Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II

PERCOBAAN I
PENETAPAN WAKTU PENGAMBILAN CUPLIKAN DAN ASUMSI MODEL
KOMPARTEMEN SERTA PEMILIHAN DOSIS DALAM FARMAKOKINETIKA

Disusun oleh :
Kelas : A
Golongan/Kelompok : I / C

Nama NIM Tanda Tangan


1. Luky Oktaviasari (FA/09138)
2. Anggi Rista W (FA/09141)
3. Ria Fasyah F (FA/09144)
4. I’in Inayatul Ula (FA/09147)
5. Riana Kusniawati (FA/09150)

Hari/Tanggal Praktikum : Rabu/2 Oktober 2013


Nama Dosen Jaga : Arief Rahman Hakim, M.Si.,Apt.
Nama Asisten Jaga : 1. Tantri
2. Arini
3. Alia
4. Bahrul

Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi


Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi UGM
2013
PERCOBAAN I

PENETAPAN WAKTU PENGAMBILAN CUPLIKAN DAN ASUMSI MODEL


KOMPARTEMEN SERTA PEMILIHAN DOSIS DALAM FARMAKOKINETIKA

A. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu menetapkan jadwal dan jumlah pencuplikan untuk pengukuran
parameter farmakokinetik berdasarkan model kompartemen suatu obat.
2. Mahasiswa mampu menggunakan dosis yang tepat untuk subjek uji.
3. Mahasiswa mampu memperkirakan model kompartemen berdasarkan kurva
semilogaritmik kadar obat dalam plasma/darah lawan waktu.

B. DASAR TEORI
Farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan
eliminasi (yakni, ekskresi dan metabolisme) obat pada manusia atau hewan dan
menggunakan informasi ini untuk meramalkan efek perubahan-perubahan dalam takaran,
rejimen takaran, rute pemberian, dan keadaan fisiologis pada penimbunan dan disposisi
obat (Lachman, 1989).
Penelitian farmakokinetik suatu zat aktif merupakan penelitian identifikasi dan
penetapan konsentrasi obat dalam tubuh sebagai fungsi waktu sehingga dapat
menggambarkan model parametrik yang khas. Obat yang masuk ke dalam tubuh akan
mengikuti suatu model farmakokinetik yang khas. Model tersebut dapat berupa model satu
kompartemen atau multi kompartemen yang sangat tergantung pada proses yang dialami
zat aktif selama dalam tubuh (Shargel, 2005).
Profil dan model farmakokinetik yang didapat dari penelitian umumnya dilakukan dengan
pemberian obat secara intravena. Tubuh manusia dapat diwakili sebagai suatu jaringan
yang tersusun secara sistem seri dari kompartemen-kompartemen yang berhubungan
secara reversibel antara organ yang satu dengan yang lainnya. Model kompartemen adalah
pendekatan penyederhanaan dari seluruh jaringan didalam tubuh ke dalam satu atau dua
kompartemen yang menggambarkan pergerakan obat di dalam tubuh (Shargel, 2005).
Secara konseptual, obat bergerak masuk dan keluar kompartemen secara dinamik.
Tetapan laju reaksi digunakan untuk menyatakan semua proses laju obat masuk dan keluar
dari kompartemen. Beberapa model kompartemen yang sudah dikenal adalah sebagai
berikut :
1. Model Mammillary
Model mammillary terdiri atas satu atau lebih kompartemen perifer yang
dihubungkan ke suatu kompartemen sentral. Kompartemen sentral mewakili plasma
dan jaringan perfusinya yang tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan
obat. Jumlah obat dalam setiap kompartemen dalam sistem tersebut dapat
diperkirakan setelah obat dimasukkan ke dalam suatu kompartemen tertentu.
Eliminasi obat dari kompartemen sentral terjadi karena organ-organ yang terlibat
dalam eliminasi obat terutama ginjal dan hati merupakan jaringan yang diperfusi
secara baik.
2. Model Catenary
Model Catenary terdiri atas kompartemen-kompartemen yang bergabung satu
dengan yang lain menjadi satu deretan kompartemen. Oleh karena itu, model
catenary tidak dapat digunakan pada sebagian besar organ yang fungsional dalam
tubuh yang secara langsung berhubungan dengan plasma.
3. Model Fisiologik (Model Aliran)
Model fisiologik merupakan model farmakokinetik yang didasarkan atas data
anatomik dan fisiologik yang diketahui. Pada model ini, tidak dibutuhkan data yang
tepat dalam model perfusi. Pengaruh perubahan-perubahan aliran darah, ukuran
jaringan dan perbandingan obat dalam jaringan darah harus diperhitungkan karena
berhubungan dengan kondisi patofisiologik. Model ini dapat memberikan
farmakokinetika pada manusia dari data hewan (Shargel, 2005).

Model satu kompartemen

Model ini merupakan suatu model yang sangat sederhana dan manusia
dipandang sebagai suatu ruangan berisi cairan homogen. Obat diberikan secara
intravena yang selanjutnya akan mengalami metabolisme atau ekskresi keluar tubuh.
Pada saat permulaan, konsentrasi obat adalah

Q
C ( O )=
VD

dengan Q : jumlah obat

VD : jumlah kompartemen tubuh


Untuk kebanyakan obat, kita menganggap bahwa kecepatan eliminasi oleh
metabolisme dan ekskresi adalah proporsional (berbanding lurus) dengan konsentrasi
obat. Maka : kecepatan eliminasi metabolisme = CLeks . C

kecepatan eliminasi ekskresi = CLexc . C

kecepatan eliminasi keseluruhan = CLs . C

dengan : Cla = bersihan sistematik = CLmet + CLeks

Jadi, kecepatan eliminasi dari obat keluar tubuh setiap waktu adalah sama
dengan jumlah kecepatan metabolism dan kecepatan ekskresi obat.

Parameter yang penting diketahui yang berhubungan dengan eliminasi obat


adalah waktu-paruh eliminasi atau t1/2. Waktu paruh dapat didefinisikan sebagai waktu
yang dibutuhkan suatu obat agar konsentrasinya menjadi separuhnya (50%) dari
konsentrasi semula. Efek obat akan lebih panjang bila mempunyai waktu paruh yang
panjang. Sebaliknya, efek obat akan singkat bila mempunyai waktu paruh yang pendek.
Waktu paruh ini dipengaruhi oleh konstanta kecepatan eliminasi (kel) dan volume
distribusi (VD) dari obat yang bersangkutan.

Model dua kompatemen

Pada model farmakokinetik ini, jaringan-jaringan tubuh disatukan menjadi satu


“kompartemen perifer”, sedangkan sirkulasi darah (plasma) merupakan suatu
kompartemen yang disebut “kompartemen sentral”.

Kedua kompartemen ini saling berhubungan, tetapi molekul-molekul obat


hanya dapat masuk dan keluar tubuh melalui kompartemen sentral. Model dua
kompartemen ini sebenarnya merupakan modifikasi dari model satu kompartemen.
Dengan modifikasi ini, bisa diterangkan kemungkinan terjadinya kejenuhan dari enzim-
enzim metabolism obat, dan ini menyebabkan degradasi obat yang ttidak meningkat
tanpa batas. Sering juga terjadi transfer obat antara kompartemen sentral dan
kompartemen perifer yang relatif lebih cepat daripada kecepatan eliminasi obat, yaitu
dengan terjadinya perpindahan yang cepat dari plasma ke jaringan-jaringan sehingga
degan cepat menurunkan konsentrasi obat dalam plasma. Peristiwa ini sering disebut
sebagai redistribusi.
Pada beberapa keadaan ketika obat-obat diinaktifkan melalui penghancuran
metabolic (misalnya etanol, fenitoin, salisilat, hidralazin), menghilangnya obat dari
plasma darah tidak mengikuti pola eksponensial (kinetika orde pertama) yang biasa,
melainkan mengikuti kinetika orde nol (kinetika penjenuhan). Pada zero-order kinetics,
obat dikeluarkan dari tubuh dengan kecepatan konstan, tidak bergantung pada
konsentrasi obat dalam plasma, sedangkan pada kinetika order pertama eliminasi obat
bergantung pada kadar plasma, makin tinggi kada obat dalam plasma; makin banyak
obat yang dieliminasikan per unit waktu, jadi, pada kinetika penjenuhan hubungan
antara dosis dan konsentrasi keadaan mantap dalam plasma adalah curam dan sukar
diramalkan karena tidak menuruti aturan proporsional yang berlaku pada kebanyakan
obat. Keadaan ini terjadi pada obat-obat, seperti fenitoin, yang jika pada suatu saat
enzim metabolism sudah jenuh, penambahan dosis sedikit saja lebih tinggi dari
biasanya, akan menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma yang tinggi dan timbil
gejala toksik. Jadi, kadar plasma fenitoin harus selalu dipantau untuk memperoleh efek
terapi yang optimal (Anonim, 2008).

