Anda di halaman 1dari 15

RESEPTOR OBAT, AGONIS DAN ANTAGONIS

(Makalah Kimia Medik)

Disusun Oleh:

Kelompok 2

1. Fithriyani Alif Fajrin (NPM 1713023047)


2. Nicken Sugesti (NPM 1813023003)
3. Ayu Aqsari (NPM 1813023028)

Dosen Pengampu:

Dr. Ratu Betta Rudibyani, M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG

2020
DAFTAR ISI

Halaman Sampul..................................................................................i
Daftar Isi...............................................................................................ii
A. Reseptor Obat.............................................................................1
1. Agonis..................................................................................2
2. Antagonis..............................................................................6
B. Jenis – Jenis Reseptor................................................................10
C. Fungsi Reseptor.........................................................................12

Daftar Pustaka.....................................................................................13

ii
PEMBAHASAN

A. Reseptor Obat

Reseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa protein)


yang berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan (hormon,
neurotransmiter, mediator kimia dalam sistem imun, dan lain-lain) untuk
menghasilkan respon seluler. Obat bekerja dengan melibatkan diri dalam
interaksi antara senyawa kimia endogen dengan reseptor ini, baik
menstimulasi (agonis) maupun mencegah interaksi (antagonis).

Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada
sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul
fungsional yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis
bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurotransmiter). Interaksi
obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan
fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi yang baru.

Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor


hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim
metabolik dan regulator (seperti dihidrofolat reduktase dan
asetilkolinesterase). Reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor
yang berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter).

Obat harus berinteraksi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor)
untuk dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk
komplek obat-reseptor yang merangsang timbulnya respon biologis, baik
respon antagonis maupun agonis.

1
1. Agonis
Agonis adalah bahan kimia (obat) yang mengikat reseptor dan mengaktifkan
reseptor, dan bila berinteraksi dapat menghasilkan respon farmakologis
(kontraksi, relaksasi, sekresi, aktivasi enzim, dll).

Reseptor sering digambarkan sebagai protein yang bisa berikatan ataupun


tidak berikatan dengan ligan agonis. Ketika reseptor berikatan dengan ligan
agonis, maka akan menghasilkan efek obat. Ketika tidak berikatan, maka efek
obat tidak akan muncul. Keadaan reseptor dibagi menjadi berikatan dan tidak
berikatan, yang masing-masing menghasilkan bentuk yang berbeda. Agonis
secara sederhana sering digambarkan sebagai pengaktif reseptor (Gambar 1).
Dalam hal ini, besarnya efek obat tergantung dari total jumlah reseptor yang
terikat. Sehingga efek obat paling maksimal terjadi ketika semua reseptor
terikat.

Gambar 1. Interaksi reseptor dengan agonis

Gambar 1 Interaksi reseptor dengan agonis digambarkan sebagai berikatan


dan tidak berikatan. Reseptor yang tidak berikatan digambarkan inaktif.
Ketika reseptor berikatan dengan ligan agonis, maka akan teraktivasi, R*,
dan memediasi efek obat. Gambaran ini cukup sederhana, tetapi dapat
memberikan pengertian dasar dari sifat agonis.

Partial agonist adalah obat yang berikatan dengan reseptor dan


mengaktifkannya tetapi tidak sebesar full agonist. Walaupun pada dosis
supramaksimal, partial agonist tidak bisa menimbulkan efek obat yang

2
optimal. Partial agonist juga memiliki aktivitas antagonis yang disebut
agonis-antagonis. Ketika partial agonist diberikkan bersama full agonist,
hal ini akan mengurangi efek dari full agonist. Sebagai contoh,
butorphanol adalah partial agonist pada reseptor μ opioid. Ketika
diberikan tunggal, butorphanol memberikan efek analgesik yang sedang.
Ketika diberikan dengan fentanyl, maka akan membalikan separuh efek
analgesik dari fentanyl, dan pada pasien yang menggunakan opioid kronik
maka akan menimbulkan withdrawal. Inverse agonist berikatan pada
lokasi yang sama dengan agonis (dan biasanya berkompetisi), tetapi
menghasilkan efek yang berlawanan dengan agonis. Inverse agonist
mematikan kerja konstitutif

