TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.2. Pendahuluan
Salbutamol sulfat dan Terbutaline sulfate merupakan golongan agonis β2 adrenergik
bekerja sebagai bronkodilator paling efektif sebagai pilihan pertama penanganan serangan
asma (Sukandar, et.al, 2009). Obat tersebut juga digunakan untuk penyakit paru obstruktif
kronik. Obat ini memiliki efek tokolitik, sehingga digunakan untuk pencegahan persalinan
prematur. Berikut struktur salbutamol Sulfat dan Terbutaline Sulfat:
Thymol yang secara kimia dikenal sebagai 2-isopropil-5-metil fenol adalah fenol
monoterpen kristal tidak berwarna. Ini adalah salah satu unsur makanan terpenting dalam
spesies thyme. Selama berabad-abad, telah digunakan dalam pengobatan tradisional dan telah
terbukti memiliki berbagai sifat farmakologi termasuk antioksidan, pembasmi radikal bebas,
antiinflamasi, analgesik, antispasmodik, antibakteri, antijamur, antiseptik, dan aktivitas
antitumor. Berikut struktur Thymol:
Spektrofotometri masih merupakan teknik yang banyak digunakan dalam analisis
farmasi karena kemampuan analisisnya yang cepat, akurat dan mudah serta throughput yang
tinggi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini memanfaatkan sifat fenolik dari ketiga obat
tersebut untuk mengembangkan metode spektrofotometri yang sederhana, ekonomis, sensitif,
dan akurat untuk penentuannya dalam obat-obatan yang berbeda melalui dua metode. Metode
I, yaitu penggandengan oksidatif. Metode ini dilakukan untuk penentuan Salbutamol Sulfat
dan Terbutiline Sulfat melalui reaksi oksidasi P-fenilendiamin (PPD) menjadi P-
benzoquinone diimine diikuti oleh penggandengan dengan obat fenolik yang ada sebagai
anion fenoksida dalam media basa. Produk yang dihasilkan adalah pewarna indoanilin
dengan warna yang khas.
Metode II, yaitu reaksi substitusi elektrofilik aromatik melalui reaksi substitusi aromatik
elektrofilik THY dengan natrium nitroprusida dan hidroksilamina hidroklorida dalam media
basa membentuk anion 2-isopropil-4-nitroso-5-metil fenolat dengan dimerisasi natrium
nitroprusida secara bersamaan memberikan karakteristik produk berwarna hijau.
Beberapa contoh reaksi substitusi elektrofilik yang terjadi pada benzena, seperti nitrasi,
sulfonasi, halogenasi, alkilasi, dan asilasi, dapat dilihat pada tabel berikut:
Reaksi-reaksi tersebut juga dapat berlangsung pada benzena tersubstitusi. Akan tetapi,
substituen yang terikat pada cincin benzena dapat memengaruhi reaktivitas cincin dalam
reaksi substitusi elektrofilik serta menentukan posisi terikatnya elektrofil. Substituen
umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang mengaktifkan dan mendeaktifkan
cincin aromatik.
Kelompok substituen pengaktif cincin dapat menyumbangkan elektron ke dalam sistem
cincin benzena dengan efek induksi atau efek resonansi. Hal ini membuat cincin menjadi
lebih kaya elektron sehingga lebih reaktif terhadap reaksi substitusi elektrofilik. Beberapa
substituen pengaktif cincin (gugus pendorong elektron) adalah gugus –OH, –OR, –NR2, dan
sebagainya. Kepadatan elektron yang disumbangkan ke dalam sistem cincin tidak
didistribusikan secara merata di seluruh cincin benzena, tetapi terkonsentrasi pada atom 2, 4,
dan 6. Oleh karena itu, elektrofil akan menempati posisi orto atau para dari substituen
pertama. Contoh cincin aromatik aktif adalah toluena, anilin, dan fenol.
Kelompok substituen yang mendeaktifkan cincin menarik kerapatan elektron dari cincin
aromatik dengan efek induksi atau resonansi. Dengan demikian, cincin menjadi kekurangan
elektron sehingga menurunkan laju reaksi substitusi elektrofilik. Beberapa substituen yang
mendeaktifkan cincin (gugus penarik elektron) adalah gugus –COOH, –CHO, –halida, dan
sebagainya. Gugus yang menarik kerapatan elektron dengan resonansi menurunkan kerapatan
elektron terutama pada posisi 2, 4, dan 6, meninggalkan posisi 3 dan 5 sebagai yang memiliki
reaktivitas yang lebih tinggi. Oleh karena itu, elektrofil akan menempati posisi meta dari
substituen pertama; terkecuali pada substituen berupa gugus halida, elektrofil akan
menempati posisi orto atau para meskipun gugus halida merupakan gugus penarik elektron.
Senyawa fenolik
2.6. Spektrofotometri UV-Vis
Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari tentang metode-metode untuk menghasilkan
dan menganalisis spektrum. Interpretasi spektrum yang dihasilkan dapat digunakan untuk
analisis unsur kimia, meneliti arus energi atom dan molekul, meneliti struktur molekul, dan
untuk menentukan komposisi dan gerak benda-benda langit (Danusantoso, 1995: 409).
Dikenal dua kelompok utama spektroskopi, yaitu spektroskopi atom (emisi) dan spektroskopi
molekul (absorpsi). Dasar dari spektroskopi atom adalah tingkat energi elektron terluar suatu
atom atau unsur yang melibatkan energi elektronik, vibrasi, dan rotasi. sedangkan dasar dari
spektroskopi molekul adalah tingkat energi molekul radiasi yang terabsorpsi.
Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar
ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya
tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke
tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV Vis biasanya digunakan untuk molekul dan
ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang
lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini
sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Sinar ultraviolet berada pada panjang
gelombang 200-400 nm, sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800
nm. Panjang gelombang (λ) adalah jarak antara satu lembah dan satu puncak, sedangkan
frekuensi adalah kecepatan cahaya dibagi dengan panjang gelombang (λ). Bilangan
gelombang adalah (v) adalah satu satuan per panjang gelombang. (Dachriyanus,2004)
Kebanyakan penerapan spektrofotometri UV-Vis pada senyawa organik didasarkan n-
π* ataupun π-π* karena spektrofotometri UV-Vis memerlukan hadirnya gugus kromofor
dalam molekul itu. Transisi ini terjadi dalam daerah spektrum (sekitar 200 ke 700 nm) yang
nyaman untuk digunakan dalam eksperimen. Spektrofotometer UV-Vis yang komersial
biasanya beroperasi dari sekitar 175 atau 200 ke 1000 nm. Identifikasi kualitatif senyawa
organik dalam daerah ini jauh lebih terbatas daripada dalam daerah inframerah. Ini karena
pita serapan terlalu lebar dan kurang terinci. Tetapi, gugus-gugus fungsional tertentu seperti
karbonil, nitro dan sistem tergabung, benar-benar menunjukkan puncak yang karakteristik,
dan sering dapat diperoleh informasi yang berguna mengenai ada tidaknya gugus semacam
itu dalam molekul tersebut. (Day & Underwood, 1986)
Hukum Lambert-Beer (Beer`s law) adalah hubungan linearitas antara absorban
dengan konsentrasi larutan sampel. Konsentrasi dari sampel di dalam larutan bisa ditentukan
dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum
Lambert-Beer. Biasanya hukum Lambert-Beer diyulis dengan :
Spektrofotometer UV-Vis pada umumnya digunakan untuk:
Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonyugasi dan ausokrom dari
suatu senyawa organik.
Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu
senyawa.
Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan
hukum Lambert-Beer
Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi electron-
electron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi
berenergi lebih tinggi. Energi yang terserap kemudian terbuang sebagai cahaya atau
tersalurkan dalam reaksi kimia. Absorbsi cahaya tampak dan radiasi ultraviolet meningkatkan
energi elektronik sebuah molekul, artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton
memungkinkan electron-electron itu mengatasi kekangan inti dan pindah ke luar ke orbital
baru yag lebih tinggi energinya. Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-
tampak karena mereka mengandung electron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat
dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Absorbsi untuk transisi electron seharusnya tampak pada panjang gelombang diskrit
sebagai suatu spectrum garis atau peak tajam namun ternyata berbeda. Spektrum UV maupun
tampak terdiri dari pita absorbsi, lebar pada daerah panjang gelombang yang lebar. Ini
disebabkan terbaginya keadaan dasar dan keadaan eksitasi sebuah molekul dalam subtingkat-
subtingkat rotasi dan vibrasi. Transisi elektronik dapat terjadi dari subtingkat apa saja dari
keadaan dasar ke subtingkat apa saja dari keadaan eksitasi. Karena berbagi transisi ini
berbeda energi sedikit sekali, maka panjang gelombang absorpsinya juga berbeda sedikit dan
menimbulkan pita lebar yang tampak dalam spektrum itu.
BAB III
METODOLOGI PENELIAN
3.1.2. Bahan
Timol, natrium dihidrogen fosfat (NaH2PO4), natrium hidroksida (NaOH), natrium
karbonat anhidrat, etanol, Hidroksilamina hidroklorida, P-phenylenediamine (PPD), potasium
hexacyanoferrate (K3Fe(CN)6), asam klorida (HCl, 35%), dan natrium metaperiodat (NaIO 4),
natrium nitroprusside. Serbuk murni TBT dan SLB berasal dari Sediaan farmasi, yaitu
Butadin tablet (2 mg SLB/ tablet), produk SDI, injeksi Salbutamol (0,5 mg SLB/mL), larutan
respirator Ventoline (100 mg SLB/ 20 mL), tablet samabutaline (5 mg TBT/tablet), (2.5 mg
TBT/tablet), Mentoral obat kumur (THY 0,063% b/v), dan obat kumur Lastarime (THY
0,06% b/v). PPD (4 × 10-3M) dibuat dalam etanol absolut sementara NaIO 4 (1 × 10-2M),
hidroksilamina hidroklorida (4 ×10-2M), K3Fe(CN)6 (1×10-3M), dan larutan natrium
nitroprusida (0,1 M) dibuat dalam air suling. Larutan natrium nitroprusside dilindungi dari
cahaya untuk menjaga stabilitasnya setidaknya selama 1 bulan. Buffer fosfat 0,1 M (pH 12,0)
dan buffer karbonat 0,05 M (pH 9,0 dan 9,5) disiapkan. Pembuatan larutan standar individu
SLB dan TBT (100,0 μg/mL) dilakukan dengan menggunakan air suling sebagai pelarut,
sedangkan larutan standar THY (100,0 μg/mL) dibuat dengan melarutkan 0,01 g dalam 5 mL
etanol kemudian diencerkan hingga 100 mL dengan air suling.
Garg, N., Abdel-Aziz, S.M., & Aeron, A., 2016, Microbes in Food and Health, Springer, Switzerland 42-
45
Lai, Y.H., Lim Y.Y., 2011, Evaluation of Antioxcidant Activities of the Methanolic Extract of Selected
Ferns in Malaysia. IPCBEE 20.
Sukandar, E. Y., Retnosari A., Joseph I. S., I Ketut A., A. Adji P. S., dan Kusnandar. ISO Farmakoterapi.
Jakarta: PT. ISFI Penerbitan; 2009.