberapa perspektif dan norma
yang memengaruhi hidup manusia, yakni hukum, adat, kesusilaan, dan
agama. Di antara beberapa perspektif dan norma tersebut, merujuk kepada
Peter L. Berger, agama merupakan perspektif yang paripurna dalam
menjelaskan orientasi-orientasi hidup manusia.93 Bagi Berger, agama
mampu menjelaskan sisi-sisi hidup manusia secara mendetail bahkan
terhadap hal-hal yang esktrem dan sulit dipahami manusia seperti
bencana, sakit, dan kematian.94 Fungsi agama bagi manusia bukan hanya
sekedar konsep teologi dan hukum, tetapi meyeluruh sebagai pengaya
pengetahuan, kedalam ruhani, dan acuan dalam tindakan. Terkait dengan
hal tersebut Emile Durkheim, seorang Sosiolog Agama dari Perancis,
mengungkapkan bahwa “the real function of religion is not to make us
think, to enrich our knowledge… but rather, it is to make us act, to aid us
to live”.95
Dengan mempertimbangkan pandangan-pandangan teoritis tersebut
manusia pada hakikatnya tidak mampu “mengetahui” dirinya sendiri
tanpa ada aspek di luar dirinya yang menunjukkan kemampuan dan
pengetahuannya. Secara filosofis, pengetahuan tersebut berasal dari
kesadaran akan eksistensi dirinya dengan menjalin relasi terhadap aspek-
aspek di luar dirinya. Jalinan relasi dengan aspek di luar diri manusia
dijelaskan secara mendetil dalam Sosiologi Agama. Dengan terus
menjalin relasi, manusia sejatinya tengah menjaga Dasein dan
memperbarui keberadaannya (zu sein).

93
Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono
(Jakarta: LP3ES, 1994), 40.
94
Peter L. Berger, Langit Suci, 63.
95
Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (London: Allen
and Unwin, 1926), 416.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


83

Di dalam menjalin relasi dengan aspek-aspek lain di luar hidupnya,


manusia akan menemukan orientasi-orientasi kehidupannya. Tindakan
yang merupakan bentuk zu sein (memperbarui keberadaannya) tidak
begitu saja dilakukan tanpa adanya jangkauan yang lebih dari sekedar
tindakan, apalagi manusia selalu dihadapkan pada ketiadaan dan kematian
(Sein-zum-tode). Dalam konteks ini agama memberi acuan untuk
menjangkau orientasi-orientasi tersebut, dan memandu manusia dalam
menyusuri perjalanan hidupnya. Dalam kajian Sejarah Agama-Agama
telah dibuktikan bahwa Islam merupakan agama yang dapat memberi
penjelasan tidak hanya pada aspek-aspek teologis saja tetapi juga
kompleksitas fenomena sosial budaya manusia. Terkait dengan hal ini,
Hamilton A.R Gibb dalam bukunya Wither Islam menyatakan bahwa
Islam is indeed much more than a system of theology; it is a complete
civilization.96 Apakah civilization itu? Will Durant menjelaskan bahwa
civilization adalah social order promoting cultural creation. Four
elements constitute it: economic provision, political organization, moral
traditions, and the pursuit of knowledge and the arts.97 Dengan demikian
Islam merupakan sebuah pencapaian harkat kehidupan manusia yang
sangat komplit.

B. Islam dan Perjalanan Hidup Manusia


Di dalam agama dijelaskan tentang eksistensi tuhan (Allah). Allah
adalah Rabb Yang Maha Baik dan Memberi Kebaikan (rahmah).
Kebaikan Tuhan selalu tercurah pada makhluk-makhluk-Nya, terutama
kepada manusia. Kebaikan dan kasih sayang (rahmah) Allah kepada
manusia tercurahkan sejak dari manusia sebagai konsep sampai di akhirat.
Eksistensi alam termasuk manusia dalam kajian Islam selalu abadi dengan
melalui fase-fase kehidupan yang berbeda-beda termasuk kematian.
Ketika di Filsafat Barat (Eksistensialisme Heidegger, misalnya) kematian
96
Hamilton A. R. Gibb, Wither Islam: (London: Victor Gollancz Ltd., 1932), 12.
97
Will Durant, The Sory of Civilization: Book I, Our Oriental Heritage (New York:
Simon and Schuster, 1942), 1.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


84

merupakan akhir dari eksistensi manusia (sein-zum tode), Islam


mengajarkan bahwa kematian adalah akhir dari eksistensi di dunia dan
sekaligus awal dari eksistensi alam yang lain (barzakh dan akhirat).
Di akhirat eksistensi manusia adalah abadi (khālidīna fī hā abadan)
(QS. Al-Bayyinah [98]: 7-8),
َ ‫ َج َز ُاؤ ُه ْم ع‬٧ ‫الصال َحات ُأ ََٰولئ َك ُه ْم َخ ْي ُر ْال َبرَّية‬ ُ َ َ ُ َ َ َّ َّ
‫ند‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫ِإن ال ِذين آمنوا وع ِملوا‬
ُ‫ين ف َيها َأ َب ًد ۖا َّ ض َي الله‬َ َ ُ ََْ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ َّ َ
ِ‫ر‬ ِ ‫َ ِرب ِه ْم جنات عد ٍن تج ِري ِمن تح ِتها ْلانهار خ ِال ِد‬
ُ َ َ ََٰ ُُۚ ْ
ََ٨َ‫ضوا َعنه ذ ِل َك ِْل ْن خ ِش َي َرَّب َه‬ُ ‫َع ْن ُه ْم َو َر‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,
mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. (7) Balasan mereka di sisi Tuhan
mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka
dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan)
bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (8)
Di akhirat ini manusia akan memperoleh hasil dan menuai seluruh
kesadaran dan tindakan sehari-hari sebagai bentuk menjaga dan
memperbarui Ada (zu sein). Dengan memerhatikan ancangan ini, akhirat
merupakan jangkauan akhir manusia, sehingga untuk mencapainya perlu
“memerhatikan” dengan baik fase sebelumnya sebagai sirāṭ –titian
menuju akhirat, yakni dunia. Eksistensi manusia di dunia merupakan titik
tolak dari seluruh kehidupan di akhirat, sehingga manusia perlu
mengetahui tujuan-tujuan eksistensi hidup di dunia. Bagi seorang yang
tidak memercayai eksistensi tuhan (Allah) –atheist, akhirat merupakan
wishful thinking (khayalan) karena “kegagalannya” menggapai
“kemegahan kehidupan dunia”.98 Bagi orang yang beriman akhirat
merupakan tujuan akhir dan harus digapai dengan memerhatikan
kehidupan dunia dengan mendalami kesadaran akan kehidupan akhirat
(eskatologis) dan eksistensi Allah (spiritual) dengan cara membuat

98
Mustafa Mahmoud, Dialogue with an Atheist (London: Dar al-Taqwa Ltd., 2000),
37 dan seterusnya; lihat pula Alain Botton, Religion for Atheist (New York: Pantheon
Books, 2012).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


85

kebaikan-kebaikan atas dasar kesadaran tersebut (etis). Dengan demikian


tujuan hidup manusia dalam Islam ada tiga, yakni tujuan eskatologis,
spiritual, dan etis.99 Berikut dipaparkan penjelasan tentang tujuan hidup
manusia,
1. Tujuan Eskatologis
Yang dimaksud dengan eskatologis adalah kehidupan akhirat,
atau kehidupan setelah kehidupan di dunia ini. Tujuan eskatologis
dalam Islam sangat berbeda dengan agama-agama lain, misalnya
Yahudi dan Nasrani. Dalam tradisi Yahudi eskatologis dimaknai
sebagai pemenuhan janji tuhan atas pemilihan bangsa Israel dan
penyelamatan dari penindasan di akhir zaman. Adapun konsep
eskatologi dalam Nasrani (Kristen dan Katolik) terfokus pada pribadi
Jesus sebagai juru selamat bagi manusia dan membawanya pada
Kerajaan Allah.100
Dalam Islam, eskatologi dimaknai sebagai sebuah konsep
bahwa kehidupan akhirat merupakan kelanjutan dari kehidupan dunia,
artinya manusia tetap eksis (Ada) di alam akhirat; atau sebaliknya
kehidupan dunia tidak berhenti (tiada) ketika adanya kematian atau
hari kehancuran dunia. Ketika terlahir di dunia manusia tidak
mengetahui alur jalannya kehidupan ini. Ketidaktahuan manusia
ketika dilahirkan di dunia (QS. al-An’am [6]: 73) meniscayakan
sebuah panduan untuk memberi acuan perjalanan manusia menyusuri
hidupnya, dan Islam dengan al-Quran-nya merupakan panduan itu.
Informasi tentang peristiwa akhir zaman secara mendetail telah
dikabarkan dalam al-Quran dan hanya didapatkan dalam al-Quran.
Berdasarkan hal ini, perjalanan hidup manusia secara detail tahap per
tahap hanya dapat dimengerti dengan berdasarkan al-Quran. Dengan
mengetahui detail perjalanan hidup, dari awal sampai tujuan akhir,
99
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MTT PPM), Tafsir
al-Tanwir, Juz I (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2016), 37
dan seterusnya.
100
Jeff Hay, World Religions (New York: Gale Cengage, 2007), 112.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


86

manusia akan berupaya dengan baik untuk menggapai tujuan akhir


tersebut. Hal ini menjadi dasar pemahaman bahwa kehidupan dunia
tidak terpisah dengan kehidupan akhirat, sehingga ketundukan hanya
ditujukan kepada Allah semata dengan harapan keselamatan dan
kesejahteraan diberikan kepada manusia.101 Hal ini ditegaskan karena
kehidupan dunia dengan segala fenomena yang terjadi di dalamnya,
dan kehidupan akhirat merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sejalan dengan hal ini Allah berfirman dalam surah al-Sajdah (32): 15
sebagai berikut,
َ ُ َ َ َّ َ َ ُ ْ ُ َ َّ
‫ين ِإذا ذ ِك ُروا ِب َها خ ُّروا ُس َّج ًدا َو َس َّب ُحوا ِب َح ْم ِد‬ ‫ن ِبآيا ِتنا ال ِذ‬ َ ‫ِإنما يؤ ِم‬
َ ‫َ به ْم َو ُه ْم ََل َي ْس َت ْكب ُر‬
‫ون‬ ِ ِ ‫ِر‬
Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat
Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu
mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan
lagi pula mereka tidaklah sombong.
Konsekuensi dari tujuan eskatologis ini adalah sebuah
keyakinan bahwa Allah selalu menjadi al-Ūlā (yang paling unggul)
dan al-Bārī` (pencipta yang pertama), dengan berusaha mengetahui
Allah secara sempurna, karena pengetahuan tertinggi adalah
pengetahuan tentang Allah.102 Buah dari keyakinan ini adalah
semacam “theodicy” yakni ngiribi (mengejawantahkan) kemuliaan
Allah dalam tindakan sehari-hari. Dalam filsafat al-Kindi Allah adalah
Zat dengan seluruh kesempurnaan, sehingga tidak sebagaimana
makhluk yang sarat dengan kekurangan. Dengan ngiribi kemuliaan
Allah, manusia akan menjadi makhluk yang mulia. Terkait dengan hal
ini, Ibn Atha’illah al-Iskandari menyatakan bahwa “siapa yang
mencari Allah dia tidak kehilangan apapun, dan siapa yang mencari
selain Allah dia tidak mendapatkan apapun”.

101
MTT PPM, Tafsir al-Tanwir, 39.
102
Ya'qūb ibn Ishāq al-Kindī, al-Kindi’s Metaphysics, terjemah dari Kitāb Fī al-
Falsafah al-Ûlā karya al-Kindi oleh Alfred L. Ivry (Albany: SUNY Press, 1974), 12.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


87

2. Tujuan Spiritual
Tujuan eskatologis seperti diungkapkan di atas menjadi
vorhabe, vorsicht, dan vorgriff (fore-having, fore-sight, fore-
conception, sebuah prakondisi awal)103 bagi terciptanya sebuah
kesadaran bahwa Allah merupakan Zat Yang Memberi Ridlo dan
Berkah. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa sebagai al-Ûlā
dalam perjalanan “hidup” alam semesta dari awal sampai akhir dan
informasi tentang alam akhirat itu, Allah menjadi sumber bagi
keridlaan dan keberkahan. Tidak ada zat yang dapat memberi
keridlaan selain Allah.
Keridlaan sendiri dipahami sebagai disenangi, disukai, dicintai,
disetujui, dipilih oleh Allah swt.104 Keridlaan merupakan proses bukan
hasil, dengan demikian keridlaan merupakan tindakan. Sebuah
tindakan meniscayakan orientasi-orientasi tertentu. Aafke Komter
menyatakan bahwa sebuah tindakan berimplikasi pada harapan
“pengembalian” dari yang telah dilakukan, sebagai salah satu dasar
orientasi tersebut.105 Bagi orang yang mempunyai spiritualitas tinggi
dalam tujuan hidupnya, orientasi atas “pengembalian” itu hanya
diharapkan hanya dari Allah. Apa yang dilakukan oleh orang tersebut
bertujuan untuk “mematutkan diri” agar pantas untuk disenangi,
disukai, dicintai, disetujui, dipilih lebih banyak oleh Allah. Ridla
Allah terletak pada seberapa besar upaya manusia untuk mematutkan
diri untuk diberi ridla tersebut, bukan sebuah benda atau materi yang
berbentuk tertentu. Ridla adalah sebuah tindakan sehari-hari yang
positif, sehingga untuk tetap dinilai sebagai manusia yang memiliki
spiritualitas tinggi harus melakukan sesuatu yang positif.

103
Istilah dari Martin Heidegger untuk menjelaskan andanya prakondisi ketika
menginterpretasi dan melihat sesuatu. Lihat Martin Heidegger, Being and Time,
terjemahan dari Sein und Zeit oleh Joan Stambaugh (New York: SUNY Press, 1996),
150-151.
104
MTT PPM, Tafsir al-Tanwir, 41.
105
Aafke E. Komter, Social Solidarity and the Gift (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005), 34 dan seterusnya.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


88

Spriritualitas di sini dipahami sebagai sebuah kesadaran akan


realitas dengan pemaknaan yang mendalam dan terkait dengan
eksistensi Tuhan yang berdampak pada pilihan-pilihan tindakan.
Orientasi untuk mendapatkan ridla Allah pada akhirnya merupakan
pengejawantahan dari pemaknaan yang mendalam atas eksistensi
Allah dalam bentuk tindakan. Tindakan-tindakan yang mendatangkan
kesenangan bagi manusia dimaknai sebagai anugerah dari Allah, dan
sebaliknya tindakan-tindakan yang mendatangkan kesusahan dan
kerugian dimaknai dengan menggali hikmah di balik peristiwanya.
Keseluruhan tindakan itu di sadari dengan mendalam bahwa eksistensi
manusia selalu terkait dengan kekuasaan Allah. Tujuan spiritual
dalam perjalanan hidup manusia merupakan usaha “mendekat”
kepada Allah dengan aktifitas sehari-hari untuk dapat disenangi,
disukai, dicintai, disetujui, dipilih oleh Allah. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Allah dalam QS. al-Taubah (9): 72 sebagai berikut,
َْ َ ْ َ
َ ‫ْلا ْن َه ُار َخالد‬ ْ ‫ات َت‬ َّ ‫َو َع َد الل ُه ْاْلُ ْؤمن َين َو ْاْلُ ْؤم َنات َج‬
‫ين‬ ِِ ‫ا‬‫ه‬‫ت‬ِ ‫ح‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ي‬‫ر‬
ِ ِ ‫ج‬ ٍ ‫ن‬ ِ ِ ِِ
ُ َ َٰ َ ُۚ َ ْ َ َ ٌ ْ ُۚ ْ َ َّ َ ً َ َ
‫ات َعد ٍن َو ِرض َوان ِمن الل ِه أكب ُر ذ ِلك ه َو‬ ِ ‫ِف َيها و َم َس ِاكن ط ِي َبة ِفي جن‬
َ
ُ ‫ْال َف ْو ُز ْال َع ِظ‬
‫يم‬
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan
perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-
tempat yang bagus di surga 'Adn. Keridhaan Allah adalah lebih
besar; itu adalah keberuntungan yang besar.
3. Tujuan Etis
Tujuan etis kehidupan manusia merupakan konsekuensi logis
dari tujuan-tujuan sebelumnya. Setelah manusia memiliki tujuan
eskatologis yakni orientasi kehidupan yang ditujukan untuk kehidupan
akhirat; dan tujuan spiritual yakni orientasi kehidupan yang
diwujudkan dengan mematutkan diri untuk dapat diridlai oleh Allah,
tujuan etis lebih menekankan pada penciptaan kehidupan yang

Risalah Akhlak Islam Filosofis


89

diwarnai oleh nilai-nilai luhur untuk mencapai kebahagiaan dan


kesejahteraan (al-falāḥ).
Konsep al-falāḥ merupakan sebuah kondisi yang harus
didahului oleh prakondisi yakni bersabar, tetap dalam kesiagaan, dan
ketakwaan (QS. Ali Imran [3]: 200),
ُ َّ َ ُ
‫ص ِاب ُروا َو َر ِابطوا َو َّات ُقوا الل َه ل َعلك ْم‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها َّالذ‬
ْ ‫ين َآم ُنوا‬
َ ‫اصب ُروا َو‬
ِ ِ
َ ُ
َ ‫ت ْف ِل ُحو‬
َ‫ن‬

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah


kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)
dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.
Bersabar (iṣbirū wa ṣābirū) dimaknai sebagai ketangguhan
dalam memanejemen segala resiko, sedangkan tetap siap siaga
(rābiṭū) dimaknai sebagai mamenejemen alternatif-alternatif tindakan
dan skala prioritas, dan ketakwaan (ittaqullāh) dimaknai sebagai
keteguhan pada nilai etis. Berdasarkan pemaknaan itu, konsep al-falāh
merupakan tindakan aktif bukan sebuah konsep yang pasif.
Proses tindakan aktif untuk mewujudkan al-falāḥ didasarkan
pada prakondisi tersebut dengan mengejawantahkan dalam tindakan
riil sehari-hari. Salah satu prakondisi yang paling utama adalah
ketakwaan dapat diderivasikan dalam konsep iḥsān, yakni penciptaan
kebaikan di atas kebaikan, baik pada aspek materi maupun non materi.
Mengacu pada acuan teori di pembahasan paling awal, yakni untuk
selalu menjadi Ada maka manusia harus memperbarui keberadaan
untuk menjadi Ada terus (zu sein) dengan perilaku sehari-hari, konsep
iḥsān merupakan acuan teologis bagi manusia untuk selalu ber-Ada.
Di samping itu usaha manusia untuk selalu Ada dengan
memperbarui keber-Ada-annya sekaligus menjadi tujuan hidup
manusia. Oleh karena itu, al-Qur’an selalu menekankan upaya
pencapaian al-falāḥ dengan “melakukan tindakan” sesuai dengan
kapasitas dan konteksnya (i’malū ‘alā makanātikum) (QS. al-An’am

Risalah Akhlak Islam Filosofis


90

[6]: 135). Dengan demikian, tujuan etis mengindikasikan sebuah


tindakan positif untuk memperbarui eksistensi manusia di dunia,
sehingga “melakukan tindakan positif untuk menggapai al-falāḥ”
adalah tujuan etis hidup manusia. Artikulasi dari uraian itu terkandung
dalam konsep takwa itu sendiri. Di dalam konsep takwa terdapat
sistem nilai, acuan teoritis, dan sistem tindakan sekaligus. Sistem nilai
terdapat pada esensi takwa yakni kebesertaan Allah dalam hidup
manusia, acuan teoritis terurai pada peran serta Allah dalam
penciptaan kebaikan (theodicy), sedangkan sistem tindakan yakni
penciptaan perbuatan yang baik itu sendiri.

C. Ihsān sebagai Tindakan untuk Menjadi Ada (Zu Sein)


Sebagaimana telah disebutkan di atas, esensi ketakwaan adalah
kebesertaan Allah dalam hidup manusia. Kebesertaan itu bukan
sebagaimana terjadi dalam tradisi sufisme –ittihād, hulūl, qurb, wahdatul
wujūd, namun berupa kesadaran bahwa Allah “hadir, menyaksikan, dan
menjadi ruh/spirit” bagi tindakan manusia. Jadi kenyataan bahwa Allah
beserta manusia itu berada pada kesadaran manusia itu sendiri, yakni
sebuah kesadaran bahwa tindakannya selalu disertai dan disinari cahaya
Allah. Dalam kebesertaan-Nya dengan manusia Allah menyuruh berlaku
adil dan berbuat baik (QS. al-Nahl [16]: 90; al-Baqarah [2]: 195). Allah
juga akan memerhatikan dan membalas tindakan positif manusia, artinya
kebesertaan Allah bukan hanya diam (QS. al-Kahfi [18]: 30; Yunus [10]:
26). Kesadaran akan “kebesertaan Allah itu” pada gilirannya akan
melahirkan sikap ihsān (perbuatan baik di atas kebaikan dan
menyenangkan banyak orang). Inilah konsep theodicy dalam Islam.106
Dalam Islam, konsep iḥsān termanifestasi dalam dua aspek besar,
aspek ‘ibādah maḥḍah dan aspek mu’āmalah dunyāwiyah. Aspek ‘ibādah
maḥḍah berorientasi pada penciptaan keikhlasan dan kesalehan (sincerity

106
Lihat selengkapnya Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual
Optimism (Leiden: Brill, 2007).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


91

and piety), sedangkan aspek mu’āmalah dunyāwiyah berorientasi pada


penciptaan layanan sosial yang bermutu dan bermanfaat (social well-
care). Masing-masing penjelasan dapat digambarkan dalam tabel
berikut,107

‘ibādah mahdlah mu’āmalah dunyāwiyah

orientasi: sincerity & piety orientasi: social well-care


Kepatuhan pada perintah Allah
Ihsān fī al-kalām (17: 53; 41: 33)
(22: 37)
Ketundukan & kepasrahan
Ihsān li al-wālidain (17: 23)
hanya kepada Allah (4: 125)
Kecintaan akan kemashlahatan Ihsān li al-makhlūqāt (HR.
hanya karena Allah (22: 37) Muslim)
Ihsān ila al-yatāmā wa al-
masākīn (17: 53)
Ihsān ilā al-jār (4: 36)

Ihsān ilā al-mūsī` (41: 34-35)

Iḥsān merupakan sebuah kesadaran dan tindakan sekaligus. Kualitas


konsep iḥsān selalu mengindikasikan substansi yang baik. Oleh karena
itu, kesadaran dan tindakan iḥsān selalu berorientasi pada penciptaan
kebaikan di atas kebaikan karena sebuah “arahan” dari Allah untuk hal
itu. Berangkat dari acuan seperti ini, ihsan bukan hanya dimaknai sebagai
sebuah tindakan saja, lebih dari itu ia dimaknai sebagai sebuah sarana
untuk mentransfomasikan sebuah entitas yang baik dengan sebuah
kebaikan lagi.

107
Tabel dirangkumkan dari Amal Salim Kadhim, Shukri B. Ahmad et al., “Islamic
Ethics: The Attributes of al-Ihsan in the Quran and Its Effects on Muslim Morality”,
International Journal of Business and Social Science, Volume 8, Number 11, November
2017.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


92

Asumsi dasar dari penjelasan ini menunjukkan bahwa iḥsān


merupakan sistem nilai dan cara mengaktualisasikan kesadaran menjadi
sebuah tindakan. Kesadaran dan tindakan ini secara terus menerus
dilakukan manusia untuk menunjukkan makna bagi tindakannya.
Misalnya, dari matriks pada diagram di atas, perbuatan-perbuatan baik
yang dilakukan oleh seorang muslim merupakan manifestasi dari “sistem
nilai” yang terbangun dalam kesadaran awal dalam dirinya. Sistem nilai
yang termanifestasikan ke dalam sebuah tindakan itu telah membentuk
“konsep diri” manusia yang baik, sehingga perilaku yang dilakukannya
akan bernilai baik. Pemaknaan terhadap tindakan yang dilakukan
seseorang (subjek) oleh orang lain (subjek yang lain lagi) didasarkan pada
konteks nilai yang diyakini kedua orang (subjek) tersebut.
Dengan demikian terjadi pertukaran makna dalam proses interaksi
tersebut. Dalam teori interaksi simbolik pada Sosiologi Agama, model
interaksi sosial seperti ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara
sistem nilai dan tindakan.108 Teori ini mengasumsikan bahwa manusia
bertindak dan berperilaku berdasarkan makna-makna yang diperoleh dari
cara dia mengaktualisasikan dirinya ke dalam konteks sosial dalam
bentuk tindakan dan perilaku yang disebut dengan amal salih. Makna-
makna ini terus dibangun sejalan dengan proses interaksi yang dilakukan
secara intensif dengan manusia lainya. Makna-makna ini bersumber dari
kualitas tindakan manusia satu terhadap manusia lainnya yang
berorientasi pada sistem nilai tertentu. Dalam konteks ini sistem nilai
ersebut adalah konsep iḥsān.
Tindakan-tindakan yang dilakukan manusia akan mewujudkan
kualitas perbuatan itu merupakan pengejawantahan langsung dari
kesadaran untuk tetap “ada” sebagai subjek yang diperhitungkan oleh
subjek lainnya. “Ada” atau “eksis” sebagai subjek menjadi sebuah
orientasi bagi tindakan manusia, sehingga kualitas perbuatan mereka
selalu diorientasikan pada penciptaan kebaikan (ihsān) terhadap dan dari
108
Herbert H. Mead, Mind, Self, and Society: From the Standpoint of a Social
Behaviorist (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1972).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


93

orang lain, meskipun tindakan orang lain tersebut secara ekstrem dinilai
sebagai sebuah “ancaman” bagi dirinya. Salah satu bentuk tindakan ihsān
itu adalah tetap “mengedepankan kelembutan” meskipun dihadapkan
pada situasi ekstrem. Sesuai dengan hal ini Allah menegaskan bahwa,

‫ضوا ِم ْن‬ ُّ ‫يظ ْال َق ْلب ََل َنف‬


َ َ ًّ َ َ ُ ْ َ َ ْۖ ُ َ َ
‫ل‬ ‫غ‬ ‫ا‬‫ظ‬ ‫ف‬ ‫نت‬ ‫ك‬ ‫و‬ ‫ل‬‫و‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫نت‬ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫الل‬ َ ‫َفب َما َر ْح َمة م‬
‫ن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ
َّْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ ۖ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ۖ َ
‫َحوِلك فاعف عنهم واستغ َِف ْر لهم وش ِاورهم ِفي ْلام ِر ف ِإذا عزمت فتوكل‬
ْ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ْ
ُْ َ
‫َعلى الل ِ ُۚه ِإ َّن الل َه ُي ِح ُّب اْل َت َو ِك ِل َين‬
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya. (Q.S. Ali Imran [3]: 159).
Ilustrasi nilai yang dinarasikan dalam ayat ini merupakan bentuk
nyata dari gagasan bahwa tindakan yang baik (ihsān) akan meneguhkan
eksistensi manusia itu sendiri. Karena kualitas kebaikan yang berada pada
tindakan manusia tersebut, maka kebaikan-kebaikan itu akan dimaknai
sebagai nilai yang positif dalam membangun interaksi manusia dengan
manusia lainnya sehingga interaksi yang dibangun selalu bersifat menjadi
adhessive substance (pelekat erat). Model-model interaksi dalam
menerjemahkan sistem nilai kebaikan (ihsān) seperti ini menjadi sebuah
pola tindakan manusia untuk meneguhkan bahwa dirinya “ada” dan
“eksis” secara sosial dan secara moral. Wallahu a’lam.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


94

BAB V
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA

Dalam diri setiap orang terdapat relasi semantik dan konseptual atas
pemahaman oposisi biner yang disadari secara aktif, yakni antara
kebaikan dan keburukan yang direpresentasikan dalam tindakan yang
saling bertentangan, seperti: benar dan salah, kejujuran dan kebohongan,
kelembutan dan kekerasan, kesederhanaan dan kesombongan, amanah
dan pengkhianatan, kebahagiaan dan penderitaan, dan seterusnya.
Akhlak menjadi perisai kebijaksanaan bagi manusia. Kesempurnaan
akhlak menjadi tujuan hidup setiap orang beriman. Dengan akhlak, orang-
orang yang beriman dapat membedakan setiap pertentangan dan
persengketaan moral dalam kehidupan ini. Islam adalah agama yang
menyerukan setiap pengikutnya untuk menghiasi diri mereka dengan
akhlak yang mulia (akhlāq al-karīmah). Nabi Muhammad saw diutus
untuk mewujudkan kesempurnaan akhlak.
Hakikat akhlak pada umumnya terletak pada keputusan rasional dan
perbuatan baik. Secara khusus, aturan yang lebih spesifik disebut adab
yang dapat diidentikkan dengan etiket. Meskipun pengertian etika,
sebagai salah satu cabang filsafat, berbeda dari moral, norma dan etiket,
akhlak dalam konteks ini dapat dipahami sebagai etika Islam. Etika Islam
mengkonseptualisasikan makna kemurahan Allah swt, kebebasan
manusia, rasionalisme, keadilan, pesan-pesan moral Rasulullah saw
semasa beliau hidup, masa sahabat, problematika teoretik kaum
mutakallimin (para teolog Muslim), penyucian jiwa dalam tradisi tasawuf
hingga dialektikanya dengan filsafat Islam dan aktualisasinya dalam
berbagai disiplin keilmuan Islam hingga dewasa ini.
Para filsuf Yunani mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang
konseptualisasi tema-tema etika. Aristippos, murid Sokrates ini
berpendapat bahwa semua perbuatan berupa kesenangan dan kepuasan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


95

manusia yang bersifat sementara di dunia ini dinilai sebagai tindakan etis
meskipun ada orang lain yang terluka atau sakit hati. Ia meyakini
datangnya kematian dan ketidakpastian masa depan. Oleh sebab itu, ia
menganjurkan hidup untuk bersenang-senang. Aliran ini disebut
hedonisme.
Sedangkan Epicuros berpendapat bahwa manusia seharusnya
berusaha terus untuk mendapatkan semua bentuk kesenangan dan
menjauhi penderitaan. Ia mendorong manusia untuk senang, tetapi tidak
berlebih-lebihan terutama dalam meraih popularitas dan uang. Alirannya
dikenal sebagai Epicurisme atau hedonisme.
Nietzsche percaya bahwa manusia dihukum oleh nafsu kekuasan,
karenanya nafsu itu harus diikuti meskipun menimbulkan tirani.
Pemikiran tentang Tuhan mengacaukan kehidupan manusia. Ia yang
menolak Tuhan akhirnya menerimanya juga di masa tuanya yang
kesepian ia berharap datangnya kasih sayang dan ketenangan.
Kant percaya bahwa akal praktis lebih pasti secara moral sebab
manusia memiliki pertimbangan rasional untuk membedakan perbuatan-
perbuatan yang baik dari yang buruk, sedangkan akal spekulatif tidak
dapat diandalkan dalam persoalan etika praksis. Perbuatan baik itu
dilakukan dengan kesadaran moral dan dipahami sebagai perintah
kewajiban. Kant punya kelemahan mendasar, yaitu pada problem proteksi
akhlak, bahwa kesadaran moral tanpa kesadaran ilahiah cenderung
meletakkan kebebasan manusia di atas aturan-aturan agama.
Bertrand Russell berpendapat bahwa jika kita berbuat baik terhadap
orang lain di luar diri kita, maka kita juga akan diperlakukan dengan cara
yang sama oleh mereka. Tetapi konsepsinya cenderung individual, egois
dan tidak mengindahkan pertimbangan-pertimbangan akhlak. Sigmund
Freud menolak Tuhan dalam membangun kebaikan-kebaikan, manusialah
yang menentukannya dalam bentuk superego, sebagai pertimbangan
moral. Dostoyevsky meyakini bahwa jika Tuhan tidak ada maka
semuanya boleh dilakukan. Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa kita telah

Risalah Akhlak Islam Filosofis


96

dikutuk untuk menjadi manusia yang bebas. Mereka cenderung


mengabaikan kapasitas fitri manusia dan eksistensi Tuhan dalam
membimbing akhlak manusia. Manusia merdeka atau kebebasan manusia
itu ada justru karena Allah swt telah menganugerahkannya kepada kita.
Dalam memformulasikan kebahagiaan secara rasional, Sokrates dan
Aristoteles meyakini bahwa separuh perilaku manusia sesungguhnya
bertolak belakang dengan kesejahteraannya, sedangkan sebagiannya lagi
menunjukkan kebaikan jiwanya. Pada prinsipnya, setiap orang
menginginkan kebaikan-kebaikan sebagai bentuk usahanya kepada
kesempurnaan jiwa dan keluhuran budi. Para filsuf Muslim seperti Ibnu
Sina dan Imam Ghazali menerima pendapat dua filsuf Yunani tersebut
meskipun kemudian menambahkan konsep moral yang bersandar pada al-
Quran dan hadis dalam penyelidikan filsafat atau tasawufnya sebagai
sistem etika Islamnya sendiri. Khususnya Ibnu Miskawaih yang
mengadopsi gagasan-gagasan Plato, Aristoteles dan Galen yang diperkaya
dengan doktrin etika Islam.
Dalam etika Islam, manusia mempunyai potensi-potensi kreatif dan
kapasitas fitri dalam membangun dimensi material dan spiritualnya.
Setiap pertumbuhan ke arah kebaikan tidak akan pernah lepas dari hasil
ibadah dan harapan yang tulus atas bimbingan Allah swt. Etika Islam
dilandasi oleh tauhid atau ajaran monoteisme bahwa segala ketentuan
Allah swt berlaku atas semua ciptaan-Nya. Tidak ada kebaikan dan
kebahagiaan manusia melainkan atas izin Allah swt.
Umat Islam meyakini sepenuhnya kebenaran al-Quran. Sebab itu,
umat Islam hendaknya memerhatikan petunjuk al-Quran dalam
merancang tiga peran dan tanggung jawab yang penting, yaitu: (1)
manusia mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi ini atas
kehendak Allah swt.
َ َ ُ َ َ َ ْ َٰٓ ُ َ ۖ َ َ َ َ َ َََٰٰٓ َ َ ُّ َ َ َ ۡ َ
‫ض خ ِليفة قالوا أتجعل ِفيها من‬ ِ ‫اعل ِفي ٱِلر‬
ِ ‫وِإذ قال ربك ِللمل ِئك ِة ِإ ِني ج‬
َ ۖ
َ ‫س ل َك ق‬ َ ُ ‫مد َك َو ُن َق ِد‬ َ ُ َ ُ َ َ َٰٓ
ُ ُ ‫ُيفس ُد ف َيها َو َي‬
‫ال ِإ ِن َٰٓي‬ ِ ‫ٱلد َما َء ونحن نس ِبح ِبح‬
ِ ‫سفك‬ ِ ِ ِ

Risalah Akhlak Islam Filosofis


97

َ َ َ َ َ
‫أعل ُم ََما َل تعل ُمو َن‬
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.
Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” [Q.S. al-Baqarah: 30].
Manusia dianugerahi kemampuan untuk mengelola kehidupan di
dunia ini dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Allah swt
melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia untuk memahami hakikat
realitas dan ciptaan-Nya. Kemampuan yang dimiliki manusia itulah yang
menempatkannya sebagai makhluk istimewa di sisi Tuhannya. Selain itu,
al-Quran juga menegaskan posisi istimewa manusia dibandingkan
makhluk-Nya yang lain, yaitu bahwa (2) manusia diberi kesempurnaan
dibanding makhluk Allah swt yang lainnya.
َٰ َّ َٰ
‫حر َو َر َز َقن ُهم ِم َن ٱلط ِي َب ِت‬ َ ‫َو َل َق ۡد َك َّر‬
َ ‫منا َبن َٰٓي َء َاد َم َو َح َم ََٰلن ُه ۡم في‬
َ ‫ٱلبر َو‬
‫ٱلب‬
ِ ِ ِ ِ
َ َ ََ ۡ َ َ َ ۡ ََٰ َّ َ َ
ِ ‫وفضلن ُهم عل َٰى ك ِثير ِم َّمن خلقنا ت‬
‫فضيَل‬
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan [QS. al-Isra’: 70].
Allah swt memuliakan manusia dengan cara menganugerahkan
keunggulan dan kesempurnaan kepadanya. Dengan demikian, maka
manusia telah memperoleh martabat langsung dari Allah swt dan patut
bersyukur dengan mempersiapkan dirinya dengan sebaik-baiknya.
Kelebihan akal dan kehendak bebas yang dianugerahkan Allah swt
kepadanya menjadikan (3) manusia mampu mengemban amanah-Nya.

‫حم َلن َها‬ َ ‫ٱِلرض َوٱلج َبال َف َأ َب َين َأن‬


‫ي‬
َ َ ََٰ ََٰ َّ
‫و‬ ‫ت‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ٱلس‬ ‫ى‬ ‫ل‬
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ
‫ِإنا عرضنا ٱِلمانة ع‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ۖ
ُ َ َ َ ُ َّ ُ ََٰ َ ‫قن ِم َنها َو َح َم َل‬ َ ‫َو َأ‬
َ ‫شف‬
‫ان ظلوما َج ُهوَل‬ ‫ٱإلنسن ِإن ۥه ك‬
ِ ‫ا‬‫ه‬

Risalah Akhlak Islam Filosofis


98

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi


dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh
[QS. al-Ahzab: 72]
Meskipun disadari bahwa manusia lebih rendah daripada langit,
lebih kecil daripada bumi dan dan lebih ringkih daripada gunung-gunung,
tetapi kenyataannya hanya manusia yang siap mengemban amanah. Selain
manusia, merasa berat dan takut menerima amanah dari Allah swt.
Tentusaja manusia di sini adalah hamba-hamba Allah swt yang beriman
dan siap menjalankan semua perintah Allah swt dan menjauhi semua
larangan-Nya.

A. Peran dan Tanggung Jawab sebagai Pribadi


Orang-orang yang beriman tidak akan menyia-nyiakan amanah
yang diberikan Allah swt kepada mereka untuk mengambil peran dan
tanggung jawab sebagai pribadi yang saleh secara individual dan saleh
secara sosial. Saleh secara individual berarti bahwa kesadaran untuk
melakukan setiap kebaikan dilandasi oleh pemenuhan kebutuhan moral
individual. Sedangkan saleh secara sosial didasarkan pada kesadaran
sosial untuk memenuhi panggilan moral dalam bermasyarakat.
Jika menelaah beberapa ayat yang berbicara mengenai ciri pribadi
Nabi saw dan orang-orang beriman dalam al-Quran, akan didapati tiga
bentuk pribadi yang ideal. Pertama, pribadi rahmat, kedua pribadi
tangguh dan ketiga sebagai pribadi bahagia. Peran sebagai pribadi rahmat
tampak dari perenungan atas firman Allah surat Ali Imran ayat 159,

‫ضوا ِم ْن‬ ُّ ‫يظ ْال َق ْلب ََل ْن َف‬


َ َ ًّ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ ُ َ َ ْ َّ َ َ ْ َ َ َ
‫ف ِبما رحم ٍة ِمن الل ِه ِلنت لهم ولو كنت فظا غ ِل‬
ِ َ
َّ َ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ ْ ُْ َ ُ ْ َ َ ْ َ
‫اس َتغ ِف ْر ل ُه ْم َوش ِاو ْر ُه ْم ِفي ْلا ْم ِر ف ِإذا َع َز ْم َت ف َت َوك ْل‬ ‫ك فاعف عنهم و‬ َ ‫حوِل‬
ُْ َّ َّ َ
َ َ ‫َعلى الل ِه ِإ َّن الل َه ُي ِح ُّب اْل َت َو ِك ِل‬
‫ين‬

Risalah Akhlak Islam Filosofis


99

Dikarenakan rahmat dari Allah engkau (Muhammad) berlemah lembut


kepada mereka. Sekiranya engkau kasar, keras hati maka pasti mereka
akan berpisah dari mu. Maafkanlah mereka, mohon ampunkanlah mereka
dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan. Lalu, apabila
engkau telah bertekad (akan satu hal) maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.
Ketika memberikan penafsiran atas ayat di atas, Tahir bin Asyur
menyebutkan bahwa karakter pribadi Nabi yang diungkapkan dengan
istilah layyin (linta lahum) selain dapat diartikan secara hakiki tetapi juga
bisa dipahami secara majazi. Pada pengertian hakikinya, Nabi saw
disebutkan sebagai pribadi yang penuh dengan kelemah-lembutan,
sementara jika dilihat dari makna majazinya bahwa ungkapan lemah-
lembut itu menunjukkan pada keluasan akhlak terpuji Nabi (si’ah al-
khalq) yang secara rinci disebutkan pada kalimat-kalimat setelahnya.109
Berdasarkan itu, dapat dipahami bahwa Nabi saw yang dianugerahi
rahmat Allah telah menjadi seorang pribadi yang lemah lembut (linta
lahum); pemaaf (fa’fu ‘anhum), gemar memohonkan ampun yang juga
bisa dimaknai sebagai pribadi yang tidak suka menyalah-nyalahkan atau
bukanlah tukang kutuk (wastagfir lahum), memiliki tekad yang kuat (fa
iżā ‘azamta) dan senantiasa bertawakkal atau menerima diri dan
menggantungkan pengharapan hanya kepada Allah (fa tawakkal ‘alā
Allāh). Inilah cerminan pribadi rahmat yang digambarkan oleh al-Quran
melalui ayat ini.
Sebagaimana pribadi rahmat, pribadi tangguh didasari dari makna
yang terkandung didalam firman Allah surat al-Anfal ayat 65,
َ ‫صاب ُر‬
‫ون‬ َ ‫ون‬ َ ‫النب ُّي َحرض ْاْلُ ْؤمن َين َع َلى ْالق َتال إ ْن َي ُك ْن م ْن ُك ْم ع ْش ُر‬ َّ ‫َي َاأ ُّي َها‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
َ َ
ْ‫ين ك َف ُروا بأ َّن ُهم‬ َّ ْ َ
َ ‫َي ْغل ُبوا م َائ َت ْي َن َوإ ْن َي ُك ْن م ْنك ْم مائة َيغل ُبوا أل ًفا م َن الذ‬
ْ ٌ َ ُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ
‫ق ْو ٌم َل َي ْف َق ُهو َ َن‬

109
Muhammad al-Tahir bin Asyur, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: al-Dār al-
Tūnisiyyah, 1984 H), juz ke-2, hlm. 71

Risalah Akhlak Islam Filosofis


100

Wahai Nabi (Muhammad) kobarkanlah semangat para mukmin untuk


berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Jika ada seratus
orang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu
orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak
mengerti.
Pada ayat di atas, orang beriman memiliki satu sifat penting yang
disebutkan dengan kata ṣābirūn. Dalam tafsir at-Taḥrīr wa at-Tanwīr
dijelaskan bahwa asal makna kata ṣābirūn adalah mampu menanggung
berbagai macam kesulitan dan tangguh menghadapi dan mengatasi
kesulitan tersebut (taḥammul al-masyāq wa aṡ-ṡabāt minhu). Pribadi
tangguh inilah yang menjadi faktor penting kemenangan dan keberhasilan
dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan apapun. Ketangguhan
yang menghasilkan mental pemenang ini menurut Asyur adalah
ketangguhan yang didasari atas kesadaran iman. Sebab, pada akhir ayat
Allah menyatakan sebab kekalahan orang kafir karena mereka tidak
memahami (lā yatafaqqahūn) yang berarti tidak memiliki pengetahuan
dan keyakinan atas kemahakuasaan Allah. Sehingga mereka
menggantungkan segala faktor kemenangan itu pada hal yang bersifat
inderawi semata seperti pada faktor kuantitas. Karena itu, bagi mereka
keberhasilan-keberhasilan hanya dapat diperoleh apabila ditopang dengan
faktor-faktor yang kasat mata, jika tidak demikian, maka kemenangan dan
keberhasilan mustahil diraih. Sementara orang beriman yakin bahwa ada
faktor di luar dari hal yang bersifat fisik semata seperti jumlah. Di antara
faktor itu adalah keimanan yang membentuk mental secara kualitas yang
menjadikan nilai satu orang prajurit dapat lebih tangguh dibanding
sepuluh orang prajurit.110
Terakhir adalah pribadi bahagia yang secara tersurat pada surat al-
Baqarah ayat 201,

110
Muhammad al-Tahir bin Asyur, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: al-Dār al-
Tūnisiyyah, 1984 H), hlm. 185

Risalah Akhlak Islam Filosofis


101

َ ‫الد ْن َيا َح َس َن ًة َوفي ْْلاخ َرة َح َس َن ًة َوق َنا َع َذ‬


‫اب‬ ُّ ‫َوم ْن ُه ْم َم ْن َي ُقو ُل َرَّب َنا آت َنا في‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫النار‬ َّ
Di antara mereka, ada yang berdoa “Ya Tuhan kami berikan kepada
kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat serta jauhkan kapi
dari azab neraka
Mereka pada ayat ini adalah kelompok orang yang berbeda dengan
pihak yang disebut pada ayat sebelumnya. Sederhananya, Allah melalui
ayat ini dan ayat sebelumnya, mengklasifikasi dua pribadi manusia
didasarkan dari orientasi hidupnya. Tipe pertama adalah manusia yang
hanya berorientasi kepada keduniaan semata. Manusia seperti ini hanya
memiliki visi hidup capaian-capaian duniawi semata sehingga ukuran
kebahagiaan mereka pun terbatas pada aspek-aspek duniawi itu.
Adapun pada ayat ini, dijelaskan tipe kedua yaitu orang beriman
yang punya visi tidak hanya pada kebaikan dunia, tetapi juga kebaikan di
kehidupan selanjutnya. Kata ḥasanah oleh Tahir bin Asyur dijelaskan
sebagai kata yang pada asalnya merupakan sifat dari suatu perbuatan atau
sifat dari hasil perbuatan. Dengan begitu maka, ketika orang beriman
meminta pada Allah kebaikan, maka itu berarti meminta segala aspek di
kehidupannya haruslah termasuk sebagai perbuatan yang dikategorikan
kebaikan. Kebaikan yang diwakili pada kata ḥasanah lalu disandarkan
pada dunia dan akhirat juga memberikan kesimpulan bahwa orientasi
kebahagiaan seorang mukmin tidak hanya selesai pada capaian dunia
sementara ini, tetapi juga harus berdampak positif di kehidupan
selanjutnya.111
Di antara peran dan tanggung jawab pribadi yang tercermin dalam
kesalehan individual adalah sebagai berikut:
1. Kesadaran Moral untuk Senantiasa Bersyukur atas Semua
Nikmat Pemberian Allah swt.

111
Muhammad al-Tahir bin Asyur, al-Taḥrīr wa al-Tanwir, (Tunisia: al-Dār al-
Tūnisiyyah, 1984 H), juz ke-2, hlm. 248

Risalah Akhlak Islam Filosofis


102

Orang-orang beriman yang selalu berusaha meraih kesucian


jiwa termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung di sisi
Allah swt.
َّ ْ َّ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ
َ ‫الله ك َت ًابا ُم َؤ َّج ًَل َو َم ْن ُير ْد َث َو‬
‫اب‬ ِ ِ ِ ‫س أن تموت ِإَل ِب ِإذ ِن‬ ٍ ‫وما كان ِلنف‬
َ َ ‫الش ِاك ِر‬
‫ين‬ َ ‫الد ْن َيا ُن ْؤته م ْن َها َو َم ْن ُير ْد ََث َو‬
َّ ‫اب ْْلاخ َرة ُن ْؤته م ْن َها َو َس َن ْجزي‬ ُّ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi
balasan kepada orang-orang yang bersyukur (Q.S. Ali Imran: 145)
Orang-orang yang bersyukur termasuk dalam golongan yang
mendapatkan ganjaran dari Allah swt berupa pahala di dunia dan di
akhirat.
2. Kesadaran Moral untuk Senantiasa Menyucikan Jiwanya
Orang-orang beriman yang selalu berusaha meraih kesucian
jiwa termasuk dalam golongan orang-orangn yang beruntung di sisi
Allah swt.
َ َّ َّ َ َّ َ َ َٰ َ َ َ َ َ َ َ َٰ َ ُ َ
‫َ َوٱل ِيل ِإذا‬٣ ‫ٱلن َه ِار ِإذا َجل َٰى َها‬‫َ َو‬٢ ‫ وٱلقم ِر ِإذا تلىها‬١ ‫مس وضحىها‬ ِ َ َّ ‫َو‬
‫ٱلش‬
َ‫ َو َنفس َوما‬٦ ‫ٱِلَرض َو َما َط َح َٰى َها‬ َ َ َ ‫ٱلس َم َٰٓا ِء َو َما َب َن َٰى‬
َّ ‫ َو‬٤ ‫َيغ َش َٰى َها‬
ِ ‫و‬ ٥ ‫ا‬‫ه‬
َ‫ َو َقد َخاب‬٩ ‫ َ َقد َأ َفل َح َمن َز َّك َٰى َها‬٨ ‫قو َٰى َها‬
َ ‫ور َها َو َت‬ َ ‫ َف َأ َله َم َها ُف ُج‬٧ ‫َس َّو َٰى َها‬
١١ ‫َمن َد َّس َٰى َها‬
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila
mengiringinya dan siang apabila menampakkannya, dan malam
apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta
penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya
(Q.S. Al-Syams: 1-10).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


103

3. Kesadaran Moral Untuk Menahan Diri dari Golongan Hawa


Nafsu Karena Takut Akan Kebesaran Allah swt.
َ َ َّ َ َ َ َ َّ َ َ
َّ ‫اف َم َق َام َربهۦ َو َن َهى‬
‫ٱلج َّنة ِه َي‬ َ ‫فس َعن‬
‫ ف ِإن‬٤١ ‫ٱله َو َٰى‬ ِ
َ ‫ٱلن‬ ِِ ‫وأما من خ‬
َ
٤١ ‫ٱْلأ َو َٰى‬
Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
surgalah tempat tinggal(nya) [Q.S. al-Nazi’at: 40-41].
4. Kesadaran Moral Untuk Menegakan Keadilan dan Menjadi
Saksi Karena Allah swt.
َٰٓ َ َ َّ َٰٓ ُ
‫سط ش َه َدا َء ِلل ِه َولو َعل َٰى‬ ‫ٱلق‬ ‫ب‬ ‫ين‬َ ‫ام ُن ْوا ُك ُون ْوا َق ََّٰوم‬
َ َ ‫ين َء‬ َ ‫ََََٰٰٓيا َأ ُّي َها َّٱلذ‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ ُ َّ َ َ َ َ ُ ُۚ َ َ َ َٰ َ ‫َأ ُنفس ُكم أو‬
َ
‫ٱلوِلد ِين َوٱِلق ََرِبين ِإن َيكن غ ِن ًّيا أ َو ف ِقيرا فٱلله أ َول َٰى ِب ِه َما‬ ِ ِ
َ َ َ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ َٰٓ َٰ ‫َف ََل تتب ُعوا ٱل َه َو‬
ْ َّ َ
‫ضوا ف ِإ َّن ٱلله كان ِب َما‬ ُ ‫لوا أو َتعر‬
ِ ‫ۥ‬ ُ ‫وا َوإن ت‬
ِ َ ‫ل‬ ‫عد‬
ِ ‫ت‬ ‫ن‬‫أ‬ ‫ى‬ ِ
َ ‫َ َ ُ َن‬
‫تعملو خ ِبيرا‬
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia
kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjakan [Q.S. al-Nisa: 135].
5. Kesadaran Moral untuk Menjaga Ketakwaan dengan Berani
Berkata Benar dan Hidup Bergaul dengan Orang-orang yang
Benar.
َ ْ ُ ُ َّ ْ ْ َ ‫َََٰٰٓي َأ ُّي َها َّٱلذ‬
‫ين َء َام ُنوا ٱ َّت ُقوا ٱلل َه َوقولوا ق َوَل َس ِديدا‬ ِ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar [Q.S. al-Ahzab: 70].
ََّٰ َ َ ْ ُ ُ َ َ َّ ْ ُ َّ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َََٰٰٓ
َ‫ٱلص ِد ِق َين‬ ‫يأيها ٱل ِذين ءامنوا ٱتقوا ٱلله وكونوا مع‬

Risalah Akhlak Islam Filosofis


104

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan


hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar [Q.S. al-Taubah:
119].
6. Kesadaran Moral untuk Bersikap Rendah Hati dan Tidak
Sombong
َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َّ ََٰ ‫ٱلر‬
‫ض َه َونا َوِإذا خاط َب ُه ُم‬
ِ ‫ر‬‫ٱِل‬ ‫ى‬‫ل‬ ‫حم ِن ٱل ِذين يمشون ع‬ َُ ‫َو ِع َب‬
َّ ‫اد‬
ََٰ ْ ُ َ َ ُ َٰ
‫ٱل َج ِهلون قالوا َسلما‬
Hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang
yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan [Q.S. al-Furqon: 63].
ُ َ َّ َ َ َ َ َّ َ َّ َ َ ُ َ َ
‫ض َم َر ًحا ِإ َّ َن ٱلل َه َل ُي ِح ُّب ك َّل‬
ِ ‫ر‬‫ٱِل‬ ‫ي‬‫ف‬ِ ِ ‫اس وَل‬
‫مش‬‫ت‬ ِ ‫وَل تص ِعر خدك ِللن‬
ُ َ
َ‫ُمخ َتال فخور‬
Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri [Q.S. Luqman: 18].
7. Kesadaran Moral untuk Bersikap Rendah Hati dan Tidak
Sombong
َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َّ
‫ض َه َونا َوِإذا خاط َب ُه ُم‬
ِ ‫ر‬‫ٱِل‬ ‫ى‬‫ل‬ ‫ٱلرح َََٰم ِن ٱل ِذين يمشون ع‬
َّ ‫َو ِع َب ُاد‬
ََٰ ْ ُ َ َ ُ َٰ
‫ٱل َج ِهلون قالوا َسلما‬
Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan), Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu,
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu [Q.S. al-Rahman: 7-9].
َ ََٰ َ ‫ين إ َذ َٰٓا َأ َنف ُق ْوا َلم ُيسر ُف ْوا َو َلم َي ُقت ُر ْوا َو َك‬
‫ان َبي َن ذ ِل َك ق َواما‬ َ ‫ََو َّٱلذ‬
ِ ِ ِ
Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian [Q.S. al-Furqon: 67].

Risalah Akhlak Islam Filosofis


105

َ ُ َ َ ْ ُ َ َّ َ َ ََٰ َّ ْ ُ
ُ ‫ٱِلس َم َٰٓا ُء‬ َ َّ ْ ُ
َ‫ٱلحس ََن َٰى‬ ‫ن أيا ما تدعوا فله‬ َ ‫ق ِل ٱد َُعوا ٱلل َه أ ِو ٱدعوا ٱلرحم‬
ََٰ َ ‫ص ََلت َك َ َو ََل ُت َخافت ب َها َو‬ َ ََ
‫ٱبت ِغ َبي َن ذ ِل َك َس ِبيَل‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫جه َر ب‬
َ ‫ت‬ ‫وَل‬
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama
yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmaul husna (nama-
nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu
dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah
jalan tengah di antara kedua itu” [Q.S. al-Isra: 110].
8. Kesadaran Moral untuk Bersikap Sabar, Dapat Menahan
Amarah dan Mau Memaafkan Kesalahan Orang Lain.
ََّٰ َ َ َ َّ َّ َٰ َ َّ َ َّ
َ ‫ٱلصبر‬ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َََٰٰٓ
َ‫ين‬ ِِ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ٱلل‬ ‫ن‬‫إ‬ِ َ
‫ة‬ِ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ٱلص‬‫و‬ ‫بر‬
ِ ‫ٱلص‬‫ب‬ِ ‫ي َأيها ٱل ِذين ءامنوا ٱست ِعين‬
‫وا‬
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar
[Q.S. al-Baqarah: 153]
ُ َّ َ َّ ْ ْ ُ ْ َ َ ْ ُ
‫ص ِاب ُروا َو َر ِابطوا َو َّٱت ُقوا ٱلل َه ل َعلكم‬
ْ َ ‫َََٰٰٓي ََأ ُّي َها َّٱلذ‬
‫ين َء َام ُنوا ٱص ِبروا و‬ ِ
‫ُتف ِل ُحو َ َن‬
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)
dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.
َ َ َ ََٰ َٰٓ َّ َ َٰٓ َّ َّ َ َ ‫َّٱلذ‬
‫ٱلعا ِف َين َع ِن‬
َ ‫يظ َو‬ ‫َوٱلك ِظ ِمين ٱلغ‬ ‫ٱلض َّرا ِء‬‫ين ُي ِنف ُقون ِفي ٱلس َرا ِء و‬ ِ
َ‫ين‬ ُ ُّ ُ ُ َّ َ َّ
َ ‫اس وٱلله ي ِحب ٱْلح ِس ِن‬ ِ ‫ٱلن‬
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan [Q.S. Ali Imran: 134]
9. Kesadaran Moral untuk Menuntut Ilmu dan Menambah
Pengetahuan dengan selalu mempergunakan akal yang telah
dianugerahkan oleh Allah swt.
Al-Quran menyerukan agar manusia mempergunakan akalnya
47 kali, berpikir 18 kali dan merenung 4 kali.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


106

َ ْ َ َٰٓ ُ َ َ َٰٓ َ َ َّ َٰٓ َ ََٰ َ


َ ‫أ َّمن ُه َو ق ِن ٌت َءانا َء ٱلي ِل َس ِاجدا وقا ِئما يحذر‬
‫ٱِل ِخ َرة َو َي َر ُجوا َرح َمة‬
َّ َ َ َ َ َ َّ َ ‫ُ َ َ َ ي َّ َ َ َ ُ َن‬
‫ين َل َيعل ُمون ِإ َّن َما َي َتذك ُر‬ ‫َرِب ِهۦۗ قل َهل َيست ِو ٱل ِذين يعلمو وٱل ِذ‬
َ ْ ُ ُ
َ ِ ‫أ ْولوا ٱِل ََٰلب‬
ََ‫ب‬
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran [Q.S. al-Zumar: 9]
َ ُ َٰٓ َ َّ َ َّ ََٰ َ َ َ ََٰ ََٰ َّ َ
‫ٱلن َه ِار ِل ََٰيت ِِل ْو ِلي ٱِلل ََٰب ِب‬‫ض وٱخ ِتل ِف ٱلي ِل و‬ ِ ‫ِإن ِفي خ ِلق ٱلسمو ِت و‬
‫ر‬ ‫ٱِل‬ َّ
‫ون ِفي‬ َ ‫ٱلل َه ق ََٰيما َو ُق ُعودا َو َع َل َٰى ُج ُنوبهم َو َي َت َف َّك ُر‬
َّ َ ُ ُ َ َ َّ
‫ ٱل ِذين يذكرون‬١٩١
ِِ ِ
َ ‫قت ََٰه َذا ََٰبطَل ُسب ََٰح َن َك َفق َنا َع َذ‬ َ ‫ٱِلَض َ َّب َنا َما َخ َل‬َ َ ََٰ ََٰ َّ َ
‫اب‬ ِ ِ ‫خل ِق ٱلسمو ِت و ر ِ ر‬
َّ
َ١٩١ ‫ٱلن ِار‬
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” [Q.S.
Ali Imran: 190-191]

B. Peran dan Tanggung Jawab sebagai Hamba Allah


Orang-orang yang beriman juga diwajibkan untuk mengambil peran
dan tanggung jawab sebagai hamba Allah swt. Sebagaimana yang
diketahui bahwa eksistensi dasar manusia dalam kaca mata al-Quran
adalah sebagai ibadullah (hamba Allah). Hal itu berarti perannya dalam
hidup tidak boleh terlepas dari nilai penghambaan.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


107

Dalam al-Quran sendiri, kapasitas manusia sebagai hamba Allah


diwakili salah satunya dengan sebutan ibādurraḥman. Karakter hamba
dari zat yang Maha Raḥman ini telah dideskripsikan secara lengkap pada
firman Allah surat al-Furqan ayat 63 hingga 77.
Pada ayat ke 63, hamba Allah disebutkan sebagai manusia yang
senantiasa bersifat rendah hati, tawadlu (yamsyūna ‘ala al-ardhi
haunan). Sifat tawadhu itu dibarengi dengan peran mereka sebagai
penebar kedamaian dan keselamatan kepada siapapun termasuk pihak
yang mencoba melakukan konfrontasi (wa iżā khāṭabahum al-jāhilūna
qālū salāman). As-Sa’di menyebutkan bahwa meski aspek kedamaian
dalam ayat ini diungkapkan sebagai tindakan lisan, tetapi hakikatnya itu
merupakan makna bahwa ciri seorang hamba adalah cinta damai, dan
mengutamakan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik apapun.112
Karakter hamba Allah juga harus memenuhi nilai-nilai religiusitas
(yubītūna li rabbihim sujjadan wa qiyāman). Karakter ini menyiratkan
bahwa setiap tindakan dan pikiran seorang hamba Allah selalu memiliki
pondasi yang bersifat religius. Nilai religius ini, selain sebagai dasar dari
segala aktivitas hidup juga sebagai cara pandang hidup. Dalam arti hamba
Allah tidak hanya punya vitalitas berusaha sebaik mungkin selama ia
masih hidup tetapi juga punya kesadaran akan datangnya kematian
dan realitas kehidupan setelah tibanya kematian itu. Dengan demikian,
hamba Allah akan senantiasa berupaya agar tidak hanya terhindar dari
kerugian di dunia ini, tetapi juga terhindar dari kemalangan di hari akhir
nanti. (rabbanā iṣrif ‘annā ‘ażāb jahannam).
Kepekaan dan kepedulian sosial juga menjadi karakter dari
hamba Allah yang dijelaskan pada ayat berikutnya (iżā anfaqū lam
yusrifū wa lam yaqturū wa kāna baina żālika qawāman). Menarik
penjelasan as-Sa’di terkait ayat ini, ia mengatakan gemar berderma
sebagai karakter hamba Allah yang tersirat pada ayat yang ke-67 ini

112
Nashir ibn ‘Abdillah as-Sa’di, Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān fī Kalām al-Mannān,
(t.t: Muassasah al-Risalah, 1420 H/ 2000 M), hlm. 587

Risalah Akhlak Islam Filosofis


108

dibarengi dengan keterangan bahwa derma merupakan tindakan sosial


yang seimbang dan efektif. Dengan begitu, kepedulian sosial oleh hamba
Allah, akan berbuah sesuatu yang konstruktif positif kepada masyarakat,
tidak memberikan dampak negatif pada pelakunya maupun objek
masyarakatnya.113
Karakter di atas berhubungan dengan ciri sifat hamba Allah
berikutnya yaitu memiliki iman yang fungsional (lā yad‘ūna ma’a Allah
ilāhan ākhar), di mana iman tersebut membentuk pribadi hamba menjadi
orang yang menjauhi tindak kejahatan (wa lā yaqtulūna al-nafs ilā bi
al-ḥaq) dan senantiasa menjaga kesucian diri (wa lā yaznūna) serta
tidak lupa berkomitmen pada keadilan, salah satunya dicontohkan
dengan tidak akan melakukan rekayasa persaksian di pengadilan
(wallażīna lā yasyhadūna al-zūra).
Karakter-karakter berikutnya yang disebutkan pada ayat selanjutnya
ialah berkomitmen pada segala yang bermakna yang dengan itu hamba
Allah harus punya kesadaran untuk selalu berproses dalam rangka
belajar (iżā żukkirū bi āyāti rabbihim lam yukhirrū ‘alaihā ṣuman wa
‘umyānan). Sebagai hamba Allah juga harus berpegang teguh pada
kesetiaan terhadap keluarga (yaqūlūna rabbanā hablanā min azwājinā
wa żurriyātinā qurrata a’yun) dan juga berada di garda terdepan
sebagai pemimpin yang memberikan keteladanan baik (waj’alnā li al-
muttaqīna imāman).
Di antara peran dan tanggung jawab sebagai hamba Allah swt
sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran sebagai berikut:
1. Kesadaran moral untuk selalu berbaik sangka kepada Allah
َ ‫ٱلخسر‬ََٰ َ ُ َ َ َ ُ َٰ َ َ ُ َ ُ َ َ َّ ُ ُ ُّ َ ُ ََٰ َ
َ ‫ين‬ ِ ِ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫م‬‫حت‬ ‫صب‬‫أ‬‫ف‬ ‫م‬‫ك‬ ‫ى‬ ‫د‬‫ر‬ ‫أ‬ ‫م‬‫ك‬ ‫ب‬‫ر‬‫ب‬
ِ ِ ‫م‬‫نت‬ ‫ن‬ ‫ظ‬ ‫ي‬‫ذ‬ِ ‫وذ ِلكم ظنكم‬
‫ٱل‬
Yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka
kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu
termasuk orang-orang yang merugi [Q.S. Fussilat 23].

113
Ibid.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


109

2. Kesadaran moral untuk selalu bertasbih dan mengingat Allah


swt sehingga hatinya menjadi tenang dan tenteram
َّ َ َ َ ََٰ َ َ َّ َ َ ُ َّ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ َٰٓ َ َ ‫َق‬
َ‫اس ثلثة أ َّي ٍام ِإَل َرم َزا‬ َ ‫ال َر ِب ٱجعل ِلي ءاية قال َءايتك أَل تك ِلم ٱلن‬
ََٰ َ َ َ َ َ َ َّ َّ ُ َ
َ ‫ٱإلبك ِر‬
ِ ‫وٱذكر ربك ك ِثيرا وس ِبحَ ِبٱلع ِش ِي و‬
Berkata Zakariya: “Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah
mengandung)”. Allah berfirman: “Tandanya bagimu, kamu tidak
dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan
isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta
bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari” [Q.S. Ali Imran: 41]
ُ ‫طم ِئ ُّن ٱل ُق ُل‬ َّ
َ ‫ٱلل ِه َت‬ َ َ ۗ َّ ُ ‫طم ِئ ُّن ُق ُل ُوب‬
َ ‫ين َء َام ُن ْوا َو َت‬
َ ‫َّٱلذ‬
َ ‫وب‬ ‫كر‬
ِ ِ‫ذ‬
ِ ‫ب‬ ‫َل‬
َ َ
‫أ‬ ‫ه‬ِ ‫ٱلل‬ ‫ر‬ ‫ك‬
ِ ِ ‫ذ‬
ِ ‫ب‬ ‫م‬‫ه‬ ِ
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allahlah hati menjadi tenteram (Q.S. al-Ra’d: 28)
3. Kesadaran moral untuk senantiasa taat beribadah dan
bertawakkal kepada Allah swt, termasuk kesadaran bahwa
hanya Allahlah yang dapat menyembuhkan semua penyakit.

َ ‫ين‬
َّ ُ َ َ َ ََٰ
َ ‫ٱلل َه ُمخلصا َّل ُه ٱلد‬ ‫د‬ ‫ٱعب‬‫ف‬ ‫ق‬ ‫ٱلح‬‫ب‬ ‫ب‬‫ت‬ ‫ٱلك‬ َ ‫إ َّن َٰٓا َأ َنز َلن َٰٓا إ َل‬
‫يك‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan
(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya [Q.S. al-Zumar: 2]
َ َّ َ ‫ص ََل ِتي َو ُن ُس ِكي َو َمح ََي‬
َ ‫اي َو َم َما ِتي ِلل ِه َر ِب ٱل ََٰعل ِم َين‬ َ ‫ُقل إ َّن‬
ِ
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam [Q.S. al-An’am:
162]
َ ‫ٱدخ ُل ْوا َع َليه ُم‬
َ ‫ٱلب‬ ُ َ ‫ٱلل ُه َع َليه‬َّ َ َ َ َ ُ َ َ َ َّ َ َُ َ َ َ
‫اب‬ ِ ‫ا‬ ‫م‬ ِ ‫م‬ ‫نع‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫و‬ ‫اف‬‫خ‬ ‫ي‬ ‫ين‬ ‫ذ‬
ِ ‫ٱل‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ِ ‫قال رج‬
َ
‫ن‬ ‫َل‬
ُ ْ ُ َّ َ َّ َ َ ََٰ ُ َ ُ ُ ُ َ َ َ َ
َ ‫وه ف ِإ َّنكم غ ِل ُبو َن َو َعلى ٱلل ِه ف َت َوكل ََٰٓوا ِإن ك ُنتم ُّم َؤ ِم ِن َين‬ ‫ف ِإذا دخلتم‬
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada
Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah
mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu

Risalah Akhlak Islam Filosofis


110

memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah


hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman” [Q.S. al-Maidah: 23]
َ َ َ ُ َ َ َ
ِ ‫وِإذا م ِرضت ف ُهو ي‬
َ ‫شف ِين‬
Apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (Q.S. al-Syu’ara:
80)
4. Kesadaran moral untuk bertaubat dan memohon ampunan
kepada Allah swt
َ َ ُ ُ ‫ٱلله َت َوبة َّن‬َّ َ ْ َٰٓ ُ ُ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َََٰٰٓ
‫أن ُيك ِف َر‬ ‫وحا َع َس َٰى َرُّبكم‬ ً ‫ص‬
ِ ‫يأيها ٱل ِذين ءامنوا توبوا ِإلى‬
‫َل ُيخ ِزي‬
َ َ‫نكم َسيَات ُكم َو ُيدخ َل ُكم َج ََّٰنت َتجري من َتحت َها ٱِلن ََٰه ُر َي َوم‬
َ ُ َ
‫ع‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ َ َ َٰ َ َ ُ ُ ُ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ َّ َّ ُ َّ
‫َو ِبأ ََٰيم ِن ِهم‬ ‫ٱلله ٱلن ِبي وٱل ِذين ءامنوا مع ۥۖه نورهم يسعى بين أ ِيد ِيهم‬
َ َ ُ َ َٰٓ َ
‫ٱغفر ل َنا ِإ َّن َك َعل َٰى ك ِل ش يء ق ِدير‬ ‫و‬ َ ‫َي ُق ُولو َن َرَّب َن َٰٓا َأتمم َل َنا ُن‬
َ ‫ور َنا‬
ِ ِ
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan
Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu
ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari
ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang
bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami;
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S. al-
Tahrim: 8)

C. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Anggota Keluarga


Orang-orang yang beriman diwajibkan untuk berperan dan
bertanggung jawab sebagai bagian dari anggota keluarga. Dalam al-Quran
sendiri konteks kekeluargaan sebagai keniscayaan manusia yang
diciptakan secara berpasangan dijelaskan salahs satunya pada firman
Allah surat al-Rum ayat 21.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


111

Pada ayat ini, ada dua konsep penting untuk membentuk keluarga
sakinah yang disebutkan. Pertama adalah konsep mawaddah dan al-
raḥmah. Al-Sya’rawi menjelaskan bahwa antara konsep mawaddah dan
al-Rahmah merupakan dua nilai keluarga sakinah yang saling
berkesinambungan. al-Mawaddah lebih menitikberatkan pada rasa cinta,
perhatian dan kepedulian yang bersifat timbal balik dan saling
menyempurnakan (al-ḥubbu al-mutabādilah) yang diwujudkan dalam
setiap aktifitas rumah tangga. Dengan al-mawaddah, maka relasi suami
dan istri baik itu dalam pemenuhan hak dan tanggung jawab dalam rangka
memberikan cinta, saling merawat dan saling menyayangi satu sama
lain.114
Adapun raḥmah dalam penjelasan al-Sya’rawi adalah sifat terakhir
yang lahir dari keluarga yang menjadi ujung dari rasa sakīnah dan
mawaddah. Bisa dikatakan bahwa aspek al-raḥmah dalam konteks
keluarga merupakan nilai cinta yang paling purna. Jika dua aspek
sebelumnya bergantung pada aspek fisik seperti faktor suka karena
rupawan, kuat, kaya yang itu semua secara berangsur-angsur akan sirna,
maka aspek raḥmah tidak bergantung pada aspek yang bersifat nisbi
tersebut. Dalam konteks inilah, seseorang yang kapasitasnya sebagai
bagian dari keluarga, harus mewujudkan dua konsep penting ini.115
Di antara peran dan tanggung jawab sebagai anggota keluarga
sebagaimana dijelaskan oleh al-Quran sebagai berikut:
1. Kesadaran moral untuk taat kepada kedua orang tua dan
larangan untuk membentak mereka.
Ketaatan seorang anak kepada ayah dan ibunya adalah bentuk
dari kewajiban moral. Orang tua telah melahirkan buah hatinya ke
dunia ini, dibimbing, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Sebab

114
Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsīr al-Sya’rawi (t.t: Mutābi’ Akhbār al-
Yaum, 1997 M), hlm. 11360
115
Ibid.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


112

itu, al-Quran mengingatkan pentingnya kepatuhan dan hormat kepada


orang tua.
َ ‫حس ًنا إ َّما َي ُبل َغ َّن ع‬
‫ند َك‬ ََٰ ‫ٱلول َدين إ‬ ََٰ ‫َو َق َض َٰى َ ُّب َك َأ ََّل َتع ُب ُد َٰٓو ْا إ َّ ََٰٓل إ َّي ُاه َوب‬
ِ ِ ِ ِ ُ ِ ِ ِ ِ ‫ر‬
َ َّ ُ
‫ره َما َوقل ل ُه َما قوَل‬ ُ ‫ٱلك َب َر َأ َح ُد ُه َم َٰٓا أو ك ََل ُه َما َف ََل َت ُقل َّل ُه َم َٰٓا أف َ َوَل َت َنه‬
َ
ِ ِ
َ
َ ‫ك ِريما‬
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia [Q.S. al-Isra’: 23]
َ َ ‫َو َب َّرا ب ََٰول َدتي َو َلم َي‬
َ ‫جعل ِني َج َّبارا ش ِقيا‬ ِ ِ ِ
Berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi celaka [Q.S. Maryam: 32]
ُ ‫ٱلل َه َ َوَل ُتشر ُك ْوا بهۦ َشئَا َ َوبٱل ََٰول َدين إح ََٰسنا َوب َذي‬
‫ٱلق َرب َٰى‬
َّ ْ ُ ُ َ
‫وٱعبدوا‬
ِِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ
‫ٱلص ِاح ِب‬َّ ‫ٱلج ُنب َو‬
ُ ‫ٱلجار‬ َ ‫ٱلجار ذي ٱل َُق َرب َٰى َو‬ َ ‫ٱلي ََٰت َم َٰى َوٱْلَ ََٰسكين َو‬
َ ‫َو‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ان‬ َ ‫ٱلسبيل َو َما َم َل َكت َأ ََٰيم ُن ُك َۗم إ َّن ٱل َّل َه ََل ُيح ُّب َمن َك‬
َّ ‫ٱلجنب َوٱبن‬ َ ‫ب‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ً ُ َ َ ُ
َ ‫مختاَل فخورا‬
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S. al-Nisa’: 36)
2. Kesadaran moral untuk memelihara anak dan larangan takut
miskin
ََٰ ‫يك ۖم َأ ََّل ُتشر ُك ْوا بهۦ َشئَاَ َوب‬
‫ٱلوِل َدي ِن‬
ُ َ َ ُ ُّ َ َ َّ َ َ ُ َ ْ َ َ َ ُ
‫َقل تعالوا أتل ما حرم ربكم عل‬
ِ ِِ ِ

Risalah Akhlak Islam Filosofis


113

ْ َ َ ُُ َ ََٰ ُ ََٰ َ ْ ُ َ َ ۖ
‫ِإح ََٰسنا َوَل تق ُتل َٰٓوا أ َول َدكم ِمن َ ِإملق َّنح ُن ن ُرزقكم َ َوِإ َّي ُاه َۖم َوَل تق َرُبوا‬
َّ َّ َّ َ َّ ْ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََٰ َ
‫س َٱل ِتي َح َّر َم ٱلل ُه ِإَل‬ ‫ٱلفو ِحش ما ظهر ِمنها َوما بطن وَل تقتلوا ٱلنف‬
َ ُ َ ُ َّ َ ُ َّ َ ُ ََٰ َ
َ ‫ص َٰىكم ِب ِهۦ ل َعلكم تع ِقلون‬ ‫ِبٱلح ِق ذ ِلكم و‬
Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu
oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan
janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya) [Q.S. al-
An’am: 151]
3. Kesadaran moral untuk menolak ajakan orang tua untuk
melakukan semua perbuatan yang dilarang oleh Allah swt.
َ َ َ َ ُ َ َ َ ََٰ َ
‫س ل َك‬ ‫اك ِلتش ِر َك ِبي ما لي‬ ‫نس َن ِب ََٰوِل َد ِيه ُحسنا وِإن جهد‬ ََٰ ‫ص َينا ٱإل‬
ِ
َّ ‫َو َو‬
َ ُ َ ُ ُ ََُ ُ َ َٰٓ ُ ُ َ َ
َ ‫عه َم َا ِإل َّي َم َر ِج ُعكم فأن ِب ُئ َكم ِب َما ك ُنتم تع َملون‬‫ِب ِهۦ ِعلم فَل ت ِط‬
Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah
kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan [Q.S. al-Ankabut: 8]
ُ ََٰ َ َ َٰ َ َ ً َ ُ ُّ ُ ُ َ َ َ َ ََٰ َ ََٰ
‫صل ُ ۥه ِفي َع َامي ِن‬ ‫ٱإلنسن ِبوِلد ِيه حملته أم ۥه وهنا على وهن و ِف‬ ِ ‫ص َينا‬َّ ‫َو َو‬
ُ َ ََٰٰٓ َ َ َ َ َ ََٰ َ ُ ‫ٱْلَ ِص‬ َّ ‫ٱشك َر لي َوِل ََٰوِل َدي َك إ َل‬ ُ َ
‫شر َك ِبي‬ ِ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫اك‬ ‫د‬ ‫ه‬‫ج‬ ‫ن‬ ‫إ‬ِ ‫و‬
َ ١٤ ‫ير‬ َ ‫ي‬ ِ ِ ‫ن‬ِ ‫أ‬
َّ ُّ ‫صاحب ُه َما في‬ ُ َ َ
َ َ ُ ‫يس ل َك بهۦ علم فَل تط‬ َ َ
‫ٱلدن َيا َمع ُروفا َ َوٱت ِبع‬ ِ ِ ‫عه َما َو‬ ِ ِ ِِ َ ‫َما ل‬
َ ُ َ ُ ُ ََُ ُ
َ ‫رج ُعكم فأن ِب ُئكم ِب َما ك ُنتمَتع َملون‬ ‫م‬ َ ‫يل َمن َأ َن‬
َ ‫اب إ َل ََّي ُث َّم إ َل َّي‬ َ ‫َسب‬
ِ ِ ِ ِ
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah

Risalah Akhlak Islam Filosofis


114

yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.


Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu. Jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan [Q.S. Luqman: 14-15]
4. Kesadaran moral untuk selalu ingat akan betapa susah
payahnya sang ibu dalam mengandung dan melahirkan anak-
anaknya
ُ
َ‫ض َعت ُه ك َرها‬ َ ‫ته ُأ ُّم ُ ۥه ُك َرها َو َو‬ ُ ‫حس ًنا َح َم َل‬ ََٰ ‫نس َن ب ََٰول َديه إ‬ ََٰ ‫ٱإل‬ َِ ‫ص َينا‬ َّ ‫َو َو‬
ِ ِ ِ ِ
َ ‫هرا َح َّت ََٰٰٓى إ َذا َب َل َغ َأ ُش َّد ُ ۥه َو َب َل َغ َأ َرَب ِع َين َس َنة َق‬
‫ال‬ ً ‫ص ُل ُ ۥه َث ََٰل ُثو َن َش‬ ََٰ ‫َو َحم ُل ُ ۥه َوف‬
ِ
َ َ َ ِ
َ َٰ َ
‫نعمت ََعل َّي َو َعل َٰى َوِلد َّي َوأن أع َم َل‬
َ َ َ ‫ك ٱلت َٰٓي أ‬َّ
َ َ َ
‫ت‬ َ ‫َرب َأوزعن َٰٓي أن َأشك َر ِنع‬
‫م‬
ُ َ َ
ِ َ ِ ِ ِ
ُ َ ُ ُ َ ُ َ َ ََٰ
َ ‫صلح ِلي ِفي ذ ِرَّي ِت ََٰٓي ِإ ِني تب ُت ِإلي َك َوِإ ِني ِم َن ٱْلس ِل ِم َين‬ ِ ‫ص ِلحا ت َرض َٰىه وأ‬
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia
telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya
Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri” [Q.S. al-Ahqaf: 15]
5. Kesadaran moral bahwa istri dan anak-anak merupakan
perhiasan dunia dan cobaan dari Allah swt
ََّٰ
َ ‫ٱلصل ََٰح ُت َخي ٌر ع‬ ُ ‫ٱلبق ََٰي‬
ََٰ ‫ٱلد َنيا ََو‬ َ ‫ال َوٱل َب ُنو َن ز َين ُة‬
ُ َ‫ٱْل‬
‫ند َرِب َك‬ ِ ِ ‫ت‬ ِ
ُّ ‫ٱلح َي َٰوة‬
ِ ِ َ
َ َ
َ ‫ث َوابا َوخ ٌير أ َمَل‬

Risalah Akhlak Islam Filosofis


115

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi


amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan [Q.S. al-Kahfi:
46]
َ َ َ َّ َّ َ َ َ ُ ََٰ َ ُ ُ ََٰ َ َٰٓ َ َّ َ ْ َٰٓ ُ َ َ
َ ‫ند ُ ۥهَأج ٌر َع ِظيم‬ ‫مولكم َوأول ُدكم ِفتنة وأن ٱلله ِع‬ ‫وٱعلموا َأنما أ‬
Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar [Q.S.
al-Anfal: 28]
َ َ ُ َّ ُ َ ُ ََٰ َ َ ُ ََٰ َ ْ َّ َ َٰٓ
ُ ‫ٱحذ ُر‬
‫وه َُۚم َوِإن‬ َ َ ‫ََٰيأ ُّي َها ٱل ِذ‬
‫ين َء َام ُن َٰٓوا ِإ َّن ِمن أزو ِجكم وأول ِدكم عدوا لكمَف‬
َّ َّ َ ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ َ
ٌ ‫ٱلل َه َغ ُفور َّر ِح‬
َ ‫يم‬ ‫تعفوا وتصفحوا وتغ ِفروا ف ِإن‬
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah
kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Q.S. al-Taghabun: 14]
6. Kesadaran moral atas pesan-pesan Lukman yang sangat
bermakna, di antaranya yaitu: bahwa Allah swt akan
membalas setiap perbuatan kita, tidak mengabaikan perintah
shalat, menegakkan amar makruf nahi munkar, dan larangan
untuk bersikap angkuh
َ َ ‫ال َح َّبة من َ َخ َر َدل َف َت ُكن في‬ َ ‫َََٰي ُب َن َّي إ َّن َه َٰٓا إن َت ُك ِمث َق‬
‫صخ َر ٍة أ َو ِفي‬ ِ ِ َِ ِ
َ َّ َ ُ ََٰ َ ٌ َ َ َّ َّ ُُۚ َّ َ َ َٰ َّ
‫ يبني أ ِق ِم‬١٦ ‫ض يأ ِت ِبها ٱلله ِإن ٱلله ل ِطيف خ ِبير‬ َ
ِ ‫ٱلس ََٰم َو ِت أ َو ِفي ٱِلَر‬
‫ص َاب َك ِإ َّن‬ َ ‫نكر َوٱص َب َر َع َل َٰى َم َٰٓا َأ‬ َ ُ
َ ‫وف َوٱن َه َع ِن‬
َ ُ َ َ َ َّ
ِ ِ ‫ٱْل‬ ِ ‫ٱلصل َٰوة وأمر َ ِبٱْلع ُر‬
َ َ ََ َّ َ َّ َ َ ُ ََ ُ ُ َ ‫ََٰذل َك من‬
‫ض‬ ِ ‫ر‬ ‫ٱِل‬ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ‫مش‬
ِ ‫ت‬ ‫َل‬ ‫و‬ ‫اس‬
ِ ‫لن‬ ‫ل‬ِ ‫ك‬ ‫د‬ ‫خ‬ ‫ر‬‫ع‬ ِ ‫ص‬ ‫ت‬ ‫َل‬‫و‬ ١٧ ‫ور‬ِ ‫م‬ ‫ٱِل‬
َ ‫زم‬ ِ ‫ع‬ ِ ِ
ُ َ َ ُ ُ َ َ َّ
‫ٱقصد ِفي َمش ِي َك‬ َ
ِ ‫ َو‬١٨ ‫م َرحا َِإ َن ٱلله َل ي ِح ُّب ك َّل مختال فخور‬
ُ َّ ً َ
َ ‫ٱِلص ََٰو ِت َل‬ َ َ َ َ َّ َ َ
َِ ‫ص َو ُت ٱل َح ِم‬
‫ير‬ ‫ك ِإن أنكر‬ َ ‫ٱغضض ِمن صو ِت‬ ُ ‫َو‬
(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit
atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya

Risalah Akhlak Islam Filosofis


116

(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha


Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah). Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri. Sederhanalah kamu dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk
suara ialah suara keledai [Q.S. Luqman: 16-19]

D. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Warga Komunitas


Orang-orang yang beriman mempunyai kewajiban untuk
mengambil peran dan tanggung jawab sebagai warga komunitas.
Peran sebagai warga komunitas adalah peran yang dimainkan dalam
kapasitas kita sebagai sesama manusia dalam suatu komunitas. Dalam
perspektif al-Qur’an peran sebagai warga komunitas yang ideal salah
satunya disimbolkan dengan frasa ummah qā’imah (Ali Imran [3]: 113).
Ayat ini berbicara tentang ahli kitab yang mendapatkan pujian dari Allah
sebab mereka memiliki tiga kualitas penting, pertama ummah qā’imah,
kedua mereka membaca ayat-ayat Allah dengan penuh kesungguhan, dan
ketiga mereka bersujud kepada Allah. Ketiga kualitas ini mewakili dua
amanah penting yang gagal dilaksanakan oleh ahli kitab yang ingkar.
Amanah ini disebutkan pada ayat sebelumnya (Ali Imran: 112), yakni
mencipta hubungan horizontal yang baik dengan sesama manusia (ḥablun
minannās) dan hubungan vertikal yang terjaga dengan Allah (ḥablun
minallāh).
Oleh karena itu, warga komunitas yang baik adalah mereka yang
bisa mencipta peradaban yang unggul dengan sesama manusia tanpa
melupakan hubungan mereka yang teguh dengan Allah. Sifat ini diwakili
oleh frasa ummah qā’imah. Menurut al-Raghib al-Asfahani, qā’imah
adalah kata yang mewadahi tiga makna penting yakni muslim, adil, dan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


117

taat.116 Sebuah umat atau komunitas menjadi ummah qā’imah apabila


ketiga etos ini menjiwai aktivitas mereka baik yang terkait urusan dengan
sesama manusia, alam, maupun kepada Allah. Ketiga sikap ini harus
menjadi pilar aktivitas al-dīn, al-dunyā, ibādah, dan sabīlillah
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Masalah Lima HPT jilid 1.
Dengan kata lain, ummah qā’imah adalah identitas umat berkemajuan.
Umat berkemajuan dengan karakterisitik ummah qā’imah itu selalu
bersikap sebagai Muslim yang taat sehingga menebar keadilan dalam
komunitasnya. Dengan etos ini, maka akan tercipta syarat-syarat
kemajuan di era moderen. Dalam sektor ekonomi pasar misalnya, sikap
mereka yang Muslim (berserah kepada ketentuan-ketentuan Allah) dalam
aspek ekonomi memungkinkan berjalannya aktivitas ekonomi yang tidak
eksploitatif. Bahkan aktivitas ekonomi ini justru saling menguatkan dan
memberdayakan, dengan risk sharing dan profit sharing yang adil. Etos
ini juga mengantarkan mereka untuk selalu antusias untuk menggali
khazanah sains dan tekonologi sebagai bentuk ibadah tersendiri kepada
Allah. Dari kemandirian ekonomi dan sikap postitif terhadap sains dan
tekonologi, lahir lingkungan yang meritokratis dimana semua urusan
diberikan kepada ahlinya, sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Dengan meritokrasi di atas prinsi ‘adalah ini aspek lain dari komunitas
berkemajuan juga akan maju termasuk hukum yang tegak, pendidkan
yang maju, dan munculnya budaya perdamaian.
Di antara peran dan tanggung jawab sebagai warga komunitas
sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran di bawah ini:
1. Kesadaran moral untuk menjalin silaturahim

‫وج َها‬َ ‫اس َّٱت ُق ْوا َرَّب ُك ُم َّٱلذي َخ َل َق ُكم من َّنفس ََٰوح َدة َو َخ َل َق م َنها َز‬
ُ ‫ٱلن‬ َّ ‫َََٰٰٓي َأ ُّي َها‬
ِ ِ ِ ِ
َ َ ُ َٰٓ َ َّ َّ ْ َٰٓ َ َّ
ََ ‫ث ِم ُنه َما ِر َجاَل ك ِثيرا َو ِن َساء َو َّٱت ُقوا ٱلل َه ٱل ِذي ت َسا َءلون ِب ِهۦ َوٱِلر َح‬
‫ام ِإ َّن‬ َ ‫َو َب‬

116
Abul Qasim Al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani, Tafsīr al-Rāgib
al-Asfahāni, (Tanta: Kulliyat Adab Jami’ah Thanta, 1999), II/803.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


118

ُ َ َ َ َ َّ
َ ‫ان َعليكم َر ِقيبا‬‫ٱلله ك‬
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu [Q.S. al-
Nisa’: 1]
2. Kesadaran moral untuk menyantuni anak yatim dan orang
miskin
ُ‫وهم منه‬ َ َ َٰ َ ََٰ َ َ َٰ َ ُ ْ ُ ْ ُ َ َ
ُ ‫ٱْل ََٰسك ُين َفٱ َر َُز ُق‬ َ َ َ َ
ِ ِ ‫ٱلقسمة أولوا ٱلقربى وٱليتمى و‬ ِ ‫وِإذا حض َر‬
َ َ ْ ُ ُ
َ ‫َوقولوا ل ُهم ق َوَل َّمع ُروفا‬
Apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik [Q.S. al-Nisa 8]
3. Kesadaran moral untuk tidak bertindak sewenang-wenang,
tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini dan tidak
berlebih-lebihan karena takut akan balasan dan laknat Allah
ُ َ ْ ُ َ ْ ُ ُ َ ُ َّ َ َ ُ ‫َف َهل ََع َس‬
َ٢٢َ ‫ض َوت َق ِط ُع َٰٓوا أر َح َامكم‬ ‫ر‬‫ٱِل‬
ِ َ َِ ِ َ ‫ي‬‫ف‬ ‫وا‬ ‫د‬‫فس‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫يت‬ ‫ل‬‫و‬‫ت‬ ‫ن‬‫إ‬ ِ ‫م‬ ‫يت‬
ََٰ ‫عم ََٰٰٓى أ‬
ُ‫بص َر َه‬ َ ‫ص َّم ُهم َوأ‬ َ ُ َّ َ َ
َ ‫ين ل َعن ُه ُم ٱلله فأ‬ َ ‫ُأ ْو َََٰٰٓلئ َك َّٱلذ‬
ِ ِ
Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan
di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka
itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga
mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka [Q.S. Muhammad 22-
23]
َّ َ َٰٓ َ َ ََٰ َّ َ َ َ ُ ُ َ َ َّ َ
‫عد َٰٓ ِميث ِق ِهۦ َو َيقط ُعون َما أ َم َر ٱلل ُه‬ ِ
َ ‫ٱلله من‬
‫ب‬ ِ ِ ‫وٱل ِذين ينقضون عهد‬
َّ ‫عن ُة َو َل ُهم ُس َٰٓو ُء‬ َٰ
َّ ُ ُ َ َ َ ْ
َ ‫ٱلل‬ ُ َ َ ُ َُ َ َ ُ َ
َ ‫ٱلد ِار‬ ‫ض أول ِئك لهم‬ ِ ‫ر‬‫ٱِل‬ ‫ي‬‫ف‬ ‫ن‬
ِ ‫فسدو‬
ِ ‫ِب ِهۦَٰٓ أن يوصل وي‬
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan
teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya

Risalah Akhlak Islam Filosofis


119

dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah


yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam) [Q.S. al- Ra’d: 25]
َ ‫ٱلز‬ َّ ‫خل َو‬َ ‫وشت َوٱل َّن‬ ََٰ ُ َ َ َ َ ََٰ ُ َّ ََّٰ َ َ َ َ َٰٓ َّ َ ُ َ
‫رع‬ ‫ي أنشأ جنت معروشت وغير معر‬ َ ‫وهو ٱل ِذ‬
ََ ْ ُ ُ ََٰ َ ُ َ َ َ ََٰ َ ُ َ َّ ُّ َ َ ُ َّ َ ُ ُ ُ ُ ً َ ُ
‫مخت ِلفا أك َل ۥه وٱلزيتون وٱلرمان متش ِبها وغير متش ِبه كلوا ِمن ثم ِر ِهۦ‬
ُ َ ْ ُ ُ ََ
َ ‫سرف َٰٓوَا ِإ َّن ُ ۥه َل ُي ِح ُّب ٱْلس ِر ِف َين‬ ‫ت‬ ‫َل‬‫و‬ ‫ۦ‬
ۖ ‫ه‬‫اد‬‫ص‬َ ‫إ َذ َٰٓا َأث َم َر َو َء ُات ْوا َح َّق ُ ۥه َي َو َم َح‬
ِ ِِ ِ
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-
macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang berlebih-lebihan [Q.S. al- An’am: 141]
ْ ُ ُ ََ ْ َُ َ ْ ُُ َ َ ُ َ ُ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ َٰٓ َ ََٰ
َ‫سرف َٰٓوا‬
ِ ‫ي َب ِني ءادم خذوا ِزينتكم ِعند ك ِل مس ِجد وكلوا وٱشربوا وَل ت‬
ُ َ
َ َ ‫ِإ َّن ُ ۥه َل ُي ِح ُّب ٱْلس ِر ِف‬
‫ين‬
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan [Q.S. al-A’raf: 31]
4. Kesadaran moral untuk memakmurkan bumi
َ ََٰ َُ َّ ْ ََٰ ‫ود َأ َخ ُاهم‬
َ ‫ص ِلحا َق‬ َ ‫َوإ َل َٰى َث ُم‬
ۖ‫ال ََٰي َق َو ِم ٱع ُب ُدوا ٱلل َه َما لكم ِمن ِإل ٍه غي ُر ُهۥ‬ ِ
َ ْ ُ ُ َ َ ُ َ َ ُ َ َ َ
‫يه ِإ َّن‬ ُ ‫ٱِلرض َوٱستع َم َر َكم ف َيها فٱستغف ُر‬
َِ ‫وه ث َّم ت ُوب َٰٓوا ِإل‬ ِ ِ
َ
ِ َ ‫هو أنشأكم ِمن‬
َُ
َ
َ ‫َرِبي ق ِريب ُّم ِجيب‬
Kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata:
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan
selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya,
kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat
dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)” [Q.S.
Hud: 61]

Risalah Akhlak Islam Filosofis


120

E. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Warga Masyarakat


Orang-orang yang beriman juga diwajibkan untuk mengambil peran
dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat.
Peran sebagai warga masyarakat terkait dengan peran seorang
Muslim dalam kaitannya dengan masyarakat yang lebih luas, bukan
hanya komunitas umat Islam saja. Dalam konteks ini, al-Qur’an
memberikan bingkai sikap yang terwakili oleh istilah ummatan waṣatan.
Ungkapan ini disebutkan di dalam surah al-Baqarah [2]: 142-148 sebagai
karakteristik yang membuat umat Islam layak menjadi syuhadā’ kepada
umat manusia. Syahādah bermakna persaksian atau pembuktian terhadap
komitmen hidup bersama. Al-Quran memberi gelar umat yang bersaksi
(syuhadā’) pada kaum muslim (QS 2: 143). Menurut Imam al-Razi,
kedudukan umat Islam sebagai saksi atau pelaku aktif dalam sejarah
manusia terkait erat dengan status mereka sebagai wasaṭan yang
bermakna berkeadilan, jujur, dan terbaik.117
Intelektual Muslim Indonesia, Kuntowijoyo menegaskan bahwa
status “umat terbaik” atau “umat terpilih” yang disematkan al-Qur’an
kepada umat Islam bukan sesuatu yang taken for granted. Artinya, ia
haruslah diusahakan. Jika menjadi muslim sudah otomatis berarti pasti
menjadi umat yang unggul, maka itu menjadi mirip dengan doktrin “umat
terpilih” Yahudi, atau “umat selamat” Nasrani. Maka untuk menjadi umat
terbaik, umat Islam disyaratkan untuk tidak hanya beriman, tapi juga
beramal saleh. Artinya ada usaha di situ. Usaha itu bisa diwujudkan
dengan memupuk beberapa sikap penting. Di antaranya adalah berjiwa
besar (ghair al-sufahā’) sehingga siap menerima kehidupan yang egaliter
dan majemuk. Adanya kenyataan yang majemuk itu malah menjadi
pendorongnya untuk ikut serta menjadi kompetitor dalam perlombaan
dalam semua bentuk kebaikan. Hal-hal ini diisyaratkan di dalam al-
Baqarah [2]: 148, bahwa setiap umat telah memiliki wijhah atau orientasi,

117
Abu Abdillah Muhammad bin Umar Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaīb,
(Beirut: Dar Ihya Turats al-‘Arabi, 1420H), IV/84.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


121

maka umat Islam seyogyanya tetap berjiwa besar dan turut serta dalam
kompetisi kebaikan.
Di antara peran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat
sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran sebagai berikut:
1. Kesadaran moral untuk memelihara kehidupan dan tidak
membunuh orang lain
َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َّ َ َ َََٰٰٓ َٰٓ َ َٰ َ َ َ َ َ َ ََٰ َ
‫فس أ َو‬ ‫ن‬
ٍ َ َِ ِ‫ير‬ ‫غ‬‫ب‬ ‫ا‬‫فس‬‫ن‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ۥ‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫يل‬ ‫ء‬ َ
‫ر‬
ِ ِ ِ‫س‬ ‫إ‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ا‬‫بن‬ ‫ت‬ ‫ك‬ ‫ك‬ ‫ل‬ِ ِ ‫ِمن‬
‫ذ‬ ‫جل‬ ‫أ‬
َٰٓ َ َ َ َ َ
َّ ‫َف َساد في ٱِلَرض َف َكأ َّن َما َق َت َل‬
‫اس َج ِميعا َو َمن َأح َي َاها فكأ َّن ََما أح َيا‬ َ ‫ٱلن‬
ِ ِ
َٰ َ َ ُ َٰ َ ُ َٰٓ َ
‫اس َج ِميعاَ َول َقدَ َجا َء ُتهم ُر ُسل َنا ِبٱل َب ِين ِت ث َّم ِإ َّن ك ِثيرا ِمن ُهم َبع َد ذ ِل َك‬ َّ
َ ‫ٱلن‬
َ ُ َُ َ
َ ‫ض ْلس ِرفون‬ ِ ‫ِفي ٱِلَر‬
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-
rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi [Q.S. al-
Ma’idah: 32]
2. Kesadaran moral untuk menafkahkan harta di jalan Allah swt
dan berkata yang baik
َٰٓ َ ْ َ َٰٓ َ َ ُ َّ َ ََٰ َ َ ُ ُ َ َّ
‫مول ُهم َِفي َس ِب ِيل ٱلل ِه ث ََّم َل ُيت ِب ُعون َما أ َنف ُقوا َمنا َوَل‬ ‫ٱل ِذين ي ِنفقون أ‬
٢٦٢ ‫حزنون‬
َ َُ َ ُ ََ ََ ٌ َ ََ
‫ند َ ِرب ِهم و ََل خ َوف عل ِيهم وَل هم ي‬ َ ‫جر ُهم ع‬
ِ ُ ‫َأذى َّل ُهم َ َأ‬
َ َّ ۗ َ َٰٓ َ ُ َ َ َ َ َ َ ٌ ََ َ
‫ذى َوٱلل ُه غ ِن ٌّي َح ِليم‬ ‫غف َرة خير ِمن صدقة يتبعها أ‬ ِ ‫م‬‫و‬ ‫وف‬ ُ
‫عر‬ ‫م‬َّ ‫ل‬‫و‬َ ‫۞ق‬
ُ‫ٱِل َذ َٰى َك َّٱلذي ُينفق‬َ َ َ ُ ََٰ َ َ ْ ُ ُ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َََٰٰٓ
ِ ِ َ ‫ٱْل ِن و‬
َ ‫ يأيها ٱل ِذين ءامنوا ََلَتب ِطلوا صدق ِتكم ِب‬٢٦٣
َ َ َ َ َ ُ ُ َ َ َ َٰٓ َّ ُ ُ َ َ
َ ‫ٱلله َو‬ َّ ‫َم ََال ُ ۥه رَئ َٰٓا َء‬
‫ٱِل ِخ ِر فمثل ۥه كمث ِل صفو ٍان‬ َ ‫ٱلي َو ِم‬ ِ ‫ؤمن ِب‬ ِ ‫اس وَل ي‬ ِ ‫ٱلن‬ ِ

Risalah Akhlak Islam Filosofis


122

ْ َ َ َّ َ َ َ ُ َ َّ َ ُ َ َ َ َ
َ ‫ون َعل َٰى ش يء ِمما ك‬
َ‫س ُبوا‬ ‫ص َاب ُ ۥه َو ِابل فترك ۥه صلد َل يق ِدر‬َ ‫َع َليه ُت َراب َف َأ‬
ِ
َ َ
ََٰ ‫ين ُينف ُقو َن أ‬ َ ‫ ََو َم َث ُل َّٱلذ‬٢٦٤ ‫ين‬ َٰ َ
َ ‫ٱلل ُه َل َيهدي ٱل ََق َو َم ٱل َكفر‬ َّ َ
‫مول ُه ُم‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫و‬
َ َ
َ ‫ٱلله َو َتثبيتا منَأ ُنفسهم َك َم َثل َج َّن َةَب َرب َوة أ‬ َّ َ َٰٓ َ
‫ص َاب َها َو ِابل‬ ٍ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫ات‬ ِ ‫ٱب ِتغا َء َمرض‬
َ ُ َ َّ َ َ َّ َ َ َُُ َ َ
َ ‫عفي ِن ف ِإن لمَ ُي ِصب َها َو ِابل فطلَ َوٱلل ُه ِب َما تع َملون َب ِص ٌير‬ ‫َفاتت أكل َها ِض‬
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti
(perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih
baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan
(perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya
ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa
yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir. Perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk
keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran
tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan
buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka
hujan gerimis (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang kamu
perbuat [Q.S. al-Baqarah: 262-265].
3. Kesadaran moral untuk memohon izin jika akan memasuki
rumah orang lain
ْ ُ َ َ َٰ َّ َ ُ ُ ُ َ َ ً ُ ُ ْ ُ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َََٰٰٓ
‫سوا‬ َ ‫وا ََل تدخلوا بيوتا غير بيو ِتكم حت َى تستأ ِن‬ َ ‫يأي َها ٱل ِذين ءامن‬
ْ َ َّ َ َ ‫َو ُت َسل ُم ْوا َع َل ََٰٰٓى َأهل َها ََٰذل ُكم َخير َّل ُكمَ َل َع َّل ُكم َت َذ َّك ُر‬
‫ ف ِإن لم ت ِج ُدوا‬٢٧ ‫ون‬ ِ ِ ِ
ْ ُ ُُ َ َ ُ َ َ ُ َ
َ ‫ف َيه َٰٓا أ َحدا فَل َتد ُخل‬
َ َ
‫وها َح َّت َٰى ُي َؤذ َن َلك ۖم َوِإن ِقيل لكم ٱر ِجعوا‬ ِ

Risalah Akhlak Islam Filosofis


123

َ ُ َ َّ َُ َ َ ْ َ
‫فٱر ِج ُعوا ُه َو أزك َٰى لك ُۚم َوٱلل ُه ِب َما تع َملون َع ِليم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam
kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar
kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di
dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin.
Jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu
kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan [Q.S. al-Nur 27-28]

F. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Warga Negara


Orang-orang yang beriman juga diwajibkan untuk mengambil peran
dan tanggung jawab sebagai warga negara.
Umat Islam juga memiliki peran sebagai warga negara yang harus
dijalankan dengan baik. Semua itu agar terbentuk cita-cita bernegara ideal
seperti yang diisyarakatkan di dalam al-Baqarah [2]: 126. Ayat tersebut
memuat doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahmi untuk bumi Mekah agar
menjadi negeri yang aman (baladan āminan) dan penuh kemakmuran
untuk semua penghuninya (warzuq ahlahu min al-ṡamarāt). Sebagai
warga yang baik, maka komunitas muslim sudah seharusnya ikut serta
secara aktif berikhtiyar mewujudkan semua itu, sebab doa memang harus
selalu disertai upaya-upaya penuh kesungguhan. Oleh karena itu, kondisi
aman dan pemeliharaan terhadap sumber daya alam agar bisa bermanfaat
bagi seluruh masyarakat negara itu.
Di samping itu, karakterisitik lainnya adalah negara yang ṭayyibatun
wa rabbun gafūr sebagaimana disebutkan dalam Saba’ [34]: 15. Istilah ini
dapat dimaknai sebagai sebuah negara yang adil, makmur, berwawasan
lingkungan, dan kejahatannya terkendali. Sifat-sifat ini tentu masih
memiliki kaitan kuat dengan sifat negara yang disebutkan sebelumnya.
Sebab negara yang aman dan sumber dayanya bisa menghidupi seluruh
warga hanya dapat diwujudkan apabila ada keadilan dan kepedulian yang
nyata terhadap lingkungan. Di dalam tafsir Jalālain, aspek ekologis dari

Risalah Akhlak Islam Filosofis


124

sifat ṭayyibah itu cukup ditekankan. Dikatakan bahwa negara Saba’


disebut ṭayyibah sebab udaranya sangat bersih, lingkungannya begitu
higienis sehingga tidak ada hama-hama penganggu, bahkan kuman
(qummāl) pada pakaian kita akan berguguran jika memasukinya.118
Keistimewaan ekologis inilah yang membuat negeri Saba’ disebut sebagai
tanda penting keuasaan Allah (āyatan). Sebagai warga yang baik, umat
Islam harus berusaha secara aktif mewujudkannya.
Terkait dengan relasi dengan manusia, al-Qur’an juga menekankan
istilah al-balad al-amīn di surah al-Tin [95]:3. Di dalam negara yang al-
amīn, hak-hak setiap warga negara terlindungi dari potensi kezaliman dari
pihak lain. Ayat di surah al-Tin tersebut berbicara tentang kota Mekah
yang memang sepanjang sejarah terbukti aman bagi sesiapa yang
memasukinya. Bahkan pada masa Jahiliyah sekalipun, di Mekah tetap
berlaku hari-hari haram dimana pertumpahan darah dilarang, dan para
pedagang diberikan kesempatan berjualan dengan aman. Aman dari
penyamun juga aman dari penipuan. Namun demikian, ketika Nabi
Muhammad saw mulai mendakwahkan ajaran tauhid, beliau dan
pengikut-pengikutnya pun mulai mendapat intimidasi bahkan
pembunuhan. Musuh-musuh beliau tidak menghormati lagi status ḥaram
kota Mekah. Kedamaian dan keamaan itu kembali pulih setelah Nabi
Muhammad mengambil alih melalui fatḥhu Makkah. Maka umat Islam
memang memiliki tugas untuk memulihkan keamanan dan kodusifitas
suatu negara, agar hak-hak orang terzalimi bisa dipulihkan.
Di antara peran dan tanggung jawab sebagai warga Negara
sebagaimana dijelaskan di dalam al-Quran sebagai berikut:
1. Kesadaran moral untuk melakukan amar makruf nahi
munkar
َ ُ َ‫ون بٱْل‬ َ
َ ‫ٱلخير َو َي ُأم ُر‬ َ َ ُ َ َّ ُ ُ َُ َ
‫وف َو َي َنهون َع ِن‬
ِ ‫عر‬ ِ ِ ‫ى‬‫ل‬ ‫إ‬ِ ‫ن‬‫و‬ ‫دع‬‫ي‬ ‫ة‬ ‫م‬‫أ‬ ‫م‬‫نك‬ ‫م‬
ِ ‫ن‬ ‫ك‬ ‫ولت‬

118
Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsīr al-Jalālain, (Kairo: Dār
al-Ḥadīṡ, tt), hlm. 565.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


125

َ‫ُ َ َ ُ ْ َََٰٰٓ َ ُ ُ ُ ُ ن‬
َ ‫ٱْلنك ِر وأول ِئك هم ٱْل ِفلحو‬
Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung [Q.S. Ali
Imran: 104]

‫وف َو َي َنهو َن‬ ُ


‫عر‬
َ َ ُُ َ
‫ٱْل‬‫ب‬ ‫ون‬‫ر‬‫أم‬‫ي‬ ‫عض‬ َ ‫عض ُهم َأول َي َٰٓا ُء‬
‫ب‬ ُ ‫َوٱْلُؤم ُنو َ َن َوٱْلُؤم ََٰن ُت َب‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ٱلل َه َو َر ُس َوله‬
َّ َ ُ ُ َ َ َٰ َ َّ َ ُ ُ َ َ َٰ َ َّ َ
َ ‫َع َٰٓ ِن ٱْلنك ِر و ُي ِق ُيمون ٱلصلوة ويؤتون ٱلزكوة وي ِطيعون‬ َ َ ُ
َ ٌ َ َ َّ َّ ُ َّ ُ ُ ُ َ َ َ َ ََٰ ْ ُ
َ‫أول ِئك سيرحمهم ٱلله ِإن ٱلله ع ِزيز ح ِكيم‬
Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Q.S.
Taubah: 71]
ْ َ َ َ َّ ْ ُ َ َ َ َ َٰ َ َّ ْ ََ َ ُ ‫ين إن َّم َّك ََّٰن‬
َ ‫َّٱلذ‬
‫ٱلزك َٰوة َوأ َم ُروا‬ ‫ض أق ُاموا ٱلصلوة وءات َوا‬ ‫ر‬َ ‫ٱِل‬ ‫ي‬‫ف‬ِ ‫م‬ ‫ه‬ ِ
ُُ ُ َ ََٰ َّ ِ َ َ ُ َ ْ َ َ َ ِ ُ َ
َ ‫ور‬
ِ ‫ٱِلم‬
َ ‫وف ونهوا ع ِن ٱْلنك ِر وِلل ِه ع ِقبة‬ ِ ‫ِبٱْلعر‬
(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan [Q.S. Hajj:
41]
َّ َٰٓ َ َّ َ ُ َٰٓ َ ُ َٰ َ َٰٓ َ َ ْ ُ َ
‫ٱلك َت ِب أ َّمة قا ِئ َمة َيتلون َء ََٰاي ِت ٱلل ِه َءانا َء ٱل ِيل‬ ِ ‫هل‬ ِ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫ليسوا سو‬
ُ َ‫ون بٱْل‬َ ُ ُ ََ َٰٓ َ َ َّ َ ُ ُ َ ُ ُ َ َُ
‫وف‬
ِ ‫عر‬ ِ ‫وم ٱِل ِخ ِر ويأمر‬ ََِٰٰٓ ُ ‫ؤمنون ِبٱلل َِه وٱلي‬ِ ‫ ي‬١١٣ ‫وهم يسجدون‬
ََّٰ َ َ َ ْ َ ََٰ َ َ َ ُ َ
َ ‫ٱلص ِل ِح َين‬ ‫َو َي َنهون َع ِن ٱْلنك ِر َو ُي ََٰس ِر ُعون ِفي ٱلخير ِت وأول ِئك ِمن‬
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu
di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka
beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh
kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera

Risalah Akhlak Islam Filosofis


126

kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk


orang-orang yang saleh [Q.S. Ali Imran: 113-114]
2. Kesadaran moral untuk menghindari sikap durhaka dan
melampaui batas
َ ‫يل َع َل َٰى ل َسان َد ُاو َۥد َوع‬ َََٰٰٓ َٰٓ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُ
‫ٱبن َم َري َم‬
ِ ‫ى‬ ‫يس‬ ِ ِ ِ َ ‫سر ِء‬ ‫إ‬ِ ‫ي‬ ‫ن‬ِ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫وا‬‫ل ِعن ٱل ِذين كفر‬
َ ُّ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َ
ُ ‫نكر َف َع ُل‬ َ َ َ ْ ُ َ َّ ْ َ َ َ َ ََٰ
‫وه‬ ‫ كانوا َل يتناهون عن م‬٧٨ ‫عت ُدون‬ ‫ذ ِلك ِبما عصوا وكانوا ي‬
َ َُ َ ْ ُ َ َ َ َ
َ ‫فعلون‬ ‫ل ِبئس ما كانوا ي‬
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud
dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu
tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya
amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu [Q.S. al-Ma’idah:
78-79]
3. Kesadaran moral untuk kembali kepada seruan al-Quran dan
Sunnah dan balasan bagi orang-orang yang berbuat zalim
ُ َ ْ ‫ٱلر ُسو َل َو ُأ‬ ْ ُ َ َ َ َّ ْ ُ َ ْ َٰٓ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َََٰٰٓ
‫مر ِمنك ۖم‬ِ ‫ٱِل‬ ‫ي‬ ‫ل‬ِ ‫و‬ َّ ‫وا‬ ‫يأيها ٱل ِذين ءامنوا أ ِطيعوا ٱلله وأ ِ َطيع‬
َّ َ ُ ُ
‫ٱلر ُسو ِل ِإن ك ُنتم َت َؤ ِم ُنون ِبٱلل ِه‬
َّ َ ُ ُّ ُ َ
َّ ‫ٱلل ِه َو‬ َ
‫عتم ِفي ش يء فردوه ِإلى‬ ُ ‫َفإن َت ََٰن َز‬
ِ
ً َ ُ َ َ َ َ َ ََٰ َٰٓ َ ‫َو‬
َ ‫ن تأ ِويَل‬
َ ‫ٱلي َو ِم ٱِل ِخ َِر ذ ِلك خير وأحس‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya [Q.S. al-Nisa’: 59]
ََٰ َ ُ ُ ُ ُ ُ َ َٰٓ َ َ ْ ُ َ َ َّ َ ُ َ َ ُ ُ َ َ َ َََ
‫ولقد أهلكنا ٱلقرون ِمن ق ِبلكم ْلا ظلموا وجاءتهم رسلهم ِبٱلب ِين ِت‬
ُ َ َ ‫َ َ َ ُ ْ ُ ُ ْ َ ََٰ َ َ ي‬
َ ‫جر ِم َين‬
ِ ‫جز ٱلقوم ٱْل‬ِ ‫ؤمنوا كذ ِلك ن‬
ِ ‫وما كانوا ِلي‬
Sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu,
ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah
datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


127

yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman.


Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang
berbuat dosa [Q.S. Yunus: 13]
َٰٓ َّ َ ََٰ َ َ َ َ َ ْ َ َّ َ ْ ُ َ َ ََٰٰٓ َ ُ َ َ َّ َ َ َ
‫ٱلس َما ِء‬ ‫حنا َعل ِيهم َب َركت ِمن‬ ‫ولو أن أهل ٱلقرى ءامنوا وٱتقوا لفت‬
َ ََٰ َ َ َ ْ ُ َّ َ ََٰ َ
َ ‫ذن ُهم ب َما َك ُان ْوا‬ َ َ
َ ‫كس ُبون‬ِ ‫ي‬ ِ ‫خ‬ ‫أ‬ ‫ف‬ ‫وا‬‫ب‬ ‫ذ‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫ك‬
ِ ِ ‫و‬
‫ل‬‫و‬ ‫ض‬‫ر‬‫ٱِل‬
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya [Q.S. al-A’raf: 96]

G. Peran dan Tanggung Jawab Sebagai Warga Dunia


Orang-orang yang beriman diwajibkan untuk mengambil peran dan
tanggung jawab sebagai warga dunia.
Di tingkatan yang paling makro, peran umat Islam adalah menjadi
warga dunia. Dalam kapasitasnya ini, umat Islam perlu benar-benar
menyadari bahwa dunia ini pada hakikatnya adalah tempat untuk mencari
kesenangan bagi manusia. Di dalam al-Baqarah [2]: 36, disebutkan
dengan istilah mata’. Istilah ini bermakna hal-hal yang dinikmati terutama
aspek-aspek materil seperti makanan, minuman, pakaian, dan
sejenisnya.119 Namun demikian, seperti yang disebutkan di akhir ayat
tersebut, semua kesenagnan tersebut memiliki batas yang telah ditentukan
oleh Allah (ilā hīn). Jika batas itu telah tiba, maka tidak bisa ditunda lagi.
Oleh karena itu, peran sebagai warga dunia ini harus dimainkan dengan
sebaik-baiknya, jangan sampai kesenangan-kesenangan tersebut menjadi
distraksi atau bahkan berdampak destruktif pada umat Islam.
Ada dua peran penting yang disebutkan al-Qur’an harus dimainkan
oleh orang beriman dalam kapasitas mereka sebagai warga dunia.
Pertama adalah melakukan managemen konflik seperti yang diisyaratkan
dalam al-Baqarah [2]: 213. Di dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa
119
Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-
Syarī’ah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dār al-Fikr al-Mu’āṣir, 1418 H), I/137.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


128

meskipun umat manusia pada asalnya adalah satu umat, tapi berbagai
macam perselisihan membuat mereka terpecah belah. Asal dari
perselisihan tersebut adalah sikap bagyan atau keras hati dan keengganan
menerima kebenaran (kufur) di antara mereka. Orang-orang beriman
harus menghindarkan diri dari sikap ini. Bahkan, orang beriman
kemudian datang menjadi penengah dan berusaha mewujudkan
perdamaian dengan memanej konflik yang ada.
Kesadaran akan dua nature penting dunia ini, yakni bahwa ia
merupakan tempat yang memberikan tawaran-tawaran kesenangan
(mata’) tapi juga bersifat sementara membuat orang beriman menjadi
lebih hati-hati. Sikap kehati-hatian itu salah satunya terwujud dalam
kesadaran penuh mereka untuk tidak membuat kerusakan (fasad) baik di
daratan maupun lautan. Sebab semua bentuk kerusakan itu pada akhirnya
akan kembali menimpa mereka dalam berbagai macam bencana. Selain
tentu saja pertanggung jawaban kelak di akhirat, seperti tegambar dalam
surah al-Rum [30]: 41.
Di antara peran dan tanggung jawab sebagai warga dunia
sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran sebagai berikut:
1. Kesadaran moral akan pentingnya mewujudkan perdamaian
(iṣlah) dan menjaga persaudaraan

‫اس‬ َّ ‫رضة َِل ََٰيمن ُكم َأن َت َب ُّر ْوا َو َت َّت ُق ْوا َو ُتصل ُح ْوا َب َين‬
‫ٱلن‬ َ ‫ٱلل َه ُع‬َّ ْ ُ َ َ َ َ
‫وَل تجعلوا‬
ِ ِ ِ ِ
َّ
َ ‫َوٱلل ُه َس ِم ٌيع َع ِليم‬
Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai
penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan
ishlah di antara manusia. Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui [Q.S. Al-baqarah: 224]
ُ َّ َ َّ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُ ََ َ َ ُ ُ َ َّ
‫خ َويك ُۚم َو َّٱت ُقوا ٱلل َه ل َعلكم‬ ِ ‫ؤمنون ِإخوة فأ‬
َ ‫صلحوا بين أ‬ ِ ‫ِإنما ٱْل‬
َ َ ُ
َ ‫رح ُمون‬‫ت‬

Risalah Akhlak Islam Filosofis


129

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat [Q.S. al-
Hujurat: 10]
َ ‫ٱلس ََٰلم َو َيهدي َمن َي َش َٰٓا ُء إ َل َٰى ص ََٰرط ُّم‬
َ ‫ست ِقيم‬ َّ ‫ار‬‫د‬َ ‫دع َٰٓو ْا إ َل َٰى‬ َّ
ُ ‫ٱلل ُه َي‬
َ ‫َو‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam) [Q.S.
Yunus: 25]
َ ُ َ َ ْ ُ َ َ ُ ُّ َ َ ُ َ ۖ َ َ ََٰ َّ ُ َ ُ َ
َ ‫عملون‬ ‫ٱلسل ِم ِعند ِرب ِهم وهو وِليهم ِبما كانوا ي‬ ‫لهم دار‬
Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) pada sisi Tuhannya
dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang
selalu mereka kerjakan [Q.S. al –An’am: 127]
2. Kesadaran moral untuk menjaga kelestarian alam dengan
tidak membuat kerusakan di muka bumi ini
َّ ‫ٱلبحر ب َما َك َس َبت ََأيدي‬
َ‫ٱلناس ِل ُي ِذ َيق ُهم َبعض‬ َ ‫ٱلف َس ُاد في‬
َ ‫ٱلبر َو‬ َ ‫َظ َه َر‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ‫َ ُ ْ َ َ َّ ُ ۡ َ ُ ن‬ َّ
َ ‫رجعو‬ ِ ‫ي‬ ‫م‬‫ه‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫وا‬‫ل‬ ‫م‬
ِ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫ذ‬ ِ ‫ٱل‬
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar) [Q.S. Al-Rum: 41]
3. Kesadaran moral untuk berbuat baik dan membuat rencana
terbaik untuk mewujudkan perbaikan-perbaikan
َّ ََٰ
َ ‫نس ِن ِإَل َما َس َع َٰى‬ َ ‫َو َأن َّل‬
َِ ‫يس ِل‬
‫ل‬
Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya [Q.S. Al-Najm: 39]

Risalah Akhlak Islam Filosofis


130

BAB VI
NILAI-NILAI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

A. Landasan Nilai Dalam Kehidupan Manusia


Filsafat merupakan salah satu kajian mendalam tentang kehidupan
manusia atas dasar rasionalitas atau akal pikir, sehingga beberapa
pertanyaan tentang kehidupan manusia menyeruak ke dalam benak
pemikiran manusia meliputi antara lain: (1). Siapa manusia itu
sesungguhnya? (2). Apa makna kehidupan manusia di dunia ini? (3).
Nilai-nilai apa saja yang diperjuangkan manusia untuk meningkatkan
kualitas atau makna kehidupannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut,
terutama butir ketiga menyangkut masalah nilai yang menjadi pertaruhan
kualitas hidup manusia. Tidak ada seorang pun yang hidup di dunia ini
yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh nilai, karena sejak lahir
hingga dewasa, manusia dalam peradabannya diperkenalkan,
diberlakukan, dan dilibatkan dengan berbagai nilai dalam kehidupannya
seperti: Nilai Kesenangan, Vital, Ruhani, dan Kekudusan atau
Transendental. Keempat nilai tersebut merupakan jenjang atau hirarkhi
nilai yang akan menentukan kualitas macam apa yang dimiliki seseorang
itu sesungguhnya. Masalah nilai dalam bidang filsafat dikaji dalam
cabang Aksiologi. Aksiologi berasal dari istilah Yunani axios yang berarti
bernilai atau berharga dan logos yang berarti teori, sehingga aksiologi
secara etimologis berarti teori tentang sesuatu yang bernilai atau berharga,
disingkat sebagai teori nilai. Aksioligi merupakan salah satu cabang
utama filsafat yang membahas tentang masalah nilai (value). Aksiologi
merupakan analisis atas nilai untuk menentukan makna, ciri, asal mula,
corak, ukuran, dan kedudukan epistemologisnya.120
Nilai merupakan suatu kualitas yang bersifat abstrak yang melekat
pada objek tertentu atau pengemban nilai, sehingga menjadikan objek

120
Mudhofir, 2001

Risalah Akhlak Islam Filosofis


131

tersebut bernilai. Hakikat nilai adalah kualitas yang dimiliki oleh objek
tertentu. Oleh karena itu Frondizi menegaskan nilai sebagai kualitas
dalam pernyataan sebagai berikut.
“Because they are qualities, values are parasitic beings which
cannot live without being supported by real object, and lead a
fragile existence, at least while they are adjectives related to
goods.... before becoming embodied within their respective carriers
or depositories, values are but mere ‘possibilities,’ that is, they do
not have real existence (Frondizi, 1963: 7).
Makna: Nilai dikatakan sebagai kualitas sebab nilai merupakan sesuatu
yang bersifat parasit (menumpang) pada sesuatu objek, sehingga tidak
dapat hidup tanpa didukung objek yang nyata, dan menuntun suatu
keberadaan yang mudah retak, sekaligus merupakan sifat yang
dihubungkan dengan benda-benda.... sebelum mewujud di dalam pem-
bawa (barrier) wadah pengembannya, nilai itu ada tetapi hanya bersifat
kemungkinan, karena itu nilai tidak memiliki keberadaan yang nyata.”
Gambaran tentang kualitas yang melekat pada kepribadian
seseorang, misalnya seorang penganut agama yang berkepribadian
simpatik atau berakhlaqul karimah, karena selalu menghadapi orang lain
dengan keramahan dan senyum, sehingga membuat orang yang dihadapi
merasa senang, maka keramahan dan senyum merupakan kualitas yang
menempel (inherent) atas diri orang yang bersangkutan. Tidak hanya itu,
dalam terminologi agama, senyum itu sendiri merupakan ibadah, buah
dari manusia yang berakhlaq mulia. Banyak nilai dalam kehidupan
manusia yang tidak dapat begitu saja diabaikan, karena nilai-nilai tersebut
hadir sebagai datum otonom seperti: kejujuran, kebaikan, keadilan,
keramahan, keihlasan, dan seterusnya. Kendatipun demikian nilai itu
tidak ada dalam dirinya sendiri tetapi tergantung atau ditentukan oleh
pengemban atau pembawanya.
Well then, what are values? We said that values do not exist for
themselves, at least in this world; they need a carrier of value
within which to reside. Therefore, they appear to us as mere

Risalah Akhlak Islam Filosofis


132

qualities of these value carriers: beauty of picture, elegance of


garment, utility of a tool.... (Frondizi, 1963: 5).
Makna: “Kemudian apakah nilai itu? Kita mengatakan bahwa nilai itu
tidak eksis bagi dirinya sendiri, paling tidak di dunia ini; nilai
membutuhkan pengemban atau pembawa nilai pada wadahnya. Karena itu
nilai menampak pada kita sebagai kulaitas semata dari pengemban atau
pembawa nilai; seperti: keindahan lukisan, keindahan pakaian, kegunaan
alat.”
Di samping kualitas sebagai karakter nilai, maka sifat bipolar, yaitu
terletak di antara dua kutub, baik atau buruk, indah atau jelek, jujur atau
curang merupakan karakter lainnya yang penting. Karena sifat bipolar itu
pula maka manusia memiliki peluang untuk menjatuhkan pilihan nilai
tersebut. Dengan adanya sifat bipolar pada nilai itu pula, maka manusia
tidak dapat bersikap netral, harus ada keberpihakan yang menjadi salah
satu konsekuensi pilihan nilai. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah
dalam surat Asy-Syams ayat 8 yang berbunyi:”Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa (dua jalan), yaitu kefasikan dan ketaqwaan”. Dengan
demikian keterlibatan manusia dalam nilai dan penilaian merupakan
faktisitas, sesuatu yang tak terhindarkan dalam kehidupan bermasyarakat.

B. Pengertian Nilai (Value)


Kajian tentang nilai mengundang perdebatan di kalangan para
filsuf. Paling tidak ada tiga (3) kubu yang bersikukuh dengan
pendiriannya tentang nilai. Kubu pertama beranggapan bahwa nilai itu
terletak pada objek yang dinilai, sehingga dinamakan paham
objektivisme. Kubu kedua berasumsi bahwa nilai terletak pada subjek
yang menilai, sehingga dinamakan paham subjektivisme. Kubu ketiga
mengambil jalan kompromi, bahwa nilai terletak di antara relasi antara
subjek dan objek. Kendatipun demikian kebanyakan ahli pikir sepakat
bahwa masalah nilai merupakan hal yang bersifat substansial dalam
kehidupan manusia. Meskipun selalu mungkin terjadi kesenjangan antara

Risalah Akhlak Islam Filosofis


133

nilai personal (nilai yang dimiliki dan menjadi kepercayaan individual


atau seseorang) dengan nilai sosial (nilai yang menjadi milik masyarakat
secara bersama). Kesenjangan antara nilai personal dan nilai sosial itu
menurut Lacey121 meliputi empat hal sebagai berikut:
1. Kesenjangan antara maksud dengan tindakan yang efektif;
2. Perbedaan pelaksanaan nilai dalam berbagai institusi yang
berbeda;
3. Kesenjangan antara apa yang dialami dengan apa yang dipahami;
4. Kesenjangan antara nilai yang diartikulasikan dengan nilai yang
diwujudkan.
Poin keempat (4) di atas ditegaskan dalam firman Allah yang
berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan (mengartikulasikan) sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Sangat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
(mengartikulasikan) apa-apa yang tidak kamu kerjakan (wujudkan dalam
tindakan)” (Ash-Shaff: 2-3). Dengan demikian paralelitas antara tuturan
dan tindakan merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melaksanakan
nilai yang diyakini.
Lacey122 mengemukakan beberapa pengertian nilai dalam bidang
filsafat sebagai berikut: Pertama; A fundamental good that one pursues
consistently over an extended period of one’s life; an ultimate reason for
one’s actions. Makna; suatu kebaikan fundamental yang secara konsisten
terus dikejar sepanjang hidup; suatu alasan utama bagi tindakan
seseorang. Kedua; A quality (or a practice) that gives worth, goodness,
meaning or a fulfilling character to the life one is leading or aspiring to
lead. Makna; suatu kualitas (atau praktek) mengarahkan atau
menginspirasi kehidupan seseorang yang memberi harga (nilai),
kebaikan, makna atau pemenuhan karakter. Ketiga; A quality (or a
practice) that is partially constitutive of one’s identity as a self-

121
1999: 31-32
122
1999: 23

Risalah Akhlak Islam Filosofis


134

evaluating, self-interpreting and a partly self-making being. Makna;


suatu kualitas (atau dalam praktek) merupakan sebagian dari unsur
pembentuk identitas seseorang untuk evaluasi diri, penafsiran diri, dan
pembentukan diri. Keempat; A fundamental criterion for one to choose
what is good among possible courses of action. Makna; suatu kriteria
fundamental untuk memilih yang baik diantara beragam kemungkinan
tindakan. Kelima; A fundamental standard to which one holds the
behavior of self and others. Makna; standar utama yang orang gunakan
sebagai pegangan perilaku diri dan orang lain.
Keenam; An “object of value,” an appropriate relationship with
which is partially constitutive both of a worthwhile life and of one’s
personal identity. Objects of value can include works of art, scientific
theories, technological devices, sacred objects, cultures, traditions,
institutions, other people and nature itself. Appropriate relations with
objects of value, depending on the particular object, include the
following: production, reproduction, respect, nurturance, maintenance,
preservation, worship, love, public recognition and personal possession.
Makna; sebuah "objek nilai" merupakan suatu hubungan serasi (tepat)
yang sebagian bersifat konstitutif antara kehidupan yang berharga dan
identitas pribadi seseorang. Objek nilai bisa meliputi: karya seni, teori
ilmiah, perangkat teknologi, benda suci, budaya, tradisi, institusi, orang
lain dan alam itu sendiri. Hubungan yang tepat dengan objek nilai,
tergantung pada objek tertentu, meliputi hal berikut: produksi, reproduksi,
penghormatan, pemeliharaan, perawatan, pelestarian, penyembahan,
cinta, pengakuan publik dan kepemilikan pribadi.
Keenam pengertian nilai yang dikemukakan Lacey sebagaimana
dikemukakan di atas menjadi sangat penting dalam kehidupan kita
sebagai manusia yang berupaya meningkatkan kualitas dirinya. Nilai
menjadikan tindakan manusia memiliki makna, karena ada tolok ukur
yang bisa dipergunakan untuk melakukan penilaian.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


135

Lacey123 menambahkan nilai kognitif (cognitive values) sebagai


upaya pengayaan pengetahuan atau dimensi epistemologis atas nilai
dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Karakteristik; artinya kriteria atau tolok ukur tentang kebaikan
yang secara rasional dapat diterima berdasarkan kepercayaan
sekelompok orang,
2. Kebaikan itu benar-benar dapat diakui secara teoritis.
3. Kepercayaan dalam hal ini menyangkut kodrat manusia dan apa
yg mungkin dicapai, diperkirakan meliputi nilai-nilai yang sangat
kompleks.
4. Nilai yang kompleks ini melibatkan hasrat bersama, sehingga
melahirkan aplikasi tindakan.
5. Suatu tindakan menyebabkan seseorang berhasrat untuk
memperoleh suatu hasil yang pasti dan memercayai bahwa
tindakan akan berlanjut pada realisasi hasil.
6. Seseorang akan berhasil mengadopsi dan menyusun nilai tersebu
dalam kehidupannya untuk mencapai kebenaran yang ideal.

C. Pasangan-pasangan Nilai
Archie Bahm dalam bukunya Axiology of Science124 mengajukan 6
(enam) pasang nilai sebagai berikut.
Pertama; good and bad are opposites, baik dan buruk sebagai dua
hal yang bertentangan (the opposite of), namun keduanya bisa bersifat
lebih (more) atau kurang (less), sehingga keduanya sama penting hadir
dalam teori nilai sebagai perbandingan atau tolok ukur untuk menentukan
tindakan yang paling tepat, atau tindakan yang paling mungkin di antara
yang bisa diambil atau diputuskan oleh seseorang. Setiap orang
mengalami baik dan buruk dalam kehidupannya (every person
experiences both good and bad). Ada empat (4) kategori yang timbul
123
1999: 45
124
1984: 52-53

Risalah Akhlak Islam Filosofis


136

sebagai konsekuensi seseorang mengalami baik dan buruk dalam


kehidupannya. (1). Ia berperan sebagai pelaku (aktor) kebaikan, dan ini
merupakan sesuatu yang paling utama atau ideal dalam kehidupan
seseorang. (2). Ia diperlakukan baik (pasif) oleh orang lain, tugasnya
tinggal menerima kebaikan tersebut dan mempergunakan atau
memanfaatkan kebaikan yang diberikan orang lain untuk tujuan-tujuan
yang baik pula. (3). Ia berperan sebagai pelaku keburukan, ini merupakan
kondisi yang paling rendah dalam tataran nilai. (4). Ia diperlakukan buruk
oleh orang lain, dalam hal ini tugasnya adalah mengelola atau memenej
hatinya agar tidak timbul rasa dendam atau kebencian untuk membalas
yang lebih buruk lagi atas perlakuan buruk orang lain terhadap dirinya.
Inti terpenting dalam dikotomi kebaikan dan keburukan terletak pada
kemampuan seseorang untuk mampu memaksimalkan kebaikan dan
menimalkan keburukan dalam keputusan tindakan yang diambil.
Kedua; means and ends, sarana dan tujuan sebagai dua hal yang
penting untuk dibedakan namun saling melengkapi dalam tindakan
seseorang. Sarana mengacu pada nilai instrumental atau alat untuk
melakukan tindakan tertentu, sedangkan tujuan merupakan nilai intrinsik
yang melekat dalam tindakan dan pemikiran seseorang ketika melakukan
tindakan. Inti terpenting dalam sarana dan tindakan ialah untuk mencapai
tujuan yang baik harus dilakukan dengan sarana yang baik pula, sebab
memilih sarana yang baik merupakan bentuk kecerdasan emosional dan
spiritual yang dimiliki seseorang.
Ketiga; actual and potential, nilai aktual bersifat sementara
terwujud karena dalam tindakan yang dilakukan seseorang, sedangkan
nilai potensial ada dalam denyut kesadaran seseorang. Dengan demikian
keduanya harus saling melengkapi agar terjadi keseimbangan antara apa
yang ada dalam kesadaran (potensial) dengan apa yang dilakukan
(aktual).
Keempat; subjective and objective, artinya nilai subjektif dan
objektif bersifat korelatif, karena objek merupakan sesuatu yang menjadi

Risalah Akhlak Islam Filosofis


137

pusat perhatian subjek, sehingga setiap perasaan subjektif ikut berperan


(bisa besar atau kecil, maksimal atau minimal) dalam memahami objek
yang pusat perhatian.
Kelima; apparent and real; artinya nilai yang menampak
(apparent) pada indera (misalnya fakta atau peristiwa) muncul pada
kesadaran si pengamat. Namun objek yang hadir ada yang menampak
(apparent), ada pula yang bersifat abstrak, tetapi real (misalnya:
kemanusiaan, keadilan, kejujuran, kesadaran). Sesuatu dikatakan real
karena tetap eksis meskipun tidak dapat dipersepsi secara inderawi,
namun dapat dipikirkan dan disadari kehadirannya. Kesadaran atas
kehadiran Sang Pencipta, Allah dalam diri seseorang karena menyaksikan
ketertiban alam semesta sebaga ayat-ayat kauniyyah merupakan contoh
yang jelas tentang nilai dalam arti real.
Keenam; pure and mix artinya nilai murni dan campuran.
Dikatakan nilai murni manakala problem baik atau buruk terletak di
antara rasa senang atau tidak, bersemangat atau lesu, rasa puas atau
frustasi, dan rasa suka atau terganggu. Dikatakan sebagai nilai campuran
(mix) manakala nilai-nilai tersebut merupakan perpaduan antara nilai
aktual dan potensial, nilai subjektif dan objektif, dan nilai yang
menampak dan nilai real.
Landasan nilai dalam pengembangan kehidupan manusia yang
berkepibadian akhlaqul karimah terkait dengan bagaimana seseorang
yang memiliki derajat atau kualitas kemanusiaan yang tinggi mampu
menyerap nilai-nilai kebaikan dalam kepribadiannya. Tidak hanya itu,
manusia juga mampu menarik garis batas yang tegas antara mana yang
baik (good, haq), mana yang buruk (bad, bathil). Inilah yang
dimaksudkan dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 42 yang
berbunyi: “Janganlah kamu campuradukkan antara yang haq dengan
yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, padahal kamu
mengetahui”.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


138

Kemampuan membedakan ini sesungguhnya merupakan landasan


kehidupan manusiawi yang didukung instrumen berupa hati nurani (qalb).
Quraish Shihab (2007) memberikan penegasan tentang relasi antara nilai,
tindakan, kebiasaan, dan penanaman karakter sebagai berikut:
“Tanamkanlah tindakan, anda akan menuai kebiasaan. Tanamkanlah
kebiasaan, anda akan mendapatkan karakter. Tanamkanlah karakter
anda akan mengukir nasib”.

D. Jenjang (Hirarki Nilai)


Max Scheler dikenal dalam kajian filsafat nilai (aksiologi) dengan
teorinya tentang hirarki nilai. Hirarki nilai dalam aksiologi ditentukan
dengan berdasar pada kekuatan dan kemampuan nilai dalam memberikan
dampak, otonomi nilai, derajat nilai, dan apakah nilai itu dapat dibagi
tanpa mengurangi makna,
Since time immemorial, the wisdom of live has been to prefer
enduring goods to transient and changing ones. But for philosophy
the wisdom of life is only a problem. For it is matter of goods, and
one understand endurance in term of the objective time in which
they exist, this proposition makes little sense.... (2) there is also no
question about the fact that values are higher the less they are
divisible, that is, the less, they must be devided in participation by
several... (3) for there is evidence that the value of the agreeable of
diseased life is subordinated to the same value of healty life...
however all possible values are founded in the value of an infinetely
personified spirit and its correlative world of values. Acts which
comprehend values comprehend absolutely objective values only if
they are executed in this world of values, and values are absolute
values only if they are appear in this realm... (4) the depth of
contentment, too, is a criterion of the heights of values... (5)
whatever objectivity and factual nature are attributable to all
values, and however independent their interrelations may be of the
reality and the real connections of goods in which the are real,
there is yet another distinguishing element among values that has
nothing to do with apriority or aposteriority: this is the level of their
relationship absolute value (Scheler, 1973: 90-97).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


139

Makna: “(1) Sejak dahulu kala, kearifan hidup lebih mengedepankan


sesuatu yang abadi atau bertahan lama daripada sesuatu yang bersifat
sementara dan berubah. Namun bagi filsafat, kearifan hidup itu sendiri
sebuah masalah, dikarenakan ini merupakan persoalan tentang sesuatu
dan cara seseorang memahami daya tahan dalam konteks waktu objektif
sesuai dengan keberadaan mereka, proposisi ini tidak masuk akal .... (2)
juga tidak ada pertanyaan tentang fakta bahwa semakin tinggi nilai,
semakin itu tidak dapat dibagi habis, artinya, semakin sedikit nilai
tersebut semakin harus dibagikan ke dalam (bentuk) partisipasi oleh
beberapa (orang)... (3) karena terdapat bukti bahwa nilai kesepakatan
(umum) terhadap hidup dengan penyakit (misalnya) berada dibawah nilai
yang sama dengan kehidupan sehat... Namun demikian, seluruh nilai yang
mungkin ada dibangun dalam nilai semangat yang direpresentasikan
secara tak terhingga dan terhubung dengan nilai-nilai terkait. Tindakan
yang memuat nilai merangkul nilai-nilai obyektif absolut hanya jika
mereka dijalankan di dalam dunia nilai, dan nilai menjadi hal yang
absolut hanya jika nilai-nilai itu muncul di dunia ini ... (4) tingkat
kepuasan/kesenangan juga merupakan suatu kriteria dari tingginya nilai ...
(5) apapun objektivitas dan sifat faktual yang dapat dikaitkan dengan
semua nilai, dan betapapun bebasnya keterkaitan antara nilai-nilai
tersebut, barangkali yang berasal dari realitas dan hubungan antara
sesuatu yang konkret, terdapat unsur pembeda lain di antara nilai-nilai
yang tidak ada hubungannya dengan apriori atau aposterioritas: ini adalah
tingkat nilai absolut di antara hubungan mereka.”
Nilai-nilai yang ada dalam realitas sesungguhnya mempunyai
hirarki tertentu yang dipandang lebih tinggi atau sebaliknya lebih rendah
berdasar pada tingkat keluhurannya. Max Scheler mengelompokkan nilai
menjadi empat tingkatan, yaitu:
1. Nilai-nilai Kesenangan dan Kenikmatan
This function of sensible feeling (with is modes enjoying and
suffering) is correlative to this modality. The respective feeling-
states, they so-called feelings, are pleasure and pain. As in all

Risalah Akhlak Islam Filosofis


140

value-modalities, there are values of things, value of feeling-


function, and values of feeling-states125.
Makna: “Fungsi perasaan yang masuk akal (dengan cara mengalami
kesenangan dan penderitaan) berkaitan dengan modalitas ini. Masing-
masing keadaan merasa, yang disebut sebagai perasaan, adalah
kesenangan dan rasa sakit. Seperti dalam semua modalitas nilai,
terdapat nilai perihal, nilai fungsi perasaan, dan nilai kondisi
perasaan.’’
Nilai kesenangan atau kenikmatan menempati peringkat
terbawah dalam hirarki nilai, karena nilai kenikmatan meliputi atau
mencakup segala sesuatu yang bersifat mengenakkan dan tidak
mengenakkan secara jasmaniah Keberadaan nilai ini memberikan
dampak secara langsung bagi manusia berupa kenikmatan atau
penderitaan.
2. Nilai-nilai Vital atau Kehidupan
The essence of values correlated to vital feeling differs sharply
from the above modality. Its thing values, insofar as they are self-
values, are such qualities as those encompassed by the noble and
the vulgar (and by the good in the pregnant sense of excellent as
opposed to bad rather tahn evil) belong to sphere denoted by weal
or well being126.
Makna: “Esensi nilai-nilai yang berkaitan dengan perasaan vital
sangat berbeda dengan modalitas di atas. Hal/bendanya bernilai,
sejauh itu adalah nilai-nilai diri, yakni sifat-sifat layaknya yang
dimiliki oleh orang yang mulia dan orang yang vulgar (dan oleh yang
baik dalam arti yang sangat baik sebagai lawan dari buruk
dibandingkan dengan yang jahat) termasuk dalam bidang/lingkup
yang dilambangkan dengan kebaikan atau kesejahteraan”.

125
Scheler, 73: 105
126
Scheler, 1973: 106

Risalah Akhlak Islam Filosofis


141

Nilai kehidupan berdampak lebih luas daripada nilai


kenikmatan. Nilai kehidupan mempertimbangkan kepentingan umum
sebagai ukuran keluhuran
3. Nilai-nilai Kerohanian dan Kejiwaan
The realm of the spiritual values is distinct from that of vital
values as an original modal unity... the main types of spiritual
values are the following: the values of beautiful and ugly, together
with the whole range of purely aesthetic values, the values of right
and wrong...127.
Makna:” Bidang nilai-nilai spiritual berbeda dari nilai-nilai vital
sebagai sebuah kesatuan modal asli ... jenis-jenis nilai spiritual adalah
sebagai berikut: nilai-nilai keindahan dan kejelekan, bersama dengan
seluruh jajaran nilai estetika murni, nilai-nilai dari benar dan salah...”.
Nilai kejiwaan berada di atas nilai kenikmatan dan kehidupan.
Nilai kejiwaan tidak bergantung pada keadaan jasmani maupun
lingkungan sosial. Nilai-nilai kejiwaan antara lain kebajikan,
kebahagiaan, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan yang dicapai
dalam filsafat.
4. Nilai-nilai Kekudusan atau Transendental
Values of the last modality are those of the holy and the unholy...
faith and lack of faith, law, adoration, and analogous attitudes are
specific reactions in this modality.... the values of things and forms
of worship implicit in cults and sacraments are consecutive values
(technical and symbolic) of all holy values of person (Scheler,
1973: 108-109).
Makna:” Nilai-nilai modalitas terakhir adalah nilai-nilai yang suci
dan tidak suci... iman dan krisis iman, hukum, pemujaan, dan sikap
analog/kemiripan merupakan reaksi spesifik dalam modalitas ini....
nilai-nilai dari hal-hal dan bentuk-bentuk ibadah yang tersirat dalam
kultus dan sakramen adalah nilai berturut-turut (teknis dan simbolis)
dari seluruh nilai suci seseorang”.

127
Scheler, 1973: 107

Risalah Akhlak Islam Filosofis


142

Nilai kekudusan merupakan nilai tertinggi yang karena


dipandang memiliki tingkat keluhuran yang tertinggi dalam kehidupan
manusia. Nilai kekudusan melibatkan keyakinan dan kepercayaan
manusia pada keberadaan Tuhan. Kekudusan berlawanan dengan
ketidakkudusan atau kekufuran, karena yang dikatakan belakangan
merupakan bentuk pengingkaran atas Kemahakuasaan Allah sebagai
Sang Maha Pencipta. Mereka yang tidak mengakui Kemahakuasaan
Allah, bahkan memindahkan kepercayaannya kepada benda (batu,
pepohonan, senjata pusaka) berarti menurunkan derajat kekudusan
menjadi ketidakkudusan, yang dalam bahasa agama dinamakan Syirik.
Muhammad Imaduddin Abdurrahim dalam risalahnya yang berjudul
Kuliah Tauhid menekankan pentingnya nilai kekudusan atau
ketauhidan. Namun Ia mengatakan bahwa sekadar percaya akan
wujud Allah tidaklah cukup, yang paling utama di dalam hubungan
makhluk dengan Allah ialah kepatuhan penuh hanya kepada-Nya.
Inilah intisari sesungguhnya dari ajaran Islam, yaitu menauhidkan
atau mengesakan Allah, yang berarti meletakkan Allah dan semua
perintah-perintah-Nya di atas segala-galanya, terutama di atas
kepentingan dan keinginan pribadi. Oleh karena itu menauhidkan
Allah jauh lebih sukar daripada sekadar memercayai akan wujud
Allah. Mengapa demikian? Karena menauhidkan Allah membutuhkan
suatu perjuangan berat, dan kemampuan menghayati sikap bertauhid
secara konsisten, istiqomah merupakan suatu prestasi yang paling
mulia, karena itu pula pantas mendapat ganjaran yang paling tinggi
(Imaduddin, 1993: 5). Menauhidkan Allah pada hakikatnya
merupakan kebutuhan manusia di dalam menjalani hidupnya di dunia
ini, baik secara pribadi maupun demi kebahagiaan hidup manusia di
dalam hubungannya dengan manusia yang lain.
Scheler selanjutnya memberikan penekanan pada hirarki nilai
dengan menyatakan bahwa,
“The fact that one value higher than another is apprehended in a
special act of value-cognition: the act of prefering. One must not

Risalah Akhlak Islam Filosofis


143

assume that the height of value is felt in the same manner as the
value itself, an that the higher value is subsequently preferred or
placed after”128.
Makna: “Fakta bahwa suatu nilai lebih tinggi daripada yang lain
dipahami dalam tindakan khusus kognisi nilai: tindakan memilih.
Seseorang tidak boleh berasumsi bahwa bobot nilai dirasakan dengan
cara yang sama dengan nilai itu sendiri, dan bahwa nilai yang lebih
tinggi kemudian dipilih atau lebih disukai atau ditempatkan
sesudahnya”.
Scheler menyadari bahwa dalam kenyataan nilai yang satu lebih
tinggi daripada nilai yang lain karena dapat dipahami dalam
pemikiran manusia, sehingga seseorang mengutamakan nilai yang
satu ketimbang nilai yang lain. Kita mengetahui secara common sense
misalnya, bahwa nilai solidaritas lebih penting daripada nilai
individualitas, karena memerhatikan atau memedulikan kepentingan
orang lain merupakan sebuah tindakan yang lebih mulia ketimbang
kepentingan diri sendiri. Semakin tinggi kualitas sebuah nilai, maka
semakin abstrak dan semakin lama daya tahannya dalam kehidupan
manusia. Nilai kekudusan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
keruhanian, nilai vital, apalagi dibanding nilai kenikmatan atau
kesenangan, karena nilai kekudusan terkait dengan masalah spiritual
yang berjangka panjang, yakni menyangkut masalah akhirat, masalah
yang paling hakiki dalam kehidupan manusia di hadapan Sang
Pencipta.

E. Manfaat Nilai Dalam Kehidupan Manusia


Beberapa manfaat nilai dalam kehidupan manusia sebagai berikut.
Pertama; seseorang akan memiliki kemampuan untuk
mempertimbangkan setiap keputusan yang diambil secara lebih cermat
dan manusiawi, karena memiliki pertimbangan nilai tentang baik atau
128
Scheler, 1973: 87

Risalah Akhlak Islam Filosofis


144

buruk. Orang yang berkepribadian baik adalah mereka yang mampu


mengedepankan upaya untuk memaksimalkan kebaikan dan
meminimalkan keburukan dalam setiap keputusan tindakan yang
dilakukan.
Kedua; seseorang akan memiliki kemampuan menemukan solusi
atas dilemma moral yang dihadapi bilamana terus menerus dilatih dan
dibiasakan untuk memilih yang lebih baik di antara pilihan yang mungkin
dengan mempertimbangkan resiko yang lebih ringan manakala
dihadapkan pada beberapa pilihan yang sama buruknya.
Ketiga; seseorang akan memiliki keberpihakan pada dimensi
kemanusiaan daripada gengsi profesi ataupun profit oriented, karena sejak
dini telah tertanam nilai-nilai keutamaan mana yang ia harus prioritaskan
dalam perilaku atau perbuatannya.
Keempat; seseorang yang berakhlaqul karimah harus memiliki
dasar nilai moralitas spiritual yang diyakininya, karena moralitas tertinggi
terletak di dalam kepercayaan yang dianut, nilai yang tertinggi terletak
pada nilai Kekudusan, Ketuhanan (The Holy, God). Di sini peran agama
tidak dapat diabaikan sebagi celupan (shibghah) sekaligus pembiasaan
diri untuk terus menerus memperjuangkan nilai terbaik dalam
kehidupannya.
Kelima; manusia yang berakhlaqul karimah tidak akan pernah
melakukan tawar menawar atau terjebak ke dalam nilai-nilai yang berada
pada tahapan yang rendah, atau mengorbankan nilai-nilai hyang terletak
pada jenjang tertinggi untuk meraih nilai pada jenjang yang lebih rendah.
Minimal nilai yang terletak pada jenjang yang rendah akan diwarnai oleh
nilai yang terletak pada jenjang yang lebih tinggi.
Peran nilai dalam kehidupan manusia merupakan fitrah yang
kehadirannya terkait erat dengan eksistensi manusia di muka bumi. Setiap
orang memiliki potensi nilai yang melekat pada dirinya sesuai dengan
peran dan kedudukan yang ia emban. Nilai terkait erat dengan tanggung
jawab, yakni tanggung jawab pada diri sendiri (hati nurani), lingkungan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


145

(fisik, budaya, sosial), dan tanggung jawab kepada Allah. Hirarki atau
jenjang nilai merupakan suatu konstruksi untuk menggambarkan bahwa
nilai yang lebih rendah (kesenangan atau kenikmatan) lebih mudah diraih,
meskipun daya tahannya lebih pendek. Adapun nilai yang tertinggi seperti
nilai Kekudusan atau Transendental lebih sulit untuk meraihnya, karena
memerlukan perjuangan (jahada) bahkan pengorbanan, namun daya
tahannya lebih panjang dan lama bahkan bersifat abadi dan ukhrowi. Titik
omega atau ideal yang harus dicapai manusia dalam kehidupannya ialah
ketika mampu memerankan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi
(khalifatullaahi fi al-ardhi), yaitu meletakkan nilai Kekudusan atau
Transendental untuk mengendalikan nilai Kesenangan, Vital, dan nilai
Kerohanian yang ada di bawahnya.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


146

BAB VII
KEBAIKAN DAN KEBURUKAN: KONSEP, TOLOK
UKUR, DAN SUMBER

A. Faḍīlah dan Rażīlah


Sebagai kata sifat, faḍīlah berarti yang utama, sedangkan rażīlah
berarti yang hina. Sebagai kata benda, faḍīlah berarti perilaku atau
perbuatan yang utama atau mulia, sedangkan rażīlah berarti perilaku atau
perbuatan yang tercela atau hina. Bentuk jamak dari faḍīlah adalah
faḍā’il, sedangkan jamak dari rażīlah adalah rażā’il.
Secara konseptual, faḍīlah menunjuk pada keluhuran budi,
sedangkan rażīlah menunjuk pada kerendahan budi. Faḍīlah dapat
mencakup segala perbuatan yang terpuji atau baik, sementara rażīlah
dapat mencakup semua perbuatan atau akhlak yang tercela atau buruk.
Faḍīlah, maupun rażīlah, ada banyak sekali. Namun, para filsuf,
termasuk filsuf etika muslim mulai dari al-Ghazali (Mīzān al-‘Amal)
hingga Hamka (Tasawuf Modern), menyebut adanya empat keutamaan
yang merupakan inti, pusat, atau sumber dari akhlak terpuji, yang
diistilahkan sebagai ummahāt al-faḍā’il (induk akhlak utama) atau uṣūl
al-faḍā’il (pokok akhlak utama). Empat pokok faḍīlah tersebut adalah:
ḥikmah (kebijaksanaan), syajā‘ah (keberanian), ‘iffah (pengendalian diri),
dan ‘adālah (keadilan).
Ḥikmah berkaitan dengan kecakapan akal (quwwah ‘aqliyyah),
syajā‘ah berkenaan dengan kecakapan amarah (quwwah gaḍabiyyah),
‘iffah berhubungan dengan kecakapan syahwat (quwwah syahwāniyyah),
sedangkan ‘adālah dinisbahkan kepada ketiga daya atau kecakapan yang
sudah disebutkan sebelumnya.
Keempat pokok faḍīlah tersebut diperlukan untuk menjaga
keseimbangan atau kesehatan jiwa dan meraih kebahagiaan (sa‘ādah).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


147

Masing-masing dari tiga pokok faḍīlah yang pertama tidak jarang


dinarasikan sebagai berada di tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu
keberlebihannya (ifrāṭ) dan kekosongannya (tafrīṭ), yang sama-sama
merupakan sifat tercela (rażīlah). Ḥikmah berada di antara safah
(gegabah) dan balah (tolol). Syajā‘ah di antara tahawwur (ceroboh) dan
jubn (pengecut). ‘Iffah di antara syaraḥ (obral) dan khumūd (tak peduli).
Sedangkan ‘adālah, lain dari yang sebelumnya, hanya mempunyai satu
lawan, yaitu ẓulm atau jawr (zalim). Sebagian pendapat mempertahankan
‘adalah sebagai berada di antara ẓulm (ẓālim) dan muhānah (hina hati).
Pandangan bahwa faḍīlah atau kebaikan berada di pertengahan di
antara dua rażīlah atau keburukan, tidak perlu dipahami sebagai petunjuk
bahwa tolok ukur faḍīlah bersifat teknis atau matematis. Suatu perilaku
atau perbuatan dipandang sebagai faḍīlah dengan melihat kesesuaiannya
dengan pesan wahyu atau teladan penyampai wahyu, faktor kemas-
lahatannya, dan faktor psikologisnya. Sebagian berpendapat bahwa tolok
ukur fadhilah adalah sifat-sifat atau nama-nama Tuhan (Asmā’ al-Ḥusna).
Faḍīlah ataupun rażīlah sama-sama memberi pengaruh pada jiwa.
Mengerjakan rażīlah akan merusak jiwa dan membuatnya dalam keadaan
sakit. Sedangkan mengerjakan faḍīlah akan menyehatkannya.
Meninggalkan rażīlah dan mengerjakan faḍīlah adalah obat bagi jiwa
(‘ilāj al-nafs).
Faḍīlah sendiri dapat muncul karena faktor watak bawaan,
pembiasaan, atau pendidikan.

B. Birr dan Fujur


Birr berarti kebajikan atau bakti, sedangkan fujūr berarti kejahatan
atau sikap membangkang. Kata birr pada mulanya berarti keluasan dalam
kebajikan (sa‘at al-iḥsān). Daratan disebut al-barr karena luasnya. Allah
memiliki nama al-Barr karena begitu luas dan banyaknya kebaikan yang
Dia anugerahkan kepada manusia.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


148

Kata kerja barra-yabirru mengandung arti taat berbakti, bersikap


baik, benar, banyak berbuat baik. Birr secara kebahasaan meliputi
kebajikan dalam segala hal, baik dalam hal keduniaan ataupun
keakhiratan, juga kebajikan dalam interaksi (menjalin hubungan baik atau
silaturahim).
Sebagian ulama menyatakan bahwa al-birr mencakup tiga hal:
kebajikan dalam beribadah kepada Allah (birr al-‘abd rabbahu),
kebajikan dalam melayani keluarga atau kerabat, dan kebajikan dalam
berinteraksi dengan orang lain. Birr dalam kaitannya dengan hal yang
pertama berarti segala sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, yakni iman, amal saleh, dan
akhlak mulia.
Beberapa penggunaan kata birr dalam al-Qur’an mengisyaratkan
bahwa kata ini memang mempunyai cakupan yang luas, meliputi wilayah
akidah, ibadah, dan akhlak. Kata birr terulang delapan kali di enam ayat
dalam al-Qur’an. Semuanya dalam bentuk makrifah (al-birr). Selain itu,
ada dua kali kata bentukannya, barran, yang terkait konsep birr al-
wālidain (berbakti kepada kedua orang tua), yaitu dalam ungkapan
barran bi wālidaihi (19:14 – terkait Nabi Yahya a.s.) dan barran bi
wālidati (19:32 – terkait Nabi ‘Isa a.s.); serta enam kali kata abrār (jamak
dari barr), yang berarti para pelaku birr (sering diterjemahkan sebagai
orang-orang yang berbakti), dan satu kali kata al-Barr (Yang Maha
Melimpahkan kebaikan) sebagai salah satu nama Allah (52:28).
Dalam surah al-Baqarah ayat 177 tampak bahwa birr mencakup
keimanan, kerelaan berbagi harta, penunaian ibadah shalat dan zakat,
serta akhlak dalam berjanji dan akhlak menghadapi cobaan (sabar).
Orang-orang yang memiliki atau menjalankan itu semua disebut di ayat
ini sebagai allżīna ṣadaqū (orang-orang yang benar) dan al-muttaqūn
(orang-orang yang bertakwa kepada Allah). Dengan demikian, birr adalah
tanda ketaqwaan. Makna ini diperkuat oleh al-Baqarah ayat 189, yang
menyebut bahwa yang disebut birr adalah ketakwaan (al-birr man ittaqā).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


149

Sedangkan al-Ma’idah ayat 2 menyebut birr dan taqwa sebagai dua hal
yang orang-orang beriman perlu tolong-menolong di dalamnya; dan al-
Mujadilah ayat 9 menyebut birr dan taqwa sebagai dua hal yang
tentangnya orang-orang beriman mengadakan percakapan, termasuk
percakapan rahasia. Sementara itu, Al ‘Imran ayat 92 mencontohkan
perbuatan menginfakkan harta yang dicintai sebagai cara mencapai birr.
Birr adalah sesuatu yang baik untuk diperintahkan kepada manusia
(2:45), walaupun konsep al-amr bi al-birr disebut sekali saja, dan tidak
sesering ungkapan al-amr bi al-ma‘ruf.
Surah al-Ma’idah ayat 2 menyebut birr dan taqwa sebagai dua hal
yang sejajar dan menghadapkannya dengan iṡm dan ‘udwān. Dari sini –
dan dari beberapa hadis – muncul pemahaman yang memperlawankan
birr dengan iṡm (dosa). Birr adalah sesuatu yang hati hadapi dengan
tenang dan tenteram, sementara iṡm adalah sesuatu yang hati hadapi
dengan ragu dan bimbang. Birr membuat pelakunya lega dan senang,
sedangkan itsm membuat pelakunya malu dan takut diketahui orang.
Sebuah hadis Nabi riwayat Muslim, al-Tirmidzi, Ahmad dan Ibn
Hibban, dari al-Nawwas bin Sam‘an al-Anshari, yang juga termaktub di
kitab Bulūg al-Marām, menyebutkan:
َ َّ َ َ َ َ ‫ْلا ْث َُمَ َما َح‬ْ ُُ ْ
‫ و َك ِر ْه َت أ ْن َيط ِل َع َعل ْي ِه‬،‫ك‬
َ َ ‫اك ِفي ن ْف ِس‬ َ ِ ‫الب َُّرَ ُح ْس ُن الخل‬
َ ِ ‫ َو‬،‫ق‬ ِ
َ ُ ‫الن‬
‫اس‬ َّ
“Al-birr itu adalah akhlak yang baik, sedangkan al-itsm itu apa yang
menggelisahkan dalam dadamu, dan engkau tidak suka jika hal itu
tampak di hadapan orang lain.”
Birr kerap diartikan sebagai kebajikan yang sempurna (al-khair al-
kāmil al-syāmil). Birr dipahami sebagai lebih tinggi dari amal saleh, atau
sebagai amal saleh yang lebih bagus kualitasnya. Artinya, tidak semua
amal baik dikategorikan sebagai birr. Sehingga, kata abrar dipahami
sebagai orang-orang yang tidak sekadar beramal saleh, tetapi melakukan
kebaikan yang berat bagi orang-orang pada umumnya. Dalam buku

Risalah Akhlak Islam Filosofis


150

Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan, dikutip perkataan Kiai Dahlan yang
menerangkan tingginya kualitas abrar:
“Kamu sekalian walaupun sudah menjalankan amal saleh, kamu
belum diakui baik, belum menjadi orang abrar, sehingga kamu
berani menguliti (mbeset) kulitmu sendiri, artinya sehingga kamu
berani membelanjakan harta bendamu yang sangat kamu cintai
(inilah amal yang sangat berat seperti menguliti kulitmu sendiri).”
Adapun kata fujūr terambil dari kata fajara, yang mulanya berarti
membelah. Fajar yang menyingsing digambarkan bagai membelah
kegelapan malam. Ada fajar yang dinamai fajar bohong, sehingga wajar
lahir makna fujūr sebagai tindakan berbohong. Fujūr sendiri diartikan al-
Ashfahani (al-Mufradāt) sebagai membelah atau menyingkap tirai agama.
Pelaku fujūr disebut fājir, yang kadang bermakna pembohong.
Bentuk jamaknya bisa fājirun, fajarah, fujjār, dan fawājir. Dalam
pengertian kamus, fujūr dapat bermakna perbuatan zina, perbuatan
maksiat, perbuatan merusak, atau perbuatan menyimpang (dari
kebenaran).
Kata fujūr disebut satu kali di dalam al-Qur’an, yakni di surah asy-
Syams ayat 8:
َ َ ُ ُ َ َ َََْ
‫ور َها َوت ْق َو َاها‬‫فألهمها فج‬
Allah mengenalkan kepada jiwa fujur dan taqwa-nya.
Di ayat ini, kata fujūr dihadapkan dengan kata taqwa. Kedua-
duanya disebut merupakan dua potensi yang ada pada diri (nafs) manusia.
Fujūr adalah potensi keburukan atau potensi untuk durhaka, sedangkan
taqwa adalah potensi kebaikan atau potensi untuk tunduk dan taat.
Namun, ada beberapa kata yang merujuk pada pelaku fujūr, yang
disebut di empat ayat al-Qur’an, yaitu fājir (71:27), fajarah (80:42), dan
fujjār (82:14; 83:7). Fājir disejajarkan dengan kaffār (orang yang sangat
kufur), fajarah (jamak dari fājir) disejajarkan dengan kafarah. Fujjār
dilawankan dengan abrār (orang-orang yang berbuat kebajikan/birr).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


151

(Tidak ada variasi bentuk jamaknya yang lain, yaitu, fājirun atau fawājir,
yang disebut dalam al-Qur’an). Dengan demikian, fujūr bisa mencakup
segala perbuatan yang sesuai dengan kekufuran dan tidak sesuai dengan
ketakwaan dan kebajikan (birr).
Sebagai lawan birr, ada sebuah hadis populer yang menguatkan
makna ini:
ْ َ ْ ْ َ َّ َ ْ ‫َع َل ْي ُك ْم ب‬
،‫ال َج َّن ِة‬َ ‫ ِوإ َّن ال ِب َّر َي ْه ِدي ِإلى‬،‫الص ْد َق َي ْه ِدي ِإلى ال ِب ِر‬ِ ‫ ف ِإن‬،‫الصد ِق‬ ِ ِ
َّ ْ
،‫الص ْد َق َح َّتى ُيك َت َب ِع ْن َد الل ِه ِص ِد ًيقا‬ َ َ َ ُ ُ ْ َ ُ َّ ‫ال‬
ِ ‫الرج ُل يصدق ويتح َّرى‬ ُ ‫َوما َي َز‬
َ َ ‫ وإ َّن ْال ُف ُج‬،‫ َفإ َّن ْال َكذ َب َي ْهدي إ َلى ْال ُف ُجور‬،‫وإ َّي ُاك ْم َو ْال َكذ َب‬
‫ور َي ْه ِدي ِإلى‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َّ َ َّ َ ْ َ ْ َّ َ ْ َ ْ ُ ‫ َوما َي َز‬،‫النار‬َّ
. ‫ح َّرى الك ِذ َب َحتى ُيكت َب ِعند الل ِه كذ ًابا‬ ََ ‫الر ُج ُل َيك ِذ ُب َويت‬
َّ ‫ال‬
ِ
.‫متفق عليه‬
“Hendaklah kalian selalu jujur, karena kejujuran mengantarkan kepada
kebaikan (birr), dan kebaikan mengantarkan kepada surga. Apabila
seseorang selalu jujur dan tetap memilih kejujuran, maka akan dicatat di
sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur (shiddiq). Dan jauhilah dusta,
karena dusta mengantarkan kepada kejahatan (fujur), dan kejahatan
mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan
memilih kedustaan, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
(Muttafaq ‘alaih).
Dalam penggunaannya dalam teks-teks keagamaan, fujūr lebih
sering digunakan untuk dosa-dosa besar yang sangat buruk, seperti
sodomi, zina dengan mahram, perselingkuhan, atau untuk pengulangan
dosa-dosa besar. Dalam penggunaannya, kata fujūr kadang dikhususkan
untuk zina, liwaṭ, dan yang semisalnya.
Fujūr dipahami sebagai lebih berat dari fisq. Kata fisq digunakan
untuk menyebut perbuatan keluar dari sesuatu atau tujuan, yaitu keluar
dari jalan yang benar, atau jalan ketaatan kepada Allah. Pelakunya, yang
disebut fāsiq, adalah orang yang keluar dari koridor agama akibat
melakukan dosa besar atau kerap kali melakukan dosa kecil.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


152

Dalam pengertian kamus, fisq dan fusūq diidentikkan dengan kata


‘iṣyān (kemaksiatan atau kedurhakaan), fujūr (dalam pengertian
perbuatan asusila) dan ḍalal (kesesatan). Kata fisq atau fusūq, dalam
berbagai turunannya, terulang 54 kali di 54 ayat al-Qur’an. Dalam
penggunaannya di al-Qur’an, kata fusūq kadang disejajarkan dengan kufr
[keingkaran] dan ‘iṣyān [kedurhakaan] (Q 49:7). Di ayat ini, ketiganya
tampak diperhadapkan dengan iman, sehingga sebagian mufasir
memahami fusūq di sini sebagai segala ucapan atau ekspresi yang
bertentangan dengan ucapan orang beriman.
Kata fusūq kadang juga disejajarkan dengan rafaṡ [bersetubuh;
bercumbu] dan jidāl [berbantah-bantahan] (Q 2:197). Di sini fusuq
dipahami sebagai ucapan atau perbuatan yang melanggar norma-norma
susila dan atau agama.
Surah al-Ma’idah ayat 3, yang dikuatkan al-An‘am ayat 121 dan
145, menyebut contoh-contoh fisq termasuk: memakan bangkai, darah,
daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah, hewan yang
mati tercekik atau dipukul atau jatuh atau ditanduk atau diterkam binatang
buas, serta mengundi nasib dengan anak panah.
Dalam penggunaan di teks-teks keagamaan, kata fisq dan fusūq
tampak sering digunakan untuk menyebut dosa-dosa besar, seperti
mencuri, makan riba, zina, dan sebagainya. Dalam al-Qur’an sendiri kata
fāsiqūn atau fāsiqīn (para pelaku fisq/fusūq) sering digunakan untuk
menyebut orang-orang yang ingkar atau kufur kepada ajaran keimanan,
atau berpaling dari ajakan nabi, termasuk orang munafik (lihat misalnya
2:199; 3:82; 5:47; 9:67).