Agonis beta atau agonis adrenergik beta adalah golongan obat yang digunakan
untuk melegakan pernapasan (bronkodilator). Agonis beta diberikan untuk
menangani kondisi asma dan penyakit obstruksi jantung kronis (PPOK).
Agonis beta bekerja dengan mengaktifikan sel beta-2 reseptor yang berfungsi
melemaskan otot-otot pada saluran pernapasan dan membuka jalan napas. Jalan
napas yang terbuka dapat membantu untuk meredakan sesak napas yang
diderita oleh pasien asma dan PPOK.

a. Jenis-jenis Agonis Beta

Berdasarkan lama kerjanya, obat agonis beta dibagi menjadi tiga jenis, yakni
agonis beta short-acting, long-acting, dan ultra-long acting.

 Obat-obat agonis beta short-acting:


o Salbutamol
o Terbutaline
 Obat-obat agonis beta long-acting:
o Formoterol
o Olodaterol
o Salmeterol
 Obat beta agonis ultra-long acting:
o Indacaterol

3
Contoh obat agonis termasuk heroin, oksikodon, metadon, hidrokodon, morfin,
dan opium. Beberapa di antaranya seperti heroin dinyatakan ilegal. Obat-
obatan ini menghilangkan rasa sakit. Dosis yang kuat dapat memiliki banyak
efek samping yang berkaitan dengan respirasi, kegagalan organ, kantuk, dan
mati rasa.

Agonis adrenoseptor beta-2 selektif menghasilkan bronkodilatasi. Agonis


adrenoseptor beta-2 selektif kerja pendek digunakan untuk menghilangkan
gejala asma dengan segera sedangkan agonis adrenoseptor beta-2 selektif kerja
panjang biasanya ditambahkan pada kortikosteroid inhalasi untuk pasien yang
memerlukan terapi profilaksis.

Agonis adrenoseptor beta-2 kerja pendek. Gejala asma ringan sampai


sedang memberikan respon yang cepat terhadap inhalasi adrenoseptor beta-2
selektif kerja pendek, seperti salbutamol atau terbutalin. Jika inhalasi agonis
beta-2 diperlukan lebih dari sekali sehari, terapi profilaksis harus
dipertimbangkan, menggunakan cara bertahap. Pengobatan reguler dengan
agonis adrenoseptor beta-2 kerja pendek tidak memberikan manfaat klinis.
Inhalasi agonis adrenoseptor beta-2 kerja pendek sesaat sebelum kerja fisik
mengurangi asma akibat kerja fisik. Akan tetapi, asma akibat kerja fisik yang
sering terjadi menunjukkan pengendalian yang buruk dan diperlukan penilaian
kembali pengobatan asmanya.

Agonis adrenoseptor beta-2 kerja panjang. Salmeterol dan formoterol


adalah agonis adrenoseptor beta-2 yang kerjanya lebih panjang, yang diberikan
secara inhalasi. Ditambahkan pada terapi kortikosteroid    inhalasi yang
reguler, salmeterol dan formoterol berperan dalam pengendalian jangka
panjang asma kronik efektif dan berguna untuk asma nokturnal. Salmeterol
tidak boleh dipakai untuk mengatasi serangan akut, karena mula kerjanya lebih
lambat dibanding salbutamol dan terbutalin. Formoterol digunakan untuk terapi
jangka pendek menghilangkan gejala dan untuk mencegah spasme bronkus
akibat kerja fisik dengan mula kerja yang sama cepatnya dengan salbutamol.

4
Jika digunakan tanpa kortikosteroid inhalasi, salmeterol telah dihubungkan
dengan munculnya serangan asma yang mengancam jiwa, meskipun jarang,
dan dosis tinggi formoterol dihubungkan dengan peningkatan eksaserbasi asma
yang berat. Karena itu agonis beta-2 kerja panjang ditambahkan pada terapi
kortikosteroid, dan bukan untuk menggantikannya. Dosis rendah agonis
adreno-septor beta-2 kerja panjang efektif untuk sebagian besar pasien dan
harus dicobakan terlebih dahulu.

b. Jenis-Jenis Obat Agonis

Ada dua jenis obat agonis utama;

 Obat agonis pengikat langsung atau agonis komplet mampu mengikat


langsung ke tempat pengikatan spesifik reseptor. Situs pengikat ini adalah
situs di mana ligan alami berikatan dalam kondisi normal. Ini
menghasilkan respons yang lebih cepat karena langsung berikatan dengan
reseptor dan mengaktifkan pensinyalan otak. Contohnya adalah morfin
dan nikotin.
 Obat agonis pengikat tidak langsung juga disebut sebagai agonis parsial,
adalah obat yang meningkatkan pengikatan ligan alami ke reseptor untuk
menghasilkan efek. Obat-obatan ini memberikan respons yang tertunda.
Contoh agonis pengikat tidak langsung adalah kokain.

