Disusun Oleh:
Kelompok 2
Dosen Pengampu:
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2020
DAFTAR ISI
Halaman Sampul..................................................................................i
Daftar Isi...............................................................................................ii
A. Reseptor Obat.............................................................................1
1. Agonis..................................................................................2
2. Antagonis..............................................................................6
B. Jenis – Jenis Reseptor................................................................10
C. Fungsi Reseptor.........................................................................12
Daftar Pustaka.....................................................................................13
ii
PEMBAHASAN
A. Reseptor Obat
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada
sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul
fungsional yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis
bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurotransmiter). Interaksi
obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan
fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi yang baru.
Obat harus berinteraksi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor)
untuk dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk
komplek obat-reseptor yang merangsang timbulnya respon biologis, baik
respon antagonis maupun agonis.
1
1. Agonis
Agonis adalah bahan kimia (obat) yang mengikat reseptor dan mengaktifkan
reseptor, dan bila berinteraksi dapat menghasilkan respon farmakologis
(kontraksi, relaksasi, sekresi, aktivasi enzim, dll).
2
optimal. Partial agonist juga memiliki aktivitas antagonis yang disebut
agonis-antagonis. Ketika partial agonist diberikkan bersama full agonist,
hal ini akan mengurangi efek dari full agonist. Sebagai contoh,
butorphanol adalah partial agonist pada reseptor μ opioid. Ketika
diberikan tunggal, butorphanol memberikan efek analgesik yang sedang.
Ketika diberikan dengan fentanyl, maka akan membalikan separuh efek
analgesik dari fentanyl, dan pada pasien yang menggunakan opioid kronik
maka akan menimbulkan withdrawal. Inverse agonist berikatan pada
lokasi yang sama dengan agonis (dan biasanya berkompetisi), tetapi
menghasilkan efek yang berlawanan dengan agonis. Inverse agonist
mematikan kerja konstitutif
Agonis beta atau agonis adrenergik beta adalah golongan obat yang digunakan
untuk melegakan pernapasan (bronkodilator). Agonis beta diberikan untuk
menangani kondisi asma dan penyakit obstruksi jantung kronis (PPOK).
Agonis beta bekerja dengan mengaktifikan sel beta-2 reseptor yang berfungsi
melemaskan otot-otot pada saluran pernapasan dan membuka jalan napas. Jalan
napas yang terbuka dapat membantu untuk meredakan sesak napas yang
diderita oleh pasien asma dan PPOK.
Berdasarkan lama kerjanya, obat agonis beta dibagi menjadi tiga jenis, yakni
agonis beta short-acting, long-acting, dan ultra-long acting.
3
Contoh obat agonis termasuk heroin, oksikodon, metadon, hidrokodon, morfin,
dan opium. Beberapa di antaranya seperti heroin dinyatakan ilegal. Obat-
obatan ini menghilangkan rasa sakit. Dosis yang kuat dapat memiliki banyak
efek samping yang berkaitan dengan respirasi, kegagalan organ, kantuk, dan
mati rasa.
4
Jika digunakan tanpa kortikosteroid inhalasi, salmeterol telah dihubungkan
dengan munculnya serangan asma yang mengancam jiwa, meskipun jarang,
dan dosis tinggi formoterol dihubungkan dengan peningkatan eksaserbasi asma
yang berat. Karena itu agonis beta-2 kerja panjang ditambahkan pada terapi
kortikosteroid, dan bukan untuk menggantikannya. Dosis rendah agonis
adreno-septor beta-2 kerja panjang efektif untuk sebagian besar pasien dan
harus dicobakan terlebih dahulu.
2. Antagonis
Antagonis reseptor adalah istilah dalam bidang ilmu farmakologi, terutama
berhubungan dengan farmakodinamik yaitu ilmu yang mempelajari efek-
efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerja obat dalam tubuh.
Antagonisme reseptor berkaitan dengan suatu keadaan ketika efek dari
suatu obat menjadi berkurang atau hilang sama sekali yang disebabkan
oleh keberadaan satu obat lainnya. Prosesnya berikatan
dengan reseptor namun tidak menyebabkan aktivasi, menurunkan
kemungkinan agonis akan berikatan pada reseptor, sehingga menghalangi
kerjanya dengan secara efektif dengan cara melemahkan atau melepaskan
dari sistem reseptor.
5
Antagonis dibagi menjadi dua kelas bergantung pada apakah secara
langsung bersaing dengan agonis untuk berikatan dengan reseptor atau
tidak. Jika konsentrasi agonis tetap maka peningkatan konsentrasi
antagonis akan kompetitif dan secara progresif menghambat respon agonis
sehingga menyebabkan konsentrasi antagonis yang tinggi untuk mencegah
respon secara total, proses ini berlangsung secara reversible (reaksi yang
dapat dibalikkan). Reaksi sebaliknya terjadi, ketika konsentrasi agonis
yang tinggi dapat menghambat efek konsentrasi tertentu antagonis, ini
terjadi ketika reaksi berlangsung secara irreversible dan antagonis
berikatan secara non kompetitif pada reseptor.
6
agen lini pertama dalam pengobatan kondisi asam lambung, sampai
mereka digantikan oleh inhibitor pompa proton yang lebih efektif.
Antagonis H2 pertama – simetidin – dikembangkan pada 1960-an oleh Sir
James Black.
Dari semua antagonis H2, simetidin dikaitkan dengan sebagian besar efek
samping dan sebagian besar interaksi obat. Antagonis selanjutnya – seperti
ranitidine dan famotidine – dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki
sedikit, jika ada, interaksi obat yang serius.
Simetidin
Famotidine
Ranitidine
Nizatidine
Sekali lagi, penghambat pompa proton dianggap sebagai agen lini pertama.
Meskipun demikian, antagonis H2 tetap merupakan alternatif klinis yang
penting.
7
a. Mekanisme aksi
Antagonis H2 bekerja dengan mencegah pelepasan histamin dari sel mirip
enterochromaffin (ECL) – dengan histamin yang bekerja pada sel parietal di
dekatnya. Histamin adalah salah satu dari banyak elemen independen yang
bertanggung jawab untuk “mengaktifkan” pompa proton di dalam sel parietal.
Dengan menghambat histamin, produksi asam lambung berkurang. Itulah
yang membedakan mekanisme antagonis H2 dari inhibitor pompa proton.
Antagonis H2 membatasi produksi asam, sedangkan penghambat pompa
proton menekan produksi asam jauh lebih efektif. Dengan kata lain, PPI
menghambat tahap terminal dalam produksi asam lambung sedangkan
antagonis H2 tidak. Inilah yang membuat PPI jauh lebih efektif dalam
mengurangi produksi asam lambung.
b. Efek Samping
8
Sebagian kecil pasien yang memakai simetidin pernah mengalami
ginekomastia. Sebuah minoritas yang lebih kecil telah mengalami kehilangan
libido, efek reversibel setelah penghentian simetidin.
c. Pertimbangan Klinis
Ketika kita berbicara tentang farmakologi klinis antagonis H2, kita perlu
memikirkan faktor-faktor berikut:
Simetidin itu dikaitkan dengan lebih banyak efek samping dan interaksi
obat dibandingkan dengan antagonis H2 yang lebih baru, seperti ranitidin.
Antagonis H2 tersebut memiliki onset kerja yang lebih cepat dibandingkan
dengan inhibitor pompa proton. Ini mungkin berguna jika penekanan asam
yang relatif segera dicari – misalnya, sebelum operasi untuk mencegah
aspirasi asam ke saluran pernapasan.
Antagonis H2 itu dapat menutupi gejala kanker lambung. Pasien harus
dimonitor untuk gejala serius seperti kesulitan menelan dan penurunan
berat badan.
Karena farmakokinetik simetidin, meningkatkan risiko toksisitas bila
diminum dengan obat-obatan seperti warfarin, fenitoin, kuinidin, TCA dan
propranolol.
Dengan meningkatkan pH lambung, antagonis H2 dapat meningkatkan
risiko mengembangkan kolitis Clostridium difficile.
Antagonis reseptor H2 diklasifikasikan sebagai kategori kehamilan B –
yang berarti bahwa “tidak ada risiko dalam penelitian non-manusia”.
Meskipun antagonis H2 sebagian besar telah digantikan oleh penghambat
pompa proton, mereka tetap menjadi alternatif penekan asam yang penting dan
tetap, dengan demikian, kelas obat yang berharga dalam perangkat dokter.
B. Jenis-Jenis Reseptor
1. Reseptor Terkopling Protein G (GPCR)
GPCR, disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan
responnya terjadi dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida
9
tunggal dengan 7 heliks transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan
aktivasi bagian protein G yang kemudian memodulasi/mengatur aktivitas
enzim atau fungsi kanal.
10
Reseptor ini terdiri dari 5 subunit (yaitu subunit α1, β1, γ atau ε, dan δ), yang
melintasi membran, membentuk kanal polar. Masing-masing sub unit terdiri
dari 4 segmen transmembran, segmen ke-2 (M2) membentuk kanal ion.
Domain N-terminal ekstraseluler masing-masing sub unit mengandung 2
residu sistein yang dipisahkan oleh 13 asam amino membentuk ikatan
disulfida yang membentuk loop, merupakan binding site untuk agonis.
11
C. Fungsi Reseptor
Fungsi reseptor adalah:
1) Merangsang perubahan permeabilitas membran sel.
2) Pembentukan pembawa kedua (second messenger) misalnya cAMP,
diasilgliserol, inositol trifosfat.
3) Mempengaruhi transkripsi gen atau DNA.
Dari fungsi tersebut, reseptor terlibat dalam komunikasi antar sel. Reseptor
menerima rangsang dengan berikatan dengan pembawa pesan pertama (first
messenger) yaitu agonis yang kemudian menyampaikan informasi yang
diterima kedalam sel dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui
perubahan petmeabilitas membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau
mempengaruhi transkripsi gen.
12
DAFTAR PUSTAKA
13