Anda di halaman 1dari 32

BERBAGI itu MENYENANGKAN,,,Bukan ???

Jumat, 15 April 2016

LAPORAN PRAKTIKUM URINE

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem ekskresi adalah sistem yang berperan dalam proses pembuangan zat yang sudah tidak diperlukan
atau zat yang membahayakan tubuh, dalam bentuk larutan seperti urin. Data ekskresi obat lewat urin
dapat dipakai untuk memperkirakan produk obat. Tiap cuplikan ditetapkan kadar obat bebas dengan
cara spesifik. Kemudian dibuat grafik yang menghubungkan kumulatif obat yang diekskresi terhadap
jarak waktu pengumpulan.

Pada praktikum ini akan membahas tentang ekskresi obat melalui urin. Urine atau air seni atau air
kencing merupakan cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui proses urinasi. Eksreksi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah
yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Urine disaring di dalam ginjal,
dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra. Urine
normal biasanya berwarna kuning, berbau khas jika didiamkan berbau ammoniak, pH berkisar 4,8 – 7,5
dan biasanya 6 atau 7. Berat jenis urine 1,002 – 1,035. Volume normal perhari 900 – 1400 ml.

Dalam farmakokinetik, urine dapat digunakan sebagai salah satu objek pemeriksaan selain plasma
darah, untuk penentuan beberapa parameter farmakokinetik.

B. Maksud praktikum

Menganalisis parameter farmakokinetik obat paracetamol setelah pemberian dosis tunggal


menggunakan data ekskresi obat lewat urine.

C. Tujuan praktikum

Tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu untuk menentukan parameter farmakokinetik obat paracetamol
setelah pemberian dosis tunggal menggunakan data ekskresi obat lewat urine.

D. Prinsip praktikum
Prinsip kerja dari praktikum ini adalah sebelum probandus meminum obat diambil urin kemdian
diminmkan obat dan diambil urin probandus pada menit 30, 60, dan 90, diukur absorbannya kemudian
diukur parameter farmakokinetiknya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori umum

Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat.
Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Metabolisme atau biotransformasi, dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif, merupakan proses
eliminasi obat (Setiadi,2007).

Proses eksresi obat lewat ginjal meliputi filtrasi glomerulus, sekresi tubular aktif, reabsorpsi tubular
(Shargel, 2005).

1. filtrasi glomerulus adalah proses dimana sekitar 20% plasma yang masuk ke kapiler glomerulus
menembus kapiler untuk masuk ke ruang interstisium selanjutnya ke kapsula bowman (Corwin,2000).

Plasma darah yang mengalir dalam filtrasi glomerulus akan ditekan pada glomerulus sehingga menjadi
urin primer ,suatu ultrafiltrat yang hampir bebas protein (Mutschler,1991).

Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat yang minus protein jadi semua obat bebas akan keluar
dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah (Ganiswarna,2007).

Di glomerulus gaya utama yang mendorong filtrasi adalah tekanan kapiler. Di sebagian besar kapiler
lainnya tekanan ini rata-rata berukuran 18 mmHg, di glomerulus tekanan rerata hampir mencapai 60
mmHg (Corwin,2000).

Sebagian besar gaya penggerak untuk filtrasi glomerulus adalah tekanan hidrostatik dalam kapiler-
kapiler glomerulus, ginjal menerima pasokan darah yang besar (kira-kira 25% curah jantung melalui
arteri ginjal dengan penurunan tekanan hidrostatik yang sangat kecil. (Shargel, 2005).
Laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate,GFR) didefinisikan sebagai volume filtrat yang masuk
kedalam kapsula bowman per satuan waktu (Corwin,2000).

Laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat diukur dengan menggunakan suatu obat yang dieliminasi hanya
dengan filtrasi (tidak direabsorpsi atau disekresi). Contohnya seperti inulin dan kreatinin, dimana klirens
inulin sama dengan laju filtrasi glomerulus 125-130 ml/menit (Shargel, 2005).

2. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-
glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan
selektivitas berbeda yakni MRP untuk anion organik dan konyugat (mis penisilin, probenesid) dan P-gp
untuk kation organik dan zat netral (mis. Kuinidin, digoksin). Dengan demikian terjadi kompetisi antara
asam-asam organik maupun antara basa-basa organik untuk disekresi (Ganiswarna,2007).

Obat-obat yang umum digunakan untuk mengukur tubular aktif meliputi asam p-aminohipurat (PAH)
dan iodopiraset (diodras).sekresi aktif untuk obat-obat ini sangat cepat dan praktis semua obat yang
dibawa ke ginjal dieliminasi dalam satu jalur , sehingga klirens untuk obat-obat ini mencerminkan aliran
plasma ginjal efektif yang bervariasi dari 425-650 ml/menit (Shargel, 2005).

3. Reabsorpsi tubular terjadi setelah obat difiltrasi melalui glomerulus dan dapat aktif atau pasif. Jika
suatu obat direabsorpsi sempurna (misal glukosa) maka harga klirens obat mendekati nol. Untuk obat-
obat yang direabsorpsi sebagian harga klirens akan menjadi lebih kecil daripada GFR 125-130 ml/menit.
Reabsorpsi obat-obat asam atau basa lemah dipengaruhi oleh pH urin dan pKa obat (Shargel, 2005).

Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang larut lemak ,oleh
karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat
eksresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa .obat asam yang relatif kuat (pKa≤2) dan
obat basa yang relatif kuat (≥12, mis guanetidin) terionisasi sempurna pada pH ekstrim urin akibat
asidifikasi dan alkalinisasi paksa(4,5-7,5). Hanya obat asam dengan pKa antara 3,0 dan 7,5 dan obat basa
dengan pKa 6 dan 12 yang dapat dipengaruhi oleh pH urin (Ganiswarna,2007).

Selain itu ada pula beberapa cara lain yaitu melalui kulit bersama keringat, paru-paru, empedu, air
susu, dan usus (Tjay dan Rahardja, 2007).

Proses pembentukan urin di dalam ginjal melalui tiga tahapan yaitu filtrasi (penyaringan),
reabsorpsi (penyerapan kembali), dan augmentasi (penambahan) (Budiyanto, 2013).