C. Khair dan Syarr


Khair berarti kebaikan, sedangkan syarr berarti keburukan. Makna
asal khair, menurut Ibn Faris (Mu‘jam Maqāyis al-Lugah), adalah al-‘aṭf
wa al-mail, yaitu rasa simpati dan kecenderungan hati. Kebaikan disebut

Risalah Akhlak Islam Filosofis


153

khair karena pada dasarnya manusia cenderung untuk memilih kebaikan


dan bersimpati kepada pelakunya. Khair sering digunakan dalam arti
kebaikan, dan dilawankan dengan syarr, yang berarti keburukan. Kata
khayr, menurut Toshihiko Izutsu (Ethico Religious Concepts), sebenarnya
sangatlah luas maknanya, mencakup semua yang dipandang berharga,
bermanfaat, menguntungkan, dan disukai. Kata khair dapat digunakan
baik untuk konteks urusan keduniaan maupun urusan keakhiratan. Dalam
konteks kebaikan dunia, harta atau kekayaan kadang disebut khair karena
mewakili kebaikan duniawi, kuda kadang disebut khair karena kuda
sangatlah baik menjadi tunggangan, dan wanita yang terhormat disebut
khairah karena kebagusan parasnya, keturunannya, hartanya atau
akhlaknya.
Kata khair dapat mencakup makna kebaikan dalam hubungan
manusia dengan Allah, maupun kebaikan dalam hubungan dengan sesama
manusia. Kata khair dan bentukannya terulang banyak sekali di dalam al-
Qur’an. Umumnya sebagai kata sifat, khair, yang artinya baik atau lebih
baik. Dalam bentuk isim ma’rifah (nomina definit), al-khair, kata ini
muncul 12 kali, dan dalam bentuk kata al-khairāt, muncul 9 kali. Kata
akhyār, yang berarti orang-orang terbaik muncul dua kali.
Dalam al-Qur’an, kata khair pun digunakan dalam beragam arti.
Sebagaimana sebagian besarnya juga dirinci oleh Izutsu, khair dapat
berarti aneka kebaikan sebagai lawan dari syarr (misalnya 2:216; 21:35;
41:49; 99:7-8), harta/kekayaan [al-māl] (misalnya 2:180, 272, 273;
100:8), karunia Tuhan (misalnya 3:26); karunia wahyu dari Tuhan
(misalnya 2:105); keimanan yang sungguh-sungguh (misalnya 8:70);
dampak positif dari iman (misalnya 6:158); amal saleh (misalnya 2:110);
dan kuda [al-khail] (38:32).
Dalam kaitannya dengan diskusi tentang akhlak, makna khair yang
relevan tentu adalah sebagai suatu kebaikan yang penting didakwahkan.
Al-khair (seperti dalam 3:104) kadang dipahami sebagai nilai universal
yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah, berbeda dari al-ma‘rūf yang

Risalah Akhlak Islam Filosofis


154

dipahami sebagai lebih bersifat partikular, yaitu sesuatu yang baik


menurut pandangan umum suatu masyarakat, yang sejalan dengan al-
khair.
Menurut al-Ashfahani (al-Mufradāt), khair mencakup kebaikan
yang muṭlaq dan muqayyad. Kebaikan muṭlaq adalah kebaikan yang
disenangi pada setiap keadaan dan oleh siapa pun, seperti surga.
Sedangkan kebaikan muqayyad adalah kebaikan yang mungkin baik bagi
seseorang dan dalam keadaan tertentu, tetapi tidak bagi lainnya atau
dalam keadaan yang lain.
Syarr berarti buruk, keburukan atau mudarat. Syarr adalah lawan
dari khair, yang berarti baik atau kebaikan. Kata syarr (dan bentukannya)
terulang 30 kali di 29 ayat al-Qur’an. Di 7 ayat, kata syarr disebut
berhadapan dengan kata khayr (pada ayat yang sama). Ibn Qayyim
menyebut bahwa syarr meliputi sakit (pedih) dan yang mengantar kepada
sakit (pedih). Penyakit, kebakaran, tenggelam adalah sakit (pedih),
sedangkan kekufuran, maksiat adalah yang mengantar kepada sakit atau
siksa pedih. Perbuatan buruk disebut syarr karena mengantarkan kepada
kepedihan. Kata syarr digunakan baik untuk konteks keduniaan maupun
keakhiratan. Namun, kata syarr tidak dapat dinisbahkan kepada Sang
Khalik, tetapi kepada makhluk.

D. Ḥasanah dan Sayyi’ah


Ḥasanah di sini berarti perbuatan atau ucapan yang bersifat ḥasan
atau ḥasanah, yaitu bagus atau baik. Kata ini erat maknanya dengan kata
ḥusn, yang berarti kebaikan, kebagusan, atau keindahan, serta kata ḥusnā,
yang bisa berarti kebaikan, hubungan yang baik, hasil yang baik, atau
keberhasilan.
Sedangkan sayyi’ah berarti perbuatan atau ucapan yang sayyi’ atau
sayyi’ah, yaitu jelek atau buruk. Kata ini erat maknanya dengan kata su’,
yang berarti keburukan, kejelekan, atau kejahatan.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


155

Dalam al-Qur’an, kata sifat ḥasan digunakan untuk menyifati


banyak hal, di antaranya qarḍ ḥasan [pinjaman yang
baik/menguntungkan] (2:245; 5:12; 57:11, 18; 64:17; 73:20), qabūl ḥasan
[penerimaan/persetujuan yang baik] (3:37), nabāt ḥasan [pendidikan yang
baik] (3:37), balā’ ḥasan [kemenangan yang baik] (8:17), matā‘ ḥasan
[kenikmatan yang baik] (11:3), rizq ḥasan [rezeki yang baik] (11:88;
16:67, 75; 22:58), ajr ḥasan [pembalasan yang baik] (Q 18:2; 48:16),
wa‘d ḥasan [janji yang baik] (20:86; 28:61), serta (secara tidak langsung)
‘amal ḥasan [pekerjaan yang baik] (35:8), dan qaul ḥasan [perkataan
yang baik].
Kata benda dari kata sifat ini adalah ḥusn dan ḥasanah. Kata ḥusn
terulang 7 kali di 7 ayat al-Qur’an. Sedangkan kata ḥasanah atau al-
ḥasanah terulang 28 kali di 27 ayat al-Qur’an. Bentuk jamaknya, ḥasanat
atau al-ḥasanat terulang 3 kali di 3 ayat.
Kata ḥasanah dapat digunakan untuk konteks duniawi maupun
ukhrawi. Makna ḥasanah mencakup kebahagiaan, kesejahteraan,
keberuntungan. Contohnya dalam ayat:
َ ‫الد ْن َيا َح َس َن ًة َوفي ْْلاخ َرة َح َس َن ًة َوق َنا َع َذ‬
‫اب‬ ُّ ‫َوم ْن ُهم َّمن َي ُقو ُل َرَّب َنا آت َنا في‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َِ ‫الن‬
‫ار‬ َّ

“Di antara mereka ada yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa
neraka.’” [Al-Baqarah (2): 201].
Arti kata ini juga mencakup segala perbuatan baik atau kesalehan,
dan lawan dari kata sayyi’ah (jamaknya sayyi’āt), yang berarti perbuatan
buruk. Dalam al-Qur’an, hampir selalu kata ḥasanah/al-ḥasanah/al-
ḥasanāt disebut bersamaan atau berdekatan dengan kata sayyi’ah/al-
sayyi’ah/al-sayyi’āt.
Dalam pandangan Ibn Taymiyah (al-Ḥasanah wa al-Sayyi’ah), kata
hasanah dan sayyi’ah dalam al-Qur’an mengarah pada pengertian nikmat

Risalah Akhlak Islam Filosofis


156

dan musibah (misalnya 3:120); serta pada perbuatan yang diperintah


[ṭa‘ah] dan perbuatan yang dilarang [ma‘ṣiyyah] (seperti 28:84). Suatu
ḥasanah boleh jadi adalah balasan dari ḥasanah sebelumnya, demikian
pula, suatu sayyi’ah boleh jadi adalah balasan dari sayyi’ah sebelumnya.
Kata kerja aḥsana-yuḥsinu (iḥsan) dapat berarti melakukan ḥasanah
atau perbuatan baik, walaupun makna iḥsan mempunyai spektrum makna
yang berbeda, kadang lebih luas dan kadang lebih sempit. Kata iḥsan,
menurut al-Raghib al-Ashfahani (al-Mufradāt), digunakan untuk dua hal:
memberi nikmat kepada pihak lain, dan perbuatan baik. Iḥsan dapat
berarti segala tindakan yang disemangati oleh sifat belas kasih, dan dapat
berarti kesalehan yang mendalam atau perbuatan yang lahir dari
kesalehan ini. Dalam arti yang pertama, iḥsan sering diartikan sebagai
sikap yang lebih utama dari ‘adl (adil). Adil berarti memperlakukan orang
lain sama dengan perlakuannya kepada kita, sedangkan iḥsan adalah
memperlakukan orang lain lebih baik dari perlakuannya kepada kita.
Sedangkan dalam arti yang kedua, sebagian ulama memaknai iḥsan
sebagai puncak kebaikan amal perbuatan, senada dengan pengertian iḥsan
dalam suatu hadis: menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya
dan bila engkau tidak melihat-Nya, yakinlah Dia melihatmu.
Lawan dari iḥsan adalah isā’ah, yang berarti melakukan sayyi’ah
atau perbuatan buruk. Sayyi’ah mempunyai makna yang lebih sempit dari
sū’. Sū’ (isim maṣdar) secara bahasa berarti kejelekan (qubḥ) pada
sesuatu, atau sesuatu yang menyedihkan atau mengecewakan manusia.
Kata ini digunakan untuk perbuatan maupun yang bukan perbuatan
manusia, seperti keadaan sakit, azab, dan sebagainya. Ini berbeda dari
kata sayyi’ah (jamaknya sayyi’āt), yang digunakan untuk perbuatan.
Sayyi’ah berarti mengerjakan kejelekan (qabīḥ), dan sering digunakan
untuk menyebut dosa kecil, atau dosa secara umum.
Kata sū’ terulang 50 kali dalam al-Qur’an. Sedangkan kata sayyi’ah
terulang 22 kali di 21 ayat, sementara dalam bentuk jamak, sayyi’āt,
terulang 36 kali di 34 ayat. Su’ adakalanya menjadi sinonim atau penguat

Risalah Akhlak Islam Filosofis


157

makna fāḥisyah [perbuatan keji] (12:24; 17:32). Demikian pula kata


sayyi’ah. Di salah satu ayat tentang perbuatan keji umat Nabi Luth,
tampak kata sayyi’āt menggantikan kata fāḥṡsyah (lihat QS. 11:78).
Fāḥisy atau fāḥisyah (atau faḥsyā’; fawāḥisy – jamaknya) secara leksikal
berarti perbuatan zina, atau segala perbuatan dosa yang amat buruk, atau
perkataan/perbuatan yang jelek (qabīḥ) atau amat jelek. Kata ini sering
diterjemahkan sebagai perbuatan keji. Dalam al-Qur’an, kata ini sendiri
terulang 24 kali di 23 ayat. Beberapa kali kata ini disebut berdekatan
dengan kata sū’ [keburukan] (2:169; 12:24), iṡm [dosa] (7:33), kabā’ir al-
iṡm [dosa besar] (42:37; 53:32), munkar [kemungkaran] (16:90; 24:21;
29:45), dan bagy [permusuhan] (QS. 7:33; 16:90). Dalam tafsirnya, kata
ini dipahami sebagai perbuatan kotor atau menjijikkan, yang tidak sejalan
dengan, atau dipandang sangat buruk oleh, tuntunan agama dan akal sehat
(mungkin juga naluri dan budaya), khususnya yang telah ditetapkan
sanksi duniawinya, seperti zina (termasuk yang sejenisnya) dan
pembunuhan, dan berdampak buruk bukan saja bagi pelakunya tetapi juga
bagi lingkungannya. Di beberapa ayat, kata ini lebih sering berkaitan
dengan, atau dipahami sebagai, zina atau perbuatan semacamnya (seperti
sodomi) – misalnya 7:80; 12:24; 17:32.
Kata sayyi’ah sendiri, dalam penggunaannya dalam al-Qur’an,
dapat berarti kesyirikan, kekufuran, zina, dan pembunuhan.

E. Ma‘rūf dan Munkar


Ma‘rūf berarti perbuatan baik, sedangkan munkar berarti perbuatan
buruk. Ma‘rūf secara bahasa berarti dikenali atau diketahui. Kata kerja
‘arafa-ya‘rifu berarti mengetahui, mengenali. Sesuatu yang diketahui
biasanya disetujui, sehingga ma‘rūf berarti kebaikan yang diketahui dan
disetujui. Lawannya adalah munkar, artinya sesuatu yang tidak disetujui
karena tidak diketahui atau asing.Ma‘rūf menurut istilah didefinisikan
sebagai setiap apa yang syariat akui, perintahkan, puji, dan sanjung

Risalah Akhlak Islam Filosofis


158

pelakunya. Termasuk di dalamnya adalah semua jenis ketaatan, yang


didasari oleh iman tauhid.
Kata ma‘rūf terulang 39 kali di 36 ayat dalam al-Qur’an. Kata ini
digunakan dalam konteks hubungan muamalah, terutama dalam keluarga,
dalam konteks norma sosial (lawan dari munkar). Sangat sering kata
ma‘rūf muncul berdekatan dengan kata munkar, yaitu di 9 ayat. Kata ini
di dalam al-Qur’an sering bermakna cara yang baik dalam melakukan
sesuatu. Misalnya, dalam ungkapan qaul ma‘rūf (QS. 2:235, 263; 4:5,8;
33:32; 47:21), yang berarti menyampaikan perkataan dengan cara yang
baik.
Ma’rūf juga dipahami sebagai sesuatu yang baik menurut
pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-khayr.
Namun demikian, ada banyak pendapat tentang makna ma‘rūf di dalam
kitab-kitab tafsir. Ma‘rūf diartikan secara variatif sebagai: setiap
perkataan, perbuatan dan akhlak yang baik; semua kebaikan (khair); apa
yang dikenali sebagai baik secara syarak maupun akal; ketaatan kepada
Allah; iman; sunah Nabi; akhlak mulia dan silaturahim; takut kepada
Allah dalam masalah halal dan haram.
Secara etimologis, munkar berarti sesuatu yang tidak dikenal, asing
dan karenanya ditolak. Munkir berarti orang yang tidak mengenal atau
menolak, dan munkar dapat berarti orang yang tidak dikenal, asing, atau
ditolak. Secara terminologis, munkar didefinisikan sebagai setiap apa
yang syariat ingkari, cegah, cela, dan cela pelakunya. Termasuk di
dalamnya adalah semua jenis kemaksiatan, yang dilandasi oleh
kesyirikan.
Kata munkar terdapat di 16 ayat al-Qur’an. Sembilan di antaranya
memperlawankan munkar dengan ma‘rūf (perbuatan baik), dan tiga ayat (
16:90; 24:21; 29:45) menyejajarkan munkar dengan faḥsya’ (perbuatan
keji). Oleh karenanya, munkar lebih sering dipahami dalam kaitannya
dengan lawannya, yaitu ma‘rūf. Bila ma‘rūf merupakan sesuatu yang
dinilai baik oleh suatu masyarakat dan sesuai dengan nilai-nilai ilahi,

Risalah Akhlak Islam Filosofis


159

munkar diartikan sebagai sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu


masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai ilahi.
Makna munkar, sebagaimana makna ma‘rūf, sangat bervariasi,
sehingga munkar dikatakan meliputi semua yang dilarang oleh agama,
dan memiliki jangkauan makna yang lebih luas dari kata ma‘ṣiyyah.
Munkar dipahami Ibn ‘Asyur (al-Taḥrīr wa al-Tanwīr) sebagai segala
sesuatu yang tidak berkenan di hati orang-orang normal dan tidak direstui
oleh syariat, baik ucapan maupun perbuatan, termasuk hal-hal yang
sekalipun tidak menimbulkan mudarat.
Ketika disejajarkan dengan faḥsyā’, makna munkar dibedakan
darinya dari segi dasar apa yang membuat suatu perbuatan itu tercela;
faḥsyā’ adalah yang tercela berdasarkan tuntunan agama dan akal sehat,
sedangkan munkar adalah yang tercela berdasarkan nilai-nilai agama dan
adat istiadat.

F. Ṣalāḥ dan Fasad


Ṣalāḥ berarti kebaikan atau keadaan baik, lawannya adalah fasad,
yang berarti kerusakan atau keadaan rusak. Fasad secara istilah berarti
keluarnya sesuatu dari keadaan seimbang (i‘tidāl), baik sedikit ataupun
banyak. Kata ini digunakan baik untuk jiwa, badan, ataupun benda,
seperti rusaknya agama, niat, ucapan, perbuatan, zat, ataupun hal lain.
Dalam pengertian lain, fasad adalah berubahnya keadaan sesuatu dari
keadaan ṣalāḥ. Perbuatan membuat suatu fasad disebut ifsād. Lawannya
adalah iṣlāḥ, perbuatan membuat suatu ṣalāḥ.
Kata benda fasad terulang 11 kali dalam 11 ayat al-Qur’an. Bentuk
kata kerjanya (fasada) terulang 3 kali. Sedangkan kata bentukan ifsād
(afsada, yufsidu, mufsid) terulang 36 kali dalam 33 ayat. Dalam al-
Qur’an, kata fasad atau ifsād digunakan untuk merujuk: sikap kufur
kepada Allah (2:27, 10:40, 7:85); kemunafikan (2:11-12); kemaksiatan
(7:56, 13:25, 28:83); kehancuran alam (21:22, 27:34); kemungkaran

Risalah Akhlak Islam Filosofis


160

(11:116); perampokan/pembegalan (5:33); penindasan dan peperangan


(5:64); memutus kekerabatan (47:22); sihir (10:81); memakan harta yatim
secara zalim (2:220); perbuatan keji kaum Luth (29:30); pelanggaran hak-
hak manusia (89:11); penjajahan kaum musyrik atas kaum mukmin
(8:73); pencurian (12: 73); kerusakan lingkungan (30:41); rusaknya
keteraturan alam (23:71); kerusakan secara umum (18:94; 27:48).
Sedangkan kata iṣlāḥ terulang 7 kali dalam 7 ayat, sedangkan
bentukannya (aṣlaḥa-yuṣliḥu-aṣliḥ-muṣliḥ) terulang 33 kali dalam 32
ayat, yang sebagiannya dinisbahkan bukan kepada manusia. Kata ṣalāḥ
tidak muncul, namun ada kata yang semakna, yaitu ṣulḥ, yang terulang
dua kali dalam satu ayat, dan kata kerja ṣalaḥa yang terulang dua kali.
Ṣalāḥ secara istilah dipahami sebagai mencakup semua kebaikan,
khususnya perbuatan baik (amal saleh). Ia lawan dari fasad dan kadang
dari sayyi’ah. Menurut Ibn Taymiyah, makna umum ṣalāḥ mencakup
semua kebaikan (khair), dan fasad mencakup semua keburukan (syarr).
Makna ṣalāḥ juga terkandung dalam kata benda ṣāliḥ(at). Kata ṣāliḥat
(perbuatan-perbuatan baik) disebut di 61 tempat dalam al-Qur’an, dan
kata ṣāliḥ(an) (perbuatan baik) di 36 tempat.
Dalam al-Qur’an, ada sepuluh segi makna dari ṣalāḥ: iman (seperti
13:23); kedudukan yang baik (seperti 12:9; 2:130; 29:27); kesabaran
(seperti 28:27); bentuk fisik yang baik (189-190); ihsan (11:88); ketaatan
(2:11); amanah (18:82); berbakti kepada kedua orang tua (17:25); amar
makruf nahi mungkar (11:117); dan haji (23:100).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


161

BAB VIII
KESADARAN TENTANG AKHLAK

A. Pendahuluan
Membaca terminologi akhlak, imajinasi bacaan dan informasi
tentangnya membawa kepada beberapa pandangan ulama, filsuf,
mufassir, ahli kalam dan tasawuf yang tulisan dan jejak amaliahnya
secara khusus terkait dengan akhlak. Di antaranya: Muhammad
Fakhruddin al-Razi, al-Baghawi, al-Zamakhsyari, al-Qusyairi, Ibn
Miskawaih, Abu Hamid al-Ghazali, dan lain semacamnya.
Pada umumnya mereka membahas tentang apakah akhlak; apakah
dan siapakah orang yang berakhlak agung; apa dan bagaimana syarat
menjadi seorang yang berakhlak agung; kenapa seseorang harus
berakhlak agung; dan ini yang menjadi poin utama dalam tulisan ini,
apakah kesadaran akhlak; apa serta bagaimana fondasi amaliahnya;
apakah ketika seseorang telah mempraktekkan akhlak agung, dengan
sendirinya dia telah memraktikkan kesadaran akhlak; apakah kesadaran
akhlak bersifat individual saja atau juga publik; bagaimana individu yang
telah memraktekkan akhlak agung—sebagaimana Rasulullah saw—
memiliki kepedulian terhadap pembentukan kesalehan melalui uswah
ḥasanah.
Pembahasan mereka juga meluas kepada apakah jati diri manusia
dapat berbuat selalu lurus dalam bimbingan hati atau malah berada di
antara ketaqwaan dan kedurjanaan (fujūr). Apakah situasi ambivalen ini
menjadi sebuah kenyataan tentang konflik nilai yang terus-menerus
menyertai manusia dalam mengarungi dunia dan kemanusiaannya.
Bagaimana manusia secara esensial dan eksistensial menjadi pemenang
dalam pertarungan dan konflik nilai itu. Siapakah yang menjadi
pemenang dalam pertarungan dan konflik nilai purba pada diri manusia
dalam mengarungi kemanusiaannya itu.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


162

Kajian di atas mendapatkan perhatian hebat, diskusi mendalam dan


telaah serius, karena melibatkan seluruh keilmuan dan pengalaman para
masyāyikh di atas dalam mengarungi samudera ilmu, dengan rujukan al-
Qur’an, al-Sunnah, serta rujukan-rujukan lain yang relevan.

B. Akhlak Agung Rasulullah saw.

Kita mulai dengan membahas akhlak agung Rasulullah Saw.


Akhlak, menurut Fakhruddin al-Razi129 ketika menafsirkan QS. al-Qalam:
4, ‫يم‬
َ ُُ َ َ َ َّ َ
َ ٍ ‫وِإنك لعلى خل ٍق ع ِظ‬, dalam al-Tafsīr al-Kabīr atau juga dikenal luas
dengan nama Mafātih al-Ghayb (untuk selanjutnya disebut Mafatih al-
Ghayb), adalah talenta atau kemampuan individu (‫ )ملـكة نفسانية‬yang
dianugerahkan Allah swt, kepada seseorang sehingga orang tersebut dapat
dengan mudah mengerjakan amal kebajikan. Kata kunci akhlak agung
Nabi Muhammad saw seperti dimaksudkan dalam ayat di atas terletak
َ ْ َْْ ْ ْ َ ُ ُ
pada mudahnya melaksanakan kebajikan (‫ة‬ َ ِ ‫ْلات َيان ِباِلف َع َ ِال ال َج ِميل‬
َ ِ ‫)سهولة‬.
َ َ ْ َ ْ ْ َ ْ ْ 130
Bukan sekedar mengerjakan kebajikan (‫ال الج ِميلة‬ ِ ‫) ِْلاتيان ِباِلفع‬.
Kenapa Rasulullah saw mudah dalam mengerjakan kebajikan? Apa
yang melekat pada akhlak agung beliau itu? Sebagai penghulu orang-
orang yang beraklak mulia, mudahnya beliau saw dalam melaksanakan
kebajikan karena beliau saw adalah hamba Allah swt yang senantiasa
memperoleh hidayah Allah
ْ ُ ُ َ ُ َّ َ َ َ َّ َ ُ
َ‫داه ُم اق َت ِد ْه‬‫أول ِئك ال ِذين هدى الله ف ِبه‬
“Mereka itulah para nabi yang telah diberi petunjuk, maka ikutilah
petunjuk mereka....”. Jadi kata kuncinya adalah hidayah [QS. al-An’am:
90]

129
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Al-Hasan bin
Al-Husen al-Razi
130
Abu Abdillah Muhammad Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb, Jilid 30
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 1420), 601.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


163

Hidayah lahir dari keimanan. Dengan keimanan yang dahsyat,


hidayah selalu ada melekat pada seseorang. Hidāyah (‫ )هـداية‬dalam
konteks hudā (‫ )هـدى‬adalah petunjuk (QS. Al-Baqarah: 2) yang
dianugerahkan Allah swt berupa wahyu (al-kitab yang tiada keraguan di
dalamnya) yang akan membawa kepada keimanan sejati.
Iman adalah pengetahuan tertinggi yang mendorong kepada
keyakinan, yakni pembenaran di hati, ikrar di lisan, dan pengamalan
dengan seluruh anggota badan (jasmani-rohani). Dengan kata lain,
hidāyah dan hudā dengan keimanan sejati merupakan pengetahuan
manusia yang diikuti dengan pengamalan yang telah menjadi kebiasaan
dalam perilaku keseharian. Dari sini dapat dikatakan bahwa pondasi
akhlak agung itu adalah pengetahuan tertinggi (iman) yang bersifat
amaliah (ilmu amaliah). Dalam terminologi Al Qur’an biasanya disebut
iman dan amal shaleh.131

Selanjutnya, dalam kaitan antara pengetahuan dan akhlak, dalam


QS. Al Qalam: 1-4., al-Razi menjelaskan keterkaitan antara huruf
muqatha’ah nun dengan huruf sumpah dan terutama dengan ayat
keempat. Nun memiliki banyak makna, yaitu: pertama, ikan paus (‫الحوت‬
atau ‫ ; السمكة‬kedua, tinta (‫ ;)الدواة‬dan ketiga, papan (‫)لوح‬.132
Makna pertama berkenaan dengan sumpah Allah dalam kaitan
dengan tiga hal, yaitu: Nabi Yunus yang berdoa ketika berada dalam
gelap (perut ikan paus); ikan paus yang hidup di bagian laut yang
terdalam atau terbawah; dan ikan paus yang menelan Nabi Yunus ke
dalam perutnya. Makna kedua adalah sumpah Allah dengan
menggunakan tinta dan pena. Sumpah dengan menggunakan tinta dan
pena bermanfaat karena dengan kedua alat itu seseorang dapat melahirkan
karya tulis yang hebat. Makna ketiga adalah papan yang dipergunakan
oleh malaikat untuk menulis perintah-perintah Allah kepada mereka.
Menurut al-Razi, makna yang paling tepat dikaitkan dengan sumpah

131
Misalnya. QS. Al-‘Ashr
132
al-Razi, Mafatih al-Ghayb, Jilid 30, 598.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


164

Allah adalah makna kedua. Sebab lanjutan ayat setelah nun adalah
sumpah Allah terkait dengan pena yang dengannya orang menuliskan
sesuatu.133
Orang yang memiliki kemampuan menulis atau menuangkan ide-
ide hebatnya ke dalam karya tulis merupakan orang istimewa karena
memiliki pengetahuan dan informasi yang layak dituliskan. Informasi dan
pengetahuan di kepalanya adalah satu keistimewaan, sedangkan
kemampuan menulis merupakan keterampilan lainnya yang tidak semua
orang dapat melakukannya. Sama halnya dengan kemampuan retorika,
berbahasa, dan berdebat adalah kemampuan istimewa yang juga tidak
bisa dimiliki setiap orang. Keseluruhannya, terutama kemampuan menulis
sebagaimana dalam konteks al-Qalam: 1, menjadi simbol keilmuan.
Dalam kaitan simbol keilmuan ini, lafal al-qalam memiliki dua makna,
yaitu: pertama, alat tulis yang merupakan ciptaan Allah yang pertama
sekali; dan kedua, bermakna akal.134
Orang berpengetahuan, berakal dan mampu menuliskan ide dan
imajinasinya ke dalam tulisan atau karya, pastilah orang yang tidak gila.
Orang ini waras lahir dan batin (al-Qalam: 2). Pengetahuan, akal dan
kemampuan menulis sejatinya adalah nikmat Allah Swt (al-Qalam: 2).
Untuk menegaskan tentang kewarasan pikiran lahir batin, seseorang itu
harus memiliki akhlak yang agung (al-Qalam: 4). Di sinilah keterkaitan
antara pengetahuan, akal, dan akhlak itu. Akhlak Al-Qur’an adalah amal
kebajikan yang dilandasi pengetahuan berupa hidayah dan keimanan.
Dengan diksi lain, akhlak Al-Qur’an adalah pengetahuan hebat yang
dimiliki seseorang yang waras pikirannya secara lahir batin, dan
pengetahuannya itu kemudian menjadi landasan amal kebajikan yang
dikerjakan dengan mudah dan terus-menerus tanpa paksaan. Kondisi ini
bila terjadi pada seseorang, dia telah mengalami yang disebut kesadaran
akhlak. Uraiannya secara detail dapat dilihat dalam penjelasan tentang
hirarki pengetahuan dalam Islam.
133
Ibid., 599
134
Ibid.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


165

C. Hirarki Ilmu dan Kesadaran tentang Akhlak


Pengetahuan dalam Islam sebagaimana gambaran pada lafal-lafal
yang disebutkan dalam Al Qur’an, memiliki empat tingkatan, yaitu:
pertama, ‘ilm (al-Baqarah: 42) dan ma’rifah (al-Baqarah: 89); kedua,
fahm (al-Anbiya’: 79); ketiga, fiqh (al-An’am: 65); serta keempat, hudā
dan hidāyah (al-An’am: 90). Paling tidak berdasarkan ayat Al Qur’an
yang disertakan di atas, pengetahuan tingkatan pertama adalah
pengetahuan yang berupa pengetahuan belaka, tidak memberikan
kesadaran tindakan, baik untuk memberitahukan kepada orang lain,
ataupun diamalkan untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, pengetahuan
ini dimiliki seseorang, tetapi tidak dilanjutkan kepada pengamalan, dan
juga tidak berdampak melahirkan kesadaran mengamalkan.
Pengetahuan tingkatan kedua adalah pengetahuan dengan
pengamalan. Tetapi, penerapannya tidak terus-menerus. Pengetahuan
pada level ini diamalkan, tetapi orang berpengetahuan yang
mengamalkannya entah karena kesibukan atau kerumitan
mengamalkannya secara istiqamah, tidak mampu mengamalkan secara
konsisten dan persisten. Pengetahuan pada tingkatan ini, meski sudah
disertai pengamalan, karena tidak dikerjakan terus-menerus, juga tidak
berdampak kepada kesadaran akhlak.
Pengetahuan tingkatan ketiga juga merupakan pengetahuan dengan
pengamalan. Perbedaannya ada pada pengamalannya yang terus-menerus.
Seseorang dengan pengetahuan tingkatan ketiga ini, memahami benar
pengetahuannya, mengamalkannya, dan berusaha mengamalkannya
dengan istiqamah. Tetapi, terkadang keistiqamahan dalam pengamalan
masih berupa rutinitas. Sehingga pengamalan pengetahuan belum menjadi
semacam kebutuhan yang disadari. Tetapi sebagai kebutuhan rutin saja.
Pengetahuan pada tingkatan ini juga belum melahirkan kesadaran sejati.
Pemiliknya baru mengamalkan pengetahuan, tetapi masih menjadi
kesadaran rutin saja.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


166

Pengetahuan tingkatan keempat adalah pengetahuan dengan


pengamalan yang istiqamah, disertai kebutuhan akan amalan dan
kerinduan berjumpa dengan tujuan amalan ini, yaitu Allah Swt. Pada
tingkatan ini, pengetahuan diamalkan bukan sekedar rutinitas, tetapi
dengan kesadaran makna rahasia akan kebutuhannya untuk selalu
berjumpa dengan Allah. Pengetahuan pada tingkatan ini adalah
pengetahuan dengan kesadaran. Orang berpengetahuan pada tingkatan ini
mengerjakan sesuatu bukan lagi untuk tujuan di luar kehendak dan ridla
Allah. Tujuannya hanya Allah semata. Orang berpengetahuan pada
tingkatan ini, berilmu, mampu mengajarkan, mengamalkan,
mengamalkan dengan istiqamah, mengamalkan dengan kesadaran
kebutuhan, serta kemampuan memberikan uswah ḥasanah (teladan yang
baik). Karena itulah, orang dengan kemampuan ini memiliki kecerdasan
komprehensif135 dan holistik136, yaitu: Intelligent Quotion (IQ), Emotional
Quotion (EQ) dan Spiritual Quotion (SQ). Inilah yang disebut dengan
orang berpengetahuan dengan kesadaran akhlak.
Dalam. Al Ahzab: 21 disebutkan bahwa kecerdasan komprehensif
dan holistik berupa kemampuan memberikan contoh yang konsisten,
dengan kematangan pengetahuan, emosi dan sikap berorientasi kepada
masa depan itu ada pada diri Rasulullah Muhammad Saw. Bagaimana
menjelaskan kemampuan memberikan uswah ḥasanah bisa disebut
sebagai kecerdasan komprehensif dan holistik? Persoalan ini bisa dijawab
dengan contoh perilaku Rasulullah Saw., dan kemudian dianalisa
bagaimana hal itu bisa disebut sebagai kecerdasan komprehensif dan
holistik. Contoh paling masyhur adalah kisah teladan shalat malam yang

135
Disebut komprehensif karena penyebutannya harus menyertakan keseluruhan
kekuatan kecerdasan yang ada. Jadi, kecerdasan komprehensif maksudnya adalah
kecerdasan berupa IQ, EQ, dan SQ.
136
Disebut holistik karena pada penerapannya dan aktualitasnya pada diri seseorang
dan relasinya dengan medan aktifitasnya harus berjalan secara berbarengan, tidak
terpisah dan dibuat terpisah. Seseorang yang memiliki kecerdasan holistik dengan
demikian dia cerdas secara IQ, mampu menjaga dan mengatur emosinya, mengamalkan
apa yang menjadi pengetahuannya dan dapat memberi contoh dan menjadi trend setter
yang diikuti. Terminologi yang tepat menurut Al Qur’an untuk disematkan pada orang
berkecerdasan komprehensif dan holistik adalah muttaqūn.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


167

dilakukan beliau hingga kakinya bengkak sebagaimana diriwayatkan oleh


Aisyah ra.137 Ketika ditanya kenapa melakukan hal ini, padahal sudah
dijamin diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.
Beliau menjawab bahwa tidakkah dirinya menjadi hamba yang bersyukur.
Orang yang yang sudah dijamin dengan keistimewaan tertentu, tetapi
berpikir hanya untuk dunia dan dirinya sendiri, tidak akan pernah
mengerjakan sesuatu dengan rajin. Dia, dengan jaminan itu, selalu
beranggapan mengerjakan atau tidak mengerjakan sama saja. Orang
tersebut pasti memilih bermalas-malasan. Rasulullah Saw., bukanlah
oportunis dan egois yang hanya memikirkan diri sendiri, tanpa
memikirkan umat dan masa depannya.
Pengetahuan beliau tentang shalat qiyām al-lail pastinya tidak
tertandingi. Pengetahuan itu diamalkan. Tidak sekedar mengamalkan
biasa, beliau bahkan mengamalkan tiap malam secara istiqamah. Demi
bersyukur kepada Allah, Nabi Muhammad, seorang pemimpin nan
sederhana itu, tetap melakukan shalat qiyām al-lail hingga kakinya
bengkak. Beliau ingin memberikan contoh, bahwa tujuan melakukan
shalat qiyām al-lail bukan duniawi, bukan sekedar pahala, bukan sekedar
rutinitas menjalankan ibadah untuk tujuan tertentu yang egosentris. Justru
beliau ingin memberikan contoh, keteladanan tentang penghayatan
pengamalan sebuah ibadah. Pada aspek terakhir ini, tidak hanya
membutuhkan kematangan pengetahuan dan emosi serta spiritualitas yang
masing-masing berdiri sendiri, melainkan kematangan tiga komponen
kecerdasan itu dapat berfungsi sekaligus pada suatu waktu yang
bersamaan.
Dengan kata lain, kecerdasan komprehensif dan holistik orang yang
memiliki kemampuan uswah ḥasanah ini adalah kecerdasan yang lahir
dari pengetahuan tertinggi (iman, hidayah dan huda) dengan
mengkombinasikan secara bersamaan dari kecerdasan intelektual,

َ ْ ‫الله َأ َت‬
‫ص َن ُع َهذا‬
َّ َ ُ َ ُ َ َ ْ َ َ ُ َ ْ َّ َ َ َّ َ َ َ َّ َ َ َّ ُ ُ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ
ِ ‫ ِإذا صلى قام حتى تفط َر ِرجَله قالت عا ِئشة يا َرسول‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫عن عا ِئشة قالت كان َرسول الل ِه‬
ُ ُ َ َ َ َ ُ
ً ‫ال َيا َعائ َشة أفَل أكو ُن َع ْب ًدا َشك‬ َ َ
َ ‫َو َق ْد ُغ ِف َر َل َك َما َت َق َّد َم ِم ْن َذ ْنب َك َو َما َت َأ َّخ َر ف َق‬
.‫َرواه مسلم‬.‫ورا‬ ِ ِ

Risalah Akhlak Islam Filosofis


168

kecerdasan rasa, dan kecerdasan spiritual. Orang yang bisa menerapkan


ini hanya ada tiga, yaitu: pertama, orang yang dianugerahi uswah
ḥasanah, yaitu Rasulullah Muhammad saw; kedua orang yang punya
harapan jauh ke depan, yaitu orang yang berharap hanya kepada Allah
dan hari akhir; dan ketiga orang yang selalu banyak mengingat Allah swt.
Orang yang pertama adalah orang yang dianugerahi langsung oleh Allah
berupa kecerdasan komprehensif dan holistik, sedangkan orang yang
kedua dan ketiga adalah mereka yang diberi kesempatan oleh Allah swt
meneladani kecerdasan komprehensif dan holistik dari Rasulullah saw.
Harapan itu adalah sesuatu yang terkait dengan masa depan.
Harapan yang menjanjikan adalah berharap dari Yang Maha Menguasai
segalanya, demi memperoleh masa depan sejati, yakni kebahagiaan di
akherat yang pasti terjadi. Supaya harapan tentang masa depan itu
menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan (mutqin), seseorang yang
berharap itu harus terus mengingatnya sebanyak mungkin, menjadikannya
prioritas dalam hidupnya dan berusaha menggapainya sebagai cita-cita
tertinggi dalam hidupnya.
Jadi, kesadaran akhlak tumbuh dari fondasi pengetahuan.
Pengetahuan yang dapat memandu kesadaran akhlak adalah pengetahuan
yang lahir dari orang yang memiliki kecerdasan komprehensif dan
holistik. Pengetahuan yang lahir dari seseorang yang selalu fokus pada
kematangan teoritik, kematangan rasa dan terapan, serta kematangan
emosi dan kekuatan spiritual.

D. Kesadaran tentang Akhlak Harus Berfungsi di Ruang Publik


Kesadaran tentang akhlak itu harus bersifat sosial atau publik. Ibn
Miskawih berpendapat bahwa pada akhirnya, meskipun akhlak itu bersifat
individu, dalam konteks kesadaran akhlak yang terpenting berfungsinya

Risalah Akhlak Islam Filosofis


169

akhlak tersebut dalam ranah sosial atau ranah publik.138 Akhlak harus
menjadi kesadaran individu, yang ruang uji penerapannya ada di ruang
sosial atau ruang publik. Secara individu seseorang mungkin disebut baik
karena berakhlak yang baik. Selanjutnya dalam konteks kesadaran akhlak,
seseorang harus menindak-lanjutinya dalam pembuktian di publik apakah
dia punya integritas untuk tetap memiliki kesadaran akhlak dengan isyarat
mudah dalam melakukan kebajikan atau tidak.
Hal lain yang terkait dengan kesadaran akhlak di ruang publik
adalah kepedulian seseorang dengan kesadaran akhlak yang bersifat
publik itu terhadap pembentukan kesalehan publik. Pembentukan
kesalehan publik ini bisa dilakukan dengan tiga langkah, yaitu: pertama,
memberikan keteladanan individual. Keteladanan individual secara
publik139 ini penting dilakukan agar subjek kesadaran akhlak itu memiliki
integritas untuk melakukan langkah kedua dan ketiga.
Kedua, memberikan kepedulian terhadap orang tanpa melihat latar-
belakang identitasnya. Subjek kesadaran akhlak ini peduli pada kesalehan
sekitar dengan memerhatikan dan memberikan pertolongan kepada siapa
saja yang membutuhkan untuk kemanusiaan. Pada poin kedua ini,
seseorang dengan kesadaran akhlak adalah orang yang peduli terhadap
sekitar. Dengan kepedulian terhadap sekitar, dia mendapatkan legitimasi
untuk melakukan pembentukan kesalehan publik.140 Ketiga, mengajak
individu dengan kesadaran akhlak individual untuk melakukan langkah
pertama dan kedua.141 Pada poin ini, kesadaran akhlak bersifat publik,
karena setiap individu dengan kesadaran akhlak melakukan amar makruf

138
TC De Boer, The History of Philosophy in Islam, terj. Edwards R. Jones (New
York: Dover Publication, 1962), 130-131
139
QS. Al-Ahzab: 21, tentang uswah hasanah.
140
Poin ini menjelaskan tentang hikmah tafsir QS. Al-Ma’un. Bahwa kepedulian
terhadap sekitar, membuat seseorang yang beragama dan saleh individual tidak
dikategorikan sebagai pendusta agama.
141
Saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran dalam memraktekkan secara
publik kesadaran akhlak adalah ciri khas subjek dengan kesadaran akhlak telah
melakukan uji publik kepeduliannya terhadap sekitar. Ini adalah hikmah dari QS. Al-
‘Ashr.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


170

nahyi munkar142 secara bertahap, dengan maksud untuk berkontribusi


terhadap pembentukan khairu ummah143 dan tentu dengan metode yang
bijaksana (bi al-ḥikmah) dan nasehat yang baik (al-mau’iẓah al-
ḥasanah).144
Rasulullah saw disebutkan memiliki akhlak agung, karena secara
individu punya integritas melaksanakan kebajikan dengan sangat ringan
dan mudah, begitupula secara publik (al-Qalam: 4). Misalnya, beliau saw
sangat mudah untuk menahan marah, sangat pemurah dan tidak pelit,
sangat ramah terhadap siapapun baik dalam pernyataan ataupun
perbuatan, sangat menghindari memutus shilaturrahim, menghindari
menggampangkan perjanjian terhadap orang lain, dan sangat toleran
terhadap orang lain yang ingin memenuhi haknya.145
Jadi, kesadaran akhlak tidak hanya menyangkut individu, tetapi
harus juga dibuktikan uji intergritas secara publik. Seseorang yang
berakhlak secara individu, belum tentu memiliki kesadaran akhlak secara
publik sebelum teruji benar integritasnya. Oleh karena itu, Al-Ghazali
dalam Bidāyah al-Hidāyah menyebutkan bahwa dalam beradab yang
basisnya adalah pengetahuan harus ditunjukkan dengan adab secara zahir
dan batin. Maksudnya, melakukan kebajikan itu harus disertai kesadaran
akhlak zahir dengan memaksimalkan apapun yang terbaik untuk
dilakukan, serta harus disertai kesadaran akhlak batin dengan niat tulus
lillahi ta’ala. Pada satu sisi, seseorang harus maksimal dalam melakukan
kebajikan untuk orang lain, dan juga dalam beribadah kepada Allah swt
pada sisi yang lain, seseorang juga harus terus-menerus merasa lebih
kurang maksimal dibandingkan orang lain dalam melakukan kebajikan
yang terbaik, sehingga dia tidak pernah berhenti meningkatkan amal
bajiknya hingga akhir hayatnya (QS. al-Hijr: 99). Dilanjutkan, dia harus

142
QS. Ali Imran: 104.
143
QS. Ali Imran: 110.
144
QS. Al-Nahl: 125.
145
al-Razi, Mafatih al-Ghayb, 106

Risalah Akhlak Islam Filosofis


171

terus-menerus menjaga niat amal bajiknya itu hanya untuk mendapatkan


ridla Allah semata.146
Dalam proses menjaga integritas di ruang publik, setiap jiwa
biasanya mendapatkan bisikan, dorongan dan arahan keburukan (fujur)
dan kebaikan (taqwa). Seperti apakah bisikan tersebut dan bagaimana
bisikan itu terjadi?

E. Ilham Fujūr dan Taqwa


Dalam QS. Al Syams: 8, setelah bersumpah dengan alam semesta
dan penciptaan jiwa (manusia), Allah menegaskan bahwa Dia memberi-
kan ilham atau mengilhamkan ide keburukan (fujūr) dan kebaikan (taqwa)
kepada jiwa (manusia). Allah menampakan kepada manusia dua jalan,
yakni jalan keburukan dan kebaikan. Artinya manusia secara sadar
dengan akal dan kebebasannya diberikan kebebasan untuk memilih.
Deskripsi tentang ilham tidak bisa dilepaskan dari pengalaman yang
diterima secara langsung baik dalam bentuk keburukan ataupun kebaikan
oleh manusia dalam kesadaran akal dan kebebasan memilihnya itu.
Menariknya adalah keburukan disebutkan terlebih dahulu. Jawaban
singkatnya karena hawa nafsu yang melekat pada diri manusia senantiasa
lebih cenderung kepada keburukan.

Kata hawā dalam Al-Qur'an dominannya memang bermakna


dorongan keburukan, di antaranya: QS. Al Baqarah: 145; QS. Al Maidah:
77, dan lain-lain). Hanya sekali yang bermakna kebajikan (QS. Ibrahim:
37). Berbeda dengan alhama (‫ )إلـهام‬bermakna fifty-fifty—kadang buruk
atau baik (Al Syams: 8). Lafal nafsu, baik dalam bentuk nakirah dan
makrifah mufrad, jamak, dan iḍāfah dengan ḍamīr muttaṣil, secara umum

146
Abu Hamid Al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-
‘Arabiyah, tt), 5. Lihat juga Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarh Maraq al-Ubudiyah
‘ala Matan Bidayat al-Hidayah (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt), 5-6.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


172

sebagaimana disebut dalam Al Qur’an memiliki makna: jiwa, diri,


kehidupan, jamaah, keluarga, dan seterusnya. Makna nafsu dalam Al-
Qur'an menyiratkan kata buruk dan baik. Oleh karena itu, dalam segala
arena dan bidang, kata nafsu berposisi netral untuk keburukan dan juga
kebaikan. Lafal hawa ketika dikaitkan dengan lafal nafsu memiliki
dorongan keinginan yang lebih cenderung berorientasi kepada keburukan.
Secara kategoris, nafsu memiliki empat makna. Dua bermakna
buruk, dan dua lainnya bermakna baik. Yang buruk adalah nafsu
ammārah dan nafsu lawwāmah. Sedangkan yang baik adalah nafsu
muṭmainnah dan nafsu musawwalah. Tentang nafsu ammārah dan
lawwāmah, al-Qur'an menyebut dalam Yusuf: 53 dan Al-Qiyamah: 2.
Sedangkan tentang nafsu muthmainnah dan musawwalah disebutkan
dalam Al-Fajr: 27 dan Yusuf: 83.
Menurut Al-Bagawi dalam Tafsīr Al-Bagāwi,147 "Setiap nafsu pasti
mengarah kepada dorongan salah dan kekeliruan. Untuk terhindar dari
itu, nafsu harus menyucikan dirinya terus-menerus, dengan cara
mendekat kepada rahmat Allah." Rahmat di sini oleh Al-Bagāwi
dimaknai sebagai perlindungan dari Allah swt.
Senada dengan Al-Bagawi, Al-Qusyairi148 berpendapat bahwa
"Jiwa yang sedang dalam kesendirian selalu dibisiki keburukan dan ada
dorongan untuk mengkhianati kesucian diri ilahiyahnya. Karena itulah,
ketika dalam kesendirian, nafsu hanya bisa selamat dari kekeliruan ketika
mendapatkan rahmat Allah Swt. Yaitu, rahmat berupa munculnya sikap
syukur dan karena itulah nafsu ini kemudian memperoleh permaafan dari
Allah Swt." Tafsir Al-Zamakhsyari149 menegaskan pemaknaan dua tafsir
sebelumnya. Namun, dorongan keburukan yang diurai Al-Zamakhsyari
lebih bersifat khusus, yaitu dorongan syahwat terhadap lawan jenis.

147
Al-Baghawi, Tafsīr al-Bagāwi, Juz 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Rabiy, 1420
H), 496.
148
Al-Qusyairi, Laṭāif al-Isyārāt (Mesir: Al-Haiah Al-‘āmah Li Al-Kitāb, tt), 190
149
Al-Zamakhsyari, Al-Kasyāf (Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Arabī, 1407), 659.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


173

Tentang nafsu lawwāmah, ketiga mufassir di atas memaknai dengan


makna senada. Yaitu, nafsu yang cenderung mengutuki kebaikan dan
keburukan terkait dirinya, serta tidak sabar terhadap kesenangan dan
kesusahan yang dialaminya. Nafsu lawwāmah ini kemudian menyesali
dengan pengandaian apa yang sudah berlalu terjadi, seolah tidak ridla
dengan keputusan Allah swt.
Dari makna dua kelompok nafsu buruk di atas, terlihat bahwa
sebenarnya nafsu dalam pengertian diri (manusia) itu memiliki potensial
yang cenderung bisa sangat baik bila mendekat rahmat Allah dan tidak
menyesali apa yang telah lampau terjadi dengan mengutuki diri sendiri.
Nafsu ini akan berada dalam kebaikan bila selalu mengikuti rahmat Allah
dan terus mengikuti kesabaran yang memang harus dijalaninya dengan
baik. Itulah gambaran kebalikan dari dua kelompok nafsu sebelumnya
yang bersifat buruk. Yaitu, gambaran dua nafsu kebaikan, yaitu: nafsu
muṭmainnah dan musawwalah. Nafsu muṭmainnah adalah nafsu yang
selalu ridla terhadap apa yang dijalaninya sebagai keputusan Allah, dan
Allah kemudian ridla terhadapnya. Lalu yang muncul adalah performa
ketenangan padanya. Ditambah nafsu musawwalah. Nafsu yang selalu
bersabar mengikuti perintah Allah dalam keadaan apapun.
Dalam kaitan akhlak, menyucikan diri (tazkiyah al-nafs) adalah
upaya siap sedia menerima ilham kebaikan; sebaliknya mengotori jiwa
(tadsiyah al-nafs) akan membawa kepada kerugian yang berarti kesediaan
menerima ilham keburukan.
Ketika menafsirkan al-Syams: 1-10, al-Razi mengatakan, maksud
firman Allah tersebut adalah untuk mengingatkan manusia agar selalu
mencintai ketaatan dan menghindarkan diri dari kemaksiatan. Jalan
ketaatan membawa kesuksesan lahir batin dunia akherat, sedangkan
kemaksiatan membawa kesengsaran lahir batin dunia akhirat. Peringatan
ini diharapkan menjadi pengetahuan ruhani yang menyadarkan manusia
untuk selalu dekat dengan kebajikan dan menjauhi kemaksiatan.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


174

Dengan demikian, kesadaran akhlak itu adalah pengetahuan ruhani


seorang hamba yang dapat memahami dengan konsisten petunjuk Allah
agar dia mencintai ketaatan dan menghindari kemaksiatan. Kendati
demikian, ketika seorang hamba ini terlanjur terjerembab ke dalam
kemaksiatan, atau ketaatan yang tidak diniatkan lillāh, dia segera
mengingat Allah, meminta ampun kepada-Nya, dan menjadikannya
sebagai kesempatan untuk selalu mengingat dan mendekat kepada-Nya.
Intinya, kesadaran akhlak adalah kesadaran seseorang untuk terus-
menerus berbuat kebajikan dan berusaha berbuat kebajikan, menghindari
maksiat, dan ketika terjebak dalam maksiat, bersegera mohon ampunan
kepada Allah. Ini adalah kesadaran tazkiyah al-nafs (berusaha
menyucikan diri terus-menerus), melawan bujukan tadsiyah al-nafs
(keterjebakan tiada henti dalam kekotoran jiwa).
Allah menggunakan sumpah yang dikaitkan dengan alam semesta
(matahari, rembulan, siang malam, langit bumi), agar manusia ingat
bahwa mereka hidup numpang di alam semesta yang diciptakan Allah swt
ini. Hanya jalan ketaatan yang seharusnya dilakukan agar mendapatkan
ridla Allah swt. Tantangannya memang ada pada keterombang-ambingan
jiwa manusia dalam dorongan mengikuti hawa nafsu atau kemurnian
jiwa. Mengikuti jalan tadsiyah al-nafs atau tazkiyah al-nafs. Mengikuti
ilham kedurjanaan atau ilham ketaqwaan. Pilihan-pilihan yang tersedia ini
membuat seseorang terombang-ambing dalam konflik nilai.

F. Konflik Nilai: Kebaikan vs Keburukan


Telah disebutkan di atas, bahwa basis kesadaran akhlak adalah
pengetahuan tertinggi. Teori ini sejatinya menegaskan tentang keterkaitan
logis dan praksis antara proses pengetahuan (epistemologi), medan objek
pengetahuan (ontologi), dan nilai (aksiologi). Dengan perolehan
pengetahuan tentang berbagai informasi di ruang publik (proses relasi
epistemologi-ontologi) pada seseorang, memungkinkannya memiliki
pilihan, mengerjakan dan mengeksekusi pelaksanaan informasi itu atau

Risalah Akhlak Islam Filosofis


175

tidak. Secara umum, kesadaran akhlak berada dalam bingkai pelaksanaan


informasi itu. Kesadarannya berada dalam ruang kebaikan dan keburukan.
Konflik nilai terjadi sejak pada proses relasi epistemologi-ontologi,
dan kemudian pada aksiologinya. Informasi yang diperoleh seseorang
memiliki dua kategori nilai, yaitu: baik dan buruk. Jadi, pada fakultas
informasinya sendiri bisa bernilai baik atau buruk. Sedangkan pada proses
aksiologisnya ada dua varian pada empat kesadaran. Varian pertama
memiliki nilai informasi baik. Padanya muncul konflik dua kesadaran,
yaitu: pertama, kesadaran baik berupa bersemangat mengerjakan
informasi baik itu; dan kedua, kesadaran buruk berupa keengganan
bahkan mencemooh informasi yang bernilai baik sebagai informasi tidak
berguna.
Varian kedua memiliki nilai informasi buruk. Padanya muncul
konflik dua kesadaran, yaitu: pertama, kesadaran baik berupa usaha
sekuat tenaga menghindarinya; kedua, kesadaran buruk berupa
terjerembab ke dalam kubangan informasi yang buruk ini.
Dalam konflik nilai, proses relasi epistemologi-ontologi-aksiologi
menjadi penting diamati pada seseorang. Penentu konflik nilai itu ada
pada pengetahuannya. Varian pertama atau kedua dari informasi yang
disebutkan di atas agar supaya dimenangkan oleh kesadaran baik dalam
konflik nilai itu, diperlukan upaya epistemologis. Upaya epistemologis
yang bermuara kepada tazkiyah al-nafs, bukan tadsiyah al-nafs (As-
Syams: 8).
Ada runtutan konflik nilai antara dua kelompok nilai yang
dijelaskan sangat gambling oleh Al Qur’an. Poros sumbunya ada pada
pengetahuan yang terletak di hati (qalb) yang secara bahasa memiliki
fungsi sebagai terminal netral yang bolak-balik sistem kerjanya.150 Dalam
kaitan ini manusia dengan hatinya berada dalam dua wilayah konflik
nilai, yaitu: pertama, kufur dan kedua, iman. Kufur sebagai pengetahuan

ْ ْ َ َ ُّ ُ ْ َ َ َ ُّ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ً َ ْ ُ َ َ ْ َّ َ َ َ 6
َ‫َأَل َو ِه َى ال َقل ُب‬. ‫ َوِإذا ف َس َد ْت ف َس َد ال َج َس ُد كل ُه‬، ‫صل َح ال َج َس ُد كل ُه‬ ‫أَل وِإن ِفى الجس ِد مضغة ِإذا صلحت‬ 0

(HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


176

hati berimplikasi kepada beberapa sikap berikut: tertutupnya alat-alat


pengetahuan (hati, pendengaran, penglihatan, dan perasaan), perilaku
kemunafikan, perilaku merusak, perilaku plin-plan, perilaku oportunis,
enggan menerima kritik dan kebenaran.151 Adapun iman sebagai
pengetahuan hati berdampak kepada beberapa sikap berikut: taqwa, sabar,
syukur; islam, taat, tawakkal; dan ihsan, muṣliḥ, ikhlas.
Kufur, dalam konteks kerja dan proses epistemologis dengan
kesadaran akhlak, memiliki strutur pengetahuan sebagai berikut:
pengetahuan ingkar dan pengingkaran, pengetahuan ketakpedulian,
pengetahuan keangkuhan, pengetahuan kesombongan, pengetahuan
enggan berterima kasih, pengetahuan egosentrisme dan merusak alam
semesta, pengetahuan ceroboh dan selalu memihak kedurjanaan. Selaras
dengan keterangan al-Baqarah: 6-20. Gambaran tentang komunitas
angkuh, tak peduli dan psikopat.
Sebaliknya, iman, dalam konteks kerja dan proses epistemologis
dengan bingkai kesadaran akhlak, memiliki struktur pengetahuan sebagai
berikut, yaitu: pengetahuan ketaatan, pengetahuan penyesalan,
pengetahuan akan ampunan, pengetahuan zikir, pengetahuan akan alam
semesta dan realitas, pengetahuan untuk menjadi komunitas yang secara
pengetahuan-kesadaran-tindakan selalu berada dalam kebaikan dan
memihak kebaikan. Kerja dan proses epistemologis ini selaras dengan
gambaran QS. Ali Imran: 190-192. Komunitas ini dalam bahasa Al
Qur’an disebut Ulul Albāb. Komunitas yang diberi potensial oleh Allah
Swt., menjadi pemenang dalam pertarungan nilai antara kebaikan dan
keburukan.

G. Ulul Albāb: Pemenang dalam Pertarungan Nilai


Ada dua kata kunci, kenapa ulul albab sebagai pemenang dalam
pertarungan nilai. Dua kata kunci tersebut adalah pertama, pengetahuan

151
QS. al-Baqarah: 6-20

Risalah Akhlak Islam Filosofis


177

sejati berbasis tadabbur dan tafakkur; dan kedua doa ulul albāb agar
dikelompokkan sebagai anggota komunitas al-abrār.
Friedrich Nietzsche (1844-1900), filosof Jerman, mengatakan,
bahwa kehendak (murni) akan menghantarkan kepada kekuasaan, sebagai
pemenang (the will to power). Michel Foucault (1926-1984), filsuf
Prancis, mengikuti pernyataan Nietzsche mengatakan, dengan kekhususan
pengetahuan, yakni, pengetahuan akan sesuatu akan menghantarkan
seseorang kepada kekuasaan, sebagai pemenang (knowledge to power).
Dalam sejarah politik, ekonomi, sosial, budaya dan kepemimpinan,
kehendak dan kemauan murni serta pengetahuan telah menghantarkan
seseorang ke dalam lingkar kekuasaan.
Raja sekaligus Nabi, bapak dan putera, yaitu, Daud dan Sulaiman
as., merupakan penguasa yang memiliki beragam ilmu, keahlian, bahkan
penguasaan atas jin dan kemampuan bercakap-cakap dengan binatang.
Tidak hanya kehendak, pengetahuan, relijiusitas syukur, membuatnya
memperoleh derajat kekuasaan yang tak tertandingi. Rasulullah
Muhammad Saw., sendiri adalah seseorang yang cerdas lahir batin, punya
pengetahuan yang langsung dari Allah, sehingga visi pengetahuannya
jauh ke depan.
Ulul albāb sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an merupakan
individu yang memiliki beragam pengetahuan. Al-Razi mengatakan
dalam Mafātiḥ al-Gaib ketika turun Ali Imran: 190, Rasulullah saw
malam itu minta ijin kepada Aisyah ra., untuk shalat malam dulu sebelum
berangkat tidur. Ketika shalat malam, pada setiap perubahan gerakan
shalat, beliau saw menangis tersedu-sedan, sampai lantai di kamarnya
basah. Aisyah kemudian bertanya, “Kenapa Engkau menangis wahai
kekasih Allah, sementara dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang
diampuni Allah.” Rasulullah saw menjawab: tidakkah aku menjadi
hamba yang bersyukur. Ketika shalat tadi, dan hingga saat ini,
bagaimana mungkin aku tidak menangis, ketika Allah menurunkan wahyu
bahwa dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


178

malam terdapat tanda-tanda bagi ulul albab. Aku menangis karena sekali
kita lalai tidak mencermati proses alam semesta itu, sesungguhnya kita
tidak termasuk ulul albāb.
Pengetahuan ketaatan ulul albāb ini, lahir dari perenungan alam
semesta. Pengetahuan penyesalan telah melakukan dosa ulul albab ini,
tumbuh karena merenungi alam semesta. Pengetahuan zikir dan
ibadahnya yang sedu-sedan dengan tangisan, lahir dari perenungan alam
semesta. Ulul albāb selalu melakukan tadabbur dan tażakkur terhadap
alam semesta dan al-Qur’an. Tadabbur dan tażakkur terhadap alam
semesta dan al-Qur’an sebagai objek pengetahuan serta sumber
pengetahuan. Sumber data dan informasi.
Secara ringkas, data dan informasi al-Qur’an bisa diklasifikasi
menjadi dua, yaitu: soft and hard data. Yang soft data berupa ilmu
pengetahuan dan kalimat tauhid, sedangkan yang hard data berupa hukum
resiko dan sikap mental atau akhlak.
Yang membedakan Nabi Adam dan para malaikat adalah
tersedianya atau diberinya perangkat ilmu pengetahuan berupa nama-
nama tentang segala sesuatu di alam semesta. Tuhan alam semesta
mengajari Nabi Adam nama-nama segala sesuatu yang ada di alam
semesta sehingga mampu memetakan dan menjabarkan informasi atau
data penting di alam semesta; sesuatu yang tidak diajarkan kepada para
malaikat dan iblis. Informasi mengenai nama-nama ini menjadi perangkat
ilmu pengetahuan bagi Adam, sehingga dia mampu memanfaatkan data-
data itu untuk mengerjakan program ‘pengabdiannya’ dengan baik. Jadi,
ilmu pengetahuan merupakan soft data pertama dari data dan informasi
yang dikandung oleh Al Qur’an.
Sang pemilik data baik zahir (yang tertulis) ataupun batin (cloud)
adalah Tuhan semesta alam. Hal ini menegaskan dua hal: pertama, yang
memahami alur, maksud dan masa depan data itu berimplikasi apa di
masa depan adalah Tuhan. Kedua, data dan informasi paling tinggi derajat
keistimewaannya adalah kalimat tauhid. Dalam kaitan ini, ketika

Risalah Akhlak Islam Filosofis


179

berinteraksi dengan al-Qur’an, dan kita kemudian memperoleh data dan


informasi dari al-Qur’an berupa ilmu pengetahuan, harus ditambahi
dengan soft data kedua dari data dan informasi al-Qur’an yaitu kalimat
tauhid. Data berupa kalimat tauhid yang menghunjam dalam sanubari dan
otak otomatis, akan men-drive siapa saja kepada upaya memanfaatkan
data berupa ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi
alam semesta kemanusiaan. Sebagai puncak data dan informasi al-Qur’an,
kalimat tauhid merupakan pintu gerbang utama menuju dua hard data dari
data al-Qur’an berikutnya, yaitu: hukum resiko dan sikap mental atau
akhlak.
Data-data yang dikandung al-Qur’an secara makna juga memuat
hukum resiko dan sikap mental atau akhlak. Yang dimaksud hukum
resiko di sini adalah warning dan alert tentang dampak segala sesuatu
yang dikerjakan. Bagaikan hukum algoritma, warning dan alert dari data
al-Qur’an juga bersifat pasti. Yaitu, pasti melahirkan dampak yang
otomatis sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Jika baik, maka
berdampak baik bagi diri dan alam semesta. Sebaliknya jika buruk, akan
berdampak buruk juga.152 Data al-Qur’an seolah merekam diri yang
melakukan sesuai hukum resiko itu. Sama seperti pengakses youtube
ataupun mesin pencari lainnya, yang ditanam di dalamnya artificial
intelligent (AI) mesin pencari itu. Bila sang pengakses seringkali
berselancar mencari batu akik, notifikasi dan jejak digital yang direkam
oleh AI di mesin pencari itu adalah batu akik; jika yang diakses seringkali
murattal atau musik dangdut, jejak digital yang terekam adalah hal
serupa, dan seterusnya.
Kepada pengakses itu, selalu dimunculkan info tentang batu akik
atau murattal atau musik dangdut, setiap dia masuk ke dunia maya.
Begitupula, ketika sang pengakses suka mengakses pengajian dari aliran
tertentu, yang muncul sebagai notifikasi dan jejak digitalnya adalah
sesuatu yang sama. Pada diri orang ini, yang dalam rekaman makna al-

152
QS. al-Isra’: 7; dan QS. al-Rahman: 60.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


180

Qur’an lebih sering melakukan yang dilarang al-Qur’an, dampak dan


jejak digital di otaknya adalah otomatis hal yang serupa.
Dampak berikutnya adalah hard data yang kedua dari data dan
informasi al-Qur’an, yakni: sikap mental atau akhlak. Kesadaran
merenungkan berlakunya hukum risiko secara otomatis dalam sunnatullah
berdasarkan informasi al-Qur’an akan membawa orang pada sikap mental
yang baik, kreatif dan mungkin dapat memahami data al-Qur’an (makna)
secara komprehensif. Begitupula sebaliknya. Kegagalan merenungkan
hukum risiko secara otomatis dalam sunnatullah berdasarkan informasi
al-Qur’an akan membawa orang pada sikap mental yang buruk, merusak
dan semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah sekali lagi, al-
Qur’an sebagai data dan informasi itu bersifat karim (sangat mulia), dan
yang bisa memahaminya serta menggunakannya dengan baik adalah al-
Muṭahharūn, yaitu, yang disucikan lahir (dari ḥadaṡ kecil dan besar) dan
batin (syahwat, angkara murka, hasad, ujub, dan niat buruk). Hanya al-
Muṭahharūn inilah yang dapat melakukan tadabbur dan tażakkur
terhadap data al-Qur’an, dus mereka itulah ulul albāb.

H. Tadabbur dan Tażakkur


Untuk apa data yang melimpah itu, entah dengan cara dibaca,
dihafal, ataupun dinalar, tetapi, tidak didekati dengan pemahaman,
kepekaan serta modifikasi dan adaptasi kreatif tingkat tinggi dalam
mengikuti perubahan dan inovasi zaman! Data yang kita punya harus
menjadi konten sekaligus alat untuk mengarungi dunia dalam
kebermanfaatan lahir batin. Kebermanfataan ini harus bersifat luas, tanpa
sekat, dan pasti bergerak seiring dengan algoritma logika akal sehat,
inovatif dan kreatif. Kalau mengacu ke bahasa al-Qur’an, kebermanfataan
data dan informasi itu sama dengan keberkahan semesta (Shad: 29).
Yang menarik, ulul albāb memiliki permohonan khusus dalam
doanya sebagai al-abrār. Doa ini adalah permohonan untuk senantiasa
dimenangkan sebagai orang baik, meraih dengan cara baik, dan melewati

Risalah Akhlak Islam Filosofis


181

seluruh proses dengan cara yang baik. Apa sebenarnya yang diharapkan
ulul albab untuk menjadi bagian dari komunitas al-abrār? Dalam kaitan
dengan al-abrar sebagai bagian tak terpisahkan ulul albāb, kata kunci
yang bagus dijadikan teks dan konteks yang penting ditafsirkan dalam
rangka kontekstualisasi adalah zikir, fikir, dan tasbih. Zikir, fikir dan
tasbih harus bersifat aktual dan potensial. Dengan kata lain, zikir, fikir
dan tasbih harus melahirkan model generasi umat Islam, yakni: ulul albāb
yang al-abrār; atau model al-abrār yang ulul albāb. Ditambah lagi
dengan model karakter muḥsinin-muttaqin. Maka lengkaplah karakter-
karakter tersebut menjadi kata kunci konseptual tentang orang baik dan
kebaikan menurut al-Qur’an, yaitu: generasi pemenang yang konsen pada
gerakan ilmu, memiliki kesadaran diri akan Tuhannya (muttaqin), dan
inspirator sekaligus teladan kebajikan semesta (muḥsinin).
Ulul albāb sebagai bagian komunitas al-abrār membangun sistem
komunikasi kebajikan intensif. Sebuah ungkapan pasti memuat aspek apa,
siapa dan bagaimana. Demikian juga dengan Al Qur’an. 153 Dengan kata
lain, jika ujaran yang disampaikan sebagai kalimat sempurna yang dapat
dipahami, maka suatu ungkapan akan memuat: (i) apa pesannya (materi
pesan atau māddah); (ii) siapa penyampai pesannya (komunikator pesan
atau qā’il); (iii) siapa yang menjadi objek pesan (komunikan atau maqāl);
(iv) cara atau metode atau wasilah untuk mencapai tersampaikannya
pesan (thariqah); (v) apa yang hendak dicapai oleh disampaikannya pesan
(tujuan/maqāṣid).154

153
Tentang analisa Teori Komunikasi terhadap Al-Qur’an secara umum, silahkan
lihat Mashud, Komunikologi Al-Qur’an (Pendekatan Komunikasi Efektif dalam Tafsir
al-Mishbah), Disertasi Paskasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2018, diajukan untuk
memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar doktor dalam Program Studi Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir.
154
Tentang analisa komunikasi tersistem terhadap suatu ujaran, terutama terkait
dengan konsep al-Abrar, penulis memperoleh dari penjelasan dan kuliah tentang
Komunikasi al-Qur’an yang disampaikan oleh Prof. Dr. Aswadi, M.Ag., Direktur
Paskasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, pada saat penulis konsultasi di kelas S3 IQT
2018/2019 pada 16 April 2019.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


182

Pesan utama yang hendak dikatakan adalah tentang orang baik dan
kebaikan yang melekat padanya. Menurut Al-Qur’an, pesannya tertinggi
adalah orang yang ketika dipanggil untuk memilih beriman di tengah
situasi rumit ataupun mudah, tetap terpanggil berkomitmen kepada
keimanan. Orang ini selalu memilih jalan ampunan Tuhan dan memihak
kepada jalan kebaikan, meskipun terus-menerus diberi cobaan jalan
keburukan; ditarik-tarik untuk mengikuti jalan kejelekan.155
Pesan tersebut hanya bisa dibawa oleh orang (komunikator atau
qā’il) yang kuat lahir batin; kuat secara akademik, stabil dalam emosi dan
istiqamah dalam spiritual. Dengan kata lain, orang yang mampu
membawa pesan ini hanyalah orang yang memiliki dan mampu
mengkombinasikan IQ yang tinggi, EQ yang stabil, dan SQ yang
konsisten. Dalam kesehariannya, orang ini adalah orang yang dalam dan
luas wawasan keilmuannya, mampu menerapkan keilmuannya dalam
keteladanan akhlak, dan ketaatan dan kerendahhatian yang kuat dan
konsisten terhadap Allah swt Dalam bahasa Al Qur’an, orang ini adalah
pribadi ulul albāb;156 pribadi yang mampu memberikan uswah ḥasanah
dalam segala aspek kehidupan (pribadi, keluarga, sosial-politik,
kebangsaan dan kenegaraan).157
Objek pesan ini (komunikan atau maqāl) adalah manusia secara
keseluruhan. Hal ini terkait dengan konsep al-abrār merupakan nilai
utama al-Qur’an. Sementara itu, al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh
umat manusia.158 Namun demikian, siapa yang mampu menangkap pesan
ini disebutkan hanya beberapa saja. Dengan kata lain, di antara
komunikan konsep ini menurut al-Qur’an yang mampu menangkapnya
sebagai pesan penting dan kemudian mengamalkannya dalam keseharian

155
QS. Ali Imran: 193.
156
QS. Ali Imran: 190-191.
157
QS. Al-Ahzab: 21.
158
QS. Al-Baqarah: 185.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


183

mereka tidaklah seluruh manusia. Hanya manusia-manusia terpilih saja.


Di antaranya adalah al-muttaqin159; al-aqwām,160 aṣ-ṣāliḥin.161
Dengan ragam konsep tentang al-muttaqin, al-aqwām dan aṣ-
ṣāliḥin yang disebutkan di dalam al-Qur’an, yang dapat disarikan
uraiannya, bahwa objek pesan (komunikan) yang mampu menangkap
pesan tentang ulul albāb adalah mereka selalu beriman dan beramal
saleh.162 Amal shaleh biasanya dikaitkan dengan rukun Iman dan rukun
Islam dan seluruh kebajikan umum untuk kemanusiaan,163 seperti adil,164
menolong sesama,165 berkiprah dalam sosial-kemasyarakatan-kenegaraan
dengan kontribusi yang melahirkan pencerahan dan kamajuan.166
Cara atau metode (ṭarīqah) yang dipergunakan al-Qur’an dalam
menyampaikan kebaikan adalah dengan dua cara: reward and punishment
dan metode penyampaian nasehat dan hikmah. Metode reward and
punishment adalah metode umum yang dipergunakan al-Qur’an untuk
menyampaikan pesan-pesan nilai dan ajarannya. Tentang konsep al-
Abrār, al-Qur’an tentu saja menjelaskan dengan metode reward.167 Dalam
sebuah ayat pembandingnya, al-Qur’an menyebutkan punishment bagi
siapa saja yang menentang dan berbuat sebaliknya dari konsep
kebajikan.168 Namun harap diingat, metode al-Qur’an selalu lembut,
penuh hikmah, manusiawi dan gradual.169 Bahkan, memberikan
kesempatan untuk memperbaiki diri dan pertobatan bagi yang pernah
menyimpang dari konsep kebajikan.170

159
QS. Al-Baqarah: 2.
160
QS. Al-Isra’: 9.
161
QS. Ali Imran: 113-114.
162
QS. Al-Isra’: 9; Ali Imran: 113-114.
163
QS. Al-Baqarah: 177.
164
QS. Al-Hujurat: 9.
165
QS. Al-Maidah: 2.
166
QS. Saba: 15.
167
QS. Al-Insan: 5; Ali Imran: 193 & 198; Al-Muthaffifin: 18 dan 22; serta Al-
Infithar: 13.
168
QS. Al-Muthaffifin: 7-17.
169
QS. Al-Nahl: 125.
170
QS. Al-Baqarah: 37; Al-Tahrim: 8.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


184

Akhirnya, konsep ulul albāb dan al-abrār ini memiliki paling tidak
lima tujuan (maqashid), yaitu: (i) pengetahuan tentang nilai kebaikan; (ii)
pengetahuan tentang orang baik; (iii) pengetahuan tentang kesadaran, cara
dan upaya mencapai kebaikan dan menjadi orang baik; (iv) pengetahuan
tentang reward and punishment tentang perbuatan baik dan buruk serta
perbuatan orang baik dan buruk; dan (v) pengetahuan tentang kesadaran
untuk selalu istiqamah mohon ampunan Allah dalam setiap kesempatan
baik yang dianugerahkan Allah kepada kita.
Sebagaimana disebutkan dalam bagian terdahulu bahwa
pengetahuan ulul albab dengan teori kesadaran akhlak harus diuji di ruang
publik, ulul albab beserta komunitasnya harus memiliki strategi
menghadapi apapun di ruang publik, baik berupa kebaikan atau
keburukan. Sehingga dalam pertarungan itu, ulul albāb tetap menjadi
pemenang.
Ulul albāb perlu berjuang dengan perspektif nafsu muṭmainnah dan
musawwalah dalam membangun tradisi perjuangannya. Ilustrasi
perjuangan Ibrahim dan Ismail, Musa dan Harun, serta Ya’kub dan Yusuf
dalam membangun kesadaran akhlak untuk memenangkan perjuangan
bisa dijadikan ilustrasi penting.
Dalam konteks nafsu kekuasaan baik dalam lingkup sosial, budaya,
ekonomi dan politik, kerusakan sistemnya dan dinamika
kepemimpinannya, sebagaimana diungkap dalam sejarah terjadi karena
nafsu kekuasaannya dijalankan oleh nafsu ammarah. Ilustrasi nafsu
ammārah ini dapat digambarkan sebagai nafsu yang selalu berbuat salah
secara berulang dan enggan memperbaiki dirinya; nafsu serakah
menguasai apapun kesempatan yang ada padanya untuk mengambil
keuntungan diri; dan nafsu yang digerakkan karena didorong ketertarikan
kepada lawan jenis. Dalam sejarah sosial, ekonomi, budaya dan politik
kekuasaan di manapun, ketika nafsu kekuasaan dinakhodai oleh nafsu
ammārah, apalagi ditambahi dengan nafsu lawwamah, biasanya akan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


185

menampilkan tanda-tanda kehancuran. Oleh karena itulah, nafsu


kekuasaan harus di-drive oleh nafsu muṭmainnah dan musawwalah.
Dalam Al-Qur'an gambaran sistem sosial, ekonomi, budaya dan
politik yang buruk, biasanya dinisbahkan kepada beberapa fakta
kekuasaan. Di antaranya: kekuasaan Namrud dan Fir'aun. Kekuasaan
Namrud digerakkan oleh nafsu angkara murka dan absolutisme. Ditandai
dengan kesemena-menaan dan anti kritiknya Namrud. Siapapun yang
kritis dan oposan terhadap Namrud, akan langsung dihabisi dengan
semena-mena dan tanpa ampun.
Sedangkan kekuasaan Fir'aun ditandai dengan absolutisme dan
kolaborasi teknokrat yang selfish serta hedonis (Hamman) dan bohir
(Qorun). Kekuasaan Fir'aun semakin menunjukkan absolutismenya
karena dia memaksa rakyatnya agar menganggapnya tuhan. Ditambah
sokongan teknokrat dan bohir, sempurnalah absolutisme Fir'aun.
Perlawanan Ibrahim, terhadap Namrud dan Musa-Harun. terhadap
Fir'aun dan kroninya menunjukkan adanya kesamaan visi strategis. Visi
strategis itu adalah perlawanan nafsu muṭmainnah dan musawwalah
terhadap nafsu ammārah dan lawwāmah.
Strategi mereka adalah strategi diplomasi dan ilmu pengetahuan.
Strategi diplomasi dan ilmu pengetahuan ini ditunjukkan dalam dialog
ketika Ibrahim As. ditanya tentang siapa yang menghancurkan patung-
patung itu. Ibrahim menjawab agar Namrud dan pengikutnya bertanya
kepada patung terbesar yang mereka anggap tuhan. Lalu mereka
menjawab dengan sesuatu yang justru menunjukkan kedunguan logika,
'mana mungkin patung itu bisa menjawab'. Terus kenapa harus disembah
(QS. al-Anbiya: 59-63). Logika ini menegaskan tentang strategi data dan
ilmu pengetahuan sebagai bentuk perlawanan.
Demikian pula yang dilakukan Musa-Harun as. Sama menggunakan
diplomasi dan ilmu pengetahuan. Diplomasinya adalah menyampaikan
kebenaran tauhid melalui lisan. Maka dikenallah doa Robbisyraḥ lī ṣadrī
(Thaha: 25-34). Adapun strategi ilmu pengetahuan adalah dengan tongkat

Risalah Akhlak Islam Filosofis


186

dan cahaya sebagai perlawanan terhadap ilmu sihir dukun-dukunnya


Fir'aun (al-A’raf: 115-119).
Di samping itu, mungkin perlu diurai juga strategi Ya'qub-Yusuf
dalam menggerakkan nafsu kebaikan (muṭmainnah dan musawwalah).
Strategi itu terurai dalam bingkai tauhid (al-Baqarah: 133), kejujuran dan
kesabaran dalam diam (Yusuf: 18) dan gerakan. Strategi pertama adalah
strategi keyakinan bahwa semua hal termasuk kekuasaan adalah milik
Allah. Keyakinan tauhid ini layak ditanamkan kepada siapapun agar
tujuan programtiknya adalah meraih ridla Allah. Strategi kedua adalah
gerakan kejujuran dan kesabaran melalui diam dan doa. Ya'qub. sungguh
tahu dan sudah diberitahu oleh Allah swt bahwa anak-anaknya berbohong
tentang Yusuf as. Tetapi, yang dilakukan Ya'qub adalah diam, bersabar
dan berdoa. Gerakan serupa ini pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi
dan berhasil melumpuhkan kekuatan digdaya Inggris. Strategi ketiga
adalah gerakan. Dalam gerakan ini memuat tiga hal: mencari informasi
sebanyak mungkin, menguatkan networking dan berkawan dengan
siapapun yang pintu politiknya berbeda-beda (Yusuf: 67).
Maka, sesungguhnya nafsu kekuasaan memang harus selalu
diarahkan dengan nahkoda nafsu muṭmainnah dan musawwalah. Karena
kalau tidak akan mengalami kerusakan, seperti sindiran al-Isra': 16.
Ketika Allah akan menghancurkan suatu negeri, cukuplah Dia biarkan
kebusukan dan kefasikan para pemimpin merajalela menyiksa dan
membungkam rakyatnya. Negeri itu lalu hancur sehancur-hancurnya.
Karena konflik nilai yang selalu terjadi dalam hitungan detik, uji
integritas di arena publik, merupakan salah satu sarana untuk
membuktikan bahwa kesadaran akhlak tidak hanya berhenti di lips service
belaka, melainkan konkret sampai ke level visi strategis. Kontrol diri dan
sosial juga merupakan media yang efektif untuk membangun kesadaran
akhlak itu. Wallahu a'lam.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


187

Tabel Kesadaran Akhlak

Poros Akhlak Hirarki Ilmu Sifat Perilaku


1. Keras Hati
1. Tertutup alat
2. Kemunafikan
pengetahuannya
3. Merusak
2. Plin-plan
4. Plin-plan
3. Pemarah
Kufur - 5. Oportunis
4. Oportunis
6. Enggan
5. Enggan
menerima
menerima kritik
kritik dan
dan kebenaran
kebenaran
1. Perusak alam
sekitar,
1. Keras hati
‘Ilm dan 2. Pemarah
Fisq 2. Suka marah
Ma’rifah 3. Enggan
3. Egois
menerima
kritik
1. ‘Ilm dan 1. Sabar,
Ma’rifah, 2. Syukur;
1. Muttaqi,
2. Fahm, 3. Taat,
Iman 2. Muslim
3. Fiqh, 4. Tawakkal;
3. Muhsin
4. Huda dan 5. Mushlih,
Hidayah 6. Ikhlas

Risalah Akhlak Islam Filosofis


188

BAB IX
RANGKUMAN

Setelah memperhatikan berbagai uraian dalam risalah ini, terdapat


beberapa hal yang perlu disampaikan secara ringkas. Oleh karena itu,
pada bab ini poin-poin pokok yang telah tertuang di dalam pembahasan
secara mendetil akan disampaikan secara ringkas dan sederhana. Tujuan-
nya adalah untuk mendapatkan gambaran ringkas tentang konsep akhlak
yang secara teoritis-filosofis telah diuraikan di bab-bab sebelumnya.
Tinjauan teoritis-filosofis memang “harus” menghadirkan
pembahasan yang rumit, mendalam, mendasar, dan menukik. Tentu
membutuhkan perhatian dan kegigihan khusus untuk dapat mencerna
penjelasan-penjelasan tersebut. Hadirnya sumber rujukan yang “melangit”
menambah energi untuk dapat mencernanya. Sebagai sebuah pembicaraan
yang menekankan kedalaman, tinjauan teoritis-filosofis adalah sebuah
keniscayaan. Akan tetapi, pembahasan yang mendalam tersebut perlu
diungkapkan dalam sebuah uraian yang ringkas dan sederhana, dan di sini
hal ini akan disampaikan. Dari sekian bab yang membahas tentang
berbagai unsur dalam konsep filosofis akhlaq Islamiyah, beberapa poin
akan disampaikan berikut ini,
Bab pertama merupakan pendahuluan untuk mengetahui lebih
terperinci isi risalah ini. Bab ini secara sederhananya menjelaskan
mengapa harus ada risalah akhlaq yang bersifat filosofis. Jawabannya
karena ingin meninjau konsep filosofis yang ditautkan dengan dasar
tekstual-normatif dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi (hampiran bayani)
dengan tinjauan keilmuan Filsafat, Psikologi, Tasawuf, dan keilmuan
Sosial-Humaniora lainnya (hampiran burhani) serta tinjauan spiritualitas
dan hikmah dalam memaknai hubungan antara Allah, manusia, dan alam
semesta (hampiran irfani). Bab ini juga menghubungkan berbagai
hampiran tersebut dengan konteks “tasawuf-akhlaqi” yang dikembangkan

Risalah Akhlak Islam Filosofis


189

di Muhammadiyah yang telah dirumuskan dalam Matan Keyakinan dan


Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH).
Pada bab kedua diuraikan pengertian akhlak dari berbagai sumber
dan pendapat para ahli yang intinya bentuk “perilaku yang mengacu pada
sistem nilai mulia, dan akan dipertanggungjawabkan kepada Allah dan
manusia”. Dengan mengacu pada berbagai pengertian itu, diuraikan juga
struktur bangunan konsep akhlak dan pembagian akhlak. Isi dari dua
pembahasan ini adalah pengejawantahan nilai-nilai ilahiyah dalam
perbuatan sehari-hari untuk menciptakan kebaikan, kemuliaan, dan
kemaslahatan hidup yang pada gilirannya akan dipertanggungjawabkan
kepada Allah sebagai sumber nilai tersebut. Perilaku-perilaku ini akhirnya
membentuk konsep-konsep etis seperti kesusilaan, tata krama, etiket, budi
pekerti, karakter, dan lain sebagainya. Bab ini lebih menekankan pada
penjelasan tentang konsep-konsep inti dalam uraian akhlak Islamiyah.
Kemudian pada bab ketiga, diuraikan posisi sentral manusia sebagai
subjek dari akhlaq itu sendiri. Siapa manusia itu? Pada bab ketiga ini
diuraikan secara detil dari berbagai aspek kehidupan manusia. Dimulai
dari proses penciptaan, tujuan manusia hidup di bumi, kodrat keberadaan
manusia di bumi, potensi ruhani manusia/indra batin manusia sebagai
“wadah” bagi bentuk akhlaq manusia itu sendiri.
Bab selanjutnya, yakni bab keempat diuraikan tujuan kehidupan
manusia di dunia. Hal ini dirasa sangat penting karena pengetahuan
tentang perbuatan baik dan pengejawantahan perbuatan baik di dalam
kehidupan membutuhkan orientasi yang jelas. Islam telah menjelaskan
bahwa tujuan perbuatan baiak yang telah dilakukan di dalam kehidupan
dunia. Tujuan-tujuan tersebut adalah tujuan eskatologis, tujuan spiritual,
dan tujuan etis. Tujuan eskatologis yakni tujuan memperoleh balasan dari
Allah di dalam kehidupan setelah kehidupan dunia ini (akhirat). Tujuan
ini diperoleh dengan cara mewujudkan tujuan kedua yakni tujuan
spiritual, yakni melakukan semua perbuatan baik dengan orientasi
memperoleh ridla Allah (Allah merasa senang dengan perbuatan kita).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


190

Tujuan spiritual ini akhirnya diwujudkan dalam tujuan ketiga yaitu tujuan
etis. Tujuan etis adalah tujuan untuk memperoleh kebahagiaan dan
kesejahteraan, dan ini hanya dapat dilakukan dengan menebarkan
kebaikan dalam seluruh perilaku dan tindakan (iḥsan).
Bab kelima menguraikan bentuk-bentuk riil peran dan tanggung-
jawab manusia dalam mengejawantahkan pebuatan baik (ihsan) pada
berbagai level kehidupan manusia. Dimulai dari peran sebagai individu,
hamba Allah, anggota keluarga, anggota kelompok/komunitas, anggota
masyarakat, warga negara, dan warga dunia. Keseluruhan peran itu
dijelaskan dengan acuan nilai Islami yang bersumber dari al-Qur’an dan
sunah. Bentuk perilaku riil di sini bukan sebagai panduan praktis, tetapi
sebagai panduan teoritis dengan mengacu pada konsep-konsep dasar etis
yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya sebagai konsep nilai.
Selanjutnya untuk bab keenam diuraikan bagaiman konsep nilai
dalam ranah filsafat dan konteks ajaran Islam. Nilai merupakan landasan
fundamental dalam sebuah tindakan. Di bab ini secara mendetil diuraikan
konsep nilai tersebut. Dimulai dari pengertian nilai, kualitas-kualitas nilai
dan pasangan-pasangan nilia, nirarkhi nilai, dan akhirnya manfaat nilai
dalam kehidupan manusia. Sebagai turunan dari penjelasan tentang nilai
yang filosofis di bab keenam, pada bab ketujuh diuraikan kualitas-kualitas
nilai dalam konteks falsafat Islam. Misalnya ma’rūf-munkar, ṣalāḥ-fasad,
khair-syarr, birr-fujūr, dan lain sebagainya.
Kemudian pada bab kedelapan diuraikan bagaimana kesadaran
manusia sebagai subjek akhlaq tentang akhlaq itu sendiri. Kesadaran ini
membingkai seluruh pengetahuan manusia tentang akhlaq. Uraian pada
bab ini memberi gambaran bahwa penjelasan-penjelasan yang telah
disampaikan pada bab-bab sebelumnya perlu disadari arti pentingnya bagi
menusia itu sendiri. Tujuan kesadaran tentang akhlaq ini akan mendorong
manusia untuk menciptakan kemashlahatan sebagai landasan menuju
pribadi yang ideal, yakni pemenang dalam memperjuangkan nilai-nilai
luhur yang penuh kemuliaan. Wallahu a’lam biṣsawāb.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


191

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Syed Ameer. 1992. Etika Dalam Islam. Judul Asli: The Ethcis of
Islam. Penerjamah A. Aziz Ali al-Bakistani. Surabaya: Penerbit
Risalah Gusti
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Basyir, H. Ahmad Azhar. 1991. Faham Akhlaq dalam Islam. Yogyakarta:
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH-
UII)
Djatnika, H. Rachmat. 1992. Sistem Ethika Islami (Akhla Mulia). Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Fakhry, Majid. 1996 Etika dalam Islam. Judul Asli: Ethical Theories in
Islam. Penerjemah: Zakiyuddin Baidhawy. Yogyakarta-Surakarta:
Pustaka Pelajar Pusat Stydi Islam Universitas Muhammadiyah
Surakarta (PSI-UMS)
Hadikusuma, H. Djarnawi [t.th.] Ilmu Akhlaq. Yogyakarta: Penerbit
“Persatuan”,
Al-Mawardy. Abu al-Hasan ‘Aly bin Muhammad bin Habib al-Bashry.
2017. Ādāb ad-Dunyā wa ad-Dīn. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Miskawaih, Ibn. 1934. Tahżīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-‘Araq. Mesir: Dār
as-Syurūq
Nata. H. Abuddin. 2014. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta:
PT. Raja Grafido Persada.
Rasyidi, H.M. 1972. Agama dan Etik. PT Sinar Budaya.
Shihab, M. Quraish. 2019. Yang Hilang dari Kita: Akhlak. Tangerang: PT
Lentera Hati.
Shubhi, Ahmad Mahmud. 2001. Filsafat Etika, Tanggapan Kaum
Rasionalis dan Intuisionalis Islam. Judul Asli: al-Falsafah al-
Akhlāqiyyah fī al-Fikr al-Islāmī: al-‘Aqliyyūn wa Żauqiyyūn.
Penerjemah: Yunan Askaruzzaman Ahmad. Jakarta: PT Serambil
Ilmu Semesta.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


192

Umary, Barmawie. 1988. Materi Akhlak. Solo: Ramadhani.


Ya’cub, H. Hamzah. 1991. Etika Islam, Pembinaan Akhlaqulkarimah
(Suatu Pengantar). Bandung: Penerbit CV Diponegoro.
Zubair, Achmad Charris. 1987. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers.
Abdul Karîm ibn Ibrâhîm al-Jîlî, al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifat al-Awâkhir
wa al-Awâ`il (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiah, 1997).
Abû al-Mughîth Al-Husayn bin Manshûr al-Hallâj, Kitâb al-Thawâsîn,
dalam Qasim Muhammad Abas (ed.), al-Hallaj al-A’mal al-
Kâmilah (Beirut: Riad el-Rayes Book S.A.R.L, 2002).
Alfred Schutz, Structures of the Life-World by Richard Zaner and
Tristram Engelhardt (Evanston: Northwestern University Press,
1973).
Alfred Schutz, The Phenomenology of Social World, diterjemahkan dari
Der sinnkafte Aufbau der sozialen Welt oleh Springer-Verlag
(Northwestern: Northwestern University Press, 1967).
Bryan S. Turner, Max Weber Classic Monographs, Volume VII: Weber
and Islam (London and New York: Routledge, [1974] 1998).
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terjemah dari bahasa
Jerman Also Sprach Zarathustra oleh Adrian del Caro
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006).
Hamud bin Abdullah bin Hamud bin Abdur Rahman at-Tuwaijiri,
‘Aqîdah Ahl al-Îmân fî Khalqi Âdam ‘alâ Shûrah al-Rahmân
(Riyad: Dar al-Liwa`, 1989).
Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect
(Oxford: Oxford University Press, 1992).
Joseph Smith, Ajaran-ajaran Presiden Gereja, tidak dicantumkan
penerjemah (Salt Lake City, Utah: Intellectual Reserve, Inc.,
2007).
Louis Massingnon, Kitâb al-Thawâsîn yang diedit ulang oleh Ejaz
Ahmed (t.k.: t.p., 2019).

Risalah Akhlak Islam Filosofis


193

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tafsir at-


Tanwir, jilid I (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017).
Marjorie Grene, “Martin Heidegger” dalam Paul Edwards (ed.),
Encyclopedia of Philosophy, vol. 3 (NY: Macmillan Publishing
Co. Inc. & The Free Press, 1972).
Martin Heidegger, Being and Time, terjemah dari Sein und Zeit oleh John
Macquarrie & Edward Robinson (Oxford: Blackwell Pub1ishers
Ltd., 2001).
Muhammad Iqbal, The Secret of the Self, terjemahan dari Asra-i Khudi
oleh Reynold A. Nicholson (London: McMillan & Co., Ltd.,
1920).
Nidhal Guessoum, Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim
Tradition and Modern Science (London and NY.: I.B. Tauris and
Co. Ltd., 2011).
Ralph Linton, The Study of Man (New York: Appleton-Century
Company, Inc., 1936).
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual in Modern Man
(London: Mandala Unwin Paperbacks, 1988).
Smauel Rolles Driver, The Book of Genesis with Introduction and Notes
(New York: Edwin S. Gorham, 1904).
Stéphane A. Dudoignon et al., Intellectuals in the Modern Islamic World:
Transmission, Transformation, Communication (London and
N.Y.: Routledge, 2006).
Talcott Parsons, The Social System (London: Routledge, 2005).
Tariq Ramadan, The Quest for Meaning (London: Penguin Group, 2010),
EPUB Document version.
Theodore Kisiel, “Hermeneutics of Facticity”, dalam Bret W. Davis (ed.),
Martin Heidegger: Key Concept (Durham: Acumen Publishing
Limited, 2010).
Thomas S. Eberle, “Phenomenological Life-World Analysis and
Ethnomethodology’s Program”, Human Studies (2012) 35.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


194

Viktor Emil Frankl, Man's Search for Meaning, 4th edition


(Massachusetts: Beacon Press, 1992).
William C. Chittick (ed.), The Essential Seyyed Hossein Nasr Perennial
(Bloomington: World Wisdom, 2007).
William C. Chittick, “’Your Sight Today is Piercing’: The Muslim
Understanding of Death and Afterlife”, dalam Hiroshi Obayashi,
Death and Afterlife: Perspective of World Religion (New York:
Praeger, 1992).
William H. Swatos, Jr., “The History of Meaning”, dalam Barbara Jones
Denison (ed.), History, Time, Meaning, and Memory (Leiden: E.J.
Brill, 2011).
Yujin Nagasawa dan Benjamin Matheson (eds.), The Palgrave Handbook
of the Afterlife (London: Palgrave Mcmillan, 2017).
Bahm, Archie J., 1984, Axiology: The Science of Value, Albuquerque,
New Mexico.
Frondizi, Risieri., 2001, What is Value? Terjemahan: Cuk Ananta Wijaya,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Honderich, Ted., 1995, The Oxford Companion To Philosophy, Oxford,
University Press, Oxford.
Imaduddin, Abdulrahim, Muhammad, 1993, Kuliah Tawhid, Yayasan
Pembina Sari Insan (YAASIN), Jakarta.
Lacey, 1999, Is a Science value free?, London: Routledge.
Mudhofir, Ali. 2001, Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Quraish Shihab, 2007, Tafsir Al- Mishbaah, Penerbit Lentera Hati,
Tangerang.
Scheler, Max, 1973, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of
Values, Trans. Manfred S. Frings and Roger L. Funk. Evanston,
Northwestern University Press.

Risalah Akhlak Islam Filosofis


MATERI
MUSYAWARAH NASIONAL
TARJIH MUHAMMADIYAH XXXI

FIKIH ZAKAT KONTEMPORER

Majelis Tarjih dan Tajdid


Pimpinan Pusat Muhammadiyah
1442 H / 2020 M
196

MATERI
MUSYAWARAH NASIONAL TARJIH MUHAMMADIYAH XXXI
FIKIH ZAKAT KONTEMPORER

------------------------------------------------------------------------------

Diterbitkan Oleh : Panitia Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI

Disusun Oleh : Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tim Penyusun : 1. Dr. Fuad Zein, M.A.


2. Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A.
3. Dr. Hamim Ilyas M.A.
4. Dr. Muchammad Ichsan, Lc. M.A.
5. Dr. Muhammad Akhyar Adnan, M.B.A. Ak. CA.
6. Dr. Endang Mintarja, M.Ag.
7. Dr. Muhammad Ridwan, M.Ag.
8. Asep Sholahudin, S.Ag. M.Pd.I.
9. Homaidi Hamid, S.Ag. M.Ag.
10. Lailatis Syarifah, Lc. M.A.

Penyunting : 1. Tri Yaumil Falihah, S.Pd.I. M.Pd.


2. Aulia Abdan Idza Shalla, S.Th.I.
3. Amirudin, S.Ag.

Yogyakarta, Rabiulakhir 1442 H / November 2020 M

Fikih Zakat Kontemporer


197

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan
didakwahkan olehnya dalam Q.S. al-Anbiyā’, [21]: 107 ditegaskan
sebagai risalah rahmat bagi seluruh alam, raḥmatan (raḥmah) li al-
‘ālamīn.
َ‫َو َم ٓا َأ ۡ َس ۡل ََٰن َك إ اَّل َ ۡح َم ٗة ل ۡل ََٰع َلمين‬
ِ ِ ‫ِ ر‬ ‫ر‬
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.
Raḥmah ialah riqqah taqtaḍī al-iḥsān ilā al-marḥūm, perasaan
lembut (cinta) yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata
kepada yang dikasihi. Berdasarkan pengertian ini maka Islam diwahyukan
Allah kepada Nabi Muhammad untuk mewujudkan kebaikan nyata bagi
seluruh makhluk Allah. Kebaikan nyata dalam pengertian yang paling
luas adalah hidup baik yang dalam Q.S. al-Naḥl, [16]: 97 disebut ḥayah
ṭayyibah. Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menyebutkan 3
kriteria hidup baik: lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera-
sejahteranya/al-rafāhiyyah kulluhā), wa lā khaufun ‘alaihim (damai
sedamai-damainya/al-sālam kulluhā) dan wa lā hum yaḥzanūn (bahagia
sebahagia-bahagianya/al-sa’adah kulluhā) di dunia dan di akhirat.
Supaya Islam benar-benar menjadi risalah yang menjadi rahmat
bagi seluruh alam dalam pengertian di atas, al-Qur’an menggariskan
pegangan dalam memeluknya. Pegangan ini disebut al-‘urwah al-wuṡqā
(tali pegangan yang paling kuat) dan menjadi pedoman penghayatan dan
pengamalan (santiaji) agama Islam.
Dalam al-Qur’an terdapat 2 ayat yang menyebutkan al-‘urwah al-
wuṡqā dengan unsur-unsurnya terdiri atas iman, Islam dan ihsan.

Fikih Zakat Kontemporer


198

Pertama, Q.S. al-Baqarah, [2]: 256:


ُ َٰ‫ِۖ َ ا َ ا َ ُّ ۡ ُ َ ۡ َ ِّۚ َ َ َ ۡ ُ ۡ ا‬ َ ۡ َٓ
‫وت َو ُي ۡؤ ِم ۢن‬
ِ ‫ٱلد ِين قد تبين ٱلرشد ِمن ٱلغ ِي فمن يكفر ِبٱلط‬
‫غ‬ ِ ‫َّل ِإك َراه ِفي‬
‫َ َ ََۗ َ ا‬
ٌ ‫ٱلل ُه َسم ٌيع َع ِل‬ َ َُۡۡ َ ُ ۡ َ َ َ ۡ ََ ‫ا‬
‫يم‬ ِ ‫ٱنفصام لها و‬ ِ ‫ِبٱلل ِه فق ِد ٱست ۡمسك ِبٱلع ۡرو ِة ٱلوثق َٰى َّل‬
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Ṭāgūt dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kedua, Q.S. Luqmān [31]: 22:
ۡ ۡ ۡ ‫ََ ُ ۡ ۡ َ َُۡ َ ا‬
ۡ ‫ن َف َقد‬ٞ ‫ٱلله َو ُه َو ُم ۡحس‬
‫ٱس َت ۡم َس َك ِبٱل ُع ۡر َو ِة ٱل ُوث َق َٰۗى‬ ِ ِ ِ ‫ومن يس ِلم وجه ۥٓه ِإلى‬
ُ ۡ ُ َ ََٰ ‫َ َ ا‬
ُ ‫ٱۡل‬
‫ور‬
ِ ‫م‬ ‫وِإلى ٱلل ِه ع ِقبة‬
Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang
yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang kokoh. Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.
Urut-urutan unsur-unsur al-‘urwah al-wuṡqā tersebut dalam hadis
riwayat Imām Muslim dari sahabat ‘Umar bin al-Khaṭṭāb adalah: Islam,
Iman dan Ihsan.
ُ ‫ص الى‬ َ ‫َ َب ْي َن َما َن ْح ُن ع ْن َد َر ُسول هللا‬:‫ال‬ َ َ ‫َ اَ َ َُُ ْ ُ ْ َ ا‬
‫هللا‬ ِ ِ ِ َ ‫ق‬ ‫اب‬ ِ ‫حدث ِني أ ِبي عمر بن الخط‬
‫ ش ِد ُيد‬،‫اب‬
َ َ ‫ إ ْذ َط َل َع َع َل ْي َنا َر ُج ٌل َشد ُيد َب َياض الث‬،‫ات َي ْوم‬
‫ي‬ َ ‫َع َل ْيه َو َس ال َم َذ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ
َ َ
َ ‫ َح اتى َجل‬،‫ َوَّل َي ْعرف ُه ِم انا أ َح ٌد‬،‫الس َفر‬ ُ َ ‫َُ َ ْ ُ ا‬ َ َ َ َ َ َ ‫َس َواد ا‬
‫س‬ ِ ِ َ ‫ َّل يرى علي ِه أثر‬،‫الشع ِر‬ ِ
َ َ ََ ََْ ُْ َ َ ْ َ ‫ا‬ َ ُ ‫ص الى‬ ‫إ َلى ا‬
‫ض َع ك اف ْي ِه‬ ‫ وو‬،‫ فأ ْس َن َد ُرك َبت ْي ِه ِإلى ركبتي ِه‬،‫هللا َعل ْي ِه َو َسل َم‬ َ ‫النبي‬
ِ ِ ِ
‫َا‬ َ َ
ُ ُ َ ‫ فق‬،‫َ َيا ُم َح امد أخب ْرني َعن ْلا ْسَلم‬:‫ال‬ َ ْ ْ َ ُ َ َ َ َ
‫هللا صلى‬ ِ ‫ال َرسول‬ ِ ِ ِ ِ ِ ََ ‫ َوق‬،‫َعلى ف ِخذ ْي ِه‬
َ ُ ‫ُ ََْ َ َ ا َ ْ ْ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ا‬
‫هللا َوأ ان ُم َح ام ًدا َر ُسو ُل‬ ‫َ ِْلاسَلم أن تشهد أن َّل ِإله ِإَّل‬:‫هللا علي ِه وسل َم‬
،‫ان‬ َ ‫ض‬ َ ‫وم َر ََم‬ َ ‫ص‬ ُ ‫ َو َت‬،‫الزك َاة‬ َ ‫ َو ُت ْؤت َي ا‬،‫الص ََل َة‬ ‫ا‬ َ ‫ َو ُتق‬،‫هللا َع َل ْيه َو َس ال َم‬
‫يم‬ ُ ‫ص الى‬ َ ‫هللا‬
ِ ِ ِ ِ
ُ‫ َ َف َعج ْب َنا َله‬:‫ال‬ َ َ َ ْ َ َ
َ ََ ‫ ق‬،‫استط ْعت إل ْيه َسبيَل‬ ً َ َ َ َ ْ ‫َو َتح اج ال َبيت إن‬
َ ْ ْ ُ
ِ َ ‫ َق‬،‫ َصدقت‬:‫ال‬ ِ ِ ِ َ ِِ
َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ ُ َُ ْ َ
،ِ‫ َأن تؤ ِمن ِباهلل‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫ َفأخ ِبرِني ع ِن ِْلايم ِان‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫ ويص ِدقه‬،‫يسأله‬

Fikih Zakat Kontemporer


199

َ َ َ ْ ُ ْ ْ ُ َ َ
ََ ‫ ق‬،‫ َوت ْؤ ِم َن ِبال َق َد ِر خ ْي ِر ِه َوش ِر ِه‬،‫لا ِخ ِر‬
َ:‫ال‬ َ ‫ َوال َي ْو ِم‬،‫ َو ُر ُس ِل ِه‬،‫ َوك ُت ِب ِه‬،‫َو َمَل ِئك ِت ِه‬
َ َ ََ َ َُْ َ ْ َ َ َ ْ ْ ََ َ َ َ ْ َ َ
‫ ف ِإ ْن‬،‫هللا كأ ان َك ت َر ُاه‬ ‫َأن تعبد‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫َفأخ ِب ْرِني َع ِن ِْلا ْح َس ِان‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫صدقت‬
َ ْ َ َ
‫َفأ ْخب ْرِني َعن ا‬:‫ال‬ َ َ َ ‫َل ْم َت ُك ْن َت َر ُاه فإ ان ُه َي َر‬
َ
‫َ َما اْل ْس َُئو ُل َع ْن َها‬:‫ال‬ ََ ‫ ق‬،‫اع ِة‬ َ ‫الس‬ َ َ ‫ ق‬،‫اك‬
َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ِ َ َ َ ْ َِ ْ ْ َ َ َ َ ِ ‫َ ْ َ َ َ ا‬
ْ‫ َو َأن‬،‫ْلا َم ُة َ اب َت َها‬
‫ر‬ ‫َأن ت ِلد‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫َفأخ ِبرِني عن أما ِرتها‬:‫ال‬ َ ‫ِبأعلم ِمن السا ِئ ِل ق‬
ُ َ َ ْ ْ َ ُ َ ‫َت َرى ْال ُح َف َاة ْال ُع َر َاة ْال َع َال َة َع َاء ا‬
‫ َث ام‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫الش ِاء َي َتط َاولون ِفي ال ُبن َي ِان‬ ‫ِر‬
ْ ُ َ
‫ َ َيا ُع َم ُر أ َت ْدري َمن ا‬:‫ال لي‬ َ ‫ ُث ام َق‬،‫ْان َط َل َق َف َلب ْث ُت َم ِليَا‬
ُ َ :‫ت‬
‫هللا‬ َ ُ ‫السا ِئ ُل؟ قل‬ ِ ِ ِ ِ
ُْ َ ْ ُ ُ َ ُ ْ ُ َ َ ُ ْ ُ ‫َ َ ُ ُ ُ َ ْ َ ُ َ َ َ ا‬
‫َف ِإنه ِجب ِريل أتاكم يع ِلمكم ِدينك َم‬:‫ال‬ َ ‫ ق‬،‫ورسوله أعلم‬
Ayahku –‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA- telah menyampaikan kepadaku, ia
berkata: “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah
SAW. Tiba-tiba muncul dihadapan kami seorang lelaki mengenakan
pakaian yang sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Tak terlihat
padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di
antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu
lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan ia letakkan kedua tangannya
di atas kedua paha Nabi, seraya berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan
kepadaku tentang Islam.” Rasulullah SAW menjawab, “Islam adalah,
engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar
melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul
Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan
Ramaḍān, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah
mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, “Engkau benar.” Maka kami
heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia
bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab,
“Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikat-Nya; kitab-kitab-
Nya; para Rasul-Nya; hari Akhir; dan beriman kepada takdir Allah yang
baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi SAW menjawab,
“Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia
melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku kapan
terjadi Kiamat?” Nabi menjawab, “Yang ditanya tidaklah lebih tahu
daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku
tentang tanda-tandanya!” Nabi SAW menjawab, “Jika seorang budak
wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang

Fikih Zakat Kontemporer


200

bertelanjang kaki, tanpa memakai baju; serta pengembala kambing telah


saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang
tinggi.” Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku (Umar bin al-
Khaṭṭāb) pun terdiam, sehingga Nabi SAW bertanya kepadaku: “Wahai,
Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab,
“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” Beliau bersabda, “Dia adalah
Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” (H.R. Muslim)
Sebagai bagian dari pedoman penghayatan pengamalan agama
Islam, makna unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Islam: Ketundukan untuk mewujudkan hidup baik di dunia
dan akhirat
Islam adalah ketundukan kepada Allah yang mengungkapkan
kehendak-Nya dalam 3 ayat: qauliyyah, kauniyyah dan tarīkhiyyah,
yang menjadi mental kesadaran Muslim. Kesadaran adalah realitas
primer yang ekspresi kesadaran “Islam” ini di antaranya adalah
ketaatan yang disertai dengan ketundukan puncak yang disebut
ibadah. Hadis dari Umar menjelaskan “Islam” dalam pengertian
ketundukan dengan ibadah ini yang kemudian populer disebut sebagai
rukun Islam dan dalam Muhammadiyah disebut ibadah khāṣṣah.
a. Syahadat: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang menjadi
pangkal berislam dengan ketundukan pikiran.
b. Shalat: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang menjadi
pangkal moralitas publik menyebarkan kedamaian, rahmat
Allah dan berkat-Nya (makna shalat diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam)
c. Zakat: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang menjadi
pangkal kesejahteraan sosial (al-Taubah, [9]: 103) dengan
mewujudkan al-namā’ wa al-rāī’ (masyarakat yang tumbuh,
berkembang, subur dan indah)
d. Puasa: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang menjadi
pangkal kecerdasan emosional, pengendalian diri (al-Baqarah,
[2]: 183).

Fikih Zakat Kontemporer


201

e. Haji: Ibadah khāṣṣah puncak ketundukan yang membuktikan


kesetiaan (walā’) kepada Allah dan menjadi pangkal kesetiaan
kepada agama, negara dan keluarga yang ekspresinya setia
membela nasib hamba-Nya (haji mabrur adalah menyebarkan
kedamaian dan memberi makan kepada yang kelaparan)
2. Iman: Keyakinan untuk mewujudkan hidup baik di dunia dan
akhirat
Iman dalam bahasa arab dibentuk dari satu kata yang kata kerja
intransitifnya amina-ya’manu dan maṣdar-nya amnan {ṭuma’ninatun
nafsi wa zawāl al-khaufi: tenteramnya jiwa (damai) dan tiadanya
ketakutan (aman)}, amanan (al-ḥālah allatī yakūnu ‘alaihā al-insān:
keadaan aman dan damai yang dialami manusia) dan amānatan (mā
ya’manu ‘alaihi al-insān: sesuatu yang menjadi dasar manusia merasa
aman dan damai). Iman merupakan maṣdar dari kata kerja transitifnya
sehingga jika dipahami dari asal bahasanya pengertian iman adalah
kepercayaan yang potensial membuat aman dan damai dan aktual
membuat manusia merasa aman dan damai serta aktual membuat
manusia memiliki amanah atau trust dalam kehidupan pribadi,
kehidupan sosial dan kehidupan dengan alam. Dalam Q.S. al-Baqarah,
[2]: 256 iman kepada Allah dilawankan dengan pengingkaran kepada
ṭāgūt dan dalam hadis riwayat Khalifah Umar, iman terdiri atas 6
rukun:
a. Iman kepada Allah: kepercayaan yang menjadi pangkal
mewujudkan integritas (anti ṭāgūt berupa syetan), integrasi
sosial (anti ṭāgūt berupa Fir’aun dan tokoh-tokoh perusak
perdamaian) dan rasionalitas (anti ṭāgūt berupa dukun/kāhin).
b. Iman kepada Malaikat: kepercayaan yang menjadi pangkal
mewujudkan pengendalian hidup melalui kontrol yang
fungsional.
c. Iman kepada kitab suci: kepercayaan yang menjadi pangkal
mewujudkan peradaban maju.

Fikih Zakat Kontemporer


202

d. Iman kepada para rasul: kepercayaan yang menjadi pangkal


mewujudkan pembebasan kesengsaraan hidup di dunia dan
akhirat.
e. Iman kepada Hari Kiamat: kepercayaan yang menjadi pangkal
mewujudkan pertanggungjawaban dalam hidup.
f. Iman kepada qadar: kepercayaan yang menjadi pangkal
mewujudkan usaha-usaha sesuai dengan kodrat (kodrat
manusia: kodrat wujud, kodrat eksistensi dan kodrat potensi)
dan terukur.
3. Ihsan: Pengabdian untuk Mewujudkan Hidup Baik di Dunia
dan Akhirat
Dalam hadis di atas ihsan diberi pengertian: an ta’bud Allah ka
annaka tarāhu fa in lam takun tarāhu fa innahu yarāka. Ta’bud
adalah kata kerja yang maṣdar-nya bisa ‘ibādah (pengertiannya telah
disebutkan di atas) yang hanya dilakukan kepada Allah dan juga bisa
‘ubūdiyyah yang berarti penghambaan atau pengabdian sehingga bisa
dilakukan kepada Allah dan kepada yang lain (manusia, negara dan
lain-lain). Dengan memperhatikan kedudukan manusia di bumi sebagai
hamba dan khalifah Allah yang harus menyelenggarakan kehidupan
atas nama-Nya, membawa nama-Nya dan dengan memohon berkat-
Nya, ta’bud dalam hadis tersebut bermakna pengabdian. Pengabdian
manusia kepada Allah dengan kedudukan itu dilaksanakan dengan
peran-peran sebagait: pribadi, hamba Allah, anggota keluarga, warga
komunitas, warga masyarakat, warga negara dan warga dunia.
Dari paparan di atas jelas bahwa zakat dalam Islam raḥmatan li
al-‘ālamīn memiliki makna penting. Hal ini karena zakat merupakan
sumber dana yang mutlak diperlukan dalam mewujudkan ḥayah
ṭayyibah.
Zakat sebagai sumber dana sosial di Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar baik dari sisi jumlah dana maupun dampak sosial
ekonomi. Umat Islam yang jumlahnya sangat besar merupakan

Fikih Zakat Kontemporer


203

potensi sumber pendanaan yang belum tergarap secara maksimal.


Sedangkan tingginya angka kemiskinan yang mencapai 25,4 juta
orang atau sebesar 9,41%1 merupakan sasaran utama pentasyarufan
zakat, karenanya dua sisi agenda zakat yang belum bisa dikerjakan
dengan intensif. Harapan zakat mampu menyelesaikan problematika
kehidupan, akan terhambat ketika fundrising zakat tidak terkelola
dengan baik.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh BAZNAS pada tahun
2019, potensi zakat Indonesia sebesar 462 Trilyun Rupiah, sedangkan
kemampuan amil dalam menghimpun baru sebesar 6,22 Trilyun
Rupiah atau setara dengan 1,34%.2 Secara umum penyebab utama
rendahnya pengumpulan dana zakat tersebut dipengaruhi oleh
rendahnya kepercayaan terhadap lembaga amil, basis pengumpulan
zakat masih terbatas pada jenis zakat tertentu seperti zakat fitri dan
zakat profesi serta rendahnya insentif bagi wajib zakat yang menjadi
wajib pajak supaya tidak terkena beban ganda.3 Jika dianalisis lebih
jauh, rendahnya kemampuan amil zakat dalam menghimpun dana
zakat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal nadzir yakni kepercayaan, manajemen dan sinergi.4
Sedangkan faktor eksternal dapat berupa rendahnya kesadaran umat
dan kurangnya edukasi.
Kepercayaan (trust) menjadi faktor sangat penting bagi
Lembaga keuangan termasuk keuangan sosial Islam seperti amil
zakat, nadzir wakaf dan badan amal sosial yang lain.5 Kemampuan
membangun kepercayaan masyarakat sangat ditentukan oleh
komitmen dan kapasitas manajerial amil. Sedangkan dalam aspek

1
Badan Pusat Statistik, 2019.
2
Puskaz BAZNAS, Indonesia Zakah Outlook, (Jakarta: BAZNAS, 2019).
3
BAZNAS, Outlook Zakat Indonesia, (Jakarta: BAZNAS, 2017).
4
Asmani, Jamal Makmur, Zakat Solusi Mengatasi Kemiskinan, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016), hal. 40.
5
Riduwan dan Ahmad Arif Rifan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia,
(Yogyakarta: UAD Press, 2018), hal. 29.

Fikih Zakat Kontemporer


204

manajemen, profesionalitas manajerial amil sangat menentukan sistem


manajemen yang dibangun. Dibutuhkan pemimpin amil dan nadzir
wakaf yang memiliki visi jangka panjang serta menurunkannya
kedalam agenda aksi yang bisa dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Termasuk kemampuan manajemen dalam pengelolaan
zakat juga mencakup kecepatannya dalam membangun teknologi
informasi, baik sebagai sarana administrasi yang canggih maupun
sosialisasi dan edukasi kesadaran zakat kepada masyarakat terutama
kelompok millenial.6
Sedangkan faktor sinergi yang menjadi penentu keberhasilan
penghimpunan zakat lebih disebabkan rendahnya kerjasama antar
semua stakeholders zakat di Indonesia bahkan dunia. Masih sering
dijumpai terjadinya tumpangtindih program antar amil, sehingga
terkesan membingungkan calon muzaki atau munfik. Maraknya
Lembaga amil zakat maupun badan amil zakat dengan semua struktur
organisasi dibawahnya, merupakan fonomena yang positif karena
akan mempermudah pelayanan, tetapi bisa menjadi potensi konflik
jika tidak dibangun sinergi. Oleh karena itu, diperlukan kesamaan visi
dalam manajemen lembaga amil zakat.
Faktor eksternal yang turut berpengaruh terhadap fundrising
zakat adalah kondisi umat baik dalam kapasitas individu maupun
kelembagaan, seperti perusahaan. Beberapa hal yang menyebabkan-
nya adalah rendahnya kesadaran membayar zakat serta pemahaman
yang masih terbatas. Kesadaran umat dalam membayar zakat dapat
dipengaruhi oleh kurangnya edukasi, terbatasnya informasi termasuk
teknologi zakat (zakat digital), yang belum mampu menjawab
kebutuhan kaum muda.7 Lembaga amil zakat masih cenderung pasif
dan tidak mampu membangun model pemasaran zakat seperti iklan

6
Jay Heizer dan Barry Render, Operations Management: Sustainability and
Suplay Chain Management, terjemahan Hirson Kurnia dkk, (Jakarta: Salemba Empat,
2016). Hal. 253.
7
Muhyidin Khatib, Rekonstruksi Fikih Zakat: Telaah Komprehensif Fikih Zakat
Pendekatan Teoritis dan Metodologis, (Malang: Literasi Nusantara, 2019) hal. 11.

Fikih Zakat Kontemporer


205

yang menyentuh kesadaran umat, bahkan penggunaan bahasa


maketing masih dianggap tabu.
Amil mesti lebih kreatif dalam mentasyarufkan dana zakat guna
menyelesaikan masalah keumatan. Kreatifitas amil yang didukung
dengan edukasi dan sosialisasi yang massif mampu mendorong calon
muzaki untuk membantu program tersebut. Sedangkan faktor
pemahaman kewajiban zakat yang menjadi tantangan penghimpunan
zakat meliputi pemahaman fikih zakat yang masih terbatas, adanya
kerancuan zakat mal dan fitri serta merasa lebih nyaman jika zakat
langsung diberikan kepada mustahik8.
Oleh sebab itu, diperlukan strategi tertentu dalam manajemen
zakat, supaya potensi yang besar tersebut dapat dikelola dengan baik:
a. Tatakelola yang baik (Good Zakat Governance)
Prinsip-prinsip manajemen modern seperti akuntabilitas,
transparansi, responsibilitas menjadi dasar bangunan tatakelola
dana sosial. Dengan prinsip tersebut mendorong manajemen untuk
menyusun perencanaan srategis dalam mengelola dana sosial serta
mampu meningkatkan kepercayaan umat.9
b. Teknologi yang canggih (Zakat Digital)
Teknologi menjadi kebutuhan setiap organisasi, baik bisnis
maupun sosial. Teknologi selain menjadi basis akuntansi zakat,
juga berguna dalam memberikan edukasi, sosialiasi bahkan
pemasaran dana sosial secara digital.10

8
Zakariya Maheran dan M. Nurhayati Samba, Effectiveness of Zakah in Fulfilling
Daririyat (basic needs), and Elevating the Zakah Recipient Standard of Living to
Hajiyat, Comfortable Life in the Perspective of Maqashid Shariah, (ttp.: Jurnal
Pengurusan, 2019) hal. 1-15.
9
Suryo Pratolo, Good Corporate Governance, Implementasi Pada BUMN di
Indonesia, Yogyakarta, (Yogyakarta: LP3M UMY, 2015) hal. 125.
10
Kenneth C. Loudon dan Jane P. Loudon, Management Information System,
Managing the Digital Firm, terjemahan Lukki Sugito dkk, (Jakarta: Salemba Empat,
2015) hal. 97.

Fikih Zakat Kontemporer


206

c. Program yang menarik (Attractive Program)


Lembaga amil zakat dituntut mampu mengembangkan
program penghimpunan dan pentasyarufan yang mampu
menyentuh kesadaran umat Islam. Desain program perlu
melibatkan semua stakeholder zakat supaya terbangun sinergi dan
ikhtiar optimalisasi zakat dapat terwujud. Program yang menarik,
memiliki pengaruh positif dalam membangun branding atau nama
baik organisasi dan dengan sendirinya meningkatkan kepercayaan
publik.11
d. Sumber daya kompetensi (Competency)
Semua stakeholder berkepentingan terhadap ketersediaan
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi dalam
pengelolaan dana sosial. Pemerintah perlu memfasilitasi
stakeholders lainnya dalam menyiapkan kebutuhan tersebut,
seperti ditetapkannya standar kompetensi kerja sesuai dengan
standar nasional. Manajemen amil zakat wajib memiliki sistem
pengembangan karir dengan standar kerja sesuai sertifikasi
kompetensi kerja. Dengan sistem manajemen sumber daya
manusia yang baik, pegawai amil akan memiliki kenyamanan
dalam bekerja dan kondisi tersebut mendorong produktifitas.12
Lembaga amil yang profesional, sebagaimana indikator
tersebut, diharapkan mampu membangun manajemen amil yang
tidak saja kuat dalam penghimpunan tetapi juga hebat dalam
pentasyarufan. Bagi Muhammadiyah yang dikenal dengan
organisasi modern terbesar dengan berbagai amal usahanya,
tatakelola organisasi yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi
dan tentu saja agama telah menjadi kebutuhan sejak awal ketika

11
J. David Hunger dan Thomas L. Wheelen, Strateging Management, terjemahan
Julianto Agung, (Yogyakarta: Andi, 2003) hal. 77.
12
Gary Dessler, Human Resourches Management, terjemahan Paramitha Rahayu,
(Jakarta: Indeks, 2016) hal. 71.

Fikih Zakat Kontemporer


207

organisasi tersebut didirikan.13 Karenanya tidak terlalu sulit bagi


Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah disemua tingkatan dalam
mengembangkan profesionalitas amil dan nadzir.

B. Metodologi
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah, amar ma’rūf dan
nahī munkar berdasarkan al-Qur’an dan sunnah ṣaḥīḥah (maqbūlah).
Sesuai dengan dasar ini, penyusunan buku ini bersumberkan pada al-
Qur’an dan sunnah dengan metodologi yang ditetapkan dalam Matan
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM).
Dalam MKCHM ditegaskan bahwa al-Qur’an yang menjadi dasar
agama Islam adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW. Dan sunnah Rasul adalah penjelasan dan pelaksanaan
ajaran al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan
menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Ditegaskan
pula bahwa kedua dasar ini merupakan pokok dasar hukum/ajaran Islam
yang mengandung ajaran yang benar.14
Di samping menggariskan panduan pengertian, MKCHM juga
menggariskan panduan untuk merumuskan ajaran yang benar berdasarkan
al-Qur’an dan Sunnah, serbagai berikut:
1. Mengungkapkan dan mengetahui kebenaran yang terkandung
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul;
2. Mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-
Qur’an dan sunnah Rasul;
3. Dalam mencari cara (menemukan kebenaran dan maksud) dan
dalam melaksanakan ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasul untuk

13
Hilman Latief, Melayani Umat, Filantropi Islam dan Ideologi Kaum Modernis,
(Jakarta: Maarif Institut, 2010) hal. 96.
14
Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan
Muhammadiyah: Ideologi, Khittah dan Langkah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2009) hal. 61.

Fikih Zakat Kontemporer


208

mengatur dunia guna memakmurkannya, akal pikiran yang


dinamis dan progresif mempunyai peranan yang penting dan
lapangan luas.
4. Akal pikiranar (ra’yu) adalah alat untuk mempertimbangkan
seberapa jauh pengaruh keadaan dan waktu terhadap penerapan
suatu ketentuan hukum (ajaran) dalam batas maksud-maksud
pokok ajaran agama.15
Dalam perspektif Uṣūl Fiqh, perumusan dan pelaksanaan ajaran
dengan pola di atas disebut ijtihad. Karena itu MKCHM menegaskan
Muhammadiyah berpendirian bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka dan
orang dalam beragama hendaklah berdasarkan pengertian yang benar,
dengan ijtihād dan ittibā’.16
Ijtihād dalam Muhammadiyah yang ditegaskan dalam MKCHM itu,
kemudian dirumuskan modelnya oleh Majelis Tarjih dan Tajid PP
Muhammadiyah. Model itu adalah model spiral keterkaitan antara 3
epistemologi:
1. Bayani (analisis kebahasaan)
2. Burhani (analisis rasional dan empirik yang berkembang dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan)
3. Irfani (pemahamanan tentang realitas, termasuk realitas tertinggi,
yang melahirkan keterampilan mengelola kehidupan).
Buku ini disusun dengan menggunakan metodologi yang
dirumuskan dalam dokumen resmi Muhammadiyah yang dijelaskan
secara singkat di atas. Karena rumusan metodologi tersebut masih dalam
garis besar, maka penggunaannya dalam buku ini sudah barang tentu
sesuai dengan pemahaman dan kemampuan tim dalam menerapkannya.

15
Ibid.
16
Ibid.

Fikih Zakat Kontemporer


209

BAB II
KONSEP ZAKAT

A. Makna Zakat
1. Menurut Bahasa (Lugat)
Menurut Lisān al-‘Arab, zakat (al-zakāt) ditinjau dari sudut
bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji; semua digunakan
dalam al-Qur’an dan Hadis. Makna tumbuh dan suci ini tidak hanya
diasumsikan pada harta kekayan, lebih dari itu, juga untuk jiwa orang
yang menzakatkannya. Firman Allah SWT:
ُ َ ُ ً َ َ ْ ََْ ْ ْ ُ
‫ص َدقة تط ِه ُر ُه ْم َوت َز ِك ِيهم ِب َها‬ ‫خذ ِمن أمو ِال ِهم‬
Ambillah shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka. (Q.S. al-Taubah [9]:
103)
2. Menurut Istilah (Syarā’)
Zakat ialah nama suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan
memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik sendiri kepada
orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan oleh
syariat Islam.

B. Beberapa Kata yang Berarti Zakat dalam Al-Qur’an


1. Zakat
‫الز َك َاة َو ْار َك ُع ْوا َم َع ا‬
‫الر ِاك ِع َين‬ ‫َو َأ ِق ُيم ْوا ا‬
‫الص َََل َة َو ُآت ْوا ا‬
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-
orang yang ruku’. (Q.S. al-Baqarah [2]: 43)
2. Shadaqah

Fikih Zakat Kontemporer


210

َ َ َ ‫ََ ْ َ َْ ُ ْ َ ا َ ُ َ َ ْ َ ُ ا َْ َ َ ْ َ ََْ ُ ُ ا‬
‫ات َوأ ان‬
ِ ‫خذ الصد‬
‫ق‬ َ ‫ألم يعلموا أن الله هو يقبل التوبة عن ِعب ِاد ِه ويأ‬
ُ ‫الر ِح‬
‫يم‬ ‫اب ا‬ ‫الل َه ُه َو ا‬
ُ ‫الت او‬
Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat
dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? (Q.S. al-Taubah [9]:
104)
3. Ḥaq
َ‫الز ْرع‬‫الن ْخ َل َو ا‬ ‫وشات َو ا‬ َ ُ ْ َ ََْ َ َ ُْ ‫ا‬ ‫ا‬ َ ََ َ ‫ُ ا‬
ٍ ‫ات وغير معر‬ ٍ ‫ات معروش‬ ٍ ‫ََوه َو ال ِذي أنشأ جن‬
َ ْ ُُ َ َ َ ً َ َ َ ‫ُ ْ َ ً ُ ُ ُ ُ َ ا ْ ُ َن َ ُّ ا‬
‫ان ُمتش ِابها َوغ ْي َر ُمتش ِاب ٍه كلوا ِمن ث َم ِر ِه‬ ‫مخت ِلفا أكله والزيتو والرم‬
ُ ْ َ ْ ُ َُ
‫ص ِاد ِه َوَّل ت ْس َِرفوا ِإ ان ُه َّل ُي ِح ُّب اْل ْس ِر ِف َين‬َ ‫إ َذا َأ ْث َم َر َو ُآت ْوا َح اق ُه َي ْو َم َح‬
ِ
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan
tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-
macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan. (Q.S. al-An’ām [6]: 141).
4. Infaq
َ َ َ‫َ ا َ َْ ُ َ ا َ َ َ ْ ا‬
‫ضة َوَّل ُي ِنف ُق َون َها ِفي َس ِب ِيل الل ِه ف َب ِش ْر ُهم‬ ‫وال ِذين يك ِنزون الذهب وال ِف‬
َ ََ
‫اب أ ِل ٍيم‬
ٍ ‫ِبعذ‬
Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah (zakat), maka beritahukanlah
kepeda mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
(Q.S. al-Taubah [9]: 34)

C. Hikmah Zakat
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda,
transendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak

Fikih Zakat Kontemporer


211

arti dalam kehidupan umat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki


banyak hikmah, baik yang berkait dengan hubungan manusia dengan
Tuhannya, maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara
manusia, antara lain:
1. Menyucikan diri dari kotoran dosa, memurnikan jiwa
(menumbuhkan akhlak mulia menjadi murah hati, memiliki rasa
kemanusiaan yang tinggi) dan mengikis sifat bakhil (kikir) dan
serakah, sehingga dapat merasakan ketenangan batin karena
terbebas dari tuntutan Allah dan tuntutan kewajiban
kemasyarakatan.
2. Menolong, membina dan membangun kaum yang lemah dan papa
dengan materi, untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
Sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya
terhadap Allah SWT.
3. Memberantas penyakit iri hati dan dengki yang biasanya muncul
ketika melihat orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup,
apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak punya apa-apa dan tidak ada
uluran tangan dari mereka (orang-orang kaya) kepadanya.
4. Menuju terwujudnya sistem masyarakat Islam yang berdiri di atas
prinsip Ummatan Wāḥidatan (umat yang satu), Musāwah
(persamaan derajat, hak, dan kewajiban), Ukhuwwah Islāmiyyah
(persaudaraan Islam), dan Takāful Ijtimāiy (tanggungjawab
bersama).
5. Mewujudkan keseimbangan dalam distribusi dan kepemilikan
harta, serta keseimbangan tanggungjawab individu dalam
masyarakat.
6. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan
adanya hubungan seorang dengan yang lainnya rukun, damai, dan
harmonis sehingga tercipta ketenteraman dan kedamaian lahir dan
batin.
Dalam masyarakat seperti itu, maka bahaya komunisme (Atheis)
dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan tidak akan tumbuh

Fikih Zakat Kontemporer


212

dan berkembang lagi. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat,
persoalan yang dihadapi kapitalisme dan sosialisme sudah terjawab.
Sehingga akan terwujud sebuah masyarakat yang Baldatun Ṭayyibatun
wa Rabbun Gafūr.

D. Status, Kedudukan, dan Dalil-dalil Wajib Zakat


1. Status Zakat
Dengan memahami banyak ayat dalam al-Qur’an dan Sunnah
Nabi, terutama dalam menempatkan kata zakat mengiringi kata shalat,
kita dapat menentukan status zakat sebagai ibadah wajib yang penting
seperti shalat. Ketentuan ini sangat jelas, misalnya pada Q.S. al-
Baqarah [2]: ayat 43:

‫الز َك َاة َو ْار َك ُع ْوا َم َع ا‬


‫الر ِاك ِع َين‬ ‫َو َأ ِق ُيم ْوا ا‬
‫الص ََل َة َو ُآت ْوا ا‬
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah kamu bersama
orang-orang yang ruku’.
2. Kedudukan Zakat
Hadis riwayat Imam Muslim yang berbunyi:
َ ‫َ َ َ ا ا‬ ْ ‫ُبن َي ْْلا ْس ََل ُم َع َلى َخ‬
‫س َش َه َاد ِة أ ْن َّل ِإل َه ِإَّل الل ُه َوأ ان ُم َح ام ًدا َر ُسو ُل‬
ٍ ‫م‬ ِ ِ
ْ
َ َ َْ َ َ ‫ا َ َ ا‬ َ َ َ
ََ ‫ض‬
‫ان‬ َ ‫ص َْوم َر َم‬
ِ ‫هللا وِإق ِام الصَل ِة وِإيت ِاء الزك ِاة وح ِج البي ِت و‬
َ
ِ
Islam didirikan atas lima sendi. Bersaksi bahwa tidak ada tuhan
kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat
menunaikan zakat, haji ke Baitullāh dan berpuasa di bulan Ramaḍān
(H.R. Muslim).
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa zakat itu satu di antara
sendi berdirinya Islam. Ini berarti bahwa zakat itu salah satu sendi atau
tiang utama dari bangunan Islam, yang dalam istilah fikih disebut
rukun Islam. Ibarat orang shalat yang meninggalkan salah satu rukun,
maka shalatnya batal. Demikian pula zakat sebagai rukun Islam,

Fikih Zakat Kontemporer


213

meninggalkan zakat bagi yang mampu, batallah status orang sebagai


penganut ajaran Islam yang baik.
3. Dalil-Dalil Wajib Zakat
Firman Allah SWT:
َ َ‫ا‬ َ ‫الل َه ُم ْخلص َين َل ُه الد‬ ‫ََ ُ ُ ا َ ُُْ ا‬
‫الصَلة‬ ‫ين ُح َن َفاء َو ُي ِق ُيموا‬ ِ ِ ِ ‫وما أ ِمروا ِإَّل ِليعبدوا‬
ْ ُ َ َ َ َ َ‫ا‬ ُ
‫ين ال َق ِي َم ِة‬ ‫َو ُي ْؤتوا الزكاة وذ ِلك ِد‬
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Q.S.
al-Bayyinah [98]: 5)
Firman Allah SWT:

‫وم‬ ‫ر‬ ‫َوفي َأ ْم َو ِاله ْم َح ٌّق ِل ا‬


ُ ‫لسا ِئل َو ْاْلَ ْح‬
ِ ِ ِ ِ
Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Q.S. al- Żāriyāt [51]:
19)
Firman Allah SWT:
َ ‫الله َو َر ُسوله َو َأنف ُقوا م اما َج َع َل ُكم ُّم ْس َت ْخ َلف َين فيه َف االذ‬
‫ين‬
‫ا‬ ُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ‫ِآمنوا ِب‬
َ ٌ ْ َ ْ َُ ُ َ ََ ْ ُ
َ ‫َآم ُنوا ِمنكم وأنف َقوا لهم أجر ك ِب‬
ٌ‫ير‬
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan
menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar. (Q.S. al-Ḥadīd [57]: 7)
Firman Allah SWT:
َُ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ‫َ ا‬
‫ات َما ك َس ْب ُت ْم َو ِم اما أخ َر ْج َنا لكم‬
ِ ‫َيا أ ُّي َها ال ِذين َآمنوا أ ِنفقوا ِمن ط ِي َب‬
َ َ
ْ ‫ْلا‬
‫ض‬ ِ ‫ر‬ ‫ِمن‬

Fikih Zakat Kontemporer


214

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah, zakat)


sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (Q.S. al-Baqarah [2]:
267)
Hadis Nabi SAW:
ٌ‫ات َي ْوم َج ِال ًسا َف َأ َت ُاه َر ُجل‬ َ ‫الل ُه َع َل ْيه َو َس ال َم َذ‬
ِ
‫َا ا‬
‫ى‬ ‫ل‬‫ص‬ ‫هللا‬
ِ ‫ل‬ ُ ‫ان َر ُسو‬ َ ‫َك‬
ٍ
َ‫الل َه َ َوَّل ُت ْشرك‬‫َ ْ َْ ُ َ َ ْ َْ ُ َ ْ َ َُْ ا‬ َ ‫َ َيا ر ُسو‬:‫ال‬َ ‫َو َق‬
ِ ‫د‬ ‫ب‬ ‫ع‬‫ت‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫َل‬‫س‬ ‫ْلا‬
ِ َ: َ
‫ال‬ ‫ق‬ ‫؟‬ ‫م‬ ‫َل‬‫س‬ ‫ْلا‬
ِ ‫ا‬َ
‫م‬ ‫هللا‬
ِ ‫ل‬ َ
َ‫صوم‬ ُ ‫وض َة َو َت‬ َ ‫الز َك َاة ْاْلَ ْف ُر‬ ْ َ َ‫ا‬
‫اْلك ُت َوب َة َو ُت َؤد َي ا‬ ‫يم الصَلة‬ َ ‫به َش ْي ًئا َو ُتق‬
ِ ِ ِِ
َ.‫ان‬ َ
َ ‫َر َمض‬
Adalah Rasulullah SAW pada suatu hari duduk beserta para
sahabatnya. Lalu datanglah seorang laki-laki dan bertanya “Wahai
Rasulullah, apakah Islam itu?” Nabi menjawab; “Islam adalah
engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dan
engkau dirikan shalat wajib dan engkau tunaikan zakat yang
difarḍukan, dan berpuasa di bulan Ramaḍān (H.R. al-Bukhārī dan
Muslim).
Hadis Nabi SAW:
َ ‫َ َ َ ا ا‬ ْ ‫ُبن َي ْْلا ْس ََل ُم َع َلى َخ‬
‫س َش َه َاد ِة أ ْن َّل ِإل َه ِإَّل الل ُه َوأ ان ُم َح ام ًدا َر ُسو ُل‬
ٍ ‫م‬ ِ ِ
َ‫ان‬ َ ْ ْ َ َ ‫ا‬ َ َ َ
َ ‫هللا َوِإق ِام الصَل ِة وِإيت ِاء الزك ِاة وح ِج البي ِت وصو ِم َرمض‬
َ ْ َ َ َ َ َ ‫ا‬ ِ
Islam didirikan atas lima sendi. Bersaksi bahwa tidak ada tuhan
kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat
menunaikan zakat, haji ke Baitullāh dan berpuasa di bulan Ramaḍān
(H.R. Muslim).
Hadis Nabi SAW:
Pesan Nabi ketika mengutus Mu’āż r.a. pergi ke Yaman:
‫َ َ َ ا ا‬ َ َ َ َ ْ ْ َ ْ ً ْ َ َْ َ ‫ا‬
‫اب ف ْاد ُع ُه ْم ِإلى ش َه َاد ِة أ ْن َّل ِإل َه ِإَّل الل ُه‬
ِ ‫ِإ َنك تأ ِتي قوما ِمن أه ِل ال َِكت‬
َ ْ ‫ا‬ َ َ َ َ
َ ‫وك ِلذ ِل َك فأ ْع ِل ْم ُه ْم أ ان الل َه افت َر‬ ُ ‫الله إ ْن ُه ْم أ َط‬
َ ‫اع‬ ‫َُ ُ ا‬ َ
‫ض‬ ِ ِ ‫وأ ِني رسول‬
َ َ ُ َ َ ْ ُ ْ َ َََْ ْ َ ُ ََ َ ْ َ ْ ََْ
‫وك ِلذ ِل َك‬ ‫ات ِفي ك ِل يو ٍم َوليل ٍة ف ِإن هم أطاع‬ ٍ ‫صل َو‬ ‫علي ِهم خمس‬

Fikih Zakat Kontemporer


215

َ َُ َْ ُ َ ُ ً َ َ ْ ََْ َ ََْ َ ‫ََ ْ ْ ُ ْ َ ا ا‬


‫ص َدقة ت ْؤخذ ِم ْن أغ ِن َي ِائ ِه ْم فت َر ُّد َعلى‬ ‫فأع ِلمهم أن الله افترض علي ِهم‬
َ َ َ َ ‫ََُ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ُ َ َ َ َ ا‬
‫اك َوك َرا ِئ َم أ ْم َو ِال ِه ْم َو اات ِق َد ْع َوة‬ ‫فقر ِائ ِهم ف ِإن هم أطاعوك ِلذ ِلك ف ِإي‬
‫ا‬ َ ‫ْاْلَ ْظ َُلوم َفإ ان ُه َل ْي‬
َ ٌ ‫س َب ْي َن ُه َو َب ْي َن الل ِه ِح َج‬
َ.‫اب‬ ِ ِ
Sesungguhnya engkau (Mu’āż) akan mendatangi kaum dari ahli kitab,
maka serulah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali
Allah, dan aku (Muhammad) adalah Rasulullah. Jika mereka telah
mentaati yang demikian, maka terangkanlah kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam. Jika yang
demikian mereka taat juga, terangkanlah kepada mereka bahwa Allah
telah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat, yang
dipungut dari harta orang-orang kaya di antara mereka, untuk
diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika tugas
inipun telah mereka taati, maka janganlah engkau mengambil selain
dari hal tersebut. Muliakanlah harta-harta mereka. Jagalah dirimu
dari doa orang-orang yang teraniaya, karena antara Allah dan orang
yang teraniaya tidak ada hijab (penghalang). (H.R. al-Bukhārī dan
Muslim)
Hadis Nabi SAW:

َ َ ‫الس ِن‬ ُ ُ ُ ََ ْ ‫َ َ َ َ َ ْ ا َ َ ا‬
.‫ين‬ ِ ‫ما منع قو ٌم الزكاة إَّل ابتَلهم هللا ِب‬
Bila suatu kaum enggan mengeluarkan zakat, Allah akan menguji
mereka dengan bertahun-tahun kekeringan dan kelaparan. (H.R. al-
Ṭabrānī)
Hadis Nabi SAW:
ْ َْ ‫اَ ُ ً ا‬ َُ ‫ا‬ َ َ َ
َ‫الزكاة َماَّل إَّل أف َس َدت ُه‬ ‫الص َدقة ِأو‬ ‫َما خالط ِت‬
Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak
harta itu. (H.R. al-Bazzār dan al-Baihaqī)

E. Macam-macam Zakat
Zakat termasuk kategori ibadah (seeperti shalat, haji, dan puasa)
yang telah diatur berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Sekaligus
merupakan amal sosial-kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat

Fikih Zakat Kontemporer


216

berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Secara umum


zakat terbagi menjadi dua macam:
1. Zakat Māl (Harta)
َُ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َ ‫َ َ ُّ َ ا‬
‫ات َما ك َس ْب ُت ْم َو ِم اما أخ َر ْج َنا لكم‬ َ
‫ب‬
ِ ِ ‫ي‬ ‫ط‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫يا أيها ال ِذين آمنوا أ ِنفق‬
‫وا‬
َ ‫ا‬ ُ ْ َ َ َ ُ ُ ُ ْ َ َ ْ ْ ُ ‫َ َْ َ َ َ َ ا‬
‫ض وَّل تيمموا الخ ِبيث ِمنه ت ِنفقون ولستم ِب ِآخ ِذ ِيه ِإَّل أن‬ ِ ‫ِمن ْلار‬
َ ْ َ ْ ‫ض ْوا فيه َو‬
ٌ ‫اعل ُموا أ ان الل َه َغن ٌّي َحم‬ ُ ‫ُت ْغم‬
‫يد‬ ِ ِ ِ ِ ِ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah, zakat)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang bururk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. al-Baqarah [2]: 267)
2. Zakat Nafs (Jiwa), juga Disebut Zakat Fitri
َ ‫َ ْ ْ ُ َ َ َ َ ا ُ َ ُْ َ َ َ َ َ َ َ ُ ُ ا َ ا ا‬
‫صلى الل ُه َعل ْي ِه‬ ‫عن اب ِن عمر ر ِض ي الله عنهما قال فرض رسول الل ِه‬
ُ ْ َ َْ ْ ََ َ ْ ً َ َْ َْ ْ ً َ ْ ْ َ ََ َ ‫َ َ ا‬
‫وسلم زكاة ال ِفط ِر صاعا ِمن تم ٍر أو صاعا ِمن ش ِع ٍير على العب ِد والح ِر‬
َ َُ َ َ ُْ ْ َْ ُْ َ َ ‫َ ا‬
‫ْلا ْن َثى َو ا‬
‫اْل ْس ِل ِم َين َوأ َم َر ِب َها أ ْن تؤ ادى ق ْب َل‬
َ ‫الص ِغ ِير َوالك ِب ِير ِمن‬ ‫والذك ِر و‬
َ‫ا‬ َ ‫ا‬ ُ ‫ُخ‬
.‫اس ِإلى الصَل َِة‬ ِ ‫وج الن‬ ِ ‫ر‬
Dari Ibnu ‘Umar R.A.:Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitri 1
(satu) ṣā’ dari kurma atau gandum atas budak, orang merdeka, laki-
laki dan perempuan, anak kecil dan orangtua, dari seluruh kaum
muslimin. Dan beliau perintahkan supaya dikeluarkan sebelum
manusia keluar untuk shalat (‘īd). (H.R. al-Bukhārī)

F. Syarat-Syarat bagi Orang yang Wajib Zakat


1. Mukmin dan Muslim
Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam. Oleh karenanya,
hanya diwajibkan kepada orang mukmin dan muslim.

Fikih Zakat Kontemporer


217

Firman Allah SWT:


ً ُ ْ َ ُ َ َ
‫َوق ِد ْم َنا ِإلى َما َع ِملوا ِم ْن َع َم ٍل ف َج َعل َن ُاه َه َب ًاء امنثورا‬
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Q.S. al-Furqān [25]: 23)
‫الز َك َاة َو ْار َك ُع ْوا َم َع ا‬
‫الر ِاك ِع َين‬ ‫َو َأ ِق ُيم ْوا ا‬
‫الص ََل َة َو ُآت ْوا ا‬
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-
orang yang ruku’. (Q.S. al-Baqarah [2]: 43)
2. Berakal
Orang yang tidak berakal tidak wajib berzakat. Kewajiban zakat
hartanya dibebankan kepada walinya atau orang yang mengurus
hartanya itu, seperti anak yatim yang mempunyai harta dan telah
memenuhi syarat untuk dikeluarkan zakatnya. Hal ini sebagaimana
Hadis Nabi SAW:
َ ‫َ ِا اتج ُروا في ْأم َوال‬:‫هللا َع َل ْيه َو َس ال ََم‬
‫الي َت َامى َح اتى‬ ُ ‫ص الى‬ َ ‫َق‬
َ ‫ال َر ُس ْو ُل هللا‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ َ‫َ َْ ََُ ا‬
.‫اة‬َ ‫الزك‬ ‫َّل تاكلها‬
Rasulullah SAW bersabda: Niagakanlah kekayaan harta anak-anak
yatim (jangan dibiarkan saja), supaya tidak habis dimakan oleh zakat.
(H.R. al-Tirmiżī)
3. Kepemilikan Sempurna (al-Milk al-Tām)
Harta yang wajib dizakati adalah harta yang dimiliki secara
sempurna oleh wajib zakat.
4. Memiliki Harta yang Mencapai Niṣāb
Kententuan-ketentuan lainnya mengenai zakat, termasuk pada
Zakat Māl, Zakat Fitri, Mustahik Zakat dan sebagainya akan dibahas
lebih lanjut pada bab tersendiri dalam draf ini.17

17
Lazis Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, cet. VII (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2016) hal. 1-16 (dengan beberapa penyesuaian).

Fikih Zakat Kontemporer


218

BAB III
NILAI DASAR DAN PRINSIP ZAKAT
DALAM AJARAN ISLAM

Ajaran normatif Islam terpatri dalam apa yang dikenal secara


populer dengan syariah (dengan pengertian luas). Syariah dalam arti luas
ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu bagian yang
mengatur tingkah laku batin yang disebut akidah, bagian yang mengatur
tingkah laku dilihat dari sisi moral, yang disebut akhlak, dan bagian yang
mengatur tingkah laku dari sisi lahiriah, baik tingkah laku dalam
berhubungtan kepada Sang Pencipta maupun yang berhubungan sesama
makhluk, khususnya makhluk manusia, yang dikenal dengan syariah
dalam arti sempit.
Syariah dalam arti sempit ini merupakan kumpulam norma yang
mengatur tingkah lahiriah yang dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
kumpulan norma ajaran Islam yang mengatur tingkah laku dalam
hubungan dengan Allah SWT, yang disebut ibadat, dan kumpulan norma
ajaran Islam yang mengatur tingkah laku duniawi yang disebut muamalat
dalam arti luas. Jadi secara keseluruhan ajaran Islam mencakup (1) ajaran
tentang akidah, (2) ajaran tentang tingkah laku moral, yaitu akhlak, (3)
ajaran yang mengatur tingkah laku ritual yang disebut ibadat, dan (4)
ajaran yang mengatur kehidupan duniawi yang disebut muamalat
dunyawiah.
Keseluruhan ajaran tersebut dapat disusun secara hirarkis, di mana
norma yang lebih tinggi memayungi (jika dilihat dari bawah) atau
melandasi (jika dilihat dari bawah ke atas) norma-norma lebih di
bawahnya (dilihat dari atas). Dalam beberapa putusan Tarjih yang sudah
ada, norma-norma ajaran Islam itu disusun dalam tiga jenjang, yaitu (1)
nilai-nilai dasar, (2) asas-asas umum, dan (3) peraturan konkret.

Fikih Zakat Kontemporer


219

Nilai-nilai dasar dimaksudkan kumpulan norma ajaran Islam yang


mendasar seperti keimanan, keadilan, kemaslahatan, dan banyak lainnya
yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW atau
disimpulkan dari keseluruhan semangat ajaran Islam. Nilai-nilai dasar ini
mencakup nilai-nilai dasar teologis, seperti keimanan dengan berbagai
cabangnya, nilai dasar etis, seperti keadilan, dan nilai dasar yuridis seperti
kemaslahatan. Nilai-nilai dasar ini bersifat sangat abstrak dan luas
cakupannya sehingga karena itu, agar operasional, dikongkretisasi
(dijabarkan secara lebih konkret) dalam asas-asas umum, yaitu prinsip-
prinsip (asas-asas) yang melandasi sejumlah ketentuan konkret agama
Islam. Misalnya nilai dasar kemaslahatan dapat dikonkretisasi dalam
bentuk prinsip memudahkan (al-taisīr) dalam menjalankan norma agama.
Dari prinsip ini diturunkan peraturan kokret tentang ibadah, misalnya
musafir boleh mengqasar salatnya, ibu hamil boleh tidak berpuasa di
bulan Ramaḍān dan diganti dengan membayar fidyah, orang dalam
kesulitan keuangan diberi tangguh untuk membayar utangnya.
Contoh lain nilai dasar keimanan di antaranya berarti percaya
bahwa Allah adalah Pencipta yang memberikan hidup kepada manusia,
sehingga hidup manusia merupakan amanah dan sekaligus anugerah
Allah kepada manusia. Dari nilai dasar itu dapat diturunkan prinsip (asas)
ajaran bahwa hidup itu suci dan harus dipertahankan sebagaimana
ditegaskan dalam maqasid syariah “perlindungan hidup” (ḥifẓ an-nafs).
Dari asas ini diturunkan ketentuan konkret, yaitu dilarang melakukan
eutanasia (physician-adminstered death) atau bunuh diri dengan bantuan
dokter (physician-assisted suicide).

A. Nilai-Nilai Dasar Islam Tekait Zakat


Nilai-nilai dasar Islam terkait zakat adalah nilai-nilai dasar yang
berhubungan dengan harta kekayaan secara umum. Dari pembacaan
terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW dapat disimpulkan
nilai-nilai dasar Islam yang melandasi pengelolaan harta kekayaan, yaitu

Fikih Zakat Kontemporer


220

(1) bahwa Allah adalah pemilik mutlak harta kekayaan, (2) bahwa Allah
mendelegasikan pengelolaan harta kekayaan kepada manusia, dan (3)
bahwa manusia, karena itu, adalah pemilik nisbi atas harta kekayaan yang
ada di tangannya. Ini merupakan nilai-nilai dasar teologis. Nilai dasar etis
adalah keadilan dan persaudaraan (solidaritas), dan nilai dasar yuridis
syarʻi adalah kemaslahatan.
1. Allah Adalah Pemilik Hakiki Harta Kekayaan
Dalam akidah Islam diyakini bahwa Allah adalah Tuhan Maha
Pencipta. Ayat pertama al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW menggambarkan Allah sebagai pencipta. Kemudian
dalam berbagai ayat berikutnya Dia digambarkan sebagai Sang Maha
Pencipta. Oleh karena Dia adalah Pencipta, maka seluruh alam
semesta adalah milik-Nya karena pencipta adalah pemilik atas barang
ciptaannya.
Secara khusus dalam al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa segala
sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya. Hal ini dapat
dibaca dalam ayat-ayat betikut,
َْ
ْ ‫ْلا‬ َ ‫ات َو‬ ‫ِل ال ِه َما في ا‬
َ ‫الس َم‬
‫ض‬
ِ ‫ر‬ ‫ي‬‫ف‬ِ ‫ا‬‫م‬ ِ ‫او‬ ِ
Milik Allah lah apa yang ada di langit dan di bumi... (Q.S. al-Baqarah
[2]: 284)
َ ‫ين ُأ ُوتوا ْالك َت‬
َ ‫ص ْي َنا االذ‬
‫ا‬ َ ‫ْلا ْرض َو َل َق ْد‬ َْ َ َ ‫الس َم َاوات‬
‫ا‬ َ ‫َ ا‬
‫اب‬ ِ ِ ‫و‬ ِ ‫ي‬‫ف‬ ِ ‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬ ِ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ِ ‫وِل‬
‫ا‬‫م‬ ‫ه‬ ‫ل‬
َ ‫الل َه َوإ ْن َت ْك ُف ُروا َفإ ان ل اله َما في ا‬ ‫ا‬ َ ُ ُ َ
‫ات‬ ِ ‫الس َماو‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ِم ْن ق ْب ِلك ْم َوِإ اَياك ْم أ ِن اات ُقوا‬
َ‫ات َوما‬ َ‫الس َماو‬
‫ا‬ َ ‫َ ا‬ ً َ َ ُ ‫ْ َْ َ َ َ ا‬ ََ
ِ ‫)َوِلل ِه ما ِفي‬131( ‫ض وكان الله غ ِنيا ح ِميدا‬ ِ ‫وما ِفَي ْلار‬
ً ‫ا‬ َ ْ ‫في ْْلا‬
)131( ‫ض َوك َفى ِبالل ِه َو ِكيَل‬ ِ ‫ر‬ ِ
Milik Allah lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi;
sesungguhnya Kami telah berpesan kepada orang-orang yang diberi
Kitab sebelum kamu dan juga kepadamu agar bertakwa kepada Allah,
dan jika kamu ingkar, maka sesungguhnya milik Allah lah apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan adalah Allah itu Maha

Fikih Zakat Kontemporer


221

Kaya lagi Maha Terpuji. Dan milik Allah lah apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi, dan cukup lah Allah sebagai pelindung
(Q.S. al-Nisā’ [4]: 131-132).
2. Allah Mendelegasikan Pengelolaan Harta kepada Manusia
Dalam al-Quran ditegaskan juga bahwa Allah menciptakan
manusia yang difungsikan sebagai khalifah di muka bumi. Dalam
kapasitas sebagai khalifah, manusia diberi tugas (misi) memakmurkan
bumi. Agar tugas memakmurkan bumi dapat dijalankan dengan baik
Allah menganugerahkan dan mendelegasikan kepada manusia
pengelolaan harta kekayaan yang menjadi sendi kehidupan.
Bahwa manusia difungsikan sebagai khalifah (dalam pengertian
teologis) di muka bumi ditegaskan dalam firman Allah,
ً َ َ ْ َْ ٌ َ َ َ َ ْ َ ُّ َ َ َ ْ َ
‫ض خ ِليفة‬
ِ ‫ر‬ ‫ْلا‬ ‫ي‬‫ف‬ِ ‫ل‬ ‫اع‬
ِ ‫ج‬ ‫ي‬ ‫ن‬
ِ ‫إ‬ِ ‫وِإذ قال ربك ِللمَل ِئ‬
‫ة‬
ِ ‫ك‬
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya
aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi (Q.S. al-
Baqarah [2]: 30).
Bahwa manusia diberi tugas (misi) memakmurkan bumi dan
kehidupan di dalamnya disebutkan dalam ayat,
َْ َ ْ ُ َ َ َْ َ ُ َُُْ َ ْ ْ ُ َ َ َ ‫ا‬
ْ‫ْلار‬ ْ ‫ال َيا َق ْوم‬
ُ ‫اع ُب‬ َ ‫َق‬
‫ض‬
ِ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫م‬‫ك‬ ‫أ‬‫ش‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ه‬‫ر‬ ‫ي‬ ‫غ‬ ‫ه‬
ٍ ‫ل‬ ‫إ‬ِ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫م‬‫ك‬ ‫ل‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ه‬ ‫الل‬ ‫وا‬‫د‬ ِ
ُ
‫اس َت ْع َم َرك ْم ِف َيها‬
ْ ‫َو‬
(Nabi Ṣāliḥ) berkata: Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada Tuhan
bagimu selain-Nya. Dia menciptakan kamu dari tanah bumi, dan
menugaskan kamu untuk membuat kemakmuran di dalamnya (Q.S.
Hūd [11]: 61).
Bahwa Allah mendelegasikan pengelolaan harta kepada
manusia dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an,
‫اس َت َوى إ َلى ا‬
ْ ‫يعا ُث ام‬
ً ‫ْلا ْرض َجم‬ َْ َ ‫ُه َو اال ِذي َخ ََل َق َل ُك ْم‬
‫الس َم ِاء‬ ِ ِ ِ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ‫ا‬‫م‬
َ ُ
ٌ ‫ات َو ُهو بكل ش ْي ٍء ع ِل‬
َ ‫ُ ا‬ َ
‫يم‬ ِ ِ
َ ٍ ‫ف َس اواهن َس ْب َع َس َم َاو‬

Fikih Zakat Kontemporer


222

Dialah Tuhan yang menciptakan untukmu segala yang ada di bumi,


kemudian Dia menghadap ke langit dan menyempurnakannya
menjadi tujuh langit, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S.
al-Baqarah [2]: 29).
َ َْ ‫ََ ْ َ َْ َ ا ا‬
‫الل َه َس اخ َر َل ُك ْم َما في ا‬
‫ض َوأ ْس َب َغ‬
ِ ‫ر‬ْ ‫ْلا‬ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ‫ا‬‫م‬َ ‫ات َو‬
ِ
َ ‫الس َم‬
‫او‬ ِ ‫ألم تروا أن‬
ً ََ ًَ َ ُ ‫َع َل ْي ُك ْم ن َع َم‬
‫اط َنة‬ِ ‫ب‬‫و‬ ‫ة‬‫ر‬‫اه‬
ِ ‫ظ‬ ‫ه‬ ِ
Tidak engkau lihat bahwa Allah telah menundukkan untukmu segala
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan melimpahkan
atasmu nikmat-nikmatnya yang nyata dan yang tersembunyi (Q.S.
Luqmān [31]: 20).
ُ َ ْ ْ ْ َُ ‫ا ا‬
‫الل ُه ال ِذي َس اخ َر لك ُم ال َب ْح َر ِل َت ْج ِر َي ال ُفل ُك ِف ِيه ِبأ ْم ِر ِه َوَِل َت ْب َتغوا ِم ْن‬
‫ات َو َما ِفي‬ َ ‫) َ َو َس اخ َر َل ُك ْم َما في ا‬11( ‫ون‬ َ ‫ضله َو َل َع ال ُك ْم َت ْش ُك ُر‬ْ َ
ِ ‫الس َماو‬ ِ ِِ ‫ف‬
َ ‫يعا م ْن ُه إ ان في َذل َك ََل َيات ل َق ْوم َي َت َف اك ُر‬ ً ‫ْلا ْرض َجم‬ َْ
ََ)13( ‫ون‬ ٍ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Allah adalah (Tuhan) yang menundukkan laut kepadamu agar dapat
dilayari kapal dengan perintah-Nya dan agar kamu mencari karunia-
Nya dan agar kamu bersyukur. Dia menundukkan kepadamu apa yang
ada di langit dan apa yang ada dibumi semuanya. Sesunggihnya pada
yang demikian itu terdapat tandatanda kebesaran-Nya bagi kaum
yang berfikir (Q.S. al-Jāṡiyah [45]: 12-13).
Bahwa Allah menjadikan harta sebagai sendi kehidupan
manusia dapat dilihat dalam ayat,
‫ُّ َ َ َ َ ْ َ َ ُ ُ ا َ َ َ ا‬
ُ ‫الل ُه َل ُك ْم ق َي ًاما َو ْار ُز ُق‬ ُ ُ َ
‫وه ْم ِف َيها‬ ِ ‫َوَّل ت ْؤتوا السفهاء أموالكم ال ِتي جعل‬
ً ً َ َ ُ ُ ُ ُ ْ َ
‫وه ْم َوقولوا ل ُه ْم ق ْوَّل َم ْع ُروَفا‬ ‫واكس‬
Janganlah kamu serahkan harta bendamu yang dijadikan Allah
sebagi sendi kehidupan bagimu kepada orang-orang dungu (safih).
Penuhi keperlungan pangan dan sandang mereka, dan katakan
kepada mereka perkataan yang patut (Q.S. al-Nisā’ [4]: 5).
3. Manusia Mempunyai Kepemilikan Nisbi atas Harta
Konsekuensi logis dari pernyataan bahwa Allah adalah pemilik
mutlak harta adalah bahwa manusia merupakan pemilik nisbi yang

Fikih Zakat Kontemporer


223

menerima harta sebagai amanah dari Allah SWT. Oleh karena itu
tidak semua harta yang dimiliki setiap orang adalah miliknya secara
mutlak, melainkan di dalamnya terdapat hak orang lain sebagaimana
difirmankan Allah,

‫وم‬ ‫ر‬ ‫َوفي َأ ْم َو ِاله ْم َح ٌّق ِل ا‬


ُ ‫لسا ِئل َو ْاْلَ ْح‬
ِ ِ ِ ِ
Di dalam harta mereka itu ada hak bagi orang yang meminta-minta
dan tidak punya (Q.S. al-Żāriyāt [51]: 19).

َ)12( ‫وم‬ ُ ‫لسا ِئل َو ْاْلَ ْح‬


‫ر‬ ٌ ‫ين في َأ ْم َو ِاله ْم َح ٌّق َم ْع ُل‬
‫)َ ِل ا‬12( ‫وم‬ َ ‫َو االذ‬
ِ
ِ ِ ِ ِ
Orang-orang yang di dalam harta mereka terdapat hak yang
ditentukan, bagi orang yang meminta-minta dan tidak punya (Q.S. al-
Ma’ārij [70]: 24-25).
4. Nilai Dasar Keadilan
Keadilan adalah ajaran dasar Islam yang mendapat penekan kuat
dalam sejumlah ayat al-Qur’an. Antara lain,
َ ُ َ َ ‫ا‬ ‫ا‬ َْ ُ ْ
َ‫اع ِدلوا ُه َو أق َر ُب ِل الت ْق َوى َو اات ُقوا الل َه ِإ ان الل َه خ ِب ٌير ِب َما ت ْع َملون‬
Berlaku adillah kamu. Sesungguhnya berlaku adil itu lebih dekat
kepada takwa (Q.S. al-Māidah [5]: 8).
َ َ ‫ا‬ ُ ْ َ ‫َ َ ُّ َ ا َ َ ُ ُ ُ َ ا‬
‫ين ِبال ِق ْس ِط ش َه َد َاء ِلل ِه َول ْو َعلى‬
َ ‫يا أيها ال ِذين آمنوا كونوا قو ِام‬
َْْ ْ َ ُ َْ
‫أن ُف ِسك ْم أ ِو ال َو ِال َد ْي ِن َوْلاق َرِب َين‬
Wahai orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan dengan
bersaksi kepada Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau kedua
orang tuamu atau karib kerabat (Q.S. al-Nisā’ [4]: 135).
ْ ْ ْ ‫ا‬
‫ِإ ان الل َه َيأ ُم ُر ِبال َع ْد ِل َو ِْلا ْح َس ِان‬
Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan
(Q.S. al-Naḥl [16]: 90).
5. Nilai Dasar Persaudaraan
Islam mengajarkan bahwa manusia itu bersaudara. Hal ini

Fikih Zakat Kontemporer


224

ditegaskan dalam hadis Nabi SAW,


ُ َ َ ‫هللا َع َل ْي ِه َو َس ال َم َق‬
ُ ‫ص الى‬ ‫َع ْن َأ َنس َعن ا‬
‫ال َّل ُي ْؤ ِم ُن أ َح ُدك ْم َحتى‬ َ ‫النبي‬
ِ ِ ِ ٍ
ْ َ
‫ۡلخيه ما ُي ِح ُّب ِلنف ِس ِه‬ ‫ُي ِح اب‬
ِ
Dari Anas, dari Nabi SAW [diriwayatkan bahwa] beliau bersabda:
Tidak beriman seseorang kamu sebelum mencintai terhadap
saudaranya seperti mencintai terhadap dirinya (H.R. al-Bukhārī).
Hadis ini mengajarkan nilai dasar persaudaraan dalam Islam.
Dalam persaudaraan terdapat solidaritas sebagai unsur penting di
dalamnya.
6. Nilai Dasar Kemaslahatan
Tidak ragu lagi bahwa kemaslahatan merupakan nilai dasar
penting dalam Islam. Meskipun tidak ada dalil khusus yang
menegaskan nilai ini dalam Islam, namun, sebagaimana ditegaskan
oleh al-Syāṭibī (w. 790/1388), penegasan suatu masalah tidak selalu
harus berdasarkan suatu dalil khusus, tetapi bisa juga diambil daru ruh
dan semangat umum ajaran Islam. Para ulama islam telah
menyepakati bahwa kemaslahatan adalah salah satu nilai dasar bahkan
sekaligus menjadi tujuan syariah.
Kemaslahatan di sini tidak dibatasi dalam arti perlindungan
belaka terhadap kepentingan pokok manusia seperti perlindungan
keberagamaan, jiwa-raga, akal, institusi keluarga dan harta kekayaan
belaka. Kemaslahatan juga mencakup pemberdayaan dan
pengembangan.

B. Prinsip-prinsip Zakat
Dari niai-nilai dasar agama Islam yang dikemukakan di atas
diturunkan beberapa prinsip (asas) terkait pembayaran dan
pendayagunaan zakat. Prinsip dimasksud meliputi (1) prinsip imperatif,

Fikih Zakat Kontemporer


225

(2) prinsip keadilan distributif, prinsip kelenturan tafsir, prinsip


pemberdayaan, prinsip kepastian hukum syariah.
1. Prinsip Imperatif
Pengeluaran zakat oleh muzaki bukan suatu tindakan sepihak
atas belas kasih, melainkan suatu kewajiban yang berlandaskan
keyakinan bahwa Allah adalah pemilik harta yang mendelegasikan
pengelolaannya kepada manusia dan karenanya manusia adalah
pemilik nisbi, yang tercermin dalam pandangan bahwa dalam harta
yang dimiliki itu, secara inheren, ada hak orang lain yang wajib
dikeluarkan. Oleh karena itu pengeluarannya bukan suatu tindakan
suka rela belaka, walaupun kesukarelaan itu dituntut agar tindakan
pengeluarannya memperoleh makna kosmik yang memberikan nilai
spiritual kepadanya. Dari itu pengeluarannya dapat ditagih karena ia
adalah suatu kewajiban.
2. Prinsip Keadilan Distributif Terkoreksi
Dari ajaran dasar Islam keadilan, diturunkan prinsip keadilan
distributif terkoreksi. Teori keadilan distributif mengajarkan bahwa
orang memperoleh distribusi sesuai dengan kontribusi yang
diberikannya (distribution according contribution). Islam juga pada
prinsipnya mengakui prinsip ini yang dapat dilihat dalam sejumlah
ayat al-Qur’an, antara lain,
َ َ َ ‫ََ ْ َْ َ ْ ْ َ ا‬ َ ْ ُ َ ‫َ ا َ ُر َ َر ٌ ْز‬
‫ى‬
)33( ‫)َوأن ليس ِل ِْلنس ِان ِإَّل ما سعى‬33( ‫أَّل ت ِز و ِاز ة ِو ر أخر‬
Bahwa seseorang tidak memikul beban dari perbuatan orang lain,
dan bahwa seseorang memperoleh apa yang telah diusahakannya
(Q.S. al-Najm [53]: 38-39).
َْ َ َ َ ‫ا‬ َ ‫َ َ ُ ا‬
‫َّل ُيك َِلف الل ُه ن ْف ًسا ِإَّل ُو ْس َع َها ل َها َما ك َس َب ْت َو َعل ْي َها َما اكت َس َب ْت‬
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Ia memperoleh apa yang ia usahakan dan memikul
risiko dari apa yang ia lakukan (Q.S. al-Baqarah [2]: 286).

Fikih Zakat Kontemporer


226

Meskipun Islam mengakui prinsip keadilan distributif


sebagaimana nampak tegas dalam ayat-ayat di atas, namun ia
mengoreksinya, karena konsekuensi logis dari prinsip ini adalah
bahwa orang yang karena keadaan tertentu, misalnya lanjut usia, catat,
atau lainnya, tidak berhak atas distribusi kekayaan masyarakat. Ini
adalah suatu keganjilan bahkan sebuah ketidakadilan. Oleh karena itu
Allah mengoreksi prinsip ini dengan menegaskan bahwa terhadap
orang tidak punya dan tidak mampu ditetapkan hak tertentu dalam
kekayaan warga masyarakat yang mampu. Inilah zakat, yang bilamana
dikaitkan dengan prinsip imperatif, harus dibayar sebagai kewajiban
untuk mengeluarkan sebagian dari hak orang lain yang ditumpangkan
pada kekayaan muzaki.
Termasuk ke dalam prinsip keadilan distributif terkoreksi adalah
dimungkinkannya melakukan ijtihad ulang tentang niṣāb dan kadar
zakat pertanian.
3. Prinsip Kelenturan Tafsir
Dari nilai dasar kemaslahatan dapat diturunkan prinsip
kelenturan tafsir dalam kaitannya dengan pengelolaan zakat,
khususnya menentukan distribusi zakat. Pemahaman norma-norma
zakat harus bersifat lentur dalam arti tidak kaku (rigid) sehingga zakat
tidak dapat menjangkau pihak-pihak yang semestinya menjadi
mustahik zakat. Tetapi sebaliknya juga tidak terlelu cair sehingga
zakat mengalir kepada pihak-pihak yang sebenarnya tidak berhak.
Walaupun aṣnāf zakat tidak perlu ditambah lebih dari yang sudah
ditentukan secara tekstual, namun penafsiran norma-norma dapat
dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan sosial-ekonomi
umat.
4. Prinsip Pemberdayaan
Dari nilai dasar maslahat dapat diturunkan prinsip
pemberdayaan karena kemaslahatan itu tidak hanya sekedar
perlindungan kepentingan dasar manusia, tetapi juga, di samping itu,

Fikih Zakat Kontemporer


227

adalah pemberdayaan dan pengembangan manusia baik sebagai


individu, sebagai anggota keluarga maupun sebagai warga
masyarakat. Prinsip ini terkait pengelolaan dan pendayagunaan zakat,
yang harus mampu meningkatkan kesejahteraan, baik dalam
membaikinya kualitas konsumsi (ḥifż al-nafs), membaiknya kondisi
ekonomi, maupun meningkatnya kehidupan spiritual di mana
mustahik dapat membebaskan diri dari penerima menjadi pemberi
zakat. Hindari distribusi zakat yang justru meningkatkan
ketergantungan dan timbulnya sikap konsumtif serta pemanfaatan
dana zakat yang salah arah di mana digunakan oleh satu orang untuk
kepentingan membeli rokok misalnya sehingga dana zakat itu tidak
berfungsi memberdayakan keluarga. Oleh karena itu pengelola zakat
tidak hanya sekedar mendistribusikannya, tetapi harus mampu
menjamin dan memantau serta memberi arahan bagaimana zakat
menjadi efektif dan berhasil guna.
5. Prinsip Kepastian Hukum Syariah
Dari nilai dasar maslahat dapat diturunkan prinsip kepastian
hukum syariah, yang berarti bahwa:
a. Harta yang dikenai zakat adalah harta kekayaan yang
berkembang
b. Harta yang dikenai zakat adalah kelebihan dari kebutuhan
dasar
c. Aset tetap sebagai dasar operasi kegiatan bisnis tidak dikenai
zakat
d. Aset tetap yang menghasilkan pendapatan, selama tidak
dijadikan dijadikan obyek dagang, tidak dikenai zakat (zakat
dikenai pada penghasilannya)

Fikih Zakat Kontemporer


228

BAB IV
HARTA YANG WAJIB DIZAKATI

A. Hasil Kerja-Usaha yang Baik (Ṭayyibāt Mā Kasabtum)


1. Perdagangan
Perdagangan adalah suatu usaha untuk memperolehi keuntungan
dengan cara berjual beli. Harta perdagangan, disebut juga “barang
perdagangan” adalah segala sesuatu yang disiapkan untuk jual-beli
guna mendapatkan keuntungan. Ia mencakup apa saja seperti
peralatan, barang-barang, pakaian, makanan, perhiasan, hewan,
tumbuh-tumbuhan, tanah, bangunan dan lainnya.
Perdagangan kini banyak dilakukan orang secara online, di
samping secara offline sebagaimana dilakukan sejak zaman dahulu.
Perdagangan dibenarkan dengan syarat antara lain tidak
memperdagangkan barang yang diharamkan dan tidak
mengesampingkan unsur akhlak dalam bermuamalat, seperti amanah,
jujur dan saling menasehati, serta tidak lupa mengingat Allah dan
menunaikan hak-hak-Nya meskipun sibuk dengan perdagangan.
Harta perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya sebagai tanda
syukur atas nikmat Allah dan untuk menunaikan hak-hak orang yang
membutuhkan di kalangan hamba-hamba-Nya serta untuk maslahat
umum, agama dan negara.
a. Dalil Kewajiban Zakat Perdagangan
Kewajiban mengeluarkan zakat harta perdagangan adalah
berdasarkan dalil dari al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas. Dalil dari
al-Qur’an adalah firman Allah:
ْ َ َ َ ُ َ ُ َ ‫َ ا‬
‫ات َما ك َس ْب ُت ْم َو ِم اما أخ َر ْج َنا‬
ِ ‫َيا أ ُّي َها ال ِذين َآمنوا أ ِنفقوا ِمن ط ِي َب‬

Fikih Zakat Kontemporer


229

َْ َ ُ َ
ْ‫ْلار‬
َ‫ض‬
ِ ‫لكم ِمن‬
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu (Q.S. al-Baqarah
[2]: 267).
Para ulama tafsir memberikan penjelasan bahwa yang
dimaksud dengan min ṭayyibāt mā kasabtum (dari hasil usahamu
yang baik-baik) antara lain adalah dengan perdagangan. Bahkan
Mujahid menyebutkan bahwa min ṭayyibāt mā kasabtum adalah
dari perdagangan itu sendiri.
Dalil dari hadis antara lain seperti berikut:
‫ا‬ َ َ َ َ ُ ْ ُ ْ ََ ُ َ ْ َ َ
‫صلى هللا‬- ‫ال أ اما َب ْع ُد ف ِإ ان َر ُسو َل الل ِه‬ ‫نَسمرة ب ِن جند ٍب ق‬
َ ‫وع‬
ْ ُ ‫ا‬ َ َ ‫َ َ َْ ُ َُ َ ْ ُ ْ َ ا‬
‫الص َدقة ِم َن ال ِذى ن ِع ُّد ِلل َب ْي ِع‬ ‫ كان يأمرنا أن نخ ِرج‬-‫عليه وسلم‬
Dari Samurah bin Jundub [diriwayatkan] bahwa Rasulullah SAW
dahulu menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat dari harta yang
kami persiapkan untuk perdagangan (H.R. Abū Dāwud).
Hadis ini jelas memerintahkan pengeluaran zakat dari harta
yang diperdagangkan sehingga dengan demikian hukum zakat
perdagangan adalah wajib. Lebih dari itu, Ibnu Qudāmah
pengarang kitab al-Mugnī mengatakan bahwa kewajiban zakat
perdagangan adalah merupakan ijma’.
b. Ketentuan Zakat Perdagangan
Zakat perdagangan mempunyai ketentuan-ketentuan berikut:
1) Niat berdagang, dan bukan niat untuk memiliki. Suatu
barang itu terkena kewajiban zakat apabila diniatkan
untuk diperdagangkan, bukan untuk disimpan atau dipakai
sendiri. Oleh karena itu, kalau ada seseorang membeli
mobil untuk ia kendarai sendiri dengan niat kalau
mendapatkan keuntungan ia akan jual, maka itu bukan

Fikih Zakat Kontemporer


230

harta perdagangan. Ini berbeda dengan orang membeli


mobil untuk diperdagangkannya, lalu ia mengendarainya
untuk dirinya sendiri sampai ia mendapatkan keuntungan
lalu ia menjualnya. Pemakaian mobil tersebut tidak
mengeluarkannya dari harta/barang dagangan. Ini karena
yang diperhitungkan dalam masalah niat adalah asalnya.
Jika asalnya adalah untuk pemilikan dan pemakaian
sendiri maka ia tidak menjadi barang dagangan hanya
dengan keinginan menjualnya jika ada keuntungan. Dan
jika asalnya untuk perdagangan, maka ia tidak keluar dari
perdagangan hanya dengan pemakaian. Tetapi jika ia
berniat untuk menukar barang dagangan menjadi
pemilikan dan pemakaian sendiri, maka niat ini cukup
untuk mengeluarkannya dari barang dagangan dan
memasukkannya ke dalam pemilikan pribadi yang tidak
berkembang dan tidak wajib dizakati.
2) Komoditas yang diperdagangkan halal lagi ṭayyib.
Komoditas yang tidak halal, baik barangnya maupun cara
memperolehnya, tidak layak dizakati. Zakat tidak akan
mensucikan harta yang jelas-jelas haram. Harta yang
haram seharusnya dikembalikan kepada yang berhak jika
memungkinkan.
3) Mencapai niṣāb. Apabila barang dagangan dan atau
modalnya telah mencapai niṣāb, yaitu niṣāb emas (sebesar
20 miṡqāl/dinar atau setara dengan 85 gram emas murni)
atau niṣāb perak (sebesar 200 dirham atau setara dengan
595 gram perak murni), maka perdagangan tersebut wajib
dibayarkan zakatnya. Niṣāb zakat perdagangan dianggap
sempurna pada akhir ḥaul saja, karena ia berkenaan
dengan nilai, sedang menilai barang pada setiap waktu
adalah sulit. Apabila suatu niṣāb itu sudah sempurna satu
ḥaul maka itulah yang perlu diperhitungkan, sehingga
setiap tahun seorang Muslim menzakati hartanya yang

Fikih Zakat Kontemporer


231

telah mencapai niṣāb, meskipun niṣābnya berkurang pada


pertengahan tahun. Dan inilah yang dilakukan pada zaman
Nabi SAW dan al-Khulafā’ al-Rasyidīn. Para amil zakat
waktu itu tidak bertanya: “Kapan sempurnanya niṣāb ini?
Dan berapa bulan sudah sempurna?”. Akan tetapi mereka
cukup dengan hanya memperhitungkan bahwa ia telah
sempurna ketika zakat diambil, kemudian mereka tidak
mengambil lagi darinya zakat melainkan setelah
berlalunya satu tahun qamariyah penuh.
4) Berlalu ḥaul (satu tahun). Hendaklah harta perdagangan
yang telah mencapai niṣāb itu telah dimiliki selama satu
tahun Hijriyah.
5) Kadar zakat perdagangan yang harus dikeluarkan adalah
sebanyak 2,5% atau 1/40.
6) Tempat berdagang, alat transportasi dan semua peralatan
perdagangan tidak wajib dizakati.
7) Barang dagangan dinilai dengan harga pasar waktu
dizakati, bukan harga pada waktu membeli dahulu. Dan
maksud harga pasar di sini adalah harga borong, karena
dengan harga inilah barang itu bisa dijual dengan mudah.
8) Pedagang bisa memilih mengeluarkan zakat dari harga
barang atau dari barang itu sendiri dengan
menyesuaikannya dengan maslahat dan yang terbaik
untuk mustahik (yang berhak menerima zakat).
9) Apabila perdagangan rugi, maka zakat hanya dikeluarkan
dari modal apabila mencapai niṣāb dikalikan 2,5%.
c. Penghitungan Zakat Perdagangan
Apabila waktu berzakat tiba, pedagang muslim harus
mengumpulkan seluruh harta perdagangannya; modal (barang dan
atau uang), keuntungan bersih, simpanan, piutang yang bisa
diharap kembali lalu menjumlahkan semua itu dan mengeluarkan
2,5%-nya. Adapun piutang yang tidak bisa diharapkan akan

Fikih Zakat Kontemporer


232

kembali, maka itu tidak wajib dizakati. Dan apabila ia mempunyai


utang yang harus ia bayarkan, maka keseluruhan hartanya tersebut
dikurangi utang-utangnya yang jatuh tempo dulu, lalu sisanya
wajib ia zakati apabila mencapai niṣāb.
Dengan demikian, perhitungan zakat barang dagangan =
modal barang (dinilai dengan uang saat jatuh ḥaul, bukan saat
membelinya dahulu) + modal uang (jika ada) + keuntungan
bersih18 (jika ada) + simpanan (jika ada) + piutang yang
diharapkan kembali (jika ada) – utang yang jatuh tempo pada
tahun pengeluaran zakat, bukan seluruh utang yang ada. Apabila
setelah dijumlahkan mencapai niṣāb, maka dikeluarkan zakat
sebesar 2,5% atau 1/40.
Contoh: Pak Amin mempunyai usaha perdagangan. Pada saat tiba
haul, misalnya setiap akhir Ramadhan, maka Pak Amin harus
menyiapkan Laporan Keuangan usaha perdagangan beliau dalam
bentuk Neraca dan Laporan Laba Rugi. Kedua komponen Laporan
keuangan tersebut dapat dipakai sebagai dasar penentuan besarnya
zakat perdagangan yang wajib dikeluarkan. Misalnya berikut
adalah Neraca dan Laporan Laba Rugi usaha tersebut:
Usaha Dagang Pak Amin
Neraca
Per 30 Ramadhan 142X
Aset Utang dan Modal
Kas 8.000.000 Utang Jangka Pendek 48.000.000
Tabungan 25.000.000 Utang Jangka Panjang 152.000.000
Piutang Dagang 45.000.000
Persediaan Brng
Dagangan 100.000.000 Modal / Ekuitas:

18
Total keuntungan dikurangi biaya operasional, seperti gaji pegawai dan sewa
tempat usaha.

Fikih Zakat Kontemporer


233

Total aset lancar 178.000.000 Laba Tahun Berjalan 30.000.000


Aset tetap 152.000.000 Modal 100.000.000
330.000.000 330.000.000

UD Pak Amin
Lap Laba (Rugi)
Periode 1 Syawal - 30 Ramadhan 142X
Penjualan 120.000.000
Hrg Pokok Penjualan (70.000.000)
Laba Kotor 50.000.000

Biaya Operasional:
Sewa tempat usaha (12.000.000)
Gaji karyawan (8.000.000)
Total Biaya Operasional (20.000.000)
Laba Bersih 30.000.000

Zakat perdagangan Pak Amin dapat dihitung dengan salah satu


dari dua metode berikut ini, yakni:
1) Metode Aset Bersih. Dalam metode ini, asset bersih, yakni
asset lancar setelah dikurangi dengan utang / liabilitas
lancar dikalikan dengan tarif zakat sebesar 2,5%.
Dasar Perhitungan Zakat 1:
Total aset lancer 178.000.000
Utang Lancar (48.000.000)
Dasar Zakat 130.000.000
Kewajiban zakat: 2,5% x Dsr Zakat: 3.250.000

Fikih Zakat Kontemporer


234

2) Metode (besaran) Modal: Dalam metode ini, laba tahun


berjalan ditambahkan dengan modal dikalikan tarif zakat
sebesar 2,5%.
Dasar Perhitungan Zakat 2:
Laba th berjalan 30.000.000
Modal 100.000.000
Dasar Zakat 130.000.000
Kewajiban zakat: 2,5% x Dsr Zakat: 3.250.000

Catatan:
Dalam metode 1, data perhitungan zakat hanya berasal dari
Neraca. Sedangkan dalam metode 2, data perhitungan zakat
berasal dari Neraca dan Laba Rugi. Kedua
Komponen Laporan Keuangan ini sesungguhnya saling
berhubungan, dan tidak terlepas antara satu dan yang lain.
2. Peternakan
Syarat-syarat zakat ternak:
a. Sampai niṣāb yaitu mencapai jumlah minimal.
1) Sapi dan Kerbau: Tiap 30 ekor dikenakan zakat seekor
anak sapi umur satu tahun atau lebih, dan tiap 40 ekor
dikenakan zakat seekor anak sapi umur dua tahun atau
lebih.19
2) Kambing: Mulai 40 ekor sampai 120 ekor dikenakan zakat
seekor kambing. Mulai 121 sampai 200 ekor dikenakan
zakat 2 kambing. Mulai 201 sampai 300 ekor dikenakan

19
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019) I:156.

Fikih Zakat Kontemporer


235

zakat 3 kambing. Selebihnya dari 300 ekor setiap 100


ekornya dikenakan zakat seekor kambing.20
3) Unta, niṣāb dan kadar zakatnya adalah sebagai berikut:21
a) 5 sampai 24 ekor unta, tiap 5 ekor dikenakan zakatnya
seekor kambing.
b) 25 sampai 35 ekor unta dikenakan zakatnya seekor
anak unta betina umur 2 tahun.
c) 36 sampai 45 ekor unta dikenakan zakatnya seekor
anak unta betina umur 3 tahun.
d) 46 sampai 60 ekor unta, dikenakan zakatnya seekor
anak unta betina umur 4 tahun.
e) 61 sampai 75 ekor unta, dikenakan zakatnya seekor
anak unta betina umur 5 tahun.
f) 76 sampai 90 ekor unta, dikenakan zakatnya 2 anak
unta betina umur 3 tahun.
g) 91 sampai 120 ekor unta, dikenakan zakatnya 2 anak
unta betina umur 4 tahun.
h) Lebih dari 120 ekor unta, maka tiap-tiap ekor
dikenakan zakatnya seekor anak unta betina umur 3
tahun dan tiap-tiap 50 ekor dikenakan zakatnya seekor
anak unta betina umur 4 tahun.
4) Jenis hewan yang lain niṣāb dan kadar zakatnya
disesuaikan dengan jenis terdekat di antara tiga macam
hewan tersebut di atas, atau dengan nilai harga dari jenis
terdekat di antara tiga macam hewan tersebut.22
Ternak hewan-hewan tersebut di atas apabila
diperdagangkan atau dijadikan suatu perusahaan, maka niṣāb
dan kadar zakatnya adalah sama dengan harta dagangannya.

20
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, al-Amwāl fī al-Islām,
(Yogyakarta: Penerbit Persatuan Yogyakarta, 1975) hal. 19.
21
Ibid.
22
Ibid.

Fikih Zakat Kontemporer


236

b. Telah dimiliki satu tahun. Hal ini merupakan ketetapan ijma’.


Menghitug masa satu tahun anak-anak ternak berdasarkan
masa satu tahun induknya.23
c. Digembalakan. Maksudnya ialah sengaja diurus sepanjang
tahun dengan maksud memperoleh susu, daging serta hasil
perkembang-biakannya.24
Hadis Nabi SAW:
َ ‫ َ َسم ْع ُت َر ُس ْو‬: ‫ال‬ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َْ ْ َ
‫هللا‬
ِ ‫ل‬ ِ ‫ق‬ ‫ح ِكي ٍم عن أ ِبي ِه عن ج ِد ِه‬ َ ‫عن ب َه َِز ب ِن‬
ُ َ ُ ُ ‫ا‬ َ ُ ََ
‫هللا ََعل ْي ِه و َسل َم َي ُق ْو ُل ِف ْي ك ِل ِإ ِب ٍل َسا ِئ َم ٍة ِف ْي ك ِل أ ْرَب ِع ْي َن ْاب َنة‬ ‫صلى‬
َ
.‫ل ُب ْو ٍ َن‬
Dari Bahz bin Ḥakīm dari bapaknya, dari kakeknya
(diriwayatkan) ia berkata: “saya mendengar Rasulullah SAW
berkata: setiap unta yang digembalakan zakatnya setiap 40 ekor
adalah seekor unta betina”. (H.R. Aḥmad, al-Nasā’ī, dan Abū
Dāwud).
Hadis Nabi SAW:
ٌ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ
َ‫ص َدق ِة الغ َن ِم ِف ْي َسا ِئ َم ِت َها ِإذا كان ْت أ ْرَب ِع ْي َن ِف ْي َها شاة‬ ‫و ِفي‬
Pada kambing yang dikembalakan, bila ada 40 ekor, zakatnya
seekor kambing (H.R. al-Bukhārī).
d. Tidak untuk dipekerjakan demi kepentingan pemiliknya,
seperti untuk membajak, mengairi tanaman, alat transportasi,
dsb. (biasanya hewan besar seperti sapi, kerbau, unta, dan lain-
lain).25
َُ َ
َ‫ص َدقة‬
ْ ْ َ ‫َل ْي‬
‫س ِف ْي ال َب َق ِر ال َع َو ِام ِل‬
Sapi-sapi yang dipekerjakan tidak ada zakatnya (H.R. al-Ṭabrānī)

23
Lazis Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, hal. 21.
24
Ibid.
25
Ibid.

Fikih Zakat Kontemporer


237

Ternak yang wajib dizakati antara lain: unta, sapi, kerbau, kuda,
kecuali kuda tunggangan, dan kambing, domba, biri-biri, serta
jenis lainnya.
3. Perusahaan
a. Pengertian
Perusahaan wajib zakat (Corporate Zakah) meliputi semua
perusahaan yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan.
Dalam kategori tersebut, maka yayasan, pendidikan atau
perusahaan sosial (Social Interpreneurship) tidak termasuk wajib
zakat. Jenis usaha perusahaan meliputi semua bidang bisnis seperti
produksi, distribusi, kesehatan, perdagangan, dan jasa dengan
semua jenis badan hukum yang digunakan seperti Perseroan
Terbatas (PT), Commanditaire Vennootschap (CV) maupun
Koperasi.26
Dasar perhitungan zakatnya dengan menganalisis laporan
keuangan teraudit yang disusun dengan model cash basis.
Pendekatan cash basis digunakan untuk memberikan kepastian
bahwa pertumbuhan perusahaan tersebut bersumber dari
penghasilan yang sudah diterima. Persyaratan perusahaan wajib
zakat adalah:
1) Dimiliki (pemegang saham) oleh muslim/muslimah. Jika
pemiliknya ada yang tidak beragama Islam, maka zakat
berlaku atas deviden yang diterima oleh pesaham yang
beragama Islam.
2) Memiliki laporan keuangan meliputi Neraca, Laba Rugi
dan Perubahan Modal (equity), dan catatan atas laporan
keuangan. Jika perusahaan tidak memiliki laporan
keuangan, maka petugas amil zakat dapat membantu
menyusun laporan keuangan.

26
BAZNAS, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, (Jakarta: BAZNAS, 2018) hal.
178.

Fikih Zakat Kontemporer


238

3) Barang dan jasa yang diproduksi atau dijual merupakan


barang yang halal.
4) Mendapatkan sumber pendanaan dengan sistem syariah.27
b. Landasan Hukum
1) Landasan Syariah
a) Dalil umum sebagaimana kewajiban zakat bagi setiap
individu muslim/muslimah, seperti yang termaktub
dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 267, al-Taubah [9]: 103,
dll. Kategori harta yang wajib dizakati tidak disebutkan
dalam al-Qur’an secara detail, meskipun banyak hadis
yang memberikan penjelasan. Disamping itu, harta
yang wajib dizakati semua menggunakan kata amwāl
(jamak) untuk menunjukkan bahwa sumber zakat
berasal dari segala harta yang telah memenuhi syarat
tertentu.28
Pemaknaan perintah zakat dalam al-Qur’an dapat
dilakukan dengan dua pendekatan, yakni ijmālī
(umum) dan tafsīlī (terurai). Dengan pendekatan ijmālī,
maka perintah zakat berlaku pada semua jenis harta
yang memenuhi standar tertentu, sedangkan
pendekatan tafsīlī menjelaskan dengan rinci harta yang
wajib dizakati.29
b) Hadis Nabi Muhammad SAW.
‫َا ا‬ َ َ َ َ ََ َ
‫صلى الل ُه‬ ‫صد ُق ا‬
‫الن ِب ِي‬ َ
ِ ‫ال ج َاءنا ُم‬ ‫ق‬ ‫َع ْن ُس َو ْي ِد ْب ِن غ َفلة‬
َ ْ َ ْ َ ََ ‫ا‬ َ
‫ِب َي ِد ِه َوق َرأ ُت ِفي َع ْه ِد ِه َّل ُي ْج َم ُع َب ْي َن‬ ‫َعل ْي ِه َو َسل َم فأخذ ُت‬
27
Agus Arifin, Keutamaan Zakat, Infak dan Sedekah, (Jakarta: Gramedia, 2016)
hal. 107.
28
Muhyiddin Khatib, Rekonstruksi Fikih Zakat, Telaah Komprehensif Fikif Zakat
Pendekatan Teoritis dan Metodologis, (Malang: Literasi Nusantara, 2019) hal. 160.
29
Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004) hal. 91.

Fikih Zakat Kontemporer


239

َََ َ ‫َ ْ َ َ ا‬ ُ َ
‫الص َدق ِة فأت ُاه َر ُج ٌل‬ ‫ُم َت َف ِر ٍق َو ََّل ُي َف ارق َب ْي َن ُم ْج َت ِم ٍع خشية‬
ْ ُ َََ َ ُ ْ َ ََ َ َ َ
‫ِب َناق ٍة َع ِظ َيم ٍة ُمل ْمل َم ٍة فأ َبى أ ْن َيأخذ َها فأت ُاه ِبأخ َرى ُد َون َها‬
َ َ َ ُّ ُ َ ُّ ُ ْ َ ُّ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
‫ض ت ِقل ِني َوأ ُّي َس َم ٍاء ت ِظل ِني ِإذا أت ْي ُت‬ٍ ‫فأخذها وقال أي أر‬
َ
ْ َ َ ‫ا‬ َ ‫َ ُ َ ا َا ا‬
‫صلى الل ُه َعل ْي ِه َو َسل َم َوق ْد أخذ ُت ِخ َي َار ِإ ِب ِل‬ ‫رسول الل َِه‬
‫َر ُج ٍل ُم ْس ِل ٍ َم‬
Dari Suwaid bin Gaflah, ia berkata, “Penarik zakat
Rasulullah SAW datang kepada kami, lalu aku pegang
tangannya dan aku bacakan kepadanya, tidak boleh
memisahkan perserikatan di antara dua orang (hingga
jumlah kambing yang sedikit tidak kena zakat) atau
mengumpulkan zakat dari dua orang yang berserikat
(hingga jumlah yang dikeluarkan setiap orang menjadi
sedikit) karena takut zakat. Lalu datanglah seorang laki-
laki kepadanya dengan membawa zakatnya berupa unta
besar yang banyak dagingnya, namun ia enggan
menerimanya. Setelah itu, laki-laki tersebut datang dengan
membawa unta yang lebih kecil, lalu ia menerimanya. Ia
berkata, bumi mana yang akan aku pijak, langit mana
yang akan aku naungi, jika aku mendatangi Rasulullah
SAW dengan membawa unta terbaik seorang laki-laki
muslim”. (H.R. Ibnu Mājah).
Hadis tersebut pada awalnya berbicara tentang
perkongsian dalam ternak, tetapi atas dasar qiyas, maka
perkongsian yang dimaksud bisa masuk kepada
perkongsian atau syirkah dalam bentuk perusahaan seperti
Koperasi atau Perseroan.30
c) Ijtihad Ulama
Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat pada
tanggal 29 Rajab 1404 H di Kuwait menyatakan bahwa
zakat sangat terkait dengan perusahaan dengan catatan
disepakati oleh pemegang saham (untuk menjaga keridaan)
30
BAZNAS, Ibid., hal. 183

Fikih Zakat Kontemporer


240

dan sebaiknya dituangkan dalam aturan perusahaan. Yang


dimaksud perusahaan mencakup semua jenis entitas bisnis
syakhṣan i’tibāran (berdasarkan anggapan orang) maupun
syakhṣiyyah ḥukmiyyah (hukum yang berlaku).
Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat, Bab I, Pasal 4 bahwa obyek zakat yang
wajib dikeluarkan zakatnya adalah perseorangan atau
badan usaha/perusahaan.
Zakat merupakan wilayah muamalah, meski terjadi
perbedaan pandangan karena ada yang memasukkanya
kedalam ibadah. Jika zakat bagian dari muamalah, maka
terbuka ruang untuk berijtihad atau perlunya melakukan
rekonstruksi fikih zakat yang di dalamnya termasuk
golongan wajib zakat. Oleh karenanya esensi zakat adalah
kesetaraan sedangkan esensi ibadah dalam zakat
merupakan tambahan.31 Atas dasar keyakinan tersebut,
maka perusahaan sebagai wajib zakat bagian dari ijtihad
muamalah dengan azas maṣlaḥah mursalah.
Pembangunan kemanusian membutuhkan
kemampuan ijtihad yang komprehensif dalam ranah
ekonomi (iqtiṣādī). Karenanya konsepsi zakat sebagai
ikhtiar pembangunan kemanusiaan memerlukan
kelapangan pemahaman fikih muamalah untuk mencapai
maqaṣid syarī’ah.32 Mewujudkan tatanan kehidupan yang
sejahtera menjadi bagian penting dari ketercapaian
maqaṣid syarī’ah.33

31
Muhyiddin Khatib, Ibid., hal. 157
32
Jasser Auda, Maqshid Al Shariah As Philosophy of Islamic Law A System
Approach, London, The International Institute of Islamic Thoucht, (London, 2007) hal.
25.
33
Ahcene Lasasna, Maqasid al Shariah In Islamic Finance, IBFIM, (Malaysia,
2013) hal. 52.

Fikih Zakat Kontemporer


241

Bank syariah sebagai entitas bisnis syariah wajib


menerapkan kepatuhan syariah.34 Jika bank syariah wajib
menerapkan kepatuhan syariah (padahal syariah untuk
individu), maka perusahaan dapat diwajibkan patuh dalam
membayar zakat karena zakat bagian dari kepatuhan
syariah.
2) Landasan Sosial dan Ekonomi
a) Zakat merupakan sistem yang mampu membangun
relasi sosial yang setara dan saling menguatkan.35
Dengan pendekatan zakat, terjadi distribusi sumber
daya yang lebih merata dan berkeadilan.36 Hubungan
muzaki dengan mustahik tidak bersifat struktural tetapi
lebih kepada hubungan sosial-mutualistik.
b) Ikhtiar mewujudkan kehidupan sosial yang sejahtera
(falāḥ) membutuhkan sumber pendanaan yang tidak
sedikit. Jika perusahaan menjadi obyek zakat, maka
potensi sumber dana zakat akan semakin besar
sehingga peluang menyelesaikan masalah keumatan
juga semakin besar.37 Mobilisasi dana-dana sosial
menjadi sumber utama penyelesaian masalah
kemanusiaan.38

34
DSN-MUI No. 3 tahun 2000, Fatwa tentang Pengawasan Syariah oleh Dewan
Pengawas Syariah.
35
Muhammad Hadi, Problematikan Zakat Profesi dan Solusinya Tinjauan
Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hal. 68.
36
Mek Wok Mahmud dan Sayed Sikandar Shah, (2009), The Use of Zakah
Revenue in Islamic Financing: Jurisprudential Debate and Practical Feasibilty, Journal
Studies in Islam and the Midle East, 6 (1) hal. 1-15.
37
Asmalia et al (2018), Exploring the Zakah for Supporting Realization of
Sustainable Development Goals (SDGs) in Indonesia, International Journal of Zakah:
Special Issue on Zakah Conference, hal. 51-69.
38
Nasim Syah Shirazi, (1996), Targeting, Coverage and Contribution of Zakah to
Houshold Income the Case of Pakistan, Journal of Economic Cooperation Among
Islamic Countries, 17, (3-4) hal. 165-186.

Fikih Zakat Kontemporer


242

c) Program Corporate Social Responsibility (CSR),


memiliki nilai yang sangat strategis karena mampu
meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Pemerintah telah menetapkan bahwa setiap perusahaan
wajib menyalurkan dana sosial dengan program CSR
atau istilah lainnya adalah Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan.39 Jika perusahaan terkena kewajiban
CSR, maka zakat perusahaan bisa masuk kategori CSR
tersebut, perusahaan wajib zakat (zakat korporasi)
dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam
pembangunan kemanusian.40
c. Panduan Teknis Zakat Perusahaan
1) Perusahaan dikenakan hukum zakat diqiyaskan dengan
zakat perdagangan karena dilihat dari aspek ekonomi,
kegiatan dan tujuan perusahaan memiliki kesamaan dengan
perdagangan yakni mencari keuntungan.41
2) Niṣāb zakatnya setara dengan 85 gram emas dengan ḥaul
selama satu tahun, meskipun dapat juga dibayarkan
zakatnya saat menerima penghasilan atau belum genap satu
tahun.42
3) Perusahaan yang bergerak di bidang produksi, jasa
transportasi, perdagangan online, jasa konstruksi dan
perdagangan umum, maka perhitungan zakatnya dapat
dilakukan dengan dua cara.43
a) Aset Lancar - Utang Lancar x 2,5%, atau;
b) Laba sebelum pajak x 2,5%.

39
Undang-Undang No. 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, Pasal 74,
ayat 1.
40
Noralizna Abdul Wahab dan Abdu Rahim Rahman, (2016), Productivity
Growth of Zakah Institution In Malaysia, Studies in Economics and Finance, 29 (3) hal.
197-210.
41
Ibid., hal. 102.
42
BAZNAS, Ibid., hal. 242.
43
Ibid.

Fikih Zakat Kontemporer


243

4) Perusahaan yang bergerak di bidang jasa, seperti jasa


akuntan, konsultan manajemen, konsultan proyek, dokter,
lawyer, dan yang setara dengan itu, perhitungan zakatnya
seperti zakat profesi, yakni:
a) Penghasilan saat diterima x 2,5%, atau
b) Penghasilan yang diterima x 12 bulan x 2,5%.
5) Perusahaan yang bergerak dalam industri keuangan syariah
seperti bank syariah, asuransi syariah, lembaga
pembiayaan syariah, Baitul Mal wa Tamwil dan Koperasi
Syariah, maka perhitungan zakatnya dapat dilakukan
dengan dua cara, yakni:
a) Aset Bersih = Aset Produktif – Utang Lancar x
2,5%, atau
b) Ekuitas Bersih (Net Invested Fund) x 2,5%.
Contoh 1:
Perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan dengan metode
(Aset Lancar – Utang Lancar) x 2,5%.
PT. Maju Sejahtera
Neraca
Per 31 Desember 202X
(000)

Aset Jumlah Liabilitas Jumlah

Aset Lancar Utang Lancar


Kas, Bank dan
150.000 Utang Dagang 250.000
Setara Kas

Piutang Usaha 50.000 Utang Pajak 20.000

Persediaan Barang Biaya yang Masih Harus


550.000 100.000
Dagangan Dibayar

Uang Muka 100.000 Jumlah Utang Lancar 370.000

Fikih Zakat Kontemporer


244

Penjualan

Aset Lancar Lainnya 100.000


Jumlah Aset
Lancar 950.000 Utang Jangka Panjang

Pembiayaan Yang
Aset Tetap 250.000
Diterima (PYD)

Utang Jangka Panjang


Tanah 100.000 lainnya 30.000

Jumlah Utang Jangka


Gedung 150.000 Panjang 280.000

Kendaraan 100.000 Modal


Inventaris Kantor 30.000 Modal Usaha
Penyusutan (100.000) Modal Saham 300.000

Jumlah Aset Tetap 280.000 Tambahan Modal Disetor 130.000

Laba Tahun Berjalan 75.000

Cadangan Risiko 75.000

Jumlah Modal 580.000

Total Aset 1.230.000 Total Liabilitas 1.230.000

Jadi perhitungan zakatnya adalah:


Perhitungan Zakat
Metode Aset Bersih:
Total Aset Lancar 950.000
Total Utang Lancar (370.000)
Aset Yang Wajib Zakat: 580.000
Kewajiban Zakat: 2,5% x 580.000 = 14.500

Fikih Zakat Kontemporer


245

Metode Net Invested Fund (Equity):

Modal (Modal saham + Tambahan Modal 505.000


saham + Cadangan Resiko)

Laba Tahun berjalan 75.000


Aset Yang Wajib Zakat: 580.000

Kewajiban Zakat: 2,5% x 580.000 = 14.500

Contoh 2:

PT. Berkah Jasa Sentosa


Neraca
Per 31 Desember 202X
(Dalam 000)

Aset Lancar Utang (Liabilitas) dan Modal (Ekuiti)


Kas 75.000 Utang dagang 250.000
Piutang 950.000 Utang gaji 45.000
Utang jangka pendek
Persediaan 1.750.000 lainnya 50.000
Total Utang Jangka
Uang Muka 250.000 Pendek 345.000
Total Aset Lancar 3.025.000 Utang Jangka Panjang
Aset Tetap Utang Jangka Panjang 900.000
Tanah 300.000
Bangunan 200.000 Modal:
Kendaraan 150.000 Modal Disetor 1.000.000
Peralatan 75.000 Cadangan 1.000.000
(Akumulasi Depresiasi Aset
Tetap) 175.000 Laba Ditahan 435.000
Total Aset Tetap 900.000 Laba Tahun Berjalan 245.000
2.680.000
Total Aset 3.925.000 Total Utang & Modal 3.925.000

Fikih Zakat Kontemporer


246

PT. Berkah Jasa Sentosa


Laporan Laba Rugi
1 Januari - 31 Desember 202x
(000)

Keterangan Jumlah
Pendapatan
Penjualan Bersih 1.000.000
Harga Pokok Penjualan (500.000)
Laba Kotor 500.000
Bagi Hasil Penempatan Dana 50.000
Bonus Penjualan 30.000
Pendapatan Lainnya 20.000
Total Pendapatan 600.000
Beban Usaha
Biaya Penjualan (100.000)
Biaya Bagi Hasil Pembiayaan (75.000)
Biaya Tenaga Kerja (50.000)
Biaya Penyusutan Aset (30.000)
Biaya Operasional Lainya (100.000)
Jumlah Biaya (355.000)
Laba (Rugi) Usaha 245.000

Perhitungan Zakat:
Metode Aset Bersih:
Aset Lancar 3.025.000
Utang Lancar (345.000)
Aset yang wajib dizakati 2.680.000
Kewajiban zakat: 2,5% x 2.680.000
= 67.000

Metode Net Invested Fund (Equity):


Modal total selain Laba th berjalan 2.435.000

Fikih Zakat Kontemporer


247

Laba tahun berjalan 245.000


Aset yang wajib dizakati 2.680.000
Kewajiban zakat: 2,5% x 2.680.000 = 67.000

Contoh 3: Perusahaan yang Bergerak di bidang Jasa Keuangan.

PT. BPR SYARIAH SEJAHTERA BERSAMA


NERACA
PER 31 DESEMBER 202X
(Dalam Jutaan Rupiah)

Keterangan Jumlah Keterangan Jumlah


Aset Liabilitas
Kas 500.000 Giro Wadiah 250.000
Gira Wadiah BI 1.500.000 Tabungan Wadiah 15.000.000
Surat Berharga 15.000.000 Tabungan Mudarabah 12.500.000
Penempatan Bank Lain 2.500.000 Deposito 10.000.000
Jumlah Utang
Piutang 14.000.000 37.750.000
Lancar
Pembiayaan yang
Pembiayaan 12.400.000 300.000
diterima (PYD)
Ijarah 2.500.000 Sukuk 0
Jumlah Utang
PPAP (250.000) 300.000
Jangka Panjang
Jumlah Aset
48.150.000 Modal Disetor 8.500.000
Produktif
Aset Tetap Tambahan Saham 1.200.000
Tanah dan Gedung 250.000 Laba Ditahan 250.000
Inventaris 100.000 Laba Tahun Berjalan 350.000
Penyusutan (50.000) Cadangan Umum 100.000
Jumlah Aset Tetap 300.000 Jumlah Modal 10.400.000
Total Aset 48.450.000 Total Liabilitas 48.450.000

PT BPRS Sejahtera Bersama


Laporan Laba Rugi
Periode 1 Januari - 31 Desember 202X

Fikih Zakat Kontemporer


248

Dalam 000
Pendapatan
Bagi Hasil Pembiayaan 1.400.000
Margin 1.800.000
Ujrah 500.000
Bagi Hasil Penempatan Dana 350.000
Jasa Adiministrasi 200.000
Operasional Lain 450.000
Total Pendapatan 4.700.000

Biaya
Bagi Hasil Dana 2.000.000
Bonus Wadiah 1.000.000
Tenaga Kerja 100.000
Operasional Lain 1.250.000
Total Biaya 4.350.000
Laba 350.000

Perhitungan zakat:
Metode Aset Bersih:
Aset Lancar 48.150.000
Utang Lancar 37.750.000
Aset Yang Wajib Dizakati 10.400.000
Zakat: 2,5% x 10.400.000,- 260.000

Metode Net Invested Fund (Equity):


Modal selain laba tahun berjalan 10.050.000
Laba Tahun Berjalan 350.000
Aset Yang Wajib Dizakati 10.400.000
Zakat: 2,5% x 10.400.000,- 260.000

Fikih Zakat Kontemporer


249

4. Surat-surat Berharga
a. Saham
1) Pengertian
Saham merupakan bentuk kepemilikan atas perusahaan
karenanya pemegang saham merupakan pemilik perusahaan.
Keuntungan atau kerugian atas saham diketahui setiap akhir
tahun setelah dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) dan pada saat itulah kewajiban zakat saham muncul.
Ketentuan tentang saham wajib zakat yakni harus ditempatkan
pada perusahaan yang bebas riba, tidak memproduksi atau
menjual barang haram dan perusahaan memiliki legalitas
hukum yang sah. Ketentuan atas zakat saham dibagi menjadi
dua yakni, pertama jika perusahaan itu murni industri atau
tidak melakukan perdagangan seperti hotel,
angkutan/transportasi, maka tidak wajib zakat atas saham
karena asset perusahaan berbentuk benda tetap, zakatnya
diwajibakan atas perusahaan secara keseluruhan. Kedua, jika
perusahaan tersebut merupakan perusahaan dagang, maka
zakat saham tersebut wajib dibayarkan.44 Meskipun
sesungguhnya tidak ada perusahaan yang tidak melakukan
perdagangan, karena industri perhotelan sekalipun merupakan
perusahaan yang memperdagangkan jasa.
2) Dasar Hukum
a) Kewajiban zakat yang melekat pada semua jenis harta,
sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Taubah [9]:
103 dan al-Baqarah [2]: 267.
b) Keputusan Muktamar Internasional tentang Zakat di
Kuwait (26 Rajab 1404) telah menetapkan zakat atas
saham, obligasi, sukuk dan yang sejenisnya.

44
Yūsuf al- Qaraḍāwī, Fiqh al-Zakāt, (Beirut: Muasasah Risālah, 1973) hal. 529.

Fikih Zakat Kontemporer


250

c) Secara sosiologis, pemilik saham dan surat berharga


lainya merupakan kelompok menengah atas yang
sepantasnya memiliki tanggungjawab sosial yang
besar. Potensi saham dan surat berharga sebagai
sumber zakat terbukti mampu meningkatkan
pengumpulan zakat dan memberikan dampak positif
dalam penyelesaian masalah sosial.45
3) Ketentuan Zakat Saham
a) Niṣāb zakat saham diqiyaskan dengan zakat
perdagangan yakni 85 gram emas dengan kadar
zakatnya 2,5% dan ḥaul satu tahun.
b) Jika perusahaan telah membayarkan zakat sebelum
deviden dibagi, maka pesaham tidak wajib
mengeluarkan zakat tetapi jika perusahaan belum
membayar zakat, maka pesahamlah yang berkewajiban
membayarnya.46 Kewajiban zakat pesaham dan
perusahaan ini dicantumkan dalam peraturan
perusahaan.
Contoh. Jika seseorang memiliki saham senilai 1 Milyar
dengan keuntungan 250 juta. Maka zakat sahamnya adalah 1.250
Milyar x 2,5%= 31.250 juta.
b. Obligasi Syariah/Sukuk
1) Pengertian
Surat berharga merupakan bukti kepemilikan sejumlah
harta pada perusahaan tertentu dengan jangka waktu tertentu
pula berdasarkan prinsip syariah. Termasuk dalam surat
berharga meliputi deposito mudarabah, reksa dana dan sukuk
dengan akad ijarah maupun mudarabah dan musyarakah.

45
Shirazi, Ibid., hal. 171.
46
BAZNAS, Ibid., hal. 118 dan Arifin, Ibid., hal. 69.

Fikih Zakat Kontemporer


251

Obligasi tidak termasuk obyek zakat karena dikelola dengan


sistem bunga yang masuk kategori riba yang diharamkan.47
Jika surat berharga menggunakan akad ijarah, maka return
atau ujrah yang diterima setiap periode bisa sama, tetapi jika
menggunakan akad muḍārabah atau musyārakah48, maka bagi
hasil setiap periode bisa berbeda. Dengan obligasi syariah
menjadi obyek zakat, maka orang tidak akan memilih investasi
obligasi syariah dari pada saham.49
2) Ketentuan zakat atas surat berharga:
a) Diqiyaskan dengan zakat perdagangan, dengan niṣāb
85 gram emas dan ḥaul satu tahun, dengan kadar zakat
2,5%.
b) Niṣāb dihitung dari harta pokok surat berharga
ditambah dengan bagi hasil atau ujrah.
c. Premi Asuransi
1) Pengertian
Asuransi syariah merupakan usaha saling melindungi
dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui
investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru’ dengan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
yang sesuai syariah.50 Premi asuransi merupakan iuran yang
dibayarkan oleh nasabah asuransi kepada perusahaan asuransi
dan merupakan tagihan nasabah kepada perusahaan asuransi
setelah periode tertentu atau saat jatuh tempo. Akad premi
asuransi syariah menggunakan akad muḍārabah atau ijārah.

47
Arifin, Ibid., hal. 89.
48
Habil Hanapi, (2019), Penerapan Sukuk dan Obligasi Syariah di Indonesia,
Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah, 1(2) hal. 145-162.
49
M. Abu Zahrah, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, terj. Anshari Umar
Sitanggal, (Jakarta: Pustaka Dian dan Antar Kota, 1989) hal. 187.
50
DSN-MUI, No. 21/DSN-MUI/X/2001 Fatwa tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah.

Fikih Zakat Kontemporer


252

Premi asuransi pada dasarnya adalah harta investasi dengan


jangka waktu yang telah disepakati dan menjadi obyek zakat 51,
jika perusahaan asuransinya merupakan asuransi syariah. Yang
menjadi objek zakat adalah premi yang telah diterima kembali
oleh nasabah.
2) Landasan Hukum
a) Kewajiban zakat yang melekat pada semua jenis harta,
sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Taubah [9]:
103 dan al-Baqarah [2]: 267.
b) Keputusan Muktamar Internasional tentang Zakat di
Kuwait (26 Rajab 1404) telah menetapkan zakat atas
saham, obligasi, sukuk dan yang sejenisnya.
c) Secara sosiologis, pemilik premi dan surat berharga
lainya merupakan kelompok menengah atas yang
sepantasnya memiliki tanggungjawab sosial yang
besar. Potensi premi dan surat berharga sebagai sumber
zakat terbukti mampu meningkatkan pengumpulan
zakat dan memberikan dampak positif dalam
penyelesaian masalah sosial.52
3) Ketentuan Zakat Premi Asuransi:
a) Premi telah jatuh tempo baik secara bertahap maupun
sekaligus dan dana telah diterima oleh nasabah.
b) Kewajiban zakatnya diqiyaskan dengan zakat
perdagangan yakni niṣāb 85 gram emas dan ḥaul satu
tahun, dengan kadar zakat 2,5%.
c) Niṣāb dihitung dari harta pokok premi asuransi
ditambah dengan bagi hasil atau ujrah.

51
Republika.co.id, 13 Agustus 2013.
52
Shirazi, Ibid., hal. 171.

Fikih Zakat Kontemporer


253

5. Profesi
Profesi atau pekerjaan orang selalu berkembang mengikuti
perkembangan zaman. Banyak profesi yang dahulu tidak ada, tapi kini
ada karena dianggap penting dan dibutuhkan masyarakat. Profesi yang
baru tentu belum dibahas oleh para ulama zaman dahulu.
Para ulama kontemporer berpendapat bahwa profesi atau
pekerjaan apapun yang mendatangkan penghasilan atau pendapatan
itu merupakan obyek zakat. Baik profesi tersebut dikerjakan sendiri
oleh seseorang tanpa harus tunduk kepada orang lain, seperti profesi
dokter, insinyur, pengacara, seniman, penjahit, tukang kayu dan
lainnya, sehingga pendapatannya dalam hal ini adalah pendapatan
yang tergantung kepada pekerjaan atau profesinya, maupun pekerjaan
itu tergantung kepada pihak lain seperti pemerintah, perusahaan atau
individu, sehingga pendapatannya itu berupa gaji, upah atau
honorarium.
a. Dalil dan Argumentasi
Semua penghasilan dari pekerjaan profesional, apabila telah
mencapai niṣāb, wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan
dalil-dalil yang bersifat umum dan argumentasi-argumentasi
berikut:
َ
‫ص ِل َعل ْي ِه ْم ِۖ ِإ ان‬ َ ‫ُخ ْذ م ْن َأ ْم ََٰوله ْم‬
َ ‫ص َد َق ًة ُت َطه ُر ُه ْم َو ُت َزكيهم ب َها َو‬
ِ ِ ِ ِ ِِ ِ
ُ ‫ا‬ ‫ا‬ َ َ َ ََ
ٌَ ‫صل َٰوتك َسك ٌن ل ُه ْم ۗ َوٱلله َس َِم ٌيع َع ِل‬
‫يم‬
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (Q.S. al-Taubah [9]: 103).
ْ َ َ َ ُ ‫ين َآم ُنوا َأنف‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها االذ‬
‫ات َما ك َس ْب ُت ْم َو ِم اما أخ َر ْج َنا‬‫ب‬
ِ َِ ‫ي‬ ‫ط‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫وا‬‫ق‬ ِ ِ
َْ ْ َ ُ َ
َ ِ ‫لكم ِمن ْلار‬
‫ض‬

Fikih Zakat Kontemporer


254

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)


sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu (Q.S. al-Baqarah
[2]: 267).

َ‫وم‬ ‫ر‬ ‫َوفي َأ ْم َو ِاله ْم َح ٌّق ِل ا‬


ُ ‫لسا ِئل َو ْاْلَ ْح‬
ِ ِ ِ ِ
Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Q.S. al-
Żāriyāt [51]: 19).
Tiga ayat di atas memerintahkan pengambilan zakat dari
semua jenis harta orang-orang yang beriman. Hal ini karena
terdapat manfaat yang nyata, baik bagi pemberi maupun bagi
penerimanya. Oleh karena itu, zakat secara umum hukumnya
wajib. Termasuk di dalamnya, zakat profesi, itu juga wajib.
Dari segi argumentasi, di dalam penghasilan dari profesi itu
terdapat ‘illat/kausalitas kewajiban zakat yaitu al-namā’/
berkembang, sedang hukum itu ada dan tidak ada bersama
‘illatnya.
Selain itu, gaji dan upah itu termasuk māl mustafād
(kekayaan perolehan seperti pemberian dan warisan, selain
perdagangan), yaitu harta yang dimanfaatkan oleh seorang muslim
dan dimilikinya dengan kepemilikan baru dengan salah satu cara
kepemilikan yang dibenarkan syariat. Māl mustafād juga wajib
dizakati apabila mencapai niṣāb dan berlalu ḥaul.
Tambahan pula, penetapan kewajiban zakat terhadap
pendapatan para profesional antara lain adalah untuk
merealisasikan hikmah zakat yaitu mensucikan muzaki dan
hartanya serta membantu para mustahik dalam menghadapi
kehidupan mereka yang sulit dan mengurangi kemiskinan dan
penderitaan di tengah-tengah masyarakat.
Penetapan kewajiban zakat terhadap penghasilan dari profesi
juga menunjukkan keadilan dalam ajaran Islam. Dibandingkan

Fikih Zakat Kontemporer


255

dengan petani umpamanya, nasib para profesional jauh lebih baik.


Apabila petani saja diwajibkan membayar zakat, maka lebih
utama lagi para profesional yang keadaan finansialnya secara
umum jauh lebih baik.
Demikian pula, penghasilan melalui keahlian dan profesi
semakin hari semakin berkembang, bahkan akan menjadi kegiatan
ekonomi yang utama sebagaimana di negara-negara maju. Oleh
karena itu penetapan kewajiban zakat terhadapnya merupakan
bukti bahwa hukum Islam sangat aspiratif dan responsif terhadap
perkembangan zaman.
Kewajiban zakat profesi merupakan hasil ijtihad ulama
kontemporer. Hal ini karena banyak profesi yang ada sekarang ini
belum dikenal dalam khazanah dan masyarakat Islam dahulu.
Penghasilan dari sebuah profesi diqiyaskan dengan harta yang
telah ada karena keduanya mempunyai syabah (kemiripan).
b. Ketentuan Zakat Profesi
Ada beberapa ketentuan dalam zakat profesi, yaitu seperti
berikut:
1) Pekerjaan atau profesi yang digeluti harus halal.
2) Pendapatan wajib dizakati setelah sempurna dimiliki (al-
Milk al-Tām).
3) Mencapai niṣāb. Penghasilan dari hasil suatu profesi itu
harus mencapai niṣāb sehingga wajib dizakati. Niṣāb zakat
profesi adalah 85 gram emas murni.53
4) Berlalu ḥaul. Zakat profesi wajib dikeluarkan apabila telah
berlalu satu ḥaul. Jadi bukan setelah menerima upah atau
mendapat gaji setiap bulan.
5) Kadar zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5% atau
1/40.

53
Penentuan nisab dengan perbandingan harga emas ini dapat berubah sewaktu-
waktu mengikuti perubahan harga emas dunia.

Fikih Zakat Kontemporer


256

6) Zakat profesi dikeluarkan dengan dua model perhitungan:


a) Model Pendapatan Kotor yaitu dihitung dengan cara
Total Pendapatan Kotor x 2,5%.
b) Model Pendapatan Bersih, dihitung dengan cara
Pendapatan Kotor – Kebutuhan Dasar (Basic Needs) x
2,5%.
c. Penghitungan Zakat Profesi
Ada beberapa macam cara orang mendapatkan gaji atau
upah atau penghasilan dari profesinya. Ada orang yang mendapat
gaji atau upah harian seperti seorang dokter praktek. Ada pula
orang yang mendapat gaji atau upah setelah beberapa waktu
seperti pengacara, kontraktor, penjahit dan lainnya. Dan ada pula
yang mendapat gaji atau upah tiap-tiap pekan atau dua pekan. Dan
kebanyakan pekerja itu mendapatkan gajinya tiap-tiap bulan. Cara
menghitung niṣāb mereka ada dua:
Pertama: Niṣāb itu dihitung dari pendapatan dan māl
mustafād yang langsung diterima. Jadi jika pendapatan itu
mencapai niṣāb (yaitu senilai 85 gram emas murni) maka zakat
wajib segera dikeluarkan. Sehingga dengan demikian, orang yang
gaji atau upahnya lebih rendah dari niṣāb tidak terkena zakat, dan
itu berarti banyak pekerja tidak terkena zakat.
Kedua: Niṣāb-nya dihitung dari pendapatan dan māl
mustafād yang dikumpulkan selama satu tahun. Ini karena
kebanyakan pemerintah itu menggaji pegawainya berdasarkan gaji
tahunan yang diberikan tiap-tiap bulan. Oleh karena itu, zakat
profesi ini diambil dari pendapatan bersih pegawai dan pekerja
profesional lainnya dalam satu tahun sempurna jika pendapatan
bersih tersebut mencapai niṣāb yaitu senilai 85 gram emas murni,
setelah dikurangi utang dan kebutuhan asasi bagi dirinya dan
keluarga yang ditanggungnya.

Fikih Zakat Kontemporer


257

Jadi sekali lagi ditekankan bahwa zakat yang wajib itu


adalah dari pendapatan bersih. Yaitu pendapatan pegawai atau
pekerja profesional setelah dikurangi utang dan kebutuhan hidup
asasi untuk diri dan keluarganya. Jika pendapatan tersebut masih
tersisa dan mencapai niṣāb, maka ia terkena zakat.
Kadar zakat yang harus dikeluarkan adalah 2.5% atau 1/40
sesuai dengan keumuman nash yang mewajibkan 2.5% pada uang.
Contoh perhitungan zakat profesi:

Penerimaan Pak Amin sebagai PNS / ASN


1. Gaji pokok 4.500.000
2. Tunjangan jabatan 1.500.000
3. Berbagai jaminan, yang meliputi: 1.500.00
a. Jaminan Hari Tua (JHT)
b. Jaminan Kematian (JKM)
c. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
d BPJS kesehatan dan tenaga kerja
4. Tunjangan keluarga 850.000
5. Tunjangan transportasi & konsumsi 1.950.000
Penerimaan dalam sebulan 11.300.000
Penerimaan dalam setahun: 12 x 135.600.000

Kebutuhan asasi, diukur dari Upah


Minimum Propinsi berdasarkan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL):
Untuk DIY (per orang / bulan) 1.704.608
Kebutuhan asasi (dg 1 istri + 1 anak) 61.365.888
Pendapatan bersih 74.234.112

Nisab: 85 g emas @ Rp730.000 62.050.000

Fikih Zakat Kontemporer


258

Dapat disimpulkan bahwa Pendapatan bersih lebih besar dari nisab

Perhitungan Zakat Profesi per tahun:


Metode Pendapatan Kotor:
Total Pendapatan Kotor x 2,5% 3,390,000 per tahun
282,500 per bulan
Metode Pendapatan Bersih:
Total Pendapatan Bersih x 2,5% 1,855,853 per tahun
154,654 per bulan

6. Sewa-Menyewa
a. Hasil Benda yang Disewakan
Hasil penyewaan benda dikenai kewajiban zakat berdasarkan
firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2]: ayat 267,
َ‫ين َآ َم ُنوا َأ ْنف ُقوا م ْن َطي َبات َما َك َس ْب ُت ْم َوم اما َأ ْخ َر ْجنا‬
َ ‫َيا َأ ُّي َها االذ‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ْ ُ ْ َ َ َ ُ ْ ُ ُ ْ َِ َ ْ ُ ‫َ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ا‬
‫ض وَّل تيمموا الخ ِبيث ِمنه تن َِفقون ولستم ِبآ ِخ ِذ ِيه‬ ِ ‫لك َم ِمن ْلار‬
ٌ ‫الل َه َغن ٌّي َحم‬ َ
‫َ َْ ُ ا ا‬ ُ ‫إ اَّل أ ْن ُت ْغم‬
‫يد‬ ِ ِ ‫ضوا ِف ِيه واعلموا أن‬ ِ ِ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian
dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan
janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian
nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha
Terpuji (Q.S. al-Baqarah [2]: 267)
Ibnu ‘Abbās dalam tafsir Ibnu katsir menyatakan bahwa ayat
di atas memerintahkan kepada orang-orang untuk menafkahkan
sebagian dari hasil usaha yang dilakukan. Sewa-menyewa
termasuk usaha yang dimaksudkan dalam ayat tersebut, sehingga
hasil sewa-menyewa juga dikenai kewajiban zakat.

Fikih Zakat Kontemporer


259

Dasar kewajiban zakat hasil sewa-menyewa juga berupa


hadis dari al-Bukhārī dan Aḥmad
ٌَ َ َُ َ ُ َ َ
َ‫ص َدقة‬ َ‫ليسَعلىَاْل ْس ِل ِ َمَفيَف َر ِس َِهَوغَل ِم َِه‬
َ
“Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim, untuk kudanya
dan budaknya.” (H.R. Aḥmad dan al-Bukhārī)
Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rumah
atau properti lainnya yang disewakan tidak dizakati nilai fisiknya.
Namun yang dizakati adalah hasil sewanya.
b. Syarat-syarat Hasil Persewaan yang Dikenai Zakat
Adapun syarat-syarat zakat persewaan sebagai berikut:
1) Hasil sewa mencapai niṣāb (85 gram emas).
2) Telah mencapai satu tahun (ḥaul).
3) Kadar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5%.
c. Contoh Zakat Hasil Penyewaan Aset Tetap (Kamar,
Rumah, Kendaraan, dsb)
Pada hakekatnya, usaha persewaan adalah usaha komersial,
sehingga sangat mirip dengan zakat perusahaan atau perdagangan.
Yang membedakan antara lain adalah bahwa usaha persewaan
tidak memiliki barang dagangan, melainkan aset tetap yang
disewakan.
Dalam hal seperti ini, idealnya Pengusaha tetap menyiapkan
Laporan Keuangan yang setidaknya terdiri dari Neraca dan
Laporan Laba Rugi. Dari kedua Laporan tersebut - sebagaimana
contoh-contoh sebelumnya, mudah dilakukan perhitungan atas
kewajiban zakat. Namun, karena banyak yang belum menyusun
Laporan keuangan, maka metode berbasiskan Pendapatan Kotor,
dapat langsung diterapkan.
Misal: Pak Ali memiliki 20 kamar kos yang disewakan, baik
untuk mahasiswa atau karyawan Sewa kamar per bulan adalah

Fikih Zakat Kontemporer


260

Rp.1.000.000,- Misalkan, karena lokasi yang dimliki Pak Ali


sangat strategis, maka 20 kamar yang dimiliki, selalu terisi penuh,
sepanjang tahun.
Kalkulasi zakatnya adalah sebagai berikut:
Pendapatan penerimaan kos:
20 kamar x 12 bulan x Rp. 1.000.000 = 240.000.000
Nisab: 85 gram emas @ Rp. 730.000
Artinya, nisab terlampaui.
Kewajiban zakatnya adalah:
2,5% x Rp. 240.000.000 = 6.000.000
Catatan: Bila Pak Ali dapat menyusun Laporan Keuangan
berupa Laporan Laba Rugi dan Neraca, maka beliau dapat
menggunakan salah satu dari metode yang sudah dibahas di
atas, yakni:
1) Metode Aset Bersih: (Aset Lancar - Utang Lancar) x
2,5%, atau
2) Metode Net Invested Fund (Equity): (Laba tahun
berjalan + Modal) x 2,5%

B. Hasil Pengelolaan Sumber Daya Alam (Mā Akhrajnā Lakum min


al-Arḍ)
1. Pertanian
Sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki lapangan
pekerjaan sebagai petani. Oleh karena itu, setiap pemilik lahan
pertanian memahami cara menentukan zakat hasil pertanian sebagai
bagian dari rukun Islam. Hasil pertanian yang harus keluarkan zakat
adalah dari jenis makanan pokok seperti jagung, beras, kurma, dan
gandum yang biasa disebut dengan zakat hasil pertanian.

Fikih Zakat Kontemporer


261

Menurut pendapat ulama saat ini, hasil pertanian yang wajib


dizakati bukan hanya tanaman pokok, tetapi juga hasil sayur-sayuran
seperti cabe, kentang, kubis, tanaman bunga, buah-buahan, dan lain-
lain.
Di antara jenis zakat māl yang memiliki tuntunan langsung dari
al-Qur’an dan hadis Rasulullah adalah zakat pertanian. Tentang
wajibnya mengeluarkan zakat pertanian, para ulama sepakat. Hanya
saja ulama fikih berbeda pendapat dalam menggambarkan jenis harta
pertanian yang diwajibkan zakatnya, karena berbedanya corak
pemikiran mereka. Adapun penetapan zakat perkebunan merupakan
hasil ijtihad para ulama.
Dengan melihat pada kenyataan bahwa kondisi pertanian zaman
sekarang adalah pertanian agrobisnis bukan pertanian biasa, maka
pelaksanaan zakat tanaman (perkebunan) diqiyaskan kepada zakat
perdagangan (85 gram emas), dan dalam pelaksanaan penghitungan
harus disesuaikan dengan teknik penghitungan yang digariskan oleh
hukum Islam yang telah dijabarkan oleh ulama terdahulu yaitu untuk
zakat perdagangan diambil dengan jumlah kadar niṣāb 2,5 % dari
keseluruhan keuntungan yang diperoleh.
a. Dalil
ْ َ َ َ ُ َ ُ َ ‫َ ا‬
‫ات َما ك َس ْب ُت ْم َو ِم اما أخ َر ْج َنا‬
ِ ‫َيا أ ُّي َها ال ِذين َآمنوا أ ِنفقوا ِمن ط ِي َب‬
َْ َ ُ َ
ْ ‫ْلا‬
‫ض‬ِ ‫ر‬ ‫لكم ِمن‬
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (Q.S. al-Baqarah
[2]: 267)
‫الن ْخ َل َو ا‬
َ‫الز ْرع‬ َ ُ ْ َ ََْ َ َ ُ ْ ‫َ ُ َ ا َ َ َ َ ا ا‬
‫وشات َو ا‬
ٍ ‫ات وغير معر‬ ٍ ‫ات معروش‬ ٍ ‫وهو ال ِذي أنشأ جن‬
ُ ُ ِّۚ َ َ ُ َ ْ َ َ ً َ َ ُ َ ‫ُ ْ َ ً ُ ُ ُ ُ َ ا ْ ُ َ َ ُّ ا‬
‫مخ َت ِلفا أكله والزيتون والرمان متش ِابها وغير متش ِاب ٍَهَۚ كلوا ِمن‬

Fikih Zakat Kontemporer


262

َ ُ ُ َ َ ‫َث َمره إ َذا َأ ْث َم َر َو ُآتوا َح اق ُه َي ْو َم َح‬


‫ص ِاد َِهَ ِۖۚ َوَّل ت ْس ِرفواَ ِّۚۚ ِإ ان ُه َّل ُي ِح ُّب‬ ِ ِِ
ُْ
َ َ ‫اْل ْس ِر ِف‬
‫ين‬
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-
macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan
warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya
(yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada
fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
(Q.S. al-An’ām [6]: 141)
ُ‫يم ْبن‬ُ ‫ض َرم ُّى َح اد َث َنا إ ْب َراه‬ْ ‫ون ْال َح‬ َ ‫َح اد َث َنا َأ ُبو َحامد ُم َح ام ُد ْب ُن َه ُار‬
ِ ِ ِ ٍِ
ْ ‫يد ْال َج ْو َهر ُّى َح ادث َنا َع ْب ُد ا‬
َ
‫الر ْح َم ِن ْب ُن َع ْم ٍرو َع ِن ال َحا ِر ِث ْب ِن‬ ِ ٍ ‫َس ِع‬
َ َ َ َْ ْ ‫ان َع ْن َع َط ِاء‬َ ‫َن ْب َه‬
‫وس ى ْب ِن طل َح َة َع ْن أ ِب ِيه أ ان‬ َ ‫السائب َع ْن ُم‬
ِ ِ
‫ا‬ ‫ن‬ِ ‫ب‬
ٌ َ
‫ات َزكاة‬ َ ْ َ ْ
ِ ‫س ِفى الخض َراو‬ َ ‫ال َل ْي‬
َ ‫ َق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫الل ِه‬ ‫َُ َ ا‬
‫رسول‬
Telah menceritakan kepada kami Abū Ḥāmid Muḥammad bin
Hārūn al-Ḥaḍramī telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm bin
Sa’īd al-Jauharī telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Raḥmān
bin ‘Amr dari al-Ḥāriṡ bin Nabhān dari Athā’ bin Sāib dari Mūsā
bin Ṭalḥah dari Ayahnya [diriwayatkan] bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda, “tidak ada kewajiban zakat pada sayur-sayuran.
(H.R. al-Dāruquṭnī).54
ْ َ َ َ َْ ُْ ُ ‫ َح اد َث َنا َع ْب‬،‫يد ْب ُن ََأبي َم ْرَي َم‬
ُ ‫َح اد َث َنا َسع‬
‫َأخ َب َرِني‬: ‫ال‬ ‫هللا بن وه ٍب ق‬
ِ ‫د‬ ِ ِ
َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ُّ َ َ َ ُ ْ ُ ‫ُي ُون‬
،‫ عن أ ِب ِيه‬،‫هللا‬ِ ‫ عن س ِال ِم ب ِن عب ِد‬،‫ ع ِن الزه ِر ِي‬،‫س بن ي ِزيد‬
َ ‫َ َ ا‬
‫َ ِف َيما َس َق ِت‬:‫ال‬
ََ ‫الن ِب ِي صلى هللا عليه وسلم ق‬ ‫ َعن ا‬،‫الل ُه َع ْن ُه‬
ِ ‫ر ِض ي‬

54
Sunan al-Dāruquṭnī, editor ‘Abdullāh Hāsyim al-Madanī (al-Madīnah al-
Munawwarah: al-Faniyah al-Muttaḥidah, 1386 H) V: 163 bab Wujūb al-Zakāh al- Żahab
wa al-Waraq wa al-Masyiyah Hadis nomor 1933.

Fikih Zakat Kontemporer


263

ُ ْ
‫صف‬ ْ ‫الن‬
‫ض ِح ِن‬ َ ‫ َأ ْو َك‬،‫الس َم ُاء َو ْال ُع َُيو ُن‬
‫ان َع َثريا ْال ُع ْش ُر َو َما ُسق َي ب ا‬ ‫ا‬
ِ ِ ِ
ْ ْ
‫ال ُعش ِر‬
Telah menceritakan kepada kami Sa’īd bin Abī Maryam telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullāh bin Wahb [diriwayatkan] ia
berkata telah mengkhabarkan kepada kami Yūnus bin Yazīd dari
az-Zuhrī dari Sālim bin ‘Abdillāh dari Ayahnya dari Nabi SAW
beliau bersabda“Pada tanaman yang diairi dengan air hujan,
mata air, atau air tanah maka zakatnya sepersepuluh, adapun
yang diairi dengan menggunakan tenaga maka zakatnya
seperduapuluh”.(H.R. al-Bukhārī)55
َ‫ص ُّم َح اد َثنا‬ َ
َ ‫ْلا‬ ‫ا‬ َ ْ َُ ََ ‫ْ ُ َ َ ْ َ ا‬ َ ُ َ ََ َ ْ َ
‫اس‬ ِ ‫يد بن أ ِبى عم ٍرو حدثنا أبو العب‬ ِ ‫أخبرنا أبو س ِع‬
‫ص ْب ُن‬
َ َ
ُ ‫ان َح ادث َنا َي ْح َيى ْب ُن َآد َم َح ادث َنا َح ْف‬ َ ‫ْال َح َس ُن ْب ُن َعلى ْبن َع اف‬
ِ ِِ
َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ُ ْ َ َ ُ ْ َ ‫غ َياث َع ْن َل ْيث‬
‫ات‬ِ ‫او‬ ‫ر‬ ‫ض‬ ‫خ‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫ف‬ِ ‫س‬ ‫ي‬ ‫ل‬ َ: ‫ال‬‫ق‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫د‬ ‫اه‬
ٍ ِ ‫ج‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ٍ ٍ ِ
ٌَ ََ
‫صدقة‬
Telah menceritakn kepada kami Abū Sa’īd bin Abī ‘Amr telah
menceritakan kepada kami Abū al-‘Abbās al-Aṣam telah
menceritakan kepada kami al- Ḥasan bin ‘Alī bin ‘Affān telah
menceritakan kepada kami Yahyā bin Ādam telah menceritakan
kepada kami Hafṣ bin Giyāṡ dari Laiṡ dari Mujāhid dari ‘Umar
[diriwayatkan] ia berkata, “Tidak ada kewajiban zakat pada
sayur-sayuran” (H.R. Al-Baihaqī).56
Takhrīj al- Ḥadīṡ
Dalam Kitab Jāmi’ al-Uṣūl yang di-taḥqīq oleh ‘Abd al-
Qadīr al-Arnaūṭ, dalam taḥqīq-nya dia mengatakan riwayat yang
menyatakan bahwa sayuran tidak terkena zakat pertanian juga
diriwayatkan oleh: al-Ḥākim, al-Ṭabrānī, dan al-Dāruquṭnī dari

55
Al-Bukhārī, Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, kitab Bad’i al-Waḥyi, cet. I, (Kairo: Dār al-
Sya’bī, 1987) II: 155. Hadis nomor 1483.
56
Al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubrā, bab Ṣadaqah fī mā Yazra’uhu al-Adamiyyūn,
(India: Majelis Dāirah al-Ma’ārif al-Niẓāmiyyah al-Kāinah, 1344 H) IV: 129. Hadis
nomor 7732.

Fikih Zakat Kontemporer


264

Mu’āż, al-Bazzār dan al-Dāruquṭnī dari Ṭalḥah, al-Dāruquṭnī dari


‘Alī, Ibn Jaḥsyin, Anas, dan ‘Āisyah.
Namun sanadnya semuanya lemah. Kemudian al-Arnaūṭ
menjelaskan bahwa al-Hādī dan al-Qāsim mewajibkan zakat
terhadap sayuran, pendapat ini disetujui oleh Abū Ḥanīfah,
mereka berḥujjah dengan keumuman Q.S. al-Baqarah [2]: 267 dan
al-An’ām [6]: 141, serta hadis:
‫ا‬ َ ْ َ ‫ْ َْ ا‬
- ‫ ع ِن الن ِب ِى‬- ‫ رض ى هللا عنه‬- ‫َع ْن َس ِال ِم ب ِن عب ِد الل ِه عن أ ِب ِيه‬
َ
َ ‫الس َم ُاء َو ْال ُع ُيو ُن َأ ْو َك‬
‫ان‬ ‫ال ِف َيما َس َق ْت ا‬ َ ‫ َق‬- ‫صلى هللا عليه وسلم‬
ْ ْ ُ ْ ‫َع َثريا ْال ُع ْش ُر َو َما ُسق َي ب ا‬
ْ ‫الن‬
‫صف ال ُعش َِر‬ ‫ض ِح ِن‬ ِ ِ ِ
Dari Sālim bin Abdillāh dari Bapaknya (diriwayatkan) dari Nabi
SAW beliau bersabda, “Pada tanaman yang diairi dengan air
hujan, mata air, atau air tanah maka zakatnya sepersepuluh,
adapun yang diairi dengan menggunakan tenaga maka zakatnya
seperduapuluh.” (H.R. al-Bukhārī)
Mereka juga mengatakan, bahwa hadis dalam bab ini ḍa’īf,
tidak pantas untuk dijadikan ḥujjah sebagai pengkhususan dalil.57
Abū Bakr al-Baihaqī mengatakan diriwayatkan dari Umar, ia
mengatakan:58
ٌَ َ
‫ص َدقة‬ َ ْ َ ْ َ ‫َل ْي‬
ِ ‫س ِفي الخض َراو‬
‫ات‬
“Sayur-mayur tidak terkena kewajiban zakat”
Sebagian meriwayatkannya secara marfū’ (bersambung
sanadnya sampai Nabi SAW), namun riwayat ini bukanlah
pendapat yang kuat, artinya riwayat yang kuat adalah mauqūf
(perkataan sahabat).

57
Ibnu al-Aṡir, Jamī al-Uṣūl ‘an Hadīṡ al-Rasūl, ditaḥqīq ‘Abdul Qadīr al-
Arnaūṭ, (Beirut: Maktabah al-Hulwanī, 1970) IV: 618.
58
Abū Bakr al-Baihaqī, Ma’rifah al-Sunan wa al-Āṡār, (Damaskus: Dār al-Wa’ī,
1991) VI:11.

Fikih Zakat Kontemporer


265

Ibn al-Hādī al-Ḥanbalī mengatakan tidak ada kewajiban


zakat pada sayur-sayuran, sedangkan Abū Ḥanīfah berpendapat
sayuran wajib dizakati. Dalam hal ini kami mempunyai hadis-
hadis yang menyatakan tidak ada zakat pada sayur-sayuran tetapi
semua riwayatnya lemah.59
Al-Munāwī mengatakan hadis riwayat al-Dāruquṭnī, dalam
sanadnya ada al-Ḥāriṡ Ibnu Nabhān mereka melemahkannya.
Hadis riwayat al-Tirmiżī dari Mu’āż, al- Żahabī mengatakan
hadisnya munqaṭi’. Hadis al-Dāruquṭnī dan al-Bazzār dari Mu’āż
dan Anas menurut al-Żahabī adalah hadis lemah. Hadis al-
Dāruquṭnī dari ‘Alī, ‘Āisyah dan Ibn Jaḥsyin, al-Żahabī
mengatakan semua sanadnya lemah.60
b. Sektor Pertanian
Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor, yaitu
tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan,
perikanan, dan kehutanan. Masing-masing memiliki metode
penghitungan.61
1) Dalil Wajibnya Zakat Sektor Pertanian
Beberapa dalil yang mendukung hal ini adalah:
ْ َ َ َ ُ ‫ين َآم ُنوا َأنف‬
َ ‫َيا َأ ُّي َها االذ‬
‫ات َما ك َس ْب ُت ْم َو ِم اما أخ َر ْج َنا‬‫ب‬
ِ َِ ‫ي‬ ‫ط‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫وا‬ ‫ق‬ ِ ِ
َْ ْ َ ُ َ
‫ض‬ ِ ‫لكم ِمن ْلار‬
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kamu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 267)

59
Ibnu Hādī al-Ḥanbalī, Tanqīh al-Taḥqīq fī Aḥādis al-Ta’līq (Riyaḍ: Aḍwā’ al-
Salaf, 2007), III: 49.
60
Zainuddin al-Munāwī, Faīḍ al-Qadīr Syarḥ al-Jāmi’ al-Ṣagīr (Mesir:
Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, t.t) V: 573.
61
Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia (Jakarta: Puskas
BAZNAS, 2019) hal. 37.

Fikih Zakat Kontemporer


266

‫النخ َل‬
ْ ‫َ ا‬
‫ات و‬
َ ُ ْ َ ََْ َ
‫وش‬ ‫ر‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫غ‬‫و‬ ‫ات‬ ‫وش‬
َ ُْ ‫ا‬
‫ر‬ ‫ع‬‫م‬ ‫ات‬ ‫نش َأ َج ا‬
‫ن‬
َ َ ‫ا‬
‫َو ُه َو ال ِذي أ‬
ٍ ٍ ٍ
َ َ َ َ َ َ ‫َ ا ْر َ ُ ْ َ ً ُ ُ ُ ُ َ ا ْ ُ َن َ ُّ ا‬
ِّۚۚ َ‫ان ُمتش ِاب ًها َوغ ْي َر ُمتش ِاب ٍَه‬ ‫َوالز ع مخت ِلفا أكله والزيتو والرم‬
ِۚۖ َ‫ص ِاد َِه‬َ ‫ُك ُلوا من َث َمره إ َذا َأ ْث َم َر َو ُآتوا َح اق ُه َي ْو َم َح‬
ِ ِِ ِ
“Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan
yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah,
dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin).” (Q.S. al-An’ām [6]: 141)
ٌَ َ َ َ َ َ ‫َو َل ْي‬
َ‫ص َدقة‬ ‫س ِف َيما ُدون خ ْم َس ِة أ ْو ُس ٍق‬
“Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.” (H.R. al-
Bukhārī). Hadis nomor 1355.
Dalil yang menunjukkan besarnya zakat pertanian adalah
hadis dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah SAW bersabda,
ْ ْ َ َ َ ْ َ ‫َ َ َ ْ ا َ ُ َ ْ ُ ُ ُن‬
‫ان َعث ِريا ال ُعش ُر َو َما ُس ِق َي‬‫َِفيما سقت السماء والعيو أو ك‬
ْ ْ ُ ْ ْ ‫الن‬
‫ب ا‬
‫صف ال ُعش َِر‬ ‫ض ِح ِن‬ ِ
“Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan mata air
atau dengan air tadah hujan, maka dikenai zakat 1/10 (10%).
Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan biaya,
maka dikenai zakat 1/20 (5%).” (H.R. al-Bukhārī). Hadis
nomor 1483.
Menurut ulama Ḥanābilah, jenis harta pertanian wajib
zakat adalah semua yang kering, tetap, dan bisa ditimbang,
sehingga meliputi gandum, sejenis gandum, kurma, anggur,
padi, jagung, kacang tanah, kacang kedele, bawang, terong,
lobak, ketimun, dan labu.62

62
Abū Muḥammad Muwaffiq al-Dīn ‘Abdullāh Ibnu Qudāmah al-Maqdisī, al-
Kāfī fī Fiqḥ Imām Aḥmad bin Ḥanbal, (Libanon: Dār al-Fikr, 1992) I: 339.

Fikih Zakat Kontemporer


267

Sementara pendapat ulama Ḥanāfiyyah, jenis harta


pertanian wajib zakat adalah semua hasil tanaman yang
dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan dari
63
penanamannya.
Menggunakan pendekatan ijmālī, yakni segala macam
harta yang dimiliki dan telah memenuhi persyaratan zakat.
Maka semua jenis harta yang belum ada rujukan konkritnya
pada zaman Rasulullah SAW, tetapi karena perkembangan
ekonomi menjadi benda yang bernilai, dapat menjadi objek
zakat. Ketentuan batas niṣāb dan besarnya zakat yang harus
dikeluarkan ditetapkan berdasarkan qiyas, kaidah-kaidah fikih,
ataupun maqaṣid syarī’ah.
Mengutip tulisan Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, mazhab yang
paling kuat dan menjaga serta melindungi orang miskin adalah
pendapat Abū Ḥanīfah dan ini berpegang kepada keumuman
dalil.64
2) Ketentuan Niṣāb, Kadar Zakat, dan Waktu Mengeluarkan
Niṣāb pertanian adalah lima wasaq= 300 ṣā’; 1 ṣā’= 4
mud setara dengan 2,5 kg, sehingga 5 wasaq sama dengan 300
ṣā’ x 2,5= 750 kg beras, kadar zakatnya 5 – 10 % (tergantung
sistem pengairan dan perawatan lainnya) dan waktu
mengeluarkannya setiap panen).65
3) Zakat Tanaman Pangan
Tanaman pangan terbagi menjadi:
a) Serelalia (contohnya padi, jagung, gandum)
63
Imām ‘Alā al-Dīn Abī Bakr Ibnu Mas’ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Ṣanāi’ fī Tartīb
al-Syarāi’ (Libanon: Dār al-Fikr, t.t.) II: 59.
64
Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-
Ma’rifah, 1379 H) III: 350.
65
Waḥbah al-Zuḥailī, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.)
II: 910-911, PMA No. 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat
Mal dan Zakat Fitri serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif, Pasal 14.

Fikih Zakat Kontemporer


268

b) Biji-bijian (contohnya kedelai, kacang tanah, kacang


hijau)
c) Umbi-umbian (contohnya ubi kayu, ubi jalar,
kentang)66
Zakat untuk tanaman pangan dikeluarkan setiap kali
panen, sebagaimana firman Allah SWT:
ُ َْ َ َ ُُ
ََ ‫كلوا ِمن ث َم ِر ِه ِإذا أث َم َر َوآتوا َح اق ُه َي ْو َم‬
َ ‫ح‬
َ‫ص ِاد َِه‬
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya
(dengan disedekahkan kepada fakir miskin)…(al-An’ām [6]:
141)
Besaran niṣāb pertanian adalah 750 kg beras, misalnya
harga beras Rp. 10.000/ kg x 750 = Rp. 7.500.000 nilai yang
harus dibayarkan sebesar 5 – 10 %.
Niṣāb zakat hasil pertanian adalah 5 wasaq, jika hasil
pertanian tersebut termasuk makanan pokok seperti beras,
gandum, jagung, kurma dll. Sedangkan jika hasil pertanian itu
selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran,
daun, bunga dll maka niṣābnya disetarakan dengan harga
niṣāb dari makanan pokok yang paling umum di daerah
(negeri) tersebut.
4) Zakat Tanaman Hortikultura
Jenis dari tanaman hortikultura adalah tanaman buah,
tanaman sayuran, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias.
Jenis tanaman ini sama dengan tanaman pangan untuk
makanan pokok, sehingga metode penghitungannya sama.
Sesuai firman Allah SWT dalam Q.S. al-An’ām [6]: 141:
ْ ‫َ ا‬
‫النخ َل‬‫ات و‬
َ ُ ْ َ ََْ َ
‫وش‬ ‫ر‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫غ‬‫و‬ ‫ات‬
َ ُْ ‫ا‬
‫وش‬ ‫ر‬‫ع‬ َ
‫م‬ ‫ات‬‫ن‬‫نش َأ َج ا‬
َ َ ‫ا‬
‫َو ُه َو ال ِذي أ‬
ٍ ٍ ٍ
66
Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia, hal. 38.

Fikih Zakat Kontemporer


269

َ َ َ َ َ َ ‫َ ا ْر َ ُ ْ َ ً ُ ُ ُ ُ َ ا ْ ُ َن َ ُّ ا‬
ِّۚۚ َ‫ان ُمتش ِاب ًها َوغ ْي َر ُمتش ِاب ٍَه‬ ‫والز ع مخت ِلفا أكله والزيتو والرم‬
َۚ ِۖ َ‫ص ِاد َِه‬َ ‫ُك ُلوا من َث َمره إ َذا َأ ْث َم َر َو ُآتوا َح اق ُه َي ْو َم َح‬
ِ ِِ ِ
“Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan
yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah,
dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin).
Penyebutan buah zaitun dan delima merupakan jenis
tanaman hortikultura. Oleh karena itu, seorang petani buah-
buahan dapat memproduksi buah-buahan nilainya setara
dengan 5 wasaq beras, maka petani tersebut wajib
mengeluarkan zakat 5 – 10 %.67
2. Perkebunan
Contoh tanaman perkebunan adalah kelapa sawit, kopi, coklat,
teh, kapas, karet, lada, cengkeh, tanaman perkebunan ini memiliki
nilai jual yang cukup tinggi sehingga memiliki potensi zakat yang
besar. Menurut ulama kontemporer zakat perkebunan seperti kelapa
sawit dan lain-lain berkisar antara dua pendapat:
a. Ada yang menganalogikan dengan zakat pertanian
b. Ada yang menganalogikan dengan zakat perdagangan
Pendapat yang menganalogikan dengan zakat pertanian berarti
zakat langsung ditunaikan saat memetik atau memanen dan cukup
niṣāb (750 kg). Kadar zakatnya 5 – 10 % (tergantung sistem pengairan
dan perawatan lainnya). Sebagai contoh Bapak Hasan memanen
kelapa sawit seluas 4 hektar ada sejumlah 20.000 kg. asumsi harga
Rp. 3000/kg, maka Bapak Hasan menerima uang hasil penjualan
kelapa sawit 20.000 kg x Rp. 3000 = Rp. 60.000.000. Niṣāb zakat
pertanian Rp.10.000 x 750 kg = Rp. 7.500.000. Dengan demikian
67
PMA No. 52 Tahun 2014, Pasal 14.

Fikih Zakat Kontemporer


270

hasil pertanian yang diperoleh oleh Bapak Adi telah melebihi niṣāb
zakat pertanian, sehingga wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 5%
karena adanya sistem pengairan dan adanya biaya upah dan pupuk
yang digunakan. Adapun zakat yang mesti dikeluarkannya ialah Rp
60.000.000 x 5% = Rp 3.000.000. Apabila zakat yang dikeluarkan
berupa kelapa sawit maka zakat yang harus dikeluarkan 20.000 kg x 5
% = 1000 kg.
Pendapat yang menganalogikan dengan zakat perdagangan
karena umumnya usaha kebun kelapa sawit di Indonesia dalam bentuk
perusahaan/perdagangan. Niṣābnya 85 gram emas dan kadar
persentase 2,5%. Dalam zakat perdagangan dikenal adanya ḥaul jika
perusahaan/perdagangan kelapa sawit cukup niṣāb wajib zakat,
demikian juga kalau petani ikut perdagangan dengan menggunakan
kaidah ḥaul dan cukup niṣāb. Sebagaimana dinyatakan dalam Hadis
Nabi SAW:
‫ا‬ َ َ َ َ ُ ْ ُ ْ ََ ُ َ
-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ال أ اما َب ْع ُد ف ِإ ان َر ُسو َل الل ِه‬ ‫سمرة ب ِن جند ٍب ق‬
ْ ُ ‫ا‬ َ َ ‫َ َ َْ ُ َُ َ ْ ُ ْ َ ا‬
‫الص َدقة ِم َن ال ِذى ن ِع ُّد ِلل َب ْي ِ َع‬ ‫كان يأمرنا أن نخ ِرج‬
Samurah bin Jundub (diriwayatkan) ia berkata ammā ba’du maka
sungguh Rasulullah SAW memerintahkan kami agar mengeluarkan
zakat dari semua yang kami persiapkan untuk berdagang." (H.R. Abū
Dāwud).
Objek zakat perkebunan adalah seluruh hasil dari perkebunan
setelah dipotong biaya, misalnya:
a. Biaya produksi, seperti benih, pupuk dan lain-lain
b. Biaya sewa tanah
c. Biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
Contoh: Usaha PT. Kelapa sawit Bapak Hasan selama setahun
a. Pendapatan selama setahun: Rp.160.000.000,-, b. Membayar utang,
upah, biaya pupuk, dan kebutuhan hidup: Rp. 90.000.000,- ,
pendapatan bersih, Rp. 160.000.000 – Rp. 90.000.000 = Rp.

Fikih Zakat Kontemporer


271

70.000.000. Harga emas 24 karat (tertanggal 6 Februari 2020 seharga


Rp. 690.000/gram). Niṣāb zakat perdagangan 85 gram emas, jumlah
harta wajib zakat Rp. 690.000 x 85gram = Rp. 58.650.000.
Pendapatan Bapak Hasan sudah melebihi niṣāb, zakat yang harus
ditunaikan Rp 70.000.000 x 2,5 % = Rp. 1.750.000.68
Apabila tidak cukup niṣāb maka tidak ada kewajiban zakat dan
sangat dianjurkan untuk bersedekah atau berInfaq sebab hidup kita
akan lebih berkah dan bermanfaat.
3. Perikanan
Objek zakat:
a. Perikanan budidaya (pengembangbiakan organisme air, seperti
udang, kerang, tumbuhan laut seperti rumput laut)
b. Perikanan tangkap (usaha penangkapan ikan dan organisme air
lainnya di alam liar, seperti di laut danau, sungai dan lain-
lain).69
Objek zakat di masa perekonomian modern sekarang ini, tidak
hanya masuk pada suatu bagian tertentu saja misalnya pada objek
zakat pertanian saja, atau perdagangan, atau peternakan. Akan tetapi
adakalanya terjadi tumpang tindih antara yang satu dengan lainnya.
Sebagai contoh perusahaan perikanan yang hasilnya sangat banyak,
digarap oleh perusahaan dengan peralatan modern, wajib terkena
zakat yang dianalogikan dengan barang tambang, hasil pertanian dan
lain-lain. Abū ‘Ubaid meriwayatkan dari Yūnus ‘Ubaid, “Umar
pernah mengirim surat kepada amilnya di Oman agar ia tidak
memungut apapun dari ikan yang kurang harganya dari 200 dirham.70

68
Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia, mengutip dari
Arif Mufraini, Akuntasi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006) hal. 46-47.
69
Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia, hal. 51- 52.
70
Badan Amil Zakat Nasional, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia (Jakarta:
Baznaz, 2018), hal. 172, Yusuf al-Qardawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai
Status dan Filsafat Zakat berdasarkan Qur’an dan Hadis, penterjemah Salman Harus,
Didin Hafidhudin, Hasanudin (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011) hal. 432.

Fikih Zakat Kontemporer


272

Maka hasil perikanan, jika diniatkan untuk diperdagangkan maka


zakatnya dianalogikan kepada zakat perdagangan yaitu niṣābnya 85
gram emas, dengan kadar 2,5 %.71 Ketentuan ini berlaku untuk zakat
pertanian budidaya dan tangkap. Terkait waktu pengeluaran zakat
yakni pada saat panen.72
Contoh, petani udang windu mampu memproduksi per hektar
dengan pendapatan kotor sebesar Rp. 1.000.000.000 pengeluaran
biaya Rp. 400.000.000, petani tersebut langsung dikenakan zakat
sebesar 2,5 %, karena pendapatannya sudah melampaui niṣāb zakat
perniagaan sebesar Rp. 58.650.000. (harga emas 85 gram pada tanggal
6 Februari 2020, yaitu Rp. 690.000) Zakat yang dikeluarkan sebesar
(1.000.000.000 – 400.000.000) x 2,5 % = Rp. 15.000.000. dikeluarkan
pada saat panen. Namun apabila dianalogikan dengan zakat pertanian,
maka apabila petani ikan panen ikan seharga Rp. 30.000.000.
kadarnya 5 % setelah dikurangi operasional. Karena sudah melebihi
niṣāb tanaman yakni Rp. 7.500.000. zakat yang dikeluarkan saat
panen, Rp.30.000.000 X 5%= Rp. Rp. 1.500.000.
4. Kehutanan
Di antara komoditas kehutanan adalah kayu gaharu, damar,
rotan, bamboo, jati, pinus dan madu. Jika dikategorikan komoditas
kehutanan seperti kayu dan non kayu sama dengan zakat perniagaan,
maka zakat dikeluarkan setelah mencapai niṣāb 85 gram emas, telah
mencapai ḥaul, kadarnya 2,5 %, yaitu penghitungannya aset lancar
dikurangi kewajiban jangka pendek.73 Sementara menurut PMA No.
52 Tahun 2014 Pasal 14 zakat kehutanan dikategorikan dengan zakat
pertanian, yaitu niṣābnya 750 kg beras, kadar zakatnya 5 – 10 %,
ditunaikan pada saat panen.

71
Badan Amil Zakat Nasional, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, hal. 173, lihat
PMA No. 52 Tahun 2014 Pasal 19 ayat (1), (2), ayat (3).
72
PMA No. 52 Tahun 2014 Pasal 20.
73
Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia, hal. 53.

Fikih Zakat Kontemporer


273

5. Pertambangan
Hasil tambang (Ma’din) yaitu sesuatu benda yang terdapat
dalam perut bumi (selain air) dan memiliki nilai ekonomis. Ma’din
dapat dibagi menjadi tiga macam:
a. Benda padat yang dapat dibentuk (dicairkan dan diolah)
seperti emas, perak, alumunium, timah, tembaga, besi, dan
lain-lain.74
b. Benda padat yang tidak dapat dibentuk seperti kapur, zionit,
marmer, giok, zamrud, batu bara, dan lain-lain.75
c. Benda cair seperti minyak.76
Benda tambang berupa emas atau perak, niṣāb dan kadar
zakatnya adalah sama seperti emas dan perak. Benda tambang selain
emas dan perak yang berupa benda padat seperti timah, tembaga,
aluminium, dan lain sebagainya ataupun yang berupa benda cair
seperti minyak bumi, air raksa dan lain sebagainya, niṣāb dan kadar
zakatnya adalah senilai harga 85 gram emas murni dan kadar zakatnya
adalah 2,5%.77
Apabila pertambangan tersebut di atas dijadikan suatu
perusahaan, maka zakatnya dilakukan sebagaimana yang berlaku
dalam perdagangan dan perusahaan.78
6. Rikaz
Rikaz secara bahasa berarti sesuatu yang terpendam di dalam
bumi berupa barang tambang atau harta. Secara syar’i, rikaz berarti
harta zaman jahiliyah berasal dari non muslim yang terpendam yang
diambil dengan tidak disengaja tanpa bersusah diri untuk menggali,
baik yang terpendam berupa emas, perak atau harta lainnya. Dengan
74
Lazis Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, hal. 26; MTT PP
Muhammadiyah, al-Amwāl f ī al-Islām, hal. 26.
75
Ibid.
76
Ibid.
77
Majelis Tarjih dan Tajdid, al-Amwāl fī al-Islām, hal. 20.
78
Ibid.

Fikih Zakat Kontemporer


274

kata lain rikaz adalah harta yang ditemukan dari dalam perut bumi
merupakan peningalan dari umat sebelumnya yang tidak diketahui
secara pasti. Bedanya dengan barang tambang ialah bahwa rikaz ialah
ketika ditemukan dalam keadaan barang jadi dan tidak memerlukan
tenaga untuk mengelolanya, sedangkan pada barang tambang
dikeluarkan dari perut bumi dalam bentuk belum jadi dengan
menggunakan tenaga yang maksimal. surat al-Baqarah yang secara
jelas menyebutkan apa-apa yang kami keluarkan dari dalam bumi.79
a. Dalil wajibnya zakat rikaz
Firman Allah SWT,
ْ َ َ َ ُ ‫ين َآم ُنوا َأنف‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها االذ‬
‫ات َما ك َس ْب ُت ْم َو ِم اما أخ َر ْج َنا‬‫ب‬
ِ َِ ‫ي‬ ‫ط‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫وا‬‫ق‬ ِ ِ
َْ ْ َ ُ َ
َ ِ ‫لكم ِمن ْلار‬
‫ض‬
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (Q.S. al
Baqarah [2]: 267).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,
ُ ‫ َوفى الر َكاز ْال ُخ ُم‬،‫َو ْاْلَ ْع ِد ُن ُج َب ٌار‬
َ‫س‬ ِ ِ ِ
“Barang tambang (ma’din) adalah harta yang terbuang-buang
dan harta karun (rikaz) dizakati sebesar 1/5 (20%).” (H.R. al-
Bukhārī).
b. Zakat Rikaz (barang temuan)
Zakat rikaz wajib dikeluarkan, dan tidak disyaratkan baik
ḥaul maupun niṣāb. Kadar zakatnya adalah 20 % dari jumlah harta
yang ditemukan. Jadi setiap mendapatkan harta rikaz berapapun
besarnya, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 20 % atau 1/5 dari
besar total harta tersebut.80 Namun, karena di Indonesia, menurut
79
Waḥbah al-Zuhailī, Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT. Remaja
Posdakarya, 1995) hal. 46.
80
Badan Amil Zakat Nasional, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, hal. 220.

Fikih Zakat Kontemporer


275

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya


menyatakan, apabila barang temuan tersebut diduga berkaitan
dengan benda cagar budaya, maka penemu harus melaporkannya
kepada negara. Seperti diatur dalam Pasal 23 (1) UU Nomor 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya:
Setiap orang yang menemukan benda yang diduga Benda
Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan Cagar
Budaya, struktur yang diduga Struktur Cagar Budaya,
dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya wajib
melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang
kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak ditemukannya.
Sementara Pasal 22 (1) mengatur tentang kompensasi bagi
penemu harta rikaz:
Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar
Budaya berhak memperoleh Kompensasi apabila telah
melakukan kewajibannya melindungi Cagar Budaya.
Oleh karena itu setelah dilakukan penelitian dan ternyata
benda yang ditemukan tersebut ditetapkan sebagai benda cagar
budaya, maka penemu berhak mendapatkan kompensasi/ganti rugi
atas temuannya. Maka dari hasil kompensasi yang diterima oleh
penemu tadi haruslah dikeluarkan zakat rikaznya, yaitu 20 % dari
total kompensasi yang diterima. Misalnya jumlah kompensasinya
Rp. 6.000.000, maka zakatnya Rp. 6.000.000. x 20% = Rp.
1.200.000.

C. Harta Simpanan (al- Żahab wa al-Fiḍḍah)


Harta simpanan yaitu harta yang tidak digunakan sebagai modal
usaha. Harta tersebut didiamkan menganggur. Harta simpanan pada
pembahasan ini meliputi simpanan emas dan perak, simpanan uang, dan
simpanan tanah dan bangunan.

Fikih Zakat Kontemporer


276

1. Zakat Simpanan Emas dan Perak


Dalil wajibnya zakat simpanan emas dan perak, yaitu firman
Allah SWT:
‫ا‬ َ َ‫َ ا َ َْ ُ َ ا َ َ َ ْ ا‬
‫ضة َوَّل ُي ْن ِف ُق َون َها ِفي َس ِب ِيل الل ِه‬ ‫وال ِذين يك ِنزون الذهب وال ِف‬...َ
َ ََ ْ ُْ ََ
َ ٍ ‫اب أ ِل‬
‫يم‬ ٍ ‫فب ِشرهم ِبعذ‬
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Q.S. al-
Taubah [9]: 34).
Maksud ayat ini adalah barang siapa menyimpan emas dan
perak tidak membayar zakatnya, akan mendapatkan siksa yang pedih
di akhirat kelak. Menumpuk emas dan perak haram hukumnya jika
tidak ditunaikan zakatnya. Menyimpan emas dan perak tidak haram
jika ditunaikan zakatnya.81
Dalil wajibnya zakat simpanan emas dan perak juga terdapat
dalam hadis Nabi SAW, yaitu:

‫ال َر ُسو ُل الل ِه صلى هللا عليه وسلم َما ِم ْن‬


‫ا‬ َ ‫عن َأبي ُه َرْي َر َة َي ُقو ُل َق‬
ْ َ ‫ضة ََّل ُي َؤدى م ْن َها َح اق َها إ اَّل إ َذا َك‬ ‫ََ َ َ ا‬
‫ان َي ْو ُم ال ِق َي َام ِة‬ ِ ِ ِ ِ ٍ ‫ص ِاح ِب ذه ٍب وَّل ِف‬ َ
ُ‫ص َفائ َح م ْن َنار َف ُأ ْحم َى َع َل ْي َها فى َنار َج َه ان َم َف َُي ْك َوى ب َها َج ْن ُبه‬ َ ‫صف َح ْت َل ُه‬ ُ
ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ
َ
‫ان ِم ْق َدا ُر ُه خ ْم ِس َين‬ َ ‫يد ْت َل ُه فى َي ْوم َك‬ َ ‫َو َجب ُين ُه َو َظ ْه ُر ُه ُك ال َما َب َر َد ْت ُأع‬
ٍ ِ ِ ِ
َ ‫َْ َ َ َ َ ا ُ ْ َ َْ َ ْ َ ََُ َ ُ ُ ا َ ْ َ ا َ ا‬
‫ألف سن ٍة حتى يقض ى بين ال ِعب ِاد فيرى س ِبيله ِإما ِإلى الجن ِة وِإما ِإلى‬
َِ ‫الن‬
‫ار‬ ‫ا‬
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah SAW
bersabda, “Barangsiapa memiliki emas atau perak tidak
mengeluarkan zakatnya, pada hari kiamat nanti akan disepuh

81
Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah, wa al-Syrī’ah, al-Manhaj,
(Dimasyq: Dār al-Fikr, 1418) X: 192.
82
Muslim, Saḥīḥ Muslim, (Beirut: Dār al-Jīl, t.t.) III: 70, hadis nomor 2337.

Fikih Zakat Kontemporer


277

untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskannya dalam api


neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya
dengan lempengan tersebut. Setiap kali lempengan tersebut dingin
akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari
yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia
melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.” (H.R.
Muslim)
Adanya ancaman bagi penyimpan emas dan perak yang tidak
membayar zakat menujukkan wajibnya zakat atas simpanan emas dan
perak. Kewajiban zakat atas simpanan emas dan perak sudah menjadi
ijma’ ulama.83
Niṣāb zakat emas sebesar 20 miṡqāl atau 20 dinar. Dinar
merupakan koin emas yang beredar pada masa Nabi yang berasal dari
Kerajaan Romawi Bizantium. 1 dinar beratnya 4,25 gram. Dengan
demikian, niṣāb emas yaitu 20 x 4,25= 85 gram. Zakat simpanan emas
yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5% dari simpanan emas yang ada.
Niṣāb zakat perak sebesar 200 dirham. Dirham adalah koin
perak yang beredar pada masa Nabi yang berasal dari Kerajaan Persia.
Berat 1 koin dirham yaitu 2,975 gram. Dengan demikian, niṣāb
simpanan perak yaitu: 200 x 2,975 = 595 gram. Zakat simpanan perak
yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5 % dari seluruh simpanan emas
yang ada. 84
Yūsuf al-Qaraḍāwī dalam kesimpulannya tentang zakat emas
dan perak menyatakan:
a. Barang siapa memiliki kekayaan emas atau perak untuk
simpanan, dia wajib mengeluarkan zakatnya. Karena emas dan
perak merupakan sumber untuk pengembangan harta.
b. Jika emas dan perak digunakan seseorang maka dilihat
penggunaannya. Jika digunakan untuk hal hal yang terlarang,

83
Waḥbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū (Beirut: Dār al-Fikr, 2004),
III: 1821.
84
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Hukum Zakat, alih bahasa Salman Harun dkk, (Bogor:
Litera Antar Nusa, 2020) hal. 259.

Fikih Zakat Kontemporer


278

seperti digunakan untuk piala, hiasan dinding, perhiasan laki-


laki, seperti kalung dan gelang, maka terkena zakat.
c. Termasuk kategori pemakaian terlarang yaitu penggunaan
emas secara berlebihan oleh perempuan. Emas yang
digunanakan secara berlebihan oleh perempuan juga terkena
zakat. Ukuran berlebihan berdasarkan kebiasaan masyarakat.
d. Perhiasan emas dan perak yang mubah, seperti perhiasan
perempuan yang tidak berlebihan serta cincin perak laki-laki,
tidak terkena zakat karena tidak tergolong harta berkembang,
melainkan sebagai perhiasan yang menjadi kebutuhan manusia
yang dibolehkan dalam syariat Islam.
e. Yang wajib dikeluarkan zakatnya dari perhiasan atau tempat-
tempat hiasan adalah 2,5 % dari nilai perhiasan yang
dikeluarkan dalam bentuk uang.
f. Niṣāb zakat perhiasan adalah senilai 85 gram emas murni.
Yang menjadi ukuran adalah nilai perhiasannya, bukan
ukurannya.85
Jika seseorang memiliki simpanan emas dan perak, menurut
jumhur ulama selain Syafī’iyyah, semua simpanan tersebut digabung
untuk dikeluarkan zakatnya. Menurut Wahbah al-Zuhaili, pendapat ini
yang lebih rājiḥ.86
2. Zakat Uang
Pada pembahasan zakat simpanan emas dan perak, telah
dijelaskan, bahwa emas dan perak pada masa Nabi merupakan koin
mata uang. Uang berfungsi sebagai alat tukar, pengukur harga, dan
alat penyimpanan kekayaan. Fungsi emas dan perak sebagai mata
uang sekarang sudah digantikan oleh uang kertas yang berlaku di
setiap negara. Dengan demikian, simpanan uang yang dimiliki

85
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Hukum Zakat, 296.
86
Waḥbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū, (Beirut: Dār al-Fikr, 2004)
III: 1821.

Fikih Zakat Kontemporer


279

seorang muslim juga terkena zakat jika telah memenuhi


persyaratannya.
Syarat-syarat simpanan uang yang terkena zakat adalah sebagai
berikut:
a. Mencapai niṣāb, yaitu senilai 85 gram emas murni.
b. Berlalu 1 tahun (ḥaul).
c. Milik yang sempurna.
d. Lebih dari kebutuhan pokok.
e. Bebas dari utang yang mengakibatkan kurang dari niṣāb.87
Simpanan uang yang dimaksud di sini adalah uang yang
disimpan sendiri, atau disimpan di bank dalam bentuk giro, tabungan,
deposito, atau simpanan lainnya. Jika uang disimpan di bank
konvensional, maka yang dihitung hanya simpanan pokoknya, bunga
tidak dihitung sebagai harta terkena zakat karena tergolong riba.
Bunga yang diperoleh dari hasil simpanan di bank konvensional
digunakan untuk kepentingan sosial seluruhnya. Jika uang disimpan di
bank syariah, maka semua uang simpanan, baik simpanan pokok, bagi
hasil, atau bonus yang diterima, terkena zakat.
3. Zakat Simpanan Tanah dan atau Bangunan
Tanah yang dibeli untuk ditanami tanaman atau buah-buahan
tidak terkena zakat. Yang terkena zakat adalah tanaman atau buah-
buahan yang dihasilkannya. Jika tanah disewakan, maka yang terkena
zakat adalah hasil dari persewaan tanah tersebut, bukan nilai dari
tanahnya.
Bangunan yang dibeli atau dibangun untuk digunakan sendiri
tidak terkena zakat karena tidak tergolong harta berkembang. Jika
bangunan disewakan, maka yang terkena zakat adalah hasil dari

87
Tim Penulis Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, Fikih Zakat Kontekstual
Indonesia, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, 2018), hal. 108.

Fikih Zakat Kontemporer


280

persewaan bangunan tersebut. Nilai dari bangunannya sendiri tidak


terkena zakat.
Jika tanah atau bangunan dibeli sebagai simpanan untuk dijual
suatu saat nanti maka status dari tanah tersebut sama dengan simpanan
emas dan perak. Simpanan tanah atau bangunan terkena zakat jika
nilainya minimal senilai 85 gram emas murni. Zakat wajib
dikeluarkan setiap tahun sebesar 2,5 % dari nilai tanah atau bangunan
tersebut.
4. Penggabungan Zakat Seluruh Harta Simpanan
Seluruh harta simpanan yang dimiliki seorang muslim, baik
berupa emas, perak, uang, tanah, dan bangunan, zakatnya
digabungkan. Jika seseorang memiliki simpanan uang tidak sampai
niṣāb, tetapi jika uang tersebut digabung dengan simpanan lain,
seperti emas misalnya, mencapai niṣāb, maka wajib dikeluarkan zakat
dari seluruh harta simpanan yang dimiliki sebesar 2,5%, sebagaimana
pendapat jumhur fuqahā’, selain Ḥanāfiyyah.
Catatan. Besar zakat 2,5 % ini jika ḥaul menggunakan tahun
Kamariyah. Jika menggunakan tahun Miladiyah, maka besar zakat
yaitu:
2,5 % = …….%
354 hari 365 hari
2,5 % x 365: 354 = 2,5778 %

Fikih Zakat Kontemporer


281

BAB V
ZAKAT FITRI, INFAQ DAN SHADAQAH

A. Zakat Fitri
1. Pengertian Zakat Fitri
Zakāt al-Fiṭr atau Ṣadaqat al-Fiṭr, disebut Zakat Fitri karena
merupakan zakat yang wajib dibayarkan karena berbuka (al-fiṭr)
untuk mengakhiri puasa Ramaḍān, sebagaimana hari raya yang
menandai berakhirnya puasa Ramaḍān. disebut Idul Fitri. Disebut
juga Ṣadaqat al-Fiṭr karena perkataan ṣadaqah dalam terminologi
syari’ah selalu dipakai dalam pengertian zakat.
2. Dalil Wajibnya Membayar Zakat Fitri
Zakat fitri diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriyah, yaitu pada
tahun diwajibkannya puasa Ramaḍān, dan sebelum diwajibkannya
zakat māl. Zakat fitri wajib dilaksanakan berdasarkan dalil-dalil
berikut.
a. Hadis Ibnu ‘Umar RA;
‫َ ْ ْ ُ َ َ َ َ ا ُ َ ُْ َ َ َ َ َ َ َ ُ ُ ا َ ا ا‬
‫الل ُه‬
َ ‫صلى‬ ‫عن اب ِن عمر ر ِض ي الله عنهما قال فرض رسول الل ِه‬
َ َ
‫اعا ِم ْن ش ِع ٍير َعلى‬ ً ‫ص‬َ ‫اعا م ْن َت ْمر َأ ْو‬ ً ‫ص‬ َ ‫َع َل ْيه َو َس ال َم َز َك َاة ْالف ْطر‬
َ ْ
ٍ ِ ُِ ِ ِ
ُ َ ْ ْ َ
‫الذكر َوْلا ْن َثى َو ا‬ ‫ْ َْ َ ُ َ ا‬ْ
‫الص ِغ ِير َوالك ِب ِير ِم ْن اْل ْس ِل ِم َين َوأ َم َر ِب َها‬ ِ ‫َالعب ِد والح ِر و‬
َ‫ا‬ َ ‫ا‬ ُ ‫أ ْن ُت َؤ ادى َق ْب َل ُخ‬
‫الصَل ِة‬ ‫اس ِإلى‬
ِ ‫وج الن‬ ِ ‫ر‬
Dari Ibnu ‘Umar (diriwayatkan) ia berkata: "Rasulullah SAW
mewajibkan zakat fitri satu ṣā’ dari kurma atau ṣā’ dari gandum
bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-
laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum muslimin.
Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang
berangkat untuk shalat (' Īd) ". (H.R. al-Bukhārī).

Fikih Zakat Kontemporer


282

b. Hadis Abdullāh bin ‘Umar RA.


‫َ ْ َْ ا ْ ُ َ َ َ ا َ ُ َ ا َا ا‬
َ ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس ال َم َف َر‬
‫ض‬ ‫عن عب ِد الل ِه ب ِن عمر أن رسول الل ِه صلى‬
َْ ْ َ ْ َ ُ َ ْ ُ ْ ْ ْ ‫ان َع َلى ُكل َن‬ َ ‫َز َك َاة ْالف ْطر م ْن َر َم‬
َ ‫ض‬
‫س ِمن اْلس ِل ِمين ح ٍر أو عب ٍد أو‬ ٍ ‫ف‬ ِ َ ِ ِ ِ
َ ْ ً َ َْ َْ ْ ً َ َ ْ َ َ ََ ْ ْ َ ُ َ
‫رج ٍل أو امرأ ٍة ص ِغ ٍير أو ك ِب ٍير صاعا ِمن تم ٍر أو صاعا ِمن ش ِع ٍير‬
Dari Abdullāh bin ‘Umar (diriwayatkan), bahwa Rasulullah SAW
telah mewajibkan Zakat Fitri di bulan Ramaḍān atas setiap jiwa
dari kaum muslimin, baik orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki
atau pun perempuan, anak kecil maupun dewasa, yaitu berupa
satu ṣā’ kurma atau satu ṣā’ gandum. (H.R. Muslim).
Kedua hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa zakat fitri
adalah wajib atas setiap orang muslim besar atau kecil, laki-laki
maupun wanita.
3. Harta yang Dibayarkan untuk Zakat dan Kadarnya
a. Makanan Pokok dan Kadarnya
Hadis riwayat al-Bukhārī dan Muslim menjelaskan.
ْ ْ َ َ ْ ُ ُ ‫ا‬ ُ ْ َ ْ َ
‫يد الخ ْد ِر اي َر ِض َي الل ُه َع ْن ُه ََي ُقو ُل ك انا نخ ِر ُج َزكاة ال ِفط ِر‬ ٍ ِ‫ع‬‫س‬ َ ‫ي‬ ‫ب‬
ِ ‫أ‬ ‫عن‬
َ
َ ‫اعا م ْن َت ْمر أ ْو‬ َ
َ ‫اعا م ْن َشعير أ ْو‬ َ
َ ‫اعا م ْن َط َعام أ ْو‬
‫اعا ِم ْن‬
ً ‫ص‬
ٍ ِ
ً ‫ص‬
ٍ ِ ِ
ً ‫ص‬
ٍ ِ ‫ص‬
ً َ
‫يب‬ ‫ب‬‫ز‬َ ‫اعا م ْن‬ً ‫ص‬َ ‫َأق ٍط َأ ْو‬
ٍ ِ ِ ِ
Dari Abū Sa'īd al-Khudrī RA (diriwayatkan) ia berkata: "Kami
mengeluarkan zakat fitri satu ṣā’ dari makanan atau satu ṣā’ dari
gandum atau satu ṣā’ dari kurma atau satu ṣā’ dari keju
(mentega) atau satu ṣā’ dari kismis (anggur kering) ". (H.R. al-
Bukhārī dan Muslim).
Hadis di atas menjelaskan bahwa kadar zakat fitri yang
harus dikeluarkan untuk tiap-tiap kepala adalah minimal satu ṣā’
dari makanan pokok, seperti; gandum, kurma atau dari kismis
(anggur kering) atau uang seharga makanan tersebut.

Fikih Zakat Kontemporer


283

Satu ṣā’ sama dengan 1/6 liter Mesir, sama dengan 2167
gram (hal itu berdasarkan timbangan dengan gandum). Apabila di
suatu daerah makanan pokoknya lebih berat daripada gandum,
seperti beras, misalnya maka wajib untuk menambah dari ukuran
tersebut, maka untuk kehati-hatian digenapkan menjadi ± 2,5 kg.
b. Harga Makanan Pokok
Dari hadis pada sub 2.b. dan pada sub 3.a. dapat dipahami
bahwa kadar zakat fitri yang harus dikeluarkan untuk tiap-tiap
orang adalah satu ṣā’ (± 2,5 kg) dari bahan makanan pokok.
Contoh: Harga beras di pasar rata-rata Rp. 11.500,- per kg, maka
zakat fitri yang harus dibayar per orang = 2,5 kg x Rp. 11.500,- =
Rp. Rp. 28.750,-. Apabila dalam sebuah rumah tangga jumlah nya
6 orang, maka zakat fitri yang harus dibayar adalah 6 x
Rp.28.750,- = Rp. 172.500.
4. Orang yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitri
Wajib membayar zakat fitri bagi orang yang mampu
membayarnya atau, menurut ungkapan Putusan Tarjih, yang
berkelapangan rizki, baik laki-laki, perempuan, dewasa anak-anak.
dasarnya adalah pertama firman Allah SWT:
ُ
َ‫ِل ُي ْن ِف ْق ذو َس َع ٍة ِم ْن َس َع ِت ِه‬
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya (Q.S. al-Ṭalaq [65]: 7).
Ayat ini merupakan perintah umum kepada orang yang
berkemampuan untuk mengeluarkan sebagian dari hartanya, termasuk
mengeluarkan zakat. Dari ayat ini dipahami bahwa zakat fitri
diwajibkan atas orang yang berkelapangan rizki (mampu).
Orang yang berkelapangan dalam mengeluarkan zakat fitri
adalah orang yang pada malam hari raya idul fitri memiliki kelebihan
dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya. Semua
mereka yang tidak mempunyai nafkah sendiri melainkan ditanggung

Fikih Zakat Kontemporer


284

oleh orang lain seperti anak kecil yang ditanggung ayahnya, orang
lanjut usia yang ditanggung oleh kerabatnya atau wanita yang
ditanggung oleh suaminya, zakat fitrinya dibayar oleh orang yang
menanggung nafkahnya.
Anak yatim piatu dan anak miskin di panti asuhan tidak
memiliki harta kekayaan dan mereka di tanggung nafkahnya oleh
panti asuhan. Panti asuhan sendiri tidak memiliki kekayaan sendiri,
karena biaya yang diperolehnya hanyalah sumbangan dari masyarakat,
bahkan tidak jarang pula panti asuhan merasa cukup berat
menanggung pembiayaan anak asuhnya. Atas dasar itu maka anak-
anak yatim piatu atau miskin di panti asuhan itu tidak wajib
dibayarkan zakat fitrinya.
5. Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitri
Q.S. al-Taubah [9]: 60 merupakan dalil tentang delapan aṣnāf
yang berhak menerima zakat māl. Berbeda dengan zakat māl, zakat
fitri hanya disalurkan kepada fakir dan miskin. Dasar penetapan
bahwa zakat fitri hanya disalurkan kepada fakir miskin saja adalah
hadis Ibnu ‘Abbās yang menyatakan bahwa zakat fitri itu diwajibkan
selain sebagai pencucian terhadap orang yang berpuasa juga sebagai
santunan terhadap orang miskin. Hadis yang dimaksud adalah:
َ َ ‫ا‬ َ ‫َ َ َ َ َ َ ُ ُ ا َا ا‬
‫صلى الل ُه َعل ْي ِه َو َسل َم َزكاة‬ ‫اس َقال فرض رسول الل ِه‬ ٍ ‫َع ْن ْاب ِن َع اب‬
َ ْ ً ُ َ‫ْ ا ْ َ ا‬ ‫ْال ِف ْطر ُط ْه َر ًة ِل ا‬
‫الرف ِث َوط ْع َمة ِلل َم َس ِاك ِين َم ْن أ اد َاها‬ ‫لصا ِئ ِم ِمن اللغ ِو و‬ ِ
ْ‫ص َد َق ٌة من‬ َ
َ ‫الصَلة فه َي‬ َ َ َ َ ‫ا‬ َ ْ َ ٌ َ ْ ٌ َ َ
‫الصَلة فه َي زكاة َمق ُبولة و َمن أداها ب ْعد ا‬ َ َ ‫َق ْب َل ا‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫ا‬
‫ات‬ ِ ‫الصدق‬
Dari Ibnu ‘Abbās (diriwayatkan), ia berkata; Rasulullah SAW telah
mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari
perkataan yang sia-ia dan kotor serta untuk memberi makan kepada
orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum
shalat ‘Īd, maka itu adalah zakat diterima, dan barang siapa yang

Fikih Zakat Kontemporer


285

menunaikannya sesudah shalat ‘Īd, maka itu hanyalah sekedar


sedekah. (H.R. Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim)
6. Waktu Pelaksanaan Zakat Fitri
a. Waktu Pembayaran atau Penarikan
Zakat fitri mulai dikeluarkan (dibayarkan) pada bulan
Ramaḍān dan selambat-lambatnya sebelum salat Idul Fitri tanggal
satu Syawwāl. sebagaimana disebutkan dalam hadis Abdullāh
Ibnu ‘Umar,
َ َ َ َ َ َ ‫َ ْ ا ْ ُ َ َ َ ا َ ُ َل ا َ ا ا ُ َ َ ْ َ َ ا‬
‫ض َزكاة‬ ‫عب ِد الل ِه ب ِن عمر أن رسو الل ِه صلى الله علي ِه وسلم فر‬
ُ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ َ ْ ُْ ْ ْ ‫ان َع َلى ُكل َن‬
َ ‫ض‬َ ‫ْالف ْطر م ْن َ َم‬
‫س ِمن اْلس ِل ِمين ح ٍر أو عب ٍد أو رج ٍل‬ ٍ ‫ف‬ ِ ‫ِ ِ ِ ر‬
َ ْ ً َ َْ َْ ْ ً َ َ ْ َ َ ََ ْ ْ َ
‫أو امرأ ٍة ص ِغ ٍير أو ك ِب ٍير صاعا ِمن تم ٍر أو صاعا ِمن ش ِع ٍير‬
Dari Abdullāh bin ‘Umar (diriwayatkan) bahwa Rasulullah SAW
telah mewajibkan Zakat Fitri di bulan Ramaḍān atas setiap jiwa
dari kaum muslimin, baik orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki
atau pun perempuan, anak kecil maupun dewasa, yaitu berupa
satu ṣā’ kurma atau satu ṣā’ gandum. (H.R. Muslim).
Konsekuensi penegasan bahwa zakat fitri wajib dikeluarkan
pada saat terbenam matahari hari terakhir Ramaḍān adalah bahwa
orang muslim yang meninggal sebelum saat tersebut tidak wajib
membayar zakat fitri karena ketika ia meninggal zakat fitri belum
jatuh tempo. Begitu juga anak yang lahir sesudah terbenam
matahari tidak wajib dibayarkan zakat Fitri karena ia lahir setelah
zakat fitri jatuh tempo. Sebaliknya orang yang meninggal sesudah
terbenamnya matahari akhir Ramaḍān dan orang masuk Islam atau
anak yang lahir sebelum terbenamnya matahari hari terakhir
Ramaḍān wajib dikeluarkan zakat fitrinya.
Pembayaran zakat fitri boleh dimajukan sebelum
terbenamnya matahari akhir Ramaḍān. Dasarnya adalah hadis
Nabi SAW riwayat Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim dari
Ibnu ‘Abbās yang terdapat pada butir no. 5 di atas yang

Fikih Zakat Kontemporer


286

menyatakan bahwa zakat fitri dikeluarkan antara lain dengan


maksud menyantuni orang miskin. Selain itu didasarkan pula
kepada hadis yang membolehkan penyegeraan pembayaran zakat
secara umum, yaitu,
َ ‫ا‬ َ ‫َ ْ َ َ ا ْ َا َ َ َ َ ا ا َا ا‬
‫صلى الل ُه َعل ْي ِه َو َسل َم ِفي ت ْع ِج ِيل‬ ‫َعن ع ِل ٍي أن العباس سأل الن ِبي‬
َ َ َ ‫َ َ َ َْ َ َْ َ ا ََ ا‬
‫ص ل ُه ِفي ذ ِل َك‬ ‫صدق ِت ِه قبل أن ت ِحل فرخ‬
Dari ‘Alī (diriwayatkan) bahwa al-‘Abbās bertanya kepada Nabi
SAW mengenai menyegerakan zakat sebelum wajib atas mereka?
Kemudian beliau memberikan rukhṣah baginya dalam hal
tersebut. (H.R. Lima ahli hadis selain al-Nasā’ī).
Pemberian waktu yang lebih panjang dalam pembayaran
zakat fitri sebelum waktu akhir Ramaḍān akan lebih memudahkan
bagi masyarakat. Terutama apabila pengumpulan zakat fitri itu
dilakukan oleh sebuah panitia yang mencakup wilayah
pengumpulan yang luas sehingga pengumpulannya dan
pendistribusiannya memerlukan waktu yang lama.
Adapun mengenai batas akhir pembayaran zakat fitri itu
adalah sebelum mengerjakan salat ‘Īd, sesuai dengan ketentuan
hadis yang dikutip di atas. Apabila zakat fitri dikeluarkan sesudah
salat ‘Īd, maka pembayaran itu tidak dipandang sebagai zakat fitri,
melainkan hanya sebagai sedekah biasa, dan orang yang
melakukan demikian belum menunaikan kewajiban zakat fitrinya
dan dipandang sebagai orang yang berdosa.
b. Waktu Pembagian
Dari Hadis Ibnu ‘Abbās yang terdapat pada butir no. 5 di
atas dapat diperoleh kejelasan bahwa zakat fitri dipandang sah
apabila telah diberikan kepada fakir miskin sebelum shalat Idul
Fitri dilakukan. Namun adalah suatu hal yang tidak mustahil
terjadi, setelah zakat fitri disalurkan kepada semua fakir miskin di
daerah penarikan, ternyata masih terdapat kelebihan. Tetapi untuk

Fikih Zakat Kontemporer


287

menyalurkan kelebihan zakat fitri tersebut kepada fakir miskin di


daerah lain sebelum dilaksanakan shalat Idul Fitri sering kali
menemui kesulitan, misalnya karena sangat terbatasnya waktu
untuk menyalurkan, jarak yang jauh sementara sarana angkutan
(transportasi) tidak tersedia secara cukup dan lain-lain kesulitan
yang dihadapi, mengakibatkan panitia tidak mampu
menyampaikan zakat fitri kepada fakir miskin di daerah lain
tersebut sebelum sahalat Idul Fitri. Barulah setelah shalat Idul Fitri
dilaksanakan, zakat fitri dapat dibagikan.
Dalam melaksanakan syari’at (agama), Allah tidak
menghendaki hamba-hamba-Nya terjebak dalam suatu kesulitan
yang di luar batas kemampuannya. Allah SWT berfirman:
ْ ُ َ ْ ُ ‫ا‬
َ‫ُي ِر ُيد الل ُه ِبك ُم ال ُي ْس َر َوَّل ُي ِر ُيد ِبك ُم ال ُع ْس َر‬
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185).
‫ا‬ َ ‫َ َ ُ ا‬
‫َّل ُيك ِلف الل ُه ن ْف ًسا ِإَّل ُو ْس َع َها‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 286).
Dalam kaidah fiqh disebutkan:
‫َاْلَ َش اق ُة َت ْجل ُب ا‬
َ‫الت ْي ِس ْي َر‬ ِ
“Suatu kesulitan menarik adanya kemudahan”.
Atas dasar dalil-dalil dan kaidah di atas, jika tertundanya
pembagian zakat fitri kepada fakir miskin sampai dengan
dilaksanakan shalat Idul Fitri disebabkan oleh kesulitan yang tidak
mampu ditanggulangi panitia maka zakat fitri yang dikeluarkan
oleh orang yang wajib mengeluarkan zakat fitri dan diserahkan
kepada panitia sebelum shalat Idul Fitri dilaksanakan maka zakat
tersebut sah.

Fikih Zakat Kontemporer


288

Kiranya dapat disampaikan himbauan agar para wajib zakat


fitri untuk bisa menyegerakan mengeluarkan zakat fitri atau tidak
terlalu dekat dengan hari raya Idul Fitri, sehingga memberi waktu
yang cukup kepada panitia untuk menyampaikan harta zakat fitri
tersebut sebelum shalat Idul Fitri.
7. Pembaruan Distribusi Zakat Fitri
Hadis-hadis Nabi SAW menjelaskan bahwa terdapat beberapa
fungsi dan tujuan dari zakat fitri, yaitu;
a. Zakat fitri itu adalah hak bagi fakir miskin dan sebagai
makanan bagi mereka. Hal ini dipahami dari kalimat ṭu’mah li
al-masākin.
b. Tujuan dari zakat fitri itu adalah membantu fakir miskin di
hari raya agar ikut bergembira sebagaimana saudara-
saudaranya, dapat membersihkan diri si kaya dari sifat kikir
dan akhlak tercela, serta dapat mendidik diri bersifat mulia dan
pemurah.
c. Fungsi zakat itu sesungguhnya adalah untuk dapat mengubah
keadaan si mustahik menjadi muzaki, dan bukan hanya
memberi makan mereka untuk satu hari raya saja, tetapi juga
untuk hari-hari berikutnya, dapat menjamin kehidupan sosial
bagi masyarakat dan si miskin dapat tambahan jaminan
kehidupannya karena zakat fitri itu adalah haknya dan akan
dapat menambah hubungan yang erat dengan si “punya”.
Untuk tercapainya tujuan, fungsi serta hikmah tersebut, perlu
adanya peningkatan dalam pengelolaan zakat fitri tersebut, seperti
dengan cara mengembangkan dan memodalkan zakat fitri dan
pembaruan dalam pendistribusiannya.
Dalil yang dijadikan sebagai dasar dalam pendistibusian zakat
fitri adalah;
a. H.R. Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim

Fikih Zakat Kontemporer


289

َ َ ‫ا‬ َ ‫َ َ ََ َ َ ُ ُ ا َا ا‬
‫صنلى الل ُنه َعل ْي ِنه َو َسنل َم َزكناة‬ ‫ال فنرض رسنول الل ِنه‬ َ ‫ناس قن‬ ‫َ ْ ْ َا‬
ٍ ‫عنن اب ِنن عب‬
ْ ً ُ َ‫ْ ا ْ َ ا‬ ‫ْال ِف ْط ننر ُط ْه ن َنر ًة ِل ا‬
‫الرف ن ِنث َوط ْع َم ننة ِلل َم َس ن ِناك ِين َم ن ْنن‬ ‫لص ننا ِئ ِم ِم ننن اللغ ن ِنو و‬ ِ
َ َ َ َ ٌ َ ْ ٌ َ َ َ َ َ َ
‫أ اد َاهننا قبننل الصننَل ِة ف ِهن َني زكنناة مقبولننة ومننن أداهننا بعنند الصننَل ِة ف ِهن َني‬
‫ا‬ ْ َ َ ‫ا‬ ْ َ َ ُ َ ‫ا‬ َ ْ
َ ‫ََ ٌَ ْ ا‬
َ ِ ‫الص َدق‬
‫ات‬ ‫صدقة ِمن‬ َ
Dari Ibnu ‘Abbās (diriwayatkan), ia berkata; Rasulullah SAW
mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa
dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi
makan orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya
sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang
menunaikannya setelah shalat maka itu hanya sedekah diantara
berbagai sedekah. (H.R. Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim,
dengan menyatakan hadis ini sahih menurut kriteria al-Bukhārī,
dan al-Dāruquṭnī mengatakan: tidak terdapat seorangpun di antara
perawi-perawi hadis ini yang cacat riwayat).
b. Hadis dari Ibnu Umar
َ َ ‫ا‬ َ ‫نال َفن َنر‬
َ ‫َعننن ْابننن ُع َمن َنر َقن‬
‫ َزكنناة‬-‫صننلى هللا عليننه وسننلم‬- ‫ض َر ُسننو ُل اللن ِنه‬ ِ ِ
ْ َ َ ُ ُ ْ َ َ ‫ْال ِف ْطر وق‬
َ َ
“َ‫ال «َأغنوه ْم ِفى هذا ال َي ْو ِ َم‬ ِ
“Dari Ibnu Umar (diriwayatkan), ia bekata: Rasulullah SAW
mewajibkan zakat, dan ia berkata ”Cukupilah mereka (daripada
meminta-minta) pada hari ini (hari raya Idul Fitri).” (H.R. al-
Dāruquṭnī).
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan diwajibkannya
mengeluarkan dan mendistribusikan zakat fitri. Perbedaan tersebut
terbagi dua pendapat. Pertama, Mālikiyyah, Syāfi’iyyah dan
Ḥanābilah berpendapat bahwa waktu wajib mengeluarkan zakat fitri
merupakan kewajiban yang terbatas yaitu sejak terbenamnya matahari
pada akhir bulan Ramaḍān sampai sebelum dilaksanakannnya shalat
‘Īd. Mereka berdalil pada hadis Nabi:
َ ‫َ ْ ْ ُ َ َ َ َ ا ُ َ ُْ َ َ َ َ َ َ َ ُ ُ ا َ ا ا‬
‫صلى الل ُه َعل ْي ِه‬ ‫ال فرض رسول الل ِه‬
َ ‫عن اب ِن عمر ر ِض ي الله عنهما ق‬

Fikih Zakat Kontemporer


290

ْ ْ َ َ
‫صننا ًعا ِمن ْنن شن ِع ٍير َعلننى ال َع ْبن ِند َوال ُحن ِنر‬ َ ‫ناعا من ْنن َت ْمننر َأ ْو‬ً ‫صن‬َ ‫َو َسن انل َم َز َكن َناة ْالف ْطننر‬
َ َ ْ
ٍ ِ ِ ِ ُ
َ َ ُ ُ َ ْ ‫َوالن انذ َكر َو ْْلا ْن َثننى َو ا‬
‫الص ن ِغ ِير َوالك ِبين ِنر ِمن ْنن اْل ْسن ِنل ِم َين َوأ َمن َنر ِب َهننا أ ْن تننؤ ادى ق ْبن َنل‬ ِ
َ‫ا‬ َ ‫ا‬ ُ ‫ُخ‬
َ ‫اس ِإلى الصَل ِة‬ ِ ‫وج الن‬ ِ ‫ر‬
“Dari Abdullāh bin ‘Umar (diriwayatkan) ia berkata: "Rasulullah
SAW mewajibkan zakat fitri satu ṣā’ dari kurma atau ṣā’ dari gandum
bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki
maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan
Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang
berangkat untuk shalat (‘Īd) ". (H.R. al-Bukhārī).
َ َ ‫ا‬ َ ‫َ َ َ َ َ َُ ُ ا َا ا‬
‫صننلى اللن ُنه َعل ْين ِنه َو َسننل َم َزكنناة‬ ‫نال فننرض رسننول اللن ِنه‬ َ ‫ناس قن‬ ٍ ‫َعن ْنن ْابن ِنن َع ابن‬
َ ْ ً ُ َ‫ْ ا ْ َ ا‬ ‫ْال ِف ْطننر ُط ْهن َنر ًة ِل ا‬
‫الرفن ِنث َوط ْع َمننة ِلل َم َسن ِناك ِين َمن ْنن أ اد َاهننا‬ ‫لصننا ِئ ِم ِمننن اللغن ِنو و‬ ِ
ْ‫ص َند َق ٌة منن‬ َ ‫الص ََلة َفه َي‬ ‫الص ََلة َفه ََي َز َك ٌاة َم ْق ُب َول ٌة َو َم ْن َأ اد َاها َب ْع َد ا‬ ‫َق ْب َل ا‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫ا‬
َ ‫ات‬ ِ ‫الصدق‬
Dari Ibnu ‘Abbās (diriwayatkan), ia berkata; Rasulullah SAW
mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari
bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan
orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum
shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya
setelah shalat maka itu hanya sedekah diantara berbagai sedekah.
(H.R. Abū Dāwud, Ibnu Mājah dan al-Ḥākim, dengan menyatakan
hadis ini sahih menurut kriteria al-Bukhārī, dan ad-Dāruquṭnī
mengatakan: tidak terdapat seorangpun di antara perawi-perawi hadis
ini yang cacat riwayat).
Kedua, Ḥanafiyyah berpendapat bahwa waktu diwajibkan
mengeluarkan dan mendistribusikan zakat fitri merupakan wajib
muwassa’ (wajib mutlak) yaitu kewajiban yang tidak dibatasi
waktunya, kapan pun seorang mukallaf mengeluarkan zakat fitri maka
berarti ia telah melaksanakannya, meskpiun yang sangat dianjurkan
mengeluarkan sampai sebelum ia pergi ke tempat pelaksanaan shalat
‘Īd. Mereka berdalil pada hadis riwayat al-Ḥākim dan al-Dāruquṭnī:

Fikih Zakat Kontemporer


291

َ َ ‫ا‬ َ ‫نال َف ن َنر‬


َ ‫َع ننن ْاب ننن ُع َم ن َنر َق ن‬
‫ َزك نناة‬-‫ص ننلى هللا علي ننه وس ننلم‬- ‫ض َر ُس ننو َُل الل ن ِنه‬ ِ ِ
ْ َ ْ َ َ ْ ُ ُْ َ َ ََ ْ ْ
“ ‫ال ِفط ِر وقال «َأغنوهم ِفى هذا اليو ِم‬
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Ia berkata, “Rasulullah SAW
mewajibkan zakat fitri dengan bersabda: "Buatlah mereka cukup
sehingga tidak meminta-minta pada hari ini". (H.R. al-Ḥākim dan al-
Dāruquṭnī).
ْ َ َ ُ ُْ َ
Sabda Nabi “‫ “ أغننوه ْم ِفنى هنذا ال َي ْنو ِ َم‬menunjukkan bahwa zakat fitri
diberikan kepada fakir miskin pada dasarnya untuk membuat mereka
berkecukupan pada hari raya Idul Fitri sehingga tidak keliling
meminta-minta dari rumah ke rumah. Membuat mereka
berkecukupan, boleh, bahkan utamanya, tidak hanya pada hari raya
saja, tapi sepanjang tahun atau sepanjang hidupnya. Pembagian zakat
fitri sepanjang tahun atau bahkan seumur hidup, menurut Mażhab
Ḥanafī, tidak sekedar ditunjukkan oleh sabda (sunnah qauliyyah)
tersebut, tapi menjadi praktek Nabi (sunnah fi’liyyah) dalam
pembayaran zakat.
Dalam pandangan mereka (Mażhab Ḥanafī), membayar zakat
fitri sebelum shalat ‘Īd, bukan merupakan syarat sah, tapi hanya
mustaḥab (anjuran). Anjuran ini dimaksudkan untuk memastikan
bahwa fakir miskin terpenuhi kebutuhan hidupnya pada hari raya.
Dari kedua pendapat tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah cenderung memilih pandangan
Ḥanafiyyah, yaitu Pembagian zakat fitri dapat dilakukan sepanjang
tahun atau bahkan seumur hidup, dengan argumen yang disampaikan
di atas dan dengan pertimbangan pada salah satu prinsip zakat, yaitu
prinsip pemberdayaan yaitu prinsip terkait pengelolaan dan
pendayagunaan zakat, yang harus mampu meningkatkan
kesejahteraan, baik dalam membaikinya kualitas konsumsi, maupun
meningkatnya kehidupan spiritual di mana mustahik dapat
membebaskan diri dari penerima menjadi pemberi zakat. Dengan
demikian pengelola zakat tidak hanya sekedar mendistribusikannya,

Fikih Zakat Kontemporer


292

tetapi harus mampu menjamin dan memantau serta memberi arahan


bagaimana zakat menjadi efektif dan berhasil guna.

B. Infaq
1. Pengertian Infaq
Kata infaq berasal dari kata nafaqa yang berarti sesuatu yang
telah berlalu atau habis, baik dengan sebab dijual, dirusak, atau karena
meninggal. Selain itu, kata infaq terkadang berkaitan dengan sesuatu
yang dilakukan secara wajib atau sunnah.
Di dalam al-Qur’an, kata infaq disebut 1 kali yaitu dalam al-
Isrā’ [17] ayat 100 tapi perintah infaq sebanyak 5 kali sedangkan kata
lain yang seakar dengan kata tersebut seperti anfaqa, yunfiqu, dan
nafaqatan disebut lebih dari 70 kali.
Infaq menurut istilah para ulama diartikan sebagai perbuatan
atau sesuatu yang diberikan oleh seseorang untuk menutupi kebutuhan
orang lain, baik berupa makanan, minuman, dan sebagainya, juga
mendermakan atau memberikan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah SWT semata.
2. Pahala dan Keutamaan Infaq
Dalam pandangan syariat Islam orang yang berinfaq akan
memperoleh keberuntungan yang berlipat ganda baik di dunia maupun
di akhirat. Orang yang berinfaq tidak akan jatuh miskin, malah
rezekinya akan bertambah. Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 261 Allah
SWT berfirman:
َ َْ َ َ ‫ا‬ َ َ َ َ ‫َم َث ُل االذ‬
‫ين ُي ْن ِف ُقون أ ْم َوال ُه ْم ِفي َس ِب ِيل الل ِه ك َمث ِل َح اب ٍة أن َبت ْت َس ْب َع‬ ِ
‫ا‬ َ َ ُ ‫ا‬ ُ َ َ ْ ُ َ َ
‫اعف ِْل ْن َيش ُاء َوالل ُه َو ِاس ٌع‬ َ ُ ُ َ َ ُ ُ
ِ ‫سن ِاب َل ِفي ك ِل سنبل ٍة ِمئة ح اب ٍة والله يض‬
ٌَ ‫َع ِل‬
‫يم‬

Fikih Zakat Kontemporer


293

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang


menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh batang dan 100 butir Allah melipat
gandakan (pahala) setiap bagi siapa yang dia kehendaki. (Q.S. al-
Baqarah [2]: 262).
3. Hukum Infaq
Berinfaq sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Dalam al-
Qur’an, terdapat 5 kali perintah berinfaq, di antaranya dalam surat al-
Munāfiqūn [63] ayat 10:
َ َْ ُ َ ْ َ َ ُ ْ َ َْ
‫َوأن ِف ُقوا ِم ْن َما َرزق َناك ْم ِم ْن ق ْب ِل أ ْن َيأ ِت َي أ َح َدك ُم اْل ْو ُت ف َي ُقو َل َر ِب‬
‫ص اد َق َو َأ ُك ْن م َن ا‬
َ َ ‫الص ِال ِح‬
‫ين‬ ‫َل ْ َوَّل َأ اخ ْرَتني إ َلى َأ َجل َقريب َف َأ ا‬
ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ
“Belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan
kepadamu sebelum datang kematian...”.
Surat al-Tagābun [64]: 16:
ُ َْ َ َْ ُ ََ ُ َ ْ َ ْ ُْ َ َ ْ َ َ ‫َ ا ُ ا‬
َ‫يعوا َوأن ِف ُقوا خ ْي ًرا ِۡلن ُف ِسك ْم‬ ‫فاتقوا الله ما استطعتم واسمعوا وأ ِط‬
"... dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk
dirimu...".
Sementara itu dalam surat al-Ṭalaq [65]: 7, Allah berfirman:
‫ََ ا‬ َْ ُ ْ َ ُ ُ
‫ِل ُي ْن ِف ْق ذو َس َع ٍة ِم ْن َس َع ِت ِه َو َم ْن ق ِد َر َعل ْي ِه ِرزق ُه فل ُي ْن ِف ْق ِم اما آت ُاه الله‬
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya...”.
Dari ayat-ayat tersebut dapat ditarik pengertian bahwa infaq
termasuk amal yang sangat dianjurkan dan sunah hukumnya tetapi
dapat pula menjadi wajib apabila masyarakat sangat memerlukan.

Fikih Zakat Kontemporer


294

C. Shadaqah
1. Pengertian Shadaqah
Shadaqah berasal dari kata ṣadaqa yang artinya benar atau
pemberian seseorang secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya
yang akan diiringi pahala dari Allah SWT. Berdasarkan pengertian ini
maka infaq harta untuk kebaikan termasuk dalam kategori shadaqah.
Shadaqah dalam konsep Islam mempunyai arti yang luas tidak
hanya terbatas pada pemberian sesuatu yang sifatnya material kepada
orang-orang miskin, tetapi lebih dari itu, shadaqah mencakup semua
perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun nonfisik. Bentuk-
bentuk Shadaqah dalam ajaran Islam dapat dilihat pada beberapa
hadis Nabi Muhammad SAW di antaranya Rasulullah SAW bersabda:
َ ‫الل ِه َف َم ْن َل ْم َيج ْد َق‬
‫ال‬
‫ََ ٌَ ََ ُ َ َ ا ا‬
‫َفقالوا يا ن ِبى‬. ‫ال َعلى ك ِل ُم ْس ِل ٍم صدقة‬
ُ َ َ َ
‫ق‬
ِ
َ
‫ال ُي ِع ُين ذا‬ َ ‫َ َق ُالوا َفإ ْن َل ْم َيج ْد َق‬. ‫ص اد ُق‬
َ ‫َي ْع َم ُل ب َيده َف َي ْن َف ُع َن ْف َس ُه َو َي َت‬
ِ ِ ِِ ِ
ْ َ ْ َْ ْ َ َ ‫ َق‬.‫ َقالوا فإ ْن ل ْم َيج َْد‬. ‫اج ِة ْاْلل ُهوف‬
َ َ َ ُ َ َ ْ َ َ ‫ْال َح‬
،‫وف‬ ِ ‫ال فليع َم ْل ِباْلع ُر‬ ِ ِ
ٌ َ َ َ ُ َ َ‫ا َ ا‬ ْ
‫َول ُي ْم ِس ْك َع ِن الش ِر ف ِإنها له صدقة‬
“Kepada setiap muslim dianjurkan bershadaqah”. Para sahabat
bertanya: "hai Nabi, bagaimana orang-orang yang tidak
mendapatkan sesuatu yang akan dishadaqahkannya?" Rasulullah
SAW menjawab “Hendaklah ia berusaha dengan tenaganya hingga ia
memperoleh keuntungan bagi dirinya lalu ia bershadaqah
(dengannya)”. Mereka bertanya lagi: “jika ia tidak memperoleh
sesuatu?” Jawab Rasulullah: “Hendaklah ia melakukan kebaikan dan
menahan diri dari kejahatan, karena hal itu merupakan
shadaqahnya” (Ḥ.R. Aḥmad).
2. Perbedaan Shadaqah dan Zakat
Menurut Fuqahā’, perbedaan shadaqah dan zakat dapat dilihat
sebagai berikut:

Fikih Zakat Kontemporer


295

a. Dari segi subjek (orang yang bershadaqah)


Shadaqah dianjurkan (disunahkan) kepada setiap orang yang
beriman, baik mampu maupun kurang mampu, baik kuat maupun
lemah. Sedangkan zakat diwajibkan kepada orang-orang tertentu,
yaitu orang-orang kaya yang telah memenuhi persyaratan sebagai
wajib zakat. Hal ini diterangkan Nabi Muhammad SAW dalam
hadis
َ َ ُّ َ ُ َ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ْ ُ ً َ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ ‫َ ا ا‬
‫أن الله قد فرض علي ِهم صدقَة تؤخذ ِمن أغ ِني ِائ ِهم فترد على‬
ُ
‫ف َق َر ِائ ِه َْم‬
“….Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat kepada mereka, yaitu
dari harta benda yang mereka miliki, yaitu diambil dari orang-
orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir (miskin) di
antara mereka.” (H.R. al-Bukhārī dan Muslim)
b. Dari segi yang dishadaqahkan
Shadaqah yang diberikan tidak terbatas pada fisik harta,
melainkan mencakup semua kebaikan. Sedangkan pada zakat
yang dikeluarkan terbatas pada harta kekayaan secara fisik seperti
hasil pertanian peternakan, perdagangan, dan hasil usaha lainnya.
c. Dari segi penerima (objeknya)
Zakat hanya diberikan kepada orang-orang yang telah
ditentukan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an yaitu kepada
golongan yang delapan, sebagaimana yang dijelaskan di dalam
ayat berikut yang artinya:
ُُ ‫َُْ ا‬ َ ْ َْ ْ ُ َ َ‫ا‬
‫ات ِلل ُف َق َر ِاء َواْل َس ِاك ِين َوال َع ِام ِل َين َعل ْي َها َواْلؤل َف ِة قل ُوب ُه ْم‬ ‫ِإ ان َما الصدق‬
‫يضة ِم َن‬
ًَ َ ‫الل ِه َو ْابن ا‬
‫الس ِب ِيل ف ِر‬
‫ا‬
‫يل‬ ‫ب‬ ‫س‬َ ‫َوفي الر َقاب َو ْال َغارم َين َوفي‬
ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
‫ا َ ا‬
ٌ ‫الل ُه َع ِل‬
‫يم َح ِكيم‬ ‫الل ِه و‬
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk

Fikih Zakat Kontemporer


296

hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang


berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah...”
(Q.S. al-Taubah [9]: 60).
Adapun Shadaqah atau infaq selain kepada yang 8 golongan
tersebut, boleh juga diberikan kepada yang lain sebagaimana yang
diterangkan dalam Hadis berikut:
َ ‫ا‬
‫الص َدق ِة‬ ‫ ِب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫الن ِب ُّى‬ ‫ال َأ َم َر ا‬
َ ‫َع ْن َأبى ُه َرْي َر َة َق‬
ََ ْ ‫ا‬ َ َ َ ََ ٌ َ ْ ‫ََ ََُِ ٌ َ َ ُ َ ا‬
‫ َفقال تصدق ِب ِه على‬.‫ار‬ َ ‫فقال رجل يا رسول الل ِه ِعن ِدى ِدين‬
َ ‫َ َق‬.‫ك‬ َ َ َ ‫ال َت‬ َ ‫َ َق‬.‫آخ َُر‬
َ َ ‫َ َق‬.‫ك‬ َ
‫ال ِع ْن ِدى‬ َ َ ‫ص اد ْق ِب ِه َعلى َول ِد‬ ‫ال ِع ْن ِدى‬ َ َ ‫ن ْف ِس‬
َ ‫ َ َق‬.‫ك‬
‫ال ِع ْن ِدى‬ َ َ ‫ال َز ْو ِج‬َ ‫ َ َأ ْو َق‬.‫ك‬ َ
َ َ ‫ص اد ْق ِب ِه َعلى َز ْو َج ِت‬ َ ‫ال َت‬ َ ‫ َ ََق‬.‫آخ َُر‬
َ
َْ َ َ ُ َ َ ‫ َ َق‬.‫ك‬ َ َ َ ‫ال َت‬ َ ‫ َ َق‬.‫آخ َُر‬ َ
‫ال أن َت‬ ‫ َق‬.‫ال ِع ْن ِدى آخ َر‬ َ َ ‫ص اد ْق ِب ِه َعلى خ ِاد ِم‬
ُ.‫ص َر‬َ ‫َأ ْب‬
“Dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkan
untuk bershadaqah. Lalu seseorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah: ya Rasulullah: “saya mempunyai satu dinar uang”.
Laki-laki itu berkata lagi: “ada lagi satu dinar yang lain ya
Rasulullah”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “shadaqahkanlah
untuk istrimu. Kemudian ia berkata lagi: “masih ada satu dinar
lagi ya Rasulallah. Beliau bersabda shadaqahkanlah untuk
anakmu. Kata laki-laki itu masih ada satu dinar lagi”. Rasulullah
SAW bersabda: shadaqahkanlah kepada pelayanmu. Ia berkata
lagi: “ada satu dinar lagi”. Rasulullah bersabda: “terserah
padamu, engkau lebih mengetahui ke mana yang lebih baik”.
(H.R. Abū Dāwud, al-Nasā’ī, dan al-Ḥākim).
3. Benda yang dishadaqahkan
Pada dasarnya shadaqah itu hanya dibolehkan apabila benda
yang di shadaqahkan itu milik sendiri, tidak sah menshadaqahkan
sesuatu yang menjadi milik bersama atau milik orang lain. Oleh sebab
itu seorang istri tidak diperbolehkan menshadaqahkan harta tanpa
lebih dahulu mendapat izin dari suaminya.

Fikih Zakat Kontemporer


297

BAB VI
AṢNĀF-AṢNĀF MUSTAHIK ZAKAT

Pembagian zakat dalam Q.S. al-Taubah [9]: 60 diatur untuk 8 aṣnāf


(kelompok) penerima zakat (Arab: mustaḥiq). Ayat itu adalah sebagai
berikut:
ُُ ‫َُۡ ا‬ َ ۡ َ ۡ ٓ ۡ ََٰ ‫ا‬
‫ٱلص َدق ُت ِلل ُف َق َرا ِء َوٱْل ََٰس ِك ِين َوٱل ََٰع ِم ِل َين َعل ۡي َها َوٱْلؤل َف ِة قل ُوب ُه ۡم َو ِفي‬ ‫ِإ ان َما‬
‫ا‬ ‫ا‬
‫يضة ِم َن ٱلل ِ ۗه َوٱلل ُه‬ َ ‫يل َفر‬ ‫ٱلل ِه َو ۡٱبن ا‬
ِۖ ‫ٱلسب‬ َ
‫ا‬
‫يل‬ ‫ب‬ ‫س‬َ ‫ٱلر َقاب َو ۡٱل ََٰغرم َين َوفي‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
َ
‫يم ح ِكيم‬ٌ ‫َع ِل‬
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Taubah [9]: 60)
Kehidupan yang dijalani umat pada zaman sekarang sangat jauh
berbeda dari yang mereka jalani pada zaman Nabi sampai zaman pra-
modern. Hal ini tidak terlepas dari perubahan sejarah dalam semua
bidang kehidupan yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang terkait
dengan aturan pembagian zakat di antaranya adalah perubahan sistem
sosial dari feodalisme-perbudakan menjadi egalitarisme sehingga
perbudakan yang pada zaman dahulu legal sekarang menjadi kejahatan
berat, yakni kejahatan kemanusiaan;
Perubahan standar kesejahteraan dari pemenuhan kebutuhan primer
meliputi 3 kriteria (pangan, sandang dan papan) menjadi meliputi 5
kriteria (3 di depan ditambah kesehatan dan pendidikan); dan perubahan
pengelolaan zakat oleh individu dan lembaga tidak resmi pada masa lalu
menjadi pengelolaan oleh lembaga resmi sehingga pengelolaan oleh pihak
pertama menjadi kejatahan yang dapat diproses ke pengadilan.

Fikih Zakat Kontemporer


298

Perubahan kehidupan itu membuat definisi aṣnāf-aṣnāf yang


dikembangkan pada masa klasik dan pertengahan Islam dahulu tidak
seluruhnya dapat diterapkan pada zaman sekarang. Karena itu mau tidak
mau harus dilakukan redefinisi terhadapnya supaya pembagian zakat
sesuai dengan ayat tersebut.

Makna Kata Penghubung Li dan Fī


Dalam al-Taubah [9]: 60 peruntukan zakat bagi 8 aṣnāf
dikemukakan dengan menggunakan kata penghubung (ḥarf al-jarr): li
dan fī. Al-Zamakhsyarī memahami bahwa kata li digunakan sebagai kata
penghubung untuk 4 aṣnāf pertama yang disebutkan di dalamnya, yakni
al-fuqarā’, al-masākin, al-‘āmilīn ‘alaihā dan al-mu’allafāt qulūbuhum.
Adapun fī digunakan sebagai kata penghubung untuk 4 aṣnāf terakhir,
yakni al-riqāb, al-gārimīn, sabīlillāh dan ibnu al-sabīl. Dia juga
menjelaskan bahwa makna li dalam ayat tersebut li al-milki (berarti bagi)
dan makna fī li al-wi’a’ (berarti dalam) dan menegaskan bahwa 4 aṣnāf
yang terakhir lebih kuat haknya untuk menerima zakat karena dalam
“riqāb” terkandung makna pembebasan budak dari perbudakan dan
pembebasan tawanan perang dari penawanan musuh; dalam al-gārimīn
terdapat pembebasan dari utang; dalam “sabīlillāh” ada gabungan antara
kemiskinan dan ibadah (orang miskin yang berhaji dan orang miskin yang
ikut perang jihad); dan dalam ibnu al-sabīl ada gabungan kemiskinan dan
jauh dari keluarga dan harta yang dimiliki.88
Pemahaman berbeda diberikan oleh Rasyīd Riḍā. Penafsir
pembaharu dari Mesir ini memahami bahwa li dalam Q.S. al-Taubah [9]:
60 digunakan sebagai kata penghubung untuk 6 aṣnāf, sedang fī
digunakan sebagai kata penghubung untuk 2 aṣnāf, yakni al-riqāb dan
sabīlillāh. Dia juga menjelaskan bahwa li lil milki yang bermakna zakat
menjadi hak individu yang memiliki kebutuhan mendesak (asykhaṣ

88
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-‘Aqāwil fī
Wujūh al-Ta’wīl (Teheran: Intisyarat Afitab, t.t.) II: 198.

Fikih Zakat Kontemporer


299

massat hum al-ḥājah) dan fī lil wi’a’ yang bermakna zakat untuk
maṣlaḥah ‘āmmah, kepentingan umum.89
Pedoman ini mengikuti pandangan Rasyīd Riḍā dengan alasan
sebagai berikut:
1. Li digunakan secara langsung sekali untuk al-fuqarā’ dan fī
digunakan secara langsung dua kali untuk al-riqāb dan sabīlillāh
dengan di tengah-tengahnya ada al-gārimīn. Ini berarti bahwa fī
hanya menjadi kata penghubung untuk al-riqāb dan sabīlillāh
saja.
2. Hadis riwayat Abū Dāwud dan lain-lain yang menegaskan zakat
boleh diberikan kepada orang kaya dengan 5 alasan:
‫ُ َ َ ْ َ َ ا َ َ َ َ َ ُّ ا َ ُ َ ا‬ ‫َ ا َ ُ َل ا َ ا‬
‫الص َدقة ِلغ ِن ٍي ِإَّل‬ ‫َ"ََّل ت ِحل‬:‫ال‬ َ ‫صلى هللا علي ِه وسلم ق‬ ‫أن رسو الل ِه‬
َ َ َ َ َ ‫ا‬ َ َ
‫ أ ْو ِل َر ُج ٍل‬،‫ أ ْو ِلغا ِر ٍم‬،‫ أ ْو ِل َع ِام ٍل ََعل ْي َها‬،‫ َ ِلغ ٍاز ِفي َس ِب ِيل الل ِه‬:‫ِلخ ْم َس ٍَة‬
ْ ََ َ ُ َُ ٌ ْ ٌ َ ُ َ َ َ ُ َ َْ َْ
،‫ أو ِلرج ٍل كان له جار ِمس ِكين فتص ِدق على ِاْلس ِك ِين‬،‫اشت َر َاها ِب َم ِال ِه‬
ْ
َْ ْ ََ
‫فأ ْه َد َاها ِاْل ْس ِك ُين ِللغ ِن ِي‬
Rasullah SAW bersabda, “Sedekah (zakat) tidak halal bagi orang
kaya kecuali karena 5 hal: menjadi pasukan di jalan Allah, menjadi
amil, menjadi orang yang memiliki utang, dia membeli sedekah
dengan hartanya atau ada tetangga miskin yang menerima sedekah
dan menghadiahkan sedekah yang diterima itu kepadanya (orang
kaya).
Dalam hadis ini ada 2 alasan yang menunjukkan pembagian
zakat untuk kepentingan umum sehingga orang kaya dapat
memanfaatkan atau menikmatinya. Pertama, alasan menjadi pasukan
di jalan Allah. Alasan ini menunjukkan bahwa sabīlillāh yang
dibicarakan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 60 memiliki pengertian umum,
tidak hanya meliputi orang miskin yang ikut berjihad saja, seperti

89
Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār (Beirut: Dār al-Fikr,
1978) X: 499.

Fikih Zakat Kontemporer


300

yang disinggung al-Zamakhsyarī, tapi juga orang kaya yang


mengikutinya.
Ini berarti bahwa sabīlillāh yang menjadi aṣnāf penerima zakat
itu adalah kepentingan umum sehingga orang kaya yang terlibat di
dalamnya diperbolehkan untuk menerima zakat. Kedua, membeli
sedekah. Alasan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan zakat pada
zaman Nabi di antaranya didayagunakan untuk pembelian atau
pengadaan prasarana dan sarana yang dapat digunakan bersama-sama
oleh seluruh warga masyarakat.
Contohnya yang populer adalah pembelian sebuah sumur
Raumah di Madinah oleh ‘Uṡmān bin ‘Affān, sahabat, khalifah dan
menantu Nabi SAW, dan airnya diperuntukkan bagi seluruh pihak
yang membutuhkannya, termasuk Khalifah ‘Uṡmān sendiri.
Pelaksanaan demikian jelas membuktikan adanya praktek
pendayagunaan zakat untuk kepentingan umum pada zaman Nabi
SAW dan sahabat, sehingga seharusnya menjadi sunah yang
diteladani.
3. Kebutuhan yang ada pada masyarakat bukan hanya kebutuhan
individu semata, tetapi juga kebutuhan publik. Apabila zakat
hanya untuk invidu saja, maka kebutuhan publik pasti terabaikan.
Karena itu harus ada pembagian zakat untuk memenuhi kebutuhan
publik tersebut untuk mewujudkan kebaikan hidup bersama, tidak
hanya kebaikan hidup individu-individu saja.

A. Mustahik Individu/Lembaga
1. Orang-Orang Fakir (al-Fuqarā’)
Aṣnāf individu mustahik zakat yang disebutkan pertama dalam
Q.S. al-Taubah, [9]: 60 adalah al-Fuqarā’, orang-orang fakir. Kata al-
Fuqarā’ merupakan jamak dari al-fāqir dengan kata dasar al-faqr.
Arti asal kata al-fāqir adalah “orang” yang retak tulang belakangnya.

Fikih Zakat Kontemporer


301

Arti asal ini menggambarkan betapa beratnya beban hidup orang fakir
dan gambaran ini ada dalam al-faqr, yang menurut al-Aṣfahānī,
memiliki 4 pengertian: adanya kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi
(ḍarūriyyah) dan dialami oleh seluruh umat manusia di dunia, bahkan
oleh seluruh makhluk Allah; tiadanya kekayaan dan penghasilan;
kemiskinan jiwa; dan kebutuhan kepada Allah.90
Kemudian dalam literatur tafsir, istilah al-Fuqarā’ diberi
pengertian berbeda-beda oleh para ulama. Pengertian-pengertian itu
yang disebutkan dalam al-Nukat wa al-‘Uyūn adalah sebagai berikut:
a. Fakir: orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
tidak meminta-minta (Ibnu ‘Abbās, Ḥasan Baṣrī, Jābir, Ibn
Zaīd, al-Zuhrī, Mujāhid dan Zaīd bin Aslām)
b. Fakir: penderita penyakit/cacat yang tidak dapat
disembuhkan/seumur hidup (żū al-zamanah) yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup (Qatādah)
c. Fakir: orang miskin dari kaum muhajirīn (al-Ḍahhak bin
Muzāhim dan Ibrāhīm al-Nakhā’ī)
d. Fakir: orang muslim miskin (‘Ikrimah)
e. Fakir: orang yang tidak memiliki apa-apa karena kebutuhan
hidup telah mencekiknya (li anna al-ḥajah kassarat faqarahū -
kebutuhan hidup membuat retak-retak tulang belakangnya)
(Imam al-Syāfi’ī)
f. Fakir: orang yang memiliki kekayaan/penghasilan yang tidak
mencukupinya (Abū Ḥanīfah).91
Pedoman ini mengikuti pandangan Imam al-Syāfi’ī (pandangan
ke-5) dengan pertimbangan:
a. Qaul Khalifah ‘Umar bin Khaṭṭāb: orang miskin bukanlah
orang yang tidak memiliki harta, tapi al-akhlaq al-kasb (orang

90
Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.) hal.
397.
91
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2012) II:
374.

Fikih Zakat Kontemporer


302

yang memiliki pekerjaan, tapi penghasilannya tidak


mencukupi).92
b. Al-Fāqir dalam al-Qur’an (dan hadis) digunakan dengan 4
pengertian yang disebutkan oleh al-Aṣfahānī dengan salah
satunya adalah “tidak memiliki apa-apa (kekayaan dan
penghasilan) yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup”, sebagaimana disinggung di atas.
c. Kaidah tafsir: al-awwāliyah tadullu ‘alā al-aulāliwiyyah,
posisi di awal (disebutkan lebih dahulu) menunjukkan
kelebihutamaan (menunjukkan pengertian lebih dalam).
Berdasarkan Kaidah ini, orang-orang fakir yang disebutkan
pertama dalam ayat sebelum para penyandang masalah
ekonomi lain (orang-orang miskin, orang-orang yang memiliki
utang dan ibnu sabil) berarti memiliki masalah ekonomi yang
paling berat dibandingkan mereka.
Berdasarkan pilihan ini, pedoman ini memberikan pengertian al-
Fuqarā’ adalah “orang-orang yang tidak memiliki kekayaan dan
penghasilan atau orang melarat yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan primer/dasar (pangan, sandang, papan,
kesehatan dan pendidikan).” Dalam perspektif ekonomi, pengertian
ini berarti memasukkan mereka sebagai orang-orang yang mengalami
kemiskinan absolut dengan menyandang masalah ekonomi berat
sehingga berhak untuk mendapatkan pemberdayaan dengan 4
orientasinya: orientasi kesejahteraan, orientasi kemandirian, orientasi
perubahan sosial, dan orientasi advokasi kebijakan publik.
Dalam pelaksanaan pembagian zakat, mereka dapat diberi
bagian dengan kriteria fakir yang relevan sekarang sebagai berikut:
a. Orang yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya
b. Orang yang mengalami kemiskinan multi dimensi
c. Penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus

92
Ibid., hal. 374-375.

Fikih Zakat Kontemporer


303

d. Lansia yang tidak memiliki kekayaan dan penghasilan


e. Orang yang kehilangan harta benda karena bencana
f. Orang yang tidak memiliki biaya pendidikan dasar 9 tahun
g. Kaum imigran yang menunggu penempatan di negara-negara
tujuan (imigran Afganistan di Indonesia dll)
2. Orang-Orang Miskin (al-Masākin)
Aṣnāf individu yang disebutkan kedua dalam Q.S. al-Taubah,
[9]: 60 adalah orang-orang miskin (al-masākin). Kata al-masākin
merupakan jamak dari al-miskīn dengan kata dasar al-sukun yang
berarti diamnya sesuatu setelah bergerak.93 Dari kata dasar ini
diketahui bahwa al-miskīn adalah orang yang diam setelah bergerak.
Adapun pengertian al-masākin menurut para ulama yang
disebutkan dalam al-Nukat wa al-‘Uyūn adalah sebagai berikut:
a. Orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
meminta-minta (Ibnu ‘Abbās, Ḥasan Baṣrī, Jābir, Ibn Zaīd, al-
Zuhrī, Mujāhid dan Zaīd bin Aslām)
b. Orang yang sehat badannya yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidup (Qatādah)
c. Orang miskin dari non-muhajirin (al-Ḍahhak bin Muzāhim dan
Ibrāhīm al-Nakhā’ī)
d. Orang miskin dari kaum ahli kitab (‘Ikrimah)
e. Orang yang memiliki kekayaan atau penghasilan yang menjadi
sandaran hidupnya, tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidup (Imam al-Syāfi’ī)
f. Orang yang tidak memiliki kekayaan/penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidup (Abū Ḥanīfah).94
Pedoman ini mengikuti pendapat ulama kelima (Imam al-
Syāfi’ī) dengan beberapa pertimbangan beikut:

93
Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 242.
94
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 374.

Fikih Zakat Kontemporer


304

a. Qaul Khalifah Umar bin Khaṭṭāb yang telah disebutkan di atas.


b. Secara bahasa kata al-miskīn juga berarti sedikit bergerak, baik
secara fisik karena lemah dan tidak berdaya maupun secara
psikis karena memiliki kepuasan hidup (qanā’ah) dan
kesabaran.95 Sedikit bergerak dalam pengertian fisik ini dapat
menunjukkan bahwa al-miskīn adalah orang yang memiliki
perkerjaan, penghasilan atau kekayaan, tetapi tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Pengertian
ini diperkuat oleh pengertian al-miskīn menurut isytiqaq atau
pembentukannya yang lain, yakni al-qarru al- ṣabīr ‘alā mā
huwa ‘alaih lā yujāhidu li al-takhalluṣi minhu, orang yang
menetap dan bertahan pada keadaannya tanpa usaha sungguh-
sungguh untuk mentas darinya.96
c. Kaidah tafsir: al-awwāliyah tadullu ‘alā al-aulāliwiyyah,
posisi di awal (disebutkan lebih dahulu) menunjukkan
kelebihutamaan (menunjukkan pengertian lebih dalam).
Berdasarkan Kaidah ini berarti bahwa orang-orang miskin
memiliki masalah ekonomi yang lebih ringan daripada orang-
orang fakir, tetapi lebih berat dibandingkan dengan
penyandang masalah ekonomi lain (orang-orang yang
memiliki utang dan ibnu sabil).
Berdasarkan pilihan di atas, orang miskin yang berhak
menerima zakat adalah orang yang memiliki kekayaan, pekerjaan,
usaha atau penghasilan yang tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan dan
pendidikan). Ini berarti bahwa dia adalah orang yang mengalami
kemiskinan absolut dengan menyandang masalah ekonomi sedang dan
berhak untuk mendapatkan pemberdayaan dengan 4 orientasi di atas.

95
Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, X: 490.
96
Muḥammad Ḥasan Ḥasan Jabal, al-Mu’jam al-Isytiqāqi al-Mu’aṣṣal li Alfāẓ al-
Qur’ān al-Karīm (Kairo: Maktabah al-Adab, 2010) I: 1042.

Fikih Zakat Kontemporer


305

Orang miskin demikian dapat diberi bagian zakat dengan


kriteria yang relevan sekarang berikut:
a. Orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
b. Orang yang kekurangan modal untuk usaha
c. Orang yang menderita sakit dan tidak memiliki kemampuan
berobat
d. Orang yang tidak memiliki biaya pengurusan jenazah
e. Orang yang tidak memiliki biaya pendidikan dasar 12 tahun
3. Pengelola Zakat/Amil (al-‘Āmilīn ‘alaihā)
Mustahik yang disebutkan ketiga dalam Q.S. al-Taubah, [9]: 60
adalah al-‘āmilīn ‘alaihā. al-‘Āmilīn merupakan jamak dari ‘āmil
dengan kata dasar ‘amal yang berarti perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja.97 Dengan memperhatikan kata ganti hā’ dalam
‘alaihā kembali pada al-ṣadaqāt, al-‘āmilīn ‘alaihā berarti orang-
orang yang bekerja mengelola atau mengurus zakat.
Al-Māwardī menjelaskan bahwa al-‘āmilīn ‘alaihā adalah para
pegawai yang melaksanakan tugas penghimpunan dan pembagiaan
zakat. Berdasarkan pengertian ini dia menegaskan bahwa kepala
negara (imām) dan kepada daerah (wali al-iqlīm) tidak dapat
dimasukkan sebagai amil.98
Pedoman ini mengikuti Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang menetapkan
bahwa pengelolaan zakat di Indonesia harus dilaksanakan oleh Badan
Amil Zakat Nasional (BAZNAS), yakni lembaga pemerintah non-
struktural yang mandiri dan melakukan pengelolaan zakat secara
nasional; dan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ), yakni lembaga yang
dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu BAZNAS.

97
Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 360.
98
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376.

Fikih Zakat Kontemporer


306

Dengan demikian amil sekarang bukan lagi individu


perorangan, tetapi individu “lembaga” yang dalam fikih dikenal
dengan istilah al-syakhṣiyyah al-ḥukmiyyah dengan tugas-tugas yang
ditetapkan UU tersebut sebagai berikut:
a. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat;
b. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat;
c. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan
zakat; dan
d. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan
zakat.
Amil dengan pengertian di atas mendapatkan bagian dari zakat
untuk operasional pengelolaan zakat sesuai dengan 4 tugas di atas
meliputi kriteria yang relevan sekarang berikut:
a. Gaji/honorarium pimpinan/pegawai lembaga
b. Biaya pengadaan kantor
c. Biaya pengadaan dan pemeliharaan alat-alat kantor
d. Biaya operasional kantor/lembaga
e. Biaya perjalanan dinas
4. Muallaf (al-Mu’allafāt Qulūbuhum)
Mustahik individu yang disebutkan keempat dalam Q.S. al-
Taubah, [9]: 60 adalah al-mu’allafāt qulūbuhum. Kata al-mua’allafah
merupakan ism al-maf’ūl yang dibentuk dari al-‘ilf yang berarti
berhimpun dengan harmonis (rukun),99 qulūbuhum (hati-hati mereka)
dalam frasa itu menjadi nā’ib al-fā’il dari al-muallafah, dan hum
adalah kata ganti yang kembali kepada al (dalam al-mu’allafah) yang
merujuk kepada pihak-pihak yang didekati Nabi SAW supaya
bersedia “berhimpun” dengan Islam.

99
Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 16.

Fikih Zakat Kontemporer


307

Para ulama mengidentifikasi pihak-pihak yang dilobi Nabi itu


sebagai berikut:
a. Orang yang masuk Islam dengan niat yang lemah dan diberi
bagian zakat supaya menjadi kuat dalam memeluknya (pada
zaman Nabi: ‘Uqbah bin Zaīd, Abū Sufyān bin Ḥarb, al-Aqra’
bin Ḥābis dan ‘Abbās bin Mirdās)
b. Orang yang masuk Islam dengan niat yang baik dan diberi
zakat supaya dapat menarik keluarganya yang masih non-
Muslim untuk masuk Islam (pada zaman Nabi: ‘Adī bin
Ḥātim)
c. Non-Muslim yang mengganggu perkembangan Islam dan
diberi zakat supaya tidak mengganggu perkembangannya
(pada zaman Nabi: ‘Amīr bin Ṭufail)
d. Non-Muslim yang tertarik kepada Islam dan diberi zakat
supaya mau masuk Islam (pada zaman Nabi: Ṣafwan bin
Umayyah).100
Kemudian berkaitan dengan hak muallaf untuk diberi bagian
zakat setelah zaman Nabi, para ulama berbeda pendapat sebagai
beikut:
a. Setelah zaman Nabi, muallaf diberi bagian zakat (Ḥasan Baṣrī,
sekelompok ulama dan Imam al-Syāfi’ī menurut satu riwayat)
b. Setelah zaman Nabi, muallaf tidak diberi bagian zakat (Jabir
dan Imam al-Syāfi’ī menurut riwayat yang lain).101
Pedoman ini mengikuti identifikasi muallaf yang meliputi
Muslim dan Non-Muslim yang dirumuskan ulama di atas. Adapun
pandangan tentang haknya yang diikuti adalah pandangan pertama
(pandangan Ḥasan Baṣrī dan lain-lain). Pilihan ini berdasarkan
pertimbangan bahwa identifikasi dan pandangan tentang hak tersebut
sangat relevan pada zaman sekarang.

100
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 375- 376.
101
Ibid., hal. 376.

Fikih Zakat Kontemporer


308

Sesuai dengan itu, pedoman ini memberi pengertian muallaf


adalah “pihak (perorangan dan lembaga), baik Muslim maupun non-
Muslim, yang potensial dalam mendukung pengembangan dakwah
dan spiritualitas dan orang yang mengalami gangguan dan ancaman
dalam pengembangan spiritualitas.” Pengertian ini berarti bahwa
bagian zakat untuk muallaf itu menjadi usaha pemberdayaan dalam
pengembangan dakwah dan spiritualitas di kalangan masyarakat dan
individu-individu. Adapun kriterianya yang relevan sekarang adalah
sebagai berikut:
a. Pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan kerohanian kepada
muallaf
b. Lobby pengembangan dakwah dan spiritualitas
c. Pelaksanaan dakwah komunitas
5. Orang-orang yang memiliki utang (al-Gārimīn)
Mustahik individu berikutnya yang disebutkan keenam dalam
Q.S. al-Taubah, [9]: 60 adalah al-Gārimīn. Kata al-Gārimīn dibentuk
dari kata dasar al-gurm yang arti asalnya adalah keadaan tidak baik
(maḍārat) yang menimpa pada harta orang tanpa kejahatan dan
pengkhianatan terhadapnya. Dalam bahasa kemudian digunakan
dengan pengertian utang sehingga ism al-fā’il yang dibentuk dari kata
dasar itu ada yang berarti orang yang memiliki utang (gārim) dan
orang yang memiliki piutang (garīm).102 Kata al-Gārimīn dalam ayat
tersebut merupakan ism al- fā’il bentuk pertama sehingga artinya
adalah orang-orang yang memiliki utang.
Al-Māwardī menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang
pengertian al-Gārimīn yang berhak menerima zakat:
a. Orang miskin yang berutang untuk memenuhi kebutuhan diri
dan keluarga

102
Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 372.

Fikih Zakat Kontemporer


309

b. Orang miskin dan orang kaya yang berutang untuk


mewujudkan kemashalahatan umum, seperti meredam konflik
dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat konflik di
masyarakat
c. Tentang orang yang berutang untuk melaksanakan maksiat,
mereka berbeda pendapat: tidak diberi zakat untuk tidak
menolongnya melakukan maksiat; diberi zakat supaya dapat
melaksanakan kewajiban membayar utang; diberi zakat setelah
bertobat.103
Berdasarkan pendapat ulama di atas, pedoman ini menggunakan
al-Gārimīn dengan pengertian “orang yang memiliki utang untuk
keperluan yang baik, baik untuk keperluan diri dan keluarga maupun
untuk kepentingan umum, namun tidak dapat melunasi pada tempo
yang ditentukan sehingga mengalami gangguan dalam kehidupan
pribadi dan keluarganya.” Ini berarti bahwa al-Gārimīn adalah orang-
orang yang mengalami kemiskinan relatif dengan masalah ekonomi
ringan, yakni masalah keuangan atau finansial.
Orang-orang yang memiliki utang demikian dapat diberi bagian
zakat dengan kriteria yang relevan sekarang sebagai berikut:
a. Bantuan biaya pelunasan utang kepada rentenir
b. Bantuan pelunasan biaya rumah sakit
c. Bantuan pelunasan biaya pendidikan tinggi
d. Bantuan pelunasan utang orang kaya untuk pembangunan
fasilitas umum
e. Bantuan pelunasan utang orang kaya untuk pembangunan
sosial (kesehatan, pendidikan dan interaksi warga masyarakat)
6. Ibnu Sabil
Mustahik individu yang disebutkan terakhir dalam Q.S. al-
Taubah, [9]: 60 adalah ibn al-sabīl. Kata ibn berarti anak laki-laki dan

103
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376.

Fikih Zakat Kontemporer


310

al-sabīl berarti jalan yang ada kemudahan (untuk melewatinya).104


Dari arti ini jelas bahwa kemudahan yang ada pada jalan itu dapat ada
pada jalan itu sendiri (misal: lebar, halus dan lurus) dan dari
penggunaannya tampaknya kemudahan juga bisa ada pada pengguna
jalan (misal: memiliki bekal dan kendaraan).
Di kalangan para ulama berkembang beberapa pandangan
tentang pengertian ibnu sabil yang berhak menerima zakat:
a. Orang yang dalam perjalanan dan kehabisan bekal sehingga
tidak dapat menyelesaikan perjalanan dan tidak dapat pulang.
Dalam penafsiran al-Taubah, [9]: 60, al-Māwardī
menyebutkan bahwa pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur
Ulama,105 sementara dalam penafsiran al-Nisā’, [4]: 36 dia
menyebutkan bahwa pendapat tersebut dikemukakan oleh
Mujāhid, Qatādah dan al-Rābi’.106
b. Tamu (Ibnu al-Anbārī).107
c. Orang yang hendak melaksanakan bepergian (Imām al-
Syāfi’ī).108
d. Orang yang lemah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-
Ḍaḥḥak109 dan oleh Qatādah.110
e. Orang berhaji tanpa membawa bekal (Fuqahā’ Irak) .111
Sesuai dengan pendapat-pendapat ulama di atas, pedoman ini
menggunakan pengertian Ibnu Sabil dengan “orang yang tidak
memiliki bekal (biaya tiket dan atau biaya hidup) untuk mengadakan
dan meneruskan perjalanan (perantauan) untuk keperluan yang baik.”
Ini berarti bahwa Ibnu Sabil adalah orang yang mengalami

104
Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt, hal. 228.
105
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376.
106
Ibid., I: 486.
107
Ibid., II: 376.
108
Ibid., I: 486.
109
Ibid.
110
Muḥammad Ṣadīq Khān, Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān (Beirut: al-
Maktabah al-‘Aṣriyyah, 1992), V: 331
111
Ibid.

Fikih Zakat Kontemporer


311

kemiskinan relatif dengan masalah ekonomi ringan, yakni masalah


perbekalan.
Ibnu sabil dalam pengertian demikian dapat diberi bagian zakat
dengan kriteria yang relevan sekarang sebagai berikut:
a. Bantuan mahasiswa yang kekurangan biaya di perantauan di
mana dia menempuh pendidikan tinggi
b. Bantuan peserta pendidikan khusus yang kekurangan biaya di
perantauan di mana dia mengikuti pendidikan khusus
c. Orang yang kehabisan bekal di perjalanan
d. Pemulangan TKI yang terlantar di luar negeri
e. Pemulangan jamaah haji yang terlantar di luar negeri
f. Orang yang tidak memiliki biaya (tiket dan uang saku)
mengadakan perjalanan penting dan mendesak

B. Mustahik Publik
1. Riqab
Mustahik publik yang disebutkan kelima dalam Q.S. al-Taubah,
[9]: 60 adalah riqab (al-riqāb). Kata al-riqāb merupakan jamak dari
al-raqbah yang arti asalnya adalah leher belakang dan kemudian
digunakan untuk menyebut budak. Dalam bahasan Arab budak
disebut demikian karena ia dalam kekuasaan tuannya seperti barang
dalam kekuasaan pemiliknya.
Para ulama memberikan beberapa pengertian tentang riqab yang
berhak menerima zakat:
a. Budak yang mengadakan akad pembebasan diri dengan
tuannya (Arab: mukātab) (Ali bin Abi Thalib dan Imām al-
Syāfi’ī).112

112
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376.

Fikih Zakat Kontemporer


312

b. Budak yang dibeli untuk dimerdekakan (Ibnu ‘Abbās dan


Imām Mālik).113
c. Tawanan perang.114
Dalam hukum internasional sekarang perbudakan sudah
dilarang dan peperangan yang legal adalah perang antar-negara.
Namun dalam kenyataan masih terjadi “perbudakan” dan “konflik
bersenjata” antar warga masyarakat. Perbudakan pada dasarnya
merupakan sistem sosial yang tidak berperikemanusiaan dengan
melegalkan diskriminasi, penindasan dan eksploitasi. Ketika Islam
datang, perbudakan bersama feodalisme menjadi sistem sosial yang
dominan dan ia mengubahnya menjadi sistem sosial egalitarianisme.
Pada zaman Nabi SAW perubahan dilakukan secara evolusioner
dengan membuka pintu pembebasan budak yang sebanyak-banyaknya
dan selebar-lebarnya. Kemudian perang (konflik bersenjata) adalah
konflik sosial yang menyebabkan warga masyarakat yang terlibat
konflik berada pada lubang kemiskinan dan para Nabi diutus untuk
menghilangkan konflik (Q.S. al-Baqarah, [2]: 213).
Berdasarkan pendapat ulama dan hukum internasional beserta
kenyataan yang ada sekarang, pedoman ini menggunakan Riqab
dengan pengertian “orang-orang yang menjadi korban dari penerapan
sistem sosial yang menindas dan konflik sosial dan orang yang
mengalami eksploitasi secara seksual dan ekonomi di luar batas
kemanusiaan.” Ini berarti bahwa mereka adalah para korban
perbudakan (lama) dan perbudakan modern; korban negara fasis dan
rasis; korban konflik sosial; dan korban eksploitasi seksual dan
ekonomi.
Riqab dalam pengertian demikian berhak mendapatkan bagian
zakat dengan kriteria yang relevan sekarang adalah:

113
Ibid.
114
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-‘Aqāwil fī
Wujūh al-Ta’wīl (Teheran: Intisyarat Afitab, t.t.), II: 197 dan Ismā’īl Ḥaqī, Rūh al-Bayān
(Beirut: Dār al-Fikr, t.,t.), I: 282.

Fikih Zakat Kontemporer


313

a. Buruh migran yang mengalami eksploitasi


b. Korban trafficking
c. Pengungsi korban konflik sosial, kerusuhan dan pengusiran
(pengungsi Wamena dll)
d. Pengungsi konflik politik (Pengungsi Suriah dll)
e. Pengungsi korban fasisme dan rasisme (Pengungsi Rohingya
dll)
2. Sabilillah
Mustahik publik yang disebutkan ketujuh dalam al-Taubah, [9]:
60 adalah sabilillah (sabīl Allāh). Di atas telah disebutkan pengertian
sabīl yang dapat dijadikan pijakan memahami arti bahasa dari istilah
itu, jalan yang ada kemudahan untuk melewatinya dalam menuju
Allah.
Para ulama mengemukakan pendapat berbeda-beda tentang
pengertian sabilillah:
a. Prajurit (al-guzat) dan lasykar (murābiṭūn) perang (sebagian
besar ulama).115
b. Orang-orang yang menunaikan haji dan umrah (Ibnu
‘Umar).116
c. Jalan kemaslahatan agama untuk mendekatkan diri kepada
Allah, seperti Infaq untuk haji dan umrah, silaturahim,
sedekah, mencukupi kebutuhan prajurit, diri sendiri dan
keluarga.117
d. Semua jalan kebaikan berupa penyediaan kain kafan,
pembangunan jembatan dan benteng pertahanan, pemakmuran
masjid dan lain-lain.118
e. Jihad.119

115
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, II: 376 dan Muḥammad Ṣadīq Khān, Fatḥ
al-Bayān, V: 331.
116
Muḥammad Ṣadīq Khān, Fatḥ al-Bayān, V: 331.
117
Ibid., I: 391.
118
Ibid., V: 331.

Fikih Zakat Kontemporer


314

f. Agama yang mengantarkan untuk mendapatkan pahala dan


rahmat Allah.120
g. Kemaslahatan umum.121
h. Jalan yang mengantarkan untuk mendapatkan riḍa Allah,
berupa semua amal yang diizinkan Allah untuk meninggikan
kalimah-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya
(Muhammadiyah)
Dengan memperhatikan pendapat-pendapat ulama di atas,
hakikat risalah Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam dan
masyarakat utama yang menjadi tujuan gerakan Muhammadiyah,
pedoman ini menggunakan Sabilillah dengan pengertian “Jihad untuk
mewujudkan kemaslahatan umum dan untuk menjadi unggul dalam
mencapai tujuan risalah Islam yang diwahyukan untuk mewujudkan
hidup baik (ḥayah ṭayyibah) dengan indikator-indikator: sejahtera
(lahum ajruhum ‘inda rabbihim), damai (lā khaufun ‘alaihim) dan
bahagia (wa lā hum yaḥzanūn).
Bagian zakat untuk Sabilillah guna mewujudkan kesejahteraan
umum dan keunggulan di atas dapat diberikan dengan kriteria yang
relevan sekarang sebagai berikut:
a. Pembangunan prasarana dan sarana (jalan, gedung, pengadaan
peralatan dll)
b. Pengembangan sumber daya manusia (warga, guru, dosen,
mubaligh/dai, pengusaha dll)
c. Pengembangan kelembagaan (organisasi, perguruan,
perusahaan, dll)
d. Peningkatan kesejahteraan (guru tetap, guru honorer dll)
e. Peningkatan kemampuan bersaing (penguasaan IT,
kemampuan bahasa asing dan lain-lain)

119
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, I: 253.
120
Ismāīl Ḥaqī, Rūh al-Bayān, I: 308.
121
Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Riḍā, Tafsīr al-Manār, X: 499.

Fikih Zakat Kontemporer


315

BAB VII
PERMASALAHAN TERKAIT ZAKAT

A. Administrasi Zakat
Sebagai salah satu rukun Islam, zakat sesungguhnya adalah sebuah
konsepsi yang besar, luas dan mendasar. Zakat mencakup banyak hal dan
dimensi sekaligus, misalnya: ada unsur hubungan vertikal dan horizontal;
merupakan ibadah [mahdhah] namun juga berdimensi sosial ekonomi dan
kemasyarakatan, dan seterusnya. Bagian yang berkaitan dengan zakat
sebagai bagian dari ubudiyah sudah dibahas dalam bagian lain, sehingga
bagian ini akan fokus membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan
aspek administratif zakat.
Administrasi zakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.
23 tahun 2011. Ketentuan undang-undang ini menetapkan dua bentuk
kelembagaan yang berhak mengelola zakat, yaitu: Badan Amil Zakat
Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Dengan pertimbangan bahwa Baznas adalah institusi yang langsung
berada dalam kerangka pemerintahan resmi, maka fokus tulisan ini,
diarahkan kepada administrasi Lembaga Amil Zakat, yang memang
terbuka untuk dikelola oleh masyarakat.
1. Landasan Hukum
Indonesia adalah sebuah negara yang dapat dikatakan
beruntung, karena walaupun tidak dinyatakan sebagai negara Islam,
namun warna Islam sangat terasa dalam kehidupan keseharian,
termasuk dalam aspek hukum. Salah satu contohnya adalah bahwa
negara ikut memberikan dukungan terhadap implementasi zakat dan
haji.
Khusus untuk zakat misalnya, sudah diterbitkan undang-undang
dan peraturan pendukung. Undang-undang zakat yang pertama terbit

Fikih Zakat Kontemporer


316

adalah UU No. 38 tahun 1999. Undang-undang ini kemudian


disempurnakan dengan lahirnya (a) Undang-undang No. 23 tahun
2011. UU ini pun kemudian diperkuat dengan terbitnya (b) Peraturan
Pemerintah No. 14 tahun 2014. Lebih jauh misalnya ada (c) Peraturan
Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara
Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitri Serta Pendayagunaan Zakat
Untuk Usaha Produktif; (d) Peraturan Menteri Agama Nomor 69
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama Nomor
52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal
dan Zakat Fitri serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif;
(e) Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Dalam Pengelolaan Zakat; (f) Surat
Keputusan Dewan Pertimbangan BAZNAS Nomor 001/DP-
BAZNAS/XII/2010 tentang Pedoman Pengumpulan Dan
Pentasyarufan Zakat, Infaq, dan Shadaqah Pada Badan Amil Zakat
Nasional; (g) Keputusan Ketua BAZNAS Nomor KEP.
016/BP/BAZNAS/XII/2015 tentang Nilai Niṣāb Zakat Pendapatan
Atau Profesi Tahun 2016; dan (h) Keputusan Ketua BAZNAS Nomor
142 Tahun 2017 tentang Nilai Niṣāb Zakat Pendapatan Tahun 2017.
Berbagai ketentuan di atas secara jelas menegaskan betapa zakat
telah mendapat tempat yang luar biasa dalam negara, pemerintahan
serta masyarakat Indonesia.
Menarik untuk dicatat bahwa dalam konteks pendirian sebuah
lembaga zakat, UU No. 23 tahun 2011 sudah mengatur tentang
persyaratan administratif yang berkaitan dengan proses pendirian dan
mereka yang dianggap memenuhi syarat untuk mendirikan lembaga
zakat sebagai berikut (Pasal 18):
1. Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat
yang ditunjuk oleh Menteri.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan
apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;

Fikih Zakat Kontemporer


317

b. berbentuk lembaga berbadan hukum;


c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariah;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan
untuk melaksanakan kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi
kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariah dan keuangan secara berkala.
Oleh karena itu, siapa saja yang dapat memenuhi persyaratan di
atas, maka yang bersangkutan berhak mengajukan pendirian lembaga
amil zakat di Indonesia.
2. Prinsip-prinsip Manajemen Zakat
Berkaitan dengan manajemen zakat perlu diperhatikan
perkataan yang populer dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, (r.a.),
bahwa:
َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ُّ َ ْ َ
َ‫اط ُل ِبال ِنظ ِام‬
ِ ‫الحق ِبَل ِنظ ٍام يغ ِلبه الب‬
“Kebenaran yang tidak diorganisir dapat dikalahkan oleh kebatilan
yang diorganisir.”
Perkataan ini menegaskan bahwa kebenaran tanpa sistem atau disiplin
yang baik dikalahkan oleh kebathilan yang dilaksanakan dengan
sistem atau disiplin yang baik.
UU No. 23 tahun 2011 secara spesifik juga mengatur tentang
prinsip-prinsip dasar pengelolaan lembaga amil zakat. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 2 sebagai berikut: bahwa pengelolaan zakat
harus berasaskan:
a. Syariat Islam;
b. Amanah;
c. Kemanfaatan;
d. Keadilan;
e. Kepastian hukum;
f. Terintegrasi; dan

Fikih Zakat Kontemporer


318

g. Akuntabilitas.
Penerapan prinsip-prinsip di atas tentu saja dengan harapan
dapat dicapai tujuan pengelolaan zakat yang dinyatakan dalam Pasal
3, sebagai berikut: (a) meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan (b) meningkatkan manfaat
zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan. Kondisi di atas pada waktu yang
bersamaan diharapkan menjamin berdiri dan berjalannya lembaga
zakat yang mempunyai sistem dan disiplin yang kokoh.
3. Struktur Organisasi
Struktur organisasi adalah salah satu bagian penting dalam
pengelolaan zakat. Oleh karena itu, keberadaan dan pilihan bentuk
yang tepat, menjadi salah satu kunci penting dalam menunjang
berhasil dan gagalnya peran lembaga zakat dalam mencapai targetnya.
Berbicara tentang struktur organsasi, tentu ada banyak pilihan
yang dapat dilakukan. Namun, dalam konteks organisasi
Muhammadiyah, tampaknya struktur ini dapat dipilah menjadi 3 level
penting, yakni:
Level tertinggi, yang menggambarkan hubungan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah (PPM)122 dengan LazisMu sebagai sebuah
entitas yang dibawahinya. Dalam hal ini misalnya PPM menentukan
satu kesatuan entitas LazisMu yang di dalamnya terdapat tiga unsur
sekaligus, yakni: (a) Dewan Syariah (Desyar), (b) Badan Pengurus
(Barus) dan (c) Dewan Pengawas (Dewas). Hubungan ketiganya
bersifat sejajar dan konsultatif, dan ketiganya bertanggungjawab
kepada PPM di bawah koordinasi Badan Pengurus. Bila digambarkan
secara skematis / bagan organisasi, maka lebih kurang sebagai berikut:

122
Hal ini analog atau dapat menjadi kiasan bagi organisasi di bawah Pengurus
Pusat Muhammadiyah, seperti Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM), Pengurus
Daerah Muhammadiyah (PDM), dan Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) yang
juga mengembangkan Lazis di tingkatan masing-masing.

Fikih Zakat Kontemporer


319

Level tengah, adalah hubungan yang menggambarkan antar


elemen dalam masing-masing anasir: Desyar, Barus dan Dewas.
Desyar misalnya, selain menunjuk salah seorang sebagai ketua,
seorang sekretaris dan 3 anggota, dan bisa pula dibentuk di bawahnya
komite syariah, yang beranggotakan misalnya juga 3 orang.
Anggota komite lebih merupakan pelaksana teknis untuk
berbagai kegiatan dewan syariah. Ini meliputi –misalnya–
pengumpulan materi dan analisis data yang kemudian akan menjadi
bahan pembahasan bagi dewan syariah, baik yang bersifat proaktif,
yakni selalu membangun berbagai pemahaman bagi siapa saja,
internal maupun eksternal LAZ, atau responsif dalam bentuk
menjawab secara cepat berbagai issu yang terjadi di lapangan yang
berhubungan dengan syariah zakat. Bentuk organisasinya, secara
sederhana, lebih kurang seperti ini:

Dewas – seperti halnya Desyar – juga perlu menunjuk seorang


ketua dan sekretaris serta juga tiga anggota. Selain itu, ada baiknya
dewas dibantu pula setidaknya oleh komite audit. Tugas komite audit

Fikih Zakat Kontemporer


320

adalah membantu dewas dalam fungsi pengawasan yang bersifat


teknis dan keseharian.

Badan pengurus (Barus) merupakan bagian inti dari organisasi


LazisMu. Oleh karena itu, dalam barus dapat saja dibentuk
kelengkapan organ sesuai dengan fungsi-fungsi utama organisasi.
Sehingga, misalnya selain harus ada ketua, wakil ketua, sekretaris dan
wakilnya, juga tentu ada ketua-ketua bidang yang dapat meliputi ketua
bidang penghimpunan (wajib), ketua bidang sumber daya insani
(opsional), ketua bidang kerjasama (opsional), ketua bidang distribusi
(wajib), dan seterusnya sesuai dengan skala dan kebutuhan organisasi.
Bila digambarkan, lebih kurang sebagai berikut:

Di level paling bawah perlu dibentuk struktur yang lebih teknis


operasional lagi. Level ini sering juga disebut dengan level eksekutif
atau operasional. Pada tingkatan inilah kegiatan sehari-hari bertumpu.
Mereka yang duduk dalam level ini memang harus bekerja secara
penuh waktu dan harus memenuhi kompetensi profesional sesuai

Fikih Zakat Kontemporer


321

bidang masing-masing, baik dalam penghimpunan dana ziswaf


maupun dalam bidang distribusi atau program. Tak kalah penting
adalah fungsi-fungsi supporting atau pendukung seperti akuntansi,
keuangan, sumber daya insani, teknologi informasi, dan lain-lain.

Tipologi struktur organisasinya dapat digambarkan sebagai berikut:


4. Personalia (Sumber Daya Insani – SDI)
Personalia atau sumber daya insani (SDI) adalah bagian yang
terpenting dalam organisasi lembaga amil zakat. Mereka adalah ruh
dan sekaligus jantung organisasi. Di tangan mereka tergantung
kehidupan dan berjalannya roda organisasi, termasuk tercapai
tidaknya tujuan organisasi. Banyak teori yang dapat dirujuk dalam
konteks ini, namun salah satu yang menurut kami penting bahwa

Fikih Zakat Kontemporer


322

mereka yang terlibat dalam manajemen lembaga zakat harus –


setidaknya – memenuhi kriteria SiFAT.
Si F A T sesungguhnya akronim dari:
Si : Siddiq (benar, jujur, berintegritas tinggi)
F : Fathanah (cerdas, berilmu, kreatif, inofatif dan selalu ingin
belajar)
A : Amanah (dapat dipercaya menjalankan tugas, selalu menjaga
akhlaq dan etika)
T : Tabligh (dapat menyampaikan, dapat mengorganisir)
5. Akuntansi
Lembaga amil zakat (LAZ) pada hakikatnya adalah lembaga
yang sarat dengan tuntutan kepercayaan sangat tinggi. Karena
lembaga ini berfungsi menghimpun dana zakat, infaq dan bahkan
wakaf (ZISWAF) dari masyarakat dalam jumlah cukup besar. Dana
yang terkumpul tersebut kemudian harus dibagikan pula kepada para
aṣnāf yang sudah diatur langsung dan relatif rinci oleh al-Qur’an surat
al-Taubah [9]: 60 sebagaimana telah dibicarakan di atas.
Atas dasar itu, maka tuntutan untuk melakukan proses akuntansi
yang baik, menjadi sebuah keniscayaan (kewajiban). Apalagi hal ini
secara sangat gamblang juga ditegaskan dalam Q.S. al-Baqarah [2]:
282, yang merupakan ayat terpanjang dalam al-Qur’an.
Secara sederhana akuntansi dapat difahami sebagai proses
mencatat berbagai transaksi yang terjadi, lalu melakukan
pengelompokan terhadap transaksi-transaksi tersebut, dan
mengolahnya menjadi sebuah laporan keuangan yang harus disajikan
kepada mereka yang berkepentingan.
Berkaitan dengan akuntansi zakat, Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI) sebagai otoritas tertinggi sudah mengeluarkan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) yang khusus untuk pelaporan zakat oleh

Fikih Zakat Kontemporer


323

badan dan lembaga amil zakat. Standar tersebut dikenal sebagai


Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 109.
Proses akuntansi yang lengkap dapat dilihat dari apa yang
disebut sebagai siklus akuntansi, yang berawal dari adanya transaksi.
Semua transaksi mengharuskan adanya bukti berupa kuitansi, tanda
terima dan semacamnya. Bukti-bukti transaksi tersebut kemudian
diproses melalui jurnal, baik jurnal khusus maupun jurnal umum.
Secara berkala, jurnal diposting ke Buku Besar (General
Ledger) dan/atau Buku Pembantu (Subsidiary Ledger). Selanjutnya
Buku Besar diringkas dalam apa yang disebut dengan Neraca Saldo
(Trial Balance). Sebelum masuk dalam proses penyusunan Laporan
Keuangan, maka diperlukan apa yang disebut proses penyesuaian
(Adjustment Process), untuk memastikan bahwa saldo yang ada pada
Neraca Saldo sudah benar adanya (Adjusted Trial Balance), barulah
kemudian dapat disusun Laporan Keuangan.
Output sebuah proses akuntansi adalah apa yang disebut sebagai
Laporan Keuangan. Menurut PSAK 109, komponen laporan keuangan
amil terdiri dari:
a. Laporan posisi keuangan
b. Laporan perubahan dana
c. Laporan perubahan aset kelolaan
d. Laporan arus kas; dan
e. Catatan atas Laporan Keuangan
Dari proses akuntansi yang baik dan benar sesuai dengan
standar yang ada, setidaknya diharapkan dua hal penting, yakni:
a. Adanya media pertanggungjawaban dari Amil terhadap, baik
Muzaki (pembayar zakat), maupun Mustahik (penerima zakat),
serta siapapun yang berkepentingan.
b. Sebagai alat yang dapat digunakan oleh para pihak dalam
mengambil keputusan yang relevan oleh masing-masing pihak.

Fikih Zakat Kontemporer


324

Untuk dapat melakukan proses akuntansi yang baik, diperlukan


keterampilan tertentu. Profesi akuntan adalah profesi yang sepatutnya
melakukan proses akuntansi. Namun, patut pula disyukuri bahwa
dengan kemajuan teknologi informasi akhir-akhir ini, sudah banyak
software atau aplikasi akuntansi yang dapat dipilih dan diterapkan.
Sehingga, proses tersebut dapat dilakukan oleh mereka yang
setidaknya cukup faham akan dasar-dasar akuntansi.
Di bawah ini diberikan contoh-contoh format pelaporan
keuangan amil zakat dengan mengacu kepada PSAK 109.

Contoh Laporan Posisi Keuangan (Neraca):

Fikih Zakat Kontemporer


325

Contoh Laporan Perubahan Dana:

Fikih Zakat Kontemporer


326

Contoh Laporan Perubahan Aset Kelolaan:

6. Auditing
Masih berkaitan dengan administrasi amil zakat - dan sesuai
dengan syarat pendirian lembaga amil zakat butir 2.f. – maka perlu
pula difahami apa yang disebut dengan audit atau pemeriksaan
(keuangan).
Untuk lebih menjamin kelayakan laporan keuangan yang
disusun dan disajikan oleh sebuah entitas umumnya, atau lembaga
amil zakat khususnya, maka lazim dikenal apa yang disebut dengan
audit atau pemeriksaan atas laporan keuangan. Auditor (Pemeriksa)
pada dasarnya bertugas memastikan bahwa penyusun laporan
keuangan sudah mematuhi apa-apa yang diatur oleh Standar
Akuntansi Keuangan (SAK), atau persisnya PSAK 109.
Proses auditing dapat digambarkan sebagai kebalikan dari
proses siklus akuntansi. Kalau siklus akuntansi berawal dari adanya
transaksi dan berakhir dengan terbitnya laporan keuangan, maka
proses auditing berawal dari laporan keuangan, yang berjalan
‘mundur’ melalui penelusuran ke proses-proses sebelumnya, seperti
neraca saldo, buku besar, buku pembantu, jurnal umum dan jurnal
khusus, bahkan hingga bukti transaksi. Dalam hal ini, umumnya

Fikih Zakat Kontemporer


327

auditor berusaha memastikan kemungkinan kesalahan-kesalahan


dalam penjumlahan, perkalian, posting, kelayakan jurnal, sehingga
keabsahan bukti transaksi, dan seterusnya.
Output sebuah proses audit adalah opini, atau pandangan auditor
atas laporan keuangan yang diperiksanya. Sesuai dengan ketentuan
dan praktik yang lazim, ada lima opsi opini yang dapat dikeluarkan
auditor, yakni:
a. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) / Unqualified
Opinion
b. Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) / Qualified Opinion
c. Opini Wajar tanpa Pengecualian dengan paragraf penjelasan
(Modified Unqualified Opinion)
d. Opini Tidak Wajar (Adverse Opinion)
e. Opini Tidak Menyatakan Pendapat (Disclaimer of Opinion/No
Opinion)
Kelima opini di atas, sudah secara langsung menunjukkan
rankingnya. Maksudnya, yang pertama atau teratas, itulah yang
terbaik, dan begitu seterusnya.
Dengan memperhatikan tingkat atau urutan opini auditor di atas,
maka seseorang dapat meletakkan dasar keyakinannya atas kewajaran
laporan keuangan yang disajikan. Dalam bahasa lain, bila sebuah
entitas memperoleh opini yang pertama (WTP), maka dapat diyakini
bahwa laporan keuangan tersebut sudah disusun sedemikian rupa,
sehingga memenuhi semua ketentuan atau standar akuntansi yang
berlaku umum. Sebaliknya, bila sampai laporan keuangan sebuah
entitas mendapat Opini Disclaimer, maka tentu laporan keuangan
tersebut sangat sulit dipercaya bahwa informasi yang disajikan dapat
dipegang, alias unreliable.
Bila hasil audit sebuah laporan keuangan mendapatkan opini
WTP misalnya, maka dua outcome yang disebutkan di atas, dapat
diyakini tercapai. Artinya, pertanggungjawaban manajemen LAZ

Fikih Zakat Kontemporer


328

dapat diterima, dan pada waktu yang bersamaan, informasi keuangan


yang terdapat dalam laporan keuangan memadai untuk dijadikan dasar
pengambilan keputusan yang relevan.

B. Amil Zakat
Salah satu kunci keberhasilan yang cukup menentukan dalam
mewujudkan tujuan disyariatkannya zakat adalah peran pengelola (amil)
zakat. Jika amil sebagai pengelola zakat amanah, cerdas dan profesional
maka zakat sebagai instrument pemberdayaan ekonomi umat akan
terwujud. Sebaliknya, jika amil tidak amanah, kurang memahami seluk
beluk ketentuan zakat seperti yang dikehendaki syara' dan kurang serdas
dalam menangkap peluang pengembangan dana zakat, maka efektifitas
zakat akan sulit diwujudkan sebagai intrumen pemberdayaan umat.
Realitas di lapangan masih banyak ditemukan masalah yang
berkaitan dengan pengelola zakat ini, seperti:
Pertama, banyak lembaga zakat liar yang menampung dana umat
dengan pengelolaan yang kurang profesional dan tidak semestinya
menurut syariat. Sehingga banyak ditengarai dana zakat diselewengkan
untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, bahkan ada dugaan
disalahgunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang bersinggungan
dengan aksi-aksi terorisme. Untuk mengatasi hal ini perlu merevitalisasi
amil yang sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagai pemungut,
pengelola dan distributor dana umat secara legal dan tepat sesuai syariat.
Kedua, pengelolaan dilakukan oleh orang yang tidak kompeten dan
kredibel tersebut dapat diamati di mana di satu sisi terdapat amil zakat
yang hidup berkecukupan di tengah umat yang masih banyak berada
dalam jurang kemiskinan. Hal ini juga terjadi misalnya pada para
pengelola panti asuhan, di mana para pengurus panti kelihatan lebih
terurus dari pada anak yatim yang diurusnya. Solusi dari masalah ini

Fikih Zakat Kontemporer


329

harus ada pola seleksi yang serius untuk dapat menjaring calon amil yang
amanah, cerdas dan profesional.
Ketiga, tuntutan profesionalitas terhadap amil zakat tidak sebanding
dengan beban hidup yang harus mereka tanggung. Sehingga
mengakibatkan pada kurang fokusnya para amil dalam menjalankan
tugasnya. Untuk itu perlu ada rumusan yang tepat dalam menentukan
bagian atau upah amil yang layak agar profesi petugas zakat dapat
ditekuni dan menjadi Lembaga yang benar-benar dihormati dan dapat
dibanggakan.
1. Pengertian, Kedudukan dan Legalitas Amil
Dengan berpedoman pada al-Quran dan praktek generasi Islam
awal dan sesudahnya, beberapa ulama pada zamannya masing-masing
telah berupaya merumuskan definisi mengenai amil dengan berbagai
corak penekanan makna yang sedikit banyaknya berbeda satu sama
lain namun memiliki benang merah yang sama. Misalnya Imām al-
Ṭabarī (w. 310 H) seorang ulama tafsir abad ketiga Hijriah
menekankan aspek amil sebagai profesi yang diangkat atau dipilih
secara resmi yang bertugas untuk mengumpulkan, mengelola dan
membagikannya kepada yang berhak. Atas tugasnya tersebut amil
mendapat upah yang dapat diambil dari dana zakat, baik amil itu
berkecukupan maupun hidup dalam kekurangan. Hal itu sebagaimana
yang ia definisakan sebagai berikut:
ْ ‫الس َع ُاة في َق ْبض َها م ْن َأ ْهل َها َو َو‬
‫ض ِع َها ِفي‬ ُّ ‫َو ْال َعام ِل ْي َن َع َل ْي َها َو ُه ُم‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ُ َ ُ َ ْ َ َ َ َ ُ
ْ ُْ َ ْ ُ
َُ ‫لس َع َاي ِة أغ ِن َياء كان ْوا أ ْو فق َر‬
‫اء‬ ِ ‫مست ِح ِق ْي َها يعطون ذ ِلك ِبا‬
Amil adalah para petugas yang diangkat untuk mengambil zakat dari
orang berkewajiban membayarnya, dan memberikannya kepada yang
berhak menerimanya. Mereka (‘amil) diberi (bagian zakat) itu karena
tugasnya, baik kaya ataupun miskin.123

123
Al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, X: 160.

Fikih Zakat Kontemporer


330

Mengenai sahnya hak amil atas bagian zakat walaupun dia


berkecukupan sesuai dengan sabda Nabi SAW berikut:
َ ُ َ ‫ا‬ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َْ ْ َ
‫هللا صلى هللا عليه‬ ‫ل‬
ِ ‫ عن عط ِاء ب ِن يس ٍار؛ أن رسو‬،‫عن زي ِد ب ِن أسلم‬
َْ َ َ ‫ا‬ َ ُ َ ‫َ َ َ َ ُّ ا‬
‫َأو‬.‫هللا‬
َِ ‫يل‬ َ ِ ‫َ ِلغ ٍاز ِفي َس ِب‬:‫َ ِإَّل ِلخ ْم َس ٍَة‬.‫الص َدقة ِلغ ِن ٍَي‬ ‫ََّل ت ِحل‬:‫ال‬ َ ‫وسلم ق‬
َ َ َْ َ َ َ َ
‫ َأ ْو ِل َر ُج ٍل ل ُه َج ٌار‬.‫ َأ ْو ِل َر ُج ٍل اشت َر َاها ِب َم ِال َِه‬.‫ َأ ْو ِل َغا ِر ٍ َم‬.‫ِل َع ِام ٍل َعل ْي َها‬
َْ ْ ََ ْ َ ُ ‫ َف ُت‬،‫م ْسك ٌين‬
‫َفأ ْه َدى ِاْل ْس ِك ُين ِللغ ِن َِي‬.‫ين‬ َ ِ ‫ص ِد َق َعلى ِاْل ْس ِك‬ ِ ِ
Dari Zaid bin Aslam dari 'Atha bin Yasar, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya
kecuali untuk lima golongan; orang yang berperang di jalan Allah,
pemungut zakat, orang yang terbelit utang, orang yang membeli harta
zakat dengan hartanya, orang yang mempunyai tetangga yang miskin
yang diberi harta zakat, kemudian orang miskin tersebut memberinya
hadiah kepada orang kaya tersebut." (H.R. Mālik).
Sedangkan Imām al-Māwardī (w. 450 H), ulama dari kalangan
mazhab al-Syāfi’ī, memberikan penekanan tambahan selain amil
sebagai orang yang diangkat dengan wewenang tertentu, juga
ditegaskan penyesuaian upah kerjanya dengan keumuman upah yang
diterima oleh jenis profesi yang kurang lebih sama. Dalam hal ini ia
menyatakan:
َ َ َ َ َ َ ‫َُْ ا‬ َ ْ
‫َوال َع ِام ِل ْي َن َعل ْي َها َو ُه ْم اْل َت َول ْون ِج َب َاي َت َها َوت ْف ِرْي ِق َها ف ُي ْدف ُع ِإل ْي ِه ْم َِم ْن َها ق ْد َر‬
ْ‫ُأ ُج ْور َأ ْم َث ِاله َم‬
ِ ِ
Amil adalah orang yang diangkat untuk mengumpulkan zakat dan
mendistribusikan-nya. Mereka dibayar dari zakat itu sesuai dengan
kadar upah orang-orang yang sepadan dengan mereka.124
Imām al-Qurṭubī (w. 671 H), dari mazhab Mālikī selain
menjelaskan tugas dan fungsi amil juga menekankan bahwa amil
dalam melakukan tugasnya atas dasar sebagai wakil dari penguasa

124
Al-Māwardī, Al-Iqnā’, I: 71.

Fikih Zakat Kontemporer


331

sehingga aspek legalitas menjadi sangat penting sebagaimana juga


dirumuskan oleh al-Syaukānī dan al-Sarakhsī:
َ ‫الج اب ُاة اال ِذ ْي َن َي ْب َع ُث ُه ْم‬
‫ْلام ُام ِل َت ْح ِص ْي ِل‬ ُّ ‫َو َْال َعام ِل ْي َن َع َل ْي َها َي ْعن ْي‬
ُ ‫الس َع ُاة َو‬
ِ ِ
َ َ ‫الز َكاة ب ا‬
َ َ ‫الت ْو ِك ْي ِل َعلى ذ ِل‬
‫ك‬ ‫ا‬
ِ ِ
Amil zakat adalah para petugas pemungut zakat yang diutus oleh
Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat dengan
status wakalah.125
Imām al-Syaukānī (w. 1250 H), dari mazhab Zaidiyyah,
menyatakan:
ْ ْ َ ُ َ ُ ُ ُ َ ْ َ َ ْ ‫َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ ُّ َ ُ َ ْ ُ َ ُ ا‬
‫والع ِام ِلين عليها أي السعاة والجباة ال ِذين يبعثهم ْلامام ِلتح ِصي ِل‬
ً َ َ َ‫ا‬
‫الزك ِاة ف ِإ ان ُه ْم َي ْس َت ِح ُّق ْون ِم ْن َها ِق ْسطا‬
Amil adalah orang yang diangkat menjadi petugas memunggut zakat,
yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk
mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat
itu.126
Imām al-Sarakhsī, dari mazhab Ḥanafī, menyatakan:

‫ات‬
َ َ‫ا‬
ِ ‫الصدق‬
َ
‫ْلام ُام َعلى َج ْم ِع‬ َ ‫َو ْال َعامل ْي َن َع ََل ْي َها َو ُه ُم اال ِذ ْي َن َي ْس َت ْعم ُل ُه ُم‬
ِ ِِ
‫ا‬ َ َ َ َ َ
َ ِ ‫َو ُي ْع ِط ْي ِه ْم ِم اما َي ْج َم ُع ْون ِك َف َاي َت ُه ْم َو ِك َف َاية أ ْع َو ِان ِه ْم َوَّل ُي َق اد ُر ذ ِل َك ِبالث َم‬
‫ن‬
Amil adalah orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah menjadi
pekerja untuk mengumpulkan sedekah (zakat). Mereka diberi dari apa
yang mereka kumpulkan sekadar untuk kecukupan mereka dan
kecukupan para pembantu mereka. Besarnya tidak diukur dengan
harga (upah).127
Urgensi hubungan antara penguasa/pemerintah dan amil zakat
tersebut ditegaskan Imam al-Nawawī dalam al-Majmū' bahwa
pengangkatan amil merupakan tanggungjawab pemerintah. Hal itu
125
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, ed. Aḥmad ‘Abd al’-Alīm al-
Bardūnī, VIII:177.
126
Al-Syaukānī, Faiḍ al-Qadīr, II: 372.
127
Al-Sarakhsī, Al-Mabsūṭ, III: 9.

Fikih Zakat Kontemporer


332

sebagaimana dalam paparannya; “Wajib bagi seorang imam


menugaskan seorang petugas untuk mengambil zakat sebab Nabi dan
para khalifah sesudah beliaupun selalu mengutus petugas zakat ini hal
tersebut dilakukan karena diantara manusia ada yang memiliki harta
tetapi tidak tahu (tidak bisa menghitung) apa yang wajib dikeluarkan
baginya, selain itu adapula orang-orang yang kikir sehingga wajib
bagi penguasa mengutus seseorang untuk mengambilnya”.128
Keterangan dari berbagai definisi tersebut menunjukan bahwa
Amil adalah orang atau sekelompok orang sebagai pegawai yang
diangkat oleh pemerintah atau diangkat oleh sekelompok orang
(komunitas) dan mendapat izin dari pemerintah untuk mengelola
pelaksanaan ibadah zakat.129 Dengan demikian aspek legal institusi
amil harus berdasarkan pengangkatan atau izin dari pemerintah yang
sah. Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia No.
23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat khususnya mengenai
Lembaga Amil Zakat pada Pasal 17-20. Pelanggaran terhadap
ketentuan amil diancam dengan pidana kurungan atau denda
sebagaimana diatur dalam pasal 41.130
2. Syarat Amil
Selain aspek legalitas dari penguasa, seorang amil harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Muslim
Syarat amil sebagai seorang muslim erat kaitannya dengan
sifat amanah sebagai keharusan sifat yang melekat karena
mengurusi urusan orang muslim. Walaupun ada pendapat berdasar
riwayat Imām Aḥmad bahwa non-muslim dapat menjadi amil
karena kedudukannya dia sebagai pegawai yang diupah. Namun

128
Al-Nawawī, Majmū’ syarḥ Muhażżab, VI, 167.
129
Lihat Fatwa MUI No.8/2011 tentang Amil Zakat.
130
UU. No. 23 tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Lihat juga Yūsuf al-
Qaraḍāwī, Hukum Zakat, hal. 545.

Fikih Zakat Kontemporer


333

demikian, untuk bagian pemungutan dan distribusi tetap


diutamakan seorang muslim.131
b. Mukallaf dan cerdas
Seorang amil harus mengerti dan sadar akan kedudukannya
sebagai amil serta mempunyai kemampuan untuk mengelola zakat
sebagaimana mestinya.
c. Jujur
Untuk dapat amanah, syarat mutlak dari seorang amil
haruslah orang orang yang memiliki kejujuran. Karena tidak
mungkin seorang fasik dan durhaka mengurusi harta kaum
muslimin.
d. Paham ketentuan dan hukum zakat
Syarat ini penting berkaitan dengan masalah profesionalitas
para amil sebab pemahaman akan ketentuan zakat sangat
berpengaruh pada performa Lembaga zakat, baik dalam hal
pengumpulan, pengelolaan dan distribusi.
e. Kemampuan melaksanakan tugas
Walaupun secara kognitif seseorang cukup memiliki
pengetahuan tentang zakat, dan secara moral memilki integritas
yang tidak diragukan. Namun secara fisik tidak memungkinkan
untuk melakukan kewajiban sebagai petugas zakat atau waktu
yang dimiliki sangat sempit atau hanya sekedar sisa-sisa waktu
dari pekerjaan pokoknya, maka hamper dapat dipastikan akan
sangat berpengaruh pada performa Lembaga zakat. Oleh karena
syarat adanya pengetahuan, integritas moral dan kemampuan fisik
harus diterhimpun pada diri seorang amil sesuai dengan tugasnya
masing-masing.

131
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Hukum Zakat, hal. 551.

Fikih Zakat Kontemporer


334

Selain syarat-syarat di atas, ada beberapa syarat yang


diperdebatkan oleh para ulama, seperti amil tidak boleh dari garis
keturunan atau keluarga besar Nabi SAW dari Banī Hasyīm dan Banī
Muṭālib, larangan amil perempuan dan keharusan orang merdeka atau
bukan sebagai hamba sahaya. Namun syarat-syarat yang
diperdebatkan tersebut kurang memiliki relevansi dan urgensi pada
pengelolaan zakat kontemporer. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh
fokus pengelolaan zakat yang profesional dan mampu mewujudkan
tujuan disyariatkannya zakat (maqāṣid al-zakāt).
3. Keabsahan Zakat Melalui Amil
Di antara analisis yang sering dikemukakan mengenai sebab
kurang efektifnya zakat dalam mengentaskan kemiskinan dan
mewujudkan pemerataan harta kekayaan khususnya di kalangan kaum
muslimin adalah pola pendistribusian harta zakat yang dilakukan
secara mandiri dalam arti tidak melalui amil sebagai orang atau
institusi yang kompeten dan legal dalam pengelolaan harta zakat.
Kesadaran yang besar dari masyarakat belum diimbangi dengan pola
pembayaran, pengelolaan dan pendistribusian yang benar. Hal ini
menyebabkan potensi dana zakat yang begitu besar belum mampu
menunjukkan efektifitasnya dalam menciptakan kesejahteraan yang
merata dan berkeadilan.
ََ:‫ال‬ َ َ ُ ْ َ ‫ا‬ َ ْ َ ‫ا‬ َ ْ َْ َ َْ َ َ ْ َ
َ ‫ عن مع ٍاذ ق‬،‫اس‬ ‫ عن ابن عب‬،‫ مولى ابن عباس‬،‫عن أبي معب ٍد‬
َْ ْ ً ْ َ ْ َ ٍ َ ‫َ َ َ ِ َ ُ ُ ا َ ا ِ ُ َ َ ْ ٍ َ َ ا َ ِ َ َ ِ َ ا‬
‫َ ِإنك تأ ِتي قوما ِمن أه ِل‬:‫ال‬ َ ‫بعث ِني رسول الل ِه صلى هللا علي ِه وسلم فق‬
َ ‫ا‬ َ ‫َ َ َ ا ا‬ َ َ َ َ ْ
‫ ف ِإ ْن‬،‫اب ف ْاد ُع ُه ْم ِإلى ش َه َاد ِة أ ْن َّل ِإل َه َِإَّل الل ُه َوأ ِني َر ُسو ُل الل ِه‬ ِ َ ‫ال ِكت‬
ََ َ ْ َ ْ ََْ َ ََْ َ ‫ُ ْ َ ُ َ َ َ َ ْ ْ ُ ْ ا ا‬ َ َ
‫ات ِفي‬ ٍ ‫صل َو‬ ‫هم أطاعوك ِلذ ِلك فأع ِلمهم أن الله افترض علي ِهم خمس‬
‫ُ َ ْ َََْ َ ْ ُ ْ َ َ ُ َ َ َ ََ ْ ْ ُ ْ َ ا ا‬
َ ‫الل َه ْاف َت َر‬
‫ض‬ ‫ ف ِإن هم أطاعوك ِلذ ِلك فأع ِلمهم أن‬،‫ك ِل يو ٍم وليل ٍة‬
َ ُ َ َُ ْ َ ُ َ ُ َ ً َ َ ْ ََْ
‫ ف ِإ ْن‬،‫ص َدق َة ِفي أ ْم َو ِال ِه ْم ت ْؤخذ ِم ْن أغ ِن َي ِائ ِه ْم فت َر ُّد َعلى ف َق َر ِائ ِه ْم‬ ‫علي ِهم‬

Fikih Zakat Kontemporer


335

ُْ َْ َ َ ْ َ َ ‫ُ ْ َ َ ُ َ َ َ َ ا َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ا ا‬
‫وم‬
ِ ‫ وات ِق الله دعوة اْلظ‬،‫هم أطاعوك ِلذ ِلك ف ِإياك وكرا ِئم أمو ِال ِهم‬
‫ل‬
‫َ ا َ َ ْ َ َ ََْ َ َْ َ ا‬
ٌ ‫الل ِه ِح َج‬
‫اب‬ ‫ف ِإنها ليس بينها وبين‬
Dari Abū Ma'bad -Maulā Ibnu ‘Abbās- dari Ibnu ‘Abbās dari Mu'āż
bin Jabal, berkata, "Rasulullah SAW mengutusku. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab,
maka ajaklah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan
Allah. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, maka
beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada
mereka shalat lima waktu pada setiap siang dan malam. Jika mereka
mentaatimu untuk hal tersebut maka beritahukanlah kepada mereka
bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka sedekah yang diambil
dari orang kaya mereka lalu dibagikan kepada orang-orang fakir di
antara mereka. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka
kamu jauhilah harta mulia mereka. Takutlah kamu terhadap doa
orang yang terzhalimi, karena tidak ada penghalang antara dia dan
Allah'." (H.R. al-Jamā’ah)
Menurut Yūsuf al-Qaraḍāwī, hadis tersebut di atas menjelaskan
bahwa urusan zakat itu diambil oleh petugas untuk dibagikan, tidak
dikerjakan sendiri oleh orang yang mengeluarkan zakat.132 Pendapat
tersebut mempertegas pernyataan Ibnu Ḥajar bahwa hanya pemerintah
yang berwenang mengambil dan membagikan zakat, baik secara
langsung atau melalui wakilnya.133 Keterangan tersebut memperjelas
makna ayat 103 dari surat al-Taubah yang memerintahkan mengambil
harta zakat dari para Muzaki.
Pengambil zakat haruslah merupakan orang atau kelompok
orang yang mempunyai kewenangan atau yang mewakilinya. Dengan
demikian, semestinya para Muzaki membayarkan atau memberikan
zakatnya pada amil yang legal dari pemerintah atau yang mewakilinya
dan diberi izin secara resmi oleh pemerintah. Karena seandainya
Muzaki boleh mendistribusikan harta zakatnya, maka tidak perlu ada

132
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Hukum Zakat, hal. 735.
133
Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, III: 23

Fikih Zakat Kontemporer


336

amil, padahal amil merupakan salah satu aṣnāf yang disebutkan oleh
Allah SWT untuk mengatur dan mengelola zakat.134
Keberadaan Lembaga Zakat di Muhammadiyah (LAZISMU)
idealnya merupakan wadah satu-satunya yang tepat bagi warga
persyarikatan untuk menyalurkan zakat Infaq dan sedekah secara legal
agar terkelola dan memberdayakan.
4. Upah Amil
Salah satu masalah yang mungkin sedikit banyaknya
mempengaruhi kinerja amil adalah kejelasan masalah upah yang layak
diterima oleh amil sebagai profesi yang terhormat. Dalam hal ini
Imām Mujāhid dan Imām al-Syāfi’ī menyatakan, bahwa mereka
(amil) boleh mengambil bagian dari zakat dalam bentuk nilai (al-
ṡaman). Tidak lebih dari seperdelapan. Dengan demikian upah amil
dapat dibayarkan berdasarkan nilai (qīmah) yang tidak melibihi 1/8
bagian yang sama dengan bagian aṣnāf yang lainnya.
Imām Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya menyatakan, bahwa
besarannya disesuaikan dengan kadar upah pekerjaan mereka.
Sehingga upah amil bisa ditambahkan dari pos yang lain atau bahkan
bisa dikurangi bila dianggap terlalu besar dari bagian yang rata
dengan aṣnāf yang lainnya. Oleh karena itu, Imām Mālik menyatakan,
bahwa mereka akan diberi imbalan dari Baitulmal sesuai dengan
kadar upah mereka. (maksudnya, upah bukan bagian dari zakat atau
bisa jadi upah ditambah dari baitul mal jika dipandang kurang layak.
Hal ini untuk menanggapi kekeliruan yang menafikan hak amil atas
zakat).135
Berdasarkan penjelasan tersebut, jika Upah Amil di bawah
UMR dapat diambil dari Baitul Mal atau dana pemerintah atau dapat

134
Lihat Yūsuf al-Qaraḍāwī, Hukum Zakat, hal. 752; Fikih Zakat Kontekstual
Indonesia, hal. 89.
135
Al-Syaukānī, Faiḍ al-Qadīr, II, 372; Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, I: 278;
Ibrāhīm al-Bājūrī, Syirkah al-Quds, I: 324.

Fikih Zakat Kontemporer


337

ditutupi dari bagian fī sabīlillāh (sahm al-maṣāliḥ), atau dapat juga


diambil dari bagian setiap aṣnāf yang lainnya sebab amil bekerja
untuk mereka.136
5. Kelayakan Upah Amil
Namun demikian menurut Waḥbah al-Zuhailī, walaupun pos
amil dapat diambil dari kas selain zakat, namun jumlah bagian/upah
amil tidak sampai melebihi upah rata-rata di wilayah tersebut
(UMR).137 Kewajaran upah tersebut selayaknya dapat memenuhi
kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan/rumah), menafkahi istri
dan keluarga, termasuk pembantu rumah tangga dan kendaraan.
Selebihnya dapat dianggap korup (H.R. Aḥmad dan Abū Dāwud).
Atau setidaknya, seorang amil mampu menyewa rumah dan menggaji
pembantu selama dia bertugas sebagai amil.138
‫ا‬ َ ُ ‫ْ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ ا َ ُ ُل َ ْ ُ ا ا َ ا‬
‫هللا َعل ْي ِه َو َسل َم‬ ‫صلى‬ ‫َس ِمعت الن ِبي‬:َ ‫ يقو‬،‫عن اْلستو ِرد بن شد ٍاد‬
َ َ َ ً ْ ْ َْ ْ َ َ ْ َ َ ً َ َ َ َ َ َ ْ َ ‫َ ُ ُل‬
‫ أ ْو ل ْي َس ْت ل ُه‬،‫ فل َي ات ِخذ َمن ِزَّل‬،‫س ل ُه َمن ِز ٌل‬ ‫َ"َمن و ِلي لنا عمَل ولي‬:َ ‫يقو‬
ٌ َ َ َ َ ْ َْ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ ‫َ ْو َ ٌ َ ْ َ َ َ ا‬
‫ أ ْو ل ْي َس ْت ل ُه َد اابة‬،‫س ل ُه خ ِاد ٌم فل َي ات ِخذ خ ِاد ًما‬ ‫ أو لي‬،‫ز جة فليتزوج‬
َ َ
ٌّ ‫س َوى ذ ِل َك ف ُه َو َغ‬ َ َ َ َ ْ َ َ ً ‫ََْا ْ َ ا‬
‫ال‬ َ ِ ‫اب ش ْي ًئا‬ ‫ ومن أص‬،‫فليت ِخذ دابة‬
Dari al-Mustaurid bin Syaddad berkata, "Saya mendengar Nabi SAW
bersabda: "Barangsiapa bekerja untuk kami dan ia belum mempunyai
rumah, maka hendaklah ia mengambil rumah. Atau, jika ia belum
mempunyai istri maka hendaklah ia mengambil istri. Atau, jika ia
tidak mempunyai seorang pembantu maka hendaklah ia mengambil
seorang pembantu. Atau, jika ia tidak mempunyai kendaraan maka
hendaklah ia mengambil kendaraan. Maka barangsiapa mendapatkan
apa yang selain itu maka ia adalah pencuri." (H.R. Aḥmad)

136
Ibrāhīm al-Syairāzī, al-Muhażżab, I: 565.
137
Waḥbah al-Zuhailī, Fiqh al-Islām wa adillatuh, X: 511.
138
Sayyid Sābiq, Fiqh Sunnah, I: 328.

Fikih Zakat Kontemporer


338

6. Amil Haram Menerima Hadiah


Amil haram menerima hadiah yang terkait dengan pekerjaan
atau jabatannya. Jika tetap menerima termasuk jenis korupsi (gulūl)
(H.R. al-Bukhārī, Muslim dan Abū Dāwud).
ُ ‫صلى‬ ‫َ َ ُ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ُّ ا‬ َ ْ ُ َ ْ َ
‫هللا‬ ‫َ ِاستعمل الن ِبي‬:‫ال‬ َ ‫هللا عنه ق‬ َ ‫اع ِد ِي ر ِض ي‬ ِ ‫عن أ ِب ْي ح َمي ٍد الس‬
ََ َ ‫ا‬ َ ُّ َ ُ َ ُ َْ ْ َ ً ُ َ َ ‫َ َ ْ َ َ ا‬
‫ فل اما‬،‫الص َدق ِة‬ ‫َ ْاب ُن الل ْت ِب اي ِة َعلى‬:‫ال ل َُه‬ ‫علي ِه وسلم رجَل ِمن ْلاز ِد يق‬
َ ُ ‫َ َ َ َ َ َ ُ ْ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ َ ُ ا ُّ َ ا‬
‫هللا َعل ْي ِه‬ ‫صلى‬ ‫ فقال له الن ِبي‬،‫ وهذا أه ِدي ِلي‬،‫َهذا لكم‬:‫ال‬ َ ‫قدم ق‬ ِ
َ
َ ْ ُ َ َ ُ ُُ ََْ ُ َ َ َ ‫ا‬ َ ‫ا‬
َ!‫س ِف ْي َب ْي ِت أ ِب ْي ِه أ ْو َب ْي ِت أ ِم ِه فينظر يهدى له أم َّل؟‬ َ ‫َف َهَل َجل‬:‫ََو َسل ََم‬
‫الق َي َام ِة‬ َ َْ َ ‫َ َ َْ ُ ُ َ َ ٌ ْ ُ َ ًْ ا‬ َْ ‫َ ا‬
ِ ‫وال ِذي نف ِس ْي ِبي ِد ِه َّل يأخذ أحد ِمنه شيئا إَّل ج َاء ِب ِه يوم‬
ً َ َ ٌ ُ ََ ًَ ََ َْ ٌ َ ُ ُ َ ًْ َ َ َ ْ َ َ ُ
‫ أ ْو شاة‬،‫وار‬ ‫ أو بقرة لها خ‬،‫َي ْح ِمل ُه َعلى َرق َب ِت ِه؛ إن كان ب ِعيرا له َرغاء‬
‫اْ َ ا‬ ‫َ َ َ ا‬ َ َ ُ َ
‫ الل ُه ام َه ْل َبلغ ُت الل ُه ام َه ْل‬،‫ ث ام َرف َع ِب َي ِد ِه َح اتى َرأ ْي َنا ُع ْف َرة ِإ ْبط ْي ِه‬،‫ت ْي ِع ٌر‬
ً ْ‫ا‬
‫ ثَلثا‬،‫َبلغ ُت‬
Dari Abū Ḥumaid al-Sā'idī R.A. berkata; Nabi SAW memperkerjakan
seorang laki-laki dari suku al-azdi sebagai pemungut zakat. Ketika
datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat
dan ini dihadiahkan untukku". Beliau berkata: "Biarkanlah dia
tinggal di rumah ayahnya atau ibunya lalu dia lihat apakah benar itu
dihadiahkan untuknya atau tidak. Dan demi Żat yag jiwaku di tangan-
Nya, tidak seoragpun yang mengambil sesuatu dari zakat kecuali dia
akan datang pada hari kiamat dengan dipikulkan di atas lehernya
berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing
yang mengembik". Kemudia Beliau mengangkat tangan Beliau
sehingga terlihat oleh kami ketiak Beliau yang putih dan (berkata,):
"Ya Allah bukankah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah
sampaikan"…. sebanyak tiga kali". (H.R. al-Bukhārī dan Muslim)
7. Amil Harus Sopan dan Cerdas
Agar penarikan zakat berjalan efektif dan tetap memosisikan
Muzaki dalam posisinya yang terhormat dan dihargai sehingga
menyenangkan pihak yang diambil sedekahnya, Rasulullah SAW

Fikih Zakat Kontemporer


339

memberi nasihat kepada para penagih zakat agar berlaku sopan santun
dan halus dalam bertutur kata, serta pandai dalam menaksir barang.
ََ:‫ال‬ َ ُ ْ َ ُ َ َ ‫َُ َ ْ َ ْ َْْ َ ا َ ا ُ َ َ ْ َ ْ َ ا‬
َ ‫اب ر ِض ي هللا عنه ق‬ ِ ‫ أن عمر بن الخط‬،‫عن أبو عم ٍرو يع ِني ْلاوز ِاعي‬
َ َََْ َ ْ َ ْ َ ْ ‫الناس في ْال َخ‬ ‫"َ َخف ُفوا َع َلى ا‬
َ" ‫ص ف ِإ ان ِف ِيه ال َع ِراية َوال َو ِ َط اية َوْلاكلة‬ ِ ‫ر‬ ِ ِ ِ
َ َْ ‫َ َ َْ ُ ُْ ُ َ َ ْ َ َ ْ َ ا ُ َ َ ا َْ ُ َ ا‬
‫ َالنخلة والنخلت ِان‬:‫ال‬ َ ‫ َ ِۡل ِبي عم ٍرو وما الع ِرية؟ ق‬:‫ت‬ َ ‫ َقل‬:‫يد‬ َ ‫قال الوِل‬
َ
ُ ََ ْ َ ُ ُْ َ َ ْ ْ ْ َ ُ ‫َ اَ ُ َ ْ َ ُ َ ا ُ ُ ا‬ َ
‫ َف َما ْلاكلة؟‬:‫ت‬ َ ‫ قل‬،‫والثَلث يمنحها الرجل الرجل ِمن أه ِل الحاج ِة‬
َ َ ‫ص َذل َك َو ُي‬ ْ ُ ََ َ ُ ْ َ ُُ َْ َْ ْ َ َ َ
،‫وض ُع ِم ْن خ ْر ِص ِه‬ ِ ُ ‫َأه ُل اْل ِال يأكلون ِم َنه ُرط ًبا فَل يخ َر‬:‫ال‬ َ ‫ق‬
َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ َ َ
‫َ َم ْن َيغش ُاه ْم َو َي ُزو ُر ُه ْم‬:‫ال‬ََ ‫َف َما ال َو ِط اية؟ ق‬:‫ت‬َ ُ ‫َقل‬:‫ال‬
َ ‫ق‬
Dari Abū ‘Amr al-Auzā’ī, sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaṭṭāb R.A.
berkata: “ringankanlah masyarakat (kurangilah) dalam menaksir
(barang zakat) karena di dalamnya ada 'ariyyah, waṭiyyah dan
‘akalah. berkata al-Walīd; aku bertanya kepada Abū ‘Amr apa
'ariyyah itu? dia menjawab;1, 2 dan 3 pohon kurma yang seseorang
berikan/hadiahkan hasilnya kepada orang yang membutuhkan.
kemudian aku bertanya lagi; apa itu ‘akalah? dia menjawab kurma
basah/matang yang dibutuhkan pemiliknya untuk dikonsumsi maka
jangan ditaksir dan keluarkan dari taksiran (harta zakatnya).
kemudian aku bertanya lagi; apa itu waṭiyyah? dia menjawab; yang
membuat susut (harta) mereka dan mengunjungi (merusak/
mengurangi harta) mereka. (H.R. al-Baihaqī)
8. Amil Mendoakan Muzaki
Di antara akhlak Islam adalah menghadirkan kebahagian dan
ketentraman bagi orang lain (idkhāl surūr) terlebih kepada mereka
yang membantu kelancaran dan kesuksesan kerja amil. Untuk itu
Amil diperintahkan untuk mendoakan para Muzaki karena doa amil
akan menimbulkan rasa tentram dan tenang bagi Muzaki (Q.S. al-
Taubah [9]: 103). Dalam kitab Ma'rifat al-Sunan wa al-Āṡār
diungkapkan pendapat Imām al-Syāfi'ī bahwa doa tersebut diucapkan
Amil saat mengambil sedekah/zakat dari Muzaki.139

139
Abū Bakr al-Baihaqī, Ma'rifat al-Sunan wa al- Āṡār, VI: 176.

Fikih Zakat Kontemporer


340

Ada beberapa macam lafaż doa yang dianjurkan untuk para


Muzaki baik yang berseumber dari ijtihad maupun dari hadis
sebagaimana redaksi di bawah ini:
a. Imām al-Syāfi'ī senang menggunakan redaksi doa yang
diharapkan dapat berpahala di sisi Allah SWT.
َ َ َ َ َ َ َ ‫ا‬
َ‫ َو َبا َر َك ل َك ِف َيما أ ْب َق ْي َت‬،‫ َو َج َعل َها ل َك ط ُه ًورا‬،‫آج َر َك الل ُه ِف َيما أ ْعط ْي َت‬
َ
Allah memberkatimu untuk apa yang kamu berikan, dan
menjadikannya pensuci bagimu, dan memberkatimu untuk apa
yang kamu tinggalkan.
b. Sedangkan Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, muridnya Imām al-
Syāfi'ī, lebih menyukai redaksi doa yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW dari Wāil Ibnu Ḥujr atau dari Ibnu Abī
Aufā.
َ َ ً َ َ ‫َ َق ْد ُرو َينا في‬:‫ال َأ ْح َم َُد‬َ ‫َق‬
‫َأ ان َر ُجَل َب َعث ِب َناق ٍة‬:‫يث ََوا ِئ ِل ْب ِن ُح ْج ٍَر‬ ‫د‬ ‫ح‬
ِ ِ ِ ِ
‫ا ا‬ َ ُ ‫ْ ُ ْ َ َ َ َ ا ُّ َ ا‬
‫َالل ُه ام َبا ِر ْك ِف ِيه َو ِفي‬:‫هللا َعل ْي ِه َو َسل ََم‬ ‫صلى‬ ‫ فقال الن ِبي‬،‫ِمن حس ِنها‬
‫ِإ ِب ِل َِه‬
Aḥmad berkata bahwa kami telah meriwayatkan hadis dari Wāil
Ibnu Ḥujr, sesungguhnya ada seorang laki-laki datang dengan
membawa unta yang bagus. Maka Nabi SAW mendoakannya: Ya
Allah, berkahilah dia dan untanya”. (H.R. Aḥmad)
َ ‫ا‬ َ ُ ‫َ ْ َ ْ ا ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ ا ُّ َ ا‬
‫هللا َعل ْي ِه َو َسل َم ِإذا‬ ‫صلى‬ ‫َكان الن ِبي‬:‫ال‬َ ‫عن عب ِد الل ِه ب ِن أ ِبي أوفى ق‬
َ ُ َََ َُ َ ‫ََ ُ َ ْ ٌ َ َ َ ْ َ َ ا‬
‫ فأتاه أ ِبي‬،‫ص ِل َعلى ِآل فَل ٍن‬ َ ‫الل ُه ام‬َ :‫ال‬
َ ‫أتاه قوم ِبصدق ِت َِهم ق‬
َ َ َ َ َ ‫ََ َ اُ ا‬ َ َ
‫ص ِل َعلى ِآل أ ِبي أ ْوفى‬ ‫َاللهم‬:‫ال‬ َ ‫ فق‬،‫ص َدق ِت ِه‬ ‫ِب‬
Dari 'Abdullāh bin Abī Aufā, ia berkata; Adalah Nabi SAW bila
suatu kaum datang kepadanya dengan membawa shadaqah
mereka, Beliau mendo'akannya: "Allāhumma Ṣalli 'alā āli fulān"
(Ya Allah berilah shalawat kepada keluarga fulan"). Maka
bapakku mendatangi Beliau dengan membawa zakatnya., maka
Beliau mendo'akanya: " Allāhumma Ṣalli 'alā āli Abī Aufā ". (Ya

Fikih Zakat Kontemporer


341

Allah, berilah shalawat kepada keluarga Abū Aufā " (H.R. al-
Bukhārī)

C. Penyaluran Zakat
1. Zakat Produktif
a. Pengertian
Istilah produktif yang disematkan atau menjadi sifat pada
kata zakat bukan dimaksudkan sebagai istilah baru dari bentuk
zakat seperti zakat māl atau zakat fitri, akan tetapi yang dimaksud
dengan Zakat Produktif adalah pengelolaan dan pendistrbusian
dana zakat agar berdayaguna dalam jangka panjang dan dapat
menjangkau lebih banyak mustahik serta mampu mengangkat
seseorang atau kelompok orang dari level mustahik karena
kemandirian dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya. Pada gilirannya diharapkan dapat menghantarkan ke
level Muzaki di kemudian hari. Dengan demikian istilah zakat
produktif erat kaitannya dengan pendayagunaan dan
pemberdayaan.
b. Fatwa Ulama
Dalam jawaban Komisi Fatwa MUI Puat terhadap surat dari
Sekolah Tinggi Kedokteran YARSI Jakarta pada 2 Februari 1982
memutuskan bahwa zakat yang diberikan kepada fakir miskin
dapat bersifat produktif. Adapun argumennya sebagai berikut:
1) Ibrāhīm al-Bājūrī berpendapat bahwa pemerintah dapat
membelikan tanah untuk digarap atau hewan ternak dari
harta zakat fakir miskin, sehingga hasilnya dapat
membiayai keperluan mereka sehari-hari. Hal tersebut bagi
fakir miskin yang tidak dapat bekerja. Adapun yang
mampu bekerja maka diberi zakat dengan cara memberi

Fikih Zakat Kontemporer


342

modal kerja atau dagang dan dapat juga berupa alat-alat


atau perkakas yang dibutuhkan untuk bekerja.140
2) Demikian juga dalam kitab I’ānah al-Ṭālibīn pemerintah
dapat menyalurkan zakat dengan mempertimbangkan
keahlian seperti pedagang diberi modal dagang, para
tukang diberikan alat-alat pertukangan, sedangkan bagi
yang tidak mampu bekerja dibelikan sekiranya mencukupi
membeli sesuatu untuk dikelola dan dikembangkan yang
hasilnya mencukupi selama perkiraan usia hidupnya.141
3) Sedangkan Sayyid Sābiq dalam Fiqh Sunnah mengungkap-
kan pentingnya produktifitas dana zakat khususnya aṣnāf fī
sabīlillāh dalam mempersiapkan kader umat dan kader
dakwah di masa yang akan datang. Sehingga dana zakat
dapat dipergunakan untuk mendukung terwujudnya
kegiatan tersebut dengan membangun sekolah atau
pesantren dan perguruan tinggi sekaligus dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan para pelajar dan guru-guru
yang bertugas di Lembaga tersebut.142
c. Syarat
Permasalahan pengelolaan zakat secara produktif, menurut
fatwa MUI No. 4 tahun 2003 terkait dengan prinsip kesegeraan
(fauriyah) pembayaran dan penyaluran zakat dan kebolehan
penundaanya (ta’khīr) khusus terkait penyalurannya jika
musstahiknya tidak ada atau ada kemaslahatan yang lebih besar.
Secara prinsip, dana zakat adalah hak para mustahik, sehingga
mereka berhak mendapatkannya dengan segera. Namun di sisi lain
proyeksi zakat juga untuk pemberdayaan para mustahik
(produktif) bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan yang

140
Al-Bājūrī, I: 321.
141
‘Alī bin ‘Abdullāh bin Maḥmūd bin Muḥammad Arsyād Al-Banjarī, I'ānah al-
Ṭālibīn (t.t.: Dār Ihyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.)., II: 189.
142
Sayyid Sābiq, Fiqh Sunnah, I: 334.

Fikih Zakat Kontemporer


343

bersifat sementara dan jangka pendek (konsumtif). Oleh karena itu


pengelolaan dana zakat secara produktif khusunya investasi harus
memperhatikan syarat;
1) Harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh Syariah
dan peraturan yang berlaku (al-Ṭuruq al-Masyrū'ah).
2) Diinvestasikan pada bidang usaha yang diyakini
menguntungkan berdasarkan studi kelayakan.
3) Dibina dan diawasi oleh pihak-pihak yang memiliki
kompetensi.
4) Dilakukan oleh institusi/lembaga yang profesional dan
dapat dipercaya.
5) Izin investasi harus dari pemerintah dan pemerintah harus
menggantinya apabila terjadi kerugian atau pailit.
6) Tidak ada fakir miskin yang kelaparan atau memerlukan
biaya yang tidak bias ditunda pada saat harta zakat itu
diinvestasikan.
7) Pembagian zakat yang di-ta'khīr-kan karena diinvestasikan
harus dibatasi waktunya.
d. Jenis
Pengelolaan zakat produktif dapat dilakukan dalam tiga
bentuk :
1) Investasi, di mana peran amil menjadi kunci dan
penanggungjawab sebagai pengelola dana zakat.
2) Dana zakat dijadikan sebagai modal kerja bagi para
mustahik dalam bentuk pinjaman tanpa bunga (al-qarḍ al-
ḥasan),
3) Membeli atau membangun fasilitas umum sperti Rumah
sakit, panti asuhan dan sejenisnya dengan dana pinjaman,
kemudian dibayarkan melalui aṣnāf al-gārimīn.

Fikih Zakat Kontemporer


344

2. Memodalkan Zakat Fitri


Untuk mendapatkan ketegasan tentang boleh dan tidaknya
memodalkan zakat fitri itu, terlebih dahulu perlu diketahui dua hal:
a. Hak siapakah zakat fitri tersebut? Apakah hak fakir miskin
semata ataukah hak delapan macam penerima zakat, dan
b. Apa sesungguhnya fungsi dan tujuan zakat fitri?
Dua hal ini perlu mendapat kejelasan lebih dahulu.
Terdapat dua macam pendapat ulama tentang hak siapa zakat
fitri itu, Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fitri itu,
adalah hak delapan macam aṣnāf seperti dalam Q.S. al-Taubah [9]:
60, yaitu fakir, miskin, ‘āmilīn, muallaf, budak, orang yang berutang,
fī sabīlillāh dan musafir. Mereka beralasan bahwa al-ṣadaqāt bersifat
umum dan mencakup segala macam shadaqah termasuk zakat fitri.
Kedua, segolongan ulama lain seperti Abū Ṭālib, Jumhūr, Qāsim dll
menyatakan bahwa zakat fitri itu adalah untuk fakir miskin semata,
mereka beralasan dengan hadis Nabi SAW riwayat Abū Dāwud, Ibnu
Mājah, al-Ḥākim dari Ibnu ‘Abbās yang terdapat pada butir no. 5
dalam pembahasan “Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitri”.
Memperhatikan kedua pendapat di atas, ditambah lagi bahwa
zakat fitri itu dikeluarkan bertalian dengan kewajiban berpuasa bulan
Ramaḍān, yang diserahkan untuk makanan fakir miskin, maka dalam
hal bahwa zakat fitri itu sangat diprioritaskan penyerahannya kepada
fakir miskin.
Adapun fungsi zakat itu sesungguhnya adalah untuk dapat
mengubah keadaan Mustahik menjadi Muzaki, dan bukan hanya
memberi makan mereka untuk satu hari raya saja, tetapi juga untuk
hari-hari berikutnya, dapat menjamin kehidupan sosial bagi
masyarakat dan si miskin dapat tambahan jaminan kehidupannya
karena zakat fitri itu adalah haknya dan akan dapat menambah
hubungan yang erat dengan si “punya”. Di samping itu dalam zakat

Fikih Zakat Kontemporer


345

fitri juga terkandung perasaan persamaan, sehingga dapat


menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri antara sesama
manusia, dan lebih penting lagi dapat mengikatkan serta dapat
mewujudkan persatuan antara sesama manusia.
Tujuan berikutnya dari zakat fitri itu adalah membantu fakir
miskin di hari raya agar ikut bergembira, dapat membersihkan diri si
kaya dari sifat kikir dan akhlak tercela, mendidik diri bersifat mulia
dan pemurah, serta dapat menjaga dari kejahatan yang akan timbul
pada si miskin karena sehari-hari selalu susah untuk memenuhi hajat
yang selalu mereka derita.
Untuk tercapainya tujuan, fungsi serta hikmah tersebut di atas,
sudah barang tentu intensitas kerja amil harus ditingkatkan, artinya
kerja amil itu tidak hanya sebatas hari raya saja serta hanya
berhubungan dengan si miskin pada waktu pembagian zakat itu saja.
Di sinilah letak pentingnya mengembangkan dan memodalkan zakat
fitri tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang diisyaratkan dalam Q.S.
al-Qaṣaṣ [28]: 77.
َ ْ ُّ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ‫َ َ َ َ ا ُ ا‬
‫الدن َيا َوأ ْح ِس ْن‬ ‫َو ْاب َت ِغ ِفيما آتاك الله الدار لا ِخرة وَّل تنس ن ِصيبك ِمن‬
ُّ‫الل َه ََّل ُي ِحب‬
‫ا ا‬ ْ َْ َ َ َ ْ ْ َ ََ َ ْ َ ُ ‫َ َ َ ْ َ َ ا‬
‫ض ِإن‬
ِ ‫حسن الله ِإليك وَّل تب ِغ الفساد ِفي ْلار‬ َ ‫كما أ‬
ُْ
‫اْل ْف ِس ِدين‬
“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) dunia” (Q.S. al-Qaṣaṣ [28]: 77)
Demikian pula firman Allah dalam Q.S. al-Najm [53]: 39
‫ا‬ ْ ْ َ َْ ْ ََ
‫س ِل ِْلن َس ِان ِإَّل َما َس َعى‬ ‫وأن لي‬
“Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain dari apa
yang telah diusahakan.”
Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa manusia
diperintahkan untuk mencari kebahagiaan dan kesejahteraan di akhirat

Fikih Zakat Kontemporer


346

dengan tidak melupakan untuk mencari rizki untuk mewujudkan


hidup yang layak, sejahtera dan bahagia di dunia ini.
Penggunaan harta harus disesuaikan dan diselaraskan dengan
pendapatan, lebih dari itu agar harta yang diperoleh tersebut tidak
habis dalam waktu singkat perlu didayagunakan dalam usaha-usaha
ekonomi produktif atau dimodalkan.
Selama ini zakat fitri hanya dikonsumsi sehingga habis dalam
waktu relatif singkat, dan akhirnya tidak menghasilkan nilai tambah
dan sebagai akibatnya harapan untuk meningkatkan taraf hidup seperti
yang dikehendaki tidak pernah menjadi kenyataan. Dengan kata lain
yang fakir tetap fakir dan hidup dalam kemiskinan atau kita hanya
memperhatikan “makanan” fakir miskin hanya untuk sehari raya saja,
untuk hari berikutnya tidak diperhatikan atau diabaikan.
Dalam hadis Ibnu ‘Abbās di atas yang disuruh adalah memberi
makan fakir miskin pada hari raya dan menghilangkan peminta-minta
pada hari bahagia itu. Hal ini tidak berarti bahwa masalah memberi
makan atau “makanan” untuk mereka hari berikutnya tidak
dihiraukan, tetapi justru untuk hari berikutnya (hari depannya) lebih
perlu lagi. Jelasnya tentang hari depan mereka harus lebih
diperhatikan di samping untuk sehari raya itu juga mereka harus dapat
makan dan memenuhi kebutuhan pokok, namun kebutuhan hari depan
termasuk prioritas. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-
Ḥasyr [59]: 18.
Sehubungan dengan itu, selain yang diberikan hanya sekedar
untuk makan pada sehari idul fitri dan tidak meminta-minta, maka
zakat fitri bisa dijadikan modal yang lazim disebut sebagai “alat
penghasil”, karena modal tersebut tidak dikonsumsi (dipakai habis)
untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, tetapi didayagunakan untuk
menghasilkan nilai tambah demi mendapatkan masa depan yang cerah
seperti telah diisyaratkan oleh ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas
(Q.S. al-Qaṣaṣ [28]: 77 dan al-Najm [53]: 39).

Fikih Zakat Kontemporer


347

Memodalkan zakat fitri dalam bentuk usaha produktif itu


haruslah seijin fakir miskin tersebut, karena zakat fitri itu adalah hak
mereka. Di samping itu, mereka kurang ilmu dan keterampilan
sehingga kecil sekali kemungkinan untuk berhasil jika mereka
diserahi untuk memodalkan harta zakat tersebut menjadi barang yang
produktif. Oleh karena itu pengelolaannya haruslah dilakukan oleh
orang-orang yang ahli, alim dan terpercaya, dan juga dapat melibatkan
para mustahik tersebut, sehingga dapat mengelola usaha tersebut
secara efektif dan efisien. Adapaun hasil dari permodalan atau usaha
tersebut adalah untuk kepentingan si fakir miskin.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Zakat fitri adalah hak prioritas fakir miskin.
b. Di antara tujuannya adalah agar terjalin hubungan kerjasama
dan rasa kasih sayang antara si kaya dan si miskin, dapat
mengubah status fakir miskin tersebut.
c. Boleh memodalkan zakat fitri dengan syarat:
1) Seijin fakir miskin, karena itu adalah hak mereka
2) Kebutuhan mereka di hari raya sudah tercukupi dengan
sebagian zakat fitri yang diberikan.
3) Yang dimodalkan adalah sisanya setelah diberikan kepada
fakir miskin. Bentuk usahanya, bisa koperasi, PT atau
lainnya.
4) Hasil permodalan zakat fitri digunakan untuk kepentingan
fakir miskin.
5) Pengelolaannnya dilakukan oleh orang-orang yang
terpercaya, orang ahli yang dibentuk bersama antara
Mustahik, Muzaki dan Ulama.
6) Pengelola menjamin dan bertanggungjawab terhadap
keselamatan permodalan zakat fitri tersebut.

Fikih Zakat Kontemporer


348

DAFTAR PUSTAKA

‘Abduh, Muḥammad dan Riḍā, Rasyīd, Tafsīr al-Manār, Beirut: Dār al-
Fikr, 1978.
Al-‘Asqalānī, Ibnu Ḥajar, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Beirut:
Dār al-Ma’rifah, 1379 H.
Al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
al-Baihaqī, Abū Bakr, Ma’rifah al-Sunan wa al-Āṡār, Damaskus: Dār al-
Wa’ī, 1991.
Al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubrā, bab Ṣadaqah fī mā Yazra’uhu al-
Adamiyyūn, India: Majelis Dāirah al-Ma’ārif al-Niẓāmiyyah al-
Kāinah, 1344 H.
Al-Banjarī, ‘Alī bin ‘Abdullāh bin Maḥmūd bin Muḥammad Arsyād,
I'ānah al-Ṭālibīn, t.t.: Dār Ihyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Al-Bukhārī, Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Kitab Bad’i al-Waḥyi, cet. I, Kairo: Dār al-
Sya’bī, 1987.
Al-Ḥanbalī, Ibnu Hādī, Tanqīh al-Taḥqīq fī Aḥādis al-Ta’līq, Riyaḍ:
Aḍwā’ al-Salaf, 2007.
Al-Kāsānī, Imām ‘Alā al-Dīn Abī Bakr Ibnu Mas’ūd, Badāi’ al-Ṣanāi’ fī
Tartīb al-Syarāi’, Libanon: Dār al-Fikr, t.t.
Al-Maqdisī, Abū Muḥammad Muwaffiq al-Dīn ‘Abdullāh Ibnu Qudāmah,
al-Kāfī fī Fiqḥ Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Libanon: Dār al-Fikr, 1992.
Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2012.
Al-Munāwī, Zainuddin, Faīḍ al-Qadīr Syarḥ al-Jāmi’ al-Ṣagīr, Mesir:
Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, t.t.
Al-Qaraḍāwī, Yūsuf, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status
dan Filsafat Zakat berdasarkan Qur’an dan Hadis, penterjemah

Fikih Zakat Kontemporer


349

Salman Harus, Didin Hafidhudin, Hasanudin, Bogor: Pustaka Litera


Antar Nusa, 2011.
, Fikih Zakat, Beirut: Muasasah Risalah, 1973.
Al-Zuḥailī, Waḥbah Al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah, wa al-Syrī’ah, al-
Manhaj, Dimasyq: Dār al-Fikr, 1418 H.
, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū, Beirūt: Dār al-Fikr, 2004.
, Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT. Remaja
Posdakarya, 1995.
Al-Naisāburī, Muslim bin Ḥajjaj bin Muslim, Saḥīh Muslim, Beirut: Dār
al-Jīl, t.t.
Arifin, Agus, Keutamaan Zakat, Infaq dan Sedekah, (Jakarta: Gramedia,
2016).
Asmalia et al (2018), Exploring the Zakah for Supporting Realization of
Sustainable Development Goals (SDGs) in Indonesia, International
Journal of Zakah: Special Issue on Zakah Conference.
Asmani, Jamal Makmur, Zakat Solusi Mengatasi Kemiskinan,
(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016)
Auda, Jasser, Maqshid Al Shariah As Philosophy of Islamic Law A System
Approach, London, The International Institute of Islamic Thoucht,
(London: t.t., 2007).
Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-‘Aqāwil
fī Wujūh al-Ta’wīl, Teheran: Intisyarat Afitab, t.t.
Badan Pusat Statistik, 2019.
Dessler, Gary, Human Resourches Management, terjemahan Paramitha
Rahayu, (Jakarta: Indeks, 2016).
DSN-MUI No. 3 tahun 2000, Fatwa tentang Pengawasan Syariah oleh
Dewan Pengawas Syariah.

Fikih Zakat Kontemporer


350

, No. 21 tahun 2001, Fatwa tentang Pedoman Umum Asuransi


Syariah.
Fatwa MUI No.8/2011 tentang Amil Zakat.
Hadi, Muhammad Problematikan Zakat Profesi dan Solusinya Tinjauan
Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Hafiduddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004).
Hanapi, Habil, Penerapan Sukuk dan Obligasi Syariah di Indonesia,
Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah, t.p.: t.t., 2019.
Ḥaqī, Ismā’īl, Rūh al-Bayān, Beirut: Dār al-Fikr, t.,t.
Hunger, J. David dan Wheelen, Thomas L., Strategig Management,
terjemahan Julianto Agung, Yogyakarta: Andi, 2003.
Heizer, Jay dan Render, Barry, Operations Management: Sustainability
and Suplay Chain Management, terjemahan Hirson Kurnia dkk,
Jakarta: Salemba Empat, 2016.
al-Aṡir, Ibnu, Jamī al-Uṣūl ‘an Hadīṡ al-Rasūl, ditaḥqīq ‘Abdul Qadīr al-
Arnaūṭ, Beirut: Maktabah al-Hulwanī, 1970.
Jabal, Muhammad Hasan Hasan, al-Mu’jam al-Isytiqaqi al-Mu’ashshal li
Alfadh al-Qur’an al-Karim, Kairo: Maktabah al-Adab, 2010.
Khan, Muhammad Shidiq, Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, Beirut:
al-Maktabah al-‘Ashriyah, 1992.
Khatib, Muhyiddin, Rekonstruksi Fikih Zakat, Telaah Komprehensif Fikih
Zakat Pendekatan Teoritis dan Metodologis, Malang: Literasi
Nusantara, 2019.
Lasasna, Ahcene, Maqasid al Shariah In Islamic Finance, IBFIM, t.p.:
Malaysia: 2013.
Lazis Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2016.

Fikih Zakat Kontemporer


351

Latief, Hilman, Melayani Umat, Filantropi Islam dan Ideologi Kaum


Modernis, Jakarta: Maarif Institut, 2010.
Loudon, Kenneth C. dan Loudon, Jane P. Management Information
System, Managing the Digital Firm, terjemahan Lukki Sugito dkk,
Jakarta: Salemba Empat, 2015.
Maheran, Zakariya, dan Samba, M. Nurhayati, Effectiveness of Zakah in
Fulfilling Daririyat (basic needs), and Elevating the Zakah Recipient
Standard of Living to Hajiyat, Comfortable Life in the Perspective of
Maqashid Shariah, t.t.: Jurnal Pengurusan, 2019.
Mahmud, Mek Wok dan Shah, Sayed Sikandar, The Use of Zakah
Revenue in Islamic Financing: Jurisprudential Debate and Practical
Feasibilty, Journal Studies in Islam and the Midle East, t.p.: t.t., 2009.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Al-Amwal Fil Islam,
Yogyakarta: Penerbit Persatuan Yogyakarta, 1975.
, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Jilid 1,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019.
Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan
Muhammadiyah: Ideologi, Khittah dan Langkah, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2009.
Peraturan Menteri Aagama RI, No. 52 Tahun 2014 Pasal 14, 19 dan 20,
tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat
Fitri serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif.
Pratolo, Suryo, Good Corporate Governance, Implementasi Pada BUMN
di Indonesia, Yogyakarta: LP3M UMY, 2015.
Puskas BAZNAS, Zakatnomics: Sektor Pertanian di Indonesia, Jakarta:
Puskas Baznas, 2019, mengutip dari Arif Mufraini, Akuntasi dan
Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun
Jaringan, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006.
, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, Jakarta: BAZNAS, 2018.

Fikih Zakat Kontemporer


352

, Outlook Zakat Indonesia, Jakarta: BAZNAS, 2017.


, Indonesian Zakah Outlook, Jakarta: BAZNAS, 2019.
Riduwan dan Rifan, Ahmad Arif, Konstruksi Bank Syariah Indonesia,
Yogyakarta: UAD Press, 2018.
Sābiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, t.p.: t.t., t.t.
Shirazi, Nasim Syah, Targeting, Coverage and Contribution of Zakah to
Houshold Income the Case of Pakistan, Journal of Economic
Cooperation Among Islamic Countries, (t.p.: t.t., 1996).
Ad-Dāruquṭnī, Sunan ad-Dāruquṭnī, editor ‘Abdullāh Hāsyim al-Madanī,
al-Madinah al-Munawwarah: al-Faniyah al-Muttaḥidah, 1386 H.
Tim Penulis Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, Fikih Zakat Kontekstual
Indonesia, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, 2018).
Undang-Undang No. 23 tahun 2011, tentang Pengelolaan Zakat.
Undang-Undang No. 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, Pasal
74, ayat 1.
Wahab, Noralizna Abdul, dan Rahman, Abdu Rahim, Productivity
Growth of Zakah Institution In Malaysia, Studies in Economics and
Finance, (t.p.: t.t., 2016).
Zahrah, M. Abu, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, terj. Anshari
Umar Sitanggal, (Jakarta: Pustaka Dian dan Antar Kota, 1989).
www.Republika.co.id, 13 Agustus 2013.

Fikih Zakat Kontemporer


MATERI
MUSYAWARAH NASIONAL
TARJIH MUHAMMADIYAH XXXI

TERMINASI HIDUP, PERAWATAN PALIATIF


DAN PENYANTUNAN KAUM SENIOR

Majelis Tarjih dan Tajdid


Pimpinan Pusat Muhammadiyah
1442 H / 2020 M
354

MATERI
MUSYAWARAH NASIONAL TARJIH MUHAMMADIYAH XXXI
TERMINASI HIDUP, PERAWATAN PALIATIF DAN
PENYANTUNAN KAUM SENIOR

------------------------------------------------------------------------------

Diterbitkan Oleh : Panitia Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI

Disusun Oleh : Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tim Penyusun : Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.

Penyunting : 1. Miftah Khilmi Hidayatullah, Lc. M.Hum.


2. Asep Setiawan, S.Th.I., M.Ud.
3. Royan Utsani, Lc. M.H.I.
4. Amirudin, S.Ag.

Yogyakarta, Rabiulakhir 1442 H / November 2020 M

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


355

TERMINASI HIDUP, PERAWATAN PALIATIF


DAN PENYANTUNAN KAUM SENIOR

A. Latar Belakang Permasalahan


Meskipun di Indonesia belum dilegalkan, telah ada kecenderungan
beberapa orang untuk meminta pelaksanaan eutanasia, yaitu mempercepat
kematian pasien melalui fasilitas medis. Ini dapat dilihat dalam kasus BS
yang mengajukan permohonan untuk dieutanasia karena penyakit yang
dideritanya, yaitu lumpuh, penyakit kronis, infeksi peradangan tulang dan
asma sehingga tidak dapat melakukan aktivitas apa pun. Permohonan
eutanasia diajukan BS ke Pengadilan Negeri Banda Aceh pada bulan Mei
2017, tetapi oleh pengadilan ditolak dan tidak dikabulkan.1 Permintaan
eutanasia lainnya adalah kasus SJ pada tahun 2005 yang mengalami sakit
dan berada dalam keadaan koma sehingga oleh suami dan keluarganya
dimintakan izin ke pengadilan untuk dieutanasia.2 Kasus lainnya adalah
permohonan RT untuk uji materi Pasal 344 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang dianggapnya menghalangi praktik
eutanasia. Karena beban hidup yang dideritanya, ia berfikir untuk
mengajukan permohonan disuntik mati, namun terhambat antara lain oleh
pasal KUHP tersebut sehingga pasal itu harus dilakukan judicial review.
Tetapi kemudian ia mencabut gugatannya di Mahkamah Konstitusi
karena ia telah mempunyai semangat lagi untuk melanjutkan hidupnya.3

1
“Eutanasia di Indonesia: Masalah Hukum dari Kisah-Kisah yang Tercatat,”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd4f5e2a4f7f/euthanasia-di-indonesia-
masalah-hukum-dari-kisah-kisah-yang-tercatat/ , diakses Jumat, 28 Agustus 2020.
2
“Suami Siti Julaeha Menilai Euthanasia adalah Keputusan Terbaik,” Tempo,
online, Sabtu, 19 Februari 2005, diakses 24 Januari 2020.
3
“Ryan Tumiwa "Suntik Mati" Cabut Gugatan di MK,” Kompas.Com,
(01/09/2014),
https://megapolitan.kompas.com/read/2014/09/01/12181361/Ryan.Tumiwa.Suntik.Mati.
Cabut.Gugatan.di.MK. , diakses 07-10-2020.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


356

Dalam konteks global, eutanasia semakin luas diterima dan


dipraktikkan. Beberapa negara telah melegalkan eutanasia dan membuat
undang-undang yang mengesahkan terminasi hidup dengan fasilitas medis
ini.
Di Belanda, pada perempatan terakhir abad lalu, eutanasia dan
bunuh diri dengan bantuan medis telah dipraktikkan secara luas dan
disahkan melalui putusan pengadilan. Sepanjang tahun 1990 tercatat
bahwa dokter-dokter Belanda telah melaksanakan eutanasia atas
permintaan sebanyak 2300 orang, bunuh diri atas bantuan medis sebanyak
400 kasus dan eutanasia tanpa permintaan pasien sebanyak 1000 kasus.4
Pada tahun 2001, di negeri kincir angin ini ditetapkan Undang-Undang
Terminasi Hidup atas Permintaan dan Bantuan Bunuh Diri yang berlaku
efektif tahun 2001.5 Sejak disahkannya undang-undang eutanasia ini di
Belanda, praktik terminasi hidup dengan bantuan medis terus meningkat.
Pelonjakan jumlah secara signifikan terjadi antara tahun 2007 s/d 2017
(selama 10 tahun). Pada tahun 2007 tercatat 2120 kasus terminasi hidup
yang dilaporkan dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 6585 kasus
terminasi hidup yang dilaporkan. Peningkatan kasus selama sepuluh tahun
itu mencapai lebih tiga kali lipat.6 Ini adalah angka yang dilaporkan oleh
para dokter pelaku eutanasia kepada Regionale Toetsingscommisie
Euthanasie (Komite Reviu Eutanasia Regional Belanda). Praktik riil
diperkirakan lebih tinggi karena terdapat sejumlah kasus yang tidak
dilaporkan. Misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Belanda melaporkan
angka lebih tinggi. Tahun 2015, misalnya, BPS Belanda melaporkan
jumlah terminasi hidup 6822 kasus, sementara RTE melaporakan hanya

4
Jochemsen, “Euthanasia in Holland: an ethical critique of the new law,” Journal
of Medical Ethics, Vol. 20 (1994), h. 213.
5
Boer, “Dialectics of lead: fifty years of Dutch euthanasia and its lessons,”
International Journal of Environmental Studies, Vol. 75: 2 (2018), h. 239.
6
Preston, “Death on demand? An analysis of physicianadministered euthanasia
in The Netherlands, British Medical Bulletin, Vol. 125 (Februari 2018), h. 147 dan RTE
(Regionale Toetsingscommisie Euthanasie), “Annual Report 2017,” h. 9.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


357

5516.7 Belanda memang dikenal sebagai negara berpengalaman luas


dalam praktik terminasi hidup baik berupa eutanasia maupun bunuh diri
dengan fasilitas medis.8
Di belahan lain dunia, terminasi hidup juga semakin luas diterima.
Beberapa negara bagian di Amerika Serikat tercatat telah mengesahkan
pencabutan nyawa pasien ini. Di antaranya adalah California, Colorado,
District of Colombia, Hawaii, Montana, Oregon, Vermont, dan
Washington.9 Bahkan Negara Bagian Oregon di Negeri Paman Sam ini,
kematian melalui terminasi hidup dengan fasilitas medis dipandang
sebagai suatu kematian yang bermartabat sebagaimana ditahbiskan dalam
undang-undang yang diberi judul Death with Dignity Act, yang berlaku
efektif tahun 1997.10 Pada tingkat nasional, negara-negara yang
membenarkan terminasi hidup adalah Belgia, Luxembourg, dan Canada,
di samping negara-negara yang telah disebut terdahulu.11 Di Switzerland,
bunuh diri dengan bantuan orang lain adalah sah sejak tahun 1937.
Menurut pasal 115 KUHP negara ini, membantu seseorang untuk bunuh
diri bukan suatu tindak pidana selama yang membantu tidak memiliki
motif pribadi.12
Lebih dari itu, terminasi hidup tidak hanya sekedar mengakhiri
hidup karena penyakit terminal yang tidak mungkin disembuhkan lagi.
Tetapi, pada sisi lain, terminasi hidup menjadi satu bentuk industri baru,

7
Preston, “Death on demand?”, h. 149.
8
Boer, “Dialectics of lead,” h. 239.
9
Thurston, “Physician-Assisted Death: A Selected Annotated Bibliography,” Law
Library Journal, Vol. 111: 1 (2019-3), h. 39-45.
10
Purvis, “Debating Death: Religion, Politics, and the Oregon Death With
Dignity Act,” Yale Journal of Biology and Medicine, Vol. 85 (2012), h. 271, kolom 2,
dan 277, kolom 1.
11
Preston, “Death on demand?”, h. 146.
12
Al-Alosi, “A Time to Fly and a Time to Die: Suicide Tourism and Assisted
Dying in Australia Considered,” Marquette Benefits and Social Welfare Law Review,
Vol. 17: 2 (2016),” h. 262-263.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


358

yang disebut industri wisata bunuh diri, death tourism atau suicide
tourism. Negeri yang amat terkenal dengan industri kematian ini adalah
Swiss yang mengembangkan kegiatan ini yang praktiknya dimungkinkan
dengan berbagai kemudahan teknologi dan perjalanan internasional.13
Orang-orang yang di negerinya tidak dapat melakukan terminasi hidup
dapat melakukan perjalanan wisata menuju akhirat melalui fasilitas wisata
semacam ini. Di negeri Swiss, terdapat sebuah klinik yang khusus
mengatur perjalanan wisata ke negeri itu untuk tujuan melakukan
terminasi hidup. Klinik tersebut bernama Dignitas yang memberikan
layanan pengakhiran hidup bagi yang menginginkannya. 14 Di antara
peminat wisata bunuh diri ini adalah anak muda berusia 23 tahun,
bernama Daniel James, asal Sinton Green di Barat Inggris, yang berwisata
bunuh diri ke Swiss untuk mengakhiri hidupnya karena mengalami
lumpuh akibat kecelakaan olahraga yang dialaminya tahun 2007 dan
melakukan physician-assisted suicide tahun 2008.15 Sir Edward Downes,
berusia 85 tahun, seorang pemimpin orkestra Inggris terkemuka, dan
istrinya Lady John, berusia 74 Tahun. Edward Downes mengalami rabun
dan agak tuli, tetapi tidak menderita penyakit terminal. Tetapi istrinya
mengidap sakit kanker stadium akhir. Mereka memutuskan untuk
meninggalkan dunia yang fana ini karena derita istri yang tidak mungkin
lagi pulih. Demi kesetiaan, sang suami juga ikut bersama istri bertamasya
ke alam akhirat. Mereka mengunjungi Klinik Dignitas di mana mereka
disuguhi minuman “cocktail of barbiturates” yang dalam beberapa saat
menghantarkan mereka ke akhir hidupnya pada tanggal 7 Juli 2009.16

13
Safyan, “A Call for International Regulation of the Thriving "Industry" of
Death Tourism,” Loyala of Los Angles International and Comparative Law Review, Vol.
33: 2/3 (2011), h. 287.
14
Al-Alosi, “A Time to Fly and a Time to Die”, h. 262-263.
15
Safyan, “A Call for International Regulation, h. 288; dan Egyptsearch.Com,
http://www.egyptsearch.com/forums/ultimatebb.cgi?ubb=get_topic;f=14;t=001171,diakses
Kamis, 22 Oktober, 2020.
16
Safyan, “A Call for International Regulation, h. 287.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


359

Di Negeri Belanda, jenis-jenis penyakit yang diakhiri dengan


terminasi hidup meliputi kanker, gangguan neurologis, penyakit jantung,
paru-paru, sindrom giatrik, dimensia, gangguan kejiwaan, komplikasi,
dan penyakit lainnya. Kanker merupakan kasus paling banyak diakhiri
dengan terminasi hidup. Data untuk tahun 2017-2019, sesuai laporan
Regionale Toetsings Commisie Euthanasie, kasus terminasi hidup
mencapai 4000 kasus lebih.17
Dalam perjalanan waktu, persoalan eutanasia tidak hanya berhenti
pada terminasi hidup pasien karena penyakit terminal atau akut belaka,
akan tetapi merambat kepada orang segar bugar, yang karena suatu atau
lain hal, misalnya karena faktor kesepian di hari tuanya, tidak ingin
melanjutkan hidup dan memilih untuk melakukan bunuh diri dengan
bantuan medis (physician-assisted suicide). Sebagai contoh kasus Simona
De Moor, seorang wanita Belgia, berusia 85 tahun, yang masih sehat dan
segar. Tetapi ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya begitu ia diberi
tahu bahwa anak perempuannya satu-satunya, Vivienne, meninggal dalam
usia 58 tahun karena serangan jantung.18

B. Definisi Terminasi Hidup


Ada banyak istilah yang dipakai terkait dengan terminasi hidup
dengan fasilitas medis. Di antaranya adalah end-of-life (mengakhiri
hidup) yang terkadang ditambahi option (sehingga menjadi end-of-life
option), physician-assisted dying/physician-assisted death (kematian
dengan bantuan dokter), death with dignity (kematian bermartabat), aid in
dying (bantuan untuk mati), pasient-directed dying, hastened dying

17
RTE (Regionale Toetsingscommisie Euthanasie) Annual Report 2017, h. 12;
RTE (Regionale Toetsingscommisie Euthanasie) Annual Report 2018, h. 12; dan RTE
(Regionale Toetsingscommisie Euthanasie) Annual Report 2019, h. 12.
18
National Post.Com https://nationalpost.com/news/world/belgian-doctor-facing-
possible-murder-charge-for-euthanizing-senior-seen-as-warning-for-canada , diakses
Kamis, 22-10-2020.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


360

(kematian dipercepat), dan beberapa istilah lainnya.19 Eutanasia juga


banyak dipakai, tetapi sekarang lebih dibatasi pada terminasi hidup yang
dilakukan dokter sehingga ditambahi awalnya dengan physician-assisted
sehingga menjadi physician-assisted euthanasia. Selain dari keragaman
istilah, terdapat pula pemaknaan yang berbeda yang diberikan pada istilah
yang sama. Untuk memudahkan, dalam tulisan ini digunakan istilah
“terminasi hidup” untuk mencakup bentuk-bentuk mengakhiri hidup
melalui fasilitas medis. “Terminasi” berarti mengakhiri sehingga
“terminasi hidup” berarti mengakhiri hidup. Tetapi mengakhiri hidup di
sini adalah dengan bantuan dan fasilitas medis. Oleh karena itu
mengakhiri hidup di luar fasilitas medis, misalnya dengan cara
menggantung diri, tidak masuk dalam cakupan istilah ini.
Ada beberapa definisi dari istilah terminasi hidup ini, yaitu sebagai
berikut,
1. Kamus Kedokteran Dorland menggunakan istilah eutanasia dan
mendefinisikannya sebagai mengakhiri dengan sengaja hidup
seseorang yang menderita penyakit dengan rasa sakit yang hebat dan
tidak dapat disembuhkan berdasarkan rasa kasihan.20
2. Kamus Black’s Law Dictionary, juga menggunakan istilah eutanasia,
yang diartikan sebagai “tindakan menyebabkan atau mempercepat
kematian seseorang yang menderita penyakit atau kondisi terminal
atau tidak dapat disembuhkan lagi, terutama yang sangat
memedihkan, dengan alasan belas kasih.”21
3. Thurston menggunakan istilah physician-assisted death (PAD) yang
diartikan mencakup physician-assisted suicide (bunuh diri atas
bantuan dokter), yaitu seseorang menewaskan diri sendiri dengan
dibantu oleh dokter, dan physician-administered euthanasia
19
Thurston, “Physician-Assisted Death, h. 33-34.
20
Dorland, Kamus Kedokteran Dorland, alih bahasa Huriawati Hertanto, dkk.
(Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002), h. 775, kolom 1.
21
Garner, (ed. in chief), Blacks’ Law Dictionary, edisi ke-10 (St. Paul, MN:
Thompson Reuters, 2014), h. 672, kolom 2.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


361

(eutanasia yang dilakukan dokter), yaitu penewasan pasien yang


dijalankan oleh dokter.22
Dalam tulisan ini digunakan istilah “terminasi hidup” untuk
mencakup bentuk-bentuk mengakhiri hidup dengan fasilitas medis, dan
didefinisikan sebagai, “Perbuatan mengakhiri atau menyebabkan
berakhirnya hidup pasien yang dilakukan oleh dokter sendiri atau oleh
pasien di bawah bantuan dokter dengan sengaja dan dikehendaki
akibatnya atas dasar belas kasih guna membebaskannya dari penderitaan.”
Dalam definisi ini terkandung unsur-unsur terminasi hidup yang
meliputi beberapa hal berikut:
a) Adanya suatu perbuatan mengakhiri hidup seseorang dengan cara,
misalnya, menginjeksikan cairan obat mematikan atau perbuatan
memberikan resep atau petunjuk kepada seseorang untuk
mengakhiri hidupnya;
b) Perbuatan ini dilakukan dalam konteks dan dengan fasilitas medis
yang dilakukan oleh dokter (physician-administrated euthanasia)
atau oleh pasien sendiri dengan bantuan dokter yang memberikan
resep atau menjelaskan cara menggunakan alat (physician-
aissisted suicied);
c) Tindakan terminasi dilakukan atas dasar belas kasih dan untuk
membebaskan pasien dari penderitaan yang tidak tertahankan.
Dalam perkembangan praktik, penderitaan yang menjadi alasan
terminasi ini tidak hanya penderitaan sakit fisik, tetapi juga
penderitaan batin seperti kasus Simona de Moor, nenek Belgia (85
tahun), yang mengalami kesendirian (loneliness) dan kesedihan
mendalam karena ditinggal oleh anak perempuannya satu-satunya,
dan kasus Edward Downes, seorang pemimpin orkestra Inggris
terkemuka, yang mengalami rabun dan agak tuli, tetapi tidak mau
ditinggal sendiri oleh istrinya yang akan melakukan bunuh diri

22
Thurston, “Physician-Assisted Death,” h. 32.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


362

dengan bantuan medis karena sakit kanker stadium lanjut,


sehingga ia (Downes) pun ikut bunuh diri dengan fasilitas medis.23
Dengan definisi di atas, terminasi hidup manusia dengan fasilitas
medis itu ada dua macam, yaitu: (1) eutanasia yang dilakukan dokter
(physician-asministered euthanasia) dan (2) bunuh diri dengan bantuan
dokter (physician-assisted suicide). Eutanasia selalu terkait dengan
penyakit yang diderita yang sifatnya terminal dan tidak dapat
disembuhkan lagi. Sementara bunuh diri dengan bantuan dokter tidak
selalu dikaitkan dengan adanya penyakit yang diderita. Dalam kasus ini
bisa saja orang bersangkutan segar bugar, tetapi tidak berkeinginan untuk
melanjutkan hidupnya karena suatu atau lain sebab, lalu melakukan
bunuh diri dengan bantuan dokter (physician-assisted suicide), seperti
kasus Simona de Moor yang disebutkan di atas.
Perlu dicatat bahwa, menurut pasal 62 al-Miṡāq al-Islāmī al-‘Ālamī
li al-Akhlāqiyyāt aṭ-Ṭibbiyyah wa aṣ-Ṣiḥḥiyyah (International Islamic
Code for Medical and Health Ethics / Kode Etik Kedokteran dan
Kesehatan Islam Internasional) yang dirumuskan oleh Oraganisasi Ilmu
Kedokteran Islam (al-Munaẓẓamah al-Islāmiyyah li al-‘Ulūm aṭ-
Ṭibbiyah) tahun 1425/ 2004, tidak termasuk terminasi hidup tiga tindakan
medis berikut:
1) Perbuatan tidak menerapkan sarana pengobatan yang tersedia yang
dipastikan tidak akan memberikan efek apa pun;
2) Menghentikan pengobatan yang sedang berlangsung karena
terbukti tidak lagi memberi efek apa pun, termasuk alat penopang
hidup, berdasarkan keputusan tim medis yang ahli.
3) Meningkatkan dosis obat untuk meredam rasa sakit tak
tertahankan, meskipun diketahui bahwa tindakan itu dapat
memperpendek hidup pasien.24

23
Lihat catatan kaki nomor 16 di muka.
24
Al-Munaẓẓamah al-Islāmiyyah li al-‘Ulūm al-Ṭibbiyah, “Al-Miṡāq al-Islāmī al-
‘Ālamī li al-Akhlāqiyyāt al-Ṭibbiyyah wa al-Ṣiḥḥiyyah,”

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


363

Perlu dicatat bahwa mengenai pernyataan pada ayat (2) di atas,


dalam fatwa Majmaʻ al-Fiqh al-Islāmī, di bawah Oragnisasi Konferensi
[sekarang: Kerjasama] Islam tahun 1407/1986, ditegaskan bahwa alat
penopang hidup baru boleh dilepaskan apabila fungsi-fungsi otak telah
berhenti dan terjadi kerusakan otak berdasarkan keputusan tim dokter
ahli.25 Sama dengan ini adalah keputusan European Council for Fatwa
and Research tahun 2003, yang menyatakan bahwa tidak boleh
melepaskan alat penopang hidup sebelum terjadi kematian yang ditandai
dengan kematian batang otak.26

C. Norma-norma Syariah (Agama Islam)


Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan
nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa
petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. Jadi agama
memuat perintah, larangan, dan petunjuk bagi manusia dalam
menjalankan kehidupannya di dunia guna mencapai kemaslahatan baik di
dunia itu sendiri maupun di akhirat.27 Petunjuk agama itu mengatur
tingkah, baik tingkah laku batin (tingkah laku berkeyakinan) yang disebut
akidah, maupun tingkah laku lahir yang meliputi tingkah laku dalam
hubungan dengan Allah maupun tingkah laku di luar hubungan dengan
Allah. Tingkah laku lahir dalam hubungan dengan Allah disebut ibadah
(maḥḍah), sedang tingkah laku selain dalam hubungan dengan Allah
meliputi tingkah laku moral (akhlak) dan tingkah laku mu‘āmalāt
dunyawiyyāt. Sumber dari kumpulan ajaran yang merupakan norma
tingkah laku tersebut adalah al-Quran dan Sunah Nabi saw yang

25
Keputusan Nomor 8, dimuat dalam al-Zuḥailī, Zuḥailī, Wahbah al-, Mausūʻat
al-Fiqh al-Islāmī wa al-Qaḍāyā al-Mu’āṣirah (Damaskus: Dār al-Fikr, 1431/2010), IX :
489-490.
26
Keputusan Nomor 41 (3/11), diputuskan di Stockholm, Swedia, dalam Sidang
Putaran Ke-11, tanggal 1-7 Jumadil Awak 1424 H / 1-7 Juli 2003 M.
27
Himpunan Putusan Tarjih, cet. ke-3 (Yogyakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, t.t.), h. 276.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


364

maqbūlah dan ijtihad dengan menggunakan metode-metode ijtihad yang


lazim.28
Norma-norma tersebut tersusun dalam jenjang norma yang bersifat
hirarkis, meliputi (1) nilai-nilai dasar agama, (3) asas-asas umum (al-uṣūl
al-kulliyyah), dan ketentuan hukum cabang (peraturan hukum konkret /
al-aḥkām al-farʻiyyah). Dalam masalah yang dikaji pada tulisan ini,
norma-norma tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Nilai-nilai dasar, yaitu nilai-nilai pokok dan universal ajaran Islam
yang mencakup nilai-nilai dasar teologis, nilai-nilai dasar etik, dan
nilai-nilai dasar yuridis-syarʻī. Beberapa nilai dasar yang relevan
dengan masalah yang dibincangkan di sini adalah:
a. Wajibnya beriman kepada Allah dan Hari Akhir seperti tertuang
dalam rukun iman [Q.S. al-Nisā’ (4): 36]. Iman kepada Allah
mencakup keyakinan bahwa Dia adalah Maha Esa [Q.S. al-Ikhlāṣ
(112): 1] dan bahwa Dia adalah Pencipta dan, karenanya, Pemilik
alam semesta termasuk manusia dan hidupnya. Dalam kehidupan
sehari-hari kita selalu mengucapkan innā lillāhi wa innā ilaihi
rājiʻūn (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan akan
dikembalikan kepada-Nya) [Q.S. al-Baqarah (2): 156]. Karena
Allah Pemilik manusia dan hidupnya, maka Dia pula yang berhak
mengakhirinya, bukan manusia itu sendiri.
b. Bahwa hidup manusia itu adalah anugerah Allah yang
menciptakan hidup dan mati manusia, dan karena anugerah Allah,
maka hidup itu harus dipelihara dan dilindungi. Dalam Q.S. al-
Mulk (67): 2 ditegaskan,
‫م‬ ‫ا‬ َ ُ َ ُ ُ َ ‫م‬ َ‫َ َ م‬ َّ
‫ال ِذي خل َق اْل مو َت َوال َح َياة ِل َي مبل َوك مم أ ُّيك مم أ مح َس ُن َع َمًل َو ُه َو ال َع ِز ُيز‬
َ‫م‬
ُُ ‫الغ ُف‬
ُ.‫ور‬

28
Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah tanggal 3–6
Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5–8 Juli 2000 M di Jakarta Bab II angka
1-2.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


365

[Maha Suci Allah] yang telah menciptakan mati dan hidup untuk
menguji siapa di atara kamu yang paling baik amalnya, dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Dalam Q.S. al-Naḥl (16): 78 ditegaskan,
َُ َ َ َ َ َ ُ ُ ُ ُ ‫َّ َ م‬
‫َوالل ُه أخ َر َجك مم ِم من ُبطو ِن أ َّم َها ِتك مم َل ت معل ُمون ش مي ائا َو َج َع َل ل ُك ُم‬
َ ‫َّ م َ َ م َ م َ َ َ م‬
َ ‫ْلا مفئ َُد َة َل َع َّل ُك مم َت مش ُك ُر‬
ُ ‫ون‬ ِ ‫السمع وْلابصار و‬
Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengatahui sesuatu pun, dan Dia menganugerahimu
pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur.
c. Bahwa menghidupkan dan mematikan itu adalah hak Allah
sebagai konsekuensi dari keyakinan bahwa Allah Pemilik alam
serta manusia dan Penganugerah hidupnya. Dalam Q.S. al-Taubah
(9): 116 ditegaskan,
َُ َ ‫َّ َّ َ َ ُ ُ م ُ َّ َ َ َ م‬
ُ ‫ْلا م ض ُي مح ُيي َو ُيم‬
‫يت َو َما لك مم ِم من ُدو ِن‬ ِ ِ ِ ‫ات و‬ ‫ر‬ ِ ‫ِإن الله له ملك السماو‬
َ َ َّ
ٍُّ ‫الل ِه ِم من َو ِل ٍّي َوَل ن ِص‬
ُ.‫ير‬
Sesungguhnya Allah adalah Pemilik kerajaan langit dan bumi,
Dia menghidupkan dan mematikan, dan tidak ada pelindung dan
penolong bagimu selain Allah.
Atas dasar itu terminasi hidup manusia bertentangan dengan nilai
dasar dan pandangan ini.
d. Bahwa hidup itu suci yang karenanya harus dipertahankan. Dalam
Q.S. al-Māidah (5): 32 ditegaskan,
َ ‫الن‬ َ‫م‬
َّ ‫ْلا مرض َف َك َأ َّن َما َق َت َل‬ َ َ ‫َ م َ َ َ َ م ا َم َ م َم‬
‫اس‬ ِ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ٍّ ‫س َ أو‬
‫اد‬ ‫س‬ ‫ف‬ ٍّ ‫ُمن قتل ن َفسا ِبغي ِر ن َف‬...
ُ.ُ... ‫يعا‬‫اس َجم ا‬َ ‫الن‬ َّ ‫يعا َو َم من أ مح َي َاها َف َكأ َّن َما أ مح َيا‬
‫َجم ا‬
ِ ِ
... barang siapa menghilangkan satu jiwa tanpa alasan karena
pembunuhan atau berbuat kerusakan di muka bumi seolah-olah
membunuh seluruh manusia, dan barangsiapa menghidupkan
satu jiwa seolah-olah menghidupkan seluruh manusia.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


366

Dalam hadisnya Nabi saw bersabda ketika melaksanakan Haji


Wadak
َ ‫ ُإ َّن د َم َاء ُك مم َو َأ مم َو َال ُك مم َو َأ مع َر‬...
‫اض ُك مم َب مي َن ُك مم َح َر ٌام َك ُح مر َم ِة َي موم ُكمم‬
ِ ِ ِ
َ َ ‫َ َ ََ ُ م‬
ُ.]‫ُ[رواه الترمذي‬...ُ‫هذا ِفي بل ِدكم هذا‬
Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah suci
(haram dilanggar) seperti sucinya hari ini di negerimu ini [H.R.
al-Tirmiżī].29
e. Bahwa manusia adalah makhluk sosial yang hanya dapat hidup
dalam kebersamaan dengan sesamanya. Ibn Khaldūn menegaskan,
َ ‫َّ َ م‬ َ ‫َّ م م م‬ َ ‫َم م‬
ُ‫ج مُو ُُد ُهُ مُم َُوما‬
ُُ ‫ َُوُِإ َُل ُل مُم َُي ُك ُمُ مُل ُُو‬،‫سا ُِن ُِي‬
ُ ‫لا ُن‬ ُ ِ ‫ي ُِل ُلن ُو ِ ُع‬ َُ ‫ما ُُع‬
ُ ‫ض ُُر م ُو ُِر‬ ُ ‫ج ُِت‬
ُ ‫َا‬
ُِ
َ َ ‫م‬ َ َ
.ُ‫عا ُل ِ ُم ُِب ُِه مُم‬
ُ ‫ما ُِر ُال‬ ُ‫ن م‬
ُ ‫اع ُِت‬ ُ َ ‫للا ُِم‬ َُ ‫ُأ َُر‬
ُُ ‫اد ُُه‬
Hidup bermasyarakat itu esensial bagi bangsa manusia, jika
tidak, maka keberadaan mereka tidak akan sempurna dan
pembangunan alam melalui mereka yang dikehendaki Allah tidak
akan terwujud.
Oleh karena itu dalam Islam dikembangkan nilai-nilai dasar (1)
ta‘āwun (kerjasama/tolong menolong) dan (2) solidaritas.
‫َ َ ُ َ م م م‬ َّ ‫َو َت َع َاو ُنوا َع َلى مالبر َو‬
‫الت مق َوى َوَل ت َع َاونوا َعلى ِلاث ِم َوال ُع مد َو ِان َو َّات ُقوا‬ ِِ
َ ‫َّ َ َّ َّ َ َ ُ م‬
ُ.]2ُ:)5( ‫اب [اْلآئدة‬ ُ ِ ‫الله ِإن الله ش ِديد ال ِعق‬
Tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa dan jangan
tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Berat siksaan-Nya [Q.S.
al-Māidah (5): 2].
َّ َ ُ َّ َ ُ ُ َ ‫ال َق‬
َ ‫الن مع َمان مبن َب ِشير َق‬
ُّ ‫َعن‬
‫للا َعل مي ِه َو َسل َم‬ ‫صلى‬ ِ ‫ال َرسول‬
ُ‫للا‬ ٍّ ِ ِ ِ
29
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, 6 jilid, diedit oleh Muṣṭafā Dīb al-Bugā
(Damaskus-Beirut: Dār Ibn Kaṡīr dan al-Yamāmah li al-Ṭibā‘ah wa al-Nasyr wa al-
Tauzī‘, 1407/1987), II : 619, hadis nomor 1652; Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, diedit oleh
Muḥammad Fu‘ād ‘Abd al-Bāqī (Beirut: Dār al-Fikr li al-Ṭibā‘ah wa al-Nasyr wa al-
Tauzī‘, 1412/1992), II: 101, hadis nomor [29-31, 1679].

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


367

َ ‫َ م‬ ُ َ ُ ‫َو َت َر‬ َ ُ‫َ م‬


‫اح ِم ِه مم َوت َعاط ِف ِه مم َمث ُل ال َج َس ِد ِإذا‬ ‫َمث ُل اْل مؤ ِم ِن َين ِفى ت َو ِاد ِه مم‬
‫م‬ َّ ‫َل ُه َسا ِئ ُر مال َج َس ِد ب‬
‫الس َه ِر َوال ُح َّمى [رواه‬
َ ‫م ََ مُ ُ م‬
‫ض ٌو ت َد َاعى‬ ‫اشتكى ِمنه ع‬
ِ
ُ.]‫مسلم‬
Dari al-Nu‘mān ibn Basyīr (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah
saw bersabda: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap
saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu
tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka
seluruh tubuhnya akan ikut merasakan sakitnya baik terjaga
(tidak bisa tidur) dan demam [HR Muslim].30
ُ‫م‬ َ ‫للا َع َل مي ِه َو َس َّل َم َق‬
‫ال ِإ َّن اْل مؤ ِم َن‬ ُ ‫ص َّلى‬َ ‫النبى‬ َّ ‫وس ى َعن‬ َ ‫َع من َأبى ُم‬
ِِ ِ
‫ا‬ ‫م‬ َ ُ ُ ‫م‬ َ ُّ ُ َ َ ‫م‬ ُ ‫مُم ِ َ م‬
.]ُ‫البخاري‬
ُ ‫ِللمؤ ِم ِن كالبني ِان يشد بعضه بعضا [رواه‬
Dari Abū Mūsā, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau
bersabda: Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin
lainnya seperti sebuah bangunan yang satu dengan lainnya saling
menguatkan [HR al-Bukhārī].31
2. Asas-asas umum hukum syariah (al-uṣūl al-kulliyyah) yang
menyatakan antara lain:
a. Larangan mengakhiri hidup orang lain maupun hidup sendiri.
Dalam Q.S. al-An‘ām (6): 151 dan al-Isrā’ (17): 33 ditegaskan,
‫َّ َّ م‬ َّ َ ‫َ َ َ م ُ ُ َّ م‬
ُ.]151ُ:)6( ‫ [ْلانعام‬... ‫س ال ِتي َح َّر َم الل ُه ِإَل ِبال َح ِق‬
ُ ‫و َُل تقتلواُالنف‬
... jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali
dengan alasan yang hak (benar).
Dalam Q.S. al-Nisā’ (4): 29 ditegaskan,
ُ َ َ َ َّ َّ ‫َ َ َ م ُ ُ َ م ُ َ ُ م‬
ُ.]22ُ:)4( ‫ان ِبك مم َر ِح ايماُ[النسآء‬‫وَل تقتلوا أنفسكم ِإن الله ك‬

30
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, V: 2238, hadis nomor 5665; Muslim, Ṣaḥīḥ
Muslim, II: 526, hadis nomor 2586.
31
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, II: 863, hadis nomor 2314; Muslim, Ṣaḥīḥ
Muslim, II: 525, hadis nomor 2585.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


368

Jangan kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha


Penyayang kepadamu.
Alasan yang hak dalam ayat pertama adalah karena melaksanakan
hukuman mati (qiṣāṣ) untuk orang yang melakukan pembunuhan
sengaja dan karena telah berbuat kerusakan di muka bumi [Q.S.
al-Māidah (5): 32].
b. Pada sisi lain terdapat asas,
(1) “Apabila terjadi pertentangan dua mudarat, maka diperhatikan
yang lebih berat dan diambil yang lebih ringan.”32
(2) “Keadaan darurat memboleh yang dilarang.”33
c. Dari nilai dasar ta‘āwun dan solidaritas sosial dapat diturunkan
suatu asas bahwa perawatan pasien muḥtaḍar dan orang sakit pada
umumnya serta kaum lanjut usia adalah suatu kewajiban sosial dan
merupakan bagian dari tugas pengurusan hidup yang harus
dilakukan dengan penuh rasa belas kasih, empati, dan
profesionalisme. Pandangan bahwa kaum produktif harus
dibebaskan dari memikul beban kaum tidak produktif dengan cara
yang terakhir ini rela bahkan merasa wajib untuk meninggalkan
dunia yang fana ini bertentangan dengan kenyataan bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang hidupnya tidak pernah lepas
dari dan selalu tergantung kepada kebersamaan dengan yang lain.
3. Terdapat dalam hukum Islam suatu ketentuan spesifik yang melarang
bunuh diri karena suatu derita atau sakit menimpa seseorang, yaitu
sabda Nabi saw,
َّ َ َ ‫ُ َ َ م‬ َّ َ ُ ُ َ ‫ال َق‬
َ ‫للا َق‬ ‫َ م ُمُ َ م َم‬
ُ‫س ُل َُم‬ُ ‫للا ُع ُل ُي ُِهُ ُو‬
ُ ‫ص ُلى‬ ِ ‫ال َرسول‬
ُ ‫للا‬ ِ ‫عن جندب ب ِن عب ِد‬

32
Ibn Nujaim, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir, diedit oleh Zakariyyā ‘Umairāt (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 11419/1999), h. 76; al-Sayūṭī, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir
(Beirut: Dār al-Fikr, 1403/1983), h. 87.
33
Ibn Nujaim, al-Asybāh wa al-Naẓā’ir, h. 73; dan al-Sayūṭī, al-Asybāh wa al-
Naẓā’ir, h. 84.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


369

َ َ َ ََ َ َُ َ َ َ ‫َ َ َ م‬
‫ان ق مبلك مم َر ُج ٌل ِب ِه ُج مر ٌح ف َج ِز َُعُفأخذ ِس ِك اينا ف َح َّز ِبها َي َد ُه‬‫كان فيمن ك‬
َ َ ُ َ َ َ َ َ ُ َّ َ َ َ َ
‫باد َرِني َع مبدي ِب َن مف ِس ِه َح َّر مم ُت‬
َ ‫عالى‬ ‫ات قال للا ت‬ ُ ‫فما رقأ الدم حتى م‬
َ ‫َ م‬
ُ.]ُ‫َعل مي ِه ال َج َّن ُةُ[رواه البخاري‬
Ada seorang laki-laki di antara umat sebelum kamu yang menderita
luka yang tidak tertahankan sakitnya, lalu ia mengambil sebilah
pisau, kemudian memotong (urat nadi) tangannya sehingga ia mati
sebelum darahnya mengering. (Allah berkata): Hambaku
mempercepat datang ajal dirinya; Aku mengharamkan surga baginya
[H.R. al-Bukhārī].34

D. Ketentuan Hukum Eutanasia


Dengan memperlihatkan norma-norma syariah yang dikemukakan
di atas, dapat diputuskan:
1. Terminasi hidup sebagaimana didefinisikan terdahulu dilarang
menurut ketentuan hukum syariah karena:
a. Bertentangan dengan dengan nilai-nilai dasar agama Islam yang
berbasis iman kepada Allah dan termasuk ke dalamnya adalah
iman bahwa yang menciptakan mati dan hidup itu adalah Allah,
bahwa manusia adalah milik Allah, karena itu manusia tidak
berhak mengakhiri hidupnya atas kehendaknya sendiri dan atas
kehendak orang lain.
b. Bertentangan dengan asas yang melarang membunuh jiwa yang
diharamkan Allah membunuhnya kecuali karena alasan yang hak,
dan terminasi hidup tidak termasuk ke dalam alasan yang hak itu.
c. Bertentangan dengan hukum far’ī syariah yang menyatakan
larangan bunuh diri secara umum atau mengakhiri hidup karena
derita atau sakit yang menimpa seseorang secara khusus
sebagaimana dikutip di atas.

34
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, III: 1275, hadis nomor 1376; dan Muslim, Sahīh
Muslim, I: 68, hadis nomor 180 [113].

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


370

2. Tidak termasuk ke dalam kategori terminasi hidup dengan fasilitas


medis adalah:
a. Tidak menerapkan sarana pengobatan yang tersedia secara
maksimal atas penilaian bahwa penerapannya tidak akan memberi
efek dan pengaruh apa-apa bagi kondisi kesehatan pasien yang
tidak mungkin lagi disembuhkan karena tindakan tersebut dapat
membawa kepada mubazir terutama apabila penggunaan sarana
bersangkutan mahal dan juga akan membebani pasien atau
keluarganya dengan beban yang sesungguhnya tidak perlu.
b. Memberikan pengobatan dengan dosis lebih tinggi yang
mempunyai efek ganda. Di satu sisi pengobatan itu sangat perlu
bagi pasien untuk meringankan rasa sakit tak tertahankan yang
dideritanya, seperti memberikan morfin atau sejenisnya, dan di sisi
lain memberi efek negatif kepada pasien antara lain kemungkinan
berakibat mengurangi umurnya.
c. Tidak melanjutkan proses pengobatan yang sedang berlangsung
karena berdasarkan pertimbangan tim dokter ahli pengobatan itu
tidak lagi efektif dan tidak memberi pengaruh apa-apa bagi
kondisi kesehatan pasien, karena hal itu dapat mengarah kepada
perbuatan mubazir serta membebani keluarga secara tidak perlu.
Termasuk ke dalam kategori ini adalah melepaskan alat penopang
hidup. Mengenai ini terdapat perbedaan fatwa di mana ada yang
mensyaratkan telah terjadinya kematian batang otak sebagai syarat
kebolehan melakukan pelepasan alat penopang hidup, sementara
fatwa lainnya ada yang tidak mensyaratkan hal tersebut.

E. Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


Dalam filsafat kemasyarakatan Islam diajarkan bahwa manusia
adalah makhluk sosial yang hanya dapat hidup dalam kebersamaan
dengan sesamanya. Ibn Khaldūn menegaskan,

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


371

َ َ َ ‫َّ م م م َ َ َّ َ م َ م ُ م ُ ُ م ُ ُ م‬ َ ‫َم م‬
َُ ‫ما ُأ َُر‬
ُ ‫اد ُُه‬
ُ‫للا‬ ُ ‫ج ُو ُد ُه ُم ُو‬
ُ ‫ ُوُِإ َُل ُل ُم ُي ُك ُم ُل ُو‬،‫سا ُِن ُِي‬
ُ ‫لا ُن‬ َُ ‫ما ُُع‬
ُ ِ ‫ض ُُر م ُو ُِريُ ُِل ُلن ُو ِ ُع‬ ُ ‫ج ُِت‬
ُ ‫َا‬
ُِ
ََ ‫َ م َ م‬
ُ.ُ‫عا ُل ِ ُم ُِب ُِه مُم‬
ُ ‫ما ُِر ُال‬
ُ ‫اع ُِت‬
ُ ‫ن‬ ُ ‫ُِم‬
Hidup bermasyarakat itu esensial bagi bangsa manusia, jika tidak, maka
keberadaan mereka tidak akan sempurna dan pembangunan alam melalui
mereka yang dikehendaki Allah tidak akan terwujud.
Oleh karena itu dalam Islam dikembangkan nilai-nilai dasar (1) ta‘āwun
(kerjasama/tolong menolong) dan (2) solidaritas. Hal ini dapat dilihat
dalam firman Allah dan hadis berikut.
َّ ‫َ َ ُ َ م م م‬ َّ ‫َو َت َع َاو ُنوا َع َلى مالبر َو‬
‫الت مق َوى َوَل ت َع َاونوا َعلى ِلاث ِم َوال ُع مد َو ِان َو َّات ُقوا الل َه ِإ َّن‬ ِِ
‫م‬ َ َّ
ُ.]2ُ:)5( ‫ابُ[اْلآئدة‬ ُ ِ ‫الل َه ش ِد ُيد ال ِع َق‬
Tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong
menolong dalam dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Berat siksaan-Nya [Q.S. al-Māidah (5): 2].
َ َّ َ ُ َّ َ َ ‫ال َق‬
َ ‫الن مع َمان مبن َب ِشير َق‬ ُّ ‫َعن‬
‫للا َعل مي ِه َو َسل َم َمث ُل‬ ‫صلى‬ ُِ ‫ال َر ُسو ُل‬
‫للا‬ ٍّ ِ ِ ِ‫م‬
‫ََ م َََ ُ م ََ َ ُ م ََ ُ م َ َ َ م‬
ُ‫اش َت َكى م منه‬ َ ‫م‬ ُ
ِ ‫اْلؤ ِم ِنين ِفى تو ِاد ِهم وتراح ِم ِهم وتعاط ِف ِهم مثل الجس ِد ِإذا‬
‫م‬ َّ ‫ض ٌو َت َد َاعى َل ُه َسا ِئ ُر مال َج َس ِد ب‬
ُ.]‫الس َه ِر َوال ُُح َّمى [رواه مسلم‬ ‫ُع م‬
ِ
Dari al-Nu‘mān ibn Basyīr (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap saling
mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada
salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut
merasakan sakitnya baik terjaga (tidak bisa tidur) dan demam [H.R.
Muslim].35
‫م‬ ُ‫م‬ َ ‫للا َع َل مي ِه َو َس َّل َم َق‬
‫ال ِإ َّن اْل مؤ ِم َن ِلل ُم مؤ ِم ِن‬ ُ ‫ص َّلى‬
َ ‫النبى‬ َّ ‫وس ى َعن‬ َ ‫َع من َأ ُبى ُم‬
ِِ ِ ِ ‫َ م‬
‫ا‬ ‫م‬ َ ُ ُ ‫م‬ َ ُّ ُ َ ‫م‬
. ]‫ي‬
ُ ‫البخار‬
ُ ‫كال ُبن َي ِان يشد بعضه بعضا [رواه‬
Dari Abū Mūsā, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda:
Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah

35
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, V: 2238, hadis nomor 5665; Muslim, Ṣaḥīḥ
Muslim, II: 526, hadis nomor 2586.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


372

bangunan yang satu dengan lainnya saling menguatkan [H.R. al-


Bukhārī].36
ُ َ َ َ َ َ َّ َ َ ‫َ م َ َ َ َّ َ َّ َّ ُ َ َ م‬
‫ال َل ُي مؤ ِم ُن أ َح ُدك مم َح َّتى ُي ِح َّب‬
ُ ‫س ع ِن الن ِب ِي صلى الله علي ِه وسلم ق‬ ُ ٍّ ‫عن أن‬
َ
ُ]‫أل ِخ ِيه َما ُي ِح ُّب ِل َن مف ِس ِه [رواه الترمذي‬
Dari Anas, dari Nabi saw [diriwayatkan bahwa] beliau bersabda: Tidak
beriman seseorang kamu sebelum ia mencintai untuk saudaranya apa
yang ia cintai untuk dirinya [H.R. al-Tirmiżī].37
Ajaran Islam yang menekankan arti sosialitas manusia ini bertolak
belakang dengan filsafat modern yang menekankan individualisme, yang
berarti bahwa manusia harus hidup di atas kaki sendiri, dan tidak
bergantung kepada orang lain. Ini didukung oleh filsafat sosial Darwin
yang berbasis pada, “Kelangsungan hidup (hanya) bagi yang mampu
menyesuaikan diri terhadap seleksi alam.” Dalam kaitan ini yang lemah
dan tidak mampu menghadapi seleksi alam harus menyingkir dari
kehidupan dunia. Dalam konteks ini muncul faham bahwa orang yang
produktif harus dibebaskan dari beban kaum tidak produktif. Untuk itu
dimunculkan satu etika bahwa bunuh diri bagi kaum tidak produktif
adalah suatu kemuliaan dan merupakan mati bermartabat (death with
dignity).38 Hidup bergantung kepada belas kasih masyarakat adalah suatu
kehinaan. Perasaan ini mendorong maraknya praktik terminasi hidup
dengan fasilitas medis di dunia Barat.39
Seperti dikemukakan terdahulu, terminasi hidup semula
dipraktikkan terbatas bagi mereka yang mengalami sakit terminal dan tak
tertahankan, lalu kemudian berkembang meliputi berbakai tingkat sakit,
36
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, II: 863, hadis nomor 2314; Muslim, Ṣaḥīḥ
Muslim, II: 525, hadis nomor 2585.
37
Al-Tirmiżī, al-Jāmi‘ al-Kabīr (Sunan al-Tirmiẓī), diedit oleh Basysyār ‘Awād
Ma‘rūf (Beirut: Dār al-Garb al-Islāmī, 1996 M), IV: 248, hadis nomor 2515.
38
Gent, “The Lethal Corruption of Euthanasia,” Quadrant, Vol. 63: 7/8 (Jul-Aug
2019), h. 91.
39
Burgess, “Can I Know That My Time Has Come? Euthanasia and Assisted
Suicide,” Theology Today, Vol. 51: 2 (1994), h. 212.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


373

bahkan terhadap mereka yang tidak sakit, tetapi menderita rasa


kesendirian dan kehilangan makna hidup.
Bagi mereka yang menentang terminasi hidup, eutanasia dan bunuh
diri dengan fasilitas medis, bukanlah jalan yang tepat untuk dipilih.
Praktik ini berentangan dengan fundasi etika profesi kedokteran. Dalam
deklarasi Vatikan, 28 Oktober 2019, dinyatakan, “eutanasia dan bunuh
diri dengan fasilitas medis secara fundamental bertentangan dengan nilai
hidup manusia yang tidak dapat diubah, dan karena itu, secara inheren
dan konsekuensinya, perbuatan tersebut adalah keliru secara moral dan
agama, serta harus dilarang tanpa perkecualian apa pun.”40 Tugas pokok
penyedia layanan kesehatan adalah mengupayakan penyembuhan yang
maksimal dan memberikan perawatan yang komprehensif terhadap
pasien, termasuk pasien terminal, dan bukan mengakhiri hidupnya.
“Perawatan yang layak bagi pasien muḥtaḍar (dying patient) tidak sama
dengan membantu mereka bunuh diri.”41 Oleh karena itu perawatan
paliatif dan hospis adalah pilihan yang rasional dan sejalan dengan
fundasi etika profesi kedokteran.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan perawatan
paliatif (palliative care) sebagai suatu pendekatan yang bertujuan
meningkatkan kualitas hidup para pasien dan keluarga mereka yang
menghadapi problem-problem terkait penyakit yang mengancam hidup,
melalui pencegahan dan penghilangan penderitaan dengan cara
identifikasi dini dan pemeriksaan yang layak dan penanganan rasa sakit
dan problem lain baik fisik, psikososial, maupun spiritual.42 Sedangkan

40
“A Position Paper of the Abrahamic Monotheistic Religions on Matters
Concerning the End-Of-Life,” dokumen deklarasi yang ditandatangani di Vatikan, Senin,
28 Oktober 2019, h. 4.
41
Kenney dan Schneiderman, “Assisted Suicide, Euthanasia or Better End-of-
Life Care?”, h. 9.
42
Lima, dkk., “International Association for Hospice and Palliative Care Position
Statement: Euthanasia and Physician-Assisted Suicide,” Journal of Palliative Medicine,
Vol. 20: 1 (Number, 2017), h. 12.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


374

perawatan hospis dibatasi pada pasien terminal yang divonis hidupnya


tersisa maksimal enam bulan lagi dan tidak diberi tindakan menggunakan
penopang hidup serta obat yang terbukti sudah tidak bermanfaat lagi,
namun diberi obat peredam rasa sakit serta perawatan komprehensif yang
memberi dukungan moral, sosial, psikologis, dan spiritual baginya dan
keluarganya.43
Dalam Islam terdapat ayat dan hadis-hadis, sebagaimana telah
dikutip di atas, yang memuat nilai dasar tolong menolong dan solidaritas
yang dapat menjadi landasan pengembangan masyarakat perawat,
penyantun, dan pembawa rahmat. Ayat dan hadis-hadis tersebut
mengajarkan adanya nilai solidaritas sosial yang dari padanya dapat
dirumuskan asas bahwa perawatan dan penyantunan orang sakit
merupakan kewajiban bersama secara fardu kifayah, selain dari kewajiban
keluarga bersangkutan.
Khusus mengenai penyantunan orang sakit, perlu dicermati maqāsid
dari hadis-hadis berikut, yaitu:
َّ َ َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ ُ ‫َ م َ ُ َ َ َ َّ ُ َ م‬
‫صلى الل ُه َعل مي ِه َو َسل َم‬ ‫عن أ ِبي موس ى ر ِض ي الله عنه قال قال رسول الل ِه‬
َ ‫ُ ُّ م َ َ َ م م‬
ُ ‫ْلاس َير َو َأ مطع ُموا مال َجائ َع َو ُع‬
َ ‫ودوا ماْلَر‬
ُ.]ُ‫يض [رواه البخاري‬ ِ ِ ِ ِ ‫فكوا العا ِني يع ِني‬
Dari Abū Mūsā r.a. [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: Bebaskanlah tawanan, beri makanlah orang lapar, dan
besuklah orang sakit.”44
Berdekatan dengan hadis Abū Mūsa di atas adalah hadis Nabi saw Abū
Hurairah dan hadis Ṡaubān,
َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ‫َ م َ ُ َ م‬
‫الل ُه َع َل ميه َو َس َّل َُم َم من َع َاد َمر ا‬
‫يضا‬ ِ ِ ‫عن أ ِبي هرير ُة قال قال رسول الل ُِه صلى‬
‫م ا‬ ‫م‬ ‫م‬ َ َ َ ‫م َ َ َ َ َم‬ َّ ‫َن َادى ُم َن ٍّاد م من‬
ُ‫ َوت َب َّوأ َت ِم من ال َج َّن ِة َمن ِز َُل‬،‫اك‬ ‫اءُ ِطبت وطاب ممش‬ ُِ ‫الس َم‬ ِ
43
National Institute on Aging, “End of Life: What Are Palliative Care and
Hospice Care?” https://www.nia.nih.gov/health/what-are-palliative-care-and-hospice-
care , diakses 25 Januari 2020.
44
Ibid., III: 1109, hadis nomor 2881.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


375

ُ.]‫[رواه ابن ماجه‬


Dari Abū Hurairah [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: Barangsiapa membesuk orang sakit, maka akan ada seorang
penyeru (malaikat) yang berseru dari langit, Engkau adalah orang baik,
dan baik pula jalanmu, dan engkau telah membangun mahligai di dalam
surga [H.R. Ibnu Mājah].45
ُ ‫ص َّلى‬
‫للا‬ َ ‫للا َع َل ميه َو َس َّل َُم َع من َر ُسول للا‬ َ ‫ان َم مو َلى َر ُسول للا‬
ُ ‫ص َّلى‬ َ ‫َع من َث مو َب‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َّ َّ ‫م‬ َ ُ َ َ ‫َع َل مي ِه َو َس َّل َم َق‬
‫ال َم من َع َاد َم ِريضا ل مم َيزل ِفي خ مرف ِة الجن ُِة حتى َي مر ِج َع [رواه‬
َ َ ‫م‬ َ ‫ا‬
ُ.]‫مسلم‬
Dari Ṡaubān, maula Rasulullah saw, dari Rasululah saw [diriwayatkan
bahwa] ia bersabda: Barangsiapa membesuk orang sakit, maka ia
berada di taman surga hingga ia pulang [H.R. Muslim].46
Al-Bagawī (w. 516/1122) menjelaskan maksudnya perbuatan membesuk
orang sakit akan mendapatkan balasan berupa syurga.47
Perintah dan anjuran membesuk orang sakit dalam hadis-hadis di
atas tidak harus dipahami secara harfiah, tetapi dapat diperluas maknanya
dengan berdasarkan mafhūm al-aulā bahwa apabila suatu perbuatan baik
yang kecil dihargai, tentu perbuatan baik yang lebih besar tentu akan
lebih dihargai lagi. Dari hadis itu harus dipahami bahwa hadis-hadis
tersebut tentu tidak hanya menganjurkan sekedar menjenguk orang sakit
sebagai basa-basi belaka atau menunjukkan empati sesaat. Tetapi lebih
dari itu bagaimana membangkitkan kesadaran perlunya memperhatikan
dan memberi bantuan kepada orang sakit secara moril dan materiil.
Apabila dikaitkan dengan hadis-hadis solidaritas, hadis-hadis menjenguk
orang sakit di atas dapat dijadikan dasar untuk mencirikan masyarakat
45
Al-Albānī, Ṣaḥīḥ Ibn Mājah (Riyad: Maktabat al-Maʻārif li al-Nasyr wa al-
Tauzī,” 1417/1997), II: 6, hadis nonor 1192.
46
Aḥmad Ibn Ḥanbal, Musnad al-Imām Aḥmad Ibn Ḥanbal, II: 365, hadis nomor
1166; XXXVII: 73, hadis nomor 22389; dan XXXVII: 101-102, hadis nomor 22421.
47
Al-Bagawī, Syarḥ al-Sunnah, diedit oleh Syuʻaib al-Arna’ūṭ dan Muḥammad
Zuhair al-Syāwīsy (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1403/1983), V: 218, hadis nomor 1410.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


376

Muslim yang sebenar-benarnya sebagai masyarakat perawat (masyarakat


yang memberikan dan mementingkan perawatan) dan penyantun
(masyarakat yang memberikan satunan kepada kaum senior) yang
memandang upaya penyembuhan dan perawatan sebagai suatu tanggung
jawab sosial bersama yang didasarkan kepada kesadaran kemanusiaan
dan tidak semata sebagai hubungan transaksional materiil belaka.
Penyembuhan dan perawatan dalam konsepsi ini tidak hanya sekedar
tindakan tehnis medikasi belaka, tetapi juga bersifat komprehensif
meliputi pemberian dukungan moril, sosial, spriritual dan finansial
kepada pasien, terutama dalam kondisi terminal, dan terhadap
keluarganya. Dari sinilah dapat ditarik pandangan tentang pentingnya
perawatan paliatif dan hospis yang komprehensif dalam sudut pandang
Islam. Atas dasar itu, maka institusi Muslim dan organisasi sosial Islam
yang menyediakan layanan kesehatan dan sosial harus bergerak lebih
maju dalam arah ini dengan menyediakan tenaga profesional yang handal
dan sumber dana pendukung yang memadai. Dalam konteks ini apabila
ada pasien terlantar di sebuah rumah sakit Islam karena tidak mampu
membayar administrasi, dan juga apabila ada pasien terminal diisolasi dan
dibiarkan di ruang isolasi untuk menunggu ajalnya tanpa mendapatkan
santunan psiko-sosial dan spiritual yang maksimal, maka kondisi ini
sangat bertentangan dengan prinsip masyarakat perawat, penyantun, dan
pembawa rahmat yang merupakan pesan etis utama Islam.
Dari data praktik eutanasia, tidak semua mereka yang meminta
eutanasia atau bantuan bunuh diri dilatarbelakangi oleh sakit terminal
yang tidak memiliki kemungkinan untuk pulih kembali, tetapi juga karena
faktor kesepian (loneliness) dan kehilangan makna dan arti hidup. Oleh
karena itu dalam masyarakat perawat, penyantun, dan pembawa rahmat,
perawatan tidak hanya sekedar merawat orang sakit, tetapi juga merawat
dan menyantuni kaum senior (lanjut usia) dengan memberikan dukungan
moril, psiko-sosiologis, spriritual dan finansial sebagai tanggung jawab
etis yang inheren dalam hidup manusia sebagai makhluk sosial.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


377

Dalam ajaran Islam terdapat sejumlah perintah memperhatikan


orang lanjut usia, terutama yang rentan karena faktor usia. Dalam Q.S. al-
Isrā‘ (17): 23-24 terdapat perintah yang mengharuskan memuliakan orang
tua sedemikian rupa. Dalam hadisnya Nabi saw bersabda,
َ َ ‫َ َ َّ ُّ َ َّ َّ ُ َ َ م َ َ َّ َ َ م َ َّ َ م َ م َ م َ م‬
‫ص ِغ َيرنا َو ُي َو ِق مر‬ ‫ُليس ِمنا من لم يرحم‬:‫قال الن ِبي صلى الله علي ِه وسل ُم‬
َ َ
ُ.]‫ك ِب َيرنا [رواه الترمذي والبخاري في ْلادب اْلفرد‬
Tidak termasuk umat kami orang yang tidak mengasihi anak kami dan
tidak memuliakan orang lanjut usia kami [H.R. al-Tirmiżī dan al-Bukhārī
dalam al-Adab al-Mufrad].48
“Memuliakan” dalam hadis ini diungkapkan dengan kata yuwaqqir
yang berarti mengagungkan, menghormati, memuliakan. Kata ini satu
akar kata dengan al-wiqr, yang berarti beban berat yang dipikul di atas
pinggung.49 Jadi salah satu dimensi dalam jaringan makna yuwaqqir
adalah memikul beban. Orang yang tidak memuliakan orang lanjut usia
berarti enggan memikul beban mereka. Dengan demikian hadis ini
bertentangan dengan alam pikiran pendukung eutanasia yang
menghendaki pembebasan kaum produktif dari memikul beban kaum
tidak produktif (seperti orang lanjut usia) dan menganjurkan mereka ini
untuk merasa berkewajiban melakukan bunuh diri sebagai suatu tindakan
yang bermartabat.50 Pandangan ini jelas berseberangan dengan ajaran
Islam yang mewajibkan secara kifayah untuk memuliakan orang senior
(lanjut usia).
Dalam konteks Indonesia, pengembangan kesadaran arti penting
masyarakat, perawat dan penyantun terkait dengan data statistik penduduk

48
Al-Tirmiżī, al-Jāmi‘ al-Kabīr (Sunan al-Tirmiẓī), III: 385, hadis nomor 1919;
dan al-Bukhārī, Kitāb al-Adab al-Mufrad, diedit oleh Samīr Ibn Amīn al-Zuhairī
(Riyad : Maktabat al-Maʻārif li al-Nasyr wa al-Tauzīʻ, 1419/1998), h. 185, hadis nomor
358.
49
Al-Azharī, Tahżīb al-Lugah, diedit oleh ‘Abd al-Salām Muḥammad Hārūn dkk
(Mesir: al-Dār al-Miṣriyyah li al-Ta’līf wa al-Tajamah, t.t.), IX: 280.
50
Lihat catatan kaki nomor 8 di muka.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


378

lansia Indonesia (berusia 60 tahun ke atas) menjadi amat penting. Jumlah


lansia Indonesia menurut statistik 2019 mencapai 9,6 % atau 25,64 juta
orang. Dengan demikian Indonesia mendekati status negara dengan
penduduk tua apabila jumlah lansia mencapai 10 %. Selama setengah
abad terakhir jumlah lansia Indonesia meningkat dua kali lipat. Hal itu
terkait dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya usia harapan
hidup yang antara lain dikarenakan oleh kesejahteraan yang kian
meningkat pula. Dari 25,64 juta lansia itu terdapat 8,50 % (2.179.400)
merupakan lansia tua (berusia 80 tahun ke atas).51 Pengembangan
kesadaran menjadi masyarakat perawat dan penyantun (masyarakat yang
menyantuni) sebagaimana dikehendaki oleh ajaran Islam sesuai pula
dengan Pancasila, khususnya sila pertama. Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa mengharuskan pemenuhan kebutuhan spiritual kaum lansia. Sila
kedua mengharuskan perlakuan yang beradab dan berperikemanusiaan
terhadap mereka (bukan mendorong mereka untuk bunuh diri agar tidak
membebani generasi produktif seperti dalam pikiran masyarakat Barat).
Sila kelima menghendaki perlakuan sosial yang adil terhadap mereka
sebagai segmen masyarakat yang juga berhak atas kebahagiaan dan yang
wajib disediakan oleh masyarakat perawat dan penyantun di bawah
pengayoman negara.

F. Kesimpulan dan Saran


Dari apa yang dikemukakan di atas dapat ditarik beberapa hal
penting sebagai pesan utama risalah ini:
1. Terminasi hidup adalah perbuatan mengakhiri atau menyebabkan
berakhirnya hidup pasien yang dilakukan oleh dokter sendiri atau
oleh pasien di bawah bantuan dokter dengan sengaja dan dikehendaki
akibatnya atas dasar belas kasih guna membebaskannya dari
penderitaan.

51
Susilo dkk., (ed.), Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019 (Jakarta: Badan Pusat
Statistik Indonesia, 2019), h. 12-13.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


379

2. Terminasi hidup sebagaimana didefinisikan terdahulu dilarang


menurut ketentuan hukum syariah karena:
a. Bertentangan dengan dengan nilai-nilai dasar agama Islam yang
berbasis iman kepada Allah dan termasuk ke dalamnya adalah
iman bahwa yang menciptakan mati dan hidup itu adalah Allah
bahwa kita manusia adalah milik Allah karena itu manusia tidak
berhak mengakhiri hidupnya atas kehendaknya sendiri dan atas
kehendak orang lain.
b. Bertentangan dengan asas yang melarang membunuh jiwa yang
diharamkan Allah membunuhnya kecuali karena alasan yang hak,
dan terminasi hidup tidak termasuk ke dalam alasan yang hak itu.
c. Bertentangan dengan hukum far‘ī syariah yang menyatakan
larangan bunuh diri secara umum atau mengakhiri hidup karena
derita atau sakit yang menimpa seseorang secara khusus
sebagaimana dikutip di atas.
3. Tidak termasuk ke dalam kategori terminasi hidup dengan fasilitas
medis adalah:
a. Tidak menerapkan sarana pengobatan yang tersedia secara
maksimal atas penilaian bahwa penerapannya tidak akan memberi
efek dan pengaruh apa-apa bagi kondisi kesehatan pasien yang
tidak mungkin lagi disembuhkan karena tindakan tersebut dapat
membawa kepada mubazir terutama apabila penggunaan sarana
bersangkutan mahal dan juga akan membebani pasien atau
keluarganya dengan beban yang sesungguhnya tidak perlu.
b. Memberikan pengobatan dengan dosis lebih tinggi yang
mempunyai efek ganda. Di satu sisi pengobatan itu sangat perlu
bagi pasien untuk meringankan rasa sakit tak tertahankan yang
dideritanya, seperti memberikan morfin atau sejenisnya, dan di sisi
lain memberi efek negatif kepada pasien antara lain kemungkinan
berakibat mengurangi umurnya.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


380

c. Tidak melanjutkan proses pengobatan yang sedang berlangsung


karena berdasarkan pertimbangan tim dokter ahli pengobatan itu
tidak lagi efektif dan tidak memberi pengaruh apa-apa bagi
kondisi kesehatan pasien, karena hal itu dapat mengarah kepada
perbuatan mubazir serta membebani keluarga secara tidak perlu.
Termasuk ke dalam kategori ini adalah melepaskan alat penopang
hidup. Mengenai ini terdapat perbedaan fatwa di mana ada yang
mensyaratkan telah terjadinya kematian batang otak sebagai syarat
kebolehan melakukan pelepasan alat penopang hidup, sementara
fatwa lainnya ada yang tidak mensyaratkan hal tersebut.
4. Islam mempromosikan masyarakat perawat, penyantun, dan
pembawa rahmat yang mewajibkan upaya penyembuhan yang
maksimal, perawatan yang komprehensif, dan penyantunan yang
manusiawi sebagai bagian dari perwujudan tanggung jawab etis yang
inheren dalam jati diri manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai
penanda masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
5. Perlu mendorong lebih laju pengembangan sistem perawatan paliatif
dan hospis yang komprehensif yang tidak hanya berwujud pemberian
tindakan tehnis medikasi belaka, tetapi juga mencakup peningkatan
kualitas hidup, dalam usia yang tersisa, dengan upaya pemberian
dukungan moril, psiko-sosiologis, spiritual dan finansial kepada
pasien, khususnya dengan penyakit berat dan terminal, serta kepada
keluarga yang menghadapi musibah tersebut.
6. Perlu maksimalisasi pelayanan kaum lanjut usia, khususnya yang
rentan (vulnerable persons) karena faktor usia yang menghilangkan
sejumlah kemampuan fisik dan mental, agar mereka dapat menjalani
hidup mereka tetap mulia dan secara bermartabat sebagai pengamalan
hadis “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak mengasihi
anak-anak dan tidak memuliakan orang senior.”
7. Perlunya menanamkan kesadaran lebih dalam dalam masyarakat
terhadap pentingnya memperhatikan perawatan dan penyantunan

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


381

bagi orang-orang rentan (vulnerable persons) sebagai bagian dari


ajaran al-Mā‘ūn seperti ditegaskan dalam surah al-Mā‘ūn, dan
konsekuensinya perlu meningkatkan pendanaan sosial melalui zakat,
infak, sedekah, dan wakaf dan peningkatan efektifitas penggunaan
dana-dana sosial umat.

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior


382

Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior

Anda mungkin juga menyukai