2. Antagonis
Antagonis reseptor adalah istilah dalam bidang ilmu farmakologi, terutama
berhubungan dengan farmakodinamik yaitu ilmu yang mempelajari efek-
efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerja obat dalam tubuh.
Antagonisme reseptor berkaitan dengan suatu keadaan ketika efek dari
suatu obat menjadi berkurang atau hilang sama sekali yang disebabkan
oleh keberadaan satu obat lainnya. Prosesnya berikatan
dengan reseptor namun tidak menyebabkan aktivasi, menurunkan
kemungkinan agonis akan berikatan pada reseptor, sehingga menghalangi
kerjanya dengan secara efektif dengan cara melemahkan atau melepaskan
dari sistem reseptor.

5
Antagonis dibagi menjadi dua kelas bergantung pada apakah secara
langsung bersaing dengan agonis untuk berikatan dengan reseptor atau
tidak. Jika konsentrasi agonis tetap maka peningkatan konsentrasi
antagonis akan kompetitif dan secara progresif menghambat respon agonis
sehingga menyebabkan konsentrasi antagonis yang tinggi untuk mencegah
respon secara total, proses ini berlangsung secara reversible (reaksi yang
dapat dibalikkan). Reaksi sebaliknya terjadi, ketika konsentrasi agonis
yang tinggi dapat menghambat efek konsentrasi tertentu antagonis, ini
terjadi ketika reaksi berlangsung secara irreversible dan antagonis
berikatan secara non kompetitif pada reseptor.

Tidak semua mekanisme antagonisme melibatkan interaksi obat dengan


satu jenis reseptor, dan sebagian dari antagonisme sama sekali tidak
melibatkan reseptor. Antagonisme kimiawi terjadi ketika dua obat
bergabung membentuk suatu larutan sehingga efek obat yang aktif menjadi
hilang, misalnya karena inaktivasi logam-logam berat
seperti Stannum dan Cadmium dengan pemberian chelating
agent seperti Dimercaprol yang akan mengikat erat ion-ion logam tersebut
sehingga membentuk senyawa tidak aktif. Jenis lain antagonisme adalah
antagonisme fisiologik yang digunakan untuk menjelaskan interaksi dari
dua obat yang mempunyai efek yang berlawanan di dalam tubuh dan
cenderung untuk meniadakan satu sama lainnya.
Misalnya, adrenalin meningkatkan tekanan arteri dengan bekerja
pada jantung dan pembuluh perifer, sedangkan histamin menurunkan
tekanan arteri dengan cara vasodilatasi sehingga kedua obat saling bersaing
satu sama lain

Antagonis reseptor H2 adalah salah satu golongan obat saluran


pencernaan/ gastrointestinal yang paling banyak diresepkan; obat-obatan
yang digunakan untuk mengobati gejala dan kondisi yang disebabkan oleh
produksi asam lambung yang berlebihan. Antagonis H2 dulunya adalah

6
agen lini pertama dalam pengobatan kondisi asam lambung, sampai
mereka digantikan oleh inhibitor pompa proton yang lebih efektif.
Antagonis H2 pertama – simetidin – dikembangkan pada 1960-an oleh Sir
James Black.

Dari semua antagonis H2, simetidin dikaitkan dengan sebagian besar efek
samping dan sebagian besar interaksi obat. Antagonis selanjutnya – seperti
ranitidine dan famotidine – dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki
sedikit, jika ada, interaksi obat yang serius.

