Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Antasida adalah obat yang digunakan untuk menetralkan asam lambung

(Arif et al., 2014). Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam

hidroklorida lambung untuk membentuk garam dan air. Antasid telah digunakan

selama berabad-abad untuk mengobati penderita dipepsia dan kelainan asam-

peptik, hingga lahirnya antagonis reseptor H 2 dan penghambat pompa proton.

Antasida masih banyak digunakan oleh pasien sebagai obat bebas untuk

mengobati nyeri ulu hati dan dipepsia intermiten (Katzung, 2010).

Antasida digunakan sebagai tambahan obat lain untuk menghilangkan

nyeri ulkus peptikum dan untuk mempercepat penyembuhan tukak lambung.

Antasida juga digunakan untuk menghilangkan refluks esofagus, gangguan

pencernaan asam, mulas, dispepsia, dan asam lambung, selain itu juga untuk

pencegahan stres ulserasi dan perdarahan GI, mengurangi risiko yang terkait

dengan aspirasi lambung, dan untuk pengelolaan hiperfosfatemia (AHFS, 2008).

Antasida dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu antasida sistemik dan antasida

nonsistemik. Antasida sistemik, misalnya natrium bikarbonat. Antasida

nonsistemik misalnya sediaan magnesium, aluminium, dan kalsium (Sihombing,

2015)

1
2

Antasida yang biasanya digunakan terdiri dari dua kombinasi zat yaitu

senyawa magnesium dan alumunium. Senyawa magnesium dan aluminium

keduanya bersifat netralisasi yang baik tanpa diserap usus. Magnesium hidroksida

praktis tidak larut dan tidak efektif sebelum bereaksi dengan HCl membentuk

MgCl2. Senyawa alumunium hidroksida ini mampu menetralkan asam klorida

selain itu juga dapat mengikat sebagian asam klorida secara absorbtif.

Peningkatan pH pada garam-garam alumunium hidroksida maksimum sampai pH

4-5 dan garam magnesium sampai 6-8 dan keduanya tidak larut dalam air namun

dapat larut dalam asam mineral encer (Wahyuningtyas, 2010). Magnesium

hidroksida memiliki efek samping diare jika diberikan dalam dosis besar. Bila

efek sampingnya hebat dapat menyebabkan kehilangan elektrolit. Karena

mempunyai efek pencahar tersebut obat ini sering dikombinasikan dengan

aluminium hidroksida. Tetapi kemampuan netralisasi campuran ini kurang

dibanding dengan senyawa Mg hidroksida tunggal (Arif et al., 2014).

Lambung normal menghasilkan asam klorida (HCl), untuk itu dalam

mengantisipasi makanan yang masuk, keasaman lambung lebih rendah untuk

memaksimalkan efek mencerna pada perut (Thompson, 2009). Meskipun asam ini

cukup kuat, lambung memiliki lapisan lendir tebal yang melindunginya dari HCl.

Ketika lambung sudah terlalu penuh atau ketika kita menelan udara, HCl akan

dipaksa keluar dari lambung ke jaringan kerongkongan yang tidak memiliki

proteksi. HCl akan bereaksi dengan jaringan yang tidak mimiliki proteksi dan

menyebabkan sensasi terbakar umumnya dikenal sebagai heartburn dan juga


3

ketika produksi asam lambung itu terlalu banyak akan menimbulkan rasa nyeri

(Sari, 2010).

Penyakit asam peptik meliputi refluks gastro-esofagus, ulkus peptikum

(gastrik dan duodenal), dan jejas mukosa akibat stres. Pada semua keadaan

tersebut, terjadi erosi mukosa atau ulserasi bila efek kaustik yang ditimbulkan

oleh faktor-faktor agresif (asam, pepsin, empedu) mengalahkan faktor pertahanan

mukosa saluran cerna (sekresi mukus dan bikarbonat, prostaglandin, aliran darah,

dan proses restitusi dan regenerasi pasca jejas sel). Lebih dari 99% ulkus

peptikum disebabkan oleh infeksi bakteri Helicobacter pylori atau oleh

penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Obat yang digunakan dalam

terapi kelainan asam peptik salah satunya adalah agen yang menurunkan

keasaman lambung dan agen yang meningkatkan pertahanan mukosa (Katzung,

2010).

Gastritis, tukak peptik, maupun dispepsia merupakan masalah kesehatan di

masyarakat (Suyono, 2001). Di Amerika Serikat ada sekitar 500.000 kasus baru

dan 4 juta kekambuhan ulkus peptikum tahunan. Prevalensi titik satu tahun dari

ulkus petikum di AS adalah sekitar 1.8%, dengan prevalensi seumur hidup dari 8-

14% (Mark et al., 2005). Di Indonesia prevalensi gastritis sebanyak 0.99% dan

insiden gastritis sebesar 115/100.000 penduduk. Prevalensi tukak peptik di

Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15% terutama pada usia

20-50 tahun (Suyono, 2001).


4

Antasida memiliki banyak interaksi obat. Antasida dapat mempengaruhi

absorpsi beberapa obat lain dengan berikatan dengan obat tersebut, sehingga

menyebabkan penurunan absorpsi obat yang diberikan bersamaan dengan antasida

(Katzung, 2010). Seperti antibiotik golongan quinolon, katopril, H-2 reseptor

antagonis (ranitidine dan cimetidine) dan besi (Gullgler and Algayer, 1990;

Susiloningtyas, 2012). Selain itu antasida juga dapat meningkatkan penyerapan

pada obat-obat anti-inflamasi nonsteroid agen antidiabetes sulfonilurea

antikoagulan. Obat-obatan asam lemah yang tak terionisasi pada pH lambung,

tetapi hemat larut air (Neuvonen and Kivist, 1994).

1.2. Tujuan

2.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan mengenai obat antasida.

2.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari makalah ini adalah :

a. Untuk mengetahui sifat fisik kimia dan rumus kimia antasida


b. Untuk mengetahui farmakologi umum dari antasida
c. Untuk mengetahui farmakodinamik antasida
d. Untuk mengatahui farmakokinetik antasida
e. Untuk mengatahui toksisitas dari obat antasida

1.3. Manfaat

1. Bagi Masyarakat
5

Meningkatkan wawasan masyarakat agar lebih memahami tentang

apa saja khasiat, kegunaan terapi, kontraindikasi, kadar toksisitas dan

gejala dari toksisitas obat antasida.

2. Bagi Penulis

Agar penulis lebih memahami bagaimana farmakologi umum,

farmakodinamik, farmakokinetik, serta toksisitas dari obat antasida.

3. Bagi Fakultas Kedokteran

Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan pengetahuan untuk

fakultas kedokteran, tak terkecuali kedokteran gigi dan kedokteran hewan

tentang farmakologi umum, farmakodinamik. Farmakokinetik, dan

toksisitas obat antasida.

