PARASIMPATOMIMETIKA
OLEH :
KELOMPOK IV
9.MAYSARTIKA (18.18.107)
TA 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan medula spinalis dan
merupakan Sistem saraf utama dari tubuh. Sistem saraf tepi, terletak diluar otak dan
medula spinalis, terdiri dari 2 bagian; otonom dan somatic. Setelah ditafsirkan oleh
SSP, Sistem saraf tepi menerima rangsangan dan memulai respons terhadap
rangsangan itu.
Sistem saraf otonom (SSO), juga disebut sebagai sistem saraf visceral, bekerja
pada otot polos dan kelenjar. Fungsi dari SSO adalah mengendalikan dan mengatur
jantung, Sistem pernapasan, saluran gastrointestinal, kandung kemih, mata dan
kelenjar. SSO mempersarafi (bekerja pada) otot polos, tetapi SSO merupakan sistem
saraf involunter yangkita tidak atau sedikit bisa dikendalikan. Kita bernapas jantung
kita berdenyut, dan peristaltik terjadi tanpa kita sadari. Tetapi, tidak seperti Sistem
saraf otonom, sistem saraf somatik merupakan sistem volunter yang mempersarafi
otot rangka, yang dapat kita kendalikan.
Dua peringkat neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah:
1. Neuron aferen, atau sensorik, dan
2. Neuron eferen, atau motorik
Neuron aferen mengirimkan impuls ke SSP, dimana impuls itu diinterprestasikan.
Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini
melalui medula spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur eferen dalam sistem saraf
Sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis bekerja pada organ-organ yang
sama tetapi menghasilkan respons yang berlawanan agar tercapainya homeostasis
(keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan parasimpatis dapat
berupa respons yang merangsang atau menekan.
Jaringan organ tubuh Respons simpatis Respons parasimpatis
Dilatasi pupil Kontriksi pupil
mata
Dilatasi bronkiolus Kontriksi bronkiolus dan
sekresi bertambah
paru-paru
Denyut jantung meningkat Denyut jantung menurun
jantung
Kontriksi pembuluh darah Dilatasi pembuluh darah
pembuluh darah
Relaksasi otot polos dari Peristaltik meningkat
saluran gastrointestinal
gastrointestinal
Relaksasi otot kandung Kontraksi kandung kemih
kemih
kandung kemih
Relaksasi otot uterus
uterus
Salvasi bertambah
kelenjar
saliva
Efek simpatis dan parasimpatis pada jaringan tubuh
Kerja: Kerja:
Meningkatkan tekanan darah
Menurunkan tekanan darah
Meningkatkan denyut nadi
Menurunkan denyut nadi
Konstriksi bronkiolus
Relaksasi bronkiolus
Konstriksi pupil mata
Dilatasi pupil mata
Meningkatkan kontraksi saluran kemih
Relaksasi uterus
Meningkatkan peristaltic
Meningkatkan gula darah
Ada tiga jenis sel-sel organ reseptor adrenergik: alfa,beta, dan beta2. Norepinefrin
dilepaskan dari ujung saraf terminal dan merangsang reseptor sel untuk menghasilkan
suatu respons.
Sistem Saraf Parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis juga dikenal sebagai system kolinergik karena
neurotransmitter terdapat pada ujung saraf neuron yang mempersarafi otot adalah
asetilkolin. Obat-obat yang menyerupai asetilkolin disebut sebagai obat-obat
kolinergik, atau parasimpatomimetik. Obat-obat itu juga dikenal dengan nama agonis
kolinergik karena memulai repon kolinergik; sebaliknya, obat-obat yang menghambat
efek asetil kolin disebut sebagai antikolinergik, atau parasimpatolitik. Obat-obat ini
dikenal juga dengan nama antagonis kolinergik karena menghambat efek asetilkolin
pada organ.
Reseptor-reseptor kolinergik pada sel-sel organ dapat bersifat nikotinik atau
muskarinik, yang berarti mereka dirangsang oleh alkaloid nikotin atau muskarin
BAB II
TEORI
A. Kolinergik (parasimpatomimetik)
1. Pengertian Parasimpatomimetika
Parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
melepaskan neuron asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama
SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang
timbulah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek
kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan
memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (Hcl),
juga sekresi mata, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi
kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlamba
pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak
diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan
menurunnya tekanan intraokuler akibatnya lancarnya pengeluaran air mata,
kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran
urin, dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka, menekan SSP setelah
pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan Hoan Tjay & Rahardja,
2002).
Menurut sifat kerjanya, reseptor kolinergik (kolinoseptor) dapat dibedakan
menjadi reseptor muskarinik dan reseptor nikotinik berdasarkan afinitas
terhadap zat yang bersifat sebagai kolinomimetik
2. Reseptor kolinergik
Menurut sifat kerjanya, reseptor kolinergik (kolinoseptor) dapat dibedakan
menjadi reseptor muskarinik dan reseptor nikotinik berdasarkan afinitas
terhadap zat yang bersifat sebagai kolinomimetik.
a) Reseptor muskarinik
Selain berikatan dengan ACh, reseptor muskarinik juga berikatan
dengan muskarin, yaitu suatu alkaloid yang terdapat pada jamur beracun.
Reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas yang lemah terhadap
nikotin. Hasil studi-studi ikatan (binding study) dan dengan memberikan
penghambat tertentu, telah dapat ditemukan beberapa subtype reseptor
muskarinik yaitu M1, M2, M3, M4, dan M5. Reseptor muskarinik dapat
ditemukan dalam ganglia Sistem saraf efektor dan organ efektor otonom
seperti, jantung, otot polos, otak, dan kelenjar eksokrin. Kelima reseptor
M tersebut terdapat dalam neuron, dan juga ditemukan reseptor M1
dalam didalam sel parietal lambung, reseptor M2 didalam otot jantung dan
otot polos, serta reseptor M3 di dalam kelenjar eksokrin dan otot polos.
Reseptor muskarinik didalam jaringan-jaringan diatas lebih peka terhadap
obat muskarinik, namun dalam dosis tinggi muskarinik dapat pula
memacu reseptor nikotinik.
Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin
Setelah asetilkolin berikatan dengan reseptor muskarinik, akan timbul
sinyal dengan mekanisme yang berbeda. Misalnya, bila reseptor M1 atau
M2 diaktifkan, reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan
berinteraksi dengan protein G yang selanjutnya akan mengaktifkan
fosfolipase C. akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-
94,40bifosfate (PIP2) yang akan menyebabkan peningkatan kadar Ca++
intrasel. Selanjutnya kation ini akan berinteraksi atau memacu ion
menghambat enzim-enzim, atau menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi,
atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi reseptor subtype M2 pada otot-otot
jantung memacu protein G yang menghambat adenilsikase dan
mempertinggi konduksi K+ sehingga denyut dan kontraksi otot jantung
menurun.
b) Reseptor Nikotinik
Selain mengikat ACh, reseptor ini dapat mengenal nikotin , dan
afinitasnya lemah terhadap muskarin. Pada tahap awal, nikotin memang
memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu nikotin akan menyekat
reseptor nikotinik sendiri. Reseptor nikotinik terdapat dalam SSP,
medulla adrenal, ganglion otonom, dan pada sambungan saraf otot
(myoneural junction). Obat-obat nikotinik akan memacu reseptor
nikotinik di ganglion otonom dan yang terdapat pada sambungan saraf
otot. Misalnya reseptor nikotinik di ganglion dihambat secara selektif
oleh heksametonium, sedangkan reseptor nikotinik pada sambungan
saraf otot dihambat secara spesifik oleh tubokurarin
3. Obat-Obat Kolinergik
Obat-obat kolinergik (agonis kolinergik) ialah obat yang bekerja secara
langsung atau tidak langsung meningkatkan fungsi neurotransmitter
asetilkolin. Kolinergik juga disebut parasimpatomimetik karena menghasilkan
efek yang mirip dengan perangsangan Sistem saraf parasimpatis.
Obat-obat kolinergik memiliki 3 indikasi utama, yaitu:
1. Menurunkan tekanan intraocular pada pasien glaucoma atau operasi mata
2. Mengobati atoni saluran cerna atau vesika urinaria
3. Untuk mendiagnosis dan pengobatan miastenia gravis.
Beberapa obat kolinergik merupakan antidotum penting untuk obat-obat
blokade neuromuscular, antidepresan trisiklik, dan alkaloid beladona.
Obat –obat kolinergik memperlihatkan efeknya dengan menunjukkan salah
satu dari 2 cara yaitu bekerja mirip dengan asetilkolin atau menghambat
destruksi asetilkolin oleh enzim asetilkolinesterase di tempat-tempat
reseptornya.
Klasifikasi
Obat-obat kolinergik merangsang reseptor kolinergik. Karena itu, kerjanya
mirip dengan asetilkolin endogen. Obat-obat golongan ini dapat
dikelompokkan berdasarkan:
1. Spektrum efeknya, yaitu muskarinik atau nikotinik; dan
2. Mekanisme kerjanya, yaitu yang bekerja langsung pada reseptor
asetilkolin atau secara tidak langsung melalui penghambatan
asetilkolinesterase. Beberapa obat, seperti neostigmin termasuk dalam
lebih dari satu subkelas.
Sediaan-sediaan
1) Asetilkolin
Merupakan senyawa ammonium kuartener dengan aktifitas muskarinik
dan nikotinik serta tidak dapat menembus membrane sel. Tidak dapat
digunakan untuk pengobatan karena kerjanya yang berlangsung sangat
cepat dan segera diinaktifkan oleh enzim asetilkolinesterase
2) Metakolin
Masa kerja lebih lama resisten terhadap hidrolisis oleh kolinesterase non
spesifik, relative resisten terhadap hidrolisi oleh ACh.
Indikasi:
a) Pengobatan gawat darurat glaukoma sudut sempit untuk menurunkan
intraocular
b) Uji diagnostik untuk pasien yang diduga mengidap asma.
3) Karbakol
Merupakan ester asam karbamat yang juga merupakan substrat yang
tidak cocok untuk asetilkolinesterase. Karena potensinya yang cukup
tinggi dan kerjanya berlangsung lama, obat ini jarang digunakan untuk
terapi, kecuali untuk mata sebagai miotikum dan untuk menurunkan
tekanan dalam bola mata.
4) Betanekol
Mempunyai struktur kimia yang berkaitan dengan ACh. Bekerja secara
langsung memacu reseptor muskarinik sehingga meningkatkan tonus dan
motilitas usus, meningkatkan tonus otot detrusor kandung kemih, serta
merelaksasi trigonum dan sfingter sehingga berefek pengeluaran urine.
Indikasi: pengobatan atonia kandung kemih pasca persalinan atau
pascabedah
5) Pilokarpin
Merupakan suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh
asetilkolinesterase, termasuk obat yang lemah disbanding dengan
asetilkolin dan turunannya. Aktivitas utamanya adalah muskarinik dan
digunakan untuk oftalmologi, serta di indikasikan dalam terapi
glaukoma.
Mekanisme Kerja:
Obat-obat antikolinesterase meningkatkan kadar dan efek ach pada tempat
reseptor dalam SSP atau ganglia otonomik, pada sel-sel efektor di viscera,
dan pada motor end plate. Bergantung pada tempat kerja, dosis obat, dan
masa kerjanya, obat-obat ini dapat memberikan efek stimulasi atau efek
depresi pada reseptor kolinergik
Efek Samping:
Efek samping yang umum terjadi berupa efek parasimpatomimetik. Pada
mata berupa penglihatan kabur, penurunan akomodasi, miosis; pada kulit
akan keluar banyak keringat; pada saluran cerna akan terjadi peningkatan
salvias, kembung, mual, muntah, kram usus dan diare.
Efek brokontriksi: nafas terasa pendek, mengi, atau terasa tegang di dada.
Vasodilatasi: penurunan denyut jantung dan pengurangan kontraksi otot
jantung.
Efek pada SSP: Irritabilitas, ansietas atau rasa takut (pada beberapa kasus),
dan terjadi kejang
Fisostigmin
Fisostigmin berupa amin tersier suatu alkaloid (senyawa nitrogen yang
terdapat dalam tumbuh-tumbuhan). Obat ini adalah substrat untuk
asetilkolinesterase, dan membentuk senyawa perantara enzim-substrat yang
relative stabil yang berfungsi menginaktifkan secara reversible ACh.
Edrofonium
Edrofonium adalah suatu amin kuartener yang mempunyai kerja mirip
dengan neostigmin; dan bila dibandingkan dengan neostigmin, obat ini lebih
cepat diserap dan masa kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20 menit).
Penggunaan klinisnya untuk miastenia gravis (kelemahan otot). Kelebihan
dosis dapat menimbulkan krisis kolinergik. Bila terjadi keracunan berikan
atropine sebagai antidotum.
BAB IV
KESIMPULAN