Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Ilmu farmasi seringkali terkait dengan fenomena-fenomena yang
terjadi di dalam tubuh. Untuk mempelajari salah satu kaitan tersebut, ahli
farmasi mempelajari ilmu farmakologi. Dalam arti luas, farmakologi adalah
ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia
khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan resiko penggunaan
obat.
Tanpa pengetahuan farmakologi, seorang farmasis dapat meyebabkan
suatu masalah bagi pasien karena ketidaktahuan tingkat keamanan obat
dalam tubuh dengan baik. Salah satu ilmu farmakologi yang mempelajari
tentang hal tersebut yakni farmakokinetik.
Istilah farmakokinetik menurut ilmu farmakologi adalah suatu proses
yang dilalui obat di dalam tubuh atau tahapan perjalanan obat di dalam
tubuh. Proses farmakokinetik ini meliputi beberapa tahapan mulai dari
proses absorpsi atau penyerapan obat, distribusi atau penyaluran obat ke
seluruh tubuh, metabolisme obat hingga sampai kepada tahap ekskresi obat
itu sendiri atau proses pengeluaran zat obat dari dalam tubuh.
Fase farmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam
tubuh. Pemasukan tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena
fisikokimia

yang

terpadu

di

dalam

organ

penerima

obat.

Fase

farmakokinetik ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan


profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya menentukan
aktivitas terapeutik obat (Aiache, 1993).
Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan
dan perubahan zat aktif didalam tubuh (Aiache, 1993). Menurut Shargel
(1988), bahwa intensitas efek farmakologik atau efek toksik suatu obat
seringkali dikaitkan dengan konsentrasi obat pada reseptor, yang biasanya
terdapat dalam sel-sel jaringan. Oleh karena sebagian besar sel-sel jaringan

diperfusi oleh cairan jaringan atau plasma, maka pemeriksaan kadar obat
dalam plasma merupakan suatu metode yang sesuai untuk pemantauan
pengobatan.
Tanpa data farmakokinetik, kadar obat dalam plasma hampir tidak
berguna untuk penyesuaian dosis. Dari data tersebut dapat diperkirakan
model farmakokinetik yang kemudian diuji kebenarannya, dan selanjutnya
diperoleh parameter-parameter farmakokinetiknya (Shargel, 1988).
Data farmakokinetik ini sangat penting untuk semua jenis obat
terutama untuk obat yang lazim dikonsumsi masyarakat. Karena
kemungkinan besar konsumsi obat yang terlalu sering akan menimbulkan
toksisitas serta efek samping yang beresiko terhadap kelanjutan penyakit.
Melihat pentingnya farmakokinetik obat didalam tubuh maka
dibuatlah suatu model farmakokinetik dalam praktikum ini untuk
mengetahui karakteristik suatu obat dengan meniru suatu perilaku dan nasib
obat dalam sistem biologik jika diberikan secara intravena dan dengan dosis
tertentu.
I.2

Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan


Mahasiswa diharapkan

mampu

mengetahui

model

in

vitro

farmakokinetik obat setelah pemberian secara bolus intravena.


I.2.2 Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan:
1. Memahami proses in vivo dan perkembangan kadar obat dalam darah
setelah pemberian obat secara bolus intravena.
2. Mampu memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala
semilogaritmik.
3. Mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetik obat yang
berkaitan dengan pemberian obat secara bolus intravena.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1

Farmakokinetik
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang
dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolism dan
eksresi. Dalam arti sempit farmakokinetik khususnya mempelajari
perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya didalam
darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja, 2002).
Model

farmakokinetik

merupakan

model

matematika

yang

menggambarkan hubungan antara dosis dan konsentrasi obat dalam setiap


individu. Parameter dari model menggambarkan

faktor-faktor

yang

dipercaya penting dalam penentuan observasi dari konsentrasi atau efek


obat. Parameter tersebut antara lain terdiri dari beberapa parameter antara
lain parameter primer yang terdiri dari

volume

distribusi

(Vd),

klerens (Cl), dan kecepatan absorbs (Ka), parameter sekunder terdiri dari
kecepatan

eliminasi (K), dan waktu paruh (T1/2), serta parameter-

parameter turunan.

