Anda di halaman 1dari 5

Nama : Leopold Apri Zendo

NIM : 210510047
Kelas/Semester : 1B/I
Mata Kuliah : Pengantar Filsafat
Dosen : Dr. Laurentius Tinambunan

Siapakah Manusia Itu

Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna dan memiliki
keunggulan yaitu kemampuan intelektual yang khas dalam berpikir dan memahami. Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang mampu bertanya baik tentang dirinya sendiri,
keberadaannya maupun dunianya. Pertanyaan, “siapakah manusia itu?” merupakan pertanyaan
yang paling mendasar dan paling utama serta akan selalu muncul dalam sejarah hidup manusia.
Manusia sebagai makhluk yang bertanya akan selalu mempertanyakan segala hal yang baru
baginya, dan akan terus bertanya tentang eksistensi dirinya sendiri. Kemampuan
mempertanyakan segala hal itu membuat manusia menjadi makhluk yang sadar. Sadar akan
dirinya, sadar akan keberadaannya, dan sadar di mana ia tinggal. Aristoteles pernah
menganalisis kodrat manusia. Itu ia lakukan agar manusia menemukan aktivitas unik dalam
dirinya. Menurut Aristoteles manusia tidak sama dengan benda, tidak sama dengan tumbuhan,
tidak sama dengan binatang. Fungsi manusia adalah aktivitas jiwanya yang mengandaikan
prinsip rasional. Selanjutnya kebaikan manusia berasal dari aktivitas jiwanya. Karena fungsi
pribadi sebagai seorang manusia berarti fungsi yang tepat dari jiwanya. Manusia dikatakan
bukan benda, namun pada kenyataannya hukum-hukum dunia jasmaniah juga berlaku bagi
manusia. Manusia bukan tumbuhan namun seluruh kebutuhan hidup manusia ada pada
lingkungan di sekitarnya. Manusia juga bukan hewan namun hukum hayati yang ada pada
hewan berlaku pada manusia. Siklus keberadaan manusia hanya ada dua yaitu lahir dan mati.
Ada kelahiran maka ada pula kematian. Semuanya berawal dari lahir ke dunia dan berakhir
pada kematian. Manusia itu bukan hanya roh namun juga materi. Roh menjadikan manusia
sebagai makhluk rohaniah yang melakukan aktivitas kerohanian. Materi menjadikan manusia
sebagai makhluk yang dapat dilihat, diraba, dan dirasa.
Manusia adalah makluk yang selalu heran dengan segala sesuatu yang “ada” dan yang
berkaitan dengan keberadaanya. Dimulai dari rasa heran dengan dirinya, dengan
lingkungannya, dan pada akhirnya sampai pada heran tentang Penciptanya. Manusia selalu
bertanya dan pada akhirnya mencari sendiri jawaban atas segala pertanyaannya itu. Pertanyaan
manusia itu bisa kita golongkan dua tingkat, yaitu pertanyaan yang sederhana dan pertanyaan
yang teoritis. Pertanyaan yang sederhana adalah pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-
masalah praktis. Sedangkan pertanyaan teoritis adalah pertanyaan yang bersentuhan dengan
makna dan nilai hidup manusia. Manusia merupakan subyek dan obyek dari berbagai ilmu dan
dengan kajian ini banyak muncul ilmu-ilmu yang baru. Manusia sebagai subyek berarti
manusia mengkaji dirinya sendiri atau sebagai penanya dari kajian itu. Manusia sebagai obyek
apabila manusia ada dalam ada, sehingga ada sebagai obyek untuk menjadi obyek yang ada
atau ia sendiri merupakan obyek yang ditanyakan. Filsafat manusia dapat maju jika
menggunakan metode refleksi. Metode seperti metode matematika tidak dapat digunakan
dalam filsafat manusia karena terbatas pada dunia atau sesuatu yang dapat diukur dan
diperhitungkan. Metode ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu hayati juga tidak bisa diterapkan karena
terbatas pada dunia jasmaniah dan dunia hayati. Metode refleksi membawa manusia melihat
kembali dirinya baik itu berkaitan dengan segala pengalaman hidup maupun dengan segala
keyakinan yang telah menjadi tradisi dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam filsafat manusia terdapat berbagai kemungkinan yang akan muncul. Setiap filsuf
mempunyai titik tolak atau pandangan tentang manusia. Pythagoras mengatakan jiwa tidak
dapat mati. Ketika manusia mati jiwanya akan berpindah ke hewan, dan bila hewan itu mati,
jiwa itu berpindah lagi, dan seterusnya. Tetapi dengan menyucikan dirinya, jiwa dapat
diluputkan dari nasib reinkarnasi itu. Penyucian itu merupakan hasil dari berpantang jenis
makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang. Berdasarkan itu tampaklah bahwa jiwa
yang dimiliki manusia tidak akan pernah binasa. Jiwa itu hanya pergi jika raga sudah tidak
berfungsi lagi. Jiwa yang kurang baik akan berpindah ke raga yang lebih rendah derajatnya.