Pemodelan farmakokinetik berguna untuk :

1. Memprediksikan konsetrasi obat di dalam plasma, jaringan, dan urin


2. Mengkalkulasikan dosis optimum obat bagi setiappasien
3. Mengestimasikan kemungkinan terakumulasinya obat dan atau produk-produk
metabolismenya
4. Mengkorelasikan konsentrasi obat dengan efek toksisistas dan efek farmakologinya
5. Mengevaluasi perbedaan konsentrasi yang terkandung dalam plasma antara formula
yang satu dengan yang lainnya
6. Menjelaskan bagaimana pengaruh perubahan fisioligi dan efek dari penyakit
terhadap absorpsi, distribusi dan eleminasi dari suatu obat
7. Menjelaskan interaksi obat yang mungkin terjadi (Shargel, 2005).

Dalam suatu proses analisis data farmakokinetika, diperlukan kurva yang


menggambarkan perbandingan antara konsentrasi obat dengan waktu. Kurva ini
diperoleh dengan memberikan suatu sediaan kepada subjek uji, lalu sampel darah
diambil pada periode tertentu dan diukur kadar obatnya, sehingga dapat diperoleh kurva
V vs t. Dari kurva tersebut, dapat diperoleh berbagai parameter farmakokinetika sebagai
berikut :
1. Konsentrasi efektif minimum (KEM) : konsentrasi minimum obat dalam darah yang
dapat menimbulkan efek
2. Konsentrasi toksik minimum (KTM) : konsentrasi minimum obat dalam darah yang
dapat menimbulkan efek toksis terkait dosisnya
3. Jendela teurapetik : selisih antara KEM dan KTM
4. Onset : waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai KEM
5. Durasi : Lamanya obat menimbulkan efek
6. Konsentrasi puncak (Cmax) : konsentrasi obat tertinggi yang dapat dicapai dalam
darah
7. Waktu puncak (Tmax) : waktu yang diperlukan untuk mencapai Cmax dalam darah
8. Daerah dalam kurva (AUC) : daerah keseluruhan yang terbentuk di bawah kurva
sejak awal pemberian hingga proses eliminasi
9. Volume distribusi (Vd) merupakan volume cairan tubuh yang diperlukan untuk
melarutkan obat pada konsentrasi yang sama dalam darah.
10. Tetapan laju eliminasi (Kel) adalah laju pengeluaran obat per satuan waktu dalam
bentuk pecahan
11. Waktu paruh eliminasi (t ½) adalah waktu menurunnya konsentrasi obat dalam
plasma menjadi setengah dari jumlah awalnya (Ansel, 2006).

C. ALAT DAN BAHAN


Alat : Hewan Uji:
- Tabung reaksi 1. Tikus
- Tabung eppendorf 2. Kelinci
- Tikus holder
- Stopwatch
- Labu takar 5 mL
- Beker glass 100 mL
- Mikropipet + bluetip
- Pipet Volume
- Sentrifugator
- Vortex
- Spektrofotometer visible
- Kuvet
- Alat timbang
- Alat injeksi
- Skapel/silet
- Kertas grafik numeric dan semilog

Bahan :

- Darah tikus
- Larutan Sulfametoksazol 10 mg/ml atau 20 mg/ml (sampel) dan 1 mg/ml (kurva
baku)
- Antikoagulan heparin
- Asam trikloroasetat (TCA) 5%
- Natrium nitrit (NaNO2) 0,1%
- Ammonium sulfamat 0,5%
- N(1-naftil) etilendiamin 0,1%
- Aquadest

D. CARA KERJA
1.Pembuatan kurva baku
Stok sulfametoksazol diencerkan dengan akuades ad 5 ml, sehingga diperoleh kadar
sulfametoksazol: 5, 10, 25, 50, 100, dan 200 µg/ml

Ke dalam 6 tabung yang berisi darah blanko (250 µl) yang mengandung
antikoagulan heparin, ditambahkan 250 µl larutan sulfametoksazol sehingga
kadarnya 5, 10, 25, 50, 100, dan 200 µg/ml darah

Dicampur hingga homogen

Untuk blanko, ditambahkan darah blanko (250 µl) dengan akuades 250 µl

Semua tabung ditambahkan 2,0 ml TCA 5%

Divortex selama 5 menit, 2500 rpm


Ke dalam 250 µl sampel darah (hasil sampling) dari hewan uji yang mengandung
antikoagulan ditambahkan 250 µl akuades

Dicampur hingga homogen

Ditambahkan 2,0 ml TCA 5%

Dicampur homogen dengan vortexing

Disentrifuge campuran (10 menit, 2500 rpm)

Diambil supernatant sebanyak 1,5 ml dan diencerkan dengan akuades 2,0 ml

Ke dalam tiap tabung ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) kemudian
didiamkan selama 3 menit

Ditambahkan larutan ammonium sulfamat (0,2 ml; 0,5%) kemudian didiamkan


selama 2 menit

Ditambahkan larutan N(1-naftil) etilendiamin (0,2 ml; 0,1%), dicampur baik-baik


kemudian didiamkan di tempat gelap selama 5 menit

Larutan dipindahkan ke dalam kuvet

Dibaca intensitas warna pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 545 nm

Dihitung persamaan kurva baku

2.Penetapan kadar sampel

Praktikan dalam satu golongan dibagi menjadi 4 kelompok

Tiap kelompok mendapat 1 ekor hewan uji, yaitu:


Kelompok Hewan Uji Dosis Sulfametoksazol (mg/kg BB) Cara pemberian
A Tikus 75 Peroral
B Tikus 150 Peroral
C Tikus 300 Peroral
D Kelinci 100 Peroral

Ditimbang bobot hewan uji

Diambil darah blanko untuk kurva baku sulfametoksazol dalam darah, untuk tikus
sebanyak 1 ml dan kelinci sebanyak 2 ml

Diberikan sulfametoksazol sesuai dengan dosis dan cara pemberian yang ditentukan

Dilakukan pencuplikan darah pada waktu-waktu 5,10,15,30,45,60,75,90 menit


setelah obat diberikan melalui vena lateralis pada tikus dan melalui vena marginalis
untuk kelinci

Darah ditampung ke dalam ependorf yang telah diberi herparin sebanyak 10 tetes
(untuk tikus 0,2 ml dan untuk kelinci 0,5 ml)

Ditambahkan 250 µl akuades dan TCA 5% sebanyak 2 ml

Dilakukan vortexing dan sentrifuge 2500 rpm selama 10 menit

Diambil supernatan sebanyak 1,5 ml dan diencerkan dengan akuades 2,0 ml

Ke dalam tiap tabung ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) kemudian
didiamkan selama 3 menit

Ditambahkan larutan ammonium sulfamat (0,2 ml; 0,5%) kemudian didiamkan


selama 2 menit
Ditambahkan larutan N (1-naftil) etilendiamin (0,2 ml; 0,1%), dicampur baik-baik
kemudian didiamkan di tempat gelap selama 5 menit

Dibaca intensitas warna pada spektrofotometer visible dengan panjang gelombang


545 nm

Serapan sampel yang terukur kemudian dihitung kadarnya menggunakan kurva


baku sulfametoksazol dalam darah

3.Analisis data

Dihitung kadar sulfametoksazol dalam darah tiap-tiap waktu sampling

Dibuat persamaan regresi linier ln C vs t, digambar grafik

Ditentukan model kompartemen berdasarkan grafik

Dihitung parameter-parameter farmakokinetik (AUC, t ½ eliminasi, dan lain-lain)

E. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN


a. Data Percobaan
 Kurva baku tikus dan kelinci
Bobot Kelinci I : 3,0 kg dosis: 100 mg/kg BB

