Anda di halaman 1dari 3

Fr.

Richard
Refleksi Panggilan

Ceritakan awal mula ketertarikan menjadi imam!


Apa motivasi Anda menjadi imam di Keuskupan Bogor?
Mengapa Anda memilih Motto hidup dan panggilan seperti diatas?
Ceritakan pengalaman menarik dan berkesan saat di Seminari maupun saat berpastoral !
Apa yang membuat Anda mantap menerima tahbisan ini?
Apa harapan Anda untuk umat Keuskupan Bogor ?
Apa yang akan Anda sumbangkan bagi Keuskupan Bogor ?

Jika bercerita tentang diri saya di masa lalu, sebenarnya pengetahuan seputar gereja yang saya
miliki belum begitu luas. Bahkan, level pengetahuan sebagai seorang calon seminaris pun belum
mumpuni. Meskipun demikian, saya dapat dikatakan cukup rajin untuk mengikuti beberapa kegiatan
paroki seperti rosario, misa syukur atau misa arwah dan kegiatan pastoral lainnya di tingkat
lingkungan maupun wilayah. Entah kapan saya memulai perjalanan panggilan saya, tetapi upaya saya
untuk menjawab panggilan Allah dimulai ketika saya mengikuti retret bersama orang muda se-
Keuskupan Bogor di rumah retret Lembah Karmel, Cikanyere pada tahun 2008 silam. Ratusan orang
muda se-Keuskupan Bogor dipertemukan di satu pertemuan tersebut.
Pada hari kedua saya mengikuti retret tersebut, peserta kemudian dibagi per kelompok untuk
ber-sharing dengan para frater Karmelit. Pada saat itu saya terkesima dengan frater yang bercerita
tentang perjalanan panggilannya. Setelah bercerita cukup panjang, frater itu kemudian bertanya,
“Apakah disini ada yang mau jadi romo?” Di tengah keheningan yang lama karena tidak ada yang
mengangkat tangan dan mau jadi imam, lalu spontan saya mengangkat tangan saya dengan agak
sedikit berteriak, “Saya frater!”. Sontak teman-teman peserta lainnya melihat saya dan memberikan
tepuk tangan. Tetapi sahabat saya yang juga satu kelompok, menertawakan peristiwa tadi. Saya pun
melemparkan senyuman kepadanya dan berkata,”Daripada nggak ada yang jawab”. Mulai dari sinilah
saya merasa inilah awal ketertarikan saya untuk menjadi imam. Meskipun teman saya yang lainnya
menganggap itu hanya candaan semata, tetapi dalam lubuk hati terlintas untuk mengenal lebih jauh
apa artinya untuk menjadi seorang imam.
Peristiwa tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak peristiwa yang melatarbelakangi
motivasi saya untuk menjadi seorang imam. Perjalanan yang saya lalui di masa setelah lulus sekolah
dasar sampai lulus sekolah menengah pertama bukanlah menjadi perjalanan yang mulus dan baik-baik
saja. Pun ketika memutuskan untuk masuk seminari, keputusan itu sebenarnya bukanlah keputusan
yang matang. Tetapi seiring berjalannya waktu, motivasi saya kemudian dimurnikan kembali.
Ketertarikan itu muncul saat saya merefleksikan bahwa mungkin inilah jalan yang Tuhan berikan.
Karena itu dalam panggilan, semangat yang saya hidupi adalah spiritualitas Bunda Maria “Terjadilah
padaku menurut perkataan-Mu”. Refleksi saya terhadap spiritualitas Maria adalah kepasrahan diri
atas kehendak Allah. Allah yang menuntun dan Allah yang berkarya. Hal ini tentunya nyata terjadi
dalam kehidupan panggilan baik itu ketika studi di seminari maupun saat berpastoral.
Fr. Richard
Refleksi Panggilan