Urine memiliki komponen organic dan anorganik. Urea, asam urat dan kreatinin merupakan
beberapa komponen organic dari urine. Ion-ion seperti Na, K, Ca serta anion Cl merupakan komponen
anorganik dari urine. Warna kuning pada urine, disebabkan oleh urokrom, yaitu family zat empedu, yang
terbentuk dari pemecahan hemoglobin. Bila dibiarkan dalam udara terbuka, urokrom dapat teroksidasi,
sehingga urine menjadi berwarna kuning tua. Pergeseran konsentrasi komponen-komponen fisiologik
urine dan munculnya komponen-komponen urine yang patologik dapat membantu diagnose penyakit
(Jan Koolman, 2001).
Tetapan laju eliminasi K dapat dihitung dari data eksresi urin. Dalam penghitungan ini laju eksresi obat
dianggap sebagai orde kesatu .

K=

Ke adalah tetapan laju eksresi ginjal ,dan Du adalah jumlah obat yang dieksresi urin:

= Ke DBOe-Kt atau log = + log Ke DBO

tetapan laju Knr untuk berbagai rute eliminasi selain eksresi ginjal dapat diperoleh : K- Ke = Knr .Oleh
karena eliminasi obat biasanya dipengaruhi oleh eksresi ginjal atau metabolisme (biotransformasi)
maka: KnrKm (Shargel, 2012). .

Metode lain untuk perhitungan tetapan laju eliminasi K dari data eksresi urin adalah metode
sigma minus , metode ini lebih disukai daripada sebelumnya karena fluktuasi data laju eliminasi
diperkecil. Jumlah obat tidak berubah dalam urin dapat dinyatakan sebagai fungsi waktu melalui
persamaan berikut :

DU (1-e-Kt)

DU adalah jumlah kumulatif obat tidak berubah yang dieksresi dalam urin. Jumlah obat yang
tidak berubah yang akhirnya dieksresi dalam urin Du˜ dapat ditentukan dengan membuat waktu t tak
terhingga jadi e-Kt diabaikan dan didapat pernyataan DU

Untuk mendapat suatu persamaa linear dapat ditulis dengan persamaan :

Log (Du˜- DU)= +log Du˜

Suatu kurva linier diperoleh dengan membuat grafik log jumlah obat tidak berubah yang belum
dieliminasi Log (Du˜- DU) vs waktu (Shargel, 2012).

Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme
prosesnya atau disebut juga laju eliminasi obat dibagi konsentrasi obat dalam plasma pada waktu
tersebut . Persamaannya yaitu : Cl = atau dapat juga dinyatakan Cl = KVD

dimana dDu/dt adalah laju eksresi (µg/menit), Cp adalah konsentrasi plasma (µg/ml), K adalah tetapan
laju eliminasi ,VD adalah volume distribusi (ml/kg) (Shargel, 2012).

B. URAIAN OBAT

Paracetamol (Mardjono, 2009)


Indikasi : Sakit kepala, demam, nyeri otot & sakit gigi, Untuk pengobatan jangka pendek,
nyeri sedang (terutama sesudah operasi) dan demam .

Kontraindikasi : Insufisiensi hepatoselular berat

Farmakokinetik : Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 %
diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik
atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi
menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada
dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis
besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati (Darsono, 2002)

Farmakodinamik : Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh
dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya
sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangan asam basa.

Efek samping : Reaksi hematologi, reaksi kulit & reaksi alergi lainnya.

Interaksi obat : Alkohol, antikoagulan oral,kloramfenikol, aspirin, fenobarbital, obat yang


bersifat hepatotoksik, penginduksi enzim hati.

BAB III

METODE KERJA

A. Alat Yang Digunakan

Adapun alat-alat yang digunakan yaitu botol coklat, label, dan spektrofotometer.

B. Bahan Yang Digunakan

Adapun bahanyang digunakan yaitu air mineral (aqua), aluminium foil, paracetamol, dan tissue.

C. Cara Kerja

1. Diukur kadar urin normal


2. Diberikan air mineral untuk diminum

3. Diberikan obat paracetamol

4. Diambil urin pada selang waktu setiap 30, 60, dan 90.

5. Diukur absorbansi pada spektrofotometer

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data

T (menit)

Du (mg)

Du Kumulatif

Du - Du kumulatif

Log Du – Du kumulatif

0,5

230

230

1309

3,116

180

410
1129

3,052

270

680

859

2,933

340

1020

519

2,715

210

1230

309

2,489

10

142

1372

167

2,222

14

98

1470
69

1,838

18

69

1539

Menentukan nilai a, b, dan r. (hasil regresi (t vs log Du - Du kumulatif)).

a = 3,149

b = - 0,093

r = - 9,999

- menentukan parameter urin (k, t1/2, dan cl) :

1. K = -b × 2,3

= - (-0,093 × 2,3)

= 0,213 menit-1

2. t1/2 =

= 3,253 menit

3. cl =

= 0,00015114 mg

= 1,5114 × 10-4 mg

Jadi, sebanyak 1,5114 × 10-4 mg tubuh mampu mengeliminasi hasil metabolisme melalui urin.

B. Pembahasan

Sistem ekskresi adalah sistem yang berperan dalam proses pembuangan zat yang sudah tidak diperlukan
atau zat yang membahayakan tubuh, dalam bentuk larutan seperti urin. Data ekskresi obat lewat urin
dapat dipakai untuk memperkirakan produk obat. Tiap cuplikan ditetapkan kadar obat bebas dengan
cara spesifik. Kemudian dibuat grafik yang menghubungkan kumulatif obat yang diekskresi terhadap
jarak waktu pengumpulan.

Tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu untuk menentukan parameter farmakokinetik obat paracetamol
setelah pemberian dosis tunggal menggunakan data ekskresi obat lewat urine.

Dalam parameter farmakokinetik urin untuk obat yang diberikan secara oral akan ditentukan nilai K, t½
dan klirens. Dimana K adalah tetapan laju eliminasi yang merupakan kecepatan eliminasi obat setelah
masuk ke dalam system sirkulasi, t ½ adalah waktu paruh yaitu waktu yang diperlukan agar jumlah obat
dalam tubuh melarut setengah dari dosis dan klirens (Cl).

Pada percobaan ini dilakukan dengan menggunakan probandus yang diambil urin awal/banko (t=0),
setelah itu diberikan obat parasetamol. Kemudian urin tersebut ditampung dalam botol coklat pada
menit 0, 30, 60 dan 90, lalu dicatat volumenya. Setelah itu urin tersebut disentrifuge dan diukur dengan
alat spektrofotometer dan diambil data, lau dihitung parameter-parameternya.