Kadar larutan stok : 20 mg/ml

BB x dosis 3 x 100
Vsulfametoksazol: = =15 ml
stok 20

 Tikus
Bobot Tikus I : 396,8 g dosis 75 mg/kg BB
Kadar Larutan stok I : 10 mg/ml
Bobot Tikus II : 294 g dosis 150 mg/kg BB
Bobot Tikus III : 294 g dosis 300 mg/kg BB
Kadar Larutan stok II dan III : 20 mg/ml
BB(g)×dosis(mg/kg BB)
Volume sulfametoksazol =
1000 × stok ¿¿

396,8× 75
Tikus I : =¿ 2,976 mL
1000× 10

294 ×150
Tikus II : =2,205 mL
1000× 20

294 ×300
Tikus III : =¿ 4,41 mL
1000× 20

Kadar (g/ml) Absorbansi kelinci Absorbansi tikus


5 0.101 * 0.180 *
10 0.091 0.094
25 0.105 0.088 *
50 0.110 0.122
100 0.172 0.133
200 0.270 0.197
* : direject

Persamaan regresi linear kurva baku tikus, didapatkan:


A = 0,0757
B = 9,601 . 10-4
r = 0,9942
jadi : y = 9,601 . 10-4 x + 0,0757

Persamaan regresi linear kurva baku kelinci, didapatkan:


A = 0,0893
B = 5,2475 . 10-4
r = 0,9888
jadi, y = 5,2475 . 10-4 x + 0,0893

DATA Absorbansi:
Absorbansi 5’ 10’ 15’ 30’ 45’ 60’ 75’ 90’
Tikus A - 0.151 0.248 0.162 0.196 0.189 0.277 0.287
Tikus B 0.123 0.127 0.144 0.145 0.174 0.121 0.129 0.124
Tikus C 0.161 0.185 0.161 0.273 0.265 0.182 0.137 0.151
Kelinci - 0.107 0.089 0.094 0.103 0.111 - 0.116

b. Perhitungan
TIKUS A

 Perhitungan Kadar Sulfametoksazol dalam Darah tikus (Cp)


Persamaan Kurva Baku  y = 9,601 . 10-4 x + 0,0757

y−0,0757 y−0,0671
x= x=
0,0009601 0,0009

y = Absorbansi

x = Cp (g/mL)

Mencari nilai Cp

t=5 menit  Kadar tidak dapat ditentukan karena tidak ada data absorbansi

0,151−0,0757
t=10 menit  x= =78,43 µ g /ml
0,0009601

0,248−0,0757
t=15 menit  x= =179,46 µ g/ml
0,0009601

0,162−0,0757
t=30 menit  x= =89,89 µ g/ml
0,0009601

0,196−0,0757
t=45 menit  x= =125,30 µ g/ml
0,0009601

0,189−0,0757
t=60 menit  x= =118,01 µ g/ml
0,0009601

0,277−0,0757
t=75 menit  x= =209,67 µ g /ml
0,0009601
0,287−0,0757
t=90 menit  x= =220,08 µ g/ml
0,0009601

Cp Ln Cp
Waktu Abs tikus I
(g/mL) (g/mL)
5 - - -
10 0.151 78,43 4,36
15 0.248 179,46 5,19
30 0.162 89,89 4,50
45 0.196 125,30 4,83
60 0.189 118,01 4,77
75 0.277 209,67 5,35
90 0.287 220,08 5,39

Cp (µg/ml) vs Waktu (menit)


250

200

150
Cp (µg/ml)
Cp

100

50

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Waktu
Ln Cp (µg/ml) vs Waktu (menit)
10

Axis Title 1 Ln Cp (µg/ml)

0.1
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Axis Title

 Penentuan Parameter-Parameter Farmakokinetika

 Fase Eliminasi
Dilakukan regresi linier terhadap 3 data yaitu data menit ke-60, 75, dan 90
y → ln Cp
x→ Waktu ( menit )
Diperoleh hasil:
A = 3 . 62
B = 0 . 0207
R= 0.893
y=Bx+ A
Y =0 .0207 x +3 . 62
ln Cp=−k .t +ln B
ln Cp = 3 . 62 + 0 . 0207t
K eliminasi = - 0 . 0207/menit

ln B = 3 . 62

B = 37.33 (intersep)

 t ½ eliminasi
0,693
t½¿
k
0,693
¿
−0.0207
= -33.478 menit

t sampling
3 – 5x T½
3 x -33.478 = 100.434 menit
5 x -33.478 = 167.39 menit
Jadi, t sampling = 100.434 – 167.39 menit

 Fase Absorbsi
Menghitung Cp ekstrapolasi (Cp’) dari 4 kadar pertama memakai persamaan fase
eliminasi. Regresi linier t vs ln Cr digunakan 4 titik pertama yaitu pada menit ke-10, 15,
30, dan45

ln Cp’ = 3 . 62 + 0 . 0207t
Cr=C p' −Cp
o Menit ke-10
ln Cp’ = 3 . 62 + 0 . 0207 (10)
ln Cp’ = 3.827
Cp’ = 45.92 µg/ml
Cp = 78.43
Cr = -32.51
o Menit ke-15
ln Cp’ = 3 . 62 + 0 . 0207 (15)
ln Cp’ = 3.930
Cp’ = 50.90 µg/ml
Cp = 179.46
Cr = -128.56
o Menit ke-30
ln Cp = 3 . 62 + 0 . 0207 (30)
ln Cp =4.241
Cp’ = 69.47 µg/ml
Cp = 89.89
Cr = -20.42
o Menit ke-45
ln Cp = 3 . 62 + 0 . 0207 (45)
ln Cp =4.5515
Cp’ = 94.77 µg/ml
Cp = 125.30
Cr = -30.53

Data perhitungan kadar residual

Selisih
Waktu (menit) Cp (µg/ml) Cp’(µg/ml) Ln (cp’-cp)
Cp‘-cp(µg/ml)
10 78,43 45.92 -32.51 -
15 179,46 50.90 -128.56 -
30 89,89 69.47 -20.42 -
125,30
94,77 -30,53 -
45
Diperoleh harga Cr yang negatif dan tidak diperolehnya harga ln Cr, sehingga regresi linier
untuk fase absorbsi tidak dapat dihitung, parameter farmakokinetika yang lain dan persamaan
notary juga tidak dapat dihitung, namun harga AUC masih dapat dihitung dengan cara trapezoid.

Menghitung AUC0-n (Area Under Curve) menggunakan metoda trapezoid

AUC=( C p1+ C p2 ) ׿ ¿

AUC 0-5=−¿

AUC 5-10=( 0+78,43 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 10-15=( 78,43+179,46 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 15-30=( 179,46+89,89 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL


AUC 30-45=( 89,89+125,30 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 45-60= (125,30+118,01 ) × ¿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 60-75=( 118,01+209,67 ) × ¿ ¿ µ g . menit /mL


AUC 75-90=( 209,67+220,08 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL
Cp 90 220,08
AUC 90−∞= = =−10631,884 µ g . menit /mL
K eliminasi −0 , 0207
AUC total = jumlah seluru h AUC + AUC 90−∞=1348,516 µ g . menit /ml

TIKUS B

 Perhitungan Kadar Sulfametoksazol dalam Darah tikus (Cp)


Persamaan Kurva Baku  y = 9,601 . 10-4 x + 0,0757
y−0,0757
x=
0,0009601

y−0,0671 y = Absorbansi
x=
0,0009

x = Cp (g/mL)

Mencari nilai Cp

0,162−0,0775
t=5 menit  x= =3025.42 ml X
0,00002793

0,127−0,0757
t=10 menit  x= =53,43 µ g/ml
0,0009601

0,144−0,0757
t=15 menit  x= =71,14 µ g /ml
0,0009601

0,145−0,0757
t=30 menit  x= =72,18 µ g/ml
0,0009601

0,174−0,0757
t=45 menit  x= =102,39 µ g /ml
0,0009601

0,121−0,0757
t=60 menit  x= =47,18 µ g /ml
0,0009601

0,129−0,0757
t=75 menit  x= =55,52 µ g /ml
0,0009601
0,124−0,0757
t=90 menit  x= =50,31 µ g/ml
0,0009601

Cp Ln Cp
Waktu Abs tikus II
(g/mL) (g/mL)
5 0,123 49,27 3,90
10 0,127 53,43 3,98
15 0,144 71,14 4,26
30 0,145 72,18 4,28
45 0,174 102,39 4,63
60 0,121 47,18 3,85
75 0,129 55,52 1,02
90 0,124 50,31 3,92