Sedangkan jiwa yang baik akan menjadi suci dan tidak akan berpindah ke materi yang lainnya.
Agar jiwanya menjadi suci maka raga selagi masih hidup harus melakukan hal-hal yang baik.
Orang Katolik tidak mengenal yang namanya reinkarnasi. Orang Katolik percaya bahwa jiwa
jika akan menuju kepada Penciptaan yaitu Allah. Hanya saja kapan jiwa itu pergi ke sana
tergantung dari kehendak Allah berdasarkan hidup manusia. Jika manusia hidup dengan baik
semasa perziarahannya di dunia ini niscaya Allah menerimanya dalam kalangan para kudus.
Lain halnya dengan Sokrates, ia mengatakan, “yang harus diselesaikan adalah kenalilah
dirimu, siapa saya?” Dengan mengenal lebih baik siapa saya dapat mengantar kita pada
pengenalan terhadap di luar saya yang lebih asasi dan menjadi penentu segalanya. Hanya
dengan mengetahui siapa manusia, kita menjadi sadar tentang kedirian kita. Bukan itu saja,
mengenal diri penting dalam membebaskan manusia dari keterasingan. Manusia akan mampu
menyadari segala kekurangan dan kelebihannya jika ia sungguh mengenal dirinya sendiri.
Dengan mampu melihat diri ia akan mampu melihat yang lain yang lebih darinya entah itu
sesamanya, makhluk yang lainnya bahkan Penciptanya. Aristoteles menyatakan bahwa
manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara
berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons). Manusia adalah hewan yang berpolitik
(zoon politicon, political animal), hewan yang berfamili dan bermasyarakat. Memang begitu
banyak definisi yang bisa ditujukan pada manusia dan semuanya itu memang nyata ada dalam
manusia. Santo Thomas Aquinas mengatakan manusia adalah kesatuan badan dan jiwa. Tanpa
jiwa, badan tidak mempunyai bentuk. Tanpa badan, jiwa tidak akan mempunyai organ-organ
indera yang dibutuhkannya untuk memperoleh pengetahuan. Sebagai sebuah substansi fisik,
kita merupakan kesatuan jiwa dan badan. Malaikat-malaikat adalah inteligensi murni dan tidak
memiliki badan. Akan tetapi, meskipun manusia adalah makhluk rasional, atribut spesial
manusia adalah bereksistensi dan peran sebagai manusia hanya ketika disatukan sebagai badan
dan jiwa. Karena jiwa memberikan pada kita bentuk badani, maka jiwa yang memberikan
kehidupan, pemahaman, dan tampilan badani yang khusus. Jiwa memberikan juga kemampuan
untuk sensasi, kekuatan intelek dan kehendak. Namun, masih ada saja manusia yang
mempertanyakan dirinya itu hanya badan atau hanya jiwa saja. Pertanyaan itu akhirnya telah
dijawab oleh Thomas Aquinas. Jika manusia hanya jiwa maka manusia tidak akan berbentuk
fisik. Dan jika hanya badan maka manusia tidak akan bisa hidup karena jiwa membutuhkan
badan, dan badan membutuhkan jiwa. Badan dan jiwa menjadi satu kesatuan dalam diri
manusia. Istilah “cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada)” adalah ungkapan dari
Descartes yang ingin menunjukkan hakikat manusia dalam realitas. Pada dasarnya manusia
adalah makhluk yang berpikir. Manusia yang berpikir adalah orang-orang yang mampu
menunjukkan keberadaannya dalam realitas bahwa ia benar-benar ada, hidup, berpikir,
berkesadaran, meragukan sesuatu dan memiliki kemampuan atau daya untuk berpikir.
Manusia sebagai makhluk eksentris berarti manusia selalu terarah ke luar dari dirinya
atau selalu mengarah kepada orang lain. Orang lain adalah cerminan dari diriku. Melalui
perjumpaan dengan sesama kita semakin mengenal siapa diri kita. Manusia sebagai makhluk
eksentris menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, namun membutuhkan orang
lain dan lingkungan untuk hidup. Dalam bahasa modern seseorang bisa dikatakan manusia
sejati jika ia berani keluar dari zona nyamannya (comfort zone). Tidak ada manusia yang
terpisah dari dunia. Titik tolak dan titik akhir dari hakekat manusia adalah relasi dengan yang
lain. Lebih dalam lagi bahwa manusia secara total tergantung kepada Allah dan selalu terarah
kepada-Nya. Singkatnya, manusia sebagai makhluk eksentris adalah aku ada di dunia bersama
dengan orang lain dan selalu terarah kepada Allah.
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paradoksal. Dalam kisah penciptaan
sifat paradoks itu sudah tampak. Manusia hadir di dunia ini dimulai dari dilahirkan, kemudian
dididik, bekerja, bertumbuh, berkembang, dan pada akhirnya menuju pada kematian. Kematian
menandakan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas dalam sebuah alur kehidupan.
Kendati, mengetahui keterbatasannya, manusia terkadang berhasrat untuk hidup sebebas-
bebasnya dan ingin keluar dari alur yang sudah pasti itu. Sisi paradoks manusia terletak pada
keterbatasannya namun selalu berpikir akan ketidakterbatasan. Paradoks manusia
menampakkan sudut yang saling berlawanan dalam dirinya. Dua sudut yang saling bertolak
belakang itu tidak mungkin didamaikan karena manusia dalam hidupnya akan selalu
mengalami sisi paradoksal tersebut. Namun, ada keunikan dari dua sudut paradoksal manusia
yaitu akan selalu ada bersatu dalam diri manusia. Menurut Immanuel Kant manusia adalah
makhluk kontradiktoris. Di satu sisi manusia cenderung menarik diri dari manuisa yang lainnya
dan hidup sebagai individu. Namun, di sisi lain manusia tidak dapat sepenuhnya meninggalkan
sesamanya. George Simmel mengatakan manusia adalah makhluk perbedaan. Ia mengatakan
demikian karena manusia enggan dan tak dapat disamakan sepenuhnya dengan manusia yang
lainnya. Manusia selalu ingin sedikit berbeda dengan sesamanya. Meskipun demikian, manusia
juga tidak mau diisolasi dari yang lain, dalam arti tidak ingin dibedakan terlalu jauh dari sesama
manusia. Singkatnya, manusia adalah makhluk yang unik. Dengan mengetahui bahwa manusia
memiliki paradoks, maka manusia bisa memahami situasi dan kondisi individu lain yang ada
di sekitarnya. Paradoks itu juga menuntut manusia untuk bisa bertindak sesuai dengan keadaan
yang terjadi. Manusia tidak bisa memaksa sesamanya untuk bertindak sebagaimana makhluk
sosial secara sempurna karena setiap manusia memiliki kecenderungan untuk hidup sebagai
individu. Paradoksal berbeda dengan kontradiktoris. Dalam paradoksal dua hal yang
bertentangan, sama-sama benar. Kebenaran paradoks berada dalam kesatuan dua hal yang
bertentangan itu. Sedangkan kontradiktoris, kalau yang satu benar maka yang lain pasti salah,
dan sebaliknya. Dalam paradoksalnya manusia itu bebas sekaligus terikat, otonom sekaligus
tergantung, terbatas sekaligus tidak terbatas, individu sekaligus komunal, duniawi dan ilahi,
rohaniah dan jasmaniah, fana dan baka. Paradoksal itu menampakkan manusia sebagai “suatu
rahasia yang besar dan suci”.
Manusia adalah makhluk yang dinamis. Dinamis berarti mengalami perkembangan dan
perubahan. Perkembangan itu tentu didukung dengan menjalin relasi dengan sesama. Manusia
memiliki keunikan dalam kehasratannya menjalin hubungan dengan Allah. Manusia selalu
ingin mempererat relasinya dengan Allah. Maka tak heran jika manusia juga disebut sebagai
makhluk religius. Dinamis juga berarti suatu dinamika. Dinamika manusia berbeda dengan
dinamika di dunia alam. Kalau di dunia alam sebuah bunga yang menuju keindahannya karena
ada suatu dorongan kodrati yang bersifat keperluan. Dalam dunia alam berlaku yang namanya
determinisme. Determinisme adalah keyakinan filosofis bahwa semua peristiwa terjadi sebagai
akibat dari adanya beberapa keharusan dan karenanya tak terelakkan. Dinamika manusia selalu
berhubungan dengan segala relasinya yang eksistensial. Sifat manusia yang sulit merasa puas
membuatnya selalu ingin lebih dan lebih. Kecenderungan itu menjadikan manusia makhluk
yang tidak mau diam melainkan selalu bergerak untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Manusia akan merasa kecil diri jika tidak mengalami perkembangan entah dalam hal pekerjaan,
studi, dan lain sebagainya. Manusia cenderung ingin mendapatkan hal yang lebih dari
pencapaiannya semula. Ia tidak akan tenang jika itu masih tetap sama atau tidak terwujud.
Perkembangan manusia bukan hanya sebatas pencapaian tertentu tetapi juga perkembangan
dari aspek yang lainnya. Seperti berkembang dalam mengolah kepribadian. Manusia yang
sungguh dewasa adalah manusia yang mampu mengontrol emosi dan perasaannya. Jika ia tidak
melakukan perubahan dalam sikapnya besar kemungkinan ia akan dikucilkan. Kedinamisan
manusia juga tampak dalam hal bertanya. Waktu kecil pertanyaan hanya sekedar informatif.
Setelah dewasa lebih dalam lagi, dan setelah banyak pengalamannya manusia mulai sangat
kritis terutama menyangkut pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya. Salah satu pertanyaannya
adalah tentang keberadaan Allah. Pertanyaan itu telah dijawab oleh St. Thomas Aquinas
melalui lima jalan yang ia berikan. Jalan pertama yaitu gerakan. Benda-benda yang tidak
memiliki potensi untuk bergerak tidak mungkin dapat bergerak. Maka dari itu ia mengatakan
ada penggerak yang pertama dan utama yang tidak digerakkan yaitu Allah. Penggerak Pertama
adalah Penggerak yang tidak hanya secara potensial dalam gerakan tetapi harus actus purus
tanpa potensialitas. Jalan kedua yaitu penyebab yang efisien. Thomas Aquinas berpendapat
bahwa tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyebab bagi dirinya sendiri karena sesuatu pasti
ada sebelum dia ada. Menurut dia ada penyebab efisien pertama yang tidak disebabkan yaitu
Allah. Jalan ketiga “ada yang perlu”. Dalam dunia ini terdapat hal atau sesuatu yang mungkin
“ada” dan mungkin “tidak ada”. Segala sesuatu yang bereksistensi tidak mungkin selalu “ada”
karena dapat hancur dan beralih menjadi “tidak ada” pada suatu waktu. Thomas Aquinas
mengatakan bahwa harus ada suatu eksistensi yang bersifat mutlak yaitu Allah. Jalan keempat
yaitu ksempurnaan. Ia meyakini ada sesuatu yang menjadi penyebab akhir dari kesempurnaan
dan yang tidak menerima kesempurnaan itu dari yang lain. Thomas Aquinas menyebut
penyebab segala kesempurnaan dalam segala yang ada adalah Allah. Jalan kelima yaitu
tatanan. Thomas Aquinas menunjukkan bahwa ada wujud intelejensi yang mengarahkan
sekaligus menjadi tujuan dari semua benda alam. Wujud intelejensi tersebut adalah Allah
sendiri.
Manusia adalah makhluk multidimensional. Terkadang masih ada orang yang bertanya.
“Manakah kekhasan manusia dari makhluk yang lain?” Kembali lagi dengan pernyataan bahwa
manusia bukan benda namun jasmaniah. Manusia bukan tumbuhan tetapi bertumbuh dan
berkembang seperti semua tumbuhan lainnya. Manusia bukan hewan tetapi lahir dan mati
seperti semua hewan lainnya. Manusia bukan roh tetapi berpikir dan berefleksi. Singkatnya,
manusia memang suatu kesatuan. Dalam kesatuan itu ditemukan berbagai dimensi dengan
tingkatan ontologis yang berbeda. Lawan dari multidimensional adalah pluridimensional.
Pluridimensional mengikat manusia secara etis karena manusia seolah-olah hidup dalam satu
dimensi saja. Manusia sebagai makhluk multidimensional menunjukkan bahwa manusia
memiliki kekayaan dimensi yang luar biasa untuk dipelajari. Kekayaan itu dapat menjadi kajian
berbagai ilmu untuk menemukan, mengakui, merumuskan, dan menganalisis. Segala ilmu yang
telah ada itu pada akhirnya berusaha untuk menyelesaikan sejumlah problematika manusia
yang secara eksistensial merupakan makhluk yang penuh dengan persoalan dan masalah.
Manusia dengan alam memiliki kesatuan namun juga memiliki jarak. Manusia bisa melakukan
apa saja terhadap alam ini, lain dengan binatang. Manusia memiliki kebebasan merawat atau
merusak alam. Manusia tidak bersifat statis tetapi selalu berubah dalam situasi karena manusia
terlibat langsung dalam situasi tersebut. Situasi itu berubah dan mengubah manusia. Perubahan
itulah yang disebut sebagai sejarah.
Manusia adalah makluk yang paradoksal, dinamis, dan multidimensional. Maka tidak
heran jika ada pandang yang beranekaragam tentang manusia. Zaman ikut andil bagian dalam
keanekaragaman manusia. Berbeda zaman berbeda pula manusianya. Singkatnya, manusia tak
pernah sama. Contohnya manusia pada abad pertama berbeda dengan manusia pada abad
pertengahan. Dari situ dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis.
Kebudayaan juga mempengaruhi manusia. Manusia budaya barat berbeda dengan manusia
budaya timur. Keanekaragaman itu berakar pada kekayaan kodrat manusia yang tak mungkin
tersingkap dalam satu metode saja. Aristoteles mengatakan manusia adalah hewan yang
berakal budi (animal rationale). Namun, filsafat dewasa ini mengartikan manusia sebagai
makhluk yang berbicara (animal loquens). Ini muncul karena sangat nyata bahwa manusia
sangat unggul dalam bahasa dari makhluk yang lainnya. Filsafat lain juga ada yang mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk simbol (a symbolic animal). Definisi-definisi tentang manusia
itu bisa menjadi bahaya bagi manusia itu sendiri. Jika ia memandang aspek yang satu lebih
daripada aspek yang lain.
Jadi, sifat manusia yang dinamis membuatnya selalu mengalami perkembangan. Dalam
perkembangan itulah manusia berhadapan dengan berbagai masalah. Sifat dinamis dan
paradoksal yang dimiliki manusia jangan sampai membuat kita berhenti membicarakan
manusia karena semakin didalami semakin sedikit pengetahuan yang akan didapat. Hidup
manusia akan semakin bermutu jika terus digali kebenarannya. Sampaikan kapan pun manusia
tidak akan pernah berhenti untuk bertanya tentang dirinya sendiri. Karena manusia adalah
makhluk yang mampu berpikir. Pikiran manusia itu mampu membuatnya sampai pada
perenungan yang mendalam tentang dirinya atau tentang Allah. Jika manusia menggunakan
kebebasan berpikirnya dengan tidak baik ia akan menjadi manusia yang tidak sadar akan
kediriannya. Manusia sampai kapan pun tidak akan mampu menggunakan rasionya untuk
membuktikan segala sesuatu yang ada. Maka dari itu dibutuhkan iman. Iman mampu
menyelami apa yang tidak mampu diselami oleh akal budi. Rasio bersifat terbatas namun iman
tidak memiliki batas.

Sumber referensi:
Adelbertus Snijders. Filsafat Manusia. Sinaksak: Unika St. Thomas SU-Fakultas Filsafat,1993
(diktat).
Leo Srie Gunawan. Sejarah Filsafat 1. Sinaksak: Unika St. Thomas SU-Fakultas Filsafat,
[tanpa tahun] (diktat).
Kasdin Sihotang. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2018.

Anda mungkin juga menyukai