Adapun prinsip kerja dari alat spektrofotometer yaitu adanya iinteraksi dari sampel dengan radiasi
elektromagnetik sehingga sampel mengalami eksitasi ketingkat yang lebih tinggi dan pada keadaan ini
adalah titik stabil dan akan kembali ketingkat normal dengan memancarkan energi-energi ini terukur
pada alat spektrofotometer. Mekanisme sentrifuge yaitu pemisahan supernatan dengan
menghomogenkan campuran dan didapatkan hasil yang jernih sehingga didapatkan supernatan.

Parameter farmakokinetik yang diperoleh pada obat yang diberikan secara oral adalah untuk tetapan
laju eliminasi (K) diperoleh 0,213 menit-1 yang merupakan nilai yang menunjukkan laju penurunan kadar
obat setelah proses kinetik mencapai keseimbangan, dimana eliminasi obat akan meningkat
kecepatannya dengan meningkatnya konsentrasi obat,dengan kata lain makin tinggi kadar obat dalam
darah makin banyak obat yang dieliminasikan. Selanjutnya waktu paruh (t ½ ) = 3,253 menit yaitu waktu
yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik berkurang menjadi setengahnya, dimana efek
obat akan lebih panjang bila mempunyai waktu paruh yang pendek. Jadi, sebanyak 1,5114 × 10-4 mg
tubuh mampu mengeliminasi hasil metabolisme melalui urin.

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan dari data obat yang diberikan secara oral, diperoleh parameter
farmakokinetik urin sebagai berikut :

1. Tetapan laju eliminasi (K) = 0,213 menit-1

2. Waktu paruh (t ½) = 3,253 menit

3. Klirens (Cl) = 1,5114 × 10-4 mg

Jadi, sebanyak 1,5114 × 10-4 mg tubuh mampu mengeliminasi hasil metabolisme melalui urin.

B. Saran

Sebaiknya asisten lebih rajin lagi periksa laporan.

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto. 2013. Proses Pembentukan Urin Pada Ginjal. Tersedia di:


http://budisma.web.id/materi/sma/biologi-kelas-xi/proses-pembentukan-urine-pada-ginjal.

Corwin, J.E. 2000. Buku Saku Patofisiologi . penerbit buku kedokteran .EGC. Jakarta.

POM, 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Depkes RI . Jakarta.

Ganiswarna, 2007. “ farmakologi dan terapi edisi 5”. FK.Universitas indonesia. Jakarta. hal 11,787,788.

Jan Koolman, Klaus-Heinrich Rohm, 2001, Atlas Berwarna & Teks Biokimia, Alih bahasa ; dr. Septilia
Inawati Wanandi, Hipokrates, Jakarta.

Mutschler ,ernest. 1991. “ Dinamika Obat “ edisi kelima ..penerbit ITB. Bandung .hal 553,554,557.

Setiadi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia Edisi Pertama. Penerbit : Graha ilmu. Yogyakarta.
Shargel,L B,C.YU,.2012. Biofarmasetika dan farmakokinetika terapan edisi kelima. Airlangga University
Press. Surabaya.

Shargel,L B,C.YU,.2005. “ Biofarmasetika dan farmakokinetika terapan “ edisi kedua. Airlangga University
Press. Surabaya. Hal 53,57,177-184,201-205,207,209.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K.. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya.
Edisi Kelima.

Lampiran

Skema kerja

Siapkan alat dan bahan

Disiapkan probandus

Diambil urin awal/blanko (t=0)

Diberikan obat parasetamol

Ditampung urin pada menit ke 0, 30, 60, dan 90

Dicatat volumenya

Kemudian urin disentrifuge

Diukur dengan spektrofotometer

Diambil data

Dihitung parameter-parameter (K, t½, dan Cl)


Unknown di 08.17

Berbagi

1 komentar:

Unknown12 Oktober 2016 06.25

maaf...

bisa minta ebook ato apalah tentang dasar teori yang dikutip?

Balas

Beranda

Lihat versi web

Mengenai Saya

Unknown

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efektubuh terhadap obat.
Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni proses absorpsi,distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Metabolisme atau biotransformasi, danekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif, merupakan proses
eliminasi obat(Setiadi,2007).roses eksresi obat le!at "in#al meliputi filtrasi "lomerulus, sekresi tubular
aktif, reabsorpsi tubular (Shar"el, 200$).%.

filtrasi "lomerulus adalah proses dimana sekitar 20& plasma yan" masuk ke kapiler "lomerulus
menembus kapiler untuk masuk ke ruan" interstisium selan#utnya kekapsula bo!man ('or!
in,2000).lasma darah yan" men"alir dalam filtrasi "lomerulus akan ditekan pada"lomerulus sehin""a
men#adi urin primer ,suatu ultrafiltrat yan" hampir bebas protein(Mutschler,%%).Filtrasi "lomerulus
men"hasilkan ultrafiltrat yan" minus protein #adi semua obatbebas akan keluar dalam ultrafiltrat
sedan"kan yan" terikat protein tetap tin""aldalam darah ( anis!arna,2007).*i "lomerulus "aya utama
yan" mendoron" filtrasi adalah tekanan kapiler. *iseba"ian besar kapiler lainnya tekanan ini rata+rata
berukuran % mm-", di"lomerulus tekanan rerata hampir mencapai 0 mm-" ('or!in,2000).Seba"ian
besar "aya pen""erak untuk filtrasi "lomerulus adalah tekananhidrostatik dalam kapiler+kapiler
"lomerulus, "in#al menerima pasokan darah yan"besar (kira+kira 2$& curah #antun" melalui arteri "in#al
den"an penurunan tekananhidrostatik yan" san"at kecil. (Shar"el, 200$)./a#u filtrasi "lomerulus
("lomerular filtration rate, F  ) didefinisikan seba"ai1olume filtrat yan" masuk kedalam kapsula bo!man
per satuan !aktu('or!in,2000)./a#u filtrasi "lomerulus ( F  ) dapat diukur den"an men""unakan suatu
obatyan" dieliminasi hanya den"an filtrasi (tidak direabsorpsi atau disekresi). 'ontohnyaseperti inulin dan
kreatinin, dimana klirens inulin sama den"an la#u filtrasi "lomerulus%2$+% 0 ml3menit (Shar"el,
200$).2.

Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal ter#adi melalui transporter membran
+"likoprotein (+"p) dan M (multidru"+resistance protein) yan"terdapat di membran sel epitel
den"an selekti1itas berbeda yakni M   untuk anionor"anik dan konyu"at (mis penisilin, probenesid)
dan +"p untuk kation or"anik dan

ElrinAlriaElrinAlria

Home

Lifestyle

Technology

Healthy

Traveling

Finance

More×

Home Laporan LAPORAN PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA OBAT SETELAH PEMBERIAN


DOSIS TUNGGAL MENGGUNAKAN DATA EKSRESI URINE KUMULATIF
LAPORAN PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA OBAT SETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL
MENGGUNAKAN DATA EKSRESI URINE KUMULATIF

Ditulis pada: Agustus 21, 2018

LAPORAN PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA OBAT SETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL


MENGGUNAKAN DATA EKSRESI URINE KUMULATIF

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA DASAR

PERCOBAAN IV

PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA OBAT SETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL


ENGGUNAKAN DATA EKSKRESI URINE KUMULATIF

I. Pendahuluan

1. Tujuan Percobaan :

Untuk mengetahui cara penetapan parameter farmakokinetika obat setelah pemberian dosis tunggal
menggunakan data eksresi urine kumulatif

2. Latar Belakang

Farmakokinetik adalah studi yang menghubungkan antara regimen dosis dan perubahan konsentrasi
obat di dalam tubuh setiap waktunya. Tipe konsentrasi diukur di dalam darah, serum atau plasma, dan
antara konsentrasi obat di dalam darah dengan respon klinik atau farmakodinamik, berikut efek
teraupetik dan efet toksik, diukur dengan menggunakan profil konsentrasi-waktu yang juga dapat
menggambarkan respon optimal dan resiko minimum toksisitas (Oktaviani).

Obat memiliki peran yang sangat penting bagi kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai
penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dari obat. Berbagai pemilihan obat saat ini tersedia
sehingga diperlukan pertimbangan yang sangat cermat dalam memilih obat untuk kasus penyakit
(Utami, dkk., 2009).
Pada umumnya setiap obat yang masuk ke dalam tubuh, akan mengalami empat proses yaitu (1)
absorbsi yaitu proses obat memasuki sirkulasi cairan tubuh, (2) distribusi yaitu proses obat diangkut ke
area tubuh dimana obat diharapkan bereaksi atau disimpan dalam tubuh, (3) biotransformasi yaitu
proses dimana obat diubah menajdi bentuk kurang aktif, (4) ekskresi yaitu proses dimana obat
dikeluarkan dari tubuh (Priharjo, 1994).

Ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya ketidaksetaraan terapetik diantara sediaan
bermerk dagang yang mengandung zat aktif yang sama dan dibuat dalam bentuk sediaan farmasetik
yang serupa, serta diberikan dengan dosis yang sama. Berbagai kejadian (zat aktif menjadi tidak aktif
atau menjadi toksik) dapat merupakan sebab ketidaksetaraan ((Utami, dkk., 2009).

Proses fisiologis dimana obat dan metabolit dikeluarkan dari tubuh disebut eksresi. Sebagian besar
ekskresi berlangsung melalui ginjal dalam bentuk urine. Namun, obat juga dikeluarkan melalui paru-paru
misalnya obat anastesi, melalui feses, keringat, air mata dan saliva. Untuk memperkirakan berapa lama
suatu obat diekskresikan, ada suatu teori yang dikelan dengan “half-life” (waktu yang diperlukan oleh
konsentrasi obat dalam plasma untuk berkurang menjadi 50% dari konsentrasi awalnya) (Priharjo,
1994).

Obar bebas yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh
ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan
diekskresikan melalui urine. pH urine mempengaruhi ekskresi obat. pH urine bervariasi dari 4,5 sampai 8
(Kee dan Evelyn, 1994).

Spektrofotometri merupakan suatu metode analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar
monokromatis oleh suatu jalur larutan berwarna pada panjang gelombang spesifik dengan
menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan tabung foton hampa. Metode
spektrofotometri memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan untuk menganalisa suatu zat dalam
jumlah kecil (Harini, dkk., 2012).

Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu metode analisis yang beragam terhadap suatu obat
dalam sediaan dan juga cairan biologis yang memiliki banyak kelebihan, diantaranya lebih praktis dan
murah bila dibandingkan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, serta lebih akurat bila dibandingkan
dengan titrasi (Utami, dkk., 2009).

Metampiron (C13H16N3NaO4S.H2O) memiliki bobit molekul 351,4. Titik lebur metampiron 172C. Larut
dalam 1,5 bagian air, 30 bagian etanol, praktis tidak larut dalam eter, aseton, benzen, dan kloroform.
Metampiron memiliki efek analgetik dan sering digunakan sebagai Antinflamatory Drug (NSAID), dan
pereda rasa nyeri. Pada pemakaian secara oral, dosis tunggal metampiron 500-1000 mg. Efek samping
yang parah adalah agranulositosis alergik. Semakin tinggi dosis dan jangka pengobatan, semakin besar
resikonya (Soewandhi, dkk., 2007).

II. Cara kerja

1. Bahan & alat

a. Bahan

Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah:

Sampel urine

Antalgin

Aquadest

Aluminium voil

Tisu

b. Alat

Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah:

Gelas kimia

Erlenmeyer

Batang pengaduk

Kuvet

Pipet tetes

Spektrofotometri UV-Vis
Spatula besi

Labu takar

LAPORAN PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA OBAT SETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL


MENGGUNAKAN DATA EKSRESI URINE KUMULATIF

LAPORAN PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA OBAT SETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL


MENGGUNAKAN DATA EKSRESI URINE KUMULATIF

IV. Pembahasan

Ketersediaan hayati dapat digunakan utuk menggambarkan keadaan dan kecepatan obat yang
diabsorpsi dari bentuk sediaan dan digambarkan dengan kurva kadar-waktu setelah obat diminum dan
berada pada jaringan biologis atau larutan seperti darah dan urine.

Sistem urine adalah suatu sistem saluran dalam tubuh manusia, meliputi ginjal dan saluran keluarnya
yang berfungsi untuk membersihkan tubuh dari zat-zat yang tidak diperlukan. Sebanyak 1 cc urin
dihasilkan oleh kedua ginjal kiri dan kanan setiap menitnya dan dalam 2 jam dihasilkan sekitar 120 cc
urin yang akan mengisi kandung kemih. Saat kandung kemih sudah terisi urin sebanyak itu mulai terjadi
rangsangan pada kandung kemih sehingga yang bersangkutan dapat merasakannya. Keinginan
mengeluarkan mulai muncul, tetapi biasanya masih bisa ditahan jika volumenya masih berkisar dibawah
150 cc.