4. Bagi Bidang Farmasi

Sebagai rangkuman dan rekaan ulang untuk meriview kembali

dalam bidang ilmu farmasi khususnya obat golongan antasida.


BAB II

FARMASI-FARMAKOLOGI

2.1. Farmakologi Umum

Antasida dibagi dalam dua golongan yaitu antasida sistemik dan antasida

nonsistemik (Estuningtias et al., 2012).

1. Antasida Sistemik

a. Natrium Bikarbonat

Misalnya soda kue dan alka seltzer (Katzung, 2010). Natrium

bikarbonat cepat menetralkan HCI lambung karena daya larutnya

tinggi (Arif et al., 2014). Reaksi kimianya ialah sebagai berikut :

(Estuningtias et al., 2012).

NaHCO3 + HCl NaCl + H2O + CO2

Karbonat dioksida (CO) yang terbentuk dalam lambung akan

menimbulkan sendawa. Distensi lambung dapat terjadi, dan dapat

menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan alkolosis metabolik obat ini

dapat menyebabkan retensi natrium dan edema (Estuningtias et al., 2012).

Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasida. Obat

ini digunakan untuk mengatasi asidosis metabolisme, alkalinisasi urin dan

pengobati lokal pruritus (Estuningtias et al., 2012).

6
7

Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000mg. Satu

gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang

dianjurkan 1-4 gram (Estuningtias et al., 2012).

2. Antasida Non-Sistemik

a. Alumunium Hidroksida

Reaksi yang terjadi dalam lambung adalah sebagai berikut;

Al (OH)3 + 3 HCl AlCl3 + 3 H2O

Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya

lebih panjang. Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan

dengan obat yang tidak larut lainnya, Al(OH) 3 dan sediaan Al lainnya

bereaksi dengan fosfat membentuk aluminium fosfat antasida ini

mengadsorbsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorpsi makanan setelah

pemberian Al tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah.

Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben (Estuningtias et al.,

2012).

Antasida Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH) 3 gek yang

mengandung 3,6-4% AlO3 dengan dosis yang dianjurkan sebesar 8mL.

Tersedia pula dalam bentuk tablet Al(OH)3 yang mengandung 50%

AlO3. Satu gram Al (OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal

yang dianjurkan 0,6 gram (Estuningtias et al., 2012).


8

b. Kalsium Karbonat

Menurut Estuningtias et al (2012), kalsium karbonat merupakan

antasida yang efektif, karena mula kerjanya cepat, maka kerjanya lama dan

daya menetralkan asamnya cukup tinggi. Kalsium karbonat dapat

menyebabkan kontipasi, mual, muntah, perdarahan saluran cerna dan

disfungsi ginjal dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan

berdasarkan daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung

kalsium di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal

yang mengeluarkan HCI (H+). Sebagian akibatnya, sekresi asam pada

malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat

ini (milk alkali syndrome). Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet

600 dan 1000 mg. Satu gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq

asam. Dosis yang dianjurkan adalah 1-2 gram.

c. Magnesium Hidroksida

Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasida.

Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektif sebelum obat ini bereaksi

dengan HCI membentuk MgCl2 (Estuningtias et al., 2012). Magnesium

hidroksida memperlambat pengosongan dari lambung, sehingga

memperpanjang efek netralisasinya (Saputri, 2013). Magnesium

hidroksida yang tidak bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan

akan menetralisiskan HCI yang disekresikan belakangan sehingga masa

kerjanya lama. Antasida ini dan natrium bikarbonat sama efektifnya dalam

hal menetralisiskan HCI (Estuningtias et al., 2012).


9

Sediaan susu magnesium (milk of magnesia) berupa suspensi yang

berisi 7-8,5% Mg(OH)2. Satu mililiter susu magnesium dapat menetralkan

2,7 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 5-30 ml. Bentuk lain ialah tablet

susu magnesium berisi 325 mg, Mg(OH)2 yang dapat menetralkan

11,1mEq asam (Estuningtias et al., 2012).

d. Magnesium Trisilikat

Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga

berfungsi menutup tukak. Silika gel dan magnesium trisilikat merupakan

adsorben yang baik karena tidak hanya mengadsorpsi pepsin tetapi juga

protein dan besi dalam makanan. Mula kerja magnesium trisilikat lambat,

untuk menetralkan 30% HCI 0,1 N diperlukan waktu 15 menit,

sedangkan untuk menetralkan 60% HCI 0,1 N diperlukan waktu satu jam.

Ditinjau dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya untuk

menimbulkan toksisitas yang khas, kurang beralasan untuk menngunakan

obat ini sebagai antasida (Estuningtias et al., 2012).

Magnesium trisilikat tersedia dalam bentuk tablet 500mg dengan

dosis yang dianjurkan 1-4 gram. Tersedia pula sebagai bubuk

megnesium trisilikat yang mengandung sekurang-kurangnya 20% MgO

dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisilikat dapat

menetralkan 13-17 mEq asam (Estuningtias et al., 2012).


10

Tabel II.1 Sediaan Antasida Menurut Estuningtias et al (2012).

Nama Obat Bentuk Sediaan dan Dosis Keterangan

Digunakan untuk mengobati


asidosis sistemik. Untuk
Natrium Tablet 500mg
membentuk urin alkali. Untuk
bikarbonat Dosis: 1-4 g/hari
mengatasi pruritus pada
penggunaan lokal.
Masa kerja sebagai antasida
lama. Mempunyai sifat
Aluminium Tablet suspensi 4%
astringen dan demulsen. Dapat
hidroksida Dosis tunggal : 0,6g
digunakan untuk mengobati
netrolitiasis fosfat.
Aluminium Suspensi 4-5%
fosfat Dosis: 15-45 mL

Sifat farmakologi sama seperti


Suspensi berisi 5%
Al-karbonat aluminium hidroksida. Satu
Al2O3 dan 2,4% CO2
basa ml suspensi dapat menetralkan
Dosis: 8 mL
1,2-1,5 mEq asam.
Al-natrium
Tablet : 300mg Kombinasi antara NaHCO3
dihidroksikarbo
Dosis : 300-600mg dan aluminium hidroksida
nat
Kalsium Dosis: 2-3 g/hari Mula kerja cepat, masa kerja
karbonat Tablet:0,5-0,6g panjang.
Efeknya lebih lambat dari
Magnesium pada kalsium karbonat.
Dosis:0,6-2g/hari
karbonat Kebutuhannya lebih besar
daripada kalsium karbonat.
Kerjanya lama, efek
Suspensi susu magnesium
netralisasinya lengkap. Ion
Magnesium 7-8%
magnesium yang diabsorpsi
hidroksida Dosisi;5-30ml
akan menyebabkan efek
Tablet 325mg
sistemik. Urin menjadi alkalis.
SiO2 yang terjadi dapat
melapisi dan melindungi
Magnesium Tablet 500mg
ulkus. Kerjannya lambat.
trisilikat Dosis 1-4 g/hari
Sebagai adsorben pada
keracunan oral.
11

2.2. Sifat Fisikokimia dan Rumus Kimia Obat

1. Natrium Bikarbonat

Sifat fisikokimia natrium bikarbonat adalah (BPOM RI, 2011):

Bentuk : padat, serbuk, atau kristal serbuk dan granul, berwarna putih dan

tidak berbau.

Berat molekul : 105,99.

Titik lebur : 1563,8F (851C ).

Berat jenis : 2,532 (air = 1).

Kelarutan : larut dalam air panas dan gliserol, larut sebagian dalam

air dingin, tidak larut dalam aseton dan alkohol.

Rumus molekul : NaHCO3

Gambar II.1 Rumus kimia Natrium Bikarbonat


Sumber : Saputri, 2013.

2. Alumunium Hidroksida

Sifat fisikokimia aluminium hidroksida adalah (BPOM RI, 2011) :

Bentuk : serbuk kristal, granul, atau gel berwarna putih, tidak berbau.
12

Berat molekul : 78,01 g/mol.

Rumus molekul : Al(OH)3.

Titik lebur : 300C (572 F).

Berat jenis (air=1) : 2,423.

Larut : pelarut alkali, dan asam klorida.

Gambar II.2 rumus kimia Aluminium hidroksida


Sumber : Saputri, 2013

3. Kalsium Karbonat

Sifat fisikokimia kalsium karbonat adalah (BPOM RI, 2011) :

Bentuk : Serbuk, kristal; berwarna putih atau abu-abu; higroskopik; tidak

berbau; tidak memiliki rasa.

Titik lebur : 1517-2442F (825-1339C).

Kelarutan : gravitasi khusus (air=1) 2,7-2,9. pH 8-9 (larutan dalam air).

Penguapan 0,0%. Hampir tidak larut dalam air. Larut dalam asam asetat,

asam hidroklorik, asam nitrat, asam lainnya, larutan ammonium klorida.

Tidak larut dalam alkohol.


13

Rumus kimia : CaCO3.

Gambar II.3 rumus kimia Kalsium Karbonat


Sumber : Saputri, 2013

4. Magnesium Hidroksida

Sifat kimia Magnesium Hidroksida menurut Dewi (2015) adalah

Mudah larut dalam HCl


Tidak larut dalam air
Mudah larut dalam garam-garam ammonium
Tidak bereaksi dengan HCl jika pada Mg(OH)2 terdapat garam-

garam ammonium

Gambar II.4 Rumus kimia Magnesium Hidroksida


Sumber : Saputri, 2013

5. Magnesium Trisilikat

(Depkes RI, 1995)

Rumus kimia : Mg2SiO63H2O.

Berat molekul : 260,86


14

Pemerian : serbuk halus, putih, tidak berbau, tidak memiliki rasa.

Kelarutan : tidak larut dalam air dan dalam etanol; terurai

oleh asam mineral.

Khasiat : antasidum.

OTT : antasid dapat mengurangi absorbsi berbagai obat misalnya INH,

penisilin, tetrasiklin, nitrofurantonin, asam nalidiksat, sulfonamid,

fenilbutazon, digoksin, dan klorpromazin

Stabilitas : stabil pada pH asam.

Dosis dewasa : 500mg-1gram, sehari 1,5gram-3gram.

Dosis Anak-anak : 75mg-250mg.

Wadah : baik dalam wadah tertutup.

2.3. Farmakodinamik

Farmakodinamik merupakan suatu efek fisiologi dan biokimiawi obat

terhadap berbagai jaringan tubuh.

1. Khasiat

Antasida ialah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna

untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Antasida adalah basa lemah yang

bereaksi dengan asam hidroklorida lambung untuk membentuk garam dan air.

Meskipun mekanisme kerja utamanya adalah penurunan keasaman dalam


15

lambung, antasid juga meningkatkan mekanisme pertahanan mukosa melalui

perangsangan produksi prostaglandin oleh mukosa (Katzung, 2010).

2. Kegunaan Terapi

a. Tukak Peptikum

Penggunaan antasida pada penyakit tukak lambung berdasarkan

kemampuannya menetralkan asam lambung dan mencegah konversi

pepsinogen menjadi pepsin. Pepsinogen merupakan prekursor yang diubah

menjadi pepsin aktif dengan HCl bebas dan oleh proses autokatalitik.

Pepsin adalah enzim proteolitik yang diperkirakan memediasi cedera

jaringan atau degradasi mukus dan mukosa pada penyakit ulkus (Tolman,

2000).
Dengan pemberiaan antasid nyeri lambung tukak peptik akan

hilang, tetapi tdak berarti pasien dalam tahap penyembuhan jadi bahaya

perforasi tetap ada (Estuningtias et al., 2012).


Kegagalan pengobatan simptomatik dengan antasid disebabkan

karena frekuensi pengobatan yang tidak adekuat, dosis yang diberikan

tidak cukup, pemilihan sediaan yang tidak tepat, sekresi asam lambung

yang tidak terkontrol. Regimen dosisi antasid bervariasi tergantung

beratnya gejala. Untuk tukak peptik tanpa komplikasi pemberiaan pada 1

dan 3 jam setelah makan dan menjelang tidur malam biasanya memadai.

Bentuk tablet maupun suspensi menunjukkan efektivitas yang sama

(Wallace, 2011; Tolman, 2000).


Hal-hal berikut ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk

penggunaan antasida: (1) penggunaan antasida sistemik jangka panjang


16

sebaiknya dihindarkan (2) bentuk suspensi mula kerjanya lebih cepat dari

pada bentuk tablet, (3) urutan daya netralisasi asam oleh antasida dari yang

tinggi ke yang lebih rendah ialah sebagai berikut : kalsium karbonat,

magnesium karbonat, dihidroksi aluminium natrium karbonat atau

dihidroksi aluminium asetat, (4) campuran dua atau lebih antasida tidak

lebih baik dari pada satu antasida. Untuk menghilangkan konstipasi atau

diare lebih baik memberikan 2 preparat terpisah daripada sebagai

campuran (Estuningtias et al., 2012) .


Pada pasien tukak peptik yang berat pengobatan dengan antasida

perlu dilakukan bersamaan dengan segala usaha pengobatan lainnya, yaitu

diet, istirahat, psikoterapi, pemberiaan antikolinergik (Estuningtias et al.,

2012).

b. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

Antasida sering digunakan untuk mengobati GERD ringan

(Barbara et al., 2009). Antasida juga dapat berguna untuk meningkatkan

pH lambung dan meningkatkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah

dalam pengelolaan refluks esophageal. Antasida dan antirefluxants seperti

asam alginat lebih efektif daripada plasebo dalam mengurangi gejala sakit

maag disebabkan oleh makanan, dan berguna untuk pengobatan sendiri

sebagai terapi awal untuk bentuk ringan dari gastroesophageal reflux

disease (GERD) (AHFS,2008).


Antasida dengan asam alginat (Gaviscon) tidak terlalu baik sebagai

penetral asam, tetapi membentuk larutan kental yang mengapung di

permukaan isi lambung. Ini berfungsi sebagai penghalang dan pelindung


17

untuk melawan refluks esofagus isi lambung dan mengurangi frekuensi

episode refluks, namun data yang menunjukkan khasiat penyembuhan

endoskopik masih kurang (Barbara et al., 2009).


Langkah-langkah lain seperti mengobati obesitas, mengurangi

porsi makan dan asupan lemak dari makanan, menghindari makanan yang

dapat meningkatkan refluks, menghindari tidur terlentang setelah makan,

dan meninggikan penyangga kepala pada tempat tidur harus dimulai dan

terus sepanjang perjalanan pengobatan (AHFS, 2008).


Antasida memiliki durasi kerja yang pendek, yang mengharuskan

sering diminum sepanjang hari untuk memberikan netralisasi asam terus

menerus. Obat ini memiliki dosis khas dua tablet atau 1 sendok makan

empat kali sehari (setelah makan dan di waktu tidur). Penekanan asam

malam hari tidak dapat dipertahankan dengan dosis tidur antasida (Barbara

et al., 2009).

c. Acid Indigestion

Meskipun kemanjuran antasida dapat untuk menghilangkan

gangguan heartburn dan mulas tetapi belum dapat ditetapkan secara

sistematis oleh penelitian yang dirancang dengan baik, sebagian besar ahli

percaya bahwa, karena gejala-gejala tersebut dapat disebabkan oleh asam

lambung, kinerja antasida mungkin berguna (AHFS, 2008).


18

d. Upper Gastro Intestinal (GI) Bleeding

Antasida mungkin efektif dalam pencegahan stres ulserasi dan

perdarahan GI. Dalam suatu studi terkontrol secara acak pada pasien sakit

kritis, antasida digunakan sebagai profilaksis untuk mempertahankan pH

lambung di atas 3,5 dan menurunkan kejadian perdarahan GI akut (AHFS,

2008).

e. Aspirasi Asam Lambung

Antasida telah diberikan sebagai profilaksis tambahan untuk

mengurangi risiko aspirasi asam lambung pada pasien yang menjalani

operasi caesar atau operasi darurat (AHFS, 2008).

f. Hiperfosfatemia

Efek hipofosfatemic aluminium yang mengandung antasida

(kecuali aluminium fosfat) telah digunakan dalam hubungannya dengan

diet rendah fosfat dalam pengelolaan universalis calcinosis, di

hiperparatiroidisme sekunder untuk hemodialisis kronis, dan untuk

mencegah batu ginjal fosfat berulang. Sejak aluminium karbonat

dilaporkan mengikat fosfat lebih daripada aluminium hidroksida,

aluminium karbonat umumnya lebih digunakan (AHFS, 2008).

3. Kontraindikasi

Saat ini, pemberian absorbable antasida tidak dilakukan. Kontraindikasi

untuk antasida non-absorbable adalah penyakit gagal ginjal yang parah dan
19

penyakit Alzheimer. Aluminium fosfat merupakan kontraindikasi pada kehamilan.

Antasida yang mengandung kalsium, magnesium dan aluminium ini adalah

pengkhelat ion. Antasida mengikat sejumlah besar obat-obatan seperti digitoksin,

tetrasiklin, bishydroxycoumarin, indometasin, aspirin, cimetidine, ranitidin,

famotidine, teofilin, dan lainnya. Pemberian antasida mengurangi bioavailabilitas

asam lemah seperti barbiturat, sulfonamid, penisilin dan lain-lain. Penyerapan dari

basa lemah meningkat (atropin, chlorpromazine, propranolol, dan lain

sebagainya). Dianjurkan untuk mengkombinasikan antasida dengan M-

antikolinergik (untuk memperpanjang efek antasida) dan dengan (proton pump

inhibitor) PPI (untuk mengurangi perusakannya di perut) (Tomina, 2014).

2.4. Farmakokinetik

Farmakokinetik mempelajari perwatakan atau karakteristik bergeraknya

obat dalam tubuh, mencakup kinetika absorpsi atau penyerapan, distribusi,

metabolisme atau biotransformasi serta ekskresi atau eliminasi obat (Joenoes,

2012).

1. Pola ADME (Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, Eliminasi)

Aluminium hidroksida bereaksi dengan fosfat sehingga susah diserap di

usus kecil, menyebabkan eksresi melalui urine berkurang sedangkan melalui tinja

bertambah (Estuningtias et al., 2012). Karena aluminium dapat berikatan dengan

protein sehingga lebih susah untuk dieksresi, aluminium dapat menumpuk di

paru-paru, tulang, dan jaringan saraf (AHFS, 2008).


20

Ion magnesium dalam usus akan diabsorpsi dan cepat diekskresi melalui

ginjal. Ion magnesium yang diabsorpsi akan bersifat sebagai antasida sistemik

sehingga menimbulkan alkaliuria, tetapi jarang terjadi alkalosis. Sebagian besar

antasida diabsorpsi di saluran cerna dan di eksresi di ginjal. Mekanisme kerjanya

dengan menetralkan asam lambung dengan cara meningkatkan pH lumen lambung

(Estuningtias et al., 2012).

Ekskresi alumunium hidroksida yang diabsorpsi melalui urin (0,1 0,5 mg

dari aluminium yang ada dalam antasida diabsorpsi), yang tidak diabsorpsi

diekskresikan melalui feses. Magnesium hidroksida yang diabsorpsi (30%) akan

dibuang melalui urin, sisanya melalui feses (Wehbi dkk, 2013) dalam Batubara

(2014).

2. Waktu Paruh

Antasida diabsorpsi pada keadaan perut kosong 20-60 menit, sedangkan 1

jam setelah makan sampai 3 jam (Wehbi dkk, 2013) dalam Batubara (2014).

3. Ikatan Protein

Aluminium hidroksida dapat berikatan dengan protein sehingga bersifat

astringen (Estuningtias et al., 2012). Aluminium dapat berikatan dengan protein

(albumin,transferrin) sehingga sulit dieskresi dan bisa menumpuk di organ-organ

(AHFS, 2008).

Silika gel dan magnesium trisilikat merupakan absorben yang baik karena

tidak hanya mengadsorpsi pepsin tetapi juga protein Dan besi dalam makanan

(Estuningtias et al., 2012).


21

Sitrat merupakan ligan berat molekul kecil utama pada aluminium dalam

plasma. Formasi aluminium sitrat juga memungkinkan distribusi keluar

aluminium dari plasma dan meningkatkan eliminasi aluminium oleh ginjal

(Krewski, 2013).

4. Bioavailabilitas

Bioavaibilitas alumunium hidroksida secara oral 0,1% dan lebih kecil

dengan dosis yang lebih besar (Krewski, 2007).

