SKENARIO 1
“PERDARAHAN”
- perdarahan abnormal vagina adalah aliran darah dari vagina yang terjadi
baik pada waktu yang salah selama bulan atau dalam jumlah yang tidak
pantas.
2. Terlambat haid
Terlambat haid adalah melesetnya siklus haid dari yang di jadwalkan.
3. Nyeri perut
Nyeri perut adalah nyeri yang dirasakan di perut.Perut adalah area anatomis
yang dibatasi oleh garis yang lebih rendah dari tulang rusuk dan diafragma di
bagian atas, tulang panggul di bawah, dan panggul di setiap sisi.Meskipun
nyeri perut dapat timbul dari jaringan dinding perut yang mengelilingi rongga
perut (seperti kulit dan otot dinding perut), istilah sakit perut umumnya
digunakan untuk menggambarkan nyeri yang berasal dari organ-organ dalam
rongga perut. Organ perut termasuk lambung, usus kecil, usus besar, hati,
kandung empedu, limpa, dan pankreas.
BAB III
PROBLEM
PEMBAHASAN
Alat-alat reproduksi wanita terdiri dari beberapa bagian, tetapi di bawah ini akan di
bedakan menjadi dua yaitu:
1. Labium mayor terdiri dari kelenjar keringat dan kelenjar sebasea (penghasil minyak) dan
setelah puber, labium mayor akan ditumbuhi rambut.
2. Labium minor terletak tepat di sebelah dalam dari labium mayor mengelilingi lubang
vagina dan uretra. Jika ada rangsangan,dari saluran kecil di samping introitus akan keluar
cairan (lendir) yang dihasilkan oleh kelenjar Bartolin.
3. Uretra terletak di depan vagina dan merupakan lubang tempat keluarnya air kemih dari
kandung kemih.
4. Klitoris terletak di labium minora kiri dan kanan bertemu di depan dan membentuk
klitoris, yang merupakan penonjolan kecil yang sangat peka.
5. Perineum yaitu labium mayor kiri dan kanan bertemu di bagian belakang membentuk
perineum, yang merupakan suatu jaringan fibromuskuler diantara vagina dan anus.
6. Himen (selaput Dara). Lubang vagina dikeliling oleh himen (selaput dara). Kekuatan
himen pada setiap wanita bervariasi. Karena itu pada saat pertama kali melakukan
hubungan seksual, himen bisa robek atau bisa juga tidak.
Dalam keadaan normal, dinding vagina bagian depan dan belakang saling bersentuhan
sehingga tidak ada ruang di dalam vagina kecuali jika vagina terbuka (misalnya selama
pemeriksaan atau selama melakukan hubungan seksual). Pada wanita dewasa, rongga
vagina memiliki panjang sekitar 7,6-10 cm. Sepertiga bagian bawah vagina merupakan
otot yang mengontrol garis tengah vagina. Dua pertiga bagian atas vagina terletak diatas
otot tersebut dan mudah teregang.
Serviks terletak di puncak vagina. Selama masa reproduktif, lapisan lendir vagina
memiliki permukaan yang berkerut-kerut. Sebelum pubertas dan sesudah menopause,
lapisan lendir menjadi licin.
2. Rahim (uterus)
Rahim merupakan suatu organ yang berbentuk seperti buah pir dan terletak di puncak
vagina. Rahim terletak di belakang kandung kemih dan di depan rektum, dan diikat oleh
6 ligamen. Rahim terbagi menjadi 2 bagian, yaitu serviks dan korpus (badan rahim).
Serviks merupakan uterus bagian bawah yang membuka ke arah vagina. Korpus biasanya
bengkok ke arah depan.
Selama masa reproduktif, panjang korpus adalah 2 kali dari panjang serviks. Korpus
merupakan jaringan kaya otot yang bisa melebar untuk menyimpan janin. Selama proses
persalinan, dinding ototnya mengkerut sehingga bayi terdorong keluar melalui serviks
dan vagina. Sebuah saluran yang melalui serviks memungkinkan sperma masuk ke dalam
rahim dan darah menstruasi keluar. Serviks biasanya merupakan penghalang yang baik
bagi bakteri, kecuali selama masa menstruasi dan selama masa ovulasi (pelepasan sel
telur).
