Anda di halaman 1dari 14

ETIKA PERJANJIAN BARU

A.      Akar Etika Perjanjian Baru

Etika Perjanjian Baru berakar dari “Etika Taman Eden” dan “Etika Perjanjian Lama”.
Yesus mengakui “Otoritas Etika Taman Eden” (Kej. 1-3), khususnya samalah kejatuhan dosa
manusia pertama yang mengakibatkan hubngan Allah dengan manusia terputus dan adanya
nubuat perdana tentang keselamatan (Kej. 3:15). Teologi dan Etika PB memiliki hubungan yang
erat dengan konteks PL karena itu merupakan dasarnya. Dalam PL yang merupakan inti dari
Etika PL ialah Kesepuluh Perintah Tuhan yang disimpulkan oleh yesus dalam dua pandanga
etis yaitu: “Kasih Terhadap Allah dan Kasih Terhadap Sesame Manusia” (Mat. 22:37-39) dan
hal ini menjadi hukum yang terutama dalam Perjanjian Baru.

Dalam Perjanjian Baru khusunya tokoh-tokoh penulis Injil dan beberapa tokoh lainnya
memiliki etika yang berbeda-beda:

1.    Matius
Matius serius menerima ajakkan Yesus dan mengikuti-Nya, ia bertobat dari
kehidupannya yang lama yang penuh dosa sehingga menjadi orang percaya yang setia kepada
Yesus (Mat. 9:9) dan ia mau melepaskan sikap “cinta uang” dan bersedia hidup jujur dan
mengikuti Yesus serta tidak lupa mengucap syukur dalam hidupnya yaitu dengan mengadakan
perjamuan makan menyambut Yesus dan murid-murid-Nya (Luk. 5:29). Matius tabiatnya rendah
hati dan menyadari aibnya, ia membiarkan ketika disebut “Pemungut Cukai” yang ditulisnya
sendiri dalam Injil Matius.
2.    Markus
Markus menyambut berita anugerah dari palayanan Petrus dan ia bertobat kemudian
aktif dalam pelayanan pemberitaan Injil bersama Petrus (1 Pet. 5:13). Markus seorang yang
pandai bergaul dan ia banyak dikenal oleh banyak jemaat, sehingga ia menulis dengan
memberikan perhatian pada sikap banyak umat Kristen ketika mendengarkan ajaran Yesus
seperti “tabjuk” (Mark. 1:27), “tercengang” (Mark. 7:37), “takut” (Mark. 4:41), “bertanya-tanya”
(Mark. 6:14, dan lainnya. Markus mempunyai iman dan pribadi yang baik sehingga Paulus
menulis bahwa Markus adalah penghibur baginya dalam pergumulan yang dialaminya (Kol.
4:10-11).
3.    Lukas
Lukas merupakan non-Yahudi yang beriman kepada Yesus, hidupnya taat, setia, rendah
hati/tidak sombong, dan bersikap disiplin. Ia seorang dokter (Kol. 4:14) dan dengan itu ia
mengasih orang-orang yang membutuhkan pertolongan bahkan Paulus sendiri menulis ketika ia
dalam penjara “hanya Lukas yang tinggal dengan aku” (II Tim. 4:11) dan ia juga menyebutkan
Lukas sebagai “tabib Lukas yang kekasih” (Kol. 4:14). Dalam tulisan Lukas paling banyak
menyoroti tentang pertolongan Yesus terhadap orang sakit disbanding ketig Injil lainnya.
4.    Yohanes
Yohanes sikapnya penush semangat dan segera bertindak dan ia juga memiliki
kecerdasan yang baik, hal ini terlihat dimana Yohaneslah yang pertama-tama mengerti makna
dari kain kafan yang terlipat rapi tanpa mayat di dalamnya (Yoh. 20:1-9). Yohanes memiliki
karakter yang positif sehingga ia bisa berkawan akrab dengan Petrus dan murid lainnya.
5.    Maria
Maria merupakan gadis yang sederhana dan menjaga kesucian dan patut pada adat
istiadat bangsanya. Ia rendah hati dan imannya tunduk dan berserah penuh apapun yang terjadi
dia yakin bahwa Tuhan tidak akan tinggal diam dan ia menyadari bahwa apa yang ia alami
merupakan panggilan dan tugasnya. Ketika mengandung ia menerima keadaan sehingga tidak
bersedih dengan yang ia alami. Bahkan ketika mau kelahiran Yesus ia tidak bersedih meskipun
mengungsi ke Mesir (Luk. 2:11; Mat. 2:13,14)
6.    Yusuf
Yusuf seorang Yahudi yang beriman dan saleh serta memelihara adat istiadat kehidupan
bangsanya. Ia seorang yang tulus dan baik hatinya, bahkan ketika mengetahui tunangannya. Ia
tidak marah dan tidak langsung menuduh Maria telah mengingkari janji setianya, meskipun bagi
seorang laki-laki ini adalah hal yang sulit tetapi ia tetap tidak menceraikan atau meninggalkan
Maria.
7.    Para imam
Para imam pada awalnya bermoral baik, namun selanjutnya mengalami “perubahan”.
Mereka sering kali menerima suapan untuk memutar balikkan keadilan. Mereka mengabaikan
tugas pokok mereka dalam hal kegiatan ibadah keagamaan, tetapi malah beralih pada ambisi
duniawi untuk meraih kekusaan politik. Mereka memiliki sikap yang sewenang-wenang dan
arogan pada masa kehidupan Yesus, dimana mereka yang merekayasa penangkapan dan
pengadilan Yesus agar dihukum mati.
8.    Ahli taurat
Para ahli Taurat pada prinsip hidupnya adalah untuk “mengabdi” pada keagamaan, demi
pemeliharaan dan kemajuan kerohanian umat Yahudi. Mereka sangat menghormati Perjanjian