2.5. Efek Samping dan Toksisitas

1. Efek Samping

Menurut Estuningtias et al (2012) antasida memiliki beberapa efek

samping yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Sindroma Susu Alkali

Sindroma ini hanya timbul pada pasien yang

memakai/menggunakan antasida sistemik atau kalsium karbonat dan

minum susu dalam jumlah besar untuk jangka lama. Gejalanya adalah

sakit kepala, iritabel, lemah, mual dan muntah. Sindroma ini ditandai

dengan hiperkalsemia, alkalosis ringan, kalsifikasi dan terbentuknya batu

ginjal serta gagal ginja kronik. Keadaan ini diduga disebabkan protein

dalam susu yang menimbulkan absorpsi kalsium. Hiperkalsemia yang

timbul mungkin menekan sekresi hormon paratiroid yang selanjutnya

menimbulkan ekskresi kalsium urin, dan dapat membentuk batu kalsium

karena pengendapan di saluran kemih. Pemberian dosis besar NaHCO3


22

atau CaCO3 bersama-sama susu atau krim pada pengobatan tukak peptik

dapat menimbulkan sindrom alkali susu.

b. Batu Ginjal, Osteomalasia, dan Osteoporosis

Aluminium hidriksida dan fosfat dapat membentuk senyawa yang

sukar larut dalam susu halus, sehingga mengurangi absorpsi fosfat dan

diikuti penurunan ekskresi fosfat urin.penurunan absorpsi ini berakibat

reabsorpsi tulang yang selanjutnya menyebabkan hiperkalsiuria dan

meningkatkannya absorpsi kalsium dari usus halus. Perubahan

matabolisme kalsium ini dapat berakibat batu kalsium saluran kemih,

osteomalasia dan osteoporosis.

c. Neurotoksisitas

Aluminium yang diabsorpsi dalam jumlah kecil dapat tertimbul

dalam otak, dan diduga mendasari sindroma ensefalopati yang terjadi pada

pasien gagal ginjal kronik dan pasien penyakit Alzheimer.

d. Saluran Cerna

Penggunaan antasida yang mengandung megnesium dapat

menimbulkan diare dan yang mengandung aluminium menimbulkan

obstruksi terutama berbahaya pada orang tua dengan pendarahan usus.

e. Asupan Natrium

Hampir semua antasida mengandung natrium, sehingga perlu

diperhatikan penggunaannya pada pasien yang harus diet rendah natrium,

misalnya pada penyakit kardiovaskuler.


23

2. Toksisitas

Dalam sebuah laporan oleh Badan Zat Beracun dan Penyakit Terdaftar,

tingkat risiko minimum 1 mg Al /kg/hari berasal untuk menengah-durasi paparan

oral (15-364 hari) untuk aluminium dan 1 mg Al /kg/hari untuk durasi kronis

paparan oral (365 hari atau lebih) (Becker, 2013).

Gejala awal berupa perut kembung, sakit kepala, kekeringan kulit dan

selaput lendir, kecenderungan untuk rasa sakit terbakar di kepala yang hilang

dengan makanan, kehilangan ingatan dan kebingungan mental, beberapa

demensia, mengurangi keringat. Gejala lanjut antara lain penyakit Alzheimer,

demensia lainnya, amyotrophic lateral sclerosis, anemia, radang usus, gigi

berlubang, ginjal dan disfungsi hati, gangguan neuromuskuler, penyakit

Parkinson. Faktor tambahannya adalah sensitivitas tinggi terhadap cahaya atau

kegelapan, sensitivitas abnormal suhu panas dan dingin, Sebuah keengganan

untuk suara, sentuhan, gerakan, bau, dll, perasaan yang tidak jelas, ketakutan atau

kegelisahan, perasaan rendah diri, malu atau malu, perasaan iritabilitas, agitasi

atau jengkel (Zander, 2012).


dr. Akhmad Ramadhan dr. Rohimmatul Winda Dewi
SIP : 12700309 SIP : 12700327
Dukuh Kupang Timur Dukuh Kupang Barat
Surabaya, 05 januari 2016 Surabaya, 06 januari 2016
R/ Tabl Antasida500mg No:XIIS.3.d.d tab l1R/ Antasida Fl I S.3.d.d cth1
|| ttd || ttd
Pro: Tuan Anton Pro: Anak Ima
2.6. Contoh Penulisan
Umur : 40 tahun Resep Yang Digunakan
Umur :12 Dalam Pengobatan
tahun
Alamat : Surabaya Alamat : Mayjend Sungkono 145
Dengan Menggunakan Resep Lengkap
24
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Interaksi Antasida

Sejak ulasan sebelumnya oleh Hurwitz yang diterbitkan pada tahun 1977

sejumlah besar laporan tentang interaksi obat dengan antasida telah muncul,

beberapa diantaranya adalah tentang relevansi secara klinis. Tetrasiklin

membentuk molekul kompleks tidak larut oleh metal ion chelation dengan

berbagai antasida; penyerapan tetrasiklin dapat menurun lebih dari 90% oleh

karena interaksi ini. Pada kelas baru antibiotik kuinolon, berkurang 50% sampai

90% dengan adanya aluminium dan magnesium hidroksida yang mengandung

antasida (Gullgler and Algayer, 1990).

Berbeda dengan penelitian awal yang menunjukkan penghambatan

penyerapan obat beta-adrenergic blocker oleh antasida, penelitian selanjutnya

tidak mengkonfirmasi adanya penurunan bioavailabilitas baik atenolol atau

propranolol selama pengobatan dengan antasida, meskipun memang, hasil

penelitian menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi plasma dari metoprolol

ketika obat itu diberikan bersama antasida. Bioavailabilitas kaptopril berkurang

secara signifikan dengan adanya antasida, dan konsentrasi rendah dari plasma

angiotensin-converting enzym inhibitor ini turut disertai dengan pengurangan efek

pada tekanan darah sistolik pasien (Gullgler and Algayer, 1990).

25
26

Beberapa penelitian menunjukan penyerapan glikosida digoxin dan

digitoksin jantung tidak dihambat oleh antasida, meskipun ada juga penelitian

yang telah menunjukkan efek positif ketika disolusi preparatif glikosida relatif

buruk. Selain itu, antasida juga mengurangi bioavailabilitas H2-reseptor antagonis

cimetidin dan ranitidin hanya ketika dosis antasida yang diberikan cukup tinggi

dan ketika obat diberikan secara bersamaan. Bioavailabilitas famotidine tidak

berubah secara signifikan, meskipun teramati adanya kecenderungan

berkurangnya penyerapan. Penyerapan zat besi secara signifikan menurun dengan

adanya natrium bikarbonat dan kalsium karbonat, tapi hampir menurun

sepenuhnya ketika diberikan bersama aluminium-magnesium hidroksida (Gullgler

and Algayer, 1990).

Obat antiinflamasi seperti naproxen, tenoxicam, ketoprofen, ibuprofen dan

piroksikam tidak terpengaruh dalam penyerapan mereka bila diberikan bersama

dengan pengobatan antasida. Bioavailabilitas teofilin tidak berubah ketika obat

diberikan bersama-sama dengan antasida, meskipun laju penyerapan dapat

dikatakan berubah, mengarah ke penurunan atau peningkatan waktu terjadinya

konsentrasi plasma puncak dari obat (Gullgler and Algayer, 1990).

Penyerapan antasida di usus diatur oleh pH usus, kelarutan lemak dan pKa

obat, serta kerja dari P-glikoprotein. Sementara perubahan pH lambung yang

diinduksi antasida yang mengandung formulasi Al / Mg telah terbukti secara

signifikan mengurangi bioavailabilitas obat. Akan tetapi, perubahan pH memiliki

implikasi klinis tertentu karena dapat mengakibatkan penurunan yang signifikan

dalam penyerapan beberapa obat, misalnya ketokonazol dan itrakonazol yang


27

tidak larut dalam air dan hanya terionisasi pada pH rendah, dalam hal itu

keasaman lambung memainkan bagian penting dalam interaksi ini. Demikian juga

penyerapan asam salisilat lebih besar pada pH rendah (Lal, 2008).

Penyerapan kuinolon juga berkurang bila diberikan bersama dengan

antasida. Obat lain yang dipengaruhi oleh perubahannya oleh pH lambung antara

lain glipizide, glyburide, cefuroxime dan cefpodoxime (Lal, 2008).

Interaksi yang penting secara klinis berhubungan dengan penggunaan

tetrasiklin serta ciprofloxacin yang dapat membentuk kelat (chelat) tidak larut

dengan Ca, Al, Bi dan besi, sehingga efek antibakteri yang dimilikinya akan

berkurang. Interaksi ini dapat dihindari apabila interval antara obat setidaknya 2-3

jam. Kelasi juga tampaknya memainkan peran penting dalam mengurangi

bioavailabilitas penisilamin disebabkan oleh beberapa antasida (Lal, 2008).

Perubahan dalam pH urin yang mengubah ekskresi obat asam lemah atau

basa juga dapat menyebabkan interaksi dengan mempengaruhi ionisasi dan

akibatnya mempengaruhi reabsorpsi obat yang tereabsorpsi pasif dari tubulus

ginjal. Implikasi dari mekanisme ini tercermin dalam pengobatan salisilat atau

keracunan amfetamin dengan membuat alkali atau membasakan menggunakan

antasida atau dengan mengasamkan urin. Asam askorbat dan obat asam (acid)

lainnya dapat mengakibatkan meningkatnya kadar fenobarbital (Lal, 2008).

1. Interaksi Antasida dengan Fluorokuinolon

Pada penelitian berjudul Potensi Interaksi Obat pada Penggunaan

Antibiotika Golongan Fluorokuinolon dari Pasien Dewasa dengan Demam Tifoid


28

yang dilakukan Pertiwi, et al., (2014) didapat potensi interaksi obat yang terjadi

akibat pemberian levofloksasin, siprofloksasin, dan sparfloksasin dengan antasida,

serta levofloksasin dengan sukralfat. Pada penelitian Pertiwi, et al., (2014)

tersebut, selama rawat inap potensi interaksi yang terjadi diantaranya

levofloksasin dengan antasida (8,6%); levofloksasin dengan sukralfat (5,2%); dan

siprofloksasin dengan antasida (3,4%). Untuk obat pulang, terdapat peresepan

obat yang berpotensi menimbulkan interaksi, diantaranya levofloksasin dengan

antasida (6,9%), levofloksasin dengan sukralfat (1,7%), dan sparfloksasin dengan

antasida (1,7%). Antasida dapat mempengaruhi absorpsi beberapa obat lain

dengan berikatan dengan obat tersebut, sehingga menyebabkan penurunan

absorpsi obat yang diberikan bersamaan dengan antasida (Katzung, 2010) .

Antasida yang mengandung kation divalen atau trivalen seperti Ca2+,

Mg2+, atau Al3+, dapat mengurangi absorpsi antibiotika fluorokuinolon yang

diberikan secara oralkarena dapat membentuk khelat dengan antibiotika

fluorokuinolon. Kation multivalen pada antasida akan membentuk kompleks

dengan gugus 3-ketonedan4- carboxylic acidpada molekul sparfloksasinatau

gugus fungsi 3-carbonyl dan 4-oxo pada molekul siprofloksasin. Kompleks yang

terbentuk adalah kompleks yang tidak larut dan tidak dapat diabsorbsi (Hussain et

al., 2006; Sultana et al., 2005).

Penurunan absorpsi fluorokuinolon akan mempengaruhi konsentrasi

maksimum (Cmax) dan persentase bioavailabilitas, sehingga dapat menurunkan

efektivitas terapi antibiotika (Lacy, et al., 2005; Sultana et al., 2004). Antasida

dilaporkan dapat mengurangi bioavailabilitas siprofloksasin sebesar 13% dan


29

levofloksasin sebesar 55% (Lacy et al., 2005). Pemberian antasida bersamaan

dengan siprofloksasin, menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin sebesar 50%

(Sultana et al., 2004). Pemberian antasida 5-10 menit, 2 jam, dan 4 jam setelah

pemberian siprofloksasin menurunkan Cmax siprofloksasin masing-masing 80%,

74%, dan 13%; serta mempengaruhi Area Under Curve (AUC) siprofloksasin

masing-masing sebesar 85%, 77%, dan 30% (Bolhuis et al., 2011). Interaksi ini

dapat diminimalkan dengan pemberian fluorokuinolon oral setidaknya 2 jam

sebelum pemberian antasida, atau 6 jam setelah pemberian antasida. Selain itu,

dapat dipertimbangkan pemberian non-interacting acid reducers, seperti H2-

receptor blockers atau Proton Pump Inhibitor (PPI) karena tidak memiliki

interaksi dengan fluorokuinolon (Hussain et al., 2006; Lacy et al., 2005).

Sukralfat merupakan cytoprotective agent, yang pada susasana saluran

pencernaan yang asam, akan membentuk kompleks dengan protein yang akan

melapisi mukosa lambung (Sweetman, 2009). Pemberian sukralfat bersamaan

dengan antibiotika fluorokuinolon, dapat menyebabkan penurunan absorpsi

antibiotika fluorokuinolon. Mekanisme interaksi ini terkait dengan pembentukan

kompleks yang tidak larut antara fluorokuinolon dan komponen aluminium dari

sukralfat, sehingga menurunkan kemampuan absorpsi fluorokuinolon (Lacy et al.,

2005).

AUC siprofloksasin yang diberikan secara oral menurun lebih dari 90%

ketika diberikan bersamaan dengan sukralfat. Pemberian siprofloksasin 2 jam dan

6 jam sebelum sukralfat, mengurangi efek siprofloksasin masing-masing sebesar

82% dan hanya 4% (Pertiwi et al., 2015). Pada penelitian yang dilakukan Lee et
30

al., (1997), dimana sukralfat diberikan 2 jam setelah pemberian levofloksasin,

menunjukkan sukralfat tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

bioavailabilitas levofloksasin. Maka untuk mencegah terjadinya interaksi obat,

sukralfat harus diberikan setidaknya 2 jam setelah pemberian levofloksasin

(dilakukan Lee et al., 1997). Interaksi fuorokuinolon dengan sukralfat juga dapat

diminimalkan dengan pemberian fluorokuinolon 6 jam setelah pemberian

sukralfat (Lacy et al., 2005).

2. Interaksi Antasida dengan Rufloxacin

Rufloxacin adalah fluorokuinolon dengan aktivitas spektrum yang luas

terhadap gram-negatif dan bakteri gram positif aerob. Dalam penelitian interaksi

antasida dan rufloxacin, antasida menurunkan bioavabilitas rufloxacin sebesar

36% dengan beda pemberian lima menit sedangkan antasida yang diberikan empat

jam lebih dahulu hanya berbeda 19%. Mekanisme interaksi antara kuinolon dan

antasida adalah pembentukan kompleks kelat antara 3-karboksil dan substituen 4-

okso dari kuinolon dan ion logam. Aluminium, khususnya, bentuk kompleks

sangat stabil dengan kuinolon. Sehingga penyerapan kompleks dihasilkan

terbatas. Sehingga dapat disimpulkan untuk menghindari interaksi antasida

dengan rufloxacin pemberian obat ini harus dibedakan minimal empat jam

(Lazzaroni, 1994).

3. Interaksi Antasida dengan Perfloxacin

Perfloxacin adalah obat golongan quinolon. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa bioavailabilitas pefloxacin berkurang menjadi sekitar 45%

setelah pemberian bersamaan magnesium dan aluminium hidroksida,


31

menunjukkan bahwa proses penyerapan pefloxacin terganggu oleh antasida

tersebut. Mekanisme yang mungkin adalah interaksi antara kuinolon dan antasida

adalah pembentukan kompleks kelat antara 3-karboksil dan substituen 4-okso dari

kuinolon dan ion logam. Penurunan absorbsi perfloxacin bisa jadi penyebaban

menurunya waktu paruh pada perfloxacin. (Jaehde et al., 1994).

Pefloxacin dan antasida yang mengandung magnesium-aluminium

hidroksida tidak boleh diberikan sekaligus. Pada pasien sakit parah yang

membutuhkan kedua perawatan, interaksi di situs gastrointestinal dapat dihindari

jika antasida diberikan minimal 2 jam setelah kuinolon, ketika sebagian besar dari

dosis yang diberikan sudah diserap (Jaehde et al., 1994)

4. Interaksi Antasida dengan Suplemen Zat Besi

Tingkat keasaman lambung meningkatkan daya larut besi. Kekurangan

asam klorida di dalam lambung atau penggunaan obat-obatan yang bersifat basa

seperti antasida menghalangi absorbsi besi (Susiloningtyas, 2012).

5. Interaksi Antasida yang Menimbulkan Peningkatan Bioavabilitas

Potensi antasida untuk berinteraksi dengan obat lainnya yang diminum

bersamaan sudah sering dikenali. Interaksi tersebut biasanya mengakibatkan

berkurangnya atau tertundanya penyerapan obat yang terkena. Namun, hal itu

tidak selalu terjadi (Neuvonen and Kivist, 1994).

Berbeda dengan aluminium hidroksida, magnesium hidroksida dan

natrium bikarbonat dapat meningkatkan penyerapan beberapa obat. Misalnya,

magnesium hidroksida dapat meningkatkan laju dan bahkan kadang-kadang


32

tingkat absorpsi obat anti-inflamasi nonsteroid tertentu (misalnya asam

tolfenamic, asam mefenamat dan ibuprofen), agen antidiabetes sulfonilurea

[misalnya glipizide, glibenclamide (glyburide) dan tolbutamid] dan antikoagulan

dicoumarol oral (bishydroxycoumarin). Obat-obatan asam lemah yang tak

terionisasi pada pH lambung, tetapi hemat larut air (sparingly water soluble).

Peningkatan pH lambung dengan pemberian magnesium hidroksida atau natrium

bikarbonat meningkatkan kelarutan dan penyerapan zat seperti sparingly water

soluble agent (Neuvonen and Kivist, 1994).

Pembentukan kelat mungkin terlibat dalam peningkatan penyerapan

dicoumarol oleh magnesium hidroksida. Dalam kombinasi antasida yang

mengandung aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida, efek peningkatan

penyerapan magnesium hidroksida tampaknya diimbangi oleh efek yang

berlawanan dari aluminium hidroksida (Neuvonen and Kivist, 1994).

Makna klinis dari peningkatan penyerapan obat masih belum jelas.

Namun, peningkatan dan percepatan penyerapan obat analgesik mungkin

bermanfaat bila bertujuan untuk menghilangkan nyeri dengan segera. Sebaliknya,

efek hipoglikemik atau antikoagulan yang meningkat tak terduga berpotensi

memberikan keadaan yang berbahaya (Neuvonen and Kivist, 1994).


BAB IV

KESIMPULAN

Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorida

lambung untuk membentuk garam dan air. Antasida dapat dibagi dalam dua

golongan yaitu antasida sistemik dan antasida nonsistemik. Antasida sistemik,

yaitu natrium bikarbonat. Antasida nonsistemik yaitu sediaan magnesium,

aluminium, dan kalsium.

Antasida adalah obat yang digunakan untuk menetralkan asam lambung

dan berbagai penyakit yang berhubungan dengan asam lambung seperti tukak

peptik, GERD, Acid Ingestion, aspirasi lambung, pendarahan gastrointestinal.

Antasida di absorbsi di lambung dan diekskresi di ginjal, memiliki ikatan

protein dengan plasma terutam aluminum sehingga susah untuk dieskresi. Jumlah

antasida yang diserap ke darah atau yang biasa disebut bioavabilitas adalah 0,1%

dari dosis yang diberikan. Berbagai obat antasida menimbulkan efek yang berbeda

seperti magnesium meberikan efek diare sedangkan aluminium memberikan efek

konstipasi sehingga sering kali dijidikan kombinasi.

Antasida memiliki banyak interaksi obat. Antasida dapat mempengaruhi

absorpsi beberapa obat lain dengan berikatan dengan obat tersebut, sehingga

menyebabkan penurunan absorpsi obat yang diberikan bersamaan dengan

33
34

antasida. Seperti antibiotik golongan quinolon, katopril, H-2 reseptor antagonis

(ranitidine dan cimetidine) dan besi.

Antasida juga bisa meningkatkan bioavabilitas obat seperti obat-obat

antiinflamasi nonsteroid agen antidiabetes sulfonilurea antikoagulan.


DAFTAR PUSTAKA

American Society of Health System Pharmacists, 2008, AHFS Drug Information,


United States of America, Vol 1 hal 1-1206.

Arif et al., 2014. Cara Mudah belajar Farmakologi. Badan penerbit Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, hal 460-462.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011.
Barbara et al., 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. The McGraw-
Hill Companies. Pages 265-266.
Batubara, Chairil Amin, 2014. Perbedaan Efektifitas Antasida, Ranitidin Dan
Omeprazol Dalam Pencegahan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Dan Pengaruhnya Terhadap Terjadinya Pneumonia Serta Outcome
Penderita Stroke Akut. Tesis Pada Prodi Neurologi FK USU. Medan
2014.
Becker, Lilian, 2013. Safety Assessment of Alumina and Aluminum Hydroxide
as Used in Cosmetics. http://www.cir-safety.org/sites/default/files/
alumina.pdf
Bolhuis, M.S et al., 2011. Pharmacokinetic Drug Interactions of Antimicrobial
Drugs: A Systematic Review on Oxazolidinones, Rifamycines, Macrolides,
Fluoroquinolones, and Beta-Lactams. Pharmaceutics, 3, 865-913.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat


dan Makanan, 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan.
Dewi, Fuzie E.K., 2015. Prarancangan Pabrik Magnesium Klorida Dari
Magnesium Hidroksida dan Asam Klorida Kapasitas 35.000 TON/Tahun.
Skripsi pada Prodi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lampung.
Bandar Lampung.

Estuningtias et al., 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia : Jakarta. Hal 518-512.

Gugler R., Allgayer H., 1990. Effects of antacids on the clinical pharmacokinetics
of drugs. An update. Clin Pharmacokinet. 1990 Mar;18(3):210-9.

35
36

Hussain, F., Arayne, M.S., and Sultana., 2006. Interactions between sparfloxacin
and antacids dissolution and adsorption studies. N. Pak. J. Pharm. Sci.,
19 (1), 16-21.

Jahde, et al., 1994. Effect of an Antacid Containing Magnesium and Aluminum on


Absorption, Metabolism, and Mechanism of Renal Elimination of
Pefloxacin in Humans. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. p. 1129-
1133 Vol. 38.

Joenes, N.Z., 2009. ARS Prescribendi Resep yang Rasional, edisi ke-5. Penerbit
Buku Airlangga Press, Surabaya.
Katzung, 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi-10. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, hal 1048.
Krewski D., Yokel R A., Nieboer E., Borchelt D., Cohen J., Harry J., 2007.
Human Health Risk Assessment For Aluminium, Aluminium Oxide, And
Aluminium Hydroxide. world-aluminium; 1-769.
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2005. Drug
Information Handbook 17th Edition. Ohio : Lexi-Comp Inc.

Lazzaroni, et al., 1994. Effects of Magnesium-Aluminum Hydroxide Antacid on


Absorption of Rufloxacin. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, p.
2212-2216. Vol 37.

Lal H. M, Lal U., 2008. Drug Interactions-Mechanisms and Clinical


Implications. Medicine Update; Vol. 18, chapter 89, page 674-690.
Lee, L.J., Hafkin, B., Lee, I.D., Hoh, J., and Dix, R., 1997. Effects of food and
sucralfate on a single oral dose of 500 milligrams of levofloxacin in
healthy subjects. Antimicrob. Agents Chemother, 41(10), 2196-2200.

Mark et al., 2005. Peptic Ulcer Disease. Guidelines for Clinical Care, University
of Michigan Health System..

Neuvonen Pertti J, Kivist Kari T., 1994. Enhancement of Drug Absorption by


Antacids An Unrecognised Drug Interaction. Springer International
Publishing; Volume 27, Issue 2, pp 120-128.
Pertiwi, G.A.E., Niruri, R., Tanasale, J.D., Erlangga, I.B.E., 2014. Potensi
Interaksi Obat Pada Penggunaan Antibiotika Golongan Florokuinolon
Dari Pasien Dewasa Dengan Demam Tifoid. Jurnal Universitas Udayana.
Bali.
Saputri, D., 2013. Makalah Kimia Farmasi II, Obat-Obat Saluran Pencernaan.
Kemenkes RI Pangkal Pinang.
37

Sari, D., 2010. Formulasi Sediaan Tablet Fast Disentegrating Antasida dengan
Explotab Sebagai Bahan Penghancur dan Starlac sebagai Bahan Pengisi.
Universitas Muhamad Surakarta.

Sihombing, M., 2015. Penetapan Kadar Aluminium Hidroksida Dalam Sediaan


Tablet Antasida Yang Beredar Di Kota Medan Dengan Metode
Kompleksometri. Sumatra Utara. repository.usu.ac.id.

Sultana, N., Arayne, M.S., and Hussain, F., 2005. In Vitro Monitoring of
Ciprofloxacin Antacids Interactions by UV & HPLC. Pak. J. Pharm. Sci.,
18(4), 23-31.

Susiloningtyas, I., 2012. Pemberian Zat Besi (Fe) Dalam Kehamilan. Makalah
Ilmiah Universitas Sultan Agung. Semarang.

Suyono S., 2001. Ilmu Penyakit Dalam Ed III: Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sweetman, S.C. (Ed.). (2009). Martindale The Complete Drug Reference 36th
edition. Grayslake: Pharmaceutical Press.

Thompson, G., 2009. Antacids. International Foundation for Funcitional


Gastrointestinal Disorders.

Tolman, K.G., 2000. Gastrointestinal and Liver. Dalam: Remington: The Science
and Practice of Pharmacy. Volume II. Editor: Alfonso Gennaro. London:
Lippincott Williams & Wilkins. Halaman 1219-1220.

Tomina, O.E dkk., 2014. Antacids Clinical Pharmacology. Journal of V. N.


Karazin` KhNU. 1141. 2014.

Wallace, J.L., dan Keith, A.S., 2011. Pharmacotherapy of Gastric Acidity, Peptic
Ulcers, and Gastroesophageal Reflux Disease, Chapter 45. Dalam:
Goodmann and Gilman's the Pharmacological Basis of Therapeutics.
Edisi Duabelas. Editor: Brunton Laurence. New York: The McGraw-Hill
Companies, Medical Publishing Division. Halaman 1315-1320.

Wahyuningtyas, I., 2010. Formulasi Sediaan Tablet Fast Disintegrating Antasida


Dengan Primojel Sebgai Bahan Penghancur Dan Manitol Sebagai Bahan
Pengisi. Surakarta. eprints.ums.ac.id. 3-16.

Zander A. M., 2012. Part II: Toxic Metals and Minerals: Sources and Symptoms
All the toxic metals can be passed from mother to child via the placenta.
Toxic/Poisoning: Sources and Symptoms of Specific Heavy Metals.
Roblongo; 1-4.

Anda mungkin juga menyukai