Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu
kimia dan biologis, digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme
kerja obat pada tingkat molekul.
Sifat kimia fisika dapat mempengaruhi aktivitas biologis obat oleh karena
dapat mempengarhi distribusi obat dalam tubuh dan proses interaksi obat-
reseptor. Beberapa sifat kimia fisika penting yang berhubungan dengan aktivitas
biologis antara lain adalah ionisasi, pembentukan kelat, potensial redoks, dan
tegangan permukaan.
Absorpsi obat merupakan cara pemberian obat melalui oral (mulut),
sublingual (bawah lidah), rektal (dubur), dan parenteral tertentu, seperti melalui
intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses
absorpsi obat yang berbeda-beda. Proses absorpsi merupakan dasar yang penting
dalam menetukan aktivitas farmakologi obat. Kegagalan atau kehilanagn obat
selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan
kegagalan pengobatan.

B. Tujuan
1. Mengetahui study literatur tentang konsep kimia medisinal
2. Mengetahui ionisasi dan aktivitas biologis
3. Mengetahui pembentukan kelat dan aktivitas biologis
4. Mengetahui potensial redoks dan aktivitas biologis
5. Mengetahui aktivitas permukaan dan aktivitas biologis

1
BAB II
ISI

A. Studi Literatur Tentang Konsep Kimia Medisinal


Batasan kimia medisinal menurut Burger (1970) adalah :
Ilmu pengetahuan yang merupakan cabang dari ilmu kimia dan biologi, dan
digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat. Sebagai
dasar adalah mencoba menetapkan hubungan struktur kimia dan aktivitas
biologis obat, serta menghubungkan perilaku biodinamik melalui sifat-sifat fisik
dan kereaktifan kimia senyawa obat. Kimia medisinal melibatkan isolasi,
karakterisasi dan sintesisi senyawa-senyawa yang digunakan dalam bidang
kedokteran, untuk mencegah dan mengobati serta memelihara kesehatan.
Batasan kimia medisinal menurut IUPAC (1974) adalah :
Ilmu pengetahuan yang mempelajari penemuan, pengembangan, identifikasi dan
interpretasi cara kerja senyaea biologis aktif (obat) pada tingkat molekul. Kimia
medisinal juga melibatkan studi, identifikasi dan sintesis produk metabolisme
obat dan senyawa yang berhubungan.
Batasan kimia medisinal menurut Taylor dan Kennewell (1981) adalah :
Studi kimiawi senyawa atau obat yang dapat memberikan efek menguntungkan
efek menguntungkan dalam sistem kehidupan, dan melibatkan studi hubungan
struktur kimia senyawa dengan aktivitas biologis serta mekanisme cara kerja
senyawa pada sistem biologis, dalam usaha mendapatkan efek pengobatan yang
maksimal dan memperkecil efek samping yang tidak menguntungkan.
Ruang lingkup bidang kimia medisinal menurut Burger (1980), adalah :
1. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirik
telah digunakan untuk pengobatan.
2. Sintesis struktur analog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai aktivitas
pengobatan potensial.
3. Mencari struktur induk baru dengan cara sintesis senyawa organik, denagn
tanpa berhubungan dengan zat aktif alamiah.
4. Menghubungkan struktur kimia obat dengan cara kerjanya.
5. Mengembangkan rancangan obat.
6. Mengembangkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat
kimia fisika dengan bantuan statistik.
Kimia medisinal (Medicinal Chemistry) sering pula disebut dengan nama
yang lain seperti kimia farmasi (Pharmaceutical Chemistry), farmakokimia
(Farmacochemie, Pharmacochemistry) dan kimia terapi (Chimie
Therapeutique). Hubungan kimia medisianal dengan cabang ilmu lain dapat
dilihat pada diagram berikut :
Berdasarkan sumbernya obat yang ada dewasa ini digolongkan menjadi tiga
Yaitu :

2
1. Obat alamiah, obat yang terdapat di alam, yaitu pada tanaman, contoh :
kuinin dan atropin, pada hewan, contoh: minyak ikan dan hormon, serta
mineral, contoh: belerang(S) dan kalium bromida (KBr).
2. Obat semisintetik, obat hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal dari bahan
obat yang terdapat di alam, contoh: morfin menjadi kodein dan diosgenin
menjadi progesteron.
3. Obat sintetik murni, obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah
disintesis akan didapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu,
contoh: obat-obat golongan analgetik-antipiretika, antihistamina dan
diuretika.
Setelah ilmu pengetahuan makin berkembang, didapatkan bahwa struktur
kimia obat ternyata dapat menjelaskan sifat-sifat obat dan terlihat bahwa unit-
unit struktur atau gugus-gugus molekul obat berkaitan dengan aktivitas
biologisnya. Untuk mencari hubungan antara struktur kimia dan aktivitas
biologis obat dapat dilakukan terutama dengan mengaitkan gugus fungsional
tertentu dengan respon biologis yang tertentu pula. Hal ini kadang-kadang
mengalami kegagalan karena terbukti bahwa senyawa dengan unit struktur kimia
sama belum tentu menunjukkan aktivitas biologis sama, sebaliknya aktivitas
biologis yang sama sering diperlihatkan oleh senyawa-senyawa dengan struktur
kimia yang berbeda.
Contoh senyawa dengan gugus fungsional sama dan mempunyai aktivitas
biologis sama :
1. Turunan fenol, contoh : fenol, kresol, eugenol dan timol, mengandung gugus
fungsi hidroksil fenol dan berkhasiat sebagai antibakteri.
2. Turunan sulfonamida, contoh : sulfanilamid, sulfasetamid, sufaguanidin,
dan sulfametoksazol, mengandung gugus fungsional sulfonamida dan
berkhasiat sebagai antibakteri.
Contoh senyawa dengan struktur kimia tetapi aktivitas biologisnya sama :
1. Obat anastesi sistemik, contoh : eter, siklopropan, halotan, dan tiopal.

2. Obat diuretik, contoh : turunan merkuri organik (klormerodrin), turunan


sulfanamid (asetazolamid), turunan tiazid (hidroklorotiazid), dan
spironolakton.

3
Contoh senyawa dengan unit struktur sama tetapi dapat memberikan aktivitas
biologis bermacam-macam adalah obat turunan sulfonamida, yang dapat
berkhasiat sebagai antibakteri (sulfanilamid), diuretik (hidroklorotiazid),
antilepra (dapson), antimalaria (sulfadokson), urikosurik (probenesid) dan
antidiabetes (karbutamid).

Sifat-sifat kimia fisika merupakan dasar yang sangat penting untuk


menjelaskan aktivitas biologis obat, oleh karena :
1. Sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengangkutan obat
untuk mencapai reseptor. Sebelum mencapai reseptor, molekul obat harus
melalui bermacam-macam sawar membran, berinteraksi dengan senyawa-
senyawa dalam cairan luar dan dalam sel serta biopolimer. Di sini fisika
kimia berperan dalam proses abrorpsi dan distribusi obat, sehingga kadar
obat pada waktu mencapai reseptor cukup besar.
2. Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kekhasan tinggi saja yang
dapat berinteraksi dengan reseptor biologis. Oleh karena itu sifat kimia
fisika obat harus menunjang orientasi khas molekul pada permukaan
reseptor.

4
B. Ionisasi Dan Aktivitas Biologis
Ionisasi sangat penting dalam hubungannya dengan proses penembusan obat
kedalam membrane biologis dan interaksi obat-reseptor. Untuk dapat
menimbulkan aktivitas biologis, pada umumnya obat dalam bentuk tidak
terionisasi, tetapi ada pula yang aktif dalam bentuk ionnya.
1. Obat yang aktif dalam bentuk tidak terionisasi
Sebagian besar obat yang bersifat asam, atau basa lemah, bentuk tidak
terionisasinya dapat memberikan efek biologis. Hal ini dimungkinkan bila
kerja obat terjadi di membran sel atau di dalam sel.
Contoh : fenobarbital, turunan asam barbiturat yang bersifat asam lemah,
bentuk tidak terionisasinya dapat menembus sawar darah otak dan
menimbulkan efek penekan fungsi system saraf pusat dan pernapasan.
Obat modern sebagian besar bersifat elektrolit lemah , yaitu asam atau basa
lemah, dan derajat ionisasi atau bentuk ionisasi dan tidak terionisasinya
ditentukan oleh nilai pKa dan suasana pH lingkungan. Hubungan antara pKa
dengan fraksi obat terionisasi dan yang tidak terionisasi dari obat yang
bersifat asam dan basa lemah, dinyatakan melalui persamaan Henderson-
Hasselbach sebagai berikut :
Untuk asam lemah :
pKa = pH + log Cu/Ci
Cu : fraksi asam yang tidak terionisasi

Ci : fraksi asam terionisasi


Contoh :
RCOOH → RNH2 + H+
pKa = pH + log (RNH3+)/( RNH2)

Proses perhitungan ionisasi fenobarbital (pKa =7,4) pada berbagai macam pH


dapat dilihat pada Tabel 20.
Perubahan pH dapat berpengaruh terhadap sifat kelarutan dann koefisien
patrisi obat. Garam dari asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya
mudah diabsorbsi oleh saluran cerna, dan aktivitas biologis sesuai dengan
kadar obat bebas yang terdapat dalam cairan tubuh.
Pada obat bersifat asam lemah,dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi
bertambah besar, bentuk tak terionisasi bertambah kecil, sehingga jumlah
obat untuk menembus membran biologis semakin kecil. Akibatnya,
kemungkinan obat untuk berinteraksi dengan reseptor semakin rendah dan
aktivitas biologisnya semakin menurun.

5
Tabel 20. Persen bentuk terionisasi dan terionisasi fenobarbital pada berbagai
macam pH.
pH Persen Tak Persen Terionisasi
Terionisasi
2,0 100,0 0,00
4,0 99,96 0,04
6,0 96,17 3,83
7,0 71,53 28,47
8,0 20,0 79,93
10,0 25,0 99,75
12,0 0,0 100,0

Pada obat yang bersifat basa lemah dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi
bertambah kecil, bentuk tak terionisasi bertambah besar, sehingga jumlah
obat untuk menembus membran biologis semakin besar. Akibatnya,
kemungkinan obat untuk berinteraksi dengan reseptor bertambah besar dan
aktivitas biologisnya semakin meningkat.
Contoh :
Asam aromatic lemah, seperti asam benzoat, asam salisilat, asam
mandelat, aktivitas antibakterinya bertambah besar bila dalam media asam.
Pada pH = 3, aktivitas antibakteri asam benzoat 100 kali lebih besar dibanding
aktivitasnya pada suasana netral.

Fenol, suatu asam lemah, memberikan gambaran hubungan perubahan pH


dengan aktivitas biologis yang berbeda. Pada pH kecil 4,5 aktivitas
antibakterinya akan semakin meningkat, tetapi bila pH dinaikan lebih besar
10, aktivitasnya akan meningkat lagi karena fenol teroksidasi menjadi bentuk
kuinon, yang juga mempunyai aktivitas antibakteri cukup besar.

Sedikit perubahan struktur dapat menyebabkan perubahan yang bermakna


dari sifat ionisasi asam atau basa, dan hal ini akan mempengaruhi aktivitas
biologis obat.

6
Gambar 37. Hubungan perubahan pH dengan aktivitas biologi asam dan basa
lemah.

Contoh :

Golongan 5,5-disubsitusi dari turunan asam barbiturat mempunyai nilai pKa


7-8,5, contoh : asam 5,5-dietilbarbiturat (fenobarbital) mempunyai nilai
pKa 7,4 pada pH fisiologis, lebih dari 50 % fenobarbital terdapat dalam
bentuk tidak terionisasi, sehingga dengan mudah menembus jaringan lemak
dan menunjukan aktivitas sebagai penekan system saraf pusat.Sifat
keasamaan turunan barbiturat ditentukan oleh bentuk tautomeri keto-enol dan
laktim-laktam.
Golongan 5-subsitusi barbiturat, bersifat lebih asam, contoh : asam 5-
etilbarbiturat, mempunyai nilai pKa = 4,4 pada pH fisiologis mudah
terionisasi (99,9%), sehingga kurang efektif dalam menembus sawar
membran lipofil sistem saraf pusat, dan tidak dapat menimbulkan efek
penekan sistem sarag pusat. Proses ionisasi dari 5-subsitusi dan 5,5-
disubsitusi barbiturate dapat dilihat pada Gambar 38.
Perubahan pH juga berpengaruh terhadap kereaktifan gugus asam atau basa
pada permukaan sel atau dalam sel mikroorganisme. Pada titik isoelektrik,
kation dan anion potensial molekul protein sel, missal amino dan karboksilat
pada alanin, selalu terdapat dalam bentuk ion Zwitter. Dengan meningkatnya
pH atau bertambah basa media, kadar anion sel akan bertambah besar
sehingga meningkatnya aktivitas obat yang bersifat kation aktif. Sebaliknya,
dengan menurunya pH atau bertambah asam media, kadar kation sel akan
menjadi lebih besar, sehingga meningkatkan afinitas obat anion aktif

7
Gambar 38.Proses ionisasi dari 5-subsitusi dan 5,5-disubsitusi barbiturate.

Contoh : alanin

Alanin Ion Zwitter Anion

2. Obat yang aktif dalam bentuk ion


Beberapa senyawa obat menunjukan aktivitas biologis yang makin meningkat
bila derajat ionisasinya meningkat. Seperti diketahui dalam bentuk ion
senyawa obat umumnya sulit menembus membran biologis, sehingga diduga
snyawa obat dengan tipe ini memberikan efek biologisnya diluar sel.
Bell dan Roblin (1942), memberikan postulat bahwa aktivitas antibakteri
sulfonamida mencapai maksimum bila mempunyai nilai pKa 6-8. Pada pKa
tersebut sulfonamida terionisasi 50 %. Pada pKa 3-5, sulfonamida terionisasi
sempurna, dan bentuk ionisasi ini tidak dpaat menembus membran sehingga
aktivitas antibakterinya rendah.
Bila kadar bentuk ion kurang lebih dengan kadar bentuk molekul (pKa 6-8),
aktivitas antibakterinya akan maksimal, pada pKa 9-11, penurunan pKa
meningkatkan jumlah sulfonamida yang terionisasi, jumlah senyawa yang

8
menembus membran kecil, sehingga aktivitas antibakterinya rendah.
Hubungan antara aktivitas antibakteri turunan sulfonamida dengan nilai pKa
dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan antara akyivitas antibakteri (log 1/C) terhadap


Escherichia Coli (pada pH = 7) dan nilai pKa dari turunan sulfonamida.

Menurut Cowles (1942), sulfonamida menembus membran sel bakteri dalam


bentuk tidak terionisasinya, dan sesudah mencapai reseptor yang bekerja
dalam bentuk ion.
Contoh obat yang aktif dalam bentuk ion adakah turunan akridin dan turunan
ammonium kuartener.

C. Pembentukan Kelat Dan Aktivitas Biologis


Kelat adalah senyawa yang dihasilkan oleh kombinasi senyawa yang
mengandung gugus electron donor dengan ion logam, membentuk suatu struktur
cincin. Gugus-gugus kimia yang dapat membentuk kelat antara lain adalah
gugus amin, primer, sekumder, dan tersier, oksim, imin, imin tersubsitusi,
tioeter, keto, hidroksil, tioalkohol, karboksilat, fosfonat, dan sulfonat. Sebagai
contoh adalah pembentukan kelat antar etilendiamin tetraasetat (EDTA) dengan
ion Ca++ (Gambar 39.)
Ligan adalah senyawa yang dapat membentuk struktur cincin dengan ion logam
karena mengandung atom yang bersifat elektron donor, seperti N, S, dan O.
Struktur cincin umumnya terdapat dan cukup stabil adalah struktur cincin
dengan jumlah atom 5 dan 6.

Dalam sistem biologis banyak terdapat ligan-ligan yang dapat membentuk kelat
dengan ion logam.

9
Contoh ligan dalam sistem biologis :
1. Asam amino protein seperti glisin, sistein, histidin, histamine, dan asam
glutamat.
2. Vitamin, seperti riboflavin dan asam folat.
3. Basa purin, seperti hipoxantin dan guanosim.
4. Asam trikarboksilat, seperti asam laktat dan asam sitrat.
Logam yang berperan dalam sistem biologis adalah Fe, Mg, Cu, Mn, Co,
dan Zn.

Gambar 39. Reaksi pembentukan kelat antara ligan EDTA dengan ion
logam Ca++ dan ion Ca++ dan EDTA dihubungkan oleh elektron donor
dari atom N dan O membentuk struktur cincin.

Contoh kelat dalam system biologis :


1. Kelat yang mengandung logam Fe
Contoh :
a. Enzim forfirin, seperti katalase, peroksidase dan sitokrom.
b. Enzim non forfirin, seperti akonitase, aldolase, dan ferritin.
2. Kelat yang mengandung logam Cu
Contoh :
a. Enzim oksidase, seperti asam askorbat oksidase
3. Kelat yang mengandung logam Mg
Contoh :
a. Beberapa enzim proteolitik, fosfatase, dan karboksilase
4. Kelat yang mengandung logam Mn
Contoh :
a. Oksaloasetat dekarboksilase
5. Kelat yang mengandung logam Zn
Contoh :
a. Insulin dan karbonik anhydrase

10
Ligan mempunyai afinitas yang besar terhadap ion logam, sehingga dapat
menurunkan kadar ion logam yang toksis dalam jaringan dengan membentuk
kelat yang mudah larut dan kemudian dieksresikan melalui ginjal.
Contoh Ligaan :
1. Dimerkaprol (BAL)
Dimekaprol mengandung gugus sulfhidril, yang dapat berinteraksi dengan
arsen organic, membentuk kelat yang mudah larut. Senyawa ini spesifik untuk
antidotum keracunan arsen organic, logam Sb, Au dan Hg
2. (+) penisilamin
Senyawa hasil hidrolisis penisilin dalam suasana asam, yang digunakan
antidotum terhadap Cu, Au, dan Pb.
3. Oksin
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa turunan oksin dapat berfungsi
sebagai antibakteri karena kemampuan membentuk kelat dengan ion – ion
logam Fe dan Cu. Diduga bahwa tempat kerja turunan oksin terdapat dalam
dinding sel dan membrane sitoplasma bakteri.
4. Isoniazid, tiasetazon dan etambutol
Dapat berinteraksi dengan ion Cu+ serum, membentuk kelat yang mudah
larut dalam lemak, sehingga mudah menembus dinding sel mycobacterium
tuberculosis.
5. Tetrasiklin
Mengandung gugus – gugus hidroksil (C3) yang bersifat asam dan amin
tersier (C4) yang bersifat basa, dapat membentuk kelat dengan ion Mg+
membrane sel bakteri. Gugus hidroksil fenol, keton dan hidroksil pada atom
C10, C11, dan C12 diduga juga ikut terlibat dalam proses pembentukan kelat.
Contoh :
a. Sisplatin
Sisplatin, cis-dikloroetilendiaminplatimum (II), adalah senyawa kompleks
turunan Pt yang digunakan sebagai obat anitianker. Isomer trans tidak
menunjukkan aktivitas.

Ligan-ligan yang digunakn untuk antidotum keracunan logam berat atau untuk
pengobatan yang lain, dapat menimbulkan toksisitas cukup besar, karena
mengikat logam lain yang justru diperlukan untuk fungsi fisiologis normal. Oleh
karena itu penggunaan ligan harus dipilih seselektif mungkin.
Contoh :
1. Tiasetazon, difenilditiokarbason, oksin dan aloksan, dapat menimbulkan awal
penyakit diabetes melitus, karena obat-obat tersebut membentuk kelat dengan
Zn pada sel B-pankreas sehingga menghambat produksi insulin.
2. Hidralazin (Apresolin), obat penurun tekanan darah, menimbulkan efek
samping anemia karena dapat membentuk kelat dengan Fe darah.

11
3. Dimerkaprol dan isoniazid, cenderung menimbulkan efek seperti histamin,
diduga karena membentuk kelat dengan logam Cu yang berfungsi sebagai
katalisator enzim perusak histamin (histaminase).

D. Potensial Redoks Dan Aktivitas Biologis


Potensial redoks adalah ukuran kuantitatif kecenderungan senyawa untuk
memberi dan menerima elektron.
Hubungan kadar oksidator dan reduktor ditunjukkan oleh persamaan Nernat
sebagai berikut :

Eh – Eo – 0,06/n (Oksidator) / (Reduktor)

Eh : potensial redoks yang diukur

Eo : potensial redoks baku

n : jumlah elektron yang berpindah

0,06 : tetapan termodinamik pemindahan 1 elektron (30֯c)

Reaksi redoks adalah perpindahan elektron dari satu atom ke atom molekul yang
lain. Tiap reaksi pada organisme hidup terjadi pada potensial redoks optimum,
dengan kisaran yang bervariasi, sehingga diperkirakan bahwa potensial redoks
senyawa tertentu berhubungan dengan aktivitas biologisnya.

Pengaruh potensial redoks tidak dapat diamati secara langsung karena hanya
berlaku untuk sistem keseimbangan ion tunggal yang bersifat reversibel, sedang
reaksi pada sel hidup merupakan reaksi yang yang serentak, termasuk oksidasi
ion dan non ion, ada yang bersifat reversibel adapula yang ireversibel. Hubungan
potensial redoks dengan aktivitas biologis secara umum hanya terjadi pada
senyawa dengan struktur dan sifat fisik yang hampir sama. Pada sistem interaksi
obat secara redoks, pengaruh sistem distribusi dan faktor sterik sangat kecil.
Contoh :
1. Turunan kuinon, menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap
staphylococcus aureus pada Eo antara (-) 0,10 sampai (+) 0,15 V, dan
aktivitas maksimum dicapai pada Eo = (+) 0,03 V.
2. Sb dan As, menunjukkan aktivitas terhadap Trypanosoma sp. Pada Eo
antara (-) 0,12 sampai (+) 0,06 V, dan aktivitas tertinggi terjadi pada Eo =
(-) 0,01 V.
3. Riboflavin
Riboflavin adalah koenzim faktor vitamin, aktivitas biologisnya berdasar
pada kemampuan untuk menerima elektron sehingga tereduksi menjadi
bentuk dihidronya. Reaksi in terjadi pada Eo = (-) 0,185 V.

12
Perubahan sistem redoks dapat digunakan untuk membuat senyawa
antagonis riboflavin

Contoh :

Bila 2 gugus metil dari riboflavin diganti dengan gugus Cl, senyawa yang
terjadi mempunyai Eo = (-) 0,095 V dan berfungsi sebagai antagonis
riboflavin. Diduga hal ini disebabkan bentuk dihidro-2-klororiboflavin
mempnuyai sifat reduksi lebih lemah dibanding dihidroriboflavin. Senyawa
tersebut dapat diabsorbsi pada tempat reseptor spesifik, tetapi tidak
mempunyai potensial yang cukup untuk reduksi biologis.

Analog riboflavin yang tidak bersifat redoks dapat dikembangkan sebagai


obat antikanker. Analog tersebut dibuat dengan mengubah potensial redoks
atau memodifikasi molekul menjadi bentuk dihidro yang tidak dapat
dioksidasi.

E. Aktivitas Permukaan Dan Aktivitas Biologis


Surfaktan adalah suatu senyawa yang karena orientasi dan pengaturan molekul
pada permukaan larutan, dapat menurunkan tegangan permukaan. Struktur
surfaktan terdiri dari dua bagian yang berbeda, yaitu bagian yang bersifat
hidrofilik atau polar dan bagian lipofilik atau non polar, sehingga dikatakan
surfaktan bersifat ampifilik.
Bila surfaktan dimasukkan ke air maka pada permukaan akan teratur sedemikian
rupa sehingga bagian non polar, misal rantai hidrokarbon, berorientasi ke fasa

13
uap, sedang bagian polar.misal gugus-gugus COOH, OH, NH2 dan NO2,
berorientasi ke fasa air.
Bila surfaktan dimasukkan ke dalam campuran pelarut polar dan non polar, maka
pada batas cairan polar dan non polar berorientasi ke pelarut non polar, sedang
gugus polar berorientasi ke pelarut polar. Pada orientasi ini terlihat ikatan van
der Waal’s, ikatan hidrogen dan ikatan ion-dipol.
Contoh : asam oleat (C18H34-COOH), bila dimasukkan ke air dapat membentuk
lapisan monomolekul. Rantai hidrokarbon cenderung tegak lurus pada
permukaan, sedang gugus COOH mengarah ke fasa air. Bila kemudian
ditambahkan minyak, rantai hidrokarbon akan berorientasi ke fasa minyak
sedang gugus COOH tetap kontak dengan air.

Asam oleat cenderung membentuk perubahan daro fasa non polar ke fasa polar
secara perlahan-lahan sehingga energi bebas pada permukaan menjadi lebih
kecil. Aktivitas permukaan surfaktan ditentukan oleh keseimbangan gugus
hidrofil dan lipofil (hidrophyl lipophyl balance = HLB).

Berdasarkan sifat gugus yang dikandungnya, surfaktan dibagi menjadi empat


kelompok, yaitu :
1. Surfaktan anionik
Mengandung gugus hidrofil yang bermuatan negatif, dan dapat berupa gugus
karboksil, sulfat, sulfonat atau fosfat.
Contoh :sabun K, sabun Na, natrium stearat, natrium laurilsulfat dan natrium
laurilsulfoasetat.
2. Surfaktan kationik
Mengandung gugus hidrofil yang bermuatan positif, dan dapat berupa gugus
amonium kuarterner, higuanidin, sulfonium, fosfonium, dan iodonium.

Contoh : turunan amonium kuarterner, seperti setilpiridinium klorida,


benzetonium klorida, benzalkonium klorida dan setavion, serta turunan
higuanidin, seperti heksaklorofen.
3. Surfaktan non ionik
Tidak terionisasi dan mengandung gugus-gugus hidrofil dan lipofil yang
lemah sehingga larut atau dapat terdispersi dalam air, biasanya adalah gugus
polioksietilen eter dan poliester alkohol.

14
Contoh : polisorbat 80, span 80 dan gliserilmonostearat.
4. Surfaktan amfoterik
Mengandung dua gugus hidrofil yang bermuatan positif
(kationik) dan negatif (anionik)
Contoh : N-lauril-B-aminopropionat dan miranol.

Dalam larutan encer surfaktan menunjukkan sifat elektrik dan osmotik yang
sama dan didistribusikan dalam bentuk monomer. Bila kadar surfaktan
ditambah terus, akan dicapai suatu titik kritis, terjadi penggabungan molekul
monomer menjadi suatu polimer, terdiri dari 50 atau lebih monomer, yang
disebut misel.
Kadar pada waktu mulai terbantuk molekul polimer dinamakan kadar misel
kritis (critical micelle concentration = CMC). Pada kadar di atas CMC
terbentuk polimer yang besar dan kemudian menjadi koloid. Proses yang
terjadi bersifat reversibel sehingga bila diencerkan polimer akan menjadi
bentuk monomer kembali.
Aktivitas anthelmintik heksilresorsinol dipengaruhi oleh perbandingan
jumlah surfaktan (Na oleat) dan obat (heksilresorsinol). Bila kadar Na oleat
dipertahankan di bawah CMC, terjadi penggabungan surfaktan-fenol (1 :1),
penetrasi heksilresorsinol pada membran cacing akan meningkat sehingga
aktivitas anthelmintik juga meningkat.
Bila kadar surfaktan di atas CMC , terbentuk misel-misel yang akan
menyelubungi heksilresorsinol, penetrasi pada membran cacing menurun,
sehingga aktivitas menurun pula.
Surfaktan juga mempengaruhi absorpsi obat. Aktivitas surfaktan terhadap
absorpsi obat tergantung pada :

a. Kadar surfaktan
b. Struktur kimia surfaktan
c. Efek surfaktan terhadap membran biologis
d. Efek farmakologis surfaktan
e. Adanya interaksi surfaktan dengan bahan-bahan pembawa atau bahan obat
Contoh :

Pengaruh surfaktan polisorbat 80 terhadap absorpsi sekobarbital Na pada ikan


emas, yang dapat dilihat pada Gambar 45.

Pada kadar rendah, surfaktan akan meningkatkan absorpsi sekobarbital


karena mempengaruhi permeabilitas membran biologis sehingga penetrasi
sekobarbital ke membran menjadi lebih besar. Pada kadar tinggi, surfaktan
menyebabkan partisi obat ke dalam fasa air dan misel. Obat yang berada
dalam fasa misel sukar menembus membran sehingga absorpsi sekobarbital
menurun.

15
Surfaktan mempunyai aktivitas yang nyata terhadap permeabilitas membran
sel bakteri. Surfaktan dengan aktivitas ringan, diadsorpsi satu lapis pada
permukaan membran sel bakteri sehingga menghalangi absorpsi bahan-bahan
yang dibutuhkan oleh membran sel.

Surfaktan dengan aktivitas kuat, dapat mengubah struktur dan fungsi


membran, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membran sel
bakteri menjadi rusak dan lisis.

Surfaktan pada umumnya tidak berguna secara in vivo karena mudah


diadsorpsi oleh protein dan menyebabkan ketidakteraturan membran sel serta
hemolisis sel darah merah. Surfaktan hanya terbatas untuk pemakaian
setempat yaitu untuk disinfektan kulit dan strerilisasi alat-alat.

16
Turunan amonium kuarterner, seperti benzalkonium klorida dan
dekualinium klorida, mempunyai hidrofil dan gugus ion polar yang panjang.
Senyawa ini termasuk golongan antibakteri yang bersifat tidak spesifik.
Karena termasuk surfaktan kationik, aktivitas antibakterinya turun secara
drastis bila dikombinasi dengan sabun anionik.
Aktivitas antibakteri senyawa turunan amonium kuarterner tergantung pada
a. Kerapatan muatan atom N asimetrik (kation hidrofil)
b. Ukuran dan panjang rantai nonpolar yang terikat pada atom N

Makin panjang rantai nonpolar, aktivitas senyawa makin meningkat, sampai


pada harga HLB yang memberikan aktivitas permukaan optimal.

Turunan Klorofenilhiguanidin, seperti klorheksidin, digunakan secara luas


untuk antiseptik luka dan luka bakar, serta desinfektan pembedahan.
Dikelompokkan dalam sabuk kationik karena gugus imino pada higuanidin
dapat terprotonasi membentuk garam. Dengan kadar yang relatif rendah
(10-100 mg/ml), kloroheksidin secara ceoar menyebabkan pelepasan
material sitoplasma sel bakteri. Pada kadar yang sangat rendah (1mg/ml)
senyawa masih tetap aktif karena dapat menghambat membrane-bound
ATPose bakteri.

17
BAB III
SIMPULAN

Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu


kimia dan biologis, digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme
kerja obat pada tingkat molekul.
Sifat kimia fisika dapat mempengaruhi aktivitas biologis obat oleh karena
dapat mempengarhi distribusi obat dalam tubuh dan proses interaksi obat-
reseptor. Beberapa sifat kimia fisika penting yang berhubungan dengan aktivitas
biologis antara lain adalah ionisasi, pembentukan kelat, potensial redoks, dan
tegangan permukaan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Siswandono dan Bambang Soekardjo, Eds. Kimia Medisinal I dan II.


Surabaya, Airlangga University Press, 2000.

19

Anda mungkin juga menyukai