Contoh antagonis reseptor H2 meliputi:

 Simetidin
 Famotidine
 Ranitidine
 Nizatidine

Antagonis H2 digunakan dalam pengobatan kondisi berikut:

 Penyakit tukak lambung – mereka digunakan untuk mengobati dan


mencegah tukak; faktor penyebab termasuk penggunaan NSAID dan ulkus
duodenum.
 Dispepsia
 Penyakit gastroesophageal reflux (GERD)
 Profilaksis tukak stres
 Sindrom Zollinger-Ellison

Sekali lagi, penghambat pompa proton dianggap sebagai agen lini pertama.
Meskipun demikian, antagonis H2 tetap merupakan alternatif klinis yang
penting.

7
a. Mekanisme aksi
Antagonis H2 bekerja dengan mencegah pelepasan histamin dari sel mirip
enterochromaffin (ECL) – dengan histamin yang bekerja pada sel parietal di
dekatnya. Histamin adalah salah satu dari banyak elemen independen yang
bertanggung jawab untuk “mengaktifkan” pompa proton di dalam sel parietal.
Dengan menghambat histamin, produksi asam lambung berkurang. Itulah
yang membedakan mekanisme antagonis H2 dari inhibitor pompa proton.
Antagonis H2 membatasi produksi asam, sedangkan penghambat pompa
proton menekan produksi asam jauh lebih efektif. Dengan kata lain, PPI
menghambat tahap terminal dalam produksi asam lambung sedangkan
antagonis H2 tidak. Inilah yang membuat PPI jauh lebih efektif dalam
mengurangi produksi asam lambung.

b. Efek Samping

Antagonis H2 adalah agen yang dapat ditoleransi dengan baik.

Namun, mereka terkait dengan berbagai efek samping potensial mereka


sendiri. Banyak dari efek samping yang tercantum di bawah ini umum terjadi
pada simetidin tetapi jauh lebih jarang pada antagonis selanjutnya.

Efek sampingnya meliputi:


 Diare atau sembelit
 Sakit kepala
 Pusing
 Kelelahan
 Lemas
 Diare
 Konstipasi
 Pilek
 Mulut atau kulit kering
 Telinga berdenging
 Susah tidur
 Sulit buang air kecil

8
Sebagian kecil pasien yang memakai simetidin pernah mengalami
ginekomastia. Sebuah minoritas yang lebih kecil telah mengalami kehilangan
libido, efek reversibel setelah penghentian simetidin.

c. Pertimbangan Klinis
Ketika kita berbicara tentang farmakologi klinis antagonis H2, kita perlu
memikirkan faktor-faktor berikut:

 Simetidin itu dikaitkan dengan lebih banyak efek samping dan interaksi
obat dibandingkan dengan antagonis H2 yang lebih baru, seperti ranitidin.
 Antagonis H2 tersebut memiliki onset kerja yang lebih cepat dibandingkan
dengan inhibitor pompa proton. Ini mungkin berguna jika penekanan asam
yang relatif segera dicari – misalnya, sebelum operasi untuk mencegah
aspirasi asam ke saluran pernapasan.
 Antagonis H2 itu dapat menutupi gejala kanker lambung. Pasien harus
dimonitor untuk gejala serius seperti kesulitan menelan dan penurunan
berat badan.
 Karena farmakokinetik simetidin, meningkatkan risiko toksisitas bila
diminum dengan obat-obatan seperti warfarin, fenitoin, kuinidin, TCA dan
propranolol.
 Dengan meningkatkan pH lambung, antagonis H2 dapat meningkatkan
risiko mengembangkan kolitis Clostridium difficile.
 Antagonis reseptor H2 diklasifikasikan sebagai kategori kehamilan B –
yang berarti bahwa “tidak ada risiko dalam penelitian non-manusia”.
Meskipun antagonis H2 sebagian besar telah digantikan oleh penghambat
pompa proton, mereka tetap menjadi alternatif penekan asam yang penting dan
tetap, dengan demikian, kelas obat yang berharga dalam perangkat dokter.

B. Jenis-Jenis Reseptor
1. Reseptor Terkopling Protein G (GPCR)
GPCR, disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan
responnya terjadi dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida

9
tunggal dengan 7 heliks transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan
aktivasi bagian protein G yang kemudian memodulasi/mengatur aktivitas
enzim atau fungsi kanal.

Contoh reseptor Efek Agonis Antagonis


Histamin H1 Kontraksi otot Histamin Mepiramin
polos (IP3).
Berbagai efek
karena
posforilasi
protein
Adrenoreseptor Adrenalin Propanolol
B2 Relaksasi otot Salbutamol
polos
Asetilkolin Atropin
Muskarinik M2 Penurunan
kekuatan
kontraksi
jantung
Pelambatan
Jantung

2. Reseptor Terhubung Kanal Ion


Reseptor ini berada di membran sel, disebut juga reseptor ionotropik. Respon
terjadi dalam hitungan milidetik. Kanal merupakan bagian dari reseptor.
Contoh : reseptor nikotinik, reseptor GABAA, reseptor ionotropik glutamat
dan reseptor 5-HT3.

3. Reseptor Nikotinik Asetilkolin


Reseptor ini ditemukan di otot skeletal, ganglion sistem saraf simpatk dan
parasimpatik, neuron sistem saraf pusat, dan sel non neural. Mekanisme kerja
reseptor ini ditunjukkan pada gambar 3.

10
Reseptor ini terdiri dari 5 subunit (yaitu subunit α1, β1, γ atau ε, dan δ), yang
melintasi membran, membentuk kanal polar. Masing-masing sub unit terdiri
dari 4 segmen transmembran, segmen ke-2 (M2) membentuk kanal ion.
Domain N-terminal ekstraseluler masing-masing sub unit mengandung 2
residu sistein yang dipisahkan oleh 13 asam amino membentuk ikatan
disulfida yang membentuk loop, merupakan binding site untuk agonis.

4. Reseptor Terhubung Transkripsi Gen


Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear (walaupun
beberapa ada di sitosol, merupakan reseptor sitosolik yang kemudian
bermigrasi ke nukleus setelah berikatan dengan ligand, seperti reseptor
glukokortikoid). Contoh : reseptor kortikosteroid, reseptor estrogen dan
progestogen, reseptor vitamin D.

5. Reseptor Terhubung Enzim


Reseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan bagian
besar ekstraseluler mengandung binding site untuk ligan (contoh: faktor
pertumbuhan, sitokin) dan bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim
(biasanya aktivitas tirosin kinase). Aktivasi menginisiasi jalur intraseluler
yang melibatkan tranduser sitosolik dan nuklear, bahkan transkripsi gen.
Reseptor sitokin mengaktifkan Jak kinase, yang pada gilirannya mengaktifkan
faktor transkripsi Stat, yang kemudian mengaktifkan transkripsi gen.

Reseptor faktor pertumbuhan terdiri dari 2 reseptor, masing-masing dengan


satu sisi
pengikatan untuk ligan. Agonis berikatan pada 2 reseptor menghasilkan
kopling (dimerisasi). Tirosin kinase dalam masing-masing reseptor saling
memposforilasi satu sama lain. Protein penerima (adapter) yang mengandung
gugus –SH berikatan pada residu terposforilasi dan mengaktifkan tiga jalur
kinase. Kinase 3 memposforilasi berbagai faktor transkripsi, kemudian
mengaktifkan transkripsi gen untuk proliferasi dan diferensiasi.

11
C. Fungsi Reseptor
Fungsi reseptor adalah:
1)      Merangsang perubahan permeabilitas membran sel.
2)      Pembentukan pembawa kedua (second messenger) misalnya cAMP,
diasilgliserol, inositol trifosfat.
3)      Mempengaruhi transkripsi gen atau DNA.

Dari fungsi tersebut, reseptor terlibat dalam komunikasi antar sel. Reseptor
menerima rangsang dengan berikatan dengan pembawa pesan pertama (first
messenger) yaitu agonis yang kemudian menyampaikan informasi yang
diterima kedalam sel dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui
perubahan petmeabilitas membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau
mempengaruhi  transkripsi gen.

12
DAFTAR PUSTAKA

Fadhli, Haiyul. 2015. Interaksi Obat dengan Reseptor.


http://haiyulfadhli.blogspot.com/2015/10/interaksi-obat-dengan-
reseptor.html Diakses pada tanggal 13 Oktober 2020 pukul 18.50

Pramita, Risna Dea. 2017. Prinsip Dasar Farmakologi. Bali: Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana.

Zullies, Ikawati. 2012. Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

13

Anda mungkin juga menyukai