Lama dan mereka memiliki tabiat yang mudah tersinggung, sehingga mereka sangat membenci
Yesus. Dengan itu mereka bersekongkol dengan orang Farisi dan Imam kepala untu mengadu
domba Yesus. Dan, mereka menempatkan tradisi lebih tinggi dibanding kitab suci PL.
9.    Orang farisi
Kaum Farisi awalnya adalah kumpulan orang Yahudi yang merasa dirinya orang saleh
dan memisahkan diri karena tidak sepaham (lebih menonjol ke “aku”annya). Mereka cenderung
memiliki tabiat sombong karena merasa dirinya paling baik dan memiliki karakter yang gila
sanjungan/ gila hormat dikalangan orang Yahudi (Luk. 11:43). Mereka cenderung menafsirkan
Alkitab dengan keperluan pribadi dan membuang kebenaran dengan memakai alasan tradisi
nenek moyang (Mat. 3:7).
10.     Kaum saduki
Kaum Saduki lebih mengutamakan jabatan dan kekayaan dalam hidupnya dan sikapnya
bersifat liberal. Mereka memiliki tabiat yang angkuh dan menyukai perdebatan dengan guru-guru
yang bukan Yahudi dan menghalalkan segala cara dalam perdagangan atau bisnis gelap yang
penting memiliki keuntungan besar. Kaum saduki sebagai para imam tidak segan melakukan
kejahatan, dan dengan segala macam cara berusaha menganiaya para rasul dan jemaat mula-
mula.
11.     Orang herodia
Herodiam memiliki karakter yang lebih mengutamakan kelompoknya sendiri daripada
bangsa Yahudi. Tabiat mereka licik dan penuh tipu muslihat dan mereka aktif bergabung dengan
orang Saduki dan Farisi untuk mencari-cari cara alasan membunuh Yesus.
12.     Orang samaria
Orang Samaria menentang orang Yahudi yang pulang dari babel dan melarang mereka
mendirikan bait Allah di Yerusalem sehingga timbul permusuhan yang keras dan sehingga
mereka tidak saling bergaul lagi. Mereka hanya mengakui lima kitab Musa saja sebagai Firman
Allah, menolak kitab Nabi-nabi dan kitab Sejarah.
B.       Murid-Murid Yesus
Ke-12 murid Yesus dapat disebut “murid khusus”:
1.      Andreas
Andreas tabiatnya baik hati dan suka menolong serta memiliki watak yang sederhana
dan bertubuh kuat. Andreas aktif memberitakan Injil yang konsisten dengan apa yang diutus oleh
Yesus.
2.      Simon Petrus
Petrus tabiatnya kurang sabar dan suka omong besar dan mudah berjanji yaitu ketika
Yesus berbicara tentang adanya murid yang menyangkal diri-Nya dihadapan semua murid-Nya
dan Petrus dengan suara lantang menyatakan kesetiaannya kepada Yesus (Mat.26:69-75)
3.      Yakobus Anak Zebedeus
Ia seorang yang sangat bersemangat dalam pelayan sehingga Yesus menamai dia “anak-
anak guruh” atau Boanerges (Mark. 3:17). Ia juga memiliki sikap egois, hal ini terlihat saat
meminta pada Yesus untuk duduk disamping-Nya dalam kemuliaan-Nya (Mark. 10:37).
4.      Filipus
Filipus orang yang sederhana dan bukan orang pandai, namun ia mengambil sikap
bertindak daripada mengerti saja. Ia pandai meyakinkan orang lain untuk percaya kepada Yesus
oleh karena sikap yang tidak kritis terhadap apa yang dilihatnya.
5.      Bartolomeus atau Natanael
Ia seorang yang rasionalis dan seorang yang jujur dan berpandangan terbuka tanpa
kepalsuan dihatinya. Ia memiliki pribadi yang tulus dan beribadah yang benar sebagai orang
Israel, sehingga bisa menyebut Yesus dengan tegas sebagai Rabi, Anak Allah, dan Raja orang
Israel (Yoh. 1:49)
6.      Tomas
Tomas sebelumnya memiliki watak seorang “peragu” dan lemah dan sifat rasionalis
sebab baginya kebangkitan orang mati adalah perkara yang luar biasa. Tomas orang yang
bersikap sitia dan siap matibuat Yesus.
7.      Yakobus Anak Alfaes
Yakobus muda wataknya konsekwen, karena itu ia memelihara perintah yang Yesus
berikan padanya sebagai murid utusan-Nya karena mememberitakan Injil sampai ke negeri lain
(Luk. 9:16).
8.      Tedeus atau Yudas Anak Yakobus
Tedeus seorang yang konsenkwen dalam menjalankan tugas yang telah diberikan
kepadanya, ia memiliki kesungguhan hati yang baik sehingga terus bertumbuh imannya kepada
Yesus.
9.      Simon Orang Zelot
Memilliki kepribadian yang serius dan selalu patuh atas utusan pemberitaan Injil
kebebagai negeri lain, dan memberi kuasa mengusir setan (Mark. 3:13-15).
10.  Yudas Iskariot
Sikap dan wataknya licik, ia menyembunyikan niat sebenarnya dengan mengatakan
untuk membantu orang miskin (Mark. 14:5-6).
C.      Yohanes Pembaptis
Yohanes Pembaptis seorang yang memiliki kepribadian yang mengasihi, ia hidup saleh,
pendoa dan selalu menekankan soal moral agar orang Farisi dan Saduki tertegur dengan
perkataannya. Ia sangat bersemangat dalam pemberitaan Injil kepada banyak orang sepaya
menghasilkan buah sesuai dengan pertobatan dan ia seorang yang berani membela kebenaran
sehingga mengancam nyawanya sendiri.

D.      Dasar Etika Yesus


Dasar ajaran Yesus dalam Perjanjian Baru banyak membicarakan masalah etika, baik
etika pribadi maupun etika sosial. Yaitu:
1.      Mengasihi Tuhan Allahmu
Dasar yang paling utama dari etika Yesus adalah “kasihilah Tuhan Allahmu” yang
menyangkut segenap hati, jiwa dan akal budinya (Mat. 22:37-38). Nah, disini dijelaskan bahwa
sebelum mengasihi tentulah kita haruslah percaya terlebih dahulu dan menerima-Nya sebagai
juruslamat satu-satunya secara pribadi. Pengertian mengasihi Tuhan artinya: 1. Menyerahkan
kehendak kita kepada pimpinan Tuhan dan mematuhi-Nya. 2. Kesetiaann dan keterikatan
pribadinya terhadap Tuhan Yesus dalam kehidupan ditengah-tengah dunia yang berdosa. 3.
Mentaati pengajaran yang menyangkut nilai-nilai moral Kristiani secara utuh.
2.      Mengasihi Sesama  Manusia
Tuhan Yesus juga memberika perintah agar mengasihi sesama manusia seperti dirinya
sendiri (Mat. 22:39). Pengertian mengasihi sesama artinya bersikap baik, murah hati mau
menolong, memperhatikan keadaan, bersedia memaafkan, sabar, tidak iri, sopan, ramah dan lain-
lain. Apa yang baik dan bermanfaat untuk dirinya sendiri, berarti itulah yang mesti ia lakukan
terhadap sesamanya.
E.       Etika Paulus dalam surat-suratnya
1.      Sebelum Paulus Bertobat
Ia seorang yang fanatik terhadap agama Yahudi dan tekun mempelajarinya, bahkan ia
tidak bercacat dalam mentaati Hukum Taurat (Fil. 3:6), sehingga ia lebih maju daripada teman-
temannya yang lain. Ia sangat menentang keras ketika muncul Yesus dan ajaran-Nya, ia
melakukan pengejaran dan penganiayaan serta berusaha untuk membunuhnya seperti halnya
dengan Stevanus yang dilempar batu dampai mati.
2.      Etika Paulus Setelah Bertobat
Paulus melatih diri untuk disiplin kerohaniannya (1 Kor. 9;24-27), ia selalu melayani
dengan sepenuh hati dan tidak menganggap dirinya hebat seperti dahulu kala. Paulus seorang
pejuang dalam memberitakan Injil yang memiliki keberanian dan ketabahan menghadapi
tantangan dan ancaman, penganiayaan, siksaan, dipenjara dan lain sebagainya.

F.       Etika Surat-surat Umum


1.      Surat Ibrani
Dalam surat Ibrani ini lebih ditegaskan bahwa hasul lebih dalam lagi dan lebih patuh
lagi dalam melakukan dan mengnal jalan keselamatannya sebagai orang yang percaya, supaya
jangan hanyut dalam ajaran yang tidak benar.
2.      Surat Yakobus
Dalam surat Yakobus ini lebih menekankan tentang perbuatan dan iman, sehingga dapat
dikatakan sebagai pelaku Firman bukan hanya sebagai pendengar saja. Dalam hal ini juga Surat
Yakobus memberiakn perhatian kepada orang banyak dan masala-masalah yang kerap dihadapi.
3.      Surat I dan II Petrus
Surat I Petrus memberikan kepada kita bahwa haruslah bergembira dalam pencobaan
dan selalu hidup rukun antar sesama manusia dalam kasih Allah dan mengajarkan tentang
kerendahan hati sepada semua orang. Surat II Petrus lebih mengarah bagaimana membangun
iman diatas moral dan kasih Allah dan bagaimana kita meneguhkan panggilan kita dan melawan
ajaran-ajaran sesat (guru-guru palsu).
4.      Surat I, II, dan III Yohanes
Dalam I Yohanes memberikan kepada kita pilihan hidup agar setiap yang kita lakukan
sesuai dengan apa yang kita percaya dan bagaimana kita memperlakukan orang disekitar kita. II
Yohanes, mengajarkan supaya kita waspada adanya guru penyesat agar tidak terjerumus
didalamnya dan hidup saling mengasihi. III Yohanes mengajarkan agar kita saling menolong,
dan tidak beperilaku kasar.
5.      Surat Yudas
Mengajarkan kepada kita bagaimana kita membangun iman kita diatas dasar yang benar
dan nasihat untuk bertekun dan menunjukkan kasihnya kepada orang lain, orang percaya maupun
bukan orang percaya.
G.      Etika Kitab Wahyu
Yang paling mencolok adalah tentang panggilan untuk bertobat dan bagaimana kita
berjuang untuk meraih kemenanga didalam Yesus Kristus sebagai Juruslamat umat manusia dan
peringatan akan bahaya menjelang akhir zaman.

Kelebihan Buku “Etika Perjanjian Baru” Pdt. Dr. Karel Sosipater:


Setelah saya membaca dan merenungkan buku ini saya sangat diberkati tentang
berbagai karakter atau Etika yang ada dalam Perjanjian Baru terkhusus dengan uraian Etika para
tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Dengan demikian saya lebih memiliki wawasan dalam
melakukan setiap pelayan atau pekerjaan yang akan saya jalankan. Buku ini memberikan uraian
yang baik sehingga saya sebagai pembaca dapat mengikuti alur atau jalan pikiran yang
dipaparkan oleh Pdt. Dr. Karel Sosipater dalam Etika Perjanjian Baru. Uraian ini juga mudah
diterapkan dalam jemaat kerrena dari bahasa dan cara penyajian sangat baik, sehingga para
anggota jemaat memiliki karakter yang baik dan sesuai dengan Firman Tuhan.

Kekurangan Buku “Etika Perjanjian Baru” Pdt. Dr. Karel Sosipater:


Ada kelebihan dan pasti juga ada kekurangannya, saya melihat kekurangan dalam buku
ini dalam hal: Pertama, tidak adanya uraian cara yang lebih baik agar setiap pembaca dapat
mengaplikasikan setiap isi yang ada dalam buku ini. Kedua, kurangnya dorongan kepada setiap
pembaca untuk belajar dari uraian etika dalam PB ini sehingga banya orang hanya bertujuan
untuk sekedar membaca dan tidak ada tindakan karena kurangnya himbauan.

Tuhan atas Sabat


Kisah Yesus Menyembuhkan di Hari Sabat (Matius 12)

Orang-orang Farisi mengikuti terus rombongan Tuhan Yesus. Apakah karena mereka mau
mendengar firman? Atau mungkin mereka ingin menjadi murid Tuhan Yesus juga? Tidak.
Mereka mengikuti kelompok ini karena mau mencari kesalahan kelompok ini. Jika
mereka bisa menemukan kesalahan mereka, maka mereka akan menghantam kelompok ini
habis-habisan. Mereka begitu penuh dengan iri hati dan dengki. Mereka begitu benci
Yesus dan pengikut-Nya, tetapi tidak sanggup melawan mereka. Jika dosa mereka bisa
dibuktikan, barulah ada kekuatan bagi orang Farisi untuk menghancurkan kelompok ini.

Tetapi ternyata kehidupan Yesus dan para murid begitu baik sehingga mereka tidak
sanggup menemukan hal-hal yang dapat membuat mereka dibenci oleh orang banyak.
Ayat 1-2 mengatakan bahwa hal yang mereka dapat temukan hanyalah para murid
memakan bulir gandum di hari Sabat. Orang-orang Farisi itu menganggap para murid
telah melanggar hukum Sabat. Orang Yahudi tidak boleh bekerja di ladang pada waktu
hari Sabat, dan murid-murid memetik bulir gandum pada hari Sabat. Memetik bulir
gandum ternyata mereka anggap sama dengan bekerja di ladang.

