Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Tujuan
Adapun tujuan dari prakrikum ini adalah untuk memeberikan pengetahuan kepada
mahasiswa agar mampu mengetahui bagai mana cara identifikasi dan penetapan kadar
parasetamol didalam urine/darah.

1.2. Landasan teori

Parasetamol (Acetamenopen) adalah turunan dari senyawa sintetis dari paminofenol yang
merupakan metabolit aktif dari fenasetin, namun tidak memiliki sifat karsinogenik
(menyebabkan kanker) seperti halnya fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal, meskipun
secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja
antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika,
dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol (Wilmana, 1995).
Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan
atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para. Senyawa ini dapat disintesis dari senyawa asal
fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol dapat pula
terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat (Hardman,
2001).

Struktur acetaminophen (Ditjen POM, 1995)


A. Farmakokinetik
Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan mencapai kadar
serum puncak dalam waktu 30 – 120 menit. Adanya makanan dalam lambung akan
sedikit memperlambat penyerapan sediaan parasetamol lepas lambat. Parasetamol
terdistribusi dengan cepat pada hampir seluruh jaringan tubuh. Lebih kurang 25%
parasetamol dalam darah terikat pada protein plasma.
Waktu paruh parasetamol adalah  antara 1 – 3 jam. Parasetamol diekskresikan melalui
urine  sebagai metabolitnya,  yaitu asetaminofen glukoronid, asetaminofen sulfat,
merkaptat dan bentuk yang tidak berubah.
Sebagian asetaminofen 80% dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil
lainnya dengan asam sulfat. Selain itu dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil
hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini
diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar
dalam bentuk terkonjugasi.
B.  Analisis Parasetamol
Parameter farmakokinetika obat dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar
obat utuh dan / atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin, saliva atau cairan
tubuh lainnya).
Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetik obat dapat dipercaya, metode
penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria yaitu meliputi perolehan kembali
(recovery), presisi dan akurasi.Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa adalah
jika metode tersebut dapat memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi (75-90% atau
lebih), kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10%.
Kepekaan dan selektivitas merupakan kriteria lain yang penting dan nilainya
tergantung pula dari alat pengukur yang dipakai. Dalam percobaan ini akan dilakukan
langkah-langkah yang perlu dikerjakan untuk optimalisasi analisis meliputi:
1. Penentuan jangka waktu larutan obat yang memberikan resapan tetap (khusus untuk
reaksi warna).
2. Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan maksimum
(parasetamol).
3.  Pembuatan kurva baku (parasetamol).
4. Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik.
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai
sirkulasi sistemik dan secara keseluruhan menunjukkan kinetic dan perbandingan zat
aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan
hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan bagian dari salah satu
tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang terpenting untuk keefektifan obat tersebut.
Pegkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi obat ke dalam
sirkulasi umum serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut. Dalam menaksir
ketersediaan hayati ada tiga parameter yang biasanya diukur yang an profil konsentrasi
dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan.
Konsentrasi puncak (Cmax), menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam
sirkulasi sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis, volume
distribusi dan waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah. Konsentrasi
puncak sering kali dikaitkan dengan intensitas respon biologis dan harus di atas MEC dan
tidak melebihi MTC.
Waktu untuk konsentrasi puncak (tmax) menggambarkan lamanya waktu tersedia
untuk mencapai konsentrasi puncak dari obat sirkulasi sistemik. Parameter ini tergantung
pada konstanta absorbs yang menggambarkan permulaan dari level puncak dari respon
biologis dan bias digunakan sebagai perkiraan kasar untuk laju absorbsi.Luas daerah di
bawah kurva (AUC), merupakan total area di bawah kurva konsentrasi vs waktu yang
menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada dalam sirkulasi sistemik. Bila
membandingkan suatu formulasi untuk acuan, parameter ini menggambarkan jumlah
ketersediaan hayati dan biasa digunakan sebagai perkiraan kasar jumlah obat diabsorbsi.
Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannya tidak perlu
diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah, yaitu:
1.      Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita,
artinya penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap penderita, dengan
mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik karena interaksi obat
maupun karena fungsi fisiolagi.
2.      Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu
penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik
farmakokinetika zat aktif.
Kedua arah pengembangan tersebut tercakup dalam lingkup penelitian
biofarmasetika dan berkaitan dengan penyesuaian pada kurva profil kadar zat aktif dalam
darah penderita dan efek yang diteliti.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1.      Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.
2.      Kecapatan obat yang diabsorbsi.
3.      Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan
respon pasien.
4.      Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas.
Metode penilaian ketersediaan hayati.
Penelitian ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan beberapa
metode:
a.       Metode dengan menggunakan data darah
b.      Data urin
c.       Data efek farmakologis
d.      Data respon klinis
Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis untuk penetapan
kadar obat dan sifat produk obat. Data darah dan data urin lazim digunakan untuk menilai
ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiat telah diketahui cara
dann validitasnya. Jika cara dan validitasnya belum diketahui dapat digunakan data
farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif,
seperti efek pada kecepata denyut jantung atau tekanan darah yang dapat digunakan
sebagai indeks ketersediaan hayati obat. Untuk evaluasi ketersediaan hayati
menggunakan data respon klinis dapat mengalami perbedaan antar individu akibat
farkokinetika dan farmakodinamik obat yang berbeda. Factor farmakodinamik yang
berpengaruh meliputi: umur, toleransi obat, interaksi obat dan factor-faktor patofisiologik
yang tidak diketahui.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati oabat yang digunakan secara
oral:
1)      Sifat fisikokimia zat aktif.
a.       Bentuk isomer; alkaloid-alkaloid dan steroid-steroid terdapat dalam bentuk isomer,
seperti misalnya isomer d atau l. seringkali yang aktif atau diaktif hanya salah satu saja,
misalnya d-etambutol, d-propoksipen, d-amfetamin, l-kloramfenikol.
b.      Polimorfisme; bentuk kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan kemudian
cepat terabsorbsi daripada bentuk kristalnya yang stabil, misak kloramfenikol mempunyai
2 bentuk polimorf A dan B; kristal bentuk A bersifat tidak aktif.
c.       Ukuran partikel; bila ukuran partikel lebih kecil maka luas permukaan akan besar
sehingga obat – obat akan cepat melarut dan diabsorbsi.
d.      Hidrat dan solvate; kadang – kadang beberapa bahan obat cenderung untuk
mengikat beberapa molekul pelarut. Ikatan ini disebut solvate, dan kalau pelarutnya
adalah air maka ikatan ini disebut hidrat. Ampisilin anhidrat lebih mudah larut
dibandingkan ampisilin trihidrat, sehingga pemakaian peroral akan memberiakan blood
level yang tinggi.
e.       Bentuk garam, ester dan lainnya; gugusan estolat dari eritromisin estolat dapat
menyebabkan hepatotoksisitas, sedangkan stearatnya tidak. Tapi sifat fisik eritromisin
mempersulit pengisian dalam jumlah yang cukup ke dalam kapsul yang berukuran wajar.
Pemadatan yang tidak tepat atas bahan baku ini sebaliknya dapat menimbulkan persoalan
disolusi dan ketersediaan hayati.
f.       Kemurnian; bahan baku penisilin yang tidak murni bias mengandung
mikrokontaminan berupa hasil degradasi penisilin sendiri bahkan inferior ini yang dapat
menyebabkan alergi. Namun meskipun telah menggunakan bahan – bahan baku murni
jika cara dan kondisi produksi dalam hal ini kebersihan,temperature, dan kelembapan
kurang baik, bahan penisilin akan menimbulkan efek samping yang sama.
Bahan – bahan pembantu; banyak obat – obatan dimana pengaruh bahan – bahan
pembantu dapat merubah secara drastic pola absorbsinya dan oleh karena itu efek terapi
dan toksisitasnya juga berpengaruh, seperti meningkatnya toksisitas fenitoin setelah
bahan pembantu yang semula dipakai CaSO4 diganti dengan laktosa.
2)      Cara – cara prosesing
a.       Formulasi obat yang sudah baik dalam suatu pabrik bisa sama sekali berubah bila
dibuat oleh pabrik lain dengan menggunakan alat – alat yang berbeda. Hal ini menjadi
masalah kritis apabila digunakan untuk memproduksi tablet – tablet dengan kadar zat
khasiat yang rendah seperti digoksin 0,25 mg/tablet 200 mg.
b.      Ruangan dan kondisi – kondisinya ( temperature, kelembaban, penerangan, dan
sebagainya ) yang memenuhi syarat. Misalnya pada pembuatan sediaan tetrasiklin yang
merupakan bahan baku yang kurang stabil pada kondisi tertentu sehingga dapat
mengakibatkan penguraian tetrasiklin menjadi nonaktif, hepatotoksik, dan nefrotoksik.
c.       Tenaga – tenaga yang kompeten.
d.      Dikerjakan dengan system produksi dan system control yang baik. Dalam hal ini
persyaratan – persyaratan Good Manufacturing Practices ( GMP ) menjadi penting.
BAB II
ISI