Tuba falopii membentang sepanjang 5-7,6 cm dari tepi atas rahim ke arah ovarium.
Ujung dari tuba kiri dan kanan membentuk corong sehingga memiliki lubang yang lebih
besar agar sel telur jatuh ke dalamnya ketika dilepaskan dari ovarium.
4. Ovarium
Ovarium tidak menempel pada tuba falopii tetapi menggantung dengan bantuan sebuah
ligamen. Sel telur bergerak di sepanjang tuba falopii dengan bantuan silia (rambut getar)
dan otot pada dinding tuba. Jika di dalam tuba sel telur bertemu dengan sperma dan
dibuahi, maka sel telur yang telah dibuahi ini mulai membelah.
2. Gejala Klinis
a) Anamnesa
1. Identitas Pasien
- Nama : Ny. Yanti
- Umur : 34 tahun
- Tempat lahir : Surabaya
- Agama : Islam
- Alamat : Dukuh Kupang
- Jenis kelamin : Perempuan
- Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
- Status : Menikah
2. Keluhan Utama
Perdarahan dari vagina selama 6 jam yang lalu
b) Pemeriksaan Fisik
Vital Sign:
GCS : 1-1-1
Berat Badan : 45 kg
Pemeriksaan Umum:
Kepala Leher:
c. Bibir : cianosis - / -
d. Leher : pembesaran kelenjar getah bening leher -/-
Thoraks:
Pemeriksaan obstetri:
a. Abdomen : nyeri pada perut bagian bawah, teraba uterus sesuai umur
kehamilan 18 minggu, tidak jelas teraba massa di adneksa
b. Vulva dan perineum : tidak ditemukan kelainan
c. Inspikulo : fluor (-), fluksus (+), porsio pembukaan (+), livide (+)
d. Pemeriksaan dalam vagina : fluor (-), fluksus (+), porsio pembukaan (+), korpus
uterus b/k ~ 18 minggu, adneksa tidak jelas teraba massa, CD tidak ada kelainan
Pemeriksaan Penunjang
1. USG:
Gambaran: janin tidak ada, gambaran badai salju / sarang tawon
2. PA
Makros: terdapat bentukan gelembung mola hidatidosa
Mikros: degenerasi hidrofile, avaskuler vili korialis, hiperplasia sel tropoblas
BAB V
1. Mola Hidatidosa
2. Abortus
BAB VI
1. MOLA HIDATIDOSA
Mola berasal dari bahasa latin yang berarti massa dan hidatidosa berasal dari
kata Hydats yang berarti tetesan air.
Mola hidatidosa adalah kehamilan yang berkembang tidak wajar (konsepsi yang
patologis) dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
hidropik. Dalam hal demikian disebut Mola Hidatidosa atau Complete mole sedangkan bila
disertai janin atau bagian janin disebut sebagai Mola Parsial atau Partial mole.
Penyebab dari mola belum sepenuhnya diketahui dengan pasti tetapi ada
beberapa dugaan yang bisa menyebabkan terjadinya mola :
5) Paritas tinggi
b. Patogenesis
Teori ini mengemukakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang
mempunyai fungsi yang abnormal pula, dimana terjadi resorpsi cairan yang
berlebihan ke dalam vili sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan
gangguan peredaran darah dan kematian mudigah. Sebagian dari vili berubah
menjadi gelembung-gelembung yang berisi cairan jernih. Biasanya tidak ada
janin, hanya pada mola parsial kadang-kadang ditemukan janin. Gelembung-
gelembung ini sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur.
Gelembung ini dapat mengisi seluruh kavum uterus.
c. Histopatologi
d. Patofisiologi
Pada Mola Hidatidosa atau Complete mole tidak ada jaringan fetus/janin. 90%
merupakan kromosom 46,XX dan 10% merupakan kromosom 46, XY. Semua
kromosom berasal dari paternal. Sebuah enukliasi telur dibuahi oleh sperma haploid
(yang kemudian berduplikasi menjadi masing-masing kromosom), atau sel telur dibuahi
oleh dua sperma. Pada mola hidatidosa, vili korion menyerupai anggur dan hiperplasia
trofoblastik muncul.