Cp (µg/ml) vs Waktu (menit)


120
100
80
60 Cp (µg/ml)
Cp

40
20
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Waktu
Ln Cp (µg/ml) vs Waktu (menit)
10

Ln Cp
1 ln Cp (µg/ml)

0.1
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Waktu

 Penentuan Parameter-Parameter Farmakokinetika

 Fase Eliminasi
Dilakukan regresi linier terhadap 3 data yaitu data menit ke-60, 75, dan 90
y → ln Cp
x→ Waktu ( menit )
Diperoleh hasil:
A = 3 . 75
B = 0 . 0023
R= 0.43
y=Bx+ A
Y =0 .023 x +3 .75
ln Cp=−k .t +ln B
ln Cp = 3 . 75 + 0 . 0023t
K eliminasi = - 0 . 0023/menit

ln B = 3 . 75

B = 45.52 (intersep)

 t ½ eliminasi
0,693
t½¿
k
0,693
¿
−0.0023
= -301.304 menit

t sampling
3 – 5x T½
3 x -301.304 = 903.912 menit
5 x -301.304 = 1506.52 menit
Jadi, t sampling = 903.912 – 1506.52 menit

 Fase Absorbsi
Menghitung Cp ekstrapolasi (Cp’) dari 4 kadar pertama memakai persamaan fase
eliminasi. Regresi linier t vs ln Cr digunakan 4 titik pertama yaitu pada menit ke-5, 10,
15, dan 30
ln Cp = 3 . 75 + 0 . 00 23t

Cr=C p' −Cp

o Menit ke-5
ln Cp’ = 3 . 75 + 0 . 0023 (5)
ln Cp’ = 3.7615
Cp’ = 43.01 µg/ml
Cp = 49.27
Cr = -6.26
o Menit ke-10
ln Cp’ = 3 . 75 + 0 . 0023 (10)
ln Cp’ = 3.773
Cp’ = 43.51 µg/ml
Cp = 53,43
Cr = -9.92
o Menit ke-15
ln Cp’ = 3 . 75 + 0 . 0023 (15)
ln Cp’ = 3.7845
Cp’ = 44.01 µg/ml
Cp = 71,14
Cr = -27.13
o Menit ke-30
ln Cp’ = 3 . 75 + 0 . 0023 (30)
ln Cp’ = 3.819
Cp’ = 45.56 µg/ml
Cp = 72,18
Cr = -26.62

Data perhitungan kadar residual

Selisih
Waktu (menit) Cp (µg/ml) Cp’(µg/ml) Ln (cp’-cp)
Cp‘-cp(µg/ml)
5 49,27 43.01 -6.26 -
10 53,43 43.51 -9.92 -
15 71,14 44.01 -27.13 -
72,18
45.56 -26.62 -
30
Diperoleh harga Cr yang negatif dan tidak diperolehnya harga ln Cr, sehingga regresi linier
untuk fase absorbsi tidak dapat dihitung, parameter farmakokinetika yang lain dan persamaan
notary juga tidak dapat dihitung, namun harga AUC masih dapat dihitung dengan cara trapezoid.

Menghitung AUC0-n (Area Under Curve) menggunakan metoda trapezoid

AUC=( C p1+ C p2 ) ׿ ¿

AUC 0-5=( 0+ 49,27 ) ׿ ¿

AUC 5-10=( 49,27 +53,43 ) × ¿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 10-15=( 53,43+71,14 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 15-30=( 71,14+72,18 ) × ¿¿ µ g . menit /mL


AUC 30-45=( 72,18+102,39 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 45-60= (102,39+ 47,18 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 60-75=( 47,18+ 55,52 ) × ¿¿ µ g . menit /mL


AUC 75-90=( 55,52+50,31 ) × ¿ ¿ µ g . menit /mL
Cp 90 50,31
AUC 90−∞= = =−21873,91 µ g . menit /mL
K eliminasi −0 . 0023
AUC total = jumlah seluru h AUC + AUC 90−∞=−16112,625 µ g .menit /ml

TIKUS C
 Perhitungan Kadar Sulfametoksazol dalam Darah tikus (Cp)
Persamaan Kurva Baku  y = 9,601 . 10-4 x + 0,0757
y−0,0757
x=
0,0009601

y−0,0671 y = Absorbansi
x=
0,0009

x = Cp (g/mL)

Mencari nilai Cp

0,162−0,0775
t=5 menit  x= =3025.42 ml X
0,00002793

0,185−0,0757
t=10 menit  x= =113,84 µ g /ml
0,0009601

0,161−0,0757
t=15 menit  x= =88,84 µ g /ml
0,0009601

0,273−0,0757
t=30 menit  x= =205,50 µ g/ml
0,0009601

0,265−0,0757
t=45 menit  x= =197,17 µ g/ml
0,0009601

0,182−0,0757
t=60 menit  x= =110,72 µ g/ ml
0,0009601

0,137−0,0757
t=75 menit  x= =63,85 µ g/ml
0,0009601
0,151−0,0757
t=90 menit  x= =78,43 µ g /ml
0,0009601

Abs tikus Cp Ln Cp
Waktu
III (g/mL) (g/mL)
5 0,161 88,84 4,49
10 0.185 113,84 4,73
15 0.161 88,84 4,49
30 0.273 205,50 5,33
45 0.265 197,17 5,28
60 0.182 110,72 4,71
75 0.137 63,85 4,16
90 0.151 78,43 4,36

Cp (µg/ml)
250

200

150
Cp (µg/ml)
Cp

100

50

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Waktu
Ln Cp (µg/ml)
6

Ln Cp 4

3 Ln Cp (µg/ml)

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Waktu

 Penentuan Parameter-Parameter Farmakokinetika


 XFase Eliminasi
Dilakukan regresi linier terhadap 3 data yaitu data menit ke-60, 75, dan 90
y → ln Cp
x→ Waktu ( menit )
Diperoleh hasil:
A = 5 . 285
B = −0 . 0117
R= 0.62
y=Bx+ A
Y =−0 .0117 x+5 . 285
ln Cp=−k .t +ln B
ln Cp = 5 . 285−0 . 0117 t
K eliminasi = 0 . 0117/menit

ln B =5 . 285

B = 197.35 (intersep)

 t ½ eliminasi
0,693
t½¿
k
0,693
¿
0.0099
= 70 menit

t sampling
3 – 5x T½

3 x 70 = 210 menit

5 x 70 = 350 menit
Jadi, t sampling = 210 – 350 menit

 Fase Absorbsi
Menghitung Cp ekstrapolasi (Cp’) dari 4 kadar pertama memakai persamaan fase
eliminasi. Regresi linier t vs ln Cr digunakan 4 titik pertama yaitu pada menit ke-5, 10,
15, dan 30

ln Cp = 5 . 285−0 . 0117 t
Cr=C p' −Cp

o Menit ke-5
ln Cp’ = 5 . 285−0 . 0117(5)
ln Cp’ = 5.2265
Cp’ = 186.14 µg/ml
Cp = 88,84
Cr = 97.3
o Menit ke-10
ln Cp’ = 5 . 285−0 . 0117(10)
ln Cp’ = 5.168
Cp’ = 175.56 µg/ml
Cp = 113,84
Cr = 61.72
o Menit ke-15
ln Cp’ = 5 . 285−0 . 0117(15)
ln Cp’ = 5.1095
Cp’ = 165.59 µg/ml
Cp = 88,84
Cr = 76.75
o Menit ke-30
ln Cp’ = 5 . 285−0 . 0117(30)
ln Cp’ = 4.934
Cp’ = 138.93 µg/ml
Cp = 205,50
Cr = -66.57

Data perhitungan kadar residual

Selisih
Waktu (menit) Cp (µg/ml) Cp’(µg/ml) Ln (cp’-cp)
Cp‘-cp(µg/ml)
5 88,84 186,14 97,3 4,57
10 113,84 175,56 61,72 4,12
15 88,84 165,59 76,75 4,34
205,50
138,93 -66,57 -
30

Regresi linear 3 titik (Fase absorbsi), t vs ln Cr


A=4,5733
B=−0,023
r =−0,511
ln Cr=−k t + ln A
ln Cr=−0 ,0023 t +4,5733
ln A=4,5733
A=96,86 µg /ml

K absorbsi =−b

K absorbsi =0 , 023 menit −1


0,693
t ½absorbsi=
K absorbsi
0,693
t ½absorbsi=
0,023
t ½absorbsi=30,13 menit
t ½absorbsi=0 ,5 jam

Persamaan Notary
Jika K12+K21 < 20K, maka obat mengikuti model 2 kompartemen
Jika K12+K21 > 20K, maka obat mengikuti model 1 kompartemen

Fase Absorbsi Fase Eliminasi


ln Cr=−0 ,0023 t +4,5733 ln Cp = 5 . 285−0 . 0117 t
A=96,86 µg /ml B=197.35 µg /ml
K absorbsi ( α )=0,023 menit −1 K eliminasi (β)=0 .0117 menit −1
αB+ βA
K 21=
A+ B
( 0,023 x 197,35 ) +( 0,0117 x 96,86)
K 21=
96,86+197,35
K 21=0 , 019 menit −1

αβ
K=
K 21
0,023 x 0,0117
K=
0,019
K=0,014 menit −1

K 12=α + β−( K + K 21 )
K 12=0,023+ 0,0117−(0,014 +0,019)
K 12=0 , 0017 menit −1
K 12 + K 21=0 , 0017+0 , 019=0 , 0207 menit −1
20 K=20 x 0 , 014=0,28 menit −1
Jadi, K12+K21 < 20K, artinya sulfametoksazol dalam tubuh tikus mengikuti model 2 kompartemen
Cp0= A+ B

Cp0=96,86+197,35

Cp0=294,21 µg /ml

K absorbsi
ln ( )
K eliminasi
Tmax=
K absorbsi −K eliminasi
Tmax=ln ¿ ¿
Tmax=59,81menit
Tmax=0 , 99 jam

. t max .tmax
Cpmax =Be−k eliminasi
− A−k absorbsi

Cpmax =197,35 e−0,0117.59,81−96,86 e−0,023.59,81


Cpmax =73,55 µg /ml

Cpmax =73,55 x 10−3 mg/ml

dosis
Vd=
Cpmax
mg
300 x 0,294 kg
BB
Vd=
73,55 µg /ml
Vd=1,19 ml
Vd=0 , 00119 liter

Cl=K eliminasi x Vd
Cl=0,0117 x 1,19
Cl=0,014 ml /menit

B A
AUC 0−∞= −
β α
197,35 96,86
AUC 0−∞= −
0,0117 0,023
AUC 0−∞=12656,22 µg . menit /ml

Menghitung AUC0-n (Area Under Curve) menggunakan metoda trapezoid

AUC=( C p1+ C p2 ) ׿ ¿

AUC 0-5=( 0+ 88,84 ) ׿ ¿

AUC 5-10=( 88,84+ 113,84 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 10-15=( 113,84 +88,84 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 15-30=( 88,84+ 205,50 ) × ¿ ¿ µ g . menit /mL


AUC 30-45=( 205,50+197,17 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 45-60= (197,17+ 110,72 ) × ¿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 60-75=( 110,72+63,85 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL

AUC 75-90=( 63,85+78,43 ) ׿ ¿ µ g . menit /mL


Cp 90 78,43
AUC 90−∞= = =6703,41 µ g . menit /mL
K eliminasi 0,0117
AUC total = jumlah seluru h AUC + AUC 90−∞=17852,035 µ g . menit /ml

KELINCI

 Perhitungan Kadar Sulfametoksazol dalam Darah kelinci (Cp)


Persamaan Kurva Baku  y = 5,2475 . 10-4 x + 0,0893

y−0,0671
x=
0,0009

y−0,0893
x=
0,00052475
y = Absorbansi
x = Cp (g/mL)

Mencari nilai Cp

t=5 menit Kadar tidak dapat ditentukan karena tidak ada data
absorbansi.

0,107−0,0893
t=10 menit  x= =33,73 µ g/ml
0,00052475

0,089−0,0893
t=15 menit  x= =−0,57 µ g /ml
0,00052475

0,094−0,0893
t=30 menit  x= =8,96 µ g /ml
0,00052475

0,103−0,0893
t=45 menit  x= =26,11 µ g/ml
0,00052475

0,111−0,0893
t=60 menit  x= =41,35 µ g/ml
0,00052475

t=75 menit Kadar tdk dapat ditentukan karenatdk ada data absorbansi .

0,116−0,0893
t=90 menit  x= =50,88 µ g /ml
0,00052475

Cp Ln Cp
Waktu Abs kelinci
(g/mL) (g/mL)
5 - - -
10 0.107 33.73 3.52
15 0.089 -0.57 -
30 0.094 8.96 2.19
45 0.103 26.11 3.26
60 0.111 41.35 3.72
75 - - -
90 0.116 50.88 3.93
Cp(µg/mL) vs Waktu (menit)
60
50
40
30 Cp(µg/mL)
Cp

20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
-10
waktu
Ln Cp(µg/mL) vs Waktu (menit)
4.5
4
3.5
3
2.5
Ln Cp

Ln Cp(µg/mL)
2
1.5
1
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
waktu

F. PEMBAHASAN

Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa mampu menetapkan jadwal dan jumlah
pencuplikan untuk pengukuran parameter farmakokinetika berdasarkan model kompartemen
suatu obat, agar mahasiswa mampu menggunakan dosis yang tepat untuk subyek uji, dan agar
mahasiswa mampu memperkirakan model kompartemen berdasarkan kurva semilogaritmik
kadar obat dalam plasma/darah lawan waktu.
Model kompartemen digunakan untuk mengetahui dan memprediksi nasib obat dalam
badan. Suatu model kompartemen dianggap sebagai model farmakokinetika, di mana obat
memiliki distribusi yang sama pada semua tempat, sehingga parameter farmakokinetika dapat
diketahui dalam kompartemen tersebut karena obat dianggap memiliki afinitas yang sama.
Sepeti yang diketahui bahwa hubungan antara model kompartemen dan waktu sampling
sangat erat, dimana kesalahan waktu pengambilan cuplikan akan menyebabkan kesalahan
dalam memperkirakan model kompartemen, padahal model kompartemen sangat berperan
dalam menetapkan parameter farmakokinetik dalam menetapkan besaran dosis suatu obat
yang akan ditetapkan pada hewan uji. Oleh karena itu penetapan waktu pengambilan cuplikan
harus diawasi secara tepat dan dilakukan sedini mungkin.
Model kompartemen dapat ditentukan dengan menggambarkan kurva kadar obat
dalam darah vs waktu dalam kurva semilogaritmik.
Metode yang digunakan dalam penetapan kadar sulfametoksazol adalah metode
Bratton-Marshall. Metode ini didasarkan pada terjadinya reaksi diazotasi karena
sulfametoksazol memiliki gugus amina aromatik primer sehingga dapat direaksikan gugus nitro
dari NaNO2 membentuk garam diazonium, kemudian akan terbentuk kopling warna bila
bereaksi dengan N-(1-naftil) etilen diamin atau NED. Pada proses penambahan NED perlu
dilakukan operating time selama 5 menit. Operating time dimaksudkan agar pembentukan
kompleks warna menjadi sempurna dan stabil sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif
dengan spektrofotometer visibel. (Anonim, 1995)
Berikut merupakan pemerian bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini, antara
lain:
1. Sulfametoksazol (Sulfamethoxazolum)

N1-(metil-3-
isoksazolil)sulfanilamida
C10H11N3O3S BM 253,28

Sulfametoksazol mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0%
C10H11N3O3S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian : serbuk hablur, putih sampai hampir putih, praktis tidak berbau.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, larut dalam 50 bagian etanol (95%) P, dalam 3
bagian aseton P, mudah larut dalam larutan natrium hidroksida.
Khasiat dan penggunaan : antibakteri
(Anonim,1979)
Waktu paruh plasma sulfametoksazol (t½) : 11 jam
Sulfametoksazol: absorbsi dalam saluran cerna cepat dan sempurna dan ± 20 G terikat oleh
protein plasma. Dalam darah, 10-20 obat terdapat dalam bentuk terasetilasi. Kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 4 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paro 10-12 jam.
Dosis oral awal 2 g diikuti lagi 2-3 dd sampai infeksi terjadi.
(Anonim,1995)
2. Heparin
Heparin adalah sediaan steril mengandung
polisakaridosulfat seperti yang terdapat dalam jaringan
hewan yang menyusui, mempunyai sifat khas menghambt
pembekuan darah. Potensi tiap mg tidak kurang dari 110
UI dan tidak lebih dari 130 UI, dihitung terhadap zat yang
telah dikeringkan dan tidak kurang dari 90% dan tidak
lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket
Pemerian : serbuk amorf putih atau pucat tidak berbau, agak higroskopis
Kelarutan : larut dalam 2,5 bagian air.
Kejernihan dan warna larutan: larut sempurna dalam air dan dalam larutan natrium kloridaP,
larutan jernih, tidak berwarna atau kuning jerami
Khasiat dan penggunaan : antikoagulan
(Anonim, 1979)
Heparin merupakan anti-koagulansia langsung, yang mengandung gugus karboksil dan
sisa sulfat, sehingga heparin merupakan salah satu asam terkuat dalam tubuh. Heparin
mengikat antitrombin III membentuk kompleks yang berafinitas lebih besar dari antitrombin III
sendiri, terhadap beberapa faktor pembekuan darah aktif, terutama trombin dan fakor Xa. Oleh
karena itu, heparin mempercepat inaktivasi faktor pembekuan darah. Dosis kecil heparin
dengan AT-III menginaktifai faktor Xa dan mencegah perubahan protombin menjadi trombin.
Heparin dengan jumlah lebih besar bersama AT-III menghambat pembekuan dengan
menginaktifasi trombin dari faktor-faktor pembekuan sebelumnya sehingga mencegah
perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Heparin juga menginaktivasi faktor XIIIa dan mencegah
terbentuknya bekuan fibrin yang stabil (Ganiswara, 1995). Pada konsentrasi tinggi, heparin
akan menghambat agregasi trombosit. Selain itu, heparin mempunyai kerja menjernihkan
plasma yang berlipid (membebaskan lipoproteinlipase dari endotelium pembuluh yang mampu
melarutkan khilomikron). Heparin mempercepat penguraian histamin dengan membebaskan
diaminoksidase yang mengoksidasi histamin dan mereduksi pembentukan aldosteron.
Kerja heparin ditentukan oleh banyaknya muatan negatif dalam molekul (yang akan
meningkat jika sisa asam sulfat tinggi), dan kerja heparin dapat dihentikan spontan oleh
polikation, contih: protamin sulfat. Keuntungan utama penggunaan heparin adalah heparin
bekerja langsung setelah pemakaian. Bila ditambahkan pada darah tidak akan merubah hasil
pemeriksaan rutin kimia darah, tetapi heparin merubah bentuk eritrosit dan leukosit.
(Ganiswara, 1995).

3. TCA (Asam Trikloro Asetat)


Asam trikloro asetat mengandung tidak kurang dari 98,0% C2HCl3O2, memiliki berat molekul
sebesar 163,39.
Pemerian : Hablur atau masa hablur, sangat rapuh tidak berwarna, rasa lemah
atau getir dan khas.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%) P dan eter.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Khasiat : Kaustikum
(Anonim, 1979)
TCA yang digunakan pada percobaan ini memiliki kadar 5%, berfungsi untuk
mengendapkan dan mendenaturasi protein. Protein pada sampel perlu didenaturasi agar tidak
terjadi ikatan komplek antara protein dan obat. Mekanisme kerja TCA adalah dengan mengikat
protein dan mengendapkannya saat sentrifugasi. Penggunaan TCA dikarenakan TCA
merupakan asam lemah. Sehingga pada penambahannya hanya menggeser sedikit nilai pH,
dan tidak merusak struktur primer suatu protein. Apabila struktur primer suatu protein rusak,
protein akan pecah menjadi asam – asam aminonya sehingga dapat mengganggu analisis.

4. Ammonium Sulfamat (NH4OSO2NH)


Ammonium Sulfamat mengandung tidak kurang dari 98,0 % H6N2O3S.
Nama lain : Sulfamic acid mono ammonium salt; AMS; Amcidc; Amma terbuat
dari ammonium dan asam sulfamat.
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih, higroskopis
Kelarutan : Luar biasa larut dalam air, cairan ammonia; sedikit larut dalam
etanol. Cukup larut dalam glycerol, glycol, formamide, pH dari larutan
0,2 M dalam air adalah 4,9; larutan encer stabil saat mendidih.
(Anonim, 1995)

5. Natrium Nitrit (NaNO2)


Natrium Nitrit mengandung tidak kurang dari 95,0% NaNO2
Nama lain : Sodium nitrit, nitrous acid sodium salt, erinitrit, NaNO2.
Pemerian : Putih atau sedikit kuning, granul higroskopis, batang atau serbuk, sangat
lambat teroksidasi menjadi nitrat di udara.
Kelarutan : Larut dalam 1,5 bagian air dingin, agak sukar larut dalam etanol (95,0%) P,
membusuk oleh asam dengan evolusi dari uap coklat N2O3, larutan encer
adalah alkali, pH sekitar 9.
(Anonim, 1995)

6. N-(1-Naftil)etilendiamin (C12H14N2)

Nama lain : N-1-Naphthalenyl-1-2-ethanediamine; 1-amino-2(alpha-naphtylamino)-


ethane
Pemerian : Kekuning-kuningan, cairan kental
Kelarutan : Larut dlam air, yaitu 0,2 gram dalam 100 ml pada 250, lebih larut dalam air
panas, pH larutan encer jenuh adalah 10,5 dengan mudah larut dalam
solvent organik umum kecuali petroleum eter.
(Merck Index vol. 14, hal 6404 No. 6409)

Percobaan ini terdiri dari dua tahapan kerja, yaitu pembuatan kurva baku dan
perhitungan kadar sulfametoksazol yang telah diberikan per oral dengan waktu pengambilan
darah yang telah ditentukan. Dengan persamaan kurva baku yang telah diperoleh, maka dapat
ditentukan kadar sulfametoksazol dalam darah tikus maupun kelinci, sehingga dapat dihitung
parameter-parameter farmakokinetika sulfametoksazol.

Dalam satu golongan praktikum, dibagi menjadi empat kelompok; tiga kelompok
menggunakan hewan uji tikus dengan berat 396,8 gram; 294 gram; dan 294 gram; dan satu
kelompok lain menggunakan hewan uji kelinci dengan berat 3 kg. Kelompok kami melakukan
percobaan dengan tikus sebagai hewan uji, dengan berat 294 gram. Pengambilan darah
blangko dilakukan sebelum obat dimasukkan ke tubuh hewan uji, pada tikus melalui vena ekor
dan kelinci melalui vena marginalis. Darah blangko untuk tikus sebanyak 1 ml tiap tikus dan 2
ml untuk kelinci. Darah blangko tersebut digunakan untuk menetapkan kurva baku.
Dari hasil perhitungan diperoleh persamaan kurva baku:
Untuk darah tikus yaitu y = 9,601 . 10-4 x + 0,0757
Untuk darah kelinci yaitu y = 5,2475 . 10-4 x + 0,0893.

Tahap kedua dari percobaan ini adalah pengambilan sampel darah dari tikus yang
telah diberi sulfametoksazol per oral. Dosis sulfametoksazol untuk tikus yaitu 75mg/kg BB, 150
mg/kg BB, 200 mg/kg BB dan untuk kelinci yaitu 100mg/kg BB. Sehingga diperoleh volume
pemberian secara berturut-turut untuk tikus I, tikus II, tikus III dan kelinci yaitu 2,976 ml; 2,205
ml; 4,41 mL; dan 15 ml. Setelah itu, larutan sulfametoksazol dengan volume tersebut diberikan
per oral dengan bantuan spuit injeksi per oral. Pengambilan sampel darah tikus diambil pada
menit ke-5, 10, 15, 30, 45, 60, 75, 90, 120 dengan cara yang sama saat pengambilan sampel
darah untuk pembuatan kurva baku. Tetapi karena pengambilan darah tikus membutuhkan
waktu cukup lama maka pada tikus percobaan kali ini pencuplikan darah hanya dilakukan pada
menit ke 5, 10, 15, 30, 45, 60, 75 dan 90 menit. Pengambilan dilakukan dengan interval waktu
tersebut agar dihasilkan grafik yang dapat menggambarkan profil sulfametoksazol sehingga
bisa ditentukan model kompartemen sulfametoksazol. Pengambilan darah selama satu
percobaan maksimal 1-2 % dari berat badan agar tidak mengganggu homeostasis darah. Jika
homeostasis terganggu dapat mempengaruhi profil farmakokinetiknya. Untuk tikus darah
diambil sebanyak 0,2 mL dan untuk kelinci sebanyak 0,5 mL.
Darah yang diambil ditambah 10 tetes heparin untuk mencegah koagulasi/ penjendalan
darah. Heparin merupakan suatu polisakarida yang bermuatan sangat negatif. Heparin ini tidak
memiliki sifat anti koagulan atau bisa dikatakan sifatnya sedikit sekali. Akan tetapi, jika berikatan
dengan antitrombin III yang merupakan suatu α2-globulin akan menginaktifkan trombin dari
peredaran darah. Dengan hilangnya trombin, maka tak ada lagi yang akan mengkatalisis
pembentukan benang-benang fibrin dari fibrinogen, sehingga tidak terjadi proses pembekuan
darah. Oleh karena itu, kompleks heparin-anti trombin III berfungsi sebagai antikoagulan. Selain
heparin, dapat digunakan EDTA tetapi tingkat penyebaran dalam darah lebih buruk.
Penambahan TCA ini dimaksudkan untuk mendenaturasi protein dalam plasma darah
sehingga cairan plasma bebas dari protein, sehingga analisis obat dalam sulfametoksazol
dalam cairan plasma tidak terganggu dan valid. Selain itu TCA juga berfungsi memberikan
suasana asam pada reaksi diazotasi.
Campuran dari darah, sulfametoksazol dan TCA disentrifugasi selam 10 menit dengan
kecepatan 2500 rpm. Sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan obat dari jaringan sehingga
yang dibaca pada absorbansi hanya kadar obat saja. Semakin padat jaringan yang
mengandung obat, semakin sulit obat dipisahkan dari jaringan sehingga perlu dihancurkan
dengan kuat.
Dari hasil sentrifugasi diambil 1,50 ml supernatan (bagian jernih di atas endapan) untuk
dibaca absorbansinya. Sebelum dibaca absorbansinya ditambahkan 0,2 ml N (1-naftil)
etilendiamin (NED) 5% untuk membentuk kompleks warna ungu karena spektrofotometer yang
digunakan adalah spektofotometer visibel, kemudian didiamkan di tempat gelap selama 5 menit
agar reaksi berjalan sempurna dan tidak rusak oleh cahaya. Bila setelah lima menit tidak segera
diukur absorbansinya, maka dalam waktu beberapa menit akan terjadi pemekatan warna
karena kopling terdekombinasi karena pengaruh faktor stabilitas terhadap kondisi ideal dan
harga absorbansi akan turun dari harga yang sebenarnya. Selain itu yang perlu diperhatikan
juga adalah adanya buih-buih atau gelembung udara pada larutan yang dapat menyebabkan
rekasi dan produk yang terbentuk tidak stabil, oleh karena itu buih-buih itu harus dihilangkan
dengan mengocoknya agar tidak mengganggu pada saat pembacaan absorbansi. Saat
pembacaan absorban, gelembung udara harus dihilangkan karena dapat mengganggu
pembacaan yaitu dengan diketuk-ketuk atau dengan menuangkan ke dalam kuvet lewat
dinding.
Selanjutnya larutan tersebut dibaca absorbansinya pada λ 545 nm. Pembacaan
dilakukan pada λmax karena pada λ maksimum absorbansinya juga maksimal serta presisi dan
akurasinya tinggi. Selain itu, perubahan kecil kadar mengakibatkan perubahan absorban yang
besar sehingga sensitivitasnya tinggi. Pita serapan di sekitar λ maksimum datar sehingga
memiliki kesalahan paling kecil.
Dari absorbansi yang didapatkan, dapat ditetapkan kadarnya dengan menggunakan
persamaan kurva baku yang telah dibuat. Dari kadar yang diperoleh selanjutnya dapat
digunakan untuk membuat grafik antar kadar vs waktu pada kertas semilog. Grafik yang
diperoleh ini dapat digunakan untuk menentukan model kompartemen yang dianut
sulfametoksazol apakah model satu kompartemen ataukah model dua kompartemen terbuka.
Model satu kompartemen terbuka dutunjukkan dengan grafik monofasik yaitu berupa garis lurus
sedangkan model dua kompartemen terbuka ditunjukkan dengan grafik bifasik.
Berdasarkan pada data kelompok tikus A (dosis pemberian 75 mg/KgBB), pada grafik
kadar (log Cp) vs waktu (t dalam menit) dapat di amati, secara garis besar terdapat dua bagian
grafik yang teramati, yaitu bagian yang naik, menunjukkan fase absorbsi, di mana kadar obat
dalam darah terus meningkat tiap satuan waktu hingga pada selang waktu tertentu. Bagian
yang kedua adalah bagian grafik berupa garis menurun yang menunjukkan fase eliminasi, yaitu
ketika kadar obat dalam darah mengalami perununan tiap satuan waktu. Fase ini
menggambarkan bahwa tubuh memetabolisme obat menjadi metabolit-metabolit inaktif dan
segera mengeliminasinya dari tubuh. Sehingga terlihat farmakokinetika pada tikus A termasuk
model 1 kompartemen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa sulfametoksazol mengikuti model 1
kompartemen terbuka.
Selanjutnya dilakukan penetapan dosis yang tepat untuk subyek uji. Namun terlebih
dahulu harus dihitung parameter farmakokinetikanya. Untuk data tikus I diperoleh Ke =
-0,0207/menit ; β = 37,33 g/mL ; t ½ = 33,478 menit ; AUC = 1348,516 µ g . menit /mL. Untuk
Ka dan T½ absorbsi tidak dapat dihitung karena dibutuhkan minimal 3 titik untuk melakukan
perhitungan dan dari data yang didapat hanya ada 2 titik.
Berdasarkan hasil perhitungan data kelompok tikus B (dosis pemberian = 150 mg/KgBB)
menunjukkan bahwa sulfametoksazol mengikuti model 2 kompartemen terbuka. Model
kompartemen tersebut terlihat juga pada kurva semilog antara Cp (µg/ml) vs Waktu (menit)
yang menunjukkan adanya 3 fase yaitu fase absorbsi, distribusi dan eliminasi. Berdasarkan
literatur, sulfametoksazol termasuk obat dengan model 1 kopartemen terbuka, oleh karena itu
hasil percobaan untuk sampel darah tikus B tidak sesuai dengan teori.
Berdasarkan data kelompok tikus C (dosis pemberian= 300 mg/KgBB) dibuat kurva
pada kertas semilog Kadar (Cp) vs waktu (t dalam menit) sehingga terlihat farmakokinetika
pada tikus III mengikuti model 2 kompartemen terbuka karena memiliki fase absorbsi, distribusi,
dan eliminasi. Hal ini tidak sesuai dengan teori karena berdasarkan literatur sulfametoksazol
mengikuti model satu kompartemen terbuka.
Selanjutnya dilakukan penetapan dosis yang tepat untuk subyek uji. Namun terlebih
dahulu harus dihitung parameter farmakokinetikanya. Untuk data tikus C diperoleh Ke
=0,0117/menit β = 197,35 g/mL ; t ½ =70 menit ; AUC = 17852,035 µ g . menit /mL. Untuk Ka
dan T½ absorbsi tidak dapat dihitung karena dibutuhkan minimal 3 titik untuk melakukan
perhitungan dan dari data yang didapat hanya ada 2 titik.
Hasil perhitungan data simulasi kelinci (dosis pemberian = 100 mg/KgBB) menunjukkan
bahwa sulfametoksazol mengikuti model 2 kompartemen terbuka. Model kompartemen tersebut
terlihat juga pada kurva semilog antara Cp (µg/ml) vs Waktu (menit) yang menunjukkan adanya
3 fase yaitu fase absorbsi, distribusi dan eliminasi. Berdasarkan literatur, sulfametoksazol
termasuk obat dengan model 1 kopartemen terbuka, oleh karena itu hasil percobaan untuk
sampel darah kelinci tidak sesuai dengan teori. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh
waktu pengambilan sampel darah yang tidak tepat waktu.
Dari literatur dinyatakan bahwa sulfametoksazol merupakan golongan Sulfonilamid yang
mempunyai waktu paruh 10 jam. Absorpsi secara peroral dan ekskresinya lambat. Pola
eliminasi suatu obat dapat dikaji dari parameter β dan tetapan eliminasi (Kel atau K). Eliminasi
obat ditentukan oleh proses metabolisme dan ekskresi. Laju eliminasi pada umumnya
merupakan proses orde kesatu. Tolak ukur yang paling baik untuk mengevaluasi pola eliminasi
obat adalah klirens total (ClT) yaitu pada kadar 75 mg/kg BB adalah 2,6.10-3 ml/menit dan pada
kadar 100 mg/kg BB adalah 0,02 mL/menit. Karena model kompartemen sulfametoksazol
diperkirakan sebagai model 1 kompartemen terbuka dengan pemberian secara oral maka
dianjurkan melakukan pencuplikan pada:
3 titik pada tahap absorpsi yaitu menit ke 5, 10 dan 15
3 titik pada tahap distribusi yaitu menit ke 30, 45 dan 60
3 titik pada tahap ekskresi yaitu menit ke 75, 90 dan 120
Pada percobaan hanya dilakukan percobaan 8 titik dan hanya data tikus B dan C yang
memenuhi 8 titik tersebut, sedangkan data dari tikus A ada 7 titik, dan kelinci ada 6 titik.
Sehingga lamanya sampling untuk tikus B dengan dosis 150 mg/kg BB dan tikus C dengan
dosis 300 mg.kg BB adalah 3-5 kali T1/2 yaitu 903.912 – 1506.52 menit dan 210 – 350 menit.
Penetapan waktu sampling didasarkan pada T1/2 eliminasi obat yaitu waktu yang
diperlukan obat untuk tereliminasi setengahnya. T1/2 eliminasi bukanlah indeks yang baik untuk
melihat kecepatan eliminasi obat, tetapi bisa dijadikan acuan waktu yang baik untuk mencapai
steady state sehingga dapat ditentukan dosisnya. Dari hasil percobaan sulfametoksazol karena
nilai AUC-nya tidak naik secara proporsional maka termasuk farmakokinetika tergantung dosis.
Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa sulfametoksazol merupakan obat
yang tidak tergantung dosis dan reaksinya mengikuti orde satu karena perubahan dosis tidak
mempengaruhi perubahan waktu secara signifikan.
Setelah waktu pencuplikan ditetapkan maka dipilih dosis yang akan diberikan pada
subjek uji percobaan selanjutnya. Pemilihan ini dapat didasarkan atas beberapa hal di
antaranya:
a. Mengacu pada LD50 obat yang diuji
b. Jika tidak ada informasi lengkap, dapat digunakan dosis awal 5-10% dari LD50 intravena
(Kaplan,1973)
c. Kecepatan metode analisis
Apakah metode analisis mempunyai kepekaan yang mendukung besaran dosis tersebut
hingga pada fase eliminasi kadar obat masih dapat dimonitor
d. Ketepatan dan ketelitian
Berhubungan dengan lamanya hasil yang didapatkan dengan suatu metode.

Rekomendasi dosis yang akan digunakan untuk percobaan selanjutnya adalah tidak
mengikuti dosis yang sebelumnya sudah digunakan karena sulfametoksazol termasuk
farmakokinetika yang tergantung dosis.
Kesalahan yang terjadi dalam praktikum ini dapat disebabkan oleh beberapa sebab,
yaitu:
a. Jumlah pengambilan sampel dan reagen yang kurang tepat.
b. Pada saat penambahan NED tidak dilakukan di ruang gelap sehingga terjadi eksitasi dini dan
produk kopling menyerap sinar tampak dalam jumlah banyak.
c. Alat spektroskopi uv yang tidak dikalibrasi terlebih dahulu sehingga kurang sensitif.
d. Waktu pengambilan sampel yang tidak dilakukan sesuai jadwal.
e. Kesalahan praktikan.
f. Faktor fisiologis hewan uji yang kemungkinan mengalami stress.

G. KESIMPULAN

1. Metode penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah yang dilakukan pada


percobaan ini adalah metode Bratton-Marshall termodifikasi
2. Agar dapat dianalisis secara kuantitatif, sulfametoksazol harus direaksikan diazotasi
menjadi suatu senyawa kompleks.
3. Pada percobaan data untuk hewan uji tikus maupun kelinci tidak dapat diolah lebih
lanjut untuk memperoleh parameter-parameter farmakokinetik dan penentuan model
kompartemen
4. Metode perhitungan farmakokinetika pada percobaan ini menggunakan metode
residual.
5. Diperoleh perhitungan parameter-parameter farmakokinetika tikus A ( 75 mg/Kg BB )
a) K eliminasi = - 0.0207 / menit
b) T1/2 eliminasi = -33.478 menit
c) t sampling (3-5 X t ½) = 100.434 – 167.39 menit
d) AUC total = 1348,516 µg.menit/mL
6. Pada tikus A diperoleh harga Cr yang negatif dan tidak diperolehnya harga ln Cr,
sehingga regresi linier untuk fase absorbsi tidak dapat dihitung, parameter
farmakokinetika yang lain dan persamaan notary juga tidak dapat dihitung, namun
harga AUC masih dapat dihitung dengan cara trapezoid.

7. Diperoleh perhitungan parameter-parameter farmakokinetika tikus B (150 mg/kg BB )


e) K eliminasi = - 0.0023 / menit
f) T1/2 eliminasi = -301.304 menit
g) t sampling (3-5 X t ½) = 903.912 – 1506.52 menit
h) AUC total = −16112,625 µg.menit/mL
8. Pada tikus B diperoleh harga Cr yang negatif dan tidak diperolehnya harga ln Cr,
sehingga regresi linier untuk fase absorbsi tidak dapat dihitung, parameter
farmakokinetika yang lain dan persamaan notary juga tidak dapat dihitung, namun
harga AUC masih dapat dihitung dengan cara trapezoid.

9. Diperoleh perhitungan parameter-parameter farmakokinetika tikus C (300 mg/kg


BB )
i) K eliminasi = 0.0117 / / menit
j) T1/2 eliminasi = 70 menit
k) t sampling (3-5 X t ½) = 210 – 350 menit
l) Vd = 0,00119
m) Cl = 0,014
n) AUC total = 17852,035 µg.menit/mL
10. Menurut persamaan Notary pada tikus C diperoleh harga K12+K21 < 20K, artinya
sulfametoksazol dalam tubuh tikus mengikuti model 2 kompartemen

11. Model kompartemen data simulasi tikus 1 dan 2 adalah 1 kompartemen terbuka,
diperkirakan berdasarkan kurva semilogaritmik kadar obat dalam plasma/darah
lawan waktu. Model kompartemen dapat menentukan waktu pencuplikan.
12. Makin kecil harga t½ suatu obat maka akan semakin cepat pula eliminasi obat
tersebut dalam tubuh.

H. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Anonim, 2008, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Anonim, 1996, The Merck Index, Vol. X,Division of Merck & Co, INC, Merck
Research Laboratories
Anonim, 2006, The Merck Index, 14th Edition, Division of Merck & Co, INC, Merck
Research Laboratories
Ansel, H. C., 2006, Pharmaceutical Calculations: the pharmacist’s handbook,
Lippicontt William and Wilkins, Philadelpia.
Kaplan, S.A., 1973, Biopharmaceutical in the performulation stages of drug
development. Dalam Swarbrick, J. (ed): Current in the pharmaceutical sciences : Dosge form
design and bioavailability, Lea & Febiger, Phil.
Lachman, L., Lieberman, H.A., Kanig, J.L., 1989, Teori Dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi ketiga, Buku 1, Penerjemah: Siti Suyatmi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Ritschel, W.A, 1980, Handbook of basic pharmacokinetics, Ed II, Publ . Inc,
Hamilton
Shargel, Leon, 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi II,
Surabaya, Airlangga University Press.

Yogyakarta, 15 Oktober 2013

Mengetahui,

Asisten Koreksi Praktikan

1. Luky Oktaviasari (09138)


2. Anggi Rista W (09141)
3. Ria Fasyah F (09144)
4. I’in Inayatul Ula (09147)
5. Riana Kusniawati (09150)
Indah

Anda mungkin juga menyukai