Pada praktikum ini, dilakukan penentuan kadar dan parameter farmakokinetik dari sampel
menggunakan perhitungan regresi dengan melihat waktu yang diperoleh yang menandakan adanya
kandungan metampiron atau antalgin. Praktikum ini juga dilakukan untuk mengetahui kadar antalgin
yang terukur masih dalam rentang/jumlah yang sesuai atau tidak. Sampel yang digunakan adalah urin
dari probandus.

Pengumpulan urin dilakukan pada jam ke 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Hal ini bertujuan agar jumlah obat yang
diekskresikan memiliki kecepatan eliminasi yang tetap sehingga data urin yang diperoleh menjadi valid.
Urin yang pertama kali ditampung adalah urin blanko dimana urin tersebut belum mengandung
senyawa metampiron/antalgin. Urin blanko digunakan untuk membandingkan antara urin yang
mengandung antalgin dengan yang tidak. Urin blanko juga menandakan tidak ada partikel lain yang akan
terukur nantinya selain pelarut itu sendiri (urin). Kemudian, probandus diberikan obat yang ekivalen
dengan dosis 500 mg. Dosis tersebut merupakan dosis lazim dimana dapat memberikan efek
farmakologis sesuai dengan memberikan efek terapi. Obat tersebut diminum sehari sebelum percobaan.
Hal ini untuk memaksimalkan proses biofarmasetik dimana obat akan diabsorbsi, didistribusi,
dimetabolisme dan terakhir diekskresi melalui urin.

Urin tersebut tentunya sudah mengandung antalgin. Selain itu, pada saat pengumpulan urin, perlu
dilakukan pengukuran volume urin yang diekskresikan. Pengukuran volume urin tersebut dimaksudkan
agar dapat ditentukan berapa jumlah obat (antalgin) yang telah diekskresikan. Farmakokinetika obat
pada darah maupun urin hanya dapat memperoleh data berupa konsentrasi, bukan jumlah obat yang
terkandungnya. Satuan konsentrasi adalah µg/ml sedangkan jumlah obat adalah µg. Jika dilakukan
konversi, maka untuk menentukan jumlah obat perlu dilakukan perkalian antara konsentrasi dengan
volume.Volume urin yang diperoleh cukup besar pada rentang waktu yang cukup dekat karena jumlah
asupan cairan (air) pada tubuh juga cukup banyak sehingga wajar jika urin yang diekskresikan dalam
jumlah yang banyak. Diantara rentang waktu tersebut, pada pagi hari memiliki volume urin yang paling
besar karena pada malam hari tubuh tidak melakukan aktivitas apapun sehingga energi difokuskan pada
sistem pencernaan dan hasil metabolisme disalurkan salah satunya pada sistem ekskresi urinari.
Semakin banyak volume urin yang dihasilkan, semakin banyak pula senyawa yang terdapat didalamnya.

Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi yang dimiliki oleh urine dengan mengguakan
spektrofotometri. Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah sebagai berikut. Tempatkan
larutan pembanding, misalnya blangko dalam sel pertama sedangkan larutan yang akan dianalisis pada
sel kedua. Kemudian pilih foto sel yang cocok 200 nm-650 nm (650nm-1100nm) agar daerah λ yang
diperlukan dapat terliputi. Dengan ruang foto sel dalam keadaan tertutup “nol” galvanometer didapat
dengan menggunakan tombol dark-current. Pilih h yang diinginkan, buka fotosel dan lewatkan berkas
cahaya pada blangko dan “nol” galvanometer didapat dengan memutar tombol sensitivitas. Dengan
menggunakan tombol transmitansi, kemudian atur besarnya pada 100%. Lewatkan berkas cahaya pada
larutan sampel yang akan dianalisis.

Pengukuran konsentrasi pada spektrofortometer di mulai dengan konsentrasi yang rendah. Hal ini
dikarenakan apa bila di mulai dengan konsentrasi yang tinggi maka absorbansi yang akan di hasilkan
akan rendah, sedangkan pada konsentrasi yang rendah akan menghasilkan absorbansi yang rendah pula.
Sehingga di lakukan pengukuran absorbansi dari konsentrasi yang rendah agar dapat menghasilkan
perbandingan yang di inginkan dari konsentrasi yang rendah ke konsentrasi yang tinggi.
Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi, diperoleh bahwa terjadinya penurunan konsentrasi obat tiap
penambahan waktu. Hal ini dikarenakan adanya proses pengeluaran urin pada waktu yang berbeda,
pada urin pertama banyak jumlah senyawa obat antalgin yang di keluar sehingga akan berbeda
banyaknya senyawa antalgin yang keluar pada jam ke 2- 6.

Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dari urine, selanjutnya akan ditetapkan parameter
farmakokinetiknya. Akan tetapi, harus diregresikan terlebih dahulu dengan perbandingan antara tmid
dan ln Du/t. Dimana tmid merupakan selisih waktu dari pengambilan urine, Du merupakan hasil
perkalian antara absorbansi dan volume urine, sedangkan ln Du/t merupakan hasil dari pembagian Du/t
yang kemudian di ln kan.

Persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu y = -0,383x + 4,413. Berdasarkan persamaan tersebut
dapat ditentukan nilai dari k, t1/2, dan CL sebagai parameter farmakokinetik. Nilai k dapat diperoleh dari
–b, nilai t1/2 diperoleh dari pembagian antara 0,693/k, dan nilai CL diperoleh dari volume distribusi (Vd)
dikalikan dengan k. Berdasarkan parameter tersebut, diketahui nilai k sebesar 0,383 jam, nilai t1/2
sebesar 1,809 jam dan nilai CL sebesar 2,320 L.jam.

V. Kesimpulan

Kesimpulan pada percobaan ini adalah konsentrasi sampel obat dalam urin terjadi penurunan
konsentrasi tiap penambahan waktu. Hal ini karenakan adanya proses pengeluaran urin pada waktu
yang berbeda, pada urin pertama banyak mengandung senyawa obat antalgin yang di keluar sehingga
akan berbeda banyaknya senyawa antalgin yang keluar pada jam ke 2- 6. Parameter farmakokinetik yang
diperoleh yaitu nilai k sebesar 0,383 jam, nilai t1/2 sebesar 1,809 jam, dan nilai CL sebesar 2,320 L.jam.