Model farmakokinetik tersebut mempunyai aplikasi

langsung untuk terapi obat dengan menentukan aturan dosis yang sesuai
(Aiache, 1993).
Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular.
Pada pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di
sirkulasi sistemik tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada pemberian
secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi (Zunilda,.dkk,
1995).
Untuk mengetahui mekanisme farmakokinetik suatu obat dapat
dilakukan simulasi metode in vivo atau in vitro. Metode in
merupakan metode penentuan suatu

vivo

efek obat menggunakan hewan

percobaan dengan analisis terhadap organ, urin maupun darah. Sedangkan


Metode in vitro adalah proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh
hewan uji (Admin, 2014).
Kompartemen adalah suatu kesatuan yang dapat digambarkan dengan
suatu volume tertentu dan suatu konsentrasi. Perilaku obat dalam system

biologi dapat digambarkan dengan kompartemen satu atau kompartemen


dua. Kadang-kadang perlu untuk menggunakan multi kompartemen,
dimulai dengan determinasi apakah data eksperimen cocok atau pas untuk
model kompartemen satu dan jika tidak pas dapat mencoba model yang
memuaskan.sebenarnya tubuh manusia adalah model kompartemen
multimillion, mengingat konsentrasi obat dalam organel yang berbeda sel
atau jaringan. Dalam tubuh kita memiliki jalan masuk untuk dua jenis
cairan tubuh, darah dan urin.
Model

kompartemen

yang

sering

digunakan

adalah

model

kompartemen satu terbuka, model ini menganggap bahwa berbagai


perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang
sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi model ini tidak
menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah
sama dengan berbagai waktu. Disamping itu, obat didalam tubuh juga
tidak ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentukan konsentrasi
obatnya dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh (Shargel, 1988).
Pada pemberian bolus secara intravena, obat seluruhnya akan sekaligus
masuk dalam sistem peredaran darah sehingga pada waktu pemberian
obat, kadar obat dalam darah adalah yang tertinggi. Kemudian kadar obat
akan menurun karena adanya proses distribusi ke dalam jaringan lain dan
eliminasi.
Persamaan kinetika obat dalam darah pada pemberian secara bolus
intravena dengan suatu dosis D yang mengikuti model satu kompartemen
deberikan dengan persamaan sebagai berikut:
Ct = C0 *e-kt
Dimana Cl adalah kadar obat dalam waktu t, C0 adalah kadar obat pada
waktu 0, k atau ke adalah konstanta kecepatan eliminasi obat. Dengan
menggunakan kadar obat pada berbagai waktu harga C0 dan k dapat
dihitung dengan cara regresi linear setelah persamaan ditranformasikan ke
dalam nilai logaritik:
lnC1 = lnC0 k.t

Setelah ditentukan nilai C0 dan k berbagai parameter farmakokinetik


yang berkaitan dengan cara pemberian obat secara bolus intravena dapat
dihitung seperti nilai volume distribusi (Vd), klirens (Cl) dan waktu paruh
eliminasi (t1/2).
II.1.1 Absorpsi
Yang dimaksud dengan absorpsi suatu obat ialah pengambilan obat
dari permukaan tubuh ke dalam aliran darah atau kedalam sistem
pembuluh limfa. Dari aliran darah atau system pembuluh limfa terjadi
distribusi obat kedalam organisme keseluruhan. Absorpsi, distribusi dan
eksresi tidak mungkin terjadi tanpa suatu transport melalui membran.
Penetrasi senyawa melalui membrane dapat terjadi sebagai difusi, difusi
terfasilitas, transport aktif, pinositosis

atau fagositosis. Absorpsi

kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi.


II.1.2 Distribusi
Apabila obat mencapai pembuluh darah obat akan ditransfer lebih
lanjut bersama aliran darah dalam sitstem sirkulasi. Akibat perubahan
konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat meninggalkan pembuluh
darah dan terdistribusi ke dalam jaringan (Mutscler, 1985).
Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai
pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi
sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia
serta keadaan fisiopatologi subjeknya, disamping itu perlu diingat
kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini
merupakan fenomena dinamik, yang selalu terdiri dari fase peningkatan
dan penurunan kadar zat aktif. Pengertian akumulasi dan penimbunan
terutama penimbunan bahan toksik, harus dijajaki dari sudut pandang
dinamik, maksudnya melihat perbedaan antara kecepatan masuk dan
kecepatan keluar.Sebenarnya penimbunan bahan toksik maupun efek racun
dan hasil fatal sebagai akibat lambat atau sangat lambatnya laju
pengeluaran dibandingkan laju penyerapannya (Aiache, 1993).
II.1.3 Metabolisme
Obat yang telah diserap diusus ke dalam sirkulasi lalu diangkut melalui
sistem pembuluh porta (vena portae), yang merupakan suplai darah utama

dari daerah lambung usus ke hati. Dalam hati, seluruh atau sebagian obat
mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan hasil perubahannya
(metabolit) menjadi tidak kurang aktif, dimana proses ini disebut proses
diaktivasi atau bioinaktivasi (pada obat dinamakan first oass effect). Tapi
adapula obat yang khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi)
oleh karenanya reaksi-reaksi metabolism dalam hati dan beberapa organ
lain lebih tepat disebut biotransformasi (Tjay dan rahardja, 2012).
Faktor yang mempengaruhi metabolism obat yaitu induksi enzim yang
dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi.Selain itu inhibisi enzim
yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi obat
diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya menigkat, menimbulkan
efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga
berpengaruh terhadap metabolism dimana terjadi oleh obat yang
dimetabolisir oleh system enzim yang sama (contoh alkohl dan
barbiturate). Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap metabolisme
karena adanya genetic polymorphsm, dimana seseorang mingkin memiliki
kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama ( Hinz, 2005).
Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas sistemiknya kurang
dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus
dinding saluran cerna (jumlah obat yang diabsorpsi) dan jumlah obat yang
mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintas pertama) di mukosa
usus dan dalam hepar (Setiawati, 2005).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum
masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak,
jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di dalam lever terdapat enzim
khusus yaitusitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk
metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar)
dan akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses,
keringat dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar
obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolism
akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang di hasilkan juga
berkurang (Hinz, 2005).

Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic


Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reaction (Reaksi Fase II).Reaksi
fase

terdiri

dari

oksidasi,

reduksi,

hidrolisa,

alkali,

dan

dealkilasi.Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa asalnya.Umumnya


tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih
lanjut. Reaksi fase II berupa konjugasi yaitu penggabungan suatu obat
dengan suatu molekul lain. Metabolitnya umumnya lebih larut dalam air
dan mudah diekskresikan (Hinz, 2005).
Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam
air dibandingkan molekul awal.Perubahan sifat fisiko kimia ini paling
sering dikaitkan dengan penyebaran kuantitatif metabolit yang dapat
sangat berbeda dari zat aktifnya dengan segala akibatnya. Jika metabolit
ini merupakan mediator farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik
berupa peningkatan maupun penurunan efeknya (Aiache, 1993).
II.1.4 Ekskresi
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh
ginjal melalui air seni disebut ekskresi.Lazimnya tiap obat diekskresi
berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang
utuh. Tapi adapula beberapa cara lain yaitu melalui kulit bersama keringat,
paru-paru melalui pernafasan dan melalui hati dengan empedu (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada
kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan
kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma halflife eliminasi (waktu paruh) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam
plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuhnya. Kecepatan
eliminasi

obat

dan

plasma

t1/2-nya

tergantung

dari

kecepatan

biotransformasi dan ekskresi.Obat dengan metabolisme cepat half life-nya


juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami biotransformasi atau
yang resorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya t1/2-nya
panjang (Waldon, 2008).

II.2

Parameter Farmakokinetika
Bioavailabilitas dari suatu sediaan obat adalah persentase obat yang
secara utuh mencapai sirkulasi umum untuk melakukan kerjanya. Selama
proses absorpsi dapat terjadi kehilangan zat aktif akibat tidak
dibebaskannya dari sediaan pemberiannya. Atau pula karena penguraian
didalam usus atau dindingnya dalam hati salama peredaran pertama
disistem porta sebelum tiba diperedaran darah.Karena Firs Fass Effect
(FPE) ini, maka bio-availability obat menjadi rendah dari pada persentase
yang sebenarnya diabsorpsi (Tjay dan Rahardja, 2002).
Adapun parameter-parameter farmakokinetika :
a. T maksimum (tmaks) yaitu waktu konsentrasi plasma mencapai puncak
dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai
konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada tmaks absorpsi
obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi
obat. Absorpsi masih berjalan setelah tmaks tercapai, tetapi pada laju
yang lebih lambat.Harga tmaks menjadi lebih kecil (berarti sedikit
waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak)
bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat (Shargel, 2005).
b. Konsentrasi plasma puncak (Cmaks) menunjukkan konsentrasi obat
maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk
beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu
obat dan konsentrasi obat dalam plasma (Shargel, 2005).
c. Menurut Holford (1998), Volume Distribusi (Vd) adalah volume yang
didapatkan pada saat obat didistribusikan. Menghubungkan jumlah
obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat ( C ) dalam darah atau
plasma.
d. AUC (Area Under Curve) adalah permukaan di bawah kurva (grafik)
yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari
waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran
untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat digunakan untuk
membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan

kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara


kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung
(Waldon, 2008).
II.3

Uraian Bahan
1. Alkohol (Dirjen POM, 1979 ; Dirjen POM, 1995)
Nama resmi
: Aethanolum
Nama lain
: Etanol
RM/BM
: C2H6O/46,07
Rumus struktur :
H H
H
C C
O H
H H
Pemerian
: Cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna,
baunya khas dan menyebabkan rasa terbakar pada
lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah
Kelarutan

dan mendidih pada suhu 78. Mudah terbakar.


: Bercampur dengan air dan praktis bercampur

Khasiat
Kegunaan

dengan semua pelarut organik.


: Sebagai disinfektan
: Sebagai pelarut dan untuk membersihkan alat yang

akan digunakan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, jauh dari api
2. Parasetamol (Dirjen POM, 1979; Sweetman, 2009)
Nama resmi

: Acetaminophenum

Nama lain

: Asetaminofen, parasetamol

RM/BM

: C8H9NO2/151,16

Rumus struktur :

OH

NHCOCH3
Pemerian

: Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa


pahit

Kelarutan

: Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol


(95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol
P, larut dalam larutan alkali hidroksida

Khasiat

: Sebagai analgetikum, antipiretikum

Kegunaan

: Sebagai sampel

Stabilitas

: Parasetamol

stabil

dalam

larutan.

Degradasi

parasetamol di katalisis oleh asam dan basa,


terdegradasi menjadi asam asetat dan p-aminofenol
Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya

10

BAB III
METODE KERJA
III. 1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Praktikum ini dilakukan di Laboratorium Biofarmasi, Jurusan Farmasi,
Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo, pada hari
Sabtu, 16 Januari 2016 sampai dengan selesai.
III. 2 Alat dan Bahan
III.2.1 Alat
1. Disposable
2. Gelas kimia
3. Gelas ukur
4. Labu disolusi
5. Labu ukur
6. Mechanical stirrer tipe dayung
7. Neraca analitik
8. Pipet
9. Sendok tanduk
10. Spektrofotometer
11. Waterbath
III.2.2 Bahan
1. Air bebas CO2
2. Alkohol 70%
3. Etanol 95%
4. Parasetamol
5. Tissue
III. 3 Cara kerja
a. Larutan baku
1. Diukur 5 mL etanol 95%
b. Larutan sampel
1. Ditimbang 10 mg parasetamol
2. Dilarutkan dalam 5 mL etanol 95 %
3. Dicampur sampai larut
c. Penentuan laju eliminasi
1. Diukur 100 mL air bebas CO2
2. Dimasukkan kedalam labu disolusi
3. Diatur waterbath pada temperatur 37C
4. Dimasukkan larutan sampel kedalam labu disolusi
5. Dijalankan motor penggerak dengan kecepatan 100 rpm
6. Diambil cuplikan sebanyak 5 mL pada waktu 5, 10, 15, 20, 25, 30,
35, 40, 45, 50, 55, 60, 65, 70, 75, 80, 85, 90, 95 dan 100 menit

11

setelah alat dijalankan. Setiap kali pengambilan cuplikan


ditambahkan sejumlah air volume sama dengan volume cuplikan
7. Ditentukan kadar obat dalam cuplikan menggunakan
spektrofotometer
8. Diplot data kadar obat terhadap waktu pada kertas semilogaritmik
9. Dihitung harga t1/2 dan AUC

12

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1

Hasil Pengamatan

IV.1.1 Tabel Pengamatan


a. Kurva baku

r
a
b
y

r
a
b
y

=
=
=
=
=

C
1 ppm
2 ppm
3 ppm
4 ppm
5 ppm
0,970
0,194
0,0718
bx + a
0,0718x + 0,194

A
0,269
0,304
0,451
0,486
0,537

WAKTU
A
T80
0,729
T85
0,555
T90
0,395
T95
0,311
T100
0,201
= -0,98
= 2,7782
= -0,026
= bx + a
= -0,026x + 2,7782

IV.1.2 Perhitungan
a. Sebelum koreksi (Mb)
y = bx + a
= 0,0718x + 0,194
T80 = 0,729 = 0,0718 (x) + 0,194
x
= 7,451
T85 = 0,555 = 0,0718 (x) + 0,194
x
= 5,027
T90 = 0,395 = 0,0718 (x) + 0,194
x
= 2,779

13

Mb
7,451
5,027
2,799
1,629
0,097

MT
7,451
5,765
4,037
3,155
1,785

T95 = 0,201 = 0,0718 (x) + 0,194


x
= 0,097
b. Sesudah koreksi (Mt)
MT1 = Mb1
MT1 = 7,451
10
MT2 = Mb2 + 100 Mb1
= 5,02 +
= 5,765
MT3 = Mb3 +

10
100

7,451

10
100

(Mb1 + Mb2)

10
100

= 2,799 +
= 4,037
MT4 = Mb4 +

10
100
10
100

= 1,629 +
= 3,155
MT5 = Mb5 +

10
100

= 0,097 +

10
100

(7,451 + 5,02)

(Mb1 + Mb2 + Mb3)


(7,451 + 5,02 + 2,79)

((Mb1 + Mb2 + Mb3 + Mb4)


(7,451 + 5,02 + 2,79 + 1,629)

= 1,785
c. Waktu paruh
T1/2

0,693
k

0,693
0,026

b = -k

= 26,65 menit = 27 menit


d. AUC
AUC =
=

Cp0
k

Cp0 = anti ln a

16,09
0,026

= 16,09

14

= 618,84 mg jam/L
IV.2

Pembahasan
Pada

praktikum

kali

ini

dilakukan

pengamatan

perubahan

konsentrasi obat paracetamol terhadap waktu yang dilakukan secara


invitro. Percobaan di simulasikan dengan keadaan yang ada didalam tubuh
dimana obat diberikan dalam bnetuk injeksi intravena (IV bolus).
Percobaan ini bertujuan untuk dapat menjelaskan proses farmakokinetik
obat dalam tubuh setelah pemberian injeksi bolus secara intravena.
Adapun langkah kerja, pertama disiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan. Alat yang akan digunakan terlebih dahulu dibilas dengan
alkohol 70 % agar steril karena sifat alkohol sebagai desinfektan, yaitu
dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri (Dirjen
POM, 1979). Selanjutnya dibuat larutan baku dengan melarutkan 10 mg
paracetamol ke dalam 5 mL etanol 95%. Menurut FI III (1979) dilihat dari
kelarutan paracetamol dimana paracetamol ini larut dalam 7 bagian etanol,
dalam 70 bagian air dan dalam 13 bagian aseton. Kemudian divorteks
untuk mendapatkan campuran yang homogen sehingga diperoleh larutan
paracetamol dengan konsentrasi 1000 ppm. Setelah itu larutan diencerkan
menjadi 100 ppm. Pengenceran ini dilakukan untuk mengubah zat larutan
yang pekat agar larutan dari pengenceran tersebut menghasilkan volume
akhir yang lebih besar serta mempermudah pengukuran absorban
menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Pengenceran ini dilakukan dengan
cara dipipet 1 mL larutan dari 1000 ppm menggunakan pipet mikro dan
dimasukkan kedalam labu ukur. Kemudian ditambahkan pelarut etanol
95% dan divorteks agar larutan bercampur dengan homogen. Selanjutnya
larutan parasetamol dengan konsentrasi 100 ppm diencerkan lagi hingga
menjadi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm dan 5 ppm yakni dengan cara dipipet
secara berturut-turut 0,1 mL, 0,2 mL, 0,3 mL, 0,4 mL dan 0,5 mL larutan
dari 100 ppm menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam labu
ukur. Setelah itu ditambahkan pelarut etanol 95% dan divorteks hingga
homogen.

15

Absorbansi larutan parasetamol dengan konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3


ppm, 4 ppm dan 5 ppm dihitung menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
Menurut Day (2002) tujuan penggunaan Spektrofotometri UV-Vis karena
Spektrofotometri

UV-Vis

mempunyai

kelebihan

yakni

merupakan

gabungan antara spektrofotometri UV dan Visible, menggunakan dua buah


sumber cahaya berbeda, yaitu sumber cahaya ultra ungu dan sumber
cahaya tampak. Dimana nilai absorbansi yang diperoleh dari konsentrasi 1
ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm dan 5 ppm secara berturut-turut adalah 0,269,
0,304, 0,451, 0,486, 0,537.
Perlakuan selanjutnya yaitu penentuan laju eliminasi. Pertama-tama
hal yang dilakukan yaitu diukur 100 mL air bebas CO2 dan dimasukkan
dalam labu disolusi. Pada ercobaan ini medium yang digunakan yaitu air
dimana air merupakan cairan penyusun utama dalam tubuh manusia.
Sehingga dapat disesuaikan dengan proses yang terjadi di dalam tubuh.
Setelah itu diatur waterbath pada temperatur 37C hal ini disesuaikan
dengan suhu fisiologi tubuh manusia yaitu 37-38C. Kemudian
dimasukkan larutan sampel ke dalam bejana yang berisi air bebas CO2, dan
dinyalakan motor penggerak pada kecepatan 100 rpm. Setelah itu diambil
larutan sebanyak 5 mL pada waktu 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55,
60, 65, 70, 75, 80, 85, 90, 95 dan 100 menit dengan cara mengambil
cuplikan sebanyak 5 mL dan ditentukan kadar paracetamol dengan melihat
absorbansinya pada spektrofotometri UV-Vis. Cairan yang hilang akan
diganti sesuai dengan volume yang diambil agar volume larutan tetap
konstan. Adapun nilai absorban dari masing-masing cuplikan secara
berturut-turut yaitu 3,555, 3,312, 3,190, 3,308, 3,724, 4,615, 4,041, 3,698,
3,255,2,890, 2,446, 2,008, 1,596, 1,250, 0,962, 0,729, 0,555, 0, 395, 0,311
dan 0,201 serta waktu paruh dari parasetamol diperoleh yaitu 27 menit dan
nilai AUC adalah 618,84 mg jam/L.

16

BAB V
PENUTUP
V.1

Kesimpulan
Simulasi model in vitro farmakokinetika digunakan untuk menguji
farmakokinetika obat dalam suatu wadah yang digambaran seperti
kompartemen darah dalam

tubuh sebagai tempat didistribusikan dan

dieliminasikannya obat. Adapun waktu paruh yang diperoleh dari


parasetamol yaitu 27 menit dan nilai AUC (Area Under Curve) adalah
618,84 mg jam/L.
V.2

Saran
1. Jurusan
Saran untuk jurusan yaitu sebaiknya menyediakan anggaran
yang lebih besar untuk laboratorium agar alat-alat yang ada di dalam
laboratorium lengkap dan dapat digunakan dengan maksimal oleh
praktikan.
2. Laboratorium
Saran untuk laboratorium, sebaiknya alat-alat yang ada di
laboratorium lebih diperhatikan dan dirawat lagi agar saat praktikum
bisa dipergunakan dengan baik dan maksimal tanpa ada kekurangan.
3. Praktikan
Saran untuk praktikan yaitu, praktikan harus teliti dalam
melakukan percobaan dan berhati-hati memakai peralatan-peralatan
agar tidak tejadi kecelakaan dalam percobaan dan tidak ribut ketika
sedang melakukan percobaan.

17

Anda mungkin juga menyukai