Susah duka dialami bersama ketika menjalani rutinitas di seminari menengah maupun
seminari tinggi. Intinya adalah bagaimana saya turut andil dalam menciptakan komunitas yang sehat
dan diliputi sukacita karena berjalan bersama. Ketika wabah COVID-19 melanda misalnya. Saya dan
beberapa frater pun terjangkit virus dan diharuskan untuk karantina di tempat tersendiri. Tetapi karena
kami adalah satu keluarga. Para frater yang tidak terjangkit membantu mereka yang sedang
dikarantina untuk pemulihan. Pengalaman ini, meskipun di tengah penderitaan karena COVID-19,
membuat kami bersama-sama belajar untuk peduli akan yang lain dan senantiasa memiliki empati
akan penderitaan orang lain.
Jika menilik kembali perjalanan panggilan saya yang tidak sebentar, semua pengalaman
pahit-manis dalam hidup, pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa inilah yang Allah persiapkan bagi
diri saya, bahwa saya melayani Tuhan dan sesama dengan cara menjadi seorang imam khususnya di
Keuskupan Bogor. Terutama juga atas dukungan dan doa dari kedua orang tua dan kakak beserta adik
saya. Tanpa kehadiran mereka, mungkin saya tidak dapat bertahan dalam peristiwa duka yang saya
alami. Keluarga bagi saya adalah tempat saya kembali, ketika mengalami gundah, cemas, ataupun
kesepian. Juga dengan mereka yang turut mendukung panggilan saya dalam bentuk apapun. Berkat
dukungan dari kekuatan doa merekalah, saya dikuatkan dan selalu dipenuhi oleh berkat Allah dalam
menjalani panggilan ini.
Maka dengan bantuan rahmat Allah, saya memantapkan diri untuk selanjutnya melamar
kepada Bapa Uskup untuk menerima rahmat Tahbisan Diakonat. Saya berharap dengan ditahbiskan
menjadi Diakon, saya dapat turut serta dalam rencana keselamatan Allah melalui tindakan suci Gereja
secara khusus untuk melayani umat Allah dalam perayaan-perayaan liturgi. Dengan demikian segala
pelayanan yang saya berikan adalah sebagai bentuk persembahan diri seutuhnya kepada Gereja.
Karenanya, saya merasa Gereja masih membutuhkan imam-imam dalam tugas pengudusan ini.
Harapan saya bagi umat Keuskupan Bogor, terutama bagi kaum muda, berusalah untuk menjawab
panggilan Allah yang sudah ada dalam diri kita masing-masing. Seperti Nabi Yeremia (bdk.Yer.1:5),
Allah telah lebih dulu mengenal kita dan membentuk kita dalam rahim serta menetapkan kita untuk
menjadi saksi Kristus di tengah dunia ini. Meskipun harus melalui proses yang cukup panjang, proses
itu tidak akan terasa lama karena lebih banyak sukacita dibandingkan dukacita yang hadir dalam
menjalani panggilan ini. Tentunya hal tersebut harus diiringi dengan ketulusan hati untuk memberikan
diri bagi karya Allah dalam diri kita.
Pada akhirnya, persembahan diri ini adalah upaya yang dapat saya berikan bagi Gereja
partikular di Keuskupan Bogor ini. Secara konkrit ini terwujud dalam ketaatan saya dimanapun saya
dipercayakan untuk mengemban tugas ini. Maka talenta yang Allah telah berikan, pun saya berikan
kepada sesama demi kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa. Seringkali kita merasa tidak mampu
dengan apa yang Allah minta atau justru kita merasa memiliki bakat lain. Padahal, seharusnya kita
bersyukur jika Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk mengerti panggilan dari-Nya. Tidak
semua orang memiliki anugerah itu. Ketika kita sudah mengerti panggilan Allah, seharusnya kita
Fr. Richard
Refleksi Panggilan

bersedia melakukannya. Kita percaya bahwa Allah akan menyertai kita seperti bagaimana Allah
menyertai Yeremia.

Anda mungkin juga menyukai