VI. Daftar Pustaka

Harini, B. W., Rini Dwiastuti, dan Lucia Wiwid Wijayanti, 2012, Aplikasi Metode Spketrofotometri Visibel
Untuk Mengukur Kadar Curcuminoid pada Rimpang Kunyit (Curcuma domestica), Prosiding Seminar
Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, ISSN.

Kee, J. L., dan Evelyn R. H., 1994, Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan, Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Oktoviani, I., Aspek Farmakokinetika Klinik Obat-Obat yang Digunakan Pasien Sirosis Hati Di Bangsal
Interne RSUP DR. M. Djamil, Padang.

Priharjo, R., 1994, Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Soewandhi, S. N., dan Aris H., 2007, Pengaruh Milling Terhadap Laju Disolusi Campuran Metampiron-
Fenilbutason (7:3), Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. IV, No. 2, ISSN.

Utami, P. I., Wahyu U., dan Nur A. M., 2009, Optimasi Metode Penetapan Ranitidin Dalam Plasma
Manusia Secara In Vitro Dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel, Pharmacy, Vol. 06, No. 03.

You Might Also Like:

Next Post

Previous Post

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.
Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

YANG PALING BANYAK DIBACA

LAPORAN ISOLASI GLIKOSIDA FLAVONOID DARI DAUN KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl)

LAPORAN ISOLASI GLIKOSIDA FLAVONOID DARI DAUN KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl)

LAPORAN SEDIMENTASI PARTIKEL SUSPENSI

LAPORAN SEDIMENTASI PARTIKEL SUSPENSI

LAPORAN ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI (DARAH)

LAPORAN ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI (DARAH)

LAPORAN PENENTUAN TEGANGAN PERMUKAAN


LAPORAN PENENTUAN TEGANGAN PERMUKAAN

LAPORAN PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA OBAT SETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL


MENGGUNAKAN DATA EKSRESI URINE KUMULATIF

LAPORAN PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA OBAT SETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL


MENGGUNAKAN DATA EKSRESI URINE KUMULATIF

PENGENALAN TRANSMISSION ELECTRON MICROSCOPY

PENGENALAN TRANSMISSION ELECTRON MICROSCOPY

LAPORAN IDENTIFIKASI SEDIAAN OBAT YANG MENGANDUNG ASPIRIN, KAFEIN DAN PARACETAMOL
DENGAN METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

LAPORAN IDENTIFIKASI SEDIAAN OBAT YANG MENGANDUNG ASPIRIN, KAFEIN DAN PARACETAMOL
DENGAN METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

PERBEDAAN UJI KLINIK DAN UJI PRAKLINIK

PERBEDAAN UJI KLINIK DAN UJI PRAKLINIK

DEFINISI DAN JENIS-JENIS SUPPOSITORIA

DEFINISI DAN JENIS-JENIS SUPPOSITORIA

LAPORAN IDENTIFIKASI AMILUM SECARA KIMIAWI DAN MIKROSKOPI

LAPORAN IDENTIFIKASI AMILUM SECARA KIMIAWI DAN MIKROSKOPI

PILIHAN EDITOR

KATEGORI

Farmasi

33

Kesehatan

Laporan

92

Makalah

97
Pengetahuan

35

Tumbuhan

14

About • Contact • Privacy • Sitemap • Review Job

©2019 ElrinAlria

-->

Alfrida Tatsa Haifa, S.Far., Apt

Apoteker Penanggung Jawab Alkes PBF PT Dos Ni Roha | Apoteker UIN 01 2016/2017 | S1 Farmasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2009-2013

Kamis, 11 April 2013

ANALISIS PARACETAMOL TOTAL DALAN CUPLIKAN URIN

ANALISIS PARACETAMOL TOTAL DALAN CUPLIKAN URIN

I. TUJUAN

Mampu menganalisis parasetamol total dalam cuplikan urin dengan cara uji kualitatif sifat metabolit
urin.

II. TEORI DASAR

Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh organisme hidup, pada
umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses metabolisme obat merupakan salah satu hal
penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat farmakologis obat.

Metabolisme obat sebagian besar terjadi di reticulum endoplasma sel – sel hati. Selain itu, metabolisme
obat juga terjadi di sel – sel epitel pada saluran pencernaan, paru – paru , ginjal, dan kulit. Metabolisme
obat dipengaruhi oleh faktor – faktor antara lain faktor fisiologis ( usia, genetika, nutrisi, jenis kelamin ),
serta penghambatan dan juga induksi enzim yang terlibat dalam proses metabolisme obat. Selain itu ,
faktor patologis ( penyakit pada hati atau ginjal ) juga berperan dalam menentukan laju metabolisme
obat.

Obat – obatan di metabolisme dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi
atau isomerasi, yang tujuannya supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh lewat urin atau empedu.
Kecepatan metabolisme pada tiap orang berbeda tergantung faktor genetic, penyakit yang menyertai
( terutama penyakit hati dan gagal jantung ), dan adanya interaksi antara obat – obatan. Dengan
bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati menurun samapi lebih dari 30% karena
menurunnya volume dan aliran darah ke hati. Ginjal adalah tempat utama “ ekskresi “ / pembuangan
obat. Sedangkan system billier membantu eksresi untuk obat – obatan yang tidak di- absorpsi kembali
dari system pencernaan. Sedangkan kontribusi dari intestine ( usus ), ludah, keringat, air susu ibu, dan
lewat paru – paru kecil, kecuali untuk obat – obat anestesi yang dikeluarkan waktu ekshalasi.

Metabolisme oleh hati membuat obat lebih “polar “dan larut air sehingga mudah diekresi oleh ginjal.
Obat di hati, dan pada umumnya obat sudah dalam bentuktidak aktif jika sampai di hati, hanya beberapa
obat tetap dalam bentukaktif samppai di hati. Obat – obatan di metabolisme dengan cara oksidasi,
reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerasi, yang tujuannya supaya sisa obat mudah
dibuang oleh tubuh lewat urin dan empedu.

Di dalam tubuh obat dapat berikatan dengan protein darah jaringan da lemak, dan juga obat – obatan di
metabolisme dengan cara reaksi konjugasi yaitu reaksi penggabungan molekul obat dan hasil
metabolisme pada reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis yang mengubah obat menjadi senyawa lain
dengan senyawa pengkonjugasi endogen tubuh.