2.1 Identifikasi parasetamol didalam urine

A. Prinsip :
Parasetamol diekstraksi menggunakan pelarut eter dari urine pada pH sesuai pKa
parasetamol. Pelarut diuapkan lalu dilakukan identifikasi terhadap parasetamol.

B. Alat dan bahan :


Tabung berskala
Cawan penguap
Penangas air
Penjepit tabung
Pereaksi Libermann (1 gram NaNO2 dalam 10ml H2SO4 pekat)

C. Cara Kerja :
1. Sample urine atau serum dimasukkan sebanyak 2ml dalam tabung berskala,
diasamkan dengan HCl 2N sampai pH 3 – 4
2. Diekstraksi 5 menit dengan 5ml eter, dilakukan sebanyak dua kali
Fase eter dipisahkan dan diuapkan sampai kering diatas penangas air (suhu 40º C)
3. Pada sisa penguapan ditambah 3 tetes pereaksi Liberann, amati warna violet
4. Buatlah control negative dan positif

D. Hasil
Probandus
Nama : Riza Perdana
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Bahan pereaksi Sample Kontrol positif Kontrol negatif

Libermann

2.2 Identifikasi parasetamol didalam darah


A. Prinsip :
B. Alat :
labu takar
pipet volume
tabung reaksi
pipet ukur
spektrofotometer
scalpel
sentrifuge
stopwatch
kalkulator
kertas grafik numeric
E. Bahan :
Asamtrikloroasetat (TCA) 20
Natrium Nitrit 10%
Amonium sulfamat 15%
Parasetamol
Natrium Hidroksida 10%
HCl 6N
Antikoagulan
Darah

F. Cara kerja :
1. Stok sampel dibuat dengan cara: ditimbang 50 mg parasetamol dan dilarutkandengan
aquadest panas secukupnya
2. Dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian di-add aquades sampai tanda
3. Untuk mendapatkan larutan intermediet untuk sampel, dipipet sebanyak 3, 4, dan7
mL dari larutan stok, kemudian di-add hingga 10 mL
4. Masing-masing larutan intermediate diambil 250 L kemudin ditambahkandengan 250
L plasma sehingga didapatkan kadar larutan intermediet sebesar 150,200, 350g/mL
5. Dicampur homogen dan ditambah sebanyak 2 mL TCA, di-vortex, lalu di-sentrifuge
dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit
6. Diambil 1,5 mL, kemudian di-add aquades 10 mL
7. Ditambahkan 0,5 mL HCl 6 N dan ditambahkan (perlahan) 1 mL NaNO210 %,
dihomogenkan dengan vortex, lalu didiamkan OT
8. Ditambah 1,0 mL Amonium Sulfamat 15 %, ,.Ditambah 3,5 mL NaOH 10 % add
aquadest hingga tanda, di-degassing 10 menit
9. Dibaca absorbansi pada λ max
10. Dihitung :Perolehan Kembali (recovery) = x 100% = P %
Kesalahan Sistematik = 100 – P%
Kesalahan Acak =
BAB III
PEMBAHASAN

Anda mungkin juga menyukai