Pada Mola parsialis atau Partial mole jaringan fetus/janin dapat ditemukan.
Eritrosit dan pembuluh darah janin pada vili dapat ditemukan. Komplemen kromosom
nya 69,XXX atau 69 XXY. Kromosom tersebut merupakan hasil dari pembuahan sel
telur haploid dan duplikasi dari kromosom haploid paternal. Seperti pada Complete
mole, jaringan hiperplasia trofoblastik dan vili korion yang lunak pun muncul pada
mola ini.
2. ABORTUS
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau
umur kehamilan kurang dari 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di
luar kandungan (Sarwono, 2008).
g)Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut tiga kali atau
lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya
berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus
habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan
terjadi abortus lagi pada seorang wanita mengalami abortus habitualis ialah 73%
dan 83,6%. Sebaliknya, Warton dan Fraser dan Llwellyn-Jones memberi
prognosis lebih baik, yaitu 25,9% dan 39% (Sarwono,2008).
2)Abortus provokatus
Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin
mampu hidup. Pada tahun 2000, total 857.475 abortus legal dilaporkan ke Centers for
Disease Control and Prevention(2003). Sekitar 20% dari para wanita ini berusia 19 tahun
atau kurang, dan sebagian besar berumur kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan belum
menikah. Hampir 60
% abortus terinduksi dilakukan sebelum usia gestasi 8 minggu,dan 88% sebelum minggu
ke 12 kehamilan (Centers for Disease Control and Prevention, 2000).
b. Etiologi
Penyebab abortus ada berbagai macam yang diantaranya adalah (Mochtar, 2002):
1) Faktor maternal
a)Kelainan genetalia ibu Misalnya pada ibu yang menderita:
(1)Anomali kongenital (hipoplasia uteri, uterus bikornis, dan lain-lain).
(2)Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata.
(3)Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi dari ovum yang
sudah dibuahi, seperti kurangnya progesteron atau estrogen, endometritis, dan
mioma submukosa.
(4)Uterus terlalu cepat teregang (kehamilan ganda, mola hidatidosa).
(5)Distorsia uterus, misalnya karena terdorong oleh tumor pelvis.
b)Penyakit-penyakit ibu
Penyebab abortus belum diketahui secara pasti penyebabnya meskipun sekarang
berbagai penyakit medis, kondisi lingkungan, dan kelainan perkembangan diperkirakan
berperan dalam abortus. Misalnya pada:
(1)Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi seperti pneumonia, tifoid,
pielitis, rubeola, demam malta, dan sebagainya. Kematian fetus dapat
disebabkan karena toksin dari ibu atau invasi kuman atau virus pada fetus.
(2)Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alkohol, dan lain-lain.
(3)Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis, penyakit paru berat,
anemi gravis.
(4)Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme, hipotiroid, kekurangan
vitamin A, C, atau E, diabetes melitus.
c) Antagonis rhesus
Pada antagonis rhesus, darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus, sehingga
terjadi anemia pada fetus yang berakibat meninggalnya fetus.
f)Usia ibu
Usia juga dapat mempengaruhi kejadian abortus karena pada usia kurang dari 20 tahun
belum matangnya alat reproduksi untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu
maupun pertumbuhan dan perkembangan janin, sedangkan abortus yang terjadi pada usia
lebih dari 35 tahun disebabkan berkurangnya fungsi alat reproduksi, kelainan pada
kromosom, dan penyakit kronis (Manuaba, 1998).
2)Faktor janin
Menurut Hertig dkk, pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus
spontan. Menurut penyelidikan mereka, dari 1000 abortus spontan, maka 48,9% disebabkan
karena ovum yang patologis; 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio; dan 9,6%
disebabkan karena plasenta yang abnormal. Pada ovum abnormal 6% diantaranya terdapat
degenerasi hidatid vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh karena kelainan dari ovum
berkurang kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya makin muda
kehamilan saat terjadinya abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum
(50-80%).
3)Faktor paternal
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya abortus. Yang jelas,
translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus. Saat ini abnormalitas
kromosom pada sperma berhubungan dengan abortus (Carrel, 2003).