Lihat betapa piciknya orang-orang Farisi itu. Hal yang dicari-cari seperti ini pun mereka
anggap cukup kuat untuk menjatuhkan nama Yesus. Orang-orang yang cuma tahu
peraturan tetapi tidak pernah memahami esensi dari peraturan itu akhirnya menjadi orang-
orang yang kaku dan sangat mudah menghakimi orang lain. Peraturan Sabat dibuat agar
manusia mengkhususkan satu hari bagi Tuhan sebagai bentuk ibadah kepada Dia. Itu
sebabnya Tuhan melarang siapa pun melakukan pekerjaan pada hari itu karena itu adalah
hari di mana orang Israel menghadap Tuhan. Umat Tuhan perlu satu hari yang
dikhususkan bagi Tuhan. Siapa yang memandang serius hal ini pasti disertai Tuhan. Jika
kita mengutamakan ibadah dalam hari itu dan menyerahkan kepada Tuhan untuk
pemeliharaan kita, maka kita sedang menjalankan hukum Sabat. Tetapi orang-orang
Farisi, terutama dari golongan Shammai, begitu kaku dan mendetail untuk hal-hal yang
tidak penting sambil mengabaikan hal-hal yang jauh lebih esensial. Menjalankan Taurat
tanpa hati yang dikuasai oleh kebenaran dan kasih adalah omong kosong. Mereka hanya
pandai menghakimi orang lain tanpa tahu apa yang menjadi dasar kebenaran yang
seharusnya dilakukan oleh umat Tuhan.

Maka Tuhan Yesus menjawab mereka dengan memakai dua contoh. Yang pertama adalah
dari 1 Samuel 21:5-6: Pada waktu itu Daud sedang melarikan diri dari Saul dan berada
dalam keadaan lapar. Imam Ahimelekh memberikan kepadanya roti sajian untuk mezbah
Tuhan meskipun seharusnya roti itu disajikan di depan mezbah Tuhan. Imam itu
memutuskan untuk mengutamakan belas kasihan bagi Daud yang dalam keadaan lapar
daripada peraturan mengenai larangan makan roti. Imam itu berhak melakukan demikian
karena belas kasihan kepada orang yang memerlukan jauh lebih utama dari segala
seremoni ibadah (Hos. 6:6). Contoh kedua yang Tuhan Yesus berikan adalah Bilangan
28:9-10 di mana para imam tetap melakukan pekerjaan mereka di dalam Bait Allah di hari
Sabat. Bait Allah memiliki “otoritas” mengizinkan pekerjaan yang dilakukan di dalamnya
di hari Sabat.

Tuhan Yesus membongkar kepicikan orang Farisi dengan membandingkan mereka dengan
Imam Ahimelekh dan para imam yang melayani dalam tempat suci. Mereka memiliki
keketatan yang salah, kaku, dan dingin. Inilah yang menjadi penyakit mereka, dan juga
banyak orang Kristen legalis sekarang. Mementingkan seremoni di atas belas kasihan.
Mementingkan metode di atas inti berita Injil. Mementingkan kekudusan hanya dari apa
yang tampak. Hati yang kotor dan rusak tidak masalah, asal tidak terlihat di depan orang
lain. Betapa memuakkan orang-orang yang mengajarkan tingkah laku suci tetapi memiliki
hati yang kotor. Kapan kita mau belajar membersihkan hati dulu sebelum mengkritik
tingkah laku orang lain? Hai kita sekalian yang sangat berjiwa Farisi, mengapa kita
melihat noda di dalam tingkah laku orang lain, tetapi gagal melihat noda kesombongan di
dalam hati kita sendiri?

Hal kedua yang menjadi kesalahan orang-orang Farisi ini, selain hati picik mereka, adalah
mereka gagal mengenal Allah melalui mengenal sifat-sifat Yesus. Yesus memiliki sifat-
sifat Allah yang sempurna. Jika orang-orang Farisi itu dekat dengan Allah, maka tentulah
mereka akan mengenali sifat-sifat Allah di dalam diri Yesus Kristus. Tetapi apakah
mereka melihatnya? Tidak. Mengapa tidak? Karena sebenarnya mereka tidak mengenal
siapa Allah itu. Jika kita ingin menjadi orang Kristen sejati, maka hal utama yang harus
kita lakukan adalah menjalani hidup kita dengan memancarkan sifat-sifat yang dimiliki
oleh Kristus. Kristus mementingkan belas kasihan di atas segala seremoni yang kaku.
Kristus melihat manusia dengan cara yang sama Bapa di surga melihat mereka. Kristus
memberi belas kasihan kepada mereka yang lemah dan kecil, tetapi Dia menegur dan
dengan keras menghantam kesombongan orang Farisi. Bapa mengasihi orang berdosa
tetapi membenci orang yang merasa benar. Demikian juga kita seharusnya membenci
kebenaran yang dinyatakan melalui tindakan-tindakan kosong tanpa arti karena dilakukan
dengan hati yang jauh berbeda dengan hati Allah. Allah mengasihi mereka yang lapar
lebih daripada menginginkan roti sajian yang utuh di meja mezbah-Nya. Allah mengasihi
mereka yang hidup di dunia ini lebih daripada peraturan untuk hidup itu sendiri. Justru
Taurat dan hukum-hukumnya diberikan agar mereka yang hidup dapat menjalani hidup
yang diperkenan Allah.

