Anda di halaman 1dari 30

AGONIS KOLINERGIK

Disusun Oleh :

Nama : Dwi Pratiwi

Nim : 1801011074

Kelas : 3G

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
T.P. 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan

rahmat nya lah saya bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Agonis

Kolinergik ini dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas

mata kuliah farmakologi II semester ganjil. Adapun topik yang dibahas dalam

makalah ini mengenai Agonis Kolinergiuk.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama

teman-teman yang telah berkontribusi dan mendukung secara moral untuk

tersajinya makalah ini. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

kata sempurna, hal ini dikarenakan keterbatasan kami, sehingga penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Kiranya makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi kehidupan

kita semua. Sehingga kita dapat mengetahui mengenai Agonis Kolinergik.

Medan, 14 November 2019

Penulis

i
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR ............................................................................................i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................1

1.2. Perumusan Masalah ...............................................................................4

1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................4

1.4. Metode Penyusunan ...............................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................5

1.1. Pengertian Agonis Kolinergik ...............................................................5

1.2. Klasifikasi Agonis Kolinergik ...............................................................7

1.3. Mekanisme Kerja Agonis Kolinergik ..................................................10

1.4. Klasifikasi Obat agonis Kolinergik .....................................................12

1.5. Efek Obat, Indikasi, Dosis Obat Agonis Kolinergik ...........................21

BAB III PENUTUP .............................................................................................24

1.1. Kesimpulan ..........................................................................................24

1.2. Saran ....................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem saraf merupakan serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan

serta terdiri terutama dari jaringan saraf (Sloane, 2003). Sistem saraf merupakan

salah satu sistem yang berfungsi untuk memantau dan merespon perubahan yg

terjadi di dalam dan diluar tubuh atau lingkungan. Sistem saraf juga bertanggung

jawab sebagai sistem persepsi, perilaku dan daya ingat, serta merangsang

pergerakan tubuh (Farley et all, 2014). Kemampuan untuk dapat memahami,

mempelajari, dan merespon suatu rangsangan merupakan hasil kerja terintegrasi

sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan

tingkah laku individu (Batticaca, 2008). Menurut anatomi sistem saraf terbagi

menjadi 2 bagian yaitu sistem saraf pusat ( SSP ) dan sistem saraf tepi. (

Ramadhan, 2016 ). Sistem saraf pusat memiliki peranan dalam mengatur berbagai

aktivitas tubuh, termasuk di dalamnya yaitu menerima berbagai rangsangan

sensorik, mengintegrasikan informasi satu dengan yang lain, mengambil

keputusan dan menghasilkan aktivitas motorik tubuh (Tortora dan Derrickson,

2009).

Dalam pengaturan koordinasi motorik di dalam tubuh terdapat keterlibatan

dari berbagai daerah pada sistem saraf pusat meliputi korteks serebral yang

menstimulasi kontraksi otot, serebelum yang berpengaruh terhadap ketepatan

waktu dari aktivitas motorik untuk menghasilkan efek yang cepat dari satu

jaringan otot menuju jaringan otot lainnya, serta ganglia basal yang membantu

merencanakan dan mengatur pola yang kompleks dari gerakan otot

1
(Guyton dan Hall, 2006). Sistem saraf tepi merupakan sistem saraf yang

menghubungkan otak dengan dunia luar. Terdapat dua bagian utama dari sistem

saraf tepi yaitu sistem saraf somatik dan sistem saraf otonomik. (Syaifuddin,

2011). Telah disebutkan diatas, sistem saraf otonom dibagi menjadi dua yaitu

sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Pada saraf simpatik, sel

syaraf postganglionnya melepaskan nor-efinepril yang kemudian berinteraksi

dengan reseptor adrenergik pada sel organ efektor maka sistem saraf simpatik juga

dinamakan dengan sistem saraf adrenergik. Di lain pihak, sel syaraf postganglion

parasimpatik melepaskan asetikolin muskarinik pada sel organ efektor, maka

sistem syaraf simpatik juga dinamakan dengan sistem saraf kolinergik. (Nugroho,

2012 ).

Penggolongan obat sistem saraf otonom mengacu pada dua sistem syaraf

tersebut, saraf adrenergik dan saraf kolinergik. Dasar penggolongan lainnya

adalah apakah golongan obat tersebut memacu atau menghambat kedua saraf

tersebut obat yang memacu dinamakan dengan agonis sedangkan yang

menghambat dinamakan dengan antagonis. Meskipun sebenarnya istilah agonis

maupun antagonis berkaitan dengan apakah obat tersebut berinteraksi dengan

reseptornya menghasilkan efek atau tidak . berdasarkan hal tersebut maka

penggolongan utama daro obat – obat yang mempengaruhi sistem saraf otonom

adalah agonis kolinergik, antagonis kolinergik, agonis adrenergik, serta dengan

antagonis adrenergik. ( Nugroho, 2012 )

Oabat yang memicu yang disebut dengan kolinergik dapat meicu saraf

simpatis yang dikenal dengan simpatomimetik ( aginis adrenergik ) sedangkan

2
yang memicu saraf dari parasimpatik disebut dengan parasimpatomimetik ( agonis

kolinergik ). ( Nugroho, 2012 ).

Saraf simpatik adalah bagian dari sistem saraf otonom yang cenderung

bertindak berlawanan terhadap sistem saraf parasimpatik.sistem simpatis memiliki

ganglion yang terletak di sepanjang tulang belakang yang menempel pada

sumsum tulang belakang, sehingga memiliki serabut praganglion pendek dan

serabut post ganglion yang panjang. Serabut pra ganglion adalah saraf yang

menuju ganglion dan serabut yang keluar dari ganglion disebut post

ganglion(Kamalia, 2016). Perangsang dari simpatik ( agonis adrenergik )

kerjanya antara lain yaitu menurunkan tekanan denyut nadi, relaksasi bronkiolus,

dialisis pupil mata, relaksasi uterus, meningkatkan gula darah. Saraf simpatim

yang menekan simpatis ( antagonis adrenergik ) kerjannya antara lain yaitu

menurunkan tekanan darah , meningkatkan denyut nadi, serta kontruksi

bronkiolus (Nisa, 2015).

Saraf parasimpatik adalah saraf yang berpangkal pada sumsum lanjutan atau

medula obongata dan dari sakum yang merupakan saraf preganglion dan post

ganglion, sistem saraf ini disebut juga dengan sistem saraf kraniosakral karena

saraf praganglion keluar dari daerah otak dan daerah sakral, fungsi dari saraf

parasimpatik yaitu memperlambat kerja organ-organ tubuh ( Kamalia, 2016 ).

Saraf parasimpatik yang merangsang parasimpatis ( agonis kolinergik ) memiliki

kerja antara lain meningkatkan tekanan darah, meningkatka denyut nadi, kontriksi

bronkiolus, kontruksi pupil mata, meningkatkan kontruksi saluran kemih,

meningkatkan paristaltik. Sedangkan kerja tidak langsung meliputi meningkatkan

tonus otot. Pada penekanan parasimpatis memiliki kerja sama ( Nisa, 2015).

3
1.2 Perumusan Masalah

a. Apa itu Agonis Kolinergik

b. Kasifikasi dari Agonis Kolinergik

c. Mekanisme Kerja Agonis Kolinergik

d. Klasifikasi obat Agonis Kolinergik

e. Efek dari kerja obat, Indikasi, Dosis obat Agonis Kolinergik

1.3 Tujuan Penulisan

adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apa itu

Agonis Kolinergik serta bagaimana mekanisme kerja dari agonis kolinergik juga

untuk mengetahui klasifikasi dari agonis kolinergik beserta klasifikasi dari obat

agonis kolinergik serta efek kerja dari obatnya, indikasi dan dosis dari obat

Agonis Kolinergik.

1.4 Metode Penyusunan

Metode penyususnan dari makalah ini yaitu dengan mengumpulkan

segala bentuk informasi dari beberapa artikel atau referensi yang terdapat dalam

berbagai jurnal mengenai Agonis Kolinergik dan juga dari beberapa buku yang

dikemukakan oleh berbagai penulis yang masih berkaitan dengan topik makalah

seputar Agonis Kolinergik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Agonis Kolinergik

Agonis Kolinergik ( Parasimpatomimetik ) adalah sekelompok zat yang dapat

menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP),

karena melepaskan neuron asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas

utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat

penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang

timbulah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek

kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan

memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (Hcl), juga

sekresi mata, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan

jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlamba pernafasan,

antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar,

kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya

tekanan intraokuler akibatnya lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung

kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh

dan kontraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan

menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).

Agonis Kolinergik ialah obat yang memicu atau meningkatkan aktivasi syaraf

kolinergik. Istilah agonis kolinergik disebut dengan istilah kolinomimetik /

parasimpatomimetik, istilah tersebut mengandung arti suatu senyawa yang

aksinya menyerupai neurotransmiter utama yang terlibat dalam syaraf kolinergik

yaitu asetikolin. Saraf perifer yang menghasilkan asetikolin adalah ujung sel

5
syaraf prostaglandin parasimpatik, ujung sel syaraf preganglion otonom dan ujung

sel syaraf somatik. Sehingga munculah istilahnya yang disebut juga dengan

parasimpatomimetik. Jadi agonis kolinergik sama dengan kolinomimetik dan

parasimpatomimetik namun parsimpatomimetik tidak ditujukan pada agonis

kolinergik yang bekerja pada otonom dan ganglia neuromuscular junction,

dikarenakan beberapa hal yang perlu diketahui bahwa reseptor asetilkolin ada dua

reseptor muskarinik dan nikotinik. Reseptor muskarinik terdapat pada sel organ

efektor syaraf kolinergik yaitu sel perietel lambung, otot jantung, otot polos

saluran pencernaan, demikian pada sistem saraf adrenergik dijumpai berbeda yaitu

syaraf postganglionnya melepaskan asetikolin untuk berinteraksi dengan reseptor

muskarinik pada sel kelenjar keringat sedangkan reseptor nikotin terdapat pada

semua ganglia syaraf otonom ( penemuan sayar prenaglion dan saraf

postganglion), pada neuromuscular junction sistem syaraf somatik dan pada sel

kromafin medula adrenal (Nugroho, 2012 ).

Target aksi utama obat golongan ini adalah ada dua yaitu reseptor asetikolin

postsinaptik dan enzim asetikolinesterase atau sering dinamakan dengan

kolinesterese oleh karena itu obat agonis kolinergik dibagi menjadi dua

berdasarkan target aksinya antara lain agonis kolinergik langsung dan agonis

kolinergik tidak langsung. Menurut sifat kerjanya, reseptor agonis kolinergik

(kolinoseptor) dapat dibedakan menjadi reseptor muskarinik dan reseptor

nikotinik berdasarkan afinitas terhadap zat yang bersifat sebagai kolinomimetik.

( Nugroho, 2012 ).

6
2.2 Klasifikasi Agonis Kolinergik.

Nugroho, 2012 mengkasifikasikan agonis kolinergik berdasarkan reseptornya

yaitu :

a. Reseptor muskarinik

Selain berikatan dengan ACh, reseptor muskarinik juga berikatan dengan

muskarin, yaitu suatu alkaloid yang terdapat pada jamur beracun. Reseptor

muskarinik ini menunjukkan afinitas yang lemah terhadap nikotin. Hasil studi-

studi ikatan (binding study) dan dengan memberikan penghambat tertentu, telah

dapat ditemukan beberapa subtype reseptor muskarinik yaitu M1, M2, M3, M4, dan

M5. Reseptor muskarinik dapat ditemukan dalam ganglia Sistem saraf efektor dan

organ efektor otonom seperti, jantung, otot polos, otak, dan kelenjar eksokrin.

Kelima reseptor M tersebut terdapat dalam neuron, dan juga ditemukan reseptor

M1 dalam didalam sel parietal lambung, reseptor M2 didalam otot jantung dan otot

polos, serta reseptor M3 di dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Reseptor

muskarinik didalam jaringan-jaringan diatas lebih peka terhadap obat muskarinik,

namun dalam dosis tinggi muskarinik dapat pula memacu reseptor nikotinik.

Mekanisme transduksi sinyal asetilkolinSetelah asetilkolin berikatan dengan

reseptor muskarinik, akan timbul sinyal dengan mekanisme yang berbeda.

Misalnya, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, reseptor ini akan mengalami

perubahan konformasi dan berinteraksi dengan protein G yang selanjutnya akan

mengaktifkan fosfolipase C. akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-

94,40bifosfate (PIP2) yang akan menyebabkan peningkatan kadar Ca++ intrasel.

Selanjutnya kation ini akan berinteraksi atau memacu ion menghambat enzim-

enzim, atau menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi, atau kontraksi.

7
Sebaliknya, aktivasi reseptor subtype M2 pada otot-otot jantung memacu

protein G yang menghambat adenilsikase dan mempertinggi konduksi K+

sehingga denyut dan kontraksi otot jantung menurun ( Nugroho, 2012 ).

Sifat dan subtipe reseptor musakarinik awalnya dikarakterisasi memalui

analisi respon sel dan jaringan periofer dan SSP. Efek dua agonis muskarinik yang

berbeda, betanikol dan McN-A343 pada tonus springfer esofagus bagian bawah

menghasilkan penamaaan awal reseptor muaskarinik sebagai M1 ( ganglion ), M2

( sel efektor ) ( Goyal dan Rattan, 1978). Dasar selektivitas ini belum jelas karena

tidak ada bukti yang mendukung bahwa agonis membedakan berbagai subtipe

reseptor muskarinik namun penelitian mengebmukakan ikatan radioligan

berikutnya membuktikan secara definitif keberadaan lebih ndxari satu pop[ulasi

tempat ikata antagonis ( Hammer et al, 1980 ). Penelitian yang menggunakan

antibodi dab ligan spesifik subtipe reseptor muskarinik menunjukkan lokalisasi

tersendiri subtipe reseptor muskarinik sebagai contoh pada daerah otak dan pada

populasi sel otot polos yang berbeda. Reseptor pusat yang berubah terhadap

agonis kolinergik meliputi kejang, hipotermia, tremor, dan analgesia yang

menonjol dalam fenotip M1, M2, dan M4, reseptor M3 mempunyai lesi perifer

yang lebih jelas antara lain perubahan salivasi, kontriksi pupi, dan kontaksi

kandung kemih. ( Hamilton et al, 1997 ).

8
b. Reseptor Nikotinik

Reseptor Nikotonik ( nAhRs ) adalah sekelompok reseptor kolinergik yang juga

berinteraksi dengan nikotin tembakau mereka membentuk poro – pori melalui

membran sel saraf post-ganglionik. Reseptor nikotinik berfungsi sebagai saluran

ion ligan-gated mereka memediasi transmisi cepat inplus saraf di sinapsis,

reseptor ini dapat menembus kation seperti natrium, kalium, dan kalsium. Ada dua

jenis tipe reseptor nikotinik yaitu N1 dan N2, reseptor N1 adalah reseptor tipe

otot yang ditemukan di persimpangan neuromuskuler mereka bertanggung jawab

atas kontaksi dan relaksai otot sedangkan reseptor N2 adalah reseptor tipe neuron

yang ditemukan dalam sinapsis antar neuron mereka terlibat dalam fungsi

kognitif, memori, pembelajaran, gairah, kontrol motorik dan analgesia. (Nugroho,

2012 ).

Selain mengikat ACh, reseptor ini dapat mengenal nikotin , dan afinitasnya

lemah terhadap muskarin. Pada tahap awal, nikotin memang memacu reseptor

nikotinik, namun setelah itu nikotin akan menyekat reseptor nikotinik sendiri.

Reseptor nikotinik terdapat dalam SSP, medulla adrenal, ganglion otonom, dan

pada sambungan saraf otot (myoneural junction). Obat-obat nikotinik akan

memacu reseptor nikotinik di ganglion otonom dan yang terdapat pada

sambungan saraf otot. Misalnya reseptor nikotinik di ganglion dihambat secara

selektif oleh heksametonium, sedangkan reseptor nikotinik pada sambungan saraf

otot dihambat secara spesifik oleh tubokurarin ( Nugroho, 2012 ).

9
2.3 Mekanisme Kerja Agonis Kolinergik.

Istilah agonis kolinergik berarti obat yang memacu atau meningkatkan

aktivitas syaraf kolinergik. Dibeberapa buku, istilah agonis kolinergik disebutkan

dengan istilah kolinomimetik.Istilah tersebut mengandung arti, suatu senyawa

yang aksinya menyerupai neurotransmitter utama yang terlibat dalam syaraf

kolinergik, yaitu asetilkolin. Syaraf perifer yang menghasilkan asetilkolin antara

lain:

a. Ujung sel syaraf postganglion parasimpatik

b. Ujung sel syaraf preganglion

c. Ujung sel syaraf somatic

Beberapa hal yang perlu diingat kembali bahwa reseptor asetilkolin ada dua

reseptor, muskarinik dan nikotinik.Reseptor muskarinik terdapat pada sel organ

efektor syaraf kolinergik misalnya sel parietal lambungm otot jantung, otot polos,

otot polos saluran pencernaan.Meskipun demikian pada sistem syaraf adrenergic,

dijumpai perkecualian, yaitu syaraf postganglionnya melepaskan asetilkolin untuk

berinteraksi dengan reseptor muskarinik pada sel kelenjar keringat.Sedangkan

reseptor nikotinik terdapat pada semua ganglia syaraf otonom (pertemuan syaraf

preganglion dan syaraf postganglion), pada neuromuscular junction sistem syaraf

somatic, dan pada sel kromafin medulla adrenal. Target aksi utama obat golongan

ini adalah dua yaitu Resptor asetilkolin postsinaptik dan enzim asetikolinesterase

atau sering dinamakan kolinesterase. Oleh karena itu, obat agonis kolinergik

dibagi menjadi dua berdasarkan target aksinya Agonis kolinergik langsung dan

Inhibitor kolinesterase ( Nugroho, 2012 ).

10
Obat Agonis Kolinergik biasa bekerja secara langsung maupun tidak

langsung terikat dan mengaktivasi reseptor muskarinik atau nikotinik. Obat yang

bekerja secara tidak langsung kerjanya dengan menghambat kerja

acetylcholinesterase, yang menghidrolisis acetylcholine menjadi choline dan

acetic acid. Obat-obat ini efeknya sebagai penguat dari acetylcholine endogen dan

bereaksi terutama ketika acetylcholine dikeluarkan secara fisiologis.

Beberapa penghambat cholinesterase, bahkan dalam konsentrasi rendah,

juga menghambat butyrylcholinesterase (pseudocholinesterase), dan

penghambatan enzym ini terutama pada konsentrasi tinggi. Bagaimanapun,

penghambatan kerja butyrylcholinesterase mempunyai peran kecil pada obat-obat

parasimpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung karena enzim ini tidak

punya peran penting pada kerja acetylcholine secara fisiologis di akhir sinaps.

Beberapa penghambat cholinesterase juga mempunyai cara kerja langsung yang

sederhana, misalnya pada kuaterner carbamate seperti neostigmine, yang

mengaktifkan secara langsung kolinoreseptor nikotinik pada neuromuskuler

sebagai tambahan dari penghambat cholinesterase. Obat – obat ini aksinya

menyerupai neurotansmitter utama yaitu asetilkolin yang menunjukkan bahwa

eksitasi berulang pada neuron renshaw spinal sensitif terhadap antagonis

kolinergik nikotinik, sel – sel ini juga diketahui bersifat kolinoseptif bahwa semua

cabang neuron melepaskan zat transmiter yang samsa dan dalam hal ini

menghasilkan tipe kerja pascasinaps yang mirip untuk memicu pelepasan

neuronal selanjutnya telah direplikasi pada banyak sel SSP sel ranshaw spinal

tetap merupakan prototipe sinaps kolinergik. ( betram, 2001 ).

11
2.4 Klasifikasi Obat Agonis Kolinergik

Nugroho, 2012 mengkasifikasikan agonis kolinergik berdasarkan target

aksinya yaitu :

a. Agonis Kolinergik Langsung

Obat ini mempunyai aksi secara langsung pada reseptor asetikolin ( muskarinik

atau nikotinik ). Oleh karena itu agonis kolinergik dibedakan menjadi agonis

muskarinik dan agonis nikotinik.

i. Agonis Muskarinik

Berdasarkan struktur kimianya obat agonis muskarinik dibedakan menjadi 2

yaitu golongan ester dan golongan alkaloid.

a. Obat Golongan Ester

Obat golongan ester merupakan senyawa ester asetikolin sehingga strukturnya

mirip dengan asetikolin. Konsekuensinya obat golongan ester ini juga dapat

dimetatabolisme oleh asetilkolinesterase. Obat golongan ester biasanya lebih

tahan terhadap enzim pendegradasi asetilkolin esterase karenanya efek obat dapat

bertahan lama contohnya metakolin, karbacol, dan betanekol.

i. Metacolin ( asetil beta metikolin )

Yang membedakannya dengan asetilcolin terletak pada durasinnya yang lebih

lama dan selektivitas kerjannya, kerja dari metilkolin lebih lama karena

dihidrolisis oleh AchE dengan laju yang jauh lebih lambat daripada asetilkolin

dan hampir seluruhnya resisten terhadap hidrolisis oleh kolinerase nonseptik atau

butirikolinerase. Selektivitas metakolin ditunjukkan dengan sedikit kerja nikotin

dan kerja muskarinik yang dominan. Kerja muscarinik tersebut paling nyata pada

sistem kardiavascular.

12
ii. Karbacol dan Betanakol

Yang merupakan ester karbamoli tidak tersubtisusi resistensi terhadap

hidrolisis oleh AchE atau kolisterase nonspesifik oleh karena itu waktu paruhnya

cukup lama sehingga senyawa – senyawa tersebut menjadi terdistribusi ke darerah

yang sedikit aliran darahnya. Betanekol yang memiliki kerja muskarinik

menunjukkan beberapa selektivitas pada motilitas saluran gastrointestinal dan

kandungan kemih. Karbakol menahan aktivitas nikotonik substansial terutama

pada ganglia autonom, kemungkinan baik kerja perifer meupun kerja ganglion

karbokol disebabkan sebagian oleh pelepasan AchE endogen dari ujung serabut

kolinergik pada ventrikel, Ach yang dilepaskan dari stimulansi vagus atau

digunakan secara langsung , juga mempunyai efek inotropik negatif meskipun

jauh lebih kecil dibandingkan yang teramati pada atrium. Pada manusia dan

sebagian besar mamalia penghambatan langsung, juga mempunyai efek inotropik

negativ meskipunjauh lebih kecil dibandingkan yang teramati pada atrium pada

manusia dan sebagian besar mamalia penghambatan langsung tidak terlihat

kecuali kontraktilitas ditingkatkan oleh stimulasi adrenaegik (Higgins et al, 1973).

b. Obat Golongan Alkaloid

Obat golongan alkaloid merupakan senyawa yang tidak mirip dengan asetikolin

dan merupakan senyawa golongan alkaloid yang diisolasi dari tanaman. Obat

golongan ini tida bisa di metabolisme oleh asetilkolinesterese ( Nugroho, 2012).

Kalau asetikolin bisa mengaktivasi baik reseptor muskarinik maupun nikotik

berarti obat muskarinik obat golongan ester yang strukturnya mirip dengan

asetikolin apakah juga bisa mengaktivasi keduanya. Asetikolin mempunyai

spesifitas yang sama baik terhadap reseptor muskarinik maupun nikotinik

13
sementara obat golongan ester hampir mempunyai spesivitas yang relatif tinggi

terhadp reseptor muskarinik dibandingkan dengan reseptor nikotinik contoh

metakoli dan betanekol. Sedangkan karbakal mempunyai sektifitas pada kedua

reseptor. Perbedaan keamampuan spektifitasinya tini berkiatan dengan perbedaan

struktur kimia dari ketiga senyawa obat tersebut, setelah ditambah gugus metil

pada struktur kimia metakolin betakolin yang mengakibatkan eksifitasinya

menjadi rendah terhadp nikotilik. Obat golongan alkaloid contoh arekolin,

polokarpin, muskarin, dan oksotremorin hanya pilokaprin yang merupakan aginis

kolinergik muskarinik yang digunakan secara klinik sedangkan karbakol dan

metakolin merupakan senyawa agonis yang digunakan secara eksperimental.

Secara klinik betanekol digunakan untuk membantu pengosnongan kemih atau

merangsang motilitas saluran pencernaan, sedagkan pilopaprin digunakan pada

penyakit glaukoma.struktur kimia obat golongan agonis muskirinik.

Efek samping obat agonis muskarinik adalah dapat peningkatan sekresi keringat,

salivasi, dan pengkatan kontraksi saluran pencernaan ( Nugroho, 2012 ).

Obat pada golongan ini selain strukturnya yang tidak mirip dengan asetikolin,

maka obat golongan ini tidak dapat dimetabolisme oleh enzim asetilkolinerase

salah satu contohnya yaitu pilokaprin obat ini hanya mempunyai spesifitas pada

reseptor asetikolin muskarinik yang terdapat merbagai jenis tipe nya antara lain:

reseptor M1 yang bekerja pada sistem saraf pusat, sistem saraf perifer dan juga sel

parietal lambung, reseptor M2 yang bekerja pada organ jantung, reseptor M3 yang

bekerja dan berefek eksitatori otot polos sistem pencernaan, mata, pembuluh

darah dan kelenjar endoktrin, maka obat tersebut mengikuti efek samping dari

obat-obat berdasarkan dengan reseptor tempat bekerjannya ( Nugroho, 2012 ).

14
ii. Agonis Nikotinik

obat ini mempengaruihi baik reseptor nikotinik pada motor endplate

( neurontanscular juction ) dan ganglia otonom. Obat agonis nikotinik yang

cenderung mengaktivasi reseptor asetikolin nikotinik pada ganglia otonom antara

lain nikotin, lobelin, epibatidin. Nikotin dan labelin merupakan senyawa alkaloid

yang terkandung berturut-turut dalam daun tembakau dan tanaman lobelia inflata,

sedangkan epibatidin juga merupakan alkaloid yang ditemukan di dalam kulit

katak beracun. Nikotin dan lobelin digunakan untukm membantu pasien dalam

upaya penghentia merokok selain itu juga digunakan terapi ketergantungan

amfemain, kokain, atau alkohol ( Nugroho, 2012 ).

b. Agonis Kolinergik Tidak Langsung ( Antikolisnerase )

Antikolinesterase menghambat enzim asetilkolinesterasi (yang menguraikan

ACh menjadi asetat dan kolin) sehingga ACh menumpuk ditempat reseptor ACh.

Akibatnya, stimulasi reseptor kolinergik di seluruh tubuh berlangsung lebih lama.

Dalam golongan ini kita kenal dua kelompok obat yaitu :

a. Golongan karbamat (ester asam karbamat), dapat disebut juga golongan

antikolinesterase reversible, kecuali edrofonium yang bukan merupakan suatu

ester. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah ambenonium, edrofonium

klorida, neostigmin, fisostigmin salisilat, dan pridostigmin ( Nugroho, 2012 ).

b. Golongan fosfat (ester asam fosfat) atau golongan ireversibel. Mempunyai

masa kerja yang sangat lama, dan membentuk kompleks yang sangat stabil

dengan enzim serta dihidrolisis dalam waktu berhari-hari atau berminggu-minggu

15
Mekanisme Kerja:Obat-obat antikolinesterase meningkatkan kadar dan efek

ach pada tempat reseptor dalam SSP atau ganglia otonomik, pada sel-sel efektor

di viscera, dan pada motor end plate. Bergantung pada tempat kerja, dosis obat,

dan masa kerjanya, obat-obat ini dapat memberikan efek stimulasi atau efek

depresi pada reseptor kolinergik ( Nugroho, 2012 ).

Efek samping yang umum terjadi berupa efek parasimpatomimetik. Pada

mata berupa penglihatan kabur, penurunan akomodasi, miosis; pada kulit akan

keluar banyak keringat; pada saluran cerna akan terjadi peningkatan salvias,

kembung, mual, muntah, kram usus dan diare.Efek brokontriksi: nafas terasa

pendek, mengi, atau terasa tegang di dada. Vasodilatasi: penurunan denyut

jantung dan pengurangan kontraksi otot jantung. ( Nugroho, 2012 ).

c. Inhibitor Kolinesterase

AchE, atau asetikolin asetilhidrolase ditemukan terutama pada sinapsis syaraf

kolinergik nauromuscular juncition dan darah ( membran sel darah merah ).

Enzim ini berfungsi menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat sedangkan

BchE atau asetilk asihidrolase atau juga pseudokolinesterase ditemukan terutama

pada hati. Enzim ini berfungsi mirip dengan AchE namun subsitratnya adalah

butirilk senyawa sintesik yang tidak dijumpai pada tubuh, enzim tersebut dapat

menghidrolisis beberapa ester kolin contohnya sussamethonium, mivacurium.

Suksemethonium atau dikenal dengan suksinikolin ( obat peralisis penginduksi

relaksasi otot sekeletal ), didegradasi oleh enzim butirilkolinesterase tidak oleh

aselitkolinerase menjadi suksinilmonokotin kemudian diubah menjadi suksinat.

Obat ini bekerja dengan menghambat enzim kolinesterase pada celah sinaptik.

16
Enzim kolinesterase ada dua tipe yaitu : asetilkolinesterase dan

butirilkolinesterase. Inhibitor kolinesterase bibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu

inhibitor reversible dan inhibitor irreversible antara lain :

a. Inhibitor Reversible

Obat golongan ini bersifat larut dalam air, beraksi menghambat engan

kompetisi dengan asetilkolin pada sisi anionik pada enzim AchE. Interaksi ini

bersifat kebalikan ( refersible ). Contoh obat golongan ini : edroponium,

neostigmin, piridostigmin, fisostigmin, ambenonium. Pada dasarnya efek

utamanya maupun efek samping obat golongan ini sama dengan obat golongan

agonis kolinergik lagsung karena aksi obat adalah meningkatkan konsentrasi

asetikolin pada celah sinaptik. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek

reseptor pada nikotinik termasuk pada neuromuscalar junction. Obat glongan ini

digunakan pada terapi penyakit myastenia gravis suatu gangguan fungsi

neuromuskular diakibatkan autoimunita terhadap efektor asetilkolin nikitinik pada

neuromuscular jenction. Penurunan resepror tersebut menghasilkan respon

kelelahan dan kehabisan tenaga pada sistem muskular ( otot skeleltal ).

Edroponium merupakan obat inhibitor reversible dengan aksi yang cepat

diberikan secara intavena untuk diagnosa penyakit myastenia gravis maksudnya

pada penyakit tersebut bila penderita diberikan edroponium maka dengan cepat

kekuata otot skeleltalnya akan meningkat. Denganhal ini menujukkan

kemungkinan besar pasien mengalami penyakit tersebut. ( Nugroho , 2012 ).

17
Fisostigmin adalah suatu alkaloid yang merupakan amin tersier obat ini

merupakan substrat untuk kolinerae dan membentuuk senyawa perantara enzim

substrab yang relatif stabil yang berfungsi menginaktifkan secara reversibel

asetilkolin asetilkolinerase sehingga mengakibaktan terjadi potensisasi aktivitasi

kolinergik diseluruh tubuh, kerja dari fiostigmin sangat luas karena mampu

memacu tidak saja tempat muskarinik dan nikotinik sambungan neuromuskular

bisa sampai 2-4 jam. Obat ini meningkatkan gerakan usus dan kandung kemih

sehingga berkhasiat untuk mengobati kelumpuhan kedua organ tersebut bila di

teteskan pada mata maka obat ini berfungsi untuk mengobati glukoma

( Nugroho, 2012).

Niostigmin yaitu suatu senyawa sintetik yang dapat menghambat

asetilkolinerase secara reversible seperti fiostigmin tetapi tidak seperti fiostigmin,

obat ini lebih polar dan oleh sebab itu ditad dapat masuk ke dalam SSP.efeknya

lebih kuat terhadap otot rangka dibandingkan dengan fiostigmin dan dapat

memacu kontraktivitas sebelum terjadi kelumpuha, masa kerja obat ini sedang

biasa 2-4 jam, obat ini digunakan untuk memacu kandung kemih dan saluran

cerna serta sebagai antidotum keracunan tubokuranin dan obat penyakit

neuronuskular kompetitif lainnya. Neostigmin juga bermanfaat sebagai terapi

simtomatik pada miastenia gravis, suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh

antibodi terhadap reseptor nikotinik yang terikat pada reseptor asetilkolin dari

sambungan neuromuskular keadaan ini menimbulkan degradasi ( penghancuran )

reseptor nikotinik tersebut sehingga jumlahnya berkurang untuk berinteraksi

dengan neurotransmiter efeknya kerja pacuan kolinergik secara umum seperti

18
salivasi, muka merah dan panas, menurunkan tekanan darah, nyeri, mual, dan

sakit perut ( Nugroho, 2012 ).

Piridogstimin yaitu obat penghambat kolinerase lain yang digunakan untuk

pengobatan jangka panjang miastenia gravism massa kerjanya 3-6 jam dari

neostigmin efek sampingnya juga lebih ringan terutama berupa gangguan

lambung ususu mualai kerjannya lebih lama ( Nugroho, 2012 ).

b. Inhibitor irreversiblel

Senyawa golongan inhibitor reversible ( organofosfat ) bersifat larut dalam

lipid, bereaksi memfosfofilisasi enzim AchE sehingga mengakibatkan inaktivasi

enzim tersebut secara tak terbaliakn ( irreversible ). Contonya senyawa golongan

ini adalah dyflos, ecitiofat, isoflofat, malation, paration, yang digunakan dalam

bentuk gas sebagai insektisida. Senyawa ini bersifat larut dalam lipid sehingga bis

menembus membran sel termasuk barier darah orak maupun kulit. Keracunan

akut organofosfat merupakan hasil dari akumulasi asetikolin secara berlebihan,

akibat penghambatan asetikolinerase secara terbalikan. Gejalannya antara lain

gangguan pernafasan, berkeringat, diare, muntah – muntah, hipersalivasi,

kecemasn, disminia jantung. Pada kondisi parah penderita mengalami gangguan

penglihatan edema paru-paru, bronkokontriksi, kecemasan, kejang termor dan

depresi ( Nugroho, 2012 ).

Pengobatannya ialah melalui sasaran terapinya dengan memanfaatkan

kelebihan asetkolin pada celah sinapik. Cara mengatasinya dengan menggunakan

antagonis kolinergik. Atropin atau hematropin beraksi mengeblok aksi kelebihan

asetikolinerase pada reseptor muskarinik, namun tidak pad reseptor nikotinik (

neuromuscular janction ) ( Nugroho, 2012 ).

19
Kelemahannya obat ini tidak mengobati penyebabnya yaitu penghambatan

kolinsterase yang tak terbalikkan oleh karen itu atropin ini nbersifat inrealiative

atau meredakan gejalannya aja. Cara yang lain menghidrolisis kompleks enzim

kolinesterases dengan inhibitor irreversible. Obat ini berinteraksi dengan sisi aktif

enzim AchE yang bersifat tak terbalik dan biasanya senyawa golongan ini bersifat

larut dalam lipid sehingga dapat menembus barrier darah otak, obat ini bereaksi

dengan memfosforilasi enzim ACHe sehingga mengakibatkan inaktiv enzim

trersebut. Contohnya melation golongan insektisida dan golongan peptisida (

organophosphat ) jika suatu inhibitor irrevible ini bereaksi terhadap enzim

asetikolinerase maka enzim ini tidak aktif senhingga tidak dapat memecah

asetikolin menjadi asetat dan kolin sehingga menyebabkan penumpukan obat

yang dapat digunakan adalah pralidoksin obat ini bereaksi dengan menarik kuat

inhibitor irreversible darisisi aktif enzim agar enzim tersebut aktif kembali, tapi

penggunaa pralidoksin pada pasien keracunan organoPhosPhat harus dilakukan

pada waktu yang cepat karena dalam waktu beberapa jam setelah keracunan

enzim terfosfolisasi atau kehilangan gugus alkil atau alkoksi sehingga

menyebabkan stabil dan lebih resisten terhadap pralidoksin ( Nugroho, 2012 ).

Isoflurotat yang terkait pada sisi OH asetilkolinerase sehinga menyebabkan

enzim menjadi tidak aktif secara permanen dan restorasi ( pemulihan kembali )

aktifitas asetilkolinerase memerlukan sintesis molekul enzim baru. setelah terjadi

modifikasi kovalen asetilkolinerase maka enzim yang terfosforikasi akan melepas

secara perlahan satu gugus isopropilnya kehilangan satu gugus alkali yang sering

disebut penuaan menjadi sulit sekali bagi reaktivator kimia seperti pradiloksin

untuk memecah ikatan antarasisa obat dan enzim ( Nugroho, 2012 ).

20
2.5 Efek Obat, Indikasi, Dosis Obat Agonis Kolinergik

Banyak sediaan obat dalam iso yang bersifat agonis kolinergik antara lain :

a. Mictonorm ( propiverin hcl )

Indikasi : terapi saluran kemih seperti pada pasien dengan idiopati atau

overaktif neurogenik susmsum tulang belakang misalnya transverse lesion

paraplegia.

Kontaindikasi : obstruksi usus, obstuksi pengeluaran kandungan kemih,

miastenia gravis, antoni instentinal, kolitis ulseratif, toksik megakolon, galukoma

sudut sempit tidak terkontrol, penurunan fungsi hati, takiaritmia.

Efek samping : mulut kering, ganguan akomodasi.

Dosis : dewasa 2-3 X 1 tablet

b. Vesicare ( solifenasi suksinat )

Indikasi : terapi simtomatik untuk intokentinesia urin & atau peningkatan

frekuensi berkemih dan keingionan untuk berkemih pada pasien dengan sindrom

overaktif kandung kemih.

Kontraindikasi : retensi urin, gangguan GI berat, miastenia gravis, gangguan

ginjal berat dan hati berat atau sedang.

Efek asmping : mulut kering, konstipasi, mual, muntah, dipepsia, nyeri perut,

penglihatan kabur, mata kering, rasa lelah, edema pada tungkai bawah, kekeringan

pada hidung, kulit kering, kesulitan berkemih.

Dosis : dewasa & lansia 1x5 mg

21
c. Urispas ( Flavoksat hidroklorida )

Indikasi : mengurangi gejala akubat ggn sel kemih, urgensi, nokturia, nyeri

suprapubik, frequency dan incontinence yang terjadi pada penderita sististis,

prostatistis, uretritis.

Kontraindikasi : penderita dengan obstruksi duodenal atau filorik, luka pada usus,

akslasia pendarahan, gastrointerstinal dan obstruksi uropatik sel kemih bagian

bawah .

Efek samping : mual, muntah, mulut kering, gelisah, fertigo, sakit kepala,

mengantuk, GGN akomodasi mata, tekanan intaokular meningkatkan , GGN

penglihatan, bingung gisuria, takikardia, paltitasi, hiperpereksia, eoksinopilia,

leuko-phenia, urtikaria, dan dermatisis lainnya.

Dosis : dewasa & anak 12 tahun 1X3 200 mg

d. Uroksal

Indikasi : mengurangi gejala akubat gangguan saluran kemih, seperti

disurai, ungensi, nokturia, nyeri suprapublik, poliurea, incontinensia, yang terjadi

pada sistitis, prostrastitis, ureritis, uretroristitis, uretrogonitis.

Dosis : dewasa & anak 3-4 kali 1 tablet

e. Batugin

Inidkasi : sakit pinggang dan kolik terutama karena batu ginjal dan batu

kemih

Kontraindikasi : gangguan fungsi ginjal obstruksi sel kemih

Dosis : 3-4 kali 1 gelas

22
f. Nephrolit

Indikasi : membantu meluruhkan batu sel kencing sebagai diuretikum dan

antiseptik saluran kemih.

Dosis : sehari 4X2 anak 1 kapsul

g. Afitor

Indikasi : membantu meredakan pegal linu, sakit otot pinggang dan encok

Dosis : 1 X 2, 2 kapsul

h. Ala 600 ( asam alfa lipoat )

Indikasi : neuropati diabetik

Kontraindikasi : hindari penggunaan dosis tinggi

Efek samping : napsu makan menurun, mual, muntah, diare dan gastrointernal

lain, gangguan pada kulit.

Dosis : sehari 1 kaplet sebelum makan

i. Mytelase

Indikasi : inhibitor kolinesterase yang digunakan dalam pengobatan

myasthenia gravis serta untuk mengobati kelemaha otot karena penyakit cacat

sambungan neuromuskuler.

Efek samping : diare, kram perut, salivasi, dan mual

j. Neostigmine

Indikasi : pengobatan gejala myasthenia gravis

Efek samping : gatal-gatal, kesulitan bernafas, edema, keram perut, detak jantung

melemah, sakit kepala, diuretik, keringat dingin, ruam.

Dosis : sehari 3 tablet 150 mg

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Agonis Kolinergik ( Parasimpatomimetik ) adalah sekelompok zat yang dapat

menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP),

karena melepaskan neuron asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Agonis

Kolinergik ialah obat yang memicu atau meningkatkan aktivasi syaraf kolinergik.

Istilah agonis kolinergik disebut dengan istilah kolinomimetik /

parasimpatomimetik, istilah tersebut mengandung arti suatu senyawa yang

aksinya menyerupai neurotransmiter utama yang terlibat dalam syaraf kolinergik

yaitu asetikolin. Target aksi utama obat golongan ini adalah ada dua yaitu reseptor

asetikolin postsinaptik dan enzim asetikolinesterase atau sering dinamakan dengan

kolinesterese oleh karena itu obat agonis kolinergik dibagi menjadi dua

berdasarkan target aksinya antara lain agonis kolinergik langsung dan agonis

kolinergik tidak langsung. Menurut sifat kerjanya, reseptor agonis kolinergik

(kolinoseptor) dapat dibedakan menjadi reseptor muskarinik dan reseptor

nikotinik berdasarkan afinitas terhadap zat yang bersifat sebagai kolinomimetik.

reseptor muskarinik yaitu M1, M2, M3, M4, dan M5. Reseptor muskarinik

dapat ditemukan dalam ganglia Sistem saraf efektor dan organ efektor otonom

seperti, jantung, otot polos, otak, dan kelenjar eksokrin. Reseptor nikotonik yaitu

N1 dan N2, reseptor N1 adalah reseptor tipe otot yang ditemukan di

persimpangan neuromuskuler mereka bertanggung jawab atas kontaksi dan

relaksai otot sedangkan reseptor N2 adalah reseptor tipe neuron yang ditemukan

dalam sinapsis antar neuron mereka terlibat dalam fungsi kognitif, memori,

pembelajaran, gairah, kontrol motorik dan analgesia.

24
Mekanisme Kerja:Obat-obat antikolinesterase meningkatkan kadar dan efek

ach pada tempat reseptor dalam SSP atau ganglia otonomik, pada sel-sel efektor

di viscera, dan pada motor end plate. Bergantung pada tempat kerja, dosis obat,

dan masa kerjanya, obat-obat ini dapat memberikan efek stimulasi atau efek

depresi pada reseptor kolinergik. Agonis muskarinik terbagi menjadi 2 golongan

yanitu golongan ester yang senyawannya mirip dengan asetilkolin contonya

adalah metakolin, carbakol, betanakol golongan yang kedua yaitu golonga

alkaloid yang senyawanya tidak mirip dengan aselkolin contohnya yaitu aekolin,

polokaprin, muskarin, pilokaprin. Banyak obat agonis kolinergik yang beredar

dipasaran seperti mictonocom, vesicare, urispas, uroskal, batugin, neophrolit,

afitor, mitelase dan neostigmine.

3.2 Saran

Sebagaimana yang telah kita ketahui dan kita bahas mengenai agonis

kolinergik yang memiliki atau mengakibatkan efek samping berupa stimulansi

atau meningkatkan SSP maka dari itu berhati – hatilah kita dalam mengkonsumsi

obat – obatan agonis kolinergik yang sangat berbahaya bila dikonsumsi secara

berlebihan atau overdosis maka akan menyebabkan hal yang fatal seperti

kematian.

25
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Agung Endro. Obat-obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi


dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Batticaca,Fransisca. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien Gangguan
SistemPersarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Syaifuddin,H.(2011).Anatomi Fisiologi:Kurikulum berbasais Kompetensi untuk
Keperawatan dan Kebidanan.Edisi 4.Jakarta:EGC
Ganiswarna, G Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi. 4 th ed. Jakarta : Balai
penerbit FKUI.
Tjay H.T. Rahadja, Kirana. 2003. Obat-obat penting, 5th ed. Jakarta : PT Elex
Media Koputindo.
Hamilton, Persis. (1995). Dasar-dasar Keperawatan Maternitas. Edisi 2. Jakarta :
EGC
Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC, Jakarta
Siswandono and Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Airlangga University
Press. Surabaya.
Djamhuri,A.,1995, Synopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di Klinik dan
Keperawatan, Edisi 1, 76, Hipokkrates, Jakarta
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah:
Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2006.
Ganiswarna,S.G.,1995, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta
Departemen Kesehatan RI., 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000,
Jakarta, CV. Sagung Seto.
American Society Of Health System Pharmacist., 2010, Drug Information, Edisi
3, United Stated Of America.
Gan, S., 1987,” Farmakologi dan Terapi”. Edisi 3, Jakarta, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Harvey, R. A. dan Champe, P.C., 2013, “Farmakologi Ulasan Bergambar”, Edisi
4, C. Ramadhani, Dian [et al], Tjahyanto, Adhi, Salim, ed., Jakarta, Buku
Kedokteran EGC.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2008.Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

26
Sukohar, Asep. 2014. “ Farmakologi asetikolin “. Press Universitas Lampung :
lampung .
Riyanto, Asep. 2017. “kolinergik dan adrenergi
“.http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-TinjPus4.pdf. 10 November
2019.
Setiawati, Gustina. 2013. “ ketergantungan Nikotin “.http://e-
journal.usd.ac.id/index.php/JFSK/article/download/98/86. 10 November
2019.

27

Anda mungkin juga menyukai