Penyakit ayah: umur lanjut, penyakit kronis seperti TBC, anemi, dekompensasi kordis,
malnutrisi, nefritis, sifilis, keracunan (alcohol, nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar rontgen,
avitaminosis (Muchtar, 2002).
c. Patologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam decidua basalis, diikuti oleh
Nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian
atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing didalam uterus. Keadaan ini menyebabkan
uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil konsepsibiasanya dikeluarkan seluruhnya,
karena vili koreales belum menembus desidua terlalu dalam, sedangkan pada kehamilan 8
sampai 14 minggu, telah masuk agak tinggi, karena plasenta tidak dikeluarkan secara utuh
sehingga banyak terjadi perdarahan.
Pada kehamilan 14 minggu keatas, yang umumnya bila kantong ketuban pecah maka
disusul dengan pengeluaran janin dan plasenta yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak
banyak terjadi jika plasenta terlepas dengan lengkap.
Hasil konsepsi pada abortus dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya janin
tidak tampak didalam kantong ketuban yang disebut blighted ovum, mungkin pula janin telah
mati lama disebut missed abortion. Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalamwaktu
singkat, maka ovum akan dikelilingi oleh kapsul gumpalan darah, isi uterus dinamakan mola
kruenta. Bentuk ini menjadi mola karneosaapabila pigmen darah diserap sehingga semuanya
tampak seperti daging.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses mumifikasi:
janin mengering dan menjadi agak gepeng atau fetus compressus karena cairan amnion yang
diserap. Dalam tingkat lebih lanjut janin menjadi tipis seperti kertas perkamen atau
fetus papiraseus.
Kemungkinan lain yang terjadi apabila janin yang meninggal tidak dikeluarkan dari
uterus yaitu terjadinya maserasi, kulit terkupas, tengkorak menjadi lembek, dan seluruh janin
berwarna kemerah-merahan (Sarwono, 2008).
d. Komplikasi abortus
Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan, perforasi, infeksi, syok,
dan gagal ginjal akut.
1)Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika
perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila
pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2)Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita pelu diamati dengan teliti. Jika ada
tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk
perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi.
Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan
persolan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan
pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya
perforasi, laparotomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk
selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.
3)Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi
biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang
dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar lebih
jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
4)Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan infeksi
berat (syok endoseptik).
Diagnosis yang di dapatkan dari skernario 1 ini adalah Mola Hidatidosa. Hal tersebut
didapatkan dari hasil anamnesa , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan. Diantaranya yaitu :
Pemeriksaan obstetri:
Pemeriksaan Penunjang
1. USG:
Gambaran: janin tidak ada, gambaran badai
salju / sarang tawon
2. PA
Makros: terdapat bentukan gelembung mola
hidatidosa
Mikros: degenerasi hidrofile, avaskuler vili
korialis, hiperplasia sel tropoblas
BAB IX
STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH
PENATALAKSANAAN
Yang termasuk usaha ini misalnya koreksi dehidrasi, transfusi darah pada anemia berat (jika
<8 gr %) atau karena terjadi syok, dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti
preeklampsia dan tirotoksikosis. Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan biasa, sedangkan
untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam misalnya propiltiourasil 3 x 100
mg oral dan propanolol 40-80 mg.
a. Kuretase
Dilakukan jika pemeriksaan DPL kadar β-hCG serta foto thorax selesai. Bila kanalis
servikalis belum terbuka maka dilakukan pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan
24 jam kemudian. Sebelum kuretase dengan kuret tumpul terlebih dahulu siapkan darah
500 cc dan pasang infus dengan tetesan oxitocyn 10 mIU dalam 500 cc Dextrose 5 % dan
seluruh jaringan hasil kerokan di PA. Tujuh sampai 10 hari sesudah kerokan itu dilakukan
kerokan ulangan dengan kuret tajam, agar ada kepastian bahwa uterus betul-betul kosong
dan untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas yang dapat ditemukan. Makin
tinggi tingkat itu, makin perlu untuk waspada terhadap kemungkinan keganasan.
b. Histerektomi
Untuk mengurangi frekuensi terjadinya penyakit tropoblas ganas sebaiknya histerektomi
dilakukan pada
Apabila ada kista teka lutein maka saat histerektomi, ovarium harus dalam keadaan baik,
karena akan menjadi normal lagi setelah kadar β-HCG menurun.
Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadi keganasan, misalnya pada
umur tua (35 tahun), riwayat kehamilan mola sebelumnya dan paritas tinggi yang menolak
untuk dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil histopatologi yang
mencurigakan.Biasanya diberikan methotrexat atau actinomycin D. Tidak semua ahli setuju
dengan cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika
merupakan obat yang berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika
profilaksis dapat menghindarkan keganasan dengan metastase, serta mengurangi
koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali.
Kadar β-hCG di atas 100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai resiko tinggi untuk
perubahan ke arah ganas, pertimbangkan untuk memberikan methotrexate (MTX) 3×5 mg
sehari selama 5 hari dengan interval 2 minggu sebanyak 3 kali pemberian. Dapat juga diberikan
actinomycin D 12 µg/kgBB/hari selama 5 hari.
4. Follow up
Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat kemungkinan terjadi
keganasan setelah mola hidatidosa (± 20%). Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama
periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu, dengan pemakaian alat kontrasepsi.
Cara yang paling peka saat ini adalah dengan pemeriksaan β-hCG yang menetap untuk
beberapa lama. Jika masih meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara
yang umum dipakai sekarang ini adalah dengan radioimmunoassay terhadap β-HCG sub unit.
Pemeriksaan kadar β-HCG dilakukan setiap minggu atau setiap 2 minggu sampai kadar
menjadi negatif lalu diperiksa ulang sebulan sekali selama 6 bulan, kemudian 2 bulan selama
6 bulan. Seharusnya kadar β-HCG harus kembali normal dalam 14 minggu setelah
evakuasi.
Pemeriksaan foto toraks dilakukan tiap 4 minggu, apabila ditemukan adanya metastase
penderita harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi.
Apabila Pemeriksaan fisik, foto toraks dan kadar β-HCG dalam batas normal, follow
up dapat dihentikan dan ibu diperbolehkan hamil setelah 1 tahun. Bila selama masa observasi
kadar β-HCG menetap atau bahkan cenderung meningkat atau pada pemeriksaan klinis.
1. Prognosis
Hampir 20% mola hidatidosa komplet berlanjut menjadi keganasan, sedangkan mola
hidatidosa parsial jarang. Mola yang terjadi berulang disertai tirotoksikosis atau kista lutein
memiliki kemungkinan menjadi ganas lebih tinggi.
Prognosis kematian pada Mola hidatidosa di sebabkan pendarahan,infeksi,payah
jantun,atau tirotoksikosis.sebaguan dari pasien mola akan segera sehat kembali setelah
jaringan di keluarkan,tetapi ada kelompok perempuan yang kemudian menderita degenerasi
keganasan menjadi koriokaesinima.
Bila tindakan penanganan dan pengobatan telah dilakukan secara cepat dan tepat, maka
ibu dapat berpeluang untuk hamil kembali. Kontrol rutin tetap harus dijalani sesuai
ketentuan prosedur dari dokter. Bila pemeriksaan kadar HCG dalam darah sampai tiga kali
berturut turut negatif, ibu boleh pulng dengan diberi konseling penggunaan alat kontrasepsi
untuk menunda kehamilan.Alat kontrasepsi pilhan bisa pil, atau IUD.
2. Komplikasi
a. Perforasi uterus
Selama kehamilan kadang-kadang terjadi dan jika terjadi perforasi uterus , kuretase
harus dihentikan. Laparoskopi atau laparotomi harus dilakukan untuk mengetahui tempat
terjadinya perforasi.
b. Perdarahan
Merupakan komplikasi yang terjadi sebelum selama dan bahkan setelah tindakan
kuretase. Oleh karena itu oksitosin intravena dilakukan sebelum memulai tindakan kuretase
sehingga mengurangi kejadian perdarahan ini.
d. Embolisme tropoblastik
Dapat menyebabkan insufisiensi pernapasan akut. Faktor resiko terbesar terjadi pada
uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia gestasi 16 minggu. Keadaan ini bisa
fatal.
Perforasi pada dinding uterus yang tipis selama evakuasi mola dapat menyebabkan
penyebaran infeksi. Ruptur uteri spontan bisa terjadi pada mola benigna dan mola maligna.
2. Komplikasi maligna