Hal ketiga yang menjadi kesalahan mereka adalah mereka gagal melihat otoritas Kristus
sebagai otoritas ilahi. Jika Yesus hanyalah seorang nabi biasa, mengapa Dia berani
memberikan penafsiran terhadap Taurat yang begitu radikal dan berani? Orang Farisi
tetap merasa Yesus harus tunduk kepada Taurat. Yesus sendiri mengatakan bahwa Dia
bertugas untuk menggenapi Taurat, tetapi Dia tidak pernah menyatakan otoritas yang Dia
miliki lebih rendah daripada Taurat. Dia adalah Allah yang menyatakan Taurat! Dia
berhak mengklaim otoritas lebih dari nabi mana pun atas penafsiran-Nya terhadap Taurat.
Maka Tuhan Yesus menutup jawaban-Nya dengan kalimat yang akan membuat orang-
orang Farisi makin membenci-Nya. Dia mengatakan bahwa Anak Manusia adalah Tuhan
atas hari Sabat. Dia bukan hanya berotoritas menafsirkan pengertian Sabat, tetapi Dialah
yang memberikan hukum Sabat sedari mulanya.

Di dalam jawaban-Nya terhadap orang Farisi ini Tuhan Yesus sedang memberikan
pengertian yang benar tenang Sabat, yaitu Sabat diberikan untuk manusia, bukan manusia
untuk Sabat. Manusia memerlukan hari di mana dia beristirahat dari pekerjaannya dan
datang menyembah Allah. Sabat diberikan agar manusia belajar menghormati Allah dan
belajar menyadari bahwa dia tidak bergantung pada pekerjaannya, melainkan kepada
Allah. Manusia perlu menyembah Allah. Karena manusia lebih penting dari Sabat, maka
Tuhan menetapkan peraturan mengenai Sabat agar manusia dapat menjadi manusia yang
utuh yang menyembah Allahnya dengan benar dan sepenuh hati.

Untuk diingat:

1. Jagalah cara kita memandang orang lain! Jangan dengan perasaan superior! Jangan
dengan meremehkan! Injil ditulis dengan salah satu pesan yang menyatakan bahwa
Allah mengasihi orang-orang remeh. Berbahagialah mereka yang miskin dalam
roh, yaitu mereka yang merasa orang lain lebih utama dan lebih baik daripada diri
sendiri.
2. Mari ingat bahwa belas kasihan lebih penting daripada seremoni-seremoni apa
pun. Melayani Tuhan berarti melayani sesama manusia. Manusia lebih penting
daripada semua tata cara ibadah dan peraturan. Peraturan dan tata cara ibadah
dibuat bagi manusia dengan tujuan agar manusia mampu menjalankan tujuan
penciptaannya.
3. Tuhan Yesus tidak pernah membatalkan peraturan mengenai Sabat. Dia
menjelaskan esensi dari Sabat. Sabat adalah hari di mana manusia menikmati
istirahat di dalam Allah. Mari kita juga ingat untuk menganggap hari ibadah kita
bukan sebagai peraturan mengikat yang terpaksa kita jalankan, tetapi sebagai hari
di mana kita beristirahat di dalam Tuhan kita.

Doa:
Kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, sebab kami boleh menerima belas kasihan dari-Mu
terus menerus. Kami mohon Tuhan bimbing kami untuk menghargai manusia,
menghormati orang lain, dan memelihara kehangatan kasih dan ketaatan kami kepada
Allah Bapa kami dengan memberikan hati bagi orang lain agar mereka hidup bagi Allah,
sama seperti kami juga hidup bagi Allah kami. (JP)
Mengisi sabat dengan kasih

Orang Farisi mempersoalkan murid-murid Yesus yang memetik bulir gandum pada hari
Sabat. Para murid dituduh melanggar peraturan Sabat. Jawaban Yesus membongkar
pemahaman keliru akan prinsip Sabat. Prinsip Sabat adalah aturan Sabat yang tertuang dalam
Taurat Musa. Sedangkan peraturan Sabat di atas adalah buatan manusia. Peristiwa Daud
memakan roti sajian yang diperuntukkan para imam (Im. 24:9), dan tindakan imam yang bekerja
justru pada hari Sabat merupakan contoh penerapan prinsip Sabat yang benar. Kalau untuk
yang kedua orang Farisi tidak mempersalahkan, seharusnya demikian juga untuk yang
pertama. Bagi Yesus keduanya sesuai prinsip Sabat yang dibuat untuk kepentingan manusia.

Pertentangan kedua terjadi di sinagoge. Yesus bertemu dengan seorang yang mati sebelah
tangannya. Orang Farisi memakai kesempatan itu untuk mempersalahkan (= menuduh di muka
pengadilan) Yesus (10). Mereka bertanya: "Bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat?"
Jawaban Yesus akan mereka pakai untuk mendakwa-Nya di hadapan Mahkamah Agama.

Yesus menjawab dengan sebuah contoh tentang domba yang jatuh di lobang pada hari
Sabat (11). Manusia lebih berharga dari pada domba; jika domba saja boleh ditolong pada hari
Sabat, apalagi manusia. Sayang, tindakan penyembuhan yang dilakukan Yesus itu tidak
menggugah hati orang Farisi untuk memahami ajaran Yesus yang menekankan kasih. Mereka
sudah membeku dalam aturan-aturan Sabat yang mereka buat sendiri. Mereka malah
melanggar prinsip Sabat karena bermufakat untuk membunuh Yesus (14).

Sabat memang berarti "perhentian" bagi segala aktivitas pekerjaan. Tujuannya adalah agar
manusia beristirahat dan menikmati belas kasih Allah. Maka, berbuat baik atau menolong
sesama manusia pada hari Sabat bukan hanya benar melainkan baik! Sabat merupakan kasih
karunia Tuhan, maka justru pada saat Sabat itulah belas kasih Tuhan harus dinyatakan kepada
sesama, bukan malah menabur kedengkian seperti yang dilakukan orang Farisi.
ETIKA KRISTEN DAN PERJANJIAN BARU
(Pengajaran Yesus Berkaitan dengan Hukum Taurat)

I. Pendahuluan

Etika Kristen dan Perjanjian Baru dalam paper ini berbicara mengenai pengajaran
Yesus. Yesus memberikan pengajaran yang menjadi teladan mengenai banyak hal bagi
umat yang melihat, mendengar, dan merasakan, khususnya umat Yahudi yang ada
bersama-sama dengan Dia. Pengajaran etika Yesus sebenarnya berawal dari hukum Musa
yang berlandaskan kehendak Allah. Etika Kristen tidak hanya etika pribadi, tetapi yang
penting diingat adalah bahwa etika Kristen beranjak dari dasar ‘kasih’, seperti yang tertulis
dalam Alkitab yang mengatakan bahwa manusia wajib mengasihi Tuhan, sesama dan diri
sendiri.[1] Dalam paper ini akan dibahas mengenai pengajaran Yesus yang berkaitan
dengan Hukum Taurat yang diterima Musa.

II. ISI

1. Ajaran Yesus: Khotbah di Bukit

Khotbah di Bukit merupakan pengajaran (pidato) Yesus yang pertama dari lima pidato
besar dalam injil Matius (bdk. Mat. 10; 13; 18; 24-25). Lima pengajaran Yesus ini sering
disejajarkan dengan Pentateuch dan Yesus sendiri dibandingkan dengan Musa, dimana
Yesus “naik ke atas bukit” (Mat. 5:1), sedangkan Musa naik ke atas Gunung Sinai. Hal ini
membuat munculnya pandangan bahwa Khotbah di Bukit sebagai Taurat baru. Dalam Injil
Matius, Khotbah di Bukit merupakan pewartaan dan pengarahan hidup sekaligus
tantangan untuk mengambil sikap pribadi dan petunjuk hidup bersama yang ditonjolkan
sebagai warta menyeluruh oleh Yesus mengenai Kerajaan Allah.[2]

Rumusan tema Khotbah di Bukit adalah :Ucapan Bahagia” (makarismus). Injil Matius
mencatat 9 Ucapan Bahagia. Injil Matius memakai bentuk literer, yaitu Ucapan Bahagia
yang mengungkapkan syarat masuk Kerajaan Allah, sekaligus menghindari kesan bahwa
diuraikan sebagai syarat masuk kerajaan surga. Kesembilan makarismus terutama tidak
memberikan dan menjelaskan syarat-syarat bagaimana orang dapat masuk kerajaan
surga. Akan tetapi, ucapan bahagia memberikan pemahaman bahwa kerajaan surga
sampai kepada mereka yang miskin dan berduka cita. Itulah inti atau tema umum bagi
Khotbah di Bukit: Kerajaan surga telah sampai pada kenyataan hidup di dunia.[3]
2. Yesus dan Hukum Taurat

Ketika Yesus sedang mengajar dalam sinagoge (Injil Markus), semua orang yang hadir
takjub mendengar pengajaran-Nya. Mereka berkata satu sama lain: “Apa ini? Suatu ajaran
baru”(Mark.1:27). Yesus berkata “Hukum Taurat…berlaku sampai kepada zaman Yohanes; dan
sejak waktu itu Kerajaan Allah diberitakan” (Luk. 16:16). Kalimat yang sering dikemukakan
adalah perkataan dalam Injil Matius: “….bukan untuk meniadakannya melainkan untuk
menggenapinya” (Mat. 5:17). Kata ‘menggenapi’ berarti sebagai memenuhi, melengkapi atau
menyempurnakan. Ada tiga gejala yang merupakan cara Yesus menyempurnakan Hukum
Taurat, yaitu Yesus mensyaratkan suatu patokan yang lebih mendasar daripada Hukum Taurat;
Yesus bertindak dengan wibawa terhadap Hukum Taurat; dan Yesus sendiri sebagai
perwujudan kehendak Allah yang sempurna, menggantikan Hukum Taurat.[4]

Yesus mensyaratkan suatu patokan yang lebih mendasar daripada Hukum Taurat. Bagi
kaum Yahudi Hukum Taurat merupakan pengungkapan yang sempurna akan kehendak Allah
dan yang akan dilestarikan selama-lamanya. Bagi Yesus, kehendak Allah terungkap melalui
Hukum Taurat, walaupun keduanya tidak disamakan. Yesus melarang adanya perceraian: “…
apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” Di sini Yesus melawan
perundangan Musa (Ul. 24:1-4) dengan pernyataan yang diambil-Nya dari kitab Kejadian
1:27;2:1-4: “Pada awal dunia Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Sebab itu laki-
laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Yesus menunjuk
pada kitab Kejadian sebagai pengungkapan atas kehendak Allah yang sesungguhnya dan
bukan pada hokum Musa. Hal ini dikarenakan Yesus menyelami kehendak Allah secara
langsung-tidak perlu mensyaratkan landasan yang lain, dan kehendak Allah itulah yang menjadi
patokan yang dianggap Yesus lebih mendasar dari pada Hukum Taurat.[5]
Yesus bertindak dengan wibawa terhadap Hukum Taurat. Kewibawaan Yesus terhadap
Hukum Taurat dapat dilihat di bawah ini:[6]
Jangan Membunuh. Yesus menekankan bahwa kehendak Allah tidak hanya mengenai
perbuatan dan pelaksanaan, melainkan termasuk juga maksudnya yang mendalam seperti
kebencian dalam hati pantas dihukum.

Jangan Berzinah. Bagi Yesus, perzinahan bukan pelanggaran hokum melainkan perbuatan
moral.
Kejujuran. Yesus sangat melarang untuk bersumpah, baik bersumpah palsu maupun
mengindahkan janji. Kewibawaan Allah menuntut hati manusia yang jujur, tidak
hanya dalam sumpah, melainkan juga dalam pembicaraan dan tindakan
maupun dalam hal-hal yang biasa.
Pembalasan : Yesus menuntut untuk meninggalkan prinsip pembalasan atau untuk “tidak
melawan/bersengketa”. Yesus menuntut supaya orang tidak bersengketa
melainkan melepaskan hak berhadapan dengan sesama.
Cinta tidak terbatas : Yesus menolak sikap perlawanan terhadap musuh dan mengajarkan
agar mengasihi musuh. Kasih kepada musuh bukan hanya sikap
orang Kristen dalam penganiayaan atau siasat terhadap lawan
pribadi melainkan merupakan kekhasan atau kelebihan orang
Kristen.
· Yesus sendiri sebagai perwujudan kehendak Allah yang sempurna, menggantikan Hukum
Taurat.
Hubungan antara manusia dan Allah tidak lagi tergantung pada hubungan dengan Taurat
melainkan pada hubungan dengan Yesus. Dialah yang menjadi satu-satunya pengantara bagi
Allah dan manusia, bahkan Dialah jalan keselamatan yang tunggal. Pada hakikatnya, yang
menggantikan Hukum Taurat bukanlah perintah-perintah Yesus, melainkan Yesus sendiri, dan
semata-mata oleh karena itulah apa yang diajarkan-Nya menjadi wajib bagi kita.[7]

III. Kesimpulan
Melalui pembahsan di atas dapat disimpulkan bahwa pengajaran Yesus merupakan suatu
bentuk penyempurnaan terhadap Hukum Taurat, yaitu hukum yang telah disalahartikan oleh
umat Yahudi. Yesus hadir dalam kehidupan manusia untuk menjelaskan ajaran-Nya yang
secara khusus berkaitan dengan Hukum Taurat, sebab melalui Hukum Taurat itulah Yesus
menunjukkan perbuatan-perbuatan etis. Yesus memberikan patokan untuk mengukur Hukum
Taurat, dimana bagian tertentu diteguhkan dan yang lain diperdalam atau bahkan didingkirkan.
Yesus juga mengajak setiap orang untuk berpikir dan memahami maksud ajaran-Nya dan pada
akhirnya perbuatan-perbuatan Yesus tersebut menunjuk keadilan, kasih, dan kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai