Anda di halaman 1dari 16

PROKLAMASI NII: TAFSIR UMMUL KITAAB

Dalam kalangan umat Islam, insya Allah istilah Ummul Kitaab tidak asing dalam kepala mereka, terlebih
dalam kalangan Ulil Albab (pemikir Islam)-nya. Akan tetapi, mungkin dianggap "aneh" bila tafsirUmmul
Kitaab dalam konteks Indonesia adalah proklamasi NII (Negara Islam Indonesia) yang telah diaplikasikan
oleh para pejuang Islam pada masa lampau. Dari penelusuran dan penelitian dokumen-dokumen primer
dan referensi-referensi pergerakan NII, cukup memberikan penerangan dan penjelasan bahwa
Proklamasi NII merupakan penafsiran dan sekalligus pengejawantahan dari ummul kitaab. Penafsiran
Suratul Fatihah dalam perspektif aqidah, ibadah dan mu'amalah serta dalam perspektif politik (Syiasyah)
dalam kitabnya Abdullah Abu Hanifah,[1] kemudian korelasinya dengan Proklamasi NII, dapat
disimpulkan bahwa proklamasi NII merupakan tafsir dan sekaligus merupakan aplikasi (pembuktian)
suratul fatihah sebagai wasilah bagi menegakan hukum Islam secara kaaffah di Indonesia.[2]

A. Proklamasi NII: Tafsir Aplikatif Suratul Fatihah

Misi suci dan tugas ilahi umat Islam di masa generasi awal dalam upaya menegakan negara Islam di
Indonesia telah sampai kepada realisasi mabda (prinsip) dan manhaj (sistem) negara yang sempurna.
Mabda (prinsip) NKA-NII tertuang dalam proklamasi Negara Islam Indonesia secara universal, yang
dikumandangkan pada hari Ahad, tanggal 12 Syawal 1368 H bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1949
M.[3] Dan de facto, dengan ditandai berjalannya roda pemerintahan Negara Islam Indonesia sesuai
Qanun Azasi (Undang-undang Dasar) sebagai manhaj-nya selama kurang lebih 13 tahun, walaupun sifat
berdaulat dan de facto-nya masih dalam tataran terminologi berdaulat dan de facto kedalam.

Beberapa hal penting yang terangkum dalam teks proklamasi Negara Islam Indonesia, patut dicermati,
difahami, dan diaqidahi; pertama, teks proklamasi itu diawali dengan basmalah dan dirangkai dengan
syahadatain; kedua; isi proklamasi menyatakan tiga hal mendasar, yaitu: 1) bahwa yang menyatakan
berdirinya Negara Islam Indonesia adalah Umat Islam Bangsa Indonesia; 2) Negara yang didirikan oleh
Umat Islam Bangsa Indonesia adalah Negara Islam Indonesia; dan 3) Hukum yang berlaku dalam Negara
Islam Indonesia adalah hukum Islam.; kemudian hal penting yang ketiga, ditutup dengan kalimat takbir
sebanyak tiga kali; keempat, orang yang diberi tanggung jawab dan diamanati untuk mengatasnamakan
Umat Islam Bangsa Indonesia memiliki kapasitas dan legalitas hukum sebagai Imam Negara Islam
Indonesia; dan kelima, wilayah yang diklaim dalam proklamasi tersebut adalah meliputi seluruh
Indonesia berikut dengan tarikh proklamasi yang terang dan jelas.[4] Kemudian bagian-bagian dari
proklamasi NII itu, secara general diklasifikasikan menjadi empat hal, yaitu bagian pembukaan; bagian is;
bagian penutup; dan bagian wilayah yang diklaim serta bagian pemimpin yang bertanggung jawab
(proklamator).

1) Korelasi Bagian Pembuka Proklamasi NII Dengan Tafsir Basmalah

Basmalah yang dinukilkan dalam teks proklamasi Negara Islam Indonesia sebagai preambule proklamasi
NII,[5] bukan sesuatu yang bersifat kebetulan, atau sesuatu yang tidak di sengaja, atau hanya sekedar
untuk menampilkan kesan, juga bukan sesuatu yang tidak mengandung makna dan pengertian. Akan
tetapi mencantumkan kalimat basmalah dalam proklamasi Negara Islam Indonesia merupakan sebuah
manifestasi dari perintah Allah dan Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana hadits yang akan
dinukilkan di bawah. Melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya, sifat
hukumnya adalah wajib,[6]dan konsekwensi hukum bagi yang tidak melaksanakan perintah Allah dan
Rasul-Nya, distatuskan Allah SWT sebagai dhalimun, fasikun atau kafirun.[7] Oleh karena demikian, maka
secara umum telah mengandung esensi bahwa Negara Islam Indonesia, mabda (prinsip)-nya adalah
ajaran Allah, yakni Islam. Sudah mashur dalam kalangan Islam, apabila hendak melakukan sesuatu
perbuatan (gerak) yang penting harus diawali dengan basmalah, sehingga segala sesuatu yang
dikerjakan oleh umat Islam berharap mendapatkanbarakatuminallah (berkah dari Allah). Muhammad
Rasullullah bersabda;

Setiap perkara yang penting yang tidak dimulai (dimulai) dengan bismillaahirrahmaanirrahiim adalah
terputus (tertolak).[8]

Sesuai dengan zahirnya, hadits tersebut menyatakan bahwa sesuatu urusan yang penting tidak mulai
dengan basmalah maka urusan yang penting itu ditolak Allah. Dalam hal ini bila dikiaskan kepada
wajibnya membaca basmalah ketika akan menyembelih hewan, konsekwensi hukumnya adalah
jatuhnya status hukum terhadap hewan tersebut, yakni hewan yang sudah dipotong itu berstatus halal
atau haram. Jika hewan tersebut dipotong tanpa dengan basmalah, maka daging hewan tersebut
berstatus haram dan insya Allah daging hewan yang dikonsumsi itu tidak akan memberikan barakah bagi
yang mengkonsumsinya. Dan wajib bagi seorang mukmin untuk meninggalkan apa yang telah
diharamkan Allah. kemudian jika hewan tersebut dipotong dengan di awali basmalah maka daging
hewan itu mempunyai status atau nilai halal (diterima) di mata Allah. Bila perihal halal dan haram itu
dikiaskan kepada halalnya wanita digauli oleh seorang laki-laki, setelah si wanita dan si lak-laki tersebut
memenuhi perintah Allah terlebih dahulu, yakni munakahat maka pergaulannya (hubungan seks dan
lainnya) adalah halal. Kemudian, jika hubungan pergaulan laki-laki dan wanita tidak dengan munakahat,
maka hubungan sexs mereka adalah haram, status hukumnya bagi mereka adalah zinah.[9] Dengan dua
analogi tersebut, maka perintahnya wajib untuk memulai sesuatu yang penting itu
dengan basmalah sehingga sesuatu urusan itu memiliki nilai halal, yakni diterimanya urusan itu karena
Allah.[10]

Urusan mendirikan sebuah negara Islam sebagai wasilah bagi tegaknya hukum dan dienul Islam
dipermukaan bumi tentunya sangat penting. Oleh karena di dalam teks proklamasi Negara Islam
Indonesia diawali dengan basmalah, maka legalisasi dari Allah atas Negara Islam Indonesia
keberadaannya adalah halal. Inilah manifestasi dari sebuah harapan bahwa berdirinya Negara Islam
Indonesai diterima Allah dan mendapat ridha-Nya. Mengawali sesuatu yang penting
dengan basmalah adalah mengandung faedah-faedah yang sangat banyak, selain nilai dan status halal,
setidaknya; pertama, tabarakallah _mengharap barakah dari Allah dengan menyebut nama-Nya; kedua,
sebagai manifestasi dalam mengagungkan Allah Ajja wa Jalla yang melekat kepada-Nya asmaul
husna; ketiga, juga sebagai manifestasi dari pengusiran syaithan laknatullah(dengan kata lain) _sebagai
pemberitahuan kepada khalayak bahwa Negara Islam Indonesia tidak dapat dikelola oleh manusia-
manusia yang berjiwa iblis_ jika ada, ia akan terlempar dengan sendirinya, karena negara Islam dan
umatnya telah mendapat suaka (perlindungan) secara khusus dari Allah; keempat, denganbasmalah di
awal pendirian negara adalah sebagai pembeda dengan negara kaum musyrikin (Republik Indonesia). Di
mana kebiasaan-kebiasaan orang-orang musyrik dalam membuka sesuatu urusan mereka senantiasa
menyebut berhala-berhala mereka. Dalam konteks Indonesia, lihatlah para pejabat republik kalau mau
meresmikan sesuatu yang akan diresmikan, mereka menandainya dengan memukul Gong. Atau sering
juga terungkap kalimat dalam membuka sesuatu, mereka mengatakan "Dengan rahmat tuhan yang
maha esa". Tuhan yang mana? Entahlah! Ga jelas, karena rakyat Republik Indonesia banyak tuhan
(berhala) nya;kelima, juga sebagai ikrar _refleksi_ dari keyakinan akan ketauhidan Allah Azza wa Jalla;
dan keenam, sebagai jaminan bagi orang-orang yang merasa takut akan ancaman syaithan. Dengan
demikian dijamin, bahwa di dalam Negara Islam Indonesia akan dan senantiasa berlaku hukum Islam
yang adil yang tidak akan pernah bertentangan dengan HAM (dengan Hak Asasi Manusia), kecuali HAM-
nya ciptaan Amerika dan para pengikutnya.[11]

Adalah sebuah kemustahilan bila tanpa basmalah, Negara Islam Indonesia akan menjadi sebuah negara
yang tergolong kepada baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur _Negara yang baik dan penuh
maghfirah-Nya".[12] Oleh karena adanya harapan sesuai dengan nas tersebut, yakni Negara Islam
Indonesia menjadi sebuah baldah thayyibah, maka diawalinya proklamasi dengan basmalah bukan
hanya semata-mata huluk dalam Islam _dalam arti hanya sekedar untuk menampilkan identitas atau
kesan islami_, akan tetapi hal itu merupakan manifestasi dari penerapan syariah. Para ahli tafsir
menjelaskan, bahwa segala sesuatu urusan yang penting harus di awali dengan basmalah karena
berharap adanya barakah dari Allah akan tiap-tiap urusan yang penting itu. Penyebutan
"bismillahirrahmaanirrahiim" itu menunjukkan maksud tabaruk(permohonan barokah) dan permohonan
perlindungan dengan menyebut nama-Nya.[13] Perihal keluasan makna dan pemahaman akan
pentingnya basmalah serta hukumnya, silahkan para pembaca menelaah kitab-kitab tafsir. Demikianlah
peletakan batu pertama (fondasi) Negara Islam Indonesia yang paling hakiki, insya Allah Negara Islam
Indonesia akan berwujud sebagai bangunan yang penuh barakah dan maghfirah. Gambaran baldah
tayyibah yang penuh barakah, Allah swt menjelaskan dalam firman-Nya; "Dan negara yang baik,
tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-
tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi
orang-orang yang bersyukur".[14] Dalam perspektif politik, ayat tersebut menerangkan bahwa negara
yang baik itu adalah rakyatnya produktif, tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi fitrahnya. Dan
negaranya sebagai wadah rakyatnya adalah tergolong sebagai negara kaya.

Republik Indonesia merupakan gambaran nyata dari sebuah negara yang pondasinya tanpa basmalah.
Yang dengan demikian memang pada awalnya tidak pernah meminta barakah kepada Allah dan
memang bukan negara Islam. Spirit dan motivasi yang melatarbelakangi para pendirinya, dalam hati
mereka penuh dengan ambisi kekuasaan, dan jiwa mereka telah terhiasi dengan segala sesuatu yang
bersifat duniawi. Dalam bahasa yang sederhana mereka hanya terobsesi oleh harta, tahta dan wanita.
Pada masa sekarang, Argumen "demi bangsa, demi rakyat, demi keamanan, demi kehormatan, demi
kesejahteraan, demi pertahanan, demi kebebasan, demi menjunjung tinggi HAM, demi hukum, dan
demi-demi lainnya hanya menghiasai bibir _lipstick_ para politisi dan birokrat tanpa memiliki kapasitas,
kafabilitas, integritas, dan etika sebagai negarawan. Argumen mereka hanya semata-mata untuk
mendapat dukungan dan legitimasi dengan mengabui mata rakyatnya dengan sedikit recehan. Oleh
karenanya sangatlah tidak mungkin _siapapun presidennya, siapapun yang memimpin pemerintahan
atau yang mengelola negara, Indonesia tidak akan pernah menjadi sebuah negara dalam
format baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur. Selamanya negara Republik Indonesia itu akan
senantiasa sebagai negara miskin, sebagai negara yang lemah, sebagai negara yang penuh dengan intrik-
intrik kolusi, nepotisme dan korupsi. Kriminalitas, seks bebas (perzinahan), narkoba, dan berbagai
macam penyakit sosial dan penyakit medis akan senantiasa menjangkiti negara Republik Indonesia.
Kenyataan itu merupakan penjelasan dari ayat tersebut di atas, bahwa negara yang tidak baik _"negara
yang kelahirannya hasil lacur bersama Jepang dan Belanda"_ rakyatnya berusaha untuk berekonomi
namun merana _illa nakida, karena uang rakyatnya banyak di makan oleh para politisi, birokrat, polisi
dan TNI pun tak ketinggalan, mereka ikut serta membobol duit rakyat, dan hampir keseluruhan mereka
senantiasa mencari-cari peluang untuk mengambil duit rakyatnya. Bahkan yang semula rakyatnya sangat
idealis "anti korupsi, anti nepotisme, anti kolusi, dan anti segala macam", namun ketika ada
kesempatan, mereka pun lupa dengan idealismenya. Sekali lagi perlu dipertegas, selamanya Republik
Indonesia itu tidak akan pernah menjadi negara yang barakah. Solusinya? Fahami dan terimalah apa
yang dimaksud dengan firman-Nya, "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita
gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya; hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung,
kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, maka kami keluarkan
dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah kami membangkitkan orang-orang
yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran".[15]

Masih terkait dan serangkai dengan kalam basmalah bagian pembuka proklamasi NII, dinukilkan
kalamsyahadatain. Dalam perspektif terminologi iman, dapat diasumsikan bahwa basmalah itu
merupakan tasdiq bil qalbi atau aqdun bil qalbi dalam riwayat lain.[16] Dalam perspektif ini,
maka basmalah merupakan pembenaran dalam hati setiap mukmin atas apa yang diyakininya.
Atau basmalah itu merupakan tekad dalam hati setiap mukmin atas apa yang diyakininya. Dengan
bahasa yang lain, kalam basmalah dalam bagian pembuka proklamasi NII itu merupakan niat. Dimana
segala amal itu harus dengan niat, Rasulullah berabda;

"Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat dan untuk setiap orang tergantung kepada apa
yang ia niatkan".[17]

Menurut pendapat para Ulama yang disimpulkan oleh Ibnu Rajab dalam kitabnya, bahwa seluruh amal
perbuatan itu terjadi dengan niat. Lebih lanjut Ibnu Rajab mengklasifikasi pendapat para ulama (salaf),
bahwa pengertian niat itu terklasifikasi kepada dua hal; pertama, untuk membedakan sebagian ibadah
dengan ibadah lainnya, seperti membedakan shalat dzuhur dengan shalat ashar, membedakan shaum
ramadhan dengan shaum lainnya. Atau untuk membedakan ibadah dengan adat kebiasaan; kedua,
untuk membedakan yang menjadi tujuan amal perbuatan. Apakah tujuan amal perbuatan tersebut
untuk Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya ataukah untuk selain Allah. Niat seperti inilah yang
dibicarakan para ulama dalam kitab-kitab mereka tentang ikhlash dan seluk beluknya.[18] Dengan
beberapa dalil sebagaimana terurai di atas, bahwa proklamasi NII dengan tujuan untuk
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia, telah diniatkan atau dicita-citakan secara khusus
oleh para pejuang Islam sejak masih di masa kolonialisasi dan penjajahan Hindia Belanda. Kemudian niat
itu baru terwujud pada masa perang kemerdekaan berlangsung. Dari pengertian-pengertian niat, insya
Allah bahwa dengan basmalah proklamasi NII diniatkan dengan ikhlas (murni) untuk mengagungkan
(membesarkan) Allah (tujuan ini akan dibahas dalam bagian penutup proklamasi _perihal takbir).[19]

Kalam syahadatain dalam perspektif terminologi iman merupakan iqraarun billisaan _di-ikrarkan dengan
lisan. Kalam syahadatain ini merupakan penegasan bahwa proklamasi NII mutlak diniatkan
denganbasmalah karena Allah _lillaahi ta'alaa, tidak karena sesuatu selain dari tujuan itu, yakni demi
tegaknya hukum, kekuasaan dan umat Allah, yakni Islam. pengertian Syahadatain ini terbagi kepada dua
syahadat yakni syahadat bagi Allah dan syahadat bagi Rasulullah. Kalam syahadatillah maupun
kalam syahadatirasulillahdi awali dengan kalam i'tikad yakni "asy-hadu _aku bersaksi".
Kalam i'tikad ini merupakan pernyataan yang sungguh-sungguh bahwa ia bersaksi dengan sebenar-
benarnya, bahwa ia bertekad dengan tekad yang sejujur-jujurnya. Bahwa dengan i'tikad (tekad) yang
teguh ia sanggup menanggung resiko dan konsekwensi dari apa yang ditekadkan. Resiko dan
konsekwensi ber-syahadat itu akan tercermin dari apa yang di i'tikadkan, yakniLaa ilaaha illallah _tidak
ada yang hak diibadati melainkan Allah. Dalam kalam laa ilaaha illallah terdapat dua hal yang di i'tikad-
kan, yaitu; pertama, me-nafi-kan ilah (sesembahan) selain dari Allah; dan kedua, meng-isbath-kan Allah
sebagai ilah yang hak diibadati. Singkatnya dari kalam syahadat itu ada yang ditolak dan ada yang
ditetapkan dalam jiwa setiap mukmin yang mengikrarkannya. Resiko dan konsekwensi dari penolakan
terhadap ilah selain Allah cukup nyata, sebagaimana hal-nya kasus "Bilal bin Rabbah" di masa Rasulullah
yang berusaha mempertahankan syahadatnya, ia harus menerima resiko dan konsekwensi disiksa oleh
majikan (tuan) nya yang tidak suka kalau ia menjadi muslim.[20]

Lebih jauh pengertian kalam syahadat yang wajib diikrarkan oleh setiap mukmin yang akan memasuki
Islam sebagi dien-nya, ada tiga faktor yang harus di-nafi-kan (ditolak) dan ada tiga faktor itu pula yang
harus di-isbath-kan (ditetapkan) sebagai keyakinan dan harus diwujudkan dalam perbuatan. Tiga faktor
itu sebagaimana pengertian ilah dalam kalam laa ilaaha. Dimana kalam ilah mempunyai arti sebagai
sebutan bagi Allah, juga mempunyai arti sesuatu yang disembah-sembah oleh manusia, baik yang
bersifat material maupun sesuatu yang bersifat immaterial. Sebagai misal, ketika "uang" sudah berkuasa
atas manusia, secara tak sadar manusia akan menjadikan "uang" sebagai ilah (sesembahan). Tak sedikit
orang di zaman materialisme ini, karena begitu cintanya pada "uang", kemudian dirinya rela berkorban
apa saja demi "uang". Pengorbanan harta, jiwa, raga, nyawa, dan kehormatan bahkan pengorbanan apa
saja demi "uang" sudah cukup banyak menghiasi fenomena kehidupan manusia. Ketika hal ini terjadi
pada seseorang, sungguh ia telah menjadikan "uang" sebagai tuhannya. Istilah ilah sebagai sesuatu yang
disembah, pengertiannya meruanglingkupi tiga hal, yakni meliputi faktor Rabb (Rububiyah), faktor Malik
(Mulkiyah), dan faktor Ilah/Ma'bud (Uluhiyah/Ubudiyah). Maka apa yang menjadi ikrar syahadat bagi
seseorang adalah, ia wajib menafikan (memutuskan) tiga hal tersebut kemudian dilanjutkan dengan
mengisbatkan (menetapkan) tiga faktor tersebut kepada Allah. Dengan demikian uraian kalam syahadat
ialah, laa rububiyah illa rububiyatillah_tidak ada hukum kecuali hukum Allah; laa muklkiyah illa
mulkiyatillah _tidak kekuasaan kecuali kekuasaan Allah; dan laa uluhiyah illa Uluhiyatillah _tidak ada
umat kecuali ummat Allah atau laa ubudiyah illa ubiyatillah_tidak ada hamba, kecuali hamba Allah.
Inilah isi daripada ikrar syahadatillah, pengertian syahadat hingga sedemikian adanya, firman-Nya
menegaskan;

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (24). Pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu
untuk manusia supaya mereka sadar(25).[21]

Kalimat yang baik dalam firman-Nya tersebut ialah kalimat tauhid yakni kalimat syahadat, "Laa ilaa ha
illallaah", demikian Ali bin Abi Thalib menerangkan. Kemudian penjelasan mengenai kalimat tauhid ini
sehingga dapat dimengerti oleh manusia (mukmin) dan selalu diingat karena penjelasan ini dikemukakan
Allah untuk manusia. Kalimat tauhid itu ditamsilkan (dianalogikan) kepada sebuah pohon yang baik,
dimana pohon yang baik itu; pertama, pohon itu mempunyai akar (ushul) yang menghujam ke dasar
bumi; kedua, pohon yang baik itu batang (furu' _cabang) nya menjulang tinggi ke langit; dan ketiga,
pohon yang baik itu berbuah setiap musimnya seizin Allah. Dengan tamsil ini, maka pengertian kalimat
syahadat adalah mempunyai tiga anasir sebagaimana diuraikan di atas. Dan pengertian ini ditegaskan
Allah, bahwa ini adalah pelajaran bagi manusia dan memilik korelasi dengan kriteria manusia yang
diharapkan Allah, dimana manusia itu harus ber-iman, ber-islam dan ber-ihsan. Karena ketiga faktor ini
maka manusia itu mendapat sebutan sebagai manusia yang baik. Dalam perspektif institusinya bagi
manusia yang baik itu ia harus memiliki baldah thayyibah(negara yang baik) sebagai wasilah dalam
merefleksikan keyakinannya. Dengan fondasi ini, insya Allah bahwa Negara Islam Indonesia akan
berwujud sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghaafur, sebagai negara bagi hamba Allah.[22] Dari
penerjemahan dan penafsiran syahadatilhah sebagaimana terurai di atas, sesungguhnya inilah isi dari
proklamasi Negara Islam Indonesia dalam perspektif syar'i.

Kemudian, pengertian atau penafsiran dari syahadatilrasulillah, bahwa tiap-tiap mukmin setelah benar-
benar dalam hatinya membenarkan dengan ikhlas dan bertekad dengan bulat siap dengan segala resiko
dan konsekwensinya, seorang mukmin itu bersaksi dan mengikrarkan pengakuan dengan sesungguhnya
bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Dalam arkanul iman telah menjadi rukun bagi umat Islam, bahwa
setiap mukmin ia harus mengimani seorang manusia yang diangkat Allah sebagai Rasul-Nya, dimana
nabi dan rasul yang diutus Allah yang terakhir adalah Muhammad bin Abdullah. Jika seorang mukmin
tidak mengakui bahwa Muhammad bin Abdullah adalah seorang rasul, maka seseorang tersebut
kehilangan rukun dari imannya, dengnan demikian keimanannya tidak sempurna. Informasi berkenaan
dengan akan diutusnya seorang rasul oleh Allah telah dikhabarkan beberapa masa sebelumnya bahkan
namanya pun disebutkan, firman-Nya menerangkan; "Dan (Ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata:
"Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu
Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku,
yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata".[23] Pada ketika diutusnya
Muhammad bin Abdullah, para pengikut Taurat, pengikut Injil dan kaum musyrikin Quraisy tidak yakin
bahwa Muhammad bin Abdullah itu adalah seorang Rasul, ketidak-yakinan mereka bukan hanya dalam
tataran hati akan tetapi sampai kepada tataran ketidaksukaan dalam perbuatan, _mereka mengejek,
mencemooh, memboikot, mengusir dari kampung halaman-nya, hingga mereka pun memeranginya. Hal
itu memnag merupakan sebuah resiko dan konsekwensi yang harus dihadapi oleh seorang Rasul, karena
Muhammad bin Abdullah sebagai rasul, dia diutus membawa visi al-Qur'an dan misi menegakan dienul
Islam (Darul Islam), firman; "Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-
Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang
musyrikin tidak menyukai".[24] Diujung ayat ini walupun orang-orang musyrik dan walaupun orang-orang
kafir (pada ayat lain) tidak suka dengan visi dan misi Muhammad Rasulullah ia tetap mempunyai
kewajiban untuk menebar visinya dan menyelesaikan misinya. Methodologi untuk menebarkan visi Al-
Qur'an kepada manusia dan sebagai tahapan untuk sampai kepada tujuan misinya yakni menegakan
Darul Islam, firman-Nya menerangkan; "Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang
Rasul di antara mereka, yang (tugasnya) membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmahnya. Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata".[25]

Muhammad bin Abdullah pada ketika sebelum diangakat sebagai seorang Rasul, ia di dalam lingkungan
masyarakatnya sangat terkenal akan akhlak-nya, tiada cacat sedikit pun, sampai Muhammad bin
Abdullah itu mendapat gelar (penghargaan) "al-Amin" sebagai wujud pengakuan masyarakat kepadanya.
Namun pada ketika Muhammad bin Abdullah setelah menjadi seorang rasul dan menebarkan visi Al-
Qur'an serta berusaha untuk mewujudkan misinya yakni tegaknya Darul Islam, sambutan masyarakat di
sekitarnya memberikan label bahwa Muhammad itu "majnun _gila". Pada masa sekarang, labelisasi
terhadap orang-orang yang berusaha menegakan Darul Islam yang masih hangat adalah "terorist" atau
sebutan lain yang buruk-buruk. Sekalipun demikian jelek dan tidak sukanya pandangan masyarakat
terhadap Rasulullah, Allah Azza wa Jalla memberikan bantahan terhadap kaum yang menyebut
Muhammad Rasulullah itu majnuun, firman-Nya "Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali
orang yang gila".[26] Lebih lanjut Allah memberikan pernyataan bahwa Muhammad Rasulullah adalah
manusia yang patut dicontoh perilakunya dan diikuti ajarannya. Firman-Nya; "Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".[27] Orang-orang musyrik Quraisy,
Yahudi dan Nasrani, semula hanya tidak suka terhadap Muhammad Rasulullah dengan visi dan misi,
kemudian rasa benci mendarah daging dalam jiwa raga mereka, hingga mereka merefleksikannya
dengan pemboikotan, pengusiran dan bahkan memeranginya dengan sebenar-benar sikap permusuhan
yang mendalam, demikianlah kenyataan mereka. Karena sikap mereka begitu keras terhadap Rasulullah
dan sangat berusaha untuk menghalangi tersebarnya misi ilahi dan tegaknya Darul Islam, kemudian
Allah memberikan spirit kepada Muhammad Rasulullah untuk membalas perlakukan mereka, firman-
Nya menerangkan, "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ".[28] Ketegasan
sikap Muhammad Rasulullah adalah semata-mata karena spirit wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Tidak ada hawa nafsu, terlebih melanggar HAM (istilah sekarang) dalam menyikapi dan melawan kaum
kuffar yang menghalangi tegaknya Darul Islam. Penyikapan yang tegas terhadap kaum kuffar,
sesungguhnya juga telah diuswahkan oleh para Rasul terdahulu sebagaimana yang Ibrahim menyikapi
kaumnya.[29] Sekalipun perlawanan yang keras dan penyikapan yang tegas yang dilakukan Rasullullah
Muhammad kepada kaum Kuffar, namun ia bersama para pengikutnya adalah orang-orang yang taat
kepada Allah, firman-Nya dalam surat al-fath menyatakan, "kamu lihat mereka ruku' dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti
tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya
karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar".[30]

Sesunggunya Muhammad hanyalah seorang manusia yang diangkat Allah menjadi rasul setelah rasul-
rasul sebelumnya diwafatkan Allah. Ada yang wafat karena terbunuh ada pula karena sakit biasa.
Demkian hal nabi Muhammad juga akan wafat seperti halnya rasul-rasul yang terdahulu itu. Di waktu
berkecamuknya perang Uhud tersiarlah berita bahwa nabi Muhammad mati terbunuh. Kemudian berita
ini mengacaukan kaum muslimin, sehingga ada yang bermaksud meminta perlindungan kepada abu
Sufyan (pemimpin kaum Quraisy). Sementara itu orang-orang munafik mengatakan bahwa kalau nabi
Muhammad itu seorang nabi tentulah dia tidak akan mati terbunuh. Berbagai penyikapan atas berita itu
sangat beragam, sampai sikap mereka ada yang sudah hampir melepaskan keimanannya kepada
Rasulullah. Kemudian Allah dengan maksud menenteramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-
kata orang-orang munafik itu. Ia menurukan wahyunya;
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul. apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang
berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.[31]

Muhammad Rasullullah hanya seorang manusia, sama dengan manusia lainnya, yaitu sama-sama
terkena vonis, "kullu nafsin dzaa iqaatil maaut _setiap yang bernyawa pasti mengalami kematian". Kini
sudah 15 abad kurang lebih, Muhammad Rasulullah telah tiada, apakah umat Islam merasa tidak punya
kewajiban lagi atas apa yang telah embankan kepadanya? Sungguh kewajiban menegakan dienul Islam
bukanlah karena Muhammad sebagai manusianya, akan tetapi mengikuti ia karena kerasulannya.

2) Korelasi Bagian Isi Proklamasi NII Dengan Tafsir Ayat-ayat Ummul Kitaab

Bagian isi proklamasi Negara Islam Indonesia merupakan refleksi dan manifestasi dari penafsiran dan
penerjemahan syahadatillah. Dimana tafsir syahadatillah telah diurai melalui firman-Nya dalam surat
Ibrahim (14) ayat 24 dan 25. Anasir-anasir sebagaimana terungkap di atas pada esensinya merupakan
aplikasi dan manifestasi dari makna dan pemahaman suratul Fatihah sebagai ummul kitab yang
merupakan perambule al-qur'an. Suratul fatihah, setelah diawali dengan ayat basmalah kemudian pada
ayat kedua dinyatakan "alhamdulillaahi rabbil 'aalamin". Dalam perspektif penafsiran secara umum, kata
"al" dalam lafadh al-hamduadalah ma'rifat (kongkrit_ tidak besifat mutasabih). Kata "hamdu" memiliki
arti "bijak", karena bijaknya Allah maka Ia pemilik segala kebijakan, karena itu Ia layak mendapat
sebutan yang maha terpuji dan terpuji dihadapan segala makhluk-Nya. Dan makhluk-Nya wajib memuji
Allah karena bijaknya dengan terus menerus, dan berkelanjutan. Kata "al" dan kata "hamdu" dirangkai
menjadi "alhamdu", maka pengertiannya, kebijakan Allah itu ma'rifat _tidak samar dan tidak bisa
disamarkan.[32] Ke-ma'rifatan Allah terukir dalam rangkaian yang lengkap dalam kalimat
"alhamdulillaah". Inilah spirit bagi manusia, bahwa manusia itu harus bijak sesuai asma dan sifatnya
Allah yang maha bijak. Kemudian, korelasinya dengan proklamasi NII, sesungguhnya usaha
memproklamirkan NII merupakan sebuah langkah yang bijak bagi terwujudnya wasilah umat manusia di
dalam melakukan ibadahnya kepada Azza wa Jalla. Kemudian bagi manusia Indonesia yang non muslim,
sungguh telah diatur dalam kebijakannya sebagaimana terurai dalam bab dan pasal Qanun Azasi NII.
Dalam perspektif syar'i pun, bagi mereka yang non muslim, sepanjang tidak berstatus sebagai kafir harb,
maka ia berada dalam jaminan NII, baik darahnya, hartanya, dan kehormatannya, semua itu terlindungi
dengan bijak.[33]

Lebih lanjut sebagai manifestasi bijaknya Allah, rangkaian fatihah adalah kalam "rabbil 'aalamiin". Kata
"Rabb" merupakan salah satu dari asma al-husna, mempunyai arti yang maha memelihara, dan
mengandung makna kebesaran, kepemimpinan, dan pemaksaan. Objek pemeliharaan bagi Allah dengan
Asma Rabb-nya meliputi alam semesta dan yang berada diantaranya, baik yang lahir maupun yang
bathin. Kata "Rabbil 'aalamiin" kemudian terangkai dengan kalimat "ar-rahmaan dan ar-
rahiim". Kandungan makna dari kata "Rabb" adalah yang maha pemaksa, maka dirangkai dengan kalimat
"ar-rahman dan ar-rahiim". Dengan demikian Allah memaksa makhluknya untuk tunduk dalam
pemeliharaan Allah karena kasih dan sayangnya Allah semata-mata, agar manusia di yaumul akhir tidak
dijebloskan dalam penjara abadi yang penuh siksa dan siksanya yang sangat pedih _adzaabil lasadiid_
sangat sukar untuk dilukiskan dengan bahasa manusia yang miskin bahasa.[34] Kata "ar-Rahmaan" itu
menunjukan sifat Allah yang selalu tegak, sedang kata "ar-Rahiim" menunjukan hubungnnya dengan al-
marhuum (yang dikasihi), maka yang pertama adalah sifat dan yang kedua adalah perbuatan (af'al
Allah).[35] Karena itu, allah berfirman, "wa kaana bil mukminiina rahiiman_dan Ia maha kasih kepada
orang-orang yang beriman".[36] Kemudian, salah satu cara Allah memelihara manusia dan alam semesta
adalah dengan memerintahkan manusia agar senantiasa taat terhadap rubiyahnya (undang-undangnya)
yakni al-Qur'an sebagai hukum Allah. Al-Qur'an sebagai hukum bagi manusia merupakan kemutlakan
dan begitulah fitrahnya, karena manusia, alam raya dan al-Qur'an memiliki korelasi yang tidak
terpisah.[37] Bila salah satu tidak dikaitkan atau tidak mau terkait maka yang terjadi adalah fitnatun
kabir(kerusakan yang sangat besar).

Kemudian, salah satu misi diutusnya para Rasul di muka bumi dari nabi Adam hingga Muhammad
Rasulullah adalah diperintahkan untuk menegakan hukum Allah yakni hukum Islam. Inilah tugas pokok
para anbiya dan para rasul. Spirit ini telah menjadi syariat bagi setiap mukmin yang merasa bahwa
dirinya hamba Allah yang mempunyai kewajiban menegakan hukum Islam di muka bumi. Oleh karena
itu, sesuai dengan pengertian kalam "rabbil alamin" di mana Allah berkemampuan memelihara alam
semesta berikut dengan yang ada diantaranya, kemudian manusia diperintah untuk
mengimplementasikan pemeliharaan alam dalam scoup fil ardh dengan hukum Islam. Ummat Islam
Bangsa Indonesia telah berketetapan hati sebagaimana tertuang dalam Proklamasi NII bahwa hukum
yang mesti diberlakukan dalam NII adalah hukum Islam. Dengan hukum Islam itulah prinsip dan sistem
serta tata sosil, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan serta lainnya yang tidak terangkum
dalam makna itu diatur dengan undang-undang Allah, yakni hukum Islam. Kemudian dalam UUD NII
(Qanun Azasi) telah dinyatakan, bahwa hukum tertinggi NII adalah Al-Qur'an dan Hadits Shakhih, itulah
hukum Islam.[38] Kemudian, bilakah Umat manusia yang ada di Indonesia tidak mau diatur dengan
hukum Islam? Hal ini pernah pula dipertanyakan Allah kepada manusia di Jazirah Arab pada masa
lampau dengan firman-Nya menyatakan; "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?[39] Ayat ini dalam
konteks Indonesia, pertanyaannya adalah, "apakah hukum warisan Hindia Belanda yang kalian suka?"
Kenyataan yang ada sebagaimana sering disaksikan dan terukir dalam berbagai media, bahwa hukum
kolonial itu tidak mampu mengatasi berbagai persoalan kejahatan yang muncul. Plus di dalamnya
keadilan tidak dapat ditegakan. Vonis ilahi bagi mereka yang tidak menghukum manusia yang berbuat
jahat dengan hukum allah distatuskan dalam tiga tingkatan vonis, sebagaimana firman-Nya di bawah ini

"...barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.[40]

"...barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik".[41]

"...barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.[42]

Vonis-vonis ilahi sebagaimana tersebut di atas, sebagaimana zahirnya ayat, bahwa para hakim yang
profesinya memberikan vonis (hukuman) dengan tidak memutuskan perkaranya dengan hukum Islam
maka hakim itu sendiri terkena vonis sebagai orang dzalim, sebagai orang fasik, dan vonis terakhir
adalah sebagai orang kafir.[43] Kemudian, dalam perpektif institusi karena terdorong oleh mayoritas
manusia Indonesia tidak mau menggunakan hukum Islam yang berlaku di Indonesia, maka institusi
(negara) tersebut dapat digolongan sebagai negara yang dzalim, negara fasik dan negara kafir.
Demikianlah status yang dilekatkan Allah kepada Republik Indonesia karena di dalam negara itu tidak
diberlakukan hukum Islam. Firman-Nya;
"...Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu, dan Allah maha mengetahui lagi
maha bijaksana.[44]

Spirit dan motivasi tujuan didirikannya NII semata-mata karena Allah dan untuk tegaknya dienullah,
maka hukum yang dinyatakan dalam proklamasi NII sudah cukup jelas yakni, "...maka hukum yang
berlaku dalam Negara Islam Indonesia itu ialah hukum Islam".[45] Dengan dasar inilah, maka hukum,
negara dan pemerintahan NII serta lainnya disandarkan kepada hukum Islamm, dimana hukum
tertingginya adalah al-qur'an dan al-hadits shakhih.[46]

Kata "Malik" dengan harakat fat'hah yang dipendekan pada huruf "mim", ia mempunyai arti "raja", dan
jika harakatnya di panjangkan ia mempunyai arti "yang berkuasa atau pemilik".[47] Kata "al-malik"
merupakan salah satu dari asma alhusna. Kekuasaan-Nya atas segala makhluk adalah pasti, Ia maha raja
dan merajai seluruh makhluk-Nya. Kemudian istilah "Ad-Dien", dalam banyak terjemah al-Qur'an dalam
kontek kalimat "yaumiddien" diterjemahkan dengan arti "hari pembalasan", yaitu hari yang diwaktu itu
masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang
buruk. Yaumiddien juga disebutyaumulqiyaamah _hari kebangkitan, yaumulhisaab _hari perhitungan,
dan yaumuljazaa'. Dari persamaan pengertian kalimat yaumiddien dengan kalimat yaumul qiyamah,
maka penafsiran atas makna yaumul qiyamah dalam perspektif politik islam adalah hari tegaknya dienul
Islam, yakni dhahirnya kekuasaan Islam. Allah sebagai Al-malik (maha raja) dan berkuasa adalah wajib
bagi-Nya mempunyai kerajaan dan kekuasaan (Mulkiyah) yang bersifat menyeluruh meliputi seluruh
alam semesta. Kemudian manusia yang secara genetika memiliki "gen berkuasa" yang diberikan Allah
secara fitrah, juga karena Allah Azza wa Jalla berkehendak manusia berkuasa di muka bumi, maka Allah
mengangkat manusia yang ia sukai untuk menjadi Rasul dan khalifahnya di muka bumi, untuk pertama
kalinya Ia angkat sebagai Khalifah adalah Adam.[48] Kemudian setelah itu Allah Azza wa Jallaj mengangkat
para Nabi dan Rasul-Nya yang merangkap sebagai khalifah di muka bumi dari generasi (keturunan)
Adam _mimbanii Adam.[49]

Firman-Nya menegasakan,"Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-
Quran) dan Ad-dien yang benar untuk didzahirkan di atas segala dien yang lainnya, walaupun orang-
orang musyrikin tidak menyukai".[50] Abdullah Abu Hanifah dalam kitabnya yang membedah suratul
fatihah dan korelasinya dengan istilah Ad-dien, pada kesimpulannya istilah dien itu tidak setara bila
diterjemahkan dengan kata "agama", yang lebih tepat dan sepadan (sekupu) penerjemahan kata ad-dien
adalah ad-daulah.[51]Dengan pengertian ini, maka firman Allah yang tersebut di atas, bahwa Muhammad
Rasulullah ditugaskan Allah dengan dibekali al-Qur'an dan misi untuk menegakan negara Islam
dipermukaan bumi. Ayat perintah untuk menegakan negara Islam tersebut termaktub dalam al-Qur'an
berulang hingga tiga kali, namun berada dalam surat yang berbeda. Karena termaktub dalam perbedaan
surat ini, maka makna dari firman-Nya sangat terkait dengan faktor strategi dalam menegakan negara
islam. Ayat itu, apabila di-sistematika-kan, menandung esensi; pertama, ayat itu termaktub dalam surat
at-taubah, maka isyarat yang dapat ditangkap adalah manusia yang hendak mendzahirkan negara Islam,
ia harus bertaubat dengan taubat yang semurni-murninya.[52] Hal ini sangat esensial, karena tidak akan
tegak negara Islam bila manusianya kotor (dzalim, fasik, kafir, syirik, dsb. _tis'aatu rahthin).[53]

Dalam kalimat "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin _kepada Engkau kami beribadah dan kepada Engkau
kami meminta pertolongan". Dalam hal ini terjadi iltitaf (peralihan),[54] karena itu ada keanekaragaman
kalimat, hal ini untuk menghujamkan dalam jiwa manusia sehingga manusia itu memiliki sugesti
(keyakinan yang mendalam) dalam hal mengibadati Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya.
Kemudian pada kata "na'budu dan nasta'in" menggunakan kata jama', hal ini mengandung makna yang
halus dan dalam, yaitu pengakuan seseorang dalam mengabdi (beribadah) kepada al-Ma'bud. Juga
merupakanpengakuan seseorang atas kekurangannya dihadapan maha raja dalam hal meminta
pertolongan. Di dahulukannnya maf'ul (objek penderita) atas fi'ilnya, "iyyaka" mendahului "na'budu"
adalah untuk mentakhshish (mengkhususkan). Dalam firman lainnya diterangkan; "wa iyyaya
faarhabuun_hanya kepada Engkaulah yang kami ibadati, dan kami tidak mengibadati selain Engkau".[55]

Abu Hayyan berkata; "

Dan goal (goyatuna)_nya atau sasaran dan tujuan dari terwujudkannya esensi-esensi yang terangkum
dalam proklamasi adalah semata-mata bagi kebesaran-Nya. Besar hukum-Nya, besar negara
(kekuasaan)-Nya, dan besar umat (rakyat)-Nya.

3) Korelasi Bagian Penutup Proklamasi Dengan Tafsir Kalam Takbir

Andai manusia umumnya dan khususnya umat Islam di Indonesia mengerti akan penerjemahan dan
penafsiran basmalah dan syahadatain serta takbir, cukuplah proklamasi Negara Islam itu menggunakan
bahasailahi, yaitu dengan kalam basmalah sebagai pembuka proklamasi, kalam syahadatain sebagai isi
proklamasi dan takbir sebagai penutup proklamasi.

4) Perihal Tarikh dan Klaim Wilayah

5) Perihal Proklamator NII dan Korelasinya Dengan Penafsiran Syahadatirasululillah

Perihal penafsiran syahadatirasullillah sebagaimana telah diurai di atas, kemudian korelasinya dengan
Proklamaror NII, pada esensinya bertemu dalam titik makna kepemimpinan yang harus bertanggung
jawab terhadap apa yang menjadi visi dan misinya.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[56]

B. NII: Negara Kurnia Allah (NKA)?

Negara Pancasila,[57] kini sering disebut sebagai Negara Indonesia atau Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

Pada awal digulirkannya istilah "Negara Kurnia Allah (NKA)" baik dalam kalangan internal Umat Islam
Bangsa Indonesia maupun dalam kalangan di luar itu, banyak yang mempertanyakan, baik yang sifatnya
meminta penjelasan untuk difahami dan diyakini atau yang bersifat hanya sekedar ingin tahu.
Penjelasan resmi dalam "Manifesto Politik Nomor I/7, tentang Wajib Berdirinya Negara Islam Indonesia,
yang disusun oleh S.M.Kartosoewirjo",[58] bahwa anasir (unsur-unsur) pokok Negara Kurnia Allah terbagi
kepada dua faktor dan itu merupakan syarat bagi sebutan, esensi dan eksistensi Negara Kurnia
Allah; pertama, harus ada suatu negara yang berdaulat penuh, 100%, keluar dan kedalam, de facto dan
de jure; kedua, harus ada peraturan Allah, yang merupakan agama Allah, atau agama Islam. Itulah dua
syarat bagi sebuah negara yang dapat disebut sebagai NKA.[59] Sepanjang Negara Islam Indonesia (NII)
belum berdaulat penuh, 100% keluar dan kedalam, juga de facto dan de jure, maka NII masih
kekurangan syarat untuk dikatakan sebagai NKA. Oleh karena itu wajib bagi Umat Islam Indonesia untuk
memenuhi syarat itu. Kemudian di dalam NII itu berlaku peraturan Allah (Hukum Islam) sebagai hukum
tertinggi negara dan masyarakatnya mengakui dan menerima baik dengan ridha atau terpaksa akan
berlakunya hukum Islam itu. Jika dalam NII tidak berlaku hukum Islam maka NII tidak dapat disebut
sebagai NKA baik dalam sebutan maupun dalam esensinya. Kedua anasir tersebut di atas harus bersatu
atau dipersatukan. Bukan seperti minyak dengan air yang ada di sebuah Periuk (bejana). Keduanya harus
bersatu dan dipersatukan, hingga tiap anasir dalam negara itu baik yang berupa fail (subjek) maupun
maf'ul (predikat), urusan ke-tata-negara-an, kemiliteran hingga sampai kepada tiap-tiap jirim dan jisim
yang hidup dalam negara itu, semuanya dapat melakukan bhaktinya kepada Azza wa Jalla.[60]

Analogi yang "mungkin" tepat adalah seperti "air dengan kopi", namun bersatunya air dengan kopi tidak
langsung dapat disebut sebagai "air kopi". Akan tetapi bersatunya air dengan kopi sehingga dapat
disebut sebagai "air kopi" setelah anasir air dan kopi dipersatukan dengan unsur air yang telah
dipanaskan hingga 100 derajat Celcius. Dengan analogi ini, maka tidak mungkin negara dan syariat Islam,
manusia dan syariat Islam dapat bersatu dalam arti kata yang seluas-luasnya dan sesempurna-
sempurnanya, melainkan apabila negara dan masyarakat serta segenap anasir yang termasuk
didalamnya dapat dipanaskan sampai kepada tingkatan yang setinggi-tingginya. Pergolakan masyarakat,
pergolakan negara, pergolakan bangsa manusia yang serupa inilah yang dinamakan perang atau
revolusi.[61] Oleh karena syari'at Islam yang hendak dipersatukan dengan masyarakat Indonesia, maka
revolusi itu merupakan revolusi Islam. Dengan demikian untuk membina, membangun dan menggalang
Negara Kurnia Allah, perlu dan wajib digelorakan hingga bergeloranya revolusi Islam di Indonesia. Oleh
karena demikian, jika kita menghendaki Negara Kurnia Allah, jangan sekali-kali takut terjilat oleh api
revolusi, ingatlah "tiada bayi yang lahir, melainkan disertai dengan curahan darah". Oleh karena itulah
setiap seorang muslimah yang meninggal dalam masa melahirkan ia digolongkan sebagai seorang yang
mati syahid. Kelak di yaumul akhir mereka akan berkumpul dan ditampilkan Allah sebagai bidadari yang
menanti para syuhada, yang rela mati demi tegaknya Islam dipermukaan bumi. Bagi setiap muslim yang
meninggal dalam menggelorakan revolusi Islam mereka adalah syuhada, baik di masa I'dad berlangsung
ataupun di masa qital bergelora.

Revolusi Islam adalah satu-satunya jalan menuju kepada Mardhatillah Dunia (Darul Islam_NKA-NII) dan
Mardhatillah Akhirat (Darussalam), kelak. Kemudian sebagai penjelasan untuk dimengerti bagi para
praktisi Revolusi Islam khususnya dan bagi Umat Islam umumnya, perjuangan untuk sampai kepada
tingkatan dan sebutan Negara Kurnia Allah adalah mutlak de facto dan de jure 100% keluar dan
kedalam. Bukan sebuah kedaulatan negara yang berstatus sebagai dominion atau negara di bawah
negara yang biasa disebut negara federasi. NKA-NII bukanlah sebuah bagian dari sebuah negara
federasi, jika ada yang mempunyai pemikiran ke arah itu, maka sesungguhnya kedaulatan sebuah
negara Islam yang demikian adalah negara yang tidak berdaulat penuh, sebagaimana halnya salah satu
negara Islam di Malaysia berada dalam sistem politik federasi Malaysia, atau dalam konteks Indonesia
seperti Aceh yang mempunyai otonomi yang seluas-luasnya dan berlaku syarita Islam tetapi masih
berada dalam ketiak (kendali) Republik Indonesia, masih nampak adanya kompromis terhadap negara
musyrik.[62]
[1]
Lihat: Abdullah Abu Hanifah, Mabadi'uts Tsalatsa, (Madinah-Indonesia: 1988). Abdullah Abu
Hanifah nama lahirnya adalah Abdul Karim Hasan. Di lingkungan masyarakat umum beliau mendapat
status sebagai Ustad, status itu melekat dengan sendirinya atau karena dilekatkan oleh masyarakat
karena beliau sangat aktif dalam dakwah dan tabligh, juga sebagai tenaga pengajar di Mualimin dan
Mualimat, Jakarta. Beliau adalah seorang yang terlahirkan sebagai anak Betawi tulen. Dari sejak masih
muda beliau aktif sebagai anggota dan pengurus organisasi massa Muhammadiyah, hingga kemudian
terhenti aktifitasnya di Muhammadiyah karena aktifitas politik beliau di masa Orde Baru berseberangan.
Pada tahun 1980-an hingga tahun 1985-an beliau ditawan oleh pihak pemerintah Irde Baru karena
dianggap terlibat dalam gerakan Komji (Komando Jihad). Penulis tidak tahu pasti berkenaan dengan
aktifitas politik beliau, sejak kapan aktifits politiknya dimulai sehingga sampai terkait dengan kasus
Komji. Namun diperkirakan dari beberapa penelusuran jejaknya, beliau adalah seorang kader militan
generasi kedua (atau mungkin) generasi pertama dari sebuah pergerakan Islam yang bertujuan
melanjutkan cita-cita tegaknya Negara Islam Indonesia. Dari berbagai informasi yang di dapat oleh
penulis, Beliau adalah seorang yang di kader langsung oleh Aceng Kurnia (Komandan Pasukan
Bantalaseta_ Komandan Pasukan Pengawal Asy-Syahid Imam S.M.Kartosoewirjo). Pada tahun 1970-an
beliau telah duduk sebagai Wakil Panglima Komandemen Wilayah (KW) IX dalam struktural NKA-NII,
dimana selaku Panglima KW IX-nya adalah Abi Seno. Setelah Abi Seno wafat kemudian, Abdul Karim
Hasan menggantikan posisi Abi Seno selaku Panglima KW IX, kemudian posisi beliau digantikan oleh Haji
Rais. Semula Kepala Staf KW IX di masa kepemimpinan Abi Seno adalah Abi Syukur, kemudian dalam
masa kepemimpinan KW IX di bawah komando Abdul Karim Hasan, Kepala Staf KW IX digantikan oleh
Abdussalam (Abu Toto_ sekarang dikenal dengan nama A.S.Panji Gumilang, Owner Pesantren Al-
Zaytun). Di masa kepemimpinan Abdul Karim Hasan, KW IX mengalami perkembangan jama'ah yang
sangat pesat dengan melalui gerakan dakwah yang tersistem dengan baik dan dengan materi dakwah
yang efektif, aktual dan ilmiah. Kitab Mabadi'uts Tsalatsa, karangan Abdullah Abu Hanifah merupakan
kitab rujukan dalam hal aqidah, ibadah, dan muamalah di masa itu. Namun perkembangan pesat dari
segi kuantitas dan kualitas jama'ah belum disertai dengan pesatnya dalam bidang ekonomi dan
keuangan, sehingga pergerakan pada masa itu hanya mengandalkan pengorbanan ummat melalui zakat,
infaq dan shadaqah. Implementasi dari perkembangan dakwah yang pesat di KW IX pada masa itu di
follow up dalam aplikasi untuk membangun qiyadah dan tanzim, yang wilayah teritorialnya meliputi
Jakarta Raya dan Banten. Pekembangan jama'ah KW IX karena pesatnya dan sifat dakwah itu lintas
teritorial, tanzim dan qiyadah di luar KW IX pun akhirnya dibentuk sebagai upaya untuk membangun
kesadaran dalam berpolitik dan berorganisasi, tanzim-tanzim yang berada di luar teritorial KW IX pada
masa itu disebut dan dinamakan dengan istilah "Shaf Thaifah _organisasi bagian dari KW IX". Setelah
wafatnya Abdul Karim Hasan tahun 1990, kepemimpinan KW IX secara otomatis (karena sistem) Haji
Rais menggantikan posisnya, namun pada masa itu belum ada penyempurnaan, di mana KW IX belum
ada Wakil Panglimanya dan Kepala Staf masih dijabat oleh Abdussalam. Keadaan demikian karena para
petinggi NKA-NII masih belum keluar dari penjara Republik, baik Adah Djaelani Tirtapraja, Aceng Kurnia,
Dodo Muhammad Darda, Tachmid Basuki Rachmat dan tokoh-tokoh lainnya karena tersandung kasus
Komji. Sekalipun demikian, alur komando, qiyadah dan tanzim pada masa itu masih tetap normal
(berjalan), namun pada akhir tahun 1991 terjadi kegoncangan karena munculnya kasus yang bertitik api
dari Pondok Cabe. Karena kasus ini, kemudian para pimpinan dan aktifis KW IX dikejar dan ditangkap.
Kelanjutan dari peristiwa ini kemudian menjadi sababiyah tertangkapnya Haji Rais, Panglim KW IX pada
masa itu tahun 1992. Sejak tertangkapnya Haji Rais, kemudian KW IX 9 dikendalikan oleh Abdussalam
(Abu Toto) selaku orang yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam jajaran KW IX (secara hirarki dan
otomatisasi sistem yang berlaku ketika para penglima tiada (berhalangan) maka Kepala Staf adalah
mempunyai tanggung jawab untuk mengendalikan operasi perjuangan). Abdussalam yang cerdas, cerdik
dan pandai sangat disayangkan pada ketika kewenangan mengendalikan operasi perjuanan KW IX ada
pada dirinya, ia melampuai batas. Lebih lanjut, lihat: Al-Chaidar, Sepak Terjang KW IX,, Darul Falah
(Jakarta: 1999).
[2]
Al-Qur'an, surat Al-Baqarah (2): 208.
[3]
Lihat: Pedoman Dharma Bhakti (PDB) NKA-NII, jilid 2.
[4]
Ibid.
[5]
Yang termashur dikalangan ahli bahasa, bahwa "basmalah" ialah bismillaahirrahmaanirrahiim. Istilah
ini sudah mashur demikian, sebagaimana termaktub dalam sebuah puisi Umar bin Abi Rabi'ah, "Sungguh
Laila telah membaca basmalah di pagi hari dimana aku menjumpainya. Alangkah bagusnya yang
demikian_kekasih yang suka membaca basmalah". Lihat: Muammal Hamidy, etc. Tafsir Ayat-ayat Ahkam
Ash-Shabuni, Bina Ilmu, (Surabaya: 1983).
[6]
Pada hal-hal tertentu bisa menjadi sunah, misalnya perintah Allah berkenan dengan shalatul lain
(tahajud); para mufasir menterjemahkan bahwa shalatul lail hanya wajib bagi Rasulullah dan bagi
umatnya adalah sunnah mua'akad (sunah yang diharuskan). Pada pertama-tama turunnya ayat ini yakni
surat mujammil, tanpa kecuali baik Rasulullah maupun umatnya wajib melaksanakan shalat lail, pada
masa itu shalat lail yang wajib dilaksanakan selama 1 tahun, sehingga pada muka mereka nampak bekas
sujud dan kaki mereka bengkak-bengkak. Dalam konteks sekarang, sekalipun shalat lail itu status
hukumnya sunnah mu'akad, akan tetapi bila Imam Negara Islam Indonesia memerintahkan dan
menetapkan wajib untuk dilakasanakan, maka wajiblah hukumnya bagi seluruh umat Islam dalam
wilayah kekuasaan Imam yang memberi instruksi tersebut.
[7]
Al-Qur'an, surat Al-Maidah (5): 44, 45, dan 47. Untuk vonis hukumnya bagi orang yang demikian, lihat
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana NKA-NII.
[8]
Al-Hadits, riwayat Abu Daud.
[9]
Konsekwensi _vonis_ hukumnya bagi yang berzinah lihat KUHP NKA-NII.
[10]
Muammal Hamidy, etc., Tafsir Ayat Ahkam, Op.Cit.
[11]
Muammal Hamidy, etc., Tafsir, Ibid.
[12]
Al-Qur'an, surat As-Sabaa (34): 15.
[13]
Muammal Hamidy, etc., Tafsir, Op.Cit. lihat juga dalam Tafsir Abu Su'ud.
[14]
Al-Qur'an, surat Al-A'raaf (7): 58.
[15]
Al-Qur'an, surat Al-A'raaf (7): 57.
[16]
Al-Hadits, riwyat Bukhari dan Muslim.
[17]
Al-Hadits, riwayat Bukhari dari Umar bin Khaththab ra. Pembahasan yang lebih luas dari perihal
hadits ini lihat: Ibun Rajab, Panduan Ilmu dan Hikmah: Jam'ul Ulum wal Hikam, Darul Falah (Jakarta:
2002).
[18]
Ibnu Rajab, Panduan, ibid., hlm. 7
[19]
Ibid.
[20]
Lihat: Meonawar Chalil, Kelengkapan TarikhOp. Cit.
[21]
Al-Qur'an, surat Ibrahim (14): 24-25.
[22]
Al-Qur'an, surat Saba (34): 15.
[23]
Al-Qur'an, surat Ash-Sahaaf (61): 6.
[24]
Al-Qur'an, surat At-taubah (9): 33; Q.S. Ash-Shaaf (61): 12; dan Q.S. Al-Fath (48): 28.
[25]
Al-Qur'an, surat Al-Jumu'ah (62): 2.
[26]
Al-Qur'an, surat At-Takwiir (81): 22.
[27]
Al-Qur'an, surat Al-Ahjaab (33): 21.
[28]
Al-Qur'an, surat Al-Fath (48): 29
[29]
Al-Qur'an, surat Al-Mumtahanah (60): 4.
[30]
Al-Qur'an, surat Al-Fath (48): 29
[31]
Al-Qur'an, surat Ali Imran (3): 144. Dalam Sahih Bukhari bab Jihad menerangkan bahwa Abu bakar
r.a. mengemukakan ayat ini di mana terjadi pula kegelisahan di kalangan para sahabat di hari wafatnya
nabi Muhammad s.a.w. untuk menenteramkan Umar Ibnul Khaththab r.a. dan sahabat-sahabat yang
tidak percaya tentang kewafatan nabi itu. (Sahih Bukhari bab ketakwaan Sahabat).
[32]
Muammal Hamidy, etc., Tafsir, Op.Cit., hlm. 5.
[33]
Lihat Qanun Azasi (Undang-Undang Dasar) NII
[34]
Ibid.
[35]
Ibid.
[36]
Al-Qur'an, surat Al-Ahjab (33): 34. lihat juga dalam surat At-Taubah (9): 117.
[37]
Al-Qur'an, surat Ar-Rahmaan (55): 1-4.
[38]
Lihat Qanun Azasi NII.
[39]
Al-Qur'an, surat Al-Maidah (5): 50.
[40]
Al-Qur'an, surat Al-Maidah (5): 45.
[41]
Al-Qur'an, surat Al-Maidah (5): 47.
[42]
Al-Qur'an, surat Al-Maidah (5): 44.
[43]
Bentuk hukuman bagi orang dzalim, fasik atau pun kafir lihat Kitab Undang-Undang Hukuk Pidana
(KUHP) NII.
[44]
Al-Qur'an, surat Al-Mumtahanah (60): 10.
[45]
Lihat Teks Proklamasi NII
[46]
Qanun Azasi NKA-NII, Bab 1, pasal 2, ayat 1 dan 2..
[47]
Lihat: Terjemah Al-Qur'anil Kariim, terbitan Depag RI.
[48]
Al-Qur'an, surat Al-Baqarah (2): 30.
[49]
Al-Qur'an, surat Al-Israa (17): 70.
[50]
Lihat: Al-Qur'an, surat At-Taubah (9): 33; surat Ash-Shaaf (61): 9; dan surat Al-Fath (48): 28.
[51]
Abdullah Abu Hanifah, Mabadi'uts Tsalatsa,, Op.Cit.
[52]
Al-Qur'an, surat At-Tahriim (66): 8.
[53]
Al-Qur'an, surat An-Naml (27): 48.
[54]
Iltitaf merupakan peralihan dari kata ganti untuk orang ketiga ke kata ganti untuk orang kedua _minal
ghaibah ilal khitab_, dengan cara menganekaragamkan kalimat, karena hal itu lebih mengena dalam
kecenderungan jiwa serta menarik sugesti. Iltitaf ini merupakan salah satu methode dalam ilmu
Balaghah. Lihat : Muammal Hamidy, etc.,, Op.Cit.
[55]
Ibid,. hlm. 7.
[56]
Al-Qur'an, surat An-Nisaa (4): 59.
[57]
Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, "Negara Pancasila adalah negara yang menggunakan Pancasila
sebagai dasar negara".
[58]
Lihat: Pedoman Dharma Bhakti (PDB) NKA-NII, Jilid II.
[59]
Ibid., hlm. 68.
[60]
Ibid.
[61]
Ibid., hlm. 69.
[62]
Ibid., hlm. 70.

Anda mungkin juga menyukai