Contoh :

1.

Konjugasi asam sulfat : melibatkan fenol sulfotransferase.

2.

Konjugasi merkapturat melibatkan glutation.

3.
Konjugasi glukoronat reaksi dengan asam glukoronat.

4.

Konjugasi glisin / asam amino dengan asam karboksilat.

5. Metilasi

6.

Asetilasi melibatkan asetiltransferase.

Pada praktikum ini akan dilakukan identifikasi suatu obat dengan cara mengidentifikasi senyawa dari
reaksi konjugai suatu molekul obat dengan senyawa lain selama proses metabolisme.Sampel yang
digunakan yaitu cuplikan daru urin manusia.

Urin atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urin diperlukan untuk membuang molekul-
molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Dalam
mempertahankan homeostasis tubuh peranan urin sangat penting, karena sebagian pembuangan cairan
oleh tubuh adalah melalui sekresi urin. Selain urin juga terdapat mekanisme berkeringat dan juga rasa
haus yang kesemuanya bekerja sama dalam mempertahankan homeostasis ini.

Fungsi utama urin adalah untuk membuang zat sisa seperti racun atau obat-obatan dari dalam
tubuh.Anggapan umum menganggap urin sebagai zat yang “kotor”. Hal ini berkaitan dengan
kemungkinan urin tersebut berasal dari ginjal atau saluran kencing yang terinfeksi, sehingga urinnyapun
akan mengandung bakteri. Namun jika urin berasal dari ginjal dan saluran kencing yang sehat, secara
medis urin sebenarnya cukup steril dan hampir tidak berbau ketika keluar dari tubuh. Hanya saja,
beberapa saat setelah meninggalkan tubuh, bakteri akan mengkontaminasi urin dan mengubah zat-zat
di dalam urin dan menghasilkan bau yang khas, terutama bau amonia yang dihasilkan dari urea.

Proses urinalisis terdapat banyak cara metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi zat-zat apa saja
yang terkandung di dalam urin. Analisis urin dapat berupa analisis fisik, analisi kimiawi dan anlisis secara
mikroskopik.

Analisis urin secara fisik meliputi pengamatan warna urin, berat jenis cairan urin dan pH serta suhu urin
itu sendiri. Sedangkan analisis kimiawi dapat meliputi analisis glukosa, analisis protein dan analisis
pigmen empedu. Untuk analisis kandungan proteinm ada banyak sekali metode yang ditawarkan , mulai
dari metode uji millon sampai kuprisulfa dan sodium basa. Yang terakhir adalah analisis secara
mikroskopik, sampel urin secara langsung diamati dibawah mikroskop sehingga akan diketahui zat-zat
apa saja yang terkandung di dalam urin tersebut, misalnya kalsium phospat, serat tanaman, bahkan
bakteri. (basoeki, 2000).

Urin yang kita keluarkan terdiri dari berbagai unsur seperti : air, protein, amoniak, glukosa, sedimen,
bakteri, epitel dsb. Unsur-unsur tersebut sangat bervariasi perbandingannya pada orang yang berbeda
dan juga pada waktu yang berbeda dan dipengaruhi oleh makanan yang kita konsumsi. Kandungan urin
inilah yang menentukan tampilan fisik air urin seperti kekentalannya, warna, kejernihan, bau, busa, dsb.

Pada analisis urine ini, terdapat beberapa eksperimen. Eksperimen – eksperimen ini dilakukan untuk
menguji apakah sample urine mengandung zat – zat tidak dikenal ataukah tidak.

III. ALAT DAN BAHAN

Alat:

- Tabung reaksi dan rak tabung

- Spatula

- Hot plate

- Beaker glass

- Pipet tetes

Bahan:

- Sampel urine pada menit ke 120 menit dan 150 menit

- Naftoresorsinol

- HCl pekat

- Etil asetat

- BaCl2

- FeCl3

- Kertas indicator

- Aqua dest
IV. CARA KERJA

1. Uji naftoresorsinol untuk konjugat glukuronida

Rounded Rectangle: Setelah dingin ditambahkan 3ml etil asetat dikocok homogen ® terbentuk warna
ungu dalam lapisan organic ( asam glukuronat)

Rounded Rectangle: 0,5 ml urine + naftoresorsinol padat 2mg + HCl pekat 1ml ®dipanaskan selama 3
menit

2. Uji barium klorida untuk konjugat sulfat

Rounded Rectangle: 0,5 ml urin + BaCl2 2% ® BaSo4 mengendap, yang terbentuk dari sulfat anorganik
Rounded Rectangle: Ditambahkan 2 gtt HCl pekat , lalu dididihkan dalam lemari asam 3
menit.

Rounded Rectangle: Diatur pH urin (0,5 ml) pd 4-6.


3. Uji besi (III) klorida untuk fenol

Rounded Rectangle: 0,5 ml urin Ditambahkan gtt FeCl3 2%.

Rounded Rectangle: Diatur pH urin (0,5 ml) pd pH 7.

V. HASIL PENGAMATAN

GAMBAR

KETERANGAN
Uji naftoresorsinol untuk konjugat glukuronida

0,5 ml urine + naftoresorsinol padat 2mg + HCl pekat 1ml ®dipanaskan selama 3 menit.

Setelah dingin ditambahkan 3ml etil asetat dikocok homogen ® terbentuk warna ungu dalam lapisan
organic ( asam glukuronat)

Terbentuk warna ungu dalam lapisan organic menunjukkan adanya asam glukuronad.

120 menit 150 menit

Uji barium klorida untuk konjugat sulfat

Diatur pH urin (0,5 ml) pd 4-6. 0,5 ml urin + BaCl2 2% ® BaSo4 mengendap, yang terbentuk dari sulfat
anorganik.Kemudian diitambahkan 2 gtt HCl pekat , lalu dididihkan dalam lemari asam 3 menit.

Terbentuk endapan atau kekeruhan menunjukkan adanya konjugat sulfat

120 menit 150 menit

Uji besi (III) klorida untuk fenol


Diatur pH urin (0,5 ml) pd pH 7.

0,5 ml urin ditambahkan gtt FeCl3 2%

Penambahan Fe(Cl)3 menit ke 120 berwarna kuning kecoklatan dan menit ke 150 berwarna kuning
muda.

VI. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini telah dilakukan identifikasi kualitatif suatu senyawa obat yang telah dimetabolisme
oleh tubuh yang diekskresikan lewat urin untuk mengetahui apakah parasetamol masih tersisa di dalam
urin setelah rentang waktu tertentu . Obat yang kami gunakan pada percobaan ini adalah parasetamol.
Telah diketahui bahwa Parasetamol adalah drivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik /
analgesik. Paracetamol utamanya digunakan untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh
karena infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk
meringankan gejala nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi
karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.

Kami menggunakan parasetamol karena Parasetamol dapat diabsorpsi cepat dan sempurna
melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan massa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25% parasetamol
sehingga identifikasinya pun akan lebih mudah, Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom
hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasikan dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya
dengan dengan asam sulfat. Selain itu kedua obat ini dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil
hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Kedua obat ini
diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi. Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati. Metabolisme
utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat
ginjal sehingga kami mengidentifikasi senyawa ini dalam benttuk konjugatnya yaitu senyawa
glukoronida, sulfat dan fenol.

Langkah pertama dalam identifikasi ini yaitu seorang probandus harus meminum parasetamol 3-4
jam sebelum pengujian dilakukan dikarenakan parasetamol mencapai waktu paruh plasma antara 1-3
jam kemudian dieliminasikan. Langkah selanjutnya yaitu Pengambilan cuplikan urin dilakukan dalam
selang waktu 120 dan 150 menit. Langkah selanjutnya yaitu dilakukan pengujian dengan cara, setiap
cuplikan urin dibagi menjadi 2 tabungh reaksi kemudian dilakukan uji glukoronida, sulfat dan fenol.

Tahap pertama yang dilakukan adalah uji naftoresorsinol untuk konjugat glukuronida dilakukan
dengan cara memanaskan 0,5 ml cuplikan urin ditambahkan naftoresorsinol padat secukupnya serta
ditambahkan dengan HCL pekat 1ml kemudian didinginkan. setelah dingin kemudian ditambah dengan
etil asetat sebanyak 3ml, dikocok hingga homogen, akan terbentuk warna ungu bila positif mengandung
asam glukoronat.

Tahap kedua adalah uji barium klorida untuk konjugat sulfat dilakukan dengan cara mereaksikan urin
sebanyak 0,5 ml cuplikan urin kemudian ditambahkan BaCl 2% kemudian terbentuk dua lapisan,
kemudian ditambahkan dengan 2 tetes HCl pekat, dan dididihkan di lemari asam selama 3 menit,
kemudian amati yang terjadi “terbentuknya endapan atau kekeruhan menunjukan adanya konjugat
sulfat”.

Tahap ketiga adalah uji besi (III) klorida untuk fenol dilakukan dengan cara mereaksikan 0,5 ml cuplikan
urin dengan FeCl3 2% kemudian diamati perubahannya “ perubahan warna menjadi ungu menunjukan
adanya senyawa fenol”.

Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pada pengujian konjugat glukoronida cuplikan pada
menit ke 120 ,menunjukan positif adanya asam glukoronat karena terbentuknya warna ungu setelah
direkasikan. Sementara pada cuplikan menit ke 150 tidak didapatkan asam glukoronat karena pada
pengujiannya dengan naftoresorsinol dengan HCl pekat tidak menimbulkan warna ungu sehingga
negative terdapat asam glukoronat.

Pada pengujian konjugat sulfat kedua cuplikan yaitu menit ke 120 berwarna lebih bening dan terdiri dua
lapisan yang tinggi lapisan bagian bawah lebih banyak dari lapisan bagian atas.Pada menit ke 150
terlihat lebih keruh dan terdiri dari dua lapisan bagian dan bawah sama banyak.menunjukan hasil yang
positif dikarenakan terbentuknya endapan atau kekeruhan setelah dilakukan pengujian dengan BaCl 2%
den 2 tetes HCl pekat. Terbentuk endapan putih yang menunjukkan adanya belerang anorganik, reaksi
yang terjadi adalah :

BaCl2 + SO42- → BaSO4 + 2 Cl-

Pada pengujian fenol jika cuplikan positif berwarna ungu atau hijau setelah direaksikan, menunjukkan
adanya senyawa fenol. Namun, dari hasil praktikum tidak menghasilkan larutan berwarnaungu hanya
menjadi kuning disertai endapan putih pada kedua tabung setelah pemanasan. Pada tabung reaksi
menit ke 120 berwarna kuning kecoklatan + endapan putih dan tabung reaksi menit ke 150 berwarna
kuning lebih muda + endapan putih.Hal ini, menunjukkan tidak adanya fenol dalam cuplikan sampel
urine tersebut yang seharusnya menghasilkan warna ungu atau hijau yang menandakan positif jika ada
fenol.
VII. KESIMPULAN

1. Identifikasi kualitatif suatu senyawa obat yang telah dimetabolisme oleh tubuh yang diekskresikan
lewat urin bertujuan untuk mengetahui apakah parasetamol masih tersisa di dalam urin setelah rentang
waktu tertentu.

2. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan massa paruh plasma antara 1-3
jam.

3. Pengujian konjugat glukoronida pada cuplikan urin menit ke 120 positif adanya asam glukoronat
karena terbentuknya warna ungu dan menit ke 150 negatif tidak terbentuk warna ungu.

4. Pengujian konjugat sulfat kedua cuplikan yaitu menit ke 120 berwarna lebih bening dan Pada menit
ke 150 terlihat lebih keruh menunjukan hasil yang positif dikarenakan terbentuknya endapan atau
kekeruhan.

5. Pengujian fenol pada tabung reaksi menit ke 120 berwarna kuning kecoklatan + endapan putih dan
tabung reaksi menit ke 150 berwarna kuning lebih muda + endapan putih menunjukkan tidak adanya
fenol dalam cuplikan sampel urine tersebut yang seharusnya menghasilkan warna ungu atau hijau yang
menandakan positif jika ada fenol.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

1. http://filzahazny.wordpress.com/2009/07/10/urin/

2. http://barbienetter.blogspot.com/2010/01/laporan-biokimia-analisis-urine.html

3. Shargel, Leon.2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Ed.II. Surabaya: Air Langga
University Press

4. http://ababils-medicine.blogspot.com/2009/04/bioavailabilitas-parasetamol.html

Unknown di 21.51
Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beranda

Lihat versi web

About Me

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai