Tanpa Keluarga,
Gereja Tidak ada (Eklesia Domestica)
PENGANTAR
Ketika mendengar tema tentang peran keluarga katolik untuk kehidupan Gereja mungkin yang
muncul dibenak atau di pikiran kita adalah bahwa apakah keluarga dewasa ini bisa memberikan
pendidikan iman yang baik kepada anak-anak? Mengapa pertanyaan ini bisa muncul? Hal ini
berangkat dari sebuah kegelisahan atau bahkan pesimisme umum tentang kehidupan keluarga
kita dewasa ini. Begitu banyak tantangan yang dihadapi keluarga untuk bisa menghidupkan dan
mengembangkan sebuah tradisi religius dalam rumah tangga. Berkembanganya teknologi
informasi dan komunikasi seperti fenomena TV, internet, HP, dll, adalah suatu tantangan
tersendiri bagi keluarga untuk menciptakan suasana religius di dalam rumah tangganya. Satu
pertanyaan kritis dan reflektif bagi kita: Ketika dunia dipengaruhi perkembangan teknologi yang
begitu hebat, budaya materialisme ( di mana seseorang menganggap semuanya tentang uang)
dan hedonisme ( Hedonisme adalah sifat yang mementingan kesenangan ketimbang
kebutuhan) yang merajalela. Untuk itu lantas apakah orang tua masih mampu memberikan
bekal rohani yang baik bagi anak-anaknya?
Seharusnya kegelisahan-kegelisahan seperti di atas tidak perlu ada, sebab dalam tatanan
kehidupan kekristenan kita, keluarga merupakan unit kecil dari gereja bahkan dikatakan sebagai
gereja kecil tempat bersemai dan bertumbuhnya benih iman. Konsili Vatikan II menamakan
keluarga dengan Ecclesia Domestica (Gereja rumah tangga). Sebagai Gereja mini, keluarga
harus memberikan bekal iman yang mendalam bagi setiap anggotanya khususnya dalam hal ini
adalah anak-anak. Pengenalan pertama tentang Gereja atau iman Kristen justru terjadi dalam
keluarga. Apabila sungguh mengenal dan mendalami peran keluarga sebagai gereja mini ini,
kita tidak perlu takut akan segala kegelisahan di atas tadi.
Namun sayangnya banyak keluarga kita dewasa ini yang kurang menyadari perannya yang besar
ini. Banyak keluarga kita yang tidak lagi menjadi gereja kecil, tetapi menjadi neraka kecil dalam
gereja dan dunia. Di sana bertumbuh subur kebencian, iri hati, persaingan, curiga, dll, yang
akhirnya membuat keluarga-keluarga yang hancur dengan orang-orangnya yang putus asa,
tidak berprikemanusiaan, depresi, tidak punya semangat hidup, stress, dll. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini kita perlu sekali mendalami dan sungguh mengenal peran keluarga
sebagai gereja mini.
2.KELUARGA SEBAGAI GEREJA KECIL
a.Apa Maksudnya
Keluarga sebagai gereja kecil atau seperti kata St.Yohanes Christotomus sebagai gereja rumah
tangga yaitu tempat Yesus Kristus hidup dan berkarya untuk keselamatan manusia dan
berkembangnya kerajaan Allah. Sebagai Gereja juga, setiap keluarga dipanggil untuk
menyatakan kasih Allah yang begitu luar biasa baik di dalam maupun di luar keluarga. Oleh
karena itu, setiap anggota keluarga diberi makan sabda Allah dan sakramen-sakramen.
Keluarga sebagai gereja mini memiliki beberapa hal yang menjadi tugas dan perannya dalam
setiap rumah tangga Kristen. Saya merangkum beberapa tugas keluarga Katolik sebagai gereja
mini yaitu:
Mari kita melihat secara singkat beberapa tugas dan peran ini:
Dasar persekutuan hidup bersama suami-isteri adalah cintakasih, bukan harta atau tubuh,
pangkat, kedudukan, jabatan atau hobby dll. Persekutuan suami-isteri antara lain ditandai
dengan saling mengenakan cincin pernikahan; cincin bulat, tiada ujung pangkal, awal dan akhir,
melambangkan cinta kasih yang tak terbatas dan seutuhnya. Maka suami-isteri berjanji setia
untuk saling mengasihi baik dalam untung maupun malang sampai mati alias tidak akan
bercerai. Maka Yesus bersabda : “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena
itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Mat 19:6).
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan, suami dan isteri menjadi daya tarik untuk saling
bersatu dan mengasihi. Hendaknya perbedaan ini tidak hanya dipahami secara fisik melulu: alat
kelamin, wajah, dst., tetapi juga aneka perbedaan yang lain seperti hati, jiwa dan akal budi juga
menjadi daya tarik untuk semakin bersatu dan mengasihi. Perbedaan yang ada di antara kita
merupakan karya ciptaan Allah alias anugerah Allah. Maka ketika muncul perbedaan kata, cara
bertindak, selera dst..hendaknya tidak menjadi awal perpecahan melainkan awal membangun
persekutuan atau kebersamaan. Memang apa yang berbeda dapat menjadi masalah, tetapi
ingatlah bahwa apa yang disebut dengan masalah merupakan sesuatu yang menggerakkan atau
menghidupkan kita untuk bertindak atau melakukan sesuatu pula.
Pendidikan iman adalah sesuatu yang penting bagi anak-anak. Di tengah dunia dewasa ini yang
begitu sekular, pendidikan iman merupakan bekal penting untuk menjaga anak-anak agar tidak
terbawa arus kemajuan zaman. Tugas pendidikan ini pertama-tama diembankan oleh keluarga.
Dalam keluarga anak-anak belajar dan di didik untuk mengenal dan mempelajari nilai-nilai
religius. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak-anak untuk mempelajari
dan menghayati nilai-nilai kehidupan, termasuk nilai-nilai agama. Dengan demikian, orang tua
mempunyai tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anaknya agar semakin dewasa baik
secara jasmani maupun rohani.
Sejak dini, anak-anak harus diberikan bekal kehidupan rohani yang baik. Dalam ajaran dan
pedoman tentang pendidikan Katolik dikatakan: “… dalam keluarga Kristen, yang dilengkapi
rahmat dan tugas sakramen nikah, anak-anak sejak dini harus diajar memandang dan
menyembah Allah dan mencintai sesama sesuai iman yang diterima dalam permandian.”
Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa pendidikan iman itu adalah usaha orang tua untuk
memberikan semua hal pokok yang anak butuhkan untuk pencapaian kedewasaan pribadi
secara Kristiani. Orang tua perlu mengajarkan bahwa betapa dalam dan besarnya cinta kasih
Allah dalam Yesus Kristus kepada manusia. Mereka juga dibantu untuk semakin menyadari diri
sebagai anak-anak Allah, saudara-saudari Yesus Kristus, dan anggota Gereja.
Setiap keluarga Kristen juga dipanggil untuk mempersiapkan, memelihara dan melindungi
berbagai panggilan yang ditumbuhkan Allah dalam keluarganya. Panggilan di sini memang lebih
ditekankan pada suatu panggilan khusus dalam gereja seperti menjadi imam, biarawan dan
biarawati. Justru dalam keluargalah panggilan-panggilan semacam ini tumbuh. Ini suatu tugas
dan peran yang luhur bagi keluarga. Oleh karena itu, harus memperkaya diri sendiri dan seluruh
keluarga dengan nilai-nilai rohani dan moral, seperti semangat keagamaan yang mendalam dan
penuh keyakinan, kesadaran merasul dan menggereja, dan pengertian jelas mengenai apa itu
panggilan.
Banyak orang Kristen tidak memahami benar arti panggilan ini, sehingga jangan heran banyak
anak dan orangtuanya tidak merelakan diri dan anaknya menjadi imam, biarawan dan
biarawati. Bagi sebagian orang menjadi imam, biarawan, biarawati itu rugi. Ada juga yang
mengatakan, akh jadi pastor, tidak enak, tidak kawin, hidup sendiri selamanya. Hidup selibat
untuk menjadi imam, biarawan dan biarawati itu adalah suatu panggilan yang luhur, yang jauh
melebihi penilaian-penilaian tadi. Menjadi imam, biarawan dan biarawati diibaratkan sebuah
perjamuan makan. Perkawinan di dunia ini bisa diumpamakan seperti makanan-makanan
pendahuluan yang dimaksud untuk menumbuhkan selera agar nanti siap untuk menyantap
menu utama. Makanan pendahuluan itu bukanlah hal yang pokok, meskipun sering terjadi kita
sudah terlanjur menjadi kenyang oleh makanan pendahuluan itu. Ketika makanan pokok
disajikan kita tidak punya nafsu makan lagi. Mereka yang dipanggil untuk hidup sendiri tidak
menikah seperti imam, bruder, frater, suster (bahkan awam), sungguh-sungguh mengetahui
tentang sajian utama itu. Begitu besar keinginan mereka itu untuk menikmati hidangan utama
itu, mereka kemudian memutuskan untuk tidak menikmati sedikit pun menu pembuka tadi.
Selama sajian utama itu belum datang, memang mereka harus menahan diri, menahan air liur
bahkan mungkin tergoda karena melihat orang di sekitarnya menikmati hidangan pembuka itu.
Mereka memiliki keyakinan bahwa semenarik apa pun hidangan pembuka itu, lebih menarik
sajian utama. Sajian utama itu apa? Tidak lain adalah persatuan dengan Yesus Kristus sebagai
mempelai pria dan mereka mempelai wanitanya dalam perjamuan anak domba.
Memang hal ini sulit dipahami, apalagi oleh dunia dewasa ini yang begitu mendewakan seks,
hedonis dan materialis, hidup semacam ini adalah suatu keanehan. Tetapi bagaimana pun, cara
hidup ini haruslah dihormati bahkan bagi setiap keluarga Kristen seharusnya merindukan dan
selalu mendoakan agar panggilan ini ada dalam keluarganya. Tidak perlu takut. Setiap orang tua
hendaknya mengetahui dengan baik bagaimana menyambut secara terbuka rahmat dan
anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka apabila Tuhan memanggil salah seorang
puteranya menjadi imam dan puterinya menjalani hidup membiara. Rahmat semacam ini
haruslah selalu dimohon dalam doa dan diterima secara aktif dengan cara memberikan
pendidikan yang memungkinkan anak-anak muda itu menangkap kekayaan ini dan dengan
gembira mempersembahkan hidupnya untuk Tuhan. Suasana keluarga yang baik akan
memungkinkan tumbuhnya benih panggilan. Oleh panggilan anaknya, orang tua akan
memperoleh berkat cinta yang jauh lebih besar.
Pertama-tama setiap anggota keluarga perlu menyadari dan menghayati bahwa relasi atau
komunikasi antar anggota keluarga merupakan komunikasi iman dan kiranya di dalam keluarga
perlu juga diselenggarakan kegiatan doa atau pendalaman iman bersama. Dan setelah itu,
mereka harus menyadari bahwa mereka juga harus berperan serta dalam hidup dan misi gereja
yang melanjutkan tugas perutusan para rasul dari Yesus yaitu:
”Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah
semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan
ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah,
Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:18-20)
Ada beberapa hal yang bisa kita tangkap dr teks kitan suci tadi yaitu pertama “Jadikanlah semua
bangsa muridKu”. Menjadi murid Yesus berarti menjadi sahabat-sahabat Yesus alias
menghayati sabda-sabdaNya serta meneladan cara bertindakNya. Salah satu cara bertindak
yang mungkin baik menjadi teladan kita masa kini antara lain: “memberi makan yang kelaparan,
memberi minum yang kehausan, memberi tumpangan pada orang asing, memberi pakaian
yang telanjang, melawat atau mengunjungi yang sakit, mengunjungi yang berada dalam
penjara” (lihat Mat 25:35-36)
Yang kedua adalah “Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Dibaptis
berarti dibersihkan atau disisihkan seutuhnya bagi Tuhan, maka membaptis berarti menyisihkan
seutuhnya kepada Tuhan. Kita semua diciptakan dan dikasihi oleh Tuhan, dan karena dosa dan
kelemahan, kita menjauh dari Tuhan. Menyisihkan diri kita dan sesama serta ciptaan lainnya
bagi Tuhan antara: kita sendiri dan sesama kita memiliki budaya Tuhan Yesus: cara melihat,
cara berpikir, cara merasa, cara bersikap dan cara bertindak sesuai dengan cara Yesus.
Selanjutnya “Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”.
Perintah utama dan pertama dari Yesus adalah ‘saling mengasihi’, maka kita semua dipanggil
untuk senantiasa hidup saling mengasihi serta mengingatkan orang lain atau sesama kita untuk
menyadari dan menghayati diri sebagai ‘yang terkasih’ dan kemudian saling mengasihi satu
sama lain. “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan
menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak
ada faedahnya bagiku” (1Kor 13:3)
3. PENUTUP
Menutup pertemuan ini, perlulah saya menekankan bahwa untuk mewujudkan keluarga
sebagai gereja mini dengan segala tugas dan perannya, kita harus menjadikan Yesus sebagai
pusat hidup kita. Setiap anggota keluarga haruslah berusaha untuk mengenal dan mengalami
kasih Tuhan. Apabila keluarga kita menjadikan Yesus sebagai pusat hidupnya, maka keluarga
kita akan membawa berkat bagi setiap anggotanya dan orang lain di luar keluarga kita.
Sebabnya apa? Kebersatuan kita dengan Yesus akan melahirkan cinta kasih, kelembutan,
kesetiaan, kedamaian, kerendahan hati dan saling menghormati dalam keluarga. Dengan
demikian keluarga sebagai gereja mini akan terwujud.
Kemudian kembali kepada kegelisahan universal yang saya singgung pada awal ulasan ini
bahwa mungkinkah keluarga sebagai tempat berseminya tradisi religius tetap eksis di tengah
dunia yang materialis, hedonis dan konsumeris ini? Ini sebuah tantangan bagi keluarga kita
masing-masing. Tantangan besar bagi terciptanya sebuah keluarga yang penuh iman dan cinta
kasih menurut saya adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti TV,
internet dan HP. Pengaruh dari hal-hal semacam ini akan bersaing dengan usaha kita
menciptakan keluarga yang diwarnai iman dan cinta kasih yang menjadi ciri dari keluarga
sebagai gereja mini. Oleh karena itu, mari kita bersama berjuang untuk menciptakan keluarga
kita masing-masing gereja kecil tempat Yesus hadir dan tempat